bab ii kajian pustaka 2.1 sistem mukosilia hidung 2.pdf · mukosilia dapat menyebabkan perubahan...
TRANSCRIPT
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Sistem Mukosilia Hidung
Mekanisme pertahanan mukosa hidung yang terpenting adalah sistem
mukosilia. Sistem mukosilia terdiri dari silia epitel respiratorius, sel goblet dan
palut lendir (Passali dkk, 2005; Probst dkk, 2006). Gangguan pada sistem
mukosilia dapat menyebabkan perubahan pada mukosa dan terjadi penyakit
(Krouse dan Stachler, 2006).
2.1.1 Mukosa Sinonasal
Sebagian besar permukaan kavum nasi dilapisi oleh mukosa respiratorius.
Mukosa sinonasal secara histologis terdiri dari palut lendir (mucous blanket),
epitel kolumnal berlapis semu bersilia, membrana basalis, lamina propia yang
terdiri dari lapisan subepitelial, lapisan media, dan lapisan kelenjar profunda.
Kulit pada vestibulum hidung sama seperti hidung bagian luar merupakan sel
epitel skuamosa berkeratinisasi terdiri dari vibrise, kelenjar sebasea dan kelenjar
keringat. Pada bagian anterior konka inferior epitel berkeratinisasi tadi bercampur
dengan epitel skuamosa tidak berkeratinisasi, epitel kolumnar tidak bersilia dan
epitel respiratorius bersilia (Probst dkk, 2006). Saat mencapai nasofaring sel
kolumner bercampur menjadi epitel skuamosa tidak berkeratinisasi yang mirip
dengan epitel rongga mulut (Ballenger, 2003).
Mukosa kavum nasi dilapisi oleh mukosa respiratorius dan mukosa
olfaktorius. Sebagian besar mukosa kavum nasi dilapisi oleh mukosa
6
7
respiratorius. Mukosa respiratorius dilapisi oleh epitel kolumnar pseudostratified
bersilia yang merupakan kelanjutan dari sinus paranasal. Epitel bersilia berperan
dalam transportasi mukus dari kavum nasi ke nasofaring. Sedangkan atap septum
nasi dilapisi oleh mukosa olfaktorius (Probst dkk, 2006; Krouse dan Stachler,
2006).
2.1.1.1 Epitel
Epitel mukosa respiratorius tersusun atas sel bersilia, sel intermediate, sel
basal dan sel goblet yang berada pada membran basal. Epitel merupakan barier
mekanik yang utama untuk melawan infeksi. Sel kolumner bersilia merupakan sel
yang terbanyak dan membentang dari membran basal ke permukaan sel
(Ballenger, 2003). Setiap sel bersilia memiliki 150-200 silia yang tersusun atas
mikrotubulus (Probst dkk, 2006). Tugas dari silia adalah untuk membersihkan
palut ledir yang dihasilkan oleh sel goblet dan sekresi serus dari kelenjar hidung
ke nasofaring. Mikrovili berukuran lebih pendek daripada silia dan beberapa
memiliki cabang. Fungsi mikrovili ini masih belum jelas namun diduga dapat
memperluas permukaan sel. Sel basal terletak pada membran basal dan berfungsi
sebagai progenitor sel kolumner tidak bersilia menjadi sel kolumner bersilia
(Probst dkk, 2006).
2.1.2 Silia
Silia merupakan struktur yang menonjol dari permukaan sel, bentuknya
panjang, dibungkus oleh membran sel dan bersifat mobile. Silia dapat ditemukan
di seluruh traktur respiratorius, kecuali vestibulum hidung, dinding posterior
orofaring, sebagian laring dan cabang terminal bronkus. Silia terdapat juga pada
8
tuba Eustachius, sebagian besar telinga tengah dan di dalam sinus paranasal
(Ballenger, 2003). Silia manusia memiliki ukuran panjang 2-6 µm dengan
diameter 0,3 µm. Setiap silia terdiri dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang
tersusun longitudinal atau fibril yang disebut aksonema. Mikrotubulus ini
dikelilingi sembilan pasang di bagian luar (gambar 2.1) (Ballenger, 2003).
Gambar 2.1 Struktur ultrasilia tubulus (Ballenger, 2003)
Pola pergerakan silia dikenal dengan ciliary beat (Gambar 2.2).
Gerakannya cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah (active stroke) dengan ujungnya
menyentuh lapisan mukoid kemudian silia bergerak kembali lebih lambat dengan
ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Pukulan terjadi secara
metachronus dan berlangsung 3-25 mm/menit dengan frekuensi 12 Hz (Stierna,
2001) atau 1000 getaran per menit (Ballenger, 2003).
Gerakan silia terdiri dari dua fase dengan sumber energinya adenosine
triphosphate (ATP), mengakibatkan pergerakan filamen pada silia dikenal dengan
teori meluncurnya filamen. Silia pada epitel respiratorius bergerak secara
terkoordinasi dengan pola metachronous pada cairan perisilia yaitu lapisan yang
lebih dalam dari lapisan sol, yang mengalirkan lapisan gel superfisial ke arah
9
nasofaring (Probst dkk, 2006). Gerakan silia dipengaruhi oleh faktor eksternal
(Probst dkk, 2006).
Gambar 2.2 Siklus silia normal (Ballenger, 2003)
2.1.3 Palut Lendir
Palut lendir adalah lembaran yang tipis, lengket, dan liat yang dihasilkan
oleh kelenjar serus dan sel-sel goblet pada mukosa hidung. Palut lendir melapisi
permukaan epitel hidung berukuran 12-15 µm. Palut lendir terdiri dari dua lapisan
yaitu a) lapisan sol disebut juga cairan perisilia, terletak di lapisan dalam,
menyelimuti batang silia dan bersifat kurang viskus dan b) lapisan gel yang
terletak di superfisial, ditembus oleh batang silia bila sedang tegak sepenuhnya
dan bersifat lebih viskus (Ballenger, 2003; Probst dkk, 2006; Krouse dan Stachler,
2006).
Lapisan superfisial merupakan lapisan yang terdiri dari gumpalan mukus
yang tidak berkesinambungan yang menumpang pada cairan perisilia dibawahnya.
Cairan perisiliar kaya akan protein plasma seperti albumin, Ig G, Ig M dan faktor
komplemen (Stierna, 2001). Partikel yang larut maupun tidak larut akan ditangkap
dalam gumpalan mukus ini dan kemudian dibuang oleh gerak silia di bawahnya
menuju esofagus. Palut lendir mempunyai pH = 7 atau sedikit asam dan
10
mengandung air 95%, 2,5-3% glikoprotein, garam 1-2%. Komposisi ini
tergantung pada aktivitas sel goblet, kelenjar seromukus korion, kelenjar
lakrimalis dan penguapan udara inspirasi (Passali dkk, 2005). Fungsi palut lendir
ini adalah sebagai pelicin, melindungi dari keadaan kering dan menangkap
partikel dan gas yang larut (Ballenger, 2003).
Palut lendir dibersihkan ke arah nasofaring setiap 10 sampai 15 menit oleh
gerakan silia dan digantikan oleh mukus segar yang disekresikan kavum nasi dan
mukosa sinus (Walsh dan Kern, 2006). Palut lendir selalu bergerak dan gerakan
ini karena adanya silia. Silia bergerak untuk menghalau mukus dan debris yang
terperangkap melalui ostium dan ke hidung. Silia juga dapat tertarik ke bawah
searah gravitasi. Ostium sinus maksila berada di superior dinding medial sinus
sehingga tanpa gerakan silia yang menyapu mukus ke atas maka sinus maksila
tidak akan pernah mengalami drainase (Metson, 2005).
2.1.4 Sel Goblet
Sel-sel goblet epitel dan kelenjar seromukus pada mukosa hidung
menghasilkan palut lendir (Ballenger, 2003; Probst dkk, 2006; Krouse dan
Stachler, 2006). Laktoferin, lisosim, secretory leukoprotease inhibitor dan
secretory Ig A dihasilkan oleh sel serus, sedangkan glikoprotein dihasilkan oleh
sel mukus. Fungsi utama Ig A adalah untuk mengeksklusi mikroorganisme di
jaringan dengan berikatan dengan antigen di lumen jalan napas sedangkan Ig G
bekerja pada mukosa dengan menginisiasi perubahan reaksi berupa inflamasi
ketika terpapar antigen bakteri (Stierna, 2001).
11
Sel goblet lebih banyak ditemui pada sinus maksila dibandingkan sinus
lainnya, sedangkan kelenjar lebih banyak ditemui pada hidung dibandingkan pada
sinus paranasal. Hal ini fisiologis karena pada ruang tertutup seperti pada sinus
paranasal sel goblet cukup efektif dalam menghasilkan mukus untuk mencegah
terjadinya kekeringan mukosa dan untuk menunjang transpor mukosilia (Passali
dkk, 2005). Suatu penelitian eksperimental menggunakan kelinci ditemukan
penurunan jumlah sel goblet disertai involusi dan berkurangnya jumlah kelenjar
secara signifikan pada sinusitis dengan derajat inflamasi yang berat (Stierna,
2001).
2.2 Transpor Mukosilia
Transpor mukosilia adalah mekanisme pergerakan silia untuk mengalirkan
sekret dari kavum nasi ke nasofaring. Durasi di mana bahan partikel berjalan
sepanjang permukaan kavum nasi melalui transpor mukosilia disebut dengan
waktu transpor mukosilia (Probst dkk, 2006).
Bentuk sitoskeleton sel silia dan aktivitas dynein memungkinkan
terjadinya gerakan silia pada epitel respiratorius secara metachronous. Silia
bekerja menggerakkan sekresi mukus dari sel goblet dan sekresi serus dari
kelenjar hidung menuju nasofaring secara mekanik untuk membersihkan udara
inspirasi. Ujung silia dalam keadaan tegak akan masuk sepenuhnya menembus
gumpalan mukus dan menggerakkannya ke arah posterior bersama-sama dengan
materi asing yang terperangkap di dalamnya ke arah esofagus. Lapisan cairan
perisilia di bawahnya yaitu cairan yang kurang viskus beserta partikel yang
12
terlarut didalamnya juga dialirkan ke arah posterior oleh aktivitas silia, tetapi
mekanismenya belum diketahui dengan jelas (Ballenger, 2003).
Kecepatan transpor mukosilia sangat bervariasi. Pada orang sehat partikel
yang ada pada palut lendir dipindahkan oleh silia yang aktif dengan kecepatan 3-
25 mm/menit dan rata-rata 6 mm/menit. Adanya infeksi dapat menghambat sistem
transpor mukosilia yang efisien. Beberapa virus misalnya virus influenza,
rhinovirus, adenovirus, virus herpes simpleks dan RSV juga menghambat transpor
mukosilia dengan mengubah ultrastruktur aksonemal atau bahan viskoelastik pada
palut lendir (Ballenger, 2003).
2.2.1 Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Waktu Transpor Mukosilia
Transpor mukosilia dipengaruhi oleh a) faktor eksternal yaitu struktur
kimia partikel yang diangkut, b) faktor lingkungan yaitu suhu, humiditas, kontak
dengan larutan hipertonik atau hipotonik, bahan asam atau basa, bahan polusi dan
c) faktor internal yaitu aktivitas silia dan bahan rheologik mukus (Passali dkk,
2005; Ballenger, 2003). Karakteristik silia meliputi struktur, jumlah dan
koordinasi pergerakan silia sedangkan karakteristik mukus yaitu jumlah yang
disekresikan dan sifat viskoelastiknya merupakan komponen penting agar silia
dapat berfungsi secara efektif (Ramon, 1999; Ballenger, 2003; Probst dkk, 2006).
1.2.2.1 Kelainan kongenital
Kelainan kongenital seperti diskinesia silia primer dapat berupa
kekurangan lengan dynein, translokasi pasangan mikrotubulus, panjang silia
abnormal. Uji sakarin pada penderita ini adalah lebih dari 60 menit Al-rawi dkk
(1998). Sindrom kartagener merupakan penyakit yang diturunkan secara genetik,
13
dimana terjadi gangguan koordinasi gerakan siia sehingga terjadi gangguan
transpor mukosilia.
Jang dkk (2002) menyebutkan bahwa terdapat pemanjangan waktu
transpor mukosilia hidung pada pasien dengan deviasi septum nasi yang diduga
akibat hilangnya silia, proses inflamasi dan berkurangnya jumlah kelenjar.
2.2.2.2 Suhu dan kelembaban udara
Aktivitas silia dapat terganggu pada penurunan kelembaban, penurunan
suhu atau kohesi pada permukaan mukosa yang saling berhadapan (Walsh dan
Kern, 2006). Adrenergik β2 agonis dapat meningkatkan frekuensi gerakan silia,
sedangkan adrenergik 2 menghambat frekuensi gerakan silia (Ballenger, 2003).
Penelitian Salah dkk (1988) menyatakan bahwa subjek penelitian yang bernapas
dalam udara kering mengalami pemanjangan transpor mukosilia Hal ini
disebabkan oleh perubahan sifat reologis mukus pada udara kering.
2.2.2.3 Paparan debu
Soemadi dkk (2009) menyatakan bahwa waktu transpor mukosilia hidung
pada pekerja yang terpapar debu kayu lebih panjang. Paparan kronis dari debu
kayu dapat menyebabkan gangguan pada transpor mukosilia hidung. Black dkk.
pada tahun 1974 melaporkan adanya gangguan fungsi mukosilia hidung pada
pekerja pabrik kayu di Inggris yang terpapar debu kayu selama lebih dari 10
tahun.
14
2.2.2.4 Umur
Penelitian Ho dkk, 2001 tentang transpor mukosilia hidung, Ciliary Beat
Frequency (CBF) serta ultrastruktur silia pada relawan sehat umur 11 - 90 tahun,
menemukan ada hubungan antara waktu transpor mukosilia dengan pertambahan
umur. Melalui hasil pemeriksaan mikroskop elektron terlihat peningkatan
kekacauan miokrotubulus silia sejalan dengan bertambahnya umur. Subjek yang
berumur diatas 40 tahun mengalami penurunan CBF yang bermakna dengan
waktu transpor mukosilia memanjang dibanding dengan mereka yang berumur
lebih muda.
2.2.2.5 Indeks massa tubuh
Penelitian oleh Valdez dan Cruz, 2009 untuk mengetahui apakah transpor
mukosilia dipengaruhi oleh indeks massa tubuh yang abnormal pada orang
dewasa umur 18 - 33 tahun, menyimpulkan bahwa orang dengan indeks massa
tubuh abnormal cenderung mengalami pemanjangan waktu transpor mukosilia
hidung.
2.2.2.6 Paparan asap rokok
Özler dkk. (2014) dalam penelitiannya terhadap efek perokok pasif dan
aktif yang sedikitnya terkena paparan asap rokok selama tiga tahun terhadap
waktu bersihan mukosilia hidung menyatakan bahwa terdapat pemanjangan waktu
bersihan mukosilia hidung secara signifikan pada perokok pasif dan aktif bila
dibandingkan dengan kontrol. Penelitian mengenai transpor mukosilia memakai
metode sakarin dan pemeriksaan CBF in vitro pada perokok dan bukan perokok
memperlihatkan adanya perbedaan CBF rata - rata atau waktu transpor mukosilia
15
rata - rata yang bermakna. Pada perokok kronis kelainan transpor mukosilia bukan
disebabkan oleh CBF yang melambat tapi mungkin karena berkurangnya jumlah
silia atau perubahan viskoelastisitas mukus.
2.2.2.7 Diabetes mellitus
Penelitian Selimoglu dkk, 1999 tentang adakah perubahan waktu transpor
mukosila terkait dengan diabetes mellitus, menyatakan bahwa pemanjangan
waktu transpor pada penderita diabetes mungkin disebabkan oleh menurunnya
aktifitas ATP-ase, neuropati, berkurangya air dan elektrolit, serta akibat
perubahan metabolisme karbohidrat.
2.2.2.8 Infeksi dan rinitis alergi
Yadav dkk, 2003 menyatakan bahwa kecepatan transpor mukosilia hidung
pada penderita rinitis alergi menurun akibat sekresi hidung yang bersifat alkali,
yang mana merupakan kondisi ideal bagi fungsi silia. Walaupun demikian hal
sebaliknya terjadi pada kasus rinitis alergi yang sangat lama, berkaitan dengan
perubahan sifat reologi mukus hidung.
Pengaruh infeksi hidung sinus paranasal kronik terhadap waktu transpor
mukosilia telah diselidiki oleh Majima dkk. Penelitian tersebut meneliti
viskoelastisitas mukus penderita sinusitis kronis dan menyimpulkan bahwa
viskoelastisitas mukus yang mukopurulen lebih tinggi dibanding dengan yang
mukoid, selanjutnya menyebabkan gangguan transpor mukosilia (Majima dkk,
1993).
16
2.2.2 Pemeriksaan Fungsi Mukosilia
Efektivitas fungsi mukosilia didasarkan pada hubungan fungsional antara
tiga komponen yaitu mukus, gerakan silia dan cairan perisilia (Probst dkk, 2006).
Ada dua metode yang telah digunakan untuk mengevaluasi aktivitas silia
pada mukosa nasal yaitu: metode langsung dan tidak langsung. Metode langsung
menggunakan stroboscopy, roentgenography, maupun teknik photoelectron yang
membutuhkan tehnologi canggih sehingga tidak selalu tersedia pada masing-
masing pelayanan kesehatan. Sedangkan metode tidak langsung misalnya uji
sakarin atau penggunaan 99m
Tc-MAA, merupakan pemeriksaan yang aman,
mudah, cepat dan dapat dipercaya untuk menilai transpor mukosilia. Uji sakarin
lebih mudah dikerjakan dan tidak membutuhkan bahan dan alat yang mahal
(Naxakis dkk, 2009). Oleh karena ketersediaannya dan mudah dikerjakan uji
sakarin telah dikenal sebagai alat skrining yang paling bermanfaat terhadap
dismotilitas silia dan untuk mengevaluasi transpor mukosilia (Ramon dkk, 1999).
2.2.2.1 Uji Sakarin
Prinsip uji sakarin dan pemeriksan dengan zat pewarna adalah menghitung
waktu yang diperlukan untuk sakarin atau zat pewarna yang diletakkan di
belakang ujung anterior konka inferior untuk mencapai rongga faring (Ballenger,
2003).
Pada uji sakarin, 1 mm tablet sakarin diletakkan sekitar 1 cm di belakang
ujung anterior konka inferior untuk menghindari daerah metaplasia skuamosa
dengan menggunakan forsep kecil. Pasien diminta tetap bernapas biasa melalui
hidung, tanpa bersin, mengendus, makan maupun minum. Kemudian pasien
17
diminta untuk menelan satu kali setiap satu menit dan melaporkan jika merasakan
suatu rasa di tenggoroknya. Rasa alamiah tersebut tidak diberitahukan kepada
pasien sehingga pasien dapat ditanyakan mengenai kualitas sensasi tersebut.
Variasi lain adalah dengan memberikan pewarna pada sakarin dengan
menggunakan Evans blue, sehingga pewarna dapat terlihat di nasofaring
(Ballenger, 2003; Scadding dan Lund, 2004).
Gambar 2.3 Pemeriksaan dengan uji sakarin (Scadding dan Lund, 2004)
a. Forsep aligator dan tablet sakarin
b. Sakarin diletakkan kira-kira 1 cm di belakang ujung anterior konka
inferior
Valia dkk. (2008) menyatakan bahwa uji sakarin merupakan suatu pengukuran
yang reprodusibel karena pengulangan uji sakarin pada subjek yang sama pada
suatu interval waktu tertentu tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna pada
Wilcoxon T test dengan p = 0,28. Penelitian Corbo dkk. (1989) menunjukkan
bahwa reprodusibilitas uji sakarin adalah baik yang ditunjukkan dengan
konsistensinya yang baik antara pengulangan pengukuran dengan nilai interclass
correlation coefficient atau Ri=0,80 dan tidak terdapatnya perbedaan yang
signifikan antara dua pengukuran tersebut.
18
Penelitian Leung dkk. (2014) menyatakan bahwa lama waktu bersihan
mukosilia hidung pada sebagian besar subjek normal adalah 10 menit. Hasil ini
tidak berbeda jauh dengan penelitian Munir (2010) yang menyatakan bahwa
waktu transpor mukosilia hidung subjek normal adalah 9,49 ± 0,75 menit.
2.3 Mekanisme Pertahanan Tubuh
2.3.1 Daya pertahanan sinonasal melawan polusi udara
Sekitar 9000 liter udara melintasi rongga hidung setiap harinya. Hidung
melindungi sistem respirasi dengan cara menyaring udara, membersihkan berjuta -
juta partikel, bahan kimia dan mikroorganisme dari udara pernapasan. Polusi
udara bisa berbentuk gas ataupun partikel. Pengendapan polutan yang berbentuk
gas dalam rongga hidung tergantung pada daya larut gas, lamanya terpapar dan
faktor anatomi traktus sinonasal yang bisa diketahui melalui pola aliran udara
pernapasan. Untuk gas yang mudah larut seperti sulfur dioksida maka rongga
hidung merupakan filter yang sangat efektif. Rongga hidung efektif
menyingkirkan partikel yang berdiameter lebih dari 10 mikron. Apakah sistem
mukosilia bisa melindungi mukosa hidung terhadap gas inhalasi atau uap bahan
kimia seperti perlindungannya terhadap partikel belum banyak diketahui (Clerico,
2001).
Mekanisme pertahanan sinonasal terdiri dari transpor mukosilia, daya
reflek, daya imun dan daya pertahanan antimikroba. Reflek nasopulmoner, reflek
nasokardiak, reflek bersin melibatkan rongga hidung melalui mediasi saraf
trigeminal dengan koneksi sentralnya. Respon imun melibatkan sel imun dalam
19
sirkulasi maupun jaringan serta melibatkan daya pertahanan antimikroba dari
respon inflamasi nonseluler (Clerico, 2001).
Sitokrom P-450 banyak ditemukan pada mukosa hidung dan bertanggung
jawab terhadap biotransformasi bahan kimia endogen dan eksogen termasuk
polutan udara. Beberapa polutan mungkin memicu atau menekan ekspresi gen
yang mengkode ensim sitokrom P-450. Bahan kimia yang membahayakan akan
dinonaktifkan atau didetoksifikasi oleh sitokrom P-450 sementara bahan kimia
lain seperti trialkilfosforotiolat malah memerlukan aktifasi oleh sistem sitokrom
P-450 sebelum manjadi racun bagi jaringan. Oleh karena itu sistem sitokrom P-
450 berpotensi menyebabkan senyawa kimia yang tidak merusak kemudian
berefek merusak (Clerico, 2001).
2.3.2 Respon sinonasal akibat polutan dan mekanisme toksik polutan
Respon sinonasal terhadap bahan kimia inhalasi meliputi respon iritasi,
respon inflamasi, perubahan epitel, gangguan daya pertahanan hidung dan
resistensi aliran udara hidung. Respon sistemik terhadap polutan inhalasi seperti
respon imun telah terbukti mempunyai hubungan dengan terjadinya gangguan
sinus (Clerico, 2001).
2.3.2.1 Respon iritasi
Respon iritasi juga disebut dengan common chemical sense merupakan
bagian dari respon fisiologis awal terhadap inhalasi bahan kimia. Efek iritatif
antara lain berupa rasa terbakar di hidung dan mata, mata berair, sakit kepala,
batuk dan reflek apnea. Iritasi hidung dimediasi oleh saraf trigeminus yang ujung
sarafnya mengandung substan P (SP), calcitonin gene-related peptide (CGRP),
20
vasoactive intestinal polypeptide (VIP) dan neuropeptida lainnya. Penelitian
imunokimia mikroskop cahaya memperlihatkan serat imunoreaktif
(unmyelinatedneuro peptide-containing sensory nerves) meluas hampir ke seluruh
permukaan epitel rongga hidung. Pengamatan dengan mikroskop elektron
memperlihatkan lokasi ujung saraf tersebut berada dalam epitel hidung tepat di
bawah pertemuan antar sel yang tidak terpapar secara langsung kearah lumen
hidung (Clerico, 2001).
Lemak terlarut merupakan stimulus yang paling efektif bagi saraf
trigeminus intranasal untuk menyebabkan common chemical sense. Selain itu
beberapa polutan seperti ozon akan melemahkan hubungan antar epitel serta
meningkatkan permeabilitas mukosa. Zat yang sangat larut dalam air menembus
lapisan mukus dengan tekanan yang lebih besar. Percobaan pada binatang
pengerat menunjukkan bahwa serabut saraf yang mengandung CGRP-SP sering
ditemukan pada rongga hidung yang paling sempit seperti pada konka nasi yang
menyentuh septum atau pada pemukaan yang melengkung tajam. Tidak ada
penelitian pada manumur yang sebanding namun jika temuan ini konsisten maka
kemungkinan inflamasi neurogenik yang dipicu oleh polusi udara akan
mengakibatkan obstruksi pada saluran yang sempit seperti pada komplek
ostiomeatal sehingga sinusitis yang diakibatkannya nampak masuk akal. Substan
P bisa menyebabkan perubahan komposisi mukus hidung sehingga menggangu
daya pertahanan. Substan P juga mengubah aktifitas sekresi kelenjar rongga
hidung sehingga memperburuk kondisi patologi yang ada. Efek menyerupai
growth factor juga dikeluarkan oleh SP yang sebagian besar terjadi pada sel basal
21
dan kelenjar mukosa hidung. Pelepasan SP melalui stimulasi antidromik saraf
trigeminal menyebabkan pemanjangan periode vasodilatasi. Vasodilatasi tersebut
mengakibatkan kongesti mukosa dan berpotensi menyebabkan obstruksi ostium.
Pelepasan SP juga menyebabkan ekstravasasi plasma dan edema jaringan
sehingga memperbesar sumbatan ostium (Clerico, 2001).
2.3.2.2 Respon inflamasi
Inflamasi hidung akibat polusi udara mungkin berhubungan atau
tergantung pada mekanisme iritasi melalui inflamasi neurogenik. Inflamasi
neurogenik tersebut antara lain vasodilatasi, edema dan infiltrasi lekosit yang
dipicu oleh aktifasi ujung saraf sensoris. Neuropeptida seperti substan P,
neurokinin A dan CGRP berada di ujung saraf sensoris dan memiliki kemampuan
vasodilatasi yang kuat. Neutral endopeptidase (NEP) bertugas melakukan down
regulation inflamasi neurogenik melalui degradasi SP (Clerico, 2001).
Bukti eksperimental mendukung dugaan bahwa saraf sensoris bertindak
sebagai jaras aferen juga eferen bagi inflamasi neurogenik oleh karena iritasi
polutan. Berbagai bahan kimia seperti asap rokok, nikotin, kapsaisin, eter dan
formaldehid menyebabkan pelepasan SP dari mukosa hidung. Mekanisme lain
dari proses inflamasi yang diakibatkan oleh polusi udara terjadi melalui kerusakan
jaringan secara langsung oleh polutan itu sendiri. Beberapa polutan udara
diketahui bersifat sitotoksik dan merusak sel sehingga mengakibatkan pengerahan
sel - sel inflamasi (Clerico, 2001).
22
2.3.2.3 Respon imunitas hidung
Ada dua kemungkinan yang menerangkan bagaimana polusi bahan kimia
menyebabkan terjadinya infeksi sinus paranasal. Sistem transpor mukosilia yang
terganggu oleh berbagai bahan kimia akan menyebabkan retensi sekret sehingga
mengakibatkan infeksi. Mekanisme kedua melalui efek imunotoksik dari bahan
kimia tersebut. Gangguan kemampuan fagositosis menyebabkan penurunan daya
tahan tubuh dan terjadinya infeksi. Nampaknya polusi bahan kimia akan merusak
epitel sinonasal melalui mekanisme langsung maupun tidak langsung secara
bersamaan. Oleh karena itu paparan polutan tidak hanya mengurangi aliran
mukosilia sehingga kontak mukosa dengan mikroorganisme menjadi lebih lama
namun penyakit virus sendiri juga bisa menurunkan transpor mukosilia sehingga
memperpanjang kontak antara polutan dengan mukosa hidung (Clerico, 2001).
2.4.2.4 Perubahan epitel
Kerusakan epitel jalan napas disebabkan oleh karena adanya respon yang
berlebih terhadap stimulasi inhalasi bahan kimia. Polusi udara tersebut
melemahkan kekuatan intraepitel sehingga permeabilitas epitel meningkat
(Clerico, 2001).
2.3.2.5 Gangguan daya pertahanan tubuh
Polusi udara dapat menimbulkan efek buruk terhadap daya pertahanan
tubuh melalui berbagai cara. Aliran mukosilia adalah daya pertahanan tubuh yang
paling banyak dibicarakan. Iritasi oleh gas inhalasi dapat merangsang dan
menghambat fungsi mukosilia hidung. Polutan yang berkadar rendah dalam
jangka waktu pendek dalam beberapa penelitian terbukti merangsang aliran
23
mukosilia menandakan adanya mekanisme pertahanan. Tetapi polutan berkadar
tinggi dalam jangka panjang terbukti mengurangi aliran mukosilia. Penurunan
aliran mukus hidung yang berkepanjangan atau berulang - ulang oleh karena
paparan polutan dianggap sebagai faktor penyebab penyakit sinus kronis.
Mekanisme iritan inhalasi mengganggu fungsi mukosilia antara lain melalui
perubahan viskoelastisitas mukus, menyebabkan mukus sel goblet menjadi
lengket, mengganggu fungsi silia atau melalui perubahan ketebalan hypophase.
Gangguan mekanisme pertahanan hidung tersebut selanjutnya menyebabkan
waktu paparan mukosa sinonasal dengan zat inhalasi termasuk virus, bakteri,
partikel atau zat kimia semakin lama. Pada gilirannya terjadi lingkaran setan
antara kerusakan jaringan dan disfungsi daya pertahanan tubuh (Clerico, 2001).
2.3.2.6 Resistensi aliran udara hidung
Pemeriksaan rinometri yang dilakukan pada mereka yang terpapar sulfur
oksida berkadar 5 ppm menunjukkan adanya peningkatan resistensi aliran udara
hidung. Penderita sindroma sensitif bahan kimia multipel lebih peka terhadap
bahan kimia inhalasi sehingga resistensi aliran udara hidung pada penderita
tersebut akan lebih besar saat terpapar bahan kimia atau bau tertentu (Clerico,
2001).
2.4 Industri Konveksi
Industri konveksi adalah suatu perusahaan yang menghasilkan pakaian jadi,
baik pakaian wanita, pria, anak, olah raga dan lain-lain. Umumnya perusahaan
konveksi memiliki bahan baku berupa tekstil dari bermacam-macam jenis, seperti
24
katun, linen, polyester, rayon dan bahan-bahan sintesis lain ataupun bahan
campuran dari jenis bahan-bahan tersebut.
Proses dalam perusahaan konveksi ini merupakan kegiatan memproses kain
atau barang setengah jadi diubah menjadi pakaian siap jadi. Proses mengubah
material tersebut dibagi menjadi 4 bagian besar, yaitu proses memotong sesuai
dengan pola pakaian, proses menjahit, proses merapikan, dan proses pengepakan.
Bahan-bahan dan alat-alat yang dipergunakan dalam mengelola industri
konveksi ini dapat terjadinya faktor penyebab gangguan kesehatan dan
keselamatan kerja yang mempengaruhi tingkat produktivitas. Debu merupakan
salah satu produk sampingan atau limbah yang terbentuk akibat proses
pengolahan dari proses industri konveksi.
2.5 Debu
Debu merupakan salah satu bahan yang sering disebut sebagai partikel
yang melayang di udara (Suspended Particulate Matter/SPM) dengan ukuran 1
mikron sampai 500 mikron. Debu adalah partikel-partikel zat padat yang
dihasilkan oleh kekuatan-kekuatan alami atau mekanisme seperti pengolahan,
penghancuran, pelembutan, pengepakan dengan cepat, peledakan dan lain-lain,
baik dari bahan organik maupun non-organik. (Cayanto dkk, 2007;UU K3, 1970).
Debu merupakan salah satu bahan pajanan yang menimbulkan risiko
pekerjaan. Debu dapat mengakibatkan gangguan pernapasan bagi pekerja pada
industri yang berhubungan dengan debu pada proses produksinya. Sifat debu yang
disebarkan pada lingkungan kerja sangat berhubungan dengan sifat bahan dasar
25
penghasil debu tersebut. Hasil akhir efek samping debu industri tergantung pada
tipe debu yang dihirup dan tempat debu melekat pada saluran napas, hal tersebut
bergantung pada ukuran partikel debu tersebut, struktur saluran napas dan proses
bernapas itu sendiri. Debu memiliki beberapa sifat yaitu (Mengkidi, 2006):
a) Sifat pengendapan, yaitu debu yang cenderung selalu mengendap karena
gaya grafitasi bumi. Namun karena kecilnya kadang-kadang debu ini
relatif tetap berada di udara. Debu yang mengendap dapat mengandung
proporsi partikel lebih dari pada yang ada di udara.
b) Sifat permukaan basah, sifat permukaan debu akan cenderung selalu basah
dilapisi oleh air yang sangat tipis. Sifat ini penting dalam pengendalian
debu dalam tempat kerja.
c) Sifat penggumpalan, oleh karena permukaan debu selalu basah, sehingga
dapat menempel satu sama lain dan menggumpal. Kelembapan di bawah
saturasi kecil pengaruhnya terhadap penggumpalan debu. Akan tetapi bila
tingkat kelembapan di atas titik saturasi maka akan mempermudah
penggumpalan.
d) Sifat listrik statis, debu mempunyai sifat listrik statis yang dapat menarik
partikel lain yang berlawan dengan demikian partikel dalam larutan debu
mempercepat terjadinya penggumpalan.
e) Sifat Opsis, partikel yang basah/lembap lainnya dapat memancarkan sinar
yang dapat terlihat pada kamar gelap.
Pengaruh debu pada penyakit saluran napas ditentukan oleh sifat-sifat
debu itu sendiri, yaitu: ukuran debu, kadar debu, fibrogenitas debu dan tingkat
26
pajanan debu. Dahulu beberapa debu dianggap tidak berbahaya atau debu inert
karena debu yang berukuran 5-10 μm yang masuk ke dalam saluran napas akan
dikeluarkan seluruhnya. Hal ini terjadi jika jumlah debu yang masuk kurang dari
10 partikel. Jika jumlah debu yang masuk lebih dari 1000 partikel maka sekitar
10% akan tertimbun dalam saluran napas. Jika jumlahnya mencapai lebih dari
100.000 partikel maka persentase penimbunannya akan bertambah besar lagi
(Cayanto dkk, 2007; Wahab, 2001).
Debu industri yang terdapat dalam udara dibagi menjadi 2 yaitu:1).
Deposit particulate matter yaitu partikel debu yang hanya berada sementara di
udara dan partikel ini segera mengendap karena daya tarik bumi, 2) Suspended
particulate matter yaitu partikel debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah
mengendap dengan ukuran 1 mikron sampai 100 mikron (Cayanto dkk, 2007;
Wahab, 2001).
Berdasarkan fibrogenitasnya terhadap jaringan dibedakan debu fibrogenik dan
nonfibrogenik. Debu fibrogenik yaitu debu yang menimbulkan fibrosis jaringan,
misalnya debu batubara, debu silica dan debu asbes. Sedangkan debu
nonfibrogenik yaitu debu yang tidak menimbulkan reaksi jaringan. Pada awalnya
debu golongan ini dianggap tidak berbahaya bagi kesehatan, tetapi kemudian
diketahui kadar debu yang tinggi akan menyebabkan reaksi saluran napas seperti
hipertrofi dan hipersekresi saluran napas. Tingkat pajanan ditentukan oleh
lamanya waktu pajanan dan kadar debu rata-rata di udara lingkungan kerja
(Cayanto dkk, 2007; Wahab, 2001).
27
2.5.1 Debu dalam industri konveksi
Debu merupakan salah satu produk sampingan atau limbah yang terbentuk
akibat proses pengolahan dari proses pemotongan, menjahit dan merapikan bahan
tekstil. Bahan dasar tekstil terbanyak adalah kapas karena mempunyai keunggulan
ongkos tanam dan biaya pengolahan rendah (Mulyani, 2007). Kapas termasuk
noksa yang dapat merusak struktur anatomis organ dan perubahan fungsi. Noksa
adalah bahan yang dapat merusak struktur anatomis organ atau tubuh dan
sekaligus menimbulkan perubahan fungsi. Dalam lingkungan kerja, para pekerja
terpapar dan menghirup noksa yang berasal dari bahan baku hasil produksi,
produk sampingan, atau dari limbah. Secara umum noksa lingkungan dapat
digolongkan sebagai berikut:
1. Debu organik : nabati, hewani
2. Debu inorganik : pertambangan, industri logam, keramik
3. Gas iritan :industri petrokimia, farmasi
Debu pada industri konveksi dibedakan atas debu yang alami dan debu
dari bahan sintetis. Debu yang alami berasal dari bahan wool, sutera, linen, dan
katun sementara sebagian besar debu dari bahan sintetis adalah paparan debu
tersering yaitu berasal dari serat sintetis seperti polyamide dan acrylic. Sebagian
besar pakaian mengandung bahan sintetis seperti polyester, elastan dan lycra, hal
ini disebabkan karena harganya yang murah dan mudah perawatannya menjadi
pilihan utama industri konveksi. Namun proses pengolahan bahan ini pada
industri konveksi menimbulkan polusi dan sulit untuk didaur ulang (Mulyani,
2007).
28
2.5.2 Debu kapas
Debu kapas adalah debu organik yang terlepas ke udara selama tindakan
pengolahan serat kapas yang mengandung banyak bahan seperti komponen
tumbuhan, serat, bakteri, jamur, pestisida, dan kontaminan lainnya yang dapat
berakumulasi dengan kapas selama proses menanam, panen, pengangkutan dan
pemintalan. Debu kapas juga dapat didefinisikan sebagai semua debu yang timbul
akibat proses pengolahan kapas hingga proses penjahitan kain, pemotongan kain,
proses setrika dan pengepakan (Mulyani, 2007).
Pembagian debu kapas berdasarkan tipenya dibagi menjadi 3, yaitu: 1.)
Inhalable dust yaitu partikel debu yang dapat terhirup dan terdeposit di saluran
napas seperti mulut dan hidung, 2.) Thoracic dust yaitu material berbahaya yang
dapat masuk ke dalam paru-paru dan ikut dalam pertukaran udara, 3.) Respirable
dust yaitu fraksi dari debu yang dapat masuk mencapai alveoli paru (Mulyani,
2007).
Ukuran debu sangat bervariasi, berikut klasifikasi debu kapas berdasarkan
ukuran partikel debu seperti tertera dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Klasifikasi debu berdasarkan ukuran partikel
Tipe Ukuran partikel (µm)
Sampah debu Di atas 500
Debu 50-500
Debu mikro 15-50
Debu yang dapat terhirup Kurang dari 15
29
Pada perusahaan tekstil dampak negatif terhadap polusi udara sangat
bervariasi. Proses spinning dan weaving akan mempengaruhi kualitas udara
sementara proses dyening dan printing yang menggunakan zat kimia akan
melepaskan zat-zat yang mudah menguap dan berbahaya bagi kesehatan. Debu
kapas menimbulkan reaksi alergi dan iritasi terhadap saluran napas manusia,
mulai dari saluran napas bagian atas berupa hipersekresi kelenjar mukosa hidung
maupun peradangan pada sinus paranasalis. Debu kapas termasuk debu organik
yang bersifat alergen terhadap saluran napas yang dapat menyebabkan rinitis
alergi pada penderita alergi (Wahab, 2001).
2.5.3 Kadar debu total
Dalam Enviromental Protection Departement (WHO, 2005) disebutkan
kadar debu total atau juga dikenal sebagai partikulat tersuspensi total (TSP)
mengacu pada semua partikel di atmosfer. Kadar debu total merupakan pertikel di
udara yang memiliki diameter kurang dari 100 µm (mikrometer). Di antara kadar
debu total, termasuk partikel yang dapat terhisap oleh sistem pernapasan. Partikel
ini merupakan partikel di atmosfer yang memiliki ukuran sama dengan atau
bahkan kurang dari 10 µm (WHO, 2005).
2.5.4 Nilai Ambang Batas (NAB) Debu
Nilai Ambang Batas adalah parameter yang banyak digunakan untuk
mengukur keadaan udara di dalam lingkungan kerja. Nilai Ambang batas adalah
konsentrasi dari zat, uap dan gas dalam udara yang dapat dihirup dalam 8 jam
sehari atau 40 jam seminggu yang hampir semua tenaga kerja dapat terpajan
30
berulang kali sehari-hari dalam melakukan pekerjaan tanpa gangguan kesehatan
yang berarti. Nilai Ambang Batas hanya merupakan alat atau pedoman yang
mengikat untuk diperhatikan dari segi kesehatan dan keselamatan kerja. Namun
bila NAB sudah diterapkan, bukan berarti para pekerja tersebut terbebas dari
semua resiko yang mungkin timbul di lingkungan kerja. (Depkes RI, 2008).
Nilai Ambang Batas debu mengikuti ambang batas udara ambien yaitu
berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999
atau PP RI No. 41 tahun 1999 menyebutkan NAB dalam 1 jam adalah 90 µg/Nm3
sedangkan dalam 24 jam adalah 230 µg/Nm3. Menurut Keputusan Menteri
Kesehatan (Kepmenkes) No.1405/MENKES/SK/XI/2002 NAB maksimal di
industri sebesar 10mg/m3. Penelitian pendahuluan dan pengukuran kadar debu di
perusahaan tekstil X pada tahun 2001 diperoleh NAB debu kapas yaitu 0,114-
0,148mg/m3 pada unit spinning dan 0,223-0,614 mg/m
3 pada unit carding
(Wahab, 2001).
2.5.5 Pengukuran debu
Kuantitas pajanan terhadap debu didefinisikan menjadi beberapa istilah
yaitu kadar debu total (total dust), kadar debu terhirup (respirable dust) dan kadar
debu dosis kumulatif. Debu total dihitung dengan menggunakan pengumpul debu
pasif. Debu total ini kurang berpengaruh terhadap kesehatan karena ukuran debu
tidak spesifik. Kadar debu terhirup adalah partikel debu dengan diameter
aerodinamik rata-rata 4 mikron (0-100 mikron), partikulat yang terhirup adalah
partikel yang ditangkap oleh filter nylon cyclone diameter 10 mm dengan
31
kecepatan 1,7 liter/menit. Sedangkan kadar debu kumulatif adalah perkalian antar
kadar debu terhirup dan lama pajanan (Wahab, 2001).
2.5.5.1 Konsentrasi partikel debu
Semakin tinggi konsentrasi partikel debu dalam udara dan semakin lama
pajanan berlangsung, jumlah partikel yang mengendap di paru juga semakin
banyak (Yunus, 2003).
2.5.5.2 Lama Pekerjaan
Jenis pekerjaan dalam industri mempengaruhi risiko terjadinya pajanan
debu. Pekerja yang memiliki resiko tinggi terpapar debu adalah pekerja yang
berhubungan dengan proses produksi (Suherman, 2013).
2.6 Paparan Debu pada Perusahaan Konveksi dan Waktu Transpor
Mukosilia
Bekerja dalam lingkungan yang dipenuhi oleh debu menyebabkan
terhirupnya debu ke saluran napas yang dapat menyebabkan masalah kesehatan
apabila partikel debu tersebut mengendap dan kontak langsung dengan saluran
napas. Pada saat bernapas partikel mengendap di saluran napas. Rute utama
pernapasan adalah melalui hidung. Kemampuan mengendap dari debu tergantung
dari ukuran, bentuk, kelarutan dan surface chemistry (Wahab, 2001).
Paparan debu yang akan mempengaruhi waktu transpor mukosilia, mulai
dari gangguan yang ringan (terganggunya fungsi silia) hingga yang lebih berat
berupa kerusakan atau perubahan struktur (hiperplasia kelenjar mukus dan
32
peningkatan sel piala) maupun gangguan yang benar-benar patologi (metaplasia
sel skuamosa sampai karsinoma) (Watelet dkk., 2002; Irawan, 2004).
Debu pada perusahaan konveksi berasal dari bahan yang terbanyak
digunakan pada pabrik konveksi yaitu bahan tekstil kain yang berasal dari kapas.
Beberapa penelitian menunjukkan pengaruh debu kapas terhadap penurunan
fungsi paru dan bisinosis (Syahputra dkk., 2015; Fadli dkk., 2012) namun
penelitian mengenai pengaruh debu kapas terhadap waktu transpor mukosilia
masih jarang.
Paparan debu organik dari perusahaan tekstil dapat menimbulkan penyakit
paru-paru obstruktif seperti asma dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
Paparan debu organik ini dapat menyebabkan terjadinya inflamasi persisten yang
tampak dari inversi makrofag paru, perubahan rasio dendrit. Sejumlah mikroba
telah tebukti terdapat pada kapas seperti kuman gram negatif, kuman gram positif,
actinomyces dan berbagai jamur. Endotoksin yang dihasilkan oleh kuman gram
negatif inilah yang dapat mempengaruhi pergerakan silia dan fungsi paru
(Akunsari dkk., 2010).
Ahmed, 2012 menemukan bahwa pada perusahaan tekstil selain faktor
lokasi bekerja (spinning dan carding) memiliki paparan debu kapas yang lebih
tinggi, hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa deposit jamur Aspergilus niger dan
Penicillium juga dijumpai dapa paru lobus kanan dan kiri pekerja bagian tersebut.
Sebuah literatur mengemukakan bahwa proses flocking pada perusahaan
konveksi di Ontario pada tahun 1990, yaitu proses memotong bahan yang
mengandung serat sintetis (nylon, rayon dan polyester) menjadi potongan kecil
33
untuk membuat pakaian menimbulkan pneumositis dengan gejala batuk progresif
dan sesak. Akunsari dkk., 2010 juga menyatakan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan terhadap paparan debu kapas dan penurunan fungsi paru fungsi paru
tenaga kerja wanita di Sukoharjo.
Penelitian Sangeetha dkk., 2013 menunjukkan bahwa lokasi (bagian
knitting) tempat bekerja pada perusahaan tekstil dan konveksi memiliki paparan
debu kapas yang paling tinggi dan dapat mempengaruhi fungsi paru.
2.7 Lama Bekerja dan Waktu Transpor Mukosilia
Paparan debu yang akan mempengaruhi waktu transpor mukosilia bukan
hanya dipengaruhi oleh ukuran partikel debu namun juga lamanya pajanan
terhadap partikel tersebut. Apabila endapan debu atau partikel ini berlebihan atau
berlangsung terus-menerus dapat mengakibatkan gangguan pada mukosa hidung
(Suherman, 2013).
Penelitian Soemadi dkk., 2009 menyimpulkan bahwa waktu transpor
mukosilia dipengaruhi oleh lama masa bekerja, semakin lama kerja karyawan
tersebut maka semakin tinggi waktu transpor mukosilia ( Spearman rho’s=0,774
dan p = 0,000). Waktu transpor mukosilia pada karyawan perusahaan mebel
mengalami perubahan yang bermakna setelah mereka bekerja selama minimal 3
tahun, dan perubahan tersebut semakin bermakna seiring dengan bertambahnya
lama kerja. Peningkatan waktu transpor mukosilia ini berawal dari mekanisme
pengendapan partikel debu kayu yang kemudian menyebabkan gangguan transpor
mukosilia. Terganggunya transpor mukosilia menyebabkan terganggunya
bersihan partikel, sehingga kontak partikel dengan mukosa hidung menjadi lebih
34
lama . Kondisi ini dapat menimbulkan peradangan maupun ulserasi pada mukosa
hidung secara langsung. Epitel cenderung kehilangan silia dan jumlah sel goblet
meningkat.
Syahputra dkk., 2015 menyatakan bahwa masa kerja > 5 tahun, kebiasaan
merokok, dan laki-laki usia yang lebih tua dan pendidikan menengah ke bawah
memiliki kecenderungan menderita bisinosis akibat paparan debu kapas (p =
0,005).
Suherman (2013) di Yogyakarta menyatakan bahwa lama bekerja pada
pekerja kerajinan perak memiliki korelasi yang sangat kuat (r = 0,856 p <0,05)
dan mempengaruhi transpor musilia hidung sebesar 79,3%. Black dkk (1974) juga
melaporkan adanya gangguan fungsi mukosilia hidung akibat paparan debu kayu
selama lebih dari 10 tahun.
Penelitian Legrans (2015) mendapatkan kejadian rinitis akibat kerja pada
pekerja konveksi lebih tinggi pada masa kerja ≥60 bulan yaitu sebesar 81,8%
dibandingkan masa kerja <60 bulan (45,8%) dengan odd ratio 5,3 dan p<0,01.
Walusiak (2006) mendapatkan insiden rinitis akibat kerja cukup tinggi
yaitu 8,4% setelah 1 tahun bekerja dan 12,5% setelah 2 tahun bekerja. Sedangkan
Gautrin dkk (2006) insiden gejala rinitis meningkat pada pekerja dengan masa
kerja 12-20 bulan dan terus meningkat pada masa kerja lebih dari 24 bulan.