bab ii kajian pustaka 2.1 penuaan - sinta.unud.ac.id ii.pdf · 2.1.1 definisi penuaan ... (hormon...

35
1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penuaan Penuaan merupakan suatu proses yang pasti dialami oleh setiap manusia. Penuaan merupakan penurunan fungsi biologik dari usia kronologik (Fowler, 2003). Penuaan dapat ditandai dengan penurunan energi, massa otot, dan gangguan kognitif (Null, 2006). Proses penuaan dapat dicegah, diobati dan dikembalikan ke keadaan semula (Pangkahila, 2007). Untuk mencapai kualitas hidup yang baik pada usia lanjut, maka kita perlu melakukan modifikasi gaya hidup, seperti mengatur pola hidup, makan, tidur, serta olahraga. Pola hidup sehat dapat meningkatkan kualitas hidup. 2.1.1 Definisi Penuaan Penuaan adalah penurunan dalam proses fisiologis setelah melewati fase reproduktif dari kehidupan (Halliwell dan Gutteridge, 2007). Seiring dengan bertambahnya usia, kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya semakin berkurang (Rohana, 2011). 2.1.2 Teori Penuaan 2.1.2.1 Teori “Wear and Tear” Teori ini menjelaskan bahwa tubuh dan selnya mengalami kerusakan karena penggunaan yang berlebihan dan di salah gunakan (overuse and abuse). 7

Upload: doanlien

Post on 06-Feb-2018

233 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

1

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penuaan

Penuaan merupakan suatu proses yang pasti dialami oleh setiap manusia.

Penuaan merupakan penurunan fungsi biologik dari usia kronologik (Fowler,

2003). Penuaan dapat ditandai dengan penurunan energi, massa otot, dan

gangguan kognitif (Null, 2006). Proses penuaan dapat dicegah, diobati dan

dikembalikan ke keadaan semula (Pangkahila, 2007). Untuk mencapai kualitas

hidup yang baik pada usia lanjut, maka kita perlu melakukan modifikasi gaya

hidup, seperti mengatur pola hidup, makan, tidur, serta olahraga. Pola hidup sehat

dapat meningkatkan kualitas hidup.

2.1.1 Definisi Penuaan

Penuaan adalah penurunan dalam proses fisiologis setelah melewati fase

reproduktif dari kehidupan (Halliwell dan Gutteridge, 2007). Seiring dengan

bertambahnya usia, kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan

mempertahankan struktur dan fungsi normalnya semakin berkurang (Rohana,

2011).

2.1.2 Teori Penuaan

2.1.2.1 Teori “Wear and Tear”

Teori ini menjelaskan bahwa tubuh dan selnya mengalami kerusakan

karena penggunaan yang berlebihan dan di salah gunakan (overuse and abuse).

7

2

Organ tubuh seperti hati, lambung, ginjal, kulit dan lainnya, menurun karena

toksin di dalam makanan dan lingkungan, konsumsi berlebihan lemak, gula,

kafein, alkohol, dan nikotin, karena sinar ultraviolet, dan karena stres fisik dan

emosional. Kerusakan ini terjadi pada organ dan di tingkat sel.

2.1.2.2 Teori Radikal Bebas

Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme dapat menjadi tua karena

terjadi kerusakan oleh radikal bebas. Radikal bebas ialah molekul yang

mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas ini

akan merusak molekul yang elektronnya ditarik oleh radikal bebas tersebut,

sehingga menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel, dan akhirnya

kematian sel. Molekul di dalam tubuh yang dapat dirusak oleh radikal bebas ialah

DNA, lemak, dan protein. Dengan bertambahnya usia, maka akumulasi kerusakan

sel akibat radikal bebas semakin bertambah, sehingga mengganggu metabolisme

sel, meransang mutasi sel, yang pada akhirnya menyebabkan kanker dan

kematian. Teori ini meyakinkan bahwa pemberian suplemen yang tepat dan

pengobatan yang tidak terlambat dapat mengembalikan proses penuaan.

Mekanismenya dengan meransang kemampuan tubuh untuk melakukan perbaikan

dan mempertahankan organ tubuh dan sel (Pangkahila, 2007)

2.1.2.3 Teori Kontrol Genetika

Terjadi penurunan kode genetik yang memprogram sandi sepanjang

DNA yang menentukan umur harapan hidup dan kecepatan proses penuaan setiap

individu. Pola hidup penuaan menentukan waktu jam biologis seseorang, di mana

3

dengan terhentinya jam biologis menandakan proses penuaan (Goldman dan

Klatz, 2003).

2.1.2.4 Teori Neuroendokrin

Teori ini berdasarkan peranan berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh.

Dengan bertambahnya usia kemampuan tubuh untuk memproduksi hormon

berkurang, yang pada akhirnya akan mengganggu berbagai sistem tubuh

(Goldman dan Klatz, 2003).

2.1.3 Faktor yang Mempercepat Penuaan

Beberapa faktor yang dapat mempercepat proses penuaan yaitu faktor

lingkungan (berupa pencemaran lingkungan yang meningkatkan kadar hormon

prolaktin dan menyebabkan apoptosis; paparan sinar matahari yang dapat

menurunkan elastisitas dan merusak kolagen kulit sehingga mempercepat proses

penuaan pada kulit), faktor diet/makanan (zat pengawet dan pewarna makanan

menimbulkan kerusakan organ tubuh terutama hati), faktor genetik (infeksi virus,

radiasi serta racun yang diserap oleh tubuh dapat mempengaruhi faktor genetik),

faktor psikis (menyebabkan proses apoptosis pada tubuh), faktor organik

(obesitas, tingkat kebugaran tubuh yang rendah, konsumsi makanan yang kurang

sehat, penurunan Growth Hormone, Insulin Growth Factor-I, testosteron dan

melatonin menyebabkan gangguan circadian rhythm) (Pangkahila, 2013).

Salah satu faktor yang paling sering menyebabkan berbagai penyakit

akibat penuaan seperti penyakit kardiovaskular, diabetes mellitus dan gangguan

muskuloskeletal adalah obesitas. Obesitas dapat meningkatkan stress oksidatif

dan inflamasi pada tubuh yang kemudian dapat menyebabkan pemendekan

4

telomer. Telomer adalah suatu struktur protein DNA yang berfungsi sebagai

penanda usia biologis (Tzanetakou et al., 2012).

2.2 Obesitas

2.2.1 Definisi Obesitas

Obesitas adalah kelebihan lemak dalam tubuh, yang umumnya ditimbun

dalam jaringan subkutan (bawah kulit), sekitar organ tubuh dan kadang terjadi

perluasan ke dalam jaringan organnya (Misnadierly, 2007). Obesitas merupakan

keadaan yang menunjukkan ketidakseimbangan antara tinggi dan berat badan

akibat jaringan lemak dalam tubuh sehingga terjadi kelebihan berat badan yang

melampaui ukuran ideal (National Institutes of Health, 2011).

Overweight didefinisikan memiliki berat badan berlebih jika dibandingkan

dengan orang sehat yang seumur. Istilah obesitas digunakan pada orang yang

sangat overweight dengan presentasi lemak tubuh yang tinggi. (Stern et al., 2013)

2.2.2 Epidemiologi Obesitas

Sebelum abad ke-20, obesitas jarang ditemui; tetapi pada 1997 WHO

secara resmi menyatakan obesitas sebagai epidemik global (Haslam, 2007).

Hingga 2005, WHO memperkirakan sedikitnya 400 juta orang dewasa (9,8%)

mengalami obesitas, dengan lebih banyak wanita dibandingkan pria. Angka

obesitas juga naik dengan bertambahnya usia setidaknya hingga usia 50 sampai

60 tahun dan obesitas berat di Amerika Serikat, Australia, dan Kanada meningkat

lebih cepat dibandingkan angka obesitas secara keseluruhan (WHO, 2009).

5

Dahulu, obesitas dianggap sebagai masalah negara-negara berpenghasilan

tinggi, namun saat ini angka obesitas meningkat di seluruh dunia dan

mempengaruhi baik dunia maju maupun dunia berkembang. Peningkatan ini

dirasakan paling dramatis di daerah perkotaan. Satu-satunya bagian dunia dimana

obesitas jarang ditemukan adalah di Afrika sub-sahara (Haslam, 2007).

2.2.3 Etiopatogenesis Obesitas

a. Genetik

Faktor genentik dan lingkungan merupakan faktor utama dalam

perkembangan obesitas. Efek genetik bersifat kompleks dan poligenik

dengan kemungkinan diturunkan 40%-70%. Suatu studi dimana beberapa

orang kembar monozigot yang diberi makanan berlebih sebanyak 100

kkal/hari, 6 hari perminggu selama lebih dari 100 hari ditemukan bahwa

jumlah pertambahan berat badan yang secara signifikan bervariasi di

antara pasangan kembar tersebut. Bagaimanapun juga, kemiripan pada

setiap pasang kembar baik berat badan , presentasi lemak tubuh, massa

lemak dan estimasi lemak subkutan. Observasi ini menunjukkan bahwa

faktor genetik secara signifikan terlibat dan berperan dalam penyimpanan

energi (Frayling et al., 2011).

b. Lingkungan

Makanan dengan kandungan lemak tinggi tersedia dengan mudah, tinggi

kalori, berhubungan dengan gaya hidup jarang berolahraga. (National

Institutes of Health, 2011)

c. Neuroendokrin

6

Neuropeptida Y (hormon Hipotalamus yang merangsang nasfu makan)

dan leptin (hormon peptida yang disintesa di jaringan lemak yang bekerja

di hipotalamus untuk menekan asupan makanan dan pengeluaran energi),

bekerja sama dengan neurotransmiter lain, mengatur keseimbangan energi.

Mutasi dari reseptor dan transmiter berhubungan dengan obesitas pada

tikus percobaan dan beberapa kasus obesitas berat yang jarang pada

manusia (National Institutes of Health, 2011)

d. Obat-obatan

Obat-obatan yang terbukti meningkatkan terjadinya obesitas semisal obat

anti depresan (amitriptyline, nortriptyline, paroxetine), inhibitor

monoamine oxidase (imipramine, mitrazapine), anti konvulsan (asam

valproat, carbamazepine, gabapentin), anti diabetes (insulin, sulfonilurea,

thiazolidinediones), hormon steroid (kontrasepsi, glukokortikoid,

progestational steroids), anti histamin (siproheptadin) (Haslam, 2007).

2.2.4 Klasifikasi Obesitas

Obesitas adalah suatu kondisi medis berupa kelebihan lemak tubuh yang

terakumulasi sedemikian rupa hingga menyebabkan dampak merugikan bagi

kesehatan. Obesitas dinilai berdasarkan indeks massa tubuh (IMT), dan

selanjutnya berdasarkan distribusi lemak melalui rasio pinggang-panggul dan total

faktor risiko kardiovaskular. IMT sangat erat hubungannya dengan persentase

lemak tubuh dan total lemak tubuh (Gray et al., 2011)

7

Pada anak, berat badan yang sehat bervariasi berdasarkan usia dan jenis

kelamin. Obesitas pada anak dan remaja tidak didefinisikan dengan suatu angka

mutlak, namun berhubungan dengan riwayat kelompok dengan berat badan yang

normal, obesitas didefinisikan apabila IMT lebih besar dari persentil ke-95

(Hollman, M, et al, 2009).

Tabel 2.1: IMT Penduduk Asia Dewasa (IOTF, WHO 2009)

IMT dihitung dengan cara membagi berat badan subjek dengan kuadrat tinggi

badannya, yang biasanya ditulis baik dalam satuan metrik maupun dalam sistem

Amerika :

Metrik: IMT = kg/meter2

Sistem Amerika dan imperial: IMT = lb/inch2

lb adalah berat badan subyek dalam pon dan inch adalah tinggi badan subyek

dalam inci.

Beberapa lembaga membuat modifikasi dari definisi WHO tersebut. Literatur

IMT Klasifikasi

< 18.5 berat badan kurang

18.5–22.9 normal

23.0–24.9 berat badan lebih

25.0–29.9 obesitas kelas I

≥ 30.0 obesitas kelas II

8

Bedah membagi obesitas "kelas III" menjadi beberapa kategori, yang angkanya

masih menjadi perdebatan (Sturm, 2007):

IMT ≥ 35 atau 40 disebut obesitas berat

IMT ≥ 35 atau 40–44.9 atau 49.9 disebut obesitas morbid

IMT ≥ 45 atau 50 disebut obesitas super/super obese

Karena populasi Asia memperlihatkan dampak negatif obesitas terhadap

kesehatan pada nilai IMT yang lebih rendah dibandingkan populasi Kaukasia,

beberapa negara membuat definisi ulang obesitas; seperti di Jepang yang

mendefinisikan obesitas sebagai nilai IMT lebih dari 25 sedangkan China

menggunakan nilai IMT lebih dari 28 (Kanazawa, 2010)

2.2.5 Faktor Risiko Obesitas

Pada individu per individu, kombinasi antara kelebihan asupan energi

makanan dan kurangnya aktivitas fisik dapat menjelaskan sebagian besar kasus

obesitas (Lau et al., 2007). Sejumlah kecil kasus umumnya disebabkan oleh faktor

genetik, alasan medis, atau penyakit kejiwaan. Sebaliknya pada masyarakat, laju

obesitas yang meningkat mungkin disebabkan karena pola makan yang tidak

terkontrol, meningkatnya ketergantungan pada mobil, dan meningkatnya

penggunaan mesin untuk proses produksi.

2.2.5.1 Pola makan

Ketersediaan pedoman nutrisi secara luas tidak terlalu berperan dalam

mengatasi masalah makan berlebih dan pilihan makanan yang buruk. Sejak 1971

hingga 2000, laju obesitas di Amerika Serikat meningkat dari 14.5% ke 30.9%

9

(Flegal, 2002). Dalam kurun waktu yang sama, peningkatan juga terjadi pada

rerata jumlah energi makanan yang dikonsumsi. Untuk wanita, rerata kenaikan

adalah sebesar 335 kalori per hari (1,542 kalori pada 1971 dan 1,877 kalori pada

2004), sementara untuk laki-laki rerata kenaikan adalah 168 kalori per hari

(2,450 kalori pada 1971 dan 2,618 kalori pada 2004). Sebagian besar kelebihan

energi makanan ini berasal dari meningkatnya konsumsi karbohidrat dan bukan

dari konsumsi lemak. Sumber utama karbohidrat berlebih ini berasal dari

minuman manis, yang saat ini mencapai hampir 25 persen energi makanan harian

dewasa muda di Amerika dan keripik kentang (Hao, 2011). Konsumsi minuman

manis dipercaya sebagai penyumbang naiknya angka obesitas.

2.2.5.2 Gaya hidup kurang bergerak

Gaya hidup kurang bergerak mempunyai peran yang penting dalam

terjadinya obesitas. Di seluruh dunia terjadi kecenderungan pergeseran pekerjaan

yang menuntut aktivitas fisik yang lebih sedikit dan saat ini setidaknya 60%

populasi dunia tidak melakukan olahraga yang cukup (WHO, 2009). Hal ini

terutama disebabkan oleh bertambahnya penggunaan transportasi mekanik dan

bertambahnya teknologi hemat tenaga fisik yang ada di rumah. Pada anak-anak,

penurunan aktivitas fisik tampaknya terjadi karena kurang berjalan kaki dan

kurangnya pelajaran olah raga. Kecenderungan dunia dalam mengisi waktu luang

secara aktif aktivitas fisik tampak kurang nyata. Organisasi Kesehatan Dunia

menyatakan bahwa orang di seluruh dunia kurang mencari kegiatan rekreasi yang

melibatkan aktivitas fisik, sementara studi di Finlandia memperlihatkan adanya

10

peningkatan dan studi di Amerika Serikat menunjukkan tidak adanya perubahan

signifikan dari kegiatan rekreasi yang melibatkan aktivitas fisik (WHO, 2009).

Baik pada anak maupun dewasa, terdapat hubungan antara lamanya waktu

menonton televisi dengan risiko obesitas. Suatu kajian menemukan bahwa 63 dari

73 penelitian (86%) menunjukkan adanya peningkatan angka obesitas anak

seiring dengan meningkatnya paparan media, dengan angka yang meningkat

secara proporsional terhadap waktu yang dihabiskan untuk menonton televisi

(Ezekiel, 2009).

2.2.5.3 Genetika

Seperti sejumlah kondisi medis lainnya, obesitas merupakan hasil

perpaduan antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Polimorfisme pada

berbagai gen yang mengontrol nafsu makan dan metabolisme merupakan

predisposisi terjadinya obesitas apabila terdapat energi makanan yang cukup. Pada

2006 lebih dari 41 situs ini telah ditautkan dengan terjadinya obesitas apabila

terdapat lingkungan yang sesuai (Loos, 2010). Seseorang yang memiliki dua

rangkap gen FTO (gen yang berhubungan dengan massa lemak dan obesitas) telah

ditemukan rata-rata mempunyai berat lebih banyak 3–4 kg dan berisiko

mengalami obesitas 1,67- kali lebih besar dibandingkan seseorang yang tanpa

risiko alel. Persentasi populasi obesitas yang disebabkan oleh faktor genetik

cukup bervariasi, bergantung pada populasi yang diperiksa, dan berkisar antara

6% hingga 85% (Yang, 2011). Studi yang berfokus pada pola keturunan

dibandingkan gen spesifik telah menemukan bahwa 80% keturunan dari dua orang

tua yang obesitas juga mengalami obesitas orang tua yang obesitas, sangat kontras

11

dengan hanya kurang dari 10% keturunan dari dua orang tua dengan berat badan

normal (Kolata, 2007).

2.2.5.4 Penyakit lain

Penyakit fisik dan mental tertentu dan obat-obatan yang digunakan untuk

menanganinya dapat meningkatkan risiko obesitas. Penyakit medis yang dapat

meningkatkan risiko obesitas mencakup beberapa sindrom genetik yang langka

(diuraikan di atas) dan juga beberapa kelainan atau kondisi bawaan:

hipotiroidisme, Sindrom Cushing, defisiensi hormon pertumbuhan, defisiensi

testosteron atau estrogen (WHO, 2009). Hormon seks seperti estrogen dan

testosteron mempengaruhi distribusi lemak tubuh dan diferensiasi jaringan

adiposa. Selain itu reseptor estrogen dan testosteron juga meregulasi beberapa

aspek dalam metabolisme glukosa dan lipid. Gangguan signal metabolik ini dapat

menyebabkan terjadi sindroma metabolik yang ditandai dengan obesitas

abdominal dan gangguan profil lipid dan glukosa (Lizcano, et al, 2014).

Meskipun demikian, obesitas tidak dianggap sebagai kelainan psikiatri,

sehingga tidak terdaftar dalam DSM-IVR sebagai penyakit psikiatri (Zametkin,

2004). Risiko kelebihan berat badan dan obesitas lebih tinggi pada pasien dengan

kelainan psikiatrik dibandingkan dengan seseorang tanpa kelainan psikiatrik.

Pengobatan tertentu dapat menyebabkan naiknya berat badan atau perubahan pada

komposisi tubuh; yang mencakup insulin, sulfonilurea, thiazolidinedione,

antipsikotik atipikal, antidepresan, steroid, antikonvulsan tertentu, (fenitoin dan

valproat), pizotifen, dan beberapa bentuk kontrasepsi hormonal (Haslam, 2007).

12

2.2.5.5 Determinan sosial

Korelasi antara kelas sosial dan BMI sangat bervariasi. Suatu tinjauan

pada 1989 menemukan bahwa di negara maju, perempuan dari kelas sosial tinggi

jarang menjadi gemuk. Tidak terlihat perbedaan yang bermakna pada laki-laki

dengan kelas sosial yang berbeda. Di negara berkembang, perempuan, laki-laki,

dan anak-anak dari kelas sosial tinggi mempunyai tingkat obesitas yang lebih

besar (Sobal, 2012). Melemahnya hubungan korelasi ini mungkin disebabkan

karena efek globalisasi (Mclaren, 2007). Di negara maju, tingkat obesitas pada

orang dewasa, persentasi remaja yang kelebihan berat badan, berkorelasi dengan

ketidakseimbangan pendapatan. Hubungan yang serupa terlihat di antara negara

bagian di AS: lebih banyak orang dewasa, bahkan dari kelas sosial tinggi,

menderita obesitas pada negara bagian yang tidak seimbang.

Banyak penjelasan yang dikemukakan tentang hubungan antara BMI dan

kelas sosial. Diperkirakan di negara maju, yang kaya lebih mampu untuk membeli

makanan bergizi, mereka berada di bawah tekanan sosial untuk tetap langsing,

dan mempunyai lebih banyak kesempatan dan juga harapan untuk kebugaran fisis.

Di negara belum maju kemampuan untuk membeli makanan, kebutuhan energi

tinggi karena pekerjaan fisis, dan nilai budaya yang menyukai badan berukuran

besar, dipercaya memberikan kontribusi pada pola yang terlihat (Mclaren, 2007).

Sikap seseorang terhadap massa tubuhnya juga memainkan peran yang penting

dalam terjadinya obesitas. Suatu korelasi terhadap perubahan IMT sejalan dengan

waktu telah ditemukan di antara teman, saudara, dan pasangan. Stres dan

13

pandangan tentang status sosial yang rendah juga meningkatkan risiko obesitas

(Pulver, 2013).

2.2.6 Tatalaksana obesitas

Tata laksana utama obesitas terdiri dari diet dan latihan fisis. Program diet

dapat menghasilkan penurunan berat badan dalam jangka pendek tetapi

mempertahankan penurunan berat badan ini seringkali merupakan hal yang sulit

dan memerlukan latihan dan diet makanan berenergi rendah sebagai bagian dari

gaya hidup yang bersifat permanen. Keberhasilan untuk mempertahankan

penurunan berat badan jangka panjang dengan perubahan gaya hidup masih

rendah, yaitu berkisar antara 2–20% (Wing et al., 2005).

a. Diet

Diet adalah mengurangi pemasukan kalori yang biasanya dilakukan

dengan mengurangi lemak yang tinggi dalam makanan. Jika pemasukan

secara teratur melebihi pengeluaran, maka berat badan akan bertambah.

Jika pengeluaran kalori melebihi pemasukkan, maka berat badan akan

berkurang. Jika defisit 100 kalori per hari, maka berat badan akan

berkurang 0,5 kg setiap 35 hari. Jika defisit 500 kalori per hari, maka berat

badan akan berkurang 0,5 kg setiap minggu. Jika defisit 1000 kalori per

hari makan berat badan akan berkurang 1 kg/ minggu. Kebutuhan kalori

normal adalah 2.000-2.500 kalori per hari bergantung dari aktivitas fisik

masing-masing individu. Penurunan berat badan yang ideal adalah 0,5

sampai 1 kg per minggu. Untuk itu dibutuhkan pemotongan sebesar 500-

1.000 kalori per hari.

14

b. Perubahan gaya hidup

Mencakup alkohol, merokok dan terutama olahraga. Aktivitas fisik seperti

olahraga meningkatkan pengeluaran energi, dengan memperhatikan

frekuensi (3-4x seminggu), intensitas (72-87% dari denyut jantung

maksimal (220-umur)), serta tipe olahraga (15 menit pemanasan, 30-60

menit kombinasi latihan aerobik dan otot, 10 menit pendinginan)

(Sharkey, 2008).

c. Obat

Derivat amfetamin (dexfenfluramin, fenfluramin) dapat menekan nafsu

makan, tetapi telah ditarik dari peredaran karena efek samping (valvulpati

jantung). Orlistat menghambat lipase lambung dan pankreas, serta

mengurangi absorpsi lemak. Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI)

seperti fluoksetin dosis tinggi bisa membantu dengan efektif. Sibutramin

(serotonin dan inhibitor ambilan kembali noradrenalin) mempercepat rasa

kenyang dan mengurangi asupan makanan. Semua obat harus dilanjutkan

hanya jika terdapat penurunan berat badan 0,5 kg/minggu. Kebanyakan

obat hanya bekerja sementara sehingga hanya digunakan untuk

pengobatan jangka pendek. Penanganan obesitas dengan obat-obatan harus

dikombinasikan dengan olahraga yang teratur, pengaturan pola makan,

perubahan pola makan. (Koppelman 2012).

Beberapa obat yang telah disetujui oleh FDA untuk pengobatan jangka

panjang seperti Orlistat, yang digunakan pada remaja dan dewasa,

Lorcaserin, serta kombinasi phentermine dan topiramate lepas lambat.

15

Beberapa obat antiobesitas diantaranya:

1. Orlistat menghambat kerja lipase pankreas, mengurangi pencernaan

trigliserida dan penyerapannya. 2 clinical trial yang besar

menunjukkan penurunan berat badan yang menetap sekitar 9-10%

selama 2 tahun. Efek sampingnya seperti buang angin, tinja yang

berminyak, dan defekasi yang lebih sering.

2. Lorcaserin

3. Phentermine dan topiramat

4. Obat untuk terapi jangka pendek (8-12 minggu) diethylpropion,

phendimetrazine, benzphetamine, dan phetermine.

5. Obat-obatan yang digunakan off-label

Beberapa obat-obatan yang telah disetujui untuk indikasi-indikasi

tertentu tetapi juga dapat mengurangi berat badan yang digunakan

secara off-label, yaitu: anti depresan, metifenidat, zonisamide dan

octreotide.

d. Pembedahan

Tata laksana obesitas yang paling efektif adalah pembedahan bariatrik.

Pembedahan untuk obesitas berat berhubungan dengan penurunan berat

badan jangka panjang dan penurunan mortalitas secara keseluruhan. Suatu

penelitian menemukan penurunan berat badan antara 14% sampai 25%

(bergantung pada jenis prosedur yang dilakukan) dalam 10 tahun, dan

penurunan 29% dalam penyebab mortalitas secara keseluruhan jika

dibandingkan dengan ukuran standar penurunan berat badan (Narbro,

16

2007). Meskipun demikian, karena tingginya biaya dan risiko terjadinya

komplikasi, para peneliti mencari tata laksana lain yang juga efektif,

namun bersifat kurang invasif.

2.3 Trigliserida

2.3.1 Metabolisme lipid

Lipid yang beredar di dalam tubuh diperoleh dari dua sumber yaitu dari

makanan (eksogen) dan hasil produksi organ hati (endogen). Lipid plasma yang

utama adalah kolesterol, trigliserida, fosfolipid dan asam lemak bebas. Lipid tidak

larut dalam air oleh karena itu agar dapat diangkut dalam sirkulasi, maka susunan

molekul lipid tersebut perlu modifikasi, yaitu dalam bentuk lipoprotein. Lipid

disimpan dalam sel lemak dalam bentuk trigliserida (tiga molekul asam lemak dan

satu gliserol). Trigliserida terlalu besar untuk melewati dinding sel lemak menuju

sirkulasi. Kebanyakan trigliserida dibuang dari plasma dalam pembuluh darah

kapiler yang berbatasan dengan otot dan jaringan adiposa. Eliminasi dilakukan

oleh hepar (Sherwood, 2007).

2.3.2 Trigliserida dan olahraga

Kadar serum trigliserida dapat dikurangi dengan diet atau olahraga yang

teratur. Pengurangan yang dikarenakan oleh latihan terjadi beberapa jam setelah

latihan dan bertahan selama kira-kira 2 hari. Dengan latihan yang teratur,

pengurangan lebih lanjut terjadi hingga individu mencapai kondisi stabil yang

konsisten dengan latihannya dan diet. Jika latihan semakin intensif, tubuh akan

menghasilkan asam laktat. Poin dimana asam laktat mulai terakumulasi di dalam

darah yaitu lactate (non-aerobic) threshold mengindikasikan kapan kelebihan

17

produksi laktat dibuang dan kapan perubahan dari metabolisme lemak ke

karbohidrat terjadi.

Asam laktat menghambat asam lemak bebas dari jaringan adiposa. Asam

laktat memblok epinefrin sehingga mengurangi ketersediaan lemak untuk

metabolisme otot. Salah satu efek terbaik dari latihan adalah lebih banyak usaha

dapat dilakukan dengan sedikit kenaikan asam laktat setelah latihan (Sharkey,

2008).

Tubuh selalu mengeluarkan energi. Tetapi aktivitas fisiklah yang paling

mempengaruhi pengeluaran energi. Dalam kondisi puasa (12 jam setelah

konsumsi makanan terakhir), lemak (termasuk plasma asam lemak bebas dan

trigliserida otot) adalah sumber utama energi pada tingkat aktivitas yang ringan

dan sedang. Pada tingkatan yang lebih tinggi, karbohidrat - dalam bentuk glikogen

otot dan glukosa darah - menjadi bahan bakar utama (Sharkey, 2008).

Latihan yang teratur akan menyebabkan pembuangan dan pemanfaatan

trigliserida oleh sel otot daripada membiarkannya tersimpan dalam jaringan

adiposa atau dibuang oleh hati yang mungkin mengumpulkan lebih banyak dari

kolesterol. Latihan fisik rutin dapat meningkatkan kapasitas serat otot untuk

membawa dan mengoksidasikan asam lemak yang berasal dari plasma trigliserida

(Sharkey, 2008).

2.3.3 Dislipidemia dan penyakit

Dislipidemia berdampak pada terjadinya aterosklerosis dan selanjutnya

menyebabkan penyakit kardiovaskular. Lipid tidak larut dalam air dan ditransport

dalam plasma bukan sebagai bentuk bebasnya melainkan sebagai lipoprotein yang

18

mentransport lipid dalam plasma. Peningkatan kolesterol total dan LDL dapat

mengakibatkan angina, infark jantung, aritmia, stroke, penyakit jantung arteri

perifer, dan kematian mendadak (American Heart Association, 2010).

2.4 L-Carnitine

2.4.1 Definisi L-Carnitine

L-Carnitine merupakan derivat dari asam amino yaitu lysine. Nama L-

Carnitine diperoleh karena pertama kali diisolasi dari daging (carnis) pada tahun

1905. Hanya L-isomer dari carnitine yang aktif secara biologis. Selain itu L-

Carnitine juga berfungsi sebagai vitamin pada cacing (Tenebrio molitor), sehingga

dimakan vitamin BT. Manusia dan organisme tingkat tinggi lainnya dapat

mensintesis sendiri L-Carnitine, namun kapasitasnya bergantung masing-masing

individu (Rebouche, 2006).

Gambar 2.1 Struktur L-Carnitine, Acetyl-L-Carnitine dan Propionyl L-

Carnitine (Aktas, 2013)

19

2.4.2 Sumber L-Carnitine

Sumber utama L-Carnitine secara alami adalah dari protein hewani seperti

daging sapi, unggas, ikan, telur. Sedangkan sumber yang berasal dari protein

nabati diantaranya adalah jamur, tomat, pisang dan wortel. Namun sumber-

sumber alami tersebut tidak hanya mengandung L-Carnitine tunggal tetapi juga

tinggi akan kalori yang justru bila dikonsumsi dalam jumlah berlebiih malah dapat

menyebabkan obesitas. Cara pemasakkan yang kurang tepat misalnya dengan cara

digoreng juga dapat berkontribusi meningkatkan kalori dan lemak, sehingga

manfaat L-Carnitine yang ingin didapat menjadi hilang. Oleh karena itu, alternatif

yang dapat digunakan adalah mengisolasi L-Carnitine tersebut dalam bentuk

suplemen.

Tabel 2.2 : Kandungan L-Carnitine di dalam makanan (Rebouche, 2006)

Makanan Porsi L-Carnitine (mg)

Daging sapi 85 gram 81

Daging babi 85 gram 80

Susu full cream 1 gelas 8

Ikan tongkol 85 gram 5

Dada ayam 85 gram 3

Es krim 1/2 gelas 3

Alpukat 1 buah berukuran sedang 2

Roti gandum 2 potong 0.2

Asparagus 1/2 gelas 0.2

20

2.4.3 Metabolisme L-Carnitine

Pada individu yang sehat, homeostasis (keseimbangan) L-Carnitine dapat

dicapai melalui biosintesis endogen L-Carnitine, absorbsi carnitine dari sumber

diet, eliminasi dan reabsorbsi carnitine oleh ginjal (Rebouche, 2006).

Biosintesis endogen

Manusia dapat mensintesis L-Carnitine dari asam amino lysine dan

methionine melalui serangkaian proses. Secara spesifik, ikatan protein lysine

dimetilasi secara enzimatik untuk membentuk N-trimethyllysine; 3 molekul

methionine yang memberikan gugus methyl pada reaksi tersebut. Epsilon-N-

trimethyllysine dilepaskan untuk sintesis carnitine melalui hidrolisis protein

(Lombard, 2009). Beberapa enzim berperan dalam biosintesis L-Carnitine

endogen ini. Jumlah biosintesis L-Carnitine pada manusia dipelajari melalui suatu

studi dan diestimasikan adalah 1.2 micromol/kgBB/hari (Gross, 2006). L-

Carnitine disintesis untuk oksidasi asam lemak di mitokondria dan sebagai sumber

energi (Brass, 2010).

Absorbsi L-Carnitine

Diet

Bioavailabilitas L-Carnitine dari makan dapat bervariasi bergantung dari

komposisi dietnya. Sebagai contoh, salah satu studi menyebutkan bahwa

biovailabilitas L-Carnitine pada individu lebih tinggi pada mereka yang menjalani

diet rendah carnitine (vegetarian; 66%-86%) dibandingkan dengan mereka yang

menjalani diet tinggi carnitine (pemakan daging sering; 54%-72%) (Rebouche,

21

2006).

Suplementasi L-Carnitine

Berdasarkan suatu studi, bioavailabilitas L-Carnitine dari suplemen oral

(dosis 5-6 gram) bervariasi antara 14-18% dari dosis total (Rebouche, 2006).

Sedikit diketahui mengenai bioavailabilitas bentuk asetilasi dari L-Carnitine yaitu

acetyl- L-Carnitine (ALCAR). Namun biovailabilitas ALCAR diduga lebih tinggi

dibandingkan dengan L-Carnitine. Hasil dari eksperimen in vitro menyebutkan

bahwa ALCAR dihidrolisis secara parsial melalui absorbsi usus (Foster, 2007).

Eliminasi dan absorbsi

L-Carnitine dan acylcarnitines rantai pendek (gugus ester dari L-

Carnitine), seperti acetyl- L-Carnitine, diekskresikan melalui ginjal. Rearbsorbsi

renal dari L-Carnitine sangat efisien, diperkirakan 95% direabsorbsi oleh ginjal.

Jadi ekskresi carnitine oleh ginjal normalnya sangat rendah. Namun pada

beberapa kondisi reabsorbsi carnitine dapat menurun dan sebagai respon dapat

meningkatkan eskresi carnitine. Kondisi tersebut diantaranya adalah diet tinggi

lemak (rendah karbohidrat), diet tinggi protein, kehamilan dan kondisi medis

tertentu (primary systemic carnitine deficiency) (Sahlin, 2011).

Ketika kadar L-Carnitine dalam sirkulasi meningkat, semisal melalui

konsumsi suplemen oral, reabsorbsi L-Carnitine menjadi lebih pekat dan

menyebabkan peningkatan ekskresi L-Carnitine. L-Carnitine dari diet maupun

suplemen yang tidak terabsorbsi oleh enterosit didegradasi oleh koloni bakteri dan

22

membentuk 2 produk yaitu trimethylamine dan γ-butyrobetaine. γ-butyrobetaine

dieliminasi di feses; sementara trimethylamine diabsorbsi dengan baik dan

dimetabolisme menjadi trimethylamine-N-oxide, yang kemudian diekskresi

melalui urine (Foster, 2007).

2.4.4 Aktivitas biologi L-Carnitine

Oksidasi asam lemak rantai panjang di mitokondria

L-Carnitine terutama disintesis di hepar namun juga di ginjal dan

kemudian ditransport ke jaringan. L-Carnitine terutama terkonsentrasi di jaringan

yang menggunakan asam lemak sebagai bahan bakar utama seperti misalnya otot

rangka dan otot jantung. Dalam hal ini, L-Carnitine memiliki peranan penting

dalam produksi energi dengan cara mengkonjugasi asam lemak untuk transport ke

mitokondria (Foster, 2007).

L-Carnitine diperlukan untuk oksidasi β asam lemak rantai panjang pada

produksi energi. Asam lemak rantai panjang harus dalam bentuk gugus ester dari

L-Carnitine (acylcarnitine) untuk dapat masuk ke matriks mitokondria dimana

terjadi proses beta oksidasi. Protein dari carnitine-acyl transferase mentransport

acylcarnitine ke dalam matriks mitokondria. Pada bagian luar dari membran

mitokondria, carnitine-palmitoyl transferase I (CPTI) mengkatalisis transfer asam

lemak rantai panjang menjadi sitosol dari koenzim A (CoA) ke L-Carnitine.

Transport protein yang disebut dengan carnitine acylcarnitine translocase (CACT)

memfasilitasi transport gugus acylcarnitine memasuki membran dalam

mitokondria. Pada membran dalam mitokondria, carnitine-palmitoyl transferase II

23

(CPTII) mengkatalisis transfer asam lemak dari L-Carnitine menjadi CoA bebas

di dalam matriks mitokondria, dimana terjadi metabolisme melalui oksidasi beta

(Rebouche, 2006).

Gambar 2.2 Metabolisme L-Carnitine di mitokondria (Aktas, 2013)

2.4.5 L-Carnitine dan hipertrigliseridemia

Carnitine (3-hydroxy-4-N-trimethylaminobutyric acid) merupakan bentuk

asam amino yang berperan sebagai mediator pada transfer matriks mitokondria

selama oksidasi asam lemak rantai panjang. Jika tubuh kekurangan L-Carnitine,

maka oksidasi beta asam lemak rantai panjang tidak terjadi dan metabolisme

energi dari sel akan mengalami kegagalan (Atila et al., 2010). Kekurangan L-

Carnitine akan mencegah lemak digunakan sebagai bahan bakar (Amat et al.,

24

2012). L-Carnitine berperan dalam metabolisme transport asam lemak rantai

panjang, sehingga berperan juga dalam metabolisme energi myocardial.

L-Carnitine memiliki peranan kuat dalam konversi lemak menjadi energi. L-

Carnitine berperan dalam proses beta oksidasi melalui transport asam lemak

rantai panjang dari sitosol ke mitokondria. Asam lemak menyeberangi membran

mitokondria sebagai acylcarnitine, yaitu pemendekan rantai atau desaturasi-

elongasi rantai. Sehingga transfer asam lemak yang bergantung pada L-Carnitine

menjadi pusat metabolisme lemak (Foster, 2007).

Transfer asam lemak yang bergantung pada L-Carnitine penting dalam

metabolisme lipid. Sehingga pemberian L-Carnitine tambahan dapat

meningkatkan penggunaaan lemak untuk menurunkan kadar trigliserida darah

(Ramsay, 2013). Pemberian L-Carnitine dapat meningkatkan penggunaan lemak

dan menurunkan level trigliserida plasma (Bhagavan, 2001). Studi yang dilakukan

oleh Sirtori et al menemukan bahwa L-Carnitine berguna dalam menurunkan

parameter risiko diabetes seperti lipid plasma dan lipoprotein. Konversi ini dapat

menurunkan sintesis trigliserida dan meningkatkan oksidasi beta asam lemak di

mitokondria. Studi lain yang dilakukan oleh Casciani et al juga mendukung opini

bahwa L-Carnitine dapat menurunkan kadar kolesterol, trigliserida dan asam

lemak bebas. Studi tersebut membandingkan antara kelompok yang diberikan L-

Carnitine dengan kelompok kontrol. Penurunan kadar trigliserida pada pasien

yang mengonsumsi L-Carnitine disebabkan oleh penurunan sintesis trigliserida di

hepar atau adanya inhibisi pengeluaran trigliserida dari hepar (Casciani, 2013).

25

2.4.6 L-Carnitine untuk menurunkan berat badan

Saat ini obesitas menjadi salah satu problem yang paling serius. L-

Carnitine merupakan derivat asam amino yang berperan dalam suplemen

nutrisional pada obesitas. L-Carnitine memiliki peranan kuat dalam konversi

lemak menjadi energi. L-Carnitine berperan dalam proses beta oksidasi melalui

transport asam lemak rantai panjang dari sitosol ke mitokondria. Asam lemak

menyeberangi membran mitokondria sebagai acylcarnitine, yaitu pemendekan

rantai atau desaturasi-elongasi rantai. Sehingga transfer asam lemak yang

bergantung pada L-Carnitine menjadi pusat metabolisme lemak.

Kapan saja tubuh memerlukan energi, asam lemak dilepaskan dari VLDL

dan chylomicron yang kemudian ditransfer ke dalam sel dengan bantuan L-

Carnitine. Asam lemak setelah memasuki sel membutuhkan media untuk

melewati membran mitokondria dimana proses oksidasi beta terjadi. L-Carnitine

berperan sebagai media untuk melewati membran mitokondria ini. Hal ini dapat

membantu menurunkan berat badan pada orang yang mengalami obesitas. Bila

orang yang menderita obesitas tersebut melakukan olahraga, maka tubuh akan

membutuhkan energi. L-Carnitine akan membantu transport asam lemak ke otot

untuk produksi energi (Kalpana, 2012).

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Brass pada tahun 2010, pemberian

L-Carnitine dapat membantu menurunkan berat badan jika dikombinasikan

dengan diet rendah kalori dan olahraga. Studi tersebut juga menyebutkan bahwa

penderita obesitas yang melakukan olahraga rutin dapat mengonsumsi L-Carnitine

hingga 2 g/hari untuk menurunkan berat badan. Subyek penelitian yang obesitas

26

dan melakukan olahraga rutin membutuhkan tambahan L-Carnitine untuk

transport asam lemak yang digunakan untuk produksi energi. Jika tubuh

mengalami kekurangan L-Carnitine, maka proses oksidasi beta asam lemak rantai

panjang tidak terjadi dan metabolisme sel juga tidak akan terjadi. Sama hal nya

ketika terjadi ekskresi berlebih asam lemak dari tubuh (pada saat olahraga), L-

Carnitine akan dibutuhkan untuk metabolisme sel (Brass, 2010).

2.4.7 Dosis L-Carnitine

Beberapa studi menyebutkan bahwa asupan suplemen L-Carnitine 6 g/hari

masih tergolong batas aman dan dapat ditoleransi. Namun kebutuhan ini lebih

diperuntukan untuk atlit yang kebutuhannya lebih tinggi. Individu yang

mengalami obesitas dengan aktivitas fisik rutin ringan-sedang dianjurkan hanya

hingga 2 g/hari (Kalpana, 2012).

Namun demikian, menggunakan suplemen saja tidak cukup; harus

didukung dengan berolah raga. Olahraga sendiri penting dalam menurunkan berat

badan individu yang mengalami obesitas. Olahraga yang dilakukan bisa beragam

semisal olahraga cardio atau aerobik seperti berenang. Bertambah berat kerja otot

yang dilakukan, bertambah banyak oksigen yang dibutuhkan. Ini meningkatkan

fungsi dan kerja dari mitokondria serta meningkatkan VO2 maksimal dan

meningkatkan pembakaran lemak. L-Carnitine adalah nutrisi yang berperan

mengangkut lemak ke mitokondria untuk dibakar dan diubah menjadi energi bagi

tubuh. L-Carnitine yang cukup memungkinkan tubuh untuk membakar lemak

pada tingkat optimal. Fungsi penting lainnya adalah dapat mengontrol lemak dan

berat badan, dengan meningkatkan metabolisme tubuh dan meningkatkan

27

kecepatan konversi lemak dan karbohidrat menjadi energi. Bersama protein, L-

Carnitine mengonversi lemak menjadi masa otot. Sebagai antioksidan, L-

Carnitine menghambat peroksidasi lipid dan menurunkan stres oksidatif

(Heinonen, 2006).

2.5 Olahraga

Apabila dilakukan dengan takaran yang benar, olahraga dapat

meningkatkan kebugaran fisik (Sharkey, 2008). Aktivitas fisik seperti olahraga

meningkatkan pengeluaran energi, dengan memperhatikan frekuensi (3-5x

seminggu), intensitas (72-87% dari denyut jantung maksimal (220-umur)),

serta tipe olahraga (15 menit pemanasan, 30-60 menit kombinasi latihan

aerobik dan otot, 10 menit pendinginan). Tujuan dari prinsip FITT (Frequency,

Intensity, Type, Time) adalah untuk mencapai efek pelatihan. Frekuensi

olahraga yang ideal adalah 3-5 kali/minggu, dengan intensitas denyut nadi saat

olahraga 75% (220-umur), waktu olahraga kurang dari 300 menit/minggu, serta

jenis olahraga seperti berenang, sepeda statis (Pangkahila, 2007).

Manfaat kesehatan dari olahraga selain berupa peningkatan kebugaran

termasuk juga mengurangi lemak tubuh dan dampak utamanya dapat

menurunkan berat badan (Manore and Thompson, 2000). Olahraga sebaiknya

dilakukan secara teratur dengan memperhatikan komponen utama dari olahraga

yaitu jenis olahraga, intensitas, durasi, frekuensi dan progresivitas latihan

(Astrand et al, 2003). Untuk menurunkan berat badan pada individu dengan

overweight dan obesitas, jumlah pemakaian energi total dalam latihan harus

28

lebih dari 10.465 KJ per hari (2503,6 kkal/hari) (Pestacello, 2000). Untuk itu

diperlukan latihan fisik aerobik dengan intensitas sedang setiap hari (Schoeller,

1997). American College of Sport Medicine merekomendasikan olahraga

aerobik dengan intensitas sedang minimal 30 menit setiap hari nya untuk

program penurunan berat badan (Leslie, et al, 2012).

Aktivitas fisik dibagi menjadi 2 yaitu aerobik yang menghasilkan 38

molekul ATP per molekul glukosa dan anaerobik yang menghasilkan 2

molekul ATP. Sumber energi untuk aktivitas fisik aerobik berasal dari

pembakaran karbohidrat, lemak dan protein yang menghasilkan Adenosine

Triphosphate (ATP). Saat kontraksi otot, tambahan ATP didapatkan dari

pemindahan fosfat berenergi tinggi dari kreatinin fosfat ke ADP, fosfolirasi

oksidatif, dan proses glikolisis (Sherwood, 2001). Sumber energi untuk

aktivitas fisik anaerobik berasal dari proses hidrolisis phosphocreatine dan

glikolisis glukosa, yang terjadi tanpa oksigen, serta menghasilkan asam laktat

yang dapat menimbulkan nyeri otot dengan stres fisik (Hernawati, 2009).

Pengaruh aktivitas fisik terhadap faktor hormonal antara lain (Sharkey,

2008):

Growth hormone (GH): dihasilkan oleh kelenjar pituitari pada otak.

GH akan menstimulasi hepar untuk memproduksi hormon yang disebut dengan

IGF-1. IGF-1 berperan penting dalam fungsi metabolik termasuk:

meningkatkan pemecahan trigliserida, meningkatkan penggunaan lemak

menjadi energi, retensi sodium, fosfat dan air dan stimulasi produksi protein.

29

GH akan mengurangi ambilan asam lemak bebas oleh sel adiposa. GH dapat

mengurangi kadar lemak dalam tubuh dan mempertahankan glukosa darah.

Endorfin: Ketika kita melakukan aktivitas fisik lebih dari 30 menit,

maka kadar endorfin darah meningkat, di mana fungsi endorfin adalah untuk

memblok rasa sakit, menurunkan nafsu makan, mengurangi tekanan dan rasa

cemas.

Testosteron: Kadar testosteron meningkat setelah berolahraga

selama 20 menit, berperan untuk mempertahankan kekuatan otot, menurunkan

kadar lemak dalam tubuh. Testosteron juga berperan pada pengaturan libido

dan orgasme pada wanita.

Estrogen: Estrogen dapat meningkatkan pemecahan lemak dari

lemak tubuh sehingga dapat digunakan sebagai sumber tenaga, meningkatkan

rata-rata metabolisme basal, meningkatkan mood, meningkatkan libido.

Hormon ini disekresi oleh ovarium, meningkat saat olahraga dan tetap

meningkat sampai 1-4 jam setelah olahraga.

Tiroksin: Hormon yang diproduksi oleh kelenjar tiroid,

meningkatkan metabolisme hampir semua sel dalam tubuh. Peningkatan

metabolisme ini membantu kita merasa lebih energik dan juga menyimpan

kalori, penting untuk penurunan berat badan. Kadar tiroksin dalam darah

meningkat sekitar 30% selama olahraga dan tetap meningkat sampai beberapa

jam sesudahnya. Olahraga yang teratur juga meningkatkan level tiroksin saat

istirahat.

30

Epinefrin: tersedia dari dua tempat, kelenjar adrenalin dan saraf

yang berakhir pada sistem saraf simpatetik. Seperti kebanyakan hormon

lainnya, epinefrin bekerja pada reseptor yang belokasi di permukaan selaput

organ target, dalam hal ini jaringan adiposa. Hormon ini memulai serangkaian

langkah yang mengarah pada penggunaan lemak trigliserida dan pelepasan

asam lemak bebas ke dalam sirkulasi. Asam lemak bebas kemudian bergerak

ke otot yang bekerja, di mana asam ini digunakan untuk menggerakkan

kontraksi. Pemanfaatan asam lemak ini akan menurunkan berat badan.

Insulin/adrenalin: Berperan dalam mengatur kadar gula darah,

lemak, protein. Insulin sering disebut sebagai hormon lemak atau fat hormone

karena konsumsi gula sederhana meningkatkan insulin yang menyebabkan

peningkatan kadar lemak. Pada orang dengan berat badan berlebih, terjadi

resistensi insulin sehingga diperlukan insulin dalan jumlah yang lebih besar

untuk didapatkan efek yang sama, sehingga didapatkan kadar insulin darah

yang lebih tinggi dan latihan aerobik setiap hari. Kadar insulin darah mulai

menurun 10 menit saat olahraga dan terus menurun sekitar 70 menit olahraga.

Olahraga yang teratur juga meningkatkan sensitivitas sel terhadap insulin

dalam keadaan istirahat.

Glukagon: kadar glukagon meningkat setelah aktivitas fisik selama

30 menit, di mana kadar gula darah mulai menurun. Glukagon disekresi ketika

kadar gula darah rendah serta berperan untuk meningkatkan kadar gula darah

hingga mencapai normal.

31

2.6 Hewan Coba Tikus (Rattus norvegicus)

Klasifikasi tikus Wistar (Russel et al., 2008):

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mamalia

Ordo : Rodentia

Family : Muridae

Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus

2.6.1 Penggunaan Tikus

Pada percobaan ini menggunakan tikus Rattus norvegicus karena tikus

jenis ini mudah dipelihara dan cocok untuk berbagai macam penelitian. Tikus

jenis ini panjangnya dapat mencapai 40 cm, berat antara 140-500 gram, dan

dapat hidup hingga usia 4 tahun (Kusumawati, 2004). Ciri khas tikus galur

Wistar yaitu kepala besar dan ekor pendek.

32

Tabel 2.3 Data Biologi Tikus (Russel et al., 2008)

No. Kondisi Biologi Jumlah

1. Berat badan : - Jantan

- Betina

300-400 g

250-300 g

2. Lama hidup 2,5 – 3 tahun

3. Temperatur tubuh 37,5o C

4. Kebutuhan : - air

- makanan

8-11 ml/100g BB

5 g/100g BB

5. Pubertas 50-60 hari

6. Lama kehamilan 21-23 hari

7. Tekanan darah : - sistolik

- diastolik

84-184 mmHg

58-145 mmHg

8. Frekuensi : - Jantung

- Respirasi

330-480/menit

66-114/menit

9. Tidal Volume 0,6-1,25 mm

Penggunaan tikus sebagai bahan percobaan lebih menguntungkan

daripada mencit karena ukurannya yang lebih besar, serta tikus jantan lebih

jarang berkelahi daripada mencit jantan. Sifat khas dari hewan percobaan tikus

yaitu tidak mempunyai kantung empedu dan tidak mudah muntah. Secara

umum, berat tikus laboratorium lebih ringan daripada tikus liar. Saat berumur 4

minggu rata-rata memiliki berat 35-40 gram, dan saat dewasa 200-250 gram

(Russel et al., 2008).

Pada penelitian ini, digunakan tikus putih jantan obesitas. Penentuan

tikus obesitas berdasarkan indeks Lee yaitu: (Campos, 2008)

33

Indeks Lee: Berat badan tikus (gr)

Panjang hidung - anus (mm)

>0,3 = obesitas

Pada penelitian ini diambil rentang berat tikus putih jantan obesitas

dewasa adalah 250-300 gram.

2.6.2 Pemantauan Keselamatan Tikus

Yang harus diperhatikan saat penggunaan tikus sebagai hewan coba,

yaitu kandang tikus harus kuat, tidak mudah rusak, mudah dibersihkan, mudah

dipasang lagi, tahan terhadap gigitan tikus, sehingga hewan tidak mudah lepas.

Selain itu, mudah dibersihkan dan hewan tampak jelas dari luar. Alas tempat

tidur menggunakan sekam yang mudah menyerap air. Suhu, kelembaban dan

pertukaran udara di dalam kandang harus baik (Ngatidjan, 2006). Setiap hari

kandang dibersihkan dan alas tidur diganti, tangan perawat harus selalu bersih

ketika merawat tikus. Peneliti memperhatikan bila muncul gejala sakit seperti

berat badan turun, sukar bernapas ataupun mencret. Setiap hari berat badan

tikus diukur untuk menentukan dosis pemberian L-Carnitine setiap harinya

sesuai dengan berat badan tikus.

2.6.3 Olahraga Berenang Tikus

Tikus merupakan spesies yang paling sering digunakan di dalam

eksperimen untuk melakukan berenang sebagai modalitas olahraga pada studi-

studi yang melibatkan olahraga sebagai perlakuan. Tikus memiliki kemampuan

34

berenang dan merupakan perenang yang baik jika dibutuhkan (Kregel, 2006).

Berenang dapat digunakan untuk mengidentifikasikan fungsi fisiologis,

biokimia dan respons molekular sel terhadap paparan olahraga. Pada tikus,

berenang juga dapat menjadi parameter olahraga yang baik karena aktivitas

dilakukan secara terus menerus tanpa berhenti. Tidak seperti halnya pada tikus

yang diberikan olahraga treadmill yang akan terdapat fase berhenti (Davies, et

al, 2011). Selain itu jika dibandingkan dengan olahraga treadmill ataupun roda

putar, berenang juga memiliki keuntungan tidak menyebabkan cedera kaki

pada tikus. Sehingga tidak akan menyebabkan trauma fisik pada tikus (Kregel,

2006).

Ukuran dan bentuk tangki yang digunakan untuk tikus berenang dapat

mempengaruhi performa tikus dalam berolahraga. Tangki yang bulat

merupakan pilihan yang baik dibandingkan dengan tangki yang kotak karena

tikus tidak dapat bergantung untuk beristirahat di pojok tangki dan menurunkan

intensitas olahraga berenangnya (Dawson, et al, 2007). Pada penelitian ini

olahraga berenang dilakukan di dalam tangki berbentuk bulat dengan

kedalaman 50 cm yang diisi dengan 40 cm air.

Intensitas olahraga tikus dapat berupa intensitas ringan, sedang dan berat.

Intensitas ringan-sedang adalah apabila tikus melakukan olahraga berenang

tanpa adanya beban yang terpasang di ekornya (Dawson, et al, 2007). Kriteria

lainnya adalah 75% dari overtraining atau sekitar 45 menit. Overtraining pada

tikus adalah ketika tikus terlihat melakukan gerakan tak terkoordinasi atau

35

hampir tenggelam (Kregel, 2006). Sementara olahraga intensitas berat adalah

ketika tikus melakukan olahraga berenang dengan beban terpasang di ekornya

(Dawson, et al, 2007).

Selama tikus melakukan olahraga berenang, peneliti melakukan

observasi penuh untuk melihat tanda overtraining atau tikus hampir tenggelam.

Setelah olahraga selesai dilakukan, peneliti memastikan seluruh tikus

dikeringkan dan ditempatkan pada lingkungan yang hangat dengan meletakkan

tikus di bawah sinar lampu.