bab ii kajian pustaka 2.1 penuaan - sinta.unud.ac.id ii.pdf · 2.1.1 definisi penuaan ... (hormon...
TRANSCRIPT
1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penuaan
Penuaan merupakan suatu proses yang pasti dialami oleh setiap manusia.
Penuaan merupakan penurunan fungsi biologik dari usia kronologik (Fowler,
2003). Penuaan dapat ditandai dengan penurunan energi, massa otot, dan
gangguan kognitif (Null, 2006). Proses penuaan dapat dicegah, diobati dan
dikembalikan ke keadaan semula (Pangkahila, 2007). Untuk mencapai kualitas
hidup yang baik pada usia lanjut, maka kita perlu melakukan modifikasi gaya
hidup, seperti mengatur pola hidup, makan, tidur, serta olahraga. Pola hidup sehat
dapat meningkatkan kualitas hidup.
2.1.1 Definisi Penuaan
Penuaan adalah penurunan dalam proses fisiologis setelah melewati fase
reproduktif dari kehidupan (Halliwell dan Gutteridge, 2007). Seiring dengan
bertambahnya usia, kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan
mempertahankan struktur dan fungsi normalnya semakin berkurang (Rohana,
2011).
2.1.2 Teori Penuaan
2.1.2.1 Teori “Wear and Tear”
Teori ini menjelaskan bahwa tubuh dan selnya mengalami kerusakan
karena penggunaan yang berlebihan dan di salah gunakan (overuse and abuse).
7
2
Organ tubuh seperti hati, lambung, ginjal, kulit dan lainnya, menurun karena
toksin di dalam makanan dan lingkungan, konsumsi berlebihan lemak, gula,
kafein, alkohol, dan nikotin, karena sinar ultraviolet, dan karena stres fisik dan
emosional. Kerusakan ini terjadi pada organ dan di tingkat sel.
2.1.2.2 Teori Radikal Bebas
Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme dapat menjadi tua karena
terjadi kerusakan oleh radikal bebas. Radikal bebas ialah molekul yang
mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas ini
akan merusak molekul yang elektronnya ditarik oleh radikal bebas tersebut,
sehingga menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel, dan akhirnya
kematian sel. Molekul di dalam tubuh yang dapat dirusak oleh radikal bebas ialah
DNA, lemak, dan protein. Dengan bertambahnya usia, maka akumulasi kerusakan
sel akibat radikal bebas semakin bertambah, sehingga mengganggu metabolisme
sel, meransang mutasi sel, yang pada akhirnya menyebabkan kanker dan
kematian. Teori ini meyakinkan bahwa pemberian suplemen yang tepat dan
pengobatan yang tidak terlambat dapat mengembalikan proses penuaan.
Mekanismenya dengan meransang kemampuan tubuh untuk melakukan perbaikan
dan mempertahankan organ tubuh dan sel (Pangkahila, 2007)
2.1.2.3 Teori Kontrol Genetika
Terjadi penurunan kode genetik yang memprogram sandi sepanjang
DNA yang menentukan umur harapan hidup dan kecepatan proses penuaan setiap
individu. Pola hidup penuaan menentukan waktu jam biologis seseorang, di mana
3
dengan terhentinya jam biologis menandakan proses penuaan (Goldman dan
Klatz, 2003).
2.1.2.4 Teori Neuroendokrin
Teori ini berdasarkan peranan berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh.
Dengan bertambahnya usia kemampuan tubuh untuk memproduksi hormon
berkurang, yang pada akhirnya akan mengganggu berbagai sistem tubuh
(Goldman dan Klatz, 2003).
2.1.3 Faktor yang Mempercepat Penuaan
Beberapa faktor yang dapat mempercepat proses penuaan yaitu faktor
lingkungan (berupa pencemaran lingkungan yang meningkatkan kadar hormon
prolaktin dan menyebabkan apoptosis; paparan sinar matahari yang dapat
menurunkan elastisitas dan merusak kolagen kulit sehingga mempercepat proses
penuaan pada kulit), faktor diet/makanan (zat pengawet dan pewarna makanan
menimbulkan kerusakan organ tubuh terutama hati), faktor genetik (infeksi virus,
radiasi serta racun yang diserap oleh tubuh dapat mempengaruhi faktor genetik),
faktor psikis (menyebabkan proses apoptosis pada tubuh), faktor organik
(obesitas, tingkat kebugaran tubuh yang rendah, konsumsi makanan yang kurang
sehat, penurunan Growth Hormone, Insulin Growth Factor-I, testosteron dan
melatonin menyebabkan gangguan circadian rhythm) (Pangkahila, 2013).
Salah satu faktor yang paling sering menyebabkan berbagai penyakit
akibat penuaan seperti penyakit kardiovaskular, diabetes mellitus dan gangguan
muskuloskeletal adalah obesitas. Obesitas dapat meningkatkan stress oksidatif
dan inflamasi pada tubuh yang kemudian dapat menyebabkan pemendekan
4
telomer. Telomer adalah suatu struktur protein DNA yang berfungsi sebagai
penanda usia biologis (Tzanetakou et al., 2012).
2.2 Obesitas
2.2.1 Definisi Obesitas
Obesitas adalah kelebihan lemak dalam tubuh, yang umumnya ditimbun
dalam jaringan subkutan (bawah kulit), sekitar organ tubuh dan kadang terjadi
perluasan ke dalam jaringan organnya (Misnadierly, 2007). Obesitas merupakan
keadaan yang menunjukkan ketidakseimbangan antara tinggi dan berat badan
akibat jaringan lemak dalam tubuh sehingga terjadi kelebihan berat badan yang
melampaui ukuran ideal (National Institutes of Health, 2011).
Overweight didefinisikan memiliki berat badan berlebih jika dibandingkan
dengan orang sehat yang seumur. Istilah obesitas digunakan pada orang yang
sangat overweight dengan presentasi lemak tubuh yang tinggi. (Stern et al., 2013)
2.2.2 Epidemiologi Obesitas
Sebelum abad ke-20, obesitas jarang ditemui; tetapi pada 1997 WHO
secara resmi menyatakan obesitas sebagai epidemik global (Haslam, 2007).
Hingga 2005, WHO memperkirakan sedikitnya 400 juta orang dewasa (9,8%)
mengalami obesitas, dengan lebih banyak wanita dibandingkan pria. Angka
obesitas juga naik dengan bertambahnya usia setidaknya hingga usia 50 sampai
60 tahun dan obesitas berat di Amerika Serikat, Australia, dan Kanada meningkat
lebih cepat dibandingkan angka obesitas secara keseluruhan (WHO, 2009).
5
Dahulu, obesitas dianggap sebagai masalah negara-negara berpenghasilan
tinggi, namun saat ini angka obesitas meningkat di seluruh dunia dan
mempengaruhi baik dunia maju maupun dunia berkembang. Peningkatan ini
dirasakan paling dramatis di daerah perkotaan. Satu-satunya bagian dunia dimana
obesitas jarang ditemukan adalah di Afrika sub-sahara (Haslam, 2007).
2.2.3 Etiopatogenesis Obesitas
a. Genetik
Faktor genentik dan lingkungan merupakan faktor utama dalam
perkembangan obesitas. Efek genetik bersifat kompleks dan poligenik
dengan kemungkinan diturunkan 40%-70%. Suatu studi dimana beberapa
orang kembar monozigot yang diberi makanan berlebih sebanyak 100
kkal/hari, 6 hari perminggu selama lebih dari 100 hari ditemukan bahwa
jumlah pertambahan berat badan yang secara signifikan bervariasi di
antara pasangan kembar tersebut. Bagaimanapun juga, kemiripan pada
setiap pasang kembar baik berat badan , presentasi lemak tubuh, massa
lemak dan estimasi lemak subkutan. Observasi ini menunjukkan bahwa
faktor genetik secara signifikan terlibat dan berperan dalam penyimpanan
energi (Frayling et al., 2011).
b. Lingkungan
Makanan dengan kandungan lemak tinggi tersedia dengan mudah, tinggi
kalori, berhubungan dengan gaya hidup jarang berolahraga. (National
Institutes of Health, 2011)
c. Neuroendokrin
6
Neuropeptida Y (hormon Hipotalamus yang merangsang nasfu makan)
dan leptin (hormon peptida yang disintesa di jaringan lemak yang bekerja
di hipotalamus untuk menekan asupan makanan dan pengeluaran energi),
bekerja sama dengan neurotransmiter lain, mengatur keseimbangan energi.
Mutasi dari reseptor dan transmiter berhubungan dengan obesitas pada
tikus percobaan dan beberapa kasus obesitas berat yang jarang pada
manusia (National Institutes of Health, 2011)
d. Obat-obatan
Obat-obatan yang terbukti meningkatkan terjadinya obesitas semisal obat
anti depresan (amitriptyline, nortriptyline, paroxetine), inhibitor
monoamine oxidase (imipramine, mitrazapine), anti konvulsan (asam
valproat, carbamazepine, gabapentin), anti diabetes (insulin, sulfonilurea,
thiazolidinediones), hormon steroid (kontrasepsi, glukokortikoid,
progestational steroids), anti histamin (siproheptadin) (Haslam, 2007).
2.2.4 Klasifikasi Obesitas
Obesitas adalah suatu kondisi medis berupa kelebihan lemak tubuh yang
terakumulasi sedemikian rupa hingga menyebabkan dampak merugikan bagi
kesehatan. Obesitas dinilai berdasarkan indeks massa tubuh (IMT), dan
selanjutnya berdasarkan distribusi lemak melalui rasio pinggang-panggul dan total
faktor risiko kardiovaskular. IMT sangat erat hubungannya dengan persentase
lemak tubuh dan total lemak tubuh (Gray et al., 2011)
7
Pada anak, berat badan yang sehat bervariasi berdasarkan usia dan jenis
kelamin. Obesitas pada anak dan remaja tidak didefinisikan dengan suatu angka
mutlak, namun berhubungan dengan riwayat kelompok dengan berat badan yang
normal, obesitas didefinisikan apabila IMT lebih besar dari persentil ke-95
(Hollman, M, et al, 2009).
Tabel 2.1: IMT Penduduk Asia Dewasa (IOTF, WHO 2009)
IMT dihitung dengan cara membagi berat badan subjek dengan kuadrat tinggi
badannya, yang biasanya ditulis baik dalam satuan metrik maupun dalam sistem
Amerika :
Metrik: IMT = kg/meter2
Sistem Amerika dan imperial: IMT = lb/inch2
lb adalah berat badan subyek dalam pon dan inch adalah tinggi badan subyek
dalam inci.
Beberapa lembaga membuat modifikasi dari definisi WHO tersebut. Literatur
IMT Klasifikasi
< 18.5 berat badan kurang
18.5–22.9 normal
23.0–24.9 berat badan lebih
25.0–29.9 obesitas kelas I
≥ 30.0 obesitas kelas II
8
Bedah membagi obesitas "kelas III" menjadi beberapa kategori, yang angkanya
masih menjadi perdebatan (Sturm, 2007):
IMT ≥ 35 atau 40 disebut obesitas berat
IMT ≥ 35 atau 40–44.9 atau 49.9 disebut obesitas morbid
IMT ≥ 45 atau 50 disebut obesitas super/super obese
Karena populasi Asia memperlihatkan dampak negatif obesitas terhadap
kesehatan pada nilai IMT yang lebih rendah dibandingkan populasi Kaukasia,
beberapa negara membuat definisi ulang obesitas; seperti di Jepang yang
mendefinisikan obesitas sebagai nilai IMT lebih dari 25 sedangkan China
menggunakan nilai IMT lebih dari 28 (Kanazawa, 2010)
2.2.5 Faktor Risiko Obesitas
Pada individu per individu, kombinasi antara kelebihan asupan energi
makanan dan kurangnya aktivitas fisik dapat menjelaskan sebagian besar kasus
obesitas (Lau et al., 2007). Sejumlah kecil kasus umumnya disebabkan oleh faktor
genetik, alasan medis, atau penyakit kejiwaan. Sebaliknya pada masyarakat, laju
obesitas yang meningkat mungkin disebabkan karena pola makan yang tidak
terkontrol, meningkatnya ketergantungan pada mobil, dan meningkatnya
penggunaan mesin untuk proses produksi.
2.2.5.1 Pola makan
Ketersediaan pedoman nutrisi secara luas tidak terlalu berperan dalam
mengatasi masalah makan berlebih dan pilihan makanan yang buruk. Sejak 1971
hingga 2000, laju obesitas di Amerika Serikat meningkat dari 14.5% ke 30.9%
9
(Flegal, 2002). Dalam kurun waktu yang sama, peningkatan juga terjadi pada
rerata jumlah energi makanan yang dikonsumsi. Untuk wanita, rerata kenaikan
adalah sebesar 335 kalori per hari (1,542 kalori pada 1971 dan 1,877 kalori pada
2004), sementara untuk laki-laki rerata kenaikan adalah 168 kalori per hari
(2,450 kalori pada 1971 dan 2,618 kalori pada 2004). Sebagian besar kelebihan
energi makanan ini berasal dari meningkatnya konsumsi karbohidrat dan bukan
dari konsumsi lemak. Sumber utama karbohidrat berlebih ini berasal dari
minuman manis, yang saat ini mencapai hampir 25 persen energi makanan harian
dewasa muda di Amerika dan keripik kentang (Hao, 2011). Konsumsi minuman
manis dipercaya sebagai penyumbang naiknya angka obesitas.
2.2.5.2 Gaya hidup kurang bergerak
Gaya hidup kurang bergerak mempunyai peran yang penting dalam
terjadinya obesitas. Di seluruh dunia terjadi kecenderungan pergeseran pekerjaan
yang menuntut aktivitas fisik yang lebih sedikit dan saat ini setidaknya 60%
populasi dunia tidak melakukan olahraga yang cukup (WHO, 2009). Hal ini
terutama disebabkan oleh bertambahnya penggunaan transportasi mekanik dan
bertambahnya teknologi hemat tenaga fisik yang ada di rumah. Pada anak-anak,
penurunan aktivitas fisik tampaknya terjadi karena kurang berjalan kaki dan
kurangnya pelajaran olah raga. Kecenderungan dunia dalam mengisi waktu luang
secara aktif aktivitas fisik tampak kurang nyata. Organisasi Kesehatan Dunia
menyatakan bahwa orang di seluruh dunia kurang mencari kegiatan rekreasi yang
melibatkan aktivitas fisik, sementara studi di Finlandia memperlihatkan adanya
10
peningkatan dan studi di Amerika Serikat menunjukkan tidak adanya perubahan
signifikan dari kegiatan rekreasi yang melibatkan aktivitas fisik (WHO, 2009).
Baik pada anak maupun dewasa, terdapat hubungan antara lamanya waktu
menonton televisi dengan risiko obesitas. Suatu kajian menemukan bahwa 63 dari
73 penelitian (86%) menunjukkan adanya peningkatan angka obesitas anak
seiring dengan meningkatnya paparan media, dengan angka yang meningkat
secara proporsional terhadap waktu yang dihabiskan untuk menonton televisi
(Ezekiel, 2009).
2.2.5.3 Genetika
Seperti sejumlah kondisi medis lainnya, obesitas merupakan hasil
perpaduan antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Polimorfisme pada
berbagai gen yang mengontrol nafsu makan dan metabolisme merupakan
predisposisi terjadinya obesitas apabila terdapat energi makanan yang cukup. Pada
2006 lebih dari 41 situs ini telah ditautkan dengan terjadinya obesitas apabila
terdapat lingkungan yang sesuai (Loos, 2010). Seseorang yang memiliki dua
rangkap gen FTO (gen yang berhubungan dengan massa lemak dan obesitas) telah
ditemukan rata-rata mempunyai berat lebih banyak 3–4 kg dan berisiko
mengalami obesitas 1,67- kali lebih besar dibandingkan seseorang yang tanpa
risiko alel. Persentasi populasi obesitas yang disebabkan oleh faktor genetik
cukup bervariasi, bergantung pada populasi yang diperiksa, dan berkisar antara
6% hingga 85% (Yang, 2011). Studi yang berfokus pada pola keturunan
dibandingkan gen spesifik telah menemukan bahwa 80% keturunan dari dua orang
tua yang obesitas juga mengalami obesitas orang tua yang obesitas, sangat kontras
11
dengan hanya kurang dari 10% keturunan dari dua orang tua dengan berat badan
normal (Kolata, 2007).
2.2.5.4 Penyakit lain
Penyakit fisik dan mental tertentu dan obat-obatan yang digunakan untuk
menanganinya dapat meningkatkan risiko obesitas. Penyakit medis yang dapat
meningkatkan risiko obesitas mencakup beberapa sindrom genetik yang langka
(diuraikan di atas) dan juga beberapa kelainan atau kondisi bawaan:
hipotiroidisme, Sindrom Cushing, defisiensi hormon pertumbuhan, defisiensi
testosteron atau estrogen (WHO, 2009). Hormon seks seperti estrogen dan
testosteron mempengaruhi distribusi lemak tubuh dan diferensiasi jaringan
adiposa. Selain itu reseptor estrogen dan testosteron juga meregulasi beberapa
aspek dalam metabolisme glukosa dan lipid. Gangguan signal metabolik ini dapat
menyebabkan terjadi sindroma metabolik yang ditandai dengan obesitas
abdominal dan gangguan profil lipid dan glukosa (Lizcano, et al, 2014).
Meskipun demikian, obesitas tidak dianggap sebagai kelainan psikiatri,
sehingga tidak terdaftar dalam DSM-IVR sebagai penyakit psikiatri (Zametkin,
2004). Risiko kelebihan berat badan dan obesitas lebih tinggi pada pasien dengan
kelainan psikiatrik dibandingkan dengan seseorang tanpa kelainan psikiatrik.
Pengobatan tertentu dapat menyebabkan naiknya berat badan atau perubahan pada
komposisi tubuh; yang mencakup insulin, sulfonilurea, thiazolidinedione,
antipsikotik atipikal, antidepresan, steroid, antikonvulsan tertentu, (fenitoin dan
valproat), pizotifen, dan beberapa bentuk kontrasepsi hormonal (Haslam, 2007).
12
2.2.5.5 Determinan sosial
Korelasi antara kelas sosial dan BMI sangat bervariasi. Suatu tinjauan
pada 1989 menemukan bahwa di negara maju, perempuan dari kelas sosial tinggi
jarang menjadi gemuk. Tidak terlihat perbedaan yang bermakna pada laki-laki
dengan kelas sosial yang berbeda. Di negara berkembang, perempuan, laki-laki,
dan anak-anak dari kelas sosial tinggi mempunyai tingkat obesitas yang lebih
besar (Sobal, 2012). Melemahnya hubungan korelasi ini mungkin disebabkan
karena efek globalisasi (Mclaren, 2007). Di negara maju, tingkat obesitas pada
orang dewasa, persentasi remaja yang kelebihan berat badan, berkorelasi dengan
ketidakseimbangan pendapatan. Hubungan yang serupa terlihat di antara negara
bagian di AS: lebih banyak orang dewasa, bahkan dari kelas sosial tinggi,
menderita obesitas pada negara bagian yang tidak seimbang.
Banyak penjelasan yang dikemukakan tentang hubungan antara BMI dan
kelas sosial. Diperkirakan di negara maju, yang kaya lebih mampu untuk membeli
makanan bergizi, mereka berada di bawah tekanan sosial untuk tetap langsing,
dan mempunyai lebih banyak kesempatan dan juga harapan untuk kebugaran fisis.
Di negara belum maju kemampuan untuk membeli makanan, kebutuhan energi
tinggi karena pekerjaan fisis, dan nilai budaya yang menyukai badan berukuran
besar, dipercaya memberikan kontribusi pada pola yang terlihat (Mclaren, 2007).
Sikap seseorang terhadap massa tubuhnya juga memainkan peran yang penting
dalam terjadinya obesitas. Suatu korelasi terhadap perubahan IMT sejalan dengan
waktu telah ditemukan di antara teman, saudara, dan pasangan. Stres dan
13
pandangan tentang status sosial yang rendah juga meningkatkan risiko obesitas
(Pulver, 2013).
2.2.6 Tatalaksana obesitas
Tata laksana utama obesitas terdiri dari diet dan latihan fisis. Program diet
dapat menghasilkan penurunan berat badan dalam jangka pendek tetapi
mempertahankan penurunan berat badan ini seringkali merupakan hal yang sulit
dan memerlukan latihan dan diet makanan berenergi rendah sebagai bagian dari
gaya hidup yang bersifat permanen. Keberhasilan untuk mempertahankan
penurunan berat badan jangka panjang dengan perubahan gaya hidup masih
rendah, yaitu berkisar antara 2–20% (Wing et al., 2005).
a. Diet
Diet adalah mengurangi pemasukan kalori yang biasanya dilakukan
dengan mengurangi lemak yang tinggi dalam makanan. Jika pemasukan
secara teratur melebihi pengeluaran, maka berat badan akan bertambah.
Jika pengeluaran kalori melebihi pemasukkan, maka berat badan akan
berkurang. Jika defisit 100 kalori per hari, maka berat badan akan
berkurang 0,5 kg setiap 35 hari. Jika defisit 500 kalori per hari, maka berat
badan akan berkurang 0,5 kg setiap minggu. Jika defisit 1000 kalori per
hari makan berat badan akan berkurang 1 kg/ minggu. Kebutuhan kalori
normal adalah 2.000-2.500 kalori per hari bergantung dari aktivitas fisik
masing-masing individu. Penurunan berat badan yang ideal adalah 0,5
sampai 1 kg per minggu. Untuk itu dibutuhkan pemotongan sebesar 500-
1.000 kalori per hari.
14
b. Perubahan gaya hidup
Mencakup alkohol, merokok dan terutama olahraga. Aktivitas fisik seperti
olahraga meningkatkan pengeluaran energi, dengan memperhatikan
frekuensi (3-4x seminggu), intensitas (72-87% dari denyut jantung
maksimal (220-umur)), serta tipe olahraga (15 menit pemanasan, 30-60
menit kombinasi latihan aerobik dan otot, 10 menit pendinginan)
(Sharkey, 2008).
c. Obat
Derivat amfetamin (dexfenfluramin, fenfluramin) dapat menekan nafsu
makan, tetapi telah ditarik dari peredaran karena efek samping (valvulpati
jantung). Orlistat menghambat lipase lambung dan pankreas, serta
mengurangi absorpsi lemak. Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI)
seperti fluoksetin dosis tinggi bisa membantu dengan efektif. Sibutramin
(serotonin dan inhibitor ambilan kembali noradrenalin) mempercepat rasa
kenyang dan mengurangi asupan makanan. Semua obat harus dilanjutkan
hanya jika terdapat penurunan berat badan 0,5 kg/minggu. Kebanyakan
obat hanya bekerja sementara sehingga hanya digunakan untuk
pengobatan jangka pendek. Penanganan obesitas dengan obat-obatan harus
dikombinasikan dengan olahraga yang teratur, pengaturan pola makan,
perubahan pola makan. (Koppelman 2012).
Beberapa obat yang telah disetujui oleh FDA untuk pengobatan jangka
panjang seperti Orlistat, yang digunakan pada remaja dan dewasa,
Lorcaserin, serta kombinasi phentermine dan topiramate lepas lambat.
15
Beberapa obat antiobesitas diantaranya:
1. Orlistat menghambat kerja lipase pankreas, mengurangi pencernaan
trigliserida dan penyerapannya. 2 clinical trial yang besar
menunjukkan penurunan berat badan yang menetap sekitar 9-10%
selama 2 tahun. Efek sampingnya seperti buang angin, tinja yang
berminyak, dan defekasi yang lebih sering.
2. Lorcaserin
3. Phentermine dan topiramat
4. Obat untuk terapi jangka pendek (8-12 minggu) diethylpropion,
phendimetrazine, benzphetamine, dan phetermine.
5. Obat-obatan yang digunakan off-label
Beberapa obat-obatan yang telah disetujui untuk indikasi-indikasi
tertentu tetapi juga dapat mengurangi berat badan yang digunakan
secara off-label, yaitu: anti depresan, metifenidat, zonisamide dan
octreotide.
d. Pembedahan
Tata laksana obesitas yang paling efektif adalah pembedahan bariatrik.
Pembedahan untuk obesitas berat berhubungan dengan penurunan berat
badan jangka panjang dan penurunan mortalitas secara keseluruhan. Suatu
penelitian menemukan penurunan berat badan antara 14% sampai 25%
(bergantung pada jenis prosedur yang dilakukan) dalam 10 tahun, dan
penurunan 29% dalam penyebab mortalitas secara keseluruhan jika
dibandingkan dengan ukuran standar penurunan berat badan (Narbro,
16
2007). Meskipun demikian, karena tingginya biaya dan risiko terjadinya
komplikasi, para peneliti mencari tata laksana lain yang juga efektif,
namun bersifat kurang invasif.
2.3 Trigliserida
2.3.1 Metabolisme lipid
Lipid yang beredar di dalam tubuh diperoleh dari dua sumber yaitu dari
makanan (eksogen) dan hasil produksi organ hati (endogen). Lipid plasma yang
utama adalah kolesterol, trigliserida, fosfolipid dan asam lemak bebas. Lipid tidak
larut dalam air oleh karena itu agar dapat diangkut dalam sirkulasi, maka susunan
molekul lipid tersebut perlu modifikasi, yaitu dalam bentuk lipoprotein. Lipid
disimpan dalam sel lemak dalam bentuk trigliserida (tiga molekul asam lemak dan
satu gliserol). Trigliserida terlalu besar untuk melewati dinding sel lemak menuju
sirkulasi. Kebanyakan trigliserida dibuang dari plasma dalam pembuluh darah
kapiler yang berbatasan dengan otot dan jaringan adiposa. Eliminasi dilakukan
oleh hepar (Sherwood, 2007).
2.3.2 Trigliserida dan olahraga
Kadar serum trigliserida dapat dikurangi dengan diet atau olahraga yang
teratur. Pengurangan yang dikarenakan oleh latihan terjadi beberapa jam setelah
latihan dan bertahan selama kira-kira 2 hari. Dengan latihan yang teratur,
pengurangan lebih lanjut terjadi hingga individu mencapai kondisi stabil yang
konsisten dengan latihannya dan diet. Jika latihan semakin intensif, tubuh akan
menghasilkan asam laktat. Poin dimana asam laktat mulai terakumulasi di dalam
darah yaitu lactate (non-aerobic) threshold mengindikasikan kapan kelebihan
17
produksi laktat dibuang dan kapan perubahan dari metabolisme lemak ke
karbohidrat terjadi.
Asam laktat menghambat asam lemak bebas dari jaringan adiposa. Asam
laktat memblok epinefrin sehingga mengurangi ketersediaan lemak untuk
metabolisme otot. Salah satu efek terbaik dari latihan adalah lebih banyak usaha
dapat dilakukan dengan sedikit kenaikan asam laktat setelah latihan (Sharkey,
2008).
Tubuh selalu mengeluarkan energi. Tetapi aktivitas fisiklah yang paling
mempengaruhi pengeluaran energi. Dalam kondisi puasa (12 jam setelah
konsumsi makanan terakhir), lemak (termasuk plasma asam lemak bebas dan
trigliserida otot) adalah sumber utama energi pada tingkat aktivitas yang ringan
dan sedang. Pada tingkatan yang lebih tinggi, karbohidrat - dalam bentuk glikogen
otot dan glukosa darah - menjadi bahan bakar utama (Sharkey, 2008).
Latihan yang teratur akan menyebabkan pembuangan dan pemanfaatan
trigliserida oleh sel otot daripada membiarkannya tersimpan dalam jaringan
adiposa atau dibuang oleh hati yang mungkin mengumpulkan lebih banyak dari
kolesterol. Latihan fisik rutin dapat meningkatkan kapasitas serat otot untuk
membawa dan mengoksidasikan asam lemak yang berasal dari plasma trigliserida
(Sharkey, 2008).
2.3.3 Dislipidemia dan penyakit
Dislipidemia berdampak pada terjadinya aterosklerosis dan selanjutnya
menyebabkan penyakit kardiovaskular. Lipid tidak larut dalam air dan ditransport
dalam plasma bukan sebagai bentuk bebasnya melainkan sebagai lipoprotein yang
18
mentransport lipid dalam plasma. Peningkatan kolesterol total dan LDL dapat
mengakibatkan angina, infark jantung, aritmia, stroke, penyakit jantung arteri
perifer, dan kematian mendadak (American Heart Association, 2010).
2.4 L-Carnitine
2.4.1 Definisi L-Carnitine
L-Carnitine merupakan derivat dari asam amino yaitu lysine. Nama L-
Carnitine diperoleh karena pertama kali diisolasi dari daging (carnis) pada tahun
1905. Hanya L-isomer dari carnitine yang aktif secara biologis. Selain itu L-
Carnitine juga berfungsi sebagai vitamin pada cacing (Tenebrio molitor), sehingga
dimakan vitamin BT. Manusia dan organisme tingkat tinggi lainnya dapat
mensintesis sendiri L-Carnitine, namun kapasitasnya bergantung masing-masing
individu (Rebouche, 2006).
Gambar 2.1 Struktur L-Carnitine, Acetyl-L-Carnitine dan Propionyl L-
Carnitine (Aktas, 2013)
19
2.4.2 Sumber L-Carnitine
Sumber utama L-Carnitine secara alami adalah dari protein hewani seperti
daging sapi, unggas, ikan, telur. Sedangkan sumber yang berasal dari protein
nabati diantaranya adalah jamur, tomat, pisang dan wortel. Namun sumber-
sumber alami tersebut tidak hanya mengandung L-Carnitine tunggal tetapi juga
tinggi akan kalori yang justru bila dikonsumsi dalam jumlah berlebiih malah dapat
menyebabkan obesitas. Cara pemasakkan yang kurang tepat misalnya dengan cara
digoreng juga dapat berkontribusi meningkatkan kalori dan lemak, sehingga
manfaat L-Carnitine yang ingin didapat menjadi hilang. Oleh karena itu, alternatif
yang dapat digunakan adalah mengisolasi L-Carnitine tersebut dalam bentuk
suplemen.
Tabel 2.2 : Kandungan L-Carnitine di dalam makanan (Rebouche, 2006)
Makanan Porsi L-Carnitine (mg)
Daging sapi 85 gram 81
Daging babi 85 gram 80
Susu full cream 1 gelas 8
Ikan tongkol 85 gram 5
Dada ayam 85 gram 3
Es krim 1/2 gelas 3
Alpukat 1 buah berukuran sedang 2
Roti gandum 2 potong 0.2
Asparagus 1/2 gelas 0.2
20
2.4.3 Metabolisme L-Carnitine
Pada individu yang sehat, homeostasis (keseimbangan) L-Carnitine dapat
dicapai melalui biosintesis endogen L-Carnitine, absorbsi carnitine dari sumber
diet, eliminasi dan reabsorbsi carnitine oleh ginjal (Rebouche, 2006).
Biosintesis endogen
Manusia dapat mensintesis L-Carnitine dari asam amino lysine dan
methionine melalui serangkaian proses. Secara spesifik, ikatan protein lysine
dimetilasi secara enzimatik untuk membentuk N-trimethyllysine; 3 molekul
methionine yang memberikan gugus methyl pada reaksi tersebut. Epsilon-N-
trimethyllysine dilepaskan untuk sintesis carnitine melalui hidrolisis protein
(Lombard, 2009). Beberapa enzim berperan dalam biosintesis L-Carnitine
endogen ini. Jumlah biosintesis L-Carnitine pada manusia dipelajari melalui suatu
studi dan diestimasikan adalah 1.2 micromol/kgBB/hari (Gross, 2006). L-
Carnitine disintesis untuk oksidasi asam lemak di mitokondria dan sebagai sumber
energi (Brass, 2010).
Absorbsi L-Carnitine
Diet
Bioavailabilitas L-Carnitine dari makan dapat bervariasi bergantung dari
komposisi dietnya. Sebagai contoh, salah satu studi menyebutkan bahwa
biovailabilitas L-Carnitine pada individu lebih tinggi pada mereka yang menjalani
diet rendah carnitine (vegetarian; 66%-86%) dibandingkan dengan mereka yang
menjalani diet tinggi carnitine (pemakan daging sering; 54%-72%) (Rebouche,
21
2006).
Suplementasi L-Carnitine
Berdasarkan suatu studi, bioavailabilitas L-Carnitine dari suplemen oral
(dosis 5-6 gram) bervariasi antara 14-18% dari dosis total (Rebouche, 2006).
Sedikit diketahui mengenai bioavailabilitas bentuk asetilasi dari L-Carnitine yaitu
acetyl- L-Carnitine (ALCAR). Namun biovailabilitas ALCAR diduga lebih tinggi
dibandingkan dengan L-Carnitine. Hasil dari eksperimen in vitro menyebutkan
bahwa ALCAR dihidrolisis secara parsial melalui absorbsi usus (Foster, 2007).
Eliminasi dan absorbsi
L-Carnitine dan acylcarnitines rantai pendek (gugus ester dari L-
Carnitine), seperti acetyl- L-Carnitine, diekskresikan melalui ginjal. Rearbsorbsi
renal dari L-Carnitine sangat efisien, diperkirakan 95% direabsorbsi oleh ginjal.
Jadi ekskresi carnitine oleh ginjal normalnya sangat rendah. Namun pada
beberapa kondisi reabsorbsi carnitine dapat menurun dan sebagai respon dapat
meningkatkan eskresi carnitine. Kondisi tersebut diantaranya adalah diet tinggi
lemak (rendah karbohidrat), diet tinggi protein, kehamilan dan kondisi medis
tertentu (primary systemic carnitine deficiency) (Sahlin, 2011).
Ketika kadar L-Carnitine dalam sirkulasi meningkat, semisal melalui
konsumsi suplemen oral, reabsorbsi L-Carnitine menjadi lebih pekat dan
menyebabkan peningkatan ekskresi L-Carnitine. L-Carnitine dari diet maupun
suplemen yang tidak terabsorbsi oleh enterosit didegradasi oleh koloni bakteri dan
22
membentuk 2 produk yaitu trimethylamine dan γ-butyrobetaine. γ-butyrobetaine
dieliminasi di feses; sementara trimethylamine diabsorbsi dengan baik dan
dimetabolisme menjadi trimethylamine-N-oxide, yang kemudian diekskresi
melalui urine (Foster, 2007).
2.4.4 Aktivitas biologi L-Carnitine
Oksidasi asam lemak rantai panjang di mitokondria
L-Carnitine terutama disintesis di hepar namun juga di ginjal dan
kemudian ditransport ke jaringan. L-Carnitine terutama terkonsentrasi di jaringan
yang menggunakan asam lemak sebagai bahan bakar utama seperti misalnya otot
rangka dan otot jantung. Dalam hal ini, L-Carnitine memiliki peranan penting
dalam produksi energi dengan cara mengkonjugasi asam lemak untuk transport ke
mitokondria (Foster, 2007).
L-Carnitine diperlukan untuk oksidasi β asam lemak rantai panjang pada
produksi energi. Asam lemak rantai panjang harus dalam bentuk gugus ester dari
L-Carnitine (acylcarnitine) untuk dapat masuk ke matriks mitokondria dimana
terjadi proses beta oksidasi. Protein dari carnitine-acyl transferase mentransport
acylcarnitine ke dalam matriks mitokondria. Pada bagian luar dari membran
mitokondria, carnitine-palmitoyl transferase I (CPTI) mengkatalisis transfer asam
lemak rantai panjang menjadi sitosol dari koenzim A (CoA) ke L-Carnitine.
Transport protein yang disebut dengan carnitine acylcarnitine translocase (CACT)
memfasilitasi transport gugus acylcarnitine memasuki membran dalam
mitokondria. Pada membran dalam mitokondria, carnitine-palmitoyl transferase II
23
(CPTII) mengkatalisis transfer asam lemak dari L-Carnitine menjadi CoA bebas
di dalam matriks mitokondria, dimana terjadi metabolisme melalui oksidasi beta
(Rebouche, 2006).
Gambar 2.2 Metabolisme L-Carnitine di mitokondria (Aktas, 2013)
2.4.5 L-Carnitine dan hipertrigliseridemia
Carnitine (3-hydroxy-4-N-trimethylaminobutyric acid) merupakan bentuk
asam amino yang berperan sebagai mediator pada transfer matriks mitokondria
selama oksidasi asam lemak rantai panjang. Jika tubuh kekurangan L-Carnitine,
maka oksidasi beta asam lemak rantai panjang tidak terjadi dan metabolisme
energi dari sel akan mengalami kegagalan (Atila et al., 2010). Kekurangan L-
Carnitine akan mencegah lemak digunakan sebagai bahan bakar (Amat et al.,
24
2012). L-Carnitine berperan dalam metabolisme transport asam lemak rantai
panjang, sehingga berperan juga dalam metabolisme energi myocardial.
L-Carnitine memiliki peranan kuat dalam konversi lemak menjadi energi. L-
Carnitine berperan dalam proses beta oksidasi melalui transport asam lemak
rantai panjang dari sitosol ke mitokondria. Asam lemak menyeberangi membran
mitokondria sebagai acylcarnitine, yaitu pemendekan rantai atau desaturasi-
elongasi rantai. Sehingga transfer asam lemak yang bergantung pada L-Carnitine
menjadi pusat metabolisme lemak (Foster, 2007).
Transfer asam lemak yang bergantung pada L-Carnitine penting dalam
metabolisme lipid. Sehingga pemberian L-Carnitine tambahan dapat
meningkatkan penggunaaan lemak untuk menurunkan kadar trigliserida darah
(Ramsay, 2013). Pemberian L-Carnitine dapat meningkatkan penggunaan lemak
dan menurunkan level trigliserida plasma (Bhagavan, 2001). Studi yang dilakukan
oleh Sirtori et al menemukan bahwa L-Carnitine berguna dalam menurunkan
parameter risiko diabetes seperti lipid plasma dan lipoprotein. Konversi ini dapat
menurunkan sintesis trigliserida dan meningkatkan oksidasi beta asam lemak di
mitokondria. Studi lain yang dilakukan oleh Casciani et al juga mendukung opini
bahwa L-Carnitine dapat menurunkan kadar kolesterol, trigliserida dan asam
lemak bebas. Studi tersebut membandingkan antara kelompok yang diberikan L-
Carnitine dengan kelompok kontrol. Penurunan kadar trigliserida pada pasien
yang mengonsumsi L-Carnitine disebabkan oleh penurunan sintesis trigliserida di
hepar atau adanya inhibisi pengeluaran trigliserida dari hepar (Casciani, 2013).
25
2.4.6 L-Carnitine untuk menurunkan berat badan
Saat ini obesitas menjadi salah satu problem yang paling serius. L-
Carnitine merupakan derivat asam amino yang berperan dalam suplemen
nutrisional pada obesitas. L-Carnitine memiliki peranan kuat dalam konversi
lemak menjadi energi. L-Carnitine berperan dalam proses beta oksidasi melalui
transport asam lemak rantai panjang dari sitosol ke mitokondria. Asam lemak
menyeberangi membran mitokondria sebagai acylcarnitine, yaitu pemendekan
rantai atau desaturasi-elongasi rantai. Sehingga transfer asam lemak yang
bergantung pada L-Carnitine menjadi pusat metabolisme lemak.
Kapan saja tubuh memerlukan energi, asam lemak dilepaskan dari VLDL
dan chylomicron yang kemudian ditransfer ke dalam sel dengan bantuan L-
Carnitine. Asam lemak setelah memasuki sel membutuhkan media untuk
melewati membran mitokondria dimana proses oksidasi beta terjadi. L-Carnitine
berperan sebagai media untuk melewati membran mitokondria ini. Hal ini dapat
membantu menurunkan berat badan pada orang yang mengalami obesitas. Bila
orang yang menderita obesitas tersebut melakukan olahraga, maka tubuh akan
membutuhkan energi. L-Carnitine akan membantu transport asam lemak ke otot
untuk produksi energi (Kalpana, 2012).
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Brass pada tahun 2010, pemberian
L-Carnitine dapat membantu menurunkan berat badan jika dikombinasikan
dengan diet rendah kalori dan olahraga. Studi tersebut juga menyebutkan bahwa
penderita obesitas yang melakukan olahraga rutin dapat mengonsumsi L-Carnitine
hingga 2 g/hari untuk menurunkan berat badan. Subyek penelitian yang obesitas
26
dan melakukan olahraga rutin membutuhkan tambahan L-Carnitine untuk
transport asam lemak yang digunakan untuk produksi energi. Jika tubuh
mengalami kekurangan L-Carnitine, maka proses oksidasi beta asam lemak rantai
panjang tidak terjadi dan metabolisme sel juga tidak akan terjadi. Sama hal nya
ketika terjadi ekskresi berlebih asam lemak dari tubuh (pada saat olahraga), L-
Carnitine akan dibutuhkan untuk metabolisme sel (Brass, 2010).
2.4.7 Dosis L-Carnitine
Beberapa studi menyebutkan bahwa asupan suplemen L-Carnitine 6 g/hari
masih tergolong batas aman dan dapat ditoleransi. Namun kebutuhan ini lebih
diperuntukan untuk atlit yang kebutuhannya lebih tinggi. Individu yang
mengalami obesitas dengan aktivitas fisik rutin ringan-sedang dianjurkan hanya
hingga 2 g/hari (Kalpana, 2012).
Namun demikian, menggunakan suplemen saja tidak cukup; harus
didukung dengan berolah raga. Olahraga sendiri penting dalam menurunkan berat
badan individu yang mengalami obesitas. Olahraga yang dilakukan bisa beragam
semisal olahraga cardio atau aerobik seperti berenang. Bertambah berat kerja otot
yang dilakukan, bertambah banyak oksigen yang dibutuhkan. Ini meningkatkan
fungsi dan kerja dari mitokondria serta meningkatkan VO2 maksimal dan
meningkatkan pembakaran lemak. L-Carnitine adalah nutrisi yang berperan
mengangkut lemak ke mitokondria untuk dibakar dan diubah menjadi energi bagi
tubuh. L-Carnitine yang cukup memungkinkan tubuh untuk membakar lemak
pada tingkat optimal. Fungsi penting lainnya adalah dapat mengontrol lemak dan
berat badan, dengan meningkatkan metabolisme tubuh dan meningkatkan
27
kecepatan konversi lemak dan karbohidrat menjadi energi. Bersama protein, L-
Carnitine mengonversi lemak menjadi masa otot. Sebagai antioksidan, L-
Carnitine menghambat peroksidasi lipid dan menurunkan stres oksidatif
(Heinonen, 2006).
2.5 Olahraga
Apabila dilakukan dengan takaran yang benar, olahraga dapat
meningkatkan kebugaran fisik (Sharkey, 2008). Aktivitas fisik seperti olahraga
meningkatkan pengeluaran energi, dengan memperhatikan frekuensi (3-5x
seminggu), intensitas (72-87% dari denyut jantung maksimal (220-umur)),
serta tipe olahraga (15 menit pemanasan, 30-60 menit kombinasi latihan
aerobik dan otot, 10 menit pendinginan). Tujuan dari prinsip FITT (Frequency,
Intensity, Type, Time) adalah untuk mencapai efek pelatihan. Frekuensi
olahraga yang ideal adalah 3-5 kali/minggu, dengan intensitas denyut nadi saat
olahraga 75% (220-umur), waktu olahraga kurang dari 300 menit/minggu, serta
jenis olahraga seperti berenang, sepeda statis (Pangkahila, 2007).
Manfaat kesehatan dari olahraga selain berupa peningkatan kebugaran
termasuk juga mengurangi lemak tubuh dan dampak utamanya dapat
menurunkan berat badan (Manore and Thompson, 2000). Olahraga sebaiknya
dilakukan secara teratur dengan memperhatikan komponen utama dari olahraga
yaitu jenis olahraga, intensitas, durasi, frekuensi dan progresivitas latihan
(Astrand et al, 2003). Untuk menurunkan berat badan pada individu dengan
overweight dan obesitas, jumlah pemakaian energi total dalam latihan harus
28
lebih dari 10.465 KJ per hari (2503,6 kkal/hari) (Pestacello, 2000). Untuk itu
diperlukan latihan fisik aerobik dengan intensitas sedang setiap hari (Schoeller,
1997). American College of Sport Medicine merekomendasikan olahraga
aerobik dengan intensitas sedang minimal 30 menit setiap hari nya untuk
program penurunan berat badan (Leslie, et al, 2012).
Aktivitas fisik dibagi menjadi 2 yaitu aerobik yang menghasilkan 38
molekul ATP per molekul glukosa dan anaerobik yang menghasilkan 2
molekul ATP. Sumber energi untuk aktivitas fisik aerobik berasal dari
pembakaran karbohidrat, lemak dan protein yang menghasilkan Adenosine
Triphosphate (ATP). Saat kontraksi otot, tambahan ATP didapatkan dari
pemindahan fosfat berenergi tinggi dari kreatinin fosfat ke ADP, fosfolirasi
oksidatif, dan proses glikolisis (Sherwood, 2001). Sumber energi untuk
aktivitas fisik anaerobik berasal dari proses hidrolisis phosphocreatine dan
glikolisis glukosa, yang terjadi tanpa oksigen, serta menghasilkan asam laktat
yang dapat menimbulkan nyeri otot dengan stres fisik (Hernawati, 2009).
Pengaruh aktivitas fisik terhadap faktor hormonal antara lain (Sharkey,
2008):
Growth hormone (GH): dihasilkan oleh kelenjar pituitari pada otak.
GH akan menstimulasi hepar untuk memproduksi hormon yang disebut dengan
IGF-1. IGF-1 berperan penting dalam fungsi metabolik termasuk:
meningkatkan pemecahan trigliserida, meningkatkan penggunaan lemak
menjadi energi, retensi sodium, fosfat dan air dan stimulasi produksi protein.
29
GH akan mengurangi ambilan asam lemak bebas oleh sel adiposa. GH dapat
mengurangi kadar lemak dalam tubuh dan mempertahankan glukosa darah.
Endorfin: Ketika kita melakukan aktivitas fisik lebih dari 30 menit,
maka kadar endorfin darah meningkat, di mana fungsi endorfin adalah untuk
memblok rasa sakit, menurunkan nafsu makan, mengurangi tekanan dan rasa
cemas.
Testosteron: Kadar testosteron meningkat setelah berolahraga
selama 20 menit, berperan untuk mempertahankan kekuatan otot, menurunkan
kadar lemak dalam tubuh. Testosteron juga berperan pada pengaturan libido
dan orgasme pada wanita.
Estrogen: Estrogen dapat meningkatkan pemecahan lemak dari
lemak tubuh sehingga dapat digunakan sebagai sumber tenaga, meningkatkan
rata-rata metabolisme basal, meningkatkan mood, meningkatkan libido.
Hormon ini disekresi oleh ovarium, meningkat saat olahraga dan tetap
meningkat sampai 1-4 jam setelah olahraga.
Tiroksin: Hormon yang diproduksi oleh kelenjar tiroid,
meningkatkan metabolisme hampir semua sel dalam tubuh. Peningkatan
metabolisme ini membantu kita merasa lebih energik dan juga menyimpan
kalori, penting untuk penurunan berat badan. Kadar tiroksin dalam darah
meningkat sekitar 30% selama olahraga dan tetap meningkat sampai beberapa
jam sesudahnya. Olahraga yang teratur juga meningkatkan level tiroksin saat
istirahat.
30
Epinefrin: tersedia dari dua tempat, kelenjar adrenalin dan saraf
yang berakhir pada sistem saraf simpatetik. Seperti kebanyakan hormon
lainnya, epinefrin bekerja pada reseptor yang belokasi di permukaan selaput
organ target, dalam hal ini jaringan adiposa. Hormon ini memulai serangkaian
langkah yang mengarah pada penggunaan lemak trigliserida dan pelepasan
asam lemak bebas ke dalam sirkulasi. Asam lemak bebas kemudian bergerak
ke otot yang bekerja, di mana asam ini digunakan untuk menggerakkan
kontraksi. Pemanfaatan asam lemak ini akan menurunkan berat badan.
Insulin/adrenalin: Berperan dalam mengatur kadar gula darah,
lemak, protein. Insulin sering disebut sebagai hormon lemak atau fat hormone
karena konsumsi gula sederhana meningkatkan insulin yang menyebabkan
peningkatan kadar lemak. Pada orang dengan berat badan berlebih, terjadi
resistensi insulin sehingga diperlukan insulin dalan jumlah yang lebih besar
untuk didapatkan efek yang sama, sehingga didapatkan kadar insulin darah
yang lebih tinggi dan latihan aerobik setiap hari. Kadar insulin darah mulai
menurun 10 menit saat olahraga dan terus menurun sekitar 70 menit olahraga.
Olahraga yang teratur juga meningkatkan sensitivitas sel terhadap insulin
dalam keadaan istirahat.
Glukagon: kadar glukagon meningkat setelah aktivitas fisik selama
30 menit, di mana kadar gula darah mulai menurun. Glukagon disekresi ketika
kadar gula darah rendah serta berperan untuk meningkatkan kadar gula darah
hingga mencapai normal.
31
2.6 Hewan Coba Tikus (Rattus norvegicus)
Klasifikasi tikus Wistar (Russel et al., 2008):
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Family : Muridae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus
2.6.1 Penggunaan Tikus
Pada percobaan ini menggunakan tikus Rattus norvegicus karena tikus
jenis ini mudah dipelihara dan cocok untuk berbagai macam penelitian. Tikus
jenis ini panjangnya dapat mencapai 40 cm, berat antara 140-500 gram, dan
dapat hidup hingga usia 4 tahun (Kusumawati, 2004). Ciri khas tikus galur
Wistar yaitu kepala besar dan ekor pendek.
32
Tabel 2.3 Data Biologi Tikus (Russel et al., 2008)
No. Kondisi Biologi Jumlah
1. Berat badan : - Jantan
- Betina
300-400 g
250-300 g
2. Lama hidup 2,5 – 3 tahun
3. Temperatur tubuh 37,5o C
4. Kebutuhan : - air
- makanan
8-11 ml/100g BB
5 g/100g BB
5. Pubertas 50-60 hari
6. Lama kehamilan 21-23 hari
7. Tekanan darah : - sistolik
- diastolik
84-184 mmHg
58-145 mmHg
8. Frekuensi : - Jantung
- Respirasi
330-480/menit
66-114/menit
9. Tidal Volume 0,6-1,25 mm
Penggunaan tikus sebagai bahan percobaan lebih menguntungkan
daripada mencit karena ukurannya yang lebih besar, serta tikus jantan lebih
jarang berkelahi daripada mencit jantan. Sifat khas dari hewan percobaan tikus
yaitu tidak mempunyai kantung empedu dan tidak mudah muntah. Secara
umum, berat tikus laboratorium lebih ringan daripada tikus liar. Saat berumur 4
minggu rata-rata memiliki berat 35-40 gram, dan saat dewasa 200-250 gram
(Russel et al., 2008).
Pada penelitian ini, digunakan tikus putih jantan obesitas. Penentuan
tikus obesitas berdasarkan indeks Lee yaitu: (Campos, 2008)
33
Indeks Lee: Berat badan tikus (gr)
Panjang hidung - anus (mm)
>0,3 = obesitas
Pada penelitian ini diambil rentang berat tikus putih jantan obesitas
dewasa adalah 250-300 gram.
2.6.2 Pemantauan Keselamatan Tikus
Yang harus diperhatikan saat penggunaan tikus sebagai hewan coba,
yaitu kandang tikus harus kuat, tidak mudah rusak, mudah dibersihkan, mudah
dipasang lagi, tahan terhadap gigitan tikus, sehingga hewan tidak mudah lepas.
Selain itu, mudah dibersihkan dan hewan tampak jelas dari luar. Alas tempat
tidur menggunakan sekam yang mudah menyerap air. Suhu, kelembaban dan
pertukaran udara di dalam kandang harus baik (Ngatidjan, 2006). Setiap hari
kandang dibersihkan dan alas tidur diganti, tangan perawat harus selalu bersih
ketika merawat tikus. Peneliti memperhatikan bila muncul gejala sakit seperti
berat badan turun, sukar bernapas ataupun mencret. Setiap hari berat badan
tikus diukur untuk menentukan dosis pemberian L-Carnitine setiap harinya
sesuai dengan berat badan tikus.
2.6.3 Olahraga Berenang Tikus
Tikus merupakan spesies yang paling sering digunakan di dalam
eksperimen untuk melakukan berenang sebagai modalitas olahraga pada studi-
studi yang melibatkan olahraga sebagai perlakuan. Tikus memiliki kemampuan
34
berenang dan merupakan perenang yang baik jika dibutuhkan (Kregel, 2006).
Berenang dapat digunakan untuk mengidentifikasikan fungsi fisiologis,
biokimia dan respons molekular sel terhadap paparan olahraga. Pada tikus,
berenang juga dapat menjadi parameter olahraga yang baik karena aktivitas
dilakukan secara terus menerus tanpa berhenti. Tidak seperti halnya pada tikus
yang diberikan olahraga treadmill yang akan terdapat fase berhenti (Davies, et
al, 2011). Selain itu jika dibandingkan dengan olahraga treadmill ataupun roda
putar, berenang juga memiliki keuntungan tidak menyebabkan cedera kaki
pada tikus. Sehingga tidak akan menyebabkan trauma fisik pada tikus (Kregel,
2006).
Ukuran dan bentuk tangki yang digunakan untuk tikus berenang dapat
mempengaruhi performa tikus dalam berolahraga. Tangki yang bulat
merupakan pilihan yang baik dibandingkan dengan tangki yang kotak karena
tikus tidak dapat bergantung untuk beristirahat di pojok tangki dan menurunkan
intensitas olahraga berenangnya (Dawson, et al, 2007). Pada penelitian ini
olahraga berenang dilakukan di dalam tangki berbentuk bulat dengan
kedalaman 50 cm yang diisi dengan 40 cm air.
Intensitas olahraga tikus dapat berupa intensitas ringan, sedang dan berat.
Intensitas ringan-sedang adalah apabila tikus melakukan olahraga berenang
tanpa adanya beban yang terpasang di ekornya (Dawson, et al, 2007). Kriteria
lainnya adalah 75% dari overtraining atau sekitar 45 menit. Overtraining pada
tikus adalah ketika tikus terlihat melakukan gerakan tak terkoordinasi atau
35
hampir tenggelam (Kregel, 2006). Sementara olahraga intensitas berat adalah
ketika tikus melakukan olahraga berenang dengan beban terpasang di ekornya
(Dawson, et al, 2007).
Selama tikus melakukan olahraga berenang, peneliti melakukan
observasi penuh untuk melihat tanda overtraining atau tikus hampir tenggelam.
Setelah olahraga selesai dilakukan, peneliti memastikan seluruh tikus
dikeringkan dan ditempatkan pada lingkungan yang hangat dengan meletakkan
tikus di bawah sinar lampu.