bab ii kajian pustaka 2.1. kajian teoritis 2.1.1...
TRANSCRIPT
9
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kajian Teoritis
2.1.1. Pembelajaran IPA
Berdasarkan istilahnya, IPA artinya pengetahuan yang rasional (masuk
akal/logis) dan objektif (sesuai dengan kenyataannya) tentang alam semestas dan
segala isinya. IPA merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yang sering disebut
sebagai Natural Science atau sering disebut Science. Nash (Tn, 2001: 1)
mengatakan bahwa science is the attempt to make the chaotic diversity of our
sense experience correspond to a logically uniform system of thougt.
Terjemahannya adalah sebagai berikut: IPA merupakan suatu bentuk upaya yang
membuat berbagai pengalaman menjadi suatu sistem berpikir logis yang tertentu
dan tidak lain adalah berpikir ilmiah.
JD Bernal (dalam Tn, 2001: 2) menyatakan bahwa IPA dipandang sebagai:
(1) institusi; (2) metode; (3) kumpulan pengetahuan; (4) faktor yang berpengaruh
terhadap peningkatan produksi; (5) faktor penting yang mempengaruhi sikap dan
pandangan terhadap alam. Sementara Carin dan Sund (Tn, 2001: 2) menyatakan
bahwa IPA merupakan system of knowing atau sistem untuk mengetahui alam, dan
IPA merupakan kumpulan pengetahuan yang berfungsi untuk menjelaskan apa
yang diperoleh.
Sri dan Irianto (2006: iii) menyatakan bahwa IPA berkaitan dengan cara
mencari tahu tentang alam yang sistematis, sehinga IPA bukan hanya penguasaan
kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep atau prinsip-
prinsip saja, tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Dengan begitu,
pendidikan IPA di SD diharapkan dapat menjadi wahana bagi siswa untuk
mempelajari diri sendiri dan alam sekitar. Dari uraian di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa IPA adalah:
a. IPA dapat dipandang sebagai produk dari upaya manusia memahami
berbagai gejala alam. Produk ini dapat berupa prinsip-prinsip, teori-teori,
10
hukum-hukum maupun fakta-fakta yang kesemuanya itu ditunjukkan untuk
menjelaskan berbagai gejala alam.
b. IPA dipandang sebagai proses, yaitu tata cara tertentu/ketrampilan tertentu
yang sifatnya analitis, cermat, lengkap, serta menghubungkan gejala alam
yang satu dengan gejala alam yang lain, sehingga keseluruhannya
membentuk suatu sudut pandang yang baru tentang obyek yang diamatinya.
2.1.2. Tujuan Pembelajaran IPA di SD
Dalam KTSP 2006, mata pelajaran IPA di SD/MI bertujuan agar peserta
didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
1) Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya.
2) Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
3) Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya hubungan saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi, dan masyarakat.
4) Mengembangkan ketrampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar memecahkan masalah dan membuat keputusan.
5) Meningkatkan kesadaran untuk berperan dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam.
6) Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam semesta dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.
7) Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs.
Tujuan di atas mengisyaratkan bahwa pembelajaran IPA di SD, hendaknya
tidak menitikberatkan pada upaya pencapaian akademik semata, tetapi juga
berorientasi pada penanaman nilai-nilai IPA secara komprehensif. Dengan
demikian, penyajian materi atau konsep tidak dilakukan secara informatif melalui
ceramah. Pembelajaran IPA, sebaiknya melibatkan siswa dalam kegiatan yang
memungkinkan siswa untuk membangun pengetahuannya sendiri. Agar situasi ini
terjadi, dengan demikian, memilih model pembelajaran menjadi penentu penting.
Dengan demikian, diharapkan dengan menerapkan model pembelajaran berbasis
masalah tujuan pendidikan IPA seperti yang diharapkan dapat tercapai.
2.1.3. Fungsi Pembelajaran IPA di SD
Fungsi pengajaran IPA di sekolah dasar adalah sebagai berikut (Tn, 2001: 3)
11
1) memberikan pengetahuan tentang berbagai jenis dan perangai lingkungan alam dan lingkungan buatan dalam kaitannya dengan pemanfaatannya bagi kehidupan sehari-hari.
2) mengembangkan ketrampilan proses.3) mengembangkan wawasan, sikap dan nilai yang berguna bagi siswa untuk
meningkatkan kualitas kehidupan sehari-hari.4) mengembangkan kesadaran tentang adanya hubungan keterkaitan yang
saling mempengaruhi antara kemajuan IPA dan teknologi, dengan keadaan lingkungan dan pemanfaatannya dalam kehidupan sehari-hari.
5) mengembangkan ketrampilan untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), serta ketrampilan yang berguna dalam kehidupan sehari-hari, maupun untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.
2.1.4. Ruang Lingkup IPA di SD
Berdasarkan kurikulum 2006 (KTSP), ruang lingkup bahan kajian IPA
meliputi beberapa aspek kajian pokok IPA yang diajarkan di SD, yaitu:
1) mahkluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan serta kesehatan.
2) benda atau materi, sifat-sifat dan kegunaannya.3) energi dan perubahannya, meliputi: magnet, listrik, cahaya, dan pesawat
sederhana4) bumi dan alam semesta, meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan benda-benda
langit lainnya.
2.1.5. Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Pengertian pembelajaran itu sendiri menurut Hamalik (2004:57) adalah
suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas
dan prosedur yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan. Unsur
manusiawi terdiri dari guru, siswa dan tenaga kependidikan lainnya, unsur
material meliputi buku-buku, papan tulis dan kapur, slide dan lain-lain. Fasilitas
meliputi ruangan kelas, perlengkapan, audio visual juga komputer. Prosedur
meliputi jadwal dan metode penyampaian informasi, praktek, belajar ujian dan
sebagainya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan suatu
kesatuan antara proses belajar mengajar, sarana dan prasarana yang dibutuhkan
dalam proses belajar mengajar, strategi dan metode yang digunakan dalam proses
belajar mengajar.
12
Konsep model pembelajaran lahir dan berkembang dari pakar psikologi
dengan pendekatan dalam settingeksperimen yang dilakukan. Konsep model
pembelajaran untuk pertama kalinya dikembangkan oleh Bruce dan koleganya.
Menurut Supriyono Koes H (2003: 4), model pembelajaran adalah sebuah rencana
atau pola yang mengorganisasikan pembelajaran dalam kelas dan menunjukn
penggunaan materi pembelajaran.
Model pembelajaran berbeda dengan strategi, metode dan prinsip
pembelajaran. Model pembelajaran merupakan kesatuan dari metode, strategi dan
langkah-langkah pembelajaran. Salah satu ciri khusus model pembelajaran yang
tidak dimiliki oleh strategi atau prosedur tertentu yaitu tingkah laku mengajar
(sintaks) yang menggambarkan pola sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Lebih lanjut Ismail (dalam (Widiarto, Rachmadi, 2004: 76) menyabutkan bahwa
istilah model pembelajaran tidak dipunyai oleh strategi atau motode tertentu yaitu:
a. Rasional teoritik yang logis disusun oleh penciptanya
b. Tujuan pembelajaran yang hendak dicapai
c. Tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut berhasil
(syntaks)
d. Lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran dapat tercapai
Salah satu yang membedakan model pembelajaran yang satu dengan yang
lain adalah tingkah laku mengajar (syntaks) yang digunakan oleh masing-masing
model pembelajaran. Syntaks inilah yang menjadi ciri khas dari suatu model
pembelajaran. Masing-masing model pembelajran memiliki syntaks yang berbeda-
beda meskipun memiliki tujuan pembelajaran yang sama.
Dari berbagai pemaparan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
model pembelajaran merupakan sebuah rencana atau pola yang
mengorganisasikan pembelajaran dalam kelas dan menunjukn penggunaan materi
pembelajaran, dimana model pembelajaran itu sendiri berbeda dengan metode
maupun strategi pembelajaran. Ciri mendasar yang membuat model pembelajaran
berbeda dengan metode pembelajaran maupun strategi pembelajaran adalah
bahwa model pembelajaran merupakan satu kesatuan yang disebut sintaks atau
tingkah laku mengajar.
13
Model Pembelajaran Berbasis Masalah atau Problem Based Instruction
(PBI) merupakan model pembelajaran yang berdasar pada pendekatan Problem
Based Learning yaitu suatu model pembelajaran yang menghadapkan siswa pada
masalah dalam kehidupan sehari-hari, yang memulai proses pembelajaran dengan
mengemukakan masalah.
Menurut Abbas (2000: 87) model Pembelajaran Berbasis Masalah atau
model Problem Based Instructon bercirikan penggunaan masalah dunia nyata,
sedangkan Nurdin Ibrahim (Trianto, 2007:67) menyatakan bahwa “Pembelajaran
berdasarkan masalah merupakan pembelajaran yang menyajikan masalah, yang
kemudian digunakan untuk merangsang berfikir tingkat tinggi yang berorientasi
pada masalah, dan termasuk didalamnya belajar bagaimana belajar”.
Ratumanan (dalam Trianto, 2007:92) mengungkapkan bahwa:
Pelajaran berdasarkan masalah merupakan pendekatan yang efektif untuk
pengajaran proses berpikir tingkat tinggi, pembelajaran ini membantu siswa untuk
memproses informasi yang sudah jadi dalam benaknya dan menyusun
pengetahuan mereka sendiri tentang dunia sosial dan sekitarnya. Pembelajran ini
cocok untuk mengembangkan pengetahuan dasar maupun kompleks.
Dalam model ini siswa dilatih untuk berinteraktif dengan bertanya dan
mengemukakan pendapat mengenai masalah yang dikemukakan di awal
pembelajaran, untuk mencapai jawaban dari permasalahan yang diajukan maka
siswa melakukan kegiatan penyelidikan, mengumpulkan dan menganalisa
informasi, mencari jawaban, sampai akhirnya siswa mampu menghasilkan produk
yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian dari masalah yang mereka
temukan. Hal itu sesuai dengan yang dikemukanan Arends (Triatno, 2007:68)
bahwa “Pembelajaran berbasis masalah merupakan sebuah model dimana siswa
dihadapkan pada masalah nyata yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang
disuguhkan di awal pembelajaran dan diharapkan siswa dapat menemukan inti
permasalahan dan berpikir bagaimana cara menyelesaikan masalah tersebut”.
Mendasarkan pada pendapat para ahli di atas tentang pengertian model
pembelajaran berbasis masalah (PBI), maka peneliti menyimpulkan bahwa model
pembelajaran berbasis masalah adalah model sebuah model pembelajaran dimana
14
siswa dihadapkan pada masalah nyata yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari,
dimana masalah nyata ini disuguhkan pada awal pembelajaran, sehingga
membantu siswa untuk memproses informasi yang sudah jadi dalam benaknya
dan menyusun pengetahuan mereka sendiri tentang dunia sosial dan sekitarnya.
2.1.6. Teori Yang Melandasi Model Pembelajaran Berbasis Masalah
a. Dewey dan Kelas Demokrasi
Pembelajaran berdasar masalah menemukan akar intelektualnya pada
penilitian John Dewey (Trianto, 2007:67) menggambarkan suatu pandangan
tentang pendidikan dan demokrasi dimana sekolah seharusnya mencerminkan
masyarakat besar dan kelas merupakan laboratorium sebagai tempat untuk
menyelesaikan kehidupan nyata. Pandangan Dewey inilah yang melengkapi
filosofi yang melandasi pembelajaran berdasar masalah.
b. Paget, Vygotsky dan Konstuktivisme.
Jean Piaget dan Lev Vygotsky (Budiningsih, 2005:97) adalah ahli psikologi
Eropa yang mengembangkan konsep konstruktivisme dan diatas konsep inilah
pembelajaran berdasar masalah konteporer diletakan. Menurut Piaget pedagogi
yang baik harus melibatkan pemberian anak dengan situasi dimana anak-anak itu
mandiri dalam melakukan eksperimen.
Sedangkan menurut Vygotsky (Budinigsih, 2005:99) perkembangan
intelektual terjadi pada saat individu berhadapan dengan pengalaman baru yang
menantang ketika mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang
dimunculkan oleh pengalaman ini. Vygotsky juga percaya bahwa interaksi sosial
dengan teman lain memacu terbentuknya ide baru memperkaya perkembangan
intelektual siswa.
c. Bruner dan Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning).
Bruner (Koes. 2003:153) mengemukakan suatu teori pendukung penting
yang dikenal sebagai pembelajaran penemuan, yaitu suatu model pemnemuan
yang menekankan pentingnya membantu siswa memahami struktur ide kunci dari
suatu keyakinan bawa pembelajaran yang sebenarnya terjadi melalui penemuan
pribadi. Pembelajaran berdasar masalah juga bergantung pada konsep lain dari
15
Bruner yaitu Scaffolding , yaitu suatu proses dimana seorang siswa dibantu
menenuntaskan masalah tertentu melalui kapasitas perkembangannnya melalui
bantuan dari guru atau orang yang mempunyai kelebihan lebih.
Pembelajaran berbasis masalah mempunyai perbedaan penting dengan
pembelajaran penemuan. Pada pembelajaran penemuan ddasarkan pada
pernyataan-pernyataan berdasar disiplin ilmu dan penyelidikan siswa berlangsung
dibawah bimbingan guru terbatas dalam ruang lingkup kelas, sedangkan
pembelajaran berbasis masalah dimulai dengan masalah kehidupan nyata yang
bermakna yang bermakna dimana siswa mempunyai kesempatan dalam memilih
dan melakukan penyelidikan apapun baik dalam maupun diluar sekolah sejauh itu
diperlukan untuk memecahkan masalah.
Menurut Bruner (Dahar, 1996:103) pengetahuan yang diperoleh melalui
belajar penemuan memiliki beberapa kebaikan yaitu:
1) Pengetahuan yang diperoleh lebih bertahan lama dari pada diperoleh dengan
cara lain.
2) Hasil belajar penemuan memiliki efek transfer yang lebih baik artinya
konsep-konsep yang telah dimiliki lebih mudah diterapkan pada situasi-
situasi baru.
3) Belajar penemuan meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk
berpikir bebas.
2.1.7. Sintaks Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Tahapan-tahapan Model Pembelajaran Problem Based Instruction menurut
Ibrahim (Trianto, 2007: 71) mengemukakan lima tahap yang dilakukan dalam
Model Pembelajaran Berbasis Masalah yaitu dimulai dengan memperkenalkan
siswa dengan siswa suatu situasi masalah, mengorganisasikan siswa dalam
kelompok belajar, siswa melakukan kegiatan penyelidikan guna mendapatkan
konsep untuk menyelesaikan masalah kemudian membuat karya atau laporan,
mempresentasikan dan diakhiri dengan penyajian serta analisis evaluasi hasil dan
proses.
16
Lima langkah yang dilakukan dalam Model Pembelajaran Berbasis
Masalah selengkapnya dapat dilihat pada tabel 2.1 dibawah ini:
Tabel 2.1Sintaks Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Tahap Tingkah Laku Guru Tingkah Laku SiswaTahap 1Orientasi siswa pada masalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, mengajukan fenomena atau memunculkan masalah, memotivasi siswa untuk terlibat dalam pemecahan masalah.
Mengajukan pertanyaan untuk ide mencari informasi
Menyatakan ide-ide secara terbuka dan bebas
Mengajukan pendapat jawaban berdasarkan pengetahuan sebelumnya atau pengalaman dalam kehidupan sehari-hari
Tahap 2Mengorganisasi siswa untuk belajar
Guru membantu siswa untuk mendefenisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
Berdiskusi dengan teman kelompok dalam menentukan masalah
Membuat perencanaan dalam melakukan penyelidikan
Tahap 3Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
Melakukan penyelidikan dengan teman kelompok
Melaksanakan perencanaan yang telah dibuat
Tahap 4Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai, seperti laporan, video dan model serta membantu mereka untuk berbagai tugasdengan temannya
Melakukan presentasi dengan cara menjelaskan data yang diperoleh dari hasil penyelidikan
Mendengarkan penjelasan kelompok lain
Mengajukan pertanyaan terhadap penjelasan kelompok lain
Mendengarkan dan memahami penjelasan/klarifikasi yang disampaikan guru (jika ada)
Tahap 5Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan
Menyimpulkan hasil penyelidikan berdasarkan data yang telah didapat dan petunjuk (penjelasan) dari guru
Berkaitan dengan tabel diatas, menurut Ibrahim di dalam kelas PBI
dinyatakan bahwa peran guru diantaranya adalah:
a) Tahap 1 mengajukan masalah atau mengorientasikan siswa kepada masalah
autentik, yaitu masalah kehidupan nyata sehari-hari, dalam hal ini siswa
melakukan identifikasi masalah.
b) Tahap 2 yaitu merumuskan masalah dan merencanakan pengumpulan data.
c) Tahap 3 yaitu mengumpulkan data.
17
d) Tahap 4 yaitu presentasi, merespon hasil presentasi, dan menyimak hasil
presentasi.
e) Tahap 5 yaitu membuat kesimpulan.
2.1.8. Karakteristik Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Model ini tidak dirancang untuk membantu guru memberikan informasi
sebanyak-banyaknya kepada siswa. Utamanya model ini dikembangkan untuk
membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah, dan
ketrampilan intelektual (Sudibyo, 2002:17). Adapun menurut Arends (dalam
Trianto, 2007:93) Model Pembelajaran Berbasis Masalah memiliki karakteristik
sebagai berikut:
1. Pengajuan pertanyaan atau masalah. Bukannya mengorganisasikan di sekitar
prinsip-prinsip atau ketrampilan akademik tertentu, pembelajaran
berdasarkan masalah mengorganisasikan pengajaran di sekitar pertnyaan
dan masalah yang dua-duanya secara sosial penting dan secara pribadi
bermakna untuk siswa. Mereka mengajukan situasi kehidupan nyata
autentik, menghindari jawaban sederhana, dan memungkinkan adanya
berbagi macam solusi untuk ini.
2. Berfokus pada keterkaitan antar disiplin. Meskipun pembelajaran berbasis
masalah mungkin berpusat pada mata pelajaran tertentu (IPA, Matematika,
dan ilmu sosial), masalah yang akan diselidiki telah dipilih benar-benar
nyata agar dalam pemecahannya, siswa meninjau masalah itu dari banyak
mata pelajaran.
3. Penyilidikan autentik. Pembelajaran berdasarkan masalah mengharuskan
siswa melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata
terhadap masalah nyata. Mereka harus menganalisis dan mendefenisikan
masalah, mengembangkan hipotesis, dan membuat ramalan, mengumpulkan
dan menganalisis informasi, melakukan eksperimen (jika diperlakukan) dan
merumuskan kesimpulan.
4. Menghasilkan produk dan memamerkannya. Pembelajaran berdasarkan
masalah menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk
18
karya nyata atau artefak dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili
bentuk penyelesian masalah yang mereka temukan.
5. Kolaborasi. Pembelajaran berdasarkan masalah dicirikan oleh siswa yang
bekerja sama satu dengan yang lainnya, secara berpasangan atau dalam
kelompok kecil. Bekerja sama memberikan motivasi untuk secara
berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan memperbanyak
peluang untuk berbagi inkuiri dan dialog dan untuk mengembangkan
ketrampilan sosial dan ketrampilan berpikir.
2.1.9. Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah dalam PBM IPA
Berdasarkan Standar Proses
Standar proses pendidikan dapat diartikan sebagai suatu bentuk teknis
yang merupakan acuan atau kriteria yang dibuat secara terencana atau didesain
dalam pelaksanaan pembelajaran (UU No 41 Tahun 2007 Tentang Standar Proses
Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah). Masih mengacu pada UU
tersebut (UU No 41 Tahun 2007 Tentang Standar Proses Untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah), hal-hal yang diatur dalam standar proses terdiri
dari perencanaan proses pembelajaran yang meliputi menyusun rencana
pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang memuat identitas mata pelajaran, standar
kompentensi (SK), kompetensi dasar (KD), indikator pencapaian kompetensi,
tujuan pembelajaran materi pembelajaran, alokasi waktu, metode pembelajaran,
kegiatan pembelajaran, penilaian hasil belajar dan sumber belajar; pelaksanaan
proses pembelajaran dimana hal-hal yang harus diperhatikan antara lain
rombongan (peserta) belajar maksimal, beban kerja minimal guru, buku pelajaran,
dan pengelolaan kelas; penilaian hasil pembelajaran tujuannya digunakan untuk
mengukur pencapaian kompetensi peserta didik, digunakan untuk menyusun
laporan kemajuan hasil belajar, dan memperbaiki proses pembelajaran. Penilaian
dilakukan secara konsisten, sistematik dan terprogram dengan menggunakan tes
dalam bentuk tes tertulis maupun tes lisan, dan nontes dalam bentuk pengamatan
kerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya berupa tugas, proyek dan/atau
produk, portofolio dan penilaian diri. Penilaian hasil pembelajaran menggunakan
19
Standar Penilaian Pendidikan dan Panduan Penilaian Kelompok Mata Pelajaran;
serta pengawasan proses pembelajaran yang dilakukan dengan cara pemantauan,
supervisi, evaluasi dan pelaporan.
Berdasarkan pada hal yang telah dipaparkan, maka dalam pembelajaran
dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah pada mata pelajaran
IPA pada siswa SD kelas 4, standar kompentensi dan kompentensi dasar
(SK/KD), adalah SK/KD mata pelajaran IPA kelas 4 pada semester II pada materi
Perubahan Kenampakan Bumi dan Benda Langit, indikator pencapaian, rencana
pelaksanaan pembelajaran (RPP) dan penilaian yang dilakukan, serta bentuk
penilaian yang dilakukan antara lain dijabarkan dalam RPP berkarakter
berdasarkan sintaks model pembelajaran berbasis masalah berikut ini:
1. Kegiatan Pendahuluan
Kegiatan pendahuluan diawali dengan siswa diberikan apersepsi, guru
memberikan motivasi untuk membangkitkan minat siswa belajar tentang materi
perubahan kenampakan bumi dan benda langit, selanjutnya guru menjelaskan
tujuan pembelajaran/kegiatan yang akan dilaksanakan. Setelah menjelaskan tujuan
pembelajaran, guru memberikan apersepsi dengan bertanya pernahkah kalian
melihat bulan purnama, atau pernah melihat kebakaran hutan? Pernah melihat
bintang? Untuk mengecek pemahaman siswa mengenai materi yang akan
diajarkan, guru melanjutkan pertanyaan pertanyaan apa yang terjadi pada air laut
ketika bulan purnama? Apa pengaruhnya bagi makhluk hidup ketika terjadi
kebakaran hutan? Mengapa bintang tidak terlihat di waktu siang, serta apa fungsi
rasi bintang bagi manusia?
2. Kegiatan Inti
Setelah siswa menjawab apersepsi, selanjutnya guru masuk dalam kegiatan
inti pembelajaran, diawali dengan eksplorasi yaitu siswa diberikan kesempatan
untuk menyatakan ide-ide secara bebas tentang perubahan kenampakan bumi dan
benda langit. Selanjutnya siswa dibagi dalam beberapa kelompok. Setelah dibagi
dalam kelompok, siswa diberikan waktu untuk berdiskusi dengan teman
kelompok dalam menentukan hipotesis yang paling relevan tentang bagaimana
pengaruh perubahan kenampakan bumi dan benda langit bagi manusia. Setelah
20
siswa merumuskan hipotesis, berikutnya adalah siswa dengan kelompoknya
membuat perencanaan dan melaksanakan perencanaan yang dibuat dalam bentuk
membuat percobaan tentang pengaruh kenampakan bumi dan benda langit bagi
manusia. Setelah siswa melakukan percobaan dan menemukan data yang relevan,
siswa dengan kelompoknya mempresentasikan data yang diperoleh tentang materi
perubahan kenampakan bumi dan benda langit. Sambil siswa dan kelompoknya
presentasi, kelompok lain diberikan kesempatan untuk menyimak presentasi dan
memberikan tanggapan pada presentasi dari kelompok. Setelah semua kelompok
presentasi, selanjutnya, siswa diajak untuk membuat kesimpulan hasil percobaan
yang telah didapatkan berdasarkan petunjuk-petunjuk dari guru tentang materi
perubahan kenampakan bumi dan benda langit.
3. Kegiatan Penutup
Setelah siswa bersama dengan guru membuat kesimpulan, sebelum
mengakhiri pelajaran, guru memberikan tes untuk menguji pemahaman siswa
tentang materi perubahan kenampakan bumi dan benda langit dengan
menggunakan model pembelajaran berbasis masalah. Setelah siswa mengerjakan
tes yang diberikan, guru menutup pelajaran.
Partisipasi Belajar
Partisipasi berasal dari bahasa Inggris “participation” yang berarti
pengambilan bagian atau pengikutsertaan dalam suatu kelompok ataupun
kegiatan. Menurut Keith Davis (1962: 243) partisipasi didefinisikan sebagai “as a
mental and emotional involved at a person in a group situation then contribut to
group goal and share responsibility in them”. (Partisipasi sebagai keterlibatan
mental dan emosi seseorang kepada pencapaian tujuan dan ikut bertanggungjawab
di dalamnya).
Moelyarto Tjokrowinoto (dalam Sejana, 2012: 14) mengatakan bahwa
partisipasi adalah penyetaraan mental dan emosi dalam situasi kelompok yang
mendorong mereka untuk mengembangkan pikiran dan perasaan mereka bagi
tercapainya tujuan tersebut. Sementara itu, Kafler (dalam Mulyono, 1999: 23)
mengemukakan bahwa partisipasi adalah keikutsertaan seseorang dalam suatu
kegiatan yang mencurahkan fisik maupun mental dan emosional. Partisipasi fisik
21
adalah partisipasi yang langsung ikut serta dalam kegiatan tersebut, sedangkan
partisipasi mental dan emosional merupakan partisipasi dengan memberikan
saran, gagasan, dan aspek mental lain yang menunjang apa yang diharapkan.
Penjelasan partisipasi dari beberapa ahli di atas mensyaratkan bahwa
terjadinya partisipasi jika seseorang atau sekelompok orang terlibat dalam suatu
pencapaian tujuan tertentu, dan ikut bertanggungjawab pada pencapaian tujuan
itu. Namun begitu, ada perbedaan pendapat beberapa ahli di atas. Keith Davis
(1962), Moelyarto Tjokrowinoto (dalam Sejana, 2012), membatasi partisipasi
sebagai keterlibatan mental dan emosi seseorang atau sekelompok orang dalam
pencapaian tujuan. Sementara itu, Mulyono (1999) lebih memperluas dengan
mengatakan bahwa keterlibatan seseorang atau sekelompok orang tidak saja
terbatas pada mental dan emosi, namun juga keterlibatannya secara fisik. Dengan
kata lain bahwa Keith Davis dan Moelyarto membatasi pengertian partisipasinya
terbatas hanya pada aspek psikologis semata, namun Mulyono membawa
pemahamannya lebih luas dengan tidak semata-mata membatasi pada aspek
psikologis saja, tetapi juga pada aspek fisik.
Dengan mengacu pada bebeberapa pendapat di atas, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa dengan demikian, yang disebut dengan partisipasi belajar
adalah keikutsertaan siswa baik secara fisik, mental maupun emosional demi
mencapai tujuan belajar yang diharapkan.
Tipologi Partisipasi Belajar
Menurut Mulyono (1999: 24-35), ada beberapa tipologi partisipasi terkait
dengan belajar yaitu:
1. Partisipasi pasif merupakan tipe partisipasi dimana guru memberikan
materi, tanpa memperhatikan tanggapan atau tanpa adanya keterlibatan aktif
sama sekali dari siswa.
2. Partisipasi informatif merupakan tipe partisipasi dimana siswa dapat
mengajukan informasi atau pengetahuan lain terkait dengan materi pelajaran
yang diberikan, namun tidak mendapatkan tanggapan dari guru.
3. Partisipasi konsultatif, merupakan tipe partisipasi dimana siswa diminta
memberikan pendapat tetapi tidak diberikan kesempatan untuk mengambil
22
keputusan; kata lain, guru mendengarkan pendapat siswa, tidak mengajak
siswa untuk mengambil keputusan atau kesimpulan bersama mengenai
pendapat yang diajukan oleh siswa.
4. Partisipasi fungsional; merupakan tipe partisipasi dimana siswa dilibatkan
untuk mencapai tujuan belajar bersama, dengan cara melibatkan sesama
siswa dalam bentuk kelompok berdasarkan kesepakatan yang telah dibuat di
kelas. Meskipun partisipasi ini merupakan tipe partisipasi yang masih
bergantung pada keputusan-keputusan guru, namun partisipasi ini
diharapkan dapat didorong ke arah kemandirian belajar siswa.
5. Partisipasi interaktif, tipe partisipasi ini adalah partisipasi dimana siswa
dilibatkan secara penuh dalam perencanaan pembelajaran, misalnya memilih
masalah yang hendak diajukan. Partisipasi ini merupakan tipe partisipasi
dimana siswa memiliki andil penuh baik dalam perencanaan tentang
pemilihan masalah, mendesain perancangan, hingga menemukan solusi atas
masalah itu.
6. Self Mobilization (mandiri), merupakan tipe partisipasi tertinggi dimana
siswa aktif dalam mengambil inisiatif secara bebas.
Jika di depan telah diasumsikan bahwa dengan menerapkan model
pembelajaran berbasis masalah, dimana dengan model ini siswa diajak bersama
secara aktif dalam memilih masalah, merancang percobaan, sampai pada
menemukan solusi atas masalah yang diajukan, asumsinya berarti siswa memiliki
partisipasi yang tinggi pada proses belajar mengajar. Dengan demikian, dalam
penelitian ini, tingkat partisipasi belajar yang akan diacu adalah pada partisipasi
tipe partisipasi fungsional, partisipasi interaktif dan self mobilization
(kemandirian). Artinya, melalui penerapan model pembelajaran berbasis masalah,
diharapkan bahwa akan muncul tipologi partisipasi dimana siswa benar-benar
berpartisipasi secara fungsional, interaktif dan mandiri.
Syarat Tumbuhnya Partisipasi Belajar
Dalam pemikiran untuk memahami tingkat partisipasi siswa dalam belajar,
perlu diketahui syarat-syarat apa saja yang mendorong tumbuhnya partisipasi
belajar siswa. Artinya bagaimana tumbuhnya partisipasi belajar, sangat ditentukan
23
oleh prasyarat yang melahirkan partisipasi belajar itu sendiri. Margono Slamet
(1985: 60), menyatakan bahwa tumbuh dan berkembangnya partisipasi belajar,
sangat ditentukan oleh tiga hal, yaitu:
1. Adanya kemauan untuk berpartisipasi dalam belajar
Kemauan terkait dengan adanya motif intrinsik dari dalam diri siswa. Hal
itu dapat terjadi jika: (1) meninggalkan sikap-sikap yang dapat menghambat
belajar; (2) Sikap terhadap guru, maupun terhadap pelajaran; (3) sikap untuk
selalu ingin memperbaiki prestasi belajar dan tidak cepat puas dengan prestasi
yang telah dicapai; (4) memiliki sikap mandiri dan percaya diri atas kemampuan
diri siswa.
2. Adanya kesempatan untuk berpatisipasi dalam belajar
Kesempatan ini terkait dengan: (1) kesempatan untuk memperoleh informasi
atau ilmu pengetahuan; (2) kesempatan untuk memanfaatkan sumber-sumber
belajar; (3) kesempatan untuk mengembangkan diri secara aktif dalam
pembelajaran; (4) kesempatan untuk memperoleh akses menggunakan fasilitas
belajar yang mendorong ke arah penemuan solusi atas masalah; (5) kesempatan
untuk memperoleh kepercayaan dari guru mengemukakan pendapat, ataupun
solusi; (6) kesempatan untuk mengembangkan rasa percaya diri siswa.
3. Adanya kemampuan untuk berpatisipasi dalam belajar
Kemampuan ini terkait dengan: (1) kemampuan untuk mengenal dan
mengidentifikasi masalah; (2) kemampuan untuk memahami kesempatan untuk
menghadapi masalah yang dihadapi dengan menemukan solusi melalui
pemanfaatan sumber belajar yang ada; dan (3) kemampuan untuk melaksanakan
pembelajaran sesuai dengan ketrampilan dan sumber daya lain yang dimiliki.
Terkait dengan penelitian ini, maka syarat tumbuhnya partisipasi belajar
dilihat pada hal kedua, yaitu adanya kesempatan untuk berpartisipasi dalam
belajar. Kesempatan berpartisipasi dalam belajar dimungkinkan terjadi, apabila
dalam proses belajar terjadi hal-hal seperti (1) kesempatan untuk memperoleh
informasi atau ilmu pengetahuan; (2) kesempatan untuk memanfaatkan sumber-
sumber belajar; (3) kesempatan untuk mengembangkan diri secara aktif dalam
pembelajaran; (4) kesempatan untuk memperoleh akses menggunakan fasilitas
24
belajar yang mendorong ke arah penemuan solusi atas masalah; (5) kesempatan
untuk memperoleh kepercayaan dari guru mengemukakan pendapat, ataupun
solusi; (6) kesempatan untuk mengembangkan rasa percaya diri siswa.
Enam kesempatan yang disebutkan di atas dimungkinkan apabila model
pembelajaran yang dipilih oleh guru tepat. Tepat dalam pengertian ini adalah
bahwa model pembelajaran itu, memberikan peluang terjadinya kesempatan-
kesempatan itu. Dengan mendasarkan pada paparan-paparan sebelumnya tentang
model pembelajaran berbasis masalah, peneliti meyakini bahwa model
pembelajaran ini mampu memberikan enam kesempatan yang dibutuhkan dalam
belajar yang disebutkan sebelumnnya. Kata lainnya adalah, bahwa dengan
menerapkan model pembelajaran berbasis masalah dalam pembelajaran, maka
akan meningkatkan partisipasi belajar siswa dalam pembelajaran itu sendiri.
Indikator Partisipasi Belajar
Mengacu pada kesimpulan dari beberapa pengertian partisipasi belajar di
atas, yaitu keikutsertaan siswa baik secara fisik, mental maupun emosional demi
mencapai tujuan belajar yang diharapkan (Keith Davis, 1962; Moelyarto
Tjokrowinoto dalam Sejana, 2012; Mulyono, 1999), maka indikator partisipasi
belajar ketika menerapkan model pembelajaran berbasis masalah yang akan
digunakan sebagai ukuran dalam penelitian ini adalah tiga dari enam jenis tipologi
partisipasi yang disebutkan oleh Margono Slamet (1985), yaitu keikutsertaan
secara fisik, mental maupun emosional dimana bahwa keikutsertaan pada tersebut
bersifat fungsional, interaktif dan self mobilization (mandiri), yaitu melibatkan
siswa dengan cara membentuk siswa dalam kelompok, melibatkan siswa dalam
perencanaan pembelajaran dalam hal ini yaitu memilih masalah (fakta) IPA yang
diajukan berdasarkan pengalaman konkret siswa, siswa dilibatkan dalam
merancang percobaan, dan siswa dilibatkan dalam menemukan solusi atas
masalah yang diajukan, siswa aktif dalam mengambil inisiatif. Adapun ketiga
indikator partisipasi belajar tersebut, disajikan dalam tabel berikut ini:
25
Tabel 2. 2Indikator Partisipasi Belajar dalam PBM IPA dengan Model PBI
No Aspek Indikator1 Partisipasi Fungsional Guru melibatkan siswa dalam membentuk
kelompok2 Partisipasi interaktif Guru memilih masalah IPA yang diajukan
berdasarkan pengalaman konkret siswaGuru melibatkan siswa dalam merancang percobaan pada masalah yang diajukanGuru melibatkan siswa dalam menemukan solusi atas masalah yang diajukan
3 Partisipasi self mobilization Siswa menjadi aktif dan berinisiatif dalam pembelajaran IPA
Untuk mengukur apakah terjadi partisipasi belajar dengan menerapkan
model pembelajaran berbasis masalah, maka akan diukur dengan menggunakan
skala, yaitu skala Likert yang dimodifikasi (Hadi, 1990: 90).Penggunaan
modifikasi skala Likert ini dimaksudkan untuk menghilangkan kelemahan yang
dikandung dalam skala lima tingkat. Modifikasi skala Likert meniadakan kategori
meniadakan jawaban yang tengah
Tabel 2.3Skala Likert Modifikasi
Jawaban Favorable UnfavorableSangat setuju 4 1Setuju 3 2Tidak setuju 2 3Sangat tidak setuju 1 4
Benyamin Bloom et al (dalam Clark, 2000: 99), mengklasifikasikan hasil
belajar ke dalam tiga domain (ranah) yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.
Bloom membagi masing-masing ranah kedalam tingkatan-tingkatan kategori yang
dikenal dengan istilah Bloom’s Taxonomy (Taksonomi Bloom). Penjelasan ketiga
aspek dari taksonomi Bloom tersebut adalah sebagai berikut:
Pada aspek kognitif terdiri dari enam jenis perilaku, diantaranya:
a. Pengetahuan, mencakup kemampuan ingatan tentang hal yang telah
dipelajari dan disimpan dalam ingatan. Pengetahuan ini berkenaan dengan
fakta, persitiwa, pengertian, kaidah, teori, prinsip atau metode.
b. Pemahaman, mencakup kemampuan menangkap arti dan makna tentang hal
yang dipelajari.
26
c. Penerapan, mencakup kemampuan menerapkan metode dan kaidah untuk
menghadapi masalah yang nyata dan baru.
d. Analisis, mencakup kemampuan merinci suatu kesatuan ke dalam bagian-
bagian, sehingga sturktur keseluruhan dapat dipahami dengan baik.
e. Sintesis, mencakup kemampuan membentuk suatu pola baru.
f. Evaluasi, mencakup kemampuan membentuk pendapat tentang beberapa hal
berdasarkan kriteria tertentu.
Aspek afektif terdiri dari lima perilaku, antara lain:
a. Penerimaan, yang mencakup kepekaan tentang hal tertentu dan kesediaan
memperhatikan hal tersebut.Misalnya, kemampuan mengakui adanya
perbedaan.
b. Partisipasi, yang mencakup kerelaan, kesediaan memperhatikan dan
berpartisipasi dalam suatu kegiatan. Misalnya, mematuhi aturan.
c. Penilaian dan penentuan sikap, yang mencakup meneriman suatu nilai,
menghargai, mengakui dan menentukan sikap. Misalnya menerima suatu
pendapat orang lain.
d. Organisasi, yang mencakup kemampuan membentuk sistem nilai sebagai
pedoman dan pegangan hidup. Misalnya menempatkan nilai dalam suatu
skala nilai.
e. Pembentukan pola hidup,yaitu mencakup kemampuan menghayati dan
membentuknya menjadi pola nilai kehidupan pribadi. Misalnya kemampuan
berdisiplin.
Aspek psikomotor terdiri dari tujuh jenis perilaku, yaitu:
a. Persepsi, mencakup kemampuan memilah-milah hal yang khas dan
menyadari adanya perbedaan tersebut.
b. Kesiapan, mencakup kemampuan menempatkan diri dalam keadaan dimana
akan terjadi suatu gerakan atau rangkaian gerakan. Kemampuan ini
mencakup jasmani dan rohani.
c. Gerakan terbimbing, mencakup kegiatan gerakan sesuai contoh atau gerakan
peniruan.
27
d. Gerakan yang terbiasa, mencakup kemampuan melakukan ketrampilan
melakukan gerakan-gerakan tanpa contoh.
e. Gerakan kompleks, yang mencakup kemampuan melakukan ketrampilan
yang terdiri dari banyak tahap secara lancar efisien dan tepat.
f. Penyesuaian pola gerakan, yang mencakup kemampuan mengadakan
perubahan dan penyesuaian pola gerak dengan persyaratan khusus yang
berlaku.
g. Kreativitas, mencakup kemampuan melahirkan pola gerak yang baru atas
dasar prakarsa sendiri.
Telah dipaparkan di atas bahwa yang disebut belajar adalah menyebutkan
bahwa belajar sebagai suatu perubahan dalam disposisi atau kapabilitas
manusiaGagne (dalam Sudjana, 1995: 20). Sedangkan Hamalik (2003:52)
menyimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku yang
dimaksud meliputi aspek-aspek pengetahuan, pemahaman, kebiasaan,
ketrampilan, apresiasi, emosional, etika dan sikap. Benyamin Bloom et al (dalam
Clark, 2000: 99) mengklasifikasikan hasil belajar ke dalam tiga domain (ranah)
yaitu Ranah kognitif, afektif, dan psikomotor, dimana belajar dikatakan terjadi
apabila terjadi perubahan pada ketiga ranah ini.
2.1.10. Prestasi Belajar
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, prestasi belajar adalah penguasaan
pengetahuan atau ketrampilan yang dikembangkan melalui materi pelajaran
lazimnya ditunjukan dengan nilai angka yang diberikan guru.
Winkel (1996:162) mengatakan bahwa prestasi belajar adalah suatu bukti
keberhasilan belajar atau kemampuan seseorang siswa dalam melakukan kegiatan
belajarnya sesuai dengan bobot yang dicapainya.
Dalam bidang pendidikan, terutama pembelajaran, prestasi belajar
mempunyai kedudukan yang penting. Menurut W. S. Winkel (1996:13), fungsi
prestasi belajar diantaranya:
a) Prestasi belajar sebagai indikator kualitas dan kuantitas pengetahuan yang
telah diketahui anak didik.
28
b) Prestasi belajar sebagai lambang perumusan hasrat keinginan.
c) Prestasi belajar sebagai bahan informasi dalam inovasi pendidikan.
d) Prestasi belajar sebagai indikator intern dan ekstern dari situasi institusi
pendidikan.
e) Prestasi belajar dapat dijadikan indikator terhadap daya serap kecerdasan
anak didik.
Moelir (Wahyu Widaya, 1992:32) mengemukakan empat karakteristik
prestasi belajar yaitu:
a) Prestasi belajar yaitu merupakan perubahan tingkah laku yang dapat diukur.
Pengukuran perubahan tingkah laku tersebut dapat dilakukan dengan
memberikan tes prestasi.
b) Prestasi belajar merupakan hasil perbuatan individu itu sendiri, bukan hasil
perbuatan individu itu terhadap orang lain.
c) Tinggi rendahnya prestasi belajar dapat dievaluasi berdasarkan kriteria yang
telah ditetapkan oleh penilai menurut standar yang dicapai kelompok.
d) Prestasi belajar merupakan hasil dari kegiatan yang dilakukan secara
sengaja atau sadar, jadi bukan kebiasaan/perilaku yang tidak disadari.
Dari pendapat para ahli di atas, maka peneliti mengambil kesimpulan
bahwa yang disebut dengan prestasi belajar adalah perubahan tingkah laku belajar
pada siswa, dimana untuk mengukur perubahan tingkah laku belajar tersebut
digunakan alat yang disebut tes. Nilai yang diperoleh dari hasil tes tersebut
kemudian yang diukur untuk melihat siswa tersebut telah berhasil mencapai
belajarnya atau masih belum. Agar lebih terukur, kriteria nilai sebagai bukti
keberhasilan bahwa siswa tersebut telah berhasil mengikuti proses pembelajaran,
diukur berdasarkan Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM). Khusus dalam
penelitian ini, acuan ukuran KKM adalah sebagai berikut:
Ketuntasan individual = 100%Ketuntasan klasikal = 100%KeteranganKetuntasan indiviual : Jika siswa mencapai ketuntasan skor > 65
29
Ketuntasan klasikal : Jika > 75% dari seluruh siswa mencapaiketuntasan skor > 65.
2.1.11. Hubungan Antara Model Pembelajaran Berbasis Masalah dengan
Partisipasi dan Prestasi Belajar IPA
Pertanyaan yang perlu diajukan adalah bagaimana model pembelajaran
berbasis masalah berkorelasi dengan partisipasi dan prestasi belajar IPA?
Menjawab pertanyaan ini, maka perlu untuk melihat bagaimana sesungguhnya
manfaat model pembelajaran berbasis masalah itu sendiri. Berdasarkan pada
paparan teoritis dan sintaks model pembelajaran berbasis masalah di atas, tampak
bahwa model pembelajaran ini dirancang agar siswa terlibat lebih banyak dalam
pembelajaran. Keterlibatan itu dapat dilihat pada sintaks dimana siswa dengan
model pembelajaran ini dikondisikan untuk mengajukan pertanyaan, merumuskan
eksperimen untuk menjawab pertanyaan, termasuk mengambil kesimpulan dari
hasil eksperimen berdasarkan pertanyaan yang diajukan. Sintaks ini secara
langsung menjadikan siswa terlibat penuh dalam proses pembelajaran.
Keterlibatan penuh inilah menjadikan siswa dapat berpartisipasi aktif dalam
pembelajaran.
Logika yang dibangun adalah, semakin sering siswa terlibat berpartisipasi
dalam pembelajaran, siswa dapat mengalami dan berproses mulai dari
merumuskan masalah hingga mengambil kesimpulan berdasarkan masalah yang
diajukan. Dengan sering berpartisipasi dalam pembelajaran tersebut, siswa
menjadi lebih memahami keseluruhan materi pelajaran yang diajarkan. Dengan
lebih memahami materi pelajaran, makin memudahkan siswa ketika siswa
diajukan pertanyaan untuk diselesaikan dalam bentuk tes. Situasi ini membawa
konsekuensi siswa lebih mudah memahami pelajaran dan siswa lebih mudah
menjawab soal. Ikutannya, prestasi belajar siswa dapat ditingkatkan.
2.2. Kajian Penelitian yang Relevan
Iwan Setiawan. 2012. Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Untuk Meningkatkan Partisipasi dan Hasil Belajar IPA Siswa Kelas V SDN
Sukamenak. Kesimpulan dari penelitian ini adalah perencanaan dan pengelolaan
30
kelas, variasi dan model pembelajaran dan kemampuan awal siswa sangat
menentukan kemampuan kualitas pembelajaran IPA, sehingga partisipasi dan
prestasi siswa dalam mengikuti pelajaran IPA menjadi lebih meningkat. Hal ini
dilihat dari hasil tes kognitif, observasi dan wawancara yang dilakukan dengan
hasil kategori baik. Dengan demikian, dikatakan bahwa model pembelajaran
Berbasis Masalah dapat meningkatkan partisipasi dan hasil belajar IPA siswa.
Nurhaelah. 2011. Upaya Meningkatkan Motivasi dan Prestasi Belajar IPA
dengan Menggunakan Model Pembelajaran Berbasis Masalah pada Siswa Kelas
IV SDN Pagerwangi Lembang. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa
perolehan nilai rata-rata hasil tes yang meningkat yaitu nilai rata-rata individu
pada siklus I adalah 50.2, sedangkan nilai rata-rata individu pada siklus II adalah
62 dan pada siklus III adalah 71.3. Dari perolehan ini dapat disimpulkan bahwa
penerapan model pembelajaran Berbasis Masalah dapat meningkatkan minat dan
hasil belajar siswa dalam pembelajaran IPA pada siswa kelas IV SDN Pagerwangi
Kecamatan Lembang.
Dari dua penelitian terdahulu membuktikan bahwa model pembelajaran
berbasis masalah dapat membantu proses pembelajaran untuk meningkatkan
prestasi belajar siswa. Mengacu pada penelitian terdahulu, maka peneliti ingin
melakukan penelitian lagi dengan menggunakan model yang pembelajaran yang
sama. Meskipun demikian, terdapat beberapa perbedaan antara penelitian yang
dilakukan kali ini, dengan penelitian-penelitian terdahulu. Perbedaan tersebut
pertama bahwa pada penelitian terdahulu, para peneliti belum memasukkan
variabel partisipasi belajar sebagai salah satu variabel yang diteliti. Artinya bahwa
dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah, peneliti menduga
dapat meningkatkan prestasi belajar yang berimplikasi pada prestasi belajar siswa.
Kedua, subyek penelitian. Pada penelitian terdahulu subyek penelitiannya adalah
siswa sekolah yang berbeda. Penulis berasumsi bahwa perbedaan subyek didik,
merupakan faktor lain yang akan mempengaruhi prestasi belajar. Situasi sekolah
yang berbeda, fasilitas yang berbeda, tantangan masyarakat yang berbeda,
demikian juga pola asuh dari orangtua yang berbeda karena budaya yang berbeda
tentu berkontribusi terhadap prestasi belajar siswa juga. Karena itu, dengan
31
memilih subyek penelitian yaitu siswa kelas IV SDN Tlogo Kecamatan Tuntang
Kabupaten Semarang, peneliti bermaksud melihat efektivitas penerapan model
pembelajaran dalam meningkatkan prestasi belajar IPA siswa. Artinya, jika model
ini efektif, maka model ini akan menjadi rujukan bagi sekolah bersangkutan,
maupun sekolah yang berbeda, karena terbukti teruji pada sekolah yang tentu saja
memiliki situasi yang berbeda-beda.
2.3. Kerangka Berpikir
Pertanyaan yang diajukan adalah mengapa siswa harus menggunakan model
pembelajaran berbasis masalah? Berdasarkan pada fakta tentang situasi
pembelajaran maupun hasil belajar IPA siswa kelas IV SDN Tlogo kecamatan
Tuntang Kabupaten Semarang terlihat bahwa dengan menerapkan model
pembelajaran konvensional yang berbasis pada ceramah, hasil belajar IPA siswa
masih jauh dari standar KKM. Pembelajaran dengan model ini membuat siswa
menjadi tidak terlibat dan hanya menjadi pendengar; siswa hanya menjadi peserta
yang pasif.
Melihat situasi ini, penulis bermaksud mengubah situasi pembelajaran
maupun hasil belajar IPA siswa. Model pembelajaran berbasis masalah digunakan
sebagai model dalam penelitian ini, karena terbukti dari penelitian terdahulu
maupun pada kajian teoritis bahwa model ini dapat meningkatkan partisipasi dan
prestasi belajar IPA siswa. Adapun kerangka pikir penelitian ini digambarkan
melalui bagan berikut ini:
32
Alur Kerangka Berpikir Model Pembelajaran Berbasis Masalah Pada
Pembelajaran IPA
Siswa menjadi pasif dan jenuh serta tidak berpartisipasi dalam belajar diajarkan
Pembelajaran menggunakan metode konvensional
Hasil belajar IPA siswa rendah di bawah KKM ≥ 69
Model pembelajaran Berbasis Masalah dalam pembelajaran IPA
Guru kurang memaksimalkan kegiatansiswa di kelas
identifikasi masalah
Proses Pembelajaran IPAKD : Mendeskripsikan perubahan Kenampakan bumi dan Perubahana kenampakan benda-benda langit
merumuskan masalah
mengumpulkan data
presentasi, merespon hasil presentasi, dan menyimak hasil presentasi
membuat kesimpulan
Rubrik penilaian identifikasi masalah
Rubrik penilaian merumuskan masalah
Rubrik penilaian merencanakan pengumpulan data
Rubrik penilaian mengumpulkan data
Rubrik penilaian presentasi
Rubrik penilaian membuat kesimpulan
Tes formatif
Penilaian Hasil
merencanakan pengumpulan data
Siswa mengidentifikasi masalah
Siswa merumuskan masalah
Siswa merencanakan pengumpulan data
Siswa mengumpulkan data
Siswa presentasi
Siswa membuat kesimpulan
Prestasi Belajar
Skor Partisipasi
Penilaian Proses
Rubrik penilaian Partisipasi
33
2.4. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir, maka hipotesis
tindakanadalah sebagai berikut: dengan menggunakan model pembelajaran
berbasis masalah dalam pembelajaran IPA maka partisipasi dan prestasi belajar
IPA siswa kelas 4 SDN Tlogo Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang
Semester II tahun pelajaran 2012/2013 dapat ditingkatkan.