bab ii kajian pustaka 2.1. kajian teori ilmu pengetahuan
TRANSCRIPT
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kajian Teori
Kajian teori ini merupakan uraian pendapat dari para ahli yang mendukung
penelitian beberapa teori para ahli tersebut mengkaji objek yang sama dan
mempunyai pandangan pendapat yang berbeda. Pembahasan dan kajian teori
dalam penelitian ini berisi tentang karateristik pembelajaran IPA, proses
pembelajaran, hasil belajar, konsep umum model pembelajaran Numbered Head
Together dan rancangan model.
2.1.1 Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)
Pengertian Ilmu Pengetahuan Alam
Ilmu pengetahuan Alam (IPA) merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan atau
Sains yang semula berasal dari bahasa Inggris „ science‟. Kata „science‟ itu sendiri
merupakan singkatan dari kata “natural science”. Natural artinya alamiah,
berhubungan dengan alam, sedangkan science artinya adalah pengetahuan. Jadi
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) atau science dapat disebut sebagai ilmu yang
mempelajari tentang alam atau peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam.
Menurut Ahmad Susanto (2013:167) IPA adalah usaha manusia dalam
memahami alam semesta melalui pengamatan yang tepat pada sasaran, serta
menggunakan prosedur, dan dijelaskan dengan penalaran sehingga mendapatkan
suatu kesimpulan.
Trianto (2012:136) menyatakan bahwa IPA adalah suatu kumpulan teori yang
sistematis, penerapannya secara umum terbatas pada gejala – gejala alam, lahir
dan berkembang melalui metode ilmiah, seperti observasi dan eksperimen, serta
menuntut sikap ilmiah, seperti rasa ingin tahu, terbuka, jujur dan sebagainya.
Aly dan Eny Rahma (2011:18) IPA adalah suatu pengetahuan teoritis yang
diperoleh atau disusun dengan cara yang khas atau khusus, yaitu melakukan
observasi eksperimentasi, penyimpulan, penyusunan teori, eksperimentasi,
observasi dan demikian seterusnya kait-mengkait antara cara yang satu dengan
cara yang lain.
7
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh para ahli, dapat
disimpulkan bahwa IPA merupakan suatu ilmu pengetahuan yang diperoleh dari
pengamatan yang tepat pada gejala-gejala alam yang didapatkan dengan cara
observasi maupun eksperimen sehingga menciptakan sikap rasa ingin tahu,
ilmiah, terbuka dan jujur.
2.1.2 Tujuan IPA
Tujuan pembelajaran IPA di Sekolah Dasar menurut Trianto (2012:142)
antara lain:
a. Memberikan pengetahuan kepada siswa tentang dunia tempat hidup dan
bagaimana bersikap.
b. Menanamkan sikap hidup ilmiah.
c. Memberikan keterampilan untuk melakukan pengamatan.
d. Mendidik siswa untuk menangani, mengetahui cara kerja serta menghargai
para ilmuwan penemunya.
e. Menggunakan dan menerapkan metode ilmiah dalam memecahkan
permasalahan.
Berdasarkan tujuan IPA yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan
bahwa pembelajaran IPA tidak hanya dimaksudkan agar siswa dapat menguasai
materi pelajaran. Lebih jauh dari pada itu, pembelajaran IPA mempunyai
beberapa tujuan yang hendak dicapai yaitu membentuk sikap ilmiah, menerapkan
metode ilmiah untuk memecahkan berbagai permasalahan, serta untuk
meningkatkan keimanan dan mewujudkan rasa syukur kepada Tuhan atas
keindahan alam yang telah Tuhan berikan.
Oleh karena itu, saat melaksanakan pembelajaran IPA guru tidak hanya
memperhatikan bagaimana caranya agar siswa mengusai materi pelajaran. Guru
juga harus mampu mengarahkan proses pembelajaran agar dapat mencapai
berbagai tujuan IPA di atas. Hal ini akan sangat menentukan berhasil atau
tidaknya pendidikan IPA di SD.
8
2.1.3 Karakteristik IPA
Karakteristik IPA menurut Jacobson dan Bergman dalam (Ahmad Susanto,
2013:170) yaitu:
a. IPA merupakan kumpulan konsep, prinsip, hukum, dan teori.
b. Proses ilmiah dapat berupa fisik dan mental, serta mencermati fenomena alam,
termasuk juga penerapannya.
c. Sikap keteguhan hati, keingintahuan, dan ketekunan dalam menyingkap rahasia
alam.
d. IPA tidak dapat membuktikan semua akan tetapi hanya sebagian atau beberapa
saja.
e. Keberanian IPA bersifat subjektif dan bukan kebenaran yang bersifat objektif.
Berdasarkan karakteristik IPA di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran IPA berdasarkan pada prinsip-prinsip dan proses yang dapat
menumbuhkan sikap ilmiah siswa terhadap konsep-konsep IPA. Oleh karena itu,
pembelajaran IPA di sekolah dasar dilakukan dengan penyelidikan sederhana dan
bukan hafalan terhadap kumpulan konsep IPA. Dengan kegiatan-kegiatan tersebut
maka siswa dalam pembelajarn IPA akan mendapat pengalaman melalui
pengamatan langsung, diskusi, dan penyelidikan sederhana. Pembelajaran yang
demikian dapat menumbuhkan sikap ilmiah siswa dengan cara merumuskan
masalah, menarik kesimpulan, sehingga mampu berfikir kritis melalui
pembelajaran IPA.
2.1.4 Ruang Lingkup IPA
Ruang lingkup IPA menurut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (2006)
secara garis besar terdiri dari aspek-aspek berikut:
a. Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan
interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan;
b. Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat dan gas
c. Energi dan perubahannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya
dan pesawat sederhana
d. Bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan benda-benda
langit lainnya.
9
Berdasarkan aspek-aspek tersebut dapat digambarkan secara spiral, yang
artinya setiap bahan ajar disemua tingkat kelas disajikan ke dalam materi yang
berbeda, semakin tinggi tingkat kelasnya semakin dalam pula tingkat bahasa dan
materi yang diajarkan. Dalam standar isi telah disebutkan beberapa Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang harus dicapai siswa dalam proses
belajar. Dengan adanya SK dan KD yang telah ditetapkan dalam standar isi ,
maka guru harus menyajikan bahan ajar yang sesuai dengan SK dan KD yang
telah ditetapkan tersebut. Setelah guru memahami SK dan KD guru kemudian
menjabarkannya kedalam indikator dan tujuan pembelajaran yang pada akhirnya
akan dijadikan sebagai pedoman dalam menentukan tingkat keberhasilan belajar
siswa.
2.2. Hasil Belajar
Hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian,
sikap-sikap, apresiasi dan keterampilan (Supridjono, 2009:5). Hasil belajar
mempunyai peranan penting dalam proses pembelajaran. Proses penilaian
terhadap hasil belajar dapat memberikan informasi kepada guru tentang kemajuan
siswa dalam upaya mencapai tujuan belajar melalui kegiatan belajar.
Menurut Susanto (2013:5) hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh
anak setelah melalui kegiatan belajar. Karena belajar itu sendiri merupakan suatu
proses dari seseorang yang berusaha untuk memperoleh suatu bentuk perubahan
peilaku yang relatif menetap. Dalam kegiatan pembelajaran atau kegiatan
intruksional, biasanya guru menetapkan tujuan belajar. Anak yang berhasil dalam
belajar adalah berhasil mencapi tujuan- tujuan pembelajaran atau tujuan
intruksional.
Dimyati dan Mudjiono (2013:20) hasil belajar merupakan suatu puncak
proses belajar. Hasil belajar tersebut terjadi berkat evalusi guru. Hasil belajar
dapat berupa dampak pengajaran dan dampak pengiring. Kedua dampak tersebut
bermanfaat bagi guru dan siswa. Tujuan pendidikan bersifat ideal, sedangkan hasil
belajar bersifat aktual. Hasil belajar merupakan realisasi tercapainya tujuan
10
pendidikan, sehingga hasil belajar yang diukur sangat tergantung kepada tujuan
pendidikannya.
Menurut Nana Sudjana (2004:39) menyatakan bahwa hasil belajar yang
dicapai siswa dipengaruhi oleh dua faktor utama yakni:
1. Faktor dari dalam diri siswa itu, seperti kemampuan, motivasi belajar, minat
dan perhatian, sikap dan kebiasaan belajar, ketekunan, sosial ekonomi, faktor
fisik dan psikis.
2. Faktor yang datang dari luar diri siswa atau faktor lingkungan.
Lingkungan belajar yang paling dominan mempengaruhi hasil belajar di
sekolah ialah kualitas pengajaran.
Menurut Dimyati dan Mudjiono (2013:251) hasil belajar merupakan hal yang
dapat dipandang dari dua sisi :
1. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang
lebih baik bila dibandingkan pada saat pra belajar.
2. Dari sisi guru, hasil belajar merupakan saat terselesaikannya bahan pelajaran.
Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar
merupakan perubahan tingkah laku pada siswa yang meliputi pengetahuan, sikap,
dan keterampilan yang merupakan hasil dari aktivitas atau kegiatan belajar guna
mencapai sebuah tujuan pendidikan.
Hasil belajar dalam penelitian ini diukur dengan memberikan soal tes kepada
siswa. Tes pada umunya digunakan untuk menilai dan mengukur hasil belajar
siswa, terutama hasil belajar kognitif berkenaan dengan penguasaan bahan
pengajaran sesuai dengan tujuan pendidikan dan pengajaran.
Menurut Sudjana (2014:35) tes sebagai alat penilaian adalah pertanyaan-
pertanyaan yang diberikan kepada siswa untuk mendapat jawaban dari siswa
dalam bentuk lisan (tes lisan), dalam bentuk tulisan (tes tulisan), atau dalam
bentuk perbuatan (tes tindakan).
Ada dua tes yang digunakan dalam mengukur hasil belajar siswa meliputi:
1. Tes Uraian
Tes uraian atau disebut juga dengan essay examination, merupakan alat
penilaian hasil belajar yang sudah lama digunakan. Tes uraian terdiri dari uraian
11
bebas, uraian terbatas, dan uraian terstruktur. Tes uraian menuntut kemampuan
siswa dalam hal mengekspresikan gagasannya melalui bahasa tulisan. Hal itu
merupakan kekuatan atau kelebihan tes esai dari alat penilaian lainnya.
Menurut Sudjana (2014:35) kelebihan tes uraian antara lain adalah:
a. Dapat mengukur proses mental yang tinggi atau aspek kognitif tingkat tinggi.
b. Dapat mengembangkan kemampuan berbahasa, baik lisan maupun tulisan,
dengan baik dan benar sesuai kaidah-kaidah bahasa.
c. Dapat melatih kemampuan berpikir teratur atau penalaran, yakni berpikir logis,
analitis dan sistematis.
d. Mengembangkan ketrampilan pemecahan masalah (problem solving).
e. Adanya keuntungan teknis seperti mudah membuat soalnya sehingga tanpa
memakan waktu yang lama, guru dapat secara langsung melihat proses berpikir
siswa.
Adapun kelemahan dari tes uraian antara lain sebagai berikut:
a. Sampel tes sangat terbatas sebab dengan tes ini tidak mungkin dapat semua
bahan yang telah diberikan, tidak seperti pada tes objektif yang dapat menanyakan
banyak hal melalui sejumlah pertanyaan.
b. Sifatnya sangat subjektif, baik dalam menanyakan, dalam membuat
pertanyaan, maupun dalam cara memeriksanya. Guru bisa saja bertanya tentang
hal-hal yang menarik baginya, dan jawabannya juga berdasarkan apa yang
dikehendaki.
c. Tes ini biasanya kurang reliabel, mengungkap aspek yang terbatas,
pemeriksaannya memerlukan waktu lama sehingga tidak praktis bagi kelas yang
jumlah siswanya relatif besar.
2. Tes Objektif
Soal-soal bentuk objektif banyak digunakan dalam menilai hasil belajar. Hal
ini disebabkan antara lain oleh luasnya bahan pelajaran yang dapat dicakup dalam
tes dan mudahnya menilai jawaban yang diberikan. Beberapa bentuk tes objektif,
yakni jawaban singkat, benar-salah, menjodohkan dan pilihan ganda.
a. Kebaikan dari tes objektif yaitu:
Soal dapat disusun dengan mudah.
12
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cepat.
Penilaian dapat dilakukan dapat dilakukan dengan cepat dan objektif.
b. Kelemahan dari tes objektif yaitu:
Kurang dapat mengukur aspek pengetahuan yang lebih tinggi.
Proses berpikir siswa tidak dapat dilihat dengan nyata.
Pada penelitian ini dalam mengukur proses dan hasil belajar siswa, guru
memberikan soal tes yang berbentuk pilihan ganda yaitu dimana siswa
mempunyai tugas untuk memilih satu jawaban yang benar atau paling tepat.
Selain mengukur hasil belajar siswa dari ranah kognitif, hasil belajar siswa dapat
diukur melalui ranah psikomotor dan afektifnya. Untuk mengukur hasil belajar
ranah psikomotorik dapat diukur melalui tes tindakan (perbuatan). Ada beberapa
bentuk cara pengukuran untuk menilai hasil belajar ranah psikomotorik.
Bentuk-bentuk penilaian hasil belajar ranah psikomotorik antara lain:
penilaian unjuk kerja, penilaian produk, penilaian proyek dan portofolio.
Sedangkan hasil belajar ranah afektif (sikap) dapat dilakukan dengan beberapa
cara atau teknik. Teknik-teknik tersebut antara lain: observasi perilaku, pertanyaan
langsung dan laporan pribadi. Dalam penelitian ini peneliti mengukur hasil belajar
siswa dalam ranah kognitif dan ranah afektif yaitu dengan tes tertulis dalam
bentuk pilihan ganda dan observasi.
2.2.1. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan memuat tentang uraian sistematis hasil-hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu dan dihubungkan dengan
penelitian yang dilakukan oleh penulis. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan
beberapa acuan yang relevan.
Mardianawati (2012) dalam skripsi yang berjudul “Penerapan Model
Pembelajaran Kooperative Learning Tipe Numbered Heads Together (NHT)
Untuk Meningkatkan Proses dan Hasil Belajar IPA”, hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa adanya kenaikan keaktifan dan pemahaman siswa. Terbukti
dari rata-rata keaktifan siswa kelas eksperimen mencapai 74%, sedangkan kelas
kontrol mencapai 73%. Dengan demikian dapat disimpulkan model pembelajaran
kelas kooperatif tipe Numbered Head Together lebih efektif dalam kemampuan
13
pemahaman konsep siswa. Oleh karena itu guru IPA hendaknya mengembangkan
pembelajaran melalui pembelajaran kooperatif, terutama model pembelajaran
NHT untuk meningkatkan hasil belajar siswa.
Suratman (2012) dalam skripsi yang berjudul “Upaya Peningkatan Hasil
Belajar IPA melalui Pendekatan Numberd Head Together pada Siswa Kelas V
SDN Timbang 01 Semester II Tahun Ajaran 2011/2012”. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa penerapan model Numbered Head Together dapat
meningkatkan hasil belajar siswa kelas V. Terbukti pada hasil belajar siklus I
persentase ketuntasan hasil belajar siswa 70,59% dengan 12 siswa yang
mengalami tuntas belajar dan 5 siswa atau 29,41% siswa yang belum tuntas. Pada
siklus II ketuntasan hasil belajar siswa meningkat menjadi 100% atau 17 siswa
sudah tuntas.
Yuni Ria, Astuti (2012) dalam skripsi yang berjudul “Upaya Meningkatkan
Hasil Belajar IPA Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head
Together Siswa Kelas V SD Negeri 1 Colo Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus
Semester Genap Tahun Ajaran 2011/2012”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head
Together dapat meningkatkan hasil belajar IPA pada siswa kelas V. Hal ini
ditunjukkan dengan peningkatan nilai siswa dari kondisi awal, siklus I dan siklus
II. Pada saat kondisi awal terdapat 5 siswa yang tuntas dalam KKM atau sebesar
41,7% dan yang belum tuntas terdapat 7 siswa atau sebesar 58,3%. Pada siklus I
terdapat 9 siswa yang tuntas dalam KKM atau sebesar 75%, dan yang belum
tuntas terdapat 3 siswa atau sebesar 25%, sedangkan pada siklus II terdapat 12
siswa yang tuntas dalam KKM atau sebesar 100%, dan yang belum tuntas dalam
belajar terdapat 0 siswa atau sebesar 0 %. Dari analisis data tersebut dapat
disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered
Head Together dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas V.
Berdasarkan uraian kajian yang relevan menggunakan model Numbered
Head Together (NHT) terbukti dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Dengan
demikian penelitian tersebut mendukung penelitian ini. Pada penelitian ini
menekankan pada penerapan model pembelajaran Numbered Head Together
14
(NHT) untuk diterapkan guna mengatasi permasalahan yang terjadi di SD Negeri
Tlogo yaitu tentang kurangnya hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA.
2.3. Model Pembelajaran Numbered Head Together (NHT).
2.3.1. Pengertian (NHT).
Menurut Arends (2008: 16) “NHT merupakan metode pembelajaran yang
dikembangkan oleh Spencer Kagan (1998) untuk melibatkan lebih banyak siswa
dalam menelaah berbagai materi yang dibahas dalam sebuah pelajaran dan untuk
memeriksa pemahaman mereka tentang isi pelajaran tersebut”. Pendapat lain yang
dikemukakan oleh Ahmadi, dkk (2011 :59) “NHT adalah suatu metode
pembelajaran dimana setiap siswa diberi nomor suatu kelompok kemudian secara
acak guru memanggil nomor dari siswa”. Sependapat dengan Ahmadi, dkk,
Komalasari (2010:62) menyatakan bahwa “NHT merupakan suatu metode
pembelajaran di mana setiap siswa diberi nomor kemudian dibuat suatu kelompok
kemudian secara acak guru memanggil nomor dari siswa”.
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh beberapa ahli tentang model
pembelajaran Numbered Head Together maka menurut pemikiran penulis bahwa
Numbered Head Together adalah suatu model pembelajaran berkelompok dimana
setiap anggota kelompoknya bertanggung jawab terhadap tugas kelompoknya,
sehingga tidak ada pemisahan antara siswa yang satu dengan siswa yang lain
dalam satu kelompok untuk saling memberi dan menerima antara satu dengan
yang lainnya.
2.3.2. Kelebihan dan Kekurangan Model Numbered Head Together (NHT)
Menurut Iif Khoiru Ahmadi, dkk (2011: 59) dalam menggunakan metode
Numbered Head Together (NHT) ada beberapa kelebihan dan kelemahan.
Numbered Head Together (NHT) memiliki beberapa kelebihan antara lain:
(1). Dapat melakukan diskusi dengan sungguh-sungguh.
(2). Setiap siswa menjadi siap semua.
(3). Siswa yang pandai dapat mengajari siswa yang kurang pandai/tutor sebaya.
(4). Melatih siswa untuk dapat bekerja sama dan menghargai pendapat orang lain.
(5). Memupuk rasa kebersamaan.
15
(6). Membuat siswa menjadi terbiasa dengan perbedaan.
Selain memiliki kelebihan tersebut, dalam menggunakan metode Numbered
Head Together (NHT) terdapat beberapa kelemahan yang harus diperhatikan, hal
ini dilakukan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam pembelajaran,
antara lain:
(1). Siswa yang sudah terbiasa dengan cara konvensional akan sedikit kewalahan.
(2). Kemungkinan nomor yang dipanggil akan dipanggil lagi.
(3). Guru harus bisa memfasilitasi siswa.
(4). Tidak semua mendapat giliran.
NHT memiliki beberapa kelemahan, namun metode ini penting diterapkan
untuk mendorong siswa bekerja sama dan berkembang secara positif. Pelaksanaan
pembelajaran menggunakan metode NHT dapat membuat siswa berkembang aktif
dalam kelompok yang memungkinkan untuk dapat meningkatkan hasil belajar
mereka.
2.3.3. Langkah-langkah Model Numbered Head Together (NHT)
Arends (2008: 16) menjelaskan bahwa ada empat langkah-langkah
pembelajaran dalam Numbered Head Together (NHT) yaitu;
(1). Langkah 1: Numbering. Guru membagi kelas dalam beberapa kelompok
yang terdiri atas 3-5 siswa dan setiap anggota kelompok mendapat nomor 1
sampai 5.
(2). Langkah 2: Questioning. Guru mengajukan sebuah pertanyaan kepada siswa.
Pertanyaan dapat bervariasi.
(3). Langkah 3: Head Together. Siswa menyatukan pendapatnya terhadap
jawaban pertanyaan dan memastikan setiap anggota kelompok tahu.
(4). Langkah 4: Answering. Guru memanggil sebuah nomor dan siswa dari
masing-masing kelompok yang memiliki nomor tersebut mengangkat tangan
dan memberikan jawabannya ke hadapan seluruh siswa.
Sependapat dengan Arends, Iif Khoiru Ahmadi menyebutkan ada beberapa
langkah-langkah dalam metode pembelajaran Numbered Head Together
(NHT)yaitu:
16
(1). Setiap siswa dibagi kelompok, setiap siswa dalam kelompok mendapatkan
nomor.
(2). Guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakan tugas.
(3). Setiap kelompok mendiskusikan jawaban yang benar dan memastikan tiap
anggota kelompok dapat mengerjakan.
(4). Guru memanggil salah satu nomor siswa dengan nomor yang dipanggil dan
melaporkan hasil kerjasama kelompok.
(5). Tanggapan dari kelompok yang lain, kemudian guru menunjuk nomor lain.
(6). Guru bersama siswa menyimpulkan tugas yang diberikan kepada peserta
didik.
Adapun menurut Miftahul Huda (2011:130) menjelaskan ada beberapa
langkah dalam NHT yaitu:
(1). Guru meminta siswa untuk duduk berkelompok.
(2). Masing-masing anggota diberi nomor.
(3). Guru memanggil salah satu nomor untuk mempresentasikan hasil diskusinya.
(4). Memanggil secara acak hingga semua nomor terpanggil.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tentang langkah-langkah model
pembelajaran NHT maka menurut pemikiran penulis bahwa secara umum ada
empat langkah dalam model pembelajaran yaitu numbering (penomoran),
questioning (pemberian tugas/pertanyaan), head together (penyatuan pendapat),
answering (pemberian jawaban), sesuai yang dikemukakan oleh Arends.
Langkah-langkah tersebut harus dilakukan secara berurutan agar penerapan model
NHT dapat berjalan dengan baik dan tujuan pembelajaran akan dapat tercapai.
17
Tabel 2.1
Sintak Pembelajaran Numbered Head Together(NHT)
Langkah –
langkah Kegiatan Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
Kegiatan Awal
Melakukan
kegiatan
apersepsi dan
menyampaikan
tujuan
pembelajaran.
1. Melakukan
kegiatan
apersepsi
dengan tanya
jawab untuk
menuju materi
yang akan
disampaikan.
2. Menyampaikan
tujuan
pembelajaran
yang akan
dicapai.
1. Memperhatik
an dan
menanggapi
apersepsi
yang
dilakukan
guru dengan
melakukan
tanya jawab.
2. Menyimak
tujuan
pembelajaran
yang
disampaikan
oleh guru.
Kegiatan Inti
1. Menyajikan
informasi
Guru
menyampai-
kan materi
dilengkapi
dengan alat
peraga dan
melakukan
tanya jawab
dengan siswa.
1. Menyampaikan
materi kepada
siswa
2. Melakukan
tanya jawab
dengan siswa
tentang materi
yang
disampaikan.
1. Memperhatika
n penjelasan
dari guru.
2. Mengajukan
pertanyaan
yang
berhubungan
dengan materi.
3. Menjawab
pertanyaan
yang diajukan
18
oleh guru.
2.Mengorganisir
peserta didik
ke dalam tim –
tim belajar
Guru membagi
kelompok
belajar secara
heterogen.
1. Menjelaskan
langkah-langkah
permainan
Numbered Head
Together
2. Membagi siswa
dalam kelompok,
setiap kelompok
beranggota 4-5
siswa. Setiap
anggota
kelompok
mendapat nomor
yang berbeda.
1. Siswa duduk
melingkar
menurut
kelompok
masing –
masing dan
berhadap-
hadapan
dengan
kelompok lain.
2. Masing-
masing siswa
menerima
nomor.
3. Permainan
Numbered
head Together
Guru
membagikan
media diorama.
Kemudian
mengajukan
sebuah
pertanyaan
kepada siswa,
pertanyaan :
1. Membagi lembar
kerja siswa
(LKS).
2. Mengawasi
aktivitas siswa
dan memberikan
bantuan pada
siswa selama
melakukan
1. Siswa
bekerjasama,
menyatukan
pendapat dari
teman
kelompoknya dan
memastikan agar
semua teman
dalam kelompok
19
siapakah yang
bisa membuat
diorama secara
berfariasi ?
permainan.
mengetahui
jawabannya.
4. Presentasi 1.Menyebutkan
sebuah nomor
dan siswa dari
masing-masing
kelompok yang
memiliki nomor
tersebut
mengangkat
tangannya dan
mempresentasika
n jawabannya di
depan kelas.
1. Siswa maju
kedepan dan
mempresentasik
an hasil
diskusinya,
nomor soal
yang
dipresentasikan
tidak harus
sesuai nomor
yang dimiliki
siswa.
5.Mengevaluas
i
Mengoreksi
apakah masing
– masing
kelompok
sudah benar
dan sesuai atau
belum.
1. Guru
meluruskan
jawaban-jawaban
dari hasil
presentasi yang
dianggap kurang
tepat.
1. Memperhatika
n masukan
yang
diberikan oleh
guru.
Kegiatan Akhir
1.Membuat
kesimpulan
Menarik
kesimpulan
dari materi
yang baru saja
dipelajari.
Membimbing siswa
untuk membuat
kesimpulan.
Membuat
kesimpulan
bersama guru.
20
2.. Refleksi Refleksi
berupa
penanaman
nilai moral.
Menanamkan nilai
moral pada siswa.
Membacakan
pesan moral yang
terdapat dalam
kartas.
2.4. Kerangka Berpikir
Pada tahap awal sebelum guru menggunakan model pembelajaran Numbered
Head Together hasil belajar IPA siswa kelas 5 di SDN Tlogo masih rendah.
Dengan adanya hasil belajar tersebut peneliti berupaya untuk meningkatkan hasil
belajar dengan melakukan inovasi dengan menggunakan model-model yang
variatif dalam proses pembelajaran yaitu salah satunya dengan menggunakan
model pembelajaran Numbered Head Together.
Adapaun langkah pembelajaran dengan menggunakan model Numbered Head
Together adalah sebagai berikut:
1. Pada kegiatan awal pembelajaran guru memberikan apersepsi dan
menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai.
2. Pada kegiatan inti guru menyampaiakan informasi. Informasi ini berisi materi
yang akan diajarkan yang dimana dalam penyampaian materi dilengkapi dengan
alat peraga dan dilakukan tanya jawab.
3. Guru mengorganisasi siswa ke dalam tim-tim belajar dimana guru membagi
kelompok belajar secara heterogen.
4. Guru membagikan media diorama. Kemudian mengajukan sebuah pertanyaan
kepada siswa.
5. Presentasi. Menyebutkan sebuah nomor dan siswa dari masing-masing
kelompok yang memiliki nomor tersebut mengangkat tangannya dan
mempresentasikan jawabannya di depan kelas.
6. Mengevaluasi. Guru dan siswa mengoreksi secara bersama-sama apakah
masing-masing sudah benar dan sesuai atau belum.
7. Membuat kesimpulan. Guru bersama siswa membuat kesimpulan atas materi
yang sudah dipelajari bersama.
8. Guru memberikan refleksi berupa penanaman nilai moral terhadap siswa.
21
Adapun untuk lebih jelasnya dapat dilihat bagan kerangka berfikir dibawah
ini.
Gambar 2.1 Kerangka Berfikir Numbered Head Together
GURU
Belum
menggunakan
model pembelajaran
namun
menggunakan
metode ceramah saja
SISWA YANG
DITELITI
Hasil belajar
siswa rendah. Di
bawah KKM
≥70
Proses
Pembelajaran
Pembelajaran dengan
menggunakan model
pembelajaran Numbered
Head Together
1. Apersepsi dan
penyampaian tujuan
pembalajaran.
2. Guru menyampaikan
materi menggunakan
media dan melakukan
tanya jawab
3. Mengorganisasi siswa
menjadi tim belajar
4. Permainan Numbered
Head Together ( guru
memberikan pertanyaan
kepada siswa dan
merekan akan berdiskusi
dan saling bertukar
pikiran untuk menjawab
pertanyaan.
5. Presentasi
6. Evaluasi
7. Membuat kesimpulan
8. Refleksi
model
pembelajaran
Numbered
Head Together
Kondisi akhir
Hasil belajar
meningkat
dengan baik dan
tuntas 100%
Tindakan
22
2.5. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan landasan teori dan kerangka pikir yang diuraikan di atas,
maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian tindakan kelas sebagai berikut :
(1) Peningkatan proses pembelajaran melalui model Numbered Head Together
(NHT) di duga dapat meningkatkan hasil belajar IPA pada siswa kelas 5 SD
Negeri Tlogo Semester II tahun pelajaran 2015 / 2016
(2) Peningkatan proses pembelajaran melalui model Numbered Head Together
(NHT) di duga dapat meningkatkan hasil belajar IPA pada siswa kelas 5 SD
Negeri Tlogo Semester II tahun pelajaran 2015 / 2016 dilakukan dengan
tahapan numbering (penomoran), questioning (Pemberian tugas/pertanyaan),
head together (penyatuan pendapat), answering (pemberian jawaban).