bab ii kajian pustaka 2.1 definisi ketuban pecah dini€¦ · laporan lain mendapatkan ketuban...
TRANSCRIPT
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Definisi Ketuban Pecah Dini
Ketuban pecah dini (KPD) atau Premature Rupture of the Membranes
(PROM) adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum terjadinya proses
persalinan pada kehamilan aterm. Sedangkan Preterm Premature Rupture of the
Membranes (PPROM) adalah pecahnya ketuban pada pasien dengan usia
kehamilan kurang dari 37 minggu (Parry and Strauss, 1998; Brian and Mercer,
2003; Mamede dkk., 2012). Pendapat lain menyatakan dalam ukuran pembukaan
servik pada kala I, yaitu bila ketuban pecah sebelum pembukaan pada
primigravida kurang dari 3 cm dan pada multigravida kurang dari 5 cm. Dalam
keadaan normal selaput ketuban pecah dalam proses persalinan (Cunningham,
2010; Soewarto, 2010).
2.2 Epidemiologi Ketuban Pecah Dini
Kejadian ketuban pecah dini (KPD) terjadi pada 10 - 12% dari semua
kehamilan. Pada kehamilan aterm insidensinya 6 -1 9%, sedangkan pada
kehamilan preterm 2 - 5%. Laporan lain mendapatkan ketuban pecah dini terjadi
pada sekitar 6 - 8% wanita sebelum usia kehamilan 37 minggu dan secara
langsung mendahului 20 - 50% dari semua kelahiran prematur (Getahun dkk.,
2012). Insiden KPD di seluruh dunia bervariasi antara 5 - 10% dan hampir 80%
terjadi pada usia kehamilan aterm (Adeniji dkk., 2013; Endale dkk., 2016).
12
13
Sementara itu, insiden KPD preterm diperkirakan sebesar 3 - 8% (Okeke dkk.,
2014). Dalam keadaan normal, 8 - 10% wanita hamil aterm akan mengalami KPD
dan hanya 1% terjadi pada usia kehamilan preterm (Soewarto, 2010). Prevalensi
dari KPD preterm di dunia adalah 3 - 4,5 % kehamilan (Lee, 2001) dan
merupakan penyumbang dari 6 - 40 % persalinan preterm atau prematuritas
(Furman dkk., 2000). Di China dilaporkan insiden KPD lebih tinggi sekitar
19,53% dari seluruh kehamilan (Yu, 2015), sedangkan di Indonesia berkisar
antara 4,5 - 7,6% (Wiradarma dkk., 2013). Di RSUP Sanglah Denpasar, Suwiyoga
dan Budayasa (2006) melaporkan angka kejadian kasus KPD sebesar 12,92 % di
mana kasus KPD aterm sebesar 83,23% dan KPD preterm sebesar 16,77% dari
2113 persalinan. Budijaya dan Surya (2016) melaporkan kasus Ketuban Pecah
Dini (KPD) di RSUP Sanglah Denpasar sebanyak 212 kasus dari 1450 persalinan
(14,62%). Kejadian persalinan dengan KPD pada usia kehamilan aterm (≥37
minggu) yaitu 179 kasus (84,43%), sedangkan pada preterm sebanyak 33 kasus
(15,57%).
Ketuban pecah dini preterm dikaitkan dengan 30 - 40% kelahiran prematur
dan merupakan penyebab utama kelahiran prematur. Ketuban pecah dini preterm
yang terjadi sebelum usia kehamilan 24 minggu, disebut sebagai KPD preterm
previable, kejadiannya kurang dari 1% kehamilan dan berhubungan dengan
komplikasi yang berat pada ibu ataupun janin (Brian dan Mercer, 2003; Adeniji
dkk.,2013; Endale dkk., 2016). Kasus dengan ketuban pecah dini akan mengalami
persalinan hampir 95% dalam waktu 24 jam (Revathi dkk., 2015; Endale dkk.,
2016; Lorthe dkk., 2016).
14
Morbiditas maternal tertentu telah dilaporkan terkait dengan KPD.
Komplikasi kehamilan yang disebabkan oleh KPD yang diterapi secara
konservatif tampaknya berada pada risiko signifikan untuk terjadinya solusio
plasenta. KPD pada beberapa kasus ditandai dengan perdarahan. Insiden infeksi
intrauterin meningkat dengan mudanya usia kehamilan pada saat pecahnya selaput
ketuban. KPD pada saat usia kehamilan lebih awal dikaitkan dengan infeksi pada
korioamnion. Korioamnionitis telah dilaporkan pada 0,5 - 71% dari kehamilan
dengan KPD. Insiden tertinggi korioamnionitis dikaitkan dengan kecilnya usia
kehamilan dan perode laten yang memanjang (Thombre, 2014).
Periode laten yang memanjang juga meningkatkan risiko untuk naiknya
infeksi pada janin yang prematur dan pada ibunya. Frekuensi dan tingkat
keparahan komplikasi pada ibu dan janin setelah terjadinya ketuban pecah dini
bervariasi tergantung dari usia kehamilan. Terdapat bukti konsisten bahwa usia
kehamilan saat terjadinya ketuban pecah dini dan lamanya periode laten
merupakan penentu kematian perinatal yang penting. Bagaimanapun juga,
terdapat penelitian-penelitian yang bertentangan mengenai keluaran neonatal yang
spesifik jika dikaitkan dengan periode laten (Thombre, 2014).
Pada ketuban pecah dini preterm terjadi risiko baik pada janin maupun
pada ibu. Pada kehamilan preterm angka insiden korioamnionitis sekitar 13 - 60%
dan solusio plasenta terjadi pada 4 - 12% kehamilan dengan ketuban pecah dini.
Keradangan selaput ketuban atau korioamnionitis terjadi pada 9% kehamilan
dengan ketuban pecah dini aterm, risikonya meningkat sampai 24% apabila pecah
ketuban terjadi lebih dari 24 jam. Kematian janin dilaporkan pada 3 - 22% kasus
15
ketuban pecah dini preterm dengan usia kehamilan 16 - 28 minggu. Kejadian
sepsis pada ibu sekitar 0,8% yang menyebabkan kematian 0,14%. Risiko pada
janin dapat terjadi infeksi intrauterin, penekanan tali pusat dan solusio plasenta
(Tsiartas dkk., 2013; Dima dkk., 2014; Linehan dkk., 2016).
2.3 Membran Amnion, Struktur dan Fungsinya
Pada amnion manusia terdapat dua tipe sel utama, di mana saat awal
embriogenesis sebelum usia kehamilan 8 minggu, amnion terdiri dari satu lapisan
sel epitelium yang berasal dari ektoderm janin, dan satu lapisan terpisah dari sel
mesenkim yang berasal dari mesoderm janin yang terletak berdekatan dengan sel
epitelium. Pada tahap awal embriogenesis ini, amnion merupakan membran
dengan dua lapisan sel. Seiring dengan kantong amnion yang semakin besar, sel
epitelium melakukan replikasi agar dapat mempertahankan epitelium yang terdiri
dari lapisan sel berdekatan. Laju replikasi dari sel mesenkim nampaknya tidak
dapat mengimbangi ekspansi kantong amnion yang dimulai pada usia kehamilan
10-14 minggu (Joyce, 2009; Mamede dkk., 2012).
Pada tahap awal kehamilan, deposit kolagen terletak antara sel epitelium
dan mesenkim, sehingga tercipta pembatas antara dua sel tersebut yang tersusun
oleh zona aselular dari kolagen interstisial, yang disebut zona kompakta atau
lapisan padat dari amnion. Pada trimester ketiga, terdapat sekitar sepersepuluh sel
mesenkim bila dibandingkan dengan sel epitelium. Jaringan ini tidak memiliki
vaskularisasi, sistem limfatik, atau jaringan saraf (Joyce, 2009; Mamede dkk.,
2012; Benirschke dkk., 2012).
16
Selaput ketuban janin terdiri dari amnion dan korion yang dihubungkan
oleh matriks ekstraselular. Lapisan membran ini, khususnya pada asal mulanya
janin mengelilingi rongga intrauterus dan merupakan kantung gestasi, di mana
janin akan tumbuh dan berada di dalamnya. Selaput ketuban merupakan suatu
struktur membran yang lunak yang mengelilingi fetus selama kehamilan.
Kehamilan normal memerlukan kekuatan integritas dari membran amnion sampai
kehamilan aterm, di mana pada saat pecahnya membran ketuban merupakan
bagian yang saat vital pada saat persalinan. Lapisan korion lebih tebal dan lebih
seluler, dan sedangkan lapisan amnion lebih kaku dan kuat. Ketebalan lapisan
amnion + 20% dari ketebalan membran ketuban. Amnion dan lapisan-lapisan
korion mengandung kolagen tipe I dan III di samping jenis kolagen IV dan V
(Joyce, 2009; Benirschke dkk., 2012; Abrantes dkk., 2015).
Amnion berasal dari ektoderm embrionik dan terdiri dari 5 lapisan
berbeda, yaitu lapisan epitel, membran basalis, lapisan kompak, lapisan fibroblas,
dan lapisan intermediate atau lapisan seperti sponge. Amnion bersifat avaskuler
dan tanpa nervus, dan memiliki kontak langsung dengan cairan amnion, yang
mana adalah sumber makanan bergizi bagi amnion tersebut. Lapisan di bagian
proksimal dari cairan amnion adalah epitel amnion yang mensekresikan kolagen
tipe III dan IV dan glikoprotein non kolagen seperti laminin, nidogen, dan
fibronektin, yang membentuk lapisan berikutnya berupa membran basalis
(Mamede dkk., 2012; Hasaneroglu dan Murat, 2014; Abrantes dkk., 2015).
Epitelium adalah lapisan terdalam dan berhubungan dengan cairan
ketuban. Lapisan ini terdiri dari satu lapisan sel yang berbentuk kuboidal atau
17
kolumnar di atas plasenta atau mendatar di dalam sel basal di daerah yang
terisolasi dari sisa amnion. Permukaan apeks atau bagian dalam sel memiliki
bentuk sedikit konveks. Membran sel menonjol ke dalam cairan ketuban dari
permukaan bebas sebagai mikrovili untuk membentuk brush border. Membran
interselular terkondensasi di apeks untuk membentuk terminal bars (Mamede
dkk., 2012; Benirschke dkk., 2012).
Membran basalis merupakan lapisan tipis yang terdiri dari jaringan serat
retikuler dari bagian amnion. Aspek superfisial atau dalam dari lapisan ini
memiliki hubungan yang kompleks dengan sel epitel. Komponen utama yang
membentuk membran basal termasuk laminin, tipe IV dan VII kolagen, dan
fibronektin. Laminin merupakan komponen utama dari basal membran yang
berinteraksi dengan sel-sel yang mendasari melalui reseptor permukaan sel,
seperti integrin. Selanjutnya laminin berkontribusi dalam diferensiasi sel, bentuk
sel dan gerakannya, pemeliharaan fenotip dan hidup jaringan. Fibronektin dan
kolagen adalah glikoprotein yang merupakan matriks ekstraseluler. Fibronektin
mampu memediasi adhesi sel dan kolagen melakukan fungsi struktural untuk
pemeliharaan integritas membran (Joyce, 2009; Benirschke dkk., 2012; Abrantes
dkk., 2015).
Membran basal mengandung sejumlah besar proteoglikan yang kaya sulfat
heparan dan berfungsi sebagai penghalang permeabel untuk makromolekul
amnion dan beberapa molekul dengan fungsi struktural sehingga memungkinkan
pemeliharaan integritas membran. Molekul-molekul ini adalah aktin, α-actinin,
spectrin, Ezrin, beberapa cytokeratins, vimentin, desmoplakin dan laminin.
18
Ekspresi laminin telah banyak diteliti, karena molekul ini memberikan kontribusi
terhadap kelangsungan hidup sel, diferensiasi, bentuk dan gerakan, serta terlibat
dalam pemeliharaan fenotipe jaringan (Joyce, 2009; Benirschke dkk., 2012;
Mamede dkk., 2012).
Lapisan kompakta jaringan ikat yang dekat dengan membran basal
membentuk kerangka fibrosa utama amnion. Lapisan yang relatif padat ini hampir
benar-benar tanpa sel dan terdiri dari jaringan yang kompleks dari serat retikuler.
Kolagen pada lapisan kompakta tersebut disekresikan oleh sel mesenkim pada
lapisan fibroblas. Kolagen interstisial (tipe I dan III) predominan dan membentuk
ikatan paralel yang mempertahankan integritas mekanik amnion. Kolagen tipe V
dan VI membentuk penghubung filamentosa antara kolagen interstisial dan
membran basal epitel. Tidak ada penempatan substansi dasar amorf antara fibril
kolagen dalam jaringan ikat amnion aterm, sehingga amnion mempertahankan
daya regangnya sepanjang tahap akhir kehamilan normal (Mamede dkk., 2012;
Hasaneroglu dan Murat, 2014; Abrantes dkk., 2015).
Lapisan fibroblas adalah lapisan yang paling tebal diantara lapisan
amnion, mengandung sel-sel mesenkim dan makrofag dalam suatu matriks
ekstraselular. Kolagen pada lapisan ini membentuk jaringan longgar dengan
pulau-pulau glikoprotein nonkolagen. Ini terdiri dari jaringan fibroblas longgar
yang tertanam dalam massa retikuler, di mana sel-selnya menunjukkan aktivitas
fagosit (Benirschke dkk., 2012; Abrantes dkk., 2015). Lapisan luar dari membran
amnion terdiri dari sel-sel seperti fibroblas mesenkimal yang diduga berasal dari
lempeng embrionik mesoderm dan yang tersebar di membran amnion. Isi dari
19
lapisan mesenkimal kaya kolagen meningkatkan kekuatan regangan. Beberapa
penulis menyebut lapisan terluar dari amnion dengan zona spongiosa, karena
kandungan melimpah dari proteoglikan dan glikoprotein menghasilkan
penampilan spons dalam preparat histologis. Lapisan ini berada berdekatan
dengan korion laeve yang merupakan struktur hampir aselular dan berisi jaringan
nonfibrillar sebagian besar dari kolagen tipe III (Toda dkk., 2007; Mamede dkk.,
2012).
Lapisan intermediet (lapisan spons, atau zona spongiosa) terletak di antara
amnion dan korion. Jaringan dari ekstraembrionik dikompresi antara amnion dan
korion untuk membentuk lapisan spons. Ini merupakan serat retikuler yang
bergelombang, mengandung musin, membuat pewarnaan rutin menjadi sulit,
tetapi bundel ini terlihat pada mikroskop sebagai serabut percabangan yang
memiliki kelenjar berbentuk segitiga. Beberapa fibroblas yang terisolasi muncul
dalam lapisan ini, yang sering menjadi edematous, dan peningkatan ketebalan
yang sering terjadi pada amnion. Lapisan ini memungkinkan amnion untuk lepas
pada korion yang mendasari yang melekat kuat pada desidua maternal.
Kandungan yang melimpah dari proteoglikan terhidrasi dan glikoprotein
memberikan sifat kenyal lapisan ini dalam preparat histologis, dan mengandung
jaringan nonfibrillar sebagian besar kolagen tipe III. Lapisan intermediet
menyerap tekanan fisik dengan membuat amnion bergeser di korion dasarnya,
yang melekat kuat pada desidua maternal (Mamede dkk., 2012; Hasaneroglu dan
Murat, 2014; Abrantes dkk., 2015).
20
Korion merupakan bagian terluar dari dua membran janin yang berada
dalam kontak dengan amnion pada sisi bagian dalam dan desidua maternal pada
bagian luarnya. Plasenta terdiri dari korion dan dibentuk oleh vili yang hipertrofi
dari korion frondosum. Vili korion berada di sisa korion (chorion laeve) atrofi dan
dapat dikenal dalam potongan histologis sebagai vili yang atrofi. Lapisan korion
lebih tebal dari pada lapisan amion dan berisi sublapisan jaringan ikat dan
sitotrofoblas. Sel-sel sitotrofoblas dikelilingi oleh kolagen tipe IV dan lapisan
korion berikatan kuat dengan lapisan desidua, di mana sel-sel desidua dikelilingi
oleh kolagen tipe III, IV, dan V. Pada saat membran janin terpisah dari uterus saat
melahirkan, beberapa jaringan uterus yang melekat merupakan bagian dari
desidua tersebut (Hasaneroglu dan Murat,2014; Abrantes dkk., 2015).
Korion terdiri dari 4 lapisan yang tersusun sebagai berikut :
1. Trofoblas
Terdiri dari sel – sel trofoblas dari yang bulat sampai polygonal. Lapisan
terdalam dari korion terdiri dari 2 sampai 10 lapisan sel trofoblas, pada
aspek yang lebih dalam berbatasan dengan desidua maternal. Lapisan ini
mengandung vili korion.
2. Pseudo basal membran
Merupakan lapisan tebal sel – sel sitotrofoblas polygonal dengan 2 tipe sel
yang berbeda morfologinya, membentuk basal membran untuk trofoblas.
Lapisan ini merupakan jaringan ikat padat yang melekat kuat pada lapisan
retikuler diatas dan membentuk percabangan serat ke dalam trofoblas.
21
3. Lapisan retikuler
Terdiri dari jaringan serabut – serabut fusiformis dan sel – sel stellata.
Lapisan ini membentuk mayoritas dari ketebalan korion dan terdiri dari
jaringan retikuler yang terdiri dari serat-serat paralel, dan akan bisa
muncul nodus di tempat-tempat di mana terjadi percabangan. Beberapa
fibroblas yang muncul bersama dengan banyak sel Hofbauer.
4. Lapisan seluler
Merupakan lapisan sel – sel bervakuola dan melekat satu dengan yang lain
secara erat dengan ruang intraseluler yang sempit (basal sitotrofoblas).
Lapisan ini adalah lapisan tipis yang terdiri dari jaringan fibroblas. Hal ini
sering tidak sempurna atau sama sekali tidak ada pada korion ketika
diperiksa pada saat kehamilan aterm, tetapi lebih mudah dikenali pada
awal kehamilan.
Membran amnion adalah struktur biologis yang transparan yang tidak
memiliki saraf, otot atau pembuluh limfe. Sumber nutrisi dan oksigen adalah dari
cairan korion, cairan amnion dan permukaan pembuluh darah janin, menjadi
penyedia nutrisi melalui cara difusi. Energi utamanya diperoleh melalui proses
glikolitik anaerobik karena pasokan oksigen terbatas. Transporter protein Glukosa
ditemukan di permukaan apikal sel epitel membran amnion (Toda dkk., 2007;
Joyce, 2009; Benirschke dkk., 2012).
22
Gambar 2.1. Skema Lapisan Selaput Membran Janin Dan Komponen Protein, MMP (Matrix Metalloproteinase), TIMP ( Tissue Inhibitor Metalloproteinase )
(Parry dan Strauss, 1998)
Ketebalan membran amnion bervariasi dari 0,02 mm sampai 0,5 mm dan
terdiri dalam tiga lapisan histologis utama: lapisan epitel, membran basal yang
tebal dan jaringan avaskular mesenkimal. Lapisan dalam, berdekatan dengan
cairan amnion, didasari oleh lapisan homogen tunggal dari sel-sel epitel kuboid
yag terfiksasi pada membran basal yang melekat pada lapisan aseluler yang kental
yang terdiri dari kolagen tipe I, II, dan V. Sel epitel amnion memiliki banyak
mikrovili di permukaan apikal dan mungkin memiliki fungsi sekresi aktif dan
fungsi transportasi intra dan transeluler. Sel-sel ini memiliki inti besar yang
ireguler dengan nukleolus homogen yang besar dan banyak organel
intrasitoplasmik dan vesikula piknotik. Sel epitel amnion mengekspresikan
23
penanda epidermal, seperti glikoprotein CA125 dan reseptor oksitosin.
Erythropoietin dan reseptornya diekspresikan dalam sel epitel amnion manusia,
yang fungsinya belum diketahui di membran amnion, merangsang diferensiasi,
proliferasi dan kelangsungan hidup prekursor eritroid dan produksi diatur oleh
konsentrasi oksigen dalam darah (Mamede dkk., 2012).
Membran amnion bukan hanya struktur avaskular sederhana, tetapi
memiliki beberapa fungsi metabolisme seperti transportasi air dan bahan-bahan
larut dan produksi faktor bioaktif, termasuk peptida vasoaktif, faktor pertumbuhan
dan sitokin. Salah satu fungsi dasar dari membran amnion adalah untuk menjaga
perkembangan embrio dengan melindunginya dari lingkungan, di mana embrio
dapat tumbuh bebas dari tekanan dari struktur yang mengelilingi tubuhnya.
Resistensi tekanan dari membran amnion utamanya terkait dengan lapisan
interstitial kolagen tipe I, II dan elastin. Di sisi lain, elastisitas amnion utamanya
disebabkan oleh kolagen tipe III, yang merupakan kolagen interstitial untuk
mempertahankan ketahanan membran amnion terhadap faktor proteolitik (Ahokas
dan McKenney, 2008; Benirschke dkk., 2012; Mamede dkk., 2012).
Membran amnion juga memiliki peran penting selama kelahiran, karena
zat yang dihasilkan oleh epitel membran amnion memungkinkan inisiasi dan
pemeliharaan kontraktilitas uterus. Prostaglandin E2 dan enzim yang
diintegrasikan ke dalam sintesis prostaglandin, adalah beberapa molekul yang
diproduksi di epitel amnion dan yang memiliki peran dalam fisiologi kontraksi.
Human chorionic gonadotropin, corticotrophin releasing hormon dan
glukokortikoid mengatur produksi prostaglandin. Interleukin (IL) 4 juga dapat
24
menekan aktivitas prostaglandin-H synthase-2 pada sel epitel amnion. Selama
kehamilan, epitel amnion sangat aktif secara metabolik dan memiliki peran
penting dalam menjaga pH cairan amnion, menjaganya agar tetap pada nilai
konstan. Karbonat anhidrase isoenzim CA-1 dan CA-2 ditemukan di sel-sel epitel
amnion, enzim ini yang terlibat dalam metabolisme bikarbonat atau karbon
dioksida yang diduga memiliki peran regulasi dalam menjaga pH cairan amnion
yang konstan (Mamede dkk., 2012).
2.4 Struktur, Komposisi, dan Metabolisme Matriks Ekstraseluler pada
Membran Janin
Pecahnya selaput ketuban melibatkan urutan peristiwa yang dimulai
dengan distensi dan hilangnya elastisitas, pemisahan korion dan amnion,
gangguan korion, distensi dan herniasi amnion, dan akhirnya pecah atau rupturnya
selaput ketuban. Urutan peristiwa ini merupakan hasil dari perubahan struktural
pada matriks ekstraseluler dengan menghasilkan perubahan biomekanik dalam
membran, terutama amnion, yang merupakan komponen terkuat dari membran
janin atau selaput ketuban (Strauss, 2013; Sukhikh dkk., 2015).
Membran janin manusia adalah salah satu jaringan reproduksi sehubungan
dengan komposisi matriks ektraseluler (ECM). Konten dari molekul ECM pada
membran ditentukan oleh tingkat sintesis dan deposisi, serta tingkat degradasi.
Meskipun sejumlah besar molekul ECM diketahui, penelitian yang ada telah
difokuskan terutama pada fibril umum dan kolagen pada basal membran (tipe I, II,
III, IV, dan V) dan molekul ECM yang sudah dikenal seperti fibronektin,
25
hyaluronan, biglycan, dan decorin. Komponen penting lainnya untuk struktur
ECM, seperti tenascin-c, matrilins, dan osteonectin/SPARC (Gelse dkk., 2003;
Sundrani dkk., 2013; Sukhikh dkk., 2015).
Membran janin adalah jaringan avaskular viskoelastik yang terdiri dari
beberapa lapisan yang berbeda secara morfologis. Lapisan terdekat janin terdiri
dari sel-sel epitel amnion yang terletak pada membran basal yang mengandung
kolagen IV dan glikoprotein non kolagen. Di bawah membran basal terletak
lapisan kompak terdiri dari kolagen tipe I, III, dan V disekresikan oleh sel-sel
mesenkimal dalam lapisan fibroblas. Lapisan spons terletak di bawah lapisan
fibroblas, terdiri dari proteoglikan dan glikoprotein dan kolagen tipe III. Lapisan
korion berisi sitotrofoblas yang tertanam dalam matriks dari kolagen tipe IV dan
V (Weiss dkk., 2007; Strauss, 2013; Sukhikh dkk., 2015).
Distribusi komponen matriks ekstraseluler, termasuk kolagen tipe I, III,
IV, V, dan VI, pada membran janin manusia waktu persalinan telah diperiksa
dengan teknik imunohistokimia. Kolagen tipe I dan III ditemukan di sebagian
besar lapisan membran janin, kecuali di lapisan korion trofoblas. Fibronektin,
laminin, dan kolagen tipe I dan IV yang terletak di jaringan ECM mengandung
sel-sel sitotrofoblas di korion. Kolagen tipe V ditemukan pada lapisan retikuler
dan pada lapisan trofoblas. Kolagen tipe VI terutama ditemukan dalam amnion
dan lapisan retikuler. Fibulin 1, 3, dan 5 ditemukan di amnion, dan jumlahnya
berkurang pada zona lemah amnion dibandingkan dengan bagian lainnya (Strauss,
2013; Hasaneroglu dan Murat , 2014; Abrantes dkk., 2015).
26
Sel mesenkimal adalah tempat sintesis dan pengolahan kolagen di amnion.
Sebagian besar prokolagen α1(I), α2(I), dan α1(III) messenger RNA (mRNA)
ditemukan dalam sel mesenkimal amnion, dengan jumlah yang tak berarti
ditemukan dalam sel epitel amnion. Sintesis kolagen tipe I dan III juga minimal
pada sel epitel amnion, dalam jumlah besar diproduksi oleh sel mesenkimal.
Kadar prokolagen α1 (I), α2 (I), dan α1 (III) subunit mRNA, dan aktivitas spesifik
dari enzim prolyl 4-hidroksilase dan lysyl hydroxylase, yang diperlukan untuk
sintesis kolagen, terbanyak pada amnion kehamilan awal, menurun setelah
minggu ke-12 hingga ke-14 kehamilan hingga terendah bertahan sampai
persalinan. Kepadatan sel mesenkimal pada amnion manusia menurun setelah
trimester pertama kehamilan. Oleh karena itu, peningkatan pada rasio epitel
terhadap sel mesenkimal sebagai fungsi dari usia kehamilan dapat menjelaskan
penurunan kadar mRNA kolagen dan aktivitas spesifik lysyl dan prolyl
hydroxylases pada amnion (Joyce, 2009; Strauss, 2013; Sukhikh dkk., 2015).
Proteoglikan adalah komponen non kolagen penting dari membran janin.
Biglycan, suatu proteoglikan kaya leusin kecil, berikatan dengan kolagen fibrillar
dan beberapa faktor pertumbuhan. Decorin, proteoglikan lain dengan 55%
homologi dengan biglycan, berhubungan dengan sejumlah molekul matriks
ektraseluler dan TGF-β1. Decorin terlibat dalam fibrilogenesis kolagen,
sedangkan biglycan dan hyaluronan mengganggu kolagen. Sejumlah besar
Hyaluronan, suatu glikosaminoglikan nonsulfated molekul tinggi berat yang
terdiri dari disakarida polimer dari asam D-glucuronic dan N-acetyl -glucosamine,
ditemukan di amnion dan di desidua (Joyce, 2009; Sukhikh dkk., 2015).
27
2.5 Dinamika Matriks Ekstraseluler dan Ketuban Pecah Dini
Matriks ekstraselular (ECM) memainkan peran penting dalam menentukan
fungsi sel dan organ: (1) merupakan suatu substrat yang memberikan kekuatan
regangan jaringan; (2) merupakan sel-sel pengikat dan mempengaruhi morfologi
dan fungsi sel melalui interaksi dengan reseptor permukaan sel; dan (3) adalah
suatu reservoir untuk faktor pertumbuhan. Perubahan dalam konten dan
komposisi ECM menentukan sifat fisik dan biologisnya, termasuk kekuatan dan
kerentanan terhadap degradasi. Komponen ECM sendiri juga mengandung
matrikines yang bila terpapar oleh proteolisis memiliki efek kuat pada fungsi sel,
termasuk merangsang produksi sitokin dan matriks metaloproteinase (MMP).
Secara kolektif, sifat-sifat dari ECM ini mencerminkan suatu komponen jaringan
dinamis yang mempengaruhi kedua bentuk dan fungsi jaringan. Defek atau cacat
dalam sintesis dan metabolisme ECM dan proses fisiologis dari pergantian ECM
berkontribusi terhadap perubahan pada membran janin yang mendahului partus
normal dan memberikan kontribusi pada kejadian patologis yang menyebabkan
ketuban pecah dini preterm (PPROM) (Mamede dkk., 2012; Strauss, 2013).
Proses reproduksi membutuhkan remodeling dari jaringan yang berkaitan
dengan peristiwa penting dalam ovulasi, menstruasi, implantasi, plasentasi, partus,
uterus, dan perbaikan serviks setelah persalinan. Proses remodeling dan perbaikan
mempengaruhi sel dan matriks ekstraseluler (ECM) sekitarnya. Perubahan
dinamis pada ECM menghasilkan perubahan dalam komposisi stroma, yang
mempengaruhi fungsi sel. Peristiwa ini dimediasi melalui reseptor membran yang
mengenali komponen ECM tertentu, atau melalui penyerapan atau pelepasan
28
faktor pertumbuhan, terutama anggota dari keluarga faktor pertumbuhan
transforming growth factor (TGF), yang dikenal untuk memainkan peran kunci
dalam reproduksi. Protein ECM mayor juga mempengaruhi stabilitas ECM, dan
menjadi faktor yang menyebabkan efek samping termasuk plasentasi abnormal,
ketuban pecah dini preterm (PPROM), insufisiensi serviks, ruptur uterus, dan
prolaps organ panggul. Metabolisme matriks ekstraselular juga memainkan peran
penting dalam kondisi patologis lainnya dari saluran reproduksi termasuk fibroid
uterus, endometriosis, dan keganasan ginekologi (Ahokas dan McKinney, 2008;
Joyce, 2009; Strauss, 2013).
Sintesis dan katabolisme ECM dikendalikan secara ketat melalui faktor
pertumbuhan dan sitokin, serta melalui ekspresi protein pendamping, dan
aktivator dan inhibitor dari enzim proteolitik. Saat pergantian ECM terjadi, enzim
yang mengkatabolime ECM mengekspos atau melepaskan fragmen bioaktif yang
memiliki aksi yang berbeda dari protein induk, dan mempengaruhi sel melalui
jalur sinyal yang berbeda daripada yang digunakan oleh molekul induk (Joyce,
2009; Strauss, 2013).
2.6 Patogenesis Ketuban Pecah Dini
Ketuban pecah dini terjadi setelah terdapat aktivasi dari multifaktorial dan
berbagai mekanisme. Faktor epidemiologi dan faktor klinis dipertimbangkan
sebagai pencetus dari ketuban pecah dini. Faktor ini termasuk infeksi traktus
reproduksi pada wanita (Bakterial vaginosis, Trikomoniasis, Gonorrhea,
Chlamydia, dan korioamnionitis subklinis), faktor-faktor perilaku (merokok,
29
penggunaan narkoba, status nutrisi, dan koitus), komplikasi obstetri (kehamilan
multipel, polihidramnion, insufisiensi servik, operasi servik, perdarahan dalam
kehamilan, dan trauma antenatal), dan kemungkinan karena perubahan lingkungan
(tekanan barometer). Sinyal biokimia dari fetus termasuk sinyal apoptosis dan
sinyal endokrin dari fetus, juga merupakan implikasi dalam inisiasi dari terjadinya
ketuban pecah dini (Menon dkk., 2011; Hackenhaar dkk., 2014).
Pecahnya selaput ketuban disebabkan oleh hilangnya elastisitas pada
daerah tepi robekan selaput ketuban. Hilangnya elastisitas selaput ketuban ini
sangat erat kaitannya dengan jaringan kolagen, yang dapat terjadi karena
penipisan oleh infeksi atau rendahnya kadar kolagen. Kolagen pada selaput
terdapat pada amnion di daerah lapisan kompakta, fibroblas serta pada korion di
daerah lapisan retikuler atau trofoblas (Oyen dkk., 2006; Mamede dkk., 2012).
Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertentu terjadi perubahan
biokimia yang menyebabkan selaput ketuban mengalami kelemahan. Perubahan
struktur, jumlah sel dan katabolisme kolagen menyebabkan aktivitas kolagen
berubah dan menyebabkan selaput ketuban pecah. Pada daerah di sekitar
pecahnya selaput ketuban diidentifikasi sebagai suatu zona “restricted zone of
extreme altered morphology (ZAM)”(Mc Parland dkk., 2003; El Kwad dkk.,
2005; Rangaswamy dkk., 2012).
Penelitian oleh Malak dan Bell pada tahun 1994 menemukan adanya
sebuah area yang disebut dengan “high morphological change” pada selaput
ketuban di daerah sekitar serviks. Daerah ini merupakan 2 - 10% dari keseluruhan
permukaan selaput ketuban. Bell dan kawan-kawan kemudian lebih lanjut
30
menemukan bahwa area ini ditandai dengan adanya peningkatan MMP-9,
peningkatan apoptosis trofoblas, perbedaan ketebalan membran, dan peningkatan
myofibroblas (El Kwad dkk., 2006; Rangaswamy dkk., 2012).
Penelitian oleh Rangaswamy dkk (2012), mendukung konsep paracervical
weak zone tersebut, menemukan bahwa selaput ketuban di daerah paraservikal
akan pecah dengan hanya diperlukan 20 - 50% dari kekuatan yang dibutuhkan
untuk menimbulkan robekan di area selaput ketuban lainnya. Berbagai penelitian
mendukung konsep adanya perbedaan zona pada selaput ketuban, khususnya zona
di sekitar serviks yang secara signifikan lebih lemah dibandingkan dengan zona
lainnya seiring dengan terjadinya perubahan pada susunan biokimia dan histologi.
Paracervical weak zone ini telah muncul sebelum terjadinya pecah selaput
ketuban dan berperan sebagai initial breakpoint (Rangaswamy dkk., 2012).
Penelitian lain oleh Reti dkk (2007), menunjukkan bahwa selaput ketuban
di daerah supraservikal menunjukkan peningkatan aktivitas dari petanda protein
apoptosis yaitu cleaved-caspase-3, cleaved-caspase-9, dan penurunan Bcl-2.
Didapatkan hasil laju apoptosis ditemukan lebih tinggi pada amnion dari pasien
dengan ketuban pecah dini dibandingkan pasien tanpa ketuban pecah dini, dan
laju apoptosis ditemukan paling tinggi pada daerah sekitar serviks dibandingkan
dengan daerah fundus (Reti dkk., 2007).
Apoptosis yang terjadi pada mekanisme terjadinya KPD dapat melalui
jalur intrinsik maupun ekstrinsik, dan keduanya dapat menginduksi aktivasi dari
caspase. Reti dkk, (2007) berpendapat bahwa jalur intrinsik dari apoptosis
merupakan jalur yang dominan berperan pada apoptosis selaput ketuban pada
31
kehamilan aterm. Pada penelitian ini dibuktikan bahwa terdapat perbedaan kadar
yang signifikan pada Bcl-2, cleaved caspase-3, cleaved caspase-9 pada daerah
supraservikal, di mana protein-protein tersebut merupakan protein yang berperan
pada jalur intrinsik. Fas dan ligannya, Fas-L yang menginisiasi apoptosis jalur
ekstrinsik juga ditemukan pada seluruh sampel selaput ketuban tetapi ekspresinya
tidak berbeda bermakna antara daerah supraservikal dengan daerah distal. Diduga
jalur ekstrinsik tidak berperan banyak pada remodeling selaput ketuban (Reti
dkk., 2007; Elmore , 2007)
Degradasi dari jaringan kolagen matriks ekstraseluler dimediasi oleh
enzim matriks metalloproteinase (MMP). Degradasi kolagen oleh MMP ini
dihambat oleh tissue inhibitor matrixmetyalloproteinase (TIMP). Pada saat
menjelang persalinan, terjadi ketidakseimbangan dalam interaksi antara matrix
MMP dan TIMP, peningkatan aktivitas kolagenase dan protease, peningkatan
tekanan intrauterin (Zeng dan Zhou, 2004; Menon dan Fortunato, 2004; Weiss
dkk., 2007).
32
Gambar 2.2 Diagram Berbagai Mekanisme yang Berperan pada Kejadian Ketuban Pecah Dini (Parry dan Strauss, 1998)
2.6.1 Faktor infeksi
Ketuban pecah dini pada kehamilan preterm masih merupakan masalah
kesehatan di dunia termasuk Indonesia, yang terkait dengan prevalensi, kejadian
prematuritas, morbiditas dan mortalitas perinatal. Berbagai upaya dilakukan untuk
mengatasi ketuban pecah dini preterm melalui studi faktor risiko. Infeksi
merupakan faktor risiko terbesar di mana sumber utama adalah infeksi ascenden
vagina dan saluran kemih.
Sebelum proses persalinan terjadi dan selaput ketuban masih utuh, janin
mendapat perlindungan dan isolasi terhadap mikroorganisme sekitarnya. Hal ini
33
terjadi karena adanya mekanisme pertahanan yang dapat melindungi fetus dan
plasenta dari infeksi yaitu “ascending infection” yang berupa “physical barrier”
yang terjadi karena adanya mukus serviks di kanalis servikalis yang mengandung
lysozyme, selaput ketuban yang utuh, dan akibat dari adanya anti bakterial dari
cairan amnion yang terdiri dari lysozyme, transiarin, immunoglobulin dan
zincprotein complex (Gibbs, 2005; Cuningham dkk., 2010).
Pada vagina ibu hamil terdapat berbagai macam mikroorganisme berupa
mikroorganisme patogen maupun flora normal di vagina. Mikroorganisme
patogen pada vagina dapat menyebabkan infeksi pada neonatus. Beberapa
organisme yang dapat menyebabkan infeksi neonatal yang ditemukan pada vagina
adalah N. Gonorrhoe, C. Trachomatis, Group B streptococus, E. colli yang
menyebabkan terjadi septikemia dan kematian. Herawati (2005) melakukan
pengamatan langsung apusan atau swab vagina ibu hamil menemukan terbanyak
adalah bakteri Lactobacillus (30%), G. vaginalis (20%), dan Streptococus sp
(15%) (Herawati, 2005).
Infeksi merupakan penyebab tersering dari persalinan preterm dan ketuban
pecah dini, di mana bakteri dapat menyebar ke uterus dan cairan amnion sehingga
memicu terjadinya inflamasi dan mengakibatkan persalinan preterm dan ketuban
pecah dini. Terdapat beberapa macam bakteri yang dihubungkan dengan
persalinan preterm dan ketuban pecah dini yaitu : Gardrenella vaginalis,
Mycoplasma homnis, Chlamydia, Ureaplasma urealyticum, Fusobacterium,
Trichomonas vaginalis, Klebsiella pneumoniae, Escherichia coli dan Hemophilus
vaginalis (Samuel dan Jerome, 2006; Sohail, 2012).
34
Gambar 2.3 Lokasi Potensial Infeksi Bakteri (Goldenberg, 2008)
Etiologi dari KPD dan persalinan prematur adalah multifaktorial dan
sebagian besar penyebabnya masih belum diketahui. Microbial invasion of the
intraamniotic cavity (MIAC) dan intra amniotic infection (IAI) berhubungan
dengan mayoritas kasus ini. Infeksi menginduksi respon inflamasi ibu dan janin
(korioamnionitis histologis), meningkatkan produksi dan pelepasan inflamasi
sitokin (IL-1, IL-6, IL-8, TNF-α) dan menginduksi produksi prostaglandin
memicu untuk pematangan serviks dan kontraktilitas yang dimediasi oleh
prostaglandin. Peningkatan dari petanda biologis ini (sitokin dan prostaglandin)
35
yang dianggap sebagai penanda persalinan prematur dan KPD. Faktor ini sering
pada persalinan prematur dan KPD yang meningkat di cairan ketuban (amniotic
fluid-AF) bahkan tanpa adanya MIAC dan IAI jika dibandingkan dengan
persalinan aterm (Asrat, 2001; Shim dkk., 2004; Kumar dkk., 2006 ).
Penelitian oleh Goldenberg (2008), mengemukakan peranan jalur infeksi
untuk terjadinya ketuban pecah dini. Infeksi bakteri yang terjadi pada lapisan
koriodesidua akan menginduksi pelepasan endotoksin, eksotoksin, dan
mengaktifkan desidua, serta membran janin untuk menghasilkan berbagai sitokin
pro inflamasi, seperti TNF- α, IL-α, IL- 1β, IL-6, IL-8 dan granulocyte colony-
stimulating factor (GCSF). Dengan terbentuknya sitokin, endotoksin, dan
eksotoksin akan merangsang pembentukan dan pelepasan prostaglandin serta
terjadi pembentukan dan pelepasan metalloprotease dan substansi bioaktif
lainnya. Prostaglandin akan merangsang kontraksi uterus dan menyebabkan
penipisan servik, serta adanya metalloprotease pada membran korioamnion
menyebabkan pecahnya selaput ketuban (Menon dkk., 2002; Agrawal dan Hirsch,
2012).
Inflamasi yang diinduksi oleh infeksi mikroba, umumnya terkait dengan
kelahiran prematur dan KPD preterm. Perubahan dalam struktur dan integritas
matriks ekstraseluler dipengaruhi oleh respon host endogen, yang mencakup
sitokin proinflamasi, seperti TNF-α dan interleukin 1β (IL-1β) yang menginduksi
produksi MMP untuk mendegradasi matriks ekstraseluler. Selain itu, mikroba
yang menyerang dapat menghasilkan enzim yang dapat merusak enzimnya
sendiri, termasuk kolagenase yang bekerja pada protein matriks ekstraseluler.
36
Enzim yang merusak matriks endogen dan yang berasal dari mikroba dapat
melepaskan matrikines yang memperkuat proses inflamasi (Menon dan Fortunato,
2007; Strauss, 2013).
Peranan faktor seperti epidemiologi, klinis, histologi, mikrobiologi dan
data biologi molekuler menunjukkan bahwa infeksi fokal dan inflamasi mungkin
memainkan peranan dalam mekanisme patogenesis terjadinya ketuban pecah dini.
Pemeriksaan histologi membran amnion menunjukkan bahwa infeksi dan
inflamasi dari rongga intraamnion dan selaput ketuban dapat mendahului
terjadinya KPD, yang ditunjukkan adanya reaksi inflamasi lebih sering terlihat di
lokasi robeknya selaput ketuban. Infeksi bakteri pada korioamnion kemungkinan
sebagai inisiator sedangkan respon inflamasi host adalah agen penyebab
sebenarnya dalam persalinan preterm dan KPD preterm. Ketuban pecah dini
merupakan penyakit autotoksik endogen di mana respon inflamasi host akan
mengaktifkan matrik ektraseluler kolagen spesifik MMP. Aktivasi endogen MMP
dapat menyebabkan degradasi matriks ekstraseluler yang selanjutnya
menyebabkan pecahnya selaput ketuban (Goldenberg dkk., 2008; Strauss, 2013;
Geng dkk., 2016).
Sitokin yang terdapat di dalam cairan amnion dikaitkan dengan infeksi
korioamnion. Produksi prostanoid pada desidua, korion, amnion dan sel
miometrium dan produksi endotelin oleh sel amnion dan sel desidua distimulasi
karena tingginya konsentrasi endotoksin dan juga oleh IL-1 dan TNF-α. Adanya
IL-6 pada serum, cairan amnion serta sekret servikovagina berhubungan dengan
kejadian korioamnionitis dan persalinan preterm. Aktivasi dari sitokin
37
menyebabkan peningkatan apoptosis plasenta dan selaput korioamnion dengan
glikoprotein pada Fas Ligand (Fas-L). Apoptosis dari sel otot polos servik
berperan dalam pembukaan servik dan sel epitel amnion dalam sel selaput janin
dan menyebabkan pecahnya selaput ketuban (Menon dan Fortunato, 2007;
Agrawal dan Hirsch, 2012).
Mikroorganisme patologik dalam flora vagina yang ditemukan setelah
pecahnya selaput ketuban mendukung konsep bahwa infeksi bakteri berperan
dalam patogenesis terjadinya ketuban pecah dini. Data epidemiologi menunjukkan
adanya kolonisasi dari mikroorganisme pada traktus genitalis oleh β
streptococcus, Chlamydia trachomatis, Neisseria gonorrhoeae, Gardnerrela
vaginalis, Mobiluncus species, genital mycoplasmas dan peningkatan risiko dari
ketuban pecah dini (Menon dan Fortunato, 2007; Ulett dan Adderson,2006;
Combs dkk.,2014). Beberapa studi tentang pengobatan dengan antibiotika pada
wanita yang terinfeksi dapat menurunkan angka kejadian ketuban pecah dini
preterm. Pada suatu penelitian in vitro, efek proteolisis dari matrik membran dapat
dihambat dengan pemberian antibiotika (Yudin dkk., 2009; Vanderhoeven dkk.,
2014; Rani dkk., 2014).
Studi epidemiologis menunjukkan hubungan antara kolonisasi saluran
genital bakterial vaginosis dengan terjadinya KPD preterm. Dalam suatu studi
kasus kontrol, risiko untuk terjadinya KPD preterm adalah 6 kali dibandingkan
pada kontrol diantara perempuan dengan infeksi intra-amnion, sekitar 3,7 kali di
antara mereka dengan infeksi saluran kemih, dan 7,6 kali pada wanita dengan
infeksi gonorrhea setelah mengontrol efek dari paparan asap rokok, memiliki
38
riwayat persalinan prematur dan aterm dengan KPD dan perdarahan ante partum.
Dalam upaya untuk mengidentifikasi penanda peradangan, sebuah studi
menunjukkan hubungan yang signifikan antara munculnya jumlah neutrofil
vagina > 5 per high powered, dan pH vagina ≥ 5 dengan KPD pada usia 24 - 32
minggu, bila dibandingkan dengan antar wanita dengan KPD pada 32 - 36 minggu
dan wanita tanpa KPD (Hyagriv dan Timothy, 2005; Goldenberg dkk., 2008;
Combs dkk., 2014).
Adanya infeksi memberikan respon berupa reaksi inflamasi yang
selanjutnya merangsang produksi sitokin, MMP, dan prostaglandin oleh netrofil
PMN dan makrofag. Sitokin proinflamasi seperti Interleukin-1 dan Tumor
Necrosis Factor α yang diproduksi oleh monosit akan meningkatkan aktivitas
MMP-1 dan MMP-3 pada sel korion (Vrachnis dkk., 2012; Elfayomy dan
Almasry, 2014). Infeksi bakteri dan respon inflamasi juga merangsang produksi
prostalglandin oleh selaput ketuban yang diduga berhubungan dengan ketuban
pecah dini (Hoang dkk., 2014). Respon imunologis terhadap infeksi juga
menyebabkan produksi prostaglandin E2 oleh sel korion akibat perangsangan
sitokin yang diproduksi oleh monosit. Sitokin juga terlibat dalam induksi enzim
siklooksigenase II yang berfungsi mengubah asam arakhidonat menjadi
prostaglandin (Zeng and Zhou, 2004; Gomez dkk., 2011).
Hubungan antara produksi prostaglandin dan ketuban pecah dini belum
diketahui, namun prostaglandin terutama E2 dan F2α telah dikenal sebagai
mediator dalam persalinan dan prostaglandin E2 diketahui mengganggu sintesis
kolagen pada selaput ketuban dan meningkatkan aktivitas dari MMP-1 dan
39
MMP-3 (Heaps dkk., 2005; Menon dan Fortunato, 2007). Infeksi sistemik bisa
berasal dari penyakit periodontal, pneumonia, sepsis, prankreatis, pielonefritis,
infeksi traktus genitalis, korioamnionitis dan infeksi amnion semuanya
berhubungan dengan terjadinya KPD (Menon dan Fortunato, 2007; Goldenberg
dkk., 2008; Bayles, 2014).
Komponen yang lain sebagai respon adanya infeksi adalah produksi dari
glukokortikoid. Pada kebanyakan jaringan aksi antiinflamasi dari glukokortikoid
dimediasi oleh karena penekanan produksi dari prostaglandin. Pada jaringan
amnion, glukokortikoid memproduksi prostaglandin. Hal ini menunjukkan bahwa
produksi glukokortikoid sebagai respon terhadap stress dari infeksi mikroba yang
dapat menyebabkan pecahnya selaput ketuban (Brian dan Mercer, 2003).
2.6.2 Faktor nutrisi
Faktor nutrisi seperti kekurangan gizi merupakan salah satu faktor
presdiposisi untuk terjadinya gangguan dari struktur kolagen, yang dikaitkan
dengan peningkatan risiko pecahnya selaput ketuban.
Vitamin C memegang peranan penting dalam metabolisme matriks
ekstraseluler. Vitamin C adalah suatu kofaktor untuk lysyl hidroksilase, enzim
penting yang terlibat dalam sintesis kolagen, dan defisiensi vitamin C
mempengaruhi produksi matriks ekstraseluler. Wanita hamil dengan KPD preterm
terjadi defisiensi vitamin C, dan suplementasi vitamin C pada populasi berisiko
tinggi mengurangi KPD preterm. Meskipun temuan ini mengesankan bahwa
status gizi dapat mempengaruhi risiko KPD preterm, penelitian epidemiologi dan
40
intervensi gizi tidak menunjukkan bahwa vitamin C mempengaruhi risiko KPD
preterm sebagai akibat langsung dari konten matriks ekstaseluler dari membran
janin. Namun, penelitian dari membran amnion dari kasus KPD mengungkapkan
bahwa terjadi pengurangan asam askorbat dan konsentrasi kolagen pada KPD
preterm dibandingkan dengan membran pada persalinan normal (Hauth dkk.,
2003; Strauss, 2013).
Vitamin C merupakan kofaktor dari pembentukan kolagen. Defisiensi
vitamin C menyebabkan struktur kolagen yang terbentuk tidak sempurna. Vitamin
C memegang peranan dalam sintesis dan degradasi kolagen dan untuk
pemeliharaan dari selaput ketuban. Selaput ketuban mempunyai elastisitas yang
berbeda tergantung kadar vitamin C dalam darah ibu. Kurangnya asupan vitamin
C selama kehamilan merupakan salah satu faktor risiko untuk terjadinya ketuban
pecah dini. Pemberian vitamin C 100 mg per hari setelah umur kehamilan 20
minggu efektif menurunkan insiden terjadinya ketuban pecah dini (Tejero dkk.,
2003; Casanueva dkk., 2005).
Gangguan nutrisi seperti mikronutrien merupakan faktor predisposisi
adanya gangguan pada struktur kolagen. Asam askorbat yang berperan dalam
pembentukan struktur kolagen tripel heliks berhubungan dengan pecahnya selaput
ketuban. Zat tersebut kadarnya lebih rendah pada kasus ketuban pecah dini
(Challis, 2005; Rangaswamy dkk., 2012). Penelitian oleh Hauth dkk, (2010)
tentang pemberian vitamin C dan E untuk pencegahan persalinan preterm dan
ketuban pecah dini mendapatkan bahwa pemberian vitamin C dan E mengurangi
frekuensi dari ketuban pecah dini preterm sebelum umur kehamilan 32 minggu.
41
Senyawa makanan lainnya dapat mempengaruhi risiko ketuban pecah dini.
Asam α-lipoic, antioksidan yang ditemukan dalam makanan, menghambat
proinflamasi yang diinduksi sitokin dan diinduksi trombin dapat melemahkan
selaput ketuban dalam penelitian in vitro. Ekspresi MMP-9 yang diinduksi TNF-α
dan produksi prostaglandin E2 juga dicegah dengan pengobatan asam α-lipoic
(Rangaswamy dkk., 2012; Strauss, 2013).
Merokok dikaitkan dengan terjadinya ketuban pecah dini preterm, paparan
pada membran janin terhadap komponen asap rokok menginduksi stres oksidatif
dan kematian sel apoptosis. Ketika eksplan ketuban atau membran janin
dikumpulkan pada waktu persalinan normal dirangsang dengan ekstrak asap
rokok, maka F2-isoprostan, biomarker stres oksidatif ditemukan meningkat. Ada
juga penurunan, tergantung dosis dalam ekspresi protein antiapoptosis Bcl-2, dan
peningkatan pada efektor kematian, caspase-3 aktif, berkaitan dengan fragmentasi
DNA nukleus pada sel amnion dan korion dibandingkan dengan pasien kontrol.
Disimpulkan bahwa jalur yang diinduksi ekstrak asap rokok juga meningkatkan
proteolisis dan mengakibatkan melemahnya membran amnion (Strauss, 2013).
Beberapa penelitian menghubungkan ibu perokok dan penyalahgunaan zat,
infeksi, perdarahan ante-partum, diketahui bisa memproduksi ROS atau
menurunkan proteksi antioksidan yang diduga akan menyebabkan kolagenolisis
dari membran janin. Rokok mengandung superoxide, hydrogen peroxide, hydroxil
ions dan Nitrit oxide yang bisa merusak matriks kolagen atau merusak pertahanan
antioksidant (Thombre, 2014).
42
Merokok meningkatkan risiko terjadinya ketuban pecah dini dihubungkan
dengan penurunan konsentrasi dari asam askorbat. Pemberian cigarette smoke
extract (CSE) dapat menginduksi stress oksidatif dan apoptosis. Ketika fetal
membran distimulasi dengan cigarette smoke extract maka F2-isoprostane sebagai
biomarker dari stress oksidatif akan meningkat. Juga terjadi penurunan dari
protein antiapoptosis Bcl-2 dan peningkatan caspase-3 aktif untuk terjadinya
fragmentasi DNA pada sel amnion dan korion. Proses ini sebagai jalur terjadinya
apoptosis pada selaput ketuban dan degradasi dari matriks ektraseluler yang
berperan terhadap tejadinya ketuban pecah dini dan persalinan preterm (Menon
dkk., 2011; Rangaswamy dkk.,2012). Hubungan respon antara banyaknya
merokok dan KPD preterm telah dilaporkan bahwa merokok lebih dari 10 batang
per hari merupakan faktor risiko untuk KPD preterm (Thombre, 2014).
Kadar homosistein yang tinggi juga telah dikaitkan dengan kelainan pada
kolagen. Vitamin B12 dan folat adalah kofaktor penting dalam metabolisme
homosistein, di mana dengan rendahnya kadar folat mengarah pada peningkatan
kadar homosistein plasma. Namun sebuah studi kasus kontrol tidak bisa
mendeteksi perbedaan antara homosistein puasa, folat sel darah merah, kadar
vitamin B12 dan asupan makanan antara perempuan yang mengalami KPD
preterm dan persalinan aterm. Defisiensi zinc juga telah dikaitkan dengan KPD
preterm. Kadar zinc ibu lebih rendah pada wanita KPD preterm dibandingkan
dengan kontrol. Defisiensi zinc dikaitkan dengan risiko persalinan prematur,
terutama ketika pecahnya selaput ketuban mendahului mulainya persalinan (AOR
= 3,46, 95% CI 1.04, 11.47) (Thombre, 2014).
43
2.6.3 Faktor hormon
Faktor hormonal juga berperan pada proses remodeling dari matriks
ekstraseluler. Hormon progesteron dan estradiol dapat menekan proses
remodeling matriks ektraseluler dengan menurunkan konsentrasi MMP-1 dan
MMP-3, serta meningkatkan konsentrasi TIMP pada fibroblas serviks.
Konsentrasi progesteron yang tinggi menyebabkan penurunan produksi
kolagenase. Hormon relaxin yang diproduksi oleh sel desidua dan plasenta
berfungsi mengatur pembentukan jaringan ikat, dan mempunyai aktivitas yang
berlawanan dengan efek inhibisi oleh progesteron dan estradiol dengan
meningkatkan aktivitas MMP-3 dan MMP-9 pada selaput ketuban (Goldsmith
dkk., 2005; Thombre, 2014).
Ekspresi dan aktivitas dari relaxin gen meningkat sebelum persalinan pada
selaput ketuban kehamilan aterm. Selaput ketuban menjadi jaringan target dari
hormon relaxin yang merupakan hormon endogen, menyebabkan pelepasan enzim
kolagenolitik untuk memulai proses pelemahan dan pecahnya selaput ketuban.
Pada satu penelitian didapatkan kadar ekspresi relaxin yang bermakna pada pasien
dengan ketuban pecah dini dibandingkan pada pasien dengan persalinan preterm
dan pada pasien yang dilakukan seksio sesarea pada ibu dengan komplikasi
kehamilan (Goldsmith dkk., 2005; Rangaswamy dkk., 2012; Thombre, 2014).
Relaxin menyebabkan peningkatan produksi matriks metalloproteinase
(MMP) dan sitokin-sitokin proinflamasi, oleh karena itu berdampak pada
terjadinya KPD, dibandingkan dengan kelahiran preterm akibat persalinan
preterm. Risiko KPD preterm berhubungan dengan kenaikan kadar relaxin di
44
dalam plasenta. Di dalam selaput ketuban janin yang diperoleh dari 12 kasus
seksio cesaria elektif sebelum mulainya persalinan, human relaxin (hRLX-2)
secara in vitro menunjukkan terjadinya pengurangan kekuatan regangan selaput
ketuban sebesar 30%. Ekspresi dari dua gen human relaxin dihitung di dalam
desidua dan plasenta, dari masing-masing subjek. Studi ini dapat menunjukkan
bahwa secara signifikan lebih banyak relaxin yang diekpresikan di dalam desidua
dari pasien-pasien dengan KPD preterm, dibandingkan dengan pasien dengan
persalinan preterm atau pasien-pasien dengan seksio cesaria karena alasan medis
dengan membran yang utuh dan tidak ada persalinan preterm (Thombre, 2014).
2.6.4 Faktor apoptosis
Studi terbaru menunjukkan bahwa peristiwa molekuler yang menyebabkan
persalinan prematur dan KPD secara fundamental berbeda, hal ini mungkin
menjelaskan mengapa beberapa wanita mengalami persalinan prematur tanpa
pecah ketuban, sementara yang lain mengalami KPD tanpa persalinan. Studi pada
membran (in vivo dan in vitro) menunjukkan bahwa unsur-unsur dari kematian sel
terprogram (apoptosis) yang didominasi terlihat pada selaput ketuban dari wanita
dengan KPD tapi bukan mereka dari wanita dengan persalinan preterm. Infeksi
dan endotoksin mampu merangsang banyak faktor-faktor proapoptotik selama
KPD preterm. Agen proapoptotik meningkat pada KPD yang berasal dari
membran amnion dan bukti kematian sel terprogram terlihat. Beberapa penelitian
lainnya juga telah melaporkan hubungan yang kuat antara apoptosis dan KPD
(Fortunato dan Menon, 2001).
45
Pecahnya selaput ketuban tidak hanya berkaitan dengan faktor mekanis
dan kimia namun di dalamnya berperan serta juga adanya proses kematian sel
terprogram atau apoptosis dari sel-sel yang terdapat pada selaput ketuban.
Berbagai penelitian memberikan hasil yang konsisten bahwa selaput ketuban dari
ibu hamil dengan ketuban pecah dini menunjukkan indeks apoptosis yang lebih
tinggi dibandingkan dengan selaput ketuban dari persalinan aterm maupun
preterm dengan selaput ketuban yang masih utuh (Rangaswamy dkk., 2012;
Saglam dkk., 2013).
Melemahnya selaput ketuban di daerah supra servik dihubungkan dengan
gambaran histologi dan proses biokimia di mana terdapat gambaran remodeling
kolagen dan apoptosis. Gambaran ini tampak pada daerah supra servik membran
janin baik dari membran yang didapat dari persalinan sesar atau setelah persalinan
normal (El Khwad dkk., 2006; Reti dkk., 2007; Rangaswamy dkk., 2012).
Jaringan amnion dan korion pada kehamilan aterm setelah mengalami pecah
ketuban dini mengandung banyak sel-sel apoptosis di area sekitar ruptur membran
dan sedikit sel apoptosis di area yang lain dari membran. Pada kasus dengan
korioamnionitis, apoptosis sel epitel amnion tampak dalam granulosit, yang
menunjukkan bahwa respon imun mempercepat kematian sel pada membran
amnion (Murtha dkk., 2002; Tanir dkk., 2005; Saglam dkk., 2013).
Proses apoptosis sangat dipengaruhi oleh sinyal yang berasal dari protein
ekstraseluler dan intraseluler. Faktor ekstraseluler sangat dipengaruhi oleh infeksi
yang telah lama dikenal sebagai pencetus ketuban pecah dini, sedangkan faktor
intraseluler diperankan oleh p53 yang merupakan suatu protein yang berperan
46
dalam apoptosis intraseluler melalui pengaktifan protein Bax yang memacu
pelepasan sitokrom C. Fungsi normal p53 adalah sebagai penjaga proteinom. Pada
keadaan di mana jumlah p53 rendah maka p53 akan berperan sebagai penjaga sel,
sedangkan dalam jumlah banyak akan menyebabkan pengaktifan apoptosis (Hsu
dkk., 2000; Haupt dkk., 2003; Suhaimi., 2012). Ditemukan adanya peningkatan
ekspresi gen yang bersifat proapoptosis, yaitu p53 dan Bax disertai penurunan
ekspresi gen antiapoptosis Bcl-2 pada kasus ketuban pecah dini, baik aterm
maupun preterm (Kumagai dkk., 2001; Kataoka dkk., 2002; Chai dkk., 2013).
Proses apoptosis dipercepat di tempat terjadinya robekan selaput ketuban
pada kehamilan dengan ketuban pecah dini baik melalui jalur caspase dependent
dan caspase independent. Sinyal apoptosis bisa terjadi secara intraseluler dan
ekstraseluler. Jalur ekstrinsik (ekstraseluler) diinisiasi melalui stimulasi dari
reseptor kematian (death receptor pathway) sedangkan jalur intrinsik diinisiasi
melalui pelepasan faktor signal dari mitokondria dalam sel (mitochondrial
pathway) (Xu dan Wang, 2005; Brenner, 2012; Ashkenazi, 2014).
2.6.5 Faktor mekanis
Peregangan secara mekanis seperti pada polihidramnion, kehamilan ganda
dan berat badan bayi besar akan menyebabkan regangan selaput ketuban.
Peningkatan regangan atau overdistensi dari uterus ini meningkatkan risiko
terjadinya ketuban pecah dini. Secara mekanik, regangan dari membran fetus ini
akan meningkatkan produksi prostaglandin E2 dan Interleukin-8 dalam amnion,
juga meningkatkan aktivitas MMP-1 dalam membran. Interleukin-8 diproduksi
47
dari sel amnion dan korion bersifat kemotaktik terhadap neutrofil dan merangsang
aktivitas kolagenase, selanjutnya akan menyebabkan terganggungnya
keseimbangan proses sintesis dan degradasi matriks ekstraseluler yang akhirnya
menyebabkan pecahnya selaput ketuban. Prostaglandin E2 meningkatkan
iritabilitas uterus, menurunkan sistesis dari kolagen membran dan meningkatkan
produksi dari MMP-1 dan MMP-3 oleh fibroblas. Produksi interleukin-8 dan
prostaglandin E2 dari amnion menunjukkan adanya perubahan biokimia dalam
selaput ketuban yang dapat diinisiasi oleh kekuatan fisik atau regangan membran,
menunjukkan bahwa kekuatan mekanik menyebabkan terjadinya ketuban pecah
dini. Produksi Interleukin-8 dan prostaglandin amnion akan memperlihatkan
perubahan biokimia pada selaput ketuban yang mungkin dimulai oleh adanya
regangan selaput ketuban dan apoptosis (Heaps dkk., 2005; Samuel dan Jerome,
2006; Rangaswamy dkk., 2012).
Degradasi kolagen disebabkan oleh MMP dan dapat dihambat oleh
inhibitor jaringan spesifik dan inhibitor protease (TIMP). Kontraksi uterus yang
berulang, dan adanya peregangan menyebabkan melemahnya selaput ketuban.
Daya regang ini dipengaruhi oleh keseimbangan antara sintesis dan degradasi dari
komponen matriks ekstraseluler. Pada ketuban pecah dini terjadi perubahan-
perubahan seperti penurunan jumlah jaringan kolagen, serta peningkatan aktivitas
kolagenolitik yang dapt menyebabkan terjadinya degradasi dari kolagen (Oyen
dkk., 2004; Rangaswamy dkk., 2012; Thombre, 2014).
48
2.7 Apoptosis
Istilah apoptosis pertama kali digunakan oleh Kerr, Wyllie, dan Currie
pada tahun 1972 untuk menggambarkan bentuk morfologi yang berbeda dari
kematian sel. Apoptosis terjadi selama perkembangan dan penuaan, merupakan
mekanisme homeostatis untuk mempertahankan populasi sel dalam jaringan.
Apoptosis juga terjadi sebagai mekanisme pertahanan seperti dalam reaksi imun
atau ketika sel-sel yang rusak oleh penyakit atau agen berbahaya. Meskipun ada
berbagai macam rangsangan dan kondisi, baik fisiologis dan patologis yang dapat
memicu apoptosis, tidak semua sel akan mati dalam menanggapi stimulus yang
sama (Elmore, 2007; Kumar dkk., 2014).
Proses apotosis atau kematian sel terprogram merupakan proses yang
normal dalam kehidupan organisme multiseluler. Apoptosis harus berjalan
seimbang dengan proliferasi sel agar proses kehidupan dapat berjalan normal.
Proses apoptosis timbul dari ketidakseimbangan antara sinyal kematian atau
proliferasi sel. Organisme multiseluler memiliki gen dan protein yang
mengendalikan proses dan urutan alur apoptosis. Apoptosis fisiologis terjadi pada
kondisi fisiologis seperti masa embriogenesis, masa involusi, respon terhadap
inflamasi. Apoptosis berfungsi untuk menghilangkan sel - sel yang tidak
diinginkan, yang sudah menua atau sel yang berpotensi berbahaya. Apoptosis
patologis terjadi pada kondisi patologis yaitu ketika sel menjadi rusak akibat
virus, tumor, radiasi, kemoterapi dan akhirnya akan dieliminasi (Elmore, 2007;
Kumar dkk., 2014).
49
Meskipun mekanisme dan morfologi apoptosis dan nekrosis berbeda, ada
tumpang tindih antara dua proses tersebut. Bukti menunjukkan bahwa nekrosis
dan apoptosis merupakan ekspresi morfologi bersama dari jaringan biokimia.
Adanya dua faktor yang akan mengkonversi proses apoptosis berlangsung dalam
proses nekrosis termasuk penurunan ketersediaan caspase dan ATP intraseluler
(Elmore, 2007).
Gambar 2.4 Perbedaan Nekrosis dan Apoptosis (Kumar dkk., 2014)
Meskipun antara apoptosis dan nekrosis adalah bentuk dari kematian sel,
tetapi apoptosis dan nekrosis berbeda satu sama lain. Apoptosis dianggap sebagai
rute yang sangat harmonis dari kematian sel, dan diperlukan untuk pertumbuhan
dan homeostasis organisme multiseluler. Selanjutnya, tidak seperti nekrosis,
apoptosis tidak menginduksi respon inflamasi selama proses kematian sel. Vesikel
50
diproduksi dalam sel-sel yang mengalami apoptosis tanpa pelepasan setiap isi
seluler. Namun, kematian oleh nekrosis ditandai dengan pembesaran sel dan lisis,
dan juga menyebabkan respon inflamasi sebagai konsekuensinya. Diperkirakan
bahwa apoptosis adalah proses aktif, proses pemrograman dari disintegrasi seluler
independen, sedangkan nekrosis adalah pasif, kematian sel yang disengaja disertai
dengan keluarnya sitoplasma yang tidak terkontrol yang merupakan isi sel
inflamasi (Elmore, 2007; Hongmei, 2012; Kumar dkk., 2014).
Secara morfologis, apoptosis dianggap sebagai jalur umum kematian sel
yang terlindungi sesuai dengan proses mitosis dan sitokinesis yang menyebabkan
populasi stabil dalam jaringan. Saat ini dianggap bahwa kehidupan sel-sel
merupakan suatu genetik yang terprogram untuk membentuk komponen
metabolik yang mengarah kepada kematian seluler saat aktivasi. Sebaliknya,
penelitian mengungkapkan bahwa nekrosis sel memiliki mekanisme dan hasil
yang berbeda. Selama sel nekrosis, pertama membengkak, dan kemudian
membran plasma rusak dan sel-sel dengan cepat mengalami lisis. Tapi, selama
penyusutan sel apoptosis dan penyesuaian kondensasi DNA terjadi pada awalnya,
dan kemudian sel-sel ini dan inti hancur menjadi “well-enclosed apoptotic
bodies”. Jika badan apoptosis tidak difagositosis, terjadi kehilangan integritas
dalam tubuh apoptosis yang menyebabkan nekrosis sekunder atau apoptosis.
(Elmore, 2007; Galuzzi dkk., 2012; Kumar dkk., 2014).
Kematian sel terprogram atau apoptosis mempunyai ciri khas berupa
perubahan morfologi sel. Perubahan morfologi termasuk sel yang mengisut,
kondensasi kromatin, dan membran sel yang membentuk tonjolan-tonjolan.
51
Kemudian, sel tersebut akan mengalami fragmentasi yang membentuk pecahan-
pecahan sel atau apoptotic bodies yang berada di sekitar sel tersebut. Fragmen-
fragmen sel tersebut akan cepat difagositosis oleh makrofag sebelum sel pecah
dan menyebabkan kerusakan pada jaringan (Elmore, 2007; Kumar dkk., 2014).
Pada nekrosis, tahapan proses kematian dimulai dari pembengkakan
retikulum endoplasma dan mitokondria. Kemudian, timbul bleb pada permukaan
sel dan diakhiri dengan pecahnya membran plasma, organela, dan isi sel. Pada
apoptosis proses kematian sel dimulai dari kondensasi kromatin, terbentuknya
bleb membran, dan diakhiri dengan fragmentasi dari sel di mana masing-masing
fragmen berisi organela dan terbungkus oleh membran yang utuh dan akan
difagositosis oleh sel sekitarnya atau makropag (Elmore, 2007; Kumar dkk,.
2012).
Secara morfologis, apoptosis ditandai : (1) masih adanya integritas
membran; (2) sel mengkerut karena berkurangnya sitoplasma; (3) kondensasi
nukleus dan fragmentasi sel; (4) terbentuknya badan-badan apoptotik yang
dikenal sebagai nekrosis sekunder. Badan apoptotik ini mengandung ribosom,
mitokondria, dan bahan lain baik dari nukleus maupun sitosol, akan difagositosis
oleh makrofag sehingga tidak menimbulkan inflamasi. Secara biokimiawi,
apoptosis dimulai dengan : (1) pengaktifan berbagai macam protein atau enzim
yang bergantung pada energi ATP; (2) fragmentasi DNA sebelum lisis; (3)
pelepasan sitokrom C dan Apoptosis Inducing Factor (AIF) dari mitokondria ke
sitoplasma; (4) pengaktifan kaskade caspase; (5) perubahan pada asimetri
membran (Elmore, 2007; Hoppins dan Nunnari, 2012; Kumar dkk., 2014).
52
Dengan cara histologi konvensional, tidak selalu mudah untuk
membedakan apoptosis dari nekrosis, dan mereka dapat terjadi secara bersamaan,
tergantung pada faktor-faktor seperti intensitas dan durasi stimulus, tingkat
deplesi ATP dan ketersediaan caspase. Nekrosis merupakan proses yang tidak
terkendali dan pasif yang biasanya mempengaruhi bagian besar sel sedangkan
apoptosis dikendalikan dengan bantuan energi dan dapat mempengaruhi individu
atau kelompok sel. Kerusakan sel nekrotik dimediasi oleh dua mekanisme utama
yaitu gangguan pada pasokan energi dari sel dan kerusakan langsung ke membran
sel (Elmore, 2007).
Apoptosis merupakan suatu mekanisme yang kompleks, melibatkan suatu
kaskade pada tingkat molekuler. Apoptosis tidak memerlukan suatu proses
transkripsi atau translasi. Secara garis besar proses apoptosis dibagi menjadi 4
tahap, yaitu :
1. Adanya sinyal kematian (induksi sinyal apoptosis)
2. Tahap integrasi atau pengaturan (transduksi signal, induksi gen apoptosis)
3. Tahap pelaksanaan apoptosis (fragmentasi DNA, kondensasi kromatin,
penguraian sel)
4. Fagositosis.
Berbagai pemicu intrinsik dan ekstrinsik dapat menginduksi terjadinya
apoptosis, diantaranya stimulus yang menyebabkan cedera sel seperti radiasi dan
radikal bebas (yang menyebabkan kerusakan DNA dan aktivasi p53), aktivasi
intrinsik ( pada saat embriogenesis), withdrawal dari growth factor, ligasi reseptor
53
(FAS dan TNF) atau pelepasan granzyme oleh sel-T sitotoksik. Selanjutnya sinyal
apoptosis dihubungkan dengan pelaksanaan apoptosis oleh tahap integrasi atau
pengaturan. Pada tahap ini terdapat molekul regulator positif atau negatif yang
dapat menghambat, atau memicu apoptosis, sehingga menentukan apakah sel
tetap hidup atau mengalami apoptosis (Elmore, 2007; Hongmei, 2012)
2.7.1 Mekanisme apoptosis
Mekanisme apoptosis merupakan proses yang melibatkan suatu energi
pada kaskade peristiwa molekuler. Proses ini melibatkan sistem signal sel yang
dapat dipicu dari dalam sel maupun dari luar sel. Sampai saat ini, penelitian
menunjukkan bahwa ada dua utama jalur apoptosis, yaitu ekstrinsik atau jalur
reseptor kematian (death receptor pathway), dan jalur intrinsik atau mitokondria
(mitochondrial pathway). Kedua jalur saling terkait dan bahwa molekul dalam
satu jalur dapat mempengaruhi yang lain. Stimulus yang memicu kematian sel
seperti infeksi virus, bakteri, stress sel, dan kerusakan DNA. Faktor stimulus dari
luar seperti TNF, FasL, dan TRAIL. Jalur ekstrinsik dipicu oleh pelepasan
molekul signal yang disebut ligan oleh sel lain yang bukan berasal dari sel yang
akan mengalami apoptosis. Ligan tersebut berikatan dengan reseptor kematian
(death receptor) yang terletak pada membran sel target yang kemudian
menginduksi apoptosis. Sedangkan apoptosis jalur intrinsik diinduksi oleh stress
mitokondria yang disebabkan oleh senyawa kimia atau penurunan dari faktor
pertumbuhan (growth factor), sehingga menyebabkan gangguan pada mitokondria
dan terjadi pelepasan sitokrom C. Bukti terakhir menyebutkan sesungguhnya
54
kedua jalur ini saling terkait dan molekul-molekul pada salah satu jalur dapat
mempengaruhi jalur yang lain (Brenner, 2012; Hongmei, 2012; Ashkenazi dkk.,
2014).
Selain dua jalur utama tersebut, terdapat pula jalur tambahan yang
melibatkan sitotoksisitas yang dimediasi oleh sel T (T-cell mediated cytotoxity)
dan kematian sel yang tergantung perforin-granzyme (perforin-granzyme-
dependent killing of the cell). Jalur perforin-granzyme dapat menginduksi
apoptosis melalui granzyme A atau granzyme B. Jalur ekstrinsik, intrinsik dan
granzyme B akan bertemu di satu titik terminal yang sama, yaitu tahap eksekusi.
Tahap eksekusi dimulai dengan pembelahan caspase-3 dan menyebabkan
fragmentasi DNA, degradasi protein-protein sitoskeletal dan inti sel, cross-linking
protein, pembentukan apoptotic body, ekspresi ligan baru yang memicu
pembentukan reseptor sel fagosit dan akhirnya terjadi fagositosis oleh sel-sel
fagosit. Jalur granzyme A sendiri mengaktivasi suatu jalur berbeda, yang tidak
bergantung pada caspase (caspase independent pathway) (Broker dkk., 2005;
Elmore, 2007; Surova dan Zhivotovsky, 2013).
Apoptosis berlangsung dua tahap yaitu tahap inisiasi, di mana terjadi
pengaktifan caspase secara katalisis dan tahap eksekusi di mana caspase bekerja
aktif menyebabkan kematian sel. Inisiasi apoptosis berasal dari dua jalur yaitu
jalur intrinsik (mitokondria) dan ekstrinsik. Kedua jalur ini, akhirnya bertujuan
untuk mengaktifkan caspase. Jalur ini diinduksi oleh stimulus yang berbeda dan
melibatkan protein yang berbeda, walaupun terdapat beberapa pertemuan jalur
diantaranya (Tait dan Green, 2010; Hongmei, 2012; Kumar dkk., 2014).
55
Mekanisme apoptosis terjadi melalui dua jalur, yaitu caspase dependent
pathway melalui jalur intrinsik yang dipicu oleh kegagalan metabolik mitokondria
atau jalur ekstrinsik yang dipicu oleh reseptor kematian, yaitu kelompok TNF
reseptor. Caspase independent pathway dipicu oleh protein mitokondria seperti
Apoptosis Inducing Factor (AIF) dan Endonuclease G yang keluar dari membran
mitokondria akibat depolarisasi membran luar mitokondria (Van, 2001; Elmore,
2007; Ashkenazi dan Salvesen, 2014).
Gambar 2.5 Jalur pada Apoptosis (Elmore , 2007)
Dua jalur utama apoptosis adalah ekstrinsik dan intrinsik, juga jalur perforin/ granzyme. Masing-masing membutuhkan sinyal pemicu yang spesifik untuk memulai kaskade. Masing-masing jalur akan mengaktivasi caspase inisiatornya dan pada akhirnya akan mengaktifkan caspase eksekutor yaitu caspase-3. Kecuali granzyme A yang bekerja dengan tidak bergantung pada caspase. Jalur eksekusi akan menyebabkan munculnya gambaran khas sitomorfologi sel apoptotik, berupa pengerutan sel, kondensasi kromatin, pembentukan cytoplasmic bleb dan apoptotic bodies, dan pada akhirnya fagositosis apoptotic bodies oleh sel parenkim yang berdekatan, sel neoplastik ataupun makrofag.
56
2.7.2 Caspase dependent apoptosis
Caspase-Dependent apoptosis melalui jalur ekstrinsik dan jalur intrinsik.
2.7.2.1 Jalur ekstrinsik
Inisiasi atau mekanisme apoptosis melalui jalur ekstrinsik adalah melalui
aktivasi reseptor kematian, terjadi ikatan antara protein sinyal kematian
ekstraseluler seperti TNF α, Fas-Ligand (Fas-L), TNF-related apoptosis including
ligand (TRAIL) dan Apo-3 ligand (Ap0-3L) dengan reseptor permukaan sel
sasaran. Stimulus ekstrinsik yang memicu apoptosis melibatkan interaksi
transmembran yang diperantarai oleh reseptor, berupa death receptor (DR) yang
merupakan bagian dari superfamili gen reseptor tumor necrosis factor (TNF).
Anggota dari famili reseptor TNF memiliki domain ekstraseluler serupa yang
kaya akan sistein, serta memiliki domain sitoplasmik yang terdiri dari 80 asam
amino yang disebut death domain. Death domain berperan untuk menyampaikan
sinyal kematian dari permukaan sel ke dalam jalur intraseluler. Saat ini ligan dan
reseptor kematiannya yang berhubungan adalah diantaranya FasL / FasR, TNF-α,
Apo3L / DR3, Apo2L/ DR4 dan Apo2L/ DR5 (Mac Farlane dan Williams, 2004;
Elmore, 2007; Hongmei, 2012).
Ikatan antara ligan dengan reseptor menyebabkan protein adaptor pada
sitoplasma yang memiliki death domain yang serupa dengan yang terdapat pada
reseptornya direkrut. Ikatan ligan Fas dengan reseptor Fas mengikat protein
adaptor FADD (FAS-Associated Death Domain), sedangkan pengikatan ligan
TNF dengan reseptor TNF akan mengakibatkan pengikatan TRADD (TNFR-
Associated Death Domain) dan rekrutmen FADD, serta RIP (Receptor Interacting
57
Protein). FADD bergabung dengan procaspase-8 melalui dimerisasi domain death
effector domain (DED), terbentuk death-inducing signaling complex (DISC),
mengakibatkan aktivasi autokatalitik procaspase-8 menjadi caspase-8 teraktivasi.
Caspase- 8 yang aktif melepaskan diri dari DISC memicu apoptosis mengaktifkan
caspase-3 dan caspase-7, atau dapat melalui jalur mitokondria dengan
mengaktifkan protein Bid (BH3 interacting domain death agonist) menjadi tBid
(truncated Bid) (Elmore,2007;Rastogi,2009;Hongmei, 2012).
Gambar 2.6 Jalur Ektrinsik Apoptosis (Mac Farlane dan Williams, 2004)
2.7.2.2 Jalur intrinsik
Apotosis yang melalui jalur intrinsik melibatkan beberapa proses
rangsangan yang menghasilkan sinyal intraseluler tanpa diperantarai reseptor, dan
bekerja langsung pada target yang berada dalam sel, dan proses dari dalam
58
mitokondria. Stimulus yang memicu jalur intrinsik menghasilkan sinyal
intraseluler yang dapat bekerja secara positif maupun negatif. Sinyal negatif
berupa penekanan beberapa faktor pertumbuhan (growth factor), hormon dan
sitokin, yang berakibat pada kegagalan supresi program kematian, sehingga
memicu apoptosis. Rangsangan lain yang bekerja secara positif termasuk
diantaranya radiasi, toksin, hipoksia, hipertermia, infeksi virus dan radikal bebas.
Stimulus ini akan menyebabkan perubahan di dalam membran mitokondria dan
terbukanya pori mitochondrial permeability transition (MPT), hilangnya potensial
transmembran mitokondria dan pelepasan dua kelompok utama protein
proapoptosis dari ruang intermembran ke dalam sitosol (Elmore, 2007; Martinou
dan Youle, 2011; Hongmei, 2012).
Kelompok pertama protein proapoptosis terdiri dari sitokrom C, Smac /
DIABLO, dan protease serine HtrA2 / Omi. Protein-protein proapoptosis ini akan
mengaktivasi jalur mitokodria yang bersifat caspase dependent. Sitokrom C yang
dilepaskan melalui membran mitokondria berikatan dan mengaktivasi Apaf-1
membentuk oligomer Apaf-sitokrom C. Oligomer ini terdiri dari 7 molekul Apaf-
1-sitokrom C membentuk apoptosom yang berfungsi untuk mengaktifkan
procaspase-9. Aktivasi caspase-9 terjadi setelah caspase-9 melalui domain CARD
(Caspase Activation and Recruitment Domain) dan berikatan pada molekul Apaf-
1 dari komplek apoptosome. Selanjutnya caspase-9 yang aktif akan membentuk
holoenzim yang mengaktifkan caspase eksekusioner yaitu caspase-3 dan caspase-
7 untuk mengeksekusi apoptosis atau kematian sel. Smac/ DIABLO dan HtrA2/
Omi menyebabkan apoptosis dengan cara menghambat aktivitas IAP (inhibitors
59
of apoptosis proteins) (Elmore, 2007; Parsons dan Green, 2010; Vaux dkk.,
2011).
Kelompok kedua protein proapoptosis yang dilepaskan selama apoptosis
oleh mitokondria adalah AIF, endonuclease G dan CAD (caspase activated DNA
ase). Kerja AIF maupun endonuclease G bersifat caspase independent, di mana
AIF mengalami translokasi ke dalam nukleus dan menyebabkan fragmentasi DNA
dan kondensasi kromatin. Terbentuknya kondensasi nukleus ini disebut sebagai
kondensasi tingkat I. Endonuclease G adalah enzim yang berperan dalam
apoptosis yang tidak tergantung pada caspase. Endonuclease G yang dilepaskan
oleh mitokondria mengalami translokasi ke dalam nukleus menyebabkan
degradasi kromatin nukleus menghasilkan fragmen DNA oligonukleosomal. CAD
dilepaskan dari mitokondria dan mengalami translokasi ke nukleus, yang
sebelumnya dipecah oleh caspase-3, menyebabkan kondensasi kromatin
oligonukleosomal. Kondensasi kromatin ini disebut sebagai kondensasi tingkat II
(Elmore, 2007; Parsons dan Green, 2010; Vaux dkk., 2011).
Pelepasan protein intermembran tersebut diatas diatur oleh protein-protein
famili Bcl-2. Bukti terakhir menyebutkan bahwa protein yang bersifat
proapoptosis dari famili ini menyebabkan peningkatan permeabilitas membran
mitokondria tanpa menyebabkan kerusakan membran itu sendiri. Mekanisme
kerja lain protein famili Bcl-2 pada mitokondria adalah dengan mempengaruhi
kadar Ca2+ yang dapat dilepaskan oleh retikulum endoplasma sehingga kadar
Ca2+ dilepaskan dalam jumlah yang banyak untuk memenuhi mitokondria
sehingga terjadi pecahnya membran mitokondria dan terlepasnya protein
60
intermembran (Donovan dan Cotter, 2004; Elmore, 2007; Giorgi dkk., 2012).
Mekanisme apoptosis jalur intrinsik juga disebut mitochondrial pathway
karena dikaitkan dengan pelepasan protein sitokrom C dan protein lain dari ruang
antar membran mitokondria ke dalam sitoplasma sebagai akibat dari aktivasi
anggota famili protein proapoptosis Bcl-2 yang merupakan regulator
permeabilitas membran luar mitokondria. Jalur apoptosis intrinsik didominasi
oleh famili protein Bcl-2, yang terbagi menjadi tiga kelas: protein pro survival
seperti Bcl-2, Bcl-XL; protein pro-apoptosis seperti Bax, Bak, dan Bcl-X1; protein
pro-apoptosis BH3-only seperti Bid, Bad, Noxa, Puma (p53-up-regulated
modulator of apoptosis), p53AIP1 (Parsons dan Green, 2010; Galluzzi dkk.,2012;
Hoppins dan Nunnari, 2012;).
Gambar 2.7 Skema Representasi Apoptosis (Marzban dkk., 2013) Pada apoptosis secara umum terbagi menjadi ekstrinsik dan jalur intrinsik. Reseptor kematian (seperti FAS) yang terlibat dalam jalur ekstrinsik, yang kemudian dapat mengaktifkan caspase - 8. Caspase - 8 mengaktifkan caspase - 3 dalam dua cara terpisah ( aktivasi langsung atau aktivasi melalui caspase - 9 ). Sinyal stres dan kerusakan DNA memicu jalur intrinsik apoptosis melalui mitokondria. Apoptosis intrinsik (mitokondria apoptosis ) dibagi ke jalur caspase - dependent atau caspase – independent.
61
Jalur intrinsik diawali oleh peningkatan permeabilitas mitokondria, dan
pelepasan molekul proapoptosis (death inducers) ke dalam sitoplasma tanpa
pengaruh dari reseptor kematian (Elmore, 2007; Kumar dkk., 2012). Growth
factor akan merangsang produksi protein antiapoptosis (protein Bcl-2). Protein ini
berada di mitokondria dan sitoplasma, dan pada saat sel terpapar stres, protein
Bcl-2 dan Bcl-x keluar dari mitokondria dan digantikan oleh protein proapoptosis
seperti Bax, Bak, Bim. Saat kadar Bcl-2/Bcl-x menurun, permeabilitas membran
mitokondria meningkat (Parsons dan Green, 2010; Hongmei, 2012; Sinha dkk.,
2013).
Gambar 2.8 Jalur Intrinsik Apotosis (Riedl dan Shi, 2004)
62
Pemicu apoptosis melalui jalur intrinsik adalah sel stres yang merusak
fungsi mitokondria dan retikulum endoplasmik, akibatnya membran mitokondria
mengalami depolarisasi dan sitokrom C akan keluar ke sitoplasma melalui suatu
pori yang disebut Mitochondrial Permeability Transition Pore (MPTP) (Wang
dan Youle, 2009; Parsons dan Green, 2010; Galluzzi dkk., 2012).
Gambar 2.9 Jalur Caspase Dependent dan Caspase Independent Intrinsik Apoptosis (Galluzzi dkk., 2012)
Selain sel stres, glucocorticoid, radiasi, kekurangan makanan, infeksi
virus, dan hipoksia juga menjadi faktor pencetus. Pada sel yang sehat dijumpai
ekspresi protein Bcl-2 pada permukaan membran luar mitokondria. Bcl-2
berbatasan dengan protein Apoptotic Protease Activating Factor-1 (Apaf-1).
Kerusakan dalam sel menyebabkan Bcl-2 melepaskan Apaf-1 dan selanjutnya
63
membuka MPTP yang melepaskan sitokrom C ke dalam sitosol. Sitokrom C dan
Apaf-1 akan mengikat molekul caspase-9. Hasil kompleks sitokrom C, Apaf-1,
caspase-9, dan ATP disebut apoptosom dan mengaktifkan caspase-3. Rangkaian
aktivasi dari caspase ini akan membuat protein dalam sitoplasma dan DNA
kromosom mengalami degradasi (Garrido dkk., 2006; Elmore, 2007; Sinha dkk.,
2013).
Protein p53 berperan baik pada jalur ekstrinsik maupun jalur intrinsik dari
mekanisme apoptosis. Reseptor kematian sel pada membran plasma seperti Fas,
DR4, dan DR5 diatur oleh p53 melalui jalur ekstrinsik. Protein 53 menginduksi
caspase-8 yang mengaktifkan Bid. Bid memasuki membran mitokondria, yang
selanjutnya mengaktifkan Bax dan Bak. Bax dan Bak menstimulasi pembentukan
apoptosom dalam mitokondria. Protein p53 mengatur mekanisme jalur intrinsik
apoptotik melalui induksi langsung keluarga Bcl-2 seperti Bax, PUMA (p53-
upregulated modulator of apoptosis), dan Noxa, yang terletak pada membran
mitokondria dan menstimulasi pelepasan sitokrom C dan mengaktifkan jalur
caspase. Pada sel yang mengalami stres karena rusaknya DNA, maka kadar p53
dalam sel akan naik dan teraktivasi. Protein p53 yang terlepas dari MDM-2
merupakan faktor transkripsi gen target seperti gen penyandi p21 yang berfungsi
menahan siklus sel, untuk mereparasi DNA sel yang rusak (Chipuk dkk., 2004;
Garrido dkk., 2006; Westphal dkk., 2011). Dengan demikian, p53 dalam
mekanisme transaktivasi memerlukan kerjasama banyak protein yang secara
bersama-sama menimbulkan efek pada mekanisme apoptosis (Hemann dan
Lowe, 2006; Elmore, 2007;Vaseva dkk., 2012)
64
2.7.3 Caspase independent apoptosis
Mekanisme apoptosis yang melalui jalur caspase independent ini tidak
membutuhkan perantara caspase, dan mempunyai mekanisme tersendiri menuju
kematian sel. Apoptosis pada jalur caspase independent ini yang berperan adalah
molekul protein proapotosis mitokondria, yaitu Apoptosis Inducing Factor (AIF)
dan Endonuclease G (Arnoult dkk., 2003; Elmore, 2007).
Mitokondria berperan penting dalam proses apoptosis, memiliki beberapa
jenis protein lainnya untuk mencetuskan apoptosis antara lain HtrA2/Omi dan
second mitochondrial activator of caspases (SMAC). Mitokondria juga
mempunyai protein untuk mendukung pengaruh faktor survival yang berfungsi
menghentikan proses apoptosis, yaitu Inhibitors of Apoptosis Protein (IAP seperti
celluar IAP-1, cIAP-2, X-chromosome-linked IAP (XIAP). HtrA2/Omi dan Smac
menghentikan aktifitas IAP dan mendukung terjadinya apoptosis. Bcl-2 dan Bcl-
XL adalah onkoprotein yang bersifat antiapoptosis. Bcl-2 mampu memblokir
mobilisasi AIF melalui membran mitokondria dan juga berperan besar pada jalur
ekstrinsik dan intrinsik. Smac dan Htr2A/Omi memblokir kerja IAP menghambat
kerja XIAP sehingga mendukung terjadinya apoptosis. Hal ini menunjukkan
bahwa mitokondria merupakan salah satu pusat penentu hidup sel (Desagher dan
Martinou, 2000; Shiozaki dan Shi, 2004; Brenner, 2012).
Pada jalur apoptosis melalui caspase independent, bila sel mendapat
rangsangan apoptosis, maka AIF dan endonuclease G bertranslokasi dari
mitokondria ke nukleus dan mengakibatkan fragmentasi DNA. Protein Bcl-2
menghambat permeabilitas membran mitokondria. Apabila Bcl-2 diinhibisi maka,
65
pori membran mitokondria akan terbuka dan AIF bisa keluar (Cande dkk., 2002;
Damien dan Brigitte, 2003; Elmore, 2007).
Gambar 2.10 Jalur Caspase Independent Apoptosis (Cande dkk., 2002)
2.7.4 Tahap eksekusi
Mekanisme apoptosis yang melalui jalur intrinsik dan ekstrinsik keduanya
berakhir pada tahap eksekusi. Jalur intrinsik akan mengaktifkan inisiator caspase-
9, dan jalur reseptor kematian mengaktifasi inisiator caspase-8 dan caspase-10.
Caspase eksekusi mengaktifkan sitoplasmik, yang akan mengurai material
nukleus dan protease yang mengurai protein sitoskeletal dan nukleus. Caspase-3,
caspase-6 dan caspase-7 berfungsi sebagai caspase eksekutor, membelah berbagai
substrat termasuk sitokeratin, PARP, protein nuklear NUMA dan lain-lain, yang
66
menyebabkan perubahan morfologi dan biokimia seperti yang diamati pada sel
yang mengalami apoptosis (Fan dkk., 2005; Elmore, 2007; Brentnall dkk., 2013).
Caspase-3 disebut sebagai caspase eksekutor yang paling penting,
diaktifkan oleh caspase inisiator (caspase-8, caspase-9, caspase-10). Caspase-3
secara spesifik mengaktifkan endonuclease CAD. Pada sel yang sedang
berproliferasi CAD membentuk kompleks dengan inhibitornya, ICAD. Pada sel
yang mengalami apoptosis, caspase-3 yang telah teraktivasi membelah ICAD
sehingga melepaskan CAD, yang akan menguraikan kromosom DNA di dalam
nukleus dan menyebabkan kondensasi kromatin. Caspase-3 juga memicu
reorganisasi sitoskeletal dan disintegrasi sel membentuk apoptotic bodies. Proses
fagositosis merupakan tahap terakhir dari apoptosis. Asimetrisitas fosfolipid dan
eksternalisasi fosfatidilserin pada permukaan sel yang mengalami apoptosis
merupakan penanda fase ini. Adanya fosfatidilserin pada permukaan sel apoptosis
memfasilitasi proses pengenalan fagositosis noninflamatorik dan berikutnya
terjadi proses fagositosis oleh sel fagosit (Fan dkk., 2005; Elmore, 2007; Brentnall
dkk., 2013).
Hubungan jalur intrinsik dengan jalur ekstrinsik dapat dilihat pada gambar
2.11. Homodimer proapoptotis Bax yang dibentuk pada membran luar
mitokondria diperlukan untuk membentuk saluran yang meningkatkan
permeabilitas membran mitokondria dan melepaskan aktivator caspase, seperti
sitokrom C dan SMAC (Secondary Mitochondrial Activator of Caspase) (Elmore,
2007; Hongmei, 2012; Kumar dkk., 2014)
67
Gambar 2.11 Hubungan antara inisiasi apoptosis alur ekstrinsik dengan jalur intrinsik (Kumar dkk., 2014)
2.7.5 Jalur perforin / granzyme
Jalur apoptosis ini melibatkan perforin/granzym-A atau B yang dilepaskan
oleh sel T sitotoksik dan sel NK. T-cell mediated cytotoxicity merupakan varian
dari hipersensitivitas tipe IV di mana sel CD8+ membunuh sel-sel yang
mengandung antigen. Limfosit T sitotoksik mampu membunuh sel target melalui
jalur ekstrinsik dan interaksi FasL/ FasR merupakan metode yang utama pada
proses apoptosis yang diperantarai oleh limfosit T sitotoksik ini. Namun efek
sitotoksik terhadap sel tumor dan sel yang terinfeksi virus juga dapat terjadi
melalui jalur lain yang melibatkan sekresi molekul perforin transmembran yang
bersifat pore forming dan selanjutnya pelepasan granul sitoplasma melalui pori
yang terbentuk, menuju ke target sel. Protease serin granzyme A dan granzyme B
68
adalah komponen terpenting di dalam granul-granul tersebut (Susin dkk., 2000;
Elmore, 2007).
Granzyme B akan memecah protein pada residu aspartat dan kemudian
akan mengaktifkan pro caspase-10 yang akan memecah faktor-faktor seperti
ICAD (Inhibitor of Caspase Activated DNAse). Laporan lain menyebutkan dapat
menggunakan jalur mitokondrial untuk mengamplifikasi sinyal apoptosis dengan
secara spesifik memecah Bid dan menginduksi pelepasan sitokrom C. Granzyme
B dapat pula secara langsung mengaktivasi caspase-3. Kerja granzyme B melalui
jalur mitokondria dan juga aktivasi langsung caspase-3 adalah hal penting dalam
proses kematian sel yang diinduksi oleh granzyme B. Granzym B juga dapat
memecah ICAD yang berperan dalam fragmentasi DNA, juga dapat mengaktifkan
apoptosis jalur intrinsik dengan memicu pelepasan sitokrom C dan memecah bid
menjadi tBid (Elmore, 20007).
Granzyme A juga penting dalam proses apoptosis oleh sel T sitotoksik
dan mengaktifkan jalur caspase independent. Granzym A muncul sebagai respon
adanya stress oksidatif pada sel, juga dipicu oleh adanya infeksi virus atau bakteri
intrasel. Di dalam sel granzyme A menyebabkan fragmentasi DNA melalui
DNAse NM23-H1, suatu produk dari gen tumor supresor. DNAse ini memiliki
peranan penting dalam immune surveillance untuk mencegah kanker melalui
induksi apoptosis pada sel tumor. Nukleosome yang menyusun protein SET
secara fisiologis menghambat gen NM23-H1. Granzyme A protease memecah
kompleks SET yang kemudian meyebabkan inhibisi NM23-H1, dengan hasil
berupa degradasi DNA. Sebagai tambahan, selain menghambat NM23-H1,
kompleks SET memiliki fungsi penting dalam struktur kromatin dan perbaikan
DNA. Protein-protein yang menyusun kompleks SET (SET, Ape1, pp32 dan
HMG2) nampaknya bekerja bersama-sama untuk mempertahankan struktur
kromatin dan DNA. Sehingga inaktivasi kompleks ini oleh granzyme A akan
69
berperan pada terjadinya apoptosis dengan menghambat usaha mempertahankan
integritas struktur kromatin dan DNA (Susin dkk., 2000; Elmore, 2007)
2.8 Protein B cell lymphoma-2 (Bcl-2)
Protein Bcl-2 merupakan akronim dari B-cell lymphoma/leukemia-2 dan
protein kedua dari berbagai protein yang ditemukan pada limfoma. Gen ini terlibat
dalam keganasan sel-B, di mana terjadi translokasi kromosomal yang kemudian
mengaktifkan sebagian besar gen pada non-Hodgkin’s sel-B limfoma folikuler.
Gen Bcl-2 pertama ditemukan karena lokasinya didaerah translokasi antara
kromosom 14 dan 18 dan terdapat pada sebagian besar limfoma follikuler. Pada
translokasi itu, gen Bcl-2 berpindah dari lokasi kromosom normalnya di 18q21 ke
lokus 14q32 yang merupakan jajaran dengan elemen penguat pada rantai berat
immunoglobulin (IgH), hal tersebut kemudian menyebabkan pengaturan kembali
dari translokasi gen Bcl-2 dan produksi berlebihan dari mRNA Bcl-2 serta protein
– protein yang dikodekannya. Protein Bcl-2 merupakan membran protein yang
memiliki berat molekul 26 kDa terletak pada bagian sitosolik dari nukleus,
retikulum endoplasma dan bagian luar membran mitokondria (Kowaltowski dan
Vercesi, 2000; Kuwana dan Newmeyer, 2003; Martinou dan Youle, 2011)
Protein keluarga Bcl-2 meliputi antiapoptosis dan proapoptosis. Bcl-2
merupakan salah satu anggota famili protein Bcl-2 yang dapat dibedakan menjadi
3 subkelompok. Subkelompok pertama (1) bersifat anti-apoptosis terdiri dari Bcl-
2, Bcl-XL, Bcl-w, Mcl-1, A1/Bfl1, Boo/Diva dan Nrf3. Protein subkelompok ini
mencegah kematian sel dengan mengikat anggota famili Bcl-2 dari subkelompok
yang lain. Subkelompok kedua (2) bersifat proapoptosis terdiri dari Bax, Bak dan
70
Bok/Mtd. Aktivitas dari anggota subkelompok ini dapat menstimulasi pelepasan
sitokrom C dari membran mitokondria. Subkelompok ketiga (3) yang bersifat
proapoptosis, terdiri dari Bid, Bad, Bim, Bik/Nbk Blk, Hrk, Bnip3, Nix, Noxa,
dan Puma. Protein subkelompok ini mendorong kematian sel sebagai protein
adaptor yang terikat pada jalur upstream untuk memutuskan berlangsungnya
program apoptosis (Kuwana dan Newmeyer, 2003; Martinou dan Youle, 2011).
Protein keluarga Bcl-2 memiliki Bcl-2 homology (BH) domain. Pada
struktur protein ini anggotanya ada yang anti-apoptotik, yaitu Bcl-2, Bcl-xL, Bcl-
W, Mcl-1, dan A1 (memiliki domain BH1, BH2, BH3, dan BH4) dan yang pro-
apoptotik, yaitu Bax, Bak, dan Bok (memiliki domain BH1, BH2, dan BH3) ;
serta Bad, Bid, Bim, dan Bik (hanya memiliki BH3 domain saja) yang disebut :
BH3-only proteins. Kompleks dari domain BH3 seperti Bax, Bid (tBid), dan Bad
menfasilitasi pelepasan sitokrom C melalui kapasitas pembentukan pori oleh
BH3-only proteins yang berdimerisasi. Protein-protein pro-survival seperti Bcl-2,
Bcl-xl, dan mcl-1 mampu mencegah keluarnya protein mitokondria, seperti
sitokrom C, endonuclease G, dan AIF melalui pori tersebut (Kowaltowski dan
Vercesi, 2000; Martinou dan Youle, 2011).
Protein Bcl-2 mensupresi apoptosis dengan berikatan dan menghambat
bagian CED-4 dari aktivator caspase. Bcl-2 bekerja mencegah kematian sel
dengan proses yang berkaitan dengan mitokondria, membran nukleus, retikulum
endoplasma yang memiliki fungsi oksidasi reduksi yang berdampak pada
pembentukan radikal bebas. Bcl-2 yang menurun akan meningkatkan aktivitas
caspase melalui terbentuknya metabolitnya pro caspase- 9 dan 3 dan selanjutnya
71
mengkatalisasi terjadinya apoptosis sel setelah mengakibatkan fragmentasi DNA
(Tsujimoto, 2003; Rastogi dkk., 2009).
Gambar 2.12 Keluarga protein BCL-2 dibagi menjadi tiga kelompok seperti protein keluarga BCL-2 multidomain pro-apoptotik, BAK, dan BAX; Protein keluarga multi-domain anti-apoptosis BCL-2, termasuk BCL-2, BCLXL, BCLW, BCLB, MCL1 dan A1; Dan protein keluarga BCL-2 pro-apoptotik BH3-only, termasuk BIM, PUMA, BID, BAD, NOXA, BIK, BMF, dan HRK (Dai dkk., 2016)
Protein-protein Bcl-2 bertranslokasi ke membran mitokondria dan
memodulasi apoptosis dengan meningkatkan permeabilitas membran dalam dan
membran luar mitokondria sehingga berakibat lepasnya sitokrom C. Sebagian
besar protein Bcl-2 mampu berinteraksi secara fisik, membentuk
homodimer/heterodimer, dan berfungsi mengatur apoptosis. Selain itu Bcl-xl
mengikat dan menginaktivasi Apaf-1, sementara anggota-anggota yang
proapoptosis dapat menggeser Bcl-xl dari ikatannya dengan Apaf-1 yang
memungkinkannya mengaktivasi caspase-9. Protein Bcl-2 dapat menghambat
kerja Bax/Bak dengan membentuk heterodimer yang menginaktivasi mereka, dan
72
juga dapat berikatan dengan voltage-dependent anion channel (VDAC) pada
membran luar mitokondria dan menstabilkannya, sehingga mencegah
permeabilitas membran luar mitokondria. Molekul-molekul antiapoptosis ini juga
membentuk homodimer dan saluran-saluran ion kecil (Tsujimoto, 2003; Rastogi
dkk., 2009; Dewson dan Kluck, 2009).
Kelompok Bcl-2 antiapoptosis seperti Bcl-2 dan Bcl-xl bekerja dengan
mengikat protein proapoptosis Bax homodimer dan heterodimer, meniadakan
aktivitasnya membentuk pori pada permukaan mitokondria dan mencegah
lepasnya sitokrom C dari mitokondria. Ketidakseimbangan rasio Bax/Bcl-2
sehingga Bax berhasil membentuk homodimer akan menyebabkan lepasnya
sitokrom C dari mitokondria. Selanjutnya sitokrom C akan mengaktifkan Apaf-1
yang memerlukan dua ko-faktor yaitu : ATP dan sitokrom C. Sitokrom C yang
telah keluar dari ruang intermembran mitokondria masuk ke dalam sitoplasma,
akan terikat dengan Apaf-1 yang selanjutnya akan menyebabkan kaskade caspase
sampai terjadi apoptosis (Van dan Huang, 2006; Rastogi dkk.,2009; Martinou dan
Youle, 2011).
Sitokrom C akan berinteraksi dengan apoptotic protease-activating factor-
1 (Apaf-1), ATP/dATP, dan caspase-9, dengan membentuk badan yang disebut
apoptosom. Apoptosom ini bertindak sebagai aktivator pada inisiator caspase.
caspase-9 bentuk aktif ini kemudian mengaktifkan caspase-3, caspase-6, dan
caspase-7 yang menyebabkan program kematian sel melalui proses-proses
proteolitik berbagai target (Shiozaki dkk., 2004; Fan dkk., 2005; Parson dan
Green, 2010).
73
Protein Bcl-2 dapat memperpanjang kehidupan sel dan memiliki
kemampuan untuk memblok kematian sel terprogram (programmed cell death).
Pada banyak kasus yang diperiksa, Bcl-2 terlihat secara relatif memblok kejadian-
kejadian awal yang berkaitan dengan kematian sel apoptosis, di mana
karakteristik perubahan morfologi seperti sel yang menciut, kondensasi kromatin,
dan fragmentasi nukleus serta degradasi DNA terlihat berkurang (Elmore, 2007;
Martinou dan Youle, 2011).
2.9 Caspase-3
Caspase (cysteine aspartate-specific protease), merupakan kelompok
enzim protease sistein yang berperan penting dalam kematian sel secara apoptosis.
Caspase termasuk keluarga protease interleukin-1β-converting enzyme, yang
sangat mirip dengan protein kematian dari sel Caenorhabditis elegans (CED-3).
Caspase berperan penting dalam proses apoptosis, nekrosis, dan inflamasi yang
kegagalannya dapat meyebabkan tumor atau penyakit autoimun. Di dalam sel,
caspase diekspresikan dalam bentuk zimogen yang tidak aktif dan menjadi aktif
melalui proses proteolitik bila di dalam substrat terdapat residu aspartat. Beberapa
anggota caspase ini tidak terlibat dalam apoptosis, namun lebih berperan dalam
proses yang memerantarai sitokin (Fan dkk., 2005; Brentnall dkk., 2013).
Caspase berperan utama pada mekanisme apoptosis yang diperlukan untuk
perkembangan dan homeostasis jaringan. Semua caspase tersusun atas prodomain
dan enzymatic domain. Heterogenitas diantara protease disebabkan karena
perbedaan struktur predomain dan diduga sebagai daerah yang menyebabkan
74
perbedaan fungsi masing-masing caspase. Setiap caspase adalah cysteine
aspartase dengan sisi aktifnya nukleofilik cysteine untuk pemecahan ikatan
peptida asam aspartat dalam protein. Caspase disintesis dalam bentuk prekursor
inaktif yang disebut procaspase. Proses proteolitik procaspase menghasilkan
enzim caspase tetramerik yang aktif (Fan dkk., 2005; Ting dan Li, 2005; Brentnall
dkk., 2013).
Struktur caspase secara fungsional merupakan unit homodimer, setiap
monomer mempunyai subunit besar (17-21 kDa) dan subunit kecil (10-13 k Da)
(Tait dan Green, 2008). Caspase dibedakan menjadi dua kelompok fungsional
yaitu caspase inisiator dan caspase eksekusioner. Caspase memiliki tiga domain
yaitu ujung amino terminal, domain besar dan domain kecil. Ujung amino
terminal berperan dalam mengatur aktivitas enzim, domain besar disebut juga
caspase inisiator (caspase-2, 8, 9, dan 10) berperan sebagai inisiator (pemicu)
apoptosis yang terdiri lebih dari 100 asam amino. Sedangkan domain kecil atau
caspase eksekutor (caspase-3, 6, dan 7) berperan sebagai efektor atau eksekutor
apoptosis, yang terlibat langsung dalam kematian sel (Riedl dkk., 2004; Ting dan
Li, 2005; Brentnall dkk., 2013).
Sampai sekarang telah diketahui sebanyak 14 caspase, merupakan protease
dengan kandungan sistein asam asetat (Brentnall dkk., 2013). Caspase terdapat di
setiap sel sebagai prekursor tidak aktif yang disebut procaspase. Bagian N-
terminal dari procaspase mengandung struktur yang sangat bervariasi yang
diperlukan untuk aktivasi caspase. Semua anggota caspase mampu mengaktivasi
dirinya sendiri untuk memicu signal apoptosis yang diikuti oleh kematian sel.
75
Aktivasi satu caspase dapat mengaktivasi caspase lainnya untuk menghasilkan
suatu heterodimer dengan sebuah subunit besar dan sebuah subunit kecil, serta
dua heterodimer membentuk suatu enzim aktif heterotetramer (kaskade caspase)
(Riedl dkk., 2004; Ting dan Li, 2005; Brentnall dkk., 2013).
Aktivasi caspase terjadi ketika ketiga domain mengalami pemotongan
residu asam aspartat yang menghilangkan domain amino terminal sehingga terjadi
penggabungan domain besar dan domain kecil yang membentuk heterodimer
kemudian diikuti oleh proses proteolitik. Dua heterodimer kemudian bergabung
menjadi tetramer yang merupakan bentuk aktif dari caspase (Fan dkk., 2005;
Shiozaki dkk., 2004).
Protein caspase-3 adalah anggota dari keluarga caspase. Aktivasi dari
sekuensial caspase berperan penting pada fase eksekusi dari apoptosis sel.
Caspase terdapat sebagai pro-enzim inaktif yang mengalami proses proteolitik
pada residu aspartat yang disimpan menghasilkan dua sub unit, besar dan kecil,
yang mengalami dimerisasi untuk membentuk enzim aktif. Protein ini memecah
dan mengaktifkan caspase-6 dan 7. Protein itu sendiri diproses dan diaktifkan oleh
caspase-8, 9 dan 10. Caspase-3 diaktifkan di dalam sel jalur ekstrinsik dan
intrinsik (mitrokondia). Sebagai caspase eksekutor, zymogen caspase-3 tidak
mempunyai aktivitas sampai dipecah oleh caspase inisiator setelah ada sinyal
apoptosis. Salah satu sinyal tersebut adalah terdapatnya granzym B yang dapat
mengaktivasi caspase inisiator kepada sel yang menjadi target apoptosis oleh sel T
killer. Aktivasi ekstrinsik ini akan memicu rangkaian caspase dari jalur apoptosis
76
di mana caspase-3 berperan penting di dalamnya (Fan dkk., 2005; Broker dkk.,
2005; Brentnall dkk., 2013).
Tabel 2.1 Pengelompokan Keluarga Caspase (Yuan dan Ding, 2002).
KELOMPOK CASPASE ANGGOTA 1. Caspase Inisiator/activator Caspase-2 Caspase-8 Caspase-9 Caspase-10 2. Caspase Executioner Caspase-3 Caspase-6 Caspase-7 3. Caspase mediator inflamasi Caspase-1 Caspase-4 Caspase-5 Caspase-11 Caspase-12 Caspase-13 Caspase-14
Caspase-3 adalah faktor kunci dari apoptosis eksekusioner yang
merupakan bentuk aktif dari pro caspase-3. Procaspase-3 dapat diaktifkan oleh
caspase-3, caspase-8, caspase-10, CPP32 activating protease, granzyme B (Gran
B), dan lain-lain. Pengaktifan substrat caspase-3 dilakukan oleh procaspase-3,
procaspase-6, procaspase-9, DNA-PK, PKCγ, PARP, D4-GDI (D4GDP-
dissociation inhibitor), steroid response element-binding protein, U1-70kD,
inhibitor of caspase activated deoxyribonuclease (ICAD), dan lain-lain. Caspase-
6 dan caspase-7 sangat homolog dengan caspase-3. Procaspase-6 dapat diaktifkan
oleh caspase-3 tetapi bukan Gran-B. Caspase-6 juga dapat mengaktifkan
77
procaspase-3 melalui suatu jalur umpan balik positif. Substrat caspase-6 meliputi
PARP, lamin, dan procaspase-3. Procaspase-7 yang substratnya meliputi PARP,
procaspase-6, dan steroid response element-binding protein dapat diaktifkan oleh
Gran B (Yuan dan Ding, 2002; Fan dkk., 2005; Brentnall dkk., 2013)
Gambar 2.13 Struktur Caspase-3 (Pollard dkk., 2008)
A. Caspase-3 mempunyai komponan subunit besar (warna biru) dan subunit kecil (warna kuning) serta bagian kecil dari prodomain (warna abu-abu). B. Struktur 3-D caspase-3 menunjukan residu katalisis terutama berasal dari subunit besar (warna biru). Subunit kecil (warna kuning) membentuk suatu tudung yang membatasi akses ke lokasi yang aktif. Struktur ruang kosong (warna merah) menunjukkan suatu peptida inhibitor yang terikat secara kovalen pada lokasi yang aktif.
B A
78
Apoptosis yang dimediasi oleh caspase, dibagi menjadi dua jalur yaitu
jalur reseptor kematian dan jalur mitokondria. Pada jalur reseptor kematian,
protein yang bertindak sebagai reseptor adalah kelompok tumor necrosis factor
receptor (TNF-R) yang meliputi CD95 (APO-1/Fas), TNF-R1, DR4 (TRAIL-R1)
dan DR5 (TRAIL-R2). Reseptor-reseptor di atas berikatan dengan ligan yang
sesuai seperti CD95-L (APO-1-L/Fas-L), TNF-α, dan TNF related apoptosis-
inducing ligand (TRAIL). Ikatan antara reseptor dan ligan bisa bergantung atau
tidak bergantung pada protein p53. Rangsangan ligan terhadap reseptor
menyebabkan trimerisasi dan menginduksi pembentukan death-inducing
signaling complex (DISC) yang mengandung adaptor sitoplasma spesifik dan
caspase-8 (Susin dkk., 2000; Fan dkk., 2005; Elmore, 2007).
Gambar 2.14 Skema Aktivasi Caspase-3 dan Caspase Eksekutor Lainnya (Fan dkk., 2005)
79
Beberapa protein adaptor misalnya Fas-associated death domain (FADD)
berikatan dengan reseptor CD95 dan DR4/5, sedangkan TNF-R-associated death
domain (TRADD) berasosiasi dengan TNF-R1. Protein adaptor FADD
mengandung domain kedua, tempat mengikat caspase-8, caspase-10 yang disebut
death effector domain (DED). Selanjutnya caspase-8 diaktifkan oleh proses-
proses proteolitik sehingga dapat memecah beberapa protein termasuk
procaspase-3 yang akan membawa ke program kematian sel (Susin dkk., 2000;
Fan dkk., 2005; Elmore, 2007).
Jalur aktivasi caspase-3 melalui caspase 8 dapat melalui :
1. Caspase-8, yang langsung mengubah procaspase-3 menjadi caspase- 3.
Caspase-3 membelah berbagai protein sel termasuk ICAD sehingga
CAD dilepaskan dari ICAD, lalu mendegradasi kromosom DNA.
2. Caspase-8 membelah Bid menjadi tBid, molekul pro-apoptosis yang
termasuk famili Bcl-2, ditranslokasikan ke mitokondria untuk
melepaskan sitokrom C ke sitosol. Bcl-2 atau Bcl-xl, molekul anti-
apoptosis, dapat menghambat pelepasan sitokrom C dengan
mekanisme yang belum diketahui dengan pasti. Sitokrom C bersama
Apaf-1 mengaktifkan Caspase 9, di mana caspase 9 kemudian
mengaktifkan caspase-3. Caspase-3 membelah berbagai protein sel
termasuk ICAD sehingga CAD dilepaskan dari ICAD lalu
mendegradasi kromosom DNA.
80
2.10 Apoptosis Inducing Factor (AIF)
Apoptosis Inducing Factor (AIF) adalah filogenetis yang terletak di ruang
antarmembran flavoprotein mitokondria yang memiliki kemampuan untuk
menginduksi apoptosis melalui jalur caspase independent. AIF memainkan peran
penting dalam mendorong kondensasi kromatin nukleus serta fragmentasi DNA
skala besar (sekitar 50 kb), dan sangat penting untuk kematian sel terprogram
selama kavitasi badan embryoid. Dua protein homolog, AIF-homologous
mitochondrion-associated inducer of death (AMID) and p53-responsive gene 3
(PRG3), juga memiliki efek induksi apoptosis. AIF juga berinteraksi dengan
sitokrom C dan caspase selama proses apoptosis mamalia, menunjukkan bahwa
jalur apoptosis yang berbeda dapat saling silang diatur untuk aktivasi program
apoptosis (Joza dkk., 2001; Vaux, 2011; Hoppins dan Nunnari, 2012).
Apoptosis Inducing Factor (AIF) adalah filogenetis flavo-protein yang
memiliki NADH oksidasi dan menginduksi aktivitas apoptosis. AIF pada manusia
terdiri dari 613 asam amino, dan gen-nya, aif, terletak di Xq25-26, pengkodean
mRNA 2,4 kb. Pada tikus AIF terletak di XA6 dan kode untuk protein dari 612
asam amino dengan 92% identik dengan AIF manusia. Secara umum, urutan asam
amino dari AIF sangat kekal pada mamalia dengan homologi lebih dari 90%. AIF
pada tikus memiliki homologi yang kuat untuk oksidoreduktase pada vertebrata,
non-vertebrata hewan, tumbuhan, jamur dan bakteri. Ini berisi tiga domain: N-
terminal mitochondrial localization sequence (MLS) dari 100 asam amino, spacer
dari 27 asam amino dan 485 asam amino oksidoreduktase domain C-terminal
(nuclear localization sequence, NLS) (Rastogi dkk., 2009; Sevrioukova, 2011).
81
Gambar 2.15 Struktur protein AIF (Akematsu dan Endoh, 2010)
Apoptosis diproses melalui aktivasi dari kedua caspase dependent
pathway dan caspase independent pathway. Apoptosis-inducing factor (AIF)
ditemukan sebagai protein pertama yang memediasi caspase independent
kematian sel. Awalnya, hal ini dianggap sebagai protein larut yang berada di
ruang antarmembran mitokondria, yang dapat diteruskan ke nukleus untuk
berpartisipasi dalam fragmentasi DNA skala besar dan kondensasi kromatin.
Namun, kemudian ini menunjukkan bahwa AIF adalah N-terminal yang berlabuh
ke membran mitokondria bagian dalam. Oleh karena itu, AIF harus dibebaskan
dari membran sebelum dilepaskan ke sitosol (Kogel dan Prehn, 2002; Elmore,
2007).
Permeabilisasi dari membran luar mitokondria (MOMP) dan adanya
pelepasan protein proapoptosis dari ruang antarmembran (IMS) dari mitokondria
adalah peristiwa penting di kedua jalur caspase dependent dan caspase
82
independent. Apoptosis-inducing factor (AIF) adalah salah satu protein
mitokondria yang akan dilepaskan ke dalam sitosol selama apoptosis, dan
ditemukan sebagai protein pertama yang mengatur apoptosis caspase independent
(Elmore, 2007 ; Vaux, 2011 ).
Sinyal induksi spesifik apoptosis yang diterima oleh sel memicu
terbukanya mitochondrial permeability transition pores (MPTP) dan selanjutnya
Apoptosis Inducing Factor (AIF) akan dibebaskan dari mitokondria ke sitosol dan
kemudian ke dalam inti. Dalam inti, AIF bekerja langsung pada DNA nukleus
bekerjasama dengan protein mitokondria kedua, endonuclease G yang
menghasilkan fragmentasi DNA skala besar rata-rata 50 kb. Selain jalur caspase-
independen ini , terjadi reaksi dan kerjasama antara AIF, caspase dan sitokrom C
(Cregan dan Dawson, 2004; Rastogi dkk., 2009; Sevrioukova., 2011).
Apoptosis Inducing Factor (AIF) memiliki kapasitas yang unik untuk
menginduksi caspase independent perifer, kondensasi kromatin dan fragmentasi
DNA ketika sinyal ekstraseluler spesifik memicu pembukaan MPTP mitokondria,
yang memungkinkan pelepasan AIF dan efektor apoptogenik lainnya, seperti
apoptosis protease activating factor-1 (Apaf-1) dan sitokrom C, yang keduanya
dapat mengaktifkan kaskade caspase. AIF dalam sitosol memicu pelepasan lebih
banyak AIF dari mitokondria, membentuk lingkaran memperkuat diri yang
mempercepat apoptosis. Protein keluarga Bcl-2 antiapoptosis berfungsi sebagai
proteksi membran mitokondria untuk mencegah pelepasan sitokrom C, dan AIF.
Bcl-2 protein pada membran mitokondria juga terlibat dalam mengatur
83
redistribusi AIF pada nukleus mitokondria (Akematsu dan Endoh, 2010;
Sevrioukova, 2011; Vaux, 2011)
2.11 Endonuclease G
Endonuclease G merupakan nuklease mitokondria yang memiliki peranan
dalam replikasi DNA mitokondria, namun peranannya dalam fragmentasi DNA
atau keterlibatannya dalam proses apoptosis baru ditunjukkan pada beberapa
waktu akhir ini, dan dihasilkan sebagai propeptida dengan urutan akhir amino
yang menargetkan nuklease pada mitokondria (Arnoult dkk., 2003; Damien dan
Brigitte, 2003).
Protein yang pertama kali dilepaskan dari mitokondria pada rangsangan
apoptosis adalah sitokrom C, yang merupakan komponen penting rantai
pernapasan. Setelah dilepaskan ke dalam sitoplasma, dengan adanya ATP akan
membentuk apoptosom bersama-sama dengan Apaf-1 dan caspase-9. Hal ini
memicu kaskade apoptosis klasik, yang berujung pada apoptotic cell death.
Fungsi katalisis dari sitokrom C dijaga oleh anggota famili inhibitor protein
apoptosis, yang kerjanya diatur oleh dua protein mitokondria lainnya, Smac /
DIABLO dan OMI / HtrA2. Dengan cara ini, OMI / HtrA2 berperan pada caspase
dependent cell death, tetapi juga dapat bertindak sebagai protein efektor dalam
necrotic-like PCD. Fungsi ini tidak tergantung dari aktivitas inhibitor protein-
binding apoptosisnya, melainkan dilakukan oleh aktivitas proteasenya. Protein
mitokondria lain yang berkontribusi penting baik untuk caspase independent dan
caspase dependent cell death adalah endonuclease G. Protease ini merupakan
84
hasil evolusi yang tetap bertahan ada dengan orthologues yang dikenal pada
bakteri dan jamur dan mampu menginduksi caspase independent DNA
fragmentation dalam inti yang diisolasi . Tampaknya endonuclease G ini bekerja
sama dengan caspase-activated exonucleases dan DNase I untuk menghasilkan
fragmen DNA internukleosomal di dalam kondisi fisiologis , dan masih tetap
harus dibuktikan apakah endonuclease G menunjukkan jalur fragmentasi DNA
mitokondria tunggal pada sel mamalia (Elmore, 2007; Yoo dkk., 2008; Vaux,
2011).
Pelepasan mitokondrial endonuclease G saat apoptosis dihambat secara
sempurna pada kondisi Bcl-2 yang berlebihan. Banyak rangsangan apoptogenik
berbeda mengenai proteolisis spesifik dari Bid. Protelisis dari Bid diberikan oleh
caspase untuk menghasilkan tBid 15 kDa, dan oleh granzim B untuk
menghasilkan gtBid 14 kDa atau oleh protease lisosomal. Dua kaskade protelitik
terakhir memungkinkan pelepasan endonuclease G terbebas dari caspase aktif
yang menyebabkan terjadinya degradasi DNA yang tidak bergantung pada
caspase. DNAase yang dapat bertindak secara bebas dari caspase masih
memungkinkan terjadinya fragmentasi DNA meskipun terdapat inhibitor caspase
eksogen atau pun endogen. Hal ini juga mengganggu pengertian apoptosis sebagai
suatu fenomena yang bergantung pada caspase. tBid menyebabkan lepasnya
endonuclease G yang mungkin terlibat dalam fragmentasi DNA yang tidak
bergantung pada CAD. Pada kondisi ini, caspase-3 tidak diperlukan dalam
degradasi DNA (Zhang dkk., 2003; Van Loo dkk., 2001; Kogel dan Prehn, 2002).
85
Sejak langkah pertama dari penelitian kematian sel, fragmentasi DNA nukleus
telah diakui sebagai ciri khas apoptosis. Ini hasil dari aktivasi beberapa nuklease.
Salah satu nuklease tersebut adalah endonuclease G (Endo G), enzim
mitokondria-spesifik seperti AIF, mengalami translokasi ke inti selama apoptosis.
Setelah di inti, Endo G membelah kromatin DNA menjadi fragmen nukleosomal .
Persyaratan caspase di jalur Endo G masih kontroversial. Beberapa penulis
menunjukkan bahwa nuklease mampu memainkan perannya dalam caspase
independent dari apoptosis, sementara yang lain melaporkan membutuhkan
aktivasi caspase (Van Loo dkk., 2001;Yoo dkk., 2008).
CAD bukan satu-satunya DNAase terlibat dalam apoptosis. Satu
endonuklease alternatif adalah Endo G, sebuah mitokondria enzim awalnya
berpartisipasi dalam replikasi DNA mitokondria. Tidak seperti CAD, Endo G
tidak memerlukan pemecahan untuk aktivasi tetapi diaktifkan oleh perubahan
lokalisasi subselularnya. Semula diyakini menjadi protein matriks karena
keterlibatan dalam replikasi DNA mitokondria, perbaikan dan degradasi DNA.
Data terakhir menggambarkan lokasi eksklusif Endo G dalam ruang
antarmembran mitokondria. Lokasi ini diperlukan dalam rangka untuk
berpartisipasi dalam degradasi DNA mitokondria dalam sel yang mengalami
apoptosis dengan mempertahankan sebagian protein matriks. Menanggapi
rangsangan apoptosis, Endo G dilepaskan dari mitokondria ke dalam sitosol dan
translokasi ke inti dan menghasilkan fragmentasi DNA oligonukleosomal.
Fragmentasi DNA Endo G diinduksi terjadi secara independen tanpa aktivasi
caspase (Van Loo dkk., 2001;Yoo dkk., 2008).
86
2.12 Regulasi Apoptosis
Apoptosis merupakan bagian dari perkembangan fisiologis tubuh normal
selama masa perkembangan serta sebagai mekanisme homeostasis jaringan dan
mekanisme pertahanan tubuh. Pada tingkat molekuler apoptosis dibagi menjadi 3
fase yaitu fase inisiasi, fase eksekusi dan fase terminasi. Pada fase inisiasi
apoptosis distimulasi oleh berbagai macam faktor seperti rendahnya konsentrasi
faktor pertumbuhan, radiasi sinar gamma, obat-obatan kemoterapik dan sinyal
dari death receptor. Fase eksekusi ditandai dengan penggelembungan membran
sel (blebbing), fragmentasi inti, kondensasi kromatin dan degradasi DNA. Pada
fase terminasi badan apoptotik akan difagositosis oleh sel-sel fagosit. Apoptosis
terjadi melalui 2 jalur yang dipicu oleh bermacam-macam faktor baik internal
maupun eksternal. Apoptosis melalui faktor internal disebut jalur intrinsik atau
jalur mitokondria (mitochondrial pathway), sedangkan melalui faktor eksternal
disebut jalur ekstrinsik (death receptor pathway) (Elmore,, 2007; Rastogi dkk.,
2009; Hongmei, 2012).
Jalur intrinsik terpusat pada mitokondria, dengan regulator utamanya
adalah famili protein Bcl-2. Tempat kerja utama protein-protein Bcl-2 ini adalah
membran luar mitokondria. Di mana pada membran ini tersimpan faktor
apoptogenik, yang apabila dilepaskan akan mengaktifkan eksekutor dari
apoptosis, yaitu caspase (Shiozaki dan Shi, 2004; Elmore, 2007).
Protein apoptogenik yang dilepaskan ini termasuk sitokrom C, Smac,
DIABO, AIF dan endonuclease G. Smac, DIABLO, dan sitokrom C terlibat dalam
aktivasi caspase. Sedangkan AIF dan endonukelase G berperan dalam
87
menginduksi jalur apoptosis yang bersifat caspase independent. Protein famili
Bcl-2 yang bersifat antiapoptosis menghambat pelepasan faktor apoptogenik ini,
sebaliknya anggota kelompok yang bersifat proapoptosis memicu pelepasan
tersebut (Tsujimoto dkk., 2002; Shiozaki dan Shi, 2004; Vaux, 2011).
Kontrol dan regulasi mitokondria dalam proses apoptosis terjadi melalui
anggota keluarga protein Bcl-2. Protein penekan tumor p53 memiliki peran
penting dalam regulasi keluarga protein Bcl-2, namun mekanisme yang tepat
belum sepenuhnya dijelaskan. Protein keluarga Bcl-2 mengatur permeabilitas
membran mitokondria dan dapat berupa pro-apoptosis atau anti-apoptosis. Sampai
saat ini, total 25 gen telah diidentifikasi dalam keluarga Bcl-2 . Beberapa protein
anti-apoptosis termasuk Bcl-2, Bcl-x, Bcl-xl, Bcl-xs, Bcl-w, TAS, dan beberapa
protein pro-apoptosis termasuk Bcl-10, Bax, Bak, Bid, Bad, Bim, Bik, dan
Blk. Protein ini dapat menentukan apakah sel mengalami proses apoptosis atau
tidak. Diperkirakan bahwa mekanisme utama aksi keluarga protein Bcl-2 adalah
regulasi pelepasan sitokrom C dari mitokondria melalui perubahan permeabilitas
membran mitokondria (MOMP) (Donovan dan Cotter, 2004; Elmore, 2007;
Ashkenazi dan Selvesen, 2014).
Komponen-komponen yang terlibat dalam proses apoptosis, yaitu protein
caspase, protein adaptor, kelompok TNF dan TNF-R, serta kelompok protein
Bcl-2. Caspase atau Cystein Aspertyl-specific Protease merupakan enzim yang
berperan dalam proses apoptosis. Enzim ini terdiri dari berbagai jenis yang
masing-masing memiliki peran dan fungsinya masing-masing, contohnya yaitu
caspase-8 yang berperan dalam proses apoptosis melalui jalur ekstrinsik dan
88
caspase-9 yang berperan dalam proses apoptosis melalui jalur intrinsik. Kelompok
protein Bcl-2 ada yang berperan sebagai anti-apoptosis (Bcl-2 dan Bcl-Xl) dan
ada yang berperan sebagai pro-apoptosis (Bax, Bcl-X5, Bak, dan Bad).
Mekanisme aksi dari protein Bcl-2, yaitu membentuk pori-pori, heterodimerisasi
protein pro- & anti-apoptosis, regulasi caspase melalui adaptor, interaksi dengan
protein mitokondria lain, dan oligomerisasi membentuk kanal ion selektif
(Tsujimoto dkk., 2003; Burlacu, 2003; Dewson dan Kluck, 2010).
Dua spesies untuk menginhibisi apoptosis adalah protein mitokondria
Bcl-2 dan Bcl-xl, yang dapat menghalangi pelepasan sitokrom C dari
mitokondria. Protein keluarga Bcl-2 mempunyai suatu gugus hidrofob dan terikat
di sisi luar permukaan mitokondria dan organel lain seperti inti dan retikulum
endoplasma. Protein ini mampu membentuk kanal ion di liposom. Sejauh ini 15
anggota keluarga ini (ced-9 yang dihubungkan dengan C. elegans) telah
ditemukan di manusia. Bcl-2 dapat juga mengikat Apaf-1 dan menghalangi
pengaktifan inisiasi caspase-9. Bcl-2 diatur oleh perubahan ekspresi gen Bcl-2,
dengan post-translational fosforilasi oleh kinase, atau oleh pecahnya caspase
(Desagher dan Martinou, 2000; Elmore, 2007; Dewson dan Kluck, 2010).
Studi terakhir menunjukkan adanya jalur alternatif regulasi apoptosis
mitokondria oleh famili protein Bcl-2. Dinyatakan bahwa rangsangan apoptosis
tertentu dapat menyebabkan pelepasan Ca2+ dari tempat penyimpanannya di
retikulum endoplasma, yang kemudian akan menyebabkan jumlahnya meningkat
pada mitokondria, induksi transisi permeabilitas mitokondria dan pembengkakan
matriks mitokondria. Akibatnya terjadi pecahnya membran luar mitokondria dan
89
terlepasnya faktor apoptogenik ke sitoplasma. Protein keluarga Bcl-2 meregulasi
proses ini melalui lokalisasi pada retikulum endoplasma. Bcl-2 dapat menurunkan
jumlah Ca2+ yang dapat dilepaskan dari penyimpanannya di retikulum
endoplasma. Sedangan Bax dan Bak bekerja sebaliknya dengan meningkatkan
jumlah jumlah Ca2+ yang dapat dilepaskan dari retikulum endoplasma (Elmore,
2007; Parson dan Green, 2010; Giorgi dkk., 2012).
Protein supresor tumor p53 memegang peranan penting dalam hal
regulasi protein keluarga Bcl-2. Protein p53 merupakan faktor transkripsi spesifik
yang dapat diaktifkan oleh berbagai macam rangsangan stres seluler. Penemuan
mengenai kemampuan p53 untuk dapat menyebabkan apoptosis terjadi 10 tahun
sejak penemuan p53 pertama kali. Pada penelitian awal diperkirakan aktivitas
proapoptosis p53 berkaitan dengan fungsinya sebagai faktor transkripsi. Satu
dekade kemudian penelitian telah difokuskan untuk mengetahui target kerja p53
berkaitan dengan perannya pada apoptosis (Haupt dkk., 2003; Hemann dkk.,
2006; Elmore, 2007).
Saat ini telah diketahui bahwa fungsi utama p53 pada apoptosis adalah
melalui regulasi aktivitas protein-protein famili Bcl-2, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Perubahan ekspresi pada gen Bcl-2 dan Bax yang
diinduksi oleh p53 akan mengubah rasio protein Bcl-2 dan Bax, dan itu akan
mengubah arah sel pada tahap yang rentan untuk terjadi apoptosis (Hemann dkk.,
2006; Elmore, 2007).
Dari berbagai penelitian dapat ditemukan bahwa terdapat beberapa
mekanisme hubungan antara p53 dan protein-protein famili Bcl-2. Mekanisme
90
pertama hubungan antara p53 dan famili Bcl-2 adalah melalui salah satu anggota
proteinnya yang bersifat proapoptosis, yaitu Bax. p53 secara langsung dapat
menginduksi transkripsi Bax. Efek induksi Bax oleh p53 ini dapat menghambat
efek antiapoptosis dari Bcl-2. Pada sel-sel yang sedikit mengandung Bax maka
sel tersebut bersifat resisten terhadap apoptosis yang diperantarai oleh p53. Maka
dapat dikatakan p53 dapat menentukan nasib sebuah sel dalam merespon suatu
stres dengan cara mengatur rasio kadar protein Bax dibanding Bcl-2. Protein p53
juga memiliki mekanisme lainnya dalam meregulasi Bcl-2, yaitu pada keadaan
tertentu ia dapat menekan transkripsi Bcl-2. Selain itu p53 secara langsung dapat
mempengaruhi aktivitas Bcl-2 di mana p53 sitoplasma sendiri akan berikatan
dengan protein proaptosis dari famili Bcl-2 yang mengakibatkan peningkatan
permeabilitas mitokondria dan akhirnya terjadi apoptosis. Jadi p53 dapat berperan
secara langsung maupun tidak langsung dalam mengatur famili protein Bcl-2
(Haupt dkk., 2003; Hemann dkk., 2006; Elmore, 2007).
2.13 Peran Apoptosis Terhadap Terjadinya Ketuban Pecah Dini
2.13.1 Terbentuknya zone of altered morphology/paracervical weak zone
Suatu zona dari morfologi yang sangat berubah, ditandai dengan
pembengkakan dan gangguan jaringan ikat, penipisan lapisan trofoblas, mungkin
terkait dengan peningkatan regional pada apoptosis trofoblas, dan penipisan atau
tidak adanya desidua, telah diidentifikasi pada membran janin di lokasi ruptur
pada kehamilan aterm dan pada KPD preterm. Ciri-ciri morfologi dari zona
morfologi yang sangat berubah berkorelasi dengan kelemahan struktural. Ciri-ciri
91
ini terlihat pada membran janin saat persalinan normal pada daerah di atas serviks
(Rangaswamy dkk., 2012; Strauss, 2013).
Rata-rata kekuatan untuk terjadinya ruptur dalam zona ini dilaporkan 60%
dari membran yang tersisa. Hilangnya susunan fibrillar pada struktur kolagen
terlihat dekat daerah ruptur. Ada peningkatan jarak fibril dan penurunan 50% pada
susunan fibrillar. Zona lemah di atas serviks juga mengalami peningkatan MMP-
9, peningkatan level dari faktor transkripsi tertentu, dan jalur transkripsi termasuk
NF-kB, Fox03, dan Fox04, yang mengatur gen yang terlibat dalam inflamasi,
remodeling dan apoptosis matriks ekstraseluler. Juga meningkatkan pembelahan
poly (ADP-ribose) polymerase I (penanda apoptosis), menurunkan inhibitor
jaringan metaloproteinase 3 (TIMP-3), dan ciri-ciri histologis yang konsisten
dengan remodeling dan apoptosis seluler (McLaren dkk., 2000; Rangaswamy
dkk., 2012; Saglam dkk., 2013).
Pecahnya selaput ketuban adalah sebagai hasil dari proses remodeling dan
pematangan servik. Pada servik dan amnion terjadi perubahan pada tipe kolagen
dan menyebabkan kelemahan struktur dari matriks ekstraseluler yang diikuti oleh
apoptosis seluler. Peningkatan apoptosis sel amnion terutama pada lapisan sel
epitel amnion diikuti oleh peningkatan transkripsi MMP yang selanjutnya akan
menyebabkan degradasi kolagen. Pada selaput ketuban terdapat daerah fokal dari
fetal membran yang disebut dengan high morphology change, di dalamnya
terdapat proses remodeling dan apoptosis (Rangaswamy dkk., 2012).
Malak dan Bell pada tahun 1994, pertamakali menemukan adanya sebuah
area yang disebut dengan high morphological change pada selaput ketuban pada
92
daerah di atas serviks. Daerah ini merupakan 2-10% dari keseluruhan permukaan
selaput ketuban. Bell dan kawan-kawan kemudian lebih lanjut menemukan bahwa
area ini ditandai dengan adanya peningkatan MMP-9, peningkatan apoptosis
trofoblas, perbedaan ketebalan membran, dan peningkatan myofibroblas (El Kwad
dkk., 2006; Rangaswamy dkk., 2012).
Setelah ruptur spontan dari membran pada kehamilan aterm, terdeteksi
daerah membran fetus yang menunjukkan gambaran morfologi unik yang hanya
ditemukan dalam area terbatas sepanjang garis pecahnya selaput ketuban. Area
terbatas ini telah disebut 'zone altered morphology' (ZAM) dan gambaran yang
diuraikan konsisten dengan potensi kelemahan struktural dari membran amnion.
Keadaan ini termasuk gangguan dari lapisan jaringan ikat dan pengurangan
ketebalan, dan selularitas, baik dari sitotrofoblas dan lapisan desidua. Mengingat
gambaran struktural dari ZAM dan yang lokalisasinya terbatas di daerah dalam
garis rupturnya amnion, telah disepakati bahwa ZAM mewakili lokasi awal ruptur
selaput ketuban dalam respon terhadap peningkatan tekanan intra amnion yang
terjadi selama persalinan (El Kwad dkk., 2006; Rangaswamy dkk., 2012).
Penelitian lain oleh Rangaswamy dkk, mendukung konsep paracervical
weak zone tersebut. Mereka menemukan bahwa selaput ketuban daerah
paraservikal pecah dengan hanya 20-50% dari kekuatan yang dibutuhkan untuk
menimbulkan robekan di area selaput ketuban lainnya. Berbagai penelitian
tersebut mendukung konsep adanya perbedaan zona pada selaput ketuban,
khususnya zona di sekitar serviks yang secara signifikan lebih lemah
dibandingkan dengan zona lainnya seiring dengan terjadinya perubahan pada
93
susunan biokimia dan histologi. Paracervical weak zone ini telah muncul sebelum
terjadinya pecah selaput ketuban dan berperan sebagai titik awal terjadinya ruptur
membran amnion (Rangaswamy dkk., 2012).
Proses yang menyebabkan pembentukan paracervical weak zone selain
proses remodeling, ini berkaitan erat dengan proses apoptosis, di mana beberapa
penelitian yang telah dilakukan mendukung teori ini. Penelitian oleh El Khwad
menemukan adanya peningkatan MMP-9 dan cleaved PARP, serta penurunan
TIMP-3 pada weak zone. Penelitian lain oleh Reti dan kolega menunjukkan
bahwa selaput ketuban di daerah supraservikal menunjukkan peningkatan
aktivitas petanda apoptosis yaitu cleaved-caspase-3, cleaved-caspase-9, dan
penurunan Bcl-2 (El Khwad dkk., 2005; Reti dkk., 2007).
Metode lain untuk membuktikan adanya proses apoptosis dilakukan oleh
Kataoka tahun 2002, dengan cara mengukur derajat fragmentasi DNA dengan
densitometer. Didapatkan hasil laju apoptosis ditemukan lebih tinggi pada amnion
dari pasien dengan ketuban pecah dini dibandingkan pasien tanpa ketuban pecah
dini, dan laju apoptosis ditemukan paling tinggi pada daerah sekitar serviks
dibandingkan dengan daerah fundus (Kataoka dkk., 2002)
Meskipun tidak ditemukan perbedaan yang bermakna pada ekspresi Bax,
protein yang bersifat proapoptosis, namun protein antiapoptosis Bcl-2 ditemukan
mengalami penurunan pada daerah paraservikal dibandingkan dengan daerah
lainnya. Hasil lain yang mendukung bahwa jalur intrinsik berperan pada ketuban
pecah dini didapatkan oleh Menon, di mana didapatkan peningkatan ekspresi gen
proapoptosis, p53 dan penurunan ekspresi pada gen antiapoptosis Bcl-2 pada
94
wanita dengan ketuban pecah dini (Menon dan Fortunato, 2004). Penelitian oleh
Suhaimi, menemukan bahwa dengan pemeriksaan ELISA didapatkan kadar
protein p53 yang lebih tinggi pada pasien dengan ketuban pecah dini
dibandingkan dengan pasien dengan persalinan normal (Suhaimi, 2012).
Perubahan ekspresi protein pro dan antiapoptosis pada daerah paraservikal
menyebabkan kelemahan integritas struktur selaput ketuban dan meningkatkan
risiko terjadinya pecah ketuban. Bersamaan dengan proses ini kemungkinan dapat
juga terjadi proses inflamasi yang menyebabkan pelepasan sitokin dan aktivasi
MMP (Reti dkk., 2007; Rangaswamy dkk., 2012).
2.13.2 Aktivasi MMP dan apoptosis pada ketuban pecah dini
Matriks metalloproteinase (MMP) merupakan endopeptidase yang
memiliki sifat zinc dependen dan disekresi sebagai proenzim pada ruang
ekstraseluler. Saat teraktivasi, MMP mampu mendegradasi berbagai komponen
matriks ekstraseluler (ECM). MMP yang larut, khususnya MMP-2 dan MMP-9,
merupakan modulator utama pada integritas selaput ketuban selama kehamilan
dan agen tersebut juga bertanggungjawab pada proses pecahnya selaput ketuban
dalam proses persalinan. Peran MMP-2 pada proses pecahnya selaput ketuban
pada persalinan aterm, dilaporkan muncul secara konsekutif pada selaput ketuban
selama masa kehamilan. Namun, penelitian terakhir menunjukkan terdapat
peningkatan pada amnion seiring dengan usia kehamilan, dan juga pada
persalinan aterm. MMP-2 juga terlibat pada KPD preterm dan semakin meningkat
dengan adanya lipopolisakarida. Protein TIMP-2 meningkat pada kehamilan lewat
95
waktu dan menurun pada persalinan preterm ataupun aterm, KPD preterm, dan
saat terdapat infeksi intra amnion. Protein TIMP-2 juga menurun pada kultur
selaput ketuban yang terpapar lipopolisakarida (Nagase dkk., 2006; Tency dkk.,
2012; Strauss, 2013).
MMP adalah grup dari protein yang memecah kolagen. Kolagen
memberikan kekuatan regangan utama pada membran janin, dan itu tidak
mengherankan bahwa jika pecahnya selaput membran janin dikaitkan dengan
peningkatan ekspresi MMP dan penurunan ekspresi dan aktivitas dari tissue
inhibitors of matrix metalloproteinase (TIMP). Menggunakan analisis Northern,
pemeriksaan dari korio desidua pada berbagai titik waktu sepanjang persalinan
pada kehamilan aterm menunjukkan tingginya ekspresi MMP-1 sebelum
persalinan, meningkatnya ekspresi MMP-3 dan MMP-9 selama persalinan dan
meningkatnya TIMP-1 setelah persalinan (Weiss dkk., 2007; Tency dkk., 2012;
Vincent dkk., 2015).
Apoptosis sel terlihat baik pada amnion dan korion pada ruptur membran
saat persalinan normal maupun pada KPD preterm. Peningkatan level MMP-9
yang terkait dengan apoptosis sel amnion mencerminkan apa yang dilihat pada
amnion mendekati proses persalinan. Hal itu menunjukkan bahwa katabolisme
matriks ekstraseluler memulai proses apoptosis, karena ekspresi dari MMP-9
memprovokasi apoptosis pada kultur organ amnion dan inhibitor dari MMP
mencegah kematian sel apoptosis pada ekspresi MMP-9. Selain itu, kematian sel
apoptosis dan pelepasan berikutnya dari sinyal seluler (misalnya, protein heat-
shock Hsp60, Hsp70, dan Hsp90), yang mengaktifkan Toll-like receptor (TLR)
96
dapat menginduksi ekspresi dan aktivasi MMP untuk memperkuat katabolisme
matriks ekstraseluler. Selain itu, hormon dapat memodulasi kelangsungan hidup
sel sejak progesteron menghambat apoptosis sel membran janin dipicu oleh
Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α) (Rangaswamy dkk., 2012; Saglam dkk., 2013).
Fortunato dan Menon (2004) telah secara ekstensif mengulas peran yang
dimainkan oleh MMP dan apoptosis pada ruptur fetal membran. Kekuatan amnion
dan korion sebagian besar disebabkan kolagen. Kolagen I, III, IV, V dan VI
terdapat dalam berbagai lapisan amniokorion. Kekuatan utama dalam amnion
berasal dari kolagen I (terlihat secara luas di lapisan kompak dan mesoderm yang
berdekatan) dan kolagen IV (komponen utama dari membran basal dan dari
bundel yang menghubungkan lapisan mesenkimal dan epitel) (Fortunato dan
Menon, 2004).
Degradasi kolagen dikontrol oleh MMP spesifik yang dipengaruhi oleh
inhibitor jaringan matriks metalloproteinase (TIMP). Dengan demikian, rasio
MMP dan TIMP merupakan indikator yang baik dari degradasi kolagen, yang
bersama dengan tingkat deposisi kolagen baru oleh fibroblas, menentukan
kekuatan jaringan utama membran amnion. Meskipun MMP jenis 1, 2, 3, 8 dan 9
telah dijelaskan dengan baik di amniokorion, investigasi utama di fetal membran
telah dilakukan dengan jenis MMP-2 dan 9. TIMP-1, yang mengontrol aktivitas
MMP-9, telah dipelajari secara ekstensif di fetal membran dan mengalami
penurunan pada kasus dengan KPD dan persalinan. MMP-9 memainkan peran
utama dalam remodeling selaput ketuban, melemah dan pecahnya selaput
97
ketuban. MMP-9 merupakan penanda yang sangat baik untuk menilai kekuatan
selaput ketuban (Kumar dkk., 2006; Moore dkk., 2006 ; Vincent dkk., 2015).
Aktivasi antara MMP dan apoptosis saling terkait. Matriks ekstraseluler
bertindak sebagai faktor stabilisasi utama di banyak sistem jaringan. Stabilitas ini
dikondisikan ketika aktivasi MMP mengarah ke pemecahan matriks ekstraseluler
yang menyebabkan apoptosis. MMP juga dapat menginduksi apoptosis dengan
membelah membran terikat sitokin, termasuk TNF α dan FasL. Apoptosis juga
dapat menginduksi aktivasi MMP. Selain itu, agen yang sama yang telah
dilaporkan menyebabkan apoptosis pada jaringan selaput ketuban juga
mengaktifkan dan meningkatkan transkripsi MMP, khususnya, MMP-1, MMP-9,
dan MMP-2 (Moore dkk., 2006; Saglam dkk., 2013; Sukhikh dkk., 2015).
Peningkatan prostaglandin terjadi dengan induksi apoptosis pada epitel
amnion dan mesenkim oleh agen apoptosis non-fisiologis (actinomycin D,
cycloheximide, staurosporin) dan fisiologis (ceramide, lactosylceramide,
metabolit PGJ2). Prostaglandin juga menginduksi transkripsi dan mengaktivasi
MMP pada kebanyakan jaringan. Proses apoptosis berpotensi melemahkan selaput
ketuban dengan mengeliminasi sel fibroblas, yang berfungsi menyusun kolagen
baru, dan secara simultan mengaktivasi sistem enzim yang mengurai kolagen
yang ada. Aktivasi MMP selanjutnya akan meningkatkan apoptosis, yang secara
simultan memberikan umpan balik berupa peningkatan lebih banyak lagi aktivasi
MMP. Aktivasi MMP dan apoptosis telah menunjukkan kerja yang bersifat
sinergis dalam menyebabkan terjadinya pecah ketuban (Moore dkk., 2006;
Rangaswamy dkk., 2012).
98
Gambar 2.16 Aktivasi MMP dan Apoptosis (Menon dan Fortunato, 2004)
Faktor yang terkait dengan PROM dapat meningkatkan ekspresi MT1-MMP, MMP-2, dan MMP-3 dari fetal membran dan menginduksi ekspresi MMP-9. Faktor-faktor ini mengurangi MMP inhibitor TIMP 2. MT1-MMP dan rendahnya tingkat TIMP 2 mengaktifkan pro-MMP-2 ke bentuk aktif. MMP-2 dan 3 aktif, bersama dengan berbagai protease lainnya, mengaktifkan MMP-9. Semua MMPs aktif dapat mendegradasi protein matriks ekstraselular menyebabkan kelemahan membran dan ruptur. Faktor aktivasi MMP juga dapat mengaktifkan jalur apoptosis yang dimediasi oleh p53 dan TNFα.
Mekanisme fisiologis yang menginisiasi aktivasi MMP dan apoptosis
pada selaput ketuban masih belum banyak diketahui. Banyak zat yang terkandung
dalam cairan ketuban yang jumlahnya semakin meningkat seiring dengan
bertambahnya usia kehamilan, akibat infeksi, atau karena pecah ketuban (TNF-α,
IL-1ß, lactosylceramide, dan lain-lain) menyebabkan apoptosis pada sel yang
didapatkan dari selaput ketuban yang masih utuh. Sebagian besar agen apoptosis
ini juga menyebabkan peningkatan atau aktivasi MMP, khususnya MMP-9
(Menon dan Fortunato, 2004; Moore dkk., 2006; Rangaswamy dkk., 2012).
99
2.13.3 Apoptosis pada ketuban pecah dini
Proses apoptosis yang terjadi pada ketuban pecah dini terutama pada epitel
sel amnion mengalami proses kematian sel dikaitkan dengan orkestra dari
degradasi matriks ektraseluler sebelum mulai proses persalinan. Ini menunjukkan
pecahnya selaput ketuban sebagai hasil dari perubahan biokomia seperti halnya
kekuatan regangan fisik pada selaput ketuban.
Terdapat dua jalur apoptosis utama yang berperan terjadinya ketuban
pecah dini yang diinisiasi oleh infeksi agen genotoksik, dan faktor yang tidak
dikaetahui. Pertama, jalur TNF reseptor (TNF R1) dan Fas. Reseptor protein ini
akan mengikat ligan TNF dan Fas L, yang akan menginisiasi sinyal transduksi
melalui TRADD (TNFR-associated death domain) dan FADD (FAS-associated
death domain), selanjutnya protein ini akan mengaktifkan caspase (Menon dan
Fortunato, 2004).
Aktivasi kaskade caspase dapat mengakibatkan proteolisis dari tiga grup
utama substrat :
1. Protein yang berperan dalam respon homeostatik terhadap
rangsangan stress, PARP (Poly ADP-ribose polymerase,suatu enzim
yang berperan pada kerusakan DNA) dan DNA –dependent protein
kinase (DNA PKcs).
2. Struktur protein yang memelihara integritas dari sitoskleton atau
matrik nukleus (β-actin, lamin).
3. Beberapa protein yang belum diketahui fungsinya.
100
Caspase dalam keadaan normal dalam sel berada sebagai proenzim inaktif,
yang diaktifkan dengan proses proteolisis pada residu aspartat. Caspase dibagi
menjadi 2 grup, inisiator dan efektor dari apoptosis. Inisiator merupakan grup
caspase yang menginisiasi kaskade dari proteolisis, dan efektor yang merupakan
grup dari caspase yang memulai proses apoptosis. TRADD dan FADD aktivasi
secara independen pro-caspase-8 menjadi caspase-8 aktif (Menon dan Fortunato,
2004).
Kedua, jalur apoptosis yang diinisiasi oleh p53. Peningkatan protein p53
dalam sel dapat menginduksi ekspresi dari Bax (faktor proapoptosis), yang dapat
menyebabkan kerusakan membran mitokondria, mengakibatkan lepasnya
sitokrom C. Sitokrom C akan mengaktifkan Apaf-1 (apoptosis protease acivating
factor) yang dapat merubah pro caspase-9 menjadi bentuk aktif. P53 juga
mensuprasi Bcl-2 (antiapoptosis), yang dapat menghambat kerusakan membran
mitokondria. Caspase-8 atau 9 yang aktif dapat menginisiasi aktifasi dari caspase
efektor. Caspase-3, 6 dan 7 yang aktif menyebabkan proteolisis dari struktur
protein, protein dari hemostasis dan beberapa protein lain yang berperan dalam
kematian sel. Jalur ini dapat berseberangan pada beberapa titik, p53 dapat
berpengaruh pada Fas pada beberapa tipe jaringan. Caspase-8 dapat menekan Bcl-
2 dan aktivator dari Bid, yang dapat menyebabkan pelepasan sitokrom C.
Caspase-8 dapat juga mengaktifkan caspase-9 jika tidak ada Apaf pada sistem
(Menon dan Fortunato, 2004).
101
Ekspresi Fas dilaporkan terdapat pada selaput ketuban. Infeksi pada
selaput ketuban (in vitro) menginduksi beberapa gen apoptosis. Fas, caspase-8
dan inisiator (2, 9) dan caspase efektor (6, 7 dan 10) terinduksi sebagai respon dari
infeksi in vitro (stimulasi lipopolisakarida) dibandingkan pada jaringan yang tidak
distimulasi. Ini menunjukkan adanya peranan apoptosis dalam infeksi intra
amnion dan aktivasi MMP dan apoptosis pada selaput ketuban dihubungkan
dengan terjadinya ketuban pecah dini (Menon dan Fortunato, 2007).
Ekspresi Fas dan FasL pada khorion, amnion dan desidua memiliki peran
dalam mengantarkan sinyal terjadinya apoptosis dan perbaikan integritas selaput
ketuban selama kehamilan. Dengan demikian, pemeliharaan integritas selaput
ketuban selama kehamilan diperlukan untuk perkembangan janin. Sebaliknya,
ketuban pecah dini dikaitkan dengan persalinan terjadi apoptosis tanpa aktivasi
sistem kekebalan tubuh atau inflamasi. Hal ini berbeda dengan nekrosis, di mana
sel memunculkan respon inflamasi (Runic dkk., 2015).
Baik jalur intrinsik maupun ekstrinsik dari apoptosis, keduanya dapat
menginduksi aktivasi caspase, namun Reti dkk. berpendapat bahwa jalur intrinsik
merupakan jalur yang dominan berperan pada proses apoptosis pada selaput
ketuban pada kehamilan aterm. Hal ini dibuktikan dengan temuan penelitian yang
menyatakan bahwa terdapat perbedaan kadar yang signifikan pada Bcl-2, cleaved
caspase-3, cleaved caspase-9 pada daerah supraservikal, di mana protein-protein
tersebut merupakan protein yang berperan pada jalur intrinsik. Fas- dan ligannya,
Fas-L menginisiasi apoptosis jalur ekstrinsik. Meskipun pada penelitian tersebut
Fas dan Fas-L juga dapat ditemukan pada seluruh sampel selaput ketuban namun
102
ekspresinya tidak berbeda bermakna antara daerah supraservikal dengan daerah
distal. Karenanya diduga jalur ekstrinsik tidak berperan banyak pada remodeling
selaput ketuban (Reti, 2007).
Penelitian pada ketuban pecah dini oleh Xu dan Wang (2005),
mendapatkan adanya ekspresi gen caspase-3 yang tinggi pada kasus KPD
dibanding kelompok kontrol dengan selaput ketuban yang masih utuh, yang
menyebabkan meningkatnya sel apoptosis pada selaput ketuban. Ekspresi MMP-2
meningkat dan TIMP-2 menurun pada kasus KPD, dapat meningkatkan degradasi
matriks ekstraseluler. Sel apoptosis yang meningkat dan adanya degradasi matriks
ekstra selular menyebabkan melemahnya elastisitas dan kekuatan membran dan
kemudian menyebabkan KPD. Ekspresi dan aktivasi caspase memainkan peran
yang sangat penting dalam apoptosis. Pada membran janin dengan KPD melalui
pemeriksaan imunohistokimia menunjukkan ekspresi caspase-3 dalam sel epitel
amnion dan sel sitotrofoblas korion, sedikit terekspresi pada sel mesenkim dan sel
retikuler dari matriks. Ini menunjukkan bahwa apotosis terjadi baik di amion dan
korion. Hal ini memainkan sangat peran penting dalam regulasi membran janin
manusia (Xu dan Wang, 2005 ).
103
Gambar 2.17 Dua Jalur Utama Apoptosis Pada KPD ( Menon dan Fortunato, 2004)
Di mana dapat dimulai oleh infeksi, agen genotoksik, atau faktor yang tidak diketahui: (1) TNF reseptor-Fas-dimediasi jalur-protein reseptor mengikat masing-masing ligan TNF dan Fas L, yang memulai transduksi sinyal melalui 2 protein docking TRADD (TNF reseptor associated death domain) dan FADD (Fas-associated death domain). Death domain protein ini mengaktifkan procaspase 8 menjadi caspase 8 aktif . (2) jalur p53-dimediasi diprakarsai oleh fragmentasi DNA. Kerusakan DNA meningkatkan transaktivator p53 protein dalam sel. p53 transaktivasi Bax, yang menyebabkan kerusakan pada membran mitokondria, mengakibatkan pelepasan sitokrom C. Sitokrom C mengaktifkan Apaf (apoptosis protease activating factor), yang mengkonversi pro-caspase 9 ke bentuk aktif. p53 juga menekan Bcl-2, faktor yang menghambat kerusakan membran mitokondria. Caspase 8 atau 9 yang aktif dapat memulai kaskade aktivasi caspase. Caspases 3, 7, dan 6 diaktifkan secara berurutan, yang akan menyebabkan proteolisis protein struktural, protein homeostasis, dan beberapa protein lain dan program kematian sel. Jalur ini menyeberang di beberapa titik. p53 dapat mengaktifkan Fas dalam beberapa jenis jaringan. Caspase 8 adalah penekan Bcl-2 dan penggerak yang juga menyebabkan pelepasan sitokrom. Caspase 8 juga dapat mengaktifkan caspase 9 jika Apaf tidak ada dalam sistem.
Berbagai penelitian memberikan hasil yang konsisten bahwa selaput
ketuban dari ibu hamil dengan ketuban pecah dini menunjukkan indeks apoptosis
104
yang lebih tinggi dibandingkan dengan selaput ketuban dari persalinan aterm
maupun preterm dengan selaput ketuban yang masih utuh (Brian dan Mercer MD,
2003). Penelitian oleh Saglam dkk (2013) tentang peranan apoptosis pada KPD
preterm, mendapatkan adanya peningkatan caspase-3 aktif pada selaput ketuban
dari wanita dengan KPD preterm ( Saglam dkk., 2013)
Proses apoptosis sangat dipengaruhi oleh sinyal yang berasal dari protein
ekstraseluler dan intraseluler. Faktor ekstraseluler sangat dipengaruhi oleh infeksi
yang telah lama dikenal sebagai pencetus ketuban pecah dini, sedangkan faktor
intraseluler diperankan oleh p53 yang merupakan suatu protein yang berperan
dalam apoptosis intraseluler melalui pengaktifan protein Bax yang memacu
pelepasan sitokrom C. Fungsi normal p53 adalah sebagai penjaga proteinom. Pada
keadaan di mana jumlah p53 rendah maka p53 akan berperan sebagai penjaga sel,
sedangkan dalam jumlah banyak akan menyebabkan pengaktifan apoptosis
(Elmore, 2007; Suhaimi, 2012). Ditemukan adanya peningkatan ekspresi gen
yang bersifat proapoptosis, yaitu p53 dan Bax disertai penurunan ekspresi gen
antiapoptosis Bcl-2 pada kasus ketuban pecah dini, baik aterm maupun preterm
(Kataoka dkk., 2002; Chai dkk., 2013).
Penelitian oleh Menon (2002) tentang peranan TNF-α dalam
meningkatkan aktivasi caspase dan apoptosis dalam amnionkorion mendapatkan
bahwa TNF-α meningkatkan kadar proapoptosis p53 dan caspase aktif baik
inisiator caspase maupun efektor caspase dalam selaput ketuban serta nucleus
matrix protein yang menunjukkan apoptosis ( Menon dkk., 2002).
105
Penelitian tentang peningkatan apoptosis pada lapisan korion trofoblas
dari selaput ketuban dengan persalinan aterm oleh Harirah dkk, mendapatkan
adanya peningkatan indeks apoptosis pada korion trofoblas dari selaput ketuban
bagian distal dari ruptur selaput ketuban setelah persalinan pervaginam 3 kali
lebih tinggi dibandingkan dengan tindakan seksio sesarea. Lapisan koriodesidua
setelah persalinan pervaginam menunjukkan adanya ekspresi yang lebih tinggi
dari proapoptosis Caspase-3 aktif dan ekspresi yang lebih rendah dari anti
apoptosis Bcl-2, dibandingkan dilakukan seksio sesarea (Harirah dkk,. 2012).
Proses apoptosis yang terjadi pada robekan selaput ketuban pada kehamilan
dengan ketuban pecah dini dapat melalui aktivasi caspase dependent dan
independent. Ketuban pecah dini aterm maupun preterm disebabkan terutama oleh
infeksi ada traktus genitalia yang telah lama dianggap sebagai pencetus KPD
dapat berupa infeksi bakteri (ekstraseluler) melalui jalur caspase dependent dan
infeksi bakteri obligat intraseluler melalui jalur caspase independent. Faktor
infeksi intraseluler terutama merupakan pencetus percepatan mekanisme
apoptosis selaput ketuban melalui jalur independen lewat peningkatan ekspresi
protein Bax dan berlanjut dengan mengaktifkan protein propoptosis AIF dan
endonuclease G, sedangkan faktor infeksi ekstraseluler melalui jalur caspase
dependent baik intrinsik maupun ekstrinsik dengan parameter caspase-3 (Cregan
dkk., 2004; Prabantoro, 2011; Saglam dkk., 2013).
106
Gambar 2.18 Jalur Sinyal Apoptosis Pada Selaput Ketuban
(Kumagai dkk., 2001) 2.13.4 Caspase Independent Apoptosis pada ketuban pecah dini
Jalur intrinsik pada mekanisme apoptosis melibatkan beberapa proses
yang berbeda, yaitu adanya rangsangan yang menghasilkan sinyal intraseluler
tanpa diperantarai reseptor, dan bekerja langsung pada target yang berada dalam
sel dan juga proses yang dimulai dari dalam mitokondria. Rangsangan yang
memicu jalur intrinsik menghasilkan sinyal intraseluler yang dapat bekerja secara
positif maupun negatif. Rangsangan ini menyebabkan perubahan di dalam
membran mitokondria dengan efek berupa terbukanya pori mitochondrial
107
permeability transition (MPT), hilangnya potensial transmembran mitokondria
dan pelepasan dua kelompok utama protein pro-apoptosis dari ruang
intermembran ke dalam sitosol (Shiozaki dkk., 2004; Elmore, 2007; Hongmei,
2012).
Kelompok pertama terdiri dari sitokrom C, Smac / DIABLO, dan protease
serine HtrA2 / Omi. Protein-protein ini akan mengaktivasi jalur mitokodria yang
bersifat caspase dependent. Sitokrom C berikatan dan mengaktivasi Apaf-1 dan
juga procaspase-9, membentuk suatu apoptosom dan caspase-9 menjadi aktif.
Smac/ DIABLO dan HtrA2/ Omi menyebabkan apoptosis dengan cara
menghambat aktivitas IAP (inhibitors of apoptosis proteins) (Shiozaki dkk., 2004;
Parsons dkk., 2010; Vaux dkk., 2011).
Kelompok kedua protein pro-apoptosis adalah AIF, endonuclease G dan
CAD, dilepaskan dari mitokondria selama apoptosis. Kerja AIF maupun
endonuclease G bersifat caspase independent, AIF mengalami translokasi ke
dalam nukleus dan menyebabkan fragmentasi DNA dan kondensasi kromatin.
Endonuclease G juga mengalami translokasi ke dalam nukleus di mana akan
menyebabkan pembelahan kromatin nukleus menghasilkan fragmen DNA
oligonukleosomal. CAD kemudian dilepaskan dari mitokondria dan mengalami
translokasi ke nukleus, di mana setelah sebelumnya dipecah oleh caspase-3,
menyebabkan kondensasi kromatin oligonukleosomal (Broker dkk., 2005 ;
Parsons dan Green, 2010; Saglam dkk., 2013).
Apoptosis melalui jalur caspase independent ini tidak membutuhkan
perantara caspase, dan mempunyai mekanisme tersendiri menuju kematian sel.
108
Pada jalur caspase independent ini yang berperan di sini adalah molekul protein
mitokondria, yaitu Apoptosis Inducing Factor (AIF) dan Endonuclease G
(Arnoult dkk., 2003; Elmore, 2007). Studi tentang apoptosis belakangan
menunjukkan bahwa beberapa tipe dari kematian sel dapat terjadi tanpa adanya
aktivasi caspase. Dalam perkembangannya dari beberapa model kematian sel,
spesifik caspase inhibitor tidak dapat menghambat apoptosis yang diinduksi oleh
stimulus proapoptosis, dan aktivasi caspase tidak cukup untuk memulai apoptosis.
Ekspresi yang berlebihan dari Bax atau Bak menginduksi kematian sel tanpa
melibatkan caspase, ini mengisyaratkan adanya faktor selain caspase yang juga
dapat memulai tejadinya apoptosis. Beberapa faktor ini terdapat pada
mitokondria, seperti Apoptosis Inducing Factor (AIF) yang dapat menyebabkan
kondensasi kromatin dan keluarnya sitokrom C saat tidak adanya aktivasi caspase
(Cande dkk., 2002; Perfettini dkk., 2003; Elmore, 2007).
Pada keadaan sel yang mengalami infeksi atau stres, apoptosis terjadi tanpa
melalui jalur apoptosis klasik atau caspase dependent pathway, diduga
mekanisme apoptosis yang terjadi melalui jalur lain yang disebut caspase
independent pathway dengan melibatkan anggota famili proapoptosis Bcl-2 yaitu
Bax (Elmore, 2007; Hongmei, 2012; Galuzzi dkk., 2015). Apoptosis pada sel
epitel dan makrofag, target Bax di mitokondria dan peranan famili Bcl-2 pada
apoptosis jalur caspase independent karena infeksi, menunjukkan adanya peranan
protein Bcl-2 di mitokondria yang menyebabkan terjadinya fragmentasi DNA
(Donovan dan Cotter, 2004; Dewson dkk., 2009). Pada kasus ketuban pecah dini
dilaporkan terjadinya proses apoptosis yang dipercepat terutama di daerah
109
robekan selaput ketuban (Menon dan Fortunato, 2004; El Khwad dkk., 2005;
George dkk, 2008).
Faktor infeksi bakteri obligat intraseluler terutama merupakan pencetus
percepatan mekanisme apoptosis selaput ketuban melalui jalur independen lewat
peningkatan ekspresi protein Bax dan berlanjut dengan mengaktifkan parameter
AIF dan endonuclease G, oleh karena infeksi obligat intraseluler merupakan
infeksi dengan kemampuan merusak mitokondria. Pada keadaan ini Bcl-2
diinhibisi dan terjadi peningkatan Bax protein dari anggota famili Bcl-2, di mana
aktivitas Bcl-2 berfungsi untuk menghambat permeabilitas membran mitokondria,
maka pori membran mitokondria akan terbuka menyebabkan AIF dan
endonuclease G bertranslokasi dari ruang intermembran mitokondria menuju
nukleus untuk menginduksi fragmentasi DNA yang menyebabkan pembelahan
kromatin nukleus dan menghasilkan fragmen DNA oligonukleosomal. Dari hasil
studi biokimia dan genetik menunjukkan bahwa AIF dan endonuclease G terlibat
dalam fragmentasi DNA melalui jalur mitokondria karena terletak di dalam
mitokondria sehingga bila terjadi kerusakan mitokondria akan menyebabkan AIF
dan endonuclease G keluar ke arah nukleus dan terjadilah fragmentasi DNA.
Keadaan ini yang menimbulkan peningkatan p53 yang akan berakhir dengan
proses apoptosis selaput ketuban (Gao dan Kwaik, 2000; Perfettini dkk,. 2003;
Prabantoro, 2011; Saglam dkk,. 2013).
Penelitian tentang peranan apoptosis untuk terjadinya ketuban pecah dini
melalui jalur caspase independent tidak banyak dilaporkan. Penelitian tentang
peranan endonuclease G yang merupakan salah satu protein apoptosis yang
110
berperan lewat caspase independent pathway sebagai biomarker penentu
apoptosis sel amnion pada kehamilan dengan ketuban pecah dini dilakukan oleh
Prabantoro tahun 2011, penelitian ini adalah membuktikan adanya hubungan
antara tingkat deteksi endonuclease G (independent pathway) dengan kejadian
apoptosis (indeks apoptosis) pada kehamilan dengan ketuban pecah dini. Sampel
adalah jaringan amnion yang diambil dari selaput ketuban pada sisi robekan dari
ibu bersalin dengan ketuban pecah dini pada umur kehamilan kurang dari 37
minggu (PPROM) dan lebih dari 37 minggu (PROM) (Prabantoro,2011).
Hasil penelitian mendapatkan adanya hubungan antara tingkat deteksi
endonuclease G (independent pathway) dengan kejadian apoptosis pada
kehamilan ketuban pecah dini. Sehingga deteksi endonuclease G (tingkat deteksi
dengan konsentrasi tinggi) dapat digunakan sebagai kandidat biomarker kejadian
apoptosis sel amnion pada kehamilan dengan ketuban pecah dini. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa peningkatan apoptosis sel amnion pada ibu hamil yang
menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini kemungkinan besar disebabkan oleh
adanya infeksi dan berhubungan dengan endonuclease G karena adanya hambatan
pada jalur caspase dependent. Di mana infeksi yang menyebabkan hal ini
berkaitan dengan infeksi kuman-kuman obligat intraselular, karena kuman-kuman
obligat intraselular tersebut merupakan infeksi dengan kemampuan merusak
mitokondria (Prabantoro, 2011).
Protein lain yang dikeluarkan lewat jalur intrinsik adalah Apoptosis
Inducing Factor (AIF) yang bersifat caspase independent. AIF mengalami
translokasi ke dalam nukleus dan menyebabkan fragmentasi DNA dan kondensasi
111
kromatin. Apoptosis Inducing Factor (AIF) memiliki kapasitas yang unik untuk
menginduksi caspase independent perifer menyebabkan kondensasi kromatin dan
fragmentasi DNA skala besar ketika sinyal ekstraseluler spesifik memicu
pembukaan MPTP mitokondria, yang memungkinkan pelepasan AIF dan efektor
apoptogenik lainnya, seperti apoptosis protease activating factor-1 (Apaf-1) dan
sitokrom C, yang keduanya dapat mengaktifkan kaskade caspase. AIF dalam
sitosol memicu pelepasan lebih banyak AIF dari mitokondria, membentuk
lingkaran yang mempercepat apoptosis. Protein keluarga Bcl-2 antiapoptosis
berfungsi sebagai penjaga barier mitokondria untuk mencegah pelepasan sitokrom
C, dan AIF. Protein Bcl-2 pada membran mitokondria juga terlibat dalam
mengatur redistribusi AIF pada nukleus mitokondria (Rastogi dkk., 2009;
Sevrioukova, 2011; Vaux, 2011).
Penelitian peran caspase independent pathway terjadinya KPD terutama
protein Apoptosis Inducing Factor (AIF) belum pernah dilaporkan. Ekspresi
protein yang terlibat apoptosis pada kejadian ketuban pecah dini seperti protein
Bcl-2, caspase-3 diketahui berbeda pada kasus ketuban pecah dini dibandingkan
dengan selaput ketuban yang masih utuh. Tetapi, besar risiko terjadinya ketuban
pecah dini akibat ekspresi dari protein tersebut belum pernah dilaporkan. Selain
itu, sangat sedikit laporan tentang yang mana dari jenis protein tersebut yang
berperan paling besar pada mekanisme molekuler terjadinya ketuban pecah dini.