bab ii kajian pustaka 2.1. 2.1.1. 2.1.1.1....6 bab ii kajian pustaka 2.1. kajian teori 2.1.1....
TRANSCRIPT
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kajian Teori
2.1.1. Hakikat Matematika SD
2.1.1.1. Pengertian Matematika
Matematika berasal dari bahasa Yunani Kuno μάθημα (máthēma), yang
berarti pengkajian, pembelajaran, ilmu yang ruang lingkupnya menyempit, dan
arti teknisnya menjadi "pengkajian matematika". Secara khusus, matematika
adalah μαθηματικὴ τέχνη (mathēmatikḗ tékhnē), di dalam bahasa Latin adalah ars
mathematica, berarti seni matematika. Kata matematika berasal dari perkataan
Latin mathematika yang mulanya diambil dari perkataan Yunani mathematike
yang berarti mempelajari. Perkataan tersebut berasal dari kata mathema yang
berarti pengetahuan atau ilmu (knowledge, science). Kata mathematike
berhubungan pula dengan kata lainnya yang hampir sama, yaitu mathein atau
mathenein yang artinya belajar (berpikir). Berdasarkan asal katanya, maka istilah
matematika berarti ilmu pengetahuan yang didapat dengan berpikir (bernalar).
Matematika lebih menekankan kegiatan dalam dunia rasio (penalaran), bukan
menekankan dari hasil eksperimen atau hasil observasi. Matematika terbentuk
karena pikiran-pikiran manusia, yang berhubungan dengan idea, proses, dan
penalaran
Tinggih (2001:18) menyatakan bahwa matematika berarti ilmu pengetahuan
yang diperoleh dengan bernalar. Hal ini dimaksudkan bukan berarti ilmu lain
diperoleh tidak melalui penalaran, akan tetapi dalam matematika lebih
menekankan aktivitas dalam dunia rasio (penalaran), sedangkan dalam ilmu lain
lebih menekankan hasil observasi atau eksperimen disamping penalaran. Adapun
menurut Countryman (1992:2), matematika adalah melakukan matematika. Pada
pembelajaran matematika di kelas guru perlu menciptakan situasi-situasi di mana
siswa dapat aktif, kreatif dan responsif secara fisik pada sekitar, dan juga untuk
belajar matematika siswa harus membangunnya untuk diri mereka yang dapat
dilakukan dengan eksplorasi, membenarkan, menggambarkan, mendiskusikan,
7
menguraikan, menyelidiki, dan pemecahan masalah. Selanjutnya, Goldin dalam
Wardhani (2004:6) menyatakan bahwa matematika dibangun oleh manusia
sehingga dalam pembelajaran matematika, pengetahuan matematika harus
dibangun oleh siswa. Pembelajaran matematika menjadi lebih efektif jika guru
memfasilitasi siswa menemukan dan memecahkan masalah dengan menerapkan
pembelajaran bermakna.
Berdasarkan uraian dari pendapat di atas matematika merupakan ilmu
pengetahuan yang berorientasi terhadap penalaran untuk memecahkan masalah.
Manusia dalam belajar matematika harus membangunnya untuk diri sendiri
dengan melakukan kegiatan eksplorasi, membenarkan, menggambarkan,
mendiskusikan, menguraikan, dan memecahkan masalah.
2.1.1.2. Kompetensi Dasar Pembelajaran Matematika SD
Berdasarkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Tingkat SD/MI
dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang
Standar Isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah bahwa Kompetensi
Dasar Matematika SD dijadikan landasan untuk mengembangkan kemampuan
dalam berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif serta kemampuan
berkerja sama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki
kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk
bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif.
Syarif (2010) menjelaskan bahwa konsep-konsep pada kurikulum
matematika SD dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu penanaman
konsep dasar, pemahaman konsep, dan pembinaan ketrampilan. Tujuan akhir
pembelajaran matematika di SD yaitu agar siswa terampil dalam menggunakan
berbagai konsep matematika dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, untuk
menuju tahap keterampilan tersebut harus melalui langkah-langkah benar yang
sesuai dengan kemampuan siswa dan lingkungan sekitarnya. Konsep matematika
ditekankan pada pembelajaran yaitu 1)penanaman konsep dasar, 2)pemahaman
konsep, dan 3)pembinaan keterampilan.
Pada kurikulum 2006 dijelaskan bahwa pembelajaran matematika di Sekolah
Dasar ditujukan agar siswa memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan
8
memanfaatkan informasi, untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu
berubah-ubah, tidak pasti, dan kompetitif (Depdiknas 2006 : 109). Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar matematika dalam kurikulum disusun sebagai
landasan pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan tersebut. Selain itu
untuk mengembangkan kemampuan menggunakan matematika dalam pemecahan
masalah dan mengkomunikasikan ide atau gagasan dapat digunakan simbol, tabel,
diagram dan media lainnya.
Berdasarkan uraian diatas kompetensi dasar matematika merupakan
kemampuan minimal yang diharapkan dapat dicapai oleh siswa dalam
pembelajaran matematika. Kemampuan tersebut meliputi kemampuan dalam
berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif serta kemampuan
bekerjasama yang didapat melalui proses pembelajaran Matematika SD yang
ditekankan pada konsep matematika agar siswa dapat mengembangkan
matematika dalam pemecahkan masalah dan mengkomunikasikan ide atau
gagasan.
2.1.1.3. Pembelajaran Matematika SD
Pembelajaran menurut Syaiful Sagala (2009:61) adalah suatu kegiatan
membelajarkan peserta didik dengan penggunaan asas-asas pendidikan dan teori
belajar yang berperan sebagai penentu utama dalam keberhasilan pendidikan.
Pembelajaran yang banyak dikaitkan dengan hal-hal yang abstrak dapat membuat
siswa berpikir lebih logis sebab tanpa adanya pembuktian yang kongkrit tetapi
diakui kebenarannya atau kepastiannya, dalam berpikir logis ini dapat
menumbuhkan rasa ingin tahu siswa pada permasalahan yang ada dalam
kehidupan sehari-hari agar dapat dipecahkan dengan cara yang logis dengan
mengaitkan dengan pembelajaran matematika.
Matematika bagi siswa SD berguna untuk kepentingan hidup dalam
lingkungannya, untuk mengembangkan pola pikirnya, dan untuk mempelajari
ilmu-ilmu yang lainnya. Manfaat matematika bagi siswa SD adalah sesuatu yang
jelas dan tidak perlu dipersoalkan, lebih lagi pada era pengembangan ilmu
pengetahuan dewasa ini. Menurut Karso (2007:14), hakikat anak didik dalam
pembelajaran matematika di Sekolah Dasar adalah 1) Anak dalam pembelajaran
9
matematika SD, 2) Anak sebagai individu yang berkembang, 3) Kesiapan
intelektual anak.
Ruseffendi (2001:24) menyatakan bahwa “Setiap konsep yang abstrak dalam
matematika yang baru dipahami segera diberi penguatan supaya mengendap,
melekat dan tahan lama tertanam dalam diri anak sehingga menjadi miliknya
dalam pola pikir maupun tindakannya. Belajar perlu melalui perbuatan dan
pengertian, tidak hanya sekedar hapalan dan mengingat fakta saja yang tentunya
akan mudah dilupakan dan sulit untuk dimiliki siswa”. Setiap pembelajaran
matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan
situasi (contextual problem). Pengajukan masalah kontekstual ini dilakukan secara
bertahap dan dibimbing untuk menguasai konsep matematika. Perlu menggunakan
alat atau media pembelajaran yang dapat membantu proses dan keberhasilan
pembelajaran untuk meningkatkan keaktifan pembelajaran. Selain itu, dalam
pembelajaran matematika juga dituntut menerapkan sebuah model dan metode
pembelajaran yang tepat, sehingga pada akhirnya pembelajaran matematika dapat
diserap dengan baik oleh siswa. Sedangkan menurut Sumarmo (2011:32),
pembelajaran matematika yaitu kegiatan yang kompleks, melibatkan berbagai
unsur seperti guru, siswa, matematika dan karakteristiknya, dan situasi belajar
yang berlangsung.
Berdasarkan uraian yang dipaparkan pembelajaran matematika di SD adalah
kegiatan membelajarkan siswa yang melibatkan konsep-konsep matematika di
dalam pembelajaran. Kegiatan tersebut untuk mengembangkan kemampuan siswa
untuk berpikir secara logis dalam memecahkan masalah kontekstual.
2.1.1.4. Tujuan Pembelajaran Matematika SD
Pembelajaran matematika di Sekolah Dasar bertujuan untuk mempersiapkan
siswa agar sanggup menghadapi perubahan-perubahan di dalam kehidupan dan
dunia yang sedang berkembang. Mata pelajaran matematika di Sekolah Dasar
diberikan kepada siswa dengan tujuan agar siswa memiliki kemampuan berpikir
logis, analisis, sistematis, kritis, dan kreatif serta kemampuan bekerjasama.
Berdasarkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Tingkat SD/MI
yang terdapat pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006
10
tentang Standar Isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah mata pelajaran
matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan
tepat, dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan
solusi yang diperoleh.
4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media
lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari
matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
2.1.1.5. Penilaian Matematika SD
Penilaian atau asesmen hasil belajar oleh pendidik dimaksudkan untuk
mengukur kompetensi atau kemampuan tertentu terhadap kegiatan yang telah
diaksanakan dalam kegiatan pembelajaran, sedangkan penilaian untuk mengetahui
sikap digunakan teknik nontes. Penilaian adalah proses yang dilakukan guru untuk
mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa.
Penilaian ini diperlukan untuk mengetahui apakah siswa benar-benar belajar atau
tidak, apakah pengalaman belajar siswa memiliki pengaruh positif terhadap
perkembangan, baik intelektual ataupun mental siswa.
Menurut Muslich (2009:47), penilaian yang sebenarnya (authentic
assessment) merupakan proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan
gambaran atau informasi tentang perkembangan pengalaman belajar siswa.
Gambaran perkembangan pengalaman belajar siswa perlu diketahui oleh guru
setiap saat agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran
yang benar.
11
Pembelajaran tidak hanya menyajikan suatu konsep dan ide, tetapi juga
menyajikan bagaimana proses suatu konsep bisa terjadi melalui pengalaman
langsung. Keadaan hasil akhir siswa dari suatu pembelajaran matematika SD
sudah dapat dilihat dari bagaimana siswa tersebut melakukan proses
pembelajaran. Penilaian pembelajaran matematika di SD pada umumnya
ditekankan pada hasil pembelajaran dan didasarkan pada hasil tes yang
dilaksanakan oleh guru hasilnya adalah setiap siswa memperoleh skor atau nilai
tertentu.
2.1.2. Hasil Belajar
2.1.2.1. Pengertian Hasil Belajar
Menurut Sudjana (2011), hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang
dimiliki siswa setelah ia memerima pengalaman belajarnya. Senada dengan
pendapat tersebut, menurut Susanto (2013), hasil belajar adalah kemampuan yang
diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar. Hasil belajar yang sering disebut
dengan “scholastic achievement” atau “academic achievement” adalah seluruh
efisiensi dan hasil yang dicapai melalui proses belajar mengajar di sekolah yang
dinyatakan dengan angka-angka atau nilai-nilai berdasarkan tes hasil belajar
(Briggs dalam Sumarno, 2010). Sedangkan Hamalik (2002) menyatakan bahwa
perubahan disini dapat diartikan terjadinya peningkatan dan pengembangan
yang lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya, misalnya dari tidak tahu
menjadi tahu. Winkel dalam Lina (2009:5) mengemukakan bahwa hasil belajar
merupakan bukti keberhasilan yang telah dicapai oleh seseorang. Sedangkan
menurut Gunarso dalam Lina (2009:5), hasil belajar adalah usaha maksimal yang
dicapai oleh seseorang setelah melaksanakan usaha-usaha belajarnya.
Berdasarkan pengertian para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa hasil
belajar adalah kemampuan yang diperoleh siswa setelah mendapat pengajaran dari
guru. Kemampuan yang diperoleh nantinya akan berupa nilai dan perubahan sikap
melalui proses belajar dan tes tertulis.
12
2.1.2.2. Faktor-faktor Hasil belajar
Menurut Suryabrata (2010:233), faktor-faktor yang mempengaruhi hasil
belajar yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang berasal
dari dalam diri, digolongkan menjadi faktor fisiologis dan faktor psikologi.
Sedangkan faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar diri siswa,
digolongkan menjadi faktor nonsosial dan faktor sosial.
1. Faktor fisiologis
Faktor-faktor fisiologis dibedakan menjadi dua macam, yaitu jasmani pada
umumnya, dan keadaan fungsi-fungsi fisiologis tertentu (Suryabrata,
2010:235). Jasmani memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap proses
belajar siswa. Keadaan jasmani yang sehat dan segar akan mempermudah
siswa dalam menerima pelajaran dibandingkan keadaan jasmani yang kurang
sehat. Sedangkan fungsi-fungsi fisiologis tertentu seperti pancaindera juga
memiliki pengaruh terhadap pehaman siswa dalam menerima materi pelajaran.
Suryabrata (2010:236) mengemukakan bahwa baiknya berfungsinya
pancaindera merupakan syarat dapatnya belajar itu berlangsung dengan baik.
Dalam proses belajar, pancaindera yang memiliki peran penting adalah mata
dan telinga. Melalui mata siswa dapat melihat berbagai hal baru yang
sebelumnya tidak ia ketahui dan dengan telinga siswa mampu mendengarkan
berbagai informasi yang dapat menjadi sumber belajar.
2. Faktor psikologi
Faktor psikologi atau kejiwaan dalam diri individu memiliki peranan dalam
mendorong siswa untuk menerima materi pembelajaran. Frandsen (dalam
Suryabrata, 2010:236) mengatakan bahwa hal yang mendorong seseorang
untuk belajar itu adalah 1) adanya sifat ingin tahu dan ingin menyelidiki dunia
yang lebih luas; 2) adanya sifat yang kreatif yang ada pada manusia dan
keinginan untuk selalu maju; 3) adanya keinginan untuk mendapatkan simpati
dari orangtua, guru, dan teman-teman; 4) adanya keinginan untuk memperbaiki
kegagalan yang lalu dengan usaha yang baru, baik dengan koperasi maupun
dengan kompetisi; 5)adanya keinginan untuk mendapatkan rasa aman bila
13
menguasai pelajaran; 6) adanya ganjaran atau hukuman sebagai akhir daripada
belajar.
3. Faktor nonsosial
Menurut Suryabrata (2010:233) ada beberapa faktor nonsosial yang dapat
mempengaruhi proses belajar yaitu keadaan udara, suhu udara, cuaca, waktu
(pagi, atau siang, atau malam), tempat (letaknya, pergedungannya), alat-alat
yang dipakai untuk belajar (seperti alat tulis-menulis, buku-buku, alat-alat
peraga, dan sebagainya yang biasa kita sebut sebagai alat pelajaran).
Keadaan-keadaan seperti yang dikemukan diatas akan mempengaruhi
suasana belajar siswa, sehingga konsentrasi dalam memperhatikan materi dapat
terganggu yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan pembelajaran seperti
yang diharapkan.
4. Faktor sosial
Suryabrata (2010:234) menyatakan yang dimaksud dengan faktor-faktor
sosial disini adalah faktor manusia (hubungan manusia), baik manusia itu ada
(hadir) maupun kehadirannya itu dapat disimpulkan, jadi tidak langsung hadir.
Keberadaan atau kehadiran seseorang dapat mempengaruhi konsentrasi
siswa dalam proses belajar. Hubungan yang terjalin diantara siswa dengan
siswa ataupun siswa dengan guru menunjukan hubungan sosial yang dapat
membantu tercapainya tujuan pembelajaran. Namun keadaan sosial yang tidak
baik, seperti keributan yang terjadi di dalam kelas ketika proses belajar
mengajar berlangsung dapat mengganggu konsentrasi siswa dalam memahami
dan menerima materi belajar yang disampaikan.
Faktor-faktor yang telah dikemukakan tersebut akan mempengaruhi proses
belajar yang dilakukan siswa yang akan berpengaruh pada hasil belajar yang
diperoleh siswa. Tinggi dan rendahnya hasil belajar yang diperoleh siswa
berkaitan dengan faktor yang mempengaruhinya.
2.1.2.3. Ranah Hasil Belajar
Sesuai dengan taksonomi tujuan pembelajaran, Suprihatiningrum (2013:38)
menyatakan bahwa hasil belajar dibedakan dalam tiga ranah, yaitu ranah kognitif,
afektif dan psikomotorik. Adapaun ketiga ranah tersebut adalah sebagai berikut.
14
1. Kognitif
Dimensi kognitif adalah kemampuan yang berhubungan dengan berpikir,
mengetahui, dan memecahkan masalah, seperti pengetahuan komprehensif,
aplikatif, sintesis, analisis, dan pengetahuan evaluatif. Ranah kognitif adalah
ranah yang membahas tujuan pembelajaran berkenaan dengan proses mental
yang berawal dari tingkat pengetahuan sampai ke tingkat yang lebih tinggi,
yaitu evaluasi.
2. Afektif
Dimensi afektif adalah kemampuan yang berhubungan dengan sikap, nilai,
minat, dan apresiasi. Menurut Uno (2006:41), ada lima tingkat afeksi dari yang
paling sederhana sampe ke yang kompleks, yaitu 1) kemauan menerima, 2)
kemauan menanggapi, 3) berkeyakinan, 4) penerapan karya, 5) ketekunan dan
ketelitian.
Sedangkan menurut Depdiknas (2004a:7), aspek kognitif yang bisa dinilai
di sekolah, yaitu sikap, minat, nilai, dan konsep diri.
a. Sikap
Sikap adalah peranan positif atau negatif terhadap suatu objek. Objek ini
bisa berupa kegiatan atau mata pelajaran.
b. Minat
Minat bertujuan untuk memperoleh informasi tentang minat siswa
terhadap suatu mata pelajaran yang selanjutnya digunakan untuk
meningkatkan minat siswa terhadap suatau mata pelajaran.
c. Nilai
Nilai adalah keyakinan seseorang tentang keadaan suatu objek atau
kegiatan, misalnya keyakinan akan kemampuan siswa. Nilai menjadi
pengatur penting dari minat, sikap, dan kepuasan.
d. Konsep diri
Konsep diri digunakan untuk menentukan jenjang karier siswa, yaitu
dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri, maka bisa dipilih
alternatif karier yang tepat bagi siswa.
15
3. Psikomotorik
Ranah psikomotorik mencakup tujuan yang berkaitan dengan keterampilan
yang bersifat manual atau motorik. Ranah psikomotorik ini juga mempunyai
tingkatan, dari urutan yang paling sedehana ke yang paling kompleks, yaitu
persepsi, kesiapan melakukan suatu kegiatan, mekanisme, respons terbimbing,
kemahiran, adaptasi, dan organisasi.
2.1.3. Pendekatan Matematika Realistik
2.1.3.1. Pengertian Pendekatan Matematika Realistik (PMR)
Realistic Mathematics Education (RME) diterjemahkan sebagai Pendidikan
Matematika Realistik (PMR) adalah sebuah pendekatan belajar matematika yang
dikembangkan sejak tahun 1971 oleh sekelompok ahli matematika dari
Freudenthal Institute, Utrecht University di Negeri Belanda. Pendekatan ini
didasarkan pada anggapan Hans Freudenthal (1905 – 1990) bahwa matematika
adalah kegiatan manusia (human activity). Pada pendekatan ini, kelas matematika
bukan tempat memindahkan matematika dari guru kepada siswa, melainkan
tempat siswa menemukan kembali ide dan konsep matematika melalui eksplorasi
masalah-masalah nyata (Aisyah, 2007).
Matematika dalam PMR dipelajari melalui eksplorasi masalah-masalah nyata
sehingga siswa tidak dipandang sebagai penerimapasif, tetapi harus diberi
kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dibawah
bimbingan guru. Masalah dunia nyata diartikan sebagai segala sesuatu yang
berada di luar matematika seperti kehidupan sehari-hari, dan lingkungan sekitar
dimana masalah dunia nyata digunakan sebagai titik awal pembelajaran
matematika. Gagasan kunci dalam PMR adalah memberi kesempatan kepada
siswa untuk menemukan kembali konsep-konsep matematika melalui bimbingan
guru (guide reinvention). Guru membimbing siswa sampai menemukan konsep-
konsep matematika sebagai pengetahuan formal melalui pengetahuan informal
siswa. Siswa menggunakan pengetahuan informal untuk menemukan konsep-
konsep matematik melalui pemecahan contextual problem yang dipahami. Proses
seperti ini mendorong siswa belajar secara interaktif karena guru hanya berperan
16
membangun ide dasar siswa. Belajar matematika menurut PMR berarti bekerja
secara matematik melalui memecahkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan
sehari-hari (contextual problem). Keberadaan contextual problem dalam PMR
sesuatu yang sangat penting karena siswa membangun konsep matematika dari
cara informal ke formal (Windayana, 2007).
Lebih lanjut, Soedjadi (2001:2) mengemukakan bahwa pembelajaran
matematika dengan pendekatan realistik pada dasarnya adalah pemanfaatan realita
dan lingkungan yang dipahami peserta untuk memperlancar proses pembelajaran
matematika sehingga mencapai tujuan pendidikan matematika secara lebih baik
dari pada masa yang lalu. Selaras dengan pendapat sebelumnya, menurut Hadi
(2005) pendekatan realistik adalah proses penemuan kembali melalui penjelajahan
berbagai persoalan dunia nyata.
Berdasarkan pengertian PMR menurut beberapa pakar di atas maka dapat
disimpulkan bahwa PMR adalah pembelajaran matematika yang dilaksanakan
dengan menempatkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari
sebagai titik awal yang selanjutnya masalah tersebut dipecahkan oleh siswa untuk
menemukan kembali konsep-konsep matematika melalui bimbingan dari guru.
PMR berorientasi pada pemanfaatan realitas dan lingkungan yang telah dipahami
oleh peserta didik untuk memperlancar proses pembelajaran matematika dan
mencapai tujuan pembelajaran.
2.1.3.2. Matematisasi Vertikal dan Horizontal
Proses mematematikakan masalah kontekstual atau masalah dunia nyata ke
konsep matematika dikenal dengan matematisasi. Matematisasi yaitu proses
mematematikakan dunia nyata. Proses ini digambarkan oleh de Lange dalam Hadi
(2005) sebagai lingkaran yang tak berujung sebagai berikut
Gambar 2.1 Matematisasi Konseptual
17
Treffers dalam Aisyah (2007) membedakan matematisasi dalam 2 jenis, yaitu
matematisasi horizontal dan matematisasi vertikal. Matematisasi horizontal adalah
proses penyelesaian soal-soal kontekstual dari dunia nyata. Sedangkan
matematisasi vertikal adalah proses formalisasi konsep matematika. Hubungan
antara kedua jenis matematisasi ini dapat digambarkan dalam diagram berikut ini.
Gambar 2.2 Matematisasi Horizontal dan Vertikal
Berdasarkan Gambar 2.2 di atas tampaklah bahwa dalam matematika
horizontal, siswa mencoba menyelesaikan soal-soal dari dunia nyata dengan cara
mereka sendiri, dan menggunakan bahasa dan simbol mereka sendiri.
Matematisasi horizontal ini bergerak dari dunia nyata ke dalam dunia simbol
sehingga matematisasi ini menghasilkan konsep, prinsip, atau model matematika
dari masalah kontekstual sehari-hari. Sedangkan dalam matematisasi vertikal,
siswa mencoba menyusun prosedur umum yang dapat digunakan untuk
menyelesaikan soal-soal sejenis secara langung tanpa bantuan konteks dimana
dalam matematisasi ini bergerak di dalam dunia simbol itu sendiri dan
menghasilkan konsep, prinsip, atau model matematika dari matematika sendiri
(Aisyah, 2007).
18
2.1.3.3. Prinsip-Prinsip Pendekatan Matematika Realistik
Prinsip-prinsip PMR menurut Gravemeijer (1994) dalam Windayana (2007)
adalah:
1) Reinvention, adalah prinsip belajar matematika realistik dimana siswa
menemukan kembali konsep-konsep matematika melalui bimbingan guru.
Siswa memecahkan masalah konteks (contextual problem) dengan cara-cara
informal melalui pembuatan model-model kemudian dibimbing oleh guru
sampai siswa menemukan konsep-konsep matematika formal. Model adalah
jembatan yang menghubungkan siswa dari dunia real (contextual problem) ke
konsep-konsep yang akan ditemukannya. Prinsip reinvention menuntut siswa
doing mathematics sehingga siswa dapat mempelajari matematika secara
aktif dan bermakna.
2) Fenomena didaktik, adalah adanya pemanfaatan konteks sebagai media
belajar siswa. Melalui konteks yang dikenal siswa mengembangkan model-
model, mulai dari model level rendah atau sederhana (model of) sampai
model level tinggi (model for), yang akhirnya siswa sampai menemukan
konsep formal matematik. Pemilihan konteks sebagai media awal siswa
dalam belajar harus benar-benar nyata atau dipahami siswa. Guru harus
memeriksa soal-soal kontekstual yang akan dijadikan media belajar siswa,
karena hal ini terkait dengan a) berbagai prosedur informal yang mungkin
akan dibuat siswa dan b) sesuai tidaknya dengan matematisasi vertical.
3) Model yang dikembangkan searah dengan falsafah constructivism, adalah
ketika guru memberikan contextual problem yang kemudian diselesaikan
siswa dengan menggunakan cara-cara informal melalui pembuatan model-
model sendiri oleh siswa sampai ke menghasilkan prosedur formal melalui
bimbingan guru sejalan dengan falsafah constructivism. Pendekatan realistik
matematik memberi kesempatan siswa mengkonstruk sendiri pengetahuan
formal melalui cara atau prosedur informal.
Treffers dalam Windayana (2007) mengemukakan lima prinsip pasangan
belajar-mengajar matematika realistik yaitu 1) konstruksi dan kongkrit; 2) level
dan model; 3) refleksi dan tugas khusus; 4) konteks sosial dan interaksi; dan 5)
19
struktur dan keterkaitan. Kelima prinsip tersebut digambarkan ke dalam matrik
berikut.
Tabel 2.1 Prinsip Belajar Mengajar Pendekatan Matematika Realistik
Berdasarkan prinsip-prinsip PMR yang diungkapkan beberapa pakar diatas
dapat disimpulkan bahwa prinsip-prinsip PMR adalah menemukan kembali
konsep-konsep matematika dengan memecahkan masalah konteks (contextual
problem), selanjutnya pemilihan media pembelajaran adalah media yang nyata
dan dipahami oleh siswa, kemudian memberikan kesempatan kepada siswa untuk
membangun sendiri pengetahuan formal melalui cara atau prosedur informal.
2.1.3.4. Karakteristik Pendekatan Matematika Realistik
Karakteristik pendekatan matematika realistik menurut Suryanto (2007)
adalah
1) Masalah kontekstual yang realistik (realistic contextual problems) digunakan
untuk memperkenalkan ide dan konsep matematika kepada siswa.
2) Siswa menemukan kembali ide, konsep, dan prinsip, atau model matematika
melalui pemecahan masalah kontekstual yang realistik dengan bantuan guru
atau temannya.
3) Siswa diarahkan untuk mendiskusikan penyelesaian terhadap masalah yang
mereka temukan (yang biasanya ada yang berbeda, baik cara menemukannya
maupun hasilnya).
4) Siswa merefleksikan (memikirkan kembali) apa yang telah dikerjakan dan
apa yang telah dihasilkan; baik hasilkerja mandiri maupun hasil diskusi.
20
5) Siswa dibantu untuk mengaitkan beberapa isi pelajaran matematika yang
memang ada hubungannya.
6) Siswa diajak mengembangkan, memperluas, atau meningkatkan hasil-hasil
dari pekerjaannya agar menemukan konsep atau prinsip matematika yang
lebih rumit.
7) Matematika dianggap sebagai kegiatan bukan sebagai produk jadi atau hasil
yang siap dipakai. Mempelajari matematika sebagai kegiatan paling cocok
dilakukan melalui learning by doing (belajar dengan mengerjakan).
Menurut Windayana (2007), pembelajaran matematika dengan PMR
memiliki karakteristik sebagai berikut:
1) Menggunakan masalah kontekstual (contextual problem)
Masalah kontekstual sebagai pembuka belajar siswa dan harus diselesaikan
siswa dengan cara atau prosedur informal. Syarat dalam memilih masalah
kontekstual adalah harus nyata atau dipahami siswa. Melalui masalah
kontekstual ini siswa akan membuat model-model, mulai dari model
sederhana (model of) sampai model tingkat tinggi (model for).
2) Menggunakan model-model
Ketika siswa menghadapi permasalahan kontekstual siswa akan
menggunakan strategi-strategi pemecahan untuk merepresentasikan
permasalahan kontekstual menjadi permasalahan matematik, representasi
inilah yang disebut sebagai model. Bentuk model bisa berupa lambang-
lambang matematik, skema, grafik, diagram, manipulasi aljabar, dan
sebagainya. Model digunakan siswa sebagai jembatan untuk mengantarkan
mereka dari matematika informal (matematisasi horizontal) ke matematika
formal (matematisasi vertical). Pembuatan model siswa mulai dengan
membuat model dari permasalahan kontekstual yang disebut dengan model
of. Selanjutnya melalui proses refleksi dan generalisasi akan diperoleh model
yang lebih umum, ini yang disebut dengan model for.
3) Menggunakan produksi dan konstruksi model
Produksi dan konstruksi model dilakukan oleh siswa sendiri secara bebas dan
melalui bimbingan guru siswa mampu merefleksi bagian-bagian penting
21
dalam belajar yang akhirnya mampu mengkonstruksi model formal. Strategi-
strategi informal siswa yang berupa prosedur pemecahan masalah kontekstual
sebagai sumber inspirasi dalam mengkonstruk pengetahuan matematika
formal.
4) Interaktif
Interaksi antara siswa dengan siswa dan siswa dengan guru merupakan
bagian penting dalam matematika realistik. Bentuk interaksi yang akan
terjadi dalam pembelajaran diantranya adalah negosiasi, penjelasan,
pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan atau refleksi. Bentuk interaksi
ini digunakan siswa untuk memperbaiki atau memperbaharui model-model
yang dikonstruksi. Sedangkan oleh guru digunakan untuk menuntun siswa
sampai kepada konsep matematika formal yang diperkenalkan.
5) Intertwinment
Intertwinment adalah keterkaitan antara konsep-konsep matematika,
hubungan antara satu konsep dengan konsep lainnya, atau keterkaitan antara
matematika dengan mata pelajaran lain. Misalnya keterkaitan antara konsep
penjumlahan dengan pengurangan, penjumlahan dengan perkalian, atau
perkalian dengan pembagian. Hubungan pola bilangan dengan bentuk
umumnya dan lain sebagainya. Matematika realistik menyadarkan siswa
tentang keterkaitan dan hubungan satu dengan yang lainnya.
Berdasarkan karakteristik-karakteristik PMR yang diungkapkan beberapa
pakar diatas dapat disimpulkan bahwa karakteristik PMR adalah menggunakan
masalah kontekstual, menemukan kembali ide, konsep, dan prinsip, atau model
matematika melalui pemecahan masalah kontekstual, mampu merefleksi bagian-
bagian penting dalam belajar yang akhirnya mampu mengkonstruksi model formal
melalui cara informal, mempelajari matematika sebagai kegiatan paling cocok
dilakukan melalui learning by doing (belajar dengan mengerjakan).
2.1.3.5. Langkah-langkah Pendekatan Matematika Realistik
Menurut Shoimin (2014:150), langkah-langkah dalam proses pembelajaran
matematika dengan pendekatan realistik dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut.
22
1) Memahami masalah kontekstual
Guru memberikan masalah (soal) kontekstual dalam kehidupan sehari-
hari dan meminta siswa untuk memahami masalah tersebut. Guru
menjelaskan soal atau masalah dengan memberikan petunjuk seperlunya
terhadap bagian-bagian tertentu yang dipahami siswa. Pada tahap ini
karakteristik pendekatan matematika realistik yang tergolong dalam langkah
ini adalah menggunakan masalah kontekstual yang diangkat sebagai starting
point dalam pembelajaran untuk menuju ke matematika formal sampai ke
pembentukan konsep.
2) Menyelesaikan masalah kontekstual
Siswa secara individu disuruh menyelesaikan masalah kontekstual ada
lembar kerja siswa dengan caranya sendiri. Cara pemecahan dan jawaban
masalah yang berbeda lebih diutamakan. Guru memotivasi siswa untuk
menyelesaikan masalah tersebut dengan pertanyaan-pertanyaan penuntun
untuk mengarahkan siswa memperoleh penyelesaian soal. Misalnya:
bagaimana kamu tahu itu, bagaimana caranya, mengapa kamu berpikir seperti
itu, dan lain-lain. Pada tahap ini siswa dibimbing untuk menemukan kembali
tentang konsep atau definisi dari soal matematika. Di samping itu, pada tahap
ini siswa diarahkan untuk membentuk dan menggunakan model sendiri untuk
memudahkan dalam penyelesaian masalah atau soal. Karakteristik
pendekatan matematika realistik yang muncul pada tahap ini adalah
menggunakan model.
3) Membandingkan dan mendiskusikan jawaban
Siswa diminta untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban
mereka dalam kelompok kecil. Setelah itu, hasil dari diskusi itu dibandingkan
pada diskusi kelas yang dipimpin oleh guru. Pada tahap ini dapat untuk
melatih keberanian siswa mengemukakan pendapat, meskipun berbeda
dengan teman lainnya atau bahkan dengan gurunya. Karakteristik pendekatan
matematika realistik yang muncul pada tahap ini adalah penggunaan ide atau
kontribusi siswa, sebagai upaya untuk mengaktifkan siswa melalui
23
optimalisasi interaksi antara siswa dengan siswa, antara guru dengan siswa,
dan antara siswa dengan sumber belajar.
4) Menarik kesimpulan
Berdasarkan dari hasil diskusi, guru mengarahkan siswa untuk menarik
kesimpulan suatu konsep, definisi, prinsio atau prosedur matematika yang
terkait dengan masalah kontekstual yang baru diselesaikan. Pada tahap ini
karakteristik pendekatan matematika realistik yang tergolong dalam langkah
ini adalah adanya interaksi antara siswa dengan guru sebagai pembimbing.
2.1.3.6. Kelebihan dan Kekurangan Pendekatan Matematika Realistik
Pada setiap pendekatan pastinya mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Namun kelebihan dan kekurangan tersebut hendaknya ditujukan agar menjadi
sebuah referensi yang positif dan untuk mengurangi kelemahan-kelemahan dalam
suatu pembelajaran di dalam kelas. Menurut Shoimin (2014:151) berikut ini
adalah kelebihan dan kelemahan pendekatan matematika realistik.
Tabel 2.2 Kelebihan dan Kelemahan Pendekatan Matematika Realistik
Kelebihan Kelemahan
a. Memberikan pengertian yang
jelas kepada siswa tentang
kehidupan sehari-hari dan
kegunaannya.
b. Siwa mengkontruksi dan
mengembangkan matematika
dengan kemampuannya sendiri.
c. Siswa menemukan sendiri
konsep-konsep matematika dalam
proses pembelajaran.
d. Memupuk kerja sama dalam
kelompok.
a. Pencarian masalah kontekstual
tidak mudah untuk setiap pokok
bahasan matematika yang
dipelajari.
b. Tidak mudah bagi guru
mendorong siswa untuk
menemukan cara memecahan
masalah.
c. Tidak mudah bagi guru untuk
memberi bantuan kepada siswa
agar dapat menemukan kembali
konsep-konsep matematika yang
dipelajari.
2.2. Penelitian yang Relevan
Banyak penelitian yang mengkaji tentang penerapan PMR dari berbagai
kalangan. Berikut ini adalah beberapa hasil penelitian yang mengkaji tentang
PMR.
24
Sukamiyati (2014) melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul
“Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Melalui Pendidikan Matematika
Realistik (PMR) Pada Siswa Kelas VI SD Negeri Timbulharjo”. Hasil penelitian
ini adalah: Pendidikan Matematika Realistik (PMR) dapat meningkatkan proses
dan hasil belajar matematika siswa kelas IV SD Negeri Timbulharjo. Peningkatan
aktivitas pembelajaran menggunakan pendekatan Pendidikan Matematika
Realistik (PMR) dapat dilihat pada akhir siklus I yaitu aktivitas siswa mencapai
kualifikasi baik dengan taraf keberhasilan 80% kemudian meningkat pada akhir
siklus II yaitu aktivitas siswa mencapai kualifikasi sangat baik dengan taraf
keberhasilan 100%. Peningkatan hasil belajar siswa dapat dilihat dari nilai yang
diperoleh siswa. Pada siklus I rata-rata nilai yang diperoleh 69 meningkat pada
siklus II menjadi 78. Jumlah siswa yang mencapai ketuntasan pada siklus I
sebanyak 23 siswa atau sebesar 61% pada siklus II meningkat menjadi 35 siswa
atau sebesar 92%.
Sholekhah (2009) melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul
“Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Dengan Pendidikan Matematika
Realistik Indonesia Kelas II SD 3 Bantul”. Hasil penelitian ini adalah: PMRI
dapat meningkatkan hasil belajar siswa dengan nilai rata-rata tes hasil belajar
siswa pada siklus I adalah 71.96 dan pada siklus II adalah 81.83, sehingga
selisihnya adalah 9.87. banyaknya siswa yang meningkat hasil belajarnya dari
siklus I ke siklus II adalah 20 siswa atau 80%. Banyaknya siswa yang tuntas
belajar pada siklus I adalah 25 siswa dari 28 siswa atau 89.29%, sedangkan pada
siklus II adalah 26 siswa dari 29 siswa atau 89.65%. (b) kendala-kendala yang
dihadapi dengan menggunakan PMRI adalah penggunaan (1) konteks nyata
sebagai starting point, beberapa siswa belum dapat mengukur ubin, (2)
penggunaan model-model yang didemonstrasikan oleh siswa baik individu
maupun kelompok, terdapat beberapa siswa yang belum dapat membedakan
antara bangun persegi dan bangun belah ketupat (3) terdapatnya produksi dan
konstruksi siswa yang berupa ide secara lisan maupun tulisan, beberapa siswa
masih malu mengungkapkan ide secara lisan, (4) interaksi berupa komunikasi
antara siswa dengan peneliti dan antarsiswa, interaksi antarsiswa sering
25
menimbulkan kegaduhan yang mengganggu proses belajar mengajar, (5)
keterkaitan antara materi dengan pokok bahasan lain dalam matematika hanya
materi pengukuran.
Maryanne Asharyana Frealysty (2013) melakukan penelitian dalam bentuk
skripsi dengan judul “Penerapan Pembelajaran Matematika Realistik Untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas 4 SD Negeri Genuk 1
Kecamatan Ungaran Barat Semester II Tahun 2012/2013”. Hasil penelitian ini
adalah: Terdapat peningkatan hasil belajar siswa kelas 4 SD Negeri Genuk 1
Kecamatan Ungaran Barat pada pelajaran matematika menggunakan pembelajaran
matematika realistik. Hal ini dapat dibuktikan dengan persentase hasil belajar
siswa yang tuntas pada tiap siklus lebih tinggi dibanding siklus sebelumnya
berdasar KKM yang telah ditentukan yaitu 65. Persentase hasil belajar siswa yang
telah tuntas pada prasiklus adalah 28,26 %, siklus 1 adalah 76,09 % dan siklus 2
adalah 86,96 %.
Berdasarkan hasil penelitian di atas terlihat bahwa adanya peningkatan hasil
belajar siswa melalui PMR. Oleh karena itu penelitian di atas dapat mendukung
peneliti unuk melakukan penelitian tentang meningkatakan hasil belajar siswa
dengan penerapan PMR.
2.3. Kerangka Pikir
Kegiatan pembelajaran matematika yang berlangsung di SDN Sidorejo Lor
06 Salatiga masih menggunakan pembelajaran yang berpusat kepada guru. Guru
sangat mendominasi kegiatan belajar di dalam kelas dengan cara konvensional
dalam penyampaian materi, sehingga respon siswa hanya mendengarkan, bermain
sendiri, berbicara dengan teman sebangku, bahkan ada yang mengantuk. Selain itu
guru dalam memberikan materi tidak mengaitkan dengan masalah-masalah yang
dekat dengan kehidupan siswa. Hal tersebut berdampa kepada siswa yang kurang
memperoleh pengalaman dan cenderung pasif selama pembelajaran berlangsung.
Hal tersebut mengakibatkan hasil belajar matematika siswa mayoritas masih
rendah. Padahal dalam kegiatan pembelajaran akan efektif dan efisien jika siswa
aktif berpatisipasi dalam proses pembelajaran di dalam kelas.
26
Cara untuk mengatasi keadaan pembelajaran yang masih berpusat kepada
guru, peneliti akan menerapkan pembelajaran matematika menggunakan
pendekatan realistik. Sebagai suatu pendekatan pembelajaran, pendekatan
matematika realistik tentu saja efektif digunakan dalam pembelajaran matematika,
itu karena pendekatan realistik berorientasi pada pengalaman sehari-hari siswa.
Pendekatan matematika realistik memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menemukan kembali dan merekonstruksi konsep-konsep matematika, dengan
demikian pendekatan matematika realistik akan mempunyai kontribusi yang
sangat tinggi dengan pemahaman konsep siswa.
Pendekatan matematika realistik dapat diterapkan dengan beberapa tahapan,
yaitu memberikan masalah kontekstual. Selanjutnya siswa diminta memahami
masalah yang sudah diberikan oleh guru. Kemudian siswa secara kelompok
diminta memecahkan masalah tersebut dengan caranya sendiri, dalam hal ini guru
hanya akan mengarahkan dan membimbing siswa dengan cara memberikan
pertanyaan-pertanyaan sebagai penunjuk untuk memecahkan masalah. Proses
pembelajaran seperti itu nantinya diharapkan siswa akan lebih aktif dan
berpatisipasi secara langsung terhadap materi yang sedang disampaikan oleh guru.
Setelah menerima pelajaran siswa diharapkan dapat menguasai topik bahasan
yang telah dipelajari, yang diukur melalui jumlah skor jawaban yang benar pada
soal yang disusun sesuai rencana. Hasil belajar matematika yang berupa
kemampuan akademis siswa dalam mencapai standar tujuan pembelajaran yang
telah ditetapkan. Oleh karena itu peneliti akan menerapkan PMR di kelas V
dengan harapan dapat meningkatkan hasil belajar siswa dan menerapkan PMR
sesuai dengan langkah pembelajaran yang sudah ditetapkan.
27
Gambar 2.3 Paradigma Penelitian
KONDISI
AWAL
TINDAKAN
KONDISI
AKHIR
Guru belum menggunakan
pendekatan matematika
realistik
Menggunakan
pendekatan
matematika realistik
Menggunakan pendekatan
matematika realistik akan
meningkatkan hasil belajar
matemarika kelas V SDN Sidorejo
Lor 06 pada materi bangun datar
Hasil belajar siswa masih
rendah
Siklus I: Menggunakan
pendekatan matematika
realistik
Siklus II: Menggunakan
pendekatan matematika
realistik
28
2.4. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan latar belakang permasalahan dan kajian pustaka, maka yang
menjadi hipotesis sebagai jawaban sementara terhadap permasalahan dalam
penelitian ini adalah penggunaan pendekatan matematika realistik dapat
meningkatkan hasil belajar matematika siswa pada materi bangun datar siswa
kelas V SDN Sidorejo Lor 06 Salatiga semester II tahun ajaran 2015/2016.