bab ii kajian pustaka · 2017. 6. 19. · 1. risiko murni (pure risk) adalah risiko dimana...
TRANSCRIPT
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Pada kajian pustaka ini diuraikan tentang berbagai teori yang digunakan
sebagai dasar dalam menganalisis fenomena terkait dalam penelitian ini. Kajian
pustaka penelitian ini mencakup teori dan kajian empiris tentang Risiko
Perusahaan, Derivatif, Kinerja Keuangan dan Tata Kelola Perusahaan yang
selanjutnya akan dijadikan sebagai acuan untuk membangun model konseptual
penelitian.
2.1 Risiko Perusahaan
Secara sederhana risiko dapat didefinisikan sebagai suatu kejadian yang
merugikan (Hanafi, 2014). Risiko juga dapat diartikan sebagai suatu peluang
terjadinya peristiwa yang tidak menguntungkan (Brigham et al., 1999). Hal ini
didukung oleh pendapat Scott et al. (2000:182) menyatakan “Risk is the chance
that an outcome other than expected will occur”. Gitman (2002:4) menyatakan
bahwa:“Risk can be defined as the chance that actual investment returns will
differ from those expected”. Menurut Jones (2004:9) pengertian risiko adalah:
“Risk as the uncertainty about the actual return that will be earned on an
investment”. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa risiko menunjukkan adanya kemungkinan dari suatu kejadian yang
memberikan ketidakpastian terhadap return yang diharapkan dan tujuan yang
ingin dicapai.
27
28
Hanafi (2014) mempertegas bahwa risiko muncul karena adanya kondisi
ketidakpastian. Tingkat ketidakpastian berhubungan dengan apakah hasil dari
kejadian bisa diprediksi dengan pasti atau tidak. Ketidakpastian dapat tercermin
dari fluktuaasi pergerakan suatu kejadian. Ketika fluktuasi semakin tinggi, maka
semakin besar tingkat ketidakpastiannya. Fluktuasi cenderung semakin meningkat
dari tahun ke tahun. Beberapa faktor yang mendorong peningkatan fluktuasi
adalah globalisasi dunia, liberalisasi dunia dan teknologi yang semakin maju
(Hanafi, 2014).
Saat ini, perekonomian dunia memiliki keterkaitan yang sangat erat akibat
adanya globalisasi. Kejadian di suatu negara akan mempengaruhi negara lain
dengan cepat. Kondisi seperti ini menyebabkan fluktuasi yang semakin
meningkat. Terbukanya pasar domestik terhadap investor asing menunjukkan
terjadinya liberalisasi dunia. Liberalisasi dunia ini mengurangi hambatan antar
negara, sehingga aliran modal lebih mudah untuk masuk atau keluar. Hal ini juga
meningkatkan fluktuasi dunia. Teknologi yang semakin canggih mendorong
pelaku pasar untuk lebih cepat memperoleh informasi dan bertindak lebih cepat
atas informasi tersebut. Kemudahan informasi dan reaksi yang cepat dari investor
akan mendorong fluktuasi harga yang semakin tinggi. Dengan demikian, dapat
dicermati bahwa risiko tidak bisa dihindari dan risiko cenderung meningkat dari
tahun ke tahun.
29
Menurut Hanafi (2014), risiko bisa dikelompokkan menjadi dua tipe risiko
yaitu risiko murni dan risiko spekulatif. Berikut adalah penjelasannya:
1. Risiko murni (pure risk) adalah risiko dimana kemungkinan kerugian ada,
tetapi kemungkinan keuntungan tidak ada. Jadi kita membicarakan potensi
kerugian untuk risiko tipe ini. Beberapa contoh risiko tipe ini adalah risiko
kerusakan property dan kewajiban, risiko kematian, kesehatan, kecelakaan
mobil dan kecelakaan kerja. Asuransi biasanya lebih banyak berurusan
dengan risiko murni.
2. Risiko spekulatif adalah risiko dimana kita mengharapkan terjadinya kerugian
dan juga keuntungan. Potensi kerugian dan keuntungan dibicarakan dalam
jenis risiko ini. Contoh tipe risiko ini adalah usaha bisnis. Dalam kegiatan
bisnis, pelaku mengharapkan keuntungan meskipun ada potensi kerugian.
Kegiatan membeli dan menjual saham juga merupakan risiko spekulatif.
Fluktuasi harga saham akan menyebabkan keuntungan atau keurgian bag
pemilik saham. Risiko spekulatif juga bisa dinamakan sebagai risiko bisnis.
Contoh risiko spekulatif lainnya adalah risiko perubahan tingkat bunga,
perubahan kurs, pasar, kredit, operasional dan lainnya.
Risiko ada dimana-mana, bisa datang kapan saja dan sulit dihindari. Jika
risiko menimpa suatu organisasi atau perusahaan, maka oreganisasi atau
perusahaan tersebut bisa mengalami kerugian yang signifikan. Oleh karena itu,
identifikasi jenis-jenis risiko penting untuk dilakukan. Saat ini, perusahaan
menghadapi berbagai macam risiko dalam menjalankan kegiatan bisnisnya.
30
Berikut adalah jenis-jenis risiko yang dihadapi oleh perusahaan (Jones, 2004;
Hanafi, 2014):
1. Risiko Aset Fisik
Risiko ini terjadi karena kejadian tertentu berakibat buruk pada aset fisik
perusahaan. Risiko yang mungkin terjadi atas aset fisik atau properti
mencakup banyak hal seperti: kebakaran yang melanda bangunan perusahaan
atau banjir yang mengakibatkan kerusakan pada bangunan dan peralatan.
2. Risiko Karyawan
Risiko ini terjadi karena karyawan organisasi mengalami peristiwa yang
merugikan. Contoh risiko karyawan adalah kecelakaan kerja mengakibatkan
karyawan cedera sehingga kegiatan operasional perusahaan terganggu.
3. Risiko Legal
Risiko yang diderita perusahaan jika kontrak tidak sesuai dengan yang
diharapkan atau dokumentasi yang tidak benar. Risiko ini dapat menyebabkan
terjadinya perselisihan sehingga perusahaan lain menuntut ganti rugi yang
signifikan.
4. Risiko Perubahan Tingkat Bunga
Risiko ini timbul karena adanya perubahan tingkat suku bunga yang berlaku.
Perubahan tingkat suku bunga dapat mempengaruhi variabilitas return suatu
investasi. Risiko ini merupakan risiko yang tidak dapat didiversifikasi karena
naik turunnya suku bunga yang berlaku mempengaruhi semua jenis investasi.
Perubahan tingkat bunga bisa menyebabkan perusahaan menghadapi dua tipe
risiko: risiko perubahan pendapatan bersih dan risiko perubahan nilai pasar.
31
5. Risiko Nilai Tukar Mata Uang
Risiko ini berkaitan dengan fluktuasi nilai tukar mata uang domestik dengan
mata uang negara lainnya. Risiko ini juga dikenal sebagai risiko mata uang
(currency risk). Fluktuasi nilai tukar mata uang akan sangat mempengaruhi
keuntungan dan kerugian perusahaan terutama bagi perusahaan yang sering
melakukan kegiatan ekspor dan impor. Fluktuasi nilai tukar memunculkan
eksposur, yang biasanya dikategorikan sebagai eksposur transaksi, akuntansi
dan ekonomi.
6. Risiko Pasar
Risiko yang terjadi dari pergerakan harga atau volatilitas pasar. Harga pasar
dapat bergerak ke arah yang tidak menguntungkan atau merugikan.
Contohnya adalah harga pasar saham dalam portofolio perusahaan mengalami
penurunan, yang mengakibatkan kerugian yang dialami perusahaan.
7. Risiko Kredit
Risiko ini terjadi karena counter party gagal memenuhi kewajibannya kepada
perusahaan. Seperti misalnya debitur tidak bisa membayar cicilan dan bunga
hutang sehingga perusahaan mengalami kerugian. Risiko kredit menjadi
semakin penting karena akhir-akhir ini banyak peristiwa gagal bayar yang
dialami oleh perusahaan-perusahaan domestik, luar negeri bahkan negara
sekalipun.
8. Risiko Likuiditas
Risiko yang terjadi karena perusahaan tidak bisa memenuhi kebutuhan kas,
risiko tidak bisa menjual dengan cepat karena ketidaklikuidan atau gangguan
32
pasar. Contoh risiko ini adalah perusahaan tidak mempunyai kas untuk
membayar kewajiban atau hutangnya. Contoh lainnya adalah perusahaan
terpaksa menjual tanah dengan harga murah karena sulit menjual tanah
tersebut, padahal perusahaan membutuhkan kas dengan cepat.
9. Risiko Operasional
Risiko ini terjadi karena kegiatan operasional perusahaan tidak berjalan
lancar dan mengakibatkan kerugian seperti kegagalan sistem, human error,
pengendalian dan prosedur yang kurang. Contoh risiko ini adalah komputer
perusahaan yang terkena virus sehingga operasi perusahaan terganggu.
10. Risiko Negara
Risiko negara (country risk). Risiko ini disebut juga sebagai risiko politik
karena sangat berkaitan dengan kondisi politik suatu negara. Bagi perusahaan
yang beroperasi di luar negeri, stabilitas politik dan ekonomi negara
bersangkutan sangat penting diperhatikan untuk menghindari risiko negara
yang terlalu tinggi.
Menurut Van Horne dan Wachowicz (2008) risiko perusahaan
dikategorikan menjadi tiga jenis risiko: business risk, financial risk dan total risk.
Berikut adalah penjelasan masing-masing risiko perusahaan tersebut:
1. Business Risk atau Risiko Bisnis
Brealey et al. (2014) menyatakan bahwa risiko bisnis merupakan risiko yang
terjadi akibat fluktuasi laba operasi perusahaan. Berdasarkan hal tersebut,
secara sederhana pengukuran risiko ini dapat dilakukan dengan menghitung
standar deviasi dari laba operasi perusahaan. Pengukuran kuantitatif yang
33
lebih baik untuk risiko bisnis perusahaan yaitu dengan menghitung coefficient
of variation of earning before interest and taxes (EBIT) atau koefisien variasi
dari laba operasi (Van Horne dan Wachowicz, 2008).
2. Financial Risk atau Risiko Keuangan
Risiko ini berkaitan dengan keputusan perusahaan untuk menggunakan utang
dalam pembiayaan modalnya (Jones, 2004). Brealey et al. (2014)
menjelaskan bahwa risiko keuangan merupakan risiko yang diterima
pemegang saham akibat penggunaan hutang. Oleh karena itu, makin besar
proporsi utang yang digunakan maka semakin besar risiko keuangan yang
dihadapi. Menurut Van Horne dan Wachowicz (2008), risiko ini dapat diukur
dengan menghitung selisih antara coefficient of variation of earnings per
share dan coefficient of variation of earning before interest and taxes.
3. Total Risk atau Risiko Total
Van Horne dan Wachowicz (2008) menjelaskan bahwa risiko total
merupakan penjumlahan antara risiko keuangan dan risiko bisnis. Mereka
juga menjelaskan bahwa risiko total perusahaan merupakan variabilitas dari
earnings per share (EPS). Secara sederhana, untuk mengukur risiko total bisa
dilakukan dengan menghitung standar deviasi dari EPS. Pengukuran yang
lebih baik untuk risiko total adalah dengan menghitung coefficient of
variation of earnings per share (Van Horne dan Wachowicz, 2008).
34
Teori atau pandangan lama mengungkapkan adanya keterkaitan risiko
dengan tingkat keuntungan. Pandangan lama menganggap adanya hubungan
positif antara risiko dengan tingkat keuntungan (Hanafi, 2014). Semakin tinggi
risiko, akan semakin tinggi tingkat keuntungan yang diharapkan. Ketika
perusahaan ingin meningkatkan tingkat keuntungannya, maka perusahaan harus
menaikkan risikonya. Hubungan ini dapat dilihat pada Gambar 2.1
Namun, teori atau pandangan baru mengungkapkan bahwa hubungan
antara risiko dengan tingkat keuntungan tidak bersifat linear, tetapi non-linear
(Hanafi, 2014). Hubungan ini diilustrasikan pada Gambar 2.2. Pada wilayah satu,
terlihat bahwa risiko yang diambil oleh perusahaan terlalu kecil sehingga
keuntungan yang diperoleh juga kecil. Risiko masih bisa dinaikkan untuk
meningkatkan tingkat keuntungan. Wilayah dua menunjukkan tahap yang
optimal. Perusahaan meningkatkan keuntungan dan tingkat risikonya, dengan
memperhitungkan tingkat risiko optimal yang bisa dikelola perusahaan. Pada
wilaya tiga, terlihat bahwa risiko yang diambil organisasi terlalu tinggi, sehingga
penambahan isiko akan berakibat negatif terhadap organisasi. Risiko yang terlalu
tinggi menjadi sulit untuk dikendalikan sehingga berakibat membahayakan dan
merugikan perusahaan. Oleh karena itu, pengelolaan risiko organisasi seharusnya
berada pada wilayah dua, yang merupakan zona optimal.
35
Sumber: Hanafi, 2014: 17
Gambar 2.1
Hubungan Risiko dan Tingkat Keuntungan: Pandangan Lama
Sumber: Hanafi, 2014: 17
Gambar 2.2
Hubungan Risiko dan Tingkat Keuntungan: Pandangan Baru
Semakin tinggi risikosemakin tinggi tinkgkat keuntungan
TingkatKeuntungan
Risiko
RiskAdjustedReturn
Risiko
Wilayah 1InsufficientRisk Taking
Wilayah 2Optimal Risk
Taking
Wilayah 3Excessive
Risk Taking
36
Risiko ada dimana-mana dan sulit untuk dihindari. Risiko tidak bisa
dihilangkan atau diciptakan, tetapi risiko hanya bisa ditransfer dari satu pihak ke
pihak lainnya. Dengan kata lain, risiko harus dikelola dengan baik. Perusahaan
tidak seperti makhluk hidup yang mampu untuk mengelola risikonya sendiri.
Perusahaan memerlukan manajemen risiko yang bertujuan untuk menciptakan
sistem atau mekanisme dalam perusahaan sehingga risiko yang bisa merugikan
perusahaan bisa diantisipasi dan dikelola (Hanafi, 2014).
Manajemen risiko adalah suatu sistem pengelolaan risiko yang dihadapi
oleh organisasi secara komprehensif untuk tujuan meningkatkan nilai perusahaan
(Hanafi, 2014). Enterprise Risk Management (ERM) atau Manajemen Risiko
Perusahaan adalah suatu proses yang dipengaruhi oleh manajemen, dewan direksi
dan anggota lain dari suatu organisasi, diterapkan dalam strategi, dan mencakup
organisasi secara keseluruhan, didesain untuk mengidentifikasi kejadian potensial
yang mempengaruhi suatu organisasi, mengelola risiko dalam toleransi suatu
organisasi, untuk memberikan jaminan yang cukup pantas berkaitan dengan
tujuan organisasi (COSO, 2004). Oleh karena itu, manajemen risiko merupakan
suatu prosedur yang dimiliki suatu organisasi atau perusahaan untuk mengelola
eksposur perusahaan terhadap risiko.
Hanafi (2014) mengembangkan sebuah kerangka manajemen risiko
organisasi yang dapat dilihat pada Gambar 2.3. Berdasarkan gambar tersebut,
terlihat bahwa manajemen risiko perusahaan terdiri dari dua elemen besar yaitu:
(1) infrastruktur atau prasarana yang terdiri dari prasarana lunak dan keras, dan
(2) proses manajemen risiko yang terdiri dari perencanaan, pelaksanaan dan
37
pengendalian. Manajemen risiko perusahaan bertujuan untuk membantu
pencapaian tujuan organisasi yang dirumuskan secara eksplisit menjadi
memaksimumkan nilai perusahaan.
Sumber: Hanafi, 2014:20
Gambar 2.3
Kerangka Manajemen Risiko Perusahaan
PROSES MANAJEMEN RISIKO PERUSAHAAN:1. PERENCANAAN:Penetapan Tujuan, Misi, Penetapan Target, Penyusunan Kebijakan, Prosedur.2. PELAKSANAAN:Identifikasi dan Pengukuran RisikoManajemen Risiko: Asuransi, Diversifikasi, Hedging, Penghindaran.Organises Management Risiko: Struktur Organisasi, Staffing, Insentif.3. PENGENDALIAN:Evaluate, Pelaporan, Komunikasi, Umpan Balik.
PRASARANA LUNAK: Budaya Risiko Dukungan
Manajemen
PRASARANA KERAS: Teknologi Infornasi
Prasarana Fisk lainnya
MAKSIMISASINILAI PERUSAHAAN
38
Pelaksanaan manajemen risiko oleh perusahaan bertujuan untuk mengelola
risiko perusahaan secara agregat. Risiko perusahaan secara agregat ini tercermin
dari volatilitas nilai perusahaan, dimana risiko ini hanya dapat diukur dengan
menghitung volatilitas stock returns perusahaan (Guay, 1999). Oleh karena itu,
risiko perusahaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah volatilitas daily
stock returns selama satu tahun pada perusahaan non-keuangan di Bursa Efek
Indonesia.
2.2 Derivatif
McDonald (2006) menjelaskan bahwa derivatif adalah suatu instrumen
keuangan (atau secara sederhana, persetujuan diantara dua orang) yang
mempunyai nilai yang dideterminasi oleh harga dari sesuatu yang lain. Definisi
lain mengatakan, derivatif adalah instrumen keuangan yang nilainya pada hari ini
atau beberapa waktu ke depan seluruhnya berasal dari nilai aset lain (atau
kelompok aset lainnya), yang disebut dengan underlying assets (Grinblatt dan
Titman, 2002). Derivatif juga dapat didefinisikan sebagai suatu instrumen
keuangan yang nilainya tergantung pada (atau berasal dari) nilai-nilai variabel lain
yang mendasarinya, dimana sering kali variabel yang mendasari derivatif adalah
harga asset yang diperdagangkan (Hull, 2009). Pentingnya penggunaan produk
derivatif di dunia keuangan meningkat tajam dalam dua dekade terakhir. Berbagai
macam jenis produk derivatif telah diperdagangkan di pasar keuangan di berbagai
negara yang menunjukkan adanya perkembangan signifikan dari produk derivatif.
39
Stock option adalah salah satu contoh derivatif, dimana nilainya
dipengaruhi oleh harga saham. Suatu derivatif dapat dipengaruhi oleh berbagai
variabel, mulai dari harga komoditas hingga harga properti. Saat ini berbagai
macam perdagangan derivatif yang aktif seperti credit derivatives, electricity
derivatives, weather derivatives dan insurance derivatives. Selain itu berbagai
macam tipe derivatif diciptakan untuk memenuhi kebutuhan para pelaku pasar
seperti interest rate derivative, foreign exchange derivative dan commodity
derivative (Hull, 2009). Hal ini mengindikasikan adanya perkembangan produk
derivatif yang cukup signifikan.
Derivatif sangat populer dikalangan investor dan perusahaan besar secara
internasional. Seperti contoh, perusahaan Disney yang mendapatkan revenues dari
Jepang yang cukup besar, menggunakan currency swaps dan memasuki currency
forward rate agreement untuk mengeliminasi risiko nilai tukar uang (Grinblatt
dan Titman, 2002). Contoh lainnya yaitu suatu bank yang memberikan kredit
jangka panjang dengan deposito jangka pendek, dapat memasuki interest rate
swaps untuk mengurangi interest rate risk pada neraca keuangan mereka. Dengan
demikian, derivatif merupakan suatu alat untuk mengelola risiko dengan bertaruh
pada pergerakan harga dari berbagai sekuritas.
2.2.1 Manfaat Derivatif
Perusahaan atau pelaku pasar menggunakan produk derivatif karena
derivatif memberikan manfaat sebagai berikut (Ross et al., 2002, McDonald,
2006):
40
1. Risk Management
Derivatif merupakan suatu alat bagi perusahaan dan para pengguna lainnya
untuk menurunkan risiko. Seperti contoh; seorang petani yang menjual
jagungnya memasuki suatu kontrak dimana kontrak tersebut memberikan
pembayaran sebesar harga yang telah disetujui jika harga jagung berubah
menjadi rendah. Kontrak ini menurunkan risiko kerugian yang dialami petani
yaitu dalam turunnya harga jagung. Inilah yang disebut dengan hedging.
Derivatif adalah alat untuk mengubah eksposur risiko perusahaan. Dengan
menggunakan derivatif perusahaan dapat menghilangkan ekposur risiko yang
tidak diinginkan dan bahkan dapat mengubah eksposur ke dalam bentuk yang
sangat berbeda. Ketika perusahaan mengurangi eksposur risiko dengan
penggunaan derivatif, hal ini disebut sebagai hedging
2. Speculation
Derivatif sebagai kendaraan untuk berinvestasi. Derivatif dapat digunakan
untuk mengubah atau bahkan meningkatkan eksposur risiko perusahaan.
Ketika hal ini terjadi, artinya perusahaan melakukan spekulasi pada pergerakan
beberapa variabel ekonomi atau yang mendasari derivatif. Sebagai contoh, jika
derivatif yang dibeli diperkirakan akan naik nilainya jika suku bunga naik, dan
jika perusahaan tidak memiliki offsetting eksposur terhadap perubahan suku
bunga, maka perusahaan tersebut berspekulasi bahwa suku bunga akan naik
dan memberikan keuntungan pada posisi pembelian derivatif tersebut.
Menggunakan derivatif untuk berspekulasi apakah suku bunga atau variabel
ekonomi lainnya akan naik atau turun adalah kebalikan dari hedging, hal ini
41
berarti meningkatkan risiko. Berspekulasi mengenai pandangan tentang
ekonomi dan menggunakan derivatif untuk mendapatkan keuntungan dari itu,
tidak akan merugikan atau salah jika pandangan tersebut benar terjadi. Tetapi
para spekulan harus selalu ingat bahwa alat yang tajam mampu memotong
dengan dalam. Jika pendapat mengenai posisi derivatif tersebut tidak benar
kenyataannya, maka konsekuensinya yaitu kerugian dengan biaya yang cukup
mahal. Teori pasar efisien menjelaskan bahwa sulit untuk memprediksi apa
yang akan pasar lakukan. Sebagian besar pengalaman merugikan dengan
penggunaan derivatif terjadi bukan karena penggunaan derivatif sebagai
instrumen hedging, tetapi lebih karena spekulasi.
3. Reduced Transaction Costs
Derivatif mampu memberikan suatu cara yang lebih murah pada suatu
transaksi keuangan. Seperti contoh, seorang manajer dari perusahaan mutual
fund dapat menjual saham dan membeli obligasi. Dengan melakukan hal
tersebut maka manajer harus membayar biaya brokers dan membayar trading
cost lainnya seperti bid-ask-spread. Jika manajer menggunakan derivatif, maka
manajer akan mendapatkan efek ekonomi yang sama seperti saham benar-
benar telah terjual dan digantikan dengan obligasi. Penggunaan derivatif dapat
memberikan biaya transaksi yang lebih rendah, dibandingkan dengan penjualan
saham dan kemudian membeli obligasi.
42
4. Regulatory Arbitrage
Penggunaan derivatif juga memberikan manfaat dalam menghindari atau
mengelakkan peraturan yang membatasi, pajak dan peraturan akuntansi.
Derivatif sering digunakan, seperti contoh, untuk mendapatkan economic sale
of stock (menerima uang tunai dan mengeliminasi risiko dari memegang saham
tersebut), dimana masih memegang saham tersebut secara fisik. Transaksi
derivatif ini memperbolehkan pemiliknya untuk menangguhkan pajak pada
penjualan saham, atau menahan hak untuk voting tanpa mengambil risiko dari
saham tersebut. Hal ini merupakan alasan yang utama dalam penggunaan
derivatif. Penggunaan derivatif dapat memberikan alternatif dari jual beli
sederhana, menjadi berbagai macam kemungkinan yang investor atau manajer
perusahaan gunakan untuk mewujudkan suatu tujuan.
2.2.2 Pengguna Derivatif
Para pengguna derivatif memiliki beberapa persepektif berdasarkan tujuan
yang mereka miliki. Perspektif pengguna derivatif ada tiga macam, yaitu The
End-user Perspective, The Market-maker Perspective dan The Economic
Observer (McDonald, 2006).
The End-user merupakan perusahaan, manajer investasi dan investors
yang memasuki kontrak derivatif dengan alasan utama untuk risk management,
dimana derivatif digunakan untuk mengelola risiko, spekulasi, menurunkan biaya
transaksi, dan untuk menghindari peraturan. End-users memiliki tujuan, seperti
43
menurunkan risiko, dan memperhatikan bagaimana derivatif tersebut dapat
digunakan untuk mencapai tujuan yang dimiliki.
The Market-makers adalah intermediari, dimana merupakan traders yang
membeli derivatif dari konsumen yang ingin menjual dan menjual derivatif
kepada konsumen yang ingin membeli. Untuk mendapatkan keuntungan, market-
makers mengenakan ongkos spread, dimana mereka membeli pada harga murah
dan menjual dengan harga tinggi.
Penggunaan produk derivatif, seluruh aktivitas dari market-makers,
organisasi di pasar, logika dari pricing models, seluruhnya merupakan aktivitas
dari pengamat ekonomi atau economic observer. Pembuat aturan atau pemerintah
harus mengamati para economic observer ini, dan memutuskan bagaimana untuk
mengatur selurush aktivitas yang dilakukan para pelaku pasar.
Para pengguna instrumen derivatif disebut sebagai traders. Tipe utama
traders derivatif yang dapat diidentifikasi ada tiga (Hull, 2009; McDonald, 2006)
yaitu hedger, speculators dan arbitrageurs. Berikut adalah penjelasanya:
1. Hedger berada dalam posisi dimana mereka menghadapi risiko yang
berkaitan dengan harga suatu aset. Mereka menggunakan derivatif untuk
mengurangi atau menghilangkan risiko ini.
2. Speculators ingin bertaruh pada gerakan harga suatu asset di masa
mendatang. Mereka menggunakan derivatif untuk mendapatkan leverage
ekstra.
3. Arbitrageurs berada dalam pasar derivatif untuk mengambil keuntungan
dari perbedaan antara harga di dua pasar yang berbeda. Jika, misalnya,
44
mereka melihat harga futures dari aset keluar dari barisan dengan harga
tunai, mereka akan mengambil posisi offsetting di dua pasar untuk
mengunci keuntungan.
2.2.3 Instrumen Derivatif
Derivatif memiliki berbagai macam instrumen, seperti forward contracts,
futures contracts, options, swaps dan real assets. Berikut merupakan penjelasan
mengenai tiga jenis instrumen derivatif yang paling banyak digunakan sebagai
alat manajemen risiko:
2.2.3.1 Forward Contract
Jarrow dan Oldfield (1981) menjelaskan bahwa forward contract
mewajibkan pembelinya (pemilik) untuk membeli satu unit aset tertentu pada
harga tetap (exercise price), pada tanggal di masa mendatang tetap (disebut
delivery date). Odgen et al. (2003) menambahkan bahwa forward contract adalah
suatu persetujuan bilateral yang pribadi dan didesain khusus antara dua pihak
dimana pihak pertama setuju untuk menjual dan pihak kedua setuju untuk
membeli sejumlah tertentu unit aset di masa mendatang yang telah ditentukan dan
pada harga tertentu. Secara sederhana, forward contract adalah perjanjian untuk
membeli atau menjual aset pada waktu tertentu di masa depan dengan harga
tertentu (Hull, 2009).
Park dan Chen (1985) menjelaskan bahwa harga berjangka ditentukan
pada saat kontrak dimulai, dan harga ini akan tetap hingga masa akhir kontrak.
Mereka juga menjelaskan bahwa dalam kontrak forward, transfer uang dan
45
penyerahan aset hanya terjadi pada tanggal jatuh tempo. Kontrak Forward lazim
digunakan pada valuta asing dan komoditas seperti emas dan minyak. Oleh karena
itu, ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam forward contract
yaitu waktu pengiriman yang telah ditentukan (tanggal jatuh tempo atau tanggal
pengiriman), jumlah aset, dan forward price.
Instrumen forward merupakan instrumen keuangan derivatif yang paling
tua dan kontrak forward bisa dibedakan dengan kontrak spot (Hanafi, 2014).
Transaksi pada kontrak spot mempunyai arti kurs berlaku saat ini dan penyerahan
barang dilakukan pada saat ini juga. Kurs forward berbeda dengan kurs spot dalan
hal penyerahan barangnya (Hanafi, 2014). Seperti contoh, kurs forward 3 bulan
untuk rupiah / dolar adalah Rp13.000/$. Kurs forward ini berati bahwa pengguna
bisa membeli (menjual) dolar dengan kurs Rp13.000 (ditetapkan saat ini), tetapi
perolehan (penyerahan) dolar dilakukan tiga bulan mendatang. Tiga bulan
mendatang, pengguna harus menyediakan (memperoleh) rupiah sebesar Rp13.000
jika pengguna membeli (menjual) dolar forward. Membeli suatu kontrak forward
disebut dengan long forward dan menjual suatu kontrak forward disebut short
forward. Tabel 2.1 menjelaskan suatu contoh proses transaksi kontrak forward
untuk posisi long dan short forward serta perbandingannya dengan transaksi spot.
Hanafi (2014) menjelaskan ada beberapa kelemahan dari forward.
Pertama, kontrak forward merupakan hasil negosiasi langsung antara pihak
pembeli dengan penjual forward. Mereka bertemu langsung dan melakukan
negosiasi. Jika terjadi kesepakatan, maka kontrak forward akan disepakati. Pasar
semacam ini disebut sebagai pasar over-the-counter. Negosiasi yang terjadi pada
46
kontrak forward memungkinkan fleksibilitas yang tinggi, namun disisi lain,
negosiasi tersebut mengakibatkan variasi yang cukup tinggi. Variasi ini membuat
kontrak forward tidak terstandarisir. Produk yang tidak tersandarisir, cenderung
lebih sulit diperdagangkan (kurang likuid). Karena kurang likuid, produk tersebut
cenderung mempunyai biaya transaksi lebih tinggi. Kelemahan kontrak forward
yang kedua adalah risiko default (partner tidak memenuhi kewajibannya)
cenderung tinggi. Hal ini disebabkan karena dua faktor. Faktor pertama, risiko
dalam kontrak forward diakumulasi sampai jatur tempo. Faktor kedua, pengguna
kontrak forward dan counterparty pada dasarnya merupakan perusahaan biasa dan
mempunyai risiko default yang lebih tinggi dibandingkan lembaga pemerintah.
Tabel 2.1
Proses Transaksi Forward dan Transaksi Spot
Transaksi spot
Beli $1 dengan kurs
Rp13.000/$
Transaksi forward
Beli (long) 3-bln $1 forward
dengan kurs Rp13.000/$
t = 0 Menyerahkan Rp13.000
Menerima $1 Tanda tangan kontrak
T = +3 bulan
mendatang -
Menyerahkan Rp13.000
Menerima $1
Transaksi spot
Jual $1 dengan kurs
Rp 13.000/$
Transaksi forward
Jual (short) 3-bln $1 forward
dengan kurs Rp13.000/$
t = 0 Menyerahkan $1
Menerima Rp13.000 Tanda tangan kontrak
T = +3 bulan
mendatang -
Menyerahkan $1
Menerima Rp13.000
sumber: Hanafi (2014: 296)
47
2.2.3.2 Futures Contract
Definisi futures contract menurut Hull (2009) adalah kontrak yang
mewajibkan pemegangnya untuk membeli atau menjual aset dengan harga
pengiriman yang telah ditentukan selama periode waktu tertentu di masa depan.
Hanafi (2014) menyatakan bahwa kontrak futures didesain untuk mengurangi dua
kelemahan forward, desain futures adalah standarisasi kontrak dan mekanisme
marking to market (penyesuaian terhadap harga pasar) setiap hari, dan
perdagangan yang dilakukan melalui bursa. Hal ini didukung oleh Hull (2009)
yang menjelaskan bahwa futures contract merupakan kontrak yang telah
dibakukan, karena itu terdapat proses marked-to-market untuk semua posisi
futures pada setiap akhir hari kerja.
Futures menggunakan strategi standarisasi kontrak, bertujuan untuk
meningkatkan likuiditas (Hanafi, 2014). Standarisasi tersebut meliputi antara lain:
perdagangan futures dilakukan melalui bursa, besarnya kontrak ditetapkan oleh
bursa, waktu jatuh tempo ditentukan oleh bursa (misalnya jatuh tempo futures
ditetapkan setiap bulan Maret, Juni, September dan Desember) dan bursa
menentukan kualitas komoditas yang di-futures-kan. Kontrak futures juga
memiliki mekanisme marking to market, dimana melalui mekanisme ini posisi
kontrank disesuaikan dengan harga pasar setiap hari. Untung atau rugi karena
proses penyesuaian tersebut akan ditambahkan ke rekening kita. Untung berarti
menambah saldo, sementara rugi akan mengurangi saldo. Bursa menggunakan
mekanisme marking to market setiap hari. Suatu contoh kontrak futures, misalkan
seorang investor membeli (long) satu kontrak futres euro dengan harga U200 /Î,
48
besar kontrak 1.000 euro dan jatuh tempo dalam dua hari mendatang. Misalkan
deposit sebesar 100.000 yen dan saldo minimal adalah 100.000 yen (ditentukan
bursa). Tabel 2.2 menggambarka suatu contoh dari mekanisme marking to market
harian dari futures contract tersebut.
Tabel 2.2
Mekanisme Marking to Market Harian Posisi Long Futures
Hari Kurs Futures Hasil Mark to Market Saldo (Yen)
0 awal 200 Deposit 100.000 0 250 (250-200) x 1.000 = +50.000 150.000 1 160 (160-250) x 1.000 = -90.000 60.000 Margin call karena saldo yang terjadi
di bawah saldo minimal, deposit ditambahkan sebesar 40.000 yen
100.000
2 100 (100-160) x 1.000 = -60.000 40.000 Kontrak ditutup. Investor
menyerahkan 100x1.000=100.000yen, dan menerima 1.000 euro
Total kerugian/keuntungan = 50.000-90.000-60.000 = -100.000 yen
sumber: Hanafi (2014: 302)
Pembeli dari futures contract dalam mengantisipasi untuk peningkatan
nilai masa depan dari underlying asset dikatakan mengambil posisi long.
Sementara penjual futures contract dengan tujuan mengantisipasi untuk
penurunan nilai masa depan dari underlying asset dikatakan mengambil posisi
short. Dengan demikian perbedaan antara futures dan forward terletak pada dua
aspek penting (Odgen et al., 2003). Pertama, futures diperdagangkan sebagai
kontrak yang terstandarisasi pada suatu pasar keuangan (seperti contoh: Chicago
49
Board of Trade, Jakarta Futures Exchange). Kedua, perdagangan futures
memiliki daily resettlement in cash dan marking-to-market.
2.2.3.3 Options
Options merupakan suatu kontrak yang memberi hak kepada pembeli atau
pemegangnya (option buyer atau option holder) untuk membeli atau menjual
sejumlah tertentu saham pada tingkat harga (exercise price) dan waktu tertentu
(expiration date) (Pass, 2005). Options diperdagangkan dengan mengggunakan
underlying assets seperti suatu komoditi, surat berharga keuangan, suatu mata
uang asing. Pengguna derivatif dapat memilih aset tersebut sesuai dengan yang
dibutuhkan.
Ada dua tipe dasar options: call option dan put option (Hull, 2009). Call
options atau opsi beli, merupakan suatu hak untuk membeli sebuah asset pada
harga kesepakatan (strike price) dan dalam jangka waktu tertentu yang disepakati,
baik pada akhir masa jatuh tempo ataupun di antara tenggang waktu masa
sebelum jatuh tempo. Pada opsi beli ini terdapat dua pihak yang yaitu: pertama,
pembeli opsi beli atau biasa disebut call option buyer atau juga long call;
kedua, penjual opsi beli atau biasa juga disebut call option seller atau juga short
call.
Put options atau opsi jual, merupakan suatu hak untuk menjual sebuah asset
pada harga kesepakatan (strike price) dan dalam jangka waktu tertentu yang
disepakati, baik pada akhir masa jatuh tempo ataupun di antara tenggang waktu
masa sebelum jatuh tempo. Pada opsi jual ini juga terdapat dua pihak yaitu: pihak
50
pertama, pembeli opsi jual atau biasa disebut put option buyer atau juga long
put; pihak kedua, penjual opsi beli atau biasa juga disebut put option seller atau
juga short put.
Instrumen derivatif ini disebut options oleh karena perjanjian dalam
instrumen ini memberikan "hak" kepada pemegang opsi untuk menentukan
apakah akan menggunakan atau tidak (atau biasa disebut exercise) opsi yang
dipegangnya, yaitu hak membeli (pada opsi beli) atau hak menjual (pada opsi
jual) dan pihak yang menjual opsi atau yang biasa disebut "penerbit opsi" "wajib"
untuk memenuhi hak opsi dari pemegang opsi tersebut sesuai dengan ketentuan
yang disepakati (Samsul, 2010). Oleh karena itu, opsi dapat digunakan untuk
meminimalisasi risiko dan sekaligus memaksimalkan keuntungan dengan daya
ungkit (leverage) yang lebih besar. Selain itu, Hanafi (2014) menjelaskan bahwa
instrumen keuangan options diciptakan untuk membatasi potensi kerugian yang
tidak terbatas seperti pada kontrak forward dan futures dengan kelebihannya
tersebut. Pembeli opsi diberikan pilihan untuk menggunakan atau tidak
menggunakan haknya, namun pembeli opsi akan membayar premi atau fee opsi di
muka kepada penjual opsi.
Pada instrumen keuangan derivatif options, kekonsistenan antara harga
aset yang menjadi underlying options tersebut dengan harga opsi menjadi sangat
penting. Konsep arbitrase bisa dipakai untuk menilai premi opsi. Faktor-faktor
yang mempengaruhi harga atau premi options adalah harga aset saat ini, harga
eksekusi, jangka waktu, volatilitas, tingkat bunga bebas risiko dan dividen
(Hanafi, 2014).
51
2.2.3.4 Swap
Grinblatt dan Titman (2002) menjelaskan bahwa swap adalah suatu
penjanjian antara dua investor atau counterparties, untuk secara periodik menukar
cash flows dari satu sekuritas untuk cash flows sekuritas lainnya. Hari terakhir
pertukaran disebut sebagai swap maturity. Contoh swap adalah fixed-for-floating
interest rate swap, dimana kontrak ini menukar obligasi dengan fixed-rate untuk
cash flows dari obligasi floating-rate. Notional amount dari swap menunjukkan
ukuran dari modal pada bunga yang dihitung.
Hanafi (2014) menjelaskan bahwa swap bisa dikembangkan lebih lanjut
sehingga bisa diperoleh banyak variasi dalam swap. Sebagai contoh, swap bisa
dikembangkan untuk pertukaran aliran kas yang melibatkan beberapa periode.
Swap juga bisa dikembangkan untuk pertukaran aliran kas yang melibatkan mata
uang yang berbeda. Swap hutang-saham juga bisa dilakukan. Detail pertukaran
akan tergantung dari kekuatan tawar-menawar. Jika kekuatan tawar menawar
sama, maka term pertukaran swap yang dianggap adil bagi pihak yang terkait
yang akan dipakai. Pada dasarnya, term tersebut akan menyamakan present value
aliran kas yang dipertukarkan. Ketika menyangkut biaya bunga variabel, forecast
bunga di masa mendatang, hal ini menjadi sulit dilakukan. Di pasar Eurodollar,
transaksi swap yang ditujukan untuk menghemat pembayaran bunga cukup
banyak dilakukan. Biasanya transaksi tersebut memanfaatkan asimetri premi
risiko di pasar mengambang dan pasar fixed, dengan tujuan arbitrase yaitu
memperoleh tingkat bunga yang lebih kecil dibandingkan kalau tidak memasuki
kontrak swap.
52
2.2.4 Pasar Derivatif
Instrumen derivatif diperdagangkan pada pasar keuangan. Terdapat dua
tipe pasar yang memperdagangkan derivatif yaitu (Hull, 2009):
1. Exchange Traded Markets
Derivative exchange adalah pasar dimana para individu
memperdagangkan kontrak yang sudah distandarisasi yang telah
ditetapkan oleh bursa. Bursa derivatif telah ada untuk sejak lama. The
Chicago Board of Trade (CBOT) didirikan pada tahun 1848 untuk
membawa petani dan pedagang bersama-sama. Awalnya tugas pasar ini
adalah untuk membakukan jumlah dan kualitas dari biji-bijian yang
diperdagangkan. Dalam beberapa tahun pertama, tipe kontrak berjangka
dikembangkan. Spekulan menjadi tertarik dalam kontrak dan menemukan
perdagangan kontrak ini sebagai alternatif yang menarik untuk
perdagangan gandum itu sendiri. Bursa berjangka saingannya, Chicago
Mercantile Exchange (CME), didirikan pada tahun 1919. Saat ini bursa
berjangka ada di seluruh dunia.
2. Over-The-Counter Markets
Pasar over-the-counter merupakan alternatif penting untuk melakukan
trading. Perdagangan dilakukan melalui telepon dan biasanya antara dua
lembaga keuangan atau antara lembaga keuangan dan salah satu klien
perusahaan. Lembaga keuangan sering bertindak sebagai pembuat pasar
untuk instrumen yang lebih sering diperdagangkan. Ini berarti bahwa
mereka selalu siap untuk mengutip kedua harga bid price (harga di mana
53
mereka siap untuk membeli) dan offer price (harga di mana mereka siap
untuk menjual). Percakapan telepon di pasar over-the-counter biasanya
direkam. Jika ada perselisihan tentang apa yang disepakati, kaset diputar
untuk mengatasi masalah tersebut.
Indonesia merupakan salah satu emerging derivatives market di Asia yang
memiliki pertumbuhan yang cukup menjanjikan (Fratzscher, 2006). Saat ini,
Indonesia memiliki dua pasar bursa berjangka yakni: PT. Bursa Berjangka Jakarta
(Jakarta Futures Exchange - JFX) dan PT. Bursa Komoditi dan Derivatif
Indonesia (Indonesia Commodity and Derivatives Exchanges - ICDX). Selain itu,
Bursa Efek Indonesia (BEI) juga telah memperdagangkan produk derivatif.
Penggunaan produk derivatif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
seberapa banyak perusahaan menggunakan produk derivatif pada tahun tertentu
sebagai alat manajemen risiko atau hedging pada perusahaan non-keuangan di
Bursa Efek Indonesia.
2.3 Hedging Theory
Hedging atau lindung nilai pada dasarnya mentransfer risiko kepada pihak
lain yang lebih bisa mengelola risiko lebih baik melalui transaksi instrumen
keuangan (Hanafi, 2014). Madura (2012) menyatakan bahwa hedging adalah
tindakan yang dilakukan untuk melindungi sebuah perusahaan dari exposure
terhadap fluktuasi nilai tukar atau aset keuangan lainnya. Secara umum, hedging
merupakan suatu tindakan manajemen risiko yang dilakukan oleh investor atau
54
pemegang saham untuk meminimalisir atau menghindari probabilitas kerugian
yang disebabkan karena perubahan kurs, suku bunga, harga saham, ataupun harga
komoditas. Oleh karena itu, para pelaku hedging memiliki tujuan utama untuk
melindungi pemilik dari kerugian. Sebagai contoh, suatu perusahaan di Indonesia
mempunyai kewajiban untuk membayar hutang dalam dolar AS tiga bulan
mendatang. Perusahaan tersebut menghadapi risiko turunnya nilai rupiah terhadap
dolar AS, atau naiknya nilai dolar AS tergadap rupiah. Untuk menghindari risiko
turunnya nilai rupiah terhadap dolar, perusahaan tersebut bisa melakukan hedging
dengan beberapa cara seperti membeli kontrak forward $ atau futures $ dengan
posisi long. Berikut merupakan penjelasan mengenai teknik hedging
menggunakan beberapa jenis instrumen keuangan derivatif.
2.3.1 Hedging dengan Forward Contract
Forward contract merupakan salah satu instrumen derivatif yang dapat
digunakan untuk hedging. Suatu contoh, seorang manajer investasi mempunyai
portofolio obligasi dengan nilai pasar saat ini adalah Rp 1,2 miliar. Nilai investasi
adalah Rp1miliar, maka manajer tersebut sudah memperoleh keuntungan sebesar
20%. Misalkan, tiga bulan mendatang portofolionya akan dievaluasi, dan manajer
tersebut khawatir akan tingkat bunga yang berfluktuasi tajam. Peningkatan suku
bunga akan menyebabkan nilai portofolio turun dan sebaliknya. Untuk mengatasi
risiko fluktuasi tersebut, manajer bisa melakukan hedging dengan menggunakan
forward obligasi (Hanafi, 2014). Secara spesifik, manajer tersebut dapat
memasuki kontrak forward, yaitu short forward obligasi dengan jangka waktu 3
55
bulan. Asumsikan, manajer tersebut telah menemukan partner yang bersedia
melakukan transaksi forward obligasi dengan jangka waktu 3 bulan dengan harga
Rp1,2miliar (sama dengan harga pasar saat ini). Jika tiga bulan mendatang tingkat
bunga meningkat, hal ini mengakibatkan nilai obligasi turun menjadi Rp900juta.
Tabel 2.3 meringkas hasil dari hedging menggunakan forward tersebut.
Tabel 2.3
Hasil dari Hedging dengan Forward
Keterangan Harga Pasar Obligasi = Rp 900juta
Posisi Spot (Mempunyai atau Long
obligasi) dengan nilai Rp1,2miliar - Rp300juta
Posisi Forward (Jual atau Short
obligasi) dengan harga Rp1,2miliar + Rp 300 Juta
Total Keuntungan / Kerugian 0
sumber: Hanafi (2014: 297)
Posisi spot menyebabkan kerugian sebesar Rp300juta, karena nilai obligasi
menurun dari Rp1,2miliar menjadi Rp900juta. Pada posisi forward, pengguna
mendapatkan keuntungan sebesar Rp300juta, karena obligasi dapat dijual sebesar
Rp1,2miliar, sementara harga pasar obligasi adalah Rp900juta. Pada kolom
terkahir di Tabel 2.3, terlihat bahwa kerugian yang diderita pengguna derivatif
adalah nol. Oleh karena itu, pengguna derivatif akan terhindar dari kerugian
dengan menggunakan kontrak forward.
56
2.3.2 Hedging dengan Futures Contract
Futures contract merupakan salah satu instrumen derivatif yang dapat
digunakan untuk hedging. Futures mempunyai struktur pay-off yang sama dengan
forward. Asumsikan, pengguna membeli $ forward, maka posisi tersebut sama
dengan membeli (long) futures $. Pay-off semacam itu mempunyai karakteristik
garis miring 45 derajat dengan slope +1. Sebaliknya, jika pengguna melakukan
short (jual) futures $, maka posisi tersebut sama dengan jual dolar forward, yaitu
garis miring 45 derajat dengan slope -1. Hedging dengan futures pada dasarnya
sama dengan hedging dengan forward. Perbedaannya adalah pada timing aliran
kas. Jika pada forward semua kas diselesaikan pada akhir periode, maka pada
futures aliran kas tersebut bisa muncul setiap hari karena adanya mekanisme daily
mark to market (Hanafi, 2014).
Asumsi seorang manajer investasi mempunyai portofolio obligasi dengan
nilai Rp1,2miliar. Untuk meng-hedge posisinya, agar perubahan tingkat bunga
tidak mempengaruhi kinerja portofolionya, manajer tersebut bisa masuk kontrak
futures, yaitu short futures obligasi. Jika tingkat bunga meningkat, nilai obligasi
akan turun, tetapi futures obligasi (manajer memegang posisi short) akan
memperoleh keuntungan. Kerugian dari posisi spot obligasi bisa dikompensasi
oleh keuntungan dari posisi futures obligasi.
57
2.3.3 Hedging dengan Options
Options adalah salah satu instrumen keuangan yang dapat digunakan untuk
hedging. Madura (2012) menjelaskan bagaimana hedging dapat dilakukan dengan
menggunakan call options dan put options. Dalam penjelasannya, Madura (2012)
menggunakan valuta asing sebagai contoh underlying assets yang digunakan
dalam call dan put options.
Call options atau opsi beli mata uang memberikan hak untuk membeli
mata uang tertentu pada harga tertentu selama suatu periode tertentu. Opsi beli
akan menguntungkan ketika seseorang ingin menetapkan harga maksimum untuk
membeli suatu mata uang di masa depan. Jika kurs spot mata uang tersebut
meningkat di atas strike price (harga penyerahan), pembeli opsi dapat
menggunakan opsi dengan membeli mata uang seharga strike price, yang lebih
murah dibandingkan kurs spot yang berlaku. Pemilik opsi dapat memilih untuk
membiarkan opsi kadaluwarsa tanpa menggunakan opsi tersebut ketika kurs spot
yang berlaku lebih rendah daripada strike price, pemilik opsi yang kadaluwarsa
akan merugi sebesar premi awal yang dibayarnya, tetapi itulah jumlah kerugian
maksimalnya.
Put options atau opsi jual mata uang memberikan hak kepada pemilik opsi
untuk menjual suatu mata uang pada harga tertentu selama suatu periode waktu
tertentu. Opsi jual mata uang dikatakan menguntungkan jika kurs nilai tukar saat
ini lebih kecil dari strike price, netral jika kurs nilai tukar saat ini sama dengan
strike price, dan tidak menguntungkan jika kurs nilai tukar saat ini lebih tinggi
dibandingkan strike price.
58
2.4 Kinerja Keuangan Perusahaan
Kinerja keuangan merupakan suatu penentuan secara periodik mengenai
efektivitas operasional organisasi dan tenaga kerjanya berdasarkan sasaran,
standar dan kriteria yang ditetapkan sebelumnya (Mulyadi, 2008). Fahmi (2011:2)
menjelaskan bahwa kinerja keuangan adalah suatu analisis yang dilakukan untuk
melihat sejauh mana suatu perusahaan telah melaksanakan dengan menggunakan
aturan-aturan pelaksanaan keuangan secara baik dan benar. Kinerja keuangan
merupakan penilaian suatu perusahaan mengenai kondisi keuangannya dan
pencapaiannya pada periode tertentu (Knight dan Bertoneche, 2001). Selain itu,
menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2015), kinerja keuangan adalah kemampuan
perusahaan dalam mengelola dan mengendalikan sumber daya yang dimilikinya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kinerja keuangan menunjukkan suatu
pencapaian perusahaan pada suatu periode yang mencerminkan kondisi kesehatan
keuangan perusahaan.
Pengukuran kinerja keuangan sangat penting bagi perusahaan untuk
menentukan seberapa baik kegiatan-kegiatan bisnis yang dilaksanakan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan perusahaan. Pengukuran kinerja keuangan
dapat digunakan sebagai acuan untuk melaksanakan perbaikan dan
penyempurnaan kegiatan bisnis perusahaan secara berkesinambungan. Menurut
Munawir (2010) pengukuran kinerja keuangan bertujuan untuk mengetahui
tingkat likuiditas, solvabilitas dan profitabilitas perusahaan. Oleh karena itu,
pengukuran kinerja keuangan perusahaan dilakukan dengan cara menganalisis
laporan keuangan perusahaan yaitu dengan menghitung rasio keuangan.
59
Rasio keuangan merupakan suatu alat yang dapat digunakan untuk
menganalisis kondisi keuangan dan kinerja keuangan suatu perusahaan. Brigham
dan Daves (2007) menjelaskan bahwa analisis rasio laporan keuangan juga dapat
digunakan untuk mengevaluasi risiko perusahaan. Menurut Horne dan
Wachowicz (2008) rasio keuangan merupakan suatu indeks yang menghubungkan
dua angka akuntansi dan diperoleh dengan membagi satu angka dengan angka
lainnya. Paramasivan dan Subramanian (2009) mendefinisikan rasio keuangan
sebagai hubungan matematis antara satu angka dengan angka lainnya yang
digunakan sebagai indeks untuk mengevaluasi kinerja keuangan perusahaan.
Rasio keuangan merupakan alat analisis keuangan yang didesain untuk
mengevaluasi laporan keuangan perusahaan. Laporan keuangan merupakan
dokumen resmi dari perusahaan yang membahas informasi keuangan seluruh
perusahaan, sehingga tujuan dari laporan keuangan adalah untuk memberikan
informasi dan pemahaman aspek keuangan perusahaan (Paramasivan dan
Subramanian, 2009). Laporan keuangan pokok perusahaan terdiri dari balance
sheet atau neraca dan income statement atau laporan laba rugi. Neraca merangkum
jumlah aset, kewajiban dan modal perusahaan pada periode waktu tertentu
misalnya perkuartal atau pertahun. Sedangkan laporan laba rugi merangkum
penjualan dan biaya-biaya sehingga terukur keuntungan atau kerugian perusahaan
pada periode waktu tertentu, misalnya perkuartal atau pertahun (Horne dan
Wachowicz, 2008). Rasio keuangan perusahaan diukur dengan melakukan
evaluasi pada kedua laporan keuangan perusahaan ini.
60
Analisis rasio keuangan dapat digunakan untuk dua tipe metode
perbandingan yaitu internal comparisons dan external comparisons (Horne dan
Wachowicz, 2008). Internal comparisons dilakukan oleh analis untuk
membandikan rasio saat ini dengan rasio masa lalu pada perusahaan yang sama.
Sedangkan, external comparisons dilakukan untuk membandingkan rasio satu
perusahaan dengan perusahaan lain pada industri dan titik waktu yang sama.
Dengan melakukan perbandingan ini, perusahaan akan lebih mudah untuk menilai
bagaimana kondisi dan kinerja serta kesehatan keuangan perusahaan.
Rasio keuangan dapat diklasifikasikan menjadi empat tipe (Brealey dan
Myers, 2003; Brigham dan Daves, 2007; Horne dan Wachowicz, 2008;
Paramasivan dan Subramanian, 2009) yaitu rasio likuiditas (liquidity ratio), rasio
solvabilitas (leverage ratio), rasio profitabilitas (profitability ratio) dan rasio
aktivitas (activity ratio). Berikut adalah penjelasan dari masing-masing tipe rasio.
1. Rasio Likuiditas
Rasio likuiditas mengukur kemampuan perusahaan untuk memenuhi kebutuhan
jangka pendeknya (Horne dan Wachowicz, 2008). Rasio ini membandingkan
bagaimana hutang jangka pendek perusahaan dapat dipenuhi dengan aktiva
lancar yang dimiliki perusahaan. Rasio likuiditas yang paling umum dan paling
sering digunakan oleh perusahaan adalah Current Ratio. Current Ratio dapat
dihitung dengan membandingkan current assets atau aktiva lancar dan current
liabilities atau pasiva lancar yang dimiliki perusahaan (Brigham dan Daves,
2007). Aktiva lancar perusahaan meliputi kas, surat berharga, piutang dagang
61
dan persediaan. Sedangkan pasiva lancar atau hutang lancar terdiri dari hutang
dagang, hutang jangka pendek, utang gaji, hutang jangka panjang yang jatuh
tempo dan hutang pajak. Paramasivan dan Subramanian [2009; 21]
memformulasikan Current Ratio sebagai berikut:
Current Ratio = Current Assets
(2.1) Current Liability
Rasio ini membantu para analis untuk memahami tingkat likuiditas perusahaan.
Tingkat Current Ratio yang rendah pada perusahaan mencerminkan
perusahaan sedang mengalami kesulitan keuangan (Brigham dan Daves, 2007).
Current ratio yang rendah menunjukkan perusahaan memiliki tingkat hutang
lancar yang lebih besar dibandingkan aktiva lancar. Ketika hal ini terjadi
perusahaan akan membayar utang dagang atau utang jangka pendeknya lebih
lambat, sehingga perusahaan akan berusaha untuk meminjam uang dari bank.
Rasio ini memberikan indikator yang terbaik untuk melihat sejauh mana
perusahaan dapat menutupi hutang jangka pendeknya dengan aktiva paling
lancar yang dimilikinya. Oleh karena itu, penelitian ini akan menggunakan
Current Ratio untuk mengukur rasio likuiditas perusahaan.
2. Rasio Solvabilitas
Rasio solvabilitas mengukur seberapa jauh suatu perusahaan dibiayai oleh dana
pinjaman (Horne dan Wachowicz, 2008). Rasio ini juga dapat diartikan sebagai
besarnya aktiva perusahaan yang dibelanjai dengan menggunakan dana dari
62
pihak luar. Semakin tinggi rasio ini, maka semakin tinggi tingkat penggunaan
hutang pada perusahaan tersebut. Sebaliknya, semakin rendah rasio ini, maka
semakin tinggi pendanaan perusahaan dengan menggunakan modal dari
pemegang saham. Menurut Brigham dan Daves (2007), Rasio solvabilitas
memiliki tiga implikasi yaitu:
(1) Dengan menaikkan dana melalui utang, pemegang saham dapat
mempertahankan kontrol dari suatu perusahaan tanpa meningkatkan
investasi mereka.
(2) Jika perusahaan mendanai investasi mereka dengan meningkatkan
penggunaan hutang, maka risiko yang dihadapi perusahaan lebih besar.
(3) Para kreditur akan selalu melihat ekuitas atau dana yang disediakan
pemilik, untuk memberikan margin of safety, sehingga risiko yang
dihadapi kreditur lebih rendah.
Pengukuran tingkat solvabilitas suatu perusahaan dapat dilakukan dengan
membandingkan jumlah total hutang dengan modal yang dimiliki perusahaan,
yang disebut dengan Debt to Equity Ratio. Berikut adalah formula yang dapat
digunakan untuk mengukur Debt to Equity Ratio (Horne dan Wachowicz,
2008; 157)
Debt to Equity Ratio = Total Debt
(2.2) Total Equity
Penelitian ini menggunakan debt to equity ratio untuk mengukur rasio
solvabilitas perusahaan.
63
3. Rasio Profitabilitas
Rasio profitabilitas mengukur kemampuan perusahaan untuk menghasilkan
laba bersih dalam kaitannya dengan penjualan atau investasi perusahaan
(Horne dan Wachowicz, 2008). Rasio ini menunjukkan tingkat efektivitas dari
keseluruhan operasi perusahaan. Tinggi atau rendahnya rasio ini dipengaruhi
oleh pendapatan perusahaan dan biaya-biaya yang harus dipenuhi perusahaan.
Tingginya tingkat profitabilitas perusahaan mencerminkan bahwa perusahaan
mampu untuk memutuskan peluang investasi yang paling bermanfaat bagi
perusahaan dan mampu untuk mengatur biaya operasional perusahaan secara
efektif. Menurut Brigham dan Daves (2007), rasio perusahaan yang dapat
digunakan untuk mencerminkan profitabilitas perusahaan adalah Return on
Assets. Return on Assets diukur dengan membandingkan net income atau laba
bersih dan total assets atau jumlah aset yang dimiliki perusahaan. Berikut
merupakan formula yang digunakan untuk menghitung Return on Assets Ratio
perusahaan (Horne dan Wachowicz, 2008; 157):
Return on Assets Ratio = Net Income
(2.3) Total Assets
Penelitian ini menggunakan return on assets ratio untuk mengukur rasio
profitabilitas perusahaan.
4. Rasio Aktivitas
Horne dan Wachowicz (2008) menjelaskan bahwa rasio aktivitas mengukur
efektivitas perusahaan dalam menggunakan asetnya. Rasio ini disebut juga
64
efficiency atau turnover ratio. Brigham dan Daves (2007) menambahkan
bahwa rasio aktivitas merupakan rasio manajemen aset yang mengukur
kemampuan perusahaan untuk mengelola asetnya secara efektif. Mereka juga
menjelaskan bahwa perusahaan yang berinvestasi secara berlebihan pada
asetnya maka operating assets dan capital perusahaan akan terlalu tinggi,
sehingga dapat menurunkan aliran kas bersih dan harga sahamnya.
Selanjutnya, jika perusahaan tidak memiliki aset yang cukup, maka perusahaan
akan mengalami penurunan penjualan yang akan berakibat pada menurunnya
profitabilitas, aliran kas bersih dan harga saham. Rasio aktifitas menghitung
bagaimana efektivitas perusahaan dalam mengelola dua jenis grup aset yaitu
receivables dan inventories serta total asetnya secara umum (Horne dan
Wachowicz, 2008). Total assets turnover ratio merupakan salah satu rasio
aktivitas yang mengukur turnover dari seluruh aset perusahaan pada penjualan
(Brigham dan Daves, 2007). Berikut adalah formula yang digunakan untuk
menghitung total assets turnover ratio perusahaan (Horne dan Wachowicz,
2008; 148):
Total Assets
Turnover Ratio =
Net Sales
(2.4)
Total Assets
Penelitian ini menggunakan total assets turnover ratio untuk mengukur rasio
aktivitas perusahaan.
65
Penelitian ini menggunakan Rasio Likuiditas, Rasio Profitabilitas, Rasio
Solvabilitas dan Rasio Aktivitas sebagai variabel independen yang berpengaruh
terhadap Risiko Perusahaan dan Penggunaan Produk Derivatif oleh perusahaan
non-keuangan di BEI.
2.5 Agency Theory
Agency problem atau masalah keagenan agency problem pada awalnya
dieksplorasi oleh Ross (1973), sedangkan eksplorasi teoritis secara mendetail dari
teori keagenan pertama kali dinyatakan oleh Jensen and Mecking (1976). Mereka
menyebutkan bahwa manajer suatu perusahaan sebagai “agent” dan pemegang
saham suatu perusahaan sebagai “principal”. Pemegang saham, dalam hal ini
merupakan principal, mendelegasikan pengambilan keputusan bisnis kepada
manajer yang merupakan perwakilan atau agent dari pemegang saham. Akibat
sistem kepemilikan perusahaan seperti ini, maka muncul permasalahan bahwa
agen tidak selalu membuat keputusan-keputusan yang bertujuan untuk memenuhi
kepentingan terbaik bagi principal. Permasalahan ini terjadi karena manusia
adalah makhluk ekonomi yang mempunyai sifat dasar mementingkan kepentingan
diri sendiri. Pemegang saham dan manajer memiliki tujuan yang berbeda dan
masing–masing menginginkan tujuan mereka terpenuhi. Akibat yang terjadi
adalah munculnya konflik kepentingan. Pemegang saham menginginkan
pengembalian yang lebih besar dan secepat–cepatnya atas investasi yang mereka
tanamkan sedangkan manajer menginginkan kepentingannya diakomodasi dengan
66
pemberian kompensasi atau insentif yang sebesar-besarnya atas kinerjanya dalam
menjalankan perusahaan.
Perbedaan kepentingan tersebut, menyebabkan suatu kondisi pada
perusahaan bahwa apa yang dilaporkan oleh manajer tidak sesuai atau tidak
mencerminkan keadaan perusahaan yang sesungguhnya. Hal ini mengakibatkan
perbedaan informasi yang dimiliki antara manajer dengan pemegang saham.
Sebagai pengelola, manajer lebih mengetahui keadaan yang ada dalam perusahaan
daripada pemegang saham. Keadaan tersebut dikenal sebagai asimetri informasi.
Asimetri informasi antara manajemen (agent) dengan pemilik (principal) dapat
memberikan kesempatan kepada manajer untuk melakukan manajemen laba
(Richardson,1998).
Teori agensi menggunakan tiga asumsi sifat manusia (Eisenhardt, 1989)
yaitu: (1) manusia pada umumya mementingkan diri sendiri (self interest), (2)
manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang
(bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari risiko (risk averse).
Dari asumsi sifat dasar manusia tersebut dapat dilihat bahwa konflik agensi yang
sering terjadi antara manajer dengan pemegang saham dipicu adanya sifat dasar
tersebut. Manajer dalam mengelola perusahaan cenderung mementingkan
kepentingan pribadi daripada kepentingan untuk meningkatkan nilai perusahaan.
Dengan perilaku opportunictis dari manajer, manajer bertindak untuk mencapai
kepentingan mereka sendiri, padahal sebagai manajer seharusnya memihak
kepada kepentingan pemegang saham karena mereka adalah pihak yang memberi
kuasa manajer untuk menjalankan perusahaan.
67
Persektif agency theory merupakan dasar yang digunakan perusahaan
untuk memahami isu corporate governance dan earning management. Agency
theory mengambarkan adanya hubungan yang asimetri antara pemilik dan
pengelola. Untuk menurunkan agency problem tersebut maka dibutuhkan suatu
konsep yaitu konsep Corporate Governance yang bertujuan untuk menjadikan
perusahaan menjadi lebih sehat (Welker, 1995). Penerapan corporate governance
berdasarkan pada teori agensi, yaitu teori agensi dapat dijelaskan dengan
hubungan antara manajemen dengan pemilik, manajemen sebagai agen secara
moral bertanggung jawab untuk mengoptimalkan keuntungan para pemilik
(principal) dan sebagai imbalannya akan memperoleh kompensasi yang sesuai
dengan kontrak.
2.6 Tata Kelola Perusahaan
Tata kelola perusahaan merupakan suatu struktur yang terdiri dari
pemegang saham, dewan direksi, dewan komisaris, dan hirarki manajerial
perusahaan (Ogden, 2003). Tata kelola perusahaan ini melibatkan serangkaian
hubungan antara pemegang saham, dewan direksi, dewan komisaris, manajemen
dan pemangku kepentingan lainnya (OECD, 2014). Menurut Forum for
Corporate Governance in Indonesia (selanjutnya, FCGI) (2016), tata kelola
perusahaan adalah seperangkat aturan yang mendefinisikan hubungan antara
pemegang saham, manajer, kreditor, pemerintah, karyawan dan stakeholder
internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan tanggung jawab
mereka, atau sistem dimana perusahaan diarahkan dan dikendalikan. Dengan kata
68
lain, tata kelola perusahaan merupakan suatu sistem yang mengatur hubungan
antara shareholders, dewan direksi, dewan komisaris, manajer, kreditor,
pemerintah, karyawan dan seluruh stakeholder di perusahaan. Oleh karena itu
dapat disimpulkan bahwa tata kelola perusahaan yang baik adalah suatu struktur
dan proses yang digunakan untuk meningkatkan kinerja dan keberhasilan usaha
serta akuntabilitas perusahaan untuk mewujudkan nilai Pemilik Modal dalam
jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya,
berlandaskan peraturan perundangan dan nilai-nilai etika.
Fungsi tata kelola perusahaan adalah untuk memacu penggunaan sumber
daya perusahaan secara efisien dimana sangat diperlukan akuntabilitas dalam
pengelolaan sumber daya tersebut (Osuoha, 2013). Selain itu, tujuan utama
penerapan tata kelola perusahaan adalah untuk menciptakan nilai tambah bagi
para pemangku kepentingan atau stakeholders (FCGI, 2016). Sistem tata kelola
perusahaan yang baik harus memberikan perlindungan yang efektif bagi
pemegang saham dan kreditur, sehingga mereka dapat meyakinkan diri untuk
mendapatkan pengembalian yang tepat atas investasi mereka. Hal ini juga akan
membantu untuk menciptakan lingkungan yang kondusif, pertumbuhan yang
efisien dan berkelanjutan bagi perusahaan.
Sutojo dan Aldridge (2008) menjelaskan bahwa Good Corporate
Governance mempunyai lima tujuan utama sebagai berikut:
1. Melindungi hak dan kepentingan pemegang saham.
2. Melindungi hak dan kepentingan para anggota stakeholders non-
pemegang saham.
69
3. Meningkatkan nilai perusahaan dan para pemegang saham.
4. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerja Dewan Pengurus atau Board
of Directors dan manajemen perusahaaan.
5. Meningkatkan mutu hubungan Board of Directors dengan manajemen
senior perusahaan.
Penerapan tata kelola perusahaan yang efektif dapat memberikan sumbangan yang
penting dalam memperbaiki kondisi perekonomian, serta menghindari terjadinya
krisis dan kegagalan serupa di masa depan. Menurut Daniri (2006), dengan
menerapkan tata kelola perusahaan yang baik akan memberikan manfaat sebagai
berikut:
1. Peningkatan kinerja perusahaan melalui supervise atau pemantauan kinerja
manajemen dan adanya akuntabilitas manajemen terhadap pemangku
kepentingan lainnya, berdasarkan kerangka aturan dan peraturan yang
berlaku.
2. Memberikan kerangka acuan yang memungkinkan pengawasan berjalan
efektif sehingga tercipta mekanisme checks and balances di perusahaan.
3. Mengurangi agency cost, yaitu suatu biaya yang harus ditanggung
pemegang saham sebagai akibat pendelegasian wewenang kepada pihak
manajemen.
FCGI (2016) juga menjelaskan bahwa dengan menerapkan tata kelola perusahaan,
ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh sebagai berikut: Mudah untuk
meningkatkan modal; Biaya modal yang lebih rendah; Kinerja bisnis meningkat
dan kinerja ekonomi membaik; dan Dampak yang baik pada harga saham.
70
Berdasarkan manfaat dari penerapan tata kelola perusahaan tersebut, maka
perusahaan harus menyadari pentingnya sistem tata kelola perusahaan yang baik
untuk kepentingan para pemegang saham, pemodal dan karyawan, dan juga, bagi
perusahaan itu sendiri.
Prinsip-prinsip internasional untuk tata kelola perusahaan yang telah
terbentuk dijelaskan pada FCGI (2016). Prinsip-prinsip tersebut meliputi:
1. Hak pemegang saham, harus tepat waktu dan mendapatkan informasi yang
benar tentang perusahaan, harus dapat berpartisipasi dalam keputusan
mengenai perubahan fundamental perusahaan, dan yang harus berbagi
dalam keuntungan perusahaan;
2. Perlakuan yang setara dari pemegang saham, terutama pemegang saham
minoritas dan asing, dengan pengungkapan penuh informasi material dan
melarang abusive self dealing dan insider trading;
3. Peran stakeholder harus diakui sebagaimana ditetapkan oleh hukum dan
kerjasama aktif antara perusahaan dan pemangku kepentingan dalam
menciptakan kekayaan, pekerjaan dan keuangan perusahaan yang baik;
4. Pengungkapan yang tepat waktu, akurat dan transparansi pada semua
bahan hal kinerja perusahaan, kepemilikan dan pemangku kepentingan;
5. Tanggung jawab dewan dalam manajemen, pengawasan manajemen dan
akuntabilitas kepada perusahaan dan pemegang saham.
Selain itu, menurut KEPMEN BUMN No. KEP-117/M-MBU/2002
tanggal 1 Agustus 2002 pada pasal 3, prinsip-prinsip Good Corporate
Governance, yaitu :
71
1. Transparansi, yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan
keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materil dan
relevan mengenai perusahaan;
2. Kemandirian, yaitu keadaan dimana perusahaan dikelola secara
professional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak
manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku
dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat;
3. Akuntabilitas yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban
organisasi sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif;
4. Pertanggungjawaban, yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan
terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip
korporasi yang sehat;
5. Kewajaran, yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak
stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan
perundangundangan yang berlaku.
6. Partisipasi, yaitu pemenuhan tanggung jawab, hak dan wewenang serta
tindakan-tindakan lain yang patut diambil sesuai dengan posisinya.
Tata kelola perusahaan memiliki dua unsur utama yaitu corporate
governance – internal perusahaan dan corporate governance – eksternal
perusahaan (Sutedi, 2011). Unsur-unsur yang berasal dari dalam perusahaan
adalah: 1) Pemegang saham; 2) Direksi; 3) Dewan komisaris; 4) Manajer; 5)
Karyawan; 6) Sistem remunerasi berdasar kinerja; 7) Komite audit. Unsur-unsur
yang selalu diperlukan di dalam perusahaan, antara lain: 1) Keterbukaan dan
72
kerahasiaan (disclosure); 2) Transparansi; 3) Akuntabilitas; 4) Kesetaraan; 5)
Aturan dari code of conduct. Unsur-unsur yang berasal dari luar perusahaan
adalah: 1) Kecukupan undang-undang dan perangkat hukum; 2) Investor; 3)
Institusi penyedia informasi; 4) Akuntan publik; 5) Intitusi yang memihak
kepentingan publik bukan golongan; 6) Pemberi pinjaman; 7) Lembaga yang
mengesahkan legalitas. Unsur-unsur yang selalu diperlukan di luar perusahaan
antara lain meliputi: 1) Aturan dari code of conduct; 2) Kesetaraan; 3)
Akuntabilitas; 4) Jaminan hukum. Perilaku partisipasi pelaku Corporate
Governance yang berada di dalam rangkaian unsur-unsur internal maupun
eksternal menentukan kualitas Corporate Governance.
Sumber: Trinh et al., 2015: 125
Gambar 2.4
Corporate Governance Mechanism
Corporate Governance
Internal Mechanism External Mechanism
Management Structure
Ownership Structure
Market Discipline
System Regulation
73
Macey dan O’Hara (2003) juga menjelaskan bahwa mekanisme tata kelola
perusahaan meliputi mekanisme internal dan mekanisme eksternal. Mekanisme ini
diilustrasikan pada Gambar 2.4. Sesuai dengan gambar tersebut, mekanisme
eksternal meliputi market discipline dan system regulation. Sedangkan,
mekanisme internal meliputi struktur manajemen dan struktur kepemilikan.
Menurut Llewellyn dan Sinha (2000), mekanisme tata kelola perusahaan internal
yaitu mengenai akuntabilitas, pemantauan dan pengendalian manajemen
perusahaan sehubungan dengan penggunaan sumber daya dan pengambilan risiko.
Ownership structure atau struktur kepemilikan merupakan faktor penentu
yang penting dari tata kelola perusahaan. Struktur kepemilikan berkaitan dengan
modal milik asing, modal milik negara, modal milik orang dalam dan pemegang
saham mayoritas. Struktur kepemilikan dibagi menjadi tiga jenis kepemilikan
yaitu: institutional ownership, blockholder ownership dan insider ownership
(Jensen dan Meckling, 1976). Institutional ownership adalah pemegang saham
yang berasal dari sector keuangan seperti perusahaan, sekuritas, perbankan,
asuransi dan lembaga pendidikan. Blockholder ownership merupakan pemegang
saham yang memiliki 5% atau lebih dari saham yang beredar. Insider ownership
adalah pemengang saham atau persentase saham yang dimiliki oleh dewan direksi
atau dewan komisaris.
Keberhasilan penerapan tata kelola perusahaan yang baik tidak terlepas
dari struktur kepemilikan perusahaan. Secara garis besar, struktur kepemilikan
perusahaan dibagi menjadi tiga yaitu kepemilikan institusional, kepemilikan
publik dan kepemilikan manajerial. Kepemilikan institusional adalah kepemilikan
74
saham suatu perusahaan oleh institusi atau lembaga seperti perusahaan asuransi,
bank, perusahaan investasi, dan kepemilikan institusi lainnya. Kepemilikan
institusional dapat mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal
sehingga keberadaanya memiliki arti penting bagi pemonitoran manajemen.
Dengan adanya monitoring tersebut maka pemegang saham akan semakin
terjamin kemakmurannya, pengaruh kepemilikan institusional yang berperan
sebagai agen pengawas ditekan oleh investasi mereka yang cukup besar dalam
pasar modal.
Kepemilikan saham publik adalah proporsi kepemilikan saham yang
dimiliki oleh publik atau masyarakat terhadap saham perusahaan. Pengertian
publik ini adalah pihak individu yang memiliki kepemilikan saham yang berada di
luar manajemen dan tidak memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan.
Kepemilikan publik menunjukkan besarnya private information yang harus
dibagikan manajer kepada publik. Private informatif tersebut merupakan
informasi internal yang semula hanya diketahui oleh manajer, seperti standar yang
dipakai dalam pengukuran kinerja perusahaan, keberadaan perencanaan bonus,
dan sebagainya.
Struktur kepemilikan saham manajerial diukur sebagai persentase saham
biasa dana atau opsi saham yang dimiliki direktur dan officer. Struktur
kepemilikan saham manajerial diukur sebagai persentase saham biasa yang
dimiliki oleh Board of Management, di dalamnya terdapat direktur dan komisaris.
Oleh karena itu, kepemilikan saham manajerial adalah proporsi saham biasa yang
dimiliki oleh para manajemen, yang dapat diukur dari persentase saham biasa
75
yang dimiliki oleh pihak manajemen yang secara aktif terlibat dalam pengambilan
keputusan perusahaan.
Kepemilikan manajerial dipercaya akan mendorong manajerial untuk
berkinerja dengan baik dan melaksanakan fungsi pengawasannya dengan efisien
(Brickley et al., 1988). Kepemilikan manajerial merupakan isu penting dalam
teori keagenan sejak dipublikasikan oleh Jensen dan Meckling (1976) yang
menyatakan bahwa semakin besar proporsi kepemilikan manajemen dalam suatu
perusahaan maka manajemen akan berupaya lebih giat untuk memenuhi
kepentingan pemegang saham yang juga adalah dirinya sendiri. Selain itu,
penelitian empiris menyimpulkan bahwa kepemilikan manajerial membantu
meningkatkan kinerja perusahaan (Jensen dan Murphy, 1990; Chung dan Pruitt,
1996).
Management structure atau struktur manajemen merupakan faktor penting
selanjutnya dalam mekanisme corporate governance. Struktur manajemen
perusahaan di Amerika menganut sistem one tier management. Pada one tier
management, board of directors bertugas sebagai kelompok pengawas dan
pengelola perusahaan yang terdiri dari perwakilan pemegang saham mayoritas,
pendiri perusahaan, kreditor utama, dan orang-orang yang berjasa pada
perusahaan (Machfoeds, 2011). Berbeda dengan Amerika, struktur manajemen di
Eropa adalah two tiers management, yaitu membagi kekuasaan korporasi menjadi
dua kelompok pengelola (Machfoeds, 2011). Kelompok pertama disebut board of
commissioners (dewan komisaris) yang dipimpin seorang presiden komisaris atau
komisaris utama. Kelompok kedua disebut board of management (dewan direksi)
76
yang dipimpin oleh seorang direktur utama. Kedua kelompok ini dipilih dalam
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Dewan komisaris bertugas mengawasi
dan memberi nasihat strategis (supervising and advising). Dewan komisaris
ditunjuk oleh pemegang saham baik mayoritas maupun minoritas. Two tiers
management inilah yang diterapkan di Indonesia.
Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor
33/POJK.04/2014, untuk membangun tata kelola perusahaan yang baik maka
perusahaan publik wajib memiliki direksi, dewan komisaris dan komisaris
independen. Peraturan ini menjelaskan bahwa, direksi adalah organ Emiten atau
Perusahaan Publik yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas
pengurusan Emiten atau Perusahaan Publik untuk kepentingan Emiten atau
Perusahaan Publik, sesuai dengan maksud dan tujuan Emiten atau Perusahaan
Publik serta mewakili Emiten atau Perusahaan Publik, baik di dalam maupun di
luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Dewan Komisaris adalah
organ Emiten atau Perusahaan Publik yang bertugas melakukan pengawasan
secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi
nasihat kepada Direksi. Komisaris Independen adalah anggota Dewan Komisaris
yang berasal dari luar Emiten atau Perusahaan Publik dan memenuhi persyaratan
sebagai Komisaris Independen sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini. Dewan Komisaris bertugas melakukan pengawasan dan
bertanggung jawab atas pengawasan terhadap kebijakan pengurusan, jalannya
pengurusan pada umumnya, baik mengenai Emiten atau Perusahaan Publik, dan
77
memberi nasihat kepada Direksi. Selanjutnya, keanggotaan Dewan Komisaris
diatur pada Pasal 20 yaitu sebagai berikut:
(1) Dewan Komisaris paling kurang terdiri dari 2 (dua) orang anggota Dewan
Komisaris.
(2) Dalam hal Dewan Komisaris terdiri dari 2 (dua) orang anggota Dewan
Komisaris, 1 (satu) di antaranya adalah Komisaris Independen.
(3) Dalam hal Dewan Komisaris terdiri lebih dari 2 (dua) orang anggota
Dewan Komisaris, jumlah Komisaris Independen wajib paling kurang
30% (tiga puluh persen) dari jumlah seluruh anggota Dewan Komisaris.
(4) 1 (satu) di antara anggota Dewan Komisaris diangkat menjadi komisaris
utama atau presiden komisaris.
Oleh karena itu, dalam struktur manajemen perusahaan di Indonesia yang sesuai
dengan konsep tata kelola perusahaan yang baik, harus memperhatikan proporsi
komisaris independen dalam jajaran dewan komisaris perusahaan.
Pengetahuan dan wawasan yang dimiliki dewan komisaris merupakan
faktor penting dalam peningkatan kinerja perusahaan. Pengetahuan yang dimiliki
oleh dewan komisaris berkontribusi secara positif terhadap keputusan-keputusan
manajemen sehingga meningkatkan nilai perusahaan (Nicholson dan Kiel, 2004;
Fairchild dan Li, 2005; Adams dan Ferreira, 2007). Oleh karena itu, pengetahuan
dan wawasan yang dimiliki dewan komisaris merupakan faktor penting dalam tata
kelola perusahaan.
Pengetahuan dan wawasan yang dimiliki oleh dewan komisaris
perusahaan dapat diukur dengan melihat latar belakang pendidikan mereka.
78
Semakin tinggi latar belakang pendidikan mereka mencerminkan semakin luasnya
pengetahuan dan wawasan yang dimiliki. Ketika dewan komisaris memiliki
pengetahuan dan wawasan yang luas, maka hal ini akan meningkatkan
kemampuan mereka untuk melaksanakan fungsinya di perusahaan. Latar belakang
pendidikan yang penting dicermati disini adalah tingkat pendidikan dari dewan
komisaris, khususnya komisaris utama perusahaan.
Penelitian ini menggunakan Proporsi Kepemilikan Manajerial, Proporsi
Komisaris Independen dan Pendidikan Komisaris sebagai variabel independen
yang berpengaruh terhadap Risiko Perusahaan dan Penggunaan Produk Derivatif
pada perusahaan non-keuangan di BEI.
2.7 Pasar Modal
Pasar modal adalah pertemuan antara pihak yang memiliki kelebihan dana
(investor) dengan pihak yang membutuhkan dana (perusahaan) dengan cara
memperjualbelikan sekuritas (Tandelilin, 2007). Sullivan (2003) menjelaskan
bahwa pasar modal didefinisikan sebagai pasar yang menyediakan dana atau uang
untuk periode waktu lebih dari satu tahun. Menurut Suad Husnan (2004), pasar
modal adalah pasar untuk berbagai instrument keuangan (securities) jangka
panjang yang bisa diperjualbelikan baik dalam bentuk hutang ataupun modal
sendiri, baik yang diterbitkan oleh pemerintah, public authorities, maupun
perusahaan swasta. Pasar modal dapat berfungsi sebagai lembaga perantara atau
intermediaries (Tandelilin, 2007). Dengan adanya fungsi ini, menunjukkan
adanya peran penting pasar modal dalam menunjang perekonomian karena pasar
79
modal menghubungkan pihak yang membutuhkan dana dengan pihak yang
mempunyai kelebihan dana. Pasar modal juga dapat mendorong terciptanya
alokasi dana yang efisien karena dengan adanya pasar modal maka pihak yang
kelebihan dana dapat memilih alternatif investasi yang memberikan keuntungan
yang paling optimal. Dana yang diperoleh dari investor juga dapat dipergunakan
secara produktif oleh perusahaan-perusahaan tersebut.
Pasar modal mempunyai peranan yang pada dasarnya sama antara satu
negara dengan negara lain. Menurut Sunariyah (2004:7) peranan pasar modal
pada suatu negara yaitu sebagai berikut: Sebagai fasilitas melakukan interaksi
antara pembeli dengan penjual untuk menentukan harga saham atau surat berharga
lainnya yang diperjualbelikan; Memberikan kesempatan kepada para investor
untuk menjual kembali saham yang dimiliki atau surat berharga lainnya;
Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam
pembangunan; Memberikan kesempatan kepada investor untuk memperoleh hasil
yang diinginkan; dan Mengurangi biaya informasi dan transaksi surat berharga.
Selain itu, pasar modal juga memiliki peranan dalam menunjang pembangunan
nasional, sebagai alternatif pembiayaan bagi perusahaan dan sebagai sarana
pemerataan melalui pemilikan saham oleh masyarakat luas (Tandelilin, 2007)
Dana yang didapatkan perusahaan melalui penjualan saham merupakan
hasil perdagangan saham-saham perusahaan yang dilakukan di pasar perdana. Di
pasar perdana inilah perusahaan menjual saham untuk pertama kalinya, proses ini
disebut Initial Public Offering (IPO) atau penawaran umum. Setelah itu sekuritas
perusahaan dijual di pasar perdana, kemudian sekuritas diperjualbelikan oleh
80
investor-investor di pasar sekunder. Perusahaan emiten tidak lagi memperoleh
dana tambahan dari transaksi yang terjadi di pasar sekunder. Namun, perdagangan
pasar sekunder sangat penting untuk menentukan likuiditas sekuritas di pasar
perdana.
Beberapa sekuritas yang umum diperdagangkan di pasar modal antara lain
saham, obligasi, reksadana dan instrumen derivatif (Tandelilin, 2007). Berikut
adalah penjelasan masing-masing sekuritas:
1. Saham
Saham merupakan surat bukti bahwa kepemilikan atas asset-aset perusahaan
yang menerbitkan saham. Dengan memiliki saham suatu perusahaan, maka
investor akan mempunyai hak terhadap pendapatan dan kekayaan perusahaan,
setelah dikurangi dengan pembayaran semua kewajiban perusahaan. Saham
dapat dibedakan menjadi saham preferen dan saham biasa.
2. Obligasi
Merupakan surat tanda pengakuan hutang jangka panjang yang diterbitkan
oleh perusahaan atau pemerintah atas pinjaman yang diterima oleh
perusahaan penerbit obligasi. Obligasi tersebut membayarkan bunga yang
jumlah dan saat pembayaran telah ditentukan dalam perjanjian.
3. Reksadana
Reksadana adalah sertifikat yang menjelaskan bahwa pemiliknya menitipkan
sejumlah dana kepada perusahaan reksadana, untuk digunakan sebagai modal
berinvestasi baik di pasar modal maupun di pasar uang
81
4. Instrumen derivatif
Instrumen derivatif merupakan sekuritas turunan dari suatu sekuritas lain,
sehingga nilai instrumen derivatif sangat tergantung dari harga sekuritas lain
yang ditetapkan sebagai patokan. Jenis instrumen derivatif seperti call option,
put option, forwards dan futures.
Pasar modal Indonesia sudah dimulai sejak jaman pemerintahan kolonial
Belanda. Perdagangan sekuritas dimulai dengan pendirian bursa di Batavia pada
tanggal 14 Desember 1912. Perkembangan dan pertumbuhan pasar modal
Indonesia tidak berjalan seperti yang diharapkan. Pada beberapa periode kegiatan
pasar modal mengalami kevakuman. Beberapa faktor penyebab yaitu terjadinya
perang dunia ke I dan II, perpindahan kekuasaan dari pemerintah kolonial kepada
pemerintah Republik Indonesia dan kondisi lainnya yang menyebabkan operasi
bursa efek tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Pemerintah Indonesia
mengaktifkan kembali pasar modal pada tahun 1977. Kemudian, pasar modal
Indonesia mengalami pertumbuhan didukung dengan berbagai insentif dan
regulasi yang dikeluarkan pemerintah.
Pada tanggal 10 November 1995, pemerintah mengeluarkan Undang-
Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang mengatur seluruh kegiatan
pasar modal. Pada tahun 2007, terjadi penggabungan Bursa Efek Surabaya ke
Bursa Efek Jakarta dan berubah nama menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI). Saat
ini, BEI berada di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). BEI
memiliki Visi yaitu “Menjadi bursa yang kompetitif dengan kredibilitas tingkat
82
dunia” dan Misi yaitu “Menciptakan daya saing untuk menarik investor dan
emiten, melalui pemberdayaan anggota bursa dan partisipan, penciptaan nilai
tambah, efisiensi biaya serta penerapan good governance” (www.idx.co.id). Pada
tahun 2015, perusahaan yang terdaftar di BEI sebanyak 521 perusahaan dengan
nilai perdagangan mencapai 1.406.362 milyar rupiah dan volume perdagangan
berjumlah 1.446.314 juta lembar (www.idx.co.id).
2.8 Hubungan antar Variabel Penelitian
2.8.1 Kinerja Keuangan dan Risiko Perusahaan
Penelitian-penelitian terdahulu menemukan adanya keterkaitan antara
kinerja keuangan perusahaan dan risiko perusahaan (Hamada, 1972; Mandelker
dan Rhee, 1984; Huffman, 1987; Chun and Meharani, 1999; Hardwick dan
Adams, 1999; Prevost et al., 2000; De Ceustre et al., 2003; Biase dan D’Apolito,
2012). Kinerja keuangan perusahaan mencerminkan kondisi kesehatan keuangan
perusahaan yang diukur dengan analisis rasio keuangan seperti rasio likuiditas,
rasio solvabilitas, rasio profitabilitas dan rasio aktivitas perusahaan. Perhitungan
rasio keuangan ini mampu menunjukkan bagaimana kinerja keuangan perusahaan
pada periode waktu tertentu. Dengan melakukan analisis rasio keuangan, maka
perusahaan dapat menilai tingkat kinerja keuangannya. Ketika perusahaan
memiliki kinerja keuangan yang baik berdasarkan analisis rasio keuangan, maka
risiko perusahaan pun cenderung menurun.
Rasio likuiditas mencerminkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi
semua kewajiban-kewajiban lancarnya (Gitman, 2004). Perusahaan yang memiliki
83
tingkat likuiditas yang rendah, menunjukkan ketidakmampuan perusahaan dalam
memenuhi kebutuhan jangka pendeknya (Van Horne, 2008). Tingkat likuiditas
yang rendah pada perusahaan menunjukkan bahwa perusahaan tersebut memiliki
masalah keuangan sehingga berakibat pada peningkatan risiko perusahaan.
Penelitian yang dilakukan oleh Beaver et al. (1970) menemukan korelasi
signifikan yang negatif antara tingkat likuiditas dan risiko sistematik perusahaan.
Namun, penelitian oleh Gu dan Kim (2002) menyimpulkan bahwa tingkat
likuiditas yang terlalu tinggi menyebabkan meningkatnya risiko sistematik
perusahaan. Selanjutnya, Biase dan D’Apolito (2012) melakukan penelitian pada
perusahaan bank di Italia dan menemukan bahwa bank yang memiliki tingkat
likuiditas yang tinggi, cenderung memiliki risiko yang lebih rendah.
Rasio profitabilitas mencerminkan kemampuan perusahaan dalam
menghasilkan laba bersih (Brigham dan Daves, 2007). Ketika perusahaan mampu
menghasilkan laba bersih yang positif, hal ini menunjukkan bahwa perusahaan
tersebut memiliki kemampuan yang baik dalam mengelola keuangan dan
memiliki permasalahan keuangan yang lebih rendah (Horne dan Wachowicz,
2008). Oleh karena itu, ketika profitabilitas perusahaan tinggi, maka risiko
perusahaan cenderung lebih rendah. Penelitian empiris oleh Chun dan Meharani
(1999) menyatakan bahwa tingkat profitabilitas merupakan faktor yang paling
penting dalam mempengaruhi risiko sistematik dibandingkan faktor lainnya
seperti tingkat likuiditas dan solvabilitas. Penelitian pada Bank di Italia oleh Biase
dan D’Apolito (2012) menemukan hubungan yang negatif dan signifikan antara
profitabilitas dan risiko perusahaan. Penelitian ini mengacu pada penelitian oleh
84
Gu dan Kim (2002) dalam penggunaan return on assets sebagai penilaian tingkat
profitabilitas perusahaan yang dapat mempengaruhi risiko perusahaan.
Rasio solvabilitas perusahaan menunjukkan seberapa besar perusahaan
menggunakan dana pinjama untuk membiayai aktiva yang dimiliki perusahaan.
Ketika perusahaan memiliki tingkat solvabilitas yang tinggi, ini berarti
perusahaan memiliki tingkat hutang yang tinggi. Perusahaan yang memiliki
tingkat hutang yang besar pada struktur modalnya, maka perusahaan mengalami
peningkatan biaya financial distress yang pada nantinya berhubungan dengan
peningkatan risiko yang dihadapi perusahaan (Hardwick dan Adams, 1999; De
Ceustre et al., 2003). Penelitian empiris oleh Mandelker dan Rhee (1984)
menemukan bahwa leverage mempunyai pengaruh positif pada risiko sistematik
perusahaan. Selanjutnya, Biase dan D’Apolito (2012) menegaskan bahwa
leverage dan risiko sistematik memiliki hubungan positif yang kuat.
Rasio aktivitas perusahaan menunjukkan kemampuan perusahaan dalam
mengelola aset yang dimilikinya. Perusahaan yang terlalu banyak berinvestasi
pada asetnya namun memiliki penjualan yang tidak optimal, akan menyebabkan
kelebihan operating asset dan capital sehingga aliran kas bersih dan nilai saham
perusahaan bisa menurun (Brigham dan Daves, 2007). Total Assets Turnover
Ratio merupakan salah satu rasio aktivitas yang mengukur kemampuan
perusahaan untuk menghasilkan laba dengan menggunakan total aset yang
dimiliki (Ross et al., 2012). Nilai Total Assets Turnover Ratio yang rendah
menunjukkan bahwa perusahaan tersebut belum mampu mengelola asetnya secara
optimal sesuai kapasitasnya. Keadaan ini akan meningkatkan risiko yang dihadapi
85
perusahaan. Perusahaan harus meningkatkan penjualan dengan pengelolaan aset
yang baik untuk menyelesaikan masalah ini. Gu dan Kim (2002) menemukan
adanya hubungan yang negatif antara assets turnover dan risiko sistematik pada
perusahaan restoran di Amerika.
2.8.2 Kinerja Keuangan Perusahaan dan Penggunaan Produk Derivatif
Keputusan perusahaan untuk penggunaan produk derivatif sangat
dipengaruhi oleh kinerja keuangan perusahaan (Berkman dan Bradbury, 1996;
Borokhovic et al., 2004; Nguyen dan Faff, 2002; Shu dan Chen, 2003, Bartram et
al., 2009). Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, kinerja keuangan
perusahaan yang berpengaruh terhadap penggunaan produk derivatif yaitu Rasio
Likuiditas, Rasio Profitabilitas, Rasio Solvabilitas dan Rasio Aktivitas
Perusahaan.
Rasio likuiditas perusahaan berpengaruh terhadap keputusan perusahaan
untuk menggunakan produk derivatif. Tingkat rasio likuiditas suatu perusahaan
mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk mengambil peluang-peluang
investasi yang tersedia. Froot et al. (1993) menjelaskan bahwa ketika perusahaan
tidak mampu untuk mengambil seluruh peluang investasi karena kendala short-
term liquidity, maka perusahaan akan menggunakan derivatif untuk mengatasi
masalah tersebut. Carter dan Sinkey (1998) menyatakan bahwa masalah likuiditas
berhubungan dengan kebutuhan perusahaan untuk menggunakan produk derivatif
sebagai hedging instrumen. Mereka menyatakan bahwa semakin rendahnya
likuiditas suatu perusahaan maka semakin tinggi kemungkinan perusahaan
menggunakan produk derivatif. Bartram et al. (2009) menemukan adanya
86
hubungan yang negatif antara tingkat likuiditas dengan penggunaan derivatif oleh
perusahaan. Penelitian oleh Fox, Caroll, dan Chiou (1997) dan Nguyen dan Faff
(2003) menggunakan current ratio untuk menganalisis tingkat liquidity ratio
perusahaan dalam pengaruhnya terhadap penggunaan produk derivatif.
Allayanis dan Weston (2001) menjelaskan bahwa perusahaan yang
profitable memiliki kemungkinan untuk melakukan perdagangan instrumen
keuangan lainnya daripada perusahaan dengan profit yang lebih rendah. Penelitian
mereka menyimpulkan bahwa ketika tingkat profitabilitas perusahaan lebih tinggi,
maka kemungkinan perusahaan untuk menggunakan derivatif lebih besar. Hal ini
mengacu pada argumen bahwa suatu perusahaan yang memiliki tingkat
profitabilitas yang tinggi, memiliki sumber dana internal yang dapat digunakan
untuk berinvestasi pada produk derivatif. Namun, Supanvanij dan Strauss (2010)
menemukan hubungan yang negatif antara profitabilitas dan penggunaan derivatif.
Selain itu, Bartram et al. (2009) menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki
tingkat profitabilitas yang tinggi cenderung memiliki financial distress yang lebih
rendah. Oleh karena itu, perusahaan dengan profit yang rendah akan memiliki free
cash flow yang rendah dan mengalami kesulitan dalam membayar kewajiban
mereka, sehingga mereka memiliki kecenderungan untuk melakukan hedging
dengan menggunakan produk derivatif. Pada hasil penelitian mereka, ditemukan
hubungan yang negatif antara gross profit margin dan penggunaan derivatif.
Penelitian oleh Guay (1999), Allayannis dan Ofek (2001) menggunakan return on
assets untuk menilai tingkat profitabilitas perusahaan dalam pengaruhnya
terhadap penggunaan produk derivatif.
87
Suatu perusahaan yang memiliki tingkat rasio solvabilitas yang cukup
tinggi akan mengalami peningkatan biaya financial distress dan risiko
kebangkrutan (Hardwick dan Adams, 1999; De Ceustre et al., 2003). Perusahaan
dapat menurunkan probabilitas dari financial distress dan risiko kebangkrutan
dengan menggunakan produk derivatif melalui hedging (Froot et al., 1993). Jika
perusahaan memiliki tingkat rasio solvabilitas yang semakin tinggi maka
perusahaan tersebut semakin membutuhkan produk derivatif. Oleh karena itu,
peningkatan rasio solvabilitas memiliki pengaruh yang positif terhadap
penggunaan produk derivatif. Semakin tinggi tingkat solvabilitas perusahaan,
maka perusahaan cenderung untuk menggunakan produk derivatif. Kesimpulan
ini juga berdasarkan penelitian sebelumnya, Berkman dan Bradbury (1996), Gay
dan Nam (1999), dan Haushalter (2000) yang menemukan hubungan positif antara
debt ratio dan tingkat hedging dengan menggunakan derivatif. Mereka juga
menemukan bahwa semakin tinggi leverage ratio suatu perusahaan, maka
perusahaan tersebut memiliki kecenderungan untuk menggunakan derivatif
sebagai hedging instrumen.
Rasio aktivitas menunjukkan kemampuan perusahaan dalam mengelola
asetnya. Perusahaan yang memiliki rasio aktivitas yang tinggi menunjukkan
bahwa perusahaan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mengelola
asetnya secara optimal. Ketika rasio aktivitas perusahaan rendah, hal ini
mencerminkan bahwa perusahaan kurang efektif dalam mengelola asetnya
sehingga penjualan menurun serta laba perusahaan pun menurun. Keadaan ini
menyebabkan perusahaan mengalami masalah keuangan seperti cash shortfalls,
88
sehingga perusahaan memerlukan produk derivatif untuk mengatasi masalah
tersebut (Nguyen, 2011). Penggunaan derivatif semakin meningkat ketika
perusahaan mengalami masalah keuangan seperti financial distress dan cash
shortfalls (Bartram et al., 2009; Lantara, 2012).
2.8.3 Tata Kelola dan Risiko Perusahaan
Penelitian terdahulu telah menemukan adanya keterkaitan antara tata
kelola perusahaan dengan risiko perusahaan (Chen et al., 1998; Buckley, 2003;
Tsorhe et al., 2011; Trinh et al., 2015). Menurut OECD (2014), tata kelola
perusahaan adalah serangkaian hubungan antara manajemen, dewan direksi,
pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya. Tujuan dari tata kelola
perusahaan yaitu untuk memacu penggunaan sumber daya perusahaan secara
efisien sehingga perusahaan mampu berkinerja secara optimal (Osuoha, 2015).
Ketika perusahaan dapat menerapkan tata kelola perusahaan dengan baik, maka
risiko perusahaan pun cenderung menurun.
Salah satu mekanisme tata kelola perusahaan yang penting untuk
diperhatikan adalah struktur kepemilikan. Trinh et al. (2015) menjelaskan bahwa
struktur kepemilikan berhubungan dengan pemilik modal asing, pemilik modal
pemerintah, pemilik modal manajerial dan pemegang saham mayoritas. Penelitian
empiris menyatakan bahwa risiko perusahaan dapat dipengaruhi oleh insider
ownership atau kepemilikan manajerial. Adanya insider ownership pada
perusahaan mampu mendorong para pimpinan perusahaan (direksi dan dewan
komisaris) untuk melaksanakan tugasnya dengan baik dan melakukan pengawasan
89
secara efisien (Brickley et al., 1988). Hal ini terjadi karena manajerial adalah
bagian dari pemegang saham sehingga mereka memiliki tujuan yang sama dengan
para pemegang saham lainnya yaitu meningkatkan nilai perusahaan dan
menurunkan risiko. Jensen dan Murphy (1990) serta Chung dan Pruitt (1996)
menemukan bukti bahwa board’s ownership mampu meningkatkan kinerja
perusahaan. Selanjutnya, penelitian oleh Chen et al. (1998) menemukan bahwa
managerial ownership mempengaruhi risiko pasar secara negatif. Berbeda pada
penelitian oleh Anderson dan Fraser (2000), mereka menemukan hubungan yang
positif dan signifikan antara kepemilikan manajerial dan risiko spesifik
perusahaan. Namun, Capozza dan Seguin (2003) menyimpulkan bahwa
perusahaan dengan insider ownership yang lebih tinggi cenderung untuk
berinvestasi pada aset yang tidak berisiko dan menggunakan proporsi hutang yang
lebih sedikit pada struktur modalnya, sehingga risiko total perusahaan cenderung
menurun.
Penelitian empiris juga menyatakan bahwa direksi independen (di
Indonesia adalah komisaris independen) merupakan faktor penting dalam
kesuksesan perusahaan. Penelitian dari Elloumi dan Gueyie (2001) menyimpulkan
bahwa perusahaan yang memiliki rasio direksi independen yang tinggi
menghadapi frekuensi tekanan keuangan yang lebih sedikit. Selain itu, Daily et al.
(2003) menemukan bahwa perusahaan yang mempunyai direksi independen yang
lebih banyak, memiliki kemungkinan kebangkrutan yang lebih kecil. Oleh karena
itu, direksi independen memiliki dampak dalam penurunan risiko perusahaan.
90
Selain itu, Tsorhe et al. (2011) menyatakan bahwa proporsi dari direksi
independen pada perusahaan menunjukkan kekuatan dari dewan direksi
perusahaan. Perusahaan yang memiliki proporsi direksi independen yang lebih
kecil memiliki risiko yang lebih tinggi disebabkan oleh adanya agency conflict
(Booth et al., 2002). Salhi dan Boujelbene (2012) menemukan hubungan yang
negatif dan signifikan antara direksi independen dan risiko perusahaan. Namun,
beberapa penelitian empiris belum menemukan bukti yang signifikan antara
pengaruh komposisi direksi independen terhadap risiko perusahaan (Tsorhe, 2011;
McNuty et al., 2012).
Latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh dewan komisaris,
menunjukkan seberapa luas pengetahuan dan wawasan yang dimiliki oleh dewan
direksi. Ketika anggota dewan komisaris memiliki latar belakang pendidikan yang
tinggi, maka bisa dipastikan mereka memiliki pengetahuan dan wawasan yang
lebih luas. Perusahaan yang memiliki dewan komisaris dengan latar belakang
pendidikan yang luas, dipercaya akan mampu mengarahkan perusahaan untuk
mengambil keputusan yang tepat termasuk keputusan dalam pengelolaan risiko
(Bukley, 2003). Sampai saat ini penelitian mengenai pengaruh latar belakang
pendidikan dewan direksi terhadap risiko perusahaan masih sangat terbatas,
sehingga penelitian yang menganalisis hubungan ini sangat diperlukan.
2.8.4 Tata Kelola Perusahaan dan Penggunaan Produk Derivatif
Tata kelola perusahaan berpengaruh terhadap perkembangan pasar
derivatif, karena pengelolaan sumber daya perusahaan mempengaruhi keputusan
91
perusahaan dalam penggunaan instrumen derivatif (Osuoha, 2013). Indikator dari
Tata Kelola Perusahan yang penting untuk diperhatikan adalah Proporsi
Kepemilikan Manajerial, Proporsi Komisaris Independen dan Pendidikan
Komisaris.
Penelitian empiris menemukan adanya keterkaitan antara struktur
kepemilikan orang dalam atau manajerial atau insider ownership terhadap
penggunaan derivatif oleh perusahaan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
ketika perusahaan memiliki insider ownership, maka manajerial perusahaan
(direksi dan dewan komisaris) merupakan bagian dari pemegang saham
perusahaan. Hal ini akan mendorong manajerial untuk berkinerja dengan baik dan
melakukan pengawasan dengan efisien karena mereka memiliki tujuan yang sama
dengan para pemegang saham lainnya yaitu untuk meningkatkan nilai perusahaan
dan mengoptimalkan risiko perusahaan. Lantara (2012) menjelaskan bahwa
semakin banyak proporsi saham yang dipegang oleh manajerial, maka semakin
besar motivasi para pimpinan perusahaan untuk menggunakan produk derivatif
untuk mengurangi risiko dan meningkatkan nilai perusahaan. Namun, Lantara
(2012) gagal membuktikan hubungan yang signifikan antara insider ownership
dengan penggunaan instrumen derivatif. Sebaliknya, Tufano (1996) telah
memberikan bukti bahwa manajer yang mempunyai kepemilikan saham yang
lebih besar, cenderung untuk menggunakan derivatif untuk memitigasi risiko
perubahan harga emas.
Komposisi dewan komisaris independen juga dapat mempengaruhi
keputusan perusahaan dalam penggunaan produk derivatif. Osuoha et al. (2015)
92
menemukan bahwa komposisi dewan direksi adalah indikator corporate
governance yang paling kuat yang mempengaruhi penggunaan produk derivatif.
Fama dan Jensen (1983) menjelaskan bahwa dorongan yang lebih kuat untuk
membuat keputusan yang benar-benar bermanfaat bagi pemilik saham cenderung
dimiliki oleh anggota dewan independen. Mereka menemukan bahwa anggota
dewan independen menunjukkan kapabilitas mereka sebagai pengawas
manajemen yang efektif bagi perusahaan dengan membuat keputusan yang terbaik
untuk perusahaan. Borokhovich (2004) menyatakan bahwa independent directors
memiliki peran yang aktif dalam keputusan perusahaan dalam menggunakan
produk derivatif, untuk kepentingan para pemegang saham perusahaan. Dalam
penelitiannya, Borokhovich (2004) menemukan hubungan yang positif antara
komposisi independent directors terhadap penggunaan instrumen derivatif.
Sebaliknya, penelitian oleh Marsden dan Prevost (2004) menemukan hasil yang
berbeda. Penemuan mereka adalah semakin meningkatnya proporsi direksi
independen maka semakin kecil kemungkinan perusahaan dalam menggunakan
produk derivatif.
Penelitian oleh Buckley (2003) menyatakan bahwa board of directors
yang memiliki pengetahuan dan wawasan yang baik dapat mendukung keputusan
perusahaan untuk menggunakan produk derivatif. Ketika perusahaan memiliki
anggota dewan yang mempunyai latar belakang pendidikan yang tinggi, maka
mereka akan memiliki pengetahuan dan wawasan mengenai instrumen keuangan
yang lebih luas. Oleh karena itu, pendidikan dewan komisaris mendukung
keputusan perusahaan dalam menggunakan produk derivatif.
93
2.8.5 Penggunaan Produk Derivatif dan Risiko Perusahaan
Teori klasik dari Modigliani dan Miller (1958, 1961), mengungkapkan
bahwa manajemen risiko perusahaan tidak relevan karena pemegang saham
mampu untuk menciptakan portofolio saham yang well-diversified. Teori ini
berlaku jika asumsi yang mendasarinya benar terjadi. Dalam perumusan teori
tersebut mereka menggunakan asumsi bahwa pasar modal adalah pasar yang
sempurna. Jika pasar modal dalam keadaan sempurna, maka pemegang saham
memiliki seluruh informasi penting mengenai risiko sistematik perusahaan
sehingga dapat menciptakan tingkat risiko yang diinginkan. Dengan demikian,
penggunaan derivatif dengan cara hedging menjadi tidak penting bagi perusahaan.
Namun, di dunia nyata terjadi pelanggaran dari asumsi-asumsi ini
sehingga tidak ada pasar modal yang efisien atau sempurna. Stulz (2001) dan
Smith et al. (1990) mengatakan bahwa jika pasar modal tidak sempurna, maka
manfaat dari manajemen risiko perusahaan menjadi meningkat. Teori corporate
hedging yang dikembangkan oleh Smith and Stulz (1985) menyatakan bahwa
pasar modal yang tidak sempurna menciptakan suatu kondisi bahwa hedging
dibenarkan secara ekonomi.
Penelitian dari Guay (1999) menemukan bahwa perusahaan-perusahaan
yang menggunakan derivatif untuk hedging, mengalami penurunan risiko
perusahaan. Hasil penelitian dari Zhang (2010) menunjukkan bahwa perusahaan
terlihat lebih bijaksana dalam perilaku manajemen risiko setelah mengadopsi
derivative accounting rules. Berdasarkan teori dan penelitian empiris, maka dapat
dinyatakan bahwa penggunaan produk derivatif memiliki pengaruh negatif
94
terhadap risiko perusahaan. Namun, Fletcher et. al. (2002) menemukan hal yang
sebaliknya, dimana mereka menemukan bahwa perusahaan trust yang
menggunakan derivatif memiliki risk measures yang lebih tinggi daripada
perusahaan yang tidak menggunakan derivatif. Hubungan antara penggunaan
produk derivatif dan risiko perusahaan penting untuk diteliti lebih lanjut.
2.9 Pemetaan Posisi Penelitian
Perkembangan studi mengenai Risiko Perusahaan, Penggunaan Produk
Derivatif, Kinerja Keuangan dan Tata Kelola Perusahaan dapat dilihat pada Tabel
2.4 mengenai Pemetaan Posisi Riset terdahulu.
95
Tabel 2.4 Pemetaan Posisi Riset Terdahulu yang Berhubungan dengan Kinerja
Keuangan, Tata Kelola Perusahaan, Penggunaan Produk Derivatif dan Risiko Perusahaan
Penelitian Kinerja Tata Kelola Penggunaan Risiko
(Tahun) Keuangan Perusahaan Perusahaan Produk
Derivatif Perusahaan
1. Beaver et al. (1970) x x
2. Hamada (1971) x x
3. Berkman dan Bradbury (1996) x x
4. Fox et al. (1997) x x x
5. Geczy (1997) x x x
6. Guay (1999) x x x
7. Jalilvand (1999) x x
8. Sinkey dan Carter (2000) x x
9. Allayannis dan Ofek (2001) x x
10. Fletcher et al. (2002) x x
11. Nguyen dan Faff (2003) x x
12. Marsden dan Prevost (2005) x x
13. Bartram et al. (2008) x x
14. Kim et al. (2008) x x x
15. Bartram et al. (2009) x x
16. Supanvanij dan Strauss (2010) x x x
17. Brunzell et al. (2011) x x
18. Sprcic (2011) x x
19. Allayanis et al. (2012) x x
20. Lantara (2012) x x x
21. McNulty et al. (2012) x x
22. Salhi dan Boujelbene (2012) x x
23. Sprcic and Sevic (2012) x x x 24. Gatopoulus dan Louberge
(2013) x x
25. Zhou dan Wang (2013) x x
26. Chaudhry et al. (2014) x x
27. Chen et al. (2014) x x x
28. Osuoha et al. (2015) x x
29. Trinh et al. (2015) x x
30. Candradewi (2016) x x x x Keterangan : Tanda silang (x) menunjukkan posisi obyek studi yang dilakukan. Posisi riset penulis ada pada urutan ke 30.