bab ii kajian pustaka 1.3 kajian teoritiseprints.ung.ac.id/3960/6/2013-1-13201-811409055-bab2... ·...
TRANSCRIPT
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
1.3 Kajian Teoritis
1.3.1 Pengertian Bakso
Menurut Andarwulan, pakar teknologi pangan dari Institut Pertanian Bogor
bakso merupakan produk gel dari protein daging, baik dari daging sapi, ayam
ikan, maupun udang dan dibentuk bulatan-bulatan kemudian direbus. Selain
protein hewani, aneka daging itu juga mengandung zat-zat gizi lainnya, termasuk
asam amino esensial yang penting bagi tubuh (dalam Cahyadi, 2009:292-293).
Saat ini, ada tiga jenis bakso yang biasa dijual di pasaran. Ada bakso yang
terbuat dari daging sapi, ikan, udang atau ayam. Bakso yang baik, tentu harus
dibuat dari bahan yang berkualitas. Daging yang tidak berlemak, merupakan
bahan yang baik untuk membuat bakso. Daging yang berkadar lemak tinggi
mengakibatkan tekstur bakso menjadi kasar. Selain daging, bakso membutuhkan
bahan lainnya. Bahan yang tak kalah pentingnya berupa tepung tapioka. Kualitas
bakso akan makin baik, bila komponen daging lebih banyak dari tepung tapioka.
Bakso yang berkualitas biasanya mengandung 90% daging dan 10% tepung
tapioka. Agar terasa lebih lezat, tambahkan bumbu seperti bawang merah, bawang
putih, merica bubuk, dan garam. Adapula yang menambahkan telur saat membuat
bakso, sehingga adonan bakso menjadi lebih halus dan rasanya lebih enak.
Selain bumbu, ada bahan lain yang biasa tambahkan ketika membuat bakso.
Bahan yang dimaksud adalah pengenyal. Adapun bahan pengenyal yang aman
digunakan adalah Sodium Tripoli Fosfat (STF). Bahan kimia yang aman tersebut
berfungsi sebagai pengemulsi sehingga dihasilkan adonan yang lebih merata.
Adonan yang lebih merata, akan menghasilkan bakso yang lebih baik. Sayangnya
tidak semua bakso yang dijual dipasaran menggunakan Sodium Tripoli Fosfat
(STF) sebagai pengenyal.
Bakso yang dijual murah biasanya mengandung boraks. Menurut
Andarwulan, pakar teknologi pangan dari Institut Pertanian Bogor bakso yang
menggunakan boraks cenderung lebih kenyal di banding bakso yang
menggunakan STF (Cahyadi,2009:293).
hSumber : (Dokumentasi Peneliti)
Gambar 2.1 Bakso
Ciri lain dari bakso yang menggunakan boraks adalah warnanya tampak
lebih putih. Hal itu berbeda dengan bakso yang baik, biasanya berwarna abu – abu
segar merata disemua bagian, baik pinggir maupun tengah. Bakso memiliki
keasaman rendah dan pH yang tinggi. Sehingga makanan favorit berbagai
kalangan itu tidak bertahan lama. Terlebih bakso memiliki kadar air yang tinggi,
sehingga bakteri mudah berkembang karena itu penyimpanannya harus baik. Saat
ini banyak penyimpangan yang dilakukan produsen nakal agar baksonya bertahan
lama. Mereka mencelupkan kelarutan formalin, agar baksonya lebih tahan lama.
Padahal itu sangat berbahaya bagi kesehatan. Penggunaan formalin pada bakso
sulit dideteksi dengan mata. Karena penggunaan zat kimia pengawet mayat itu
tidak mengubah warna. Meski begitu anda kita bisa mendeteksinya, selain lebih
kenyal penambahan formalin akan membuat aroma khas dari bakso tidak akan
tercium. Selain itu apabila anda melihat bakso yang dipajang di etalase penjual
bakso, lebih dari enam jam tidak akan didatangi lalat dan tidak mengeluarkan
aroma khas bakso, maka dicurigai bakso tersebut menggunakan formalin.
Penyimpangan lain yang biasa dilakukan produsen bakso adalah mencelupkan
kedalam air terusi , yaitu zat kimia mengandung Cu. Tujuannya sama, agar bakso
tersebut dapat lebih awet. Namun, zat itu sangat berbahaya bagi kesehatan. Untuk
membuat bakso lebih awet dan yang lebih aman adalah pada saat pengemasan
dan penyimpanan lansung dikemas atau di bungkus rapat, kemudian disimpan di
dalam freezer dengan suhu -18oC.
2.1.2. Bahan Tambahan Makanan
Dalam SNI 01-0222-1995 Bahan Tambahan Makanan Bab I Pasal I
menyebutkan bahwa, Bahan tambahan makanan adalah bahan yang biasanya tidak
digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan ingredien khas
makanan, rnempunyai atau tidakmempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja
ditambahkan kedalam makanan untuk maksud teknologi (termasuk organoleptik)
pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan,
penyimpanan atau pengangkutan makanan untuk menghasilkan atau diharapkan
menghasilkan (langsung atau tidak langsung) suatu komponen atau
mempengaruhi sifat khas makanan tersebut.
Pengertian bahan tambahan pangan secara umum adalah bahan yang
biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan
komponen khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang
dengan sengaja ditambahkan kedalam makanan untuk maksud teknologi pada
pembuatan, pengolahan penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, dan
penyimpanan (Cahyadi, 2006).
Peraturan pemerintah nomor 28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu, dan
gizi pangan pada bab 1 pasal 1 menyebutkan, yang dimaksud dengan bahan
tambahan pangan adalah bahan yang ditambahkan kedalam makanan untuk
mempengaruhi sifat atau bentuk pangan atau produk pangan.
Atas dasar tujuannya, penggunaan bahan tambahan pangan dapat
meningkatkan atau mempertahankan nilai gizi, meningkatkan kualitas,
mengurangi limbah, meningkatkan penerimaan konsumen, meningkatkan kualitas
daya simpan, menbuat bahan pangan lebih mudah dihidangkan, serta
mempermudah preparasi bahan pangan (Cahyadi, 2009:251).Bahan tambahan
pangan yang digunakan hanya dapat dibenarkan apabila :
1. Dimaksudkan untuk mencapai masing-masing tujuan penggunaan dan
pengolahan.
2. Tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau
tidak memenuhi persyaratan.
3. Tidak digunakan untuk menyembunyikan cara kerja yang bertentangan dengan
cara produksi yang baik untuk pangan.
4. Tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan bahan pangan.
Dalam kaitannya dengan bahan pangan, perlu dibedakan antara toksisitas
(toxicity) dan bahaya (hazard). Toksisitas merupakan kapasitas suatu bahan
menghasilkan cacat atau luka (injury). Bahaya merupakan kemungkinan
timbulnya cacat atau luka akibat penggunaan secara sengaja. Telah diketahui
bahwa banyak komponen pangan, baik alami maupun yang ditambahkan bersifat
toksis pada kadar tertentu, namun tidak merugikan atau bahkan dari sudut gizi
bersifat esensial pada kadar yang rendah (Cahyadi, 2009:251).
Menurut PERMENKES NO 033 TAHUN 2012 Tentang Bahan Tambahan
Pangan yang di larang digunakan sebagai bahan tambahan pangan adalah sebagai
berikut :
Tabel 2.1
Bahan yang dilarang digunakan sebagai Bahan Tambahan Pangan
No. Nama Bahan
1. Asam borat dan senyawanya (Borid acid)
2. Asam salisilat dan garamnya (Salicyl acid and its salt)
3. Dietilpirokarbonat (Dethylpgrocarbo nate, DEPC)
4. Dulsin (Dullcin)
5. Formalin (Formaldehyde)
6. Kalium bromat (Potassiurn bromate)
7. Kalium Clorat (Potassium clorate)
8. Kloramfenikol (Chloramphenikol)
9. Minyak nabati yang dibrominasi ( Brominated vegetable oils)
10. Nitrofurazone (Nitrofurazone)
11. Dulkamara (Dulcamara)
12. Kokain (Cocaine)
13. Nitrobenzen ( Nitrobenzene)
14. Sinamil antranilat (Cynnamil anthranilate)
15. Dihidrosafrol ( Dyhidrosafrole)
16. Biji tonka (Tonka bean)
17. Minyak Kalamus (Calamus oil)
18. Minyak Tansi (Tansy oil)
19. Minyak Sasafras (Sasafras oil) Sumber PERMENKES NO 033 TAHUN 2012
Pada umumnya bahan tambahan pangan dapat dibagi menjadi dua golongan
besar, yaitu sebagai berikut (Winarno, 1997) :
1. Bahan tambahan pangan yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam
makanan, dengan mengetahui komposisi bahan tersebut dan maksud
penambahan itu dapat mempertahankan kesegaran, cita rasa, dan
membantu pengolahan, sebagai contoh pengawet, pewarna, dan pengeras.
2. Bahan tambahan pangan yang tidak sengaja ditambahkan, yaitu bahan
yang tidak mempunyai fungsi dalam makanan tersebut, terdapat secara
tidak sengaja, baik dalam jumlah sedikit atau cukup banyak akibat
perlakuan selama proses produksi, pengolahan, dan pengemasan. Bahan
ini dapat pula merupakan residu atau kontaminan dari bahan yang sengaja
ditambahkan untuk tujuan produksi bahan mentah atau penanganannya
yang masih terus terbawa ke dalam makanan yang akan dikonsumsi.
Contoh bahan tambahan pangan dalam golongan ini adalah residu
pestisida (termasuk insektisida, herbisida, fungisida, dan rodentisida),
antibiotik, dan hidrokarbon aromatik polisiklis.
2.1.3. Sanitasi Makanan
Sanitasi makanan tidak dapat dipisahkan lagi dari sanitasi lingkungan karena
sanitasi makanan adalah usaha untuk mengamankan dan menyelamatkan makanan
agar tetap bersih, sehat, dan aman. Sanitasi makanan yang buruk dapat disebabkan
oleh tiga faktor, yaitu faktor fisik, faktor kimia dan faktor mikrobiologis.
a. Faktor fisik
Yang dimaksud dengan faktor fisik di sini adalah ruangan yang kurang
mendapat pertukaran udara yang kurang lancar, suhu panas atau lembab, dan
lain-lain. Untuk menghindari kerusakan makanan yang disebabkan oleh faktor
fisik maka perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut :
1. Sanitasi ruang dapur
2. Sanitasi pembuangan sampah
3. Sanitasi tempat penyimpanan bahan makanan
4. Sanitasi alat dapur
5. Sanitasi wilayah Steward
b. Faktor kimia
Sanitasi makanan yang buruk yang disebabkan oleh faktor kimia karena hal-hal
sebagai berikut :
1. Adanya pencemaran gas atau cairan yang merugikan kesehatan atau adanya
partikel-partikel yang beracun, misalnya alat-alat dapur yang dibuat dari
bahan yang mudah bereaksi dengan makanan yang diolah, seperti alat
dapur yang terbuat dari tembaga dengan kuningan yang digunakan untuk
mengolah bahan makanan yang asam.
2. Obat-obatan penyemprot yang digunakan untuk sayuran dan buah ketika
ditanam.
3. Zat-zat kimia yang digunakan untuk mempertahankan kesegaran bahan
makanan.
4. Zat pewarna tekstil yang digunakan untuk memberi warna makanan.
5. Ketidaktahuan masyarakat atas penggunaan obat insektisida yang
disemprotkan pada ikan yang sedang mengalami proses pengasinan dengan
tujuan agar ikan tersebut tidak dihinggapi lalat. Kalau lalat tersebut hinggap
maka ia akan membawa mikroorganisme pada ikan asin tersebut dan hal ini
menyebabkan ikan tidak tahan lama.
6. Penggunaan wadah bekas obat-obatan pertanian untuk kemasan makanan
dan lain-lain.
c. Faktor mikrobiologis
Sanitasi makanan yang buruk yang disebabkan oleh faktor mikrobiologis
karena adanya pencemaran oleh bakteri, virus, jamur dan parasit. Umumnya,
yang terbanyak disebabkan oleh bakteri (Widyati, 2002:43-51).
Perkembangbiakan bakteri dalam makanan ditentukan oleh keadaan
lingkungan serta temperatur yang cocok, selain ketersediaan zat gizi sebagai
sumber makanan.
1. Faktor yang sangat mendukung berkembangnya bakteri adalah sebagai
berikut :
a. Adanya makanan yang diperlukan
b. Tersedianya air
c. Temperatur yang sesuai
d. Waktu yang cukup untuk berkembang
Bahaya atau tidaknya dari berkembangnya bakteri tersebut bergantung pada
jenis mikroorganisme apa yang berkembang dan hasil samping dari
pertumbuhannya.
2. Kemungkinan masuknya bakteri ke dalam makanan adalah sebagai berikut:
a. Pada waktu makanan disiapkan
b. Pada waktu makanan diolah
c. Pada waktu makanan disimpan
d. Pada waktu makanan disajikan
Makanan merupakan salah satu media yang diperlukan bagi tumbuhnya
bakteri, ada yang tumbuh baik pada makanan yang tingkat keasamannya rendah,
ada yang memerlukan gula, dan ada yang memerlukan protein untuk
petumbuhannya.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya bakteri
adalah sebagai berikut :
a. Temperatur yang sesuai tumbuhnya bakteri yang menimbulkan
penyakit patogen secara cepat ialah pada suhu 37oC, tetapi ia dapat
tumbuh antara suhu 10oC-60
oC.
b. Dengan merebus atau memanaskan sampai mendidih selama berapa
menit bakteri akan mati, tetapi untuk memusnahkan toksinnya harus
direbus minimal setengah jam, sedangkan membunuh bakteri yang
tahan panas tinggi harus dipanaskan pada suhu 120oC.
c. Menyimpan makanan pada suhu rendah (minimal 37oC) bukan berarti
bakteri akan mati, melainkan hanya membuat bakteri tersebut nonaktif.
Bila temperatur yang diperlukan untuk tumbuhnya bakteri tersebut
memungkinkan maka ia akan aktif kembali.
d. Dalam pertumbuhannya bakteri memerlukan air. Oleh karena itu, bahan
makanan yang mengandung cairan lebih cepat busuk dibandingkan
dengan bahan makanan atau makana kering.
e. Setiap 20 menit bakteri akan berkembang. Oleh karena itu, dalam
jangka 5-6 jam, berjuta – juta bakteri akan tumbuh.
Berdasarkan faktor-faktor diatas maka bila ingin menyimpan makanan harus
menghindari situasi dan kondisi yang memungkinkan untuk berkembangnya
bakteri secara baik. Kelompok bakteri yang menyebabkan keracunan makanan
pada manusia salah satunya adalah keracunan karena infeksi Eschericia coli
disebabkan oleh hal-hal seperti pendingin yang tidak sempurna, waktu memasak
yang tidak cukup matang, alat-alat kurang bersih, dan higiene dari tenaga
pengolah yang kurang baik. Gejala-gejala orang yang terkena infeksi ini adalah
sakit perut, diare, muntah, demam, menggigil, pusing, dan otot-otot pegal
(Widyawati,2002:53).
2.1.4. Asam Borat
Asam borat (H3BO3) merupakan senyawa bor yang dikenal juga dengan
nama borax. Di Jawa Barat juga dengan nama “ bleng”, di Jawa Tengah dan Jawa
Timur dikenal dengan nama “pijer”. Digunakan atau ditambahkan ke dalam
pangan atau bahan pangan sebagai pengenyal ataupun sebagai bahan pengawet.
Komposisi dan bentuk asam borat mengandung 99,0% dan 100,5% H3 BO3.
Mempunyai bobot molekul 61,38% dengan B = 17,50% ; H = 4,88%; O = 77,62%
berbentuk serbuk hablur kristal transparan atau granul putih tak berwarna dan tak
berbau serta agak manis ( Cahyadi, 2009:252).
Boraks adalah nama lain dari natrium tetraborat ( NaB4O7) dan berbentuk
padat. Jika terlarut dalam air, akan menjadi natrium hidroksida dan asam borat
(H3BO3) . Dengan demikian bahaya boraks identik dengan bahaya asam borat
(Nurchasanah, 2008:135).
Senyawa asam borat ini mempunyai sifat-sifat kimia sebagai berikut : jarak
lebur sekitar 171oC. Larut dalam 18 bagian air dingin, 4 bagian air mendidih, 5
bagian gliserol 85%, dan tak larut dalam eter. Kelarutan air bertambah dengan
penambahan asam klorida, asam sitrat, atau asam tartat. Mudah menguap dengan
pengawasan dan kehilangan satu molekul airnya pada suhu 100oC yang secara
perlahan berubah menjadi asam metaborat( HBO2). Asam borat merupakan asam
lemah dan garam alkalinya bersifat basa. Satu gram asam borat larut sempurna
dalam 30 bagian air, menghasilkan larutan yang jernih dan tak berwarna. Asam
borat tak tercampur dengan alkali karbonat dan hidroksida.
Efek farmakologi dan toksisitas senyawa boron atau asam borat merupakan
bakterisida lemah. Larutan jenuhnya tidak membunuh Staphylococcus Aureus.
Oleh karena toksisitas lemah sehingga dapat di gunakan sebagai bahan pengawet
pangan. Walaupun demikian, pemakaian berulang atau absorpsi berlebihan dapat
mengakibatkan toksik (keracunan). Gejala dapat berupa mual, muntah, diare, suhu
tubuh menurun, lemah, sakit kepala, rash erythematous, bahkan dapat
menimbulkan shock. Kematian pada orang dewasa dapat terjadi dalam dosis 15-
25 gram, sedangkan pada anak dosis 5-6 gram. Asam borat dapat juga bersifat
terarogenik pada anak ayam. Absorpsinya melalui saluran cerna, sedangkan
ekskresinya yang utama melaui ginjal. Jumlah yang relatif besar ada pada otak,
hati dan ginjal sehingga perubahan patologinya dapat dideteksi melalui otak dan
ginjal. Dilihat dari efek farmakologi dan toksisitasnya, maka asam borat dilarang
digunakan dalam pangan (Cahyadi, 2009:253)
Asam borat dan garamnya utamanya boraks atau sodium tetraborat secara
luas digunakan pada industri gelas, fiberglass, porselin, enamel, keramik glasur
dan meta alloy. Senyawa ini juga digunakan sebagai fire retardant, pupuk, bahan
laundry, herbisida dan insektisida (Anonim, 2004 dalam silalahi). Produk
pestisida yang mengandung boraks dan asam borat banyak digunakan sebagai
insektisida, fungisida dan herbisida. Sebagai insektisida boraks dan asam borat
merupakan racun perut untuk semut, kecoa, ngengat dan rayap dan menyebabkan
kerusakan eksoskeleton. Sebagai herbisida boraks menghambat fotosintesis
tanaman dan sebagai fungisida digunakan sebagai pengawet kayu untuk
menghambat pertumbuhan jamur dengan mencegah produksi konidia atau spora
aseksual. Asam borat dan boraks adalah juga merupakan bahan tetap pada produk-
produk pestisida sebagai sekuestran atau pengikat bahan logam (USEPA 2008
dalam silalahi).
Meskipun bukan pengawet makanan, boraks sering pula digunakan sebagai
pengawet makanan. Boraks sering disalahgunakan untuk mengawetkan berbagai
makanan seperti bakso, mie basah, pisang molen, siomay, lontong, ketupat dan
pangsit. Selain bertujuan untuk mengawetkan, boraks juga dapat membuat tekstur
makanan menjadi lebih kenyal dan memperbaiki penampilan makanan (Nuri
dalam Cahyadi, 2009:294).
Boraks ditambahkan ke dalam makanan untuk memperbaiki tekstur
makanan sehingga menghasilkan rupa yang bagus. Bakso mengandung boraks
memiliki kekenyalan khas yang berbeda dari kekenyalan bakso yang
menggunakan banyak daging. Bakso yang mengandung boraks sangat kenyal,
lebih disukai dan tahan lama. Boraks menimbulkan efek racun pada manusia,
toksisitas boraks yang terkandung di dalam makanan tidak langsung dirasakan
oleh konsumen. Boraks apabila terdapat pada makanan, maka dalam waktu jangka
lama walau hanya sedikit akan terjadi akumulasi (penumpukan) dalam otak, hati,
ginjal dan jaringan lemak. Pemakaian dalam jumlah banyak dapat menyebabkan
demam, depresi, kerusakan ginjal, nafsu makan berkurang, gangguan pencernaan,
kebodohan, kebingungan, radang kulit, anemia, kejang, pingsan, koma bahkan
kematian.
2.1.5. Bakteri Escherichia coli
Istilah bakteri berasal bahasa Yunani, yaitu bakterion yang artinya batang
kecil. Sel – sel bakteri berukuran sangat kecil sehingga hanya dapat diamati
dengan mikroskop. Pada umumnya, panjang sel bakteri berkisar antara 2 -10 µm
dengan diameter sekitar 0.5-1 µm. Beberapa jenis bakteri memiliki panjang lebih
dari 100 µm dengan diameter 0.1-0.2 µm.
Escherichia Coli pertama kali diidentifikasikan oleh dokter hewan Jerman,
Theodor Escherich dalam studinya mengenai sistem pencernaan pada bayi hewan.
Pada 1885, beliau menggambarkan organisme ini sebagai komunitas bakteri coli
(Escherich 1885) dengan membangun segala perlengkapan patogenitasnya di
infeksi saluran pencernaan. Nama “Bacterium Coli” sering digunakan sampai
pada tahun 1991. Ketika Castellani dan Chalames menemukan genus Escherichia
dan menyusun tipe spesies E. coli. Bakteri juga berasal dari kata latin yaitu
bacterium (jamak : bacteria), adalah kelompok raksasa dari organisme
hidup.Bentuk dasar bakteri terdiri atas bentuk bola (kokus), batang (basil), dan
spiral (spirilia).Superdomain : Phylogenetica, Filum : Proterobacteria, Kelas :
Gamma Proteobacteria, Ordo : Enterobacteriales, Family : Enterobacteriaceae,
Genus : Escherichia, Species : Escherichia Coli.
E. coli dari anggota family Enterobacteriaceae. Ukuran sel denganpanjang
2,0-6,0 μm dan lebar 1,1-1,5 μm, tersususn tunggal, berpasangan, dengan flagella
peritikus. Bakteri ini menggunakan asetat sebagai sumber karbon, tetapi tidak
dapat menggunakan sitrat. Glukosa dan beberapa karbohidrat lainnya dipecah
menjadi piruvat, dan fermentasi lebih lanjut menghasilkan laktat asetat dan
format. E. coli tumbuh pada suhu antara 10-40oC, dengan suhu optimum 37
oC. pH
optimum untuk pertumbuhannya adalah pada 7,0-7,5 pH minimum 4,0 dan
maksimum pada pH 9,0. Nilai aw minimum untuk pertumbuhan E. Coli adalah
0,96 (Supardi dkk,1999:184). E. coli merupakan penghuni normal usus, seringkali
menyebabkan infeksi.Kapsula atau mikrokapsula terbuat dari asam – asam
polisakarida.Mukoid kadang – kadang memproduksi pembuangan ekstraselular
yangtidak lain adalah sebuah polisakarida dari speksitifitas antigen K tententuatau
terdapat pada asam polisakarida yang dibentuk oleh banyak E.coli seperti pada
Enterobacteriaceae. Selanjutnya digambarkan sebagaiantigen M dan
dikomposisikan oleh asam kolanik.Biasanya sel ini bergerak dengan flagella
petrichous. E. colimemproduksi macam – macam fimbria atau pili yang berbeda,
banyakmacamnya pada struktur dan speksitifitas antigen, antara lain
filamentus,proteinaceus, seperti rambut appendages di sekeliling sel dalam
variasijumlah. Fimbria merupakan rangkaian hidrofobik dan mempunyaipengaruh
panas atau organ spesifik yang bersifat adhesi. Hal itumerupakan faktor virulensi
yang penting. E. coli merupakan bakteri fakultatif anaerob, kemoorganotropik,
mempunyai tipe metabolisme fermentasi dan respirasi tetapipertumbuhannya
paling sedikit banyak di bawah keadaananaerob.
Bakteri Eschericia coli hidup di kolon usus (usus besar) manusia, berfungsi
membantu membusukkan sisa pencernaan juga menghasilkan vitamin B12, dan
vitamin K yang penting dalam proses pembekuan darah. Dalam organ pencernaan
berbagai hewan ternak dan kuda, bakteri anaerobik membantu mencernakan
selulosa rumput menjadi zat yang lebih sederhana sehingga dapat diserap oleh
dinding usus.
Escherichia coli merupakan bakteri fecal indicator yang digunakan untuk
mendeteksi adanya kontaminasi oleh feses pada air dan mendeteksi keberadaan
pathogen usus. Kriteria sebagai fecal indicator adalah :
a. Bakteri ini hanya terdapat pada saluran pencernaan manusia dan hewan
b. Harus ditemukan dalam jumlah yang sangat banyak di dalam feses
c. Harus memiliki daya tahan hidup yang tinggi pada lingkungan di luar usus
d. Relatif mudah diisolasi dan dideteksi meskipun dalam jumlah yang sangat
sedikit.
Penyebaran E. coli dapat terjadi dengan cara kontak langsung atau
bersentuhan, berjabatan tangan dan sebagainya. Kemudian diteruskan melalui
mulut, akan tetapi E. colipun dapat ditemukan tersebar di alam sekitar kita.
Penyebaran secara pasif dapat terjadi melalui makanan atau minuman (Melliawati
2004 ).Escherichia coli yang menyebabkan penyakit pada manusia disebut Entero
Pathogenic Escherichia coli (EPEC). Ada 2 (dua) golongan Escherichia coli
penyebab penyakit pada manusia yaitu :
1. Entero Toxigenic Escherichia coli (ETEC)
Yaitu mampu menghasilkan enterotoksin dalam usus kecil dan menyebabkan
penyakit seperti kolera. Waktu inkubasi penyakit ini 8-24 jam dengan gejala
diare, muntah-muntah dan dehidrasi serupa dengan kolera.
2. Entero Invasive Escherichia coli (EIEC)
Yaitu mampu menembus dinding usus dan menimbulkan kolitis (radang usus
besar) atau gejala demam, sakit kepala, kejang perut dan diare berdarah.
Pangan yang sering terkontaminasi bakteri ini adalah susu, air minum, daging,
keju dan lain-lain).
Di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya menggunakan bakteri Eschericia
coli untuk pengujian air minum. Bakteri Eschericia coli lebih mudah
mengisolasinya daripada jenis bakteri lainnya. Keberadaan bakteri Eschericia coli
dalam sumber air atau makanan merupakan indikasi pasti terjadinya kontaminasi
tinja manusia Karena itulah jika air atau makanan mengandung E. coli, hendaknya
harus dipertimbangkan penolakan pemakaian untuk air minum, sebab besar
kemungkinan air atau makanan tersebut tercemar bahan-bahan kotor.
2.1.6. Bakteri Clostridium perfringens
Clostridium perfringens adalah spesies bakteri gram-positif yang dapat
membentuk spora dan menyebabkan keracunan makanan. Beberapa karakteristik
dari bakteri ini adalah non-motil (tidak bergerak), sebagian besar memiliki kapsul
polisakarida, dan dapat memproduksi asam dari laktosa. C. perfringens dapat
ditemukan pada makanan mentah, terutama daging dan ayam karena kontaminasi
tanah atau tinja. Bakteri ini dapat hidup pada suhu 15-55°C, dengan suhu
optimum antara 43-47°C. Clostridium perfringens dapat tumbuh pada pH 5-8,3
dan memiliki pH optimum pada kisaran 6-7.Sebagian C. perfringens dapat
menghasilkanenterotoksin pada saat terjadisporulasi dalam usus manusia. Spesies
bakteri ini dibagi menjadi 5tipe berdasarkan eksotoksin yangdihasilkan, yaitu A,
B, C, D, dan E. Sebagian besar kasus keracunanmakanan karena C. perfringens
disebabkan oleh galur tipe A, dan adapula yang disebabkan oleh galur tipe C.
Clostridium perfringens secara luas dapat ditemukan dalam tanah dan
merupakan flora normal dari saluran usus manusia dan hewan-hewan tertentu.
Bakteri ini dapat tumbuh cepat pada makanan yang telah dimasak dan
menghasilkan enterotoksin yang dapat mengakibatkan penyakit diare. Sayuran
dan buah-buahan akan terkontaminasi sporanya melalui tanah. Makanan asal
hewan (daging dan olahannya) akan terkontaminasi melalui proses pemotongan
dengan spora dari lingkungan atau dari saluran usus hewan yang dipotong.
Makanan-makanan kering sering menjadi sumber bakteri ini dan pembentuk spora
lainnya. Keracunan makanan oleh Clostridium perfringens hampir selalu
melibatkan peningkatan temperatur dari makanan matang. Hal ini dapat dicegah
dengan cara makanan matang segera dimakan setelah dimasak, atau segera
disimpan dalam refrigerator bila tidak dimakan, dan dipanaskan kembali sebelum
dikonsumsi untuk membunuh bakteri vegetatif. Klostridia menghasilkan sejumlah
besar toksin dan enzim yang mengakibatkan penyebaran infeksi. Toksin alfa
Clostridium perfringens tipe A adalah suatu lesitinase, dan sifat letaknya
sebanding dengan laju pemecahan lesitin menjadi fosforilkolin dan digliserida.
Toksin tetap mempunyai efek hemolitik dan nekrotik yang serupa tetapi bukan
suatu lesitinase. Dnase dan hialuronidase, suatu kolagenase yang mencernakan
kolagen jaringan subkutan dan otot, dihasilkan juga.
Beberapa strain Clostridium perfringens menghasilkan enterotoksin yang
kuat, terutama bila tumbuh dalam masakan daging. Kerja enterotoksin
Clostridium perfringens meliputi hipersekresi yang nyata dalam jejunum dan
ileum, disertai kehilangan cairan dan elektrolit padadiare. Bila lebih dari 108 sel
vegetative termakan dan bersporulasi dalam usus, terbentuk enterotoksin.
Enterotoksin adalah suatu protein yang tampaknya identik dengan komponen
pembungkus spora, berbeda dengan toksin klostridia lainnya, menyebabkan diare
hebat dalam 6-18 jam penyakit ini cenderung sembuh sendiri. Keracunan
makanan karena Clostridium perfringens biasanya terjadi setelah memakan
sejumlah besar klostridia yang tumbuh dalam makanan daging yang dihangatkan.
Proses patogenesisnya adalah mula-mula spora klostridia mencapai jaringan
melalui kontaminasi pada daerah-daerah yang terluka (tanah, feses) atau dari
saluran usus. Spora berkembangbiak pada keadaan potensial reduksi-oksidasi
rendah, sel-sel vegetative berkembangbiak, meragikan karbohidrat yang terdapat
dalam jaringan dan membentuk gas. Peregangan jaringan dan gangguan aliran
darah, bersama-sama dengan sekresi toksin yang menyebabkan nekrois dan enzim
hialuronidase, mempercepat penyebaran infeksi. Nekrosis jaringan bertambah
luas, memberi kesempatan untuk peningkatan pertumbuhan bakteri,
anemiahemolitik, dan akhirnya toksemia berat dan kematian.
Clostridium perfringens secara normal ditemukan pada usus sapi dewasa
dan dapatbertahan hidup cukup lama di tanah. Kondisi perubahan program pakan
yang secara mendadak yang dimakan berlebih dapat mengakibatkan proses
pencernaan makanan yang kurangsempurna, memperlambat pergerakan usus,
menproduksi gula, protein dan konsentrasi oksigenyang rendah yang berujung
pada lingkungan yang cocok untuk mempercepat pertumbuhan bakteri
Clostridium. Kondisi basah dan lembab juga diinginkan oleh bakteri ini.Beberapa
strain Clostridium menyebabkan penyakit ringan sampai sedang yang
membaiktanpa pengobatan. Strain yang lainnya menyebabkan gastroenteritis
berat, yang sering berakibatfatal. Beberapa racun tidak dapat dirusak oleh
perebusan, sedangkan yang lainnya dapat. Daging yang tercemar biasanya
merupakan penyebab terjadinya keracunan makanan karena Clostridium
perfringens.
Cara penularan adalah karena menelan makanan yang terkontaminasi oleh
tanah dan tinja dimana makanan tersebut sebelumnya disimpan dengan cara yang
memungkinkan kuman berkembangbiak. Hampir semua Kejadian Luar Biasa
yang terjadi dikaitkan dengan proses pemasakan makanan dari daging (pemanasan
dan pemanasan kembali) yang kurang benar, misalnya kaldu daging, daging
cincang, saus yang dibuat dari daging sapi dan ayam. Spora dapat bertahan hidup
pada suhu memasak normal. Spora dapat tumbuh dan berkembang biak pada saat
proses pendinginan, atau pada saat penyimpanan makanan pada suhu kamar dan
atau pada saat pemanasan yang tidak sempurna.
2.1.7. Kontaminasi E. coli Pada Makanan Dan Pencegahannya
Mikroba indikator adalah golongan atau spesies bakteri yang kehadirannya
dalam makanan dalam jumlah diatas batas (limit) tertentu merupakan pertanda
bahwa makanan telah terpapar dengan kondisi-kondisi yang memungkinkan
berkembangbiaknya mikroba pathogen. Mikroba indikator digunakan untuk
menilai kemanan dan mutu mikrobiologi makanan (Damanik dalam BPOM,
2008). Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) batas cemaran mikroba dalam
pangan khususnya pada produk olahan daging yaitu sebagai berikut:
Tabel 2.2
Batas Cemaran Mikroba dalam Pangan
No.
Kat
Pangan
Kategori Pangan
Produk olahan
daging, daging unggas
dan daging hewan
buruan,dihaluskan
Jenis Cemaran
Mikroba Batas Maksimum
0.83
Daging olahan dan
daging ayam
olahan(bakso, sosis,
nuget dan burger)
ALT(30oC,72 Jam) 1x10
5koloni/g
APM Coliform 10/g
APM Eschericia coli <3/g
Salmonella sp Negatif/25
Stapylococcus aureus 1x102koloni/g
Clostridium
perfingens
1x102koloni/g
Sumber SNI 7388:2009
Pengujian terhadap bebas tidaknya dari jasad renik yang menimbulkan
penyakit adalah tes sangkaan terhadap kemungkinan adanya bakteri coliform yang
meliputi suatu spesies yaitu Escherichia coli dan Aerobacter aerogenes.
E. coli merupakan flora normal didalam saluran pencernaan hewan dan
manusia yang mudah mencemari air. Oleh karena itu, kontaminasi bakteri ini pada
makanan biasanya berasal dari kontaminasi air yang digunakan. Bahan makanan
yang sering terkontaminasi E. coli diantaranya adalah daging ayam, daging sapi,
daging babi selama penyembelihan, ikan dan makanan-makanan hasil laut
lainnya, telur dan produk olahannya, sayuran, buah-buahan, sari buah, serta bahan
minuman seperti susu dan lainnya.
Alat-alat yang digunakan dalam industri pengolahan pangan yang sering
terkontaminasi oleh E. coli yang berasal dari air yang digunakan untuk mencuci.
Kontaminasi bakteri ini pada makanan atau alat-alat pengolahan merupakan suatu
tanda praktek sanitasi yang kurang baik (Supardi dan Sukamto, 1998:188-189) .
2.1.8. Cemaran Mikroba pada Daging dan Produk Olahannya
Bahan pangan yang berasal dari hewan merupakan sumber utama bakteri
penyebab infeksi dan intoksikasi . Mikroorganisme yang terdapat pada hewan
hidup dapat terbawa ke dalam daging segar dan mungkin bertahan selama proses
pengolahan (Siagian, 2002). Daging mudah rusak dan merupakan mediayang
cocok bagi pertumbuhan mikroba, karena tingginya kandungan air dan giziseperti
lemak dan protein. Kerusakandaging dapat disebabkan oleh perubahandalam
daging itu sendiri (faktor internal) maupun karena faktor lingkungan (eksternal).
Daging yang tercemar mikroba melebihi ambang batas akan menjadi berlendir,
berjamur, daya simpannya menurun, berbau busuk dan rasa tidak enak serta
menyebabkan gangguan kesehatan bila dikonsumsi. Beberapa mikroba patogen
yang biasa mencemari daging adalah E.coli, Salmonella, dan Staphylococcus sp.
Kandungan mikroba pada daging dapat berasal dari peternakan dan rumah potong
hewan yang tidak higienis. Proses pengolahan daging yang cukup lama juga
memungkinkan terjadinya cemaran mikroba pada produk olahannya (Titiek F.
Djaafar dan Siti Rahayu, 2008). Selain itu juga, penggilingan daging dalam
pembuatan daging cincang dapat menyebarkan mikroorganisme, sehingga daging
cincang merupakan produk daging yang berisiko tinggi. Produk olahan daging
seperti kornet, bakso dan sosis harus memenuhi syarat mutu yang sudah
ditetapkan. Berdasarkan SNI 7388:2009, cemaran E.coli pada sosis, bakso, nuget
dan burger yang terbuat dari daging harus >3/g, Salmonella pada sosis, bakso,
nuget dan burger yang terbuat dari daging harus negatif, Clostridium perfringens
1x102 koloni/g, dan S. aureus maksimal 1x10
2 koloni/g.
2.2. Kerangka Berpikir
2.2.1. Kerangka Teori
Kerangka teori dalam penelitian ini mengacu pada PERMENKES No.033
2012 tentang Bahan Tambahan Pangan dan SNI No.7388:2009 Batas Maksimum
Cemaran Mikroba Dalam Pangan. Kualitas bakso dapat dipengaruhi oleh sanitasi
makanan yang dapat dilihat dari faktor fisik, kimia, dan biologis serta bahan
tambahan pangan dapat di pengaruhi oleh adanya boraks pada jajanan bakso.
Gambar 2.2 Bagan Kerangka Teori
Bakso
Bakteri
Faktor
Mikrobiologis
Mikroorganisme
Bahan tambahan
pangan
Faktor Kimia Boraks
Faktor Fisik
Permenkes no 033
Tahun 2012 BTP dan
SNINo.7388:2009 E. coli
Sanitasi
makanan