bab ii kajian kepustakaan a. landasan teori 1....
TRANSCRIPT
13
BAB II
KAJIAN KEPUSTAKAAN
A. Landasan Teori
1. Pengaruh
Pengertian pengaruh menurut Suharsimi Arikunto (2006: 37) adalah “Suatu
hubungan antara keadaan pertama dengan keadaan kedua terdapat hubungan
sebab akibat. Keadaan pertama diperkirakan menjadi penyebab yang kedua.
Keadaan pertama berpengaruh terhadap keadaan yang kedua.” Pengaruh menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2011: 865) yaitu “Daya yang ada atau timbul
dari sesuatu (orang atau benda) yang ikut membentuk watak, kepercayaan dan
perbuatan seseorang”. Senada dengan hal tersebut, Surakhmad (1982: 7)
menyatakan bahwa pengaruh adalah kekuatan yang muncul dari suatu benda atau
orang dan juga gejala dalam yang dapat memberikan perubahan terhadap apa-apa
yang ada di sekelilingnya. Dalam hal ini pengaruh lebih condong kedalam
pembelajaran yang dapat membawa perubahan pada diri seseorang siswa, untuk
menuju arah yang lebih positif.
Berdasarkan uraian di atas, pengaruh yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah bentuk hubungan antara penerapan pembelajaran dan peningkatan
kemampuan pemecahan masalah matematika dan self confidence. Penerapan
model pembelajaran dikatakan berpengaruh jika terdapat perbedaan rata-rata skor
gain kemampuan pemecahan masalah matematika dan self confidence dari ketiga
penerapan model pembelajaran. Pembelajaran pendekatan PBL dengan model
pembelajaran kooperatif tipe NHT dikatakan memberikan pengaruh lebih baik
14
jika rata-rata skor gain kemampuan pemecahan masalah matematika dan self
confidence lebih tinggi dibanding rata-rata skor gain kemampuan pemecahan
masalah matematika dan self confidence dari kedua penerapan model
pembelajaran yang lain.
2. Pembelajaran Matematika
Pembelajaran memiliki dua konsep yang berbeda, yakni belajar dan mengajar.
Dengan kata lain, pembelajaran merupakan suatu proses yang menyatukan dua
kegiatan yang erat kaitannya. Menurut Morgan (Mustaqim, 2001: 33) belajar
adalah perubahan tingkah laku yang relatif tetap yang merupakan hasil
pengalaman yang lalu, sedangkan mengajar menurut Benyamin (Mustaqim, 2001:
91) ialah suatu proses pengaturan kondisi-kondisi dengan mana pelajaran
merubah tingkah lakunya dengan sadar kearah tujuan-tujuan sendiri. Dua konsep
tersebut menjadi satu kesatuan dalam suatu kegiatan pembelajaran.
Menurut Abdul Majid (2013: 284) dalam pembelajaran terjadi proses
komunikasi untuk menyampaikan pesan dari pendidik kepada peserta didik
dengan tujuan agar pesan dapat diterima dengan baik dan berpengaruh terhadap
pemahaman serta perubahan tingkah laku. Gagne dan Briggs (Uno dan Mohamad,
2011: 144) mengartikan pembelajaran adalah suatu sistem yang bertujuan untuk
membantu proses belajar siswa, yang berisi serangkaian peristiwa yang dirancang,
disusun sedemikian rupa untuk mempengaruhi dan mendukung terjadinya proses
belajar siswa yang bersifat internal. Pembelajaran merupakan kegiatan yang
bertujuan, sehingga segala sesuatu yang dilakukan guru dan siswa hendaknya
diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan (Sanjaya, 2007: 63).
15
Matematika adalah suatu bidang ilmu yang merupakan alat untuk berpikir,
berkomunikasi, dan alat untuk memecahkan masalah berbagai persoalan praktis
yang unsur-unsurnya meliputi logika dan intuisi, analisis dan konstruksi,
generalitas dan individualitas, serta mempunyai cabang-cabang antara lain seperti
aritmatika, geometri, dan analisis (Uno dan Mohamad, 2011: 129-130), sedangkan
menurut KBBI, matematika didefinisikan sebagai ilmu tentang bilangan,
hubungan antara bilangan dan prosedur operasional yang digunakan dalam
penyelesaian masalah mengenai bilangan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
matematika adalah proses interaksi antara guru dan siswa dalam situasi edukatif
untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam menghitung dan menggunakan
rumus matematika yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan.
3. Pendekatan Problem Based Learning (PBL)
Pendekatan yang berpusat pada guru menurunkan strategi pembelajaran
langsung, pembelajaran deduktif atau pembelajaran ekspositori sedangkan
pembelajaran yang berpusat pada siswa menurunkan strategi pembelajaran
discovery dan inkuiri serta strategi pembelajaran induktif (Sanjaya, 2011: 127).
Pembelajaran yang berpusat pada siswa, pemahaman konteks siswa menjadi
bagian yang sangat penting, karena dari sinilah seluruh rancangan proses
pembelajaran dimulai (Uno dan Mohamad, 2011: 106).
Pendekatan Problem Based Learning atau pembelajaran berbasis masalah
merupakan pembelajaran yang diawali dengan suatu permasalahan. Pembelajaran
16
berdasarkan masalah adalah pendekatan pembelajaran yang menggunakan
masalah autentik sebagai sumber belajar, sehingga peserta didik dilatih berpikir
tingkat tinggi dan mengembangkan kepribadian lewat masalah dalam kehidupan
sehari-hari (Uno dan Mohammad, 2011: 112). Duch berpendapat bahwa PBL
adalah pengajaran yang bercirikan adanya permasalahan nyata sebagai konteks
untuk para peserta didik belajar berpikir kritis dan keterampilan memecahkan
masalah serta memperoleh pengetahuan (Shoimin, 2014: 130). Menurut Dewey
belajar berdasarkan masalah adalah hubungan dua arah stimulus dan respon, yaitu
belajar dan lingkungan (Uno dan Mohamad, 2011: 112).
Pembelajaran dengan PBL, fokus pembelajarannya ada pada masalah yang
dipilih sehingga peserta didik tidak saja mempelajari konsep, tetapi juga
mempelajari atau mencari model untuk memecahkan masalah tersebut.
Pembelajaran berbasis masalah merangsang siswa tentang cara berpikir kritis dan
keterampialn pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan
konsep yang esensial dari materi pelajaran (Kunandar, 2010: 354). Selain itu,
pembelajaran berbasis masalah memiliki gagasan bahwa tujuan pembelajaran
dapat dicapai jika kegiatan pendidikan dipusatkan pada tugas-tugas atau
permasalahan yang otentik, relevan dan dipresentasikan dalam suatu konteks.
Terdapat tiga ciri utama pembelajaran berbasis masalah menurut Hamruni
(2009: 151) yaitu adanya rangkaian aktivitas pembelajaran, aktivitas pembelajaran
diarahkan untuk menyelesaikan masalah, dan pemecahan masalah dilakukan
dengan menggunakan berpikir secara ilmiah. Senada dengan pendapat Hamruni,
Uno dan Mohamad (2011: 112) menyatakan ciri utama pembelajaran berbasis
masalah yaitu mengorientasikan siswa pada masalah autentik, berfokus pada
17
keterkaitan antara disiplin lainnya, penyelidikan autentik dan menghasilkan
produk.
Langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan PBL menurut Arends
(2008: 57):
a. Guru memberikan orientasi tentang permasalahannya kepada siswa
(memotivasi siswa terlibat dalam kegiatan mengatasi masalah).
b. Guru mengorganisasikan siswa untuk meneliti.
c. Guru membantu investigasi mandiri dan kelompok (mendorong siswa untuk
mengumpulkan informasi, melaksanakan eksperimen, mencari penjelasan
serta solusi).
d. Guru membantu siswa mengembangkan dan mempresentasikan artefak dan
exhibit (membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan artefak-
artefak yang tepat seperti laporan, rekaman video, dan model-model, serta
membantu mereka untuk menyampaikan kepada orang lain).
e. Menganalisis dan mengevaluasi proses mengatasi masalah (membantu siswa
untuk melakukan refleksi terhadap investigasinya dan proses-proses yang
mereka gunakan).
Kelebihan dan kelemahan pembelajaran berbasis masalah (Sanjaya, 2009:
220-221), yaitu :
a. Kelebihan
1) Menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk
menemukan pengetahuan baru bagi siswa.
2) Meningkatkan motivasi dan aktivitas pembelajaran siswa.
3) Membantu siswa dalam mentransfer pengetahuannya untuk memahami
masalah dunia nyata.
18
4) Membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan
bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan. Disamping
itu, pembelajaran berbasis masalah dapat mendorong siswa untuk
melakukan evaluasi sendiri baik terhadap hasil maupun proses belajarnya.
5) Mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan
mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan
pengetahuan baru.
6) Memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan
yang mereka miliki dalam dunia nyata.
7) Mengembangkan minat siswa untuk secara terus menerus belajar sekalipun
belajar pada pendidikan formal telah berakhir.
8) Memudahkan siswa dalam menguasai konsep-konsep yang dipelajari guna
memecahkan masalah dunia nyata.
b. Kelemahan
1) Manakala siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan
bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan
merasa enggan untuk mencobanya.
2) Sebagian siswa beranggapan bahwa tanpa pemahaman mengenai materi
yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah, mereka enggan berusaha
untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka akan
belajar apa yang mereka ingin pelajari.
Berdasarkan uraian di atas, pembelajaran matematika dengan pendekatan
PBL dalam penelitian ini adalah pembelajaran matematika dengan metode diskusi
dan diawali dengan memberikan suatu permasalah matematika yang harus
19
diselesaikan untuk mendapatkan pengetahuan. Adapun langkah-langkah
pembelajaran PBL sebagai berikut.
a. Pengorganisasian belajar kelompok
b. Pemberian masalah
c. Berpikir bersama
d. Menjawab dan mempresentasikan hasil diskusi
e. Menganalisis dan mengevaluasi
.
4. Model Pembelajaran Konvesional
Pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang selama ini sering
digunakan guru dalam proses pembelajaran. Model pembelajaran konvensional
merupakan model yang digunakan guru dalam pembelajaran sehari-hari dengan
menggunakan model yang bersifat umum, bahkan tanpa menyesuaikan model
yang tepat berdasarkan sifat dan karakteristik dari materi pembelajaran yang
dipelajari.
Pembelajaran konvensioanal adalah salah satu model pembelajaran yang
berpusat pada guru. Sanjaya (2006: 259) menyatakan bahwa pada pembelajaran
konvensional, siswa ditempatkan sebagai obyek belajar yang berperan sebagai
penerima informasi secara pasif. Menurut Djamarah (Isjoni dan Ismail, 2008:
158) model pembelajaran konvensional atau disebut juga model ceramah adalah
model yang digunakan sebagai alat komunikasi lisan antara guru dengan siswa
dalam prosesbelajar mengajar yang ditandai dengan ceramah yang diiringi dengan
penjelasan serta pembagian tugas dan latihan.
20
Model pembelajaran konvensional yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
model pembelajaran yang biasa digunakan guru bidang studi Matematika SMP N
4 Kalasan. Guru biasanya menyampaikan materi dengan ceramah dan diselingi
tanya jawab. Pembelajaran diawali dengan guru memberikan penjelasan tentang
materi pelajaran kepada siswa, mulai dari definisi sampai contoh soal yang
kemudian dikerjakan guru bersama siswa, kemudian siswa diberikan kesempatan
untuk bertanya jika ada materi yang belum jelas.
5. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together (NHT)
Pembelajaran kooperatif dikembangkan dari teori belajar konstruktivisme
yang lahir dari gagasan Piaget dan Vygotsky (Majid, 2013: 173). Pembelajaran
kooperatif adalah rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa dalam
kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah
dirumuskan (Hamruni, 2009: 161). Pembelajaran kooperatif merupakan model
pembelajaran yang mengutamakan kerja sama di antara siswa untuk mencapai
tujuan pembelajaran (Yamin dan Ansari, 2012: 74). Guru dalam pembelajaran
kooperatif berperan sebagai fasilitator yang berfungsi sebagai jembatan
penghubung kearah pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri
(Majid, 2013: 173).
Salah satu tipe dalam model pembelajaran kooperatif adalah model
pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT). Model
pembelajaran kooperaif tipe NHT adalah suatu strategi model pembelajaran
kooperatif yang menggunakan angka yang diletakkan diatas kepala dengan tujuan
untuk memudahkan guru dalam mengeksplor aktivitas peserta didik dalam
21
mencari, mengolah dan melaporkan informasi dan berbagai sumber yang akhirnya
dipresentasikan di depan kelas. Pembelajaran kooperatif tipe NHT dikembangkan
oleh Spancer Kagen pada tahun 1993 (Daryanto dan Rahardjo, 2012: 245). NHT
dikembangkan oleh Spancer Kagen untuk melibatkan lebih banyak siswa dalam
menelaah materi yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman
mereka terhadap isi pelajaran tersebut (Majid, 2013: 192). NHT merupakan suatu
model pembelajaran berkelompok yang setiap anggota kelompoknya bertanggung
jawab atas tugas kelompoknya, sehingga tidak ada pemisahan antara siswa yang
satu dengan siswa yang lain dalam satu kelompok untuk saling memberi dan
menerima antara satu dengan yang lainnya (Shoimin, 2014: 108).
Ibrahim mengemukakan tiga tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran
kooperatif dengan tipe NHT (2000: 2), yaitu :
a. Hasil belajar akademik struktural
b. Bertujuan untuk meningkatkan kinerja peserta didik dalam tugas-tugas
akademik.
c. Pengakuan adanya keragaman
d. Bertujuan agar peserta didik dapat menerima teman-temannya yang
mempunyai berbagai latar belakang.
e. Pengembangan keterampilan sosial
f. Bertujuan untuk mengembangkan keterampilan sosial peserta didik.
Keterampilan yang dimaksud antara lain, berbagi tugas, aktif bertanya,
menghargai pendapat orang lain, mau menjelaskan ide atau pendapat, bekerja
dalam kelompok, dan sebagainya.
22
Penerapan pembelajaran kooperatif tipe NHT merujuk pada konsep Kagen
dalam Ibrahim (2000: 28), dengan tiga langkah yaitu:
a. Pembentukan kelompok
b. Diskusi masalah
c. Tukar jawaban antar kelompok
Menurut Abdul Majid (2013: 192) dalam pembelajaran tipe NHT ini, guru
menggunakan struktur 4 langkah sebagai berikut:
a. Langkah 1: penomoran
Guru membagi siswa ke dalam kelompok yang beranggotakan 3-5 orang, dan
kepada setiap anggota kelompok diberi nomor antara 1-5.
b. Langkah 2: Mengajukan pertanyaan
Guru mengajukan sebuah pertanyaan kepada siswa.
c. Langkah 3: Berpikir bersama
Siswa menyatukan pendapatnya terhadap jawaban pertanyaan dan
meyakinkan tiap anggota dalam timnya mengetahui jawaban tersebut.
d. Langkah 4: Menjawab
Guru memanggil suatu nomor tertentu, kemudian siswa yang nomornya
sesuai harus mengacungkan tangan dan mencoba menjawab pertanyaan untuk
seluruh kelas..
Kelebihan dan kekurangan dari model pembelajaran kooperatif tipe
Numbered Heads Togather (Shoimin2014: 108):
a. Kelebihan
1) Setiap murid menjadi siap
2) Dapat melakukan diskusi dengan sungguh-sungguh
23
3) Murid yang pandai dapat mengajari murid yang kurang pandai
4) Terjadi interaksi secara intens antarsiswa dalam menjawab soal
5) Tidak ada murid yang mendominasi dalam kelompok karena ada nomor
yang membatasi
b. Kekurangan
1) Tidak terlalu cocok diterapkan dalam jumlah siswa banyak karena
membutuhkan waktu yang lama
2) Tidak semua anggota kelompok dipanggil oleh guru karena kemungkinan
waktu yang terbatas
Berdasarkan uraian diatas, model kooperatif tipe NHT mengandung unsur-
unsur pembentukan kelompok, diskusi, presentasi, dan saling menanggapi. Selain
itu, pada model pembelajaran tipe ini cocok untuk mengevaluasi siswa mengenai
pelajaran yang telah dipelajari.
6. Pendekatan Problem Based Learning (PBL) dengan Model Pembelajaran
Kooperatif Tipe Numbered Heads Together (NHT)
Menurut Trianto (2010: 51) model pembelajaran merupakan suatu
perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam
merencanakan pembelajaran di kelas. Model pembelajaran mengacu pada
pendekatan pembelajaran yang akan digunakan (Trianto, 2010: 51). Senada
dengan hal tersebut, Majid (2013: 20) menerangkan bahwa model pembelajaran
meliputi pendekatan, strategi, metode serta tehnik dan taktik yang digunakan
dalam pembelajaran.
24
Model pembelajaran pada penelitian ini menggunakan pendekatan PBL dan
kooperatif, sedangkan metode yang digunakan adalah metode NHT. Langkah-
langkah dari penerapan model pembelajaran tersebut adalah sebagai berikut.
a. Pengorganisasian belajar kelompok sesuai penomoran
Pada tahap ini guru membagi siswa kedalam beberapa kelompok dengan
anggota 3-5 orang dan diberi nomor tiap anggotanya.
b. Pemberian masalah
Pada tahap ini guru membagikan LKS pada setiap anggota kelompok, dimana
LKS tersebut berisikan masalah-masalah untuk diselesaikan.
c. Berpikir bersama
Pada tahap ini guru meminta siswa untuk saling berdiskusi atas masalah yang
ada pada LKS dan memberi penegasan bahwa setiap anggota kelompok harus
mengetahui dan paham jawaban dari kelompoknya.
d. Menjawab dan mempresentasikan hasil diskusi
Pada tahap ini guru memanggil salah satu nomor tertentu untuk
mempresentasikan hasil diskusi terhadap suatu masalah dan meminta siswa
yang lain menanggapi jawaban dari temannya.
a. Menganalisis dan mengevaluasi
Pada tahap ini guru menganalisis dan mengevaluasi proses mengatasi
masalah serta memberikan kesimpulan dari pembelajaran tersebut.
7. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika
Secara sederhana masalah adalah kesenjangan antara kenyataan dan tujuan
yang ingin dicapai (Sudjana, 2001: 61). Masalah merupakan bagian dari
kehidupan manusia baik bersumber dari dalam diri maupun lingkungan sekitar
25
(Hartono, 2014: 1). Dalam dunia pendidikan khususnya pada pembelajaran
matematika, tidak semua soal matematika dapat dikatakan suatu masalah
matenatika. Menurut Shadiq (2014: 104), suatu soal akan menjadi masalah hanya
jika soal itu menunjukkan adanya suatu tantangan yang tidak dapat dipecahkan
oleh suatu prosedur rutin yang sudah diketahui si pelaku. Senada dengan hal
tersebut, Lencher mendeskripsikan masalah matematika sebagai soal matematika
yangstrategi penyelesaiannya tidak langsung terlihat, sehingga dalam
penyelesaiannya memerlukan pengetahuan, ketrampilan, dan pemahaman yang
telah dipelajari sebelumnya (Hartono, 2014: 2). Adanya permasalahan tersebut,
secara tidak langsung menjadikan pemecahan masalah sebagai aktivitas dasar
manusia untuk dapat bertahan hidup. Oleh karena itu, setiap orang diharapkan
mampu berperan sebagai pemecah masalah yang handal untuk dapat
mempertahankan kehidupannya.
Menurut Hartono (2014: 3) pemecahan masalah merupakan bagian dari
kurikulum matematika yang sangat penting, karena siswa akan memperoleh
pengalaman dalam menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang dimiliki
untuk menyelesaikan soal yang tidak rutin. Senada dengan pendapat tersebut
Lencher mendefinisikan pemecahan masalah matematika sebagai proses
menerapkan pengetahuan matematika yang telah diperoleh sebelumnya kedalam
situasi baru yang belum dikenal (Hartono, 2014: 3).
Proses pemecahan masalah matematika merupakan salah satu kemampuan
dasar matematika yang harus dikuasai siswa sekolah menengah. Menurut Branca
pemecahan masalah matematika merupakan salah satu tujuan penting dalam
pembelajaran matematika bahkan proses pemecahan masalah matematika
26
merupakan jantungnya matematika (Hendriana dan Soemarmo, 2014: 23). Selain
itu, Cooney mengemukakan bahwa memiliki kemampuan pemecahan masalah
membantu siswa berpikir analitik dalam mengambil keputusan dalam kehidupan
sehari-hari dan membantu meningkatkan kemampuan berpikir kritis dalam
menghadapi situasi baru (Hendriana dan Soemarmo, 2014: 23).
Menurut Polya (Hartono, 2014: 3) untuk menyelesaikan soal pemecahan
masalah terdapat empat tahapan penting yang harus ditempuh siswa dalam
memecahkan masalah, yakni memahami masalah, menyusun rencana
penyelesaian, melaksanakan rencana penyelesaian, dan memeriksa kembali.
Senada dengan Polya, menurut Depdiknas (2004) empat langkah penting yang
harus dilakukan yaitu:
a. Memahami masalahnya
Menentukan dengan tepat apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan
b. Merencanakan cara penyelesaian.
Menentukan apa yang harus dilakukan untuk memecahkan suatu masalah.
c. Melaksanakan rencana
Melakukan apa yang telah direncanakan.
d. Menafsirkan hasilnya
Menyimpulkan hasil dari pelaksanaan rencana.
Dalam penelitian ini, keempat tahapan pemecahan masalah diatas
didefinisikan sebagai berikut
a. Memahami masalah
Pada langkah ini, siswa harus dapat menentukan apa yang diketahui dan apa
yang ditanyakan dalam masalah atau soal yang diberikan.
27
b. Menyusun rencana penyelesaiaan
Pada langkah ini, siswa dituntut untuk dapat mengaitkan masalah dengan
materi yang telah diperoleh siswa, sehingga dapat ditentukan rencana yang
tepat untuk meyelesaikan masalah tersebut.
c. Melaksanakan rencana penyelesaian
Pada langkah ini, siswa harus dapat melaksanakan rencana penyelesaian
maslaah (proses perhitungan) yang dibuat pada tahapan sebelumnya.
d. Menafsirkan solusi yang diperoleh
Pada langkah ini, siswa harus dapat memberikan kesimpulan dari hasil
penyelesaian rencana sesuai dengan apa yang ditanyakan pada soal.
Berdasarkan uraian tahapan pemecahan masalah, indikator kemampuan
pemecahan masalah matematika pada penelitian ini adalah:
a. Menyebutkan informasi-informasi yang diberikan dari pertanyaan yang
diajukan
b. Menuliskan rencana pemecahan masalah yang akan digunakan
c. Memecahkan masalah dengan menerapkan rencana dengan hasil yang benar
d. Menafsirkan solusi yang diperoleh dengan menyimpulkan hasil proses tahap
ketiga sesuai dengan yang ditanyakan pada soal.
8. Self Confidence
Oxfrod Advanced Learner’s Dictionary mendefinisikan kepercayaan diri
sebagai percaya pada kemampuan diri sendiri untuk melakukan sesuatu dan
berhasil (Rahayu, 2013: 62). Goleman berpendapat bahwa kepercayaan diri adalah
kesadaran yang kuat tentang harga dan kemampuan diri sendiri (Rahayu, 2013:
62-63). Menurut Taylor rasa percaya diri adalah keyakinan seseorang akan
28
kemampuan yang dimiliki untuk menampilkan perilaku tertentu atau untuk
mencapai target tertentu (Wahyuni, 2014:54). Taylor dkk mengatakan bahwa
orang yang percaya diri memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri (Siska
dkk, 2003: 69). Menurut Lauster rasa percaya diri bukan merupakan sifat yang
diturunkan (bawaan) melainkan diperoleh dari pengalaman hidup, serta dapat
diajarkan dan ditanamkan melalui pendidikan, sehingga upaya-upaya tertentu
dapat dilakukan guna membentuk dan meningkatkan rasa percaya diri (Siska dkk,
2003: 69). Dengan demikian, kepercayaan diri seseorang dapat dibentuk dan
dikembangkan melalui proses belajar di dalam interaksi seseorang dengan
lingkungannya.
Self confidence atau kepercayaan diri dalam kehidupan sehari-hari merupakan
hal penting yang harus dimiliki setiap orang untuk menapaki roda kehidupan,
sebab dengan self confidence yang baik seseorang dapat mengambil keputusan
dalam penyelesaian masalah, begitu pula pada siswa dapat menjadi dorongan
untuk menyampaikan pendapatnya dengan percaya diri dalam forum diskusi saat
pembelajaran maupun saat mengerjakan soal individu. Menurut Jurdak (Mahrita,
2011: 5) pembentuk utama dari kepercayaan diri siswa dalam pembelajaran
matematika adalah interaksi siswa dan guru juga siswa dengan sesama siswa.
Guru dan metode pembelajaran yang diterapkannya di kelas akan berpengaruh
langsung pada kepercayaan diri siswa, saat siswa dihadapkan pada situasi yang
menantang dan perasaan yang menyenangkan maka kepercayaan diri siswa pun
akan meningkat (Mahrita, 2011: 5). Menurut Lauster (Wijaya, 2014: 32), ciri-ciri
orang yang mempunyai self confidence adalah sebagai berikut.
29
a. Percaya pada kemamapuan sendiri
Apabila orang yang percaya diri telah meyakini kemampuan dirinya dan
sanggup untuk mengembangkan, rasa percaya diri akan timbul bila seseorang
melakukan kegitan yang bisa dia lakukan. Artinya keyakinan dan rasa
percaya diri itu timbul pada saat seseorang mengerjakan sesuatu dengan
kemampuan yang ada pada dirinya.
b. Bertindak mandiri dalam mengambil keputusan
Dapat bertindak dalam mengambil keputusan terhadap diri yang dilakukan
secara mandiri atau tanpa adanya keterlibatan orang lain, dan mampu untuk
meyakini tindakan yang di ambil. Indvidu terbiasa menentukan sendiri tujuan
yang bisa dicapai, tidak selalu harus bergantung pada orang lain untuk
menyelesaikan masalah yang ia hadapi. Serta mempunyai banyak energi dan
semangat karena mempunyai motivasi yang tinggi untuk bertindak mandiri
dalam mengambil keputusan seperti yang ia inginkan dan butuhkan.
c. Memiliki rasa positif terhadap diri sendiri
Adanya penilaian yang baik dari dalam diri sendiri, baik dari padangan
maupun tindakan yang dilakukan menimbulkan rasa positif terhadap diri
sendiri. Sikap menerima apa adanya itu, akhirnya dapat tumbuh berkembang
sehingga orang percaya diri dan dapat menghargai orang lain dengan segala
kekurangan dan kelebihan. Seseorang yang memiliki kepercayaan diri, jika
mendapat kegagalan biasanya mereka tetap dapat meninjau kembali sisi
positif dari kegagalan itu. Setiap orang pasti pernah mengalami kegagalan
30
baik kebutuhan, harapan dan cita-cita. Untuk menyikapi kegaalan dengan
bijak diperlukan sebuah keteguhan hati dan semangat untuk bersikap positif.
d. Berani mengungkapkan pendapat
Adanya suatu sikap untuk mampu mengutarakan sesuatu dalam diri, yang
ingin diungkapkan kepada orang lain tanpa adanya paksaan atau rasa yang
dapat menghambat pengungkapan tersebut. Individu dapat berbicara di depan
umum tanpa adanya rasa takut, berbicara dengan memakai nalar dan secara
fasih, dapat berbincang-bincang dengan orang dari segala usia dan segala
jenis latar belakang. Serta menyatakan kebutuhan secara langsung, terbuka,
berani mengeluh jika merasa tidak nyaman dan dapat berkampanye di depan
orang banyak.
Berdasarkan uraian di atas, maka indikator self confidence siswa yang akan
diukur dalam penelitian ini adalah indikator menurut Lauster yaitu percaya pada
kemampuan diri sendiri, bertindak mandiri dalam mengambil keputusan, memiliki
rasa positif terhadap diri sendiri, dan berani mengugkapkan pendapat.
9. Materi Perbandingan
Perbandingan menjadi salah satu materi pelajaran matematika yang diajarkan
di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Berdasarkan Permendikbud Nomor 58
Tahun 2014 tentang Kurikulum SMP, materi perbandingan diajarkan di kelas VIII
pada semester kedua. Kompetensi Inti (KI) dan kompetensi Dasar (KD) dari
materi perbandingan sesuai dengan yang dikembangkan dalam Kurikulum 2013
disajikan dalam Tabel 2.1 (Depdiknas, 2013: 46).
31
Tabel 2.1. KI dan KD Materi Perbandingan Kurikulum 2013
Kompetensi Inti Kompetensi Dasar
3. Memahami pengetahuan
(faktual, konseptual, dan
prosedural) berdasarkan rasa
ingin tahunya tentang ilmu
pengetahuan, teknologi, seni,
budaya terkait fenomena dan
kejadian tampak mata.
3.12 Memahami konsep
perbandingan dengan
menggunakan tabel, grafik,
dan persamaan
4. Mencoba, mengolah, dan
menyaji dalam ranah konkret
(menggunakan, mengurai,
merangkai, memodifikasi, dan
membuat) dan ranah abstrak
(menulis, membaca,
menghitung, menggambar, dan
mengarang) sesuai dengan yang
dipelajari di sekolah dan sumber
lain yang sama dalam sudut
pandang/teori
4.2 Menggunakan konsep
perbandingan untuk
menyelesaikan masalah
nyata dengan menggunakan
tabel, grafik, dan persamaan
4.4 Menyelesaikan
permasalahan dengan
menaksir besaran yang
tidak diketahui
menggunakan grafik,
aljabar, dan aritmatika
Pada implementasi Kurikulum 2013 telah disediakan pula buku induk yang
digunakan sebagai acuan utama dalam pembelajaran. Buku induk yang disusun
oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, terdapat tujuan bagi siswa yang
diharapkan melalui proses pembelajaran perbandingan. Tujuan tersebut adalah
sebagai berikut.
a. Memiliki rasa ingin tahu, percaya diri, dan ketertarikan pada matematika serta
memiliki rasa percaya pada daya dan keguanaan matematika, yang terbentuk
melalui pengalaman belajar
b. Memahami konsep perbandingan dan menggunakan bahasa perbandingan
dalam mendeskripsikan hubungan dua besaran
c. Menggunakan konsep perbandingan untuk menyelesaikan masalah nyata
dengan menggunakan tabel dan grafik.
32
Secara garis besar materi perbandingan yang dikembangkan Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan pada silabus matematika SMP (Permendikbud No.
58 Tahun 2014) adalah sebagai berikut.
a. Bentuk perbandingan atau proporsi
1) Perbandingan adalah hubungan antara ukuran-ukuran atau nilai-nilai dua
atau lebih objek dalam satu kumpulan.
2) Rasio adalah suatu bilangan yang digunakan untuk menyatakan sebuah
perbandingan ukuran atau nilai dari dua atau lebih objek.
b. Perbandingan senilai dan berbalik nilai
Perbandingan senilai adalah perbandingan dari dua atau lebih besaran dimana
suatu variabel bertambah , maka variabel yang lain bertambah pula atau disebut
juga dengan perbandingan yang memiliki nilai yang sama.
Dua besaran a dan b dikatakan memiliki perbandingan senilai jika a bertambah
(naik), maka b juga bertambah (naik) dengan perbandingan sama.
Rumus =
Perbandingan berbalik nilai adalah perbandingan dari dua atau lebih besaran
dimana suatu variabel bertambah , maka variabel yang lain berkurang atau
turun nilainya.
Perbandingan berbalik nilai
Dua besaran a dan b dikatakan memiliki perbandingan berbalik nilai jika a
bertambah (naik), maka b berkurang (turun) atau sebaliknya
Rumus =
33
c. Menyelesaikan perbandingan ke dalam bentuk nilai perbandingan bulat paling
sederhana
d. Nilai perbandingan/proporsi kuantitas benda dengan kuantitas benda dalam
suatu kumpulan benda
e. Nilai perbandingan yang bersifat seharga/linear atau berbalik nilai/tidak senlai
dari dua besaran yang memiliki hubungan fungsional dan disajikan dalam
bentuk tabel, grafik dan persamaan
f. Nilai perbandingan, kuantitas benda tertentu, ataupun kuantitas keseluruhan
benda, termasuk penerapannya di bidang aritmetika sosial, pengukuran
(geometri, sains) dan masalah lainnya berkaitan dengan perbandingan.
g. Perbandingan dalam menyelesaikan masalah matematika atau masalah sehari-
hari
h. Nilai suatu perbandingan berdasarkan tabel, grafik, dan persamaan
i. Menentukan besaran yang tidak diketahui berdasarkan tabel, grafik, dan
aritmatika
B. Penelitian Relevan
Ada beberapa penelitian yang relevan yang nantinya akan dijadikan referensi
dan berguna untuk menghindari terjadinya pengulangan penelitian dengan pokok
permasalahan yang sama. Adapun penelitian yang relevan tersebut yaitu
penelitian yang dilakukan oleh Kartika Nurfarida, di SMP Negeri 15 Yogyakarta
pada Tahun Ajaran 2010/2011. Hasil dari penelitian tersebut menunjukan bahwa
hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran kooperatif tipe NHT dengan
34
pendekatan PBL lebih tinggi dibanding siswa yang mengikuti pembelajaran
konvensional.
Selanjutnya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Ferry Pietersz dan Horasdia
Saragih, di SMP Negeri 1 Cisarua. Hasil dari penelitian tersebut menunjukan
bahwa pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap peningkatan pencapaian matematika siswa.
Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Shinta Sari, Sri Elniati, dan
Ahmad Fauzan, di SMP N 1 Padang pada tahun ajaran 2013/2014. Hasil dari
penelitian menunjukan bahwa peningkatan kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa dalam pembelajaran dengan Pendekatan Pembelajaran Berbasis
Masalah lebih tinggi dari pada peningkatan kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa dalam pembelajaran dengan model konvensional.
Berdasarkan penelaahan penelitian yang relevan, peneliti memilih
pembelajaran dengan pendekatan PBL disertai NHT terhadap peningkatan
kemampuan pemecahan masalah matematika dan self confidence.
Tabel 2.2. Penelitian yang Relevan
Nama Peneliti
Pendekatan
Pembelajaran
berbasis masalah
Model
kooperatif
tipe NHT
Kemampuan
pemecahan
masalah
Self
confidence
Kartika
Nurfarida
√ √
Ferry Pietersz
dan Horasdia
Saragih
√
Shinta Sari, Sri
Elniati,
Ahmad Fauzan
√ √
Unik Fitriana √ √ √ √
35
C. Kerangka Berpikir
Berdasarkan Permendiknas No. 24 Tahun 2016, kemampuan pemecahan
masalah matematika merupakan tujuan pembelajaran matematika. Kemampuan
pemecahan masalah matematika adalah kemampuan siswa dalam memahami
masalah, memilih rencana pemecahan masalah, melaksanakan rencana dan
menafsirkan solusi yang diperoleh. Pada hakikatnya, kemampuan pemecahan
masalah matematika sangat berkaitan dengan dunia nyata, untuk itu kemampuan
pemecahan masalah matematika memegang peranan penting, karena selain
sebagai tuntutan pembelajaran matematika, kemampuan tersebut juga bermanfaat
bagi siswa dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, guru dituntut untuk
memahami peranan matematika dalam kehidupan nyata dan menggunakannya
dalam menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan konteks kehidupan
sehari-hari. Namun, pentingnya kemampuan pemecahan masalah matematika
tidak diimbangi dengan kemampuan pemecahan masalah matematika disekolah.
Hal ini ditunjukan dari hasil studi pendahuluan bahwa rata-rata skor kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa SMP N 4 Kalasan adalah 19 dari skor
maksimal 40 sehingga masih perlu difasilitasi.
Berdasarkan Permendiknas No. 24 Tahun 2016, terdapat tujuan yaitu percaya
diri dalam pemecahan masalah. Hal ini termasuk kepercayaan atas
kemampuannya menghadapi lingkungan yang semakin menantang dan
kepercayaan atas keputusan atau pendapatnya. Kepercayaan diri adalah unsur
penting dalam menjalani kehidupan sehari-hari dan dalam meraih kesuksesan.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan dengan wawancara terhadap
36
guru dan observasi pembelajaran di kelas siswa SMP N 4 Kalasan, self confidence
masih kurang dan perlu difasilitasi.
Berdasarkan penelaahan beberapa penelitian, Problem Based Learning (PBL)
merupakan pembelajaran yang fokusnya ada pada masalah yang dipilih sehingga
peserta didik tidak hanya mempelajari konsep, tetapi juga mempelajari/mencari
metode untuk memecahkan masalah tersebut. Oleh karena itu, penerapan
pembelajaran dengan pendekatan Problem Based Learning (PBL) dianggap
mampu memfasilitasi kemampuan pemecahan masalah matematika.
Berdasarkan penelaahan beberapa penelitian pula, model pembelajaran
kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) merupakan pembelajaran yang
menuntut siswa untuk mempelajari lebih dalam materi karena guru akan
memanggil salah seorang dari kelompok secara acak untuk maju dan harus siap
menjawab pertanyaan dari guru dan menjelaskan hasil diskusi kelompok mereka.
Dengan demikian, kepercayaan diri dalam siswa akan tumbuh karena siswa dilatih
untuk berbicara didepan banyak orang. Selain itu, model ini juga diterapkan untuk
mengevaluasi siswa setelah pembelajaran, disini dapat pula digunakan untuk
mengukur kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Oleh karena itu,
pembelajaran kelas dengan menggunakan pendekatan Problem Based Learning
(PBL) dengan model kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT)
diharapkan mampu memfasilitasi kemampuan pemecahan masalah dan self
confidence siswa yang saat ini dinilai masih perlu difasilitasi. Untuk lebih
jelasnya, kerangka berpikir penelitian disajikan dalam bagan berikut ini.
37
Gambar 2.1. Bagan Kerangka Berpikir
D. Hipotesis
1. Penerapan pembelajaran Pendekatan Problem Based Learning (PBL)
dengan model Kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT)
memberikaan pengaruh lebih baik terhadap Peningkatan Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematika siswa.
2. Penerapan pembelajaran Pendekatan Problem Based Learning (PBL)
dengan model Kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT)
memberikaan pengaruh lebih baik terhadap Peningkatan Self Confidence
siswa.
38
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian semu (Quasi
Experiment). Eksperimen semu dipilih karena peneliti tidak dapat mengontrol
semua variabel secara utuh seperti yang dilakukan pada penelitian murni (True
Experiment). Desain penelitian ini merupakan Non-equivalent Control Group
Design. Desain ini hampir sama dengan Pretest-Posttest Control Group Design.
Hanya saja pada penelitian ini kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol
tidak dipilih secara random (Sugiyono, 2012: 116). Berikut adalah tabel ilustrasi
desain penelitian yag akan dilaksanakan.
Tabel 3.1. Desain Penelitian
Kelas Pretest Treatment Posttest
Eksperimen 1 O1 X1 O2
Eksperimen 2 O1 X2 O2
Kontrol O1 - O2
Keterangan :
O1 : Pretest (tes awal pemecahan masalah matematika)
O2 : Posttest (tes akhir pemecahan masalah matematika)
X1 : Pembelajaran dengan pendekatan PBL
X2 : Pembelajaran dengan pendekatan PBL dengan NHT
Variabel pada penelitian ini yakni variabel bebas, variabel terikat, dan
variable kontrol.
1. Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab
perubahannya atau timbulnya variabel dependen atau terikat. Variable bebas
pada penelitian ini adalah pendekatan PBL, model kooperatif tipe NHT.
39
2. Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat
karena adanya variabel bebas. Variable terikat pada penelitian ini adalah
kemampuan pemecahan masalah dan self confidence.
3. Variabel kontrol adalah variabel yang dikendalikan atau dibuat konstan
sehingga hubungan variabel bebas terhadap terikat tidak dipengaruhi oleh
faktor luar. Variable kontrol pada penelitian ini diantaranya, guru matematika
di kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah guru yang sama. Jumlah jam
pelajaran yang dilakukan di kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah sama.
Materi pembelajaran matematika yang diberikan di kelas eksperimen dan
kelas kontrol adalah sama.
B. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 4 Kalasan pada semester genap
tahun ajaran 2016/2017 dan berlangsung mulai tanggal 4 Januari 2017 sampai 6
Juni 2017. Adapun rincian waktu pertemuan untuk kelas eksperimen dan kelas
kontrol disajikan sebagai berikut
Tabel 3.2 Jadwal Pelaksanaan Pembelajaran
Pertemuan Kelas Tanggal Materi
Pretest dan
Prescale
(2 JP)
VIII B 8 April 2017
Pretest dan Prescale
VIII C
VIII D 10 April 2017
Pertemuan
1 (2 JP)
VIII B 5 Mei 2017 Mengamati table dan grafik, untuk
menemukan persamaan
perbandingan senilai VIII C 6 Mei 2017
VIII D 8 Mei 2017
Pertemuan
2 (3 JP)
VIII B 6 Mei 2017 Menyelesaikan permasalahan dengan
konsep persamaan perbandingan
senilai VIII C
10 Mei 2017 VIII D
Pertemuan
3 (2 JP)
VIII B 12 Mei 2017 Mengamati table dan grafik, untuk
menemukan persamaan
perbandingan berbalik nilai VIII C 13 Mei 2017
VIII D 15 Mei 2017
Pertemuan
4 (3 JP)
VIII B 13 Mei 2017 Menyelesaikan permasalahan dengan
konsep persamaan perbandingan VIII C 17 Mei 2017
40
Pertemuan Kelas Tanggal Materi
VIII D berbalik nilai
Posttest dan
Postscale
VIII B 18 Mei 2017 Posttest dan Postscale
VIII C 19 Mei 2017
VIII D 20 Mei 2017
C. Populasi dan Sampel
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas subyek atau obyek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan ditarik kesimpulan (Arikunto, 2010: 130). Pemilihan populasi yang
akan dilakukan yaitu dengan memilih sekolah yang dalam pembagian kelasnya
tidak berdasarkan ranking tiap siswa. Sampel adalah bagian dari jumlah dan
karateristik yang dimiliki populasi tersebut (Sugiyono, 2010: 62; Arikunto, 2010:
131). Oleh karena itu sampel yang diambil harus benar-benar representatif agar
kesimpulan yang diperoleh dapat digeneralisasikan terhadap populasi.
Penentuan sampel dari penelitian ini dicari kelas yang memiliki kondisi relatif
sama dari segi kemampuan matematika yang dilihat dari rata-rata nilainya.
Adapun populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII di SMP N 4
Kalasan dengan rincian seperti pada tabel berikut.
Tabel 3.3 Populasi penelitian
Kelas Banyak Siswa
VIII A 32
VIII B 32
VIII C 33
VIII D 29
Jumlah 126
Hasil uji kesemaan rata-rata menggunakan uji Anova Satu Jalan pada
software SPSS 16.0 terhadap data nilai PTS semester genap tahun ajaran 2016/
2017 memberikan kesimpulan bahwa seluruh kelas VIII memiliki rata-rata yang
41
sama secara signifikan (lampiran 1.2). Berdasarkan uji kesamaan rata-rata,
peneliti dapat menentukan sampel kelas dengan teknik random sampling . Sampel
diambil tiga kelas secara random dari empat kelas. Adapun sampel dalam
penelitian ini adalah kelas VIII D sebagai kelas eksperimen I, kelas VIII C
sebagai kelas eksperimen II, dan kelas VIII B sebagai kelas kontrol.
D. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti
dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya baik,
dalam arti lebih cermat, lengkap, dan sistematis sehingga lebih mudah diolah
(Arikunto, 2010: 203). Instrumen yang digunakan pada penelitian ini terbagi
menjadi instrumen pembelajaran, instrumen pengumpul data, dan lembar
observasi.
1. Instrumen pembelajaran
a. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Instrumen pembelajaran pada penelitian ini berupa RPP. Instrumen
pembelajaran disesuaikan dengan pembelajaran pada masing-masing kelas.
Instrumen pada kelas kontrol yaitu RPP menggunakan model konvensional,
instrumen pada kelas ekserimen I yaitu RPP menggunakan model konvensional
dengan pendekatan PBL, sedangkan instrumen pada kelas eksperimen II yaitu
RPP menggunakan pendekatan PBL dengan model NHT. Instrumen yang
digunakan akan melalui persetujuan dari guru kelas dan dosen pembimbing.
b. Lembar Kerja Siswa (LKS)
LKS yang digunakan dalam pembelajaran ini disesuaikan dengan
karakteristik model pembelajaran kooperatif tipe NHT agar dapat memandu
42
jalannya pembelajaran serta berisi masalah yang harus diselesaikan siswa. LKS
yang disusun terdiri dari LKS pegangan guru dan pegangan siswa.
2. Instrumen pengumpul data
a. Tes kemampuan pemecahan masalah
Tes kemampuan pemecahan masalah pada penelitian ini terdiri dari soal
pretest dan posttest. Soal pretest diberikan kepada siswa sebelum diberikan
perlakuan. Soal posttest diberikan kepada siswa setelah diberikan perlakuan.
Bentuk soal dalam tes kemampuan pemecahan masalah ini berupa soal uraian
berisikan masalah-masalah matematika sesuai dengan materi Aturan
Pencacahan.
Langkah-langkah penyusunan tes kemampuan pemecahan masalah
matematika adalah sebagai berikut:
1) Menentukan tujuan pengadaan tes
Langkah awal dalam mengembangkan instrumen tes adalah menetapkan
tujuannya. Tujuan ini penting ditetapkan sebelum tes dikembangkan karena
seperti apa dan bagaimana tes yang akan dikembangkan sangat bergantung
untuk tujuan apa tes tersebut digunakan. Tujuan tes kemampuan pemecahan
masalah yang berupa pretest dan posttest akan digunakan untuk mengetahui
peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika antara sebelum
dengan setelah diberikan perlakuan.
2) Mengadakan pembatasan terhadap bahan yang akan dijadikan tes
Bahan yang digunakan untuk penyusunan tes kemampuan pemecahan
masalah matematika adalah materi Aturan Pencacahan.
3) Membuat kisi-kisi tes
Kisi-kisi instrumen tes digunakan untuk mempermudah dalam penyusunan
soal tes kemampuan pemecahan masalah. Kisi-kisi tersebut memuat SK-
43
KD, indikator soal, indikator kemampuan pemecahan masalah, dan bentuk
soal yang dibuat dalam bentuk tabel.
4) Uji validitas tes kepada ahli
Uji validitas dilakukan oleh validator yang merupakan ahli dalam bidang
matematika. Validator terdiri dari 2 orang dosen dan 1 orang guru
matematika SMP.
5) Membuat pedoman penskoran tes
Pedoman penskoran digunakan untuk mempermudah dalam evaluasi hasil
pengerjaan tes kemampuan pemecahan masalah. Pedoman penskoran
memuat alternatif jawaban soal dan penskoran tiap langkah sesuai indikator
kemampuan pemecahan masalah.
b. Skala self-confidence
1) Untuk mendapatkan data mengenai self-confidence, digunakan lembar skala.
Skala dalam penelitian ini digunakan untuk mengumpulkan data dengan
daftar pertanyaan yang telah disiapkan. Jenis skala yang digunakan dalam
penelitian ini adalah skala tertutup yaitu skala yang menghendaki jawaban
pendek atau jawaban yang diberikan dengan membubuhkan tanda tertentu.
2) Pada setiap soal skala, peneliti memberikan soal yang telah disediakan
altenatif jawaban sehingga responden hanya mengisi dengan cara
membubuhkan tanda sesuai dengan jawaban yang cocok. Siswa sebagai
responden diberikan skala dan mengisi skala sesuai keadaan yang sesuai
atau paling mendekati dengan pilihannya tersebut.
3) Skala dalam penelitian ini juga melalui uji validitas. Uji validitas dilakukan
oleh validator yang merupakan ahli dalam bidang psikologi. Validator
terdiri dari 3 orang dosen dan 2 orang guru BK SMP.
44
3. Lembar observasi
Lembar observasi ini dibuat untuk memantau keterlaksanaan pembelajaran
yang berlangsung pada masing-masing kelas. Dalam instrumen ini akan dituliskan
catatan-catatan penting yang terjadi dalam penelitian, misalnya mengenai
ketidaksesuaian pembelajaran dengan RPP.
E. Prosedur Penelitian
Penelitian ini terbagi dalam tiga tahap kegiatan, yaitu tahap pra eksperimen,
tahap eskperimen, dan tahap pasca eksperimen. Penjelasan untuk masing-masing
tahapan kegiatan terpapar sebagai berikut.
1. Tahap pra eksperimen
a. Menyusun tema penelitian
Penyusunan tema diawali dengan update penelitian terbaru, studi pustaka, dan
diskusi dengan teman sebaya di bawah arahan oleh dosen pembimbing.
Kemudian dilanjutkan penyusunan abstrak yang merupakan gambaran
penelitian.
b. Studi lapangan
Studi lapangan meliputi kegiatan observasi sekolah, wawancara dengan guru
matematika dan siswa, observasi pembalajaran, observasi self confidence
siswa, serta studi pendahuluan menganai kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa.
c. Menyusun instrumen penelitian
Penyusunan instrumen penelitian dilakukan setelah menentukan pokok
bahasan yang diteliti. Dalam penelitian ini, materi yang dijadikan pokok
45
bahasan adalah materi perbandingan. Instrumen pembelajaran yang disusun
adalah RPP untuk kelas eksperimen dan kontrol serta LKS yang digunakan
sebagai penunjang pembelajaran pada kelas eksperimen, sedangkan
instrumen pengumpul data yang disusun berupa tes kemampuan pemecahan
masalah matematika dan skala self confidence.
d. Menentukan sampel dan populasi
Penentuan populasi disesuaikan dengan materi yang digunakan dalam
penelitian ini, sedangkan sampel dipilih secara acak dari populasi.
2. Tahap eksperimen
a. Pemberian pretest dan prescale
Pretest diberikan kepada kelas eksperimen dan kelas kontrol untuk
mengetahui kemampuan pemecahan masalah matematika siswa sebelum
diberikan perlakuan. Prescale diberikan kepada kelas eksperimen dan kelas
kontrol untuk mengetahui self confidence siswa sebelum diberikan perlakuan.
b. Pemberian perlakuan (proses pembelajaran)
Perlakuan diberikan kepada kelas eksperimen. Kelas eksperimen I diberikan
perlakuan pembelajaran dengan pendekatan PBL dengan model Kooperatif
tipe NHT, kelas eksperimen II diberikan perlakuan pembelajaran dengan
pendekatan PBL, dan kelas kontrol diberikan perlakuan pembelajaran
konvensional.
c. Pemberian posttest dan postscale
Posttest diberikan kepada kelas eksperimen dan kelas kontrol untuk
mengetahui kemampuan pemecahan masalah matematika siswa setelah
46
diberikan perlakuan. Postscale diberikan kepada kelas eksperimen dan kelas
kontrol untuk mengetahui self-confidence siswa setelah diberikan perlakuan.
3. Tahap pasca ekspeimen
a. Melakukan analisis data
Data yang diperoleh melalui pemberian instrumen penelitian dianalisis untuk
menjawab rumusan masalah.
b. Menyusun laporan hasil penelitian
Data yang sudah dianalisis kemudian diolah dan diintepresentasikan menjadi
laporan penelitian.
F. Teknik Analisis Instrumen
Teknik analisis instrumen pada penelitian ini terdiri dari valditas dan
reliabilitas.
1. Validitas
Suatu tes atau instrumen pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas
tinggi apabila alat pengukur tersebut menjalankan fungsi ukurannya, atau
memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran
tersebut (Azwar, 2013: 6). Instrumen pengumpul data yang akan diukur
validitasnya dalam penelitian ini adalah pretest, posttest, prescale, dan postscale.
Sebelum digunakan instrumen pengumpul data yang disusun dinilai oleh ahli
untuk mengetahui validitas isi dan validitas konstruknya. Validitas isi mencakup
kesesuaian antara aitem-aitem dalam instrumen dengan aspek atau indikator yang
hendak diukur (Azwar, 2013: 42). Sedangkan validitas konstruk mencakup
kesesuaian instrumen dalam mengukur gejala dengan hal yang telah didefinisikan.
47
Untuk mengetahui validitas instrumen pengumpul data, peneliti menggunakan
validitas ahli, sehingga dapat dihitung menggunakan Content Validity Ratio
(CVR) untuk setiap butir soal. Nilai CVR dapat dihitung dengan rumus :
Keterangan :
Angka CVR terentang pada interval -1 sampai dengan 1. Apabila angka
CVR > 0 berarti lebih dari 50% ahli dalam panel menyatakan butir soal tersebut
esensial. Semakin lebih besar angka CVR dari 0, maka semakin esensial dan
semakin tinggi kevalidan suatu butir soal (Azwar, 2013: 115).
Alasan menggunakan rumus CVR adalah untuk mengetahui kesepakatan dari
seluruh ahli yang menjadi validator. Hasil dari konsultasi dan pertimbangan
dengan ahli akan digunakan untuk memperbaiki instrumen pengumpul data.
Setelah melakukan perbaikan instrumen sesuai pertimbangan ahli, peneliti
menghitung nilai CVR untuk masing-masing butir soal kemampuan pemecahan
masalah matematika maupun butir skala self confidence. Berdasarkan hasil
perhitungan dapat diketahui bahwa semua butir soal kemampuan pemecahan
masalah matematika maupun butir skala self confidence valid dan dapat
digunakan. Selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 1.5 dan lampiran 1.7
2. Reliabilitas
Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat
pengukuran dapat dipercaya (Nurul, 2009: 192). Instrumen yang reliabel adalah
instrumen yang dapat digunakan untuk melakukan pengukuran dengan hasil yang
relatif stabil dan konsisten serta mampu untuk menggambarkan suatu kemampuan
48
(Surapranata, 2004: 86). Instrumen yang akan diukur reliabilitasnya adalah
pretest, posttest, prescale, dan postscale. Instrumen penelitian dikatakan
mempunyai reliabilitas tinggi jika instrumen yang dibuat mempunyai hasil
konsisiten dalam mengukur yang hendak diukur. Untuk menghitung reliabilitas
menggunakan rumus Cronbach Alpha sebagai berikut.
(
) (
∑
)
keterangan :
= reliabilitas instrumen
= banyaknya butir soal
∑ = jumlah varians butir soal
= varians total
Setelah dilakukan perhitungan dengan banuan SPSS 16, koefisien reliabilitas
soal pretest sebesar 0,455, soal posttest sebesar 0,486, dan skala self confidence
sebesar 0,713. Koefisien reliablitas tersebut dibandingkan dengan koefisien rtabel
pada taraf signifikasi 5% dengan jumlah . Besar koefisien rtabel adalah
0,361, sehingga koefisien reliabilitas soal pretest, soal posttest, dan skala self
confidence lebih besar dari koefisien rtabel artinya soal pretest, soal posttest, dan
skala self confidence reliabel.
G. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses yang dilakukan untuk mencari dan mengolah data
yang didapatkan. Analisis data merupakan tahap yang penting dalam suatu
penelitian dimana data yang didapatkan kemudian dianalisis untuk menjawab
rumusan masalah serta hipotesis yang sudah disusun. Analisis data dalam
penelitian kuantitatif sering disebut dengan analisis sistematik. Teknik analisis
49
data dalam penelitian ini meliputi data hasil tes dan data hasil skala. Data hasil tes
untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah siswa, sedangkan data skala
digunakan untuk mengukur self confidence siswa. Analisis data dilakukan dengan
bantuan software SPSS 17.0 for Windows Evaluation dan Microsoft Excel untuk
mempermudah dalam perhitungannya. Adapun uraian mengenai teknik analisis
data tersebut adalah sebagai berikut:
1. Analisis Data Hasil Tes Kemampuan Pemecahan Masalah
Analisis data kemampuan pemecahan masalah matematika dimulai dengan
uji korelasi untuk mengetahui data yang akan diuji. Sebelum dilakukan uji
korelasi data hasil tes kemampuan pemecahan masalah tersebut harus melalui uji
prasyarat terlebih dahulu yaitu uji normalitas dan uji homogenitas. Uji ini
dilakukan untuk mengetahui bahwa akan menggunakan uji korelasi parametrik
atau uji non-parametrik (Nisfiannoor, 2009: 145)
Setelah diketahui nilai korelasi maka untuk menentukan uji analisis yang
akan digunakan sesuai dengan aturan sebagai berikut (M. Ali, 2011: 292):
a. Apabila skor pretest dan posttest berkorelasi sekurang-
kurangnya 0,60 (rxy 0,60), analisis data menggunakan
analisis kovariansi (ANACOVA).
b. Apabila korelasi antara skor pretest dan posttest itu antara
0,40 sampai kurang 0,60 (0,40 rxy 0,60) maka analisis
data dapat dilakukan dengan metode statistika uji signifikansi
rata-rata dengan uji-t atau analisis variansi dengan terlebih
dahulu melakukan pengelompokan data berdasarkan hasil
pretest.
c. Apabila korelasi antara skor pretest dan posttest dibawah
0,40 (rxy 0,40), maka dicari skor gain dari masing-masing
subyek, yakni skor posttest dikurangi skor pretest, dan
dilakukan uji signifikansi rata-rata skor gain dengan uji-t atau
analisis variansi.
50
Dalam penelitian ini menunjukan bahwa nilai korelasi antara pretest dan
posttest adalah 0,163 ( ) sehingga uji analisis data yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah analisis variansi, sedangkan data yang
dianalisis menggunakan skor Gain dengan menggunakan rumus :
Statistik inferensial mempunyai asumsi yang harus terpenuhi, yaitu data
berasal dari populasi yang berdistribusi normal dan homogen sebagai uji
prasyarat. Dalam penelitian ini telah dilakukan uji normalitas dan homogenitas
terhadap skor Gain. Hasil dari uji normalitas dari data skor gain kelas C (kelas
eksperimen 2) dan kelas B (kelas kontrol) tidak berdistribusi normal (lampiran),
karena ada salah satu data yang tidak berdistribusi normal, maka dilakukan uji
statistik non parametrik. Penelitian ini menggunakan uji Kruskal-Wallis untuk
mengetahui perbedaan rata-rata ketiga kelas. Uji Mann-Whitney digunakan
untuk mengetahui secara detail perbedaan rata-rata antar kelompok kelas.
a. Uji Kruskall-Wallis
Statistika uji Kruskall-Wallis adalah statistik uji yang digunakan untuk
mempelajari perbedaan rata-rata lebih dari dua kelompok atau buah kelompok.
Uji non parametrik ini tidak memerlukan asumsi normal dan homogen pada
distribusi populasinya. Uji Kruskall-Wallis dalam penelitian ini akan dibantu
menggunakan software SPSS 16.0 for Windows. Langkah-langkah analisisnya
adalah sebagai berikut (Kadir, 2015: 497-499).
1) Menentukan hipotesis
H0 : = = (tidak terdapat perbedaan rata-rata skor gain kemampaun
pemecahan masalah matematis siswa kelas eksperimen 1, kelas eksperimen
2 dan kontrol)
51
H1 : , dengan i,j = 1,2,3 (minimal ada satu kelas yang mempunyai
rata-rata skor gain kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang
berbeda dengan kelas lainya)
2) Menentukan taraf signifikasi
Taraf signifikasi yang digunakan adalah
3) Menentukan kriteria pengujian
H0 : diterima jika Asymp.sig. 0,05
H0 : ditolak jika Asymp.sig. 0,05
4) Melakukan pengujian (Prayitno, 2008: 195)
a) Tahap pertama: melihat variabilitas (sebaran) data
(1) Klik Graph, pilih Legacy Dialogs, pilih Histogram
(2) Masukkan data Gain ke kotak Variable
(3) Masukkan data kelas (variabel bebas) ke kotak Rows
(4) Centang Display Normal Curve dan Nest Variable (No Empty
Rows)
(5) Klik OK
b) Tahap kedua: uji Kruskall-Wallis
(1) Klik Analyze, pilih Non Parametric Test, pilih K Independen
Samples
(2) Masukkan data Gain ke kotak Test Variable List
(3) Masukkan data kelas (variabel bebas) ke kotak Grouping Variable
(4) Pada Test Type centang Kruskall-Wallis H
(5) Klik OK
5) Menarik Kesimpulan
52
b. Uji Mann Whitney
Uji Mann-Whitney digunakan untuk menguji perbedaan dua sampel
bebas. Uji ini merupakan uji non parametrik yang tergolong kuat sebagai
pengganti uji-t. Jika dalam uji-t menguji parameter perbedaan dua rata-rata
sampel yang asumsi distribusi populasinya harus normal dan variansnya harus
homogen, maka pada uji Man-Whitney asumsi-asumsi tersebut tidak diperlukan.
Uji Man-Whitney dalam penelitian ini akan dibantu menggunakan software
SPSS 16.0. Langkah-langkah analisisnya adalah sebagai berikut (Sulaiman,
2003: 30).
1) Menentukan hipotesis
H0 : = , dengan i,j = 1,2 (tidak terdapat perbedaan rata-rata gain skor
kemampaun pemecahan masalah matematis siswa)
H1 : , dengan i,j = 1,2 (terdapat perbedaan rata-rata gain skor
kemampaun pemecahan masalah matematis siswa)
2) Menentukan taraf signifikasi
Taraf signifikasi yang digunakan adalah
3) Menentukan kriteria pengujian
H0 : diterima jika Asymp.sig.(2-tailed) 0,05
H0 : ditolak jika Asymp.sig. (2-tailed) 0,05
4) Melakukan pengujian (Prayitno, 2008: 192)
a) Tahap pertama: melihat variabilitas (sebaran) data
(1) Klik Graph, pilih Legacy Dialogs, pilih Histogram
(2) Masukkan data gain ke kotak Variable
(3) Masukkan data kelas (variabel bebas) ke kotak Rows
(4) Centang Display Normal Curve dan Nest Variable (No Empty Rows)
(5) Klik OK
53
b) Tahap kedua: uji Mann-Whitney
(1) Klik Analyze, pilih Non Parametric Test, pilih 2 Independent
Samples
(2) Masukkan data Gain ke kotak Test Variable List
(3) Masukkan data kelas (variabel bebas) ke kotak Grouping Variable
(4) Pada Test Type centang Mann-Whitney
(5) Klik OK
5) Menarik Kesimpulan.
2. Analisis Data Skala Self Confidence Siswa
Data yang diperoleh dari skala self confidence siswa adalah data ordinal
sehingga untuk mengubah ke interval menggunakan Successive Interval Methods
(SIM). SIM pada penelitian ini dapat diperoleh dengan Ms. Excel pada toolbar
Add-Ins, tanpa melalui perhitungan manual. Setelah menjadi data interval
kemudian dilanjutkan uji analisis data menggunakan uji statistik.
Analisis data self confidence dimulai dengan uji korelasi untuk mengetahui
data yang akan diuji. Sebelum dilakukan uji korelasi data hasil skala Self
Confidence tersebut harus melalui uji prasyarat terlebih dahulu yaitu uji
normalitas dan uji homogenitas.
Data prescale dan postscale dalam penelitian ini, semua berdistribusi normal,
sehingga pengujian korelasi menggunakan uji parametrik yaitu Pearson. Setelah
diketahui nilai korelasi maka untuk menentukan uji analisis yang akan digunakan
sesuai dengan aturan sebagai berikut (M. Ali, 2011: 292):
a. Apabila skor prescale dan postscale berkorelasi sekurang-
kurangnya 0,60 (rxy 0,60), analisis data menggunakan
analisis kovariansi (ANACOVA).
b. Apabila korelasi antara skor prescale dan postscale itu
antara 0,40 sampai kurang 0,60 (0,40 rxy 0,60) maka
analisis data dapat dilakukan dengan metode statistika uji
54
signifikansi rata-rata dengan uji-t atau analisis variansi
dengan terlebih dahulu melakukan pengelompokan data
berdasarkan hasil prescale.
c. Apabila korelasi antara skor prescale dan postscale dibawah
0,40(rxy 0,40), maka dicari skor gain dari masing-masing
subyek, yakni skor postscale dikurangi skor prescale, dan
dilakukan uji signifikansi rata-rata skor gain dengan uji-t
atau analisis variansi.
Dalam penelitian ini menunjukan bahwa nilai korelasi antara prescale dan
postscale adalah 0,369 ( ) sehingga uji analisis data yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah analisis variansi, sedangkan data yang
dianalisis menggunakan skor gain self confidence dengan menggunakan rumus:
Statistik inferensial mempunyai asumsi yang harus terpenuhi, yaitu data
berasal dari populasi yang berdistribusi normal dan homogen sebagai uji
prasyarat. Dalam penelitian ini telah dilakukan uji normalitas dan homogenitas
terhadap skor gain. Hasil dari uji tersebut yaitu data gain dari ketiga kelas
berdistribusi normal (lampiran). Karena ketiga kelas berdistribusi normal, maka
dilakukan uji statistik parametrik. Uji Anova satu jalan digunakan dalam
penelitian ini untuk mengetahui perbedaan rata-rata ketiga kelas. Untuk
mengetahui secara detail perbedaan rata-rata antar kelompok kelas akan
digunakan uji Tukey.
Langkah-langkah uji One Way Anova adalah sebagai berikut:
1) Menentukan hipotesis
H0 : μi = μj dengan i, j = 1, 2, 3. Rata-rata hasil pada tiga kelas sampel
sama
55
H1: μi ≠ μj dengan i, j = 1, 2, 3 atau ada salah satu yang ≠. Rata-rata hasil
pada tiga kelas sampel tidak sama
2) Menentukan α, dalam penelitian ini α = 0.05
3) Menentukan kriteria penerimaan hipotesis H0. Proses pengambilan
keputusan menggunakan nilai sig. Apabila nilai sig ≥ 0.05 maka H0
diterima. Artinya, data yang dianalisis mempunyai variansi sama,
sebaliknya apabila nilai sig < 0.05 maka H0 ditolak.
4) Melakukan analisis
Apabila H0 diterima artinya model pembelajaran tidak berpengaruh
terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika
siswa.
Apabila H0 ditolak artinya model pembelajaran berpengaruh terhadap
peningkatan self confidence siswa
5) Menentukan kesimpulan.
Uji Tukey digunakan untuk uji lanjut setelah uji One Way Anova yang
membandingkan kelompok-kelompok dengan jumlah sampel yang sama besar.
Pengujian dilakukan dengan membandingkan antara beda mean dengan beda
kritik. Langkah-langkah uji Tukey adalah sebagai berikut:
1) Menentukan hipotesis
H0 : = , dengan i,j = 1,2 (tidak terdapat perbedaan rata-rata gain skor
kemampaun pemecahan masalah matematis siswa)
H1 : , dengan i,j = 1,2 (terdapat perbedaan rata-rata gain skor
kemampaun pemecahan masalah matematis siswa)
56
2) Menentukan taraf signifikansi α, pada penelitian ini α = 0,05
3) Menentukan kriteria penerimaan hipotesis
Proses pengambilan keputusan menggunakan nilai signifikansi. Apabila
nilai sig. > 0,05 maka H0 diterima. Artinya kelompok yang dianalisis
mempunyai rata-rata yang sama. Sebaliknya jika nilai sig. ≤ 0,05 maka
H0 ditolak.
4) Melakukan analisis
Apabila H0 diterima artinya model pembelajaran tidak berpengaruh
terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika
siswa.
Apabila H0 ditolak artinya model pembelajaran berpengaruh terhadap
peningkatan self confidence siswa. Selanjutnya untuk mengetahui model
pembelajaran yang memberikan pengaruh lebih baik dengan melihat rata-
rata skor yang lebih tinggi pada kolom mean different tabel uji tukey.
5) Menentukan kesimpulan.
57
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Pada bagian ini akan diuraikan hasil analisis dari data-data yang diperoleh
selama penelitian untuk menjawab rumusan masalah melalui uji hipotesis
penelitian. Analisis yang dimaksud meliputi analisis pengaruh penerapan
pembelajaran pendekatan Problem Based Learning (PBL) dengan model
kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) (kelas eksperimen 1),
pembelajaran pendekatan Problem Based Learning (PBL) (kelas eksperimen 2),
dan pembelajaran Konvensional (kelas kontrol) terhadap peningkatan self
confidence. Analisis data dilakukan dengan bantuan software SPSS 16.0. Data
yang dianalisis meliputi skor pretest, skor posttest, dan skor gain kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa serta skor prescale, skor postscale, dan
skor gain sikap self confidence.
Skor pretest diperoleh melalui jawaban siswa pada instrumen pretest
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa sebelum dilaksanakan
pembelajaran pada ketiga kelas (kontrol, eksperimen 1, dan eksperimen 2). Skor
posttest diperoleh melalui jawaban siswa pada instrumen posttest kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa setelah dilaksanakan pembelajaran pada
ketiga kelas. Skor gain diperoleh dari perhitungan skor pretest dan skor posttest.
Skor prescale diperoleh melalui jawaban siswa pada instrumen skala sikap
sebelum dilaksanakan pembelajaran pada ketiga kelas. Skor postscale diperoleh
melalui jawaban siswa pada instrumen skala sikap setelah dilaksanakan
58
pembelajaran pada ketiga kelas. Skor gain diperoleh dari perhitungan skor
prescale dan skor postscale.
1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika
Langkah awal sebelum melakukan analisis pengaruh treatment terhadap
kemampuan pemecahan masalah matematika yaitu terlebih dahulu melakukan
deskripsi data dengan bantuan komputer menggunakan program SPSS 16.0. Hasil
analisis deskriptif data digunakan untuk melihat secara umum peningkatan
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas eksperimen 2, kelas
eksperimen 1 dan kontrol sehingga diperlukan analisis lanjutan untuk mengetahui
pengaruh pemberian treatment. Berikut deskripsi data skor pretest dan posttest
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas eksperimen 2, kelas
eksperimen 1 dan kelas kontrol.
Tabel 4.1. Deskripsi Stastistik Pretest dan Posttest Kemampuan Pemecahan
Masalah Matematika
Kelas Pretest Posttest
Eksperimen 1 Mean 15,44 36,28
Std. Deviasi 2,02 2,17
Maksimum 20,00 40,00
Minimum 12,00 32,00
Eksperimen 2 Mean 22,45 35,97
Std. Deviasi 2,15 1,78
Maksimum 26,00 40,00
Minimum 18,00 33,00
Kontrol Mean 20,97 34,93
Std. Deviasi 2,73 1,79
Maksimum 26,00 39,00
Minimum 16,00 31,00
(Daftar skor selengkapnya dapat dilihat di lampiran 4.4 dan 4.5 )
Berdasarkan tabel 4.1 diketahui bahwa rata-rata skor pretest kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa kelas eksperimen 2 paling tinggi dibanding
59
kelas eksperimen 1 dan kelas kontrol, sedangkan standar deviasi skor pretest
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa pada kelas eksperimen (kelas
eksperimen 1 dan 2) lebih rendah daripada kelas kontrol. Hal ini menunjukkan
bahwa penyebaran data skor pretest kemampuan pemecahan masalah
matematikasiswa kelas kontrol lebih luas daripada kelas eksperimen (kelas
eksperimen 1 dan 2).
Berdasarkan tabel 4.1 diketahui bahwa skor rata-rata posttest kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa kelas eksperimen 1 paling tinggi dibanding
rata-rata skor posttest kelas eksperimen 2 dan kelas kontrol. Standar deviasi skor
posttest kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas eksperimen 2
hampir mendekati sama dengan kelas kontrol, sedangkan standar deviasi untuk
kelas eksperimen 1 lebih tinggi dari keduanya. Hal ini menunjukkan bahwa
penyebaran data skor posttest kemampuan pemecahan masalah matematika siswa
pada kelas eksperimen 1 lebih luas dari keduanya.
Pengaruh treatment terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika
siswa dilihat dari ada atau tidaknya perbedaan rata-rata kemampuan pemecahan
masalah matematika kelas kontrol, kelas eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2.
Berdasarkan teori yang telah diuraikan pada teknis analisis data, langkah awal
yang harus dilakukan adalah menghitung korelasi skor pretest dan posttest
kemampuan pemecahan masalah matematika. Data skor pretest dan posttest
kemampuan pemecahan masalah matematika yang akan diuji korelasi, harus
berdistribusi normal dan varians dari data skor pretest dan posttest homogen. Oleh
60
karena itu, dilakukan uji normalitas dan uji homogentias terhadap data skor
pretest dan posttest kemampuan pemecahan masalah matematika.
a. Uji normalitas data pretest dan posttest
Tabel 4.2. Hasil Uji Normalitas Pretes dan Posttest dalam Kolmogrove-
Smirnov
Kelas Pretest Posttest
Statistic N Sig. Statistic N Sig.
Eksperimen 1 0,16 29 0,59 0,14 29 0,14
Eksperimen 2 0,15 29 0,80 0,14 29 0,15
Kontrol 0,16 29 0,71 0,14 29 0,11
(Daftar skor selengkapnya dapat dilihat di lampiran 4.6)
Berdasarkan tabel 4.2 dapat diinformasikanbahwa skor pretest dan posttest
dari ketiga kelas mempunyai nilai Sig. > 0.05, hal ini berarti skor pretest dan
posttest dari ketiga kelas berdistribusi normal pada tingkat kepercayaan 95%.
b. Uji homogenitas data pretest dan posttest
Tabel 4.3. Hasil Uji Homogenitastas Pretes dan Posttest
Data Sig.
Pretest 0,94
Posttest 0,22
(Daftar skor selengkapnya dapat dilihat di lampiran 4.6 )
Berdasarkan tabel 4.3 dapat diinformasikan bahwa skor pretest dan posttest
dari ketiga kelas mempunyai nilai Sig. > 0.05, hal ini berarti skor pretest dan
posttest dari ketiga kelas variannya homogen pada tingkat kepercayaan 95%.
Berdasarkan uji normalitas pretest dan posttest diketahui bahwa data hasil
pretest dan posttest berdistribusi normal dan bervarian homogen. Maka uji
korelasi yang digunakan adalah uji korelasi parametrik yaitu uji korelasi pearson
dengan menggunakan bantuan softwer SPSS 16.0. Berdasarkan hasil uji korelasi
61
(lihat lampiran 4.7) dapat diketahui bahwa nilai korelasi antara pretest dan
posttest menunjukan angka 0,16, karena skor korelasi kurang dari 0,40 yaitu 0,16
maka untuk menganalisis data yaitu menggunakan skor gain dengan uji
signifikansi kesamaan rata-rata.
Sebelum menganalisis data skor gain lebih lanjut akan dilakukan deskripsi
data skor gain kemampuan pemecahan masalah matematika sebagai gambaran
umum. Berikut deskripsi data skor gain.
Tabel 4.4. Deskripsi Stastistik Gain Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematika
Kelas Gain
Eksperimen 1 Mean 20,83
Std. Deviasi 2,09
Eksperimen 2 Mean 13,52
Std. Deviasi 2,61
Kontrol Mean 13,97
Std. Deviasi 2,03
(Daftar skor selengkapnya dapat dilihat di lampiran 4.8 )
Berdasarkan tabel 4.4 diketahui bahwa rata-rata skor gain kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa kelas eksperimen 1 paling tinggi dibanding
kelas eksperimen 2 dan kelas kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa siswa pada
kelas eksperimen 1 mengalami peningkatan kemampuan pemecahan masalah
matematika yang lebih tinggi dibanding kelas eksperimen 2 dan kelas kontrol.
Sedangkan standar deviasi skor gain kemampuan pemecahan masalah matematika
siswa pada kelas eksperimen 2 paling tinggi dibanding kelas eksperimen 1 dan
kelas kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran data skor gain
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas eksperimen 2 lebih luas
daripada kelas eksperimen 1 dan kelas kontrol.
62
Selanjutnya dilakukan uji hipotesis menggunakan uji signifikansi kesamaan
rata-rata. Untuk menentukan uji signifikansi kesamaan rata-rata yang akan
digunakan dilakukan uji normalitas terhadap data skor gain kemampuan
pemecahan masalah matematika. Berikut hasil uji normalitas data skor gain
kemampuan pemecahan masalah matematika dengan menggunakan uji statistik
Kolmogorov-smirnov yang dihitung menggunakan bantuan program SPSS 16.0.
Tabel 4.5. Hasil Uji Normalitas Skor Gain Berdasarkan Kolmogrove-
Smirnov
Kelas Gain
Statistic N Sig.
Eksperimen 1 0,19 29 0,01
Eksperimen 2 0,13 29 0,20
Kontrol 0,18 29 0,02
(Daftar skor selengkapnya dapat dilihat di lampiral 4.9 )
Berdasarkan tabel 4.5 dapat diinformasikan bahwa skor gain dari kelas D
(eksperimen 1) dan kelas B (kontrol) mempunyai nilai Sig. kurang dari 0.05, hal
ini berarti skor gain dari ketiga kelas tidak berdistribusi normal pada tingkat
kepercayaan 95%, sedangkan untuk kelas C (eksperimen 2) mempunyai nilai Sig.
lebih dari 0.05, hal ini berarti skor gain dari kelas C berdistribusi normal.
Berdasarkan uji normalitas skor gain diketahui bahwa data hasil gain tidak
berdistribusi normal. Maka uji signifikansi kesamaan rata-rata yang digunakan
adalah uji nonparametrik yaitu uji Kruskall-Wallis dengan menggunakan bantuan
softwer SPSS 16.0.
Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa nilai
Asymp.Sig. (0.000) < 0.05 maka H0 ditolak berarti minimal ada satu kelas yang
63
mempunyai rata-rata skor gain kemampuan pemecahan masalah matematika
siswa yang berbeda. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada lampiran 4.10 ini
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rata-rata yang signifikan dari ketiga
kelas. Namun, dari ketiga kelas (kelas eksperimen 1, eksperimen 2, dan kontrol)
belum diketahui kelas mana yang mempunyai perbedaan rata-rata yang signifikan.
Untuk mengetahui kelas yang mempunyai perbedaan rata-rata yang signifikan,
maka dilakukan uji lanjutan yaitu Uji Mann-Whitney. Uji Mann-Whitney
dilakukan tiga kali yaitu pengujian antara kelas D (eksperimen 1) dan kelas C
(eksperimen 2), kelas D (eksperimen 1) dan kelas B (kontrol), serta kelas C
(eksperimen 2) dan kelas B (kontrol). Setelah dilakukan pengujian menggunakan
SPSS 16, berikut adalah hasil yang didapatkan.
a. Uji Mann-Whitney kelas D (eksperimen 1) dan kelas C (eksperimen 2)
Berdasarkan hasil pengujian kesamaan rata-rata antara kelas D (eksperimen
1) dan kelas C (eksperimen 2) dapat diketahui bahwa nilai Asymp.Sig. (2-tailed)
adalah 0.000 < 0.05. Hal ini berarti H0 ditolak artinya rata-rata skor gain kelas
D (eksperimen 1) berbeda dengan rata-rata gain kelas C (eksperimen 2).
Kesimpulannya penerapan pembelajaran dengan pendekatan PBL dengan model
kooperatif tipe NHT memberikan pengaruh lebih baik daripada penerapan
model pembelajaran dengan pendekatan PBL. Selengkapnya dapat dilihat pada
lampiran 4.10.
b. Uji Mann-Whitney kelas D (eksperimen 1) dan kelas B (kontrol)
Berdasarkan hasil pengujian kesamaan rata-rata antara kelas D (eksperimen
1) dan kelas B (kontrol) dapat diketahui bahwa nilai Asymp.Sig. (2-tailed) adalah
64
0.000 < 0.05. Hal ini berarti H0 ditolak artinya rata-rata skor gain kelas D
(eksperimen 1) berbeda dengan rata-rata gain kelas B (kontrol). Kesimpulannya
penerapan pembelajaran dengan pendekatan PBL dengan model kooperatif tipe
NHT memberikan pengaruh yang lebih baik daripada penerapan model
pembelajaran konvensional. Selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 4.10.
c. Uji Mann-Whitney kelas C (eksperimen 2) dan kelas B (kontrol)
Berdasarkan hasil pengujian kesamaan rata-rata antara kelas C (eksperimen
2) dan kelas B (kontrol) dapat diketahui bahwa nilai Asymp.Sig. (2-tailed) adalah
0.648 > 0.05. Hal ini berarti H0 diterima artinya rata-rata skor gain kelas C
(eksperimen 2) sama dengan rata-rata gain kelas B (kontrol). Kesimpulannya
penerapan pembelajaran dengan pendekatan PBL memberikan pengaruh yang
sama dengan penerapan model pembelajaran konvensional. Selengkapnya dapat
dilihat pada lampiran 4.10.
2. Self Confidence
Sebelum melakukan analisis pengaruh treatment terhadap self confidence,
terlebih dahulu melakukan deskripsi data dengan bantuan komputer
menggunakan program SPSS 16.0. Hasil analisis deskriptif data digunakan untuk
melihat secara umum peningkatan self confidence siswa kelas eksperimen 2,
kelas eksperimen 1 dan kontrol sehingga diperlukan analisis lanjutan untuk
mengetahui pengaruh pemberian treatment. Berikut deskripsi data skor prescale
dan postscale self confidence siswa kelas eksperimen 2, kelas eksperimen 1 dan
kelas kontrol.
65
Tabel 4.6. Deskripsi Stastistik Prescale dan Postscale Self Confidence
Kelas Prescale Postscale
Eksperimen 1 Mean 88,58 106,75
Std. Deviasi 6,02 5,93
Maksimum 98,60 117,30
Minimum 77,20 92,50
Eksperimen 2 Mean 94,78 101,45
Std. Deviasi 6,59 6,10
Maksimum 106,60 113,80
Minimum 75,70 85,40
Kontrol Mean 97,47 100,19
Std. Deviasi 5,72 5,90
Maksimum 110,10 111,90
Minimum 88,80 90,90
(Daftar skor selengkapnya dapat dilihat di lampiran 4.14 dan 4.15 )
Berdasarkan tabel 4.6. diketahui bahwa rata-rata skor prescale self confidence
siswa kelas kontrol adalah 97,47 dan rata-rata skor prescale kelas control lebih
tinggi dibanding kelas eksperimen 1 dan 2. Sedangkan standar deviasi skor
prescale self confidence siswa pada kelas eksperimen (kelas eksperimen 1 dan 2)
lebih tinggi daripada kelas kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran data
skor prescale self confidence siswa kelas eksperimen (kelas eksperimen 1 dan 2)
lebih luas daripada kelas kontrol.
Berdasarkan tabel 4.6. diketahui bahwa rata-rata skor postscale self
confidence siswa kelas eksperimen 1 adalah 106,75 dan rata-rata skor posttest
eksperimen 1 lebih tinggi dibanding rata-rata skor posttest kelas eksperimen 2
dan kelas kontrol. Standar deviasi skor prescale dan postscale self confidence
siswa kelas eksperimen 2 hampir mendekati sama dengan kelas kontrol,
sedangkan standar deviasi untuk ketiga kelas hampir sama. Hal ini menunjukkan
66
bahwa penyebaran data skor prescale dan postscale self confidence siswa pada
kelas eksperimen 1, kelas eksperimen 2, dan kelas kontrol sama luasnya.
Pengaruh treatment terhadap self confidence siswa dilihat dari ada atau
tidaknya perbedaan rata-rata self confidence kelas kontrol, kelas eksperimen 1
dan kelas eksperimen 2. Berdasarkan teori yang telah diuraikan pada teknis
analisis data, langkah awal yang harus dilakukan adalah menghitung korelasi
skor prescale dan postscale skala self confidence.
Untuk melakukan uji korelasi, data skor prescale dan postscale self
confidence harus berdistribusi normal dan varians ata skor prescale dan postscale
self confidence homogen. Untuk mengetahuinya, dilakukan uji normalitas dan
uji homogentias terhadap data skor prescale dan postscale self confidence.
a. Uji normalitas data prescale dan postscale
Tabel 4.7. Hasil Uji Normalitas Prescale dan Postscale dalam Kolmogrove-
Smirnov
Kelas Prescale Postscale
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Eksperimen 1 0,13 29 0,20 0,08 29 0,20
Eksperimen 2 0,08 29 0,20 0,08 29 0,20
Kontrol 0,12 29 0,20 0,10 29 0,20
(Daftar skor selengkapnya dapat dilihat di lampiran 4.16)
Berdasarkan tabel 4.7 dapat diinformasikan bahwa skor prescale dan
postscale dari ketiga kelas mempunyai nilai Sig. lebih dari 0.05, hal ini berarti
skor prescale dan postscale dari ketiga kelas berdistribusi normal pada tingkat
kepercayaan 95%.
67
b. Uji homogenitas data prescale dan postscale
Tabel 4.8 Hasil Uji Homogenitastas Prescale dan Postscale
Data Sig.
Prescale 0,48
Postscale 0,92
(Daftar skor selengkapnya dapat dilihat di lampiran 4.16)
Berdasarkan tabel 4.8 dapat diinformasikan bahwa skor pretest dan posttest
dari ketiga kelas mempunyai nilai Sig. > 0.05. Hal ini berarti varians skor
prescale dan postscale dari ketiga kelas homogen pada tingkat kepercayaan
95%.
Berdasarkan uji normalitas prescale dan postscale diketahui bahwa data
hasil prescaledan postscale berdistribusi normal dan varian datanya homogen.
Maka uji korelasi yang digunakan adalah uji korelasi parametrik yaitu uji
korelasi pearson dengan menggunakan bantuan software SPSS 16.0.
Berdasarkan hasil uji korelasi (lihat lampiran 4.17) dapat diketahui bahwa
hasil uji korelasi antara prescale dan postscale menunjukan angka 0.37, karena
skor korelasi kurang dari 0,40 yaitu 0.37, maka untuk menganalisis data yaitu
menggunakan skor gain dengan uji signifikansi perbedaan rata-rata anova satu
jalan.
Sebelum menganalisis data skor gain lebih lanjut akan dilakukan deskripsi
data skor gain self confidence sebagai gambaran umum. Berikut deskripsi data
skor gain self confidence.
Tabel 4.9. Deskripsi Stastistik Gain Self Confidence
Kelas Gain
Eksperimen 1 Mean 18,17
Std. Deviasi 4,88
Eksperimen 2 Mean 6,70
Std. Deviasi 4,23
68
Kontrol Mean 2,73
Std. Deviasi 2,65
(Daftar skor selengkapnya dapat dilihat di lampiran 4.18)
Berdasarkan tabel 4.9 diketahui bahwa rata-rata skor gain self confidence
lebih tinggi dibanding kelas eksperimen 1 dan 2. Sedangkan standar deviasi skor
gain self confidence siswa pada kelas eksperimen (kelas eksperimen 1 dan 2) lebih
tinggi daripada kelas kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran data skor
gain self confidence siswa kelas eksperimen (kelas eksperimen 1 dan 2) lebih luas
daripada kelas kontrol.
Selanjutnya dilakukan uji hipotesis menggunakan uji signifikansi kesamaan
rata-rata. Untuk menentukan uji signifikansi kesamaan rata-rata yang akan
digunakan dilakukan uji normalitas terhadap data skor gain self confidence.
Berikut hasil uji normalitas data skor gain self confidence dengan menggunakan
uji statistik Kolmogorov-smirnov yang dihitung menggunakan bantuan program
SPSS 16.0.
Tabel 4.10. Hasil Uji Normalitas Gain dalam Kolmogrove-Smirnov
Kelas Gain
Statistic df Sig.
Eksperimen 1 0,10 29 0,20
Eksperimen 2 0,10 29 0,20
Kontrol 0,14 29 0,13
(Daftar skor selengkapnya dapat dilihat di lampiran 4.19)
Berdasarkan tabel 4.10 dapat diinformasikan bahwa skor gain dari ketiga
kelas mempunyai nilai Sig. > 0.05, hal ini berarti skor gain dari ketiga kelas
berdistribusi normal pada tingkat kepercayaan 95%. Berdasarkan uji
homogenitas terhadap data gain dapat diinformasikan bahwa skor gain dari
ketiga kelas mempunyai nilai Sig. lebih dari 0.05 yaitu 0,06, hal ini berarti
varians skor gain dari ketiga kelas homogen pada tingkat kepercayaan 95%.
69
Berdasarkan uji normalitas diketahui bahwa data skor gain berdistribusi
normal dan varians skor gain dari ketiga kelas homogen. Maka uji signifikansi
kesamaan rata-rata yang digunakan adalah uji anova satu jalan dengan
menggunakan bantuan softwer SPSS 16.0. Berikut ringkasan hasil uji anova satu
jalan skor gain.
Tabel 4.11 Hasil Uji Anova Satu Jalan Data Skor Gain
Gain Sum of Square Df Mean Square Sig.
Beetween Groups 3732,04 2 1866,02 0,00
Within Groups 1363,30 84 16.23
Total 5095,34 86
(Daftar skor selengkapnya dapat dilihat di lampiran 4.20)
Berdasarkantabel 4.11 terlihat bahwa nilai Sig. kurang dari 0.05 yaitu 0.00
maka H0 ditolak berarti minimal ada satu populasi (kelas) yang tidak mempunyai
rata-rata yang sama. Hal ini menunjukan bahwa terdapat perbedaan rata-rata yang
signifikan dari ketiga kelas. Akan tetapi, dari ketiga kelas (kelas eksperimen 1,
eksperimen 2, dan kontrol) belum diketahui kelas yang mana yang mempunyai
perbedaan rata-rata yang signifikan. Oleh karena itu, dilakukan uji lanjutan untuk
mengetahui kelas mana yang berbeda dengan menggunakan uji Tukey. Berikut
hasil uji tukey skor gain self confidence siswa.
Tabel 4.12. Hasil Uji Tukey Data Skor Gain Self Confidence Siswa
I J Mean Difference (I-J) Sig
Kelas eksperimen 1 Kelas eksperimen 2
Kelas control
11.47*
15.45*
.000
.000
Kelas eksperimen 2 Kelas eksperimen 1
Kelas control
-11.47*
3.98*
.000
.001
Kelas control Kelas eksperimen 1
Kelas eksperimen 2
-15.45*
-3.96*
.000
.001
(Daftar skor selengkapnya dapat dilihat di lampiran 4.20)
Berdasarkan tabel 4.12, diketahui bahwa antara kelas eksperimen 1 yang
diberikan treatment pembelajaran pendekatan PBL dengan model pembelajaran
70
kooperatif tipe NHT dengan kelas kontrol yang diberikan model pembelajaran
konvensional, memiliki nilai Sig. 0.000, maka H0 ditolak. Artinya rata-rata skor
gain self confidence siswa pada kelas eksperimen 1 berbeda dengan kelas kontrol.
Pada kolom Mean Difference dapat diketahui bahwa rata-rata skor gain kelas
eksperimen 1 lebih tinggi dibanding kelas kontrol. Hal ini dapat disimpulkan
bahwa penggunaan pembelajaran PBL dengan model pembelajaran kooperatif tipe
NHT memberikan pengaruh lebih baik dibanding model pembelajaran
konvensional terhadap peningkatan self confidence.
Berdasarkan tabel 4.12, diketahui bahwa siswa kelas eksperimen 2 yang
diberikan treatment pembelajaran PBL dan kelas kontrol yang diberikan model
pembelajaran konvensional, memiliki nilai Sig. 0.001, maka H0 ditolak. Artinya
rata-rata skor gain self confidence siswa pada kelas eksperimen 2 berbeda dengan
kelas kontrol. Pada kolom Mean Difference dapat diketahui bahwa rata-rata skor
gain kelas eksperimen 2 lebih tinggi dibanding kelas kontrol. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa penggunaan pembelajaran PBL memberikan pengaruh lebih
baik dibanding model pembelajaran konvensional terhadap peningkatan self
confidence.
Berdasarkan tabel 4.12, diketahui bahwa siswa kelas eksperimen 1 yang
diberikan treatment pembelajaran pendekatan PBL dengan model pembelajaran
kooperatif tipe NHT dan kelas eksperimen 2 yang diberikan pembelajaran PBL,
memiliki nilai Sig. 0.000, maka H0 ditolak. Artinya rata-rata skor gain self
confidence siswa pada kelas eksperimen 1 berbeda dengan kelas kontrol. Pada
kolom Mean Difference dapat diketahui bahwa rata-rata skor gain kelas
eksperimen 1 lebih tinggi dibanding kelas eksperimen 2. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa penggunaan pembelajaran pendekatan PBL dengan model
71
pembelajaran kooperatif tipe NHT memberikan pengaruh lebih baik dibanding
pembelajaran pendekatan PBL terhadap peningkatan self confidence.
B. Pembahasan
Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 4 Kalasan kelas VIII semester 2
yang terdiri dari tiga kelas yaitu VIII D sebagai kelas eksperimen 1 yang diberi
pembelajaran Pendekatan Problem Based Learning (PBL) dengan Model
Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together (NHT), VIII C sebagai
kelas eksperimen 2 yang diberi pembelajaran Pendekatan Problem Based
Learning (PBL) dan VIII B kelas kontrol yang diberi pembelajaran secara
konvensional. Pembelajaran dilakukan selama 4 kali pertemuan pada setiap kelas
penelitian (30jp dengan alokasi waktu 1 jp sama dengan 40 menit).
1. Implementasi Pembelajaran
a. Implementasi Pembelajaran Pendekatan Problem Based Learning
(PBL) dengan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads
Together (NHT)
Pelaksanaan pembelajaran pada kelas eksperimen 1 yaitu pembelajaran
menggunakan PBL dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT secara
garis besar berjalan dengan baik. Setiap pertemuan peneliti menerapkan lima
tahapan pembelajaran. Lima tahapan pembelajaran tersebut adalah sebagai
berikut:
1) Tahap Pengorganisasian belajar kelompok sesuai penomoran
72
Pada tahap ini guru membagi siswa kedalam 6 kelompok dengan anggota 4-
5 orang dan diberi nomor tiap anggotanya. Pemberian nama untuk masing-
masing kelompok sesuai warna kertas pada nomor tiap anggota kelompok.
Belajar berkelompok atau belajar bersama membuat siswa saling bertukar
pendapat dan dapat lebih memahami materi. Hal ini sependapat dengan
Slavin (2010: 36) bahwa siswa akan belajar dengan siswa lain, karena ketika
mereka mendiskusikan materi (kontens) akan muncul konflik kognitif,
penalaran yang tidak tepat akan terlihat, dan pemahaman yang berkualitas
akan terbentuk. Pada setiap pertemuan, siswa berkelompok sesuai intruksi
guru. Teknik pembagian kelompok pada setiap pertemuan sebagai berikut.
Tabel 4.13. Teknik Pembagian Kelompok
Pertemuan Kelas Teknik Pembagian Kelompok
Pertemuan 1 VIII B Urut Absen dari atas ke bawah
VIII C
VIII D
Pertemuan 2 VIII B Pengundian nomor
VIII C
VIII D
Pertemuan 3 VIII B Urut absen dari bawah ke atas
selang seling VIII C
VIII D
Pertemuan 4 VIII B Pengundian nomor
VIII C
VIII D
2) Tahap Pemberian masalah
Pada tahap ini guru membagikan LKS pada setiap anggota kelompok,
dimana LKS tersebut berisikan masalah-masalah untuk diselesaikan.
Menurut Dawey (Uno dan Mohammad (2011: 112) belajar berdasarkan
masalah adalah interaksi antara stimulus dan respon, merupakan hubungan
73
antara dua arah, yaitu belajar dan lingkungan. Berikut contoh permasalahan
dari LKS.
Gambar 4.1. Contoh Permasalahan pada LKS
Permasalahan seperti pada gambar diatas melatih siswa dalam memecahkan
suatu masalah. Hal ini senada dengan pendapat Muchlis (2012: 139) dalam
penelitiannya yang menyatakan bahwa dengan disajikannya permasalahan
dalam kehidupan sehari-hari, siswa akan lebih mudah memahami dan
memaknai permasalahan yang diberikan sehingga siswa dengan mudah akan
mengeluarkan ide atau gagasannya dalam memilih cara yang paling tepat
untuk menyelesaikan permasalahannya.
3) Tahap Berpikir bersama
Pada tahap ini guru meminta siswa untuk saling berdiskusi atas masalah
yang ada pada LKS dan menentukan penyelesaian dari permasalahan
tersebut. Selain itu, guru menegaskan kepada setiap kelompok bahwa setiap
anggota kelompok harus mengetahui dan paham jawaban dari kelompoknya.
Hal ini sesuai pendapat Roger dan David Johson (suprijono, 2009: 58) untuk
mencapai hasil maksimal, pembelajaran kooperatif harus memuat 5 unsur
saling ketergnatungan positif, tanggung jawab personal, interaksi promotif,
74
komunikasi antar anggota, dan pemrosesan kelompok. Berikut adalah
bagian LKS yang menunjukkan tahap tersebut.
Gambar 4.2. Bagian LKS yang Menunjukan Tahap Berdiskusi
4) Tahap Menjawab dan Mempresentasikan Hasil Diskusi
Pada tahap ini guru memanggil salah satu nomor tertentu secara acak untuk
mempresentasikan hasil diskusi terhadap suatu masalah dan meminta siswa
yang lain menanggapi jawaban dari temannya. Guru memanggil dengan
cara mengundi nama kelompok dan nomor tiap anggota kelompok pada
masing-masing kelompok (misalnya, kelompok merah nomor 5). Untuk
siswa yang warna dan nomornya sesuai mengacungkan tangannya dan
mencoba untuk menjawab pertanyaan untuk seluruh kelas. Cara demikian
ini menurut Suprijono (2010: 60) dapat menyebabkan setiap siswa memiliki
tanggung jawab. Senada dengan pendapat Slavin mengenai model
pembelajaran kooperatif tipe NHT (Mulyana Agisni, 2016: 4) bahwa
metode ini adalah cara yang sangat baik untuk menambahkan tanggung
jawab individual kepada diskusi kelompok. Hal ini juga membuat setiap
siswa berlatih mempresentasikannya dengan percaya diri, sehingga melatih
siswa untuk percaya diri dalam mempresentasikan di depan kelas. Senada
75
dengan penelitian yang dilakukan oleh Bekti Setiti (2011) bahwa
pembelajaran dengan model kooperatif tipe NHT dapat meningkatkan
kepercayaan diri siswa karena pada tahap mempresentasikan hasil, siswa
dituntut untuk siap dipilih secara acak. Namun demikian, tak jarang siswa
yang pemalu menolak untuk mempresentasikan, dan ada pula yang meminta
guru untuk mengacak ulang untuk memilih siswa yang maju.
5) Tahap Menganalisis dan mengevaluasi
Pada tahap ini guru menganalisis dan mengevaluasi proses mengatasi
masalah serta memberikan kesimpulan dari pembelajaran tersebut.
Pada kelas ini, hampir semua siswa aktif dalam diskusi, karena disini siswa
memang dituntut untuk bisa menyelesaikan masalah, yang nantinya akan
dipanggil secara acak untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya.
Walaupun demikian, tetap ada siswa yang tidak ikut berdiskusi dengan
kelompoknya dari dan mengobrol dengan anggota kelompok lain padahal sudah
ditegur beberapa kali.
b. Implementasi Pembelajaran Pendekatan Problem Based Learning (PBL)
Pelaksanaan pembelajaran pada kelas eksperimen 2 yaitu pembelajaran PBL
secara garis besar berjalan dengan baik. Pada kelas ini juga menggunakan LKS.
LKS yang diberikan sama dengan LKS kelas eksperimen 1. Tahapan
pembelajaran pada kelas ini juga hampir sama dengan tahapan pembelajaran kelas
eksperimen 1, hanya saja tidak ada teknik pengelompokan. Pengelompokan siswa
diatur oleh siswa sendiri. Guru hanya menginstruksikan untuk membuat kelompok
dengan setiap kelompok beranggota 4-5. Hal ini menyebabkan siswa berkelompok
76
dengan kelompok yang sama dalam 4 kali pertemuan dan lebih membuat gaduh
kelas karena saat diskusi masalah selalu mereka selingi dengan mengobrol diluar
topik diskusi walaupun sudah ditegur.
Begitu pula dengan tahap menjawab dan mempresentasikan hasil diskusi,
tahap ini tidak sama dengan yang ada pada kelas eksperimen 1, guru tidak
memanggil secara acak, melainkan atas keinginan siswa sendiri. Hal ini
menyebabkan siswa yang maju untuk presentasi hanya siswa yang ingin dan bisa
mengerjakan sedangkan siswa lainnya hanya terima hasil.
c. Implementasi Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran konvensional yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah
pembelajaran yang biasa digunakan oleh guru bidang studi matematika pada SMP
N 4 Kalasan. Pembelajaran yang dilaksanakan di kelas kontrol dilaksanakan
semirip mungkin dengan pembelajaran yang biasa diterapkan oleh guru di sekolah
tersebut. Maka sebelum dilakukan penelitian, peneliti melakukan observasi
pembelajaran di kelas terlebih dahulu.
Proses pembelajaran yang diberikan kepada siswa kelas kontrol yaitu dengan
cara ceramah dan diselingi tanya jawab. Proses pembelajaran diawali dengan
guru memberikan apresepsi mengenai materi yang akan disampaikan. Setelah itu
guru menjelaskan materi dilanjutkan dengan memberikan contoh soal dengan cara
penyelesaiannya beserta soal latihan. Berbeda halnya dengan kelas eksperimen 1
dan kelas eksperimen 2, pada kelas kontrol siswa tidak diberikan LKS tetapi
menggunakan buku paket yang dimiliki siswa dan tidak dibentuk kelompok-
kelompok. Akan tetapi, tetap ada diskusi antar teman untuk menyelesaikan
77
permasalahan yang diberikan. Kemudian guru memberikan kesempatan kepada
siswa untuk mencatat apa yang telah guru tulis di papan tulis dan bertanya apabila
ada yang belum paham. Ketika siswa mencatat, guru berkeliling untuk mengecek
pekerjaan siswa dan mengantisipasi jika ada siswa yang ingin bertanya. Kegiatan
terakhir dalam proses pembelajaran yaitu dengan mengoreksi jawaban siswa pada
saat mengerjakan soal latihan. Kendala dalam proses pembelajaran ini adalah guru
harus beberapa kali mengulangi penyampaian materi karena ketidakkondusifan
kelas sehingga memerlukan waktu yang lebih banyak dalam penyampaian materi.
2. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika
Bagian ini akan dijabarkan pengaruh penerapan model pembelajaran terhadap
kemampaun pemecahan masalah matematika. Berikut adalah penjabarannya.
a. Pengaruh Pembelajaran Pendekatan Problem Based Learning (PBL)
Dengan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together
(NHT) dibanding dengan Pembelajaran Konvensional
Hipotesis pertama dalam penelitian ini adalah penerapan pembelajaran
Pendekatan Problem Based Learning (PBL) dengan Model Pembelajaran
Kooperatif Tipe Numbered Heads Together (NHT) memberikaan pengaruh lebih
baik terhadap Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika siswa.
Berdasarkan penelitian yang sudah dilaksanakan bahwa treatment yang di berikan
pada kelas eksperimen memberikan pengaruh pada kemampuan pemecahan
masalah matematika siswa sebelum diberi treatment dengan kemampuan
pemecahan masalah siswa setelah diberi treatment. Hal ini ditunjukan oleh
78
analisis deskriptif pada tabel 4.1 diketahui bahwa secara keseluruhan rata-rata
posttest lebih tinggi dibanding dengan rata-rata pretest.
Berdasarkan rata-rata gain dua kelas yaitu kelas eksperimen 1 yang
menerapkan pembelajaran PBL dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT
dan kelas kontrol, rata-rata gain kelas eksperimen 1 menunjukan rata-rata yang
positif sehingga mengindikasikan adanya pengaruh dari treatment yang diberikan
yaitu pembelajaran PBL dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT.
Selain berdasarkan analisis deskriptif, analisis kemampuan pemecahan
masalah matematika juga didasarkan pada uji perbedaan rata-rata dengan
menggunakan uji Kruskall Wallis. Berdasarkan hasil uji perbedaan rata-rata gain
pada analisis data kemampuan pemecahan masalah matematika siswa diperoleh
hasil bahwa nilai Sig. < 0.05 yaitu 0.000 maka H0 ditolak berarti minimal ada satu
populasi (kelas) yang tidak mempunyai rata-rata yang sama. Setelah diketahui
terdapat perbedaan rata-rata gain kemampuan pemecahan masalah matematis,
selanjutnya dilakukan Uji Mann Whitney untuk mengetahui lebih detail kelas
mana yang mempunyai perbedaan rata-rata.
Uji Mann Whitney antara kelas D (eksperimen 1) dan kelas B (kelas konrol)
diperoleh hasil bahwa nilai Sig. < 0.05 (0.000) maka H0 ditolak berarti rata-rata
skor gain kelas D lebih tinggi dari pada rata-rata skor gain kelas B, dari hasil uji
Mann Whitney memberikan informasi bahwa pembelajaran PBL dengan model
pembelajaran kooperatif tipe NHT memberi pengaruh yang lebih baik
79
dibanding model pembelajaran konvensional terhadap peningkatan kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa.
b. Pengaruh Pembelajaran Pendekatan Problem Based Learning (PBL)
dibanding dengan Pembelajaran Konvensional
Berdasarkan penelitian yang sudah dilaksanakan bahwa treatment yang di
berikan pada kelas eksperimen memberikan pengaruh pada kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa sebelum diberi treatment dengan
kemampuan pemecahan masalah siswa setelah diberi treatment. Hal ini
ditunjukan oleh analisis deskriptif pada tabel 4.1 diketahui bahwa secara
keseluruhan rata-rata posttest lebih tinggi dibanding dengan rata-rata pretest.
Berdasarkan rata-rata gain dua kelas yaitu kelas eksperimen 2 yang
menerapkan pembelajaran PBL dan kelas kontrol, rata-rata gain kelas eksperimen
2 menunjukan rata-rata yang positif sehingga mengindikasikan adanya pengaruh
dari treatment yang diberikan yaitu pembelajaran PBL.
Selain berdasarkan analisis deskriptif, analisis kemampuan pemecahan
masalah matematika juga didasarkan pada uji perbedaan rata-rata dengan
menggunakan uji Kruskall Wallis. Berdasarkan hasil uji perbedaan rata-rata gain
pada analisis data kemampuan pemecahan masalah matematika siswa diperoleh
hasil bahwa nilai Sig. < 0.05 yaitu 0.000 maka H0 ditolak berarti minimal ada satu
populasi (kelas) yang tidak mempunyai rata-rata yang sama. Setelah diketahui
terdapat perbedaan rata-rata gain kemampuan pemecahan masalah matematis,
selanjutnya dilakukan Uji Mann Whitney untuk mengetahui lebih detail kelas
mana yang mempunyai perbedaan rata-rata.
80
Uji Mann Whitney antara kelas C (eksperimen 2) dan kelas B (kelas konrol)
diperoleh hasil bahwa nilai Sig. < 0.05 (0.648) maka H0 diterima berarti rata-rata
skor gain kelas C sama dengan rata-rata skor gain kelas B, dari hasil uji Mann
Whitney memberikan informasi bahwa pembelajaran Pendekatan PBL memberi
pengaruh yang sama dengan model pembelajaran konvensional terhadap
peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.
c. Pengaruh Pembelajaran Pendekatan Problem Based Learning (PBL)
Dengan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together
(NHT) dibanding dengan Pembelajaran Pendekatan Problem Based
Learning (PBL)
Berdasarkan penelitian yang sudah dilaksanakan bahwa treatment yang di
berikan pada kelas eksperimen memberikan pengaruh pada kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa sebelum diberi treatment dengan
kemampuan pemecahan masalah siswa setelah diberi treatment. Hal ini
ditunjukan oleh analisis deskriptif pada tabel 4.1 diketahui bahwa secara
keseluruhan rata-rata posttest lebih tinggi dibanding dengan rata-rata pretest.
Berdasarkan rata-rata gain dua kelas yaitu kelas eksperimen 1 yang
menerapkan pembelajaran PBL dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT
dan kelas eksperimen 2 yang menerapkan pembelajaran PBL, rata-rata gain kelas
eksperimen 1 menunjukan rata-rata yang positif sehingga mengindikasikan
adanya pengaruh dari treatment yang diberikan yaitu pembelajaran PBL dengan
model pembelajaran kooperatif tipe NHT.
81
Selain berdasarkan analisis deskriptif, analisis kemampuan pemecahan
masalah matematika juga didasarkan pada uji perbedaan rata-rata dengan
menggunakan uji Kruskall Wallis. Berdasarkan hasil uji perbedaan rata-rata gain
pada analisis data kemampuan pemecahan masalah matematika siswa diperoleh
hasil bahwa nilai Sig. < 0.05 yaitu 0.000 maka H0 ditolak berarti minimal ada satu
populasi (kelas) yang tidak mempunyai rata-rata yang sama. Setelah diketahui
terdapat perbedaan rata-rata gain kemampuan pemecahan masalah matematika,
selanjutnya dilakukan Uji Mann Whitney untuk mengetahui lebih detail kelas
mana yang mempunyai perbedaan rata-rata.
Uji Mann Whitney antara kelas D (eksperimen 1) dan kelas C (kelas
eksperimen 2) diperoleh hasil bahwa nilai Sig. < 0.05 (0.000) maka H0 ditolak
berarti rata-rata skor gain kelas D lebih tinggi dari pada rata-rata skor gain kelas
B, dari hasil uji Mann Whitney memberikan informasi bahwa pembelajaran
Pendekatan PBL dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT memberi
pengaruh yang lebih baik pembelajaran PBL terhadap peningkatan kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa.
Berdasarkan penjabaran pengaruh penerapan model pembelajaran terhadap
kemampuan pemecahan masalah, dapat diduga faktor-faktor yang mempengaruhi
hasil penerapan pembelajaran adalah sebagai berikut:
a. Faktor yang diduga mempengaruhi hasil dari pembelajaran dengan PBL
dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT adalah sebagai berikut:
1) Dengan berdiskusi, siswa akan lebih memahami permasalahan yang ada
dalam LKS, karena siswa yang belum memahami masalah yang ada dalam
82
LKS dapat bertanya kepada siswa yang sudah memahami masalah tersebut
ketika dalam berdiskusi.
2) Pembentukan kelompok yang heterogen memungkinkan terjadinya diskusi
yang efektif, siswa saling sharing pemahaman dari siswa yang sudah
paham membantu siswa yang belum paham. Hal ini senada dengan
pendapat Isjoni (2010: 47) bahwa dengan mencampurkan kemampuan
siswa, maka siswa yang mempunyai kemampuan kurang akan merasa
terbantu dan termotivasi dengan siswa yang mempunyai kemampuan
lebih.
3) Pada tahap menjawab dan mempresentasikan hasil, guru guru meamanggil
salah satu nomor tertentu secara acak. Hal ini menyebabkan setiap siswa
memiliki tanggung jawab yang sama terhadap hasil diskusi. Senada
dengan pendapat Bennet (Isjoni, 2012: 41) mengenai model pembelajaran
kooperatif tipe NHT bahwa metode ini adalah cara yang sangat baik untuk
menambahkan tanggung jawab individual kepada diskusi kelompok.
4) LKS yang berisikan masalah-masalah mendukung terlaksananya
pembelajaran PBL dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT,
karena setiap tahapan pada pembelajaran NHT dapat disesuaikan pada isi
dalam LKS. Selain itu, pada LKS disajikan permasalahan yang kontekstual
memungkinkan siswa tertarik untuk berpikir memahami permasalahan dan
mencari solusi penyelesaianya.
b. Faktor yang diduga mempengaruhi hasil dari pembelajaran PBL adalah
pembentukan kelompok yang berdasarkan keinginan siswa membuat
83
terjadinya diskusi yang kurang efektif. Hal ini membuat siswa tidak fokus
dalam mendiskusikan masalah. Mereka justru mendiskusikan hal lain diluar
topik diskusi.
c. Faktor yang diduga mempengaruhi hasil dari pembelajaran dengan model
konvensional adalah sebagai berikut:
1) Proses pembelajaran terpusat pada guru, menjadikan siswa pasif sehingga
kurang memahami tentang materi yang dipelajarinya.
2) Siswa tidak mengkonstruksi pemahaman dengan sendiri, tapi langsung
diberi oleh guru.
3. Self Confidence
Bagian ini akan dijabarkan pengaruh penerapan model pembelajaran terhadap
kemampaun pemecahan masalah matematika. Berikut adalah penjabarannya.
a. Pengaruh Pembelajaran Pendekatan Problem Based Learning (PBL)
dengan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together
(NHT) dibanding dengan Pembelajaran Konvensional
Hipotesis pertama dalam penelitian ini adalah penerapan pembelajaran
pendekatan PBL dengan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads
Together (NHT) memberikan pengaruh lebih baik terhadap peningkatan self
confidence. Berdasarkan penelitian yang sudah dilaksanakan bahwa treatment
yang diberikan pada kelas eksperimen memberikan pengaruh pada self confidence
siswa sebelum diberi treatment dengan self confidence siswa setelah diberi
treatment. Hal ini ditunjukan oleh analisis deskriptif pada tabel 4. diketahui
84
bahwa secara keseluruhan rata-rata postscale lebih tinggi dibanding dengan rata-
rata prescale.
Berdasarkan rata-rata gain dua kelas yaitu kelas eksperimen 1 yang
menerapkan pembelajaran PBL dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT
dan kelas kontrol, rata-rata gain kelas eksperimen 1 menunjukan rata-rata yang
positif sehingga mengindikasikan adanya pengaruh dari treatment yang diberikan
yaitu pembelajaran pendekatan PBL dengan model pembelajaran kooperatif tipe
NHT.
Selain berdasarkan analisis deskriptif, analisis kemampuan pemecahan
masalah matematika juga didasarkan pada uji perbedaan rata-rata dengan
menggunakan uji anova satu jalan. Berdasarkan hasil uji perbedaan rata-rata gain
pada analisis data kemampuan pemecahan masalah matematika siswa diperoleh
hasil bahwa nilai Sig. kurang dari 0.05 yaitu 0.000 maka H0 ditolak berarti
minimal ada satu populasi (kelas) yang tidak mempunyai rata-rata yang sama.
Setelah diketahui terdapat perbedaan rata-rata gain kemampuan pemecahan
masalah matematis, selanjutnya dilakukan uji Tukey untuk mengetahui lebih detail
kelas mana yang mempunyai perbedaan rata-rata.
Uji Tukey antara kelas D (eksperimen 1) dan kelas B (kelas konrol) diperoleh
hasil bahwa nilai Sig. < 0.05 (0.000) maka H0 ditolak berarti rata-rata gain kelas
D lebih tinggi dari pada rata-rata gain kelas B, dari hasil uji Tukey memberikan
informasi bahwa pembelajaran PBL dengan model pembelajaran kooperatif tipe
NHT memberikan pengaruh lebih baik dibanding model pembelajaran
konvensional terhadap peningkatan self confidence siswa.
85
b. Pengaruh Pembelajaran Pendekatan Problem Based Learning (PBL)
dibanding dengan Pembelajaran Konvensional
Berdasarkan penelitian yang sudah dilaksanakan bahwa treatment yang di
berikan pada kelas eksperimen memberikan pengaruh pada kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa sebelum diberi treatment dengan
kemampuan pemecahan masalah siswa setelah diberi treatment. Hal ini
ditunjukan oleh analisis deskriptif pada tabel 4.2 diketahui bahwa secara
keseluruhan rata-rata postscale lebih tinggi dibanding dengan rata-rata prescale.
Berdasarkan rata-rata gain dua kelas yaitu kelas eksperimen 2 yang menerapkan
pembelajaran PBL dan kelas kontrol, rata-rata gain kelas eksperimen 2
menunjukan rata-rata yang positif sehingga mengindikasikan adanya pengaruh
dari treatment yang diberikan yaitu pembelajaran PBL.
Selain berdasarkan analisis deskriptif, analisis kemampuan pemecahan
masalah matematika juga didasarkan pada uji perbedaan rata-rata dengan
menggunakan uji anova satu jalan. Berdasarkan hasil uji perbedaan rata-rata gain
pada analisis data kemampuan pemecahan masalah matematika siswa diperoleh
hasil bahwa nilai Sig. kurang dari 0.05 yaitu 0.000 maka H0 ditolak berarti
minimal ada satu populasi (kelas) yang tidak mempunyai rata-rata yang sama.
Setelah diketahui terdapat perbedaan rata-rata gain kemampuan pemecahan
masalah matematis, selanjutnya dilakukan Uji Tukey untuk mengetahui lebih
detail kelas mana yang mempunyai perbedaan rata-rata.
86
Uji Tukey antara kelas C (eksperimen 2) dan kelas B (kelas konrol) diperoleh
hasil bahwa nilai Sig. > 0.05 (0.001) maka H0 ditolak berarti rata-rata gain kelas
C lebih tinggi dari pada rata-rata gain kelas B, dari hasil uji Tukey memberikan
informasi bahwa pembelajaran PBL memberikan pengaruh yang lebih baik
dibanding pembelajaran konvensional terhadap peningkatan self confidence.
c. Pengaruh Pembelajaran Pendekatan Problem Based Learning (PBL)
dengan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together
(NHT) dibanding dengan Pembelajaran Pendekatan Problem Based
Learning (PBL)
Berdasarkan penelitian yang sudah dilaksanakan bahwa treatment yang di
berikan pada kelas eksperimen memberikan pengaruh pada kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa sebelum diberi treatment dengan
kemampuan pemecahan masalah siswa setelah diberi treatment. Hal ini
ditunjukan oleh analisis deskriptif pada tabel 4.1 diketahui bahwa secara
keseluruhan rata-rata posttest lebih tinggi dibanding dengan rata-rata pretest.
Berdasarkan rata-rata gain dua kelas yaitu kelas eksperimen 1 yang
menerapkan pembelajaran PBL dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT
dan rata-rata gain kelas eksperimen 2 yang menerapkan pembelajaran PBL,
menunjukan rata-rata yang positif sehingga mengindikasikan adanya pengaruh
dari treatment yang diberikan untuk kedua kelas tersebut. Selain berdasarkan
analisis deskriptif, analisis kemampuan pemecahan masalah matematika juga
didasarkan pada uji perbedaan rata-rata dengan menggunakan uji anova satu jalan.
87
Berdasarkan hasil uji perbedaan rata-rata gain pada analisis data kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa diperoleh hasil bahwa nilai Sig. kurang
dari 0.05 yaitu 0.00 maka H0 ditolak berarti minimal ada satu populasi (kelas)
yang tidak mempunyai rata-rata yang sama. Setelah diketahui terdapat perbedaan
rata-rata gain kemampuan pemecahan masalah matematis, selanjutnya dilakukan
uji Tukey untuk mengetahui lebih detail kelas mana yang mempunyai perbedaan
rata-rata.
Uji Tukey antara kelas D (eksperimen 1) dan kelas C (kelas eksperimen 2)
diperoleh hasil bahwa nilai Sig. < 0.05 (0.00) maka H0 ditolak berarti rata-rata
gain kelas D (eksperimen 1) lebih tinggi dari pada rata-rata gain kelas C
(eksperimen 2), dari hasil uji Tukey memberikan informasi bahwa pembelajaran
PBL dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT memberikan pengaruh
yang lebih baik dibanding pembelajaran PBL.
Berdasarkan penjabaran pengaruh penerapan model pembelajaran terhadap
kemampuan pemecahan masalah, dapat diduga faktor-faktor yang mempengaruhi
hasil penerapan pembelajaran adalah sebagai berikut.
a. Faktor yang diduga mempengaruhi hasil dari pembelajaran PBL dengan
model pembelajaran kooperatif tipe NHT adalah sebagai berikut:
1) Dengan berdiskusi, siswa akan lebih memahami permasalahan yang ada
dalam LKS, karena siswa yang belum memahami masalah yang ada
dalam LKS dapat bertanya kepada siswa yang sudah memahami masalah
tersebut ketika dalam berdiskusi.
88
2) Pembentukan kelompok yang heterogen memungkinkan terjadinya
diskusi yang efektif, siswa saling sharing pemahaman dari siswa yang
sudah paham membantu siswa yang belum paham. Hal ini senada dengan
pendapat Isjoni (2010: 47) bahwa dengan mencampurkan kemampuan
siswa, maka siswa yang mempunyai kemampuan kurang akan merasa
terbantu dan termotivasi dengan siswa yang mempunyai kemampuan
lebih.
3) Pada tahap menjawab dan mempresentasikan hasil, guru memanggil salah
satu nomor tertentu secara acak. Hal ini menyebabkan setiap siswa
memiliki tanggung jawab yang sama terhadap hasil diskusi. Senada
dengan pendapat Bennet mengenai model pembelajaran kooperatif tipe
NHT (Isjoni, 2012: 41) bahwa metode ini adalah cara yang sangat baik
untuk menambahkan tanggung jawab individual kepada diskusi
kelompok. Hal ini juga membuat setiap siswa berlatih
mempresentasikannya dengan percaya diri, sehingga melatih siswa untuk
percaya diri dalam mempresentasikan di depan kelas. Senada dengan
penelitian yang dilakukan oleh Bekti Setiti (2011) bahwa pembelajaran
dengan model kooperatif tipe NHT dapat meningkatkan kepercayaan diri
siswa karena pada tahap mempresentasikan hasil, siswa dituntut untuk
siap dipilih secara acak.
b. Faktor yang diduga mempengaruhi hasil dari pembelajaran dengan
Pendekatan PBL adalah Pembentukan kelompok yang berdasarkan keinginan
siswa membuat terjadinya diskusi yang kurang efektif. Hal ini membuat
89
siswa tidak fokus dalam mendiskusikan masalah. Mereka justru
mendiskusikan hal lain diluar topik diskusi.
c. Faktor yang diduga mempengaruhi hasil dari pembelajaran dengan model
konvensional adalah sebagai berikut.
1) Proses pembelajaran terpusat pada guru, menjadikan siswa pasif sehingga
kurang memahami tentang materi yang dipelajarinya.
2) Siswa tidak mengkonstruksi pemahaman dengan sendiri, tapi langsung
diberi oleh guru.