bab ii kajian pustakaeprints.umm.ac.id/39921/3/jiptummpp-gdl-muhammadic-55265...9 bab ii kajian...
TRANSCRIPT
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Pembelajaran matematika yang dilakukan guru dalam kelas berbeda-beda
disesuaikan dengan materi yang akan disampaikan dan model pembelajaran yang
cocok untuk penyampaian guru. Penyesuaian juga harus dilakukan guru dengan
meninjau kompetensi dasar dari materi yang akan disampaikan, sehingga guru
dapat menggunakan model pembelajaran yang tepat untuk penyampaian
topik/materi. Pemilihan model pembelajaran yang tepat mampu membuat siswa
lebih aktif dalam mengikuti pembelajaran serta siswa dapat mendapatkan hasil
yang maksimal.
Kemampuan belajar siswa harus mampu dinilai oleh guru agar guru dapat
mengevaluasi proses pembelajaran yang telah dilakukan agar menjadi lebih baik,
serta guru dapat mengetahui seberapa kemampuan setiap siswa dari hasil belajar
siswa. Evaluasi proses pembelajaran perlu dilakukan untuk memperbaiki kualitas
pembelajaran (Yusuf, 2015). Penelitian dilakukan dengan model pembelajaran
TGT (Teams Games-Tournament) pada konsep bangun datar untuk melihat
kemandirian belajar dan kemampuan koneksi matematis siswa.
2.1 Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran di mana
siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif
yang beranggotakan 4-6 orang siswa (Isjoni, 2010). Selain itu pembelajaran
kooperatif merupakan aktifitas pembelajaran kelompok yang diorganisir oleh satu
prinsip bahwa pembelajaran harus didasarkan pada perubahan informasi secara
sosial di antara kelompok-kelompok pembelajar yang di dalamnya setiap
pembelajar bertanggung jawab atas pembelajarannya sendiri dan didorong untuk
10
meningkatkan pembelajaran anggota-anggota yang lain demi tercapainya tujuan
bersama (Riyanto: 2010 & Huda: 2016). Model pembelajaran kooperatif
mengharuskan guru mampu membagi siswa dalam bentuk kelompok-kelompok
kecil yang tentunya anggota di dalam kelompok mampu bekerja sama secara
maksimal dan bertanggung jawab atas kewajiban masing-masing anggota
kelompok, serta memaksimalkan pembelajarannya sendiri dan pembelajaran
anggota kelompoknya. Masing-masing anggota kelompok harus memahami
pembelajaran dan membagi pengetahuannya kepada anggota lainnya (Huda,
2016).
Sesuai perkembangannya pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran
yang dilakukan secara sadar dan bertujuan untuk membuat siswa lebih aktif dalam
proses pembelajaran, sehingga siswa mampu memahami pembelajaran secara
maksimal. Selain itu pembelajaran kooperatif juga diterapkan untuk
meningkatkan kemampuan siswa dalam menghubungkan pembelajaran yang telah
dilakukan dengan pembelajaran berikutnya, sehingga dapat memudahkan siswa
dalam memahami pembelajaran.
2.2.1 Unsur-unsur Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif diterapkan bertujuan untuk mengembangkan
kemampuan akademis siswa, selain itu pembelajaran kooperatif juga
mengembangkan sikap dan moralitas siswa. Kemampuan akademis siswa
berkembang seiring dengan dilakukannya pembelajaran secara berkelompok oleh
siswa. Dengan berlangsungnya diskusi aktif terhadap materi pembelajaran yang
kurang dipahami siswa dapat menambah pengetahuan-pengetahuan siswa, sikap
11
serta moralitas siswa terbangun dengan saling menghormati sesama anggota
kelompok dan kelompok lain.
Guru harus menanamkan paradigma kepada siswa bahwa siswa tidak
berjuang sendiri namun berjuang bersama (Huda, 2016), salah satu unsur dari
pembelajaran kooperatif yang pertama kali harus dipahami oleh setiap anggota
kelompok. Sebuah pemahaman yang harus ditanamkan kepada siswa agar timbul
kepekaan siswa bahwa mereka menghadapi masalah tidak sendiri dan memiliki
semangat lebih dalam mencoba memecahkan masalah yang dihadapi. Masalah
tersebut adalah konsep-konsep baru yang diterima oleh siswa yang kemudian akan
dipahami bersama dan mencari solusinya.
Paradigma selanjutnya yang harus ditanamkan adalah siswa harus
bertanggung jawab atas pembelajarannya sendiri dan anggota kelompok lainnya
(Warsono & Hariyanto, 2013), adalah juga unsur dari pembelajaran kooperatif.
Pembelajaran harus mampu mengontrol proses kerja kelompok siswa agar siswa
tidak menimbulkan keegoisan dalam melakukan pembelajarannya sendiri dan
tidak memperhatikan anggota kelompoknya. Pemberian motivasi kepada setiap
anggota kelompok juga harus diperhatikan agar secara berkelompok mencapai
hasil yang maksimal dalam pembelajaran.
Dalam berkelompok dan diskusi sehat haruslah mengandung unsur face to
face (tatap muka) sesama anggota kelompok (Riyanto, 2010), adalah unsur
berikutnya dari pembelajaran kooperatif. Dengan begitu akan timbul rasa
ketergantungan yang positif antara anggota kelompok, namun tidak
mengindahkan tanggung jawab dari setiap anggota kelompok atas
pembelajarannya masing-masing. Dengan bertatap muka menimbulkan efek baik
12
dengan beracuan pada unsur sebelumnya dari pembelajaran kooperatif yaitu siswa
tidak berjuang sendiri dalam menghadapi tantangan. Siswa mampu saling
memotivasi anggota kelompoknya agar dapat mencapai hasil belajar yang
maksimal.
Siswa dalam setiap kelompok memiliki tujuan pembelajaran yang harus
tercapai, tujuan pembelajaran adalah salah satu hal pokok yang mendasari suatu
pembelajaran. tujuan tersebut akan tercapai bila siswa bekerja keras, antusias, dan
saling memotivasi serta bertanggung jawab dalam kelompoknya. Komunikasi
yang baik akan dapat timbul dalam sebuah kelompok antara anggota kelompok
(Riyanto, 2010), yang juga merupakan unsur dari pembelajaran kooperatif.
Komunikasi yang baik akan memudahkan siswa dalam bekerja sama dengan
anggota kelompoknya agar mendapatkan hasil pembelajaran yang maksimal.
Pemrosesan kelompok atau penilaian kelompok adalah unsur terakhir dari
pembelajaran kooperatif. Melalui penilaian kelompok dapat diidentifikasi
kelompok yang masih kurang dalam pembelajarannya. Meskipun penilaian
kelompok namun penilaian dilakukan secara individu, nilai-nilai individu dari
anggota kelompok mempengaruhi nilai kelompok tersebut. Nilai individu yang
kurang maksimal akan berimbas pada nilai kelompok yang kurang maksimal pula,
begitu juga sebaliknya. Unsur penilaian atau evaluasi ini sangatlah penting, karena
dapat ditinjau pertanggungjawaban dari setiap anggota kelompok sudah maksimal
atau masih kurang. Rasa tanggung jawab dari tiap anggota kelompok sangatlah
berpengaruh pada proses penilaian sehingga menjadi unsur terakhir dari
pembelajaran kooperatif (Huda, 2016). Konsep yang diterima oleh kelompok
wajib untuk dipahami oleh setiap anggota kelompok, karena hal itu setiap anggota
13
wajib berusaha semaksimal mungkin untuk memahaminya serta bertanggung
jawab untuk mempelajari konsep yang diterima. Oleh karena itu meskipun
penilaian atau evaluasi dilakukan secara kelompok namun dipengaruhi oleh
penilaian individu setiap anggota kelompok yang tergantung pada usaha anggota
kelompok dalam memahami suatu konsep yang diterima.
2.2.2 Manfaat Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif sudah secara terus menerus diteliti sejak tahun
1970-an (Warsono & Hariyanto, 2013). Karena itu pembelajaran kooperatif telah
memberikan manfaat terhadap siswa atau peserta didik. Seiring dengan
berkembangnya kurikulum 2013, pembelajaran kooperatif sangat sesuai dengan
tujuan dari kurikulum 2013 dengan berdasarkan unsur-unsur dari pembelajaran
kooperatif. Begitu pula manfaat dari pembelajaran kooperatif sangatlah
berpengaruh pada pembelajaran matematika.
Meningkatkan hasil belajar siswa adalah yang sangat diharapkan pada
penerapan model pembelajaran, dan salah satu manfaat dari pembelajaran
kooperatif dalah meningkatkan hasil belajar siswa (Utami, 2013). Pada proses
evaluasi pembelajaran kelompok, setiap anggota kelompok akan merasakan akibat
dari pemahaman konsep yang disampaikan (Fithriasari, 2011).
Pertanggungjawaban setiap individu anggota kelompok terhadap sebuah konsep
yang maksimal akan berpengaruh langsung pada hasil belajar kelompok melalui
kemampuan siswa dalam menemukan solusi dari masalah yang diberikan.
Sebuah konsep matematika yang dipahami dan dilakukan siswa dapat
diingat dengan mudah, sehingga mampu menghubungkan konsep yang telah
dipahami dengan konsep matematika lainnya. Ingatan siswa akan meningkat
14
apabila siswa belajar untuk mengerjakan, peningkatan daya ingat tentu menjadi
keuntungan bagi siswa sendiri. Dengan bertanggung jawab penuh terhadap konsep
yang telah diterima serta diskusi kelompok yang dilakukan, secara langsung siswa
melakukan pengerjaan terhadap masalah yang diberikan sehingga memberikan
dampak yang besar pada daya ingat siswa.
Kemampuan daya ingat siswa yang meningkat akan mempermudah siswa
dalam memahami konsep yang dipelajari. Dalam hal ini matematika terdiri dari
berbagai konsep yang saling berkaitan satu sama lain, apabila siswa telah
memahami dengan baik konsep yang telah dipelajari maka siswa akan mampu
mengaitkan pemahaman yang telah ada dengan konsep baru yang dipelajari.
Kemampuan mengaitkan sebuah konsep dengan konsep yang lain juga menjadi
keuntungan tersendiri bagi siswa.
Pembelajaran kooperatif menuntut siswa agar aktif dalam mengikuti
pembelajaran sehingga siswa antusias dalam mengikuti rangkaian pembelajaran.
Antusiasme siswa ini akan memberikan rasa kepuasan kepada siswa itu sendiri
terhadap pembelajaran yang dialami (Warsono dan Hariyanto, 2013). Dengan
begitu siswa akan lebih mudah dalam mengingat konsep yang telah dipelajari dan
mampu mengaitkan konsep yang telah dipahami dengan konsep baru yang
diterima.
Dalam sebuah diskusi kelompok siswa akan belajar bagaimana siswa
bersikap terhadap anggota kelompoknya. Kemampuan siswa dalam bersosial akan
meningkat karena siswa akan mengalami proses bertukar pikiran dengan sesama
anggota kelompoknya (Arends, 2013). Ketika siswa berinteraksi dengan anggota
kelompoknya akan timbul kepekaan dalam mengemban tanggung jawabnya, lebih
15
berhati-hati dalam menyampaikan pendapat, serta menghormati pendapat sesama
anggota kelompoknya.
Hubungan positif yang terjadi antar anggota kelompok tanpa memandang
agama, ras, ataupun suku akan terjalin dalam diskusi kelompok. Demi
terwujudnya tujuan kelompok atau tujuan bersama siswa tidak akan memandang
agama, ras, ataupun suku dalam bersosialisasi antar anggota kelompok. Hubungan
positif ini terjalin seiring dengan diskusi yang dilakukan.
Manfaat pembelajaran kooperatif yang teramat sangat dirasakan langsung
oleh siswa adalah kepercayaan diri siswa tersebut. Kepercayaan diri siswa muncul
seiring dengan penyampaian pendapat pada diskusi kelompok yang terjadi.
Karena pada awalnya siswa diberikan tanggung jawab individu untuk memahami
konsep yang dibahas, siswa diharuskan untuk membagi pamahaman mereka
terhadap konsep yang dibahas kepada anggota kelompoknya.
2.2.3 Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games-Tournament
Teams Games-Tournament (TGT) adalah salah satu tipe dari pembelajaran
kooperatif. Pencetus dari konsep pembelajaran TGT adalah Slavin beserta rekan-
rekannya (Huda, 2016). Dengan pembelajaran berbentuk kelompok-kelompok
kecil yang tidak memandang kemampuan individu siswa, ras, etnik, suku, ataupun
gender dan menggunakan kuis sebagai cara mengevaluasi seperti STAD, TGT
lebih hterfokus pada tingkatan kemampuan siswa dan menggunakan sebuah
permainan akademik sebagai cara evaluasi.
Pembelajaran kooperatif tipe TGT membentuk kelompok-kelompok kecil
dalam kelas yang terdiri dari 3-5 siswa yang heterogen (Kurniasari, 2016).
Kondisi setiap kelompok dibentuk agar setiap kelompok yang ada memiliki
16
komposisi yang seimbang. Kelompok-kelompok yang telah dibentuk selanjutnya
ditugaskan untuk mempelajari suatu topik bahasan melalaui lembar kegiatan
siswa terlebih dahulu. Kemudian pada tahap evaluasi siswa akan diuji dengan
sebuah permainan akademik yang akan menentukan nilai dari masing-masing
kelompok belajar.
Pembelajaran kooperatif tipe TGT memiliki beberapa langkah. Agar
mencapai hasil belajar yang maksimal, setiap langkah dari pembelajaran
kooperatif tipe TGT perlu dilaksanakan dengan baik. Beberapa langkah TGT
(Slavin, 1995), yaitu:
1) pada awal pembelajaran guru memberikan gambaran materi yang akan
dibahas secara garis besar atau secara umum. Hal ini akan memberi petunjuk
kepada siswa tentang apa yang akan mereka pelajari dan apa yang akan
mereka capai (Supriadie & Darmawan, 2013). Sebelum guru membentuk
kelompok, guru terlebih dahulu menjelaskan tata cara diskusi dan prosedur
permainan akademik yang akan dilakukan;
2) pembentukan kelompok secara heterogen berdasarkan tingkat kemampuan
siswa. kemampuan belajar setiap kelompok haruslah seimbang, dengan
perpaduan siswa dengan kemampuan tinggi, sedang, dan rendah;
3) guru mulai membagikan lembar kegiatan siswa kepada setiap kelompok yang
ada. Pada langkah ini siswa diharapkan aktif dalam berdiskusi. Dengan tujuan
mempermudah dan merangsang siswa untuk menggunakan daya ingatnya,
guru dapat memberikan stimulus tentang materi sebelumnya yang telah
dibahas yang tentunya berkaitan dengan materi yang sedang dibahas. Agar
17
mempermudah pengerjaan lembar kegiatan, masing-masing siswa diberi
tanggung jawab masing-masing dengan pemberian tugas individu;
4) guru sebagai seorang fasilitator wajib memberikan bimbingan kepada
kelompok siswa yang mengalami kesulitan dalam mengerjakan lembar
kegiatan siswa. Guru diharapkan aktif untuk mengawasi proses diskusi siswa,
sehingga jika kelompok siswa mengalami kesulitan guru dapat dengan
tanggap memberikan bimbingan kepada kelompok siswa tersebut.
5) sebelum guru memulai permainan terlebih dahulu guru menginstruksikan
kepada siswa untuk me-review kembali pengerjaannya agar jika ada
kesalahan siswa dapat segera memperbaikinya. Hal ini dilakukan agar siswa
lebih memahami materi serta siswa mampu mencapai hasil belajar yang
maksimal;
6) guru memulai permainan akademik sebagai evaluasi terhadap setiap individu.
Nilai rata-rata dari hasil evaluasi individu dalam satu kelompok menjadi nilai
dari kelompok tersebut (Arends, 2013);
7) sebagai salah satu cara untuk memotivasi siswa agar selalu semangat dalam
belajar, guru memberikan reward atau penghargaan kepada kelompok-
kelompok tertentu, sesuai dengan kriteria-kriteria pertimbangan guru.
Kelompok-kelompok seperti kelompok terbaik dalam proses diskusi,
kelompok dengan point rata-rata tertinggi, dan sebagainya, serta di akhir
pembelajaran;
8) guru mengevaluasi seluruh proses pembelajaran yang telah dilakukan.
Penguatan kembali terhadap materi yang telah dibahas masing-masing
18
kelompok, evaluasi terhadap proses diskusi masing-masing kelompok agar
pada pertemuan berikutnya diskusi berlangsung lebih baik lagi.
Bentuk evaluasi yang dilakukan dengan cara permainan akademik. hasil-
hasil dari permainan akademik inilah yang akan menjadi nilai dari tiap-tiap
kelompok. Menurut Warsono dan Hariyanto (2013) cara kerja permainan
akademik adalah:
1) permainan akademik dilakukan dengan perwakilan dari masing-masing
kelompok. Masing-masing perwakilan kelompok telah ditentukan oleh guru
berdasarkan kemampuan siswa pada meja-meja yang telah disiapkan.
Penentuan perwakilan masing-masing kelompok adalah mempertemukan
siswa dengan kemampuan tinggi dalam satu meja dan begitu pula pada siswa
berkemampuan sedang dan rendah, kemudian siswa mengambil soal
permainan secara acak atau undian untuk dikerjakan pada meja masing-
masing;
2) pada tahapan turnamen peserta selalu berganti-ganti sesuai dengan hasil dari
permainan akademik yang telah dilakukan sebelumnya. Pada setiap meja
permainan akademik siswa akan selalu dikumpulkan dengan siswa lain yang
tingkat kemampuannya sama (Riyanto, 2010);
3) pada pertemuan selanjutnya guru kembali membagi kelompok dengan
komposisi kemampuan siswa yang sama namun dengan kelompok yang tidak
sama dengan kelompok pertemuan sebelumnya. Pembagian kelompok juga
berdasarkan dari hasil turnamen sebelumnya, sehingga komposisi
kemampuan siswa seimbang. Pada prinsipnya, turnamen akan
19
mempertemukan masing-masing pemenang dari meja-meja yang ada untuk
mencari pemenang utama dari setiap meja, dan;
4) hasil dari masing-masing anggota kelompok yang mewakili kelompoknya
pada permainan akademik akan digabung dan direrata untuk menjadi nilai
kelompok tersebut. Hasil maksimal yang dicapai oleh anggota kelompok akan
berpengaruh besar pada nilai kelompoknya, begitupun sebaliknya.
Layaknya model pembelajaran yang lain serta proses pembelajaran,
tingkat keberhasilan dari pembelajaran kooperatif tipe TGT sangatlah bergantung
pada bagaimana guru mempersiapkan rencana, merencanakan pembelajaran
hingga pelaksanaannya. Sesuai dengan kurikulum 2013 guru sebagai fasilitator,
sehingga guru diwajibkan mempersiapkan pembelajaran dengan matang. Pada
pelaksanaan pembelajaran, guru juga harus memperhatikan perencanaan yang
telah dibuatnya sehingga pembelajaran berjalan secara efisien dan sesuai rencana
dan tujuannya
2.2 Kemandirian Belajar Dalam Pembelajaran Teams Games-Tournament
Pembelajaran harus mampu mengondisikan siswa untuk mendapatkan
informasi serta pengetahuan baru yang tidak disampaikan oleh guru secara
langsung. Kondisi agar siswa mampu menemukan konsep yang dibahas oleh
dirinya sendiri. Dalam mencapai tujuan pembelajaran siswa menggerakkan
dirinya sendiri untuk belajar (Brookfield, 2000).
Setiap siswa dapat berkembang secara maksimal dalam hal kemandirian
belajar. Apabila dalam proses pembelajaran diberikan peluang serta kesempatan
kepada siswa itu sendiri untuk menentukan keputusan mengani proses
pembelajaran itu sendiri (Khosun: 2011).
20
Kemandirian belajar adalah proses siswa dalam perancangan dan
pemantauan apa yang dikerjakannya secara seksama dalam pembelajarannya
(Sumarmo, 2002). Kemadirian belajar akan terwujud apabila siswa aktif dalam
pembelajaran dan siswa mampu aktif mengontrol diri dengan baik apa yang
dikerjakannya serta mengevaluasi pembelajarannya.
Kemandirian belajar adalah situasi siswa mampu mengendalikan diri
dalam melakukan kegiatan belajar dengan kemampuan dirinya sendiri dalam
kondisi berkelompok atau tidak. Kemandirian belajar siswa bergantung pada
kemampuan siswa dalam mengendalikan diri siswa, meskipun terdapat faktor-
faktor yang dapat mempengaruhi kemandirian belajar siswa.
Model pembelajaran Teams Games-Tournament adalah model
pembelajaran yang menuntut siswa untuk aktif dalam pembelajaran. Selain itu
model pembelajaran ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif dalam
proses pembelajaran sehingga siswa dapat melatih kemandirian belajarnya.
2.2.1 Indikasi Siswa Memiliki Kemandirian Belajar
Kemandirian siswa dalam pembelajaran tak terlepas dari keaktifan siswa
mengontrol diri, serta kemandirian siswa dapat dipantau dari beberapa indikasi.
Indikasi berupa rasa tanggung jawab siswa terhadap tugas yang diberikan
kepadanya, kesadaran diri bahwa kewajiban siswa adalah untuk belajar, kesadaran
diri yang tinggi berpengaruh baik pada kedewasaan diri siswa dalam belajar, serta
kedisiplinan siswa dalam belajar (Syam, 1999).
Siswa memiliki kemandirian belajar dapat dilihat dari inisiatif siswa dalam
belajar tanpa menunggu instruksi untuk melakukannya. Sukarno (1999)
menyebutkan bahwa siswa yang memiliki kemandirian belajar ditandai dengan:
21
1) siswa mampu merencanakan kegiatan belajarnya sendiri;
2) inisiatif yang dimiliki siswa dalam belajar;
3) percaya diri dalam belajar;
4) siswa mampu belajar dengan kritis, logis, dan terbuka; serta
5) rasa tanggung jawab siswa terhadap belajarnya.
Siswa yang memiliki kemandirian belajar sanggup untuk mengendalikan
serta mengatur proses pembelajarannya. Dengan tanggung jawab penuh atas
dirinya sendiri terhadap tugas-tugas yang diberikan kepadanya sebagai seorang
siswa.
2.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Belajar
Pada umunya ada dua faktor yang mempengaruhi kemandirian belajar
siswa (Syam:1999), yaitu:
1) faktor internal, faktor yang berasal pada diri siswa sendiri. Faktor yang
paling berpengaruh pada kemandirian belajar siswa dengan beberapa
indikasi pada diri siswa itu sendiri, dan;
2) faktor eksternal atau faktor dari luar diri siswa. faktor yang muncul dan
mempengaruhi kemandirian belajar siswa dari lingkungan hidup siswa,
kondisi sosial dan ekonomi siswa, hingga jasmani dan rohani siswa.
Sedangkan menurut Biemiller (1998), faktor yang mempengaruhi
kemandirian belajar adalah:
1) sumber sosial, yaitu orang dewasa yang berada dilingkungan siswa seperti
orang tua siswa dan pelatih atau guru siswa.
22
2) sumber kesempatan siswa untuk belajar. Siswa yang secara terus-menerus
diatur oleh orang tua serta guu sehingga siswa kurang kesempatan untuk
membangun kemampuan belajar secara mandiri bagi siswa.
2.3 Kemampuan Koneksi Matematis Dalam Model Pembelajaran Teams
Games-Tournament
Mata pelajaran matematika terdiri dari berbagai topik yang saling
berkaitan satu sama lain. Keterkaitan tersebut tidak hanya antar topik dalam
matematika, akan tetapi terdapat juga keterkaitan antara topik dalam matematika
dengan disiplin ilmu lainnya. Selain keterkaitan dengan disiplin ilmu lain,
matematika juga memiliki keterkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Kemampuan
dalam mengaitkan antar topik dalam matematika, mengaitkan matematika dengan
disiplin ilmu lain, serta mengaitkan matematika dengan kehidupan sehari-hari
disebut dengan kemampuan koneksi matematis.
Kemampuan koneksi matematis adalah kemampuan siswa mengaitkan
konsep-konsep matematika atau mengaitkan konsep matematika dengan bidang
ilmu lainnya (Setiawan:2009). Koneksi matematis dapat dibagi menjadi tiga
klasifikasi yaitu koneksi antar topik matematika, koneksi dengan disiplin ilmu
lain, dan koneksi dengan masalah kehidupan sehari-hari.
Matematika yang pada dasarnya adalah konsep yang saling berkaitan jika
diberikan secara sendiri-sendiri maka pembelajaran matematika akan kehilangan
satu momen yang berharga dalam mencapai prestasi belajar siswa
(Setiawan:2009). Kurangnya kemampuan koneksi matematis pada diri siswa akan
mempersulit siswa dalam mempelajari matematika. Kemampuan koneksi
23
matematis dibutuhkan siswa dalam mempelajari beberapa konsep matematika
karena berkaitan dengan konsep matematika lainnya.
Kemampuan koneksi matematis akan membuat siswa memandang
matematika adalah suatu kesatuan dan bukan sebagai materi yang berdiri sendiri-
sendiri. Siswa akan mudah dalam memahami sebuah konsep matematika yang
baru dipelajarainya apabila siswa mampu mengaitkan dengan konsep matematika
yang telah siswa pelajari sebelumnya. Mempermudah siswa dalam
menyelesaiakan tugas yang diberikan sehingga berpengaruh langsung pada
prestasi belajar siswa.
Model pembelajaran Teams Games-Tournament adalah model
pembelajaran yang melibatkan peserta didik secara aktif, yang berarti model
pembelajaran Teams Games-Tournament adalah pembelajaran yang berfokus
pada student centered. Strategi student centered akan membangun kememapuan
berpikir tingkat tinggi pada siswa (Delisle:1997).
Kemampuan berpikir siswa sangat penting bagi siswa. Memori siswa
tentang konsep matematika siswa yang telah diketahui akan berguna bagi siswa
dalam mempelajari konsep matematika yang baru, karena konsep matematika
adalah konsep yang berhubungan satu sama lain.
2.3.1 Indikator Siswa Memiliki Kemampuan Koneksi Matematis
Siswa yang memiliki kemampuan koneksi matematis akan memenuhi
beberapa indikator (NCTM: 2000) yaitu:
2.1 mengenali dan memanfaatkan hubungan-hubungan antara gagasan dalam
matematika. Koneksi dapat membantu siswa dalam memanfaatkan konsep-
konsep yang telah dipelajari siswa dengan konteks baru yang akan
24
dipelajari oleh siswa dengan cara menghubungkan satu konsep dengan
konsep lainnya sehingga siswa mengingat kembali konsep yang
sebelumnya telah mereka pelajari;
2.2 memahami bagaimana gagasan-gagasan dalam matematika saling
berhubungan dan mendasari satu sama lain untuk menghasilkan suatu
keutuhan. Siswa mampu melihat struktur matematika yang sama dalam
setting yang berbeda, sehingga terjadi peningkatan pemahaman tentang
hubungan antara konsep matematika pada siswa;
2.3 mengenali dan menerapkan matematika dalam konteks-konteks di luar
matematika. Pada tahap ini berkaitan dengan hubungan matematika
dengan kehidupan sehari-hari. Sehingga siswa dapat mengkoneksikan
antara kejadian nyata ke dalam model matematika.
2.4 Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini dengan berdasarkan kajian
teori diatas, adalah terdapat pengaruh positif yang signifikan model pembelajaran
kooperatif tipe TGT terhadap kemandirian belajar dan kemampuan koneksi
matematis siswa di SMP Plus Darussalam Lawang.