bab ii isicara mengulang kata yang dipentingkan beberapa kali berturut-turut (keraf, 2007:128)....
TRANSCRIPT
32
BAB II
ISI
A. Syair Ke-1
أغنية الضباب باب ي غطي كل شيء..كان ال نظرت ليلى من نافذتا ف لم تستطع أن ت رى احلدي قة، ف هت فت قائلة: ض
دي نة ضباب ضباب
ي لف ادلنة ي لف القباب كي وي لقي الس
** وارع تغيب احلدي قة تغيب الش
باب بقلب الضقة كاحلم ضائع وت غدو اخللي
وراء الضباب **
ياء ضباب كثيف يئن الض يو على حاف ت
وال من غناء فما من رفيف يسيل عليو
** ضباب ضباب
ودن يا غياب
دعون أسافر بذا الضباب
Ughniyyatudh-Dhaba>b
Ka>na adh-Dhaba>bu yughaththi> kulla syaiˈin.. Nazharat Laila> min na>fidzatiha> falam tastathi‘ an tara> al-chadi>qah, fahtafat qa>ˈilatan:
Dhaba>bun dhaba>b Yalufful-Madi>nah Yalufful-qiba>b Wa yulqi>s-saki>nah
32
33
** Taghi>bul-chadi>qah Taghi>busy-syawa>ri‘
Biqalbidh-dhaba>b Wa taghdu>l-khali>qah Ka achla>mi dha> i‘
Wara> adh-dhaba>b **
Dhaba>bun katsi>f Yaˈinnudh-dhiya>ˈ ‘Ala> cha>fataih
Fama> min rifi>f Wa la> min ghina> Yashi>lu ‘alaih
** Dhaba>bun dhaba>b Wa dunya> ghiya>b
Da‘u>ni> ˈusa>fir
Biha>dza>dh-dhaba>b
Nyanyian Kabut
Sang kabut menyelimuti segalanya .. Laila memandang dari balik jendelanya,
Namun ia tak mampu melihat taman, lalu ia sedikit berteriak:
Kabut kabut Membungkus kota
Menyelimuti kubah-kubah Menebarkan ketenangan
**
Taman menghilang Jalan-jalanpun lenyap
Di tengah-tengah kabut
Terbangunlah makhluk-makhluk Bak mimpi yang hilang
Dibalik Sang kabut
**
Kabut tebal Meratapi cahaya
Pada kedua tepinya
Bukan dari papan Atau dari nyanyian
Mengalir di atasnya
**
Kabut kabut
Dan duniapun lenyap
Biarkan aku berkelana
Bersama kabut ini
34
1. Analisis Strata Norma Roman Ingarden
a. Lapis Bunyi
Bunyi merupakan unsur puisi yang bersifat estetis, karena
menimbulkan keindahan dan tenaga ekpresif. Bunyi konsonan dan vokal
disusun sedemikian rupa sehingga menimbulkan bunyi yang merdu dan
berirama seperti bunyi musik. Dari irama yang beraturan inilah akan
mengalirkan perasaan, imajinasi-imajinasi dalam pikiran atau pengalaman-
pengalaman jiwa pendengarnya (Pradopo, 2014:22-27).
Kombinasi bunyi-bunyi vokal (asonansi), bunyi konsonan bersuara
(voiced), bunyi likuida atau bunyi yang keluar dari sela-sela ujung lidah yang
menempel pada ceruk gigi, dan bunyi sengau (nasal) menimbulkan bunyi
merdu dan berirama (efoni). Bunyi yang merdu ini dapat mendukung suasana
yang mesra, kasih sayang, gembira, dan bahagia. Sebaliknya, kombinasi
bunyi yang tidak merdu dan parau yang disebabkan oleh bunyi konsonan
tidak bersuara (unvoiced) dapat untuk memperkuat suasana yang tidak
menyenangkan, kacau balau, serba tidak teratur, bahkan memuakkan.
Kombinasi bunyi tidak merdu dan parau disebut dengan kakofoni (Pradopo,
2014: 29-31). Anis (1999:22) mengkategorikan huruf-huruf nasal (mi>m dan
nu>n) serta huruf likuida (la>m dan ra>’) ke dalam huruf bersuara (majhu>r).
Syair Ughniyyatudh-Dhaba>b diawali dengan sebuah prolog yang
menggambarkan tentang suasana berkabut pada saat syair tersebut
dinyanyikan. Rangkaian bunyi pada bagian awal prolog didominasi dengan
bunyi huruf konsonan bersuara (majhu>r). Bunyi huruf-huruf konsonan
35
bersuara tersebut adalah bunyi huruf nu>n, dha>d, ba>’, ya>’, ghain, la>m dan
hamzah seperti pada kata ka>na, adh-dhaba>b, yughaththi>>, kulla, dan syaiˈin.
Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:
باب ي غطي كل شيء .( 2009 :38العيسى، ) ..كان الض
Ka>na adh-Dhaba>bu yughaththi> kulla syaiˈin.. (al-‘Isa>, 2009:38).
Sang kabut menyelimuti segalanya .. (al-‘Isa>, 2009:38).
Dominasi penggunaan huruf-huruf konsonan bersuara ini
menimbulkan sugesti suasana yang mesra dan penuh kasih sayang. Pada
kutipan tersebut juga ditemukan beberapa huruf konsonan tidak bersuara
(mahmu>s) yaitu huruf ka>f, tha>’ dan syi>n. Adanya huruf-huruf konsonan tidak
bersuara ini menimbulkan sugesti suasana yang mesra dan penuh kasih
sayang tercampuri oleh perasaan yang agak berat dan kurang menyenangkan.
Kalimat selanjutnya pada prolog menggambarkan tokoh Laila yang
sedang bercerita tentang kabut melalui nyanyian kabutnya. Rangkaian bunyi
pada bagian ini didominasi oleh vokal [a] dan [i] seperti pada kutipan berikut:
.( 38:2009العيسى، ) ت فت قائلة ليلى من نافذتا ف لم تستطع أن ت رى احلدي قة، ف ه ...نظرت
… Nazharat Laila> min na>fidzatiha> falam tastathi‘ an tara> al-chadi>qah, fahtafat qa>ˈilatan (al-‘Isa>, 2009:38).
... Laila memandang dari balik jendelanya, Namun ia tak mampu
melihat taman, lalu ia sedikit berteriak (al-‘Isa>, 2009:38).
Vokal [a] yang dikolaborasikan dengan vokal [i] membentuk sebuah
komposisi sajak yang mengakibatkan sugesti suasana antara riang dan
tertekan. Pada bagian ini juga ditemukan aliterasi atau pengulangan bunyi
konsonan yang dominan. Aliterasi berfungsi untuk memperdalam rasa dan
36
memperlancar ucapan (Pradopo, 2014:38). Aliterasi pada bagian ini berupa
pengulangan bunyi huruf ta> yang mendominasi, seperti pada kata nazharat,
na>fidzatiha>, tastathi‘, tara>, fahtafat, dan qa> ilatan. Bunyi huruf ta>ˈ yang
memiliki karakter tidak bersuara (mahmu>s) menimbulkan sugesti adanya
sesuatu yang berat dan susah.
Selain prolog, syair Ughniyyatudh-Dhaba>b terdiri dari empat bagian
yang antar bagiannya dibatasi dengan tanda (**). Bagian pertama, kedua, dan
ketiga masing-masing terdiri dari satu bait. Sementara bagian keempat terdiri
dari dua bait.
Bagian pertama syair Ughniyyatudh-Dhaba>b didominasi oleh
penggunaan bunyi huruf-huruf konsonan bersuara seperti huruf dha>d, ba>’,
ya>’, la>m, mi>m, da>l, nu>n, dan wau yang terdapat pada kata dhaba>b, yaluffu, al-
madi>nah al-qiba>b, wayulqi>, dan as-saki>nah. Analisis ini berdasarkan pada
kutipan berikut:
دي نة - ضباب ضباب
نة -ي لف القباب / ي لف ادل كي .( 38:2009)العيسى، وي لقي الس
Dhaba>bun dhaba>b - Yalufful-Madi>nah/ Yalufful-qiba>b – Wa yulqi>s-saki>nah (al-‘Isa>, 2009:38).
Kabut kabut - Membungkus kota/ Menyelimuti kubah-kubah -
Menebarkan ketenangan (al-‘Isa>, 2009:38).
Dominasi penggunaan bunyi huruf-huruf konsonan bersuara yang ada
di dalam bait ini menimbulkan sugesti suasana yang mesra, tenang, dan penuh
kasih sayang. Meskipun demikian, di dalam bagian pertama syair ini juga
ditemukan penggunaan beberapa bunyi huruf konsonan tidak bersuara seperti
huruf fa>’ pada kata yaluffu, bunyi [h] dari huruf ta>’ marbuthah yang bersukun
37
pada kata al-madi>nah dan as-saki>nah, huruf qa>f pada kata al-qiba>b dan yulqi>,
huruf si>n dan ka>f pada kata as-saki>nah. Adanya pengunaan beberapa bunyi
konsonan tidak bersuara atau mahmu>s ini menimbulkan sugesti suasana yang
mesra dan tenang bercampur dengan sedikit tekanan dan ketakutan.
Pada bagian pertama syair ini juga ditemukan repetisi yang berupa
epizeuksis. Epizeuksis merupakan pengulangan yang bersifat langsung dengan
cara mengulang kata yang dipentingkan beberapa kali berturut-turut (Keraf,
2007:128). Pengulangan ini terjadi pada kata adh-dhaba>b yang diulang dua
kali pada baris pertama. Selain epizeuksis, terdapat pula anafora atau
pengulangan bunyi dalam bentuk kata pada awal baris puisi (Keraf,
2007:127-128). Anafora terjadi pada kata yaluffu yang diulang 2 kali pada
baris pertama dan kedua. Repetisi seperti epizeuksis dan anafora ini berfungsi
untuk memberikan efek penekanan pada makna kata yang diulang, yaitu kata
adh-dhaba>b dan yaluffu.
Selanjutnya, pada bagian kedua syair Ughniyyatudh-Dhaba>b masih
didominasi oleh penggunaan bunyi huruf-huruf konsonan bersuara. Akan
tetapi pada bait kedua ini, juga ditemukan penggunaan bunyi huruf konsonan
tidak bersuaranya (mahmu>s) yang lebih banyak dibandingkan pada bagian
pertama. Huruf-huruf majhu>r yang digunakan di bagian kedua ini adalah
ghain, ba>’, la>m, da>l, wau, ra>’, ‘ain, dha>d, hamzah, dan mi>m. Hal ini dapat
dilihat pada kutipan berikut:
وارع - تغيب احلدي قة باب / تغيب الش قة /بقلب الض وراء الضباب / كاحلم ضائع -وت غدو اخللي
.( 38:2009)العيسى،
38
Taghi>bul-chadi>qah - Taghi>busy-syawa>ri‘/ Biqalbidh-dhaba>b/ Wa taghdu>l-khali>qah – Ka achla>mi dha>ˈi‘/ Wara> adh-dhaba>b (al-‘Isa>,
2009:38).
Taman menghilang - Jalan-jalanpun lenyap/ Di tengah-tengah kabut/
Terbangunlah makhluk-makhluk - Bak mimpi yang hilang/ Dibalik
Sang kabut (al-‘Isa>, 2009:38).
Penggunaan bunyi huruf-huruf konsonan bersuara ini menimbulkan
sugesti suasana yang dinamis dan penuh kedekatan. Meskipun demikian, pada
bagian kedua syair Ughniyyatudh-Dhaba>b juga ditemukan penggunaan bunyi
huruf konsonan tidak bersuara seperti bunyi huruf ta>’, cha>’, qa>f, syi>n, kha>’,
dan ka>f. Keberadaan bunyi huruf-huruf ini menimbulkan sugesti suasana
yang dinamis bercampur dengan suasana yang kurang menyenangkan dan
mencekam.
Pada bagian kedua syair ini terdapat anafora yang berupa pengulangan
pada kata taghi>bu yang terdapat pada baris pertama. Keberadaan anafora
berfungsi untuk memberikan efek penekanan atau mempertegas makna kata
yang dimaksudkan.
Selain anafora, pada bagian kedua syair ini juga ditemukan aliterasi
atau pengulangan bunyi konsonan yang dominan di dalam puisi. Aliterasi
yang ditemukan yaitu berupa pengulangan bunyi huruf ba>’ yang merupakan
bunyi konsonan bersuara pada kata taghi>bu, biqalbi, dan adh-dhaba>b.
Aliterasi ini berfungsi untuk memperdalam rasa dan sebagai orkestrasi.
Bagian ketiga syair Ughniyyatudh-Dhaba>b juga didominasi oleh
penggunaan bunyi konsonan bersuara seperti bunyi huruf dha>d, ba>’, ya>’,
39
hamzah, nu>n, ‘ain, la>m, mi>m, ra>’, wau, dan ghain. Dominasi penggunaan
bunyi konsonan ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:
ياء - ضباب كثيف يسيل عليو / وال من غناء - فما من رفيف / يو على حاف ت /يئن الض .( 39:2009)العيسى،
Dhaba>bun katsi>f - Yaˈinnudh-dhiya>ˈ/ ‘Ala> cha>fataih/ Fama> min rifi>f – Wa la> min ghina> / Yashi>lu ‘alaih (al-‘Isa>, 2009:39).
Kabut tebal - Meratapi cahaya/ Pada kedua tepinya/ bukan dari papan
- atau dari nyanyian/ Mengalir di atasnya (al-‘Isa>, 2009:39).
Dominasi penggunaan bunyi konsonan bersuara ini menimbulkan
sugesti suasana yang mesra dan dekat. Sugesti suasana kemesraan dan
kedekatan ini berkurang dengan hadirnya beberapa bunyi konsonan tidak
bersuara, yaitu bunyi huruf ka>f, tsa>’, fa>’, cha>’, ta>’, ha>’, dan si>n. penggunaaan
bunyi konsonan tidak bersuara ini terdapat pada kata katsi>f, cha>fataih, fama>,
rifi>f, dan yasi>lu.
Sementara itu, bagian keempat syair ini terdiri dari dua bait syair.
Bagian keempat ini juga didominasi oleh penggunaan bunyi konsonan
bersuara, baik pada bait pertama maupun pada bait kedua. Bunyi konsonan
bersuara tersebut yaitu bunyi dha>d, ba>’, wau, da>l, nu>n, ya>’, ghain, ‘ain,
hamzah, ra>’, dan dza>l. Analisis ini berdasarkan pada kutipan berikut:
ودن يا غياب / ضباب ضباب
.( 39:2009)العيسى، بذا الضباب / دعون أسافر
Dhaba>bun dhaba>b/ Wa dunya> ghiya>b Da‘u>ni> ˈusa>fir/ Biha>dza>dh-dhaba>b (al-‘Isa>, 2009:39).
Kabut kabut/ Dan Duniapun lenyap
Biarkan aku berkelana/ Bersama kabut ini (al-‘Isa>, 2009:39).
40
Dominasi penggunaan bunyi konsonan bersuara ini menimbulkan
sugesti suasana yang dinamis, riang, dan mesra. Pada bagian keempat ini
ditemukan aliterasi yaitu pengulangan huruf ba>’ pada kata dhaba>b, ghiya>b
dan biha>dza>. Bunyi huruf ba>’ merupakan bunyi konsonan bersuara.
Pengulangan bunyi huruf ba>’ ini mempertegas adanya sugesti suasana yang
dinamis, riang, dan mesra.
Pada bagian keempat syair ini juga ditemukan repetisi yang berupa
epizeuksis. Epizeuksis merupakan pengulangan yang bersifat langsung dengan
cara mengulang kata yang dipentingkan beberapa kali berturut-turut (Keraf,
2007:128). Pengulangan ini terjadi pada kata dhaba>b yang diulang sebanyak
dua kali pada baris pertama. Pengulangan ini bertujuan untuk memberikan
efek penekanan pada makna kata yang dimaksudkan yaitu kata dhaba>b.
Adapun irama yang terdapat pada syair ini berupa sajak akhir (ritme)
yang memiliki kesamaan setiap dua baris pada bagian pertama, kedua, dan
ketiga syair. Pada bagian pertama, baris satu dan dua memiliki sajak atau
akhiran yang sama yaitu berupa huruf ta>ˈ marbuthah. Kemudian, pada bagian
kedua, baris pertama dan ketiga berakhiran huruf ‘ain, untuk baris kedua dan
keempat berakhiran huruf ba> . Sementara itu, pada bagian ketiga syair, baris
pertama dan ketiga memiliki sajak yang sama yaitu berakhiran huruf hamzah,
sedangkan baris kedua dan keempatnya berakhiran dengan huruf ha> . Jadi,
dapat disimpulkan bahwa bagian pertama syair bersajak ab dan bagian kedua
serta bagian ketiga bersajak ab-ab. Untuk bagian keempat baris pertama,
kedua, dan keempatnya memiliki sajak akhir yang sama yaitu huruf ba>ˈ sukun.
41
Sedangkan baris ketiganya memiliki akhiran yang berbeda yaitu huruf ra> .
Persamaan dari semua sajak akhir pada syair ini yaitu semua huruf akhir-nya
berharakat sukun.
Sementara itu, irama yang berupa metrum atau biasa disebut bachr
dalam aturan syair Arab, tidak ditemukan di dalam syair ini. Oleh karena itu,
syair Ughniyyatudh-Dhaba>b ini dapat dikategorikan ke dalam bentuk syi‘r
churr. Syi‘r churr yaitu syair yang tidak terikat oleh aturan wazan, qa>fiyah,
maupun taf‘ila>t akan tetapi masih terikat dengan satuan irama khusus yang
menjadi karakteristik karya sastra bernilai tinggi. Penyair hanya
mengungkapkan perasaan dan imajinasinya sehingga iramanya bersifat
subjektif (Husein dalam Muzakki, 2006:53).
b. Lapis arti
Lapis arti merupakan lapis yang ditimbulkan oleh lapis bunyi yang
terdapat di dalam syair. Lapis arti berupa gabungan fonem yang menjadi kata
kemudian berkembang menjadi kelompok kata, kalimat hingga menjadi
keseluruhan cerita (Pradopo, 2013:15).
Syair Ughniyyatudh-Dhaba>b diawali dengan prolog atau paragraf
pengantar syair, sebelum masuk ke bagian syair. Paragraf pengantar ini berisi
kalimat-kalimat yang mengantarkan pembaca pada gambaran situasi yang
tengah berlangsung sebelum masuk ke dalam bagian syair, sehingga
membantu memudahkan pembaca untuk memahami isi syair.
Arti paragraf pengantar syair yaitu menggambarkan tentang suasana
saat puisi dinyanyikan. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:
42
باب ي غطي كل شيء... نظرت ليلى من نافذتا ف لم تستطع أن ت رى احل دي قة، ف هت فت كان الض .( 38:2009العيسى، ) قائلة
Ka>na adh-Dhaba>bu yughaththi> kulla syaiˈin.. Nazharat Laila> min na>fidzatiha> falam tastathi‘ an tara> al-chadi>qah, fahtafat qa>ˈilatan (al-
‘Isa>, 2009:38).
Sang kabut menyelimuti segalanya ... Laila memandang dari balik
jendelanya, Namun ia tak mampu melihat taman, lalu ia sedikit
berteriak (al-‘Isa>, 2009:38).
Kabut masih menyelimuti semua yang ada di bumi. Dari balik jendela
Laila menatap sekeliling, namun pandangannya terhalang oleh sang kabut,
hingga dia tidak dapat melihat taman. Keadaan itu membuatnya terpekik.
Selanjutnya, bagian pertama syair Ughniyyatudh-Dhaba>b
menggambarkan tentang teriakan Laila mengenai kabut yang menyelimuti
kota. Pernyataan tersebut berdasarkan pada kutipan berikut:
دي نة - ضباب ضباب
نة -ي لف القباب / ي لف ادل كي .( 38:2009)سليمان ، وي لقي الس
Dhaba>bun dhaba>b - Yalufful-Madi>nah/ Yalufful-qiba>b – Wa yulqi>s-saki>nah (al-‘Isa>, 2009:38). Kabut kabut - Membungkus kota/ Menyelimuti kubah-kubah -
Menebarkan ketenangan (al-‘Isa>, 2009:38).
Selain menyelimuti kota, kabut juga menyelimuti bangunan-
bangunannya. Kubah-kubah yang ada di kota itu juga tidak luput dari kabut
yang menutupinya. Suasana tersebut menimbulkan perasaan yang tenang dan
damai.
Kemudian, pada bagian kedua masih menceritakan tentang kabut yang
menyelimuti berbagai hal. Pernyataan ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:
43
وارع - تغيب احلدي قة قة /بقلب الضباب / تغيب الش باب / كاحلم ضائع -وت غدو اخللي وراء الض
.( 38:2009)العيسى،
Taghi>bul-chadi>qah - Taghi>busy-syawa>ri‘/ Biqalbidh-dhaba>b/ Wa taghdu>l-khali>qah - Ka achla>mi dha>ˈi‘/ Wara>ˈadh-dhaba>b (al-‘Isa>,
2009:38). Taman menghilang - Jalan-jalanpun lenyap/ Di tengah-tengah kabut/
Terbangunlah makhluk-makhluk - Bak mimpi yang hilang/ Dibalik
Sang kabut (al-‘Isa>, 2009:38).
Taman dan jalan-jalan hilang tidak tampak karena tertutupi oleh
pusaran kabut. Sementara itu, para makhluk terbangun dari tidurnya,
meninggalkan mimpi-mimpi mereka bersama perginya sang kabut.
Pada bagian ketiga menceritakan tentang kabut yang meratapi
kedatangan sinar matahari pagi. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan
berikut:
ياء - ضباب كثيف يسيل عليو / وال من غناء - فما من رفيف / يو على حاف ت /يئن الض .( 39:2009)العيسى،
Dhaba>bun katsi>f - Yaˈinnudh-dhiya>ˈ/ ‘Ala> cha>fataih/ Fama> min rifi>f – Wa la> min ghina> / Yashi>lu ‘alaih (al-‘Isa>, 2009:39).
Kabut tebal - Meratapi cahaya/ Pada kedua tepinya/ Bukan dari papan
– atau dari nyanyian/ Mengalir di atasnya (al-‘Isa>, 2009:39).
Karena meratapi kedatangan matahari, mengalirlah sesuatu yang
bukan berasal dari papan, bukan pula berasal dari nyanyian. Sesuatu itu
mengalir pada kedua tepi kabut. Sesuatu ini bisa diartikan sebagai embun,
karena sifatnya yang mengalir. Sebagaimana kebiasaan seseorang yang
sedang meratap dan mengeluarkan air mata. Embun juga bukanlah sesuatu
yang berasal dari papan atau dari nyanyian.
44
Bagian keempat terdiri dari dua bait syair. Bait pertama berisi teriakan
Laila, yang dapat dilihat dalam kutipan berikut:
.( 39:2009)العيسى، ودن يا غياب / ضباب ضباب
Dhaba>bun dhaba>b/ Wa dunya> ghiya>b (al-‘Isa>, 2009:39).
Kabut kabut/ Dan Duniapun lenyap (al-‘Isa>, 2009:39).
Laila terus berteriak: “kabut-kabut!”, dan duniapun tidak tampak
karena tertutup oleh kabut itu. Sedangkan pada bait kedua berisikan tentang
harapan Laila dengan adanya kabut itu. Analisis ini berdasarkan pada kutipan
berikut:
.( 39:2009)العيسى، بذا الضباب / أسافر دعون
Da‘u>ni> ˈusa>fir/ Biha>dza>dh-dhaba>b (al-‘Isa>, 2009:39).
Biarkan aku berkelana/ Bersama kabut ini (al-‘Isa>, 2009:39).
Keberadaan kabut membuat Laila ingin berkerlana, berkelana
bersama Sang kabut. “Biarkan aku berkelana”, Ucap Laila. Dia menginginkan
dirinya dibiarkan untuk berkelana bersama kabut.
c. Lapis Hal-Hal yang Dikemukakan
Rangkaian satuan-satuan arti menimbulkan lapis ketiga, yaitu lapis
hal-hal yang dikemukakan. Lapis hal-hal yang dikemukakan berupa latar,
pelaku, objek yang dikemukakan, dan dunia pengarang (Pradopo, 2014:15).
Latar yang tertera dalam syair ini berupa latar tempat. Latar tempat
pada syair ini yaitu dari balik jendela. Pernyataan ini terdapat di dalam
kutipan berikut:
45
الضباب ي غطي كل شيء... نظرت ليلى من نافذتا ف لم تستطع أن ت رى احلدي قة، كان .( 38:2009) العيسى،ف هت فت قائلة:
Ka>na adh-Dhaba>bu yughaththi> kulla syaiˈin.. Nazharat Laila> min na>fidzatiha> falam tastathi‘ an tara> al-chadi>qah, fahtafat qa>ˈilatan: (al-
‘Isa>, 2009:38).
Sang kabut menyelimuti segalanya ... Laila memandang dari balik
jendelanya, Namun ia tak mampu melihat taman, lalu ia sedikit
berteriak (al-‘Isa>, 2009:38).
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa Laila hendak melihat taman dari
balik jendela, namun dia tidak mampu melihat taman itu karena kabut telah
menutupi semua benda dan membuatnya tidak tampak. Karena hal itu,
kemudian Laila meneriakkan sebuah senandung tentang kabut yang
berbentuk syair. Jadi, nada-nada syair tersebut disenandungkan oleh Laila
dari balik jendelanya. Hal ini membuktikan bahwa tempat di balik jendela
menjadi latar tempat dari cerita dalam syair tersebut.
Setelah latar, hal yang dikemukakan selanjutnya adalah pelaku
(subjek). Pelaku yang terdapat dalam syair ini yaitu kabut dan si aku (Laila).
Pelaku kabut terdapat dalam kutipan berikut:
دي نة - ضباب ضباب
نة -ي لف القباب / ي لف ادل كي .( 38:2009)العيسى، وي لقي الس
Dhaba>bun dhaba>b - Yalufful-Madi>nah/ Yalufful-qiba>b – Wa yulqi>s-saki>nah (al-‘Isa>, 2009:38).
Kabut kabut - Membungkus kota/ Menyelimuti kubah-kubah -
Menebarkan ketenangan (al-‘Isa>, 2009:38).
Kabut yang membungkus dan menyelimuti kubah-kubah serta
menebarkan ketenangan di kota itu membuktikan bahwa kabut merupakan
pelaku aktif yang terdapat di dalam syair ini. Dalam syair ini kabut
46
digambarkan memiliki sifat-sifat yang menyerupai manusia, hal ini
merupakan pemanfaatan majas personifikasi. Personifikasi merupakan kiasan
yang mempersamakan benda dengan manusia yang dapat berbuat, berfikir,
dan sebagainya (Pradopo, 2014: 76).
Selain menjadi subjek, pada syair ini kabut juga berperan sebagai
objek. Hal ini dikarenakan kabut menjadi isi dari nyanyian yang diteriakkan
oleh Laila di pagi hari pada setiap baitnya.
Pelaku selanjutnya yaitu si Aku (Laila). Hal ini dapat dilihat dalam
kutipan berikut ini :
.( 39:2009)العيسى، بذا الضباب / دعون أسافر
Daˈu>ni> ˈusa>fir/ Biha>dza>dh-dhaba>b (al-‘Isa>, 2009:39).
Biarkan aku berkelana/ Bersama kabut ini (al-‘Isa>, 2009:39).
Si Aku (Laila) menjadi pelaku kedua karena dia mengharapkan pelaku
utama (kabut) akan menemaninya berkelana. Meskipun Laila adalah orang
yang menyanyikan syair ini, namun dia tidak menempatkan dirinya sebagai
pelaku utama. Justru dia menempatkan dirinya sebagai pelaku yang ingin
dikenai perbuatan oleh pelaku utama (kabut) seperti tampak pada kutipan
tersebut.
Selain latar dan pelaku, hal yang dikemukakan selanjutnya yaitu
objek. Objek yang dikemukakan pada bagian pertama dalam syair ini adalah
kota, kubah, dan ketenangan. Ketiga objek tersebut terdapat di dalam kutipan
berikut ini :
دي نة - ضباب ضباب
نة -ي لف القباب / ي لف ادل كي .( 38:2009)العيسى، وي لقي الس
47
Dhaba>bun dhaba>b - Yalufful-Madi>nah/ Yalufful-qiba>b – Wa yulqi>s-saki>nah (al-‘Isa>, 2009:38).
Kabut kabut - Membungkus kota/ Menyelimuti kubah-kubah -
Menebarkan ketenangan (al-‘Isa>, 2009:38).
Kota dan kubah-kubah yang ada di dalamnya adalah objek yang
dikenai sasaran perbuatan pelaku utama (kabut). Kabut sebagai pelaku utama
menyelimuti kedua objek tersebut. Selain itu, kabut juga menebarkan
ketenangan. Jadi dalam hal ini ketenangan menjadi objek ketiga bagian
pertama syair ini.
Selanjutnya, objek yang dikemukakan pada bagian kedua adalah
taman, jalan-jalan, dan makhluk-makhluk. Ketiga objek tersebut nampak pada
kutipan berikut ini:
وارع - تغيب احلدي قة قة /بقلب الضباب / تغيب الش باب / ضائع كاحلم -وت غدو اخللي وراء الض
.( 38:2009)العيسى،
Taghi>bul-chadi>qah - Taghi>busy-syawa>ri‘/ Biqalbidh-dhaba>b/ Wa taghdu>l-khali>qah – Ka achla>mi dha>ˈi‘/ Wara> adh-dhaba>b (al-‘Isa>,
2009:38).
Taman menghilang - Jalan-jalanpun lenyap/ Di tengah-tengah kabut/
Terbangunlah makhluk-makhluk - Bak mimpi yang hilang/ Dibalik
Sang kabut (al-‘Isa>, 2009:38).
Taman dan jalan-jalan menjadi objek karena keduanya menghilang
akibat perbuatan sang kabut sebagi pelaku utama. Begitu juga dengan
makhluk-makhluk yang terbangun seperti mimpi yang hilang di balik sang
kabut juga menjadi objek pada bagian kedua syair ini.
Pada bagian ketiga objek yang dikemukakan adalah cahaya, dan
sesuatu yang mengalir. Ketiga objek ini berdasarkan pada kutipan berikut :
48
ياء - ضباب كثيف يسيل عليو / وال من غناء - فما من رفيف / يو على حاف ت /يئن الض .( 39:2009)العيسى،
Dhaba>bun katsi>f - Yaˈinnudh-dhiya>ˈ/ ‘Ala> cha>fataih/ Fama> min rifi>f – Wa la> min ghina> / Yashi>lu ‘alaih (al-‘Isa>, 2009:39).
Kabut tebal - Meratapi cahaya/ Pada kedua tepinya/ Bukan dari papan
- atau dari nyanyian/ Mengalir di atasnya (al-‘Isa>, 2009:39).
Cahaya menjadi objek pada bagian ketiga syair ini karena dia
merupakan hal yang diratapi oleh kabut. Karena meratap, sang kabut
mengeluarkan sesuatu pada kedua tepinya, bukan dari papan atau nyanyian.
Jadi sesuatu yang mengalir pada kedua tepi sang kabut juga menjadi objek
pada bagian ketiga ini, karena juga dikenai perbuatan sang kabut.
Sementara itu, objek pada bagian keempat dalam syair ini yaitu dunia.
Hal ini terlihat pada kutipan berikut:
.( 39:2009)العيسى، بذا الضباب / دعون أسافر / ودن يا غياب / ضباب ضباب
Dhaba>bun dhaba>b/ Wa dunya> ghiya>b/ Da‘u>ni> ˈusa>fir/ Biha>dza>dh-dhaba>b (al-‘Isa>, 2009:39).
Kabut kabut/ Dan Duniapun lenyap/ Biarkan aku berkelana/ Bersama
kabut ini (al-‘Isa>, 2009:39).
Dunia menjadi objek pada bagian ini karena dia lenyap akibat
perbuatan pelaku utama yaitu kabut. Sementara si aku pada bagian keempat
syair ini tidak berperan sebagai objek akan tetapi sebagai pelaku kedua
karena dia tidak dikenai perbuatan sang kabut. Akan tetapi kabut hanya
menemani aktifitasnya yaitu berkelana.
Hal keempat yang dikemukakan setelah latar, pelaku, dan objek yaitu
dunia pengarang. Dunia pengarang merupakan dunia imajinasi yang
49
diciptakan oleh pengarang dan berupa alur cerita. Alur dalam syair ini yaitu
sebagai berikut:
Kabut menyelimuti kota dan seluruh bangunan yang ada di dalamnya.
Kubah-kubah, taman dan jalan-jalan semuanya tidak tampak karena kepungan
kabut. Kabut itu menebarkan suasana yang tenang. Terbangunlah para
makhluk seperti mimpi yang hilang di balik sang kabut. Kabut yang tebal itu
meratap, mengharapkan kehadiran sang surya. Karena ratapan itu,
mengalirlah sesuatu pada kedua tepi sang kabut. Kabut telah membuat dunia
tidak tampak. Si aku pun ingin berkelana bersama perginya sang kabut yang
menyelimuti dunia itu.
d. Lapis Dunia
Lapis dunia merupakan lapis keempat yang tidak perlu dinyatakan
secara gamblang, namun dapat dipahami secara implisit (Pradopo, 2014:15).
Lapis dunia yang ada di dalam syair Ughniyyatudh-Dhaba>b adalah bahwa
peristiwa yang terdapat di dalam syair tersebut terjadi di pagi hari. Hal ini
dapat dipahami dari pemanfaatan kabut sebagai pelaku di dalam syair
tersebut. Kabut yang menyelimuti bumi dan seisinya biasanya terjadi di pagi
hari.
Syair tersebut juga menggambarkan bahwa sang kabut meratapi
kehadiran cahaya. Cahaya dalam hal ini merujuk pada cahaya matahari pagi
yang belum muncul ke permukaan bumi karena hari masih pagi dan masih
berkabut. Sesuatu yang mengalir pada kedua tepi kabut karena meratapi
cahaya matahari biasa dikenal dengan embun pagi. Dengan adanya kabut
50
yang membawa partikel air dan cahaya matahari pagi, maka akan terjadi
proses pengembunan dan terbentuklah titik-titik embun pagi. Hawa dingin
dari kabut dan indahnya embun pagi ini lah yang menjadikan suasana pagi
terasa sejuk dan menenangkan. Suasana pagi menjadikan jiwa dan raga terasa
segar kembali.
e. Lapis Metafisis
Lapis metafisis adalah lapis kelima yang menyebabkan pembaca
berkontemplasi. Sifat-sifat metafisis seperti tragis, mengerikan, menakutkan,
dan suci yang terdapat dalam sebuah karya seni sastra dapat memberikan
renungan kepada pembaca. Akan tetapi tidak semua syair mengandung lapis
metafisis ini (Pradopo, 2014:15).
Karya sastra yang mengandung lapis metafisis merupakan karya sastra
yang mencapai tingkatan keempat atau niveau human dan kelima atau niveau
religius (filosofis) dalam tingkatan pengalaman jiwa. Adapun tingkatan
pertama atau niveau anorganis yang terjelma pada karya sastra hanya berupa
pola bunyi, irama, baris, sajak, alenia, alenia, kalimat, gaya bahasa dan
sebagainya. Untuk tingkatan kedua atau niveau vegetatif yang terjelma dalam
karya sastra berupa suasana-suasana yang ditimbulkan oleh rangkaian-
rangkaian kata-kata itu. Tingkatan ketiga atau niveau animal merupakan
tingkatan yang dicapai oleh binatang dan sudah ada nafsu jasmaniahnya.
Tingkatan ini jika terjelma dalam kata berupa nafsu-nafsu naluriah seperti
makan, minum, dan sebagainya (Pradopo, 1994:55-59).
51
Sementara itu, tingkatan pengalaman jiwa keempat atau niveau human
jika terjelma ke dalam karya sastra dapat berupa renungan-renungan batin dan
moral, konflik kejiwaan, rasa simpati dan segala pengalaman yang dirasakan
manusia. Sedangkan tingkatan kelima atau niveau religius (filosofis) berupa
renungan batin sampai hakikat, hubungan tuhan dengan manusia, renungan
filsafat dan metafisis, dan sebagainya (Pradopo, 1994:58).
Renungan pada tingkatan niveau human pada syair Ughniyyatudh-
Dhaba>b berupa ajaran bagi manusia agar selalu bersikap disiplin dan
menghargai waktu. Sikap disiplin ini dimulai dari kebiasaan bangun pagi dan
segera melakukan aktivitas lainnya.
Kabut sebagai pelaku utama dalam syair ini yang membuat hawa
dingin di pagi hari, merupakan halangan bagi manusia untuk terbangun dari
tidur nyenyaknya. Seseorang yang mampu bangun pagi berarti dia mampu
menyingkirkan halangan pertamanya yaitu dinginnya pagi. Dengan mampu
menyingkirkan halangan itu diharapkan manusia juga mampu menyingkirkan
halangan-halangan lain dalam kehidupan ini, guna meraih tujuan dan cita-
citanya.
Renungan pada tingkatan niveau religius (filosofis) dalam syair
Ughniyyatudh-Dhaba>b yaitu bahwa dalam kehidupan ini, halangan dan
kesulitan akan selalu menyertai manusia. Halangan dan kesulitan itulah yang
seringkali membuat manusia semakin jauh dari tujuan hidupnya. Begitu juga
dengan kabut dalam puisi Ughniyatudh-Dhaba>b yang menutupi pandangan
Laila terhadap benda-benda di sekitarnya. Namun kabut tersebut pada
52
akhirnya akan pergi bersama datangnya cahaya matahari. Demikian halnya
dengan setiap halangan dan kesulitan manusia dalam kehidupan ini, perlahan
akan berakhir bersama dengan datangnya solusi dan kemudahan dari-Nya.
Oleh karena itu, manusia dianjurkan agar tidak pupus harapan hanya karena
kesulitan yang dihadapinya. Seperti kabut tebal yang merintih penuh harap
akan datangnya sinar matahari.
Berdasarkan hasil analisis syair kedua dengan memanfaatkan teori
strata norma Roman Ingarden yang terdiri dari lapis bunyi, lapis arti, lapis
hal-hal yang dikemukakan, lapis dunia dan lapis metafisis, dapat disimpulkan
secara keseluruhan bahwa syair yang berjudul Ughniyyatudh-Dhaba>b karya
Sulaima>n al-I>sa> masuk dalam kategori syi‘r churr. Syair ini mengusung tema
tentang “halangan” ( الضباب) . Isinya menceritakan tentang kabut yang
menyelimuti kota dan seisinya. Kabut itu telah menjadikan dunia itu lenyap
dan tidak tampak, sehingga menghalangi penglihatan si Aku (Laila). Selain
menghalangi penglihatan, kabut juga menebarkan ketenangan melalui hawa
dingin yang dibawanya. Namun Laila tidak merasa terhalangi dengan
kehadiran kabut, dan justru ingin pergi bersamanya. Sikap Laila dengan
kehadiran kabut ini memberikan pengalaman jiwa kepada pembaca bahwa
dalam menggapai cita-cita dan tujuan hidup, manusia tidak akan lepas dari
halangan dan rintangan. Meskipun demikian, manusia tidak diperbolehkan
untuk putus harapan dan harus tetap percaya dengan datangnya kemudahan
dari-Nya.
53
2. Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Karakter
Syair merupakan salah satu genre sastra, karena itu tentunya mengandung
pesan dan amanat yang hendak disampaikan oleh mengarangnya. Terlebih puisi
yang ditujukan untuk pembaca anak-anak, pesan dan amanat yang berupa nilai-
nilai pendidikan karakter sangat ditekankan. Hal ini mengingat usia anak-anak
adalah usia yang tepat untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan karakter.
Penanaman nilai-nilai pendidikan karakter ini bisa melalui berbagai media,
salah satunya syair. Hanya saja, seringkali nilai-nilai pendidikan karakter ini tidak
disebutkan secara eksplisit, akan tetapi implisit di dalam rangkaian kata-kata syair
yang indah. Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan adanya analisis terhadap
nilai-nilai pendidikan karakter tersebut, sehingga memudahkan anak-anak untuk
memahaminya.
Analisis nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung di dalam syair
Ughniyyatudh-Dhaba>b ini, berlandaskan pada sembilan pilar nilai-nilai karakter
menurut Kemendiknas dalam UU No. 20 tahun 2003 pasal 3 (Samani, 2013:106).
Berdasarkan sembilan pilar tersebut, nilai-nilai pendidikan karakter yang
terkandung dalam syair ini adalah sebagai berikut:
a. Disiplin
Disiplin merupakan salah satu karakter yang harus ditanamkan pada
anak-anak sejak dini. Menurut Kemendiknas dalam UU No. 20 tahun 2003
pasal 3, sifat disiplin masuk dalam pilar kedua dari sembilan pilar nilai-nilai
karakter, yaitu poin kemandirian dan tanggung jawab (Samani, 2013:106).
54
Penanaman nilai-nilai kedisiplinan dapat dimulai dengan hal-hal yang
kecil namun rutin. Hal-hal kecil tersebut misalnya, membiasakan anak untuk
bangun pagi seperti yang tampak pada kutipan paragraf pengantar syair
berikut ini :
شيء... نظرت ليلى من نافذتا ف لم تستطع أن ت رى احلدي قة، كان الضباب ي غطي كل .( 38:2009) العيسى،ف هت فت قائلة:
Ka>na adh-Dhaba>bu yughaththi> kulla syaiˈin.. Nazharat Laila min na>fidzatiha> falam tastathi‘ an tara> al-chadi>qah, fahtafat qa>ˈilatan: (al-
‘Isa>, 2009:38).
Sang kabut menyelimuti segalanya ... Laila memandang dari balik
jendelanya, Namun ia tak mampu melihat taman, lalu ia sedikit
berteriak (al-‘Isa>, 2009:38).
Kutipan di atas menggambarkan bahwa di pagi hari yang disimbolkan
dengan masih adanya kabut, Laila sudah terbangun. Dia mengamati sekeliling
dari balik jendelanya, namun semuanya tidak tampak karena tertutup kabut.
Membiasakan anak untuk bangun pagi merupakan awal yang baik
untuk menanamkan nilai-nilai disiplin pada anak. Kedisiplinan merupakan
karakter yang dapat memotivasi diri seseorang untuk memperoleh tujuan
tertentu. Seseorang yang memiliki karakter disiplin dapat menyangkal
kesenangan diri untuk memfokuskan pada tujuan penting dalam hidupnya.
Kedisiplinan membutuhkan kontrol diri, prioritas, dan pengaturan.
Seorang anak yang terbiasa bangun pagi, akan mudah mengontrol
dirinya, karena dalam kegiatan bangun pagi seorang anak belajar
menyingkirkan kenikmatan akan hangatnya tidur berselimut, sementara rasa
dingin akibat kabut pagi telah menunggu mereka.
55
b. Cinta Tuhan dan Segenap Ciptaan-Nya
Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya merupakan karakter pertama
dalam sembilan pilar nilai-nilai karakter menurut Kemendiknas dalam UU
No. 20 tahun 2003 pasal 3 (Samani, 2013:106).
Syair Ughniyyatudh-Dhaba>b menceritakan tentang seorang anak
perempuan bernama Laila yang menyanyikan lagu kabut. Kabut merupakan
salah satu dari ciptaan Tuhan yang berkesan menakutkan. Kabut yang
menyelimuti bumi membuat jarak pandang terhalang. Hal ini tentunya
menganggu aktivitas manusia.
Kabut di dalam syair Ughniyyatudh-Dhaba>b justru digambarkan
dengan kesan sebaliknya. Kabut yang turun ke permukaan bumi, justru
mendatangkan ketenangan. Hal ini tentunya untuk menghilangkan kesan
menakutkan dari kabut. Pernyataan ini dapat ditemukan dalam kutipan
berikut:
دي نة - باب ضباب ض
نة -ي لف القباب / ي لف ادل كي .( 38:2009)العيسى، وي لقي الس
Dhaba>bun dhaba>b - Yalufful-Madi>nah/ Yalufful-qiba>b – Wa yulqi>s-saki>nah (al-‘Isa>, 2009:38).
Kabut kabut - Membungkus kota/ Menyelimuti kubah-kubah -
Menebarkan ketenangan (al-‘Isa>, 2009:38).
Bukan sia-sia Tuhan menciptakan kabut, karena dengan adanya kabut
maka akan muncul-lah embun pagi yang membuat udara sejuk dan
pemandangan yang indah di pucuk-pucuk dedaunan. Dengan melihat
kenyataan inilah seorang anak akan belajar untuk mencintai setiap apa yang
ada di dunia ini. Tuhan menciptakan semua yang ada di dunia ini, tentu ada
56
manfaatnya. Sebagai makhluk ciptaan-Nya yang paling sempurna, manusia
hanya perlu menyukuri dan menjaganya.
c. Semangat dan optimis
Semangat dan optimis merupakan penjabaran poin keenam dari
sembilan pilar nilai karakter menurut Kemendiknas dalam UU No. 20 tahun
2003 pasal 3 yaitu nilai karakter percaya diri dan kerja keras (Samani
2013:44).
Karakter semangat terlihat dari sikap Laila yang bangun di pagi hari.
Meskipun udara terasa dingin karena kabut yang menyelimuti bumi, Laila
tetap terbangun di pagi hari. Halangan berupa rasa dingin tersebut tidak
menyurutkan semangatnya menyambut dan memulai hari yang baru.
Sementara itu, karakter optimis terlihat dari sikap kabut yang
mengharap kehadiran cahaya matahari. Kabut menampilkan kehidupan
manusia yang penuh dengan lika-liku dan tantangan. Meskipun demikian
manusia tidak boleh pupus harapan dan harus tetap optimis, karena setiap
kali ada kesulitan maka akan ada cahaya kemudahan yang datang menyertai.
Kedua karakter ini perlu ditanamkan pada diri seorang anak sejak dini,
agar dia tumbuh menjadi pribadi yang tangguh dan tidak mudah putus asa.
Karakter semangat dan optimis akan menjadikan seorang anak mudah berfikir
kritis dan mudah mencari solusi dari berbagai permasalahan yang dihadapi.
57
d. Dinamis dan aktif
Dinamis dan aktif merupakan penjabaran poin keenam dari sembilan
pilar nilai karakter menurut Kemendiknas dalam UU No. 20 tahun 2003 pasal
3 yaitu nilai karakter percaya diri dan kerja keras (Samani 2013:44).
Karakter dinamis dan aktif ditampilkan oleh sikap Laila yang ingin
berkelana bersama sang kabut, sebagaimana terdapat dalam kutipan berikut:
.( 39:2009)العيسى، بذا الضباب / دعون أسافر
Daˈu>ni> ˈusa>fir/ Biha>dza>dh-dhaba>b (al-‘Isa>, 2009:39).
Biarkan aku berkelana/ Bersama kabut ini (al-‘Isa>, 2009:39).
Sikap Laila yang ingin berkelana bersama sang kabut ini
mencerminkan rasa keingintahuan seorang anak dengan dunia luar. Setiap
anak terlahir dengan berbekal rasa keingintahuan yang tinggi. Rasa
keingintahuan inilah yang perlu dikembangkan pada diri seorang anak, karena
rasa keingintahuan inilah yang mendasari tumbuhnya karakter dinamis dan
aktif pada diri seorang anak.
Dengan memiliki karakter yang dinamis dan aktif, seorang anak akan
mudah berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan dan berbagai hal baru
yang ada di sekitarnya. Hal ini tentunya akan mencegah kegagapan seorang
anak dalam menghadapi perkembangan dunia modern yang begitu cepat ini.
Selain itu, dengan memiliki karakter yang dinamis dan aktif, seorang anak
akan memiliki wawasan yang luas dan menjadi seorang anak yang terbuka
dengan sekitarnya.
58
B. Syair Ke-2
غنية للعقبة أ
عم بإجازة رائعة، وكان األوالد أشد اجلميع استمت األردن، كانت األسرة كل على شاطئ خليج العقبة ف اعا ها ت ن هم: لنستمع باإلجازة. إل أغنية العقبة الت كانت أغنية كل واحد من
يا شاطئ العقبة
يا زرقة البحر
الموج ل عربة
حر موارة الس
** ف ألقي بن فسي
أحضانا وأعوم
ر ل مه راوتصي
والشط مرج نوم **
يا ناعم الرمل
إن على الرمل
أجري وأحيانا
أمشي على مهل **
مس مستمتعا بالش
مستمتعا بالماء
للبحر حول هس
للموجة الزرقاء **
العقبة يا شاطئ
58
59
ال ت نسنا، سن عود
ي وما إليك.. أنا
واألىل سوف ن عود
** ن بن قلع احلب
ف رملك الناعم
تظل ملء القلب
يا شطنا احلال
Ughniyyatu lil ‘Aqabah
‘Ala> sya>thiˈi khali>jil-‘aqabah fi >l-Urdun, ka>nat al-usratu kulluha> tan‘amu bi ija>zatin ra>ˈi‘atin, wa ka>na al-aula>du asyaddal-jami>‘ istimta>‘an bil-ija>zati. Linastami‘a ila> ughniyatil-‘Aqabah allati> ka>nat ughniyata kulli wa>chidin minhum:
Ya> sya>thiˈal-‘aqabah Ya> zurqatal-bachri
Almauju li> ‘arabah Mawwa>ratus-sichri
** Ulqi> binafsi> fi>
Achdha>niha> wa a‘u>m Wa tashi>ru li> muhra>n
Wasyaththa marju nuju>m **
Ya> na>‘imar-ramli Inni> ‘ala>r-ramli
Ajri> wa achya>nan Amsyi> ‘ala> mahli
** Mustamti‘an bisy-syams
Mustamti‘an bil-ma> Lilbachri chauli> hams
Lilmaujatiz-zarqa> **
Ya> sya>thiˈal-‘aqabah La> tansana>, sana‘u>d
60
Yauman ilaika.. ana>
Wal-ahlu saufa na‘u>d **
Nabni> qila>‘al-chub Fi> ramlika an-na>‘im Tadhallu milˈal-qalb
Ya> syaththana>l-cha>lim
Senandung Aqaba
Di pantai Teluk Aqaba Yordania, seluruh keluarga menikmati liburan yang indah,
anak-anak adalah yang paling gembira dengan liburan. Mari kita dengarkan
senandung Aqaba, yang menjadi nyanyian mereka semua:
Duhai pantai Aqaba
Duhai birunya laut
Bagiku ombak adalah kereta
yang menguraikan simpul sihir
**
Kuhempaskan diriku
Dalam dekapnya dan aku mengapung
Yang nampak bagiku bak anak kuda
Sementara pantai adalah padang rumput bintang-bintang
**
Duhai pantai pasir yang lembut
Inilah aku di atas pasir
Aku berlari dan terkadang
Aku berjalan perlahan
**
Menikmati matahari
Menikmati air
Laut di sekelilingku berbisik
Untuk ombak yang biru
**
Duhai pantai Aqaba
Jangan lupakan kami, kami akan kembali
Suatu hari kepadamu... aku
Dan keluargaku akan kembali
**
Membangun istana cinta
Di atas pasirmu yang lembut
Senantiasa memenuhi hati
Duhai pantai kita yang lembut
61
1. Analisis Strata Norma Roman Ingarden
a. Lapis Bunyi
Lapis bunyi merupakan lapis pertama dalam analisis strata norma
Roman Ingarden. Bunyi di dalam puisi digunakan sebagai orkestrasi. Bunyi
konsonan dan vokal disusun sedemikian rupa sehingga menimbulkan bunyi
merdu dan berirama seperti bunyi musik (Pradopo, 2014:27).
Kombinasi bunyi-bunyi vokal (asonansi): a, e, i, o, u; bunyi-bunyi
konsonan bersuara (voiced): b, d, g, j; bunyi likuida atau bunyi yang keluar
dari sela-sela ujung lidah yang menempel pada ceruk gigi: r, l; dan bunyi
sengau: m, n, ng, ny menimbulkan efek efoni atau bunyi merdu dan berirama.
Bunyi yang merdu itu dapat mendukung suasana yang mesra, kasih sayang,
gembira, dan bahagia. Sebaliknya, kombinasi bunyi konsonan tak bersuara
menimbulkan efek kakofoni atau bunyi yang tidak merdu dan parau. Efek
kakofoni ini dapat memperkuat suasana yang tidak menyenangkan, serba tak
teratur, bahkan memuakkan. Dari bunyi musik inilah mengalir perasaan,
imajinasi-imajinasi dalam pikiran atau pengalaman-pengalaman jiwa
pendengarnya (Pradopo, 2014:27-31). Anis (1999:22) mengkategorikan
huruf-huruf sengau (mi>m dan nu>n) serta huruf likuida (la>m dan ra>’) ke dalam
huruf bersuara (majhu>r).
Syair Ughniyyatu lil ‘Aqabah terdiri dari prolog atau paragraf
pengantar dan enam bagian syair. Pada bagian prolog, syair ini didominasi
oleh penggunaan bunyi konsonan bersuara, sebagaimana terlihat pada kutipan
berikut:
62
عم بإجازة رائعة، وكان األوالد أشد على شاطئ خليج العقبة ف األردن، كانت األسرة كلها ت ن هم إل أغنية العقبة الت كانت أغنية كل واحد لنستمع اجلميع استمتاعا باإلجازة. من
.( 2009 :56)العيسى،
‘Ala> sya>thiˈi khali>jil-‘aqabah fi >l-Urdun, ka>nat al-usratu kulluha> tan‘amu bi ija>zatin ra>ˈi‘atin, wa ka>na al-aula>du asyaddal-jami>‘ istimta>‘an bil-ija>zati. Linastami‘a ila> ughniyatil-‘Aqabah allati > ka>nat ughniyata kulli wa>chidin minhum (al-I>sa>, 2009:56).
Di pantai Teluk Aqaba Yordania, seluruh keluarga menikmati liburan
yang indah, anak-anak adalah yang paling gembira dengan liburan.
Mari kita dengarkan senandung Aqaba, yang menjadi nyanyian
mereka semua (al-I>sa>, 2009:56).
Pada kutipan di atas bunyi konsonan bersuara yang digunakan adalah
bunyi huruf ῾ain, la>m, hamzah, ji>m, ra>’, da>l, nu>n, mi>m, ba>’, za>’, wau, ghain,
dan ya>. Adanya dominasi penggunaan bunyi konsonan bersuara ini
menimbulkan sugesti suasana yang menyenangkan, mesra, dan ringan. Pada
bagian prolog ini juga ditemukan penggunaan bunyi konsonan tak bersuara.
Hanya saja jumlahnya tidak sebanyak penggunaan bunyi konsonan bersuara.
Bunyi konsonan tak bersuara yang digunakan pada bagian prolog ini yaitu
syi>n, tha>’, kha>’, qa>f, ta>’, fa>’, ka>f, si>n, ha>’, dan cha>’.
Setelah prolog, masuk ke bagian syair yang terdiri dari bait-bait syair.
Pada bagian pertama syair ini terdapat dua bait yang masing-masing terdiri
dari dua baris. Baik bait kesatu maupun bait kedua, didominasi oleh bunyi
konsonan bersuara. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
يا زرقة البحر / يا شاطئ العقبة حر) / الموج ل عربة .( 2009 :56العيسى، موارة الس
Ya> sya>thiˈal-‘aqabah/ Ya> zurqatal-bachri Almauju li> ‘arabah/ Mawwa>ratus-sichri (al-I>sa>, 2009:56).
63
Duhai pantai Aqaba/ Duhai birunya laut
Bagiku ombak adalah kereta / yang menguraikan simpul sihir (al-I>sa>,
2009:56).
Bunyi konsonan bersuara yang digunakan pada bagian pertama syair
ini yaitu bunyi huruf ya>’, hamzah, la>m, ‘ain, ba>’, za>’, ra>’, mi>m, ji>m, dan wau.
Dominasi penggunaan bunyi konsonan bersuara ini menimbulkan efek efoni
atau bunyi yang berirama dan indah. Efek ini mendukung terciptanya sugesti
suasana yang menyenangkan, indah, dan mengundang kekaguman.
Pada bagian pertama bait kesatu ditemukan repetisi berupa anafora.
Anafora merupakan pengulangan kata pertama pada tiap baris atau kalimat
berikutnya (Keraf, 2007:127). Anafora pada bagian ini yaitu berupa
pengulangan kata sapaan “Ya>” pada awal baris pertama dan kedua.
Pengulangan ini bertujuan untuk memberikan penekanan dan memperoleh
makna yang mendalam.
Selanjutnya, pada bagian kedua syair juga didominasi oleh
penggunaan bunyi konsonan bersuara, sebagaimana terlihat pada kutipan
berikut:
ر ل مهرا / أحضانا وأعوم / ف بن فسيألقي والشط مرج نوم / وتصي
.( 2009 :56العيسى، )
Ulqi> binafsi> fi>/ Achdha>niha> wa a‘u>m/ Wa tashi>ru li> muhra>n/ Wasyaththa marju nuju>m (al-I>sa>, 2009:56).
Kuhempaskan diriku/ Dalam dekapnya dan aku mengapung/ Yang
nampak bagiku bak anak kuda / Sementara pantai adalah padang
rumput bintang-bintang (al-I>sa>, 2009:56).
Pada bagian kedua ini, bunyi konsonan bersuara yang digunakan yaitu
bunyi huruf hamzah, la>m, ba>’, nu>n, ya>’, dha>d, wau, ‘ain, mi>m, ra>’, dan ji>m.
64
Dominasi penggunaan bunyi konsonan bersuara ini menimbulkan efek efoni
atau bunyi yang berirama dan indah. Efek ini mendukung terciptanya sugesti
suasana yang menyenangkan, indah, mesra, dan penuh kasih sayang.
Kemudian, pada bait ketiga syair Ughniyyatu lil ‘Aqabah juga masih
didominasi oleh penggunaan bunyi konsonan bersuara. Pernyataan ini
berdasarkan pada kutipan berikut:
.( 2009 :57-56العيسى، ) أمشي على مهل / أجري وأحيانا / إن على الرمل / يا ناعم الرمل
Ya> na>‘imar-ramli/ Inni> ‘ala>r-ramli/ Ajri> wa achya>nan/ Amsyi> ‘ala> mahli (al-I>sa>, 2009:56-57).
Duhai pantai pasir yang lembut/ Inilah aku di atas pasir/ Aku berlari
dan terkadang/ Aku berjalan perlahan (al-I>sa>, 2009:56-57).
Bunyi konsonan bersuara yang digunakan dalam bait ini yaitu bunyi
huruf ya>’, nu>n, ‘ain, mi>m, ra>’, la>m, hamzah, ji>m, dan wau. Kombinasi bunyi
huruf-huruf konsonan bersuara tersebut menimbulkan efek efoni. Efek efoni
inilah yang menimbulkan sugesti suasana yang riang, ringan, dan
menyenangkan.
Selain didominasi oleh penggunaan bunyi konsonan bersuara, pada
bagian ketiga ini juga didominasi dengan penggunaan vokal [a] dan [i]. Hal
ini semakin mempertegas suasana riang, ringan dan menyenangkan yang
tersugesti dalam bagian ketiga syair ini.
Pada bagian ketiga syair ini juga ditemukan salah satu bentuk repetisi
atau pengulangan yaitu epifora (epistrofa). Epifora merupakan pengulangan
kata atau frasa pada akhir baris atau kalimat (Keraf, 2007:127). Epifora pada
bagian ketiga ini yaitu berupa pengulangan kata ‚ar-ramli‛ pada akhir baris
65
pertama dan kedua. Adanya epifora ini berfungsi untuk memperdalam
pemaknaan dan memberikan penekanan pada arti kata atau frasa yang diulang
(Keraf, 2007:127).
Sementara itu, pada bagian keempat syair Ughniyyatu lil ‘Aqabah
masih tetap didominasi oleh penggunaan bunyi konsonan bersuara. Hanya
saja, jumlah bunyi huruf konsonan tak bersuara yang digunakan dalam bagian
keempat ini juga cukup banyak. Analisis ini berdasarkan pada kutipan
berikut:
مس للموجة الزرقاء / للبحر حول هس / مستمتعا بالماء / مستمتعا بالش
.( 2009 :57العيسى، )
Mustamti‘an bisy-syams/ Mustamti‘an bil-ma> / Lilbachri chauli> hams/ Lilmaujatiz-zarqa> (al-I>sa>, 2009:57).
Menikmati matahari/ Menikmati air/ Laut di sekelilingku berbisik/
Untuk ombak yang biru (al-I>sa>, 2009:57).
Pada kutipan di atas bunyi konsonan bersuara yang digunakan yaitu
bunyi huruf mi>m, ‘ain, ba>’, lam>, hamzah, ra>’, ji>m, dan za>’. Kombinasi bunyi-
bunyi konsonan bersuara ini mempertegas sugesti suasana yang gembira,
menyenangkan dan ringan. Hal ini sebagai efek dari irama merdu dan indah
dari kombinasi bunyi-bunyi konsonan bersuara. Akan tetapi, pada bagian
keempat ini juga ditemukan penggunaan bunyi konsonan tak bersuara yaitu
bunyi huruf si>n, ta>’, syi>n, cha>’, ha>’, dan qa>f. Hadirnya bunyi-bunyi konsonan
tak bersuara dalam jumlah yang cukup banyak, menimbulkan tercampurnya
sugesti suasana yang menekan, bimbang dan terasa ada beban tertentu.
66
Pada bagian keempat ini juga ditemukan salah satu bentuk repetisi
yaitu epifora. Epifora pada bagian ini berupa pengulangan kata
‚Mustamti‘an‛ di awal baris pertama dan baris kedua. Pengulangan ini
menimbulkan efek makna yang mendalam di bagian awal baris, khususnya
memberikan penekanan makna terhadap kata yang diulang.
Selanjutnya, pada bagian kelima syair ini terdapat dua bait yang
masing-masing terdiri dari satu baris. Bagian kelima ini juga didominasi
dengan penggunaan bunyi konsonan bersuara. Hal ini dapat dilihat pada
kutipan berikut:
ال ت نسنا، سن عود / يا شاطئ العقبة .( 2009 :57العيسى، ) واألىل سوف ن عود / ي وما إليك.. أنا
Ya> sya>thiˈal-‘aqabah/ La> tansana>, sana‘u>d Yauman ilaika.. ana>/ Wal-ahlu saufa na‘u>d (al-I>sa>, 2009:57).
Duhai pantai Aqaba/ Jangan lupakan kami, kami akan kembali
Suatu hari kepadamu... aku/ Dan keluargaku akan kembali (al-I>sa>,
2009:57).
Pada kutipan di atas terlihat penggunaan bunyi konsonan bersuara
seperti bunyi huruf ya>’, hamzah, la>m, ba>’, nu>n, ‘ain, da>l, mi>m, dan wau.
Dominasi penggunaan bunyi konsonan bersuara ini menimbulkan sugesti
suasana yang menyenangkan, mesra, dan penuh kedekatan. Pada bagian
kelima ini juga ditemukan penggunaan bunyi konsonan tak bersuara, hanya
saja jumlahnya tidak sebanyak penggunaan bunyi konsonan bersuara.
Yang terakhir, pada bagian keenam syair masih tetap didominasi oleh
penggunaan bunyi konsonan bersuara. Analisis ini berdasarkan pada kutipan
berikut:
67
يا شطنا احلال / تظل ملء القلب / الناعم ف رملك / ن بن قلع احلب
.( 2009 :57العيسى، )
Nabni> qila>‘al-chub/ Fi> ramlika an-na>‘im/ Tadhallu milˈal-qalb/ Ya> syaththana>l-cha>lim (al-I>sa>, 2009:57).
Membangun istana cinta/ Di atas pasirmu yang lembut/ Senantiasa
memenuhi hati/ Duhai pantai kita yang lembut (al-I>sa>, 2009:57).
Bunyi konsonan bersuara yang digunakan pada bagian kelima syair ini
yaitu bunyi huruf nu>n, ba>’, la>m, ‘ain, ra>’, mi>m, dza>’, hamzah, dan ya>’.
Dominasi penggunaan bunyi konsonan bersuara pada bagian kelima ini
menimbulkan sugesti suasana yang riang, menyenangkan, dan mesra.
Secara keseluruhan, setiap bagian pada syair Ughniyyatul lil ‘Aqabah
didominasi oleh penggunaan bunyi konsonan bersuara dan kombinasi vokal
[a] dan [i]. Hal ini menunjukkan bahwa sugesti suasana yang tergambar pada
syair ini adalah suasana yang riang, gembira, menyenangkan, mesra, dan
ringan.
Berkenaan dengan irama, syair ini tidak menggunakan aturan sajak
yang tetap pada setiap bagiannya. Pada bagian pertama bersajak ab-ab, bagian
kedua bersajak ab-ab dengan harakat yang berbeda pada baris pertama dan
ketiga, bagian ketiga bersajak aa-ba, bagian keempat bersajak ab-ab, bagian
kelima bersajak ab-cb, dan bagian bersajak ab-ab. Adanya ketidak-samaan
irama pada syair ini, membuat syair Ughniyyatul lil ‘Aqabah bisa
dikategorikan ke dalam bentuk syi‘r churr. Syi‘r churr merupakan syair yang
tidak terikat dengan irama wazan (metrum) dan qa>fiah (ritme), tetapi masih
68
terikat dengan satuan irama khusus yang menjadi karakteristik karya sastra
tinggi (Husein dalam Muzakki, 2006:53).
Irama dalam sebuah syair selain membuat syair terdengar merdu dan
mudah dibaca, juga menyebabkan aliran perasaan ataupun pikiran tak
terputus dan terkosentrasi, sehingga menimbulkan bayangan angan yang jelas
dan hidup. Irama juga menimbulkan adanya pesona atau daya magis hingga
melibatkan para pembaca atau pendengar ke dalam keadaan extase atau
bersatu diri dengan objeknya, sehingga apa yang dikemukakan dapat meresap
dalam hati dan jiwa si pembaca atau pendengar (Pradopo, 2014:46).
b. Lapis Arti
Lapis arti merupakan rangkaian fonem, suku kata, kata, frase, dan
kalimat. Rangkaian kalimat kemudian membentuk alenia, bab, dan
keseluruhan cerita ataupun keseluruhan sajak. Lapis arti ini ditimbulkan oleh
adanya lapis bunyi, dan merupakan lapis kedua dalam analisis strata norma
Roman Ingarden (Pradopo, 2014:15).
Paragraf pengantar atau prolog syair Ughniyyatu lil ‘Aqabah memiliki
arti yang menggambarkan tentang suasana liburan di Teluk Aqaba, Yordania.
Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
عم رائعة، وكان األوالد بإجازة على شاطئ خليج العقبة ف األردن، كانت األسرة كلها ت ن همإل لنستمع أشد اجلميع استمتاعا باإلجازة. أغنية العقبة الت كانت أغنية كل واحد من
.( 2009 :56)العيسى،
‘Ala> sya>thiˈi khali>jil-‘aqabah fi>l-Urdun, ka>nat al-usratu kulluha tan‘amu bi ija>zatin ra>ˈi‘atin, wa ka>na al-aula>du asyaddal-jami>‘ istimta>‘an bil-ija>zati. Linastami‘a ila> ughniyatil-‘Aqabah allati > ka>nat ughniyata kulli wa>chidin minhum (al-I>sa>, 2009:56).
69
Di pantai Teluk Aqaba Yordania, seluruh keluarga menikmati liburan
yang indah, anak-anak adalah yang paling gembira dengan liburan.
Mari kita dengarkan senandung Aqaba, yang menjadi nyanyian
mereka semua (al-I>sa>, 2009:56).
Seluruh keluarga tengah menikmati liburan yang indah di pantai Teluk
Aqaba, Yordania. Mereka sangat gembira dengan liburan itu, terutama anak-
anak. Mereka semua menyanyikan senandung Aqaba, dan si Aku mengajak
pembaca untuk mendengarkan senandung Aqaba itu, sebagaimana tertuang
dalam tiap bagian syair ini.
Setelah prolog, kemudian masuk ke bagian syair. Bagian pertama
syair terdiri dari dua bait syair. Bait pertama dan kedua berupa nyanyian
anak-anak yang berisi tentang keindahan pantai Aqaba. Pernyataan ini
berdasarkan pada kutipan berikut:
يا زرقة البحر / يا شاطئ العقبة حر) / الموج ل عربة .( 2009 :56العيسى، موارة الس
Ya> sya>thiˈal-‘aqabah/ Ya> zurqatal-bachri Almauju li> ‘arabah/ Mawwa>ratus-sichri (al-I>sa>, 2009:56).
Duhai pantai Aqaba/ Duhai birunya laut
Bagiku ombak adalah kereta / Yang menguraikan simpul sihir (al-I>sa>,
2009:56).
Pada bagian pertama ini disebutkan sisi keindahan pantai Aqaba yaitu
memiliki warna laut yang biru. Bagi si Aku, Gulungan ombak pantai Aqaba
seperti kereta yang mampu menguraikan simpul sihir.
70
Bagian kedua syair ini menggambarkan tentang hal-hal yang
dilakukan si Aku ketika di pantai Aqaba. Hal ini dapat dilihat pada kutipan
berikut:
ر ل مهرا / أحضانا وأعوم / ف بن فسيألقي .( 2009 :56العيسى، والشط مرج نوم) / وتصي
Ulqi> binafsi> fi>/ Achdha>niha> wa a‘u>m/ Wa tashi>ru li> muhra>n/ Wasyaththa marju nuju>m (al-I>sa>, 2009:56).
Kuhempaskan diriku/ Dalam dekapnya dan aku mengapung/ Yang
nampak bagiku bak anak kuda / Sementara pantai adalah padang
rumput bintang-bintang (al-I>sa>, 2009:56).
Pada kutipan di atas disebutkan bahwa si Aku menceburkan dirinya ke
pantai Aqaba dan terapung-apung di atasnya. Dibandingkan dengan pantai
Aqaba, Si Aku bak anak kuda, sementara pantai adalah padang rumput
bintang-bintang.
Bagian ketiga syair masih berisi tentang aktivitas yang dilakukan si
Aku di pantai Aqaba. Pernyataan ini nampak pada kutipan berikut:
.( 2009 :57-56العيسى، ) أمشي على مهل / أجري وأحيانا / إن على الرمل / يا ناعم الرمل
Ya> na>‘imar-ramli/ Inni> ‘ala>r-ramli/ Ajri> wa achya>nan/ Amsyi> ‘ala> mahli (al-I>sa>, 2009:56-57).
Duhai pantai pasir yang lembut/ Inilah aku di atas pasir/ Aku berlari
dan terkadang/ Aku berjalan perlahan (al-I>sa>, 2009:56-57).
Si aku tengah berada di atas pasir pantai Aqaba yang lembut. Si Aku
berlari-lari di atasnya dan terkadang berjalan perlahan menikmati lembutnya
pasir pantai Aqaba. Lembutnya pantai pasir Aqaba telah membuat si Aku
terpesona.
Selanjutnya, pada bagian keempat syair Ughniyyatu lil ‘Aqabah juga
berisi tentang aktivitas yang dilakukan si Aku di pantai Aqaba, sebagai
71
lanjutan dari bagian kedua dan ketiga syair. Aktivitas yang dilakukan si Aku
dapat dilihat pada kutipan berikut:
مس للموجة الزرقاء / للبحر حول هس / مستمتعا بالماء / مستمتعا بالش
.( 2009 :57العيسى، )
Mustamti‘an bisy-syams/ Mustamti‘an bil-ma> / Lilbachri chauli> hams/ Lilmaujatiz-zarqa> (al-I>sa>, 2009:57).
Menikmati matahari/ Menikmati air/ Laut di sekelilingku berbisik/
Untuk ombak yang biru (al-I>sa>, 2009:57).
Selain menceburkan diri ke pantai Aqaba dan berjalan-jalan di atas
pasirnya yang lembut, si Aku juga menikmati matahari yang terlihat di langit
pantai Aqaba. Disamping itu, si Aku juga menikmati air pantai Aqaba. Laut
di sekeliling si Aku beriak-riak melalui ombaknya yang biru.
Bagian kelima syair ini terdiri dari dua bait syair. Kedua bait tersebut
menceritakan tentang harapan si Aku agar dapat kembali ke pantai Aqaba.
Analisis ini berdasarkan pada kutipan berikut:
سن عود ال ت نسنا، / يا شاطئ العقبة .( 2009 :57العيسى، ) واألىل سوف ن عود / ي وما إليك.. أنا
Ya> sya>thiˈal-‘aqabah/ La> tansana>, sana‘u>d Yauman ilaika.. ana> wal-ahlu saufa na‘u>d (al-I>sa>, 2009:57).
Duhai pantai Aqaba/ Jangan lupakan kami, kami akan kembali
Suatu hari kepadamu... aku/ Dan keluargaku akan kembali (al-I>sa>,
2009:57).
Si Aku berharap agar pantai Aqaba tidak melupakan dirinya dan
keluarganya, karena dia akan kembali. Si Aku berjanji, suatu hari dia dan
keluarganya akan kembali berlibur ke pantai Aqaba.
72
Bagian terakhir atau bagian keenam syair ini masih berisikan harapan
si Aku terhadap pantai Aqaba. Harapan ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
ال يا شطنا احل / تظل ملء القلب / ف رملك الناعم / ن بن قلع احلب
.( 2009 :57العيسى، )
Nabni> qila>‘al-chub/ Fi> ramlika an-na>‘im/ Tadhallu milˈal-qalb/ Ya> syaththana>l-cha>lim (al-I>sa>, 2009:57).
Membangun istana Cinta/ Di atas pasirmu yang lembut/ Senantiasa
memenuhi hati/ Duhai pantai kita yang lembut (al-I>sa>, 2009:57).
Si aku ingin membangun istana cinta di atas pasir pantai Aqaba yang
lembut, ketika ia dapat kembali lagi berlibur ke sana. Kelembutan pasir pantai
Aqabalah yang senantiasa memenuhi hati si Aku dan membuatnya ingin
kembali lagi ke sana.
c. Lapis Hal-Hal yang Dikemukakan
Lapis hal-hal yang dikemukakan merupakan lapis ketiga yang
ditimbulkan oleh lapis kedua atau lapis arti. Lapis hal-hal yang dikemukakan
ini terdiri dari pelaku (subjek), latar, objek, dan dunia pengarang (Pradopo,
2014:18).
Hal yang dikemukakan pertama yaitu pelaku (subjek). Pelaku dalam
syair Ughniyyatu lil‘Aqabah yaitu si Aku. Tokoh si Aku ini selalu hadir pada
tiap bagian syair. Berikut ini salah satu kutipan yang menegaskan bahwa si
Aku adalah pelaku (subjek) dalam syair ini:
.( 2009 :57-56العيسى، ) أمشي على مهل / أجري وأحيانا / على الرمل إن / الرمل يا ناعم
Ya> na>‘imar-ramli/ Inni> ‘ala>r-ramli/ Ajri> wa achya>nan/ Amsyi> ‘ala> mahli (al-I>sa>, 2009:56-57).
Duhai pantai pasir yang lembut/ Inilah aku di atas pasir/ Aku berlari
dan terkadang/ Aku berjalan perlahan (al-I>sa>, 2009:56-57).
73
Si Aku sebagai subjek dalam syair ini melakukan aktivitas di atas
pasir pantai Aqaba yang lembut. Terkadang dia berlari, dan terkadang dia
berjalan perlahan di atas pasir pantai yang lembut itu.
Setelah pelaku (subjek), hal yang dikemukakan selanjutnya yaitu
latar. Latar tempat pada syair ini yaitu di pantai Teluk Aqaba, Yordania.
Pernyataan ini terdapat pada kutipan prolog berikut:
عم بإجازة رائعة على شاطئ خليج العقبة ف األردن، كانت األسرة كلها ت ن
.( 2009 :56العيسى، )
‘Ala> sya>thiˈi khali>jil-‘aqabah fi>l-Urdun, ka>nat al-usratu kullaha tan‘amu bi ija>zatin ra>ˈi‘atin (al-I>sa>, 2009:56).
Di pantai Teluk Aqaba Yordania, seluruh keluarga menikmati liburan
yang indah (al-I>sa>, 2009:56).
Pantai Teluk Aqaba di Yordania menjadi latar tempat pada syair ini.
Hal tersebut karena di pantai itulah semua kejadian dan peristiwa yang ada di
dalam syair ini berlangsung.
Selain latar tempat, pada kutipan di atas juga ditemukan latar waktu
yang sekaligus menjadi objek pada bagian prolog ini. Latar waktu yang
terdapat pada syair ini yaitu pada saat hari libur. Pada saat liburan itulah
seluruh keluarga berkunjung ke pantai Aqaba.
Hal ketiga yang dikemukakan dalam syair ini berupa objek. Objek
merupakan benda atau sesuatu hal yang dikenai sasaran tindakan atau
perbuatan si pelaku cerita. Pada bagian prolog, objek yang dikemukakan yaitu
liburan yang indah dan senandung Aqaba. Kedua objek ini dapat dilihat
dalam kutipan berikut:
74
عم بإجازة رائعة، وك ان األوالد أشد على شاطئ خليج العقبة ف األردن، كانت األسرة كلها ت ن هم لنستمع اجلميع استمتاعا باإلجازة. إل أغنية العقبة الت كانت أغنية كل واحد من
.( 2009 :56)العيسى،
‘Ala> sya>thiˈi khali>jil-‘aqabah fi >l-Urdun, ka>nat al-usratu kulluha tan‘amu bi ija>zatin ra>ˈi‘atin, wa ka>na al-aula>du asyaddal-jami>‘ istimta>‘an bil-ija>zati. Linastami‘a ila> ughniyatil-‘Aqabah allati > ka>nat ughniyata kulli wa>chidin minhum (al-I>sa>, 2009:56).
Di pantai Teluk Aqaba Yordania, seluruh keluarga menikmati liburan
yang indah, anak-anak adalah yang paling gembira dengan liburan.
Mari kita dengarkan senandung Aqaba, yang menjadi nyanyian
mereka semua (al-I>sa>, 2009:56).
Liburan selain menjadi keterangan waktu juga menjadi objek. Hal ini
karena liburan dikenai sasaran tindakan oleh subjek yaitu dinikmati.
Sementara itu, senandung Aqaba juga menjadi objek karena dinyanyikan oleh
orang-orang yang berlibur di pantai Aqaba, termasuk si Aku. Hal ini tentu
menjadikannya sasaran dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku.
Pada bagian pertama syair, objek yang dikemukakan yaitu pantai
Aqaba, biru laut pantai Aqaba, ombak, kereta dan simpul sihir. Objek-objek
tersebut dapat ditemukan pada kutipan berikut:
يا زرقة البحر / ئ العقبة يا شاط حر) / الموج ل عربة .( 2009 :56العيسى، موارة الس
Ya> sya>thiˈal-‘aqabah/ Ya> zurqatal-bachri Almauju li> ‘arabah/ Mawwa>ratus-sichri (al-I>sa>, 2009:56).
Duhai pantai Aqaba/ Duhai birunya laut
Bagiku ombak adalah kereta / Yang menguraikan simpul sihir (al-I>sa>,
2009:56).
Bagian pertama syair ini terdiri dari dua bait, sebagaimana terlihat
dalam kutipan di atas. Pada bait pertama, objek yang dikemukakan adalah
75
pantai Aqaba dan warna biru laut pantai Aqaba. Keduanya berkedudukan
sebagai objek karena menjadi sasaran sapaan si Aku.
Sementara itu, ombak, kereta, dan sihir berperan sebagai objek pada
bait kedua. Ketiga hal itu menjadi objek karena dikenai sasaran pandangan si
aku terhadap benda-benda tersebut. Si Aku memandang ombak sebagai kereta
yang mampu memecahkan simpul sihir. Jadi, kereta selain menjadi objek juga
berkedudukan sebagai subjek karena melakukan tindakan memecahkan
simpul sihir. Hanya saja perannya sebagai subjek tidak begitu dominan di
dalam syair ini.
Selanjutnya, objek pada bagian kedua syair ini berupa si Aku sendiri,
anak kuda, pantai dan padang rumput bintang-bintang. Keempat objek ini
dapat dilihat pada kutipan berikut:
ر ل مهراوتص / أحضانا وأعوم ف بن فسيألقي .( 2009 :56العيسى، والشط مرج نوم) / ي
Ulqi> binafsi> fi>/ Achdha>niha> wa a‘u>m/ Wa tashi>ru li> muhra>n/ Wasyaththa marju nuju>m (al-I>sa>, 2009:56).
Kuhempaskan diriku/ Dalam dekapnya dan aku mengapung/ Yang
nampak bagiku bak anak kuda / Sementara pantai adalah padang
rumput bintang-bintang (al-I>sa>, 2009:56).
Si Aku menjadikan dirinya sendiri sebagai objek yang dihempaskan
ke pantai Aqaba. Dia melihat dirinya sendiri seperti anak kuda, sementara
pantai seperti rumput bintang-bintang. Hal inilah yang menyebabkan anak
kuda, pantai dan rumput bintang-bintang menjadi objek, karena ketiganya
menjadi sasaran perumpamaan dalam pemikiran si Aku.
Kemudian, objek pada bagian ketiga syair Ughniyyatu lil-‘Aqabah
yaitu pantai pasir yang lembut. Hal ini berdasarkan pada kutipan berikut:
76
.( 2009 :57-56العيسى، ) أمشي على مهل / أجري وأحيانا / إن على الرمل / يا ناعم الرمل
Ya> na>‘imar-ramli/ Inni> ‘ala>r-ramli/ Ajri> wa achya>nan/ Amsyi> ‘ala> mahli (al-I>sa>, 2009:56-57).
Duhai pantai pasir yang lembut/ Inilah aku di atas pasir/ Aku berlari
dan terkadang/ Aku berjalan perlahan (al-I>sa>, 2009:56-57).
Pantai pasir yang lembut menjadi objek pada bagian ketiga ini karena
menjadi sasaran sapaan dari si Aku. Sapaan tersebut terlihat dari perkataan si
Aku di awal kalimat yaitu “ Duhai pantai pasir yang lembut”. Sementara itu,
di atas pasir menjadi latar tempat pada bagian ketiga ini.
Objek yang dikemukakan pada bagian keempat syair yaitu matahari,
air, dan ombak laut yang biru. Ketiga hal ini nampak pada kutipan berikut:
مس للموجة الزرقاء / للبحر حول هس / مستمتعا بالماء / مستمتعا بالش
.( 2009 :57العيسى، )
Mustamti‘an bisy-syams/ Mustamti‘an bil-ma> / Lilbachri chauli> hams/ Lilmaujatiz-zarqa> (al-I>sa>, 2009:57).
Menikmati matahari/ Menikmati air/ Laut di sekelilingku berbisik/
Untuk ombak yang biru (al-I>sa>, 2009:57).
Matahari, air dan ombak yang biru menjadi objek pada bagian
keempat ini karena ketiganya menjadi sasaran perbuatan subjek (pelaku).
Sementara itu, laut pada kutipan di atas berkedudukan sebagai pelaku karena
melakukan suatu tindakan tertentu. Hanya saja intensitasnya tidak banyak
disebutkan dalam syair sehingga bukan termasuk pelaku utama.
Selanjutnya, objek yang dikemukakan pada bagian kelima syair ini
adalah pantai Aqaba dan kami (si Aku dan keluarganya). Analisis ini
berdasarkan pada kutipan berikut:
ال ت نسنا، سن عود / يا شاطئ العقبة
77
.( 2009 :57العيسى، ) واألىل سوف ن عود / ي وما إليك.. أنا
Ya> sya>thiˈal-‘aqabah/ La> tansana>, sana‘u>d Yauman ilaika.. ana> wal-ahlu saufa na‘u>d (al-I>sa>, 2009:57).
Duhai pantai Aqaba/ Jangan lupakan kami, kami akan kembali
Suatu hari kepadamu... aku/ Dan keluargaku akan kembali (al-I>sa>,
2009:57).
Selain menjadi objek karena menjadi sasaran sapaan si Aku, pantai
Aqaba juga berkedudukan sebagai subjek karena dialah yang berperan untuk
melupakan atau tidak melupakan si Aku. Si Aku berharap dia dan
keluarganya dapat kembali ke pantai Aqaba suatu hari nanti.
Pada bagian keenam syair Ughniyyatu lil‘Aqabah objek yang
dikemukakan yaitu istana cinta, hati dan pantai Aqaba. Ketiga objek ini dapat
ditemukan pada kutipan berikut:
يا شطنا احلال / القلب تظل ملء / ف رملك الناعم / ن بن قلع احلب
.( 2009 :57العيسى، )
Nabni> qila>‘al-chub/ Fi> ramlika an-na>‘im/ Tadhallu milˈal-qalb/ Ya> syaththana>l-cha>lim (al-I>sa>, 2009:57).
Membangun istana cinta/ Di atas pasirmu yang lembut/ Senantiasa
memenuhi hati/ Duhai pantai kita yang lembut (al-I>sa>, 2009:57).
Istana cinta berkedudukan sebagai objek pada bagian keenam syair ini
karena menjadi sasaran perbuatan si Aku. Sementara itu, hati menjadi objek
karena hati adalah sasaran dari kerinduan terhadap pantai Aqaba yang
senantiasa memenuhinya. Sedangkan pantai Aqaba menjadi objek karena
berada dalam sapaan si Aku.
Selain subjek, latar, dan objek, hal yang dikemukakan selanjutnya
adalah dunia pengarang. Dunia pengarang merupakan cerita yang diciptakan
78
oleh pengarang. Cerita ini merupakan gabungan dan jalinan antara objek-
objek yang dikemukakan, latar, pelaku, serta struktur ceritanya (alur). Dunia
pengarang dalam syair Ughniyyatu lil ‘Aqabah dapat dijabarkan sebagai
berikut:
Seluruh keluarga sedang menikmati liburan yang indah di pantai
Aqaba. Mereka semua gembira dengan liburan, terutama anak-anak. Anak-
anak itu, termasuk si Aku menyanyikan senandung Aqaba yang berbunyi
sebagai berikut:
Si Aku menyapa pantai Aqaba, juga birunya laut. Ombak baginya
adalah kereta yang mampu mengurai simpul sihir. Dihempaskan tubuhnya
dalam dekapan ombak pantai Aqaba dan dia mengapung. Dirinya nampak bak
anak kuda, sementara pantai adalah padang rumput bintang-bintang.
Disapanya pasir pantai yang lembut. Dia berlarian di atas pasir dan
terkadang berjalan perlahan sambil menikmati matahari dan air. Sementara
laut di sekelilingnya beriak-riak melalui ombaknya yang biru.
Sekali lagi, disapanya pantai Aqaba. Si Aku berharap agar pantai
Aqaba tidak melupakan dirinya dan keluarganya. Dia berjanji bahwa suatu
hari akan kembali lagi bersama keluarganya ke pantai Aqaba. Dia akan
membangun istana cinta di atas pasir pantai Aqaba yang lembut. Kelembutan
pantainya itulah yang senantiasa memenuhi hati si Aku, sehingga rindu untuk
kembali lagi ke sana.
79
d. Lapis Dunia
Lapis dunia merupakan lapis keempat dalam analisis strata norma
Roman Ingarden. Lapis ini tidak perlu dinyatakan, akan tetapi sudah implisit
pada susunan kata-kata yang ada di dalam syair (Pradopo, 2014:15).
Pada bagian pertama syair, lapis dunia yang ditemukan yaitu
mengenai ombak pantai Aqaba. Analisis ini berdasarkan pada kutipan
berikut:
يا زرقة البحر / يا شاطئ العقبة حر) / الموج ل عربة .( 2009 :56العيسى، موارة الس
Ya> sya>thiˈal-‘aqabah/ Ya> zurqatal-bachri Almauju li> ‘arabah/ Mawwa>ratus-sichri (al-I>sa>, 2009:56).
Duhai pantai Aqaba/ Duhai birunya laut
Bagiku ombak adalah kereta / Yang menguraikan simpul sihir (al-I>sa>,
2009:56).
Pada kutipan di atas disebutkan bahwa ombak pantai Aqaba
menyerupai kereta yang mampu menguraikan simpul sihir. Pernyataan ini
mengandung majas metafora, yaitu menyatakan sesuatu sebagai hal yang
sama atau seharga dengan hal lain, yang sesungguhnya tidak sama
(Altenbernd dalam Pradopo, 2014:67). Pada bagian pertama syair ini, si Aku
menyamakan ombak dengan kereta yang mampu memecahkan simpul sihir.
Hal ini menggambarkan bahwa gulungan ombak pantai Aqaba sangat panjang
dan besar bak kereta, sehingga deburannya begitu dahsyat seperti simpul sihir
yang terurai. Pernyataan ini tidak perlu disebutkan secara eksplisit di dalam
bagian syair, karena artinya sudah implisit di antara rangkaian kata-kata yang
tersusun.
80
Lapis dunia juga ditemukan pada bagian kedua syair ini yaitu berupa
penggambaran diri si Aku dan pantai Aqaba dengan menggunakan majas
metafora. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:
ر ل مهرا / أحضانا وأعوم / ف بن فسيألقي والشط مرج نوم / وتصي
.( 2009 :56العيسى، )
Ulqi> binafsi> fi>/ Achdha>niha> wa a‘u>m/ Wa tashi>ru li> muhra>n/ Wasyaththa marju nuju>m (al-I>sa>, 2009:56).
Kuhempaskan diriku/ Dalam dekapnya dan aku mengapung/ Yang
nampak bagiku bak anak kuda / Sementara pantai adalah padang
rumput bintang-bintang (al-I>sa>, 2009:56).
Pada kutipan di atas, si Aku mengumpamakan dirinya seperti anak
kuda saat dia menceburkan dirinya ke pantai. Sementara pantai Aqaba
disamakan dengan padang rumput bintang-bintang. Penggunaan metafora
pada bagian kedua ini memiliki arti bahwa si Aku sangatlah kecil jika
dibandingkan dengan pantai Aqaba yang begitu luas dan berkilauan bak
bintang karena paparan sinar matahari. Karena luasnya pantai itu, membuat si
Aku tidak tenggelam dan justru terapung-apung seperti anak kuda di atas
padang rumput bintang-bintang.
Pada bagian keempat syair Ughniyyatu lil‘Aqabah juga ditemukan
lapis dunia yang implisit di balik penggunaan majas personifikasi. Analisis
ini berdasarkan pada kutipan berikut:
.( 2009 :57العيسى، ) لموجة الزرقاء ل / للبحر حول هس
Lilbachri chauli> hams/ Lilmaujatiz-zarqa> (al-I>sa>, 2009:57).
Laut di sekelilingku berbisik/ Untuk ombak yang biru (al-I>sa>,
2009:57).
81
Majas personifikasi adalah majas yang mempersamakan benda dengan
manusia, benda mati dibuat dapat bertindak, berpikir, dan sebagainya seperti
manusia (Pradopo, 2014:76). Pada kutipan di atas, majas personifikasi
nampak pada penggunaan kata berbisik yang disandingkan dengan subjek
benda mati yaitu laut. Maksud dari laut yang berbisik yaitu bahwa laut pantai
Aqaba beriak-riak atau bergelombang karena adanya ombak.
e. Lapis Metafisis
Lapis metafisis adalah lapis yang menyebabkan pembaca
berkontemplasi atau melakukan perenungan. Lapis metafisis merupakan lapis
kelima dalam analisis strata norma Roman Ingarden yang berupa sifat-sifat
metafisis (sublim, tragis, mengerikan, menakutkan, suci, dan lainnya).
Dengan hadirnya sifat-sifat inilah seorang pembaca akan melakukan sebuah
perenungan. Akan tetapi tidak semua karya sastra mengandung lapis metafisis
ini (Pradopo, 2014:15).
Karya sastra yang mengandung lapis metafisis merupakan karya sastra
yang mencapai tingkatan keempat atau niveau human dan kelima atau niveau
religius (filosofis) dalam tingkatan pengalaman jiwa. Adapun tingkatan
pertama atau niveau anorganis yang terjelma pada karya sastra hanya berupa
pola bunyi, irama, baris, sajak, alenia, alenia, kalimat, gaya bahasa dan
sebagainya. Untuk tingkatan kedua atau niveau vegetatif yang terjelma dalam
karya sastra berupa suasana-suasana yang ditimbulkan oleh rangkaian-
rangkaian kata-kata itu. Tingkatan ketiga atau niveau animal merupakan
tingkatan yang dicapai oleh binatang dan sudah ada nafsu jasmaniahnya.
82
Tingkatan ini jika terjelma dalam kata berupa nafsu-nafsu naluriah seperti
makan, minum, dan sebagainya (Pradopo, 1994:55-59).
Sementara itu, tingkatan pengalaman jiwa keempat atau niveau human
jika terjelma ke dalam karya sastra dapat berupa renungan-renungan batin dan
moral, konflik kejiwaan, rasa simpati dan segala pengalaman yang dirasakan
manusia. Sedangkan tingkatan kelima atau niveau religius (filosofis) berupa
renungan batin sampai hakikat, hubungan tuhan dengan manusia, renungan
filsafat dan metafisis, dan sebagainya (Pradopo, 1994:58).
Renungan terhadap syair Ughniyyatu lil‘Aqabah yang berada dalam
tingkatan niveau human berupa ajaran bagi manusia bahwa dalam kehidupan
ini, kebahagiaan, kesempatan, dan kelapangan akan datang pada diri setiap
orang. Ketika ketiga hal itu sedang datang menyertai, maka manusia harus
mensyukurinya dan menggunakannya dengan sebijak dan sebaik mungkin.
Manusia juga tidak boleh menyia-nyiakannya, sehingga berlalu begitu saja
tanpa meninggalkan manfaat baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.
Begitu juga dengan liburan yang tengah dinikmati oleh si Aku dan anak-anak
di pantai Teluk Aqaba, Yordania. Liburan itu akan berakhir ketika waktunya
tiba, untuk itu sebelum berakhir maka si Aku melakukan berbagai hal untuk
menciptakan kenangan yang indah di pantai Aqaba.
Sementara itu, renungan yang berada dalam tingkatan niveau religius
atau filosofis terhadap syair ini yaitu berupa kepasrahan dan percaya terhadap
takdir Tuhan. Kebahagiaan, kesempatan dan kelapangan yang ada dalam
kehidupan manusia, suatu saat akan menghilang dan silih berganti dengan
83
kesedihan, kesusahan, dan kesempitan. Sehubungan dengan hal itu, manusia
dituntut untuk selalu bersabar, tabah dan bersyukur dalam segala keadaan
yang telah Tuhan takdirkan.
Rasa syukur juga harus dibarengi dengan rasa optimis terhadap takdir
Tuhan, bahwa setiap kali datang kesulitan dan kesusahan, maka kebahagiaan
dan kelapangan sudah siap menyertainya. Yang dibutuhkan manusia hanyalah
percaya dan optimis akan cahaya kelapangan yang segera datang. “Karena
sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah
kesulitan itu ada kemudahan” (Depag, 2004:596 [93]). Keoptimisan ini
tercermin dari janji si Aku yang berharap dapat kembali berlibur ke pantai
Aqaba. Pantai yang berpasir lembut dan indah, hingga membuatnya
terpesona.
Berdasarkan hasil analisis syair kedua dengan memanfaatkan teori
strata norma Roman Ingarden yang terdiri dari lapis bunyi, lapis arti, lapis
hal-hal yang dikemukakan, lapis dunia dan lapis metafisis, dapat disimpulkan
secara keseluruhan bahwa syair yang berjudul Ughniyyatu lil ‘Aqabah karya
Sulaima>n al-I>sa> termasuk dalam kategori syi‘r churr. Syair ini mengusung
tema tentang “liburan” ( اإلجازة). Isinya menceritakan tentang aktivitas liburan
yang sedang dilakukan oleh si Aku di pantai Teluk Aqaba, Yordania. Si Aku
benar-benar menikmati liburannya dan membuat kenangan yang indah
sebelum dia meninggalkan pantai Aqaba. Dia berharap suatu saat nanti dapat
berkunjung kembali ke pantai Aqaba bersama keluarganya. Kesempatan
untuk menikmati liburan sebagaimana digambarkan pada syair ini
84
mengingatkan kepada pembaca akan adanya kesempatan dan kelapangan
yang datang silih berganti dengan kesulitan dan kesusahan. Untuk itu ketika
kesempatan dan kelapangan itu datang, manusia harus mempergunakan dan
memanfaatkannya dengan sebaik mungkin sebelum kesempatan itu pergi.
Dan ketika manusia sedang berada dalam situasi yang susah dan sulit, maka
dia harus tetap optimis dan terus berharap akan datangnya kesempatan,
kelapangan dan kemudahan.
2. Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Karakter
Nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung di dalam syair
Ughniyyatu lil‘Aqabah tidak dapat diketahui secara langsung oleh pembaca,
terlebih anak-anak. Hal ini karena nilai-nilai pendidikan karakter dalam syair ini
tertuang secara implisit di antara susunan kata-kata, untuk itu dibutuhkan proses
pembacaan yang mendalam dan proses analisis guna mendapatkan nilai-nilai
pendidikan karakter tersebut.
Berikut ini beberapa nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam syair
ini, berlandaskan pada sembilan pilar nilai-nilai karakter menurut Kemendiknas
dalam UU No. 20 tahun 2003 pasal 3 (Samani, 2013:106), yaitu:
a. Cinta Tuhan dan Segenap Ciptaan-Nya
Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya merupakan karakter pertama
dalam sembilan pilar nilai-nilai karakter menurut Kemendiknas dalam UU
No. 20 tahun 2003 pasal 3 (Samani, 2013:106). Karakter ini perlu ditanamkan
pada diri seorang anak sejak dini, sehingga anak tumbuh menjadi pribadi
yang bersyukur, mencintai semua ciptaan Tuhan, dan mau menjaga
85
lingkungan sekitarnya. Pada syair ini, karakter tersebut ditampilkan oleh
kecintaan si Aku terhadap pantai Aqaba, sebagaimana terdapat dalam kutipan
berikut:
يا شطنا احلال / تظل ملء القلب / ف رملك الناعم / ن بن قلع احلب .( 2009 :57العيسى، )
Nabni> qila>‘al-chub/ Fi> ramlika an-na>‘im/ Tadhalla milˈal-qalb/ Ya> syaththana>l-cha>lim (al-I>sa>, 2009:57).
Membangun istana cinta/ Di atas pasirmu yang lembut/ Senantiasa
memenuhi hati/ Duhai pantai kita yang lembut (al-I>sa>, 2009:57).
Si Aku terpesona dengan pantai Aqaba. Kerinduan akan lembut pantai
pasirnya senantiasa memenuhi hati si Aku, hingga membuatnya selalu ingin
kembali. Kembali ke pantai Aqaba untuk membuat istana cinta di atas
pasirnya.
Semenjak kecil seorang anak perlu dikenalkan dengan lingkungan
sekitarnya, sekaligus ditanamkan rasa kecintaan dan kepedulian terhadapnya.
Hal ini akan menjadikan seorang anak terbiasa untuk menjaga kelestarian
lingkungan sekitarnya. Jika demikian, maka tidak akan ditemukan
lingkungan-lingkungan yang rusak dan tidak terurus, karena manusia peduli
dengannya.
b. Menepati Janji
Menepati janji merupakan penjabaran dari nilai karakter keempat
“Kemandirian dan tanggung jawab” berdasarkan sembilan pilar nilai-nilai
karakter menurut Kemendiknas dalam UU No. 20 tahun 2003 pasal 3
(Samani, 2013:106). Menepati janji merupakan karakter yang harus
ditanamkan pada anak-anak sejak dini. Jika anak-anak sudah terbiasa
86
menepati janji maka hingga dewasa dia akan dihormati oleh rekan-rekannya.
Nilai pendidikan karakter untuk berusaha menepati janji terdapat pada
perkataan si Aku terhadap pantai Aqaba sebagai berikut:
ال ت نسنا، سن عود / يا شاطئ العقبة .( 2009 :57العيسى، ) واألىل سوف ن عود / ي وما إليك.. أنا
Ya> sya>thiˈal-‘aqabah/ La> tansana>, sana‘u>d Yauman ilaika.. ana> / wal-ahlu saufa na‘u>d (al-I>sa>, 2009:57).
Duhai pantai Aqaba/ Jangan lupakan kami, kami akan kembali
Suatu hari kepadamu... aku/ Dan keluargaku akan kembali (al-I>sa>,
2009:57).
Si Aku berjanji kepada pantai Aqaba bahwa ia akan kembali
berkunjung ke sana. Dari hal ini dapat disampaikan kepada anak-anak bahwa
jika seseorang berjanji maka harus ditepati. Penanaman karakter tepat janji
melalui syair ini dapat dilakukan oleh orang dewasa dengan cara
menyampaikan pesan secara tersurat kepada anak-anak bahwa seseorang
yang tepat janji akan senantiasa menunjukkan integritas dirinya dengan citra
yang baik, selain itu orang yang tepat janji merupakan orang yang
bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan orang lain.
c. Aktif dan Dinamis
Karakter aktif dan dinamis merupakan penjabaran dari karakter
keenam dalam sembilan pilar nilai-nilai karakter menurut Kemendiknas
dalam UU No. 20 tahun 2003 pasal 3 yaitu percaya diri dan kerja keras
(Samani, 2013:106). Karakter ini sangat penting ada pada diri seseorang,
karena tanpa kedua karakter tersebut, seseorang akan menjadi pribadi yang
tertutup, pemalas, dan tidak berkembang. Karakter aktif dan dinamis pada
87
syair ini ditunjukkan si Aku saat sedang di pantai Aqaba, sebagaimana
terdapat dalam kutipan berikut:
.( 2009 :57-56العيسى، ) أمشي على مهل / أجري وأحيانا / إن على الرمل / يا ناعم الرمل
Ya> na>‘imar-ramli/ Inni> ‘ala>r-ramli/ Ajri> wa achya>nan/ Amsyi> ‘ala> mahli (al-I>sa>, 2009:56-57).
Duhai pantai pasir yang lembut/ Inilah aku di atas pasir/ Aku berlari
dan terkadang/ Aku berjalan perlahan (al-I>sa>, 2009:56-57).
Saat di pantai Aqaba, si Aku tidak hanya diam saja. Terkadang dia
berlari dan terkadang dia berjalan perlahan di atas pasir pantai Aqaba yang
lembut. Melalui hal ini, dapat disampaikan kepada anak-anak bahwa dalam
kehidupan ini seseorang harus terus bergerak dan berbuat. Tidak ada waktu
untuk berdiam diri dan pasif. Kesempatan hanya akan datang sekali saja.
Selain itu, kesempatan hanya akan datang pada orang-orang yang dengan
cekatan mampu menangkap dan memanfaatkannya. Sementara itu, orang
yang berdiam diri saja, hanya akan terkungkung pada ketertinggalan dan
keterpurukan.
88
C. Syair Ke-3
أغنية الحجركان احلجر ي نشد ذات ي وم ىذه األغنية احللوة، وىو متلئ ثقة
وصلبتو.بن فسو، وبقوتو،
أنا احلجر..
أنا احلجر..
لة أشيد المنازل اجلمي
لة أسور البستان واخلمي **
..أنا احلجر
أحي البشر
فة جدران من العواصف ادلوراء خي
لم واألمان أعطيهم الس
فء واحلنان والد
فة الصحبة و األلي **
أنا احلجر..
أكون أحيانا سلحا رائع األث ر
ن يتمي ب صولة اخلطر أرد عم
أشج رأس حية
أصد بطش غزوة
أدفع العدوان والضرر و
أنا احلجر..
أنا احلجر..
Ughniyyatul-Chajar
Ka>nal-chajaru yunsyidu dza>ta yaumin hadzihil-ughniyatal-chulwah, wa huwa mumtaliˈun tsiqatan binafsihi, wa biquwwatihi, wa shala>batihi.
88
89
Ana> al-chajar.. Ana> al-chajar.. Usyayyidul-mana>zilal-jami>lah Usawwirul-busta>na wal-khami>lah
** Ana> al-chajar.. Achmi>l-basyar Wara> a judra>ni> minal-‘awa>shifil-mukhi>fah U‘thi>himus-sala>ma wal-ama>n wad-difˈa wal-china>n wash-shuchbatal-ali>fah
** Ana> al-chajar.. Aku>nu achya>nan sila>chan ra> i‘al-atsar Aruddu ‘amman yachtami> bi> shaulatal-khathar Asyujju raˈsa chayyatin Ashuddu bathsya ghaswatin Wa adfa‘ul-‘udwa>na wadh-dharar Ana> al-chajar.. Ana> al-chajar..
Nyanyian Batu
Suatu hari, batu menyanyikan lagu yang indah ini, dan dia percaya penuh dengan
dirinya, dengan kekuatannya, dan dengan ketangguhannya.
Aku batu ..
Aku batu ..
Ku bangun rumah-rumah yang megah
Ku pagari taman dan semak belukar
**
Aku batu..
Ku lindungi manusia
Dibalik dinding-dindingku dari badai-badai yang menakutkan
Kuberikan kepada mereka keselamatan dan keamanan
Kehangatan dan kelembutan
Juga sahabat karib
**
Aku batu ..
Terkadang, aku menjadi senjata yang hebat aksinya
Menjaga mereka yang berlindung kepadaku dari serangan bahaya
90
Ku pecahkan kepala ular
Ku pukul mundur kekuatan musuh
Ku tangkis serangan musuh dan bahaya
Aku batu ..
Aku batu ..
1. Analisis Strata Norma Roman Ingarden
a. Lapis Bunyi
Bunyi merupakan unsur puisi yang bersifat estetis, karena
menimbulkan keindahan dan tenaga ekpresif. Bunyi konsonan dan vokal
disusun sedemikian rupa sehingga menimbulkan bunyi yang merdu dan
berirama seperti bunyi musik. Dari irama yang beraturan inilah akan
mengalirkan perasaan, imajinasi-imajinasi dalam pikiran atau pengalaman-
pengalaman jiwa pendengarnya (Pradopo, 2014:22-27).
Kombinasi bunyi-bunyi vokal (asonansi), bunyi konsonan bersuara
(voiced), bunyi likuida atau bunyi yang keluar dari sela-sela ujung lidah yang
menempel pada ceruk gigi, dan bunyi sengau menimbulkan bunyi merdu dan
berirama atau efoni. Bunyi yang merdu itu dapat mendukung suasana yang
mesra, kasih sayang, gembira, dan bahagia. Sebaliknya, kombinasi bunyi
yang tidak merdu dan parau yang disebabkan oleh bunyi konsonan tidak
bersuara (unvoiced) dapat memperkuat suasana yang tidak menyenangkan,
kacau balau, serba tidak teratur, bahkan memuakkan. Kombinasi bunyi tidak
merdu dan parau disebut dengan kakofoni (Pradopo, 2014: 29-31).
Syair Ughniyyatul-Chajar diawali dengan prolog yang menceritakan
bahwa pada suatu hari, batu menyanyikan lagu yang indah. Bagian prolog
didominasi oleh penggunaan bunyi konsonan bersuara seperti bunyi huruf
91
nu>n, ji>m, ra>’, ya>’, da>l, dza>l, mi>m, hamzah, ghain, la>m, wau, dan ba>’. Anis
(1999:22) mengkategorikan bunyi huruf-huruf nasal (mi>m dan nu>n) serta
bunyi huruf likuida (la>m dan ra>’) ke dalam bunyi konsonan bersuara
(majhu>rah). Dominasi penggunaan bunyi konsonan bersuara dapat dilihat
dalam kutipan berikut :
.( 2009 :80)العيسى، وم ىذه األغنية احللوةكان احلجر ي نشد ذات ي
Ka>nal-chajaru yunsyidu dza>ta yaumin ha>dzihil-ughniyatal-chulwah (al-‘Isa>, 2009:80).
Suatu hari, batu menyanyikan lagu yang indah ini (al-‘Isa>, 2009:80).
Penggunaan bunyi konsonan bersuara tersebut nampak pada kata
ka>na, al-chajaru, yunsidu, dza>ta, yaumin, ha>dzihi, al-ughniyata, al-chalwah,
mumtaliˈun. Penggunaan bunyi konsonan bersuara ini menimbulkan sugesti
suasana yang ringan, menyenangkan, dan mesra. Pada kutipan di atas juga
ditemukan beberapa bunyi konsonan tidak bersuara, hanya saja jumlah
penggunaannya relatif sedikit. Bunyi konsonan tidak bersuara tersebut yaitu
bunyi huruf ka>f, cha>’, syi>n, ta>’, dan ha>’.
Sementara itu di akhir prolog ditemukan kombinasi penggunaan bunyi
konsonan bersuara dan tidak bersuara yaitu bunyi huruf ba>’, nu>n, wau, la>m,
dan ba>’ untuk bunyi konsonan bersuara dan bunyi huruf tsa>’, qa>f, ta>’, fa>’,
si>n, ha>’, dan sha>d untuk bunyi konsonan tidak bersuara. Kombinasi ini
terdapat pada kata wahuwa, mumtali'un, tsiqatan, binafsihi, wa biquwwatihi,
wa shala>batihi. Analisis ini berdasarkan pada kutipan berikut:
.( 2009 :80)العيسى، ، وبقوتو، وصلبتو وىو متلئ ثقة بن فسو
92
Wa huwa mumtaliˈun tsiqatan binafsihi, wa biquwwatihi, wa
shala>batihi (al-‘Isa>, 2009:80).
Dan dia percaya penuh dengan dirinya, dengan kekuatannya, dan
dengan ketangguhannya (al-‘Isa>, 2009:80).
Keberadaan bunyi konsonan bersuara dan bunyi konsonan tidak
bersuara menimbulkan adanya kombinasi efek efoni dan kakofoni. Kombinasi
ini mendukung terciptanya sugesti suasana yang stabil, penuh dengan
kemesraan dan kasih sayang namun juga butuh kekuatan dan pengorbanan.
Pada bagian akhir prolog, ditemukan penggunaan aliterasi atau
pengulangan bunyi konsonan yang dominan di dalam syair. Pengulangan ini
terjadi pada bunyi huruf ba>’ dan wau pada kata binafsihi, wabiquwwatihi,
dan washola>batihi. Adanya aliterasi ini berfungsi untuk memperdalam sugesti
suasana yang dinamis dan menyenangkan, karena bunyi kedua huruf tersebut
merupakan bunyi konsonan bersuara.
Setelah prolog, syair ini dibagi menjadi tiga bagian yang tiap
bagiannya dipisahkan dengan tanda (**). Bagian pertama syair ini didominasi
oleh penggunaan bunyi huruf-huruf konsonan bersuara yaitu hamzah, nu>n,
ji>m, ra>’, ya>’, da>l, mi>m, za>’, la>m, wau, dan ba>’ pada kata ana>, al-chajar,
usyayyidu, al-mana>zila, al-jami>lah, usawwiru, al-busta>na, dan al-khami>lah.
Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:
لة /أنا احلجر../ أنا احلجر.. لة / أشيد المنازل اجلمي .( 2009 :80)العيسى، أسور البستان واخلمي
Ana> al-chajar../ Ana> al-chajar../ Usyayyidul-mana>zilal-jami>lah/ Usawwirul-busta>na wal-khami>lah (al-‘Isa>, 2009:80).
Aku batu ../ Aku batu ../ Ku bangun rumah-rumah yang megah/ Ku
pagari taman dan semak belukar (al-‘Isa>, 2009:80).
93
Bunyi konsonan tidak bersuara yang digunakan pada bagian pertama
syair ini hanya ada empat yaitu bunyi huruf cha>’ pada kata al-chajar yang
diulang dua kali, bunyi huruf syi>n pada kata usyayyidu, bunyi huruf si>n pada
kata usawwiru dan al-busta>nu, serta bunyi huruf kha>’ pada kata khami>lah.
Dominasi penggunaan bunyi konsonan bersuara (voiced) menimbulkan efek
efoni atau bunyi merdu dan berirama sehingga mendukung terbentuknya
sugesti suasana yang mesra, kasih sayang, dan bahagia. Suasana mesra dan
kasih sayang ini dipertegas dengan adanya penggunaan harakat tasydid pada
huruf-huruf konsonan bersuara yaitu huruf ya>’ pada kata usayyidu dan huruf
wau pada kata usawwiru. Penggunaan harakat fatchah atau vokal [a] dan
kasrah atau vokal [i] pada kata-kata di akhir baris juga menghasilkan irama
yang merdu sehingga mendukung terbentuknya suasana yang riang, hangat,
dan menyenangkan.
Pada bagian pertama syair Ughniyyatul-Chajar ini ditemukan
pemanfaatan asonansi atau pengulangan bunyi konsonan yang dominan di
dalam syair. Baris pertama dan kedua didominasi oleh bunyi vokal [a] dengan
pola yang sama yaitu [a], [a], [a], [a]. Sedangkan pada baris ketiga dan
keempat juga memiliki pola vokal yang sama di awal dan di akhir kalimat.
Pola vokal pada awal kalimat yaitu [u], [a], [i], [u], sedangkan pola vokal di
akhir kalimat yaitu [a], [i], [a]. Asonansi ini berfungsi untuk memperdalam
rasa, memperlancar ucapan dan menimbulkan kemerduan pasa syair
(Pradopo, 2014:38).
94
Pada bagian kedua, penggunaan bunyi konsonan bersuara dan
konsonan tidak bersuara berada dalam jumlah seimbang. Hal ini
menimbulkan sugesti suasana yang stabil dan netral. Analisis ini berdasarkan
pada kutipan berikut:
فة وراء جدران من العواصف / أحي البشر / أنا احلجر.. لم واألمان / ادلخي / أعطيهم الس
فء واحلنان فة الصحبة و / والد .( 2009 :80)العيسى، األلي
Ana> al-chajar../ Achmi>l-basyar/ Wara>ˈa judra>ni> minal-‘awa>shifil-mukhi>fah/ U‘thi>himus-sala>ma wal-ama>n/ wad-dif'a wal-china>n/ wash-shuchbatal-ali>fah (al-‘Isa>, 2009:80).
Aku batu../ Ku lindungi manusia/ Dibalik dinding-dindingku dari
badai-badai yang menakutkan/ Kuberikan kepada mereka keselamatan
dan keamanan/ Kehangatan dan kelembutan/ Juga sahabat karib (al-
‘Isa>, 2009:80).
Bunyi konsonan bersuara yang digunakan pada bagian kedua syair ini
berjumlah sepuluh huruf yaitu bunyi huruf hamzah, ji>m, ra>’, mi>m, ba>’, wau,
da>l, nu>n, ‘ain, dan la>m. Sedangkan bunyi konsonan tidak bersuara yang
digunakan di dalam bagian kedua syair ini berjumlah delapan huruf yaitu
bunyi huruf cha>’, syi>n, sha>d, fa>’, kha>’, tha>’, ha>’, dan si>n. Kombinasi
penggunaan bunyi konsonan bersuara dan bunyi konsonan tidak bersuara
menimbulkan sugesti suasana kasih sayang yang terasa berat, penuh
perjuangan dan pengorbanan.
Bagian ketiga syair Ughniyyatul-Chajar yang terdiri dari dua bait ini
menggunakan bunyi huruf konsonan voiced dan unvoiced dalam jumlah yang
seimbang. Hal ini menimbulkan sugesti suasana yang netral di antara bahagia
dan susah. Analisis ini berdasarkan pada kutipan berikut:
95
ن يتمي ب صولة اخلطر / أكون أحيانا سلحا رائع األث ر / احلجر..أنا أشج رأس / أرد عم أنا احلجر.. / أنا احلجر.. / أدفع العدوان والضرر و / أصد بطش غزوة / حية
.( 2009 :81)العيسى،
Ana> al-chajar../ Aku>nu achya>nan sila>chan ra>ˈi‘al-atsar/ Aruddu ‘amman yachtami> bi> shaulatal-khathar/ Asyujju raˈsa chayyatin/ Ashuddu bathsya ghaswatin/ Wa adfa‘ul-‘udwa>na wadh-dharar/ Ana> al-chajar../ Ana> al-chajar.. (al-‘Isa>, 2009:81).
Aku batu ../ Terkadang, aku menjadi senjata yang hebat aksinya/
Menjaga mereka yang berlindung kepadaku dari serangan bahaya/ Ku
pecahkan kepala ular/ Ku pukul mundur kekuatan musuh/ Ku tangkis
serangan musuh dan bahaya/ Aku batu ../ Aku batu .. (al-‘Isa>,
2009:81).
Huruf-huruf konsonan voiced yang digunakan di bagian ketiga syair
ini yaitu huruf hamzah, nu>n, ji>m, ra>’, ya>’, la>m, ‘ain, da>l, mi>m, ba>’, ghain, za>’,
wau, dan dha>d. Sedangkan huruf konsonan unvoiced yang digunakan di
bagian ketiga syair ini yaitu huruf cha>’, ka>f, si>n, tsa>’, ta>’, sha>d, kha>’, tha>’,
syi>n, dan fa>’. Kombinasi penggunaan huruf konsonan voiced dan unvoiced
menimbulkan sugesti suasana yang mesra, penuh kasih sayang, namun terasa
berat dan membutuhkan kekuatan.
Pada bagian ketiga ini ditemukan asonansi atau pengulangan bunyi
vokal yang dominan di dalam syair. Asonansi terlihat pada baris keempat dan
kelima dengan pola vokal yang sama yaitu [a], [u], [u], [a], [a], [a], [a], [i].
Asonansi ini berfungsi untuk memperdalam rasa, memperlancar ucapan dan
mencapai kemerduan bunyi.
Syair ini juga mengandung unsur repetisi yang merupakan bentuk
pengulangan bunyi, suku kata, kata dan kalimat guna memberikan penekanan
dan memperoleh makna yang mendalam pada sebuah pemaknaan karya
96
sastra. Unsur repetisi ini terlihat dari penggunaan kalimat “Ana> al-chajar..‛
yang diulang berkali-kali pada setiap bagiannya. Pada bagian pertama kalimat
“Ana> al-chajar..‛ diulang dua kali, pada bagian kedua diulang satu kali, dan
pada bagian ketiga diulang tiga kali yaitu pada bait pertama satu kali dan bait
kedua sebanyak dua kali. Pengulangan kalimat ini bertujuan untuk
menegaskan eksistensi dari pelaku utama dalam syair ini, yaitu batu.
Selain repetisi, syair ini juga mengandung irama yang berupa sajak
(ritme). Ritme di dalam aturan syair Arab bisa disepadankan dengan Qa>fiyah.
Qa>fiyah adalah huruf dan harakat di akhir bait-bait yang sudah ditetapkan
oleh seorang penyair untuk diulang-ulang (Nabawy, 2000:225). Namun sajak
yang terdapat di dalam syair ini tidak seluruhnya sama dalam setiap
bagiannya. Hal ini dikarenakan syair Ughniyyatul-Chajar merupakan syi‘r
churr yaitu syair yang tidak terikat dengan aturan wazan, qa>fiyah maupun
taf‘ila>t, tetapi masih terikat dengan satuan irama khusus yang menjadi
karakteristik karya sastra bernilai tinggi (Husein dalam Muzakki, 2006:53).
Bagian pertama yang terdiri dari satu bait syair, menggunakan sajak
aa-bb. Pada baris pertama dan kedua diakhiri oleh huruf ra>’ yang bersukun
yaitu pada kata احلجر. Sedangkan baris ketiga dan keempat pada bait pertama
ini diakhiri oleh bunyi huruf ta>’ marbuthah yang bersukun [h].
Bagian kedua syair ini terdiri dari satu bait syair dan tidak memiliki
sajak yang tetap. Pada baris pertama dan kedua diakhiri oleh huruf ra>’ yang
bersukun yaitu pada kata احلجر dan البشر. Baris ketiga dan keenam dalam bait
97
kedua ini memiliki akhiran yang sama yaitu bunyi [h] dari huruf ta>’
marbuthah yang berharakat sukun yaitu pada kata فة فة dan ادلخي Sedangkan .األلي
baris keempat dan kelima juga memiliki sajak yang sama yaitu huruf nu>n
yang berharakat sukun pada kata األمان dan احلنان. Jadi, pada bagian kedua ini
memiliki pola sajak aa-bc-cb.
Bagian ketiga syair ini terdiri dari dua bait, yang mana bait
pertamanya memiliki sajak tidak beraturan. Sedangkan bait keduanya
memiliki sajak yang beraturan. Baris pertama, kedua, ketiga, keenam, pada
bait pertama diakhiri oleh huruf ra>’ yang berharakat sukun yaitu pada kata
Sedangkan baris keempat dan kelima berakhiran .الضرر dan األث ر ,احلجر , اخلطر ,
dengan huruf ta>’ marbuthah yang berharakat kasrah tanwin yaitu pada kata
-Jadi, pola sajak pada bagian ketiga bait pertama ini yaitu aa-ab .غزوة dan حية
ba.
Sementara itu, pada bait kedua di bagian ketiga syair ini hanya terdiri
dari dua baris saja. Kedua baris tersebut memiliki sajak yang sama yaitu
berakhiran huruf ra>’ yang berharakat sukun pada kata احلجر, sehingga pola
sajaknya yaitu aa.
b. Lapis Arti
Lapis arti merupakan lapis kedua yang ditimbulkan oleh adanya lapis
pertama (lapis bunyi). Lapis arti ini berupa rangkaian fonem, suku kata, kata,
frase, dan kalimat (Pradopo, 2014:15).
98
Syair Ughniyyatul-Chajar diawali dengan prolog atau paragraf
pengantar syair sebelum masuk ke dalam bagian syair yang terdiri dari bait-
bait syair. Paragraf pengantar syair berisi kalimat-kalimat yang mengantarkan
pembaca pada gambaran situasi yang tengah berlangsung sebelum masuk ke
dalam bagian syair, sehingga membantu memudahkan pembaca untuk
memahami isi syair.
Prolog atau paragraf pengantar syair Ughniyyatul-Chajar
menceritakan tentang aktifitas batu pada suatu hari. Hal ini dapat dilihat di
dalam kutipan berikut ini:
لبتو كان احلجر ي نشد ذات ي وم ىذه األغنية احللوة، وىو متلئ ثقة بن فسو، وبقوتو، وص
.( 2009 :80)العيسى،
Ka>nal-chajaru yunsyidu dza>ta yaumin ha>dzihil-ughniyatal-chulwah, wa huwa mumtaliˈun tsiqatan binafsihi, wa biquwwatihi, wa shala>batihi (al-‘Isa>, 2009:80).
Suatu hari, batu menyanyikan lagu yang indah ini, dan dia percaya
penuh dengan dirinya, dengan kekuatannya, dan dengan
ketangguhannya (al-‘Isa>, 2009:80).
Pada suatu hari, batu menyanyikan sebuah lagu yang indah dengan
kepercayaan penuh akan kemampuan dirinya, kekuatannya dan
ketangguhannya. Lagu yang dinyanyikan adalah lagu tentang dirinya sendiri.
Bagian pertama syair Ughniyyatul-Chajar memiliki arti bahwa si Aku
adalah batu yang membangun rumah-rumah dan memagari taman serta
semak belukar. Pernyataan ini terdapat dalam kutipan berikut:
لة /احلجر..أنا / أنا احلجر.. لة / أشيد المنازل اجلمي .( 2009 :80)العيسى، أسور البستان واخلمي
99
Ana> al-chajar../ Ana> al-chajar../ Usyayyidul-mana>zilal-jami>lah/ Usawwirul-busta>na wal-khami>lah (al-‘Isa>, 2009:80).
Aku batu ../ Aku batu ../ Ku bangun rumah-rumah yang megah/ Ku
pagari taman dan semak belukar (al-‘Isa>, 2009:80).
Pada kutipan di atas, kalimat “aku batu” diulang sebanyak dua kali hal
ini untuk menegaskan kepada pembaca bahwa si Aku adalah benar-benar
batu, bukan yang lainnya. Pengulangan tersebut juga digunakan untuk
menekankan kedudukan dan status si Aku. Hal ini didukung dengan
pengungkapan jasa si Aku pada baris ketiga dan keempat yaitu dengan
menggunakan si Aku (batu), manusia dapat membuat rumah-rumah yang
megah serta memagari taman dan semak belukar.
Bagian kedua syair ini juga masih menceritakan tentang jasa si Aku,
namun dengan bentuk yang lebih besar dari pada jasa si Aku pada bait
pertama. Analisis ini berdasarkan pada kutipan berikut:
فة وراء جدران من العواصف / أحي البشر /أنا احلجر.. لم واألمان / ادلخي / أعطيهم الس
فء واحلنان فة الصحبة و / والد .( 2009 :80)العيسى، األلي
Ana> al-chajar../ Achmi>l-basyar/ Wara>ˈa judra>ni> minal-‘awa>shifil-mukhi>fah/ U‘thi>himus-sala>ma wal-ama>n/ wad-difˈa wal-china>n/ wash-shuchbatal-ali>fah (al-‘Isa>, 2009:80).
Aku batu../ Ku lindungi manusia/ Di balik dinding-dindingku dari
badai-badai yang menakutkan/ Kuberikan kepada mereka keselamatan
dan keamanan/ Kehangatan dan kelembutan/ Juga sahabat karib (al-
‘Isa>, 2009:80).
Jasa si Aku (batu) pada bagian kedua syair ini yaitu melindungi
manusia di balik dinding-dindingnya dari badai-badai yang menakutkan serta
memberikan keselamatan, keamanan, kehangatan, kelembutan, dan sahabat
bagi manusia.
100
Bagian ketiga syair ini juga menceritakan jasa si Aku yang butuh
pengorbanan lebih banyak dibandingkan jasa si Aku pada bagian pertama dan
bagian kedua syair. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
ن يتمي ب صولة اخلطر / أحيانا سلحا رائع األث ر أكون / أنا احلجر.. أشج رأس حية / أرد عم
رر / أصد بطش غزوة / .( 2009 :81)العيسى، أنا احلجر../ أنا احلجر../ وأدفع العدوان والض
Ana> al-chajar../ Aku>nu achya>nan sila>chan ra>ˈi‘al-atsar/ Aruddu ‘amman yachtami> bi> shaulatal-khathar/ Asyujju raˈsa chayyatin/ Ashuddu bathsya ghaswatin/ Wa adfa‘ul-‘udwa>na wadh-dharar/ Ana> al-chajar../ Ana> al-chajar.. (al-‘Isa>, 2009:81)
Aku batu ../ Terkadang, aku menjadi senjata yang hebat aksinya/
menjaga mereka yang berlindung kepadaku dari serangan bahaya/ Ku
pecahkan kepala ular/ Ku pukul mundur kekuatan musuh/ Ku tangkis
serangan musuh dan bahaya/ Aku batu ../ Aku batu .. (al-‘Isa>,
2009:81)
Jasa si Aku (batu) pada bagian ketiga ini yaitu menjadi senjata yang
hebat bagi siapapun yang berlindung kepadanya dari ancaman bahaya.
Sebagai senjata, si Aku dapat memecahkan kepala ular, memukul mundur
dan menangkis kekuatan serangan maupun bahaya, karena si Aku adalah
batu.
c. Lapis Hal-Hal yang Dikemukakan
Lapis hal-hal yang dikemukakan merupakan lapis ketiga yang
ditimbulkan oleh lapis kedua atau lapis arti. Lapis hal-hal yang dikemukakan
ini terdiri dari pelaku (subjek), latar, objek, dan dunia pengarang (Pradopo,
2014:18).
Latar waktu syair Ughniyyatul-Chajar yaitu terjadi pada suatu hari.
Latar waktu ini terlihat di dalam prolog syair yaitu seperti pada kutipan
berikut:
101
.( 2009 :80)العيسى، كان احلجر ي نشد ذات ي وم ىذه األغنية احللوة
Ka>nal-chajaru yunsyidu dza>ta yaumin hadzihil-ughniyatal-chulwah (al-‘Isa>, 2009:80).
Suatu hari, batu menyanyikan lagu yang indah ini (al-‘Isa>, 2009:80).
Kutipan di atas menceritakan bahwa aktifitas menyanyi yang
dilakukan oleh batu terjadi pada suatu hari. Namun tidak dijelaskan apakah
terjadi di pagi hari, siang hari, atau malam hari.
Sementara itu, latar tempat di dalam syair Ughniyyatul-Chajar
ditemukan pada bagian kedua syair yaitu di balik dinding-dindingku (batu).
Latar tempat ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:
فة وراء جدران من العواصف / ر أحي البش .( 2009 :80)العيسى، ادلخي
Achmi>l-basyar/ Wara>ˈa judra>ni> minal-‘awa>shifil-mukhi>fah (al-‘Isa>,
2009:80).
Ku lindungi manusia/ Di balik dinding-dindingku dari badai-badai
yang menakutkan (al-‘Isa>, 2009:80).
Batu melindungi manusia dari badai-badai yang menakutkan di balik
dinding-dindingnya. Oleh karena itu, pada bagian kedua ini, tempat di balik
dinding-dinding batu menjadi latar dari peristiwa yang terjadi.
Selain latar, hal-hal yang dikemukakan di dalam syair ini yaitu pelaku
atau tokoh. Pelaku pada syair ini adalah batu. Analisis ini berdasarkan pada
kutipan berikut:
.( 2009 :80)العيسى، ىذه األغنية احللوة ذات ي وم كان احلجر ي نشد
Ka>nal-chajaru yunsyidu dza>ta yaumin hadzihil-ughniyatal-chulwah (al-‘Isa>, 2009:80).
102
Suatu hari, batu menyanyikan lagu yang indah ini… (al-‘Isa>,
2009:80).
Keberadaan batu sebagai pelaku juga dipertegas dengan penggunaan
kalimat “Ana> al-chajar..‛ yang berarti “aku batu..” yang diulang-ulang pada
setiap bagian syair. Pada bagian pertama kalimat ‚Ana> al-chajar..‛ diulang
dua kali yaitu di baris pertama dan baris kedua. Pada bagian kedua kalimat
“Ana> al-chajar..‛ diulang satu kali yang terletak pada baris pertama.
Sedangkan pada bagian ketiga kalimat “Ana> al-chajar..‛ diulang sebanyak
tiga kali yaitu pada baris pertama bait pertama serta baris pertama dan kedua
pada bait kedua.
Setelah latar dan pelaku, Hal-hal yang dikemukakan selanjutnya yaitu
objek. Objek yang dikemukakan di dalam syair ini berbeda-beda pada setiap
bagiannya. Pada bagian pertama syair, objek yang dikemukakan yaitu rumah
yang megah, taman, dan semak belukar. Ketiga objek ini dapat dilihat pada
kutipan berikut:
لة / أنا احلجر.. / أنا احلجر.. لة / أشيد المنازل اجلمي :80)العيسى، أسور البستان واخلمي
2009 ).
Ana> al-chajar../ Ana> al-chajar../ Usyayyidul-mana>zilal-jami>lah/ Usawwirul-busta>na wal-khami>lah (al-‘Isa>, 2009:80).
Aku batu ../ Aku batu ../ Ku bangun rumah-rumah yang megah/ Ku
pagari taman dan semak belukar (al-‘Isa>, 2009:80).
Pada kutipan di atas dijelaskan bahwa batu sebagai pelaku dalam syair
ini melakukan dua hal yaitu membangun rumah-rumah yang megah dan
memagari taman serta semak belukar. Jadi, rumah-rumah yang megah,
taman, dan semak belukar berkedudukan sebagai objek karena dikenai
103
perbuatan oleh pelaku (batu). Dalam kutipan tersebut nampak penggunaan
majas personifikasi yaitu kiasan yang menyamakan benda dengan manusia,
yang dapat berbuat, berpikir, dan sebagainya seperti manusia (Pradopo,
2014:76). Majas personifikasi ini digunakan untuk menyamakan batu dengan
manusia yang seolah bisa melakukan kegiatan membangun rumah-rumah
yang megah dan memagari taman serta semak belukar. Dalam hal ini,
sebenarnya yang melakukan kegiatan adalah manusia, sementara batu
hanyalah sebagai alat atau sarana manusia dalam melakukan kedua pekerjaan
itu.
Objek yang dikemukakan pada bagian kedua yaitu manusia sebagai
objek konkret serta keselamatan, keamanan, kehangatan, dan kelembutan
sebagai objek yang abstrak. Objek-objek tersebut dapat dilihat dalam kutipan
berikut:
فة وراء جدران من العواصف / أحي البشر /أنا احلجر.. لم واألمان / ادلخي / أعطيهم الس
فء واحلنان فة الصحبة و / والد .( 2009 :80)العيسى، األلي
Ana> al-chajar../ Achmi>l-basyar/ Wara>ˈa judra>ni> minal-‘awa>shifil-mukhi>fah/ U‘thi>himus-sala>ma wal-ama>n/ wad-difˈa wal-china>n/ wash-shuchbatal-ali>fah (al-‘Isa>, 2009:80).
Aku batu../ Ku lindungi manusia/ Dibalik dinding-dindingku dari
badai-badai yang menakutkan/ Kuberikan kepada mereka keselamatan
dan keamanan/ Kehangatan dan kelembutan/ Juga sahabat karib (al-
‘Isa>, 2009:80).
Manusia dalam paragraf ini menjadi objek konkret yang dikenai
sasaran perbuatan batu sebagai pelaku. Batu melindungi manusia dari badai
yang menakutkan. Batu juga memberikan keselamatan, keamanan,
kehangatan, dan kelembutan kepada manusia. Dalam hal ini, keselamatan,
104
keamanan, kehangatan, dan kelembutan juga berkedudukan sebagai objek,
yaitu berupa objek abstrak karena keempat hal tersebut dikenai sasaran
perbuatan oleh batu sebagai pelaku.
Pada bagian ketiga, objek yang dikemukakan adalah kepala ular,
serangan musuh dan bahaya. Ketiga objek ini nampak pada kutipan berikut
ini:
ن يتمي ب صولة اخلطر / أكون أحيانا سلحا رائع األث ر / أنا احلجر.. أشج رأس / أرد عمرر وأدفع / أصد بطش غزوة / حية أنا احلجر.. / أنا احلجر.. / العدوان والض
.( 2009 :81)العيسى،
Ana> al-chajar../ Aku>nu achya>nan sila>chan ra>ˈi‘al-atsar/ Aruddu ‘amman yachtami> bi> shaulatal-khathar/ Asyujju raˈsa chayyatin/ Ashuddu bathsya ghaswatin/ Wa adfa‘ul-‘udwa>na wadh-dharar/ Ana> al-chajar../ Ana> al-chajar.. (al-‘Isa>, 2009:81)
Aku batu ../ Terkadang, aku menjadi senjata yang hebat aksinya/
Menjaga mereka yang berlindung kepadaku dari serangan bahaya/ Ku
pecahkan kepala ular/ Ku pukul mundur kekuatan musuh/ Ku tangkis
serangan musuh dan bahaya/ Aku batu ../ Aku batu .. (al-‘Isa>,
2009:81)
Kepala ular merupakan objek karena menjadi sasaran pelaku (batu)
untuk dipecahkan. Begitu juga dengan serangan musuh dan bahaya juga
menjadi objek dalam bagian ini. Hal ini karena keduanya dikenai sasaran
perbuatan si pelaku.
Selain objek-objek yang dikemukakan di atas, batu juga menjadikan
dirinya sendiri sebagai objek, baik pada bagian pertama, kedua, maupun
ketiga syair. Selain menjadi subjek, batu juga menjadi objek pada syair ini,
karena batu menjadikan dirinya sendiri sebagai isi dari nyanyiannya.
105
Hal-hal yang dikemukakan selanjutnya adalah dunia pengarang.
Dunia pengarang adalah ceritanya yang merupakan dunia imajinasi ciptaan
pengarang. Dunia pengarang juga disebut alur yang merupakan gabungan dan
jalinan antara objek-objek yang dikemukakan, latar, dan pelaku (Pradopo,
2014:18).
Alur atau dunia pengarang di dalam syair ini yaitu suatu hari batu
menyanyikan lagu yang indah. Di dalam nyanyiannya itu dia menceritakan
tentang jasa-jasanya, mulai dari jasanya yang ringan dan biasa-biasa saja
hingga jasanya yang luar biasa dan penuh pengorbanan. Jasa-jasanya itu
dimulai dari dialah yang membangun rumah-rumah yang megah dan
memagari taman serta semak belukar. Kemudian dilanjutkan dengan
penjelasan mengenai jasa-jasanya yang membutuhkan pengorbanan lebih
yaitu melindungi manusia di balik dinding-dindingnya dari badai yang
menakutkan serta memberikan keselamatan, keamanan, kehangatan dan
kelembutan serta sahabat karib bagi manusia. Nyanyian ini diakhiri dengan
cerita mengenai jasa batu yang membutuhkan pengorbanan paling besar
dibandingkan jasa-jasanya yang sebelumnya yaitu batu menjadi senjata yang
ampuh bagi orang-orang yang berlindung kepadanya dari serangan bahaya,
batu mampu memecahkan kepala ular yang membahayakan, batupun juga
mampu memukul mundur dan menangkis serangan musuh.
d. Lapis Dunia
Lapis dunia merupakan lapis keempat dalam analisis strata norma
Roman Ingarden. Lapis dunia di pandang dari titik tertentu, tidak perlu
106
dinyatakan, akan tetapi sudah implisit terkandung di dalam sebuah karya
sastra (Pradopo, 2014:17).
Lapis dunia di dalam syair Ughniyyatul-Chajar dapat diperoleh
dengan memahami penggunaan majas personifikasi yang ada di dalamnya.
Pada syair ini, batu sebagai pelaku utama diumpakan seperti manusia mulai
dari prolog hingga bait ketiga. Batu digambarkan seolah-olah mampu
melakukan berbagai perbuatan yang terdapat di dalam syair tersebut. Namun
sudah bisa dipastikan batu sebagai benda mati, tidak akan mampu melakukan
perbuatan-perbuatan sebagaimana yang diceritakan di dalam syair tersebut.
Batu hanyalah media atau alat yang digunakan oleh manusia dalam
melakukan hal-hal tersebut. Jadi sebenarnya pelaku utama di dalam syair
tersebut adalah manusia, namun diimplisitkan perannya dibalik majas
personifikasi yang digunakan.
e. Lapis Metafisis
Lapis metafisis adalah lapis yang menyebabkan pembaca
berkontemplasi atau melakukan perenungan. Lapis metafisis merupakan lapis
kelima dalam analisis strata norma Roman Ingarden yang berupa sifat-sifat
metafisis (sublim, tragis, mengerikan, menakutkan, suci, dan lainnya).
Dengan hadirnya sifat-sifat inilah seorang pembaca akan melakukan sebuah
perenungan. Akan tetapi tidak semua karya sastra mengandung lapis metafisis
ini (Pradopo, 2014:15).
Karya sastra yang mengandung lapis metafisis merupakan karya sastra
yang mencapai tingkatan keempat atau niveau human dan kelima atau niveau
107
religius (filosofis) dalam tingkatan pengalaman jiwa. Adapun tingkatan
pertama atau niveau anorganis yang terjelma pada karya sastra hanya berupa
pola bunyi, irama, baris, sajak, alenia, kalimat, gaya bahasa dan sebagainya.
Untuk tingkatan kedua atau niveau vegetatif yang terjelma dalam karya sastra
berupa suasana-suasana yang ditimbulkan oleh rangkaian-rangkaian kata-kata
itu. Tingkatan ketiga atau niveau animal merupakan tingkatan yang dicapai
oleh binatang dan sudah ada nafsu jasmaniahnya. Tingkatan ini jika terjelma
dalam kata berupa nafsu-nafsu naluriah seperti makan, minum, dan
sebagainya (Pradopo, 1994:55-59).
Sementara itu, tingkatan pengalaman jiwa keempat atau niveau human
jika terjelma ke dalam karya sastra dapat berupa renungan-renungan batin dan
moral, konflik kejiwaan, rasa simpati dan segala pengalaman yang dirasakan
manusia. Sedangkan tingkatan kelima atau niveau religius (filosofis) berupa
renungan batin sampai hakikat, hubungan tuhan dengan manusia, renungan
filsafat dan metafisis, dan sebagainya (Pradopo, 1994:58).
Renungan pada tingkatan niveau human pada syair Ughniyyatul-
Chajar yaitu berupa peringatan bagi manusia agar dalam kehidupan ini harus
menjadi pribadi yang berguna bagi orang lain. Berguna dalam arti manusia
harus saling tolong menolong, saling membantu, dan melindungi satu sama
lain, karena pada hakikatnya antara satu orang dengan orang yang lain adalah
saudara. Jika ada saudaranya yang terancam, maka yang lain harus
melindunginya dari ancaman tersebut. Manusia juga harus saling
memberikan rasa aman dan hangat antara satu dengan yang lainnya.
108
Demi menjadi seorang yang berguna bagi orang lain seseorang
terkadang harus rela berkorban baik berupa pengorbanan harta, jiwa, maupun
raga, besar maupun kecil. Pengorbanan tersebut menunjukkan seberapa besar
kesungguhan manusia dalam mengabdikan dirinya untuk menjadi orang yang
berguna.
Sementara itu, renungan pada tingkatan niveau religius (filosofis)
yaitu berupa ajaran bahwa besar maupun kecilnya pengorbanan seseorang
untuk membantu orang lain, yang terpenting adalah keikhlasan dan
kontinuitasnya. Dalam memberi dan menolong orang lain tidak benar kiranya
mengharapkan balas jasa dari orang tersebut. Semuanya diniatkan hanya
karena-Nya. Dialah yang akan membalas setiap kebaikan yang dilakukan
oleh makhluk-Nya. Demikian halnya dengan batu yang tidak pernah
mengharap balas jasa dari manusia meski dia telah banyak berjasa bagi
manusia.
Berdasarkan hasil analisis syair kedua dengan memanfaatkan teori
strata norma Roman Ingarden yang terdiri dari lapis bunyi, lapis arti, lapis
hal-hal yang dikemukakan, lapis dunia dan lapis metafisis, dapat disimpulkan
secara keseluruhan bahwa syair yang berjudul Ughniyyatul-Chajar karya
Sulaima>n al-I>sa> masuk dalam kategori syi‘r churr. Syair ini mengusung tema
tentang “kepercayaan diri” ( ثقة بن فسو). Isinya menceritakan isi nyanyian yang
dinyanyikan oleh batu pada suatu hari. Di dalam nyanyiannya itu dia
menceritakan tentang jasa-jasanya, mulai dari jasanya yang ringan dan biasa-
biasa saja hingga jasanya yang luar biasa dan penuh pengorbanan. Nyanyian
109
batu mengenai jasa-jasanya ini memberikan perenungan terhadap manusia
bahwa demi menjadi seorang yang berguna bagi orang lain seseorang
terkadang harus rela berkorban baik berupa pengorbanan harta, jiwa, maupun
raga, besar maupun kecil. Pengorbanan tersebut menunjukkan seberapa besar
kesungguhan manusia dalam mengabdikan dirinya untuk menjadi orang yang
berguna. Selain itu, besar maupun kecilnya pengorbanan seseorang untuk
membantu orang lain, yang terpenting adalah keikhlasan dan kontinuitasnya.
Dalam memberi dan menolong orang lain tidak benar kiranya mengharapkan
balas jasa dari orang tersebut. Semuanya diniatkan hanya karena-Nya.
2. Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Karakter
Syair merupakan salah satu genre sastra, karena itu tentunya mengandung
pesan dan amanat yang hendak disampaikan oleh pengarangnya. Terlebih puisi
yang ditujukan untuk pembaca anak-anak, pesan dan amanat yang berupa nilai-
nilai pendidikan karakter sangatlah ditekankan. Hal ini mengingat usia anak-anak
merupakan usia yang tepat untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan karakter.
Penanaman nilai-nilai pendidikan karakter ini, bisa melalui berbagai
media, salah satunya syair. Hanya saja, seringkali nilai-nilai pendidikan karakter
ini tidak disebutkan secara eksplisit, akan tetapi implisit di dalam rangkaian kata-
kata syair yang indah. Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan adanya analisis
terhadap nilai-nilai pendidikan karakter tersebut, sehingga memudahkan anak-
anak untuk memahaminya.
Analisis nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung di dalam syair
Ughniyyatul-Chajar berlandaskan pada sembilan pilar nilai-nilai karakter menurut
110
Kemendiknas dalam UU No. 20 tahun 2003 pasal 3 (Samani, 2013:106).
Berdasarkan sembilan pilar tersebut, nilai-nilai pendidikan karakternya yaitu
sebagai berikut:
a. Percaya Diri
Percaya diri merupakan nilai karakter keenam dari sembilan pilar
nilai-nilai karakter menurut Kemendiknas dalam UU No. 20 tahun 2003 pasal
3 (Samani, 2013:106). Nilai-nilai kepercayaan diri perlu ditanamkan kepada
anak sejak dini. Hal ini karena nilai kepercayaan diri sangat berguna bagi
anak untuk menunjang aktifitasnya meraih cita-cita dan melakukan berbagai
hal. Nilai-nilai kepercayaan diri ini nampak pada kutipan prolog berikut:
تلئ ثقة بن فسو، وبقوتو، وصلبتو كان احلجر ي نشد ذات ي وم ىذه األغنية احللوة، وىو م
.( 2009 :81)العيسى،
Ka>nal-chajaru yunsyidu dza>ta yaumin ha>dzihil-ughniyatal-chulwah, wa huwa mumtaliˈun tsiqatan binafsihi, wa biquwwatihi, wa shala>batihi (al-‘Isa>, 2009:80).
Suatu hari, batu menyanyikan lagu yang indah ini, dan dia percaya
penuh dengan dirinya, dengan kekuatannya, dan dengan
ketangguhannya (al-‘Isa>, 2009:80).
Rasa percaya diri akan memunculkan keberanian pada seorang anak
untuk bertindak sesuai dengan apa yang dia inginkan, hal ini tentunya akan
berguna untuk mendorong kemajuan si anak itu sendiri. Tanpa adanya rasa
percaya diri, tentu akan sulit bagi seseorang untuk dapat meraih cita-citanya.
Tanpa rasa percaya diri pula, akan membuat seseorang sulit untuk
berinteraksi dengan orang lain. Hal ini tentunya akan membatasi ruang gerak
111
seseorang dengan sendirinya dan menjadikan orang tersebut berkepribadian
tertutup.
Rasa kepercayaan diri seseorang tidak akan dia dapatkan secara
langsung dan dalam waktu yang singkat. Hal ini memerlukan adanya proses-
proses pengenalan diri sendiri, pengenalan kemampuan yang dimiliki dan
sebagainya. Untuk itu, nilai karakter kepercayaan diri ini sangat penting
untuk ditanamkan pada diri seseorang semenjak dia masih berada dalam masa
kanak-kanak disertai dengan proses penggalian bakat dan kemampuan si
anak. Hal tersebut akan menjadikan rasa kepercayaan diri ini terus mengakar
mengikuti pertumbuhannya.
b. Mencintai Tuhan dan Segenap Ciptaan-Nya
Mencintai Tuhan dan segenap ciptaan-Nya adalah nilai karakter
pertama di dalam sembila pilar nilai-nilai karakter menurut Kemendiknas UU
No. 20 tahun 2003 pasal 3 (Samani, 2013:106). Nilai karakter mencintai
Tuhan dan segenap ciptaan-Nya dapat dilihat dari cara si Penyair menjadikan
batu sebagai pelaku utama di dalam syair tersebut yang seolah-olah memiliki
sifat-sifat seperti manusia. Batu adalah benda mati yang seringkali dianggap
sepele. Namun dalam syair ini batu justru digambarkan sebagai sebuah benda
yang banyak berjasa dan berguna bagi kehidupan manusia. Hal ini tentunya
berguna untuk menumbuhkan rasa penghargaan pada segala hal yang ada di
dunia ini. Karena apapun yang diciptakan oleh Tuhan, tidak ada yang sia-sia,
pasti memiliki manfaat dan berguna bagi kelangsungan hidup manusia baik
secara langsung maupun secara tidak langsung.
112
c. Suka membantu dan menolong orang lain
Suka membantu dan menolong orang lain merupakan nilai karakter
kelima berdasarkan sembilan pilar nilai-nilai karakter menurut Kemendiknas
dalam UU No. 20 tahun 2003 pasal 3 (Samani, 2013:106). Nilai karakter suka
membantu dan menolong orang lain dapat dilihat pada isi syair mulai dari
bait pertama hingga bait ketiga. Setiap bait dalam syair ini menceritakan
tentang jasa batu bagi kelangsungan hidup manusia dan sekitarnya, mulai dari
jasanya yang tergolong ringan sebagaimana diceritakan pada bait pertama,
jasanya yang sedang pada bait kedua, dan jasanya yang luar biasa serta butuh
pengorbanan yang berat pada bait ketiga.
Nilai karakter suka membantu dan menolong orang lain haruslah
ditanamkan pada diri seseorang sejak kecil, sehingga ketika dewasa
seseorang sudah terbiasa membantu dan menolong orang lain. Hal ini
tentunya akan mendorong seseorang menjadi pribadi yang berguna dalam
hidupnya, baik untuk diri sendiri, orang lain, juga bangsa dan negaranya.
d. Kasih Sayang dan Suka Melindungi
Kasih sayang merupakan karakter yang didapatkan manusia sejak
lahir. Bayi dilahirkan oleh ibunya dengan rasa kasih sayang dan jiwa yang
ingin selalu melindungi buah hatinya tersebut. Rasa tersebut dapat bertambah
ataupun berkurang disebabkan pengaruh lingkungan dan pola didik si anak.
Jika seorang anak dibesarkan dengan kasih sayang dan perlindungan yang
baik dari orang tuanya, maka anak akan menyerap nilai-nilai tersebut dan
menyebarkannya pada orang lain dan lingkungan di mana dia berada.
113
Nilai karakter kasih sayang dan suka melindungi merupakan
penjabaran nilai karakter pertama berdasarkan sembilan pilar nilai-nilai
karakter menurut Kemendiknas dalam UU No. 20 tahun 2003 pasal 3
(Samani, 2013:106). Dalam syair ini nilai karakter kasih sayang dan suka
melindungi terdapat pada bait kedua yang berbunyi:
فة وراء جدران من العواصف / أحي البشر /أنا احلجر.. لم واألمان / ادلخي / أعطيهم الس
فء واحلنان فة الصحبة و / والد .( 2009 :81)العيسى، األلي
Ana> al-chajar../ Achmi>l-basyar/ Wara>ˈa judra>ni> minal-‘awa>shifil-mukhi>fah/ U‘thi>himus-sala>ma wal-ama>n/ wad-difˈa wal-china>n/ wash-shuchbatal-ali>fah (al-‘Isa>, 2009:80).
Aku batu../ Ku lindungi manusia/ Dibalik dinding-dindingku dari
badai-badai yang menakutkan/ Kuberikan kepada mereka keselamatan
dan keamanan/ Kehangatan dan kelembutan/ Juga sahabat karib (al-
‘Isa>, 2009:80).
Rasa kasih sayang dan suka melindungi dalam bait tersebut terlihat
dari peran batu yang melindungi manusia dari badai yang menakutkan di
balik dinding-dindingnya. Batu juga memberikan keselamatan, rasa aman,
kehangatan dan kelembutan, juga menjadi sabahat karib bagi siapapun yang
berlindung dibalik dinding-dindingnya.
Nilai karakter kasih sayang dan suka melindungi ini seyogyanya
disampaikan orang dewasa kepada anak-anak sehingga anak memiliki
kepekaan kepada sekitarnya untuk selalu menyayangi dan memberikan
perlindungan bagi yang membutuhkan.
114
D. Syair Ke-4
أغنية األيلدا: فة، مرد ، وىو ي تجول ف أرجاء الغابة، وب ي األحراج الكثي كان األيل ي غن
مال ال ي نتهي اجل
ال ت نتهي الفت
وح والظلل الد
ر والفنن والطي
ء ا وسقسقات ادل
ف الغابة اخلضراء
عها مرابع ي ج
وكلها مراتع
ل حيثما أشاء
ل حيثما أشاء
عب أآلن، إن مت
أريد أن أنام
أريد أن أنام
)أصوات من الغابة، تأت رخيمة ناعمة(:
أأليل الرشيق
احلال الرقيق
يريد أن ينام **
قد جال حت مل
وطاف حت كل
واآلن.. يا رفاق نا
114
115
يريد أن ي نام **
دعوه يستيح
رتع
الفسيح ف ادل
دعوه لألحلم
يريد أن ي نام
Ughniyyatul-Ayyal
Ka>na al-Ayyalu yughanni>, wahuwa yatajawwalu fi> arja>ˈil-gha>bah, wa bainal-
achra>jil-katsi>fah, muraddidan:
La yantahi>l-jama>l
La tantahi>l-fitan
Ad-dauchu wazh-zhala>l
Wath-thairu wal-fanan
Wa saqsaqa>tul-ma>ˈ
Fi>l-gha>bah al-khadhra>ˈ
Jami>‘uha> mara>bi‘
Wakulluha> mara>ti‘
Li> chaitsuma> asya>ˈ
Li> chaitsuma> asya>ˈ
Al-ˈa>n, inni> mut‘abun
Uri>du an ana>m
Uri>du an ana>m
(Ashwa>tun minal-gha>bati, taˈti> rakhi>matan na>‘imatan):
Al-Ayyalu ar-rasyi>q
Al-cha>lim ar-raqi>q
Yuri>du an yana>m **
Qad ja>la chatta> malla
Watha>fa chatta> kalla
Wal-ˈa>n.. ya> rifa>qana>
Yuri>du an yana>m
116
** Da‘u>hu yastari>ch
Fi>l-marta‘il-fasi>ch
Da‘u>hu lil-achla>m
Yuri>du an yana>m
Nyanyian Kancil
Seekor kancil tengah bernyanyi, ia berjalan-jalan di pinggir hutan, dan di antara
lebatnya pepohonan, mengulang-ulang nyanyiannya:
Keindahan tak terhingga
Pesona tak berujung
Pohon yang rindang dan bayangan
Burung dan ranting
Gemericik air
Di hutan yang hijau
Semua bak pertunjukan
Semuanya padang rumput
Bagiku di mana pun aku mau
Bagiku di mana pun aku mau
Sekarang, sungguh aku lelah
Aku ingin tidur
Aku ingin tidur
(Suara dari hutan, Terdengar lembut dan merdu):
Kancil yang rupawan
Pemimpi yang lembut
Ia ingin tidur
**
Ia telah berkelana hingga lelah
Ia telah berkeliling hingga letih
Dan sekarang..Wahai kawan-kawan kita
Ia ingin tidur
**
Biarkan dia beristirahat
Di padang rumput yang luas
117
Biarkanlah dia bermimpi
Dia ingin tidur
1. Analisis Strata Norma Roman Ingarden
a. Lapis Bunyi
Bunyi merupakan unsur puisi yang bersifat estetis, karena
menimbulkan keindahan dan tenaga ekpresif. Bunyi konsonan dan vokal
disusun sedemikian rupa sehingga menimbulkan bunyi yang merdu dan
berirama seperti bunyi musik. Dari irama yang beraturan inilah akan
mengalirkan perasaan, imajinasi-imajinasi dalam pikiran atau pengalaman-
pengalaman jiwa pendengarnya (Pradopo, 2014:22-27).
Kombinasi bunyi-bunyi vokal (asonansi): a, e, i, o, u; bunyi-bunyi
konsonan bersuara (voiced): b, d, g, j, dan sebagainya; bunyi likuida atau
bunyi yang keluar dari sela-sela ujung lidah yang menempel pada ceruk gigi:
r, l; dan bunyi sengau: m, n, ng, ny menimbulkan efek efoni atau bunyi merdu
dan berirama. Bunyi yang merdu itu dapat mendukung suasana yang mesra,
kasih sayang, gembira, dan bahagia. Sebaliknya, kombinasi bunyi yang tidak
merdu dan parau yang disebabkan oleh bunyi konsonan tidak bersuara
(unvoiced) dapat untuk memperkuat suasana yang tidak menyenangkan,
kacau balau, serba tidak teratur, bahkan memuakkan. Kombinasi bunyi tidak
merdu dan parau disebut dengan kakofoni (Pradopo, 2014: 29-31). Anis
(1999:22) mengkategorikan huruf-huruf sengau atau nasal (mi>m dan nu>n)
serta huruf likuida (la>m dan ra>’) ke dalam huruf bersuara (majhu>r).
Unsur bunyi dalam syair Arab dapat dianalisis dari segi huruf secara
otonomi atau dalam bentuk rangkaian huruf pada sebuah kalimat. Analisis
118
huruf secara otonom dilakukan dengan proses pengelompokan berdasarkan
kuat dan lemahnya huruf yang keluar dari makharijul-churuf, serta
perpaduannya dengan tanda baca (harakat). Sementara itu, analisis bunyi
berdasarkan rangkaian huruf dapat diperoleh melalui beberapa unsur yang
berfungsi sebagai penentu makna dan nilai estetis. Dari bunyi yang hadir pada
puisi dapat ditangkap sugesti-sugesti kehidupan yang menyedihkan,
menyenangkan, baik, buruk, dan lain sebagainya (Pradopo, 2014:23).
Syair Ughniyyatul-Ayyal terdiri dari paragraf pengantar di awal dan
di tengah syair serta tiga bagian syair yang setiap bagiannya tersusun oleh
bait-bait syair. Pada paragraf pengantar di awal syair didominasi oleh
penggunaan bunyi konsonan bersuara seperti bunyi huruf nu>n, hamzah, ya>’,
la>m, ghain, wau, ji>m, ra>’, ba>’, mi>m dan da>l. Dominasi ini dapat dilihat pada
kutipan berikut:
، وىو ي تجول ف أرجاء الغابة، وب ي األح داكان األيل ي غن فة، مرد راج الكثي
.( :82:022العيسى، )
Ka>na al-Ayyalu yughanni>, wahuwa yatajawwalu fi> arja>ˈil-gha>bah, wa bainal-achra>jil-katsi>fah, muraddidan (al-‘Isa>, 2009:82).
Seekor kancil tengah bernyanyi, ia berjalan-jalan di pinggir hutan, dan
di antara lebatnya pepohonan, mengulang-ulang nyanyiannya (al-‘Isa>,
2009:82).
Dominasi penggunaan bunyi konsonan bersuara ini menimbulkan efek
efoni atau bunyi merdu dan berirama. Bunyi merdu tersebut mendukung
tercapainya sugesti suasana yang menyenangkan, ringan, dan hangat. Sugesti
suasana yang menyenangkan juga diperkuat dengan dominasi penggunaan
vokal [i] dan [a] pada bagian paragraf pengantar ini.
119
Selain paragraf pengantar atau prolog, syair ini terdiri dari tiga bagian
syair yang setiap bagiannya tersusun oleh bait-bait syair. Bagian pertama
syair ini terdiri dari empat bait. Bait pertama didominasi oleh penggunaan
bunyi konsonan bersuara seperti bunyi huruf la>m, ya>’, nu>n, ji>m, mi>m, da>l,
wau, dza>’, dan ra>’. Dominasi penggunaan bunyi huruf konsonan bersuara ini
nampak pada kutipan berikut:
وح والظلل /ال ت نتهي الفت /اجلمال ال ي نتهي ر والفنن / الد .( 2009 :82العيسى، ) والطي
La yantahi>l-jama>l/ La tantahi>l-fitan/ Ad-dauchu wazh-zhala>l/ Wath-
thairu wal-fanan (al-I>sa>, 2009:82).
Keindahan tak terhingga/ Pesona tak berujung/ Pohon yang rindang
dan bayangan/ Burung dan ranting (al-I>sa>, 2009:82).
Semua kata yang digunakan di dalam bait pertama ini mengandung
bunyi konsonan bersuara. Dominasi penggunaan bunyi konsonan bersuara ini
menimbulkan sugesti suasana yang riang dan menyenangkan.
Selain dominasi penggunaan bunyi konsonan bersuara, pada bait
pertama ini ditemukan asonansi atau pengulangan bunyi vokal. Asonansi
terjadi pada baris pertama dan kedua serta baris ketiga dan keempat. Pada
baris pertama dan kedua ditemukan pola vokal yang sama yaitu [a], [a], [a],
[i], [a], [i], [a]. Sedangkan baris ketiga memiliki pola vokal yang hampir sama
dengan baris keempat yaitu [a], [au], [u], [a], [i], [a] dan [a], [ai], [u], [a], [a],
[a]. Asonansi ini berfungsi untuk orkestrasi atau menciptakan bunyi musik
pada syair, sehingga memudahkan pengucapan dan mencapai irama yang
indah (Pradopo, 2014:38).
120
Pada bait pertama ini juga ditemukan salah satu jenis repetisi yaitu
Anafora. Anafora merupakan pengulangan kata pertama pada tiap baris atau
kalimat berikutnya (Keraf, 2007:127). Anafora pada bait ini yaitu berupa
pengulangan kata ‚la> yantahi> ‛ pada awal baris pertama diulang dalam bentuk
muannats (perempuan) ‚la> tantahi> ‛ pada awal baris kedua. Pengulangan ini
bertujuan untuk memberikan penekanan dan memperoleh makna yang
mendalam pada kata yang dimaksudkan.
Selanjutnya, pada bait kedua bagian pertama syair Ughniyyatul-Ayyal
menggunakan bunyi konsonan bersuara dan bunyi konsonan tidak bersuara
dalam jumlah yang seimbang. Pernyataan ini berdasarkan pada kutipan
berikut:
.( 2009 :82العيسى، ) الغابة اخلضراء ف /ادلاء وسقسقات
Wa saqsaqa>tul-ma>ˈ/ Fi>l-gha>bah al-khadhra> (al-I>sa>, 2009:82).
Gemericik air/ Di hutan yang hijau (al-I>sa>, 2009:82).
Bunyi konsonan bersuara yang digunakan pada bait ini yaitu bunyi
huruf wau, la>m, mi>m, hamzah, ghain, ba>’, dha>d, dan ra>’. Sedangkan bunyi
huruf konsonan tidak bersuara yang digunakan yaitu bunyi huruf si>n, qa>f, ta>’,
fa>’, dan kha>’. Penggunaan bunyi konsonan bersuara dan bunyi konsonan tidak
bersuara dalam jumlah yang seimbang ini menimbulkan sugesti suasana yang
netral, tenang, khusyuk, dan hening.
Kemudian pada bait ketiga terlihat dominasi penggunaan bunyi
konsonan bersuara dalam bait syair. Dominasi ini dapat diketahui melalui
kutipan berikut:
121
عها مرابع ي عب /ل حيثما أشاء / ل حيثما أشاء / مراتع وكلها /ج /أريد أن أنام / أآلن، إن مت
.( 2009 :82العيسى، ) أريد أن أنام
Jami>‘uha> mara>bi‘/ Wakulluha> mara>ti‘/ Li> chaitsuma> asya>ˈ/ Li> chaitsuma> asya>ˈ/ Al-ˈa>n, inni> mut‘abun/ Uri>du an ana>m/ / Uri>du an ana>m (al-I>sa>, 2009:82).
Semua bak pertunjukan/ Semuanya padang rumput/ Bagiku di mana
pun aku mau/ Bagiku di mana pun aku mau/ Sekarang, sungguh aku
lelah/ Aku ingin tidur/ Aku ingin tidur (al-I>sa>, 2009:82).
Bunyi konsonan bersuara yang digunakan dalam bait ketiga ini yaitu
bunyi huruf ji>m, mi>m, ‘ain, ra>’, ba>’, wau, la>m, hamzah, nu>n, dan da>l.
Dominasi penggunaan bunyi konsonan bersuara ini menimbulkan efek efoni
atau bunyi yang merdu dan berirama. Efek efoni ini cocok untuk mendukung
terciptanya sugesti suasana yang menyenangkan, ringan, dan bahagia.
Selain dominasi penggunaan bunyi konsonan bersuara, pada bait
ketiga ini juga ditemukan bentuk repetisi atau pengulangan bunyi, suku kata,
kata dan kalimat. Repetisi pada bait ketiga ini berupa pengulangan kalimat
pada baris ketiga yang diulang di baris keempat dan pengulangan kalimat
pada baris keenam yang diulang pada baris ketujuh. Pemanfaatan repetisi
berfungsi untuk memberikan penekanan dan memperoleh makna yang
mendalam dari bunyi, suku kata, kata atau kalimat yang diulang (Keraf,
2007:127).
Pada bait ketiga ini juga ditemukan asonansi atau pengulangan bunyi
vokal yang dominan di dalam syair. Asonansi terjadi pada baris pertama dan
kedua. Pada kedua baris ini ditemukan pola vokal yang hampir sama yaitu
[a], [i], [u], [a], [a], [a], [i], [u] dan [a], [u], [u], [a], [a], [a], [i], [u]. Adanya
122
asonansi pada bait ketiga ini berguna untuk memperdalam rasa, menimbulkan
efek musik serta mempermudah pembacaan.
Sebelum memasuki bait keempat terdapat prolog atau paragraf
pengantar. Pada bagian prolog ini terdapat kolaborasi penggunaan bunyi
konsonan bersuara dengan bunyi konsonan tidak bersuara. Analisis ini
berdasarkan pada kutipan berikut:
.( 2009 :83العيسى، ) أصوات من الغابة، تأت رخيمة ناعمة
Ashwa>tun minal-gha>bati, taˈti> rakhi>matan na>‘imatan (al-I>sa>,
2009:83).
Suara dari hutan, Terdengar lembut dan merdu (al-I>sa>, 2009:83).
Bunyi konsonan bersuara yang digunakan pada prolog ini yaitu bunyi
huruf hamzah, wau, mi>m, nu>n, la>m, ghain, ba>’, ra>’, dan ‘ain. Sedangkan
bunyi konsonan tidak bersuara yang digunakan yaitu bunyi huruf sha>d, ta>’,
dan kha>’. Penggunaan bunyi konsonan tidak bersuara ini dipertegas dengan
adanya aliterasi atau pengulangan bunyi konsonan yang dominan. Aliterasi
ini berupa pengulangan bunyi huruf ta>’ yang terdapat pada kata ashwa>tun, al-
gha>bati, taˈti>, rakhi>matan dan na>‘imatan. Adanya kolaborasi penggunaan
bunyi konsonan bersuara dan bunyi konsonan tidak bersuara serta aliterasi
bunyi konsonan bersuara menimbulkan sugesti suasana yang netral, hening
dan sepi.
Selanjutnya, pada bait keempat masih tetap didominasi oleh
penggunaan bunyi konsonan bersuara yaitu bunyi huruf hamzah, la>m, ya>’,
ra>’, mi>m, dal, dan nu>n. Dominasi ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
.( 2009 :83العيسى، ) يريد أن ينام /احلال الرقيق / أأليل الرشيق
123
Al-Ayyalu ar-rasyi>q/ Al-cha>lim ar-raqi>q/ Yuri>du an yana>m (al-I>sa>,
2009:83).
Kancil yang rupawan/ Pemimpi yang lembut/ Ia ingin tidur (al-I>sa>,
2009:83).
Dominasi penggunaan bunyi konsonan bersuara ini menimbulkan
sugesti suasana yang menyenangkan, mesra dan penuh kasih sayang. pada
bait keempat ini juga ditemukan asonansi atau pengulangan bunyi vokal yang
dominan. Asonansi ini terdapat pada baris pertama dan baris kedua. Pada
kedua baris ini ditemukan pola vokal yang hampir sama yaitu [a], [ai], [a],
[u], [a], [i] dan [a], [a], [i], [u], [a], [i]. Adanya asonansi berfungsi untuk
memperdalam rasa, menimbulkan bunyi musik, serta memperlancar ucapan
bait keempat ini.
Kemudian, pada bagian kedua syair ini terdiri dari dua bait. Bait
pertama menggunakan bunyi konsonan bersuara dan bunyi konsonan tidak
bersuara dalam jumlah yang seimbang. Pernyataan ini dapat dilihat pada
kutipan berikut:
.( 2009 :83العيسى، )وطاف حت كل /قد جال حت مل
Qad ja>la chatta> malla/ Watha>fa chatta> kalla (al-I>sa>, 2009:83).
Ia telah berkelana hingga lelah / Ia telah berkeliling hingga letih (al-
I>sa>, 2009:83).
Bunyi konsonan bersuara yang digunakan dalam bait ini yaitu bunyi
huruf da>l, ji>m, la>m, mi>m, dan wau. Sedangkan bunyi konsonan tidak bersuara
yang digunakan dalam bait ini yaitu bunyi huruf qa>f, cha>’, ta>’, tha>’, fa>’, dan
ka>f. Adanya penggunaan bunyi konsonan bersuara menimbulkan sugesti
suasana ceria dan menyenangkan. Namun dengan hadirnya bunyi konsonan
124
tidak bersuara menjadikan sugesti suasana yang menyenangkan dan ceria itu
bercampur dengan suasana yang menekan, ada beban, dan melelahkan.
Pada bait pertama bagian kedua syair ini, yang mana hanya terdiri dari
dua baris saja, juga ditemukan asonansi. Baris pertama dan kedua pada bait
ini memiliki pola vokal yang sama yaitu [a], [a], [a], [a], [a], [a], [a].
Dominasi penggunaan vokal [a] menimbulkan sugesti suasana yang berat dan
melelahkan.
Selain asonansi, pada bait pertama ini juga ditemukan salah satu
bentuk repetisi yaitu mesodiplosis. Mesodiplosis merupakan repetisi atau
pengulangan yang terjadi di tengah baris atau beberapa kalimat berurutan
(Keraf, 2007:128). Mesodiplosis ini terjadi pada kata ‚chatta>‛ yang diulang
dua kali pada baris pertama dan baris kedua. Fungsi mesodiplosis sama
halnya dengan fungsi bentuk repetisi lainnya, yaitu untuk memberikan
penekanan dan memperoleh makna yang mendalam pada kata atau kalimat
yang diulang.
Sementara itu, bait kedua pada bagian kedua syair ini didominasi oleh
penggunaan bunyi konsonan bersuara, sebagaimana terlihat pada kutipan
berikut:
.( 2009 :83العيسى، ) يريد أن ي نام /واآلن.. يا رفاق نا
Wal-ˈa>n.. ya> rifa>qana>/ Yuri>du an yana>m (al-I>sa>, 2009:83).
Dan sekarang.. Wahai kawan-kawan kita/ Ia ingin tidur (al-I>sa>,
2009:83).
Bunyi konsonan bersuara yang digunakan pada bait kedua ini yaitu
bunyi huruf wau, la>m, hamzah, nu>n, ya>’, ra>’, da>l, dan mi>m. Dominasi
125
penggunaan bunyi konsonan bersuara ini menimbulkan sugesti suasana yang
lembut, mesra, dan penuh kasih sayang.
Pada bagian ketiga syair, yang hanya terdiri dari satu bait syair saja,
masih didominasi oleh penggunaan bunyi konsonan bersuara. Analisis ini
berdasarkan pada kutipan berikut:
رتع الفسيح /دعوه يستيح
.( 2009 :83العيسى، ) يريد أن ي نام /دعوه لألحلم /ف ادل
Da‘u>hu yastari>ch/ Fi>l-marta‘il-fasi>ch/ Da‘u>hu lil-achla>m/ Yuri>du an yana>m (al-I>sa>, 2009:83).
Biarkan dia beristirahat/ Di padang rumput yang luas/ Biarkanlah
dia bermimpi/ Dia ingin tidur (al-I>sa>, 2009:83).
Bunyi konsonan bersuara yang digunakan bagian ketiga syair ini yaitu
bunyi huruf da>l, ‘ain, ya>’, ra>’, la>m, mi>m, hamzah, dan nu>n. Dominasi
penggunaan bunyi konsonan bersuara ini menimbulkan sugesti suasana yang
menyenangkan, lembut, mesra dan penuh kasih sayang.
Selain dominasi penggunaan bunyi konsonan bersuara, pada bagian
ketiga syair ini juga ditemukan adanya salah satu bentuk repetisi yaitu
anafora. Anafora merupakan pengulangan kata pertama pada tiap baris atau
kalimat berikutnya (Keraf, 2007:127). Anafora ini terjadi pada kata ‚da‘u>hu‛
yang diulang dua kali, yaitu pada awal baris pertama dan awal baris ketiga.
Sementara itu berkenaan dengan irama, pada syair Ughniyyatul-Ayyal
tidak ditemukan metrum atau bachr yang merupakan pola irama tetap dalam
syair. Sedangkan untuk ritme atau sajak yang biasa disebut dengan qa>fiyah
dalam aturan syair Arab pada setiap bait syair ini ditemukan dalam bentuk
yang berbeda-beda dan tidak tetap. Pada bagian pertama syair untuk bait
126
pertama bersajak ab-ab, bait kedua bersajak aa, bait ketiga bersajak aa-bb-c-
dd, dan bait keempat bersajak aa-b. Sementara itu pada bagian kedua syair
untuk bait pertama bersajak aa, dan bait kedua bersajak ab. Sedangkan bagian
ketiga syair bersajak ab-ab.
Dengan mempertimbangkan aspek irama yang terdiri dari metrum dan
ritme di atas, maka syair ini dapat dikategorikan ke dalam syi‘r churr. Syi‘r
churr yaitu syair yang tidak terikat oleh aturan wazan, qa>fiyah, maupun
taf‘ila>t akan tetapi masih terikat dengan satuan irama khusus yang menjadi
karakteristik karya sastra bernilai tinggi. Penyair hanya mengungkapkan
perasaan dan imajinasinya sehingga iramanya bersifat subjektif (Husein
dalam Muzakki, 2006:53).
b. Lapis Arti
Lapis arti merupakan lapis yang ditimbulkan oleh bunyi dalam syair.
Lapis arti berupa gabungan fonem yang menjadi kata kemudian berkembang
menjadi kelompok kata, kalimat hingga menjadi keseluruhan cerita (Pradopo,
2013:15).
Syair Ughniyyatul-Ayyal diawali dengan paragraf pengantar atau
prolog. Paragraf pengantar berisi tentang aktivitas yang dilakukan oleh si
kancil. Pernyataan ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:
، وىو ي تجول ف أرجاء الغابة، وب ي األح كان األيل داي غن فة، مرد راج الكثي
.( :82:022العيسى، )
Ka>na al-Ayyalu yughanni>, wahuwa yatajawwalu fi> arja>ˈil-gha>bah, wa bainal-achra>jil-katsi>fah, muraddidan (al-‘Isa>, 2009:82).
127
Seekor kancil tengah bernyanyi, ia berjalan-jalan di pinggir hutan, dan
di antara lebatnya pepohonan, mengulang-ulang nyanyiannya (al-‘Isa>,
2009:82).
Seekor kancil tengah bernyanyi sambil berjalan-jalan di pinggir hutan.
Hutan itu sangat lebat oleh pepohonan. Sambil terus berjalan dia
mengulang-ulang nyanyiannya. Nyanyian si kancil tersebut tertuang dalam
setiap bagian syair Ughniyyatul-Ayyal ini.
Selain paragraf pengantar, syair ini terdiri dari tiga bagian syair, yang
mana setiap bagiannya tersusun oleh bait-bait syair. Bagian pertama syair
ini terdiri dari empat bait syair. Bait pertama berisi nyanyian kancil tentang
keindahan hutan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
وح والظلل /ال ت نتهي الفت /اجلمال ال ي نتهي ر والفنن / الد .( 2009 :82العيسى، ) والطي
La yantahi>l-jama>l/ La tantahi>l-fitan/ Ad-dauchu wazh-zhala>l/ Wath-
thairu wal-fanan (al-I>sa>, 2009:82).
Keindahan tak terhingga/ Pesona tak berujung/ Pohon yang rindang
dan bayangan/ Burung dan ranting (al-I>sa>, 2009:82).
Pada kutipan bait syair di atas si kancil mengatakan bahwa hutan yang
dia lalui itu sangat mengesankan. Penuh dengan keindahan dan pesona yang
tidak terhingga. Keindahan itu berasal dari kombinasi pepohonan rindang
yang membentuk bayangan teduh, juga adanya burung di antara ranting
pepohonan.
Selanjutnya, pada bait kedua juga masih menceritakan tentang
keindahan hutan yang terdapat dalam nyanyian si kancil. Keindahan hutan ini
dapat dilihat dalam kutipan berikut:
128
.( 2009 :82العيسى، ) ف الغابة اخلضراء /ادلاء وسقسقات
Wa saqsaqa>tul-ma>ˈ/ Fi>l-gha>bah al-khadhra> (al-I>sa>, 2009:82).
Gemericik air/ Di hutan yang hijau (al-I>sa>, 2009:82).
Selain karena pepohonan yang rindang dan burung, sebagaimana
disebutkan pada bait pertama, keindahan hutan semakin bertambah dengan
adanya gemericik air yang ada di hutan yang hijau itu. Kombinasi dari
berbagai unsur alam inilah yang membentuk keindahan penuh pesona.
Kemudian pada bait ketiga menunjukkan nyanyian kancil yang berisi
tentang tanggapan kancil terhadap suasana hutan yang begitu indah dan
mempesona. Analisis ini berdasarkan pada kutipan berikut:
عها مرابع ي عب /ل حيثما أشاء / ل حيثما أشاء / مراتع وكلها /ج /أريد أن أنام / أآلن، إن مت
.( 2009 :82العيسى، ) أريد أن أنام
Jami>‘uha> mara>bi‘/ Wakulluha> mara>ti‘/ Li> chaitsuma> asya>ˈ/ Li> chaitsuma> asya>ˈ/ Al-ˈa>n, inni> mut‘abun/ Uri>du an ana>m/ / Uri>du an ana>m (al-I>sa>, 2009:82).
Semua bak pertunjukan/ Semuanya padang rumput/ Bagiku di mana
pun aku mau/ Bagiku di mana pun aku mau/ Sekarang, sungguh aku
lelah/ Aku ingin tidur/ Aku ingin tidur (al-I>sa>, 2009:82).
Keindahan yang ada di hutan sebagaimana digambarkan pada bait
pertama dan kedua, semuanya seperti pertunjukan bagi si kancil. Hutan
tersebut juga dipenuhi oleh padang rumput. Semua itu membuat si kancil
bahagia. Dia pergi kemanapun sesuka hatinya. Hal ini membuatnya lelah
setelah berjalan-jalan menyusuri penjuru hutan. Dan kini, dia ingin
beristirahat, si kancil ingin tidur.
Sebelum memasuki bait keempat, terdapat prolog atau kalimat
pengantar yang menceritakan bahwa tiba-tiba terdengar suara yang lembut
129
dan merdu dari dalam hutan. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan
berikut:
.( 2009 :83العيسى، ) أصوات من الغابة، تأت رخيمة ناعمة
Ashwa>tun minal-gha>bati, taˈti> rakhi>matan na>‘imatan (al-I>sa>,
2009:83).
Suara dari hutan, Terdengar lembut dan merdu (al-I>sa>, 2009:83).
Suara lembut dan merdu yang berasal dari dalam hutan tersebut
dijelaskan pada bait keempat. Bunyi dari bait keempat tersebut adalah sebagai
berikut:
.( 2009 :83العيسى، ) يريد أن ينام /احلال الرقيق / أأليل الرشيق
Al-Ayyalu ar-rasyi>q/ Al-cha>lim ar-raqi>q/ Yuri>du an yana>m (al-I>sa>,
2009:83).
Kancil yang rupawan/ Pemimpi yang lembut/ Ia ingin tidur (al-I>sa>,
2009:83).
Suara dari dalam hutan yang terdengar lembut dan merdu itu
mengatakan bahwa si kancil merupakan sosok yang rupawan. Dia juga
pemimpi yang lembut. Saat ini, si kancil ingin tidur.
Selanjutnya, pada bagian kedua syair Ughniyyatul-Ayyal terdiri dari
dua bait syair. Bait pertama, suara yang berasal dari hutan itu menceritakan
tentang penyebab kancil ingin beristirahat dan tidur. Sementara itu, pada bait
kedua menceritakan tentang keinginan kancil untuk tidur. Pernyataan ini
dapat dilihat pada kutipan berikut:
وطاف حت كل /قد جال حت مل .( 2009 :83العيسى، ) يريد أن ي نام /واآلن.. يا رفاق نا
130
Qad ja>la chatta> malla/ Watha>fa chatta> kalla
Wal-ˈa>n.. ya> rifa>qana>/ Yuri>du an yana>m (al-I>sa>, 2009:83).
Ia telah berkelana hingga lelah / Ia telah berkeliling hingga letih
Dan sekarang.. Wahai kawan-kawan kita/ Ia ingin tidur (al-I>sa>,
2009:83).
Pada bait pertama, suara lembut dari hutan itu mengatakan bahwa si
kancil telah berkelana mengelilingi hutan hingga lelah dan letih. Untuk itu,
sekarang yang dia inginkan adalah beristirahat, dia ingin tidur untuk melepas
keletihannya. Keinginannya untuk tidur ini tertuang pada bait kedua,
sebagaimana terdapat pada kutipan di atas.
Sementara itu, bagian ketiga syair yang hanya terdiri dari satu bait
saja, menceritakan tentang perintah atau harapan suara lembut yang berasal
dari hutan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
رتع الفسيح /دعوه يستيح
.( 2009 :83العيسى، ) يريد أن ي نام /دعوه لألحلم /ف ادل
Da‘u >hu yastari>ch/ Fi>l-marta‘il-fasi>ch/ Da‘u>hu lil-achla>m/ Yuri>du an yana>m (al-I>sa>, 2009:83).
Biarkan dia beristirahat/ Di padang rumput yang luas/ Biarkanlah dia
bermimpi/ Dia ingin tidur (al-I>sa>, 2009:83).
Suara halus dan merdu dari dalam hutan itu berharap agar si kancil
dibiarkan beristirahat. Biarkan si kancil terlelap dalam tidurnya dan bermimpi
di atas padang rumput yang luas itu. Karena saat ini yang diinginkan kancil
adalah tidur.
c. Lapis Hal-Hal yang Dikemukakan
Lapis hal-hal yang dikemukakan merupakan lapis ketiga dalam
analisis strata norma Roman Ingarden dan muncul karena adanya lapis arti.
131
Lapis ketiga ini berupa subjek (pelaku), objek, latar, dan alur (dunia
pengarang) (Pradopo, 2014:15).
Hal yang dikemukakan pertama yaitu subjek (pelaku). Pada syair
Ughniyyatul-Ayyal, subjeknya ialah seekor kancil dan suara merdu dari
dalam hutan. Subjek kancil dapat dilihat dalam kutipan berikut:
، وىو ي تجول ف أرجاء الغابة، وب ي دااألح كان األيل ي غن فة، مرد راج الكثي
.( :82:022العيسى، )
Ka>na al-Ayyalu yughanni>, wahuwa yatajawwalu fi> arja>ˈil-gha>bah, wa bainal-achra>jil-katsi>fah, muraddidan (al-‘Isa>, 2009:82).
Seekor kancil tengah bernyanyi, ia berjalan-jalan di pinggir hutan, dan
di antara lebatnya pepohonan, mengulang-ulang nyanyiannya (al-‘Isa>,
2009:82).
Kancil menjadi subjek atau pelaku utama karena dialah yang
melakukan aktivitas berjalan-jalan di pinggir hutan. Si kancil jugalah sosok
yang menyanyikan lagu, sebagaimana tertuang dalam bagian pertama syair,
bait kesatu, kedua dan ketiga.
Sementara itu, subjek yang berupa suara merdu dari dalam hutan
disebutkan pada kutipan berikut:
.( 2009 :83العيسى، ) أصوات من الغابة، تأت رخيمة ناعمة
Ashwa>tun minal-gha>bah, taˈti> rakhi>matan na>‘imatan (al-I>sa>,
2009:83).
Suara dari hutan, Terdengar lembut dan merdu (al-I>sa>, 2009:83).
Suara dari hutan inilah yang kemudian menceritakan hal-hal yang
dilakukan dan dialami si kancil mulai dari bait keempat pada bagian pertama
syair hinga bagian ketiga syair. Oleh karena itu, pada bagian ini, suara dari
132
hutan tersebut berperan sebagai subjek utama. Sementara kancil menjadi
subjek kedua sekaligus objek.
Setelah subjek, hal yang dikemukakan selanjutnya adalah latar. Latar
yang terdapat pada syair ini yaitu latar tempat. Secara umum latar tempat
pada syair Ughniyyatul-Ayyal adalah di pinggir hutan. Analisis ini
berdasarkan pada kutipan paragraf pengantar berikut:
فة .( 82:2009العيسى، ) وىو ي تجول ف أرجاء الغابة، وب ي األحراج الكثي
Wahuwa yatajawwalu fi> arja>ˈil-gha>bah, wa bainal-achra>jil-katsi>fah, (al-‘Isa>, 2009:82).
Ia berjalan-jalan di pinggir hutan, dan di antara lebatnya pepohonan
(al-‘Isa>, 2009:82).
Selain pada paragraf pengantar, latar tempat juga ditemukan pada bait
kedua bagian pertama syair dan bagian ketiga syair. Pada bait kedua bagian
pertama syair disebutkan bahwa latar tempatnya yaitu di hutan yang hijau.
Sementara itu, pada bagian ketiga syair, latar tempatnya di padang rumput
yang luas. Kedua latar yang ada di dalam bait syair ini mendukung
keberadaan latar yang telah disebutkan pada paragraf pengantar syair.
Selain subjek dan latar, objek juga menjadi hal yang dikemukakan
pada syair ini. Objek-objek yang dikemukakan pada setiap baitnya selalu
berbeda-beda. Pada bait pertama, objek yang dikemukakan yaitu keindahan,
pesona, pohon yang rindang, bayangan, burung, dan ranting. Keenam objek
ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
وح والظلل /ال ت نتهي الفت /اجلمال ال ي نتهي ر والفنن / الد .( 2009 :82العيسى، ) والطي
La yantahi>l-jama>l/ La tantahi>l-fitan/ Ad-dauchu wazh-zhala>l/ Wath-thairu wal-fanan (al-I>sa>, 2009:82).
133
Keindahan tak terhingga/ Pesona tak berujung/ Pohon yang rindang
dan bayangan/ Burung dan ranting (al-I>sa>, 2009:82).
Keindahan, pesona, pohon yang rindang, bayangan, burung, dan
ranting menjadi objek pada bait pertama ini karena keenam hal tersebut
berada di dalam isi nyanyian si kancil. Dengan kata lain, keenam hal ini
menjadi sasaran dari perbuatan bernyanyi yang dilakukan oleh si kancil.
Selanjutnya, pada bait kedua syair ini ditemukan objek yang berupa
gemericik air. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
.( 2009 :82العيسى، ) ف الغابة اخلضراء /ادلاء وسقسقات
Wa saqsaqa>tul-ma>ˈ/ Fi>l-gha>bah al-khadhra> (al-I>sa>, 2009:82).
Gemericik air/ Di hutan yang hijau (al-I>sa>, 2009:82).
Gemericik air berkedudukan sebagai objek pada bait ini karena
menjadi isi dari nyanyian si kancil. Gemericik air yang dimaksud adalah
gemericik air di hutan yang hijau dekat tempat kancil berjalan-jalan.
Pada bait ketiga, objeknya yaitu semua hal yang ada di hutan itu,
padang rumput, dan si Aku (kancil sendiri). Ketiga objek ini dapat dilihat
pada kutipan berikut:
عها مرابع ي عب /ل حيثما أشاء / ل حيثما أشاء / وكلها مراتع /ج /أن أنام أريد / أآلن، إن مت
.( 2009 :82العيسى، ) أريد أن أنام
Jami>‘uha> mara>bi‘/ Wakulluha> mara>ti‘/ Li> chaitsuma> asya>ˈ/ Li> chaitsuma> asya>ˈ/ Al-ˈa>n, inni> mut‘abun/ Uri>du an ana>m/ / Uri>du an ana>m (al-I>sa>, 2009:82).
Semua bak pertunjukan/ Semuanya padang rumput/ Bagiku di mana
pun aku mau/ Bagiku di mana pun aku mau/ Sekarang, sungguh aku
lelah/ Aku ingin tidur/ Aku ingin tidur (al-I>sa>, 2009:82).
134
Dalam nyanyiannya kancil mengatakan bahwa semua yang ada di
hutan itu seperti pertunjukan karena begitu indah. Hutan itu juga penuh
dengan padang rumput. Jadi, semua hal yang seperti pertunjukan dan juga
padang rumput, berkedudukan sebagai objek pada bait ini karena menjadi isi
dari nyanyian si kancil. Sementara itu, pada kelima baris terakhir dalam bait
ini, kancil menjadikan dirinya sendiri sebagai isi dari nyanyiannya.
Kemudian, pada bait keempat objek yang dikemukakan yaitu kancil
yang rupawan dan pemimpi yang lembut. Objek ini dapat dilihat pada kutipan
berikut:
.( 2009 :83العيسى، ) يريد أن ينام /احلال الرقيق / الرشيق أأليل
Al-Ayyalu ar-rasyi>q/ Al-cha>lim ar-raqi>q/ Yuri>du an yana>m (al-I>sa>,
2009:83).
Kancil yang rupawan/ Pemimpi yang lembut/ Ia ingin tidur (al-I>sa>,
2009:83).
Kancil yang rupawan dan pemimpi yang lembut pada kutipan di atas
berkedudukan sebagai objek. Keduanya menjadi objek karena berada di
dalam ucapan suara merdu yang datang dari dalam hutan.
Kemudian pada bagian kedua syair, objek yang dikemukakan yaitu dia
(si kancil) dan kawan-kawan kita. Kedua objek ini dapat ditemukan pada
kutipan berikut:
وطاف حت كل /قد جال حت مل .( 2009 :83العيسى، ) يريد أن ي نام /واآلن.. يا رفاق نا
Qad ja>la chatta> malla/ Watha>fa chatta> kalla
Wal-ˈa>n.. ya> rifa>qana>/ Yuri>du an yana>m (al-I>sa>, 2009:83).
Ia telah berkelana hingga lelah / Ia telah berkeliling hingga letih
135
Dan sekarang.. Wahai kawan-kawan kita/ Ia ingin tidur (al-I>sa>,
2009:83).
Si kancil menjadi objek pada bagian kedua ini karena dia berada di
dalam isi perkataan suara merdu yang berasal dari hutan. Begitu juga dengan
kawan-kawan kita, hal ini menjadi objek pada bagian kedua syair karena
menjadi sasaran sapaan suara merdu yang berasal dari hutan.
Yang terakhir, pada bagian ketiga syair objek yang dikemukakan yaitu
dia (si kancil). Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
رتع الفسيح /دعوه يستيح
.( 2009 :83العيسى، ) يريد أن ي نام /دعوه لألحلم /ف ادل
Da‘u>hu yastari>ch/ Fi>l-marta‘il-fasi>ch/ Da‘u>hu lil-achla>m/ Yuri>du an yana>m (al-I>sa>, 2009:83).
Biarkan dia beristirahat/ Di padang rumput yang luas/ Biarkanlah dia
bermimpi/ Dia ingin tidur (al-I>sa>, 2009:83).
Sebagaimana pada bagian syair kedua, dia (si kancil) pada bagian
syair ketiga ini juga berkedudukan sebagai objek. Si kancil berkedudukan
sebagai objek karena dia menjadi isi dari perkataan suara merdu yang berasal
dari dalam hutan.
Setelah objek, hal yang dikemukakan selanjutnya yaitu dunia
pengarang. Dunia pengarang merupakan gabungan dan jalinan antara objek-
objek yang dikemukakan, latar, pelaku, serta struktur ceritanya (Pradopo,
2014:18). Dunia pengarang pada syair Ughniyyatul-Ayyal yaitu sebagai
berikut:
Seekor kancil sedang berjalan-jalan di pinggir hutan yang lebat, penuh
dengan pepohonan. Dia berjalan-jalan sambil menyanyikan sebuah lagu.
Lagu itu menggambarkan tentang keindahan hutan yang sedang dia lalui.
136
Mulai dari pepohonan yang rindang dengan bayangan yang teduh, burung
yang bertengger di ranting pepohonan, hingga gemericik air yang mengalir di
hutan itu. Semuanya begitu mempesona bak pertunjukan. Ditambah lagi
dengan hamparan rumput yang membentang di hutan itu. Si kancil berjalan
ke sana ke mari sesuka hatinya. Hingga akhirnya dia merasa kelelahan setelah
lama berjalan. Dia ingin tidur untuk menghilangkan rasa lelahnya.
Tiba-tiba datang suara yang lembut dan merdu dari dalam hutan.
Suara itu mengatakan bahwa si kancil yang rupawan, juga pemimpi yang
lembut itu ingin tidur. Dia telah berkelana ke sana ke mari hingga lelah, untuk
itu, suara yang berasal dari hutan itu mengatakan agar membiarkan si kancil
beristirahat di hamparan rumput yang luas dan membiarkannya bermimpi.
d. Lapis Dunia
Lapis dunia merupakan lapis keempat dalam analisis strata norma
Roman Ingarden. Lapis dunia di pandang dari titik tertentu, tidak perlu
dinyatakan, akan tetapi sudah implisit terkandung di dalam sebuah karya
sastra (Pradopo, 2014:17).
Lapis dunia dalam syair Ughniyyatul-Ayyal nampak pada paragraf
pengantar di awal syair. Lapis dunia pada paragraf pengantar ini berupa
kenyataan bahwa si kancil sedang berada dalam suasana hati yang senang dan
gembira. Suasana senang dan gembira itu tidak dinyatakan secara langsung
dalam bentuk kata-kata pada bagian prolog ini, akan tetapi sudah tercermin
dari perbuatan yang dilakukan oleh si kancil. Analisis ini berdasarkan pada
kutipan berikut:
137
، وىو ي تجول ف أرجاء الغابة، وب ي األح داكان األيل ي غن فة، مرد راج الكثي
.( :82:022العيسى، )
Ka>na al-Ayyalu yughanni>, wahuwa yatajawwalu fi> arja>ˈil-gha>bah, wa bainal-achra>jil-katsi>fah, muraddidan (al-‘Isa>, 2009:82).
Seekor kancil tengah bernyanyi, ia berjalan-jalan di pinggir hutan, dan
di antara lebatnya pepohonan, mengulang-ulang nyanyiannya (al-‘Isa>,
2009:82).
Pada kutipan di atas diceritakan bahwa si kancil tengah bernyanyi
sambil berjalan-jalan di hutan. Hal inilah yang memperlihatkan bahwa dia
sedang berada dalam suasana hati yang senang dan gembira. Terlebih isi
nyanyiannya menceritakan tentang keindahan hutan dengan segala
pesonanya, sebagaimana tertuang dalam bait-bait syair.
Selain pada paragraf pengantar di awal syair, lapis dunia juga
ditemukan pada bait keempat bagian pertama syair beserta prolog yang
terletak pada baris sebelumnya. Lapis dunia yang diungkapkan yaitu
kenyataan bahwa suara lembut dan merdu yang berasal dari dalam hutan,
sejatinya adalah semilir angin. Analisis ini berdasarkan pada kutipan berikut:
.( 2009 :83العيسى، ) أصوات من الغابة، تأت رخيمة ناعمة
Ashwa>tun minal-gha>bah, taˈti> rakhi>matan na>‘imatan (al-I>sa>,
2009:83).
Suara dari hutan, Terdengar lembut dan merdu (al-I>sa>, 2009:83).
.( 2009 :83العيسى، ) يريد أن ينام /احلال الرقيق / أأليل الرشيق
Al-Ayyalu ar-rasyi>q/ Al-cha>lim ar-raqi>q/ Yuri>du an yana>m (al-I>sa>,
2009:83).
Kancil yang rupawan/ Pemimpi yang lembut/ Ia ingin tidur (al-I>sa>,
2009:83).
138
Kenyataan bahwa suara yang datang dari dalam hutan adalah semilir
angin tidak disebutkan secara eksplisit di dalam bait syair, akan tetapi telah
implisit di dalam kedua kutipan di atas. Semilir angin yang datang dari hutan
itu membelai lembut si kancil yang tengah beristirahat dari pengelanaannya
yang melelahkan. Semilir angin yang lembut itu bak suara merdu yang tengah
berbisik dan mengatakan bahwa si kancil ingin tidur.
e. Lapis Metafisis
Lapis metafisis merupakan lapis kelima dalam analisis strata norma
Roman Ingarden. Lapis inilah yang menyebabkan pembaca berkontemplasi
melalui sebuah perenungan. Lapis ini memberikan kesempatan kepada
pembaca untuk memikirkan sifat sublim, mulia, tragis, mengerikan, dan suci.
Akan tetapi, lapis ini tidak ditemukan pada setiap karya sastra (Pradopo,
2014:15).
Pada syair ini lapis metafisis yang ditemukan berupa penggambaran
sifat sublim atau menampakkan keindahan dalam bentuk yang mulia dan
utama. Hal ini tertuang dalam isi nyanyian kancil yang menceritakan tentang
keindahan dan pesona hutan yang merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha
Kuasa. Dengan menyadari dan menghayati segala keindahan yang dapat
ditemukan di dunia ini, akan menimbulkan perenungan pada diri seseorang
mengenai asal-muasal dan hakikat dari keindahan itu. Melalui perenungan
itulah rasa syukur dan cinta terhadap Sang Pencipta akan semakin tumbuh
dan terpupuk.
139
Berdasarkan hasil analisis syair keempat dengan memanfaatkan teori
strata norma Roman Ingarden yang terdiri dari lapis bunyi, lapis arti, lapis
hal-hal yang dikemukakan, lapis dunia dan lapis metafisis, dapat disimpulkan
secara keseluruhan bahwa syair yang berjudul Ughniyyatul-Ayyal karya
Sulaima>n al-I>sa> masuk dalam kategori syi‘r churr. Syair ini mengusung tema
“kebebasan” (حيثما أشاء). Isinya menggambarkan tentang kebebasan yang
dimiliki oleh si kancil sebagai tokoh utama dalam syair ini, untuk menjelajahi
indahnya lingkungan hutan. Keindahan dan seisinya sebagaimana dipaparkan
dalam syair ini mengingatkan kepada pembaca akan rasa syukur terhadap
Tuhan yang telah menciptakan keindahan itu, serta rasa cinta dan keinginan
untuk menjaga kelestarian lingkungan hutan.
2. Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Karakter
Syair merupakan salah satu genre sastra, karena itu tentunya
mengandung pesan dan amanat yang hendak disampaikan oleh pengarangnya.
Terlebih puisi yang ditujukan untuk pembaca anak-anak, pesan dan amanat yang
berupa nilai-nilai pendidikan karakter sangat ditekankan. Hal ini mengingat usia
anak-anak merupakan usia yang tepat untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan
karakter.
Penanaman nilai-nilai pendidikan karakter ini, bisa melalui berbagai
media, salah satunya syair. Hanya saja, seringkali nilai-nilai pendidikan karakter
ini tidak disebutkan secara eksplisit, akan tetapi implisit di dalam rangkaian
kata-kata syair yang indah. Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan adanya
140
analisis terhadap nilai-nilai pendidikan karakter tersebut, sehingga memudahkan
anak-anak untuk memahaminya.
Analisis nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung di dalam syair
Ughniyyatul-Ayyal ini berlandaskan pada sembilan pilar nilai-nilai karakter
menurut Kemendiknas dalam UU No. 20 tahun 2003 pasal 3 (Samani,
2013:106). Berdasarkan sembilan pilar tersebut, nilai-nilai pendidikan
karakternya yaitu sebagai berikut:
a. Mencintai Tuhan dengan Segenap Ciptaan-Nya
Cinta Tuhan dengan Segenap ciptaan-Nya merupakan nilai karakter
pertama dalam sembilan pilar nilai-nilai karakter menurut Kemendiknas yang
tercantum pada UU No. 20 tahun 2003 pasal 3 (Samani, 2013:106). Dalam
syair Ughniyyatul-Ayyal ini, Nilai karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-
Nya dapat dilihat pada kutipan berikut:
وح والظلل /ال ت نتهي الفت /اجلمال ال ي نتهي ر والفنن / الد .( 2009 :82العيسى، ) والطي
La yantahi>l-jama>l/ La tantahi>l-fitan/ Ad-dauchu wazh-zhala>l/ Wath-thairu wal-fanan (al-I>sa>, 2009:82).
Keindahan tak terhingga/ Pesona tak berujung/ Pohon yang rindang
dan bayangan/ Burung dan ranting (al-I>sa>, 2009:82).
Kutipan di atas merupakan isi dari nyanyian si kancil yang
mengungkapkan tentang keindahan hutan yang begitu mempesona.
Keindahan hutan dengan segala hal yang ada di dalamnya merupakan karunia
Tuhan yang luar biasa di dunia ini. Untuk itu, dengan mengungkapkan dan
menceritakan sisi keindahan alam ini kepada anak, diharapkan akan tumbuh
rasa cinta pada diri anak terhadap Tuhan dan lingkungan sekitarnya. Berbekal
141
rasa cinta inilah, seorang anak akan peduli untuk turut serta menjaga
kelestarian dan keseimbangan lingkungan sekitarnya.
b. Pekerja keras
Pekerja keras merupakan nilai karakter keenam dalam sembilan pilar
nilai-nilai karakter menurut Kemendiknas yang tercantum pada UU No. 20
tahun 2003 pasal 3 (Samani, 2013:106). Karakter pekerja keras perlu
ditanamkan pada diri anak sejak dini, agar anak tumbuh menjadi pribadi yang
tangguh, pantang menyerah, dan tidak mudah mengeluh.
Pada syair Ughniyyatul-Ayyal ini, karakter pekerja keras ditunjukkan
oleh sikap si kancil yang terdapat pada kutipan berikut:
وطاف حت كل /قد جال حت مل .( 2009 :83العيسى، ) يريد أن ي نام /واآلن.. يا رفاق نا
Qad ja>la chatta> malla/ Watha>fa chatta> kalla
Wal-ˈa>n.. ya> rifa>qana>/ Yuri>du an yana>m (al-I>sa>, 2009:83).
Ia telah berkelana hingga lelah / Ia telah berkeliling hingga letih
Dan sekarang.. Wahai kawan-kawan kita/ Ia ingin tidur (al-I>sa>,
2009:83).
Si kancil terus berkeliling menyusuri hutan hingga dia letih. Setelah
merasa letih itulah dia baru ingin beristirahat. Hal ini membuktikan bahwa si
kancil memiliki sikap pantang menyerah untuk mengetahui segala hal yang
ada di hutan itu.
Dari cerita ini, dapat disampaikan kepada anak-anak bahwa dalam
melakukan segala hal, pantang bagi seseorang untuk mengeluh dan bermalas-
142
malasan. Manusia harus memiliki karakter pekerja keras dalam meraih segala
impian dan masa depannya.
c. Toleransi
Toleransi merupakan nilai karakter kesembilan dalam sembilan pilar
nilai-nilai karakter menurut Kemendiknas yang tercantum pada UU No. 20
tahun 2003 pasal 3 (Samani, 2013:106).
Nilai karakter toleransi penting untuk ditanamkan pada diri seseorang
sejak dini. Dengan memiliki karakter toleransi, seseorang akan mudah
menghargai orang lain, dan sebagai dampaknya orang tersebut juga akan
dihargai oleh sesamanya.
Nilai karakter toleransi pada syair ini ditunjukkan oleh perkataan
suara merdu yang datang dari hutan, sebagaimana tertuang dalam kutipan
bagian ketiga syair berikut:
رتع الفسيح /ه يستيح دعو
.( 2009 :83العيسى، ) يريد أن ي نام /دعوه لألحلم /ف ادل
Da‘u>hu yastari>ch/ Fi>l-marta‘il-fasi>ch/ Da‘u>hu lil-achla>m/ Yuri>du an yana>m (al-I>sa>, 2009:83).
Biarkan dia beristirahat/ Di padang rumput yang luas/ Biarkanlah dia
bermimpi/ Dia ingin tidur (al-I>sa>, 2009:83).
Suara merdu yang datang dari hutan itu memberitahu sekitarnya agar
membiarkan si kancil tidur di padang rumput dan bermimpi. Hal ini
menunjukkan bahwa suara merdu itu menghargai hak-hak si kancil dan tidak
ingin mengganggunya.
Dari peristiwa di atas dapat disampaikan kepada anak-anak bahwa
sebagai human social, manusia harus mempunyai sikap toleransi terhadap
143
sesama. Sikap toleransi ini dapat ditunjukkan dengan cara menghargai hak
dan kewajiban orang lain, serta tidak mengganggu mereka dalam
menjalankan hak dan kewajiban tersebut.
144
E. Syair Ke-5
أغنية الطيور نن الطيور..
ن زين السماء
ونأل الفضاء
باألجنحة..
لون.. ألف لون بألف
ي عبق اذلواء
ويسطع الفضاء
باألجنحة..
** نن الطيور..
جر ي هفو إل لقائنا الش
وت نتشي األغصان
حر إذ ن بدأ الغناء ف الس
ونسكب األحلان
لنوقظ احلياة
وات
ف العال ادل
وي عبق اذلواء
ويسطع الفضاء
باألجنحة..**
نن الطيور..
اجلو لنامالك
وىذه الثرى لنا
نوب أقطار البلد الشاسعة
نطوي البحار الواسعة
144
145
ون زرع الوئام
لم واحلب والس
حيث ارتت أسراب نا
وأشرعت أب واب نا
بألف لون.. ألف لون..
اذلواء ي عبق
ويسطع الفضاء
باألجنحة
الطيور.. نن
نن الطيور..
Ughniyyatuth-Thuyu>r
Nachnu ath-Thuyu>r.. Nuzayyinus-sama>ˈ Wa namlaˈul-fidha> Bil-ajnichah.. Bi alfi launin.. alfi launin.. Ya‘baqul-hawa> Wayastha‘ul-fadha> Bil-ajnichah..
** Nachnu ath-Thuyu>r.. Yahfu> ila> liqa>ˈina> asy-syajar Watantasyi>l-aghsha>n Idz nabdaˈul-ghina> a fi>s-sachar Wanaskubul-alcha>n Linu>qizha al-chaya>h Fi>l-‘a>lamil-mawa>t Waya‘baqu al-hawa> Wayastha‘u al-fadha>ˈ Bil-ajnichah..
**
Nachnu ath-Thuyu>r.. Mama>likul-jawwi lana> Wa ha>dzihits-tsara> lana>
146
Naju>bu aqtha>ral-bila>disy-sya>si‘ah Nathwi>l-bicha>ral-wa>si‘ah Wanazra‘ul-wiˈa>m Wal-chubbu was-sala>m Chaitsu irtamat asra>buna> Wausyri‘at abwa>buna> Biˈalfi launin.. alfi launin.. Ya‘baqul-hawa> Wa yastha‘ul-fadha> Bil-ajnichah Nachnu Ath-thuyu>r.. Nachnu Ath-thuyu>r..
Nyanyian Burung
Kita adalah burung ..
Menghiasi langit
Memenuhi angkasa
Dengan sayap-sayap..
Dengan seribu warna.. Seribu warna
Merasuki udara
Dan menyemarakkan angkasa
Dengan sayap-sayap
**
Kita adalah burung ..
Pohon ingin bertemu kita segera
Ranting-ranting membeku
Lalu kita mulai bernyanyi di awal pagi
Dan kita tuangkan melodi-melodi
Untuk membangkitkan kehidupan
Di tanah tandus
Dan merasuki udara
Menyemarakkan angkasa
Dengan sayap-sayap
**
Kita adalah burung ..
Kerajaan udara milik kita
Dan ini adalah kekayaan kita
147
Kita jelajahi tanah negeri-negeri yang membentang
Kita arungi laut luas
Kita tanam harmoni
Cinta dan perdamaian
Dimanapun sarang-sarang kita tergeletak
Dan terbukalah pintu-pintu kita
Dengan seribu warna .. seribu warna ..
Merasuki udara
Dan menyemarakkan angkasa
Dengan sayap-sayap
Kita adalah burung ..
Kita adalah burung ..
1. Analisis Strata Norma Roman Ingarden
a. Lapis Bunyi
Bunyi merupakan unsur puisi yang bersifat estetis, karena
menimbulkan keindahan dan tenaga ekpresif. Bunyi konsonan dan vokal
disusun sedemikian rupa sehingga menimbulkan bunyi yang merdu dan
berirama seperti bunyi musik. Dari irama yang beraturan inilah akan
mengalirkan perasaan, imajinasi-imajinasi dalam pikiran atau pengalaman-
pengalaman jiwa pendengarnya (Pradopo, 2014:22-27).
Kombinasi bunyi-bunyi vokal (asonansi): a, e, i, o, u; bunyi-bunyi
konsonan bersuara (voiced): b, d, g, j, dan sebagainya; bunyi likuida atau
bunyi yang keluar dari sela-sela ujung lidah yang menempel pada ceruk gigi:
r, l; dan bunyi sengau: m, n, ng, ny menimbulkan efek efoni atau bunyi merdu
dan berirama. Bunyi yang merdu itu dapat mendukung suasana yang mesra,
kasih sayang, gembira, dan bahagia. Sebaliknya, kombinasi bunyi yang tidak
merdu dan parau yang disebabkan oleh bunyi konsonan tidak bersuara
(unvoiced) dapat untuk memperkuat suasana yang tidak menyenangkan,
148
kacau balau, serba tidak teratur, bahkan memuakkan. Kombinasi bunyi tidak
merdu dan parau disebut dengan kakofoni (Pradopo, 2014: 29-31). Anis
(1999:22) mengkategorikan huruf-huruf sengau atau nasal (mi>m dan nu>n)
serta huruf likuida (la>m dan ra>’) ke dalam huruf bersuara (majhu>r).
Unsur bunyi dalam syair Arab dapat dianalisis dari segi huruf secara
otonomi atau dalam bentuk rangkaian huruf pada sebuah kalimat. Analisis
huruf secara otonom dilakukan dengan proses pengelompokan berdasarkan
kuat dan lemahnya huruf yang keluar dari makharijul-churuf, serta
perpaduannya dengan tanda baca (harakat). Sementara itu, analisis bunyi
berdasarkan rangkaian huruf dapat diperoleh melalui beberapa unsur yang
berfungsi sebagai penentu makna dan nilai estetis. Dari bunyi yang hadir pada
puisi dapat ditangkap sugesti-sugesti kehidupan yang menyedihkan,
menyenangkan, baik, buruk, dan lain sebagainya (Pradopo, 2014:23).
Syair Ughniyyatuth-Thuyu>r terdiri dari tiga bagian syair. Antar
bagian syairnya dibatasi dengan tanda (**). Bagian pertama terdiri dari satu
bait, sedangkan bagian kedua dan ketiga terdiri dari tiga bait syair.
Bagian pertama syair Ughniyyatuth-Thuyu>r didominasi oleh
penggunaan bunyi huruf konsonan bersuara. Dominasi ini dapat dilihat pada
kutipan berikut:
/ي عبق اذلواء /لون.. ألف لون بألف /باألجنحة.. /ونأل الفضاء /ن زين السماء /نن الطيور..
.( 2009 :86العيسى، ) باألجنحة.. /ضاء ويسطع الف
Nachnu ath-Thuyu>r../ Nuzayyinus-sama>ˈ/ Wa namlaˈul-fadha> / Bil-
ajnichah../ Bi alfi launin.. alfi launin../ Ya‘baqul-hawa> / Wayastha‘ul-
fadha>/ Bil-ajnichah.. (al-I>sa>, 2009:86).
149
Kita adalah burung ../ Menghiasi langit/ Memenuhi angkasa/ Dengan
sayap-sayap../ Dengan seribu warna.. Seribu warna/ Merasuki udara/
Dan menyemarakkan angkasa/ Dengan sayap-sayap.. (al-I>sa>,
2009:86).
Bunyi konsonan bersuara (voiced) yang digunakan pada bagian
pertama syair adalah huruf ya>’, za>’, hamzah, wau, dha>d, ba>’, ji>m, lam, ra>’,
mi>m, nu>n dan ‘ain. Adanya dominasi penggunaan bunyi konsonan bersuara
ini menimbulkan sugesti suasana yang riang, menyenangkan, hangat dan
penuh kasih sayang.
Pada bagian pertama syair ini, juga ditemukan salah satu bentuk
repetisi atau pengulangan yaitu berupa epizeuksis. Epizeuksis merupakan
pengulangan yang bersifat langsung, kata yang dipentingkan diulang
beberapa kali berturut-turut (Keraf, 2007:127). Epizeuksis terjadi pada kata
‚alfi launin‛. Kata tersebut diulang sebanyak dua kali secara berturut-turut
pada baris yang sama.
Bagian kedua syair Ughniyyatuth-Thuyu>r masih didominasi oleh
penggunaan bunyi efoni yang dihasilkan oleh kombinasi bunyi konsonan
bersuara baik pada bait pertama, kedua, dan ketiga. Bunyi konsonan bersuara
yang digunakan pada bait pertama adalah huruf ya>’, hamzah, ji>m, la>m, ra>’,
nu>n dan ghain. Analisis ini berdasarkan pada kutipan berikut:
جر ي هفو /نن الطيور.. .( 2009 :86العيسى، ) وت نتشي األغصان /إل لقائنا الش
Nachnu ath-Thuyu>r../ Yahfu> ila> liqa>ˈina> asy-syajar/ Watantasyi>l-aghsha>n (al-I>sa>, 2009:86).
150
Kita adalah burung ../ Pohon ingin bertemu kita segera/ ranting-
ranting membeku (al-I>sa>, 2009:86).
Dominasi penggunaan bunyi-bunyi merdu dan berirama ini
menimbulkan sugesti suasana yang menyenangkan dan mesra. Hanya saja
pada bait pertama ini, juga ditemukan penggunaan bunyi huruf konsonan
tidak bersuara yang cukup banyak pula, yaitu seperti huruf cha>’, tha>’, ha>’, fa>’,
qa>f, syi>n, ta>’, dan sha>d. Adanya bunyi konsonan tidak bersuara ini
menimbulkan sugesti suasana yang agak tertekan dan ada beban.
Selanjutnya, pada bait kedua, bunyi konsonan bersuara yang
digunakan yaitu bunyi huruf hamzah, dza>l, nu>n, ba>’, da>l, la>m, ghain, ra>’, dan
wau. Analisis ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
حر .( 2009 :86العيسى، ) ونسكب األحلان /إذ ن بدأ الغناء ف الس
Idz nabdaˈul-ghina> a fi>s-sachar/ Wanaskubul-alcha>n (al-I>sa>, 2009:86).
Lalu kita mulai bernyanyi di awal pagi/ Dan kita tuangkan melodi-
melodi (al-I>sa>, 2009:86).
Dominasi penggunaan bunyi konsonan bersuara menimbulkan sugesti
suasana yang gembira, menyenangkan dan ceria. Selain bunyi konsonan
bersuara, pada bait kedua ini juga ditemukan penggunaan bunyi konsonan
tidak bersuara yaitu bunyi huruf fa>’, si>n, cha>’ dan ka>f. Meskipun demikian,
bunyi konsonan tidak bersuara yang digunakan jumlahnya tidak banyak.
Sementara itu pada bait ketiga, juga masih didominasi oleh
penggunaan bunyi konsonan bersuara, sebagaimana dapat ditemukan pada
kutipan berikut:
وات /احلياة لنوقظ
العيسى، ) باألجنحة.. /ويسطع الفضاء /وي عبق اذلواء /ف العال ادل
151
86-87: 2009 ).
Linu>qizha al-chaya>h/ Fi>l-‘a>lamil-mawa>t/ Waya‘baqu al-hawa> /
Wayastha‘u al-fadha>ˈ/ Bil-ajnichah.. (al-I>sa>, 2009:86-87).
Untuk membangkitkan kehidupan/ Di tanah tandus/ Dan merasuki
udara/ Menyemarakkan angkasa/ Dengan sayap-sayap (al-I>sa>,
2009:86-87).
Bunyi konsonan bersuara yang digunakan pada bait ini yaitu bunyi
huruf la>m, nu>n, dza>’, ya>’, ‘ain, mi>m, wau, ba>’, hamzah, dha>d, dan ji>m.
Dominasi bunyi konsonan bersuara mendukung terbentuknya bunyi efoni
atau berirama dan merdu. Bunyi efoni inilah yang menimbulkan sugesti
suasana yang ceria, menyenangkan dan meriah.
Selanjutnya, bagian ketiga syair juga terdiri dari tiga bait. Bait
pertama didominasi oleh penggunaan bunyi konsonan bersuara. Pernyataan
ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
نطوي البحار /نوب أقطار البلد الشاسعة /وىذه الثرى لنا /اجلو لنامالك /ن الطيور..ن .( 2009 :87العيسى، ) الواسعة
Nachnu ath-Thuyu>r../ Mama>likul-jawwi lana>/ Wa ha>dzihits-tsara> lana>/ Naju>bu aqtha>ral-bila>disy-sya>si‘ah/ Nathwi>l-bicha>ral-wa>si‘ah (al-I>sa>, 2009:87).
Kita adalah burung ../ Kerajaan udara milik kita/ Dan ini adalah
kekayaan kita/ Kita jelajahi tanah negeri-negeri yang membentang/
Kita arungi laut luas (al-I>sa>, 2009:87).
Bunyi konsonan bersuara yang digunakan pada bait pertama ini yaitu
bunyi huruf nu>n, la>m, ya>’, ra>’, mi>m, ji>m, wau, dza>l, ba>’, hamzah, da>l, dan
‘ain. Dominasi penggunaan bunyi konsonan bersuara menimbulkan sugesti
suasana yang gembira, menyenangkan dan ceria.
152
Selanjutnya, pada bait kedua, juga masih didominasi oleh penggunaan
bunyi konsonan bersuara. Analisis ini berdasarkan pada kutipan berikut:
لم /ون زرع الوئام /بألف لون.. ألف لون.. /وأشرعت أب واب نا /حيث ارتت أسراب نا /واحلب والس
.( 2009 :87العيسى، ) باألجنحة /ويسطع الفضاء /ي عبق اذلواء
Wanazra‘ul-wiˈa>m/ Wal-chubbu was-sala>m/ Chaitsu irtamat asra>buna>/ Wausyri‘at abwa>buna>/ Biˈalfi launin.. alfi launin../ Ya‘baqul-hawa> / Wa yastha‘ul-fadha> / Bil-ajnichah (al-I>sa>, 2009:87).
Kita tanam harmoni/ Cinta dan perdamaian/ Dimanapun sarang-sarang
kita tergeletak/ Dan terbukalah pintu-pintu kita/ Dengan seribu warna
.. seribu warna ../ Merasuki udara/ Dan menyemarakkan angkasa/
Dengan sayap-sayap (al-I>sa>, 2009:87).
Bunyi konsonan bersuara yang digunakan pada bait ini yaitu bunyi
huruf wau, nu>n, za>’, ra>’, ‘ain, la>m, hamzah, mi>m, ba>’, ya>’, dha>d, dan ji>m.
Adanya dominasi penggunaan bunyi konsonan bersuara ini menimbulkan
sugesti suasana yang riang, menyenangkan, hangat dan penuh kasih sayang.
Pada bait kedua ini, juga ditemukan salah satu bentuk repetisi atau
pengulangan yaitu berupa epizeuksis. Epizeuksis merupakan pengulangan
yang bersifat langsung, kata yang dipentingkan diulang beberapa kali
berturut-turut (Keraf, 2007:127). Epizeuksis terjadi pada kata ‚alfi launin‛.
Kata tersebut diulang sebanyak dua kali secara berturut-turut pada baris yang
sama.
Sementara itu, pada bait ketiga penggunaan bunyi konsonan bersuara
dan bunyi konsonan tidak bersuara berada dalam jumlah yang hampir sama.
Analisis ini berdasarkan pada kutipan berikut:
.( 2009 :87العيسى، ) نن الطيور.. /الطيور.. نن
153
Nachnu Ath-thuyu>r../ Nachnu Ath-thuyu>r.. (al-I>sa>, 2009:87).
Kita adalah burung ../ Kita adalah burung .. (al-I>sa>, 2009:87).
Bunyi konsonan bersuara yang digunakan pada bait ini yaitu bunyi
huruf nu>n, ya>’, dan ra>’. Sedangkan bunyi konsonan tidak bersuara yang
digunakan yaitu bunyi huruf cha>’ dan tha>’. Penggunaan bunyi konsonan
bersuara dan bunyi konsonan tidak bersuara dalam jumlah yang hampir sama,
menimbulkan sugesti suasana yang netral dan seimbang.
Pada bait ketiga ini ditemukan repetisi atau pengulangan. Pengulangan
ini terjadi dalam bentuk pengulangan kalimat. Kalimat ‚Nachnu Ath-
thuyu>r..‛ diulang dua kali, yaitu pada baris pertama dan kedua. Repetisi pada
bait ini berfungsi untuk memberikan penekanan dan memperoleh makna yang
mendalam pada kata atau kalimat yang dimaksudkan.
Repetisi pada syair ini juga terlihat pada pengulangan beberapa
kalimat yang sama pada setiap bagian syair. Kalimat yang diulang tersebut
yaitu “Ya‘baqul-hawa>ˈ/ Wa yastha‘ul-fadha> / Bil-ajnichah”. Ketiga baris
kalimat ini diulang pada bagian pertama syair, bagian kedua bait ketiga, dan
bagian ketiga bait kedua. Pengulangan ini semakin mempertegas makna dari
kalimat-kalimat yang diulang.
Dengan mempertimbangkan aspek irama yang terdiri dari metrum dan
ritme, maka syair ini dapat dikategorikan ke dalam syi‘r churr. Syi‘r churr
yaitu syair yang tidak terikat oleh aturan wazan, qa>fiyah, maupun taf‘ila>t,
akan tetapi masih terikat dengan satuan irama khusus yang menjadi
karakteristik karya sastra bernilai tinggi. Penyair hanya mengungkapkan
154
perasaan dan imajinasinya sehingga iramanya bersifat subjektif (Husein
dalam Muzakki, 2006:53). Hal ini dikarenakan syair Ughniyyatut-Thuyu>r
tidak menggunakan wazan yang tetap pada setiap baitnya.
b. Lapis Arti
Lapis arti adalah lapis kedua yang ditimbulkan oleh adanya lapis
bunyi. Lapis arti berupa rangkaian fonem, suku kata, kata, frase, dan kalimat
(Pradopo, 2014:15).
Bagian pertama syair Ughniyyatuth-Thuyu>r menggambarkan tentang
aktivitas kawanan burung. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
/ي عبق اذلواء /لون.. ألف لون بألف /باألجنحة.. /ونأل الفضاء /السماء ن زين /نن الطيور..
.( 2009 :86العيسى، ) باألجنحة.. /ضاء ويسطع الف
Nachnu ath-Thuyu>r../ Nuzayyinus-sama>ˈ/ Wa namlaˈul-fadha> / Bil-ajnichah../ Bi alfi launin.. alfi launin../ Ya‘baqul-hawa> / Wayastha‘ul-fadha>/ Bil-ajnichah.. (al-I>sa>, 2009:86).
Kita adalah burung ../ Menghiasi langit/ Memenuhi angkasa/ Dengan
sayap-sayap../ Dengan seribu warna.. Seribu warna/ Merasuki udara/
Dan menyemarakkan angkasa/ Dengan sayap-sayap.. (al-I>sa>,
2009:86).
Si pelaku (kita) dalam syair ini adalah burung-burung. Mereka
menghiasi langit dan memenuhi angkasa dengan sayap-sayap mereka yang
beraneka warna. Mereka terbang memasuki udara dan menyemarakkan
angkasa dengan warna sayap-sayap mereka.
Kemudian, bagian kedua bait pertama hingga bait ketiga menceritakan
tentang aktivitas yang dilakukan oleh burung-burung. Pada bait pertama,
aktivitas yang dilakukan oleh burung-burung adalah sebagai berikut:
155
جر ي هفو /نن الطيور.. .( 2009 :86العيسى، ) وت نتشي األغصان /إل لقائنا الش
Nachnu ath-Thuyu>r../ Yahfu> ila> liqa>ˈina> asy-syajar/ Watantasyi>l-aghsha>n (al-I>sa>, 2009:86).
Kita adalah burung ../ Pohon ingin bertemu kita segera/ ranting-
ranting membeku (al-I>sa>, 2009:86).
Mereka adalah burung, karena itu pohon ingin segera berjumpa
dengan mereka. Ranting-ranting pepohonanpun membeku menantikan
perjumpaannya dengan burung.
Selanjutnya, bait kedua juga masih menceritakan tentang aktivitas
yang dilakukan oleh burung-burung. Aktivitas itu dapat diketahui dari kutipan
berikut:
حر .( 2009 :86العيسى، ) ونسكب األحلان /إذ ن بدأ الغناء ف الس
Idz nabdaˈul-ghina> a fi>s-sachar/ Wanaskubul-alcha>n (al-I>sa>, 2009:86).
Lalu kita mulai bernyanyi di awal pagi/ Dan kita tuangkan melodi-
melodi (al-I>sa>, 2009:86).
Selain hinggap di atas ranting-ranting pepohonan, burung-burung juga
berkicau di awal pagi hari untuk menyanyikan lagu. Mereka tuangkan
melodi-melodi di antara ranting-ranting pepohonan.
Sementara itu, pada bait ketiga menggambarkan tentang aktivitas yang
dilakukan oleh burung-burung sebagai kelanjutan dari bait pertama dan bait
kedua. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
وات /لنوقظ احلياة
العيسى، ) باألجنحة.. /ويسطع الفضاء /وي عبق اذلواء /ف العال ادل
86-87: 2009 ).
Linu>qizha al-chaya>h/ Fi>l-‘a>lamil-mawa>t/ Waya‘baqu al-hawa> /
Wayastha‘u al-fadha>ˈ/ Bil-ajnichah.. (al-I>sa>, 2009:86-87).
156
Untuk membangkitkan kehidupan/ Di tanah tandus/ Dan merasuki
udara/ Menyemarakkan angkasa/ Dengan sayap-sayap (al-I>sa>,
2009:86-87).
Setelah hinggap di atas pepohonan, burung-burung menyanyikan lagu-
lagu ketika pagi mulai menjelang. Melalui kicauan lagu-lagunya itulah
membuat suasana pagi menjadi semarak. Selain itu burung-burung juga
membangkitkan kehidupan di tanah yang tandus. Mereka terbang ke udara
dan menyemarakkan angkasa dengan sayap-sayap mereka.
Pada bagian ketiga syair, terdiri dari tiga bait. Bait pertama
menceritakan tentang kepemilikan kita (burung). Analisis ini berdasarkan
pada kutipan berikut:
نطوي البحار /نوب أقطار البلد الشاسعة /وىذه الثرى لنا /اجلو لنامالك /ن الطيور..ن .( 2009 :87العيسى، ) الواسعة
Nachnu ath-Thuyu>r../ Mama>likul-jawwi lana>/ Wa ha>dzihits-tsara> lana>/ Naju>bu aqtha>ral-bila>disy-sya>si‘ah/ Nathwi>l-bicha>ral-wa>si‘ah (al-I>sa>, 2009:87).
Kita adalah burung ../ Kerajaan udara milik kita/ Dan ini adalah
kekayaan kita/ Kita jelajahi tanah negeri-negeri yang membentang/
Kita arungi laut luas (al-I>sa>, 2009:87).
Mereka adalah burung. Udara menjadi kerajaan bagi mereka. Dan
udara juga merupakan kekayaan bagi mereka. Burung-burung itu beterbangan
di udara, menjelajahi negeri-negeri yang membentang luas. Mereka juga
mengarungi luasnya samudera.
Selanjutnya pada bait kedua berisi tentang kecintaan burung-burung
terhadap perdamaian. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
157
لم واحلب /ون زرع الوئام /بألف لون.. ألف لون.. /وأشرعت أب واب نا /حيث ارتت أسراب نا /والس
.( 2009 :87العيسى، ) باألجنحة /ويسطع الفضاء /ي عبق اذلواء
Wanazra‘ul-wiˈa>m/ Wal-chubbu was-sala>m/ Chaitsu irtamat asra>buna>/ Wausyri‘at abwa>buna>/ Biˈalfi launin.. alfi launin../ Ya‘baqul-hawa> / Wa yastha‘ul-fadha> / Bil-ajnichah (al-I>sa>, 2009:87).
Kita tanam harmoni/ Cinta dan perdamaian/ Dimanapun sarang-sarang
kita tergeletak/ Dan terbukalah pintu-pintu kita/ Dengan seribu warna
.. seribu warna ../ Merasuki udara/ Dan menyemarakkan angkasa/
Dengan sayap-sayap (al-I>sa>, 2009:87).
Burung-burung menebarkan harmoni, cinta dan perdamaian. Di
manapun letak sarang-sarang mereka, sarang-sarang tersebut selalu terbuka
bagi yang lainnya. Mereka terbang di udara dan senantiasa menyemarakkan
angkasa dengan sayap-sayap mereka yang beraneka warna.
Sementara itu, pada bait ketiga berisi pengulangan yang mempertegas
keberadaan burung sebagai tokoh yang diceritakan dalam syair ini.
Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
.( 2009 :87العيسى، ) نن الطيور.. /الطيور.. نن
Nachnu Ath-thuyu>r../ Nachnu Ath-thuyu>r.. (al-I>sa>, 2009:87).
Kita adalah burung ../ Kita adalah burung .. (al-I>sa>, 2009:87).
Baris pertama dan kedua memiliki arti “Kita adalah burung..”.
ungkapan ini mempertegas bahwa sosok yang diceritakan dalam syair ini
adalah burung, bukan yang lainnya.
c. Lapis Hal-Hal yang Dikemukakan
Lapis hal-hal yang dikemukakan merupakan lapis ketiga dalam
analisis strata norma Roman Ingarden dan muncul karena adanya lapis arti.
158
Lapis ketiga ini berupa subjek (pelaku), objek, latar, dan alur (dunia
pengarang) (Pradopo, 2014:15).
Subjek atau pelaku yang dikemukakan dalam syair ini yaitu ‚ath-
thuyu>r‛ atau burung-burung. Analisis ini berdasarkan pada kutipan berikut:
.( 2009 :87العيسى، ) نن الطيور.. /الطيور.. نن
Nachnu Ath-thuyu>r../ Nachnu Ath-thuyu>r.. (al-I>sa>, 2009:87).
Kita adalah burung ../ Kita adalah burung .. (al-I>sa>, 2009:87).
Keberadaan pelaku burung-burung juga dipertegas dengan
penggunaan kalimat “Nachnu Ath-thuyu>r..‛ yang berarti “Kita adalah
burung..” yang diulang-ulang pada setiap bagian syair. Pada bagian pertama
kalimat ini diulang satu kali. Selanjutnya pada bagian kedua, kalimat tersebut
diulang kembali pada bait pertama. Sementara itu, pada bagian ketiga syair,
kalimat ini diulang sebanyak tiga kali, yaitu satu kali pada bait pertama dan
dua kali pada bait ketiga. Pengulangan terhadap kalimat ini mempertegas
eksistensi burung-burung sebagai pelaku atau tokoh dalam syair ini.
Selain subjek atau pelaku, hal yang dikemukakan selanjutnya yaitu
latar. Latar waktu yang terdapat pada syair ini yaitu di awal pagi. Latar waktu
ini dapat ditemukan pada kutipan berikut:
حر .( 2009 :86العيسى، ) ونسكب األحلان /إذ ن بدأ الغناء ف الس
Idz nabdaˈul-ghina> a fi>s-sachar/ Wanaskubul-alcha>n (al-I>sa>, 2009:86).
Lalu kita mulai bernyanyi di awal pagi/ Dan kita tuangkan melodi-
melodi (al-I>sa>, 2009:86).
159
Awal pagi menjadi latar waktu pada syair ini, khususnya pada bagian
kedua dalam bait kedua. Di awal pagi itulah burung-burung mulai bernyanyi.
Mereka tuangkan melodi-melodi di awal pagi itu.
Selain latar waktu, pada syair ini juga ditemukan latar tempat. Latar
tempat yang berbeda ditemukan pada beberapa bagian dalam syair ini. Pada
bagian pertama, latar tempat yang digunakan yaitu langit, angkasa, dan udara.
Ketiga latar tempat ini dapat ditemukan pada kutipan berikut:
/ي عبق اذلواء /لون.. ألف لون بألف /باألجنحة.. /ونأل الفضاء /ن زين السماء /نن الطيور..
.( 2009 :86العيسى، ) باألجنحة.. /ضاء ويسطع الف
Nachnu ath-Thuyu>r../ Nuzayyinus-sama>ˈ/ Wa namlaˈul-fadha> / Bil-ajnichah../ Bi alfi launin.. alfi launin../ Ya‘baqul-hawa> / Wayastha‘ul-fadha>/ Bil-ajnichah.. (al-I>sa>, 2009:86).
Kita adalah burung ../ Menghiasi langit/ Memenuhi angkasa/ Dengan
sayap-sayap../ Dengan seribu warna.. Seribu warna/ Merasuki udara/
Dan menyemarakkan angkasa/ Dengan sayap-sayap.. (al-I>sa>,
2009:86).
Langit, angkasa, dan udara menjadi tempat terbang bagi burung-
burung. Mereka memenuhi dan menghiasi ketiga tempat itu dengan warna
sayap-sayap mereka yang beraneka ragam.
Latar tempat juga ditemukan pada bagian kedua syair, yaitu di bait
ketiga. Latar tempat pada bait ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
/لنوقظ احلياة
العيسى، ) باألجنحة.. /ويسطع الفضاء /وي عبق اذلواء /وات ف العال ادل
86-87: 2009 ).
Linu>qizha al-chaya>h/ Fi>l-‘a>lamil-mawa>t/ Waya‘baqu al-hawa> /
Wayastha‘u al-fadha>ˈ/ Bil-ajnichah.. (al-I>sa>, 2009:86-87).
160
Untuk membangkitkan kehidupan/ Di tanah tandus/ Dan merasuki
udara/ Menyemarakkan angkasa/ Dengan sayap-sayap (al-I>sa>,
2009:86-87).
Burung-burung membangkitkan kehidupan di tanah tandus. Mereka
juga memasuki udara dan menyemarakkan angkasa dengan sayap-sayap
mereka. Pada bait ini, tanah tandus, udara, dan angkasa menjadi latar tempat
terjadinya berbagai aktivitas yang dilakukan oleh burung-burung.
Sementara itu, pada bagian ketiga bait pertama, latar tempat yang
dikemukakan yaitu tanah negeri-negeri yang membentang dan lautan luas.
Kedua latar ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
نطوي البحار /نوب أقطار البلد الشاسعة /وىذه الثرى لنا /اجلو لنامالك /ن الطيور..ن .( 2009 :87العيسى، ) الواسعة
Nachnu ath-Thuyu>r../ Mama>likul-jawwi lana>/ Wa ha>dzihits-tsara> lana>/ Naju>bu aqtha>ral-bila>disy-sya>si‘ah/ Nathwi>l-bicha>ral-wa>si‘ah (al-I>sa>, 2009:87).
Kita adalah burung ../ Kerajaan udara milik kita/ Dan ini adalah
kekayaan kita/ Kita jelajahi tanah negeri-negeri yang membentang/
Kita arungi laut luas (al-I>sa>, 2009:87).
Tanah negeri-negeri yang membentang dan lautan luas menjadi latar
pada bagian ketiga bait pertama ini. Kedua tempat tersebut menjadi latar pada
bagian ini karena disitulah burung-burung berkelana.
Selanjutnya, pada bagian ketiga bait kedua syair ini latar tempat yang
dikemukakan yaitu udara dan angkasa. Kedua tempat ini dapat ditemukan
pada kutipan berikut:
لم /ون زرع الوئام /لون..بألف لون.. ألف /وأشرعت أب واب نا /حيث ارتت أسراب نا /واحلب والس
.( 2009 :87العيسى، ) باألجنحة /ويسطع الفضاء /ي عبق اذلواء
161
Wanazra‘ul-wiˈa>m/ Wal-chubbu was-sala>m/ Chaitsu irtamat asra>buna>/ Wausyri‘at abwa>buna>/ Biˈalfi launin.. alfi launin../ Ya‘baqul-hawa> / Wa yastha‘ul-fadha> / Bil-ajnichah (al-I>sa>, 2009:87).
Kita tanam harmoni/ Cinta dan perdamaian/ Dimanapun sarang-sarang
kita tergeletak/ Dan terbukalah pintu-pintu kita/ Dengan seribu warna
.. seribu warna ../ Merasuki udara/ Dan menyemarakkan angkasa/
Dengan sayap-sayap (al-I>sa>, 2009:87).
Udara dan angkasa menjadi tempat terbang bagi burung-burung.
Mereka memenuhi dan menghiasi kedua tempat itu dengan warna sayap-
sayap mereka yang beraneka ragam. Untuk itulah kedua tempat ini menjadi
latar pada bagian ketiga bait kedua syair ini.
Setelah subjek dan latar, hal yang dikemukakan selanjutnya adalah
objek. Setiap bagian dalam syair ini memiliki objek yang berbeda-beda. Pada
bagian pertama, objek yang dikemukakan yaitu langit, angkasa, dan udara.
Ketiga objek ini dapat ditemukan pada kutipan berikut:
/ي عبق اذلواء /لون.. ألف لون بألف /باألجنحة.. /ونأل الفضاء /ن زين السماء /نن الطيور..
.( 2009 :86العيسى، ) باألجنحة.. /ضاء ويسطع الف
Nachnu ath-Thuyu>r../ Nuzayyinus-sama>ˈ/ Wa namlaˈul-fadha> / Bil-
ajnichah../ Bi alfi launin.. alfi launin../ Ya‘baqul-hawa> / Wayastha‘ul-
fadha>/ Bil-ajnichah.. (al-I>sa>, 2009:86).
Kita adalah burung ../ Menghiasi langit/ Memenuhi angkasa/ Dengan
sayap-sayap../ Dengan seribu warna.. Seribu warna/ Merasuki udara/
Dan menyemarakkan angkasa/ Dengan sayap-sayap.. (al-I>sa>,
2009:86).
Selain menjadi keterangan tempat, ketiga hal tersebut juga menjadi
objek pada bagian pertama ini. Hal ini karena ketiga tempat tersebut menjadi
sasaran perbuatan burung-burung. Sementara itu, untuk kata sayap-sayap dan
seribu warna, menjadi keterangan alat pada bagian ini.
162
Selanjutnya, objek yang dikemukakan pada bagian kedua bait pertama
yaitu kita (burung-burung). Analisis ini berdasarkan pada kutipan berikut:
جر ي هفو /نن الطيور.. .( 2009 :86العيسى، ) وت نتشي األغصان /إل لقائنا الش
Nachnu ath-Thuyu>r../ Yahfu> ila> liqa>ˈina> asy-syajar/ Watantasyi>l-aghsha>n (al-I>sa>, 2009:86).
Kita adalah burung ../ Pohon ingin bertemu kita segera/ ranting-
ranting membeku (al-I>sa>, 2009:86).
Selain menjadi subjek, kita (burung-burung) juga berkedudukan
sebagai objek pada bagian kedua bait pertama ini. Hal ini dikarenakan kita
(burung-burung) menjadi sasaran yang ingin ditemui oleh pohon. Jadi, selain
berkedudukan sebagai objek karena menjadi isi nyanyian burung-burung,
pohon juga berperan sebagai subjek karena melakukan aktivitas. Begitu juga
dengan ranting-ranting, selain berperan sebagai objek karena menjadi isi dari
nyanyian burung-burung, ranting-ranting juga menjadi subjek karena
melakukan suatu aktivitas yaitu membeku.
Selanjutnya, pada bait kedua bagian kedua syair ini, objek yang
dikemukakan adalah melodi-melodi. Objek ini dapat ditemukan pada kutipan
berikut:
حر .( 2009 :86العيسى، ) ونسكب األحلان /إذ ن بدأ الغناء ف الس
Idz nabdaˈul-ghina> a fi>s-sachar/ Wanaskubul-alcha>n (al-I>sa>, 2009:86).
Lalu kita mulai bernyanyi di awal pagi/ Dan kita tuangkan melodi-
melodi (al-I>sa>, 2009:86).
Melodi-melodi menjadi objek pada bait kedua bagian kedua syair ini.
Hal ini karena melodi-melodi menjadi sasaran dari perbuatan burung-burung,
yaitu dinyanyikan.
163
Sementara itu, pada bait ketiga bagian kedua syair ini, objek yang
dikemukakan yaitu kehidupan, udara, dan angkasa. Ketiga objek ini dapat
dilihat pada kutipan berikut:
وات /لنوقظ احلياة
العيسى، ) باألجنحة.. /ويسطع الفضاء /وي عبق اذلواء /ف العال ادل
86-87: 2009 ).
Linu>qizha al-chaya>h/ Fi>l-‘a>lamil-mawa>t/ Waya‘baqu al-hawa> /
Wayastha‘u al-fadha>ˈ/ Bil-ajnichah.. (al-I>sa>, 2009:86-87).
Untuk membangkitkan kehidupan/ Di tanah tandus/ Dan merasuki
udara/ Menyemarakkan angkasa/ Dengan sayap-sayap (al-I>sa>,
2009:86-87).
Kehidupan, udara, dan angkasa menjadi objek pada bait ketiga bagian
kedua syair ini karena ketiga hal tersebut menjadi sasaran dari perbuatan
burung-burung. Selain itu, ketiga hal ini berkedudukan sebagai objek karena
menjadi isi dari nyanyian burung-burung.
Kemudian, objek yang dikemukakan pada bait pertama bagian ketiga
yaitu tanah negeri-negeri yang membentang dan laut yang luas. Kedua objek
ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
نطوي البحار /أقطار البلد الشاسعة نوب /وىذه الثرى لنا /اجلو لنامالك /ن الطيور..ن .( 2009 :87العيسى، ) الواسعة
Nachnu ath-Thuyu>r../ Mama>likul-jawwi lana>/ Wa ha>dzihits-tsara> lana>/ Naju>bu aqtha>ral-bila>disy-sya>si‘ah/ Nathwi>l-bicha>ral-wa>si‘ah (al-I>sa>, 2009:87).
Kita adalah burung ../ Kerajaan udara milik kita/ Dan ini adalah
kekayaan kita/ Kita jelajahi tanah negeri-negeri yang membentang/
Kita arungi laut luas (al-I>sa>, 2009:87).
164
Tanah negeri-negeri yang membentang dan laut yang luas berperan
sebagai objek pada bait pertama bagian ketiga syair ini karena keduanya
menjadi sasaran dari aktivitas yang dilakukan oleh burung-burung. Selain itu,
kedua hal tersebut berkedudukan sebagai objek karena menjadi isi dari
nyanyian burung-burung.
Selanjutnya, objek yang dikemukakan pada bait kedua bagian ketiga
syair ini yaitu harmoni, cinta, perdamaian, udara, dan angkasa. Kelima objek
tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut:
لم /ون زرع الوئام /بألف لون.. ألف لون.. /وأشرعت أب واب نا /حيث ارتت أسراب نا /واحلب والس
.( 2009 :87العيسى، ) باألجنحة /ويسطع الفضاء /ي عبق اذلواء
Wanazra‘ul-wiˈa>m/ Wal-chubbu was-sala>m/ Chaitsu irtamat asra>buna>/ Wausyri‘at abwa>buna>/ Biˈalfi launin.. alfi launin../ Ya‘baqul-hawa> / Wa yastha‘ul-fadha> / Bil-ajnichah (al-I>sa>, 2009:87).
Kita tanam harmoni/ Cinta dan perdamaian/ Dimanapun sarang-sarang
kita tergeletak/ Dan terbukalah pintu-pintu kita/ Dengan seribu warna
.. seribu warna ../ Merasuki udara/ Dan menyemarakkan angkasa/
Dengan sayap-sayap (al-I>sa>, 2009:87).
Harmoni, cinta, perdamaian, udara, dan angkasa berperan sebagai
objek pada bait kedua bagian ketiga syair ini karena kelima hal tersebut
menjadi sasaran dari aktivitas yang dilakukan oleh burung-burung. Selain itu,
kelima hal tersebut berkedudukan sebagai objek karena menjadi isi dari
nyanyian burung-burung.
Sementara itu, pada bait ketiga bagian ketiga syair ini, objek yang
dikemukakan berupa kita (burung-burung itu sendiri). Objek ini dapat dilihat
pada kutipan berikut:
.( 2009 :87العيسى، ) نن الطيور.. /الطيور.. نن
165
Nachnu Ath-thuyu>r../ Nachnu Ath-thuyu>r.. (al-I>sa>, 2009:87).
Kita adalah burung ../ Kita adalah burung .. (al-I>sa>, 2009:87).
Burung-burung menjadikan dirinya sendiri sebagai isi dari
nyanyiannya. Karena hal itulah kita (burung-burung) berperan sebagai objek
dalam bait ketiga bagian ketiga syair ini.
Hal yang dikemukakan terakhir setelah subjek, latar, dan objek yaitu
dunia pengarang. Dunia pengarang adalah ceritanya, yang merupakan dunia
imajinasi ciptaan pengarang. Dunia pengarang juga disebut alur yang
merupakan gabungan dan jalinan antara objek-objek yang dikemukakan,
latar, dan pelaku (Pradopo, 2014:18). Dunia pengarang pada syair
Ughniyyatuth-Thuyu>r adalah sebagai berikut:
Burung-burung menyanyikan sebuah lagu tentang diri mereka yang
tertuang dalam tiga bagian syair. Pada bagian pertama, mereka mengatakan
bahwa mereka adalah burung-burung. Mereka terbang ke udara, menghiasi
langit dan memenuhi angkasa dengan sayap-sayap mereka yang beraneka
warna. Selanjutnya pada bagian kedua, mereka menegaskan kembali bahwa
mereka adalah burung-burung. Pepohonan ingin segera bertemu dengan
mereka. Ranting-rantingpun membeku menantikan perjumpaan itu. Burung-
burung senantiasa menyanyikan melodi-melodi di awal pagi. Mereka
bangkitkan kehidupan di tanah yang tandus. Lalu mereka kembali terbang
menuju udara, menyemarakkan angkasa dengan sayap-sayap mereka.
Sementara itu, pada bagian ketiga, burung-burung menceritakan bahwa
mereka menebarkan harmoni, cinta, dan perdamaian. Dimanapun sarang
166
mereka berada, pintu-pintu mereka akan selalu terbuka. Sekali lagi, mereka
terbang menuju udara dan menyemarakkan angkasa dengan sayap-sayap
mereka yang beraneka warna, karena mereka adalah burung-burung.
d. Lapis Dunia
Lapis dunia merupakan lapis keempat dalam analisis strata norma
Roman Ingarden. Lapis dunia di pandang dari titik tertentu, tidak perlu
dinyatakan, akan tetapi sudah implisit terkandung di dalam sebuah karya
sastra (Pradopo, 2014:17).
Lapis dunia pada syair ini ditemukan pada bagian kedua syair yang
terdiri dari tiga bait syair. Pada bagian kedua ini menceritakan tentang
aktivitas burung-burung di pagi hari, sebagaimana dapat dilihat pada kutipan
berikut:
جر ي هفو /نن الطيور.. وت نتشي األغصان /إل لقائنا الش
حر ونسكب األحلان /إذ ن بدأ الغناء ف الس
وات /لنوقظ احلياة
العيسى، ) باألجنحة.. /ويسطع الفضاء /اذلواء وي عبق /ف العال ادل
86-87: 2009 ).
Nachnu ath-Thuyu>r../ Yahfu> ila> liqa>ˈina> asy-syajar/ Watantasyi>l-aghsha>n.
Idz nabdaˈul-ghina> a fi>s-sachar/ Wanaskubul-alcha>n.
Linu>qizha al-chaya>h/ Fi>l-‘a>lamil-mawa>t/ Waya‘baqu al-hawa> / Wayastha‘u al-fadha>ˈ/ Bil-ajnichah.. (al-I>sa>, 2009:86-87).
Kita adalah burung ../ Pohon ingin bertemu kita segera/ ranting-
ranting membeku.
Lalu kita mulai bernyanyi di awal pagi/ Dan kita tuangkan melodi
melodi.
167
Untuk membangkitkan kehidupan/ Di tanah tandus/ Dan merasuki
udara/ Menyemarakkan angkasa/ Dengan sayap-sayap (al-I>sa>,
2009:86-87).
Setiap pagi menjelang, burung-burung selalu berkicau sambil
berloncat-loncatan di antara ranting-ranting pepohonan. Kicauan mereka
memecahkan keheningan pagi. Burung-burung juga membangkitkan kembali
kehidupan di tanah yang tandus dengan menyebarkan biji-bijian yang terjatuh
dari paruh mereka saat makan. Pernyataan ini tidak dicantumkan secara
eksplisit di dalam kata-kata syair, akan tetapi sudah implisit di dalam kata-
kata syair lainnya, yang sudah tersusun. Pernyataan tersebut juga dapat
ditemukan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Sehingga tanpa perlu
dinyatakan, sudah dianggap diketahui oleh para pembaca.
e. Lapis Metafisis
Lapis metafisis adalah lapis yang menyebabkan pembaca
berkontemplasi atau melakukan perenungan. Lapis metafisis merupakan lapis
kelima dalam analisis strata norma Roman Ingarden yang berupa sifat-sifat
metafisis (sublim, tragis, mengerikan, menakutkan, suci, dan lainnya).
Dengan hadirnya sifat-sifat inilah seorang pembaca akan melakukan sebuah
perenungan. Akan tetapi, tidak semua karya sastra mengandung lapis
metafisis ini (Pradopo, 2014:15).
Karya sastra yang mengandung lapis metafisis merupakan karya sastra
yang mencapai tingkatan keempat atau niveau human dan kelima atau niveau
religius (filosofis) dalam tingkatan pengalaman jiwa. Adapun tingkatan
pertama atau niveau anorganis yang terjelma pada karya sastra hanya berupa
168
pola bunyi, irama, baris, sajak, alenia, kalimat, gaya bahasa dan sebagainya.
Untuk tingkatan kedua atau niveau vegetatif yang terjelma dalam karya sastra
berupa suasana-suasana yang ditimbulkan oleh rangkaian-rangkaian kata-kata
itu. Tingkatan ketiga atau niveau animal merupakan tingkatan yang dicapai
oleh binatang dan sudah ada nafsu jasmaniahnya. Tingkatan ini jika terjelma
dalam kata berupa nafsu-nafsu naluriah seperti makan, minum, dan
sebagainya (Pradopo, 1994:55-59).
Sementara itu, tingkatan pengalaman jiwa keempat atau niveau human
jika terjelma ke dalam karya sastra dapat berupa renungan-renungan batin dan
moral, konflik kejiwaan, serta rasa simpati dan segala pengalaman yang
dirasakan manusia. Sedang tingkatan kelima atau niveau religius (filosofis)
berupa renungan batin sampai hakikat, hubungan tuhan dengan manusia,
renungan filsafat dan metafisis, dan sebagainya (Pradopo, 1994:58).
Renungan pada tingkatan niveau human pada syair Ughniyyatuth-
Thuyu>r yaitu berupa rasa cinta terhadap keharmonisan dan perdamaian.
Dengan mencintai keharmonisan dan perdamaian, maka akan terciptalah
sebuah kerukunan dan kesatuan dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan
bingkai keharmonisan dan perdamaian pula, manusia akan dapat hidup
berdampingan dengan tenang, aman, dan tentram.
Sementara itu, renungan pada tingkatan niveau religius (filosofis)
yaitu berupa ajaran untuk senantiasa bersyukur terhadap segala hal yang telah
diciptakan oleh Tuhan. Rasa syukur ini dapat ditunjukkan dengan cara
menikmati dan menjaga segala ciptaan-Nya yang ada di alam ini.
169
Berdasarkan hasil analisis syair keempat dengan memanfaatkan teori
strata norma Roman Ingarden yang terdiri dari lapis bunyi, lapis arti, lapis
hal-hal yang dikemukakan, lapis dunia dan lapis metafisis, dapat disimpulkan
secara keseluruhan bahwa syair yang berjudul Ughniyyatuth-Thuyu>r karya
Sulaima>n al-I>sa> masuk dalam kategori syi‘r churr. Syair ini mengusung tema
tentang “keharmonisan” (الوئام). Isinya menceritakan tentang burung-burung
yang menyanyikan sebuah lagu mengenai diri mereka. Mereka terbang ke
udara, menghiasi langit dan memenuhi angkasa dengan sayap-sayap mereka
yang beraneka warna. Burung-burung juga menyanyikan melodi-melodi di
awal pagi di antara ranting-ranting pepohonan. Mereka bangkitkan kehidupan
di tanah yang tandus. Mereka juga menebarkan harmoni, cinta, dan
perdamaian. Dimanapun sarang mereka berada, pintu-pintu mereka akan
selalu terbuka. Keharmonisan, cinta, dan perdamaian yang ditebarkan oleh
burung-burung ini, mengingatkan pembaca bahwa dengan ketiga hal tersebut,
maka akan terciptalah sebuah kerukunan dan kesatuan dalam kehidupan
bermasyarakat. Dengan bingkai keharmonisan dan perdamaian pula, manusia
akan dapat hidup berdampingan dengan tenang, aman, dan tentram.
2. Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Karakter
Syair merupakan salah satu genre sastra, karena itu tentunya mengandung
pesan dan amanat yang hendak disampaikan oleh pengarangnya. Terlebih puisi
yang ditujukan untuk pembaca anak-anak, pesan dan amanat yang berupa nilai-
170
nilai pendidikan karakter sangat ditekankan. Hal ini mengingat usia anak-anak
merupakan usia yang tepat untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan karakter.
Penanaman nilai-nilai pendidikan karakter ini, bisa melalui berbagai
media, salah satunya syair. Hanya saja, seringkali nilai-nilai pendidikan karakter
ini tidak disebutkan secara eksplisit, akan tetapi implisit di dalam rangkaian kata-
kata syair yang indah. Berkaitan dengan hal itu, maka diperlukan adanya analisis
terhadap nilai-nilai pendidikan karakter tersebut, sehingga memudahkan anak-
anak untuk memahaminya.
Analisis nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung di dalam syair
Ughniyyatuth-Thuyu>r berlandaskan pada sembilan pilar nilai-nilai karakter
menurut Kemendiknas dalam UU No. 20 tahun 2003 pasal 3 (Samani, 2013:106).
Berdasarkan sembilan pilar tersebut, nilai-nilai pendidikan karakter yang
terkandung pada syair ini adalah sebagai berikut:
a. Senantiasa Bersyukur
Senantiasa bersyukur merupakan penjabaran nilai karakter pertama
dalam sembilan pilar nilai-nilai karakter menurut Kemendiknas dalam UU
No. 20 tahun 2003 pasal 3, yaitu nilai karakter cinta Tuhan dan segenap
ciptaan-Nya (Samani, 2013:106). Karakter senantiasa bersyukur pada syair
ini ditampilkan oleh sikap burung-burung sebagaimana tertuang dalam
kutipan syair berikut:
نطوي البحار /نوب أقطار البلد الشاسعة /وىذه الثرى لنا /اجلو لناك مال /ن الطيور..ن .( 2009 :87العيسى، ) الواسعة
171
Nachnu ath-Thuyu>r../ Mama>likul-jawwi lana>/ Wa ha>dzihits-tsara> lana>/ Naju>bu aqtha>ral-bila>disy-sya>si‘ah/ Nathwi>l-bicha>ral-wa>si‘ah (al-I>sa>, 2009:87).
Kita adalah burung ../ Kerajaan udara milik kita/ Dan ini adalah
kekayaan kita/ Kita jelajahi tanah negeri-negeri yang membentang/
Kita arungi laut luas (al-I>sa>, 2009:87).
Pada syair ini, rasa syukur burung-burung terhadap karunia Tuhan
yang ada di alam ini, diungkapkan dengan aktivitas berkelana. Mereka
jelajahi setiap jengkal tanah negeri-negeri untuk menikmati keindahan karya
Tuhan yang tersebar luas di permukaan bumi. Mereka arungi lautan luas yang
membiaskan luasnya kekuasaan Tuhan.
Karakter senantiasa bersyukur ini perlu ditanamkan pada diri seorang
anak sejak dini, karena karakter tersebut merupakan tonggak untuk mencapai
kebahagiaan pada diri sendiri. Dengan mensyukuri terhadap segala hal yang
telah diciptakan Tuhan untuk dirinya, maka manusia akan terhindar dari sifat
rakus dan tamak. Senantiasa bersyukur juga akan menumbuhkan rasa percaya
bahwa kebesaran dan kekuasaan Tuhan itu benar-benar nyata.
b. Mencintai keharmonisan dan perdamaian
Nilai karakter cinta keharmonisan dan perdamaian merupakan nilai
karakter kesembilan dalam sembilan pilar nilai karakter menurut
Kemendiknas dalam UU No. 20 tahun 2003 pasal 3 (Samani, 2013: 106).
Nilai karaker cinta keharmonisan dan perdamaian pada syair ini
tertuang secara eksplisit pada kutipan bagian ketiga bait kedua berikut:
لم /ون زرع الوئام /بألف لون.. ألف لون.. /وأشرعت أب واب نا /حيث ارتت أسراب نا /واحلب والس
.( 2009 :87العيسى، ) باألجنحة /ويسطع الفضاء /ي عبق اذلواء
172
Wanazra‘ul-wiˈa>m/ Wal-chubbu was-sala>m/ Chaitsu irtamat asra>buna>/ Wausyri‘at abwa>buna>/ Biˈalfi launin.. alfi launin../ Ya‘baqul-hawa> / Wa yastha‘ul-fadha> / Bil-ajnichah (al-I>sa>, 2009:87).
Kita tanam harmoni/ Cinta dan perdamaian/ Dimanapun sarang-sarang
kita tergeletak/ Dan terbukalah pintu-pintu kita/ Dengan seribu warna
.. seribu warna ../ Merasuki udara/ Dan menyemarakkan angkasa/
Dengan sayap-sayap (al-I>sa>, 2009:87).
Burung-burung menebarkan harmoni, cinta, dan perdamaian.
Dimanapun sarang-sarang mereka berada, pintu-pintu mereka selalu terbuka
untuk yang lainnya. Dari sikap burung-burung ini dapat disampaikan kepada
anak-anak bahwa mencintai keharmonisan dan perdamaian sangat penting
bagi manusia. Dengan mencintai keharmonisan dan perdamaian, maka akan
terciptalah sebuah kerukunan dan kesatuan dalam kehidupan bermasyarakat.
Dengan bingkai keharmonisan dan perdamaian pula, manusia akan dapat
hidup berdampingan dengan tenang, aman, dan tentram.
c. Aktif dan Dinamis
Karakter aktif dan dinamis merupakan penjabaran dari karakter
keenam dalam sembilan pilar nilai-nilai karakter menurut Kemendiknas
dalam UU No. 20 tahun 2003 pasal 3, yaitu karakter percaya diri dan kerja
keras (Samani, 2013:106). Karakter aktif dan dinamis pada syair ini
ditunjukkan oleh sikap burung-burung yang suka mengunjungi tempat-tempat
asing, sebagaimana disebutkan pada kutipan berikut:
نطوي البحار /نوب أقطار البلد الشاسعة /وىذه الثرى لنا /اجلو لنامالك /ن الطيور..ن .( 2009 :87العيسى، ) الواسعة
Nachnu ath-Thuyu>r../ Mama>likul-jawwi lana>/ Wa ha>dzihits-tsara> lana>/Naju>bu aqtha>ral-bila>disy-sya>si‘ah/ Nathwi>l-bicha>ral-wa>si‘ah (al-
I>sa>, 2009:87).
173
Kita adalah burung ../ Kerajaan udara milik kita/ Dan ini adalah
kekayaan kita/ Kita jelajahi tanah negeri-negeri yang membentang/
Kita arungi laut luas (al-I>sa>, 2009:87).
Pada bagian syair di atas disebutkan bahwa burung-burung
menjelajahi tanah negeri-negeri yang membentang. Mereka juga mengarungi
lautan luas. Ini membuktikan bahwa burung-burung suka berpindah dan aktif
bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain. Hal ini menjadikan burung-
burung menjadi penguasa di udara.
Dari sikap yang ditunjukkan oleh kawanan burung ini, dapat
disampaikan kepada anak-anak bahwa karakter aktif dan dinamis sangat
diperlukan. Manusia harus selalu bergerak dan tidak boleh diam saja.
Karakter aktif dan dinamis penting ada pada diri seseorang, karena tanpa
kedua karakter tersebut, seseorang akan menjadi pribadi yang tertutup,
pemalas, dan tidak berkembang.
174
F. Syair Ke-6
غنية البجعاتأ وانطلقت البجعات ف الفضاء الرحب، ب عد أن قويت أجنحت ها
ت، وىي ت نشد: واشتد وغازل الفضاء طيي بنا إل األفق
ماء األفق طيي إل حيث ي عانق الس
** ت أجنحة البجع اشتد
يا أشرعة الريح انطلقي
ي يا أسراب البجع مد
راياتك ف األفق
** وملكنا اذلواء كل البحار ملكنا
اء نسري كما نش ىذي الغيوم ف لكنا**
نن البجعات الب يضاء
األوسع اجملهول رواد
وادلاء اجلو األزرق
أرأي تم أحلى أو أمتع ؟
** رة تاء ن عود للبحي إذ ي رحل الش
رة منازل اآلباء ىنا... على البحي
Ughniyyatul-Baja‘a>t
Wainthalaqat al-baja‘a>tu fi>l-fadha> ir-rachbi, ba‘da an qawiyat ajnichatuha> waisytaddat, wahiya tunsyidu:
Thi>ri> bina> ila>l-ufuq Wagha>zili>l-fadha> Thi>ri> ila> chaitsul-ufuq Yu‘a>niqus-sama>ˈ
** Isytaddat ajnichatul-baja‘i Ya> asri‘atar-ri>chi inthaliqi>
Muddi> ya> asra>bal-baja‘i Ra>ya>tiki fi>l-ufuq
174
175
** Kullul-bicha>ri mulkuna> Wa mulkuna>l-hawa> Hadzi>l-ghuyu>mu fulkuna> Nasri> kama> nasya>ˈ
** Nachnu al-baja‘a>tul-baidha>ˈu
Ruwwa>dul-majhu>lil-awsa‘ Al-jawwul-azraqu wal-ma> u Araˈaitum achla> au amta‘?
** Na‘u>du lilbuchairati Idz yarchalusy-syita>ˈ
Huna> … ‘ala>l-buchairati Mana>zilul-a>ba>
Nyanyian burung-burung pelikan
Burung-burung pelikan menuju ke angkasa yang luas, setelah kuat sayapnya dan
mampu merentang, dia pun bernyanyi:
Terbanglah bersama kami ke kaki langit Dan bercumbu rayulah di angkasa
Terbanglah ke ufuk manapun Memeluk langit
**
Sayap pelikan terentang
O layar angin bergeraklah
Edarkanlah duhai kawanan pelikan
Pandanganmu di cakrawala
**
Seluruh samudera adalah kerajaan kami Dan udarapun kerajaan kami
Awan-awan ini juga kerajaan kami Kami melintas sesuka hati
**
Kami burung pelikan putih
Penjelajah tempat-tempat asing yang luas
Udara yang biru dan air
Menurut kalian adakah yang lebih indah dan menyenangkan dari ini?
**
Kami kembali ke danau Ketika musim dingin pergi
Di sini ... di atas danau Rumah ayah kami
1. Analisis Strata Norma Roman Ingarden
a. Lapis Bunyi
Bunyi merupakan unsur puisi yang bersifat estetis karena
menimbulkan keindahan dan tenaga ekpresif. Bunyi konsonan dan vokal
disusun sedemikian rupa sehingga menimbulkan bunyi yang merdu dan
176
berirama seperti bunyi musik. Dari irama yang beraturan inilah akan
mengalirkan perasaan, imajinasi-imajinasi dalam pikiran atau pengalaman-
pengalaman jiwa pendengarnya (Pradopo, 2014:22-27).
Kombinasi bunyi-bunyi vokal (asonansi), bunyi konsonan bersuara
(voiced), bunyi likuida atau bunyi yang keluar dari sela-sela ujung lidah yang
menempel pada ceruk gigi dan bunyi sengau menimbulkan bunyi merdu dan
berirama (efoni). Bunyi yang merdu itu dapat mendukung suasana yang
mesra, kasih sayang, gembira, dan bahagia. Sebaliknya, kombinasi bunyi
yang tidak merdu dan parau yang disebabkan oleh bunyi konsonan tidak
bersuara (unvoiced) dapat memperkuat suasana yang tidak menyenangkan,
kacau balau, serba tidak teratur, bahkan memuakkan. Kombinasi bunyi tidak
merdu dan parau disebut dengan kakofoni (Pradopo, 2014: 29-31). Anis
(1999:22) mengkategorikan bunyi huruf-huruf nasal (mi>m dan nu>n) serta
bunyi huruf likuida (la>m dan ra>’) ke dalam bunyi konsonan bersuara
(majhu>rah).
Syair Ughniyyatul-Baja‘a>t diawali dengan prolog atau paragraf
pengantar syair. Bagian prolog ini, penggunaan bunyi konsonan bersuara dan
bunyi konsonan tidak bersuaranya berada dalam jumlah yang hampir sama.
Pernyataan ini berdasarkan pada kutipan berikut:
ت، وىي ت نشد وانطلقت البجعات ف الفضاء الرحب، ب عد أن قويت أجنحت ها واشتد
.( 2009 :95)العيسى،
Wainthalaqat al-baja‘a>tu fi>l-fadha> ir-rachbi, ba‘da an qawiyat ajnichatuha> waisytaddat, wahiya tunsyidu (al-I>sa>, 2009:95).
177
Burung-burung pelikan menuju ke angkasa yang luas, setelah kuat
sayapnya dan mampu merentang, dia pun bernyanyi (al-I>sa>, 2009:95).
Bunyi konsonan bersuara yang digunakan pada bagian prolog ini yaitu
bunyi huruf wau, nu>n, la>m, ba>’, ji>m, ‘ain, dha>d, hamzah, ra>’, dan da>l.
Sedangkan bunyi konsonan tidak bersuara yang digunakan yaitu bunyi huruf
tha>’, qa>f, ta>’, fa>’, cha>’, ha>’, dan syi>n. Penggunaan bunyi konsonan bersuara
dan bunyi konsonan tidak bersuara dalam jumlah yang hampir sama pada
bagian prolog ini menimbulkan sugesti suasana yang netral dan stabil.
Sementara itu, pada bagian prolog ini juga ditemukan aliterasi bunyi huruf
ta>’. Aliterasi merupakan pengulangan bunyi konsonan yang dominan.
Aliterasi huruf ta>’ nampak pada kata inthalaqat, al-baja‘a>tu, qawiyat,
ajnichatuha>, isytaddat, dan tunsyidu. Aliterasi bunyi huruf ta>’ yang
merupakan bunyi konsonan tidak bersuara menghadirkan sugesti suasana
yang kuat, berat dan ada tekanan tertentu.
Selain prolog, syair ini terdiri dari lima bagian syair. Bagian pertama
syair Ughniyyatul-Baja‘a>t didominasi oleh penggunaan bunyi konsonan
bersuara. Dominasi ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
ماء - طيي إل حيث األفق /وغازل الفضاء - طيي بنا إل األفق ي عانق الس
.( 2009 :95)العيسى،
Thi>ri> bina> ila>l-ufuq – Wagha>zili>l-fadha> / Thi>ri> ila> chaitsul-ufuq - Yu‘a>niqus-sama>ˈ (al-I>sa>, 2009:95).
Terbanglah bersama kami ke kaki langit – dan bercumbu rayulah di
angkasa/ Terbanglah ke ufuk manapun – memeluk langit (al-I>sa>,
2009:95).
Bunyi konsonan bersuara yang digunakan pada bagian pertama syair
ini yaitu bunyi huruf ra>’, ba>’, nu>n, hamzah, la>m, wau, ghain, za>’, dha>d, ya>’,
178
‘ain, dan mi>m. Dominasi bunyi konsonan bersuara pada bagian pertama ini,
menghadirkan sugesti suasana yang riang, bersahabat, dan menyenangkan.
Pada bagian pertama syair ini juga ditemukan salah satu bentuk
repetisi atau pengulangan yaitu simploke. Simploke merupakan repetisi pada
awal dan akhir beberapa baris atau kalimat berturut-turut (Keraf, 2007:128).
Simploke pada bagian pertama ini terjadi pada kata ‚thi>ri>‛ yang diulang pada
awal kalimat pertama dan kedua, serta kata ‚al-ufuq‛ yang diulang pada akhir
kedua kalimat tersebut. Adanya simploke ini berfungsi untuk memberikan
penekanan dan memperoleh makna yang mendalam pada kedua kalimat
tersebut.
Selanjutnya, pada bagian kedua syair juga masih didominasi oleh
bunyi konsonan bersuara. Analisis ini berdasarkan pada kutipan berikut:
ت أجنحة البجع ي يا أسراب البجع /يا أشرعة الريح انطلقي /اشتد األفق راياتك ف /مد
.( 2009 :95)العيسى،
Isytaddat ajnichatul-baja‘i/ Ya> asri‘atar-ri>chi inthaliqi>/ Muddi> ya> asra>bal-baja‘i/ Ra>ya>tiki fi>l-ufuq (al-I>sa>, 2009:95).
Sayap pelikan terentang/ O layar angin bergeraklah/ Edarkanlah
duhai kawanan pelikan/ Pandanganmu di cakrawala (al-I>sa>, 2009:95).
Pada bagian kedua syair ini, bunyi konsonan bersuara yang
digunakan yaitu bunyi huruf hamzah, da>l, ji>>m, nu>n, la>m, ba>’, ‘ain, ya>’, ra>’,
dan mi>m. Penggunaan bunyi konsonan bersuara yang lebih banyak dari pada
bunyi konsonan tidak bersuara menghadirkan efek efoni atau bunyi berirama
dan indah. Efek efoni ini menimbulkan sugesti suasana yang ringan, riang,
dan menyenangkan.
179
Pada bagian kedua ini juga ditemukan salah satu bentuk repetisi, yaitu
epifora. Epifora atau epistrofa merupakan pengulangan kata atau frasa yang
terjadi di akhir baris atau kalimat (Keraf, 2007:128). Epifora pada bagian
kedua ini yaitu berupa pengulangan kata ‚al-baja‘‛ pada akhir baris pertama
dan baris ketiga. Sebagaimana simploke, epifora pada bagian ini berfungsi
untuk memberikan penekanan dan memperoleh makna yang mendalam pada
kedua kata yang diulang tersebut.
Sementara itu, bagian ketiga syair juga masih didominasi oleh
penggunaan bunyi konsonan bersuara. Hal ini dapat dilihat pada kutipan
berikut:
.( 2009 :95)العيسى، نسري كما نشاء - ىذي الغيوم ف لكنا /وملكنا اذلواء - كل البحار ملكنا
Kullul-bicha>ri mulkuna> - Wa mulkuna>l-hawa> / Hadzi>l-ghuyu>mu fulkuna> - Nasri> kama> nasya>ˈ (al-I>sa>, 2009:95).
Seluruh samudera adalah kerajaan kami – dan udarapun kerajaan
kami/ Awan-awan ini juga kerajaan kami – kami melintas sesuka hati
(al-I>sa>, 2009:95).
Bunyi konsonan bersuara yang digunakan pada bagian ketiga syair ini
yaitu bunyi huruf la>m, ba>’, ra>’, mi>m, nu>n, wau, hamzah, dza>l, ghain, dan ya>’.
Hadirnya bunyi-bunyi konsonan bersuara dalam jumlah yang banyak ini
mendukung terciptanya bunyi efoni atau bunyi yang berirama dan merdu.
Bunyi efoni dapat menimbulkan sugesti suasana yang menyenangkan, lapang,
ringan, dan indah.
Pada bagian ketiga ini juga ditemukan salah satu bentuk repetisi yaitu
anadiplosis. Anadiplosis merupakan pengulangan kata atau frasa terakhir dari
suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau frasa pertama dari klausa atau
180
kalimat berikutnya (Keraf, 2007:128). Anadiplosis pada bagian ketiga ini
yaitu berupa pengulangan frasa ‚mulkuna >‛ pada akhir kalimat pertama yang
diulang di awal kalimat yang kedua. Pengulangan ini bertujuan untuk
mendapatkan makna yang mendalam dari kata ‚mulkuna>‛ yang diulang
tersebut.
Selanjutnya, pada bagian keempat syair ini juga didominasi oleh
penggunaan bunyi konsonan bersuara, sebagaimana bagian-bagian syair yang
sebelumnya. Hal ini dapat ditemukan pada kutipan berikut:
أرأي تم أحلى أو أمتع ؟ /وادلاء اجلو األزرق /األوسع اجملهول رواد /نن البجعات الب يضاء
.( 2009 :95)العيسى،
Nachnu al-baja‘a>tul-baidha> u/ Ruwwa>dul-majhu>lil-awsa‘/ Al-jawwul-azraqu wal-ma>ˈu/ Araˈaitum achla> au amta‘? (al-I>sa>, 2009:95).
Kami burung pelikan putih/ Penjelajah tempat-tempat asing yang
luas/ Udara yang biru dan air/ Menurut kalian adakah yang lebih
indah dan menyenangkan dari ini? (al-I>sa>, 2009:95).
Bunyi konsonan bersuara yang digunakan pada bagian keempat syair
ini yaitu bunyi huruf nu>n, la>m, ba>’, ji>m, ‘ain, dha>d, hamzah, ra>’, wau, da>l,
mi>m, dan za>’. Bunyi-bunyi huruf konsonan bersuara ini menimbulkan bunyi
efoni atau bunyi yang merdu dan berirama. Bunyi yang merdu tersebut dapat
mendukung terbentuknya sugesti suasana yang gembira, indah, dan
menyenangkan.
Pada bagian kelima syair ini, juga tetap didominasi oleh penggunaan
bunyi konsonan bersuara. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
رة تاء - ن عود للبحي رة /إذ ي رحل الش .( 2009 :95)العيسى، منازل اآلباء - ىنا... على البحي
181
Na‘u>du lilbuchairati – Idz yarchalusy-syita>ˈ/ Huna> … ‘ala>l-buchairati
– Mana>zilul-a>ba> (al-I>sa>, 2009:95).
Kami kembali ke danau – ketika musim dingin pergi / Di sini ... di
atas danau – Rumah ayah kami (al-I>sa>, 2009:95).
Bunyi konsonan bersuara yang digunakan pada bagian kelima syair ini
yaitu bunyi huruf nu>n, ‘ain, da>l, la>m, ba>’, ra>’, hamzah, dza>l, ya>’, mi>m, dan
za>’. Hadirnya bunyi-bunyi konsonan bersuara dalam jumlah yang banyak ini
mendukung terciptanya bunyi efoni atau bunyi yang berirama dan merdu.
Bunyi efoni dapat menimbulkan sugesti suasana yang gembira,
menyenangkan, dan indah.
Pada bagian kelima syair ini terdapat salah satu jenis repetisi yaitu
epifora. Epifora atau epistrofa merupakan pengulangan kata atau frasa yang
terjadi di akhir baris atau kalimat (Keraf, 2007:128). Epifora pada bagian
kedua ini yaitu berupa pengulangan kata ‚buchairati‛ pada akhir klausa
pertama baris pertama dan klausa pertama baris kedua. Sebagaimana jenis
repetisi lainnya, epifora pada bagian ini berfungsi untuk memberikan
penekanan dan memperoleh makna yang mendalam pada kedua kata yang
diulang tersebut.
Berkenaan dengan irama, syair Ughniyyatul-Baja‘a>t menggunakan
sajak (ritme) dengan pola ab-ab pada tiap bagian syairnya. Ritme dalam
aturan syair Arab dapat disamakan dengan qa>fiah. Meskipun bersajak ab-ab,
namun huruf yang menjadi akhir baris pada tiap bagian syairnya selalu
berbeda-beda. Sementara itu, untuk metrum atau bachr yang berupa irama
tetap dalam syair, tidak digunakan dalam syair ini. Dengan
182
mempertimbangkan keberadaan irama di dalam syair, maka syair
Ughniyyatul-Baja‘a>t ini dapat dikategorikan ke dalam syi’r churr. Syi’r churr
merupakan syair yang tidak terikat dengan irama wazan (metrum) dan qa>fiah
(ritme), tetapi masih terikat dengan satuan irama khusus yang menjadi
karakteristik karya sastra tinggi (Husein dalam Muzakki, 2006:53).
b. Lapis Arti
Lapis arti merupakan rangkaian fonem, suku kata, kata, frase, dan
kalimat. Rangkaian kalimat kemudian membentuk alenia, bab, dan
keseluruhan cerita ataupun keseluruhan sajak. Lapis arti ini ditimbulkan oleh
adanya lapis bunyi, dan merupakan lapis kedua dalam analisis strata norma
Roman Ingarden (Pradopo, 2014:15).
Bagian prolog atau paragraf pengantar syair Ughniyyatul-Baja‘a>t
menceritakan tentang hal-hal yang dilakukan burung-burung pelikan. Analisis
ini berdasarkan pada kutipan berikut:
ت، وىي ت نشد البجعات ف الفضاء الرحب، ب عد أن قويت أجنحت هاوانطلقت واشتد
.( 2009 :95)العيسى،
Wainthalaqat al-baja‘a>tu fi>l-fadha> ir-rachbi, ba‘da an qawiyat ajnichatuha> waisytaddat, wahiya tunsyidu (al-I>sa>, 2009:95).
Burung-burung pelikan menuju ke angkasa yang luas, setelah kuat
sayapnya dan mampu merentang, dia pun bernyanyi (al-I>sa>, 2009:95).
Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa aktifitas yang dilakukan
oleh burung-burung pelikan yaitu mereka terbang ke angkasa yang begitu
luas. Mereka merentang-rentangkan sayap, hingga terasa kuat. Setelah itu
burung-burung pelikan mulai menyanyikan sebuah lagu.
183
Selanjutnya, pada bagian pertama syair berisi nyanyian burung-burung
pelikan yang menceritakan tentang ajakan mereka untuk terbang bersama.
Pernyataan ini berdasarkan pada kutipan berikut:
ماء - طيي إل حيث األفق /وغازل الفضاء - طيي بنا إل األفق ي عانق الس
.( 2009 :95)العيسى،
Thi>ri> bina> ila>l-ufuq – Wagha>zili>l-fadha> / Thi>ri> ila> chaitsul-ufuq - Yu‘a>niqus-sama>ˈ (al-I>sa>, 2009:95).
Terbanglah bersama kami ke kaki langit – dan bercumbu rayulah di
angkasa/ Terbanglah ke ufuk manapun – memeluk langit (al-I>sa>,
2009:95).
Kawanan burung pelikan mengajak yang lainnya untuk terbang
bersama mereka ke kaki langit dan menembus angkasa. Terbang ke arah
manapun untuk mengelilingi langit.
Kemudian, pada bagian kedua syair menceritakan tentang hal-hal yang
dilakukan oleh kawanan pelikan selama terbang mengelilingi langit. Hal-hal
ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
ت أجنحة البجع ي يا أسراب البجع /يا أشرعة الريح انطلقي /اشتد راياتك ف األفق /مد
.( 2009 :95)العيسى،
Isytaddat ajnichatul-baja‘i/ Ya> asri‘atar-ri>chi inthaliqi>/ Muddi> ya> asra>bal-baja‘i/ Ra>ya>tiki fi>l-ufuq (al-I>sa>, 2009:95).
Sayap pelikan terentang/ O layar angin bergeraklah/ Edarkanlah
duhai kawanan pelikan/ Pandanganmu di cakrawala (al-I>sa>, 2009:95).
Saat terbang, burung pelikan merentangkan sayapnya. Sayapnya itu
bak layar yang tergerak-gerak oleh angin. Seekor burung pelikan mengajak
kawanannya untuk mengedarkan pandangan mereka ke cakrawala atau tepi
langit.
184
Sementara itu, bagian ketiga menceritakan tentang segala hal yang
dilihat oleh burung pelikan dan kawanannya ketika mereka terbang
mengelilingi langit. Pernyataan ini nampak pada kutipan berikut:
.( 2009 :95)العيسى، نسري كما نشاء - ىذي الغيوم ف لكنا /وملكنا اذلواء - كل البحار ملكنا
Kullul-bicha>ri mulkuna> - Wa mulkuna>l-hawa> / Hadzi>l-ghuyu>mu fulkuna> - Nasri> kama> nasya>ˈ (al-I>sa>, 2009:95).
Seluruh samudera adalah kerajaan kami – dan udarapun kerajaan
kami/ Awan-awan ini juga kerajaan kami – kami melintas sesuka hati
(al-I>sa>, 2009:95).
Ketika burung pelikan dan kawanannya mengedarkan pandangan dari
atas langit, sebagaimana disebutkan pada bagian kedua syair, mereka melihat
samudera. Mereka berkata bahwa samudera itu adalah kerajaan mereka.
Begitu juga dengan udara dan awan. Burung-burung pelikan itu melintas di
manapun sesuka hati mereka.
Selanjutnya, pada bagian keempat syair berisi tentang pengungkapan
jati diri burung-burung pelikan. Hal ini berdasarkan pada kutipan berikut:
أرأي تم أحلى أو أمتع ؟ /وادلاء اجلو األزرق /األوسع اجملهول رواد /نن البجعات الب يضاء
.( 2009 :95)العيسى،
Nachnu al-baja‘a>tul-baidha> u/ Ruwwa>dul-majhu>lil-awsa‘/ Al-jawwul-azraqu wal-ma>ˈu/ Araˈaitum achla> au amta‘? (al-I>sa>, 2009:95).
Kami burung pelikan putih/ Penjelajah tempat-tempat asing yang
luas/ Udara yang biru dan air/ Menurut kalian adakah yang lebih
indah dan menyenangkan dari ini? (al-I>sa>, 2009:95).
Mereka adalah burung-burung pelikan putih. Burung pelikan putih
adalah penjelajah berbagai tempat-tempat. Terkadang mereka menjelajahi
udara dan terkadang air. Semuanya terasa begitu indah dan menyenangkan
bagi mereka.
185
Sedangkan pada bagian kelima syair Ughniyyatul-Baja‘a>t ini berisi
tentang hal yang dilakukan burung pelikan ketika musim dingin berakhir.
Analisis ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
رة تاء - ن عود للبحي رة /إذ ي رحل الش .( 2009 :95)العيسى، منازل اآلباء - ىنا... على البحي
Na‘u>du lilbuchairati – Idz yarchalusy-syita>ˈ/ Huna> … ‘ala>l-buchairati
– Mana>zilul-a>ba> (al-I>sa>, 2009:95).
Kami kembali ke danau – ketika musim dingin pergi / Di sini ... di
atas danau – Rumah ayah kami (al-I>sa>, 2009:95).
Pada saat musim dingin berakhir, kawanan burung pelikan akan
kembali ke danau. Di danau itulah tempat tinggal mereka. Danau itu pulalah
yang menjadi rumah ayah-ayah mereka.
c. Lapis Hal-Hal yang Dikemukakan
Lapis satuan arti menimbulkan lapis ketiga yaitu berupa hal-hal yang
dikemukakan. Hal-hal yang dikemukakan tersebut yaitu subjek (pelaku),
latar, objek yang dikemukakan, dan dunia pengarang (Pradopo, 2014:18).
Pada syair Ughniyyatul-Baja‘a>t ini, subjek atau pelakunya yaitu
burung-burung pelikan. Analisis ini berdasarkan pada kutipan berikut:
ت، وىي ت نشد أن قويت أجنحت هاوانطلقت البجعات ف الفضاء الرحب، ب عد واشتد
.( 2009 :95)العيسى،
Wainthalaqat al-baja‘a>tu fi>l-fadha> ir-rachbi, ba‘da an qawiyat ajnichatuha> waisytaddat, wahiya tunsyidu (al-I>sa>, 2009:95).
Burung-burung pelikan menuju ke angkasa yang luas, setelah kuat
sayapnya dan mampu merentang, dia pun bernyanyi (al-I>sa>, 2009:95).
Burung-burung pelikan menjadi pelaku dalam syair ini karena dialah
yang melakukan aktivitas terbang menuju angkasa. Dia pulalah yang
186
menyanyikan senandung, sebagaimana tertuang di dalam setiap bagian syair.
Pernyataan bahwa burung-burung pelikan adalah pelaku (subjek) juga
dipertegas dengan penggunaan kata ganti persona “kami” pada tiap bagian
syair.
Setelah subjek, hal yang dikemukakan selanjutnya adalah latar. Latar
yang terdapat pada syair Ughniyyatul-Baja‘a>t berupa latar tempat. Latar
tempat pada syair ini secara keseluruhan yaitu terjadi di angkasa. Pernyataan
ini berdasarkan pada kutipan berikut:
ت، وىي ت نشد ت أجنحت هاوانطلقت البجعات ف الفضاء الرحب، ب عد أن قوي واشتد
.( 2009 :95)العيسى،
Wainthalaqat al-baja‘a>tu fi>l-fadha> ir-rachbi, ba‘da an qawiyat ajnichatuha> waisytaddat, wahiya tunsyidu (al-I>sa>, 2009:95).
Burung-burung pelikan menuju ke angkasa yang luas, setelah kuat
sayapnya dan mampu merentang, dia pun bernyanyi (al-I>sa>, 2009:95).
Dari kutipan paragraf pengantar atau prolog di atas ditemukan latar
tempat berupa angkasa yang luas. Di angkasa yang luas itulah, kawanan
burung pelikan terbang, mengepak-ngepakkan sayapnya sambil bernyanyi.
Pada beberapa bagian syair Ughniyyatul-Baja‘a>t ini juga ditemukan latar
tempat seperti al-ufuq (kaki langit), as-sama>' (langit), al-bicha>r (samudera),
dan lain sebagainya, namun latar-latar tempat yang ditemukan pada bagian-
bagian syair ini mendukung keberadaan latar utama yaitu fi>l-fadha>ˈir-rachbi
(angkasa yang luas) sebagaimana disebutkan pada bagian prolog. Adapun
pada bagian kelima syair terdapat latar tempat berupa al-buchairati (danau).
187
Selain latar tempat, latar yang terdapat pada syair ini yaitu latar
waktu. Latar waktu ditemukan pada bagian kelima syair, sebagaimana dapat
dilihat pada kutipan berikut:
رة تاء - ن عود للبحي رة /إذ ي رحل الش .( 2009 :95)العيسى، منازل اآلباء - ىنا... على البحي
Na‘u>du lilbuchairati – Idz yarchalusy-syita>ˈ/ Huna> … ‘ala>l-buchairati
– Mana>zilul-a>ba> (al-I>sa>, 2009:95).
Kami kembali ke danau – ketika musim dingin pergi / Di sini ... di
atas danau – Rumah ayah kami (al-I>sa>, 2009:95).
Pada bagian kelima ini disebutkan bahwa kami „kawanan burung
pelikan‟ akan kembali ke danau, ketika musim dingin pergi. Karena di danau
itulah mereka tinggal. Di rumah ayah mereka. Jadi musim dingin menjadi
keterangan waktu pada syair ini, khususnya di bagian kelima syair ini.
Setelah subjek dan latar, hal yang dikemukakan selanjutnya adalah
objek. Pada bagian pertama syair, objek yang dikemukakan berupa kata ganti
persona kedua perempuan (anti). Analisis ini berdasarkan pada kutipan
berikut:
ماء - طيي إل حيث األفق /وغازل الفضاء - طيي بنا إل األفق ي عانق الس
.( 2009 :95)العيسى،
Thi>ri> bina> ila>l-ufuq – Wagha>zili>l-fadha> / Thi>ri> ila> chaitsul-ufuq - Yu‘a>niqus-sama>ˈ (al-I>sa>, 2009:95).
Terbanglah bersama kami ke kaki langit – dan bercumbu rayulah di
angkasa/ Terbanglah ke ufuk manapun – memeluk langit (al-I>sa>,
2009:95).
Kata ganti persona kedua perempuan (anti) ini menjadi objek dari
verba imperatif (kalimat perintah) ‚thi>ri >‛. Thi>ri> yang berarti terbanglah,
merupakan bentuk fi‘il amr untuk fa>‘il ‚anti‛ atau kamu perempuan. Selain
188
“anti” pada bagian pertama ini juga ditemukan objek yaitu kita, ufuk,
angkasa, dan langit. Keempat hal tersebut berkedudukan sebagai objek
karena menjadi isi dari nyanyian burung pelikan.
Selanjutnya, pada bagian kedua syair, objek yang dikemukakan yaitu
layar angin, kawanan pelikan, dan pandangan (kawanan pelikan). Ketiga
objek ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
ت أجنحة البجع ي يا أسراب البجع /أشرعة الريح انطلقييا /اشتد راياتك ف األفق /مد
.( 2009 :95)العيسى،
Isytaddat ajnichatul-baja‘i/ Ya> asri‘atar-ri>chi inthaliqi>/ Muddi> ya> asra>bal-baja‘i/ Ra>ya>tiki fi>l-ufuq (al-I>sa>, 2009:95).
Sayap pelikan terentang/ O layar angin bergeraklah/ Edarkanlah
duhai kawanan pelikan/ Pandanganmu di cakrawala (al-I>sa>, 2009:95).
Layar angin, kawanan pelikan berkedudukan sebagai objek pada
bagian kedua ini karena kedua hal tersebut menjadi sasaran sapaan yang
terdapat pada isi nyanyian burung pelikan. Sementara itu, pandangan burung
pelikan berperan sebagai objek karena menjadi sasaran perbuatan kawanan
burung pelikan, yaitu mengedarkan pandangan. Selain ketiga hal tersebut,
sayap pelikan dan cakrawala juga berkedudukan sebagai objek dalam bagian
ini karena keduanya menjadi isi dari nyanyian burung pelikan.
Kemudian pada bagian ketiga, objek yang dikemukakan yaitu seluruh
samudera, kerajaan kami, udara, dan awan-awan. Objek-objek tersebut dapat
ditemukan pada kutipan berikut ini:
.( 2009 :95)العيسى، نسري كما نشاء - ىذي الغيوم ف لكنا /وملكنا اذلواء - كل البحار ملكنا
Kullul-bicha>ri mulkuna> - Wa mulkuna>l-hawa> / Hadzi>l-ghuyu>mu fulkuna> - Nasri> kama> nasya>ˈ (al-I>sa>, 2009:95).
189
Seluruh samudera adalah kerajaan kami – dan udarapun kerajaan
kami/ Awan-awan ini juga kerajaan kami – kami melintas sesuka hati
(al-I>sa>, 2009:95).
Samudera, kerajaan kami, udara, dan awan-awan berperan sebagai
objek pada bagian ketiga syair ini. Pernyataan ini disebabkan karena hal-hal
tersebut menjadi isi dari nyanyian burung pelikan dan kawanannya.
Sementara itu, pada bagian keempat, objek yang dikemukakan yaitu
tempat-tempat asing yang luas, udara yang biru, air, kalian, serta sesuatu
yang lebih indah dan menyenangkan. Objek-objek tersebut dapat dilihat pada
kutipan berikut:
أحلى أو أمتع ؟ أرأي تم /وادلاء اجلو األزرق /األوسع اجملهول رواد /نن البجعات الب يضاء
.( 2009 :95)العيسى،
Nachnu al-baja‘a>tul-baidha> u/ Ruwwa>dul-majhu>lil-awsa‘/ Al-jawwul-azraqu wal-ma>ˈu/ Araˈaitum achla> au amta‘? (al-I>sa>, 2009:95).
Kami burung pelikan putih/ Penjelajah tempat-tempat asing yang
luas/ Udara yang biru dan air/ Menurut kalian adakah yang lebih
indah dan menyenangkan dari ini? (al-I>sa>, 2009:95).
Tempat-tempat asing berperan sebagai objek karena menjadi tujuan
aktivitas penjelajahan yang dilakukan oleh kawanan burung pelikan, begitu
juga dengan udara yang biru dan air. Sementara itu, kalian serta sesuatu yang
lebih menyenangkan dan indah juga berkedudukan sebagai objek dalam
bagian keempat syair ini karena keduanya menjadi isi dari pertanyaan burung
pelikan.
Setelah objek, hal yang dikemukakan selanjutnya adalah dunia
pengarang. Dunia pengarang merupakan gabungan dan jalinan antara objek-
objek yang dikemukakan, latar, pelaku, serta struktur ceritanya (Pradopo,
190
2014:18). Dunia pengarang pada syair Ughniyyatul-Baja‘a>t yaitu sebagai
berikut:
Burung-burung pelikan terbang menuju angkasa yang luas, setelah
sayapnya kuat dan mampu terentang, burung-burung itu mulai bernyanyi.
Nyanyian itu berisi tentang kehidupan mereka. Mereka terbang bersama ke
kaki langit dan bercumbu rayu di angkasa. Burung-burung pelikan itu terbang
ke manapun sesuka hati mereka. Mereka juga mengajak yang lainnya untuk
terbang bersama dan mengedarkan pandangan ke cakrawala luas.
Samudera, udara dan awan menjadi kerajaan bagi mereka. Mereka
adalah sang penjelajah. Terkadang mereka di terbang di udara, lalu menyelam
ke dalam air. Bagi mereka, semua itu terasa indah dan menyenangkan.
Saat musim dingin telah berakhir, burung-burung pelikan akan
kembali ke rumah-rumah mereka di tepi danau. Di atas danau itulah burung-
burung pelikan dan orang tua mereka tinggal.
d. Lapis dunia
Lapis dunia merupakan lapis keempat dalam analisis strata nora
Roman Ingarden. Lapis ini tidak perlu dinyatakan secara gamblang, namun
dapat dipahami secara implisit (Pradopo, 2014:15).
Lapis dunia pada bagian pertama syair yaitu berupa kebiasaan burung-
burung pelikan untuk terbang berkelompok. Analisis ini berdasarkan pada
kutipan berikut:
ماء - طيي إل حيث األفق /وغازل الفضاء - طيي بنا إل األفق ي عانق الس
.( 2009 :95)العيسى،
191
Thi>ri> bina> ila>l-ufuq – Wagha>zili>l-fadha> / Thi>ri> ila> chaitsul-ufuq - Yu‘a>niqus-sama>ˈ (al-I>sa>, 2009:95).
Terbanglah bersama kami ke kaki langit – dan bercumbu rayulah di
angkasa/ Terbanglah ke ufuk manapun – memeluk langit (al-I>sa>,
2009:95).
Meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit bahwa burung-burung
pelikan suka terbang dengan cara berkelompok, akan tetapi pernyataan ini
telah implisit di dalam kalimat “Terbanglah bersama kami ke kaki langit”.
Pada kenyataannya, burung-burung pelikan selalu terbang dengan
berkelompok dan membentuk formasi huruf V. Hal ini bertujuan untuk
meminimalkan paparan angin terhadap tubuh mereka yang besar dan juga
sebagai bentuk pertahanan terhadap berbagai gangguan lainnya.
Lapis dunia pada syair ini juga ditemukan pada bagian kedua syair
yang menjelaskan tentang sayap burung pelikan. Hal ini dapat dilihat pada
kutipan berikut:
ت أجنحة البجع ي يا أسراب البجع /يا أشرعة الريح انطلقي /اشتد راياتك ف األفق /مد
.( 2009 :95)العيسى،
Isytaddat ajnichatul-baja‘i/ Ya> asri‘atar-ri>chi inthaliqi>/ Muddi> ya> asra>bal-baja‘i/ Ra>ya>tiki fi>l-ufuq (al-I>sa>, 2009:95).
Sayap pelikan terentang/ O layar angin bergeraklah/ Edarkanlah
duhai kawanan pelikan/ Pandanganmu di cakrawala (al-I>sa>, 2009:95).
Pada bagian kedua syair ini, terdapat pemanfaatan majas metafora
yaitu menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau seharga dengan hal
lain, yang sesungguhnya tidak sama (Altenbernd dalam Pradopo, 2014:67).
Majas metafora pada bagian ini berupa penggambaran sayap burung pelikan
yang terentang seperti layar angin yang bergerak-gerak. Hal ini menunjukkan
192
bahwa burung pelikan memiliki sayap yang lebar. Memang pada
kenyataannya, burung pelikan atau biasa disebut burung undan ini, memiliki
lebar sayap hingga lebih dari tiga meter. Sayap lebarnya inilah yang membuat
tubuh besarnya dapat terbang.
Selanjutnya, lapis dunia yang dikemukakan pada bagian ketiga yaitu
berupa tempat-tempat yang menjadi habitat bagi kawanan burung pelikan.
Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
.( 2009 :95)العيسى، نسري كما نشاء - ىذي الغيوم ف لكنا /وملكنا اذلواء - كل البحار ملكنا
Kullul-bicha>ri mulkuna> - Wa mulkuna>l-hawa> / Hadzi>l-ghuyu>mu fulkuna> - Nasri> kama> nasya>ˈ (al-I>sa>, 2009:95).
Seluruh samudera adalah kerajaan kami – dan udarapun kerajaan
kami/ Awan-awan ini juga kerajaan kami – kami melintas sesuka hati
(al-I>sa>, 2009:95).
Habitat bagi burung pelikan adalah air, udara, dan darat. Selain lihai
berenang di perairan untuk mencari ikan, burung pelikan juga lincah
mengepak-ngepakkan sayapnya untuk terbang di udara. Burung pelikan juga
mampu tinggal di daratan, akan tetapi geraknya tidak segesit saat sedang di
air atau di udara. Pernyataan-pernyataan tersebut tidak diungkapkan secara
eksplisit dalam syair, akan tetapi sudah implisit pada kata-kata yang tertuang
di bagian ketiga syair ini. Pada bagian ketiga syair ini disebutkan bahwa
samudera dan udara merupakan kerajaan bagi burung pelikan.
Adapun pada bagian kelima syair ini, juga ditemukan lapis dunia yaitu
berupa pernyataan bahwa burung-burung pelikan akan kembali ke danau
ketika musim dingin telah berakhir. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada
kutipan berikut:
193
رة تاء - ن عود للبحي رة ىنا... على /إذ ي رحل الش .( 2009 :95)العيسى، منازل اآلباء - البحي
Na‘u>du lilbuchairati – Idz yarchalusy-syita>ˈ/ Huna> … ‘ala>l-buchairati
– Mana>zilul-a>ba> (al-I>sa>, 2009:95).
Kami kembali ke danau – ketika musim dingin pergi / Di sini ... di
atas danau – Rumah ayah kami (al-I>sa>, 2009:95).
Pada kutipan di atas, disebutkan bahwa burung-burung pelikan
tersebut hanya akan kembali ke danau ketika musim dingin telah berakhir.
Hal ini sesuai dengan kenyataan yang ada bahwa hanya pada saat musim
panas saja burung-burung pelikan tersebut akan berkumpul di tepi-tepi pantai
atau danau untuk bereproduksi dan berkembang biak.
e. Lapis Metafisis
Lapis metafisis adalah lapis yang menyebabkan pembaca
berkontemplasi atau melakukan perenungan. Lapis metafisis merupakan lapis
kelima dalam strata norma Roman Ingarden yang berupa sifat-sifat metafisis
(sublim, tragis, mengerikan, menakutkan, suci, dan lainnya). Dengan
hadirnya sifat-sifat inilah seorang pembaca akan melakukan sebuah
perenungan. Akan tetapi tidak semua karya sastra mengandung lapis metafisis
ini (Pradopo, 2014:15).
Karya sastra yang mengandung lapis metafisis merupakan karya sastra
yang mencapai tingkatan keempat atau niveau human dan kelima atau niveau
religius (filosofis) dalam tingkatan pengalaman jiwa. Adapun tingkatan
pertama atau niveau anorganis yang terjelma pada karya sastra hanya berupa
pola bunyi, irama, baris, sajak, alenia, kalimat, gaya bahasa dan sebagainya.
Untuk tingkatan kedua atau niveau vegetatif yang terjelma dalam karya sastra
194
berupa suasana-suasana yang ditimbulkan oleh rangkaian-rangkaian kata-kata
itu. Tingkatan ketiga atau niveau animal merupakan tingkatan yang dicapai
oleh binatang dan sudah ada nafsu jasmaniahnya. Tingkatan ini jika terjelma
dalam kata berupa nafsu-nafsu naluriah seperti makan, minum, dan
sebagainya (Pradopo, 1994:55-59).
Sementara itu, tingkatan pengalaman jiwa keempat atau niveau human
jika terjelma ke dalam karya sastra dapat berupa renungan-renungan batin dan
moral, konflik kejiwaan, rasa simpati dan segala pengalaman yang dirasakan
manusia. Sedangkan tingkatan kelima atau niveau religius (filosofis) berupa
renungan batin sampai hakikat, hubungan tuhan dengan manusia, renungan
filsafat dan metafisis, dan sebagainya (Pradopo, 1994:58).
Renungan pada tingkatan niveau human pada syair Ughniyyatul-
Baja‘a>t yaitu berupa rasa kebersamaan yang ditunjukkan oleh kawanan
burung pelikan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
ماء - طيي إل حيث األفق /وغازل الفضاء - طيي بنا إل األفق ي عانق الس
.( 2009 :95)العيسى،
Thi>ri> bina> ila>l-ufuq – Wagha>zili>l-fadha> / Thi>ri> ila> chaitsul-ufuq - Yu‘a>niqus-sama>ˈ (al-I>sa>, 2009:95).
Terbanglah bersama kami ke kaki langit – dan bercumbu rayulah di
angkasa/ Terbanglah ke ufuk manapun – memeluk langit (al-I>sa>,
2009:95).
Burung-burung pelikan terbang bersama-sama menuju ke kaki langit.
Mereka bahkan mengajak yang lainnya untuk terbang bersama. Karena
dengan kebersamaan di antara kawanan burung pelikan tersebut, membuat
mereka lebih kuat untuk menerjang terpaan angin dan melindungi diri dari
195
musuh. Rasa kebersamaan ini juga ada pada diri manusia yang merupakan
human social.
Sementara itu, renungan pada tingkatan niveau religius (filosofis)
yaitu berupa rasa kekaguman terhadap mahakarya Tuhan yang begitu indah.
Hal ini ditunjukkan oleh perkataan burung-burung pelikan pada kutipan
berikut:
أرأي تم أحلى أو أمتع ؟ /وادلاء اجلو األزرق /األوسع اجملهول رواد /نن البجعات الب يضاء
.( 2009 :95)العيسى،
Nachnu al-baja‘a>tul-baidha> u/ Ruwwa>dul-majhu>lil-awsa‘/ Al-jawwul-azraqu wal-ma>ˈu/ Araˈaitum achla> au amta‘? (al-I>sa>, 2009:95).
Kami burung pelikan putih/ Penjelajah tempat-tempat asing yang
luas/ Udara yang biru dan air/ Menurut kalian adakah yang lebih
indah dan menyenangkan dari ini? (al-I>sa>, 2009:95).
Kekaguman burung-burung pelikan terhadap ciptaan Tuhan, seperti
keindahan tempat-tempat asing yang mereka kunjungi, udara, dan air
diungkapkan dengan pada kata-kata “Menurut kalian adakah yang lebih indah
dan menyenangkan dari ini?”. Keindahan ciptaan tuhan yang ada di dunia ini
membuat burung-burung pelikan bahagia dan terpesona. Keindahan Tuhan
yang menyublim di antara ciptaan-ciptaan-Nya membuat burung-burung
pelikan tidak mampu lagi memikirkan keindahan yang lainnya.
Berdasarkan hasil analisis syair keenam dengan memanfaatkan teori
strata norma Roman Ingarden yang terdiri dari lapis bunyi, lapis arti, lapis
hal-hal yang dikemukakan, lapis dunia dan lapis metafisis, dapat disimpulkan
secara keseluruhan bahwa syair yang berjudul Ughniyyatul-Baja‘a>t karya
Sulaima>n al-I>sa> masuk dalam kategori syi‘r churr. Syair ini mengusung tema
196
“pengembaraan” ( الرواد). Isi syair ini menceritakan tentang kawanan burung
pelikan putih sebagai pelaku utama dalam syair ini. Kawanan burung pelikan
putih merupakan sosok pengembara yang menjelajahi tempat-tempat asing.
Mereka menguasai samudera dan udara. Pengembaraan yang dilakukan oleh
kawanan burung pelikan sebagaimana dipaparkan dalam syair ini
mengingatkan kepada pembaca akan sikap aktif dan dinamis yang harus
dimiliki oleh setiap makhluk hidup. Kehidupan ini terus bergerak, untuk itu
yang hidup pun juga harus terus bergerak.
2. Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Karakter
Syair merupakan salah satu genre sastra, karena itu tentunya mengandung
pesan dan amanat yang hendak disampaikan oleh mengarangnya. Terlebih puisi
yang ditujukan untuk pembaca anak-anak, pesan dan amanat yang berupa nilai-
nilai pendidikan karakter sangat ditekankan. Hal ini mengingat usia anak-anak
merupakan usia yang tepat untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan karakter.
Penanaman nilai-nilai pendidikan karakter ini, bisa melalui berbagai
media, salah satunya syair. Hanya saja, seringkali nilai-nilai pendidikan karakter
ini tidak disebutkan secara eksplisit, akan tetapi implisit di dalam rangkaian kata-
kata syair yang indah. Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan adanya analisis
terhadap nilai-nilai pendidikan karakter tersebut, sehingga memudahkan anak-
anak untuk memahaminya.
Analisis nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung di dalam syair
Ughniyyatul-Baja‘a>t ini, berlandaskan pada sembilan pilar nilai-nilai karakter
197
menurut Kemendiknas dalam UU No. 20 tahun 2003 pasal 3 (Samani, 2013:106).
Berdasarkan sembilan pilar tersebut, nilai-nilai pendidikan karakter dalam syair
ini yaitu sebagai berikut:
a. Cinta Tuhan dan Segenap Ciptaan-Nya
Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya merupakan karakter pertama
dalam sembilan pilar nilai-nilai karakter menurut Kemendiknas dalam UU
No. 20 tahun 2003 pasal 3 (Samani, 2013:106). Karakter ini perlu ditanamkan
pada diri seorang anak sejak dini, sehingga anak tumbuh menjadi pribadi
yang bersyukur, mencintai semua ciptaan Tuhan, dan mau menjaga
lingkungan sekitarnya. Pada syair ini, karakter tersebut ditampilkan oleh
perkataan burung-burung pelikan, sebagaimana terdapat dalam kutipan
berikut:
أرأي تم أحلى أو أمتع ؟ /وادلاء اجلو األزرق /األوسع اجملهول رواد /نن البجعات الب يضاء
.( 2009 :95)العيسى،
Nachnu al-baja‘a>tul-baidha> u/ Ruwwa>dul-majhu>lil-awsa‘/ Al-jawwul-azraqu wal-ma>ˈu/ Araˈaitum achla> au amta‘? (al-I>sa>, 2009:95).
Kami burung pelikan putih/ Penjelajah tempat-tempat asing yang
luas/ Udara yang biru dan air/ Menurut kalian adakah yang lebih indah
dan menyenangkan dari ini? (al-I>sa>, 2009:95).
Burung-burung pelikan sangat menikmati perjalanan mereka
menjelajahi satu tempat dan berpindah ke tempat yang lain. Semua yang
mereka lihat, udara dan air, membuat mereka merasa senang. Mereka
terpesona dengan keindahan mahakarya Tuhan, yang mereka lihat saat tengah
berkelana. Hal itu membuat mereka bertanya “adakah yang lebih indah dan
menyenangkan dari ini?”. Pertanyaan ini membuktikan bahwa burung-burung
198
pelikan tersebut mensyukuri kesempatan yang diberikan Tuhan untuk melihat
segenap ciptaan-Nya yang indah.
Dari sikap burung-burung pelikan tersebut, dapat disampaikan kepada
anak-anak bahwa sudah selayaknya manusia mencintai segala ciptaan Tuhan
yang ada di bumi ini. Rasa cinta tersebut dapat ditunjukkan dengan cara turut
serta dalam menjaga dan melestarikan lingkungan atau ekosistem yang ada di
bumi. Mencintai ciptaan-Nya merupakan salah satu bentuk cinta kepada-Nya.
b. Kebersamaan
Kebersamaan merupakan penjabaran dari nilai karakter kesembilan
“Toleransi, kedamaian, dan kesatuan” berdasarkan sembilan pilar nilai-nilai
karakter menurut Kemendiknas dalam UU No. 20 tahun 2003 pasal 3
(Samani, 2013:106). Nilai karakter kebersamaanditunjukkan oleh sikap
burung-burung pelikan, sebagaimana terdapat pada kutipan berikut:
ماء - طيي إل حيث األفق /وغازل الفضاء - طيي بنا إل األفق ي عانق الس
.( 2009 :95)العيسى،
Thi>ri> bina> ila>l-ufuq – Wagha>zili>l-fadha> / Thi>ri> ila> chaitsul-ufuq - Yu‘a>niqus-sama>ˈ (al-I>sa>, 2009:95).
Terbanglah bersama kami ke kaki langit – dan bercumbu rayulah di
angkasa/ Terbanglah ke ufuk manapun – memeluk langit (al-I>sa>,
2009:95).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa burung-burung pelikan terbang
secara berkelompok menuju ke kaki langit. Mereka bahkan mengajak yang
lainnya untuk terbang bersama. Karena dengan kebersamaan di antara
kawanan burung pelikan tersebut, membuat mereka lebih kuat untuk
menerjang terpaan angin dan melindungi diri dari musuh.
199
Dari sikap yang ditunjukkan oleh burung-burung pelikan ini, dapat
disampaikan kepada anak-anak bahwa kebersamaan itu sangatlah penting.
Terlebih sebagai makhluk sosial, manusia sangat membutuhkan bantuan
orang lain dan tidak dapat hidup sendiri. Dengan memiliki rasa kebersamaan
maka manusia akan mudah mencapai hal-hal yang diinginkan. Dengan
kebersamaan pula manusia akan lebih mudah mengatasi berbagai masalah
dan gangguan yang datang. Mengingat hal itu, maka nilai karakter
kebersamaan perlu ditanamkan pada diri seorang anak sejak dini, agar dia
terbiasa untuk bekerja sama dengan orang lain.
c. Aktif dan Dinamis
Karakter aktif dan dinamis merupakan penjabaran dari karakter
keenam dalam sembilan pilar nilai-nilai karakter menurut Kemendiknas
dalam UU No. 20 tahun 2003 pasal 3 yaitu percaya diri dan kerja keras
(Samani, 2013:106). Karakter aktif dan dinamis pada syair ini ditunjukkan
oleh sikap burung-burung pelikan yang suka mengunjungi tempat-tempat
asing, sebagaimana disebutkan pada kutipan berikut:
أرأي تم أحلى أو أمتع ؟ /اجلو األزرق وادلاء /األوسع اجملهول رواد /نن البجعات الب يضاء
.( 2009 :95)العيسى،
Nachnu al-baja‘a>tul-baidha> u/ Ruwwa>dul-majhu>lil-awsa‘/ Al-jawwul-azraqu wal-ma>ˈu/ Araˈaitum achla> au amta‘? (al-I>sa>, 2009:95).
Kami burung pelikan putih/ Penjelajah tempat-tempat asing yang
luas/ Udara yang biru dan air/ Menurut kalian adakah yang lebih
indah dan menyenangkan dari ini? (al-I>sa>, 2009:95).
Pada bagian syair di atas disebutkan bahwa burung pelikan putih
adalah penjelajah tempat-tempat asing. Ini membuktikan bahwa burung
pelikan suka berpindah dan aktif bergerak dari satu tempat ke tempat yang
200
lain. Terkadang dia di udara, terkadang di darat, dan tidak jarang juga di air.
Hal ini menjadikan burung pelikan mudah beradaptasi dengan lingkungannya.
Dari sikap yang ditunjukkan burung pelikan ini, dapat disampaikan
kepada anak-anak bahwa karakter aktif dan dinamis sangat diperlukan.
Manusia harus selalu bergerak dan tidak boleh diam saja. Karakter aktif dan
dinamis penting ada pada diri seseorang, karena tanpa kedua karakter
tersebut, seseorang akan menjadi pribadi yang tertutup, pemalas, dan tidak
berkembang. Dengan karakter aktif dan dinamis pula, seseorang akan lebih
mudah menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan masyarakat dan
perkembangan zaman.
201
G. Syair Ke-7
أغنية العنز ، وىي عائدة مع ز العجوز ت قفز وت غن الفلح من الغابة. صديقهاكانت العن
فة ز لطي أنا عن
أقضم العشب ف اجلبل
وصديقي مزارع
ي عشق األرض والعمل
كنت يوما رفيقة
زارع
لصديقي ادل
قال ل : تلك غابة
ملئت بالروائع
فاسرحي وامرحي با
وأنا اقطع احلطب
طيبا آه.. كم كان
عاشق األرض والت عب!
Ughniyyatul-‘Anz
Kana>t al-‘anzu al-‘aju>zu taqfizu wa tughanni>, wahiya ‘a>ˈidatun ma‘a shadi>qiha>
al-falla>chu minal-gha>bah.
Ana> ‘anzun lathi>fatun
Aqdhimul-‘usyba fi>l-jabal
Wa shadi>qi> muza>ri‘un
Ya‘syaqul-ardha wal-‘amal
Kuntu yauman rafi>qatan
Lishadi>qi>l-muza>ri‘i
Qa>la li> : Tilka gha>batun
201
202
Muliˈat bir-rawa> i‘i
Fasrachi> wamrachi> biha>
Wa ana> aqtha‘ul-chatab
Ah.. Kam ka>na thayyiban
‘A>syiqul-ardhi wat-ta‘ab!
Nyanyian Kambing Betina
Seekor kambing betina tua melompat dan bernyanyi. Ia bersama petani,
sahabatnya kembali dari hutan.
Aku seekor kambing betina yang lembut
Kugigit rerumputan di gunung
Dan sahabatku si petani
Asyik dengan tanah dan pekerjaannya
Seharian aku menemani
Sahabatku, si petani
Dia berkata kepadaku: itu adalah hutan
Yang penuh dengan keindahan
Beristirahatlah dan bersenang-senanglah engkau di dalamnya
Sementara aku akan memotong kayu bakar
Ah .. betapa baiknya dia
Sang kekasih tanah dan rasa lelah!
1. Analisis Strata Norma Roman Ingarden
a. Lapis Bunyi
Lapis bunyi merupakan lapis pertama dalam analisis strata norma
Roman Ingarden. Bunyi di dalam puisi digunakan sebagai orkestrasi atau
untuk menimbulkan bunyi musik. Bunyi konsonan dan vokal disusun
sedemikian rupa sehingga menimbulkan bunyi merdu dan berirama seperti
bunyi musik. Dari bunyi musik inilah mengalir perasaan, imajinasi-imajinasi
203
dalam pikiran atau pengalaman-pengalaman jiwa pendengarnya (Pradopo,
2014:27).
Kombinasi bunyi-bunyi vokal (asonansi): a, e, i, o, u; bunyi-bunyi
konsonan bersuara (voiced): b, d, g, j, dan sebagainya; bunyi likuida atau
bunyi yang keluar dari sela-sela ujung lidah yang menempel pada ceruk gigi:
r, l; dan bunyi sengau: m, n, ng, ny menimbulkan efek efoni atau bunyi merdu
dan berirama. Bunyi yang merdu itu dapat mendukung suasana yang mesra,
kasih sayang, gembira, dan bahagia. Sebaliknya, kombinasi bunyi yang tidak
merdu dan parau yang disebabkan oleh bunyi konsonan tidak bersuara
(unvoiced) dapat untuk memperkuat suasana yang tidak menyenangkan,
kacau balau, serba tidak teratur, bahkan memuakkan. Kombinasi bunyi tidak
merdu dan parau disebut dengan kakofoni (Pradopo, 2014: 29-31).
Syair Ughniyyatul-‘Anz terdiri dari empat bait. Sebelum memasuki
bait syair, terdapat paragraf pengantar atau prolog yang bertujuan untuk
mengantarkan pembaca memasuki suasana yang ada di dalam syair tersebut.
Paragraf pengantar ini didominasi oleh penggunaan bunyi konsonan bersuara
(voiced) seperti huruf nu>n, la>m, ‘ain, za>’, ji>m, ghain, wau, hamzah, da>l, mi>m,
dan ba>’. Analisis ini berdasarkan pada kutipan berikut:
، وىي عائدة مع ز العجوز ت قفز وت غن ،العيسى ) صديقها الفلح من الغابة كانت العن 167: 2009 ).
Kana>t al-‘anzu al-‘aju>zu taqfizu wa tughanni>, wahiya ‘a>ˈidatun ma‘a
shadi>qiha> al-falla>chu minal-gha>bah (al-I>sa>, 2009:167).
Seekor kambing betina tua melompat dan bernyanyi. Ia bersama
petani, sahabatnya kembali dari hutan (al-I>sa>, 2009:167).
204
Dominasi penggunaan bunyi konsonan bersuara ini menimbulkan
sugesti suasana yang menyenangkan, mesra, dan penuh kasih sayang. Hal ini
dipertegas juga dengan adanya aliterasi atau pengulangan bunyi konsonan
tertentu yang dominan di dalam puisi. Aliterasi di dalam syair ini berupa
pengulangan bunyi konsonan bersuara yaitu huruf za>’ seperti pada kata al-
‘anzu, al-‘aju>zu, dan taqfizu. Za>’ merupakan bunyi konsonan bersuara.
Adanya aliterasi penggunaan bunyi za>’ mempertegas suasana yang
menyenangkan, mesra, dan penuh kasih sayang.
Selanjutnya, bait pertama didominasi oleh penggunaan bunyi
konsonan bersuara (voiced) seperti huruf hamzah, ‘ain, za>’, dha>d, ba>’, ji>m,
wau, da>l, dan ya>’, bunyi likuida atau bunyi yang keluar dari sela-sela ujung
lidah yang menempel pada ceruk gigi seperti la>m dan ra>’ serta bunyi sengau
seperti mi>m dan nu>n. Anis (1999:22) memasukkan bunyi likuida (la>m dan
ra>’) dan bunyi sengau (mi>m dan nu>n) ke dalam kategori bunyi konsonan
bersuara (majhu>r). Dominasi penggunaan bunyi konsonan bersuara ini dapat
dilihat dalam kutipan berikut:
فة ز لطي ي عشق األرض والعمل /وصديقي مزارع /ضم العشب ف اجلبل أق /أنا عن
.( 2009 :167)العيسى،
Ana> ‘anzun lathi>fatun/ Aqdhimul-‘usyba fi>l-jabal/ Wa shadi>qi>
muza>ri‘un/ Ya‘syaqul-ardha wal-‘amal (al-I>sa>, 2009:167).
Aku seekor kambing betina yang lembut/ Kugigit rerumputan di
gunung/ Dan sahabatku si petani/ Asyik dengan tanah dan
pekerjaannya (al-I>sa>, 2009:167).
205
Dominasi penggunaan bunyi konsonan bersuara ini menimbulkan
sugesti suasana yang mesra dan penuh kasih sayang. Di dalam bait pertama
ini juga ditemukan bunyi konsonan tidak bersuara (unvoiced) seperti bunyi
huruf tha>’, fa>’, ta>’, qa>f, syi>n, dan sha>d. Adanya beberapa bunyi huruf
konsonan tidak bersuara ini menimbulkan efek kakofoni atau irama yang
tidak merdu. Irama inilah yang mengakibatkan munculnya sugesti suasana
yang agak berat karena ada beban tertentu.
Selanjutnya, bait kedua juga masih didominasi oleh penggunaan bunyi
konsonan bersuara seperti bunyi huruf nu>n, ya>’, mi>m, ra>’, la>m, da>l, za>’, dan
‘ain. Analisis ini berdasarkan pada kutipan berikut:
زارع /كنت يوما رفيقة
.( 2009 :167)العيسى، لصديقي ادل
Kuntu yauman rafi>qatan/ Lishadi>qi>l-muza>ri‘i (al-I>sa>, 2009:167).
Seharian aku menemani/ Sahabatku, si petani (al-I>sa>, 2009:167).
Meskipun demikian pada bait kedua ini juga ditemukan penggunaan
bunyi konsonan tidak bersuara seperti bunyi huruf ka>f, ta>’, fa>’, qa>f, dan sha>d.
Percampuran antara bunyi efoni atau bunyi berirama dari konsonan bersuara
dan bunyi kakofoni dari konsonan tidak bersuara menimbulkan sugesti
suasana yang stabil dan netral.
Bait ketiga juga didominasi oleh penggunaan bunyi konsonan
bersuara seperti bunyi huruf la>m, ghain, ba>’, mi>m, hamzah, ra>’, wau, ‘ain,
dan nu>n. Dominasi ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:
206
،العيسى ) وأنا اقطع احلطب /فاسرحي وامرحي با /ملئت بالروائع /تلك غابة قال ل :
167: 2009 ).
Qa>la li> : Tilka gha>batun/ Muliˈat bir-rawa> i‘i/ Fasrachi> wamrachi> biha>/
Wa ana> aqtha‘ul-chatab (al-I>sa>, 2009:167).
Dia berkata kepadaku: itu adalah hutan/ Yang penuh dengan
keindahan/ Beristirahatlah dan bersenang-senanglah engkau di
dalamnya/ Sementara aku akan memotong kayu bakar (al-I>sa>,
2009:167).
Dominasi penggunaan bunyi konsonan bersuara yang ada di dalam
bait ketiga ini menimbulkan sugesti suasana yang menyenangkan. Meskipun
demikian di dalam bait ini juga ditemukan beberapa bunyi konsonan tidak
bersuara seperti huruf qa>f, ta>’, ka>f, fa>’, si>n, cha>’, ha>’ dan tha>’. Hadirnya bunyi
konsonan tidak bersuara ini membuat sugesti suasana yang awalnya
menyenangkan menjadi sedikit tertekan karena ada beban tertentu.
Di dalam bait ketiga ini juga ditemukan aliterasi atau pengulangan
bunyi konsonan tertentu yaitu pengulangan bunyi huruf ra>’ dan cha>’ pada
kata israchi> dan imrachi>. Pengulangan ini berfungsi untuk memberikan
sugesti efek tertentu, memperdalam rasa dan sebagai orkestrasi atau
menimbulkan bunyi musik.
Pada bait keempat syair Ughniyyatul-‘Anz, terlihat penggunaan bunyi
konsonan bersuara dan bunyi konsonan tidak bersuara dalam jumlah yang
hampir seimbang. Analisis ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:
عب! /آه.. كم كان طيبا .( 2009 :167العيسى، ) عاشق األرض والت
207
Ah.. Kam ka>na thayyiban/ ‘A>syiqul-ardhi wat-ta‘ab! (al-I>sa>,
2009:167).
Ah .. betapa baiknya dia/ Sang kekasih tanah dan rasa lelah! (al-I>sa>,
2009:167).
Bunyi konsonan bersuara yang digunakan dalam bait ini adalah bunyi
huruf hamzah, mi>m, nu>n, ya>’, ba>’, ‘ain, ra>’, dha>d, dan wau. Sedangkan bunyi
konsonan tidak bersuara yang terdapat dalam bait keempat ini yaitu bunyi
huruf ha>’, ka>f, tha>’, syi>n, qa>f, dan ta>’. Penggunaan bunyi konsonan bersuara
dan bunyi konsonan tidak bersuara dalam jumlah yang hampir seimbang ini
menimbulkan sugesti suasana yang stabil, antara rasa kasih sayang dan beban
tertentu yang menekan.
Berkenaan dengan irama, syair ini menggunakan akhiran yang tidak
beraturan (tidak bersajak). Oleh karena itu, syair Ughniyyatul-‘Anz bisa
dikategorikan ke dalam syi‘r churr. Syi‘r churr merupakan syair yang tidak
terikat dengan auran wazan, qa>fiyah maupun taf‘ila>t akan tetapi masih terikat
dengan satuan irama khusus yang menjadi karakteristik karya sastra bernilai
tinggi. Penyair hanya mengungkapkan perasaan dan imajinasinya sehingga
iramanya bersifat subjektif (Husein dalam Muzakki, 2006:53).
b. Lapis Arti
Lapis arti adalah lapis kedua dalam analisis strata norma Roman
Ingarden. Lapis arti berupa rangkaian fonem, suku kata, kata, frase, dan
kalimat. Rangkaian kalimat menjadi alinea, bab, dan keseluruhan cerita
ataupun keseluruhan sajak. Rangkaian satuan-satuan arti ini menimbulkan
208
lapis ketiga, yaitu berupa latar, pelaku, objek-objek yang dikemukakan, dan
dunia pengarang (Pradopo, 2014:15).
Paragraf pengantar atau prolog dalam syair Ughniyyatul-‘Anz
menceritakan tentang seekor kambing dan seorang petani yang baru pulang
dari hutan. Pernyataan ini berdasarkan pada kutipan berikut ini:
، وىي عائدة مع ز العجوز ت قفز وت غن ،العيسى ) صديقها الفلح من الغابة كانت العن
167: 2009 ).
Kana>t al-‘anzu al-‘aju>zu taqfizu wa tughanni>, wahiya ‘a>ˈidatun ma‘a
shadi>qiha> al-falla>chu minal-gha>bah (al-I>sa>, 2009:167).
Seekor kambing betina tua melompat dan bernyanyi. Ia bersama
petani, sahabatnya kembali dari hutan (al-I>sa>, 2009:167).
Seekor kambing betina tua tengah bergembira, dia melompat-lompat
sambil bernyanyi. Kambing betina itu baru saja pulang dari hutan bersama
sahabatnya yaitu petani. Mereka berdua bersama-sama berjalan beriringan
menuju rumah. Sementara itu, kambing betina terus bernyanyi sepanjang
perjalanan. Nyanyiannya itu dapat dilihat dalam keempat bait syair
Ughniyyatul- ‘Anz.
Bait pertama menggambarkan tentang kepribadian dan kegiatan
kambing betina beserta sahabatnya, si petani. Analisis ini berdasarkan pada
kutipan berikut:
فة ز لطي ي عشق األرض والعمل /وصديقي مزارع /أقضم العشب ف اجلبل /أنا عن
.( 2009 :167)العيسى،
Ana> ‘anzun lathi>fatun/ Aqdhimul-‘usyba fi>l-jabal/ Wa shadi>qi>
muza>ri‘un/ Ya‘syaqul-ardha wal-‘amal (al-I>sa>, 2009:167).
209
Aku seekor kambing betina yang lembut/ Kugigit rerumputan di
gunung/ Dan sahabatku si petani/ Asyik dengan tanah dan
pekerjaannya (al-I>sa>, 2009:167).
Pada kutipan di atas disebutkan bahwa si pelaku “aku” adalah
kambing betina yang berkepribadian lembut atau jinak. Dia bersahabat
dengan petani. Ketika mereka berdua tengah pergi ke gunung, si kambing
betina akan memakan rerumputan yang ada di sana. Sementara itu,
sahabatnya, si petani sibuk dan asyik dengan pekerjaannya yaitu mengolah
tanah.
Bait kedua berisi nyanyian kambing betina tentang persahabatannya
dengan petani. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:
زارع /كنت يوما رفيقة
.( 2009 :167)العيسى، لصديقي ادل
Kuntu yauman rafi>qatan/ lishadi>qi>l-muza>ri‘i (al-I>sa>, 2009:167).
Seharian aku menemani/ Sahabatku, si petani (al-I>sa>, 2009:167).
Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa kambing betina selalu
menemani sahabatnya, si petani. Dia menemani petani melakukan
aktivitasnya di gunung sebagaimana disebutkan pada bait pertama, selama
seharian penuh.
Bait ketiga berisi nyanyian kambing betina tentang pesan si petani
kepadanya. Analisis ini berdasarkan pada kutipan berikut:
،العيسى ) احلطب وأنا اقطع /فاسرحي وامرحي با /ملئت بالروائع /قال ل : تلك غابة 167: 2009 ).
Qa>la li> : Tilka gha>batun/ Muliˈat bir-rawa> i‘i/ Fasrachi> wamrachi> biha>/
Wa ana> aqtha‘ul-chatab (al-I>sa>, 2009:167).
210
Dia berkata kepadaku: itu adalah hutan/ Yang penuh dengan
keindahan/ Beristirahatlah dan bersenang-senanglah engkau di
dalamnya/ Sementara aku akan memotong kayu bakar (al-I>sa>,
2009:167).
Sahabatnya, si petani berkata kepada kambing betina bahwa yang
mereka lihat saat itu adalah hutan. Hutan yang penuh dengan keindahan.
Petani berpesan kepada kambing betina untuk beristirahat dan bersenang-
senang di dalamnya. Sementara dia beristirahat, si petani akan memotong
kayu bakar di hutan tersebut.
Bait keempat menceritakan tentang nyanyian kambing betina
mengenai kepribadian sahabatnya, si petani. Hal ini dapat dilihat dalam
kutipan berikut:
عب! /آه.. كم كان طيبا .( 2009 :167العيسى، ) عاشق األرض والت
Ah.. Kam ka>na thayyiban/ ‘A>syiqul-ardhi wat-ta‘ab! (al-I>sa>,
2009:167).
Ah .. betapa baiknya dia/ Sang kekasih tanah dan rasa lelah! (al-I>sa>,
2009:167).
Menurut kambing betina, si petani, sahabatnya itu sangatlah baik hati.
Selain itu, si petani juga sangat rajin dan mencintai pekerjaannya mengolah
lahan. Itulah mengapa kambing betina menjuluki sahabatnya itu sebagai
kekasih tanah dan rasa lelah.
c. Lapis Hal-Hal yang Dikemukakan
Lapis hal-hal yang dikemukakan merupakan lapis ketiga, dan
ditimbulkan oleh lapis arti yang merupakan lapis kedua dalam analisis strata
211
norma Roman Ingarden ini. Lapis hal-hal yang dikemukakan ini terdiri dari
pelaku (subjek), latar, objek, dan dunia pengarang (Pradopo, 2014:18).
Hal-hal yang dikemukakan pertama yaitu pelaku (subjek). Pelaku
utama di dalam syair Ughniyyatul-‘Anz ialah kambing betina. Analisis ini
berdasarkan pada kutipan berikut:
فة ز لطي .( 2009 :167)العيسى، أنا عن
Ana> ‘anzun lathi>fatun (al-I>sa>, 2009:167).
Aku seekor kambing betina yang lembut (al-I>sa>, 2009:167).
Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa si “aku” sebagai pelaku
utama dalam syair ini adalah kambing betina. Dia pulalah yang
mendendangkan syair tentang persahabatannya dengan si petani dalam syair
Ughniyyatul-‘Anz.
Selain pelaku utama, dalam syair ini juga ditemukan pelaku kedua
yaitu sahabat kambing betina, si petani. Keberadaan pelaku kedua dalam syair
ini nampak pada kutipan berikut:
.( 2009 :167)العيسى، ي عشق األرض والعمل /وصديقي مزارع
Wa shadi>qi> muza>ri‘un/ Ya‘syaqul-ardha wal-‘amal (al-I>sa>, 2009:167).
Dan sahabatku si petani/ Asyik dengan tanah dan pekerjaannya (al-I>sa>,
2009:167).
Pada kutipan di atas disebutkan bahwa sahabat kambing betina adalah
petani. Petani menjadi pelaku kedua karena selain dia berlaku sebagai subjek
yang sibuk dengan pekerjaannya, dia juga dikenai tindakan oleh pelaku utama
212
(kambing betina). Hal ini dapat dilihat pada penjelasan berikutnya, mengenai
objek-objek yang dikemukakan dalam syair Ughniyyatul ‘Anz.
Setelah subjek, hal yang dikemukakan selanjutnya ialah latar. Latar
yang ditemukan pada syair ini yaitu latar tempat. Pada bagian prolog
ditemukan latar tempat berupa hutan. Hal ini nampak pada kutipan berikut:
.( 2009 :167العيسى، ) الفلح من الغابة. صديقهاوىي عائدة مع
Wahiya ‘a>ˈidatun ma‘a shadi>qiha> al-falla>chu minal-gha>bah (al-I>sa>,
2009:167).
Ia bersama petani, sahabatnya kembali dari hutan (al-I>sa>, 2009:167).
Pada kutipan di atas diketahui bahwa kambing betina sebagai pelaku
utama dalam syair ini, tengah pulang dari hutan bersama sahabatnya, si
petani. Jadi, hutan menjadi latar tempat terjadinya kejadian dalam paragraf
pengantar ini.
Selain pada prolog atau paragraf pengantar, latar tempat juga
ditemukan pada bait pertama. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut ini:
.( 2009 :167)العيسى، أقضم العشب ف اجلبل
Aqdhimul-‘usyba fi>l-jabal (al-I>sa>, 2009:167).
Kugigit rerumputan di gunung (al-I>sa>, 2009:167).
Pada kutipan di atas disebutkan bahwa kambing betina memakan
rerumputan yang ada di gunung. Jadi, gunung menjadi latar tempat pada
peristiwa ini.
Selain subjek dan latar, hal-hal yang dikemukakan selanjutnya yaitu
objek. Objek merupakan hal atau benda yang menjadi sasaran perbuatan
213
subjek (pelaku). Pada bait pertama, objek yang dikemukakan yaitu
rerumputan, tanah, dan pekerjaan. Ketiga objek ini dapat dilihat pada kutipan
berikut:
فة ز لطي ي عشق األرض والعمل /وصديقي مزارع /أقضم العشب ف اجلبل /أنا عن
.( 2009 :167)العيسى،
Ana> ‘anzun lathi>fatun/ Aqdhimul-‘usyba fi>l-jabal/ Wa shadi>qi>
muza>ri‘un/ Ya‘syaqul-ardha wal-‘amal (al-I>sa>, 2009:167).
Aku seekor kambing betina yang lembut/ Kugigit rerumputan di
gunung/ Dan sahabatku si petani/ Asyik dengan tanah dan
pekerjaannya (al-I>sa>, 2009:167).
Pada kutipan di atas disebutkan bahwa rerumputan yang ada digunung
dimakan oleh kambing betina, oleh karena itu pada bait ini rerumputan
menjadi objek. Selain rerumputan, tanah dan pekerjaan juga menjadi objek,
karena keduanya dikenai sasaran perbuatan pelaku kedua dalam syair ini,
yaitu petani.
Objek pada bait kedua yaitu petani. Analisis ini berdasarkan pada
kutipan berikut ini:
زارع /كنت يوما رفيقة
.( 2009 :167)العيسى، لصديقي ادل
Kuntu yauman rafi>qatan/ lishadi>qi>l-muza>ri‘i (al-I>sa>, 2009:167).
Seharian aku menemani/ Sahabatku, si petani (al-I>sa>, 2009:167).
Selain menjadi pelaku (subjek) petani juga menjadi objek. Hal ini
karena petani adalah sosok yang ditemani oleh kambing betina seharian. Jadi,
petani menjadi sasaran atau dikenai perbuatan oleh pelaku utama, yaitu
kambing betina.
214
Pada bait ketiga, objek yang dikemukakan yaitu hutan, keindahan,
kambing betina, dan kayu bakar. Keempat objek ini dapat ditemukan pada
kutipan berikut:
وأنا اقطع احلطب /فاسرحي وامرحي با /ملئت بالروائع /قال ل : تلك غابة
.( 2009 :167العيسى، )
Qa>la li> : Tilka gha>batun/ Muliˈat bir-rawa> i‘i/ Fasrachi> wamrachi> biha>/
Wa ana> aqtha‘ul-chatab (al-I>sa>, 2009:167).
Dia berkata kepadaku: itu adalah hutan/ Yang penuh dengan
keindahan/ Beristirahatlah dan bersenang-senanglah engkau di
dalamnya/ Sementara aku akan memotong kayu bakar (al-I>sa>,
2009:167).
Hutan, keindahan, dan engkau (kambing betina) merupakan objek
pada bait ini karena ketiganya merupakan hal-hal yang dikenai sasaran
perkataan si petani. Sementara untuk kayu bakar, selain menjadi sasaran
perkataan petani, juga menjadi sasaran tindakan si petani yaitu dipotong.
Pada bait keempat tidak ditemukan objek yang disebutkan secara
eksplisit. Hanya saja objek itu implisit di dalam nyanyian kambing betina.
Objek yang implisit tersebut yaitu petani. Analisis ini berdasarkan pada
kutipan berikut:
عب! /آه.. كم كان طيبا .( 2009 :167العيسى، ) عاشق األرض والت
Ah.. Kam ka>na thayyiban/ ‘A>syiqul-ardhi wat-ta‘ab! (al-I>sa>,
2009:167).
Ah.. betapa baiknya dia/ Sang kekasih tanah dan rasa lelah! (al-I>sa>,
2009:167).
Petani menjadi objek pada bait keempat ini karena dia menjadi
sasaran dari isi nyanyian kambing betina. Dalam nyanyiannya itu, kambing
215
betina mengatakan bahwa sahabatnya, si petani sangatlah baik dan rajin.
Karena sifat rajinnya itulah, kambing betina menjulukinya kekasih tanah dan
rasa lelah.
Selain ketiga hal di atas, hal yang kemukakan selanjutnya yaitu dunia
pengarang. Dunia pengarang merupakan alur cerita yang diciptakan oleh
pengarang. Alur ini berasal dari gabungan dan jalinan antara objek yang
dikemukakan, latar dan pelaku cerita (Pradopo, 2014:18).
Dunia pengarang dalam syair Ughniyyatul-‘anz dapat diuraikan
sebagai berikut:
Suatu saat, kambing betina tua baru saja pulang dari hutan bersama
sahabatnya, petani. Kambing betina itu terlihat dalam suasana hati yang riang,
dia melompat-lompat sambil bernyanyi. Isi nyanyiannya itu adalah tentang
dirinya dan petani, sahabatnya. Dia mengatakan bahwa dirinya adalah
kambing betina yang lembut. Ketika di gunung, dia akan memakan
rerumputan yang ada di sana, sementara si petani sibuk dengan pekerjaannya
mengolah tanah. Kambing betina itu selalu menemani petani. Begitu juga saat
di hutan, sahabatnya, si petani itu mengatakan kalau hutan itu penuh dengan
keindahan. Dia menyarankan agar kambing betina beristirahat dan bersenang-
senang di hutan itu, sementara dirinya akan memotong kayu bakar. Betapa
senangnya kambing betina mendengar sarannya itu, hingga dia mengatakan
“Ah... betapa baiknya dia, kekasih tanah dan rasa lelah”.
216
d. Lapis Dunia
Lapis dunia merupakan lapis keempat yang dipandang dari titik
tertentu tidak perlu dinyatakan, akan tetapi sudah implisit terkandung di
dalam rangkaian kata-kata syair (Pradopo, 2014:15).
Lapis dunia pada bagian prolog atau paragraf pengantar yaitu bahwa
kambing betina sedang berada dalam suasana hati yang gembira dan bahagia.
Kegembiraan dan kebahagiaan itu tidak dinyatakan secara langsung dalam
bentuk kata-kata pada bagian prolog ini, akan tetapi sudah tercermin dari
perbuatan yang dilakukan oleh kambing betina. Analisis ini berdasarkan pada
kutipan berikut:
، وىي عائدة مع ز العجوز ت قفز وت غن ،العيسى ) صديقها الفلح من الغابة كانت العن 167: 2009 ).
Kana>t al-‘anzu al-‘aju>zu taqfizu wa tughanni>, wahiya ‘a>ˈidatun ma‘a
shadi>qiha> al-falla>chu minal-gha>bah (al-I>sa>, 2009:167).
Seekor kambing betina tua melompat dan bernyanyi. Ia bersama
petani, sahabatnya kembali dari hutan (al-I>sa>, 2009:167).
Saat pulang bersama sahabatnya dari hutan, kambing betina tua itu
melompat-lompat dan bernyanyi. Hal inilah yang memperlihatkan bahwa dia
sedang bahagia. Jika dia sedang berada dalam suasana hati yang sedih tidak
mungkin akan melompat-lompat dan bernyanyi. Terlebih isi nyanyiannya,
sebagaimana terdapat di dalam keempat bait syair, tentang persahabatannya
dengan si petani yang begitu menyenangkan.
217
Lapis dunia juga ditemukan pada bait kedua, yaitu menunjukkan bukti
kesetiaan kambing betina terhadap sahabatnya, si petani. Kesetiaan kambing
betina ini implisit di dalam pernyataan berikut:
زارع /كنت يوما رفيقة
.( 2009 :167العيسى، ) لصديقي ادل
Kuntu yauman rafi>qatan/ lishadi>qi>l-muza>ri‘i (al-I>sa>, 2009:167).
Seharian aku menemani/ Sahabatku, si petani (al-I>sa>, 2009:167).
Selama seharian kambing betina itu menemani sahabatnya, si petani.
Hal ini menunjukkan bahwa kambing betina itu sangat setia dengan
sahabatnya. Kesetiaannya ini tidak perlu diungkapkan dengan kata-kata
dalam bait syair, karena keberadaan sudah dapat dipahami melalui sikap dan
perbuatan kambing betina itu.
Pada bait ketiga syair Ughniyyatul-‘Anz juga ditemukan lapis dunia.
Lapis dunia pada bait ini berupa keindahan yang terdapat di dalam hutan,
sebagaimana disebutkan dalam kutipan berikut:
،العيسى ) وأنا اقطع احلطب /فاسرحي وامرحي با /ملئت بالروائع /قال ل : تلك غابة 167: 2009 ).
Qa>la li> : Tilka gha>batun/ Muliˈat bir-rawa> i‘i/ Fasrachi> wamrachi> biha>/
Wa ana> aqtha‘ul-chatab (al-I>sa>, 2009:167).
Dia berkata kepadaku: itu adalah hutan/ Yang penuh dengan
keindahan/ Beristirahatlah dan bersenang-senanglah engkau di
dalamnya/ Sementara aku akan memotong kayu bakar (al-I>sa>,
2009:167).
Meskipun tidak disebutkan secara gamblang mengenai keindahan
yang terdapat di dalam hutan, sudah dapat diketahui bahwa keindahan itu
berupa jajaran pepohonan hijau yang begitu rindang, hamparan rerumputan
218
segar yang menggiurkan, kicauan burung-burung yang begitu merdu, bunga-
bunga liar yang elok, dan hal indah lainnya. Semuanya begitu menyenangkan
dan menenangkan. Itulah mengapa si petani menyarankan kepada kambing
betina agar dia beristirahat dan bersenang-senang di dalam hutan itu.
Lapis dunia yang terakhir yaitu terdapat pada bait keempat syair
Ughniyyatul-‘Anz. Pada bait ini menjelaskan penghargaan kambing betina
kepada sahabatnya, si petani. Kambing betina itu sangat menyayangi
sahabatnya, karena sahabatnya itu baik hati dan rajin. Hal ini disebutkan pada
kutipan berikut:
عب! /آه.. كم كان طيبا .( 2009 :167العيسى، ) عاشق األرض والت
Ah.. Kam ka>na thayyiban/ ‘A>syiqul-ardhi wat-ta‘ab! (al-I>sa>,
2009:167).
Ah .. betapa baiknya dia/ Sang kekasih tanah dan rasa lelah! (al-I>sa>,
2009:167).
Dari kutipan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa selain baik hati, si
petani juga rajin dan pekerja keras. Karakter rajin dan pekerja keras ini tidak
disebutkan secara eksplisit menggunakan kata-kata di dalam bait syair. Akan
tetapi implisit pada pernyataan kambing yang mengatakan bahwa petani
adalah sang kekasih tanah dan rasa lelah.
e. Lapis Metafisis
Lapis metafisis adalah lapis yang menyebabkan pembaca
berkontemplasi atau melakukan perenungan. Lapis metafisis merupakan lapis
kelima dalam strata norma Roman Ingarden yang berupa sifat-sifat metafisis
(sublim, tragis, mengerikan, menakutkan, suci, dan lainnya). Dengan
219
hadirnya sifat-sifat inilah seorang pembaca akan melakukan sebuah
perenungan. Akan tetapi tidak semua karya sastra mengandung lapis metafisis
ini (Pradopo, 2014:15).
Karya sastra yang mengandung lapis metafisis merupakan karya sastra
yang mencapai tingkatan keempat atau niveau human dan kelima atau niveau
religius (filosofis) dalam tingkatan pengalaman jiwa. Adapun tingkatan
pertama atau niveau anorganis yang terjelma pada karya sastra hanya berupa
pola bunyi, irama, baris, sajak, alenia, kalimat, gaya bahasa dan sebagainya.
Untuk tingkatan kedua atau niveau vegetatif yang terjelma dalam karya sastra
berupa suasana-suasana yang ditimbulkan oleh rangkaian-rangkaian kata-kata
itu. Tingkatan ketiga atau niveau animal merupakan tingkatan yang dicapai
oleh binatang dan sudah ada nafsu jasmaniahnya. Tingkatan ini jika terjelma
dalam kata berupa nafsu-nafsu naluriah seperti makan, minum, dan
sebagainya (Pradopo, 1994:55-59).
Sementara itu, tingkatan pengalaman jiwa keempat atau niveau human
jika terjelma ke dalam karya sastra dapat berupa renungan-renungan batin dan
moral, konflik kejiwaan, rasa simpati dan segala pengalaman yang dirasakan
manusia. Sedangkan tingkatan kelima atau niveau religius (filosofis) berupa
renungan batin sampai hakikat, hubungan tuhan dengan manusia, renungan
filsafat dan metafisis, dan sebagainya (Pradopo, 1994:58).
Renungan pada tingkatan niveau human terhadap syair Ughniyyatul-
‘Anz yaitu bahwa dalam kehidupan ini, setiap makhluk hidup memerlukan
sahabat. Hal ini dapat dilihat dari sikap kambing betina yang bersahabat
220
dengan petani. Terlebih manusia yang merupakan makhluk sosial,
persahabatan sangat diperlukan. Hal ini karena manusia tidak akan mungkin
dapat hidup sendirian tanpa bantuan orang lain.
Faktor kesetiaan sangat diperlukan dalam menjalin sebuah
persahabatan. Dengan kesetiaan, sebuah persahabatan akan terjalin dengan
erat dan abadi. Kesetiaan pada syair ini tercermin dari sikap kambing betina
yang selalu menemani si petani selama seharian penuh. Begitulah
persahabatan, seorang sahabat akan selalu ada kapanpun, baik saat suka
maupun duka. Seorang sahabat sejati tidak akan pernah meninggalkan
kawannya dalam keadaan apapun.
Persahabatan juga mengharuskan penghormatan dan penghargaan
terhadap hak dan kewajiban masing-masing. Hal ini dicontohkan oleh sikap
petani yang mempersilahkan kambing betina untuk bersenang-senang dan
beristirahat di dalam hutan. Petani tersebut tidak membatasi ruang gerak di
kambing betina. Begitulah seharusnya sebuah persahabatan. Antara satu
pihak dengan pihak yang lain tidak boleh memaksakan kehendak masing-
masing serta harus menghormati hak dan kewajiban masing-masing.
Berdasarkan hasil analisis syair ketujuh dengan memanfaatkan teori
strata norma Roman Ingarden yang terdiri dari lapis bunyi, lapis arti, lapis
hal-hal yang dikemukakan, lapis dunia dan lapis metafisis, dapat disimpulkan
secara keseluruhan bahwa syair yang berjudul Ughniyyatul-‘Anz karya
Sulaima>n al-I>sa> masuk dalam kategori syi‘r churr. Syair ini mengusung tema
“persahabatan” ( الصديق). Isinya menceritakan tentang persahabatan antara
221
kambing betina dengan petani. Kambing betina selalu setia menemani petani.
Sementara itu, si petani senantiasa menghormati hak-hak dari sahabatnya
tersebut. Persahabatan antara kambing betina dan petani ini memberikan
perenungan kepada pembaca akan pentingnya rasa kesetiaan serta saling
menghormati hak dan kewajiban masing-masing dalam membina sebuah
persahabatan.
2. Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Karakter
Syair merupakan salah satu genre sastra, karena itu tentunya mengandung
pesan dan amanat yang hendak disampaikan oleh mengarangnya. Terlebih puisi
yang ditujukan untuk pembaca anak-anak, pesan dan amanat yang berupa nilai-
nilai pendidikan karakter sangat ditekankan. Hal ini mengingat usia anak-anak
adalah usia yang tepat untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan karakter.
Penanaman nilai-nilai pendidikan karakter ini, bisa melalui berbagai
media, salah satunya syair. Hanya saja, seringkali nilai-nilai pendidikan karakter
ini tidak disebutkan secara eksplisit, akan tetapi implisit di dalam rangkaian kata-
kata syair yang indah. Berkaitan dengan hal itu, diperlukan adanya analisis
terhadap nilai-nilai pendidikan karakter tersebut, sehingga memudahkan anak-
anak untuk memahaminya.
Analisis nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung di dalam syair
Ughniyyatul-‘Anz berlandaskan pada sembilan pilar nilai-nilai karakter menurut
Kemendiknas dalam UU No. 20 tahun 2003 pasal 3 (Samani, 2013:106).
222
Berdasarkan sembilan pilar tersebut, nilai-nilai pendidikan karakternya adalah
sebagai berikut:
a. Cinta Tuhan dan Segenap Ciptaan-Nya
Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya merupakan nilai karakter
pertama dalam sembilan pilar nilai-nilai karakter menurut Kemendiknas
dalam UU No. 20 tahun 2003 pasal 3 (Samani, 2013:106).
Nilai karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya pada syair ini
ditampilkan oleh sikap kambing betina yang begitu menghormati dan
menyayangi sahabatnya, si petani. Begitu juga sebaliknya yang dilakukan
oleh si petani.
Kecintaan terhadap tuhan dan segenap ciptaan-Nya perlu
ditanamankan pada diri anak sejak dini. Hal ini agar anak tumbuh menjadi
pribadi yang religius dan sayang terhadap sesamanya, juga terhadap makhluk
hidup lainnya.
b. Rajin dan kerja keras
Rajin dan kerja keras merupakan nilai karakter keenam dalam
sembilan pilar nilai-nilai karakter menurut Kemendiknas dalam UU No. 20
tahun 2003 pasal 3 (Samani, 2013:106).
Nilai karakter rajin dan kerja keras dalam syair ini ditunjukkan oleh
penggambaran kambing betina terhadap sifat sahabatnya yang asyik dengan
pekerjaannya. Kambing betina itu juga menyebut si petani sebagai kekasih
tanah dan rasa lelah. Pernyataan ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
.( 2009 :167)العيسى، ي عشق األرض والعمل /وصديقي مزارع
223
Wa shadi>qi> muza>ri‘un/ Ya‘syaqul-ardha wal-‘amal (al-I>sa>, 2009:167).
Dan sahabatku si petani/ Asyik dengan tanah dan pekerjaannya (al-I>sa>,
2009:167).
عب! /آه.. كم كان طيبا .( 2009 :167العيسى، ) عاشق األرض والت
Ah.. Kam ka>na thayyiban/ ‘A>syiqul-ardhi wat-ta‘ab! (al-I>sa>,
2009:167).
Ah .. betapa baiknya dia/ Sang kekasih tanah dan rasa lelah! (al-I>sa>,
2009:167).
Karakter rajin pada kutipan di atas ditunjukkan oleh sikap petani yang
begitu asyik dengan pekerjaannya mengolah tanah. Pada kutipan kedua juga
ditegaskan bahwa si petani adalah kekasih tanah dan rasa lelah. Hal ini
menegaskan bahwa si petani adalah seorang yang berkarakter pekerja keras
hingga tidak goyah oleh rasa lelah, karena rasa lelah telah menemani hari-
harinya.
Karakter rajin dan bekerja keras perlu ditanamkan pada diri anak
sejak dini. Dengan memiliki kedua karakter ini seseorang akan lebih mudah
menyelesaikan pekerjaannya dengan baik dan tepat waktu. Dengan kedua
karakter ini pula, seseorang akan lebih tahan banting dan tidak mudah
mengeluh dalam mengatasi segala permasalahan yang ada di kehidupan ini.
c. Baik hati
Karakter baik hati merupakan karakter kedelapan dalam sembilan
pilar nilai pendidikan karakter menurut Kemendiknas yang terdapat pada UU
No. 20 tahun 2003 pasal 3 (Samani, 2013:106). Karakter baik hati pada syair
ini disebutkan secara eksplisit melalui perkataan kambing betina berikut ini:
224
عب! /آه.. كم كان طيبا .( 2009 :167العيسى، ) عاشق األرض والت
Ah.. Kam ka>na thayyiban/ ‘A>syiqul-ardhi wat-ta‘ab! (al-I>sa>,
2009:167).
Ah .. betapa baiknya dia/ Sang kekasih tanah dan rasa lelah! (al-
I>sa>, 2009:167).
Pada kutipan di atas, kambing betina mengatakan bahwa sahabatnya
sangat baik hati. Dari perkataan kambing betina inilah, dapat disampaikan
kepada anak-anak bahwa seseorang harus memiliki karakter baik hati agar
disenangi dan dihormati oleh rekan-rekannya.
d. Menghargai dan menghormati hak serta kewajiban orang lain
Menghargai dan menghormati hak serta kewajiban orang lain
merupakan penjabaran dari karakter keempat berdasarkan sembilan pilar nilai
karakter menurut Kemendiknas dalam UU No. 20 tahun 2003 pasal 3 yaitu
karakter hormat dan santun (Samani, 2013:106). Dalam syair ini, karakter
tersebut ditunjukkan oleh sikap petani pada bait berikut:
،العيسى ) وأنا اقطع احلطب /فاسرحي وامرحي با /ملئت بالروائع /قال ل : تلك غابة
167: 2009 ).
Qa>la li> : Tilka gha>batun/ Muliˈat bir-rawa> i‘i/ Fasrachi> wamrachi>
biha>/ Wa ana> aqtha‘ul-chatab (al-I>sa>, 2009:167).
Dia berkata kepadaku: itu adalah hutan/ Yang penuh dengan
keindahan/ Beristirahatlah dan bersenang-senanglah engkau di
dalamnya/ Sementara aku akan memotong kayu bakar (al-I>sa>,
2009:167).
Petani mengatakan kepada kambing betina bahwa hutan itu penuh
dengan keindahan dan dia juga mempersilahkan kambing betina untuk
beristirahat dan bersenang-senang di dalamnya. Sementara dia sendiri akan
225
memotong kayu bakar. Sikap petani ini menunjukkan bahwa dia meletakkan
hak dan kewajiban sesuai dengan porsinya. Dia tidak membebani kambing
betina dengan pekerjaan yang memberatkan.
Dari peristiwa tersebut dapat disampaikan kepada anak-anak bahwa
dalam menempatkan hak dan kewajiban haruslah seimbang dan sesuai dengan
kadarnya. Baik itu hak dan kewajiban diri sendiri maupun orang lain.
Terhadap keberadaan hak dan kewajiban orang lain, seseorang harus
memiliki rasa hormat dan menghargai. Seseorang yang memiliki karakter ini,
maka dirinya juga akan dihormati dan dihargai orang lain.
e. Setia
Karakter setia merupakan penjabaran dari nilain karakter keenam
dalam sembilan pilar nilai karakter menurut Kemendiknas dalam UU No. 20
tahun 2003 pasal 3 yaitu karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan
(Samani, 2013:106). Karakter ini perlu ditanamkan pada diri seorang anak
sejak dini, agar anak tumbuh menjadi pribadi yang berintegritas tinggi dan
disenangi banyak orang. Karakter setia pada syair ini ditunjukkan oleh sikap
kambing betina pada bait kedua berikut ini:
زارع /كنت يوما رفيقة
.( 2009 :167العيسى، ) لصديقي ادل
Kuntu yauman rafi>qatan/ lishadi>qi>l-muza>ri‘i (al-I>sa>, 2009:167).
Seharian aku menemani/ Sahabatku, si petani (al-I>sa>, 2009:167).
Kambing betina selalu setia menemani sahabatnya, si petani selama
seharian. Dari sikap kambing betina ini, dapat diungkapkan dan disampaikan
kepada anak-anak bahwa dalam berteman seseorang harus berlaku setia dan
226
mengutamakan kesatuan. Teman sejati adalah teman yang selalu ada saat
suka maupun duka. Kesalahpahaman memang sering terjadi dalam sebuah
persahabatan. Akan tetapi kesalahpahaman tidak lantas membuat sebuah
persahabatan berakhir. Saling memahami dan setia adalah kunci utuhnya
sebuah persahabatan. Begitu juga terhadap pekerjaan, kepercayaan dan tanah
air, karakter setia sangat penting dan diperlukan.
227
H. Syair Ke-8
لم الح ة ي ن غ أ
إذلي!
ا كتبت العذاب لماذ
نا بذي الب راري؟ علي
ئاب؟ لماذا تكون الذ
نعيش بوف..
نوت بوف..
ول نن شيا
ول ن ؤذ حيا
ب ون عطين
خي االعطاء الس
نا أبدا ف اضطراب ولكن
بذي الب راري! خوف و
ئاب؟ لماذا، لماذا الذ
Ughniyyatul-Chamal
Ilahi> !
Lima>dza> katabtal-‘adza>b
‘Alaina> biha>dzi>l-bara>ri>?
Lima>dza> taku>nudz-dziˈa>b?
Na‘i>syu bikhaufin..
Namu>tu bikhaufin..
Walam najni syayya>
Walam nuˈdzi chayya>
Nuchibbu wanu‘thi>
Al-‘atha> as-sakhiyya>
227
228
Walakinnana> abadan fi> idhthira>b
Wakhaufin biha>dzi>l-bara>ri>!
Lima>dza>, Lima>dza> adz-dziˈa>b?
Nyanyian Anak Domba
Tuhanku!
Mengapa Engkau takdirkan penderitaan
Kepada kami di padang rumput ini?
Mengapa ada serigala-serigala?
Yang membuat kami hidup dalam
ketakutan ..
Hingga matipun ketakutan ..
Tiada sesuatupun kami dapatkan
Dan kamipun tak merugikan kehidupan
Kami mencintai dan memberi
Pemberian yang mulia
Akan tetapi kami selalu dalam kebingungan
Dan ketakutan di padang rumput ini!
Mengapa, mengapa serigala-serigala?
1. Analisis Strata Norma Roman Ingarden
a. Lapis Bunyi
Bunyi merupakan lapis pertama dalam analisis strata norma Roman
Ingarden. Lapis bunyi ini menimbulkan lapis yang kedua yaitu lapis arti.
Bunyi merupakan unsur puisi yang bersifat estetis, karena menimbulkan
keindahan dan tenaga ekpresif. Bunyi konsonan dan vokal disusun
sedemikian rupa sehingga menimbulkan bunyi yang merdu dan berirama
seperti bunyi musik. Dari irama yang beraturan inilah akan mengalirkan
perasaan, imajinasi-imajinasi dalam pikiran atau pengalaman-pengalaman
jiwa pendengarnya (Pradopo, 2014:22-27).
229
Kombinasi bunyi-bunyi vokal (asonansi): a, e, i, o, u; bunyi-bunyi
konsonan bersuara (voiced): b, d, g, j, dan sebagainya; bunyi likuida atau
bunyi yang keluar dari sela-sela ujung lidah yang menempel pada ceruk gigi:
r, l; dan bunyi sengau: m, n, ng, ny menimbulkan efek efoni atau bunyi merdu
dan berirama. Bunyi yang merdu itu dapat mendukung suasana yang mesra,
kasih sayang, gembira, dan bahagia. Sebaliknya, kombinasi bunyi yang tidak
merdu dan parau yang disebabkan oleh bunyi konsonan tidak bersuara
(unvoiced) dapat untuk memperkuat suasana yang tidak menyenangkan,
kacau balau, serba tidak teratur, bahkan memuakkan. Kombinasi bunyi tidak
merdu dan parau disebut dengan kakofoni (Pradopo, 2014: 29-31). Anis
(1999:22) mengkategorikan huruf-huruf sengau atau nasal (mi>m dan nu>n)
serta huruf likuida (la>m dan ra>’) ke dalam huruf bersuara (majhu>r).
Puisi Ughniyyatul-Chamal terdiri dari lima bait. Bait pertama terdiri
dari tiga baris yang didominasi oleh penggunaan bunyi huruf-huruf konsonan
bersuara (voiced). Bunyi huruf-huruf voiced ini yaitu huruf hamzah, la>m,
mi>m, dza>l, ba>’, ‘ain, nu>n, dan ra>’ pada kata ilahi>, lima>dza>, katabta, al-‘adza>b,
‘alaina>, biha >dzi>, dan al-bara>ri>. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:
نا بذي الب راري /ا كتبت العذاب لماذ /إذلي! .( 2009 :179العيسى، )؟علي
Ilahi> ! Lima>dza> katabtal-‘adza>b/ ‘Alaina> biha>dzi>l-bara>ri>? (al-‘Isa>,
2009:179).
Tuhan Ku!/ Mengapa Engkau takdirkan penderitaan/ Kepada kami di
padang rumput ini? (al-‘Isa>, 2009:179).
Dominasi penggunaan bunyi huruf konsonan bersuara ini
menimbulkan sugesti suasana yang ringan dan mesra. Di samping dominasi
230
penggunaan huruf voiced tersebut, juga ditemukan huruf-huruf unvoiced
seperti huruf ha>’, ka>f, dan ta>’ pada kata ilahi>, katabta, dan biha>dzi>. Adanya
penggunaan sedikit huruf unvoiced ini menimbulkan sugesti bahwa suasana
ringan dan mesra tadi berubah kurang menyenangkan karena suatu sebab.
Kemudian bait kedua syair ini, juga didominasi oleh penggunaan
bunyi huruf-huruf voiced pada baris pertama, keempat dan kelima.
Sedangkan pada baris kedua dan ketiga penggunaan bunyi huruf voiced dan
unvoiced berada dalam jumlah yang seimbang. Bunyi huruf-huruf voiced
yang digunakan dalam bait ini yaitu huruf la>m, mi>m, dza>l, nu>n, hamzah, ba>’,
‘ain, wau, ji>m, dan ya>’. Huruf-huruf tersebut dapat dilihat dalam kutipan
berikut ini:
ئاب؟ ول ن ؤذ حيا /ول نن شيا /نوت بوف.. /نعيش بوف.. /لماذا تكون الذ
.( 2009 :179)العيسى،
Lima>dza> taku>nudz-dziˈa>b?/ Na‘i>syu bikhaufin../ Namu>tu bikhaufin../ Walam najni syayya>/ Walam nuˈdzi chayya> (al-‘I>sa >, 2009:179).
Mengapa ada serigala-serigala?/ Yang membuat kami hidup dalam
ketakutan../ hingga matipun ketakutan ../ Tiada sesuatupun kami
dapatkan/ Dan kamipun tak merugikan kehidupan (al-‘I>sa>, 2009:
179).
Selain dominasi penggunaan bunyi huruf-huruf voiced, dalam bait
kedua ini juga ditemukan bunyi huruf-huruf unvoiced yaitu huruf ta>’, ka>f,
syi>n, kha>’, fa>’, dan cha>’. Dominasi penggunaan bunyi huruf-huruf voiced
menimbulkan sugesti suasana yang mesra dan penuh kasih sayang. Namun
dengan hadirnya bunyi huruf-huruf unvoiced menjadikan sugesti suasana
231
yang mesra dan penuh kasih sayang tersebut berbaur dengan rasa ketakutan
dan beban yang tidak menyenangkan.
Pada bait kedua ini juga ditemukan penggunaan asonansi atau
pengulangan bunyi vokal. Asonansi terjadi pada baris ketiga dan keempat
serta baris kelima dan keenam. Pada baris ketiga dan keempat memiliki pola
vokal yang hampir sama yaitu [a], [i], [u], [i], [au], [i] dan [a], [u], [u], [i],
[au], [i]. Sedangkan baris kelima memiliki pola vokal yang hampir sama
dengan baris keenam yaitu [a], [a], [a], [i], [a], [a] dan [a], [a], [u], [i], [a], [a].
Asonansi ini berfungsi untuk orkestrasi, memudahkan pengucapan dan
mencapai bunyi yang merdu (Pradopo, 2014:38).
Selanjutnya, bait ketiga syair Ughniyyatul-Chamal juga masih
didominasi oleh penggunaan bunyi huruf-huruf voiced yaitu huruf nu>n, ba>’,
wau, ‘ain, la>m, hamzah, dan ya>’ pada kata nuchibbu, wanu‘thi>, al-‘atha> a,
dan as-sakhiyya>. Analisis ini berdasarkan pada kutipan berikut:
خي /ب ون عطين .( 2009 :179العيسى، )االعطاء الس
Nuchibbu wanu‘thi>/ Al-‘atha>ˈas-sakhiyya> (al-‘I>sa>, 2009:179).
Kami mencintai dan memberi/ Pemberian yang mulia (al-‘I>sa >,
2009:179).
Dominasi penggunaan bunyi huruf-huruf voiced menimbulkan sugesti
suasana yang mesra dan penuh kasih sayang. Dalam kutipan di atas juga
ditemukan penggunaan bunyi huruf-huruf unvoiced yaitu huruf cha>’, tha>’,
si>n, dan kha>’. Adanya penggunaan bunyi huruf-huruf unvoiced ini
232
menimbulkan sugesti suasana yang tadinya mesra dan penuh kasih sayang
menjadi berat dan ada suatu beban yang mengganjal.
Sementara itu, bait keempat juga didominasi oleh penggunaan bunyi
huruf-huruf voiced yaitu huruf wau, la>m, nu>n, hamzah, ba>’, da>l, dha>d, ra>’,
dan dza>l pada kata walakinnana>, abadan, idhthira>b, biha>dzi>, dan al-bara>ri>.
Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:
نا أبدا ف اضطراب .( 2009 :179العيسى، ) بذي الب راري! خوف و /ولكن
Walakinnana> abadan fi> idhthira>b/ Wakhaufin biha>dzi>l-bara>ri>! ( al-
‘I>sa>, 2009:179).
Akan tetapi kami selalu dalam kebingungan/ Dan ketakutan di padang
rumput ini! (al-‘I>sa>, 2009:179).
Dominasi penggunaan bunyi huruf-huruf voiced ini menimbulkan
sugesti suasana yang tenang dan ramah. Pada bait ini juga ditemukan
penggunaan bunyi huruf-huruf unvoiced yaitu huruf ka>f, fa>’, tha>’, kha>’, dan
ha>’ yaitu pada kata walakinnana>, fi>, idhthira>b, khaufin, dan biha>dzi>. Hadirnya
bunyi huruf-huruf unvoiced di dalam bait ini menjadikan sugesti suasana
yang tadinya tenang dan ramah berubah menjadi tidak menyenangkan dan
menakutkan. Suasana yang menekan juga ditunjukkan dengan penggunaan
tanda seru (!) di akhir baris kedua bait keempat ini.
Selanjutnya, bait kelima syair ini hanya terdiri dari satu baris syair
saja. Bait kelima ini didominasi oleh penggunaan bunyi huruf-huruf voiced
yaitu huruf la>m, mi>m, dza>l, hamzah, dan ba>’. Penggunaan bunyi huruf-huruf
voiced ini terdapat pada kata lima>dza> yang diulang dua kali, dan kata adz-
dziˈa>b, sebagaimana terlihat dalam kutipan berikut ini:
233
ئاب؟ .( 2009 :179العيسى، )لماذا، لماذا الذ
Lima>dza>, Lima>dza> adz-dziˈa>b? (al-‘I>sa>, 2009:179).
Mengapa, mengapa serigala-serigala? (al-‘I>sa>, 2009:179).
Hadirnya sejumlah bunyi huruf-huruf voiced ini menimbulkan sugesti
suasana yang mesra, manja dan penuh kelembutan. Penggunaan tanda baca
introgatif yaitu tanda tanya (?) menimbulkan sugesti suasana kegalauan dan
kebimbangan.
Selain penggunaan bunyi huruf-huruf voiced dan unvoiced serta
asonansi, di dalam syair ini juga ditemukan unsur kepuitisan bunyi yang lain
yaitu berupa Epifora. Epifora atau epistrofa adalah salah satu jenis repetisi
yang berupa pengulangan bunyi dalam bentuk kata pada akhir baris puisi
(Keraf, 2007:128). Pengulangan ini terjadi pada bait kedua baris kedua dan
ketiga sebagaimana dapat dilihat dalam kutipan berikut:
.( 2009 :179العيسى، ) ..نوت بوف /نعيش بوف..
Na‘i>syu bikhaufin../ Namu>tu bikhaufin../ (al-‘I>sa>, 2009:179).
Kami hidup dalam ketakutan../ Kamipun mati dalam ketakutan ../ (al-
‘I>sa>, 2009:179).
Kata ‚bikhaufin..‛ diulang sebanyak dua kali. Pengulangan ini
menimbulkan sugesti suasana yang kuat dan menekan. Terlebih lagi kata-kata
yang diulang tersebut mengandung huruf unvoiced yaitu kha>’ dan fa>’. Hal ini
tentunya menambah kesan suasana yang berat dan tidak menyenangkan.
Selain epifora, pada bait kedua juga ditemukan bentuk repetisi berupa
anafora. Anafora merupakan pengulangan kata atau frasa pertama pada setiap
234
baris atau kalimat berikutnya (Keraf, 2007:127). Pengulangan ini terjadi pada
baris keempat dan kelima, sebagai berikut:
.( 2009 :179)العيسى، ول ن ؤذ حيا /ول نن شيا
Walam najni syayya>/ Walam nuˈdzi chayya> (al-‘I>sa >, 2009:179).
Tiada sesuatupun kami dapatkan/ Dan kamipun tak merugikan
kehidupan (al-‘I>sa>, 2009: 179).
Pada kutipan di atas, kata “walam” diulang dua kali di awal baris.
Pengulangan inilah yang disebut dengan anafora. Hadirnya anafora pada bait
kedua ini memberikan penekanan dan memperoleh makna yang mendalam
pada kata, frasa atau kalimat yang diulang.
Selain epifora dan anafora, dalam syair ini juga ditemukan bentuk
repetisi lain yaitu epizeuksis. Epizeuksis merupakan pengulangan yang
bersifat langsung dengan cara mengulang kata yang dipentingkan beberapa
kali berturut-turut (Keraf, 2007:128). Epizeuksis di dalam syair ini terjadi
pada bait kelima berikut:
ئاب؟ .( 2009 :179العيسى، )لماذا، لماذا الذ
Lima>dza>, Lima>dza> adz-dziˈa>b? (al-‘I>sa>, 2009:179).
Mengapa, mengapa serigala-serigala? (al-‘I>sa>, 2009:179).
Pada kutipan di atas kata “lima>dza>” yang diulang dua kali secara
langsung dan berturut-turut. Dengan hadirnya pengulangan kata tanya
“lima>dza>” tersebut menimbulkan sugesti suasana yang mesra, lembut, namun
bias dan membingungkan. Sebagaimana jenis epifora yang lainnya,
235
epizeuksis berfungsi untuk memberikan penekanan dan memperoleh makna
yang mendalam pada kata, frasa atau kalimat yang diulang.
Dengan mempertimbangkan aspek irama yang terdiri dari metrum
(bachr) dan ritme (qa>fiyah), maka syair ini dapat dikategorikan ke dalam
syi‘r churr. Syi‘r churr yaitu syair yang tidak terikat oleh aturan wazan,
qa>fiyah, maupun taf‘ila>t akan tetapi masih terikat dengan satuan irama
khusus yang menjadi karakteristik karya sastra bernilai tinggi. Penyair hanya
mengungkapkan perasaan dan imajinasinya sehingga iramanya bersifat
subjektif (Husein dalam Muzakki, 2006:53).
b. Lapis Arti
Lapis arti merupakan rangkaian yang terdiri dari satuan fonem, suku
kata, kata, frase, dan kalimat. Rangkaian kalimat selanjutnya membentuk
bait-bait puisi dan keseluruhan syair yang utuh (Pradopo, 2014:15).
Bait pertama syair Ughniyyatul-Chamal menceritakan tentang keluh
kesah anak domba kepada Tuhan. Analisis ini berdasarkan pada kutipan
berikut:
نا بذي الب راري /ا كتبت العذاب لماذ /إذلي! .( 2009 :179العيسى، )؟علي
Ilahi> ! Lima>dza> katabtal-‘adza>b/ ‘Alaina> biha>dzi>l-bara>ri>? (al-‘Isa>,
2009:179).
Tuhanku!/ Mengapa Engkau takdirkan penderitaan/ Kepada kami di
padang rumput ini? (al-‘Isa>, 2009:179).
236
Anak domba bertanya-tanya dan mengeluhkan takdirnya kepada
Tuhan, karena penderitaan yang dia rasakan. Penderitaan itu datang dari
padang rumput tempat mereka berada.
Bait kedua menceritakan tentang asal dari gangguan yang membuat
mereka menderita. Hal ini dapat dilihat di dalam kutipan berikut:
ئاب؟ ول ن ؤذ حيا /ول نن شيا /نوت بوف.. /نعيش بوف.. /لماذا تكون الذ
.( 2009 :179)العيسى،
Lima>dza> taku>nudz-dziˈa>b?/ Na‘i>syu bikhaufin../ Namu>tu bikhaufin../ Walam najni syayya>/ Walam nuˈdzi chayya> (al-‘I>sa >, 2009:179).
Mengapa ada serigala-serigala?/ Yang membuat kami hidup dalam
ketakutan../ Hingga matipun ketakutan ../ Tiada sesuatupun kami
dapatkan/ Dan kamipun tak merugikan kehidupan (al-‘I>sa>, 2009:
179).
Pada bait kedua ini menjelaskan bahwa penderitaan yang datang dari
padang rumput sebagaimana disebutkan pada bait pertama, sejatinya
disebabkan karena adanya serigala-serigala. Anak domba bertanya kepada
Tuhan, mengapa ada serigala-serigala. Sosok yang membuat anak domba
beserta kawanannya hidup dan mati dalam ketakutan. Sementara selama
hidup, mereka tidak mendapatkan apapun, juga tidak pernah merugikan
kehidupan itu sendiri.
Bait ketiga menjelaskan tentang kebiasaan anak domba. Analisis ini
berdasarkan pada kutipan berikut:
خي /ب ون عطين .( 2009 :179العيسى، )االعطاء الس
Nuchibbu wanu‘thi>/ Al-‘atha>ˈas-sakhiyya> (al-‘I>sa>, 2009:179).
Kami mencintai dan memberi/ Pemberian yang mulia (al-‘I>sa >,
2009:179).
237
Kebiasaan anak domba beserta kawanannya yaitu mereka saling
mencintai dan memberi, baik kepada sesamanya maupun kepada hewan lain.
Ketika memberi, mereka selalu mengutamakan pemberian yang baik dan
mulia.
Bait keempat berisikan tentang kondisi anak domba dan kawanannya
yang berbanding terbalik dengan kebiasaan mereka. Kondisi mereka dapat
dilihat dalam kutipan berikut:
نا أبدا ف اضطراب .( 2009 :179العيسى، ) بذي الب راري! خوف و /ولكن
Walakinnana> abadan fi> idhthira>b/ Wakhaufin biha>dzi>l-bara>ri>! (al-‘I>sa>,
2009:179).
Akan tetapi kami selalu dalam kebingungan/ Dan ketakutan di padang
rumput ini! (al-‘I>sa>, 2009:179).
Pada bait ketiga dijelaskan bahwa anak kambing beserta kawanannya
saling mencintai dan saling memberi. Sedangkan pada bait keempat ini
diceritakan kondisi mereka yang berbanding terbalik dengan kebiasan mereka
tersebut, yaitu mereka selalu hidup dalam kebingungan dan ketakutan di
padang rumput tempat mereka tinggal.
Bait kelima menceritakan tentang anak domba yang mempertanyakan
keadaan mereka kepada serigala. Hal ini tampak pada kutipan berikut:
ئاب؟ .( 2009 :179العيسى، ) لماذا، لماذا الذ
Lima>dza>, Lima>dza> adz-dziˈa>b? (al-‘I>sa>, 2009:179).
Mengapa, mengapa serigala-serigala? (al-‘I>sa>, 2009:179).
238
Pada kutipan di atas, terlihat pertanyaan yang diajukan anak domba
kepada serigala. Pertanyaan “mengapa” diajukan anak domba kepada para
serigala, karena dialah sosok yang menjadikan kehidupan anak domba dan
kawanannya berada dalam kebingungan dan ketakutan, sebagaimana
dijelaskan pada bait-bait sebelumnya. Pertanyaan tersebut menggambarkan
kegalauan dan kepasrahan anak-anak domba pada kondisi mereka yang
menderita.
c. Lapis Hal-Hal yang Dikemukakan
Lapis satuan arti menimbulkan lapis ketiga yang berupa hal-hal yang
dikemukakan. Hal-hal yang dikemukakan tersebut yaitu subjek (pelaku),
latar, objek yang dikemukakan dan dunia pengarang (Pradopo, 2014:18).
Subjek atau pelaku di dalam syair Ughniyyatul-Chamal yaitu anak
domba. Anak domba menjadi subjek di dalam syair ini, karena dialah pelaku
yang bercerita mengenai penderitaan yang sedang dia alami. Hal ini nampak
pada keseluruhan cerita mulai dari bait pertama hingga bait kelima.
Berkenaan dengan hal tersebut, anak domba bisa dikatakan sebagai pelaku
utama dalam syair ini. Sedangkan pelaku kedua di dalam syair ini adalah
Tuhan dan serigala-serigala. Analisis ini berdasarkan pada kutipan berikut:
نا بذي الب راري /لماذا كتبت العذاب /إذلي! .( 2009 :179سى،العي )؟علي
Ilahi> ! Lima>dza> katabtal-‘adza>b/ ‘Alaina> biha>dzi>l-bara>ri>? (al-‘Isa>,
2009:179)
Tuhanku!/ Mengapa Engkau takdirkan penderitaan/ Kepada kami di
padang rumput ini? (al-‘Isa>, 2009:179)
239
ئاب؟ .( 2009 :179العيسى، ) لماذا تكون الذ
Lima>dza> taku>nudz-dziˈa>b? (al-‘I>sa>, 2009:179).
Mengapa ada serigala-serigala? (al-‘I>sa>, 2009:179).
Keduanya menjadi pelaku kedua karena Tuhan dan serigala-serigala
berada di dalam cerita yang disampaikan oleh anak domba. Selain menjadi
pelaku, keduanya juga menjadi objek karena dikenai sasaran perbuatan si
anak domba.
Hal yang dikemukakan selanjutnya adalah latar. Latar atau setting
yang terdapat di dalam syair ini adalah latar tempat. Peristiwa-peristiwa yang
terdapat di dalam syair ini terjadi di padang rumput. Hal ini berdasarkan pada
kutipan berikut:
نا بذي الب راري؟ /لماذا كتبت العذاب .( 2009 :179العيسى، )علي
Lima>dza> katabtal-‘adza>b/‘Alaina> biha>dzi>l-bara>ri>? (al-‘Isa>, 2009:179).
Mengapa Engkau takdirkan penderitaan/ Atas kami melalui padang
rumput ini? (al-‘Isa>, 2009:179).
.( 2009 :179العيسى، ) بذي الب راري! خوف و
Wakhaufin biha>dzi>l-bara>ri>! (al-‘I>sa>, 2009:179).
Dan ketakutan di padang rumput ini! (al-‘I>sa>, 2009:179).
Dari dua kutipan di atas, nampak jelas bahwa peristiwa yang dialami
oleh anak domba sebagai pelaku dalam syair ini terjadi di padang rumput.
Dari padang rumput itulah penderitaan dan ketakutannya bermula.
Setelah latar, hal yang dikemukakan selanjutnya adalah objek. Di
dalam syair Ughniyyatul-Chamal objek yang dikemukakan pada tiap baitnya
240
berbeda-beda. Pada bait pertama objeknya adalah Tuhan, penderitaan, dan
kami (anak domba dan kawanannya). Ketiga objek tersebut dapat dilihat
dalam kutipan berikut:
نا بذي الب راري /لماذا كتبت العذاب /إذلي! .( 2009 :179العيسى، )؟علي
Ilahi> ! Lima>dza> katabtal-‘adza>b/ ‘Alaina> biha>dzi>l-bara>ri>? (al-‘Isa>,
2009:179).
Tuhanku!/ Mengapa Engkau takdirkan penderitaan/ kepada kami di
padang rumput ini? (al-‘Isa>, 2009:179).
Tuhan merupakan objek di dalam bait ini karena menjadi sasaran
panggilan anak domba. Sedangkan penderitaan menjadi objek bagi pelaku
kedua yaitu Tuhan. Untuk domba beserta kawanannya menjadi objek kedua
yang dikenai sasaran perbuatan oleh pelaku kedua (Tuhan).
Objek yang dikemukakan pada bait kedua adalah sesuatu (yang tidak
didapatkan oleh anak domba) dan kehidupan. Kedua objek ini terdapat di
dalam kutipan berikut:
.( 2009 :179العيسى، ) ول ن ؤذ حيا / نن شياول
Walam najni syayya>/ Walam nuˈdzi chayya> (al-‘I>sa>, 2009: 179).
Tiada sesuatupun kami dapatkan/ Dan kamipun tak merugikan
kehidupan (al-‘I>sa>, 2009:179).
Sesuatu (شيا) dan kehidupan (حيا) menjadi objek karena keduanya
menjadi sasaran perbuatan anak domba dan kawanannya yang merupakan
pelaku utama di dalam syair ini.
241
Pada bait ketiga, objek yang dikemukakan adalah pemberian yang
mulia. Analisis ini berdasarkan pada kutipan berikut:
ب ون عطي خي /ن .( 2009 :179العيسى، )االعطاء الس
Nuchibbu wanu‘thi>/ Al-‘atha>ˈas-sakhiyya> (al-‘I>sa>, 2009:179).
Kami mencintai dan memberi/ Pemberian yang mulia (al-‘I>sa>,
2009:179).
Pemberian yang mulia menjadi objek pada bait ketiga syair ini. Hal
ini disebabkan karena pemberian yang mulia digunakan oleh pelaku utama
(anak domba dan kawanannya) untuk melakukan aktivitas memberi.
Pada bait keempat tidak ditemukan objek yang menjadi sasaran
perbuatan pelaku utama maupun pelaku kedua pada syair ini. Selanjutnya,
pada bait kelima objek yang dikemukakan adalah serigala-serigala. Hal ini
dapat dilihat dalam kutipan berikut:
ئاب؟ .( 2009 :179العيسى، ) لماذا، لماذا الذ
Lima>dza>, Lima>dza> adz-dziˈa>b? (al-‘I>sa>, 2009: 179).
Mengapa, mengapa serigala-serigala? (al-‘I>sa>, 2009: 179).
Pada bait kelima ini, serigala-serigala menjadi objek karena mereka
merupakan sasaran pertanyaan pelaku utama syair ini yaitu anak domba.
Selain subjek (pelaku), latar, dan objek-objek, hal yang dikemukakan
selanjutnya yaitu dunia pengarang. Dunia pengarang adalah alur cerita yang
dibuat pengarang yang merupakan jalinan antara objek-objek yang
dikemukakan, latar, pelaku, dan ceritanya (Pradopo, 2014:19).
242
Dunia pengarang di dalam syair Ughniyyatul-Chamal adalah sebagai
berikut:
Seekor anak domba sedang berkeluh kesah kepada Tuhannya. Dia
bertanya-tanya mengapa Tuhan menciptakan penderitaan di padang rumput
tempatnya tinggal bersama kawanannya. Penderitaan itu disebabkan karena
adanya serigala-serigala, sehingga membuat mereka hidup dan mati dalam
ketakutan. Hal ini membuat hidup mereka tidak mendapatkan apapun, juga
tidak merugikan siapapun. Anak domba dan kawanannya saling mencintai
dan memberikan pemberian yang mulia. Namun, tetap saja mereka hidup
dalam kebingungan dan ketakutan di padang rumput itu. Anak dombapun
akhirnya mempertanyakan hal ini kepada serigala-serigala.
d. Lapis Dunia
Lapis dunia adalah lapis keempat di dalam analisis strata norma
Roman Ingarden. Lapis dunia ini merupakan lapis yang tidak perlu
dinyatakan secara eksplisit di dalam sebuah syair, namun keberadaannya
sudah implisit di dalam syair tersebut (Pradopo, 2014:15).
Lapis dunia pada bait pertama yaitu bahwa sosok yang dipanggil oleh
anak domba untuk berkeluh kesah mengenai penderitaan yang dialami adalah
Tuhan, bukan yang lain. Hal ini telah diketahui secara umum, bahwa
Tuhanlah pusat segala jawaban dan pertolongan akan penderitaan yang
dialami setiap makhluk tanpa harus dinyatakan dalam syair.
Selanjutnya, pada bait kedua lapis dunianya adalah sesuatu yang
menjadikan anak domba hidup dan mati dalam ketakutan. Dalam hal ini
243
serigala-serigala merupakan penyebabnya. Tanpa harus disebutkan oleh
penyair mengapa serigala menjadi penyebabnya, hal ini tentu sudah jelas,
karena serigala adalah hewan memakan daging. Jadi, ketakutan yang
dirasakan oleh anak domba dan kawanannya karena mereka takut di mangsa
oleh serigala-serigala, setiap kali anak domba beserta kawanannya sedang
berada di padang rumput untuk mencari makanan.
Lapis dunia yang ada di bait ketiga adalah berkenaan dengan
pemberian mulia yang diberikan oleh anak domba. Pemberian mulia yang
dimaksud adalah segala manfaat yang diberikan oleh domba kepada manusia
dan lingkungan sekitarnya. Bagi manusia, ada banyak hal yang diperoleh dari
domba misalnya manfaat bulu, daging, susu, kulit, dan lain sebagainya.
Sedangkan bagi rerumputan, kotoran domba merupakan nutrisi yang baik
untuknya.
Pada bait keempat, lapis dunia yang ditemukan yaitu berupa penyebab
kebingungan dan ketakutan yang dirasakan oleh anak domba dan
kawanannya. Hal ini disebabkan karena serigala-serigala yang selalu
mengintai setiap kali anak domba dan kawanannya sedang berada di padang
rumput. Pernyataan ini tidak disebutkan dalam bait keempat akan tetapi
sudah implisit dalam bait-bait yang sebelumnya.
Pada bait kelima tidak ada lapis dunia yang perlu dijelaskan, karena
pada bait ini hanya berisikan pertanyaan anak domba kepada serigala-
serigala.
244
e. Lapis Metafisis
Lapis metafisis adalah lapis kelima dalam analisis strata norma
Roman Ingarden. Lapis inilah yang menyebabkan pembaca berkontemplasi
atau melakukan perenungan. Akan tetapi tidak semua karya sastra
mengandung lapis metafisis ini (Pradopo, 2014:15).
Karya sastra yang mengandung lapis metafisis merupakan karya sastra
yang mencapai tingkatan keempat atau niveau human dan kelima atau niveau
religius (filosofis) dalam tingkatan pengalaman jiwa. Adapun tingkatan
pertama atau niveau anorganis yang terjelma pada karya sastra hanya berupa
pola bunyi, irama, baris, sajak, alenia, kalimat, gaya bahasa dan sebagainya.
Untuk tingkatan kedua atau niveau vegetatif yang terjelma dalam karya sastra
berupa suasana-suasana yang ditimbulkan oleh rangkaian-rangkaian kata-kata
itu. Tingkatan ketiga atau niveau animal merupakan tingkatan yang dicapai
oleh binatang dan sudah ada nafsu jasmaniahnya. Tingkatan ini jika terjelma
dalam kata berupa nafsu-nafsu naluriah seperti makan, minum, dan
sebagainya (Pradopo, 1994:55-59).
Sementara itu, tingkatan pengalaman jiwa keempat atau niveau human
jika terjelma ke dalam karya sastra dapat berupa renungan-renungan batin dan
moral, konflik kejiwaan, rasa simpati dan segala pengalaman yang dirasakan
manusia. Adapun tingkatan kelima atau niveau religius (filosofis) berupa
renungan batin sampai hakikat, hubungan tuhan dengan manusia, renungan
filsafat dan metafisis, dan sebagainya (Pradopo, 1994:58).
245
Renungan pada tingkatan niveau human pada syair Ughniyyatul-
Chamal yaitu bahwa di dalam kehidupan ini, manusia dianjurkan untuk saling
mencintai dan memberi. Dengan demikian akan tercipta rasa damai, tentram
dan tenang dalam kehidupan ini. Meskipun demikian, tidak menutup
kemungkinan terjadi gangguan, ancaman dan kejahatan yang akhirnya
mengusik rasa damai itu dan menimbulkan penderitaan. Manusia tidak boleh
tinggal diam terhadap hal ini, mereka harus mengupayakan berbagai macam
cara agar berbagai gangguan tersebut dapat diatasi, sehingga perdamaian
dapat tercipta kembali.
Selain itu, syair ini juga mengajarkan tentang usaha manusia untuk
mengatasi gangguan, ancaman, dan kejahatan yang menimpanya. Manusia
haruslah memiliki kesabaran dan kebijaksanaan dalam menanggapi ketiga hal
tersebut. Tidak selayaknya kejahatan dibalas dengan kejahatan. Manusia
hendaknya memilih jalan yang lembut dan jalan perdamaian selagi masalah
yang menimpanya tersebut masih bisa diatasi.
Sementara itu, renungan pada tingkatan niveau religius (filosofis)
terhadap syair ini yaitu jika segala ganguan dan ancaman yang membuat
seseorang menderita itu tidak mampu diatasi lagi, maka satu-satunya cara
yang bisa dilakukan adalah bersabar dan berpasrah diri kepada Tuhan.
Dengan melibatkan Tuhan pada setiap masalah yang sedang dihadapi oleh
seseorang, akan menjadikan orang tersebut selalu optimis dan percaya bahwa
selalu ada jalan bagi masalah yang sedang dia hadapi.
246
Berdasarkan hasil analisis syair kedelapan dengan memanfaatkan teori
strata norma Roman Ingarden yang terdiri dari lapis bunyi, lapis arti, lapis
hal-hal yang dikemukakan, lapis dunia dan lapis metafisis, dapat disimpulkan
secara keseluruhan bahwa syair yang berjudul Ughniyyatul-Chamal karya
Sulaima>n al-I>sa> termasuk dalam kategori syi‘r churr. Syair ini mengusung
tema “ketakutan” ( اخلوف), yaitu menggambarkan ketakutan yang dialami oleh
anak domba dengan keberadaan serigala di padang rumput. Ketakutan yang
dialami oleh anak domba ini mengingatkan kepada pembaca bahwa dalam
kehidupan ini, manusia tidak bisa lepas dari segala ancaman dan gangguan.
Meskipun demikian, manusia harus selalu bersabar, optimis, dan berpasrah
diri kepada Tuhan.
2. Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Karakter
Syair merupakan salah satu genre sastra, karena itu tentunya mengandung
pesan dan amanat yang hendak disampaikan oleh mengarangnya. Terlebih puisi
yang ditujukan untuk pembaca anak-anak, pesan dan amanat yang berupa nilai-
nilai pendidikan karakter sangat ditekankan. Hal ini mengingat usia anak-anak
merupakan usia yang tepat untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan karakter.
Penanaman nilai-nilai pendidikan karakter ini, bisa melalui berbagai
media, salah satunya syair. Hanya saja, tidak semua syair dapat ditangkap secara
langsung pesan dan amanatnya oleh anak-anak, untuk itu dibutuhkan peran orang
dewasa untuk membantu anak-anak dalam memaknai sebuah syair sehingga pesan
dan nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung di dalam syair tersebut dapat
tersampaikan kepada anak-anak.
247
Analisis nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung di dalam syair
Ughniyyatul-Chamal ini, berlandaskan pada sembilan pilar nilai-nilai karakter
menurut Kemendiknas dalam UU No. 20 tahun 2003 pasal 3 (Samani, 2013:106).
Berdasarkan sembilan pilar tersebut, nilai-nilai pendidikan karakter dalam syair
ini yaitu sebagai berikut:
a. Cinta Tuhan dan Segenap Ciptaan-Nya
Nilai karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya adalah nilai
karakter pertama dalam sembilan pilar nilai-nilai karakter menurut
Kemendiknas dalam UU No.20 tahun 2003 pasal 3 (Samani, 2013:106). Nilai
karakter Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya harus ditanam pada diri anak-
anak sejak dini, sehingga si anak akan terbiasa untuk tidak menyakiti
sesamanya maupun makhluk hidup yang ada disekitarnya.
Nilai karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya di dalam syair
Ughniyyatul-Chamal terdapat pada kutipan berikut:
نا بذي الب راري /ب ا كتبت العذالماذ /إذلي! .( 2009 :179العيسى، )؟علي
Ilahi> ! Lima>dza> katabtal-‘adza>b/ ‘Alaina> biha>dzi>l-bara>ri>? (al-‘Isa>,
2009:179).
Tuhanku!/ Mengapa Engkau takdirkan penderitaan/ kepada kami di
padang rumput ini? (al-‘Isa>, 2009:179).
خي /ون عطي ب ن .( 2009 :179العيسى، )االعطاء الس
Nuchibbu wanu‘thi>/ Al-‘atha>ˈas-sakhiyya> (al-‘I>sa>, 2009:179).
Kami mencintai dan memberi/ Pemberian yang mulia (al-‘I>sa >,
2009:179).
248
Kutipan pertama menampilkan bagaimana si pelaku utama (anak
domba) memanggil Tuhannya. Dia mengeluhkan penderitaan yang sedang
menimpanya. Di sini nampak suatu pemandangan akan kedekatan seorang
hamba kepada Tuhannya. Suasana kedekatan itulah yang mendasari rasa cinta
seorang hamba kepada Tuhannya.
Sedangkan pada kutipan kedua, menggambarkan kecintaan terhadap
sesama makhluk ciptaan-Nya. Hal ini ditampilkan oleh kebiasaan anak
domba beserta kawanannya yang saling mencintai dan memberi.
b. Dermawan
Dermawan merupakan karakter kelima dalam sembilan pilar nilai
pendidikan karakter menurut Kemendiknas berdasarkan UU No. 20 tahun
2003 pasal 3 (Samani, 2013:106). Karakter dermawan dalam syair ini
ditampilkan oleh perilaku anak domba sebagaimana terdapat dalam kutipan
berikut:
خي /ب ون عطين .( 2009 :179العيسى، )االعطاء الس
Nuchibbu wanu‘thi>/ Al-‘atha>ˈas-sakhiyya> (al-‘I>sa>, 2009:179).
Kami mencintai dan memberi/ Pemberian yang mulia (al-‘I>sa >,
2009:179).
Pada kutipan di atas disebutkan bahwa anak domba dan kawanannya
saling mencintai dan memberi dengan pemberian yang mulia. Karakter
dermawan ini perlu diperkenalkan kepada anak semenjak dini agar dia
terbiasa untuk memberi dan menolong orang lain ketika dewasa kelak. Dalam
memberipun, seorang anak perlu dibiasakan untuk melakukan pemberian
249
yang mulia. Pemberian yang mulia yaitu memberi sesuatu yang terbaik untuk
orang lain dengan cara yang sebaik-baiknya dan dengan hati yang tulus.
c. Tabah, ikhlas, dan tidak pendendam
Ketiga karakter tersebut merupakan penjabaran dari karakter
kedelapan pada sembilan pilar nilai karakter menurut Kemendiknas dalam
UU No. 20 tahun 2003 pasal 3 yaitu karakter baik dan rendah hati (Samani,
2013:106).
Karakter tabah, ikhlas dan tidak pendendam ditampilkan oleh anak
domba dan kawanannya dalam menyikapi serigala-serigala sebagai penyebab
penderitaannya. Anak domba beserta kawanannya pasrah dan ikhlas dengan
takdir Tuhan yang telah menetapkan penderitaan melalui keberadaan
serigala-serigala di padang rumput. Mereka juga tidak balas dendam dengan
memusuhi serigala-serigala tersebut.
Karakter tabah dan ikhlas tersebut perlu ditanamkan pada diri anak
sejak dini agar anak memiliki karakter yang kuat sehingga sanggup mengatasi
berbagai kesulitan yang meliputi kehidupan manusia. Selain itu seorang anak
juga perlu diajari untuk tidak menjadi seorang yang pendendam, karena sifat
pendendam akan menghambat seseorang dalam berhubungan dan
berkomunikasi dengan orang lain. Dengan memaafkan kesalahan orang lain
dan tidak berlaku pendendam akan memudahkan seseorang untuk menjalin
hubungan dengan orang lain, memperbanyak teman, dan mengurangi lawan
(musuh).
250
d. Tidak merugikan orang lain
Karakter tidak merugikan orang lain merupakan penjabaran poin
kesembilan dalam sembilan pilar pendidikan karakter menurut Kemendiknas
pada UU No. 20 tahun 2003 pasal 3 yaitu nilai karakter toleransi, kedamaian,
dan kesatuan (Samani, 2013:106). Karakter ini dapat dilihat dalam kutipan
berikut:
.( 2009 :179سى،)العي ول ن ؤذ حيا
Walam nuˈdzi chayya> (al-‘I>sa>, 2009:179).
Dan kamipun tak merugikan kehidupan (al-‘I>sa>, 2009:179).
Tidak merugikan orang lain adalah salah satu bentuk toleransi
terhadap sesama. Karakter ini sebaiknya ditanamkan pada diri seorang anak
sejak dini agar kelak dia mudah diterima di manapun. Dengan tidak
merugikan orang lain akan membuat orang lain senang bergaul dengannya
dan menjadikan anak tumbuh menjadi pribadi yang mandiri.