bab ii gambaran umum tentang metafisika a....
TRANSCRIPT
15
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG METAFISIKA
A. Pengertian Metafisika
Metafisika secara bahasa berakar dari kata “ta meta ta physica”, yaitu
sebuah bahasa Yunani yang diperkenalkan oleh Aristoteles yang pada
akhirnya disebarluaskan oleh Andronikos dari Rodi pada abad I SM. Hal ini
disandarkan pada karya Aristoteles sebagai etikat bibliografis yang
tercampakkan akibat perang, ketika Athena dikalahkan oleh Sisilia pada tahun
86 SM. Dalam karya yang berjumlah 14 buah buku tersebut kebanyakan
berkaitan dengan teori dan pemahaman empiri-fisik dan buku yang keempat
belas tersebut diberi nama oleh Andronikos dengan ta meta ta physica, yang
di dalamnya membahas tentang realitas, kualitas, kesempurnaan, yang ada,
yang tidak terdapat pada dunia fisik, tetapi mengatasi dunia fisik. Istilah
metafisika muncul karena sebagai akibat terbatasnya dunia fisik dalam
menjelaskan fenomena yang ada di alam ini. Metafisika mempunyai arti
filosofis, yang berlandaskan pada ilmu yang ada, karena setelah dan melebihi
yang fisika (post physicam et supra physicam).1 Artinya masalah metafisika
adalah masalah yang paling dasar dan menjadi inti dalam filsafat, karena
metafisika mempersoalkan eksisitensi Sang Ada sebagai jawaban terakhir dari
semua proses perubahan. Adanya pengakuan atas Sang Ada sebagai sebab
yang tidak disebabkan, sebagai penggerak yang tidak digerakkan, realitas
1Lorens Bagus, Metafisika, Gramedia Pustka Utama, Jakarta, 1991, hlm. 18-19
16
yang selalu berubah ini tidak menjadi absurd, tetapi masuk dalam akal dan
dapat dipikirkan.2
Metafisika secara terminologis dipahami sebagai semua studi
mengenai “sesuatu” (ada) yang mengatasi fenomena atau mengatasi realitas
fisik yang tampak. Pengertian ini menampik pemahaman bahwa metafisika
sama saja dengan pengetahuan yang bersifat post physicam, yaitu ilmu yang
ada karena muncul sesudah fisika dan matematika.3 Artinya metafisika yang
dikatakan sebagai filsafat pertama memuat uraian tentang sesuatu yang ada di
belakang gejala-gejala fisik
Pandangan inilah yang mematahkan pendapat Plato bahwa hanya
dunia bukan fisik (ta paradeigmata atau idea-idea) mempunyai kenyataan
yang sungguh-sungguh (ontoos on), sedangkan dunia fisik cuma merupakan
bayangannya, karena menurut Aristoteles dunia fisik sendiri memiliki
kenyataan yang sungguh-sungguh, sehingga istilah metafisika tidak
menunjukkan bidang ekstensif atau objek material tertentu, akan tetapi
mengenai suatu inti yang termuat dalam setiap kenyataan ataupun unsur
formal. Nama metafisika merupakan “nivo pemikiran”, yaitu merupakan
refleksi filosofis mengenai kenyataan yang secara mutlak paling mendalam
dan paling utama.4
Dengan demikian istilah memuat uraian tentang sesuatu yang ada di
belakang gejala-gejala fisik seperti gerak, berubah, hidup dan mati. Metafisika
2Ibid., hlm. xv-xvi
3Ibid., 20-dst 4Anton Bakker, Ontologi Metafisika Umum, Kanisius, Pustaka Filsafat, Yogyakarta,
1992, hlm. 14-15
17
dapat didefinisikan sebagai studi pemikiran tentang sifat yang terdalam
(ultimate nature) dari kenyataan atau keberadaan. Aristoteles menyebutnya
dengan beberapa istilah yang maknanya setara dengan metafisika, yaitu
filsafat pertama (first philosophy), pengetahuan tentang sebab (knowledge of
cause). Dengan demikian studi metafisika terbagi menjadi beberapa bidang
kajian, yaitu: studi tentang Ada sebagai ada (the study of Being as being),
studi tentang Ousia (being), studi tentang hal-hal yang abadi yang tidak dapat
bergerak (the study of the eternal and immovable), dan theologi.5
Ungkapan yang “ada”, baik Tuhan maupun manusia sendiri adalah
hasil dari pengalaman atau penghayatan manusia, sehingga metafisika tidak
terlepas dari kancah berfilsafat. Hal ini didasarkan pada penuturan kata-kata
atau verbal yang tersusun secara sistematis dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Tuhan adalah ada semesta atau ada mutlak
2. Alam semesta merupakan pengejawantahan Tuhan
3. Alam semesta dan manusia merupakan suatu kesatuan dengan bahasa lain
disebut juga dengan makrokosmos dan mikro kosmos.
Metafisika tidak bisa dilepaskan dari dunia dan kajian filasafat, karena
metafisika merupakan ujung dari filsafat6. Berfikir filsafati adalah usaha untuk
menemukan realitas yang mutlak yang memegang kendali di balik realitas
dunia yang bersifat fisik, Dia-lah kekuatan adikodrati yang ber-ada di balik
5Rizal Muntasyir, “Aliran -Aliran Metafisika (studi Kritis Filsafat Ilmu)”, Jurnal Filsafat,
Fakultas Filsafat UGM, seri 28, Juli 1997, hlm. 3 6Endang Saifuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama, Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hlm.
87-88
18
semua yang ada ini. penjelasan term ini adalah keniscayaan untuk menguak
hakekat dari metafisika.
Secara umum varian sumber pengetahuan secara teori adalah beragam
jenis, sehingga berlandaskan pada pengklasifikasiannya, pengetahuan terbagi
dalam 3 kategori:
1. Pengetahuan indera, yaitu pengetahuan di hasilkan dari kerja atau
pengalaman panca indera, semisal melihat, mendengar, merasa, mencium
segala sesuatu akhirnya melalui proses pemikiran, jadilah pengetahuan.
2. Pengetahuan ilmu, ini didasarkan pada penelitian yang menggunakan alur
berfikir sistematik dan radikal yang disertai dengan eksperimen. Hasil dari
penelitian atau riset itulah yang disebut dengan ilmu
3. Pengetahuan filsafat, alur pencapaian pengetahuan dengan jalan berfikir
yang sistemik, radikal dan universal.7
Ketiga pengelompokan sumber pengetahuan tersebut, sumber ketiga-
lah yang paling digunakan dalam menempuh suatu pengetahuan, baik
pengetahuan alam (yang kasat mata) maupun pengetahuan metafisika (unsur
Ilahiyah). Berfilsafat adalah mencari kebenaran dari kebenaran untuk
kebenaran tentang segala sesuatu dipermasalahkan dengan berfikir secara
radikal, sistematis dan universal. Sehingga bertolak dari kata kerjanya, filsafat
sebagai kata benda dapat didefinisikan sebagai: “sistem kebenaran tentang
segala sesuatu yang dipersoalkan sebagai hasil dari berfikir secara radikal,
sistematis dan universal. Artinya filsafat secara umum dapat didefinisikan
7 Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta, 1972, hlm. 4
19
sebagai pencarian pengertian menurut akar dan dasar terdalam (ex ultimis
causis)8
Tujuan dari mempelajari filsafat adalah mengetahui Tuhan Yang
Maha Esa, sehingga seorang filosof ialah orang yang memiliki pengetahuan
tentang “al-wajib li dza tihi”, dzat yang ada dengan sendirinya, wujud yang
sempurna. Makhluk adalah wujud yang tidak sempurna, karena itu
pengetahuan tentang makhluk adalah pengetahuan yang tak sempurna. Filsafat
bisa tercapai jika ada kemampuan untuk bisa membedakan antara yang benar
dengan yang salah, yang didukung dengan tenaga pikiran untuk mengetahui
kebenaran, sehingga akan dapat mengetahui yang benar adalah benar dan yang
salah adalah salah.9
Metafisika merupakan bagian dari filsafat10, sedangkan filsafat sendiri
diidentikkan dengan ilmu pengetahuan umum. Filosof kenamaan, Aristoteles
membagi filsafat menjadi: ilmu pengetahuan yang produktif, ilmu
pengetahuan yang praktis dan ilmu pengetahuan yang teoritis.
Ilmu pengetahuan teoritis sendiri terbagi dalam tiga bidang, yaitu
fisika, matematika dan metafisika (istilah lain dari filsafat pertama,
sebagaimana yang dilontarkan Arisoteles), secara sistematis filsafat terbagi
dalam:
1. Metafisika (filsafat tentang hal yang “ada”)
2. Epistemologi (teori pengetahuan)
8Anton Bekker, Ontologi Metafisika Umum, Kanisius, Yogyakarta, 1992, hlm. 18
9Sidi Gazalba, op.cit., hlm. 21 10Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 38-39
20
3. Metodologi (teori tentang metode)
4. Logika (teori tentang penyimpulan)
5. Etika (filsafat tentang pertimbangan moral)
6. Estetika (filsafat tentang keindahan)
7. Sejarah filsafat.11
Dengan demikian metafisika sebagai salah satu pokok kajian filsafat,
menjadikan eksistensi metafisika tidak terlepas dari filsafat, karena bertitik
tolak dari eksistensi manusia dan alam dunia sebagai wujud yang nyata yang
dapat ditangkap dengan panca indera.12
Filsafat dapat dicapai dengan kemampauan untuk membedakan antara
yang benar dan yang salah. Kepandaian itu didapat dengan tenaga pikiran
untuk mengetahui kebenaran. Tenaga itu terwujud, apabila memiliki
kesanggupan mengetahui perkara yang salah itu salah, kemudian menjauhi
dan mampu pula untuk mengetahui kesalahan yang kelihatan benar, sehingga
tidak tertipu. Sebaliknya dapat pula mengetahui hal-hal yang hakekatnya
benar, tetapi kelihatannya salah, sehingga kita menyalahkannya.13 Metafisika
merupakan cabang dari filsafat yang berbicara mengenai sesuatu di luar alam
biasa.14
Orang mulai mengadakan pemilahan terhadap pelbagai macam bagian
dari metafisika pada abad ke-17 dan 18 M. Pemilhan yang paling berpengaruh
11Ibid.,hlm. 26 12Abdullah Ciptoprawiro, Filsafat Jawa, Balai Pustaka, Semarang, 1992, hlm. 22 13Sidi Gazalba, op.cit., hlm 21
14W. J. S. Poerwadaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986, hlm. 520
21
adalah pemilahan yang dilakukan oleh Christian Wollf sebagaimana yang
dikutip oleh Damarjati Supajar15, yaitu antara metaphysica generalis dan
metaphysica specialis. Wollf menggunakan istilah ontologis bagi metaphysica
generalis, yang membahas asas-asas atau prinsip-prinsip yang seumum-
umunya, sedang metaphysica specialis membahas penerapan asas-asas atau
prinsip-prinsip yang khusus. Pembagian metaphysica specialis terdiri atas tiga
bidang, yaitu cosmologia, psichologia dan theologia. Jadi antara metafisika
dan ontologi pada mulanya satu istilah, yaitu metafisika, kemudia pad aabad
ke-17 antara metafisika dan ontologi mulai dipisahkan.
Ada empat macam aliran yang timbul dalam filsafat metafisika
menurut Hasbullah Bakry, di antaranya:
1. Dualisme
Aliran ini berpendapat bahwa alam maujud ini terdiri atas dua macam hakekat,
yaitu materi dan rohani. Keduanya sama-sama azazli dan abadi. Keterkaitan
antara keduanya itulah yang menciptakan kehidupan dalam alam ini.
2. Materialisme
Aliran ini menganggap bahwa yang ada hanylah materi, segala sesuatu yang
lainnya hanyalah merupakan akibat dari proses gerakan kebendaan dengan
salah satu cara tertentu. Aliran ini juga menganggap bahwa kenyataan ini
benar-benar merupakan mekanis seperti seperti suatu mesin yang besar.
15Damarjati Supajar, “Konsep Kefilsafatan tentang Tuhan menurut Whitehead” Jurnal Filsafat, Fakultas Filsafat UGM, Seri 03, Agustus 1990, hlm. 3
22
3. Idealisme
Idealisme merupakan lawan dari materialisme, karena idealisme materi
hanyalah suatu jenis dari penjelmaan rohani. Roh dianggap sebagai hakekat
yang sebenarnya dan materi diangap sebagai bayangan atau penjelmaannya.
4. Agnoticisme
Aliran ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakekat
metafisika. Aliran ini dengan tegas menyangkal adanya suatu kenyataan
mutlak yang bersifat transendental.16
Lebih lanjut Hasbullah Bakry membagi aliran metafisika spesialis
(theologia) dalam dua aliran, yaitu theisme dan pantheisme. Theisme
adalahaliran yang berpendapat bahwa ada sesuatu kekuatan yang berdiri di
luar alam dan menggerakkan alam ini, kekuatan yang menggerakkan tersebut
disebut dengan Tuhan. Sedangkan pantheisme merupakan aliran yang
menganggap bahwa semua alam ini adalah Tuhan.17 Artinya kajian secara
umum dari metafisika adalah membahas sesuatu di balik yang tampak.
B. Rumusan Filsafat Jawa
Secara harfiyah filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu philosophia
yang berarti cinta kearifan (the love of wisdom), sedangkan menurut filsafat
jawa sebagaimana pengamatan yang telah dilakukan oleh Romo Zoetmulder
bahwa pengetahuan (filsafat) senantiasa hanya merupakan sarana untuk
mencapai kesempurnaan. Filsafat jawa adalah cinta kesempurnaan (the love of
16A. Hasbullah Bakry, Sistematika Filsafat, Widjaya, t.th., hlm. 45-53 17Ibid., hlm. 54-59
23
perfection) dengan memakai analogi philosophis Yunani, adapun dalam
bahasa jawa dikenal dengan bahasa ngudi kasampurnan, yaitu berusaha
mencari kesempurnaan. Sedangkan philosophia yunani bila dibaca dengan
bahasa jawa menjadi ngudi kawicaksanan.18
Filsafat jawa memang berkaitan dengan Tuhan dan manusia, yaitu
wujud yang mutlak dan wujud ilapi (realative) yang selalu melatarbelakangi
oleh pengalaman ekstase kesatuan abdi dan Tuhan. Hal tersebut dilakukan
demi usaha mencari keterangan pengertian dan untuk mendalami makna dari
seluruh yang ada.
Pengertian tersebut-lah yang membedakan dengan pemahaman filsafat
barat, karena dalam filsafat jawa yang ditekankan adalah dari mana dan ke
mana semua wujud ini atau dengan istilah sangkan paran:
1. Sangkan paraning dumadi: awal-akhir alam semesta
2. Sangkan paraning manungsa: awal-akhir manusia
3. Dumadining manungsa: penciptaan manusia
Tujuan akhir dari filsafat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
filsafat jawa bermuara pada sangkan paraning dumadi dan manungsa, yaitu
awal berarti berasal dari Tuhan dan akhir berarti kembali kepada Tuhan.
Usaha untuk kembali kepada Tuhan, sebagai realitas yang mutlak ini-lah
akhirnya manusia menempuh jalan berfilsafat dengan mencurahkan kekuatan
jasmani (lahir) maupun rohani (batin). Usaha yang terakhir ini-lah yang pada
18Abdullah Ciptoprawiro, op.cit., hlm. 14
24
perkembangan selanjutnya dalam budaya masyarakat jawa dikenal dengan
aliran kebatinan.19
Menjawab permasalahan di atas ini-lah yang akhirnya metafisika
berbicara, karena wilayah metafisika adalah mempersoalkan eksistensi Sang
Ada Tertinggi, sebagai jawaban terakhir dari semua proses perubahan. Adanya
pengakuan atas Sang Ada sebagai sebab yang tidak disebabkan sebagai
penggerak yang tidak digerakkan, realitas yang selalu berubah ini tidak
menjadi absurd, tetapi masuk dalam akal dan dapat dipikirkan20
Metafisika adalah usaha sistematis, reflektif dalam mencari hal yang
ada di belakang hal-hal yang fisik dan bersifat particular. Itu berarti usaha
mencari prinsip dasar yang mencakup semua hal. Yang ada merupakan prinsip
dasar yang dapat ditemukan pada semua hal, karena metafisika khususnya
yang dimaksudkan dalam karya ini adalah ilmu mengenai yang ada yang
bersifat universal atau ilmu mengenai yang ada qua yang ada.21
Menjawab keraguan akan metafisika, sesungguhnya dapat dijawab,
kalau kita melihat pohon, maka yang ada di benak kita adalah pohon adalah
sesuatu yang mempunyai batang, akar, ranting dan daun tanpa mengetahui
mengapa dapat hidup, siapa yang menggerakkan dia sehingga dapat
berkembang biak menjadi banyak dan semakin menjulang. Pertanyaan-
pertanyaan inilah yang nantinya akan digarap oleh metafisika, karena ia
berusaha mengungkap sesuatu di balik yang ada atau realitas.
19Ibid., hlm. 22 20Lorens Bagus, Metafisika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991, hlm. xv-xi 21Ibid., hlm. 20-21
25
Jawa sebagai salah satu rumpun bangsa yang beradab, tentunya
mempunyai filsafat sendiri, terutama filsafat hidup. Bukti berkembangnya
Filsafat Jawa dapat ditelusuri dalam sejarah filsafat jawa, Hamengkubuwono
X adalah salah satu tokoh Jawa yang memeberikan kontribusi tentang
pengertian filsafat sebagia hasil perenungan jiwa manusia melalui pandangan
reflektif yang mendasar, mendalam dan menyeluruh sebagai pandangan hidup
manusia. Berfilsafat berarti melakukan kegiatan analitik-normatif, evaluatif-
fenomenologis dan simplifikasi dari kehidupan yang amat kompleks.22
Filsafat jawa terbentuk karena perkembangan kebudayaan jawa asli
(animisme-dinamisme sebagai akibat dari pengaruh agama Hindu dan Budha
dan Islam. Orang-orang Hindu dan Budha dari India yang membawa agama
tersebut serta orang-orang muslim yang datang ke tanah Jawa juga
menyebarkan agama Islam serta alam pikiran Islam (filsafat Islam). Akhirnya
kebudayaan jawa asli, filsafat Hindu-Budha, filsafat serta agama Islam
melebur menjadi suatu alam pikir jawa (filsafat jawa).23
C. Eksistensi Filsafat Jawa
Banyak kalangan yang meragukan eksistensi filsafat jawa dengan
pernyataan bahwa: “Indonesia tidak mempunyai filsfat asli” atau van
autochtone philosophie hier te lande is geen sproke. Akhirnya, pernyataan
tersebut mendapat tanggapan serius dari tokoh budaya jawa, Zoetmulder
22Slamet Riyadi, HANACARAKA (Kelahiran, Penyusunan, Fungsi dan Makna), Yayasan
Pustaka Nusantara, Yogyakarta, 1996, hlm. 58
23Budiono Herusatoto, Simbolisme Dalam Budaya Jawa, cet. ke-3., Hanindita, Yogyakarta, 1997, hlm. 72
26
dalam majalah Djawa yang berjudul geen eigen wjisbegeerte (tidak ada
filsafat sendiri). Berdasarkan fakta-fakta yang nyata, dapat diyakini bahwa
pendapat yang mengingkari adanya pemikiran filsafat asli itu tidak benar24
Dipertegas dengan adanya hasil penelitian yang dilakukan sarjana
barat yang mengakui keberadaan filsafat jawa yang berdiri sendiri. Di
antaranya adalah:
a. Robert Jay, seorang ahli yang telah menyelidiki secara mendalam tentang
agama asli, di sana dikatakan bahwa pemikiran jawa tradisional
merangkum suatu sistem filsafat lengkap dan pengindahan hidup yang
berdiri sendiri.
b. Y.M. Lee Khoen Choy dalam bukunya yang berjudul “Indonesia Between
Mith and Reality” (1976), mengakui bahwa cerita wayang merupakan
simbolisme dari filsafat jawa. Simbol-simbol tersebut dapat dilihat dalam
mengartikan filosofi pewayangan, layar yang diterangi adalah dunia yang
nyata dan wayang-wayang nya menggambarkan bermacam-macam ciptaan
Tuhan. Gedebog pisang yang dipergunakan untuk menyangga wayang
dengan menancapkan cempurik wayang ke dalamnya menggambarkan
permukaan dunia. Blencong lampu yang dipasang di atas dalang adalah
sinar kehidupan, gamelan adalah lambang keserasian (harmoni) kegiatan
duniawi25
c. Soetoko Djojosoebroto berpendapat bahwa filsafat jawa dapat
dikelompokkan dalam jajaran filsafat mistik. Tujuan filsafat mistik adalah
24Abdullah Ciptoprawiro, Filsafat Jawa, Balai Pustaka, Jakarta, 1986, hlm. 10 25Budiono Herusatoto, op.cit., hlm. 72
27
peleburan diri dalam kodrat-iradat Tuhan sebagai yang tampak
mengejawantah dalam hukum evolusi yang berlaku dalam alam semesta.
Istilah yang cukup populer dikalangan orang jawa yaitu manunggaling
kawula gusti, atau curiga manjing warangka. Istilah manungaling di sini
hendaknya diberi arti kiasan; tidak menggambarkan bersatunya dzat Tuhan
dengan dzat manusia, melainkan jumbuhnya (samanya) karsa Tuhan
dengan tujuan hidup orang jawa.26
Manusia yang oleh filsafat jawa dianggap berhasil dalam hidupnya
ialah yang sanggup mencapai sukses dalam hidup teori dan praktek, sehingga
tampak dengan nyata sikap arif dan bijaksana, dalam melaksanakan tugas
masyarakatnya sebagai satria-pinandita, yang mempunyai tugas untuk
berjuang secara ksatria, memberantas segala rintangan yang menghalangi
tercapainya kesejahteraan semesta atau dengan istilah “memayu rahayuning
sarira, memayu rahayuning praja dan memayu rahayuning bawono”.27 Romo
Zoetmulder mengemukakan tentang filsafat jawa bahwa pengetahuan atau
filsafat itu sendiri merupakan sarana untuk mencapai kesempurnaan, sehingga
dapat dirumuskan bahwa filsafat jawa adalah cinta kesempurnaan (the love of
perfection) dengan memakai analogi philosophia Yunani, yang dalam
translitrasi jawa menjadi ngudi kasampurna (berusaha mencari
kesempurnaan).28
26Soetoko Djojosoebroto, Theorema Filsafat Kepercayaan Tentang Tuhan Yang Esa
Dasar Filsafat Kejawen, Pancasila, Semarang, 1984, hlm. 67 27Ibid., hlm. 67 28Abdulah Ciptoprawiro, op.cit., hlm. 14
28
Membedakan filsafat barat dengan filsafat jawa yang lebih
menekankan pada unsur rasa. Perbedaan ini dapat dijumpai dalam ungkapan:
“wong jawa iku nggone rasa”, karena orang akan dianggap kasar bila ia tidak
tahu rasa. Rasa menjadi satu dengan jawa. Bukankah Descartes menggunakan
istilah “cogito ergo sum”, de Brian menyatakan “volo ergo sum”, sehingga
rasa menjadi istilah yang sangat luas maknanya, mulai dari penginderaa
sampai hidup itu sendiri.29
Rasa dipahami sebagai substansi atau dzat yang mengaliri alam sekitar
berupa suasana pertemuan antara jagad gedhe (makro kosmos) dan jaghad
cilik (mikro kosmos), bahkan terkadang muncul sebagai daya hidup. Rasa
terbagi dalam hirarki sebagai berikut:
a. Rasa pangrasa, yaitu rasa badan wadagh, seperti yang dihayati seseorang
melalui inderanya dan hadir dalam kebadanan seseorang.
b. Rasa rumangsa, yakni rasa eling, rasa cipta, rasa grahito, seperti ketika
seseorang menyatakan bahwa kramadangsa telah “ngrumangsani
kaluputane” atau rumangsa amung titah kramadangsa amung caos
syukur”.
c. Rasa sejati, yakni rasa yang masih mengenal rasa yang merasakan dan
rasa yang dirasakan, sudah manunggal, tetapi masih dapat di sebut seperti
rasa damai, bebas dan abadi.
d. Sejatining rasa, yaitu rasa yang berarti hidup itu sendiri yang abadi.30
29Darmanto Jatman, Psikologi Jawa, Bentang Budaya, Yogyakarta, 1997, hlm. 25-26 30ibid., hlm. 27
29
D. Rumusan Metafisika Jawa
Secara garis besar cakupan metafisika jawa berkubang dalam bahasan
mencari sejating urip. Dalam hal ini Abdullah Ciptoprawiro menyatakan
bahwa ungkapan tentang ada (Tuhan), alam dan manusia dianggap sebagai
hasil dari pemikiran dan pengalaman atau penghayatan manusia Jawa.
Pernyataan tersebut berangkat dari asumsi tentang eksistensi manusia dan
alam sebagai wujud nyata yang dapat ditangkap panca indera, sehingga dapat
digambarkan dalam pembagian tentang tiga entitas tersebut, yaitu:
1. Tuhan adalah Ada semesta atau Ada Mutlak
2. Alam Semesta merupakan pengejawantahan Tuhan
3. Alam Semesta dan manusia merupakan suatu kesatuan, yakni kesatuan
makrokosmos dan mikrokosmos.31
Upaya pencarian hidup manusia di dunia ini senantiasa berakhir pada
wikan, weruh atau mengerti sangkan paran, karena Tuhan merupakan
sangkan paraning dumadi dan manusia mengalami awal dan akhir dengan
pengertian:
a. Awal berarti berasal dari Tuhan
b. Akhir berarti kembali kepada Tuhan32
Konsepsi metafisika jawa adalah terfokus bagaimana menyibak dari
sesuatu yang ada sebagai sebuah realitas dan realitas tunggal tersebut adalah
Tuhan, inilah tujuan dari metafisika jawa. Tujuan filsafat jawa dengan
31Abdullah Ciptoprawiro, op.cit., hlm. 22 32Ibid., hlm. 23
30
metafisika-nya berusaha mencari sangkan paran, karena awal berarti berasal
dari Tuhan dan akhir berarti kembali kepada Tuhan.
Pengejawantahan menuju Tuhan tersebut dikenallah dengan istilah
manunggaling Subyek-Obyek, sehingga diperoleh pengetahuan mutlak atau
kewicaksanaan, kaweruh sangkan paran dalam mencapai kesempurnaan.
Memperoleh hakikat tersebut ada jalan untuk sampai ke sana, yaitu dengan
pengoptimalan cipta-rasa-karsa. Tahapan-tahapan dalam menempuh kesadaran
adalah sebagai berikut:
1. Kesadaran panca inderawi atau Aku (Ego consciousness)
2. Kesadaran hening: manunggaling dalam cipta-rasa-karsa
3. Kesadaran pribadi (Ingsun, Suksma Sejati) manunggal Aku-Pribadi (self
conciousness).
4. Kesadaran Ilahi; manunggaling Aku-Pribadi- Suksma Kawekas.
Dari keempat tingkat kesadaran tersebut, jalan untuk mencapai
kesempurnaan adalah dengan mengolah kemampuan akan cipta-rasa-karsa
dalam kehidupan sehari-hari, yaitu dalam kata dan karya, ucapan dan
perbuatan.33
Uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa untuk bisa sampai
kepada Ada bukanlah diperoleh melalui penalaran rasio, melainkan melalui
penglaman atau penghayatan batin (inner experience), karena pada dasarnya
semua pengetahuan itu ada berasal dari “experiential knowledge”.
Pengetahuan yang diperoleh dengan panca indera dan rasio lebih mudah
33Abdullah Ciptoprawiro, op.cit., hlm. hlm. 24-25
31
dijadikan pengetahuan konseptual (conceptual knowledge) dan dinyatakan
dengan kata (verbal), sebaliknya pengetahuan yang diperoleh melalui
penghayatan batin, sering tidak dapat dinyatakan dengan kata dalam
sistematis-logis, melainkan melalui perumpamaan, simbolisme atau bentuk
syair.34
Unsur fundamental dalam kajian metafisika Jawa adalah tentang roh,
raga dan alam kosmos. Roh dan raga atau badan pada dasarnya adalah satu,
sehingga muncul istilah loroning atunggal (monodualisme) atau dualisme
tunggal.
Serat Wedhatama membuktikan antara alam tetap dan tidak berubah
dengan alam yang selalu berubah. Alam yang tetap dan tidak berubah disebut
dengan alam suwung. Ini adalah tempat asal dan sekaligus tempat kembali
manusia yang dapat memperoleh karunia Tuhan. Alam Suwung juga disebut
dengan kinoat yang dapat memuat waktu langgeng atau abadi. Alam ini juga
merupakan tempat bersemayamnya Tuhan sendiri. Kekuatan alam suwung
inilah yang menguasai dunia fisik secara keleluruhan (ta hyper ta phisika).35
Pemahaman inilah yang pada akhirnya muncul konsep manunggaling
kawula gusti, karena antara roh dan raga adalah bersumber dari satu, yaitu
Tuhan sebagai kekuatan metafisika yang mengatur dunia fisik.
Eksistensi dalam kosmos alam raya dipandang sebagai sesuatu yang
teratur, dan tersusun secara hirarkis. Tugas moral segala sesuatu yang ada
34Ibid., hlm. 38
35Parmono, Menggali Unsur-Unsur Flsafat Indonesia, Andi Offset, Yogyakarta, 1985, hlm. 95
32
adalah menjaga keselarasan dengan tata tertib yang universal. Orang-orang
yang mentaati tata tertib universal, akan hidup selaras dengan Sang Hidup
(Allah) dan menjalankan hidup yang benar. Kehidupan manusia hendaklah
dalam keadaan seimbang-tenang dengan jagad raya; tidak bertentangan
dengan kodrat alam, dan tidak terlalu mengejar materi kebendaan. Pendekatan
hidup dan kenyataan sesuatu terhadap Sang Maha Kuasa, jika manusai sadar
akan dirinya, maka dengan cara tertentu telah bersangkut paut dengan dunia
manusiawi. Kesadaran akan kehadiran diri berarti juga kesadaran dunia di
mana manusia itu sendiri mendapatkan diri sendiri secara kritis, sehingga ia
mengakui berdiri dalam diri sendiri, tidak tergantung dari obyek lain
melainkan sebagai substansi. Refleksi itu sekaligus sebagai kesadaran dan
kehadiran manusia pada dunia serta manusia lain, di mana manusia tidak
pernah secara menyeluruh dapat memisahkan diri. Kesadaran inilah yang
menuntun manusia untuk berjalan dalam keteraturan kosmos di mana manusia
melibatkan diri dan hadir di dalamnya.36
Masyarakat dan alam merupakan lingkup kehidupan orang jawa sejak
kecil. Masyarakat baginya pertama-tama terwujud dalam keluarganya sendiri,
termasuk sebagai anak dan sebagai adik atau kakak, kemudian ada para
tetangga, keluarga yang lebih jauh dan akhirnya seluruh desa.Dalam
lingkungan manusia akan selalu berusaha untuk mencari identitas dan
keamanan psikisnya.37.
36Sunoto, Pemikiran tentang Kefilsafatan Indonesia, Andi Offset, Yogyakarta, 1983, hlm. 81
37 Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993, hlm 85
33
Melalui masyarakat manusia dapat membentuk hubungan sosial
sekaligus membina kerukunan, dengan tujuan untuk mempertahankan
masyarakat dalam keadaan harmonis. Artinya berada dalam keadaan selaras,
tenang dan tentram, tanpa perselisihan dan pertentangan, bersatu dalam
maksud untuk saling membantu. Prinsip kerukunan pertama-tama tidak
menyangkut suatu sikap batin atau keadaan jiwa,melainkan penjagaan
keselarasan dalam pergaulan.38
Manusia harus jadi “Manungso sejati, sejatine manungso”, di sini
nurani jadi titik dan sumber tuntunan hidup. Olah pikir sebagai alat untuk
melaksanakan tuntunan Illahi tersebut. Manusia harus terus digembleng untuk
jadi manusia yang benar. Menyelaraskan batin, pikiran, ucapan serta tindak
dan sikap. Dengan begitu manusia bakal jadi manusia menurut kodrat Illahi.
Sukma sejati jadi percikan Illahi, sebagai utusan Sang Pencipta (Hanacaraka).
Menyelaraskan batin, pikiran, ucapan dan tindakan merupakan upaya
yang harus dilakukan manusia untuk bisa masuk kedalam golongan makrifat.
Manusia tersebut bisa berdiri di dalam posisi “Jumbuhing kawulo gusti”.
Dengan demikian berarti manusia itu bisa jadi pemimpin (gusti=bagusing ati).
Laku topobroto, manusia kembali ke asalnya. Dalam budaya Jawa
disebut “Sangkan Paraning Dumadi”. Hakikat hidup manusia sama dengan
ciptaan lainnya, selaras dengan hukum ekosistem. Manusia bisa mendudukkan
batin, pikiran, ucapan dan tindakannya dengan pas, tidak lain adalah tuntunan
38 Ibid., hlm. 39-40
34
yang berasal dari Sang Pencipta lewat batin dan nurani. Suara batin ini disebut
‘Suara Sejati’.
Melaksanakan sesanti dengan benar orang Jawa punya pegangan yang
disebut ‘sumeleh’. Sumeleh atau sumarah atau pasrah kepada Tuhan pencipta
alam seisinya atau yang menjadi awal dari sejarah. Bekas atau petilasan di
tanah Jawa menunjukkan bahwa Orang Jawa itu pada ‘sumeleh marang
Gusti’. Ini bukan berarti ‘pasrah yang tidak berkarya’. Tetapi di dalam
hidupnya manusia Jawa tak begitu ‘ngangsa’. Tidak mengikuti ‘hawa
nepsu’.39 Metafisika Jawa yang menitikberatkan kekuatan manunggaling
kawula Gusti dengan mengembangkan kekuatan rasa.
Kesatuan masyarakat dan alam adikodrati dilaksanakan dalam sikap
hormat terhadap nenek moyang. Orang mengunjungi makam untuk memohon
berkah, untuk minta kejelasan sebelum suatu keputusan yang sulit, untuk
memohonkan kenaikan pangkat, uang, agar hutang bias dibayar kembali.
Setiap tahun dalam bulan ruwah, makam orang tua dibersihkan secara meriah.
Kebanyakan desa memilki punden di mana pendiri desa (cikal bakal)
dihormati. 40
Sifat gaib alam menyatakan diri melalui kekuatan-kekuatan yang tak
kelihatan dan dipersonifikasikan sebagai roh-roh. Semua kekuatan alam
dikembalikan kepada roh-roh dan kekuatan halus. Roh pelindung desa sering
disebut sebagai cikal bakal atau dhanyang. Ada yang mengangetkan manusia
39Damardjati Supadjar, “Ajining Dhiri” Wulang Wuruk - Rabu, 18 September 2002
damardjati s.htm 40Franz Magnis-Suseno, op. cit., hlm. 87
35
(memedi); ada lelembut yang masuk ke dalam manusia dan dapat membuat
dia menjadi gila; di pohon-pohon, pada persimpangan jalan, di dekat sumur
dan di banyak tempat lain terdapat demit; ada tuyul yang mencuri demi
majikannya dan banyak makhluk halus lainnya. Ada sakit dan kecelakaan
dianggap disebabkan oleh roh-roh itu, begitu pula sukses dan kebahagiaan.
Akhirnya masyarakat jawa mempercayai bahwa roh mempunyai peranan
penting dalam menentukan kelangsungan hidup manusia. Masyarakat Jawa
dengan segala upaya tetap menjalin hubungan yang baik dan menghormati
roh-roh yang ada.