bab ii burning -...
TRANSCRIPT
16
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Tabel Penelitian Terdahulu
No Judul Hasil Relevansi
1. Sumantri Raharjo
(2010), dengan
judul Wacana Kritis
Komodifikasi
Pangkur Jenggleng
di TVRI DIY
Penelitian ini menemukan
adanya praktek komodifikasi
pada program seni budaya
Pangkur Jenggleng. Program
Pangkur Jenggleng merupakan
kesenian musik Gamelan Jawa,
Hasil dari penelitian ini
membuktikan bahwa program
tersebut dijadikan suatu
komoditas, karena isi dan
makna dari program tersebut
mengalami ketidakautentikan,
berbeda dari budaya aslinya.
Hal ini terjadi karena media
berorientasi pada kepentingan
bisnisnya sehingga program
seni budaya yang diproduksi
tidak lagi didasarkan pada
kualitas/keautentikan akan
tetapi diubah menurut selera
pasar.
Penelitian yang di lakukan oleh
Sumantri Raharjo ini berfokus
pada ketidakautentikan anatara
kebudayan Pangkur Jenggleng
yang nyata dengan yang di
siarkan oleh stasiun TV sehinga
didalam penayangan acara
tersebut terdapat komodifikasi
kebudayaan. Sedangkan
penelitian yang akan dilakukan
oleh peneliti, adalah berfokus
pada pengunaan bahasa daerah
yang digunakan oleh acara Pojok
Kampung yang tidak sesuai
dengan kaidah dalam berbahasa.
2. Ambar Susatyo
Murti (2009),
dengan judul:
Komodifikasi
budaya tradisional
di televisi: studi
Hasil penelitian menemukan
bahwa terjadi komodifikasi
konten yaitu program Wayang
Kulit Purwa di televisi tidak
otentik, dimana pesan (teks
media) dalam program
pada penelitian yang telah
dilakukan oleh Ambar ini
menjelaskan tentang adanya
ketidak sesuaian karakter wayang
yang ditayangkan oleh media
massa televise, sehingga nantnya
17
analisis wacana
Wayang Kritis
terhadap
komodifikasi isi
pagelaran Wayang
Kulit Purwa di
televise Indosiar
Pagelaran Wayang Kulit Purwa
mengalami perubahan karakter,
menjadi" karakter wayang
tayangan televisi". Karakter
wayang televisi memiliki
kecenderungan bersifat padat,
ringkas dan menghibur
sehingga audience tidak
mendapatkan pelajaran
kehidupan setelah selesai
menontonnya, artinya penonton
harus mencari dan
mendapatkan makna/nilai
sebagai pegangngan kehidupan
dalam tayangan wayang
tersebut.
akan berdampak pada perubahan
nilai budaya dan makna.
Sementara itu peneliti dalam
penelitian ini juga difokuskan
pada terjadinya pergeseran
makna yang nantinya ditakutkan
akan menjadi hal yang biasa
sehingga kebenaran nilai atau
makna sudah tidak lagi menjadi
perhitungan karena yang
diutamakan adalah bagaimana
meraup keuntungan.
3. Jurnal karya
Ronny Yudhi Septa
Priana (mahasiswa
sosial, ekonomi dan
Humaniora
Universitas Islam
Bandung)
“Komodifikasi
Budaya Pada
Program Berita
Televisi”
(Studi Kasus
Televisi Lokal Di
Jurnal ini menjelaskan
Komodifikasi khalayak dimana
khalayak dijadikan komoditi
oleh media untuk mendapatkan
iklan dan pemasukan. Dengan
memakai wacana yang
dipopulerkan oleh Smythe
(1977) dalam the audience
commodity, komodifikasi
khalayak ini menjelaskan
bagaimana sebenarnya
Dalam jurnal yang ditulis oleh
Ronny Yudhi ini memaparkan
bahwa dalam hal komodifikasi
segala aspek dalam kehidupan
memang dimanfaatkan
sedemikian mungkin untuk
hanya meraup keuntungan,
senentara dalam penelitian ini
peneliti hanya berfokus pada
kebudayaan yaitu penggunaan
bahasa yang tidak sesuai dengan
18
Kota Serang
Provinsi Banten)
khalayak tidak secara bebas
hanya sebagai penikmat dan
konsumen dari budaya yang
didistribusikan melalui media.
Khalayak pada dasarnya
merupakan entitas komoditi itu
sendiri yang bisa dijual. Dalam
industri media massa saat ini,
dicontohkan Smythe dengan
berbagai program acara di
industri pertelevisian.
tatanan bahasa yang digunakan
oleh media massa televise dalam
penayangan program acara.
2.1.2 Tinjauan Pustaka
a. Komodifikasi
Barker mendefinisikan komodifikasi sebagai proses asosiasi terhadap
kapitalisme, yaitu objek, kualitas dan tanda dijadikan sebagai komoditas
(Pradjnaparamita Zebrina 2012: 16), Komoditas adalah sesuatu yang tujuan
utamanya adalah untuk dijual ke pasar. Dalam pengertian ini, Marx memberinya
makna sebagai apapun yang diproduksi danuntuk diperjualbelikan. Tidak ada nilai
guna murni yang dihasilkan, namun hanya nilaijual, diperjualbelikan bukan
digunakan.(Karl Marx dalam Evans 2004: 16), Komodifikasi menggambarkan
proses dimana sesuatu yang tidak memiliki nilai ekonomis diberi nilai dan
karenanya bagaimana nilai pasar dapat menggantikan nilai-nilai sosial lainnya.
Sebagai komoditas ia tidak hanya penting untuk berguna, tetapi juga berdaya jual.
(Norman Faiclough 1995: 16-17), Komodifikasi tidak hanya bertolak pada
produksi komoditas barang dan jasa yang diperjualbelikan, namun bagaimana
19
distribusi dan konsumsi barang terdapat seperti yang diungkapkan Fairclough,
komodifikasi adalah proses. Domain-domain dan institusi-institusi sosial yang
perhatiannya tidak hanya memproduksi komoditas dalam pengertian ekonomi
yangsempit mengenai barang-barang yang akan dijual, tetapi bagaimana
diorganisasikan dan dikonseptualisasikan dari segi produksi, distribusi, dan
konsumsi komoditas. (Burton 2008: 198), Komodifikasi merupakan kata kunci
yang dikemukakan Karl Marx sebagai ‘ideologi’ yang bersemayam di balik
media. Menurutnya, kata itu bisa dimaknai sebagai upaya mendahulukan peraihan
keuntungan dibandingkan tujuan-tujuan lain.
(Pristiwanto 2011: 98), Ekonomi politik Marxis, komodifikasi terjadi
ketika nilai ekonomi yangditugaskan untuk sesuatu yang sebelumnya tidak
dipertimbangkan dalam istilah ekonominya, misalnya ide, identitas atau jenis
kelamin. Jadi komodifikasi mengacu pada perluasan perdagangan pasar
sebelumnya daerah non-pasar, dan untuk perawatan hal seolah-olah mereka
adalah komoditas yang bisa diperdagangkan. Komodifikasi sering dikritik dengan
alasan bahwa beberapa halyang seharusnya tidak dijual dan tidak seharusnya
diperlakukan seolah-olah mereka adalah komoditi.
(George Ritzer 2009: 37), Pandangan Marx tentang komoditas berakar
pada orientasi materialisnya, denganfokus pada aktifitas-aktifitas produktif pada
aktor. Pandangan Marx adalah bahwa didalam interaksi-interaksi mereka dengan
alam dan dengan para aktor lain, orang-orang memproduksi objek-objek yang
mereka butuhkan untuk bertahan hidup. Objek-objek ini diproduksi untuk
digunakan oleh dirinya sendiri atau orang lain di dalam lingkungan terdekat.
Inilah yang disebut dengan nilai guna komoditas. Proses ini di dalam kapitalisme
20
merupakan bentuk baru sekaligus komoditas. Para aktor bukannya memproduksi
untuk dirinya atau asosiasi langsung mereka, melainkan untuk orang lain
(kapitalis). Produk-produk memiliki nilai-tukar, artinya bukannya digunakan
langsung, tapi dipertukarkan di pasar demi uang atau demi objek-objek yang lain.
(Vincent Mosco 2009: 129) Sementara Vincent Mosco menyoroti aspek isi
media, khalayak, dan pekerja sebagai aspek-aspek komodifikasi atau komoditas
yang diterima pasar. Dengan kekuataan penyebarannya yang begitu luas, media
massa kemudian dianggap tidak hanya mampu menentukan dinamika sosial,
politik dan budaya baik dalam tingkat lokal, maupun global, akan tetapi media
massa juga mempunyai peran yang sangat signifikan dalam peningkatan surplus
secara ekonomi. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa media massa berperan
sebagai penghubung antara dunia produksi dan konsumsi. Melalui pesan-pesan
yang disebarkan lewat iklan di media massa, peningkatan penjualan produk dan
jasa sangat memungkinkan untuk terjadi ketika audiences terpengaruh terhadap
pesan yang tampilkan melalui media massa tersebut.
Untuk dapat memahami konsep ekonomi politik media secara keseluruhan,
Vincent Mosco (1996) menawarkan tiga konsep dasar yang harus dipahami, yaitu
komodifikasi (commodification), spasialisasi (spasialization), dan strukturasi
(structuration). Terdapat beberapa bentuk komodifikasi menurut Mosco, yakni
komodifikasi isi, komodifikasi audiens/khalayak dan komodifikasi pekerja.
Kemudian ada dua bentuk komodifikasi lain yang menjadi bagian dari
komodifikasi audiens yakni komodifikasi intrinsik dan komodifikasi ekstensif :
1. Komodifikasi Isi atau Content
21
Bentuk pertama yang tentu kita kenali adalah komodifikasi isi media
komunikasi.Komoditas pertama dari sebuah media massa yang paling pertama
adalah content media. Proses komodifikasi ini dimulai ketika pelaku media
mengubah pesan melalui teknologi yang ada menuju sistem interpretasi yang
penuh makna hingga menjadipesan yang menjual atau marketable.
2. Komodifikasi Khalayak atau Audiens
Salah satu prinsip dimensi komodifikasi media massa menurut Gamham
dalam buku yang ditulis Mosco menyebutkan bahwa pengguna periklanan
merupakan penyempurnaan dalam proses komodifikasi media secara ekonomi.
Audiens merupakan komoditi penting untuk media media massa dalam
mendapatkan iklan danpemasukan. Media dapat menciptakan khalayaknya sendiri
dengan membuat program semenarik mungkin dan kemudian khalayak yang
tertarik tersebut dikirimkan kepada para pengiklan.Media biasanya menjual
audiens dalam bentuk ratting atau sharekepada advertiser untuk dapat
menggunakan air time mereka. Cara yang paling jituadalah dengan membuat
program yang dapat mencapai angka tertinggi dari pada program di stasiun lain.
3. Komodifikasi Pekerja atau Labour
Pekerja merupakan penggerak kegiatan produksi. Bukan hanya produksi
sebenarnya, tapi juga distribusi. Pemanfaatan tenaga dan pikiran mereka
secaraoptimal dengan cara mengkonstruksi pikiran mereka tentang bagaimana
menyenangkannya jika bekerja dalam sebuah institusi media massa, walaupun
dengan upah yang tak seharusnya.
Komodifikasi tenaga kerja ini terdapat dua proses yang bisa diperhatikan.
Pertama, komodifikasi tenaga kerja dilakukan dengan cara menggunakan sistem
22
komunikasi dan teknologi untuk meningkatkan penguasaaan terhadap tenaga
kerjadan pada akhirnya mengomodifikasi keseluruhan proses penggunaan tenaga
kerja termasuk yang berada dalam industri komunikasi. Kedua, ekonomi politik
menjelaskan sebuah proses ganda bahwa ketika para tenaga kerja sedang
menjalankan kegiatan mengomodifikasi, mereka pada saat yang sama juga
dikomodifikasi.
a. Spasialisasi :
Spasialisasi berkaitan dengan sejauh mana media mampu menyajikan
produknyadi depan pembaca dalam batasan ruang dan waktu. Pada arah ini maka
struktur kelembagaan media menentukan perannya di dalam memenuhi jaringan
dan kecepatan penyampaian produk media dihadapan khalayak. Perbincangan
mengenai spasialisasi berkaitan dengan bentuk lembaga media, apakah berbentuk
korporasi yang berskala besar atau sebaliknya, apakah berjaringan atau tidak,
apakah bersifat monopoli atau oligopoli, konglomerasi atau tidak. Acapkali
lembaga-lembaga ini diatur secara politis untuk menghindari terjadinya
kepemilikan yang sangat besar dan menyebabkan terjadinya monopoli produk
media.
b. Strukturasi :
Strukturasi berkaitan dengan relasi ide antar agen masyarakat, proses
sosial danpraktik sosial dalam analisis struktur. Strukturasi dapat digambarkan
sebagai prosesdimana struktur sosial saling ditegakkan oleh para agen sosial, dan
bahkan masing-masing bagian dari struktur mampu bertindak melayani bagian
yang lain. Hasil akhirdari strukturasi adalah serangkaian hubungan sosial dan
proses kekuasaan diorganisasikan di antara kelas, gender, ras dan gerakan sosial
23
yang masing-masing berhubungan satu sama lain. Gagasan tentang strukturasi ini
pada mulanya dikembangkan oleh Anthony Giddens.
Hubungan komodifikasi dan komunikasi dapat digambarkan dari dua
dimensi hubungan. Pertama, proses komunikasi dan teknologi memiliki
konstribusi terhadap proses umum komodifikasi secara keseluruhan. Kedua,
proses komodifikasi yang terjadi secara keseluruhan menekan proses komunikasi
dan institusinya, jadi perbaikan dan bantahan dalam proses komodifikasi sosial
mempengaruhi komunikasi sebagai praktik sosial.
Proses komodifikasi erat kaitannya dengan produk, proses produksi
berkaitan dengan pekerja dan hasil produk. Pemilik modal terkadang
mengeksploitasi pekerjadan hasil produk. Oleh sebab itu, komodifikasi tak
berbeda dengan bentuk komersialisasi segala bentuk nilai dari buatan manusia.
Proses komodifikasi erat kaitannya dengan produk, proses produksi
berkaitan dengan pekerja dan hasil produk. Pemilik modal terkadang
mengeksploitasi pekerjadan hasil produk. Oleh sebab itu, komodifikasi tak
berbeda dengan bentuk komersialisasi segala bentuk nilai dari buatan manusia.
Baik Lukacs, Baran dan Davis, maupun Mosco, sama-sama menekankan
adanyaperubahan nilai guna menjadi nilai tukar. Bahkan, Lukacs, serta Baran dan
Davis, mengidentifikasi keberadaan komodifikasi sebagai kegiatan produksi dan
distribusi komoditas yang lebih mempertimbangkan daya tarik, agar bisa dipuja
oleh orang sebanyak-banyaknya. Bahkan, praktik itu tissdak membutuhkan lagi
pertimbangan konteks sosial, selain aktualisasi tanpa henti di area pasar bebas.
Dengan kata lain, muara komodifikasi itu adalah manfaat bisnis.
b. Media Massa Televisi
24
(J.B Wahyudi, 1985:28) Televisi sebagai media komunikasi massa, berasal
dari dua suku kata, yaitu “tele”yang berarti "jarak” dalam bahasa yunani dan
“visi” yang berarti “citra atau gambar” dalam bahasa latin. Jadi, kata televisi
berarti suatu sistem penyajian gambar berikut suaranya dari suatu tempat yang
berjarak jauh. Fungsi televisi sama dengan fungsi media massa lainnya yaitu
memberi informasi, mendidik, membujuk, dan menghibur. Tetapi fungsi
menghibur lebih dominan pada mdia televisi. Umumnya tujuan khalayak
menonton televisi adalah untuk memperoleh informasi dan hiburan
(Kuswandi 2011: 8) Seiring dengan berjalannya waktu media komunikasi
terus berkembang mengikuti perkembangan zaman yang ada, antara lain seperti
radio, televisi, internet, telepon, handphone, dan lain sebagainya. Sehingga dengan
teknologi tersebut maka urusan manusia akan menjadi lebih mudah dan bisa
selesai dengan cepat. Televisi merupakan gabungan dari media dengar dan media
gambar yang pesannya berupa informatif, hiburan dan pendidikan atau bahkan
gabungan dari ketiga unsur tersebut.
(J.B. Wahyudi, B.A., Jurnalistik Televisi, 1983) Pada hakikatnya televisi
lahir karena perkembangan teknologi dalam mengirim suara dan gambar. Bermula
dengan ditemukannya “electricse telescope”sebagai perwujudan gagasan
seseorang mahasiswa Berlin yang bernama Paul Nipkow. Untuk mengirim
gambar melalui udara dari satu tempat ke tempat yang lain. Hal ini terjadi antara
tahun 1883-1884. Pada saat itulah Paul Nipkow mendapat julukan Bapak Televisi.
c. Penggunaan Bahasa Jawa Secara Umum
Bahasa Jawa merupakan bahasa yang digunakan sebagai bahasa pergaulan
sehari-hari di daerah Jawa, khususnya Jawa Tengah. Hal ini tidak mengherankan
25
karena kejayaan kehidupan keraton di masa lampau banyak terdapat di daerah
Jawa Tengah dibanding di daerah Jawa yang lain. Dengan demikian, bahasa Jawa
merupakan bahasa asli masyarakat Jawa di Indonesia, khususnya di daerah Jawa
Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan daerah di sekitarnya.Bahasa Jawa adalah
bahasa ibu yang menjadi bahasa pergaulan sehari-hari masyarakat Jawa. Bahasa
Jawa juga merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang harus dilestarikan
dan dijaga karena jika tidak bahasa Jawa dapat terkikis dan semakin hilang dari
Pulau Jawa.
Dalam penggunaannya, bahasa Jawa memiliki aksara sendiri, yaitu aksara
jawa, dialek yang berbeda dari tiap daerah, serta Unggah-ungguh bahasa atau
etika berbahasa Jawa yang berbeda. Bahasa Jawa dibagi menjadi tiga tingkatan
bahasa yaitu ngoko (kasar), madya (biasa), dan krama (halus). Dalam tingkatan
bahasa ini, penggunaannya berbeda-beda sesuai dengan lawan bicara.
Bahasa ngoko digunakan untuk berbicara dengan teman sebaya atau yang
lebih muda, bahasa madya digunakan untuk berbicara dengan orang yang cukup
resmi, dan bahasa krama digunakan untuk berbicara dengan orang yang dihormati
atau yang lebih tua. Oleh sebab itu, bahasa Jawa memiliki etika bahasa yang baik
untuk digunakan. Bahasa Jawa yang dulu merupakan bahasa yang besar, dengan
ber-tambahnya waktu, penggunaannya semakin berkurang.
Saat ini para kaum muda di Pulau Jawa, khususnya yang masih di usia
sekolah, sebagian besar tidak menguasai bahasa Jawa. Hal ini bisa disebabkan
oleh gencarnya serbuan beragam budaya asing dan arus informasi yang masuk
melalui bermacam sarana seperti televisi dan lain-lain.Pemakaian bahasa gaul,
26
bahasa asing, dan bahasa seenaknya sendiri (campuran Jawa-Indonesia Inggris)
juga ikut memperparah kondisi bahasa Jawa yang semakin lama semakin surut.
d. Penggunaan Bahasa Daerah Dalam Acara Pojok Kampung JTV
Surabaya.
Acara Pojok Kampung pertama kali disiarkan pada 7 Juli 2003. Program
ini diadakan karena bahasa Suroboyoan dinilai khas, dan unik. Untuk telinga
orang luar, bahasa Surabaya terkesan kasar, tapi lucu. Salah satu program acara
yang menjadi favorit di chanel JTV adalah Pojok Kampung, Pojok Kampung
merupakan salah satu dari sekian banyak program acara yang ditayangkan oleh
JTV yang mengemas Berita dengan menggunakan bahasa Jawa. Penggunaan
bahasa Jawa dalam program acara Pojok Kampung JTV ini memang menjadi khas
yang sangat bisa di ingat-ingat. Penggunaan bahasa yang terkesan lucu dan
menghibur bagi para konsumen media ini memang menjadi salah satu modal
untuk menarik minat konsumen.
Bahasa Jawa dalam penggunaannya pada program acara Pojok Kampung
sebenarnya dari pihak Pojok Kampung sendiri kurang meningkatkan nilai tata
karma dalam berbahasa, sehingga justru lebih memilih kosakata ngoko yang
kasar. Dalam penayangannya, redaksi Pojok Kampung lebih memilih kosakata
lonte sebagai pengganti kata pelacur atau WTS. Bagi redaksi Pojok Kampung,
bahasa Suroboyoan yang "asli" adalah bahasa ngoko yang kini banyak dikritik
sebagai bahasa yang vulgar tersebut. Karena itu, dalam siaran Pojok Kampung
bisa ditemukan kosakata yang hampir punah, seperti montor muluk (pesawat) dan
bronpit (sepeda motor).
2.2 Landasan Teori
27
2.2.1 Ekonomi Politik Media
Menurut Mosco (2009: 2-3), pengertian ekonomi politik bias dibedakan
dalam pengertian sempit dan luas. Dalam pengertian sempit berarti kajian relasi
social, khususnya relasi kekuasaan, yang bersama-sama membentuk produksi,
distribusi dan konsumsi sumber daya termasuk daya komunikasi. Dalam
pengertian luas kajian mengenai kontrol dan pertahan kehidupan social. Mosco
menawarkan tiga konsep penting untuk mengaplikasikan pendekatan-pendekata
ekonomi politik pada kajian komunikasi: komodifikasi, spasialisasi, dan
strukturasi. Analisa ekonomi politik kritis memperhatikan perluasan dominan
perusahaan media, baik melalui peningkatan kuantitas dan kualitas produksi
budaya yang langsung dilindungi oleh pemilik modal. Tentu saja, ekstensifikasi
dominasi media dikontrol melalui dominasi produksi isi media yang sejalan
dengan preferensi pemilik modal.
Awal kemunculan dari teori ini didasari pada besarnya pengaruhmedia
massa terhadap perubahan kehidupan masyarakat.Dengan kekuataan
penyebarannya yang begitu luas, media massa kemudian dianggaptidak hanya
mampu menentukan dinamika sosial, politik dan budaya baik dalam tingkatlokal,
maupun global, akan tetapi media massa juga mempunyai peran yang
sangatsignifikan dalam peningkatan surplus secara ekonomi.
2.2.2 Komodifikasi
Komodifikasi berhubungan dengan bagaimana proses transformasi barang
dan jasa beserta nilai gunanya menjadi suatu komoditas yang mempunyai nilai
28
tukar di pasar. Memang terasa aneh, karena produk media umumnya adalah
berupa informasi danhiburan. Sementara kedua jenis produk tersebut tidak dapat
diukur seperti halnya barang bergerak dalam ukuran-ukuran ekonomi
konvensional. Meskipun keterukuran tersebut dapat dirasakan secara fisikal, tetap
saja produk media menjadi barang dagangan yang dapat dipertukarkan dan
bernilai ekonomis. Dalam lingkup kelembagaan, awak media dilibatkan untuk
memproduksi dan mendistribusikannya ke konsumen yang beragam. Boleh jadi
konsumen itu adalah khalayak pembaca media cetak, penonton televisi, pendengar
radio, bahkan Negara sekalipun yang mempunyai kepentingan dengannya. Nilai
tambahnya akan sangat ditentukan oleh sejauhmana produk media memenuhi
kebutuhan individual maupun sosial.
(Vincent Mosco 2011: 116), Proses komodifikasi justru menunjukkan
menyempitnya ruang kebebasan bagi para konsumen media untuk memilih dan
menyaring informasi. Tidak mengheran apabila peran media disini justru menjadi
alat legitimasi kepentingan kelas yang memiliki dan mengontrol media melalui
produksi kesadaran dan laporan palsu tentang realitas objektif yang sudah bias
karena dibentuk oleh kelompok kepentingan baik secara politik maupun
ekonomis. Ada beberapa bentuk komodifikasi menurut Mosco, yakni
komodifikasi isi/konten, komodifikasi audiens/khalayak dan komodifikasi
pekerja.
a. Komodifikasi Isi atau Content
Bentuk pertama yang tentu kita kenali adalah komodifikasi isi media
komunikasi.Komoditas pertama dari sebuah media massa yang paling pertama
29
adalah contentmedia. Proses komodifikasi ini dimulai ketika pelaku media
mengubah pesan melalui teknologi yang ada menuju sistem interpretasi yang
penuh makna hingga menjadipesan yang menjual atau marketable. Akibatnya,
akan terjadi keragaman dari isi media untuk dapat menerima perhatian konsumen.
b. Komodifikasi Khalayak atau Audiens
Audiens merupakan komoditi penting untuk media massa dalam
mendapatkan iklan dan pemasukan. Media dapat menciptakan khalayaknya
sendiri dengan membuat program semenarik mungkin dan kemudian khalayak
yang tertarik tersebut dikirimkan kepadapara pengiklan. Media biasanya menjual
audiens dalam bentuk ratting atau sharekepada advertiser untuk dapat
menggunakan air time mereka. Cara yang paling jituadalah dengan membuat
program yang dapat mencapai angka tertinggi dari pada program di stasiun lain.
c. Komodifikasi Pekerja atau Labour
Pekerja merupakan penggerak kegiatan produksi. Bukan hanya produksi
sebenarnya, tapi juga distribusi. Pemanfaatan tenaga dan pikiran mereka
secaraoptimal dengan cara mengkonstruksi pikiran mereka tentang bagaimana
menyenangkannya jika bekerja dalam sebuah institusi media massa.
Proses komodifikasi yang terjadi pada tayangan Pojok Kampung JTV
Surabaya dalam pemanfaatan budaya yaitu bahasa daerah, seperti yang banyak
kita ketahui pada acara berita Pojok Kampung yang disiarkan oleh pihak JTV
Surabaya, jika kita telaah atau kita amati lebih mendalam bahasa-bahasa yang
digunakan pada setiap penyiaran program acara Pojok Kampung ini lebih terkesan
seronok atau tidak pantas di ucapkan apalagi harus di publis di media massa
televisi, mengingat tidak semua konsumen pada acara ini mampu menirima begitu
30
saja, seharusnya hal ini harus lebih dipertimbangkan kembali oleh pihak yang
bersangkutan karena dikhawatirkan akan menjadi hal yang biasa nantinya dan
ditakutkan akan berdampak pada tatanan bahasa Jawa baku.
Penggunaan bahasa dan kosakata-kosakata yang tidak baku ini merupakan contoh
terjadinya komodifikasi pada penggunaan bahasa daerah di program acara Pojok
Kampung. Pada program acara ini komodifikasi isi/konten dapat diwujudkan
dalam bentuk penggunaan bahasa yang tidak baku dan tidak sesuai dengan
kaidah-kaidah dalam bahasa jawa, pemilihan kosakata yang tidak sesuai, dan
kosakata yang dipilih tidak layak untuk dipublikasikan. Para pemilik industri
media massa dalam hal ini stasiun JTV Surabaya tidak lagi memperhatikan
kaidah-kaidah baku dalam bahasa jawa dan pemilihan kosakata yang tepat,
mereka hanya meningkatkan nilai ekonomi tanpa mengutamakan kualitas dari
program acara mereka.