bab i sgd ii kurus lemas

33
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Lanjut usia (lansia) merupakan proses alamiah yang pasti akan dialami oleh semua orang yang dikaruniai usia panjang. Di dalam struktur anatomis proses menjadi tua terlihat sebagai kemunduran di dalam sel. Proses ini berlangsung secara alamiah, terus-menerus dan berkesinambungan yang selanjutnya akan menyebabkan perubahan anatomi, fisiologi dan biokimia pada jaringan tubuh dan akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan (Depkes RI, 2003). Hasil sensus penduduk Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia tahun 2000 mencatat bahwa jumlah lansia yang ada di Indonesia sebesar 9.327.444 jiwa atau sekitar 4,53% dari seluruh penduduk Indonesia (Hartono, 2002). Jumlah lansia yang ada di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun dan tersebar hamper di seluruh propinsi di Indonesia. Hal ini terbukti dengan adanya data hasil Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) di mana pada tahun 2005 jumlah penduduk lansia sebesar 16,80 juta jiwa dan meningkat menjadi 18,96 juta jiwa pada tahun 2007 dan pada tahun 2009 mengalami peningkatan kembali menjadi 19,32 juta jiwa (Profil penduduk, 2010). Lansia banyak mengalami perubahan seiring bertambahnya usia, baik perubahan struktur dan fungsi tubuh, kemampuan 1

Upload: sukandranaarya

Post on 12-Apr-2016

240 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

123

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I Sgd II Kurus Lemas

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Lanjut usia (lansia) merupakan proses alamiah yang pasti akan dialami oleh semua orang

yang dikaruniai usia panjang. Di dalam struktur anatomis proses menjadi tua terlihat sebagai

kemunduran di dalam sel. Proses ini berlangsung secara alamiah, terus-menerus dan

berkesinambungan yang selanjutnya akan menyebabkan perubahan anatomi, fisiologi dan

biokimia pada jaringan tubuh dan akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara

keseluruhan (Depkes RI, 2003).

Hasil sensus penduduk Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia tahun 2000 mencatat

bahwa jumlah lansia yang ada di Indonesia sebesar 9.327.444 jiwa atau sekitar 4,53% dari

seluruh penduduk Indonesia (Hartono, 2002). Jumlah lansia yang ada di Indonesia semakin

meningkat dari tahun ke tahun dan tersebar hamper di seluruh propinsi di Indonesia. Hal ini

terbukti dengan adanya data hasil Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) di mana pada

tahun 2005 jumlah penduduk lansia sebesar 16,80 juta jiwa dan meningkat menjadi 18,96

juta jiwa pada tahun 2007 dan pada tahun 2009 mengalami peningkatan kembali menjadi

19,32 juta jiwa (Profil penduduk, 2010).

Lansia banyak mengalami perubahan seiring bertambahnya usia, baik perubahan

struktur dan fungsi tubuh, kemampuan kognitif maupun perubahan status mental. Perubahan

struktur dan fungsi tubuh pada lansia terjadi hampir di semua system tubuh, seperti sistem

sistem saraf, pernapasan, endokrin, kardiovaskular dan kemampuan musculoskeletal. Salah

satu perubahan struktur dan fungsi terjadi pada sistem gastrointestinal. Herry (2008) dalam

penelitiannya menjelaskan bahwa perubahan pada sistem gastrointestinal dapat menyebabkan

penurunan efektifitas utilisasi zat-zat gizi sehingga dapat menyebabkan permasalahan gizi

yang khas lansia.

Masalah gizi yang terjadi pada lansia dapat berupa gizi kurang atau gizi lebih.

Darmojo (2009) menjelaskan bahwa lansia di Indonesia yang tinggal di daerah perkotaan

dalam keadaan kurang gizi adalah 3,4%, berat badan kurang 28,3%, berat badan lebih 6,7%,

obesitas 3,4 % dan berat badan ideal 42,4%.

1

Page 2: BAB I Sgd II Kurus Lemas

1.2. PERMASALAHAN

1.2.1 Apa penyebab pasien badannya kurus dan terasa lemah?

1.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi pada lansia?

1.2.3 Jelaskan perubahan proses pencernaan pada lansia!

1.2.4 Jelaskan perubahan hormone yang terjadi pada lansia!

1.2.5 Bagaimana kebutuhan gizi pada lansia?

1.2.6 Aapa saja masalah gangguan nutrisi pada lansia?

1.2.7 Apa penyebab gigi hilang pada lansia?

1.2.8 Bagaimana tatalaksana pasien pada scenario?

2

Page 3: BAB I Sgd II Kurus Lemas

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. SKENARIO

LBM II Kurus dan cepat lelah

Pasien umur 63 tahun datang ke poli RS diantar oleh keluarga dengan keluhan badan

terasa lemas dan tidak ada tenaga. Saat ini ia dalam pegobatan nyeri sendi dan

mengkonsumsi obat anti nyeri. Pasien mengaku nafsu makan menurun dan merasa tidak puas

dengan makanan yang dimakan,karena tidak seperti saat usia muda berbagai makanan bisa

bisa dimakan. Selain itu, ia mengeluh hampir semua giginya hilang dan sering timbul bercak

putih di lidah yang sangat nyeri sehingga mengganggu makannya. Pasien mengatakan berat

badan makin menurun secara perlahan.makin lama makin kurus.

Pada pemeriksaan jantung dan paru,tekanan darah, laju respirasi dan pemeriksaan

abdominal dalam batas normal. Namun didapatkan indeks massaa tubuh 17. Pasien bertanya

kepada dokter yang memeriksa, apakah semua orang yang usinya sama dengannya juga akan

merasakan keluhan yang serupa?

2.2. TERMINOLOGI

Nyeri merupakan sensori subjektif dan emosional yang tidak menyenangkan yangn

didapat terkait kerusakan jaringan yang actual maupun potensial atau menggambarkan

kondisi terjadinya kerusakan

IMT adalah nila yang diambil dari perhitungan antara berat badan (BB) dan tinggi badan

(TB) seseorang.

2.3. KEYWORD

Wanita

Usia : 63 tahun

Keluan Utama : badan terasa lemas dan tidak ada tenaga.

Keluhan penyerta : Pasien mengaku nafsu makan menurun dan merasa tidak puas

dengan makanan yang dimakan,karena tidak seperti saat usia muda berbagai makanan

bisa bisa dimakan. Selain itu, ia mengeluh hampir semua giginya hilang dan sering

3

Page 4: BAB I Sgd II Kurus Lemas

timbul bercak putih di lidah yang sangat nyeri sehingga mengganggu makannya. Pasien

mengatakan berat badan makin menurun secara perlahan.makin lama makin kurus.

Pemeriksaan Fisik : jantung dan paru, tekanan darah, laju respirasi dan pemeriksaan

abdominal dalam batas normal.

IMT 17

2.4. JAWABAN PERMASALAHAN

2.4.1 Penyebab pasien badannya kurus dan terasa lemah

Penyebab-penyebab kehilangan berat badan yang sering terjadi dan dapat diatasi

dengan istilah ” Meals in Wheels”

Medication effects

Emotional problems, terutama depresi

Anorexia tardive (nervosa), alcoholism

Late-life paranoia

Oral factor (contoh gig palsu yang tidak pas, gigi berlubang)

No money

Wandering and other dementia-related behaviors

Hypertiroidism, hypothyroidism, hyperparathyroidism, hypoadrenalism

Enteric problem (contoh malabsorpsi)

Eating problems (contoh tidak mampu makan sendiri)

Low-salt, low cholesterol diets

Social problems (contoh isolasi, tidak memperoleh makanan yang disukai),

batu empedu

2.4.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi

a) Lingkungan

Lingkungan yang mengakibatkan risiko konsekuensi negatif pada lansia

seperti lingkungan keluarga yang sepi atau ramai dan kebiasaan makan besar

bersama-sama, sehingga menu atau penyiapan makanan yang ada di keluarga akan

mempengaruhi lansia dalam masalah nutrisi, apakah terjadi gizi kurang atau gizi

lebih.

4

Page 5: BAB I Sgd II Kurus Lemas

Kaakinen (2010) menjelaskan bahwa sulitnya mendapatkan bahan

makananyang mungkin disebabkan cuaca buruk dan tidak punya kendaraan,

kemasan makanan yang dibungkus dengantulisan aturan pakai yang terlalu kecil

dan tulisan sudah kabur sehingga sulit untuk dibaca, hal ini menyebabkan lanjut

usia malas untuk mencari dan mengolah makanan, akibatnya lansia kurang

mengkonsumsi makanan. Pengaruh lingkungan yang lain adalah jauhnya fasilitas

perbelanjaan dari tempat tinggal lansia, sehingga sulit untuk mendapatkan bahan

makanan.

b) Gaya Hidup.

Kesehatan seseorang salah satunya dipengaruhi oleh gaya hidup. Di

Amerika Utara ratusan ribu orang meninggal dikarenakan gaya hidup yang salah,

untuk mengatasi hal tersebut diharapkan lanjut usia melakukan olah raga teratur

sesuai kemampuan dan rekreasi (Kaakinen, 2010). Gaya hidup dan pola kebiasaan

yang dilakukan oleh lansia sangat beresiko terhadap kesehatan lansia (Stanhope &

Lancaster, 2004). Menurut James dan Flores (2004), karena gaya hidup keluarga

bergegas dan sering makan di restoran tidak sehat, "gizi lebih" pada keluarga

Amerika sering terjadinya masalah daripada kekurangan gizi, hal ini merupakan

akibat perubahan sosial. Lansia yang telah menanamkan kebiasaan gaya hidup tidak

sehat sejak usia 50 tahun akan meningkatkan risiko konsekuensi negatif pada lansia.

Gaya hidup yang biasa dilakukan oleh lansia yaitu kebiasaan minum

alkohol, kurang melakukan aktifitas fisik atau olah raga. Selain itu depresi dan

kesepian dapat mempengaruhi diit, bagi sebagian orang dalam keadaan kecewa

dapat menyebabkan tidak mau makan dan mungkin akan memicu makan yang

berlebihan

c) Pola Makan.

Lansia dengan kebiasaan mengkonsumsi makanan yang berlebihan,

misalnya lansia lebih banyak makan makanan yang mmengandung lemak dari pada

makanan yang mengandung protein, serat maupun vitamin, sedangkan pada lansia

penggunaan kalori berkurang karena berkurangnya aktifitas fisik, akibatnya terjadi

5

Page 6: BAB I Sgd II Kurus Lemas

kelebihan nutrisi sampai obesitas (Miller, 1996). Hasil penelitian, menemukan

bahwa pola makan lanjut usia di Mediterania berhubungan dengan angka kematian,

laki-laki lebih beresiko dari pada wanita, dan disimpulkan bahwa perlunya pola diit

dalam masa lanjut usia untuk umur panjang (Hamer, etal.,2011)

d) Psikososial

Faktor risiko konsekuensi negatif yang berhubungan dengan psikososial

pada lansia yaitu lanjut usia sering mengalami stres dan kecemasan yang dapat

mempengaruhi system cerna, dimana stres dan kecemasan akan merangsang saraf

otonom untuk menghambat sekresi air liur dan cairan lambung, hal ini akan

menyebabkan lansia kurang nafsu makan (Miller, 1995). Lansia yang

sudahditinggal oleh pasangannya sering mengalami kesepian.

Suasana yang sepi mempengaruhi psikologis lansia yang kemungkinan hal

ini akan merubah pola dan nafsu makan lansia, sehingga asupan nutrisi kurang dari

kebutuhan (Rosenbloom dan Whittington, 1993 dalam Miller, 1995). Kesepian dan

stres menyebabkan seseorang tidak mau makan tetapi sebagian orang mungkin

memicu makan yang berlebihan. Suasana makan dalam keluarga mempengaruhi,

seperti lansia makan sendiri akan megurangi nafsu makan, sehingga kecukupan gizi

kurang dari kebutuhan tubuh. Selain itu Stanhope dan Lancaster (2004) berpendapat

dalam mendapatkan bahan makanan, mempersiapkan, dan makan sangat signifikan,

misalnya kebiasaan makan bersama dalam suatu perayaan, dalam kegiatan ini

terjadi interaksi sosial dalam keluarga, tetapi jika makanan tersebut tidak disukai

oleh lansia maka interaksi social tidak terjadi (Stanhope & Lancaster, 2004).

Semua manusia memiliki kebutuhan psikososial agar tidak kesepian dan

tetap berkualitas. Dengan bertambahnya usia, masalah psikososial banyak. Lansia

harus bisa menjaga interaksi sosisal, persahabatan, juga membutuhkan dukungan

dari keluarga dan teman-teman,dengan demikian lansia dapat mempertahankan

kesehatannya (Allender & Spradley, 2005).

6

Page 7: BAB I Sgd II Kurus Lemas

2.4.3 Perubahan proses pencernaan pada lansia

a) Perubahan di Mulut.

Perubahan fungsi sistem pencernaan pada lansia dimulai dari mulut,

makanan digiling oleh gigi dengan bantuan air liur dan diatur oleh neuromuskuler.

Bertambahnya usia maka kekuatan gigi, kelenjar ludah, dan strukrur pendukung

menurun, sehingga mempengaruhi lansia dalam menikmati makanan. Penipisan

email gigi dan menyusutan gusi yang mengakibatkan lansia mengalami kesulitan

dalam mengunyah makanan karena terasa sakit pada gigi dan menurunkan nafsu

makan (Miller, 1995), ditunjang pula dengan gigi lebih sensitif dan mudah rapuh

(Devlin & Ferguson, 1998 dalam Mauk, 2010).

Selain itu menurunnya sensitivitas olfaktorius, perubahan persepsi rasa, dan

peningkatan kolesistokinin yang dapat mempengaruhi keinginan untuk makan dan

peningkatan rasa kenyang. Dengan adanya perubahan struktur mulut dan gigi serta

kesulitan untuk mengunyah maka lansia akan mudah mengalami kekurangan

asupan nutrisi. Mukosa mulut pada lansia kehilangan elastisitas, atropi sel epitel,

dan suplai darah berkurang, hal ini mengakibatkan mulut menjadi kering dan

kekurangan vitamin sehingga rentan terhadap infeksi (Miller, 1995). Terjadi pula

atropi pada otot wajah serta tulang rahang dan mulut, sehingga lansia sulit

mengunyah makanan.

Proses mengunyah makanan lansia mengalami kesulitan karena adanya

kehilangan gigi. Menurut Miller (1995) peningkatan sekresi air liur distimulasi oleh

proses mengunyah, masalah lansia dalam kondisi kesulitan untuk mengunyah

menyebabkan produksi air liur berkurang.

Penuaan menyebabkan peningkatan viskositas dan kuantitas air liur (Miller,

1995). Hal ini ditunjang dengan kenyataan bahwa masalah dan keluhan menelan

pada lansia sebagai faktor resiko tidak hanya terkait dengan bertambahnya usia

tetapi juga disebabkan karena kehilangan gigi, sehingga proses mengunyah lebih

lama (Sonies, 1992 dalam Miller, 1995). Hampir 40% lansia mengeluh mulut

kering, kondisi ini dapat disebabkan karena obat-obatan yang dikonsumsi, defisiensi

nutrisi, penyakit, terapi tertentu misalnya kemoterapi (Devlin & Ferguson, 1998;

Ghezzi & Ship; Ship, 2003; Pilimer, & Baum, 2002 dalam Mauk (2010). Dengan

7

Page 8: BAB I Sgd II Kurus Lemas

adanya perubahan struktur mulut dan gigi serta kesulitan untuk mengunyah maka

lansia akan mudah mengalami kekurangan asupan nutrisi.

b) Esofagus

Berikutnya adalah tahap mendorong makanan melalui tenggorokan ke perut.

Motilitas esophagus (kerongkongan) tetap normal walupun terjadi sedikit dilatasi

seiring penuaan. Sfingter esofagus bagian bawah (kardiak) kehilangan tonus. Reflek

muntah pada lansia akan melemah hal ini meningkatkan terjadinya aspirasi pada

lansia (Stanley dan Beare, 2002).

c) Lambung.

Makanan setelah melalui kerongkongan kemudian masuk ke lambung.

Motilitas lambung berperan penting dalam pemecahan makanan. Madsen dan Graff

(2004, dalam Mauk, 2010) mengatakan tidak ada perubahan dalam pengosongan

lambung yang berkaitan dengan penuaan, tetapi ada pula yang berpendapat bahwa

terjadi keterlambatan dalam pengosongan lambung (Horowitz et al, 19984 dalam

Miller, 1995).

Kesulitan dalam mencerna makanan adalah akibat atrofi mukosa lambung

dan penurunan motilitas lambung. Atrofi mukosa lambung merupakan akibat

sekresi asam hidroklorik (hipoklorhidria) menurun dan pepsin menghambat

pencernaan protein yang kemudian absorpsi zat besi, kalsium, dan vitamin B12

menurun (Stanley dan Beare, 2002). Kupfer et al (1985, dalam Miller 1995)

mengatakan bahwa pengosongan lambung pada 5 menit pertama lebih cepat

kemudian melambat, oleh sebab itu lansia sering merasa kembung setelah makan.

Perasaan kembung akan menyebabkan lansia mengeluh ketidaknyamanan pada

lambung sehingga malas untuk makan.

Apabila kondisi ini dibiarkan terus berlanjut dan akan mempengaruhi

pemenuhan nutrisi pada lansia. Tahap perubahan berikutnya adalah sekresi mukosa

lambung mengalami penurunan sekitar 75% pada lansia 60 tahun (Miller, 2004).

Pepsin menghambat pencernaan protein, asam klorida berkurang, serta terjadi

malabsorpsi zat besi, kalsium, vitamin B12, dan folat. Menurut Stanhope, 2004;

8

Page 9: BAB I Sgd II Kurus Lemas

Lueckenotte, 1996; Garrow, 2004; dan Meiner, 1996 penurunan asam lambung dan

enzym digestif maka lambung menjadi lebih alkali (hypochlorid dan achlorhydria)

yang dapat menyebabkan kesulitan dalam mencerna protein. Protein diperlukan

untuk mengganti sel-sel yang sudah mati atau rusak dan penghambatan pencernaan

protein akan mempercepat penuaan. Selain itu karena terjadi atrofi mukosa lambung

maka meningkatkan terjadinya keadaan patologis pada lansia, misalnya anemia. Hal

ini disebabkan karena penyerapan zat-zat makanan kurang optimal.

d) Hati

Hati membantu dalam proses pencernaan dan menghasilkan empedu. Pada

masa penuaan hati sedikit mengalamiperubahan struktur tetapi tidak mempengaruhi

fungsi pencernaan karena adanya cadangan fisiologis dari hati (Miller, 2004).

Mengecilnya ukuran hati maka terjadi penurunan aliran darah dan perfusi sekitar

30% sampai 40% serta jumlah hepatosit atau sel-sel hati dapat mengalami

perubahan, dan terjadi penurunan kapasitas menyimpan dan kemampuan

mensintesis protein dan enzim-enzim pencernaan (Stanley & Beare, 2002).

e) Pankreas

Pankreas dalam proses pencernaan menghasilkan zat-zat esensial yang

berfungsi untuk pemecahan lemak, protein, dan karbohidrat di usus halus. Pankreas

mengalami degenerative dan fungsinya mengalami penurunan, yaitu enzim

pancreas untuk pemecahan lemak menurun (Digiovanna, 2000; Hall & Wiley,

1999; James, 1998; Marchesini et al., 1988;Schmucker, 1998; Wynne et al., 1989

dalam Mauk, 2010). Akibatnya terjadi peningkatan sekresi kolesterol dan juga

obesitas pada lansia (Stanley dan Beare, 2002). Sekresi insulin normal dengan kadar

gula darah yang tinggi (250 sampai 300 mg/dl), tetapi respon insulin berkurang

seiring dengan peningkatan kadar gula darah secara moderat (120 sampai 200

mg/dl). Perubahan terkait usia pemecahan lemak empedu tanpa perubahan

metabolisme asam empedu yang signifikan (Stanley dan Beare, 2002).

9

Page 10: BAB I Sgd II Kurus Lemas

f) Usus

Motilitas usus dibutuhkan dalam pencernaan dan absorpsi makanan,

dilaporkan bahwa terjadi perubahan intensitas dalam kontraksi usus halus pada

masa penuaan (Brogna et al, 199; O’Mahony et al, 2002; Orr & Shaker et al, 19998

dalam Mauk, 2010). Akibat panjangnya masa pengosongan lambung adalah 32%

terjadi penurunan sekresi asam lambung di approksimal pada lanjut usia (Saffrey,

2004 dala Mauk, 2010).

Penurunan produksi asam lambung ini dengan gangguan motilitas usus

menyebabkan bakteri mudah berkembang biak di dalam usus halus, merupakan

penyebab malabsorpsi dan malnutrisi pada populasi lansia (Madsen & Graff, 2004;

O’Mahony et al, 2002; Orr & Chen, 2002; Salles, 2007 dalam Mauk 2010).

Menurut teori konsekuensi, Miller (1995) perubahan terkait usia pada sistem cerna

seperti yang telah diuraikan sebelumnya ditunjang oleh factor risiko, kebiasaan

mengkonsumsi teh atau stress yang tinggi, sakit maag, mengakibatkan intake nutrisi

berkurang dan penyerapan menurun. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya

konsekuensi negatif yakni gangguan pemenuhan nutrisi (kurang dari kebutuhan

tubuh). Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian Meilianingsih (2005) bahwa

kebiasaan minum teh dan kopi menyebabkan menghambat penyerapan Fe,

akibatnya lanjut usia mengalami anemia.

2.4.4 Perubahan hormone yang terjadi pada lansia

a) Gastrin

Bekerja untuk menstimulasi sekres . Histamin dan cairan lambung dari pembatas

usus dan asam hidroklorida (HCl) dari sel parietal lambung. Histamin juga

menstimulasi sekresi HCl sebaliknya mengaktifkan pepsin, yang merupakan

enzim pencernaan paling penting dilambung. Dengan demikia apabila terjadi

penurunan hormon gastrin maka pepsin yang dihasilkan juga akan menurun

sehingga berpengaruh pada pencernaan makanan dilambung.

b) Sekretin

Disekresikan dari usus halus terutama sebagai respon terhadap adanya HCl

dalam kimus yang masuk kedalam usus halus dari lambung. Sekretin

10

Page 11: BAB I Sgd II Kurus Lemas

menstimulasi sekresi dasar intestinal, demikian juga dengan pankreas yang

melepaskan bikarbonat untuk menetralisir asam. Netralisir asam penting karena

enzim yang diperlukan untuk pencernaan di dalam usus halus tidak dapat bekerja

dalam lingkungna yang asam.

c) Kolesistokinin (CCK)

Disekresikan dari usus halus terutama sebagai respons terhadap lemak dan

parikerl mekanan lainnya yang masuk ke usus di dalam kimus. CCK

menyebabkan kandung kemih berkontraksi; juga menyebabkan pelepasan enzim

pencernaan pankreas, usus, dan kandung empedu. Enzim pencernaan dan

kandung empedu berfungsi memfasilitasi perncernaan dan penyerapan partikel

makanan.

d) GLP-1 dan GIP

Disekresi diusus halus atas sebagai respons terhadap asam lemak, asam amino,

dan glukosa di dalam kimus. Hormon-hormon ini berfungsi untuk memperlambat

laju pengosongan lambung, sehingga proses mencerna makanan yang sudah ada

didalam usus halus efektif. GLP-1 dan GIP juga meningkatkan pelepasan insulin

dari pankreas. Sehingga kondisi menurunnya GLP-1 dan atau GIP dapat

menyebabkan intolereansi glukosa dan menurunkan sekresi insulin yang

merupakan ciri diabetes melitus tipe-2.

e) Fungsi paratiroid dan sekresinya tak berubah.  Pituitary, Pertumbuhan hormon

ada tetapi lebih rendah dan hanya ada di pembuluh darah dan berkurangnya

produksi dari ACTH, TSH, FSH dan LH. Menurunnya produksi aldosteron,

gonads: progesteron, estrogen, testosteron. Defisiensi hormonal dapat

menyebabkan hipotirodism, depresi dari sumsum tulang serta kurang mampu

dalam mengatasi tekanan jiwa (stess).

2.4.5 Kebutuhan gizi pada lansia

Perubahan terkait usia sebaiknya lanjut usia tetap mempertahankan kebiasaan

makan yang sehat, dengan mempertahankan berat badan yang optimal dengan makan

rendah lemak, karbohidrat yang sedang dan tinggi protein, membatasi makanan yang

tinggi garam, makanan ringan, makanan yang berlemak, alkohol, dan permen untuk

11

Page 12: BAB I Sgd II Kurus Lemas

memenuhi gizi lansia. Selain itu mempertahankan diit yang menghindari kebiasaan

penggunaan obat pencahar, mengkonsumsi makanan yang berserat, minum air 6

sampai 8 gelas sehari (air putih, jus, air teh) hal ini akan membantu sistem pencernaan

(Allender &Spradley, 2005).

Kebutuhan nutrisi pada lansia tidak berubah, yang berubah hanyalah asupan

kalori yang dibutuhkan.Nutrisi yang dianjurkan dan harus dipenuhi oleh lanjut usia 60

tahun keatas adalah kalori yang diperoleh dari lemak 9,4 kal (30% kurang dari total

energi), karbohidrat 4 kal, dan protein 4 kal per gramnya. Komposisi energy yang di

peroleh sebaiknya 20 sampai 25% berasal dari protein, 20% dari lemak, dan sisanya

dari karbohidrat. Kebutuhan kalori untuk lansia laki-laki sebanyak 2200 kal,

sedangkan untuk lansia perempuan 1850 kal. Kebutuhan protein bagi lansia harus

ditingkatkan 12 sampai 14% dari kebutuhan orang dewasa yaitu lansia laki-laki

sekitar 62 gr dan perempuan 54 gr, Zat besi untuk laki-laki 13 mg dan perempuan 14

mg, kalsium untuk laki-laki dan perempuan membutuhkan 500 mg, vitamin C yang

dibutuhkan lanjut usia laki-laki dan perempuan 60 mg (Darmojo & Martono, 2006).

Sumber serat yang baik bagi lansia adalah sayuran, buah-buahan segar dan

biji-bijian utuh, sedangkan air yang dibutuhkan 6 sampai 8 gelas perhari. Serat dan air

dalam proses pencernaan agar tidak mengalami kesulitan dalam buang air besar atau

sembelit, selain itu untuk melarutkan hasil pemecahan lemak dalam tubuh.

Kebutuhan vitamin D bagi lansia yang masih aktif beraktifitas 2,5µg kolekalsiferol

perhari, dan untuk lansia di rumah membutuhkan 10 µg kolekalsiferol perhari

(Gibson, 1990). Vitamin D dibutuhkan untuk meningkatkan kepadatan tulang karena

massa tulang sudah mengalami kerapuhan. Lansia risiko terjadi osteroporosis, karena

massa tulang sudah menurun saat usia 30 tahun, dan proses ini terus berlangsung

(Garrow, James, & Ralph, 2004).

a) Kalori

Kalori adalah energi potensial yang dihasilkan dari makanan yang diukur dalam

satuan. Kabutuhan kalori pada seseorang ditentukan oleh beberapa faktor, seperti

tinggi dan berat badan, jenis kelamin, status kesehatan dan penyakit dan tingkat

kebiasaan aktifitas fisik. (Miller, 2004). Oleh karena itu, kebutuhan kalori pada

lansia berbeda dengan kebutuhan kalori pada orang dewasa. Mengatur pola

12

Page 13: BAB I Sgd II Kurus Lemas

makan sangat mempengaruhi jumlah kalori yang akan dikonsumsi oleh

seseorang, agar tidak terjadi kekurangan kalori ataupun kelebihan kalori yang

dapat menyebabkan obesitas.

Pada lansia, kebutuhan kalori akan menurun sekitar 5% pada usia 40-49

tahun dan 10% pada usia 50-59 tahun serta 60-69 tahun (Fatmah, 2010). Menurut

WHO dalam Fatmah 2010 kecukupan gizi yang dianjurkan untuk lansia

(>60tahun) pada pria adalah 2200 kalori dan pada wanita ialah 1850 kalori.

Perbedaan kebutuhan kalori pada pria dan wanita ini didasarkan pada adanya

perbedaaan aktivitas fisik dan tingkat metabolisme basal yang berhubungan

dengan pengurangan massa otot.

Penghitungan pengeluaran energy basal (BEE) lansia menurut Harris

Benedict Equation tergantung pada tinggi badan, berat badan, usia, dan tingkat

aktivitas lanjut usia (American Dietetic Association, 1992 dalam Burke dan

Laramie, 2000) : Laki-laki= 66 + (13,8 x BB dalam kg) + (5 x TB dalam cm) –

(6,8 x usia), dan untuk perempuan = 655 + (9,6 x BB dalam kg) + (1,8 x TB

dalam cm) – 4,7 x usia). Total kalori yang dibutuhkan adalah BEE x aktivitas x

factor cedera. Komposisi energi yang di peroleh sebaiknya 20-25% berasal dari

protein, 20% dari lemak, dan sisanya dari karbohidrat.

b) Karbohidrat

Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi manusia. Setiap 1 gram

karbohidrat yang dikonsumsi menghasilkan energi sebesar 4 kkal dan hasil

proses oksidasi (pembakaran) karbohidrat ini kemudian akan digunakan oleh

tubuh untuk menjalankan berbagai fungsi-fungsinya seperti bernapas, kontraksi

jantung dan otot, serta untuk menjalankan berbagai aktivitas fisik (Fatmah,

2010). Konsumsi serat memiliki banyak manfaat bagi manusia. Miller (2004)

menjelaskan bahwa serat berperan dalam mencegah berbagai penyakit dan

merupakan komponen penting dalam makanan.

13

Page 14: BAB I Sgd II Kurus Lemas

c) Serat

Serat bermanfaat untuk menurunkan kadar kolesterol serum dan

meningkatkan toleransi glukosa pada penderita diabetes. Selain itu, serat pada

biji-bijian dan sayuran penting untuk menjaga fungsi usus dan untuk mencegah

sembelit. Asupan serat dan karbohdrat yang dibutuhkan tubuh berkurang seiring

bertambahnya usia. Akan tetapi, akibat penurunan asupan lemak pada lansia,

kebutuhan kalori meningkat sedikit, sedangkan kebutuhan serat pada lansia tidak

terlalu banyak (Fatmah, 2010).

d) Protein

Protein dibutuhkan oleh tubuh sebagai zat pembangun dan pemelihara sel.

Menurut Fatmah 2010 pemeliharaan protein yang baik untuk lansia sangat

penting mengingat sintesis protein di dalam tubuh tidak sebaik saat masih muda,

dan bayak terjadi kerusakan sel yang harus segera diganti. Dengan bertambahnya

usia, perlu pemilihan makanan yang kandungan proteinnya bermutu tinggi dan

mudah dicerna. Pakar gizi menganjurkan kebutuhan protein lansia dipenuhi dari

nilai biologis tinggi seperti telur, ikan dan protein hewani lainnya dikarenakan

kebutuhan asam amino esensial meningkat pada usia lanjut.

Kebutuhan protein lansia sedikit meningkat dibandingkan dengan orang

dewasa. Orang dewasa membutuhkan 0,8 g/kg BB, tetapi lansia 1,1 g/kg BB

(Baden, Karkeck, dan Chernoff, 1993 dalam Burke & Laramic, 2000).

Kebutuhan meningkat apabila lansia dalam kondisi sakit atau sedang dalam

penyembuhan luka, dan memerlukan 2 g/kg. Pada lansia efisiensi penggunaan

senyawa nitrogen (protein) oleh tubuh telah berkurang disebabkan pencernaan

dan penyerapannya kurang efisien. Beberapa penelitian merekomendasikan,

untuk lansia sebaiknya konsumsi proteinnya ditingkatkan sebesar 12 sampai 14%

dari porsi untuk orang dewasa. Sumber protein yang baik diantaranya adalah

pangan hewani dan kacang-kacangan

14

Page 15: BAB I Sgd II Kurus Lemas

e) Lemak

Lemak yang dibutuhkan oleh lansia sekitar 30% (9,4 kalori) atau kurang

dari total kalori yang dibutuhkan. Lebih dari 30% lemak yang dikonsumsi akan

mengakibatkan atherosclerosis (penyumbatan pembuluh darah jantung) dan

dianjurkan 20% dari lemak tersebut adalah asam lemak tidak jenuh. Hindari

lemak jenuh, trigliserida, & kolesterol yang merupakan faktor risiko penyakit

kardiovaskuler.

Lemak dalam tubuh berfungsi untuk membantu dalam pengaturan suhu,

memberikan sumber energi cadangan, memudahkan penyerapan vitamin yang

larut dan mengurangi sekresi asam dan aktivtas otot perut (Miller, 2004). Lemak

dikategorikan menjadi dua, yaitu lemak jenuh dan lemak tak jenuh. Lemak jenuh

adalah lemak yang dalam struktur kimianya mengandung asam lemak jenuh

(Fatmah,2010). Konsumsi lemak jenuh dalam jumlah berlebihan data

meningkatkan kadar kolesterol dalam darah. Kolesterol darah yang berlebihan ini

dapat mengakibatkan penyempitan dan penymbatan pembuluh darah yang

kemudian dapat menyebabkan penyakit jantung. Sedangkan, untuk menurunkan

kadar kolesterol dalam darah dapat diturunkan dengan mengkonsumsi jenis

lemak tak jenuh. Beberapa makanan yang mengandung lemak tak jenuh adalah

bawang putih, tempe, the, anggur, apel, alpukat dan ikan.

f) Cairan

Konsumsi cairan yang tepat sangat penting bagi kesehatan dan merupakan

salah satu kebutuhan yang penting bagi lansia. Menurut Miller 2004 lansia

mengkonsumsi 1500-2000 ml (6-8 gelas) per hari diperlukan untuk menjaga

hidrasi yang memadai.

Minuman seperti kopi, teh kental, minuman ringan, alkohol, es, maupun

sirup bahkan tidak baik untuk kesehatan dan harus dihindari terutama bagi lansia

yang memiliki penyakit-penyakit tertentu seperti DM, hipertensi, obesitas dan

jantung (Fatmah, 2010). Asupan air pada lansia harus lebih diperhatikan. Hal ini

di karena omoreseptor pada lansia kurang sensitif, sehingga mereka seringkali

tidak merasa haus. Selain penurunan rasa haus, peningkatan jumlah lemak dan

15

Page 16: BAB I Sgd II Kurus Lemas

penurunan fungsi ginjal untuk memekatkan urin asupan cairan yang kurang pada

lansia dapat menimbulkan masalah kekurangan cairan pada lansia (Fatmah,

2010).

Lansia risiko terjadi dehidrasi, yang disebabkan karena terjadi penurunan

rasa haus, oleh sebab itu pemantauan asupan cairan sangat dibutuhkan. Asupan

cairan penting untuk mengganti cairan yang hilang melalui ginjal dan keringat,

serta cairan diperlukan dalam pencernaan. Setiap orang membutuhkan 30 ml

cairan per kilogram berat badan kecuali jika restriksi cairan diindikasikan

(Kerstetter, Holthausen, dan Fitz, 1992, dalam Burke dan Laramie, 2000).

Penambahan cairan dibutuhkan apabila kondisi lansia dalam keadan sakit

(demam), peningkatan suhu lingkungan, kelembaban lingkungan yang rendah,

dan oksigen kering. Lansia dianjurkan untuk minum sebanyak 6 sampai 8 gelas

perhari.

g) Vitamin.

Vitamin bagi tubuh berguna untuk metabolisme zat-zat gizi yang lain.

Vitamin D dianjurkan 5 sampai 10 µg/hari bagi lansia yang berada di rumah,

bagi lansia yang tidak terkena sinar matahari kalsium yang dibutuhkan 400

sampai 800 mg/hari. Vitamin oral B12 pada 1,5 ug / hari bagi mereka dengan

operasi lambung atau gastritis (Garrow, James, & Ralph, 2004).

2.4.6 Masalah gangguan nutrisi pada lansia

a) Malnutrisi Energi Protein

Malnutrisi energi protein adalah kondisi di mana energi dan atau protein

yang tersedia tidak mencukupi kebutuhan metabolik. Malnutrisi energi protein

dapat terjadi karena buruknya asupan protein atau kalori, meningkatnya

kebutuhan metabolik bila terdapat penyakit atau trauma, atau meningkatnya

kehilangan zat gizi. Usia lanjut merupakan kelompok yang rentan terhadap

malnutrisi. Pada usia lanjut, stres ringan jangka pendek sudah dapat

menyebabkan timbulnya malnutrisi energi protein.

16

Page 17: BAB I Sgd II Kurus Lemas

Status nutrisi memengaruhi berbagai sistem pada usia lanjut seperti

imunitas, cara berjalan dan keseimbangan, fungsi kognitif, serta merupakan

faktor risiko untuk timbulnya infeksi, jatuh, delirium, serta mengurangi manfaat

pengobatan. Terdapat hubungan antara malnutrisi dengan mortalitas, lama rawat,

banyaknya komplikasi, dan perawatan kembali.

b) Obesitas

Perubahan komposisi tubuh yang terjadi pada lansia memberikan

kontribusi terjadinya obesitas, terutama obesitas sentral. Proporsi lemak intra

abdominal meningkat progresif seiring dengan meningkatnya usia. Penurunan

asupan energi danTotal Energy Expenditure (TEE) juga menurun karena

penurunan aktivitas fisik terutama pada lansia yang sakit. Pada lansia yang obes,

penurunan berat badan dapat menurunkan kesakitan karena arthritis, diabetes dan

menurunkan risiko penyakit kardiovaskuler serta meningkatkan kualitas hidup.

Peningkatan aktivitas fisik pada lansia dapat memperbaiki kekuatan otot dan

kesehatan lansia secara keseluruhan.

c) Kehilangan Berat Badan

Menurut Schlenker (2000), kehilangan berat badan pada lansia dapat

dikelompokkan menjadi wasting, cachexia, dan sarcopenia. Wasting merupakan

kehilangan berat badan yang tidak disadari, pada umumnya disebabkan oleh

asupan yang tidak adekuat. Cachexia adalah kehilangan massa tubuh bebas

lemak yang tidak disadari yang disebabkan oleh proses katabolisme, ditandai

oleh peningkatan rate metabolik dan peningkatan pemecahan protein.

Sedangkan sarcopenia adalah kehilangan massa otot yang tidak disadari

sebagai bagian dari proses menua, kadang-kadang tidak ada penyakit yang

mendasari. Faktor risiko terjadinya malnutrisi pada lansia antara lain beberapa

faktor medis seperti selera makan rendah, gangguan gigi geligi, disfagia,

gangguan fungsi pada indera penciuman dan pengecap, pernafasan, saluran

cerna, neurologi, infeksi, cacat fisik dan penyakit lain seperti kanker. Selain itu,

adanya faktor psikologis seperti depresi, kecemasan dan demensia mempunyai

17

Page 18: BAB I Sgd II Kurus Lemas

kontribusi yang besar dalam menentukan asupan makanan dan zat gizi pada

lansia.

d) Defisiensi Vitamin dan Mineral

Tidak memadainya asupan mikronutrien sering terjadi pada usia lanjut,

bahkan pada negara yang telah sangat maju, yang berkaitan dengan

meningkatnya risiko penyakit kronik. Vitamin B6, B12, dan asam folat

dibutuhkan untuk mencegah akumulasi homosistein, suatu asam amino yang

secara konsisten berhubungan dengan risiko penyakit vaskular.

Di samping itu, juga terdapat hubungan antara rendahnya konsentrasi

vitamin B dan menurunnya fungsi kognitif. Data dari beberapa studi

menunjukkan bahwa kadar vitamin B yang rendah sering terjadi pada usia lanjut.

Data ini terkait dengan rendahnya asupan zat gizi tertentu dalam pola makan

sehari-hari.

2.4.7 Penyebab gigi hilang pada lansia

Hilangnya tulang periosteum dan periodontal, penyusutan dan fibrosis pada akar

halus, pengurangan dentin, dan retraksi dari struktur gusi. Implikasi dari hal ini

adalah tanggalnya gigi, kesulitan dalam mempertahankan pelekatan gigi palsu yang

lepas.

2.4.8 Tatalaksana pasein pada scenario

a) Sebelum melakukan terapi harus diketahui terlebih dahulu penyebab badan

pasien semakin kurus

b) Makanan harus mengandung zat gizi dari makanan yang beraneka ragam, yang

terdiri dari : zat tenaga, zat pembangun dan zat pengatur.

c) Perlu diperhatikan porsi makanan, jangan terlalu kenyang. Porsi makan

hendaknya diatur merata dalam satu hari sehingga dapat makan lebih sering

dengan porsi yang kecil. Contoh menu :

Pagi : Bubur ayam

Jam 10.00 : Roti

18

Page 19: BAB I Sgd II Kurus Lemas

Siang : Nasi, pindang telur, sup, papaya

Jam 16.00 : Nagasari

Malam : Nasi, sayur bayam, tempe goreng, pepes ikan, pisang

d) Banyak minum dan kurangi garam, dengan banyak minum dapat memperlancar

pengeluaran sisa makanan, dan menghindari makanan yang terlalu asin akan

memperingan kerja ginjal serta mencegah kemungkinan terjadinya darah tinggi.

e) Batasi makanan yang manis-manis atau gula, minyak dan makanan yang

berlemak seperti santan, mentega dll.

f) Bagi pasien lansia yang prose penuaannya sudah lebih lanjut perlu diperhatikan

hal-hal sebagai berikut :

Makanlah makanan yang mudah dicerna

Hindari makanan yang terlalu manis, gurih, dan goring-gorengan

Bila kesulitan mengunyah karena gigirusak atau gigi palsu kurang baik,

makanan harus lunak/lembek atau dicincang

Makan dalam porsi kecil tetapi sering

Makanan selingan atau snack, susu, buah, dan sari buah sebaiknya

diberikan

g) Batasi minum kopi atau teh, boleh diberikan tetapi harus diencerkan sebab

berguna pula untuk merangsang gerakan usus dan menambah nafsu makan.

h) Makanan mengandung zat besi seperti : kacang-kacangan, hati, telur, daging

rendah lemak, bayam, dan sayuran hijau.

i) Lebih dianjurkan untuk mengolah makanan dengan cara dikukus, direbus, atau

dipanggang kurangi makanan yang digoreng

19

Page 20: BAB I Sgd II Kurus Lemas

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

20

Page 21: BAB I Sgd II Kurus Lemas

DAFTAR PUSTAKA

Fauzia, Hilda. 2010. Perbedaan Asupan Energi, Protein, Aktivitas Fisik Dan Status Gizi

Antara Lansia Yang Mengikuti Dan Tidak Mengikuti Senam Bugar Lansia

Diunduh pada tanggal 17 September 2014 pukul 20.00 WITA.

http://eprints.undip.ac.id/37552/1/Hilda_Fauzia_A-G2A008093-LAP.KTI.pdf

Irianto, Kus. 2004. Gizi dan Pola Hidup Sehat. Jakarta: Rama Widya.

Kemala, Sari. 2009. Gangguan Nutrisi Pada Lansia. Jakarta: Interna Publishing.

Meirina. 2010. Hubungan Dukungan Keluarga, Karakteristik Keluarga Dan Lansia Dengan

Pemenuhan Nutrisi Pada Lansia. Diunduh tanggal 16 September 2014 pukul 20.00

WITA. http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20281717-T%20Meirina.pdf

Price Sylvia A. dan Wilson Lorraine M. 2012. Patofisiologi Edisi 6 Jilid 2. Jakarta: EGC.

Supariasa, Nyoman. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC

21