bab i pengantar a. latar...
TRANSCRIPT
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Karya tulis ini merupakan hasil kajian tentang interaksi antara manusia dan
lingkungannya melalui mata pencahariannya. Aktivitas penangkapan ikan
(mangael) merupakan salah satu mata pencaharian penting bagi komunitas
nelayan di Tomalou, Kota Tidore Kepulauan, Provinsi Maluku Utara. Dipilihnya
aspek mata pencaharian sebagai ‘pintu masuk’ kajian ini didasarkan pada
pemahaman bahwa melalui aktivitas tersebut, mereka melakukan interaksi dengan
lingkungannya: sosial dan fisik. Lingkungan fisik, mencakup laut dan kandungan
sumber daya alam di dalamnya, senantiasa dipersepsikan, ditanggapi, dan
dimanipulasi sedemikian rupa sehingga keberlanjutan atau eksistensi mata
pencahariannya tetap dapat dipertahankan. Penggambaran interaksi antara nelayan
di Tomalou dengan lingkungan di mana mereka melangsungkan kehidupannya
dilakukan dengan mengoperasionalisasikan pendekatan etnoekologi. Pendekatan
ini merupakan pendekatan spesifik dari perspektif etnosains (lihat Ahimsa-Putra,
1985, 1994: 4-7, 1997: 54-55; Bellon, 1991: 391; Conklin, 1954, 1957, 1963;
Ellen, 1991, 1997; Moran, 2006: 33; Sutton & Anderson, 2004).
Sebagai gambaran, perlu dikemukakan bahwa Provinsi Maluku Utara, di
mana Kota Tidore Kepulauan berada di dalamnya, merupakan sebuah provinsi
yang memiliki karakteristik kepulauan. Sebanyak 805 pulau di daerah ini tersebar
di wilayah seluas ± 140.366,32 km2. Dari keseluruhan luas wilayahnya, Provinsi
2
Maluku Utara mencakup ± 106.952,79 km2 wilayah lautan, atau sekitar 76,20%.
Selebihnya, seluas ± 33.415,53 km2 dari wilayah provinsi ini adalah daratan
(DKP Maluku Utara, 2009). Karena lebih luasnya wilayah lautan dari pada
daratannya, maka pemerintah daerah ini menjadikan sektor kelautan dan
perikanan sebagai “leading sector” dalam upaya pembangunannya. Selain karena
luas wilayahnya, diandalkannya sektor ini terutama didorong pula oleh adanya
optimisme yang tinggi terhadap besarnya kandungan potensi wilayah tersebut.
Potensi tersebut diyakini terhampar dari kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil,
dan menukik dari permukaan hingga ke dasar lautannya. Salah satu potensi
sumber daya laut penting dan bernilai ekonomis tinggi daerah ini adalah sumber
daya perikanannya1.
Salah satu daerah penghasil ikan dengan mata pencaharian utama
penduduknya sebagai nelayan adalah Kelurahan Tomalou, Kota Tidore
Kepulauan. Sesuai dengan kondisi geografis wilayahnya, sebagian besar
penduduk di Kota Tidore Kepulauan bermukim di daerah pesisir. Laporan DKP
Kota Tidore Kepulauan (2007) menunjukkan bahwa dari keseluruhan jumlah
penduduk sebesar 89.616 jiwa, sejumlah 82.447 jiwa (80 persen) di antaranya
menempati wilayah pesisir.
1 Selain sumber daya perikanannya, Pemerintah Daerah Provinsi Maluku Utara juga
mengindentifikasi tingginya potensi sumber daya mineral dan benda-benda berharga muatan kapal tenggelam di wilayah daerahnya, yang hingga saat ini keduanya belum dieksploitasi. Sementara di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, termasuk memiliki potensi sumber daya ekonomis yang juga belum dikelola secara optimal, seperti pemanfaatan jasa-jasa lingkungan dan pariwisata bahari (lihat DKP Maluku Utara, 2009: 1-4)
3
Meskipun penduduk Kota Tidore Kepulauan lebih banyak bermukim di
wilayah pesisir, namun sebagian besarnya bekerja sebagai petani dari pada
nelayan. Aktivitas bertani merupakan mata pencaharian penting bagi sebagian
besar penduduk di Kota Tidore Kepulauan, di samping beberapa jenis mata
pencaharian lainnya. Dari keseluruhan jumlah penduduknya (89.616 jiwa),
aktivitas bertani digeluti oleh 15.235 jiwa, sedangkan nelayan hanya berjumlah
2.219 jiwa saja. Setidaknya terdapat 5 wilayah kecamatan di Tidore Kepulauan
yang memiliki persentase jumlah penduduk bermatapencaharian nelayan yang
relatif besar antara lain: Oba Utara, Tidore Utara, Tidore Selatan, Tidore, dan Oba
(DKP Kota Tidore Kepulauan, 2007).
Orang Tomalou merupakan nelayan yang sejak dulu dikenal sebagai
nelayan tulen dan andal di antara masyarakat Tidore lainnya, bahkan jika
dibandingkan dengan masyarakat Maluku Utara pada umumnya. Dari sumber
tertulis tertua (Kuneman, 1882) yang ditemukan mengenai aktivitas penangkapan
ikan (mangael) pada orang Tomalou diketahui bahwa pekerjaan tersebut telah
dilakukan sejak sebelum tahun 1900-an. Tiga kelompok masyarakat di Tidore
yang dikenal sebagai pemburu sumber daya ikan hingga ke lokasi-lokasi yang
terletak jauh dari kampungnya (mangael sampe jaoh) adalah orang-orang
Tomalou (Tomelo), Mareku (Mareekoe) dan Toloa (Teloa). Kajian sejarah tentang
aktivitas perikanan pantai di Karesidenan Ternate (Rajab, 2011) menunjukkan
bahwa aktivitas penangkapan ikan oleh ketiga kampung nelayan tersebut bahkan
telah berlangsung sejak sebelum abad ke-18. Hingga saat ini, ketiganya masih
4
tetap mempertahankan mata pencaharian tersebut, meski terdapat beberapa pilihan
mata pencaharian lainnya seiring dengan kompleksitas kehidupan yang dibawa
oleh perkembangan zaman.
Seperti akan ditunjukkan lebih jauh dalam kajian ini, bertahannya aktivitas
penangkapan ikan (mangael) bagi orang Tomalou dilandasi oleh beberapa alasan.
Salah satu alasan penting bagi mayoritas di antara mereka adalah adanya
pandangan (dari kalangan mereka sendiri) bahwa menjadi nelayan bagi orang
Tomalou adalah warisan leluhur yang harus tetap dipertahankan. Beberapa
nelayan, khususnya para pemilik (Majikan) sarana produksi seperti kapal dan
jaring (soma), yang sempat beralih mata pencaharian, seperti menjadi kontraktor
atau usaha angkutan umum (mobil angkutan atau ojek), ditanggapi negatif oleh
warga lainnya, secara diam-diam. Setelah terbukti mereka tidak bisa
mempertahankan keberlanjutan pekerjaan barunya tersebut, tanggapan dari warga
Tomalou lainnya pun semakin menyeruak. Dari tanggapan mereka, seolah
membenarkan pandangan sebelumnya bahwa mengingkari atau meninggalkan
tradisi penangkapan ikan (mangael) sebagai warisan nenek moyang akan
menyebabkan datangnya semacam kutukan (faso). Kegagalan mempertahankan
dan melanjutkan usaha barunya—yang digeluti dengan meninggalkan usaha di
bidang perikanan tangkap—bagi sebagian kalangan, dipandang sebagai dampak
dari kutukan (foso) tersebut. Menggeluti bidang pekerjaan baru di luar bidang
perikanan sama sekali tidak dilarang dalam kehidupan orang Tomalou. Hanya
saja, seperti dikemukakan beberapa warga Tomalou, sebaiknya tidak
5
meninggalkan pekerjaannya sebagai nelayan. Bagaimanapun juga penghasilan
sebagai nelayanlah yang telah berhasil meningkatkan kesejahteraannya sehingga
mampu menyekolahkan anak-anak dan memiliki rumah atau aset rumah tangga
lainnya secara berkecukupan. Demikianlah pandangan sebagian kalangan nelayan
di Tomalou.
Sistem mata pencaharian suatu masyarakat pada dasarnya merupakan suatu
proses adaptasi manusia terhadap lingkungannya (Semedi, 1998; Romens, 2003).
Oleh karena itu, dengan memahami bahwa menangkap ikan (mangael) sebagai
mata pencaharian utama pada orang Tomalou dan telah berlangsung lama, maka
selain dapat dipandang sebagai aktivitas ekonomi belaka, sistem mata pencaharian
mereka juga pada dasarnya mencakup serangkaian adaptasi terhadap
lingkungannya. Pola-pola adaptasi yang dianggap tepat (adaptif) oleh mereka
diperoleh dari proses belajar baik melalui lingkungan sosialnya maupun dari
lingkungan alamnya. Pengalaman berinteraksi dengan lingkungan alamnya dari
waktu ke waktu, dari generasi ke generasi, akan memantapkan pengetahuannya
sekaligus memungkinkan muncul atau terbentuknya pengetahuan baru
berdasarkan fenomena yang dihadapinya.
Sebagai nelayan penangkap ikan (mangael) laut, sudah tentu mereka
menjalankan aktivitasnya terutama di lingkungan laut. Karena mangael
merupakan mata pencaharian yang secara langsung memanfaatkan sumber daya
laut, yakni biota ikan, maka hal fundamental yang harus dimiliki adalah
pengetahuan tentang laut, sumber daya laut, dan teknologi penangkapan ikannya.
6
Pengetahuan orang Tomalou tentang berbagai hal tersebut, selanjutnya akan
menjadi pola (pattern for) bagi perilakunya. Selain itu, bentuk-bentuk respons
terhadap hal-hal yang dianggap baru berkaitan dengan mata pencahariannya dapat
membentuk suatu ‘pengetahuan baru’ (pattern of) dalam kerangka interaksi
mereka dengan lingkungannya. Bertahannya mata pencaharian orang Tomalou
sebagai nelayan penangkap ikan (mangael) tersebut menunjukkan bahwa mereka
berhasil beradaptasi dengan lingkungannya.
Akan tetapi, pandangan tentang orang Tomalou dan lingkungannya seperti
dikemukakan di atas, oleh beberapa pihak justru melihat sebaliknya. Dinas
Kelautan dan Perikanan (DKP) Kota Tidore Kepulauan (2011), misalnya dalam
Laporan Tahunannya menyatakan secara tegas bahwa salah satu permasalahan
yang dihadapi oleh pemerintah dalam membangun sektor kelautan dan perikanan
di daerah itu adalah masih rendahnya kesadaran2 masyarakat terhadap kelestarian
wilayah laut dan pesisir. Penyamarataan (generalisasi) pandangan pemerintah
tersebut terhadap seluruh masyarakat pesisir di Kota Tidore Kepulauan dengan
jelas dapat diduga akan menghasilkan suatu kebijakan pemerintah yang abai
terhadap kebudayaan masyarakat tempatan, seperti halnya kebudayaan komunitas
nelayan di Tomalou. Demikian pula pandangan Salnuddin dkk (2009) yang
menunjukkan bahwa sebanyak 79 persen nelayan di Tidore Kepulauan tidak
2 Secara fenomenologis, kesadaran masyarakat (nelayan) Tomalou tentang lingkungannya
adalah juga pengetahuan tentang lingkungan tersebut. Dengan demikian, kesadaran dalam hal ini merupakan perangkat pengetahuan yang dimiliki oleh mereka (lihat H.S Ahimsa-Putra, Fenomenologi Agama: Pendekatan Fenomenologi Untuk Memahami Agama, Jurnal Penelitian Walisongo, 2009, hlm. 1-33).
7
mengetahui fungsi ekosistem pesisir3. Seturut dengan pandangan tersebut,
perilaku nelayan di pesisir Halmahera Selatan, Maluku Utara, juga dianggap
sebagai perusak lingkungan laut di sana (Tim Peneliti PSL, 2004).
Klaim tentang nelayan Tomalou sebagai (1) memiliki kesadaran dan
pengetahuan yang rendah tentang fungsi ekosistem pesisir, dan (2) perilaku
perusakan lingkungan pesisir dan laut, seperti dikemukakan beberapa pihak di
atas, menarik untuk ditelisik lebih jauh lagi ke dalam jagad kehidupan mereka.
Ketertarikan ini tidak hanya didorong oleh ambisi untuk memperoleh gambaran
memadai tentang kebudayaan orang Tomalou dalam kerangka interaksi dengan
lingkungannya. Lebih dari pada itu, suatu penelitian4 (tentang nelayan Tomalou)
yang sungguh-sungguh dari perspektif yang berbeda dari penelitian terdahulu
diperlukan untuk menjadi masukan kepada berbagai pihak, khususnya pemerintah.
3Dalam laporan tersebut, mereka tidak menunjuk nelayan Tomalou secara khusus,
melainkan secara umum ditujukan kepada masyarakat pesisir di Kota Tidore Kepulauan. Akan tetapi, hampir di sepanjang laporan tersebut, mereka selalu menyebut orang-orang Tomalou dalam kaitannya sebagai masyarakat yang menempati wilayah pesisir laut dan sebagai nelayan yang memiliki kontribusi penting bagi produksi ikan di Kota Tidore Kepulauan.
4 Menurut Penulis, ada kesan bahwa penelitian yang dilakukan oleh institusi perguruan tinggi maupun lembaga lainnya terkait kebudayaan nelayan Tidore sekadar memenuhi hasrat pemerintah, project oriented. Sementara pendataan yang dilakukan secara intern oleh pemerintah, dalam hal ini DKP Kota Tidore Kepulauan, melalui suatu perbincangan tidak formal dengan staf mereka, diketahui bahwa statistik perikanan harus ditunjukkan mengalami tren meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini dilakukan karena terkait dengan alokasi anggaran (dari pemerintah pusat) yang akan dikucurkan kepada instansi ini pada tahun berikutnya. Jika terjadi penurunan pemanfaatan hasil-hasil perikanan, dan secara gamblang ditunjukkan dalam laporan (statistik perikanan) tersebut, maka pada tahun berikutnya anggaran dari pemerintah pusat untuk instansi ini akan diturunkan jumlahnya karena mereka (DKP Tidore Kepulauan) dianggap gagal, demikian pula sebaliknya.
8
B. Rumusan masalah
Kondisi ekologis kepulauan Maluku Utara—sebagian terbesar wilayahnya
kepulauan ini merupakan lautan—dan kaitannya dengan sistem mata pencaharian
komunitas nelayan di Tomalou yang telah dipraktikkan sejak ratusan tahun silam
(Kuneman, 1882) menunjukkan adanya pemahaman yang memadai tentang
lingkungannya. Ditunjang oleh pemahamannya tersebut, aktivitas mangael
mereka dapat bertahan sedemikian rupa dalam kebudayaannya hingga sekarang
ini.
Interaksi nelayan Tomalou dengan lingkungan fisiknya, dalam hal ini
lingkungan laut, berlangsung secara dinamis. Pemanfaatan sumber daya laut,
khususnya biota ikan sebagai buruan utamanya, mempertemukan mereka dengan
berbagai aktor yang pada gilirannya mempengaruhi pandangan mereka terhadap
laut dan sumber dayanya. Kehadiran nelayan asing dari Filipina dalam lokasi
tangkap mereka, misalnya dipandang sebagai salah satu kendala bagi kesuksesan
mata pencahariannya. Teknologi mutakhir penangkapan ikan yang dioperasikan
oleh nelayan asing tersebut, bagi nelayan Tomalou berdampak pada menurunnya
kesempatan untuk dapat memperoleh hasil tangkapan secara maksimal, melimpah.
Sementara itu, pemerintah dianggap tidak mampu mengatasi perilaku illegal
fishing oleh nelayan asing tersebut. Kendala lingkungan yang bersifat
antropogenik; kehadiran nelayan asing Filipina, dan ketidakberdayaan pemerintah
dalam mengatasinya secara dinamis mempengaruhi pengetahuan mereka tentang
lingkungannya. Realitas baru atas lingkungan mereka melahirkan pandangan-
9
pandangan baru tentang lingkungannya hingga terbentuknya perilaku yang
berpola dalam menghadapinya. Lingkungan fisik dalam hal ini telah dipahami,
diinterpretasikan, dan ditanggapi, sedemikian rupa sehingga menjadi lingkungan
budaya (cultural environment). Kebudayaan suatu masyarakat (nelayan) di sini
menjadi penting sebagai model-model bagi interpretasi, tindakan, perilaku, dan
berinteraksi baik terhadap lingkungan alam maupun sosialnya.
Terkait dengan hal tersebut, maka diajukan pertanyaan penelitian sebagai
berikut, antara lain:
1) Bagaimanakah pengetahuan komunitas nelayan Tomalou mengenai
lingkungan laut dan sumber dayanya?
2) Apa saja perilaku adaptasi ekologis yang dimiliki dan dikembangkan
dalam kerangka hubungan mereka dengan lingkungannya? Bagaimana
bentuk-bentuk strategi tersebut? Bagaimana pula proses-proses strategi
tersebut berlangsung?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini diharapkan mencapai dua tujuan. Pertama, penelitian ini
ditujukan untuk mendeskripsikan pengetahuan komunitas nelayan di Tomalou
terkait dengan kondisi lingkungan dan sumber daya lautnya. Kedua, penelitian ini
bertujuan untuk mendeskripsikan perilaku adaptasi dan strategi adaptasi yang
dimiliki dan dikembangkan oleh nelayan Tomalou dalam menghadapi lingkungan
laut dan sumber daya di dalamnya.
10
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam dua hal, yakni: manfaat
teoritis-akademis dan manfaat praktis. Secara teoritis-akademis, penelitian ini
diharapkan dapat menyumbangkan manfaatnya dalam memperkaya khazanah
kajian mengenai etnografi komunitas nelayan dengan perspektif antropologi
ekologi. Hasil studi ini, dapat menjadi bahan perbandingan bagi komunitas-
komunitas nelayan yang tersebar di berbagai tempat di Indonesia umumnya, dan
di Maluku Utara khususnya.
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan informasi
bermakna tentang jagad budaya nelayan penangkap ikan (mangael) di Tomalou
sebagai pihak yang paling memahami kondisi lingkungan dan sumber daya
lautnya berdasarkan interaksi mereka yang telah berlangsung secara turun-
temurun. Informasi tentang hal ini dianggap penting karena mereka seringkali
dipandang atau dikonsepsikan oleh ‘pihak luar’ (kalangan peneliti ‘sains’ dan
penentu kebijakan, pemerintah) bahwa komunitas nelayan ini kurang memahami
atau tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang lingkungan dan sumber
daya lautnya. Karena itu, hasil penelitian ini direncanakan akan dipublikasikan,
baik sebagian ataupun keseluruhannya, melalui jurnal ilmiah ataupun dalam
bentuk buku. Tentu saja setelah mendapatkan kritik dan saran, pertama-tama dari
pembimbing dan penguji tesis ini, dan pihak-pihak lainnya.
11
D. Tinjauan Pustaka
Karena penelitian ini pada dasarnya melihat interaksi antara manusia dan
lingkungannya, maka bagian Tinjauan Pustaka ini difokuskan pada isu-isu yang
berkaitan dengan kedua elemen tersebut. Lingkungan fisik laut dan sumberdaya di
dalamnya dipandang banyak pihak mendapat pengaruh langsung atau tidak
langsung dari aktivitas manusia: masyarakat pesisir pada umumnya dan nelayan
pada khususnya. Karena itu, bagian pertama Tinjauan Pustaka ini membicarakan
kondisi fisik laut dan pesisir serta kondisi sumber dayanya. Selanjutnya, nelayan
sebagai pelaku utama aktivitas pemanfaatan hasil-hasil laut dibicarakan pada
bagian kedua berikutnya.
Literatur yang mengulas tentang kehidupan sosial budaya nelayan di
Maluku Utara masih sangat terbatas, baik dari segi kedalaman kajian maupun dari
segi jumlahnya. Menghadapi kenyataan ini, tinjauan terhadap beberapa publikasi
yang membahas isu serupa, tetapi terhadap berbagai komunitas nelayan di
berbagai tempat di Indonesia, dilakukan. Kondisi ini sekaligus menunjukkan
bahwa kajian mengenai kehidupan komunitas nelayan di Maluku Utara relatif
belum dilakukan secara intensif.
1. Lingkungan Laut dan Sumber Dayanya
Studi ini berangkat dari isu-isu tentang fenomena lingkungan dan sumber
daya lautnya yang dikonsepsikan oleh banyak pihak telah berubah, bahkan telah
mengalami kemerosotan daya dukungnya. Sumber daya laut dikategorikan
menjadi dua, yaitu: sumber daya yang bisa diperbaharui (renewable resource) dan
12
sumber daya yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable resource). Berbagai
jenis ikan, lobster dan udang, teripang, dan kerang-kerangan, termasuk ke dalam
kategori yang dapat diperbaharui, meski dengan kemampuan yang bersifat
terbatas. Eksploitasi berlebihan (over-exploitation), yaitu sumber daya digunakan
melebihi kapasitas pemulihan bagi dirinya, lambat laun akan menyebabkan
kemerosotan bagi sumber daya tersebut. Jika aktivitas pengurasannya terus
berlangsung dalam jangka panjang, maka sumber daya tersebut akan mengalami
kepunahan.
Pandangan terhadap sumber daya yang dapat diperbaharui dan
ketersediannya membagi para ahli dan kalangan praktisi ke dalam dua kelompok.
Salah satu pihak menyatakan bahwa sumber daya (terbaharui) tersebut masih
cukup melimpah. Berdasarkan asumsi kelimpahan dan kemampuan
memperbaharui diri dari sumber daya ini, mendorong terus dilakukannya
pemanfaatan terhadap sumber daya tertentu demi mencapai kepentingan
(pembangunan) ekonomi. Sebaliknya, di pihak lain, keyakinan terhadap sumber
daya yang masih melimpah ini dipandangnya sebagai hal yang berlebihan, jika
bukan keliru. Bagi mereka, fenomena lingkungan laut dan sumber daya di
dalamnya justru telah mengalami perubahan ke arah yang kian merosot
(degradasi) dari waktu ke waktu.
Menurut Witoelar (2008), beberapa isu global yang berpengaruh terhadap
pembangunan kawasan pesisir dan laut serta terkait satu sama lain adalah (1)
keanekaragaman hayati; (2) perubahan iklim; (3) pencemaran dari aktivitas darat
13
maupun laut. Diangkatnya isu pembangunan dan lingkungan hidup ke tingkat
dunia menunjukkan bahwa masyarakat dunia telah menyadari telah terjadinya
ancaman-ancaman terhadap keberlangsungan pembangunan di seluruh dunia5.
Fenomena semakin terancamnya kapasitas keberlanjutan (sustainable
capacity) ekosistem pesisir dan kelautan telah banyak dibicarakan oleh para ahli.
Kerusakan wilayah pesisir dan ekosistemnya semakin meluas seiring dengan
berjalannya waktu. Proses alam dan aktivitas manusia, termasuk dampak
kebijakan pembangunan di masa lalu, ditunjuk sebagai penyebabnya
(Kusumaatmadja, 2001). Reklamasi pantai, penggunaan alat tangkap ikan yang
tidak ramah lingkungan, dan lain-lain semakin mendegradasikan kualitas
lingkungan pesisir dan laut serta sumber dayanya. Hal ini berimplikasi pada
hilangnya berbagai biota endemik dan hewan langka lainnya (Kasim, 2008).
Terumbu karang, misalnya, sebagaimana dilaporkan data LIPI (Maarif, 2009;
Satria, 2009b) bahwa terumbu karang Indonesia hanya tersisa 7 persen yang
kualitasnya sangat baik, sementara 30 persen lainnya dikatakan dalam kondisi
rusak berat. Terumbu karang dengan tingkat kerusakan serius akibat praktik-
praktik penangkapan ikan karang oleh nelayan di Kepulauan Padaido, Biak,
ditunjukkan oleh Laksono (2007: 16). Demikian pula halnya dengan luas hutan
5 Hal ini disampaikan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup dalam sambutannya
berjudul:”Kebijakanan Nasional Tentang Lingkungan Dalam Menuju Keberlanjutan Pengelolaan Pesisir dan Laut Demi Ketahanan dan Kesejahteraan Bangsa” saat membuka Konferensi Nasional VI Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan, Manado, 26-29 Agustus 2008.
14
bakau juga berkurang dari 4 juta hektar menjadi 2,5 juta hektar selama periode
1982-1993 (Dahuri et al., 2008; Satria, 2009b).
Salnuddin dkk (2009: V-19) melaporkan kondisi sumber daya terumbu
karang di Pulau Maitara, Kota Tidore Kepulauan, dalam kategori rusak dan cukup
dengan persentase antara 21,40 - 41,80 %. Kondisi terumbu karang yang sebagian
besarnya ditemukan rusak di Tidore, seperti dikemukakan oleh Salnuddin dkk
(2009: V-24) mengakibatkan berkurangnya jumlah spesies ikan karang. Bahkan,
potensi perikanan terumbu karang di wilayah Kota Tidore Kepulauan dinyatakan
semakin terancam kelestariannya. Serupa dengan kondisi terumbu karang, padang
lamun6 di Kota Tidore Kepulauan kini sudah memerlukan usaha perlindungan dan
rehabilitasi.
Beberapa hal yang ditunjuk oleh Salnudddin dkk (2009) sebagai penyebab
berkurangnya jumlah populasi maupun spesies ikan karang yang berukuran besar
di kedalaman 0-20 meter lebih adalah antara lain: (1) rusaknya terumbu karang;
(2) penangkapan ikan yang berlebihan (over-fishing) yang tidak memperhitungkan
laju pertumbuhan dan reproduksi alamiah ikan; (3) praktik penangkapan ikan
dengan bom. Beberapa hal ini dipandang dapat menyebabkan punahnya potensi
perikanan karang di Kota Tidore Kepulauan.
6 Padang lamun secara multifungsi menunjang ekosistem pesisir dan pesisir beserta
dinamikanya. Ekosistem lamun sangat terkait dengan ekosistem di wilayah pesisir seperti mangrove (bakau), terumbu karang, estauria, dan berbagai biota pesisir lainnya. Padang lamun juga berfungsi sebagai sumber produktivitas primer di perairan dangkal; sumber makanan, pembesaran dan perlindungan bagi berbagai jenis ikan, crtustacea dan moluska. Selain itu, hamparan lamun juga membantu mengurangi energi gelombang dan arus, membantu menyaring sedimen yang tersuspensi daei air dan menstabilkan sedimen dasar (lihat Salnuddin, 2009: V-35).
15
Rumengan (2008: 42) menunjuk pertumbuhan ekonomi seiring dengan
peningkatan kepadatan penduduk dan laju pembangunan sebagai memiliki
konsekuensi (negatif) terhadap struktur fisik lingkungan pesisir dan ekosistemnya.
Menurutnya, degradasi ekosistem wilayah pesisir seperti kerusakan habitat bakau,
padang lamun, terumbu karang, terutama disebabkan oleh eksploitasi berlebihan
oleh masyarakat pesisir dan pemangku kepentingan lainnya. Beberapa di antara
hal-hal yang dianggap bertalian dengan permasalahan ini adalah rendahnya
pendapatan dan permodalan, ketidakstabilan pekerjaan, kurangnya pendidikan dan
kesadaran akan konservasi sumberdaya pesisir, serta terbatasnya kapasitas
mengelola pesisir dan peluang usaha untuk perbaikan taraf hidup. Dengan
menunjuk kasus penatakelolaan ekosistem pesisir dan laut di Sulawesi Utara
melalui pemantauannya terhadap proyek-proyek yang telah dilakukan oleh
pemerintah, Rumengan (2008: 43) juga menemukan kondisi belum
termanfaatkannya sumber daya pesisir secara optimal. Selain itu, ia juga
menyatakan semakin sempitnya wilayah potensial di wilayah pesisir akibat
eksploitasi berlebihan.
Terkait dengan aktivitas dan permasalahan di wilayah pantai, Pattinaja
(2008) menunjuk beberapa aktivitas yang berimplikasi pada kondisi lingkungan
pesisir. Beberapa di antara aktivitas dimaksud adalah yakni: pemukiman pesisir,
perikanan, transportasi dan pelabuhan, pariwisata, pertambangan, dan industri.
Berbagai aktivitas tersebut memicu terjadinya degradasi lingkungan seperti erosi
atau abrasi pantai, reklamasi, terkurasnya sumberdaya ikan, punahnya biota di
16
sekitar pantai akibat aktivitas transportasi. Terganggunya stabilitas dan dinamika
pantai hingga tenggelamnya suatu pulau, perubahan batimetri, pola arus, pola dan
energi gelombang adalah ativitas pertambangan yang ditengarai mendegradasikan
lingkungan fisik. Aktivitas di bidang industri yang membuang limbahnya ke
pantai atau laut berdampak pada terganggunya keseimbangan ekosistem pesisir
(Pattinaja, 2008: 61-62).
Selain beberapa isu berkaitan dengan fenomena lingkungan yang telah
dikemukakan di atas, isu perubahan iklim dan (yang didalamnya tercakup)
pemanasan global termasuk yang paling terbaru. F. Numberi (2009) menunjukkan
dampak fenomena ini terhadap kehidupan di laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil.
Menurutnya, perubahan iklim global dapat berdampak secara serius pada
terganggunya pola rantai makanan (biota laut). Peningkatan suhu air laut yang
mengakibatkan menghangatnya suhu permukaan laut, menyebabkan terjadinya
pemutihan (bleaching) pada terumbu karang. Seperti diketahui, terumbu karang
memilik banyak fungsi terhadap keberlangsungan berbagai biota laut yang
berasosiasi dengannya, khususnya ikan. Kepunahan karang berarti musnahnya
sumber daya perikanan. Sementara itu, manusia terus membutuhkan protein
hewani, salah satunya diperoleh dari ikan.
Perubahan iklim juga mengancam keberlangsungan wilayah pesisir, tempat
di mana sebagian besar aktivitas perekonomian berlangsung oleh masyarakat
pesisir (Numberi, 2009; Witoelar, 2008). Masih berkaitan dengan dampak
perubahan iklim, Susandi (2008) menunjuk anomali cuaca di suatu wilayah dan
17
pengaruhnya bagi keberlangsungan aktivitas ekonomi petani dan nelayan.
Sulitnya menduga musim; musim tanam (pada petani) dan musim melaut (pada
nelayan), dan peluang terjadinya bencana pada musim kemarau dan musim hujan
adalah fenomena yang dihadirkan oleh perubahan iklim global ini.
Mengantisipasi dampak perubahan iklim di masa depan, pemerintah di
tingkat nasional maupun internasional mengupayakan agenda mitigasi dan
adaptasi7. Dalam pelaksanaannya, agenda mitigasi dan adaptasi perubahan iklim
dalam pembangunan nasional Indonesia harus memperhatikan 3 hal, yakni: (1)
harus berjalan bersamaan dengan upaya pengentasan kemiskinan, karena
masyarakat miskin merupakan kelompok yang paling rentan terhadap perubahan
iklim; (2) didasarkan pada penataan peraturan yang telah ada seperti penataan
ruang, zonasi, kawasan lindung; (3) mengacu pada keberhasilan pengalaman-
pengalaman masyarakat setempat (Witoelar, 2008). Meskipun demikian, terkait
dengan poin (3) ini, penelitian atau inventarisasi dan pendokumentasian
pengalaman masyarakat setempat (masyarakat tempatan, tineliti) mengenai
pandangan dan responsnya terhadap perubahan iklim masih jarang dijumpai.
Pengetahuan masyarakat tempatan (local knowledge) dalam hal ini masih belum
mendapat posisi sepenting pengetahuan para “ahli’ (sciencist), masih dipandang
sebelah mata.
7 Kedua agenda penanggulangan dampak perubahan iklim ini merupakan hasil keputusan
penting dari Konferensi Perubahan Iklim di Bali pada akhir tahun 2007, atau dikenal dengan Bali Action Plan. Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim melalui UU RI No. 6 Tahun 1994 (Witoelar, 2008).
18
Pada aspek perikanan tangkap, fenomena kemerosotan sumber daya laut
ditunjukkan dengan semakin menurunnya kondisi jumlah hasil tangkapan para
nelayan. Perikanan laut dunia diperkirakan telah dieksploitasi secara berlebih
sebesar 75% dari total stok yang ada. Sisanya sebesar 25% dikategorikan masih
berada dalam kondisi tangkap kurang. Dari data yang ditunjukkan oleh FAO
(2001: 41) dapat diperoleh informasi bahwa total produksi perikanan tangkap
dunia menunjukkan tren menurun sebesar 5% dalam kurun waktu tahun 1995-
2000. Dikatakan pula oleh Mirovitskaya et. al. (Dalam Satria, 2009a: 29) bahwa
60% stok ikan di dunia ditangkap pada kondisi unsustainable. Menurut mereka,
populasi ikan-ikan besar yang berada di lautan dunia menurun hingga 90% dalam
kurun waktu 50 tahun terakhir. Agar dapat pulih kembali, sumber daya tersebut
membutuhkan waktu yang cukup panjang. Meskipun kegiatan penangkapan
dihentikan, tetap saja diperlukan waktu yang cukup lama agar sumber daya
perikanan tersebut dapat pulih kembali (Wiadnya dkk, 2003).
Secara umum, kondisi perikanan tangkap di Indonesia juga serupa dengan
apa yang dialami oleh perikanan tangkap dunia. Seperti ditunjukkan oleh Widodo
dkk (2003) bahwa sektor perikanan tangkap Indonesia telah mengalami penurunan
akibat aktivitas tangkap-lebih (Dahuri dkk, 2008; Kusumaatmadja, 2001;
Wiadnya dkk, 2003) yang terjadi sebelumnya. Menurutnya, hampir semua analisis
mengenai perikanan tangkap Indonesia menunjukkan telah terlampauinya kondisi
Maximum Sustainable Effort (MSE), atau Usaha Maximum Lestari. Pengelolaan
perikanan di Indonesia didasarkan pada metode pendugaan Maximum Sustainable
19
Yield, atau MSY8, atau lebih dikenal potensi perikanan tangkap. Dalam studi
Wiadnya dkk (2003) dikatakan bahwa dari beberapa studi yang dilakukan secara
berbeda, ditemukan nilai penduga MSY dengan nilai yang bervariasi. Pemerintah
memutuskan untuk menggunakan nilai tengah di antara nilai tinggi dan terendah
dari variasi nilai penduga tersebut, yaitu 5,0 ton per tahun.
Di samping metode penentuan nilai penduga MSY yang cenderung
spekulatif oleh pemerintah tersebut, Wiadnya dkk (2003) juga mengemukakan
tiga hal penting yang harus diperhatikan agar diperoleh nilai MSY secara akurat.
Pertama, hasil perhitungan sangat tergantung dari kualitas statistik perikanan
yang digunakan sebagai input. Kedua, metode perhitungan selalu berdasarkan atas
sejumlah asumsi yang sangat jarang sekali terpenuhi. Dua asumsi yang paling
penting di antaranya adalah stok ikan selalu berada dalam kondisi keseimbangan
serta hasil tangkap-per-unit-usaha (hasil tangkap per armada per hari) merupakan
petunjuk yang baik bagi ukuran besarnya populasi. Ketiga, dalam kasus perikanan
8 Metode pendugaan potensi perikanan tangkap Indonesia mengikuti metode perhitungan
yang dikembangkan sejak tahun 1930. Teori Hjort—diambil dari nama penemunya, Hjort, seorang ahli biologi perikanan Norwegia—ini dikenal dengan teori penangkapan dalam keseimbangan atau disebut equilibrium fishing—menangkap sejumlah ikan yang setara dengan jumlah populasi yang meningkat melalui proses pertumbuhan dan reproduksi. Pada tahun 1950-an, seorang peneliti lain, Schaefer, menyempurnakan Teori Hjort dan memperkenalkan metode baru yang didasarkan atas analisis data effort atau upaya hasil tangkap. Seperti halnya institusi perikanan lainnya di dunia, DKP menggunakan metode ini untuk menduga potensi hasil tangkapan. Secara esensial, DKP menelusuri informasi tentang jumlah armada perikanan dengan jumlah total hasil tangkapan dari armada tersebut untuk menghasilkan suatu penduga potensi hasil tangkap dan ukuran atau jumlah alat tangkap yang beroperasi untuk menghasilkan potensi tersebut. Potensi hasil tangkapan inilah yang disebut sebagai hasil tangkapan maksimum berimbang lestari (Maximum Sustinable Yield, atau MSY). Lihat Wiadnya dkk, “Kajian Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap di Indonesia: Menuju Pembentukan Kawasan Perlindungan laut” dalam Prosiding Forum Pengkajian Stok Ikan Laut 2003, J. Wiadnya dkk (Eds.), Jakarta: PURSRIPT-BRKP, Departemen Kelautan dan Perikanan, 2003, Hlm. 67-90)
20
tangkap Indonesia, hasil perhitungan MSY diterjemahkan berbeda dari kondisi
seharusnya. Sayangnya, di tengah berbagai kekurangan dalam metode pendugaan
nilai potensi tangkap lestari (Wiadnya dkk, 2003), pemerintah Indonesia masih
berpedoman pada nilai MSY tersebut dalam menentukan kebijakan pengelolaan
perikanan di Indonesia.
Dengan melihat realitas empirik pada beberapa komunitas nelayan di
berbagai tempat di Indonesia, tampaknya kritik Wiadnya dkk (2003) di atas bisa
jadi benar. Hal ini dikuatkan lagi dengan analisis yang ditunjukkan oleh Widodo
dkk (2003) pada beberapa hasil penelitian sebelumnya. Disimpulkan bahwa stok
perikanan tuna di Samudera Hindia, perikanan kakap merah (Lates calcarifer) di
perairan Arafura dan Timor, stok ikan demersal di perairan bagian luar
Kalimantan (Laut Cina Selatan), dan stok ikan demersal dan ikan pelagis di Laut
Jawa, dalam kondisi eksploitasi penuh hingga tangkap lebih. Dengan kata lain,
pada keempat wilayah pengelolaan perikanan yang telah disebutkan, jelas telah
mengalami penangkapan berlebih (overfishing).
2. Nelayan dan Kompleksitas Permasalahannya
Berbagai permasalahan wilayah pesisir dan lautan di atas masih terus
berlangsung hingga saat ini. Salah satu kelompok masyarakat yang paling rentan
terkena dampaknya adalah komunitas nelayan. Mereka ini, khususnya nelayan
tradisional, bermukim di sepanjang garis pantai dan sekaligus menggantungkan
mata pencaharian hidupnya dengan harapan besar kepada sumberdaya pesisir dan
lautnya. Dari beberapa hasil penelitian diperoleh informasi bahwa berbagai
21
permasalahan yang melingkupi kehidupan komunitas nelayan antara lain:
masalah degradasi lingkungan; keterbatasan akses modal, teknologi dan pasar;
rendahnya kualitas SDM; kemiskinan dan; kebijakan pemerintah yang belum
memihak secara optimal kepada komunitas nelayan (Saad, 2000; Satria, 2009a,
2009b; Semedi, 1998; Kusnadi, 2003, 2007, 2009; Laksono, 2007).
Bagian berikut ini akan ditunjukkan beberapa hasil penelitian menyangkut
kehidupan komunitas nelayan di Maluku Utara (Amin dkk, 2009; Balitbangda,
2007; Mohamad, 2009; Muksin, 2006; Tim Peneliti Fakultas Ekonomi Universitas
Khairun Ternate, 2008; Tim Peneliti PSL, 2004; Salnuddin dkk, 2009).
Tim Peneliti PSL (2004) melakukan studi pada masyarakat pesisir di
Kabupaten Halmahera Selatan dan hasilnya dimuat dalam “Laporan Akhir
Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Pulau-Pulau Guraici”. Data
dan penjelasan yang disajikan dalam laporan mereka lebih banyak menyangkut
kondisi lingkungan fisik saja, sementara aspek sosial budaya masyarakat di situ
kurang diperhatikan. Beberapa perilaku masyarakat yang diungkapkan hanya yang
dianggap merusak lingkungan (pandangan etic), tanpa menelusuri alasan-alasan
budaya di baliknya. Sistem pengetahuan, atau aspek kognitif secara umum, dari
masyarakat yang dikaji sebagai pemanfaat sumberdaya tidak diungkapkan sama
sekali.
Hasil penelitian lapangan yang dilakukan oleh Tim Peneliti Fakultas
Ekonomi Universitas Khairun Ternate (2008) disajikan dalam laporan hasil
“Penyusunan Database Sosial Ekonomi Perikanan Kabupaten Halmahera
22
Barat”. Melalui pendekatan positivistik, hasil penelitian mereka
menginformasikan kondisi fisik dan jenis sumberdaya perikanan dan kelautan di
Kabupaten Halmahera Barat. Secara optimis, mereka mengajukan prediksi
keberadaan sumberdaya yang masih cukup besar. Hal ini tentu saja berbeda
dengan kondisi empiris yang sedang berlangsung pada beberapa komunitas
nelayan di Maluku Utara saat ini. Dua hasil penelitian lainnya, Balitbangda (2007)
dan Salnuddin dkk (2009) menunjukkan hasil serupa.
Balitbangda (2007: 2) Provinsi Maluku Utara dalam laporan hasil penelitian
“Survei Sosial Ekonomi Perikanan Laut di Kabupaten Halmahera Selatan”
menyajikan data dan informasi mencakup beberapa aspek antara lain: struktur
sosial ekonomi Rumah Tangga Perikanan (RTP), tingkat pengusahaan/teknologi
yang digunakan, tingkat pendapatan RTP, distribusi pendapatan RTP, biaya dan
pendapatan usaha perikanan, tingkat hidup RTP, dan efisiensi ekonomis suatu
usaha perikanan. Pendekatan ekonomi yang digunakan dalam penelitian mereka,
berimplikasi pada kurangnya penjelasan bermakna yang dapat diperoleh atas
realitas kehidupan RTP. Pandangan peneliti (etic) tampak lebih menonjol dalam
laporan hasil penelitian mereka.
Melalui “Laporan Akhir Penyusunan Database Perikanan Kota Tidore
Kepulauan” oleh Salnuddin dkk (2009) diperoleh informasi bahwa sebagian besar
nelayan (79%) tidak mengetahui fungsi ekosistem pesisir. Berdasarkan data ini,
komunitas nelayan di sana lalu dianggap memiliki pengetahuan yang rendah
mengenai lingkungan mereka. Anggapan ini tentu saja benar karena pengetahuan
23
yang dimaksudkan adalah pengetahuan sains, suatu bentuk pengetahuan menurut
konsep para peneliti. Pandangan emic dan pengetahuan lokal tineliti sangat jelas
diabaikan di sini.
Muksin (2006) dalam tesisnya “Optimalisasi Usaha Perikanan Cakalang
(Katsuwonus pelamis) Di Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara” salah
satunya menyimpulkan bahwa usaha perikanan cakalang (Katsuwonus pelamis) di
Kota Tidore Kepulauan masih layak untuk dikembangkan. Dua faktor yang
berpengaruh di dalam model yang diajukan Muksin tersebut, yakni: nilai
Tangkapan Maksimum Berimbang Lestari9 (MSY: Maximum Sustainable Yield)
dan kontrol terhadap kekuatan pasar merupakan faktor yang menentukan
efektivitas model tersebut. Nilai penduga MSY mengandung banyak kelemahan
sehingga sangat besar kemungkinan meleset atas hasil dugaan tersebut (lihat
Wiadnya dkk, 2001). Sementara itu, nelayan seringkali tidak mampu untuk
melakukan negosiasi terhadap kekuatan pasar (McCay, 1978: 406). Keresahan
dan keluhan yang seringkali dilontarkan oleh para nelayan akibat kondisi
sumberdaya, termasuk ikan cakalang (Katsuwonus pelamis), yang semakin
merosot dari waktu ke waktu merupakan fakta empirik komunitas nelayan di
beberapa tempat. Singkatnya, seperti beberapa penelitian yang telah disebutkan
9 Perkiraan perhitungan stok sumberdaya lestari (MSY) sebenarnya mengikuti Teori
Schaeffer (Wiadnya, 2001). Kurva Schaeffer sendiri pada dasarnya mengasumsikan bahwa para nelayan bekerja di bawah mekanisme keseimbangan sumberdaya milik bersama dan bahwa tingkat pendapatan itu lestari. Pandangan ini menuai banyak kritik. Uraian dan penjelasan menarik mengenai Kurva Schaeffer, lihat Semedi,”Ketika Nelayan Harus Sandar Dayung. Studi Nelayan Miskin di Desa Kirdowono” (Semedi, 1998), hlm. 14-21.
24
sebelumnya, penelitian Muksin (2006) terjebak dalam perhitungan dan prediksi-
prediksi yang dibangun penelitinya sendiri.
Kelima penelitian yang disebutkan di atas pada dasarnya bertitik tolak dari
kerangka teori positivistik. Baik disebutkan secara implisit maupun eksplisit,
penelitian mereka tampaknya didasarkan pada asumsi bahwa kondisi sumberdaya
perikanan dan kelautan, cara-cara pemanfataan dan kelestariannya, sangat
berkorelasi dengan tingkat pendidikan (formal), status sosial-ekonomi,
pengetahuan, dan sebagainya pada masyarakat di sana. Kelemahan penelitian
seperti yang disebutkan di atas, seperti diacu dalam Ahimsa-Putra (1997: 53),
adalah sebagai berikut.
Pertama, mereka tidak dapat menunjukkan perilaku masyarakat dalam
kaitannya dengan interaksi mereka dengan lingkungannya. Hal ini disebabkan
tidak adanya informasi mengenai variabel-variabel tertentu yang berkaitan dengan
perilaku. Penjelasan mengenai perilaku tidak cukup dengan hanya menyajikan
data-data statistik dan korelasinya dengan faktor-faktor tertentu saja.
Bagaimanapun, perilaku manusia dipengaruhi oleh kompleksitas berbagai faktor
di dalam lingkungannya.
Kedua, para peneliti di atas lebih banyak menggunakan persepsinya sendiri
(pandangan etik) dalam memandang permasalahan yang sedang dikaji. Sudut
pandangan tineliti sebagai subyek yang aktif dalam berinteraksi dan menanggapi
lingkungannya tidak mendapatkan ruang dalam penelitian mereka. Dengan kata
lain, berbagai kategori, konsep, definisi, yang dimiliki oleh peneliti sebelum ke
25
lapangan digunakan untuk melihat realitas di lapangan. Sebagai implikasinya,
dapat diduga bahwa hasil penelitian dan kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh
kurang informatif dan kemungkinan akan meleset. Informasi seperti pengetahuan
dan perilaku pemanfaatan dari sudut pandangan masyarakat di situ tidak
diungkapkan dan dipahami. Informasi tentang hal ini mempengaruhi keabsahan
hasil penafsiran tentang perilaku masyarakat tentu saja.
Ketiga, di balik asumsi positivistik dalam penelitian mereka pada dasarnya
secara implisit manusia dianalogikan sama dengan hewan. Hal ini juga berarti
bahwa kemampuan simbolisasi yang dimiliki dan dikembangkan manusia dalam
memaknai lingkungannya, tidak diperhatikan. Sebagai akibat diabaikannya aspek
simbolis ini oleh para peneliti di atas, maka hasil penelitian mereka tidak
menjangkau dan menyajikan dimensi makna, hal mana memegang peranan
penting dalam kehidupan manusia.
Laporan hasil penelitian oleh Amin dkk (2009), “Identifikasi Kearifan
Lokal dan Strategi Implementasinya Dalam Pembangunan di Maluku Utara”,
menunjukkan beberapa bentuk kearifan lokal yang masih tersisa dan potensial
untuk dikembangkan di Maluku Utara. Meski tidak disebutkan secara eksplisit,
penelitian mereka dipengaruhi oleh pendekatan etnosains. Sayangnya, beberapa
potensi dari pendekatan etnosains belum diterapkan secara optimal, sehingga
relasi antara pengetahuan dan perilaku anggota komunitas nelayan, misalnya,
tidak dijelaskan dengan baik. Demikian pula halnya dengan strategi adaptasi,
26
tidak diungkapkan dan digambarkan, padahal fakta-fakta perubahan lingkungan
beberapa di antaranya sempat disinggung.
Lampe (1989) dalam tesisnya, “Strategi-strategi Adaptif yang Digunakan
Nelayan Madura Dalam Kehidupan Ekonomi Perikanan Lautnya”, meninjau
kehidupan ekonomi nelayan di Madura pada masa kolonial. Karena hanya melihat
praktik-praktik nelayan di masa lalu (masa kolonial) menurut sumber
kepustakaan, dan tanpa pengamatan langsung di lapangan, maka hasil analisis
yang muncul kemudian adalah sifatnya statis, bukan bersifat dinamis yang
bersumber dari pengamatan langsung (Lampe, 1989: 7). Pendekatan studi adaptasi
yang dilakukan oleh Lampe merupakan adaptasi fungsional, di mana lingkungan
selalu dilihat dalam keadaan stabil. Kenyataannya, kondisi lingkungan di berbagai
tempat saat ini telah mengalami kemerosotan.
Etnografi kehidupan nelayan di sepanjang pantai utara Pulau Jawa
digambarkan oleh Semedi (1998) dalam bukunya “Ketika Nelayan Harus Sandar
Dayung. Studi Nelayan Miskin di Desa Kirdowono”. Kehidupan nelayan yang
digambarkan beberapa ahli sebagai dinamika seimbang dan ekuilibrium, dikritik
Semedi (1998: x) melalui fakta-fakta kemiskinan komunitas nelayan yang
ditunjukkannya. Sebagai strategi mempertahankan hidup, dalam kondisi demikian
nelayan harus tetap melaut. Seperti diakuinya sendiri (Semedi, 1998: 22),
keterbatasan studi tersebut karena hanya difokuskan pada aktivitas penangkapan
ikan saja. Hal inilah yang dianggap Semedi sebagai inti aktivitas ekonomi
komunitas nelayan. Akan tetapi, cara dia memfokuskan perhatian terhadap satu
27
aspek tertentu, membuat ulasan yang dihadirkannya menjadi mendalam dengan
pengungkapan fakta-fakta bermakna.
Permasalahan sosial ekonomi masyarakat nelayan, banyak disoroti Kusnadi
(2002; 2003; 2009) sebagai permasalahan penting dalam berbagai kesempatan.
Bagi Kusnadi, semua nelayan tradisional dililit oleh kemiskinan. Oleh karena itu,
semua bentuk aktivitas nelayan semata diarahkan pada pencarian solusi dari
permasalahan tersebut. Ketika berbicara tentang berbagai bentuk strategi adaptasi
pada masyarakat nelayan, Kusnadi lebih cenderung melihat pada aspek ekonomi
kehidupan nelayan.
Nelayan miskin dapat diamati dari kondisi rumah hunian mereka: berlantai
pasir, berdinding anyaman bambu, beratap daun rumbia, dan keterbatasan perabot
rumah tangga (Kusnadi, 2002: 40). Indikator yang digunakan Kusnadi untuk
menentukan nelayan miskin ini tidak bisa diterapkan di Tomalou10. Di sana,
pemukiman nelayan tertata rapi dan bersih. Sebagian besar rumah warga di
Tomalou dibuat mulai dari semi-permanen hingga permanen. Oleh karena itu,
konsep ‘nelayan miskin’ perlu didefinisikan menurut pandangan nelayan (emik) di
masing-masing tempat, bukannya menurut konsep dan definisi peneliti (etik).
Ditinjau dari pendekatannya, tampaknya Kusnadi menggunakan pendekatan
fungsionalisme-struktural untuk melihat realitas masyarakat nelayan. Kusnadi
memposisikan nelayan ke dalam struktur-struktur hirarkis; nelayan kaya dan
10 Banyak kalangan, baik dari dalam maupun luar Kota Tidore, memandang bahwa
Kelurahan Tomalou termasuk daerah yang paling maju di Kota Tidore Kepulauan. Hal ini dilihat dari kemajuan infrastruktur umum dan kondisi perumahan warganya.
28
nelayan miskin, yang dianggapnya telah berlangsung selama berabad-abad. Cara
pandang semacam ini, sebagai implikasi dari pendekatannya, mengabaikan sisi
pelaku (nelayan) sebagai individu-individu yang aktif dalam merespon
lingkungannya. Peneliti di sini lebih terfokus pada sistem yang sifatnya luas.
Kehidupan keseharian pada tiga kelompok nelayan di Pulau Kemujan
digambarkan oleh Mudjijono (2010) dalam artikelnya “Tiga Kelompok Kerja
Nelayan di Pulau Kemujan. Suatu Studi Kasus Adaptasi”. Mudjijono sangat
sedikit sekali mengungkapkan aspek lingkungan laut. Gambaran tentang berbagai
kendala yang dihadapi oleh nelayan di laut lebih banyak berupa kendala sosial
sifatnya, seperti ancaman perompak dan kerusakan mesin kapal, sedangkan
kendala-kendala yang bersumber dari lingkungan fisik laut tidak dijelaskan.
Penelitian tesis Dora (2008), “Ketika Perempuan Melaut (Strategi
Perempuan Dalam Mendukung Ekonomi Rumah Tangga)”, membicarakan pola
relasi suami-istri dalam kehidupan masyarakat nelayan. Menurut Dora, persoalan
ekonomi; rendahnya kesejahteraan kehidupan rumah tangga, menjadi motivasi
utama keterlibatan perempuan di sektor publik. Dengan kata lain, pandangan Dora
ini menyiratkan suatu gagasan bahwa interaksi antara manusia (perempuan)
dengan lingkungan hanya karena alasan ekonomi belaka. Pandangan ini
mereduksi kompleksitas interaksi manusia dan lingkungannya tentu saja. Di
dalam berbagai studi telah ditunjukkan bahwa ternyata interaksi antara manusia
dan lingkungannya, melibatkan berbagai faktor di luar aspek ekonomi.
29
Dalam pengkajian kehidupan komunitas nelayan, beberapa peneliti juga
menggunakan perspektif ekonomi politik. Menurut perspektif ini, kemiskinan
nelayan adalah akibat overfishing pada beberapa tempat sebagai key fishing
grounds di Indonesia (Bailey, 1988: 25-38). Marginalisasi, resistensi, dan
kemiskinan merupakan isu yang banyak dibicarakan dalam perspektif ini. Proses
marginalisasi ini seringkali dianggap bermula dari kebijakan pemerintah yang
tidak memihak kepada kepentingan nelayan dan kelompok masyarakat pesisir
lainnya (Hanif, 2008; Junaidi, 2007; Kusnadi, 2002, 2003, 2009; Laksono dkk,
2001; Semedi, 2003).
Dari perspektif ekologi, pandangan mereka dapat saja dikategorikan ke
dalam pendekatan ekologi politik. Pendekatan yang berkembang sejak 1980-an
ini, menggabungkan antara pendekatan ekonomi politik dan beberapa pendekatan
dalam ekologi prosesual (actor-based models, decision making models, dan lain-
lain) di dalam analisisnya (Little, 1999: 255). Di antara beberapa penelitian
dengan pendekatan ini ditunjukkan seperti berikut ini.
Junaidi (2007) dalam penelitian tesisnya, “Kalah di Kampung Sendighi.
Nelayan Melayu di Indonesia Pasca Kolonial”, menuliskan bahwa marginalisasi
di kalangan nelayan Melayu/pribumi di Concong Luar tampak pada tiga aspek:
politik, ekonomi, dan jaringan. Pada aspek politik, marginalisasi terlihat pada
orientasi kebijakan penguasa dan pengusaha. Aspek ekonomi ditunjukkan dengan
penguasaan sumberdaya alam lebih berorientasi pada nelayan pendatang karena
rendahnya keterampilan nelayan pribumi. Dari aspek jaringan ditunjukkan
30
dengan ketidakmampuan nelayan setempat untuk mengembangkan pekerjaan
karena masih tergantung pada tauke Cina. Sejauh mana variabel-variabel politik
dan lingkungan saling berinteraksi di dalam kehidupan sehari-hari komunitas
nelayan, tidak banyak digambarkan oleh Juniadi.
Hanif (2008) dalam bukunya: “Mengembalikan Daulat Warga Pesisir:
Partisipasi, Representasi dan Demokrasi di Aras Lokal”, menunjukkan
bagaimana respon nelayan terhadap kebijakan pemerintah ditunjukkan melalui
bentuk-bentuk resistensi. Dengan menggunakan gagasan James Scott tentang
perlawanan dan resistensi yang terjadi pada masyarakat agraris, Hanif
menemukan tiga pola dan bentuk resistensi, yaitu: (1) resistensi simbolis; (2)
resistensi kompromis; dan (3) resistensi frontal. Lagi-lagi, Hanif (2008) tidak
menjelaskan secara gamblang bagaimana kondisi lingkungan (fisik) pesisir dalam
berinterakasi dengan lingkungan sosial, di mana resistensi tersebut hadir.
Di Kepulauan Padaido, keterpinggiran yang terutama terasa dalam bidang
ekonomi pada komunitas nelayan diungkapkan oleh Laksono dkk (2001) dalam
bukunya “Kepulauan Padaido. Haruskah Habis Terkuras”. Dari hasil studi atas
kawasan itu, ditemukan bahwa Kepulauan Padaido memiliki kekayaan potensi
sosial, ekonomi, dan sumberdaya alam hayati. Namun, ketika berbagai aktor
berkepentingan (pemerintah dan swasta) melihat potensi tersebut, maka
pengembangannya semata diarahkan pada upaya memperoleh keuntungan semata.
Dalam prosesnya, masyarakat lokal malah diabaikan, sehingga yang terjadi
31
selanjutnya adalah mereka merasa diabaikan dan tidak mendapat keuntungan
dalam bentuk apapun (Laksono dkk, 2001: v).
Penelitian terhadap komunitas nelayan dengan pendekatan ekologi-politik—
dengan fokus perhatian pada masalah kemiskinan dan marginalisasi—seperti telah
ditunjukkan di atas juga mengandung beberapa kelemahan. Kajian mereka lebih
banyak menyoroti fenomena lingkungan sosial, dengan mengabaikan sebagian
besar fenomena lingkungan fisik yang mempengaruhinya. Aspek ekologi
seringkali ditinggalkan, atau kurang diungkapkan, dalam pembahasan mereka
selanjutnya. Para peneliti di sini lebih banyak mencurahkan perhatian pada
dampak lanjutan yang ditimbulkan oleh degradasi lingkungan. Akibat
diabaikannya hal ini, maka informasi yang disajikan lebih banyak menegaskan
pandangan etik (pandangan peneliti) daripada pandangan emik (pandangan
tineliti) yang hidup, berkembang, dan diyakini oleh masyarakat setempat.
Lampe (2006) dalam disertasinya, “Pemanfaatan Sumberdaya Taka Oleh
Nelayan Pulau Sembilan: Studi Tentang Variasi Pelaku Nelayan dan
Konsekwensi Lingkungan Dalam Konteks Internal dan Eksternal”, mengulas
kehidupan nelayan dengan sangat bagus. Pendekatan aksi dan konsekuensi dengan
mode penjelasan kontekstual progresif, sebagai salah satu pendekatan dalam
ekologi manusia, digunakan dalam penelitian tersebut. Dikatakan oleh Lampe
(2006) bahwa adopsi inovasi teknologi atau modernisasi perikanan, penetrasi
pasar, dan kebijakan pemerintah merupakan beberapa faktor yang menyumbang
terjadinya persaingan dan konflik antarindividu atau antarkelompok nelayan,
32
pengurasan cadangan sumberdaya dan kerusakan ekosistem lingkungan laut.
Selanjutnya, dalam hal degradasi sumberdaya perikanan, menurut Lampe (2006:
7), dihadapi oleh nelayan melalui serangkaian strategi adaptasi, yaitu: kekuatan
mesin semakin ditingkatkan, memperbesar skala perahu dan alat tangkap, dan
memperkecil ukuran mata jaring. Dikatakan pula bahwa bentuk-bentuk strategi
adaptif ini sebenarnya menyumbang bagi kerusakan lingkungan, dan dapat
memicu persaingan ketat, konflik antarnelayan, dan dapat juga menyebabkan
kerusakan ekosistem laut.
Melalui beberapa hasil penelitian yang telah ditunjukkan di atas, tampak
bahwa beberapa kajian tentang kehidupan komunitas nelayan tidak ada yang
menggunakan pendekatan etnoekologi. Di antara pendekatan yang mereka
gunakan adalah pendekatan fungsional-struktural (Kusnadi, 2002), pendekatan
ekonomi-ekologi-politik (Dora, 2008; Hanif, 2008; Junaidi, 2007; Kusnadi, 2002,
2003, 2009; Laksono, 2001, 2007; Mudjijono, 2010; Satria, 2009a, 2009b;
Semedi, 1998, 2003), pendekatan aksi dan konsekuensi (Lampe, 2006), adaptasi
fungsional (Lampe, 1989). Sementara beberapa hasil penelitian yang pernah
dilakukan pada komunitas nelayan di Maluku Utara tampaknya sarat dengan
asumsi-asumsi positivistik, apriori dan generalisasi.
Berbeda dengan penelitian yang ini, interaksi antara manusia dan
lingkungan alamnya akan diungkapkan (digambarkan) melalui sistem
pengetahuan komunitas nelayan dan perilakunya. Berangkat dari pemahaman
bahwa manusia beradaptasi atau menanggapi lingkungannya melalui mekanisme
33
kebudayaan mereka, maka setiap bentuk adaptasi pada masyarakat atau komunitas
tertentu adalah unik. Oleh karena itu, penelitian pada masing-masing komunitas
nelayan dalam memahami lingkungannya penting dilakukan. Upaya ini
memungkinkan diungkapkannya permasalahan dari sudut pandang masyarakat
setempat (tineliti) sebagai pelaku budaya.
E. Landasan Teori
Berdasarkan kajian pustaka yang telah ditunjukkan sebelumnya, umumnya
hasil penelitian tersebut kurang mengungkapkan sistem pengetahuan komunitas
nelayan yang diteliti, termasuk bagaimana mengoperasionalisasikan sistem
pengetahuan tersebut. Padahal, melalui sistem pengetahuannya, nelayan dapat
memilih dan memutuskan apa yang akan dilakukan untuk menghadapi kendala-
kendala dalam lingkungannya. Selanjutnya, jika berhasil mengatasi kendala-
kendala di lingkungannya, termasuk masalah degradasi sumberdaya perikanan,
maka pengetahuan tersebut akan terpola ke dalam serangkaian strategi dan
perilaku adaptasi mereka.
Penelitian ini menekankan perhatian pada dua hal, yakni: pengetahuan dan
perilaku komunitas nelayan. Menurut R. Ellen (1982; dalam Bellon, 1991), peran
pengetahuan dalam interaksi antara manusia dan lingkungannya merupakan pusat
perhatian ekologi manusia. Organisasi sosial dan budaya manusia tidak merespon
terhadap rangsangan lingkungan secara mekanis. Pengetahuan manusia dan
struktur kognitif sangat penting untuk menganalisis hubungan-hubungan ekologis
karena kita melihat dan menanggapi alam dalam citra-citra budaya kita.
34
Pentingnya bingkai pengetahuan ke dalam pandangan dunia pada kelompok
budaya tertentu, membantu untuk membentuk interaksi suatu kelompok budaya
dengan lingkungannya, sambil membentuk kerangka kerja untuk menafsirkan
pengalaman dan berkomunikasi dengan orang lain.
Rencana penelitian ini pada dasarnya mengikuti tradisi antropologi
kognitif11. Dalam praktiknya, the new ethnography sebagian besar perhatiannya
tertuju pada upaya mengeksplorasi sistem-sistem klasifikasi rakyat (folk
classification, ethnoscience, ethnographic semantic). Oleh karena itu, sebagai
semacam kerangka besar dari penelitian ini, maka kebudayaan dipandang sebagai
sistem-sistem pengetahuan. Hal ini seperti dikemukakan oleh Ward Goodenough
(Keesing, 1974) bahwa:
“A society’s culture consists of whatever it is one has to know or believe in order to operate in a manner acceptable to its members. Culture is not a material phenomenon; it does not consists of things, people, behavior, or emotions. It is rather an organization of these things. It is the form of things that people have in mind, their models for perceiving, relating, and otherwise interpreting them.”
(Kebudayaan suatu masyarakat terdiri atas segala sesuatu yang harus diketahui atau dipercayai seseorang agar dia dapat berperilaku dalam cara yang dapat diterima oleh anggota-anggota masyarakat tersebut. Budaya bukanlah suatu penomena material: dia tidak berdiri atas benda-benda, manusia, tingkah laku atau emosi-emosi. Budaya lebih merupakan organisasi dari hal-hal tersebut. Budaya adalah bentuk hal-hal yang ada dalam pikiran (mind) manusia, model-model yang dipunyai manusia untuk menerima, menghubungkan, dan kemudian menafsirkan penomena material di atas).
11 Sebagai sistem ideasional, kebudayaan dapat dibedakan atas tiga cara, yaitu: (1)
kebudayaan sebagai sistem-sistem kognitif; (2) kebudayaan sistem-sistem struktural; (3) kebudayaan sebagai sistem-sistem simbolik. Lihat, Roger M. Keesing,”Theories of Culture”, dalam Annual Review of Anthropology, 1974, (3), hal. 73-97.
35
“Culture...consists of standards deciding what is, ... for deciding what can be, ... for deciding what one feels about it, ... for deciding what to do about it, and ... for deciding how to go about doing it.”
(Kebudayaan…terdiri atas pedoman-pedoman untuk menentukan apa, …untuk menentukan apa yang dapat menjadi, …untuk menentukan apa yang dirasakan seseorang tentang hal itu, …untuk menentukan bagaimana berbuat terhadap hal itu, dan . . . untuk menentukan bagaimana caranya menghadapi hal itu).
Dengan kata lain, kebudayaan menurut Ward Goodenough di atas
merupakan model-model yang terdapat di dalam pikiran (mind) manusia yang
berfungsi untuk mempersepsikan, menghubungkan, dan menginterpretasikan
lingkungannya (Ahimsa-Putra, 1985: 105; Marzali, 2007; Sutton & Anderson,
2004: 96). Hasil interpretasi tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi perilaku
manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Untuk dapat mengungkapkan
model-model pengetahuan setempat, maka pendekatan yang akan digunakan
adalah pendekatan etnoekologi.
1. Etnoekologi
Pendekatan etnoekologi merupakan suatu komponen pendekatan baru dari
ekologi kultural yang menemukan dan mengembangkan suatu studi mengenai apa
yang diketahui masyarakat setempat (local people) tentang lingkungannya,
bagaimana mengklasifikasikan informasi-informasi terkait dengan lingkungannya
tersebut dan bagaimana menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk
pertama kalinya, studi dengan pendekatan etnosains atau etnoekologi, dilakukan
oleh Goodenough. Memang ungkapan ‘etnosains’ pada saat itu belum
36
dipergunakan, melainkan ‘native’. Pada perkembangan selanjutnya, pendekatan
ini digunakan oleh Harold C. Conklin dan Charles O. Frake untuk mengkaji
pengetahuan setempat pada dua kelompok masyarakat di Filipina. Harold C.
Conklin mengkaji pengetahuan mengenai tanah, hutan, tanaman, dan pertanian
pada orang Hanunóo, sedangkan Charles O. Frake mengkaji sistem religi,
pengetahuan medis dan nutrisi pada orang Subanun (Sutton dan Anderson, 2004:
98; Lihat juga Ahimsa-Putra, 1985).
Pendekatan etnoekologi mengarahkan perhatian pada eksplorasi untuk
menemukan sifat-hakikat “model konseptual pribumi”. Seperti dikemukakan oleh
R. Ellen (Bellon, 1991), etnoekologi adalah studi tentang pengetahuan yang
dianggap penting untuk interaksi antara masyarakat dan lingkungannya.
Etnoekologi bertujuan untuk memahami hubungan antara pengetahuan dan
perilaku manusia dengan melukiskan lingkungan sebagaimana dilihat oleh
masyarakat yang diteliti. Asumsi dasarnya adalah bahwa lingkungan efektif
bersifat kultural sebab lingkungan obyektif yang sama dapat dilihat dan dipahami
secara berlainan oleh masyarakat yang berbeda latar belakang kebudayannya
(Ahimsa-Putra, 1985, 1994: 7; Bellon, 1991). Dengan kata lain, lingkungan
tersebut merupakan lingkungan fisik yang telah diinterpretasi, ditafsirkan, melalui
perangkat pengetahuan dan sistem nilai tertentu. Lingkungan yang telah
ditafsirkan (ethnoenvironment) merupakan bagian dari sistem budaya suatu
masyarakat. Sistem pengetahuan suatu masyarakat mengenai lingkungan tersebut
terwujud dalam bentuk klasifikasi, kategorisasi, dan taksonomi unsur-unsur
37
lingkungan (Ahimsa-Putra, 1985, 1997: 54-55; Bellon, 1991: 391; Moran, 2006:
33). Selanjutnya, pengetahuan tersebut bersifat konstruktif bagi kehidupan sosial
(Geertz, 2003: 342). Selain mendeskripsikan isi dan sistem pengetahuan,
pendekatan etnoekologi juga mampu mendeskripsikan proses pengambilan
keputusan untuk menghadapi suatu lingkungan atau keadaan tertentu.
Sebagai bentuk pendekatan yang lebih spesifik dari perspektif
fenomenologi, pendekatan etnoekologi dengan demikian dapat dipandang
memiliki landasan epistemologis dari pendekatan fenomenologi yang dibangun
dalam ilmu sosial-budaya. Menurut H.S. Ahimsa-Putra (2009: 11-13), beberapa
asumsi dasar fenemoelogis adalah sebagai berikut.
Pertama, fenomenologi memandang manusia sebagai makhluk yang
memiliki kesadaran. Kesadaran manusia ini selalu tentang sesuatu, termasuk
mengenai ‘kesadaran’ itu sendiri. Singkatnya, kesadaran mengenai sesuatu ini
juga adalah pengetahuan, sehingga kesadaran adalah perangkat pengetahuan yang
kita miliki. Kedua, pengetahuan pada manusia berawal dari interkasi atau
komunikasi di antara mereka, antara individu satu dengan individu yang lain,
dengan menggunakan bahasa lisan sebagai sarana komunikasi yang fundamental.
Melalui bahasa lisan inilah manusia mewujudkan kesadarannya tentang sesuatu
sehingga kesadaran pada manusia tersebut dapat dimengerti, dipahami, dan
diketahui adanya. Ketiga, kesadaran tersebut bersifat intersubyektif (antarsubyek)
karena dibangun melalui proses komunikasi, lewat interaksi sosial. Karena itu, isi
pengetahuan anggota suatu kelompok masyarakat tersebut bersifat sosial, yang
38
dimiliki juga oleh individu-individu lainnya. Keempat, perangkat pengetahuan
atau kerangka kesadaran ini menjadi pembimbing individu dalam mewujudkan
perilaku-perilaku dan tindakan-tindakannya.
Kelima, typification atau klasifikasi (classification), yang berupa kategori-
kategori atau tipe-tipe dari unsur-unsur yang ada dalam kehidupan manusia
merupakan salah satu perangkat kesadaran pada manusia tersebut. Kategori-
kategori ini digunakan manusia untuk memandang, memahami lingkungan dan
kehidupannya. Keteraturan (order) dalam kehidupan sehari-hari dan tanggapan
(response) terhadap dunia, kehidupannya, diciptakan manusia dari sistem
klasifikasi tersebut.
Keenam, kehidupan manusia adalah kehidupan yang bermakna, kehidupan
yang diberi makna oleh mereka yang terlibat di dalamnya. Asumsi ini muncul dari
adanya tujuan, kesadaran, obyek kesadaran dan kesadaran mengenai tujuan yang
ada di dalam diri manusia membentuk perangkat pemaknaan. Manusia
memberikan makna pada kehidupannya, kehidupan sosialnya, melalui perangkat
pemaknaan ini. Melalui perangkat pemaknaan ini pula manusia menetapkan
relasi-relasi tertentu antara dirinya dengan dunianya, kehidupannya, dengan
individu-individu yang lain.
Ketujuh, gejala sosial-budaya merupakan gejala yang berbeda dengan gejala
alam. Dalam gejala sosial-budaya, yang terlibat adalah manusia. Manusia yang
terlibat di situ memiliki kesadaran tentang apa yang dilakukannya dan tentang
gejala di mana mereka terlibat; mampu memberikan makna terhadap dunianya.
39
Karena itu, gejala sosial-budaya tidak dapat dipelajari sebagaimana halnya
mempelajari gejala alam. Metode yang digunakannya pun harus sesuai dengan
“hakekat” dari gejala yang dipelajari tersebut. Inilah yang merupakan asumsi
dasar fenomenologi yang ke delapan.
2. Pengetahuan
Seperti dikemukakan oleh H.S. Ahimsa-Putra (2009: 15-16), salah satu
konsep penting dalam perspektif fenomenologis adalah “memahami”, yaitu
mengetahui pandangan-pandangan, pengetahuan, nilai-nilai, norma, aturan yang
ada dalam suatu masyarakat yang dianut oleh individu, dan dapat menetapkan
relasinya dengan perilaku warga masyarakat, perilaku sebuah kolektivitas, atau
perilaku individu tertentu. Upaya “memahami” di sini berawal dari asumsi bahwa
perilaku manusia atau sebuah kolektivitas merupakan perilaku yang berpola,
berulang kembali.
Selanjutnya, menurut H.S. Ahimsa-Putra (2009: 16), gejala sosial-budaya
berbeda dengan gejala alam. Gejala sosial-budaya diwujudkan oleh manusia, dan
manusia berbeda dengan makhluk lainnya. Perbedaan utamanya terletak pada
adanya “kesadaran” yang dimiliki oleh manusia, memiliki pengetahuan mengenai
apa yang dilakukannya. Kesadaran atau pengetahuan inilah yang digunakan untuk
menghadapi situasi yang dihadapinya. Untuk dapat “mengerti”, “memahami”,
gejala sosial-budaya berupa berbagai pola perilaku dan tindakan manusia, kajian
sosial-budaya harus memperhatikan aspek pengetahuan mengenai pandangan,
40
pendapat, makna, nilai, pengetahuan yang dimiliki oleh individu atau warga suatu
masyarakat.
Dalam kaitannya dengan isu-isu pembangunan (lingkungan) dan
pengelolaan sumberdaya alam, pengetahuan dikategorikan dengan berbagai
bentuk oleh para ahli12. Dua bentuk yang lazim dipertentangkan adalah
pengetahuan lokal dan pengetahuan ilmiah (sains). Dikotomi atas kedua bentuk
pengetahuan ini ditanggapi para ahli dengan sikap yang berbeda-beda (Agrawal,
1998; Brookfield, 1998).
Vayda dan Setyawati (1998) mengemukakan perlunya fokus kajian
antropologi yang mengacu pada tingkah laku penduduk setempat dan pengetahuan
yang melandasinya, jika menginginkan kajian yang bermanfaat bagi
pembangunan. Dari pengalaman berbagai permasalahan yang timbul dalam
pengelolaan sumber daya alam, menurut Winarto dan Choesin (2001: 91-92), jelas
menunjukkan pentingnya pengetahuan penduduk setempat atau pengetahuan lokal
(indigenous knowledge). Karena itu, pengetahuan lokal (indigenous knowledge)
penting dijadikan fokus permasalahan dan penjelasan. Akan tetapi, dalam proyek-
12 Selain pengetahuan lokal (pengetahun masyarakat setempat, indigenous knowledge),
dikenal pula pengetahuan ilmiah (pengetahuan para ahli, sains), dan pengetahuan Barat. Beberapa ahli mendang pengetahuan Barat dan pengetahuan sains sebagai dua hal yang identik. Keduanya menghegemoni pengetahuan lokal, bahkan hingga sampai menghilangkannya. Implikasi lebih jauh dari hal ini menyebabkan semakin terjadinya degradasi lingkungan dan sumberdaya alam. Uraian mengenai hal ini, lihat, Ezra M. Choesin, “Connectionism: Alternatif dalam Memahami Dinamika Pengetahuan Lokal dalam Globalisasi” dalam Antropologi Indonesia Th. XXVI (69), hal. 1-9. Lihat juga, Y.T. Winarto dan E.M. Choesin,”Pengayaan Pengetahuan Lokal, Pembangunan Pranata Sosial: Pengelolaan Sumberdaya Alam dalam Kemitraan” dalam Antropologi Indonesia Th.XXV(64), hal. 91-106.
41
proyek pembangunan, pengetahuan ilmiah dianggap lebih superior, atau lebih
‘benar’, daripada pengetahuan lokal. Implikasi lebih lanjut dari hegemoni
pengetahuan ilmiah dalam proyek-proyek pembangunan, mengakibatkan
bermunculannya berbagai konsekwensi tak terduga dan kemerosotan kondisi
lingkungan hidup serta kesejahteraan penduduk (Penyunting, 1998).
Pengetahuan lokal, biasa juga disebut dengan indigenous knowledge,
‘pengetahuan penduduk setempat’. Pengetahuan penduduk setempat, atau
pengetahuan lokal, mengacu pada domain pengetahuan yang dikembangkan oleh
penduduk yang mendiami suatu wilayah tertentu dan diwarnai secara kuat oleh
interpretasi dan skema-skema pemahaman tentang kondisi lingkungan alam
tempat penduduk yang bersangkutan melangsungkan kehidupannya (Penyunting,
1998).
Pengetahuan tradisional sifatnya tak tertulis, dan diwariskan secara verbal
(lisan) dari generasi ke generasi. Hal yang mengesankan dari pengetahuan ini
adalah bahwa sejumlah individu-individu dalam kebudayaan-kebudayaan
tradisionalnya mengetahui sebagian besar tentang lingkungannya sebab mereka
bekerja di dalamnya setiap hari. Penerapan pengetahuan tersebut ke dalam
praktik-praktik kehidupan merupakan salah satu fokus perhatian ahli antropologi,
khususnya antropologi ekologi. Bagi kalangan ekologi budaya, perhatian mereka
khususnya adalah ingin mengetahui bagaimana interaksi antara manusia dan
lingkungannya, dan bagaimana mereka mengetahui atau memahami
lingkungannya menurut kebudayaan setempat (Sutton & Anderson, 2004: 96-97).
42
Seturut dengan pandangan tersebut, pengetahuan-ekologi tradisional
menurut Berkes (Olsson dan Folke, 2001: 87) merupakan sekumpulan
pengetahuan, praktik, dan keyakinan yang berkembang melalui proses-proses
adaptif dan diwariskan dari generasi ke generasi melalui transmisi kultural
mengenai hubungan satu sama lain antara makhuk hidup, termasuk manusia,
dengan lingkungan sekitar mereka.
Menurut Turner dkk (2000: 1275-1276), pengetahuan tersebut memiliki
peranan penting dalam pengelolaan sumberdaya lokal, mempertahankan
keanekaragaman hayati dunia, dan dalam memberikan model yang berlaku secara
lokal bagi keberlanjutan kehidupan. Kerangka kerja pengetahuan (tradisional)
meliputi: (1) praktik-praktik dan strategi-strategi pemanfaatan dan keberlanjutan
sumberdaya; (2) filosofi atau pandangan dunia; (3) komunikasi dan pertukaran
pengetahuan dan informasi; (4) sikap anggota komunitas tentang sumberdaya; (5)
teknik dan strategi yang diterapkan dalam menggunakan sumberdaya dan alasan-
alasan yang mendasarinya.
Berdasarkan uraian di atas, maka pengetahuan lokal (indigenous knowledge)
merupakan (1) sekumpulan pengetahuan, praktik, dan keyakinan sebagai (2)
model yang berlaku secara lokal bagi keberlanjutan kehidupan, (3) bersifat
operasional dalam praktik keseharian, (4) berkembang melalui proses-proses
adaptif13, dan (5) diwariskan secara verbal dari generasi ke generasi melalui
13 Konsep ‘adaptif’ selanjutnya akan disebut ‘adaptasi’ dengan perubahan makna yang
menyertainya, seperti akan dijelaskan pada bagian berikut dalam kerangka teori ini.
43
transmisi kultural mengenai hubungan satu sama lain antara makhuk hidup,
termasuk manusia, dengan lingkungan sekitar mereka.
Beberapa teori tentang pengetahuan yang telah dikemukakan di atas, akan
digunakan untuk mengungkapkan dan menggambarkan model-model untuk
mengklasifikasikan lingkungan yang dihadapi oleh komunitas nelayan di
Tomalou. Dengan demikian, seperti dikemukakan oleh Ahimsa-Putra (2003: 18),
pengetahuan mengenai pengkategorisasian atas berbagai macam gejala ini
memungkinkan kita mengetahui ‘peta kognitif’ mereka. Model-model itu
digunakan masyarakat setempat untuk perceiving dan dealing with circumtances,
yang berarti juga sebagai model-model untuk memahami dan menafsirkan
berbagai macam gejala dan peristiwa yang dihadapi. Makna-makna atas perilaku
manusia di sini diungkapkan dan dijelaskan sehingga dapat dipahami. Menurut
Ahimsa-Putra (2009: 16), makna tersebut lahir dari adanya tujuan dan
pengetahuan di balik perilaku dan tindakan manusia, serta terhadap “obyek”nya.
Pemberian makna oleh manusia kepada segala sesuatu dalam kehidupannya tidak
selalu disadari adanya. Berbeda dengan dunia binatang, dunia manusia adalah
dunia yang penuh dengan makna (meaningful world).
Berdasarkan model-model pengetahuan atas lingkungannya tersebut,
manusia berperilaku sebagai bentuk respon atas lingkungan yang dihadapinya.
Terkait dengan hal ini, pendekatan etnoekologi, menurut Ahimsa-Putra (1997:
55), juga berusaha membangun sebuah model mengenai proses pengambilan
keputusan untuk menghadapi suatu lingkungan atau keadaan tertentu. Kondisi
44
lingkungan laut dengan sumber daya yang semakin merosot, dalam hal ini
dipandang sebagai suatu lingkungan atau keadaan tertentu. Untuk mengungkap,
menggambarkan, dan menjelaskan perilaku dan proses-prosesnya dalam keadaan
tertentu tersebut, teori adaptasi digunakan di sini.
3. Adaptasi
Salah satu perhatian dari kajian-kajian antropologi ekologi adalah masalah
adaptasi kelompok dan adaptasi budaya (Kaplan dan Manners, 2002: 47).
Perspektif antropologi ekologi mendefinisikan adaptasi sebagai suatu strategi
yang digunakan oleh manusia di dalam sepanjang masa hidupnya untuk
mengantisipasi perubahan lingkungan, baik fisik maupun sosial (Alland Jr., 1975).
Agar kelangsungan hidup manusia tetap terjaga, maka ia mengembangkan
kapasitas dirinya untuk menghadapi kendala-kendala yang bersumber dari
lingkungan mereka. Semakin besar kemampuan adaptasi suatu makhluk
(manusia), maka makin besar pula kemungkinan untuk mempertahankan
kelangsungan hidupnya. Dengan demikian, adaptasi pada dasarnya merupakan
serangkaian proses di mana individu-individu di situ berusaha memaksimalkan
kesempatan hidupnya (Sahlins, 1968).
Dilihat dari sudut pandang ekologi, interaksi antara kebudayaan dan
lingkungan dapat berlangsung secara fungsional dan prosesual, di mana keduanya
dapat pula mempengaruhi pola-pola adaptasi dan jalannya proses kebudayaan.
Perspektif fungsional memandang bahwa eksosistem selalu berada dalam kondisi
yang stabil. Fokus perhatian dan penjelasannya diarahkan pada usaha-usaha yang
45
dilakukan oleh setiap ekosistem untuk selalu menjaga kestabilan kondisi
lingkungan tersebut. Dengan kata lain, adaptasi fungsional menunjuk pada
respons suatu organisme atau sistem yang ditujukan untuk mempertahankan
keadaan homeostatis sehingga adaptasi yang terjadi pada dasarnya hanya mengacu
pada suatu dimensi waktu tertentu saja.
Berbeda dengan pandangan di atas, perspektif prosesual (Little, 1999)
memandang bahwa ekosistem pada dasarnya tidak stabil, melainkan selalu berada
dalam kondisi yang dinamis. Oleh karena itu, proses-proses yang berkaitan
dengan interaksi lingkungan dan manusia hingga memunculkan suatu pola
adaptasi tertentu menjadi perhatian perspektif ini. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa adaptasi prosesual merupakan sistem tingkah laku manusia yang
dihasilkan sebagai akibat dari proses-proses penyesuaian dirinya terhadap
perubahan lingkungan yang terjadi di sekitarnya (Alland Jr., 1975: 60). Adaptasi
yang dimaksudkan dalam penelitian ini termasuk dalam kategori adaptasi
prosesual.
Kebudayaan secara fleksibel merupakan mekanisme adaptif (Keesing, 1974:
75) karena respon menyangkut perilaku diperlukan, ditransmisikan, dan
dimodifikasi kepada kekuatan lingkungan eksternal sepanjang hidup individu
manusia. Setiap kebudayaan memiliki beberapa cara bagaimana menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi dengan kebudayaan dan individu-individu di
dalamnya. Untuk menghadapi hal ini, setiap kebudayaan memiliki institusi,
peraturan-peraturan, prinsip, hukum-hukum, kontrak sosial, dan organisasi, yang
46
memastikan bahwa semua unsur-unsur tersebut bekerja dan sebagai perangkat
yang menyeimbangkan di antara berbagai kebutuhan (Haviland, 1985; Sutton dan
Anderson, 2004: 91).
Teori adaptasi Bennett (Ahimsa-Putra, 2003: 10) mengemukakan bahwa
adaptasi bukan hanya sekedar persoalan bagaimana manusia mendapatkan
makanan dari suatu kawasan tertentu, tetapi juga mencakup persoalan
transformasi sumberdaya-sumberdaya lokal dengan mengikuti model dan
patokan-patokan, standard-standard konsumsi manusia yang umum, serta biaya
dan harga atau mode-mode produksi di tingkat nasional. Selanjutnya Bennett
membedakan antara adaptive behavior (perilaku adaptif) dengan adaptive
strategies14 (strategi-strategi adaptif) dan adaptive processes (proses-proses
adaptif). Pembedaan semacam ini memudahkan kita dalam mempelajari masalah
adaptasi karena perilaku-perilaku manusia, sebagai hal yang mula-mula terlihat
dan mudah diamati, berbeda secara konseptual dengan strategi dan proses. Jika
strategi-strategi adaptif berada pada tingkat kesadaran individu yang
menjalankannya (tineliti) sehingga mampu merumuskan dan menyatakannya,
maka proses-proses adaptif merupakan pernyataan atau formulasi dari pengamat
atau peneliti.
14 Dalam uraiannya tentang Teori Adaptasi yang dikemukakan oleh Bennett ini, Ahimsa-
Putra menerjemahkan konsep adaptive strategies sebagai “siasat-siasat adaptasi”. Dalam penjelasannya, istilah strategies (Bahasa Inggris) diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Ahimsa-Putra sebagai “siasat” dan “strategi” dan digunakan secara bergantian dalam uraiannya, dengan merujuk makna yang serupa. Dalam tulisan ini, istilah strategies diterjemahkan menjadi “strategi”dan digunakan secara konsisten sepanjang tulisan.
47
Teori Bennett mengenai perilaku adaptif (adaptive behavior) menyulitkan
kita (peneliti) karena di dalamnya mencakup perilaku-perilaku yang ditujukan
untuk mengatasi kendala-kendala yang sulit, seperti kelangkaan dan keterbatasan
sumber daya, guna mencapai tujuan-tujuan tertentu atau mewujudkan harapan-
harapan yang diinginkan (Ahimsa-Putra, 2003: 10-11). Artinya, suatu coping
mechanisms dinyatakan berhasil jika: (1) tujuan-tujuan yang dimaksudkan telah
tercapai, dan (2) harapan-harapan yang diinginkan tineliti juga terwujudkan.
Untuk mengatasi kesulitan tersebut, maka penelitian ini menggunakan teori
adaptasi yang telah disempurnakan oleh Ahimsa-Putra (2003: 12-13). Dengan
mengganti ‘adaptif’ menjadi ‘adaptasi’, menurut Ahimsa-Putra, setiap perilaku
dapat dipandang sebagai suatu upaya untuk menyesuaikan diri dengan suatu
lingkungan agar tercapai tujuan yang diinginkan dan masalah yang dihadapi dapat
diatasi. Oleh karena itu, perilaku adaptasi adalah perilaku yang ditujukan untuk
mengatasi masalah yang dihadapi atau untuk memperoleh sesuatu yang
diinginkan.
Selanjutnya, diteorikan oleh Ahimsa-Putra (2003: 13) bahwa strategi
adaptasi mencakup pola-pola berbagai usaha yang direncanakan oleh manusia
untuk dapat memenuhi syarat minimal yang dibutuhkannya dan untuk
memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi di situ. Strategi adaptasi
mengacu juga pada aturan-aturan, pedoman, petunjuk, norma-norma untuk
berperilaku, yang semuanya berada pada tataran ide, pengetahuan. Oleh karena
itu, teori adaptasi Bennett selanjutnya, oleh Ahimsa-Putra (2003: 12) dicakupkan
48
ke dalam tiga hal, yaitu: (1) strategi adaptasi; (2) perilaku adaptasi, dan; (3) proses
adaptasi. Istilah strategi di sini dapat menunjuk pada dua hal, yaitu: (1) rencana,
pedoman, petunjuk mengenai apa yang akan dilakukan, atau dapat pula berupa (2)
perilaku atau tindakan-tindakan yang telah diwujudkan.
Bentuk strategi yang pertama di atas merupakan pola ideal (model
for/pattern for) yang membimbing perilaku individu-individu. Bimbingan atau
petunjuk dari pandangan hidup, nilai-nilai, norma-norma, serta berbagai aturan ini
menuntun perilaku individu ke dalam berbagai aspek kehidupan. Aspek-aspek
kehidupan ini dapat berupa kegiatan keagamaan, kegiatan ekonomi, kegiatan
kekeluargaan atau berbagai kegiatan lainnya. Sistem petunjuk, sistem
pembimbing inilah yang merupakan ‘pola bagi’ (model for/pattern for) yang
seringkali disebut sebagai kebudayaan atau sistem budaya (Goodenough, 1964;
via Ahimsa-Putra, 2003: 13). Berdasarkan penjelasan tersebut, strategi adaptasi—
sebagai pola ideal, ‘pola bagi’, atau model-model kognitif—merupakan sistem
budaya terdapat dalam tataran ide (pengetahuan) individu, maka dalam penelitian
tentang adaptasi dapat pula digunakan pendekatan etnosains atau etnoekologi.
Bentuk strategi yang kedua menunjuk kepada perilaku atau tindakan-
tindakan yang telah diwujudkan oleh individu-individu. Strategi adaptasi di sini
merupakan ‘pola dari’ (model of/pattern of) sebagai uraian atau gambaran yang
dibuat oleh peneliti menurut pengamatannya terhadap satu atau berbagai kegiatan
seseorang atau lebih individu, yang selalu berulang kembali dalam bentuk yang
49
kurang lebih sama. Dalam hal ini, bentuk strategi yang kedua ini dapat juga
disebut sebagai pola aktual.
Berbagai penjelasan mengenai teori adaptasi di atas, khususnya yang
dikemukakan oleh Bennett dan disempurnakan oleh Ahimsa-Putra, akan
digunakan dalam melihat bagaimana perilaku adaptasi dan strategi serta proses-
proses adaptasi berlangsung pada komunitas nelayan di Tomalou.
F. Metode Penelitian
Ditempatkan dalam peta paradigma penelitian sosial budaya, penelitian ini
tergolong jenis penelitian etnosains. Secara epistemologis, penelitian ini dapat
dikelompokkan ke dalam penelitian feomenologis. Dalam penelitian
fenomenologis, fokus kajian atau unit analisisnya mencakup dua hal, yakni:
penelitian tentang perilaku dan kebudayaan (Ahimsa-Putra, 2007: 43-44).
Mengacu pada hal tersebut, unit analisis penelitian ini adalah sistem pengetahuan,
perilaku pemanfaatan sumberdaya pesisir (laut), dan strategi-strategi yang
dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menghadapi perubahan kondisi
lingkungan dan sumberdayanya.
Data lapangan secara intensif dikumpulkan sejak awal bulan April hingga
bulan Juli 2011. Selama masa-masa itu, Penulis tinggal bersama di rumah-rumah
warga nelayan di Tomalou. Dalam dua kali kesempatan, Penulis turut melaut
bersama mereka hingga ke lokasi tangkap di sekitar Pulau Bacan, Halmahera
Selatan. Karena Penulis beraktivitas di Kota Ternate, yang cukup terjangkau dari
50
lokasi penelitian, maka kunjungan berikutnya sesekali dilakukan untuk
melengkapi data yang sebelumnya telah dikumpulkan.
1. Penentuan Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Kelurahan Tomalou, Kota Tidore
Kepulauan, Maluku Utara. Beberapa alasan yang melandasi pemilihan Kelurahan
Tomalou sebagai lokasi penelitian, yaitu: pertama, Penulis pernah menjadi salah
anggota tim peneliti yang menunjuk Tomalou sebagai salah satu lokasi
penelitiannya. Dalam kesempatan tersebut, Penulis mulai mengenal dan
mempelajari kebudayaan masyarakat Tomalou, khususnya dalam aktivitas
penangkapan ikannya (mangael). Karena fokus penelitian yang diikuti Penulis
pada waktu itu tidak hanya tentang aktivitas mangael pada orang Tomalou,
sehingga kehidupan nelayan Tomalou dalam penelitian tersebut tidak
diungkapkan secara lebih dalam. Untuk memenuhi “ketidapuasan” dan
keingintahuan Penulis dari penelitian yang diikuti sebelumnya itu, maka Penulis
menunjuk Tomalou ini sebagai lokasi dalam studi ini.
Kedua, Kelurahan Tomalou merupakan salah satu kawasan pesisir, di mana
penduduknya lebih banyak bekerja sebagai nelayan dibandingkan daerah pesisir
lainnya di Kota Tidore Kepulauan (Amin dkk, 2009; Salnuddin dkk, 2009).
Karena studi ini merupakan kajian tentang relasi antara manusia dan lingkungan
alamnya secara luas, dan interaksi nelayan atau masyarakat pesisir dengan
lingkungan lautnya secara khusus, maka kelurahan Tomalou dipandang sebagai
lokasi yang tepat.
51
Ketiga, dalam sejarah ekonomi Kesultanan Tidore, dikisahkan mengenai
pembagian peranan empat wilayah di kesultanan ini berdasarkan sumberdaya
alamnya (Amin dkk, 2009; Rajab, 2011). Tiga daerah lainnya di Kota Tidore
Kepulauan berperanan dalam hal pemenuhan kebutuhan masyarakat meliputi:
sagu, singkong dan tanaman pertanian lainnya, dan keramik (gerabah). Tomalou
secara khusus dipercaya sebagai penyedia kebutuhan hasil-hasil perikanan pada
masa itu. Di masa lalu, pada musim-musim ketika ikan di lautan Halmahera
sedang melimpah, mereka tidak jarang meninggalkan kampungnya selama
berbulan-bulan hingga puncak musim ikan berakhir. Mereka membangun rumah
sementara yang disebut sabua di tepi pantai di mana mereka menangkap ikan dan
mengawetkannya untuk dibawa pulang ke kampung mereka (Kuneman, 1889).
Meski sudah tidak menetap sementara selama menangkap ikan, nelayan Tomalou
saat ini masih tetap menangkap ikan (mangael) hingga ke lokasi-lokasi yang
terletak jauh dari kampungnya (mangael sampe jaoh).
Keempat, sungguhpun sebagian besar anggota komunitas nelayan Tomalou
merasakan dan mengeluhkan kondisi berkurangnya hasil tangkapan, namun
mereka masih tetap mempertahankan mata pencahariannya sebagai nelayan
tersebut (Amin dkk, 2009). Dalam hal ini, Penulis tertarik untuk memahami dan
mengungkap alasan-alasan di balik tindakan tersebut dan strategi-strategi yang
ditempuh oleh mereka sehingga tetap bertahan hidup, atau untuk tujuan lainnya.
52
2. Pemilihan Informan
Prinsip penting pemilihan informan adalah bahwa informan yang terpilih
merupakan seseorang yang mengenal dan mengetahui budayanya dengan baik,
serta memiliki waktu dan bersedia untuk dilibatkan (Spradley, 2007). Karena
penelitian ini membicarakan tentang kehidupan nelayan di Tomalou, khususnya
mengenai pengetahuan dan adaptasinya (perilaku berpola) terhadap lingkungan
mereka, maka informan adalah kalangan nelayan yang telah menggeluti aktivitas
penangkapan ikan (mangael) laut sejak lama. Selain itu, penelitian ini juga
memilih informan dari kalangan tokoh masyarakat dan pemerintah setempat
(Kepala Lurah dan perangkatnya) yang memahami secara baik kebudayaan
masyarakat tempatan (tineliti).
Pertama-tama saat kunjungan lapagan untuk penelitian ini, Penulis langsung
mengunjungi beberapa nelayan; majikan, nakhoda (saehu; kep), anak buah kapal,
yang telah dikenal sebelumnya—melalui penelitian yang pernah diikuti Penulis,
seperti disebutkan dalam uraian sebelumnya. Dalam pertemuan tersebut, Penulis
menyampaikan maksud kedatangannya: ingin mempelajari kehidupan nelayan
Tomalou tentang aktivitas mangael. Penulis juga menyampaikan pula bahwa
selama masa-masa belajar tersebut Penulis akan tinggal bersama mereka.
Menyambut maksud tersebut, dari nelayan Tomalou, Penulis mendapatkan tiga
tawaran rumah untuk ditempati. Meski pun pada akhirnya Penulis hanya memilih
salah satunya, tetapi dalam berbagai kesempatan, siang ataupun malam, Penulis
berkunjung (sekaligus mengumpulkan data untuk penelitian ini) ke rumah-rumah
53
nelayan lainnya. Orang-orang Tomalou sangat ramah, hangat, dan terbuka bagi
para pendatang, termasuk para peneliti. Mereka juga menuturkan
pengalamannya—kisah yang selalu diungkapkannya kepada setiap peneliti yang
datang ke kampung tersebut—tentang kedatangan beberapa peneliti sebelumnya
dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), IPB Bogor, UI Jakarta, dll
peneliti dari Jawa. Mereka malah tidak tertarik menyebutkan peneliti lokal yang
pernah melakukan penelitian di kampung tersebut15.
Keesokan harinya, pada hari kedua sejak kedatangan Penulis di Tomalou,
langsung menjumpai pemerintah kelurahan. Selain ‘melaporkan’ keberadaan dan
maksud Penulis di Tomalou, dalam kesempatan itu juga Penulis mengumpulkan
data sekunder sekaligus mewawancarai lurah dan stafnya untuk memperoleh
gambaran umum terkait aktivitas mangael pada orang Tomalou. Seperti halnya
warga masyarakatnya, lurah Tomalou juga menyatakan sudah seringnya kelurahan
mereka dikunjungi oleh para peneliti16.
Hingga selesainya tahapan pengumpulan data lapangan, dalam penelitian ini
berhasil diwawancarai sebanyak 20 orang dari kalangan nelayan yang meliputi:
15 Setahu Penulis, beberapa peneliti (yang merupakan teman-teman dari Penulis) dari
Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Khairun, Ternate, beberapa kali pernah melakukan penelitian di sana.
16 Meski sudah sering dikunjungi oleh para peneliti, pemerintah dan warga masyarakat Tomalou tetap menerima dengan hangat setiap Peneliti yang datang ke kelurahan tersebut. Beberapa tempat yang sudah sering dikunjungi oleh para peneliti, biasanya menunjukkan sikap sebaliknya; dari penerimaan setengah hati hingga penolakan secara langsung. Sikap seperti ini biasanya dilandasi oleh adanya semacam harapan dari pemerintah dan masyarakat di lokasi penelitian untuk dibantu keluar dari permasalahan yang dipandangnya sebagai akibat dari pengabaian oleh pemerintah yang lebih tinggi jenjangnya. Kenyataan seperti ini banyak dituturkan para peneliti di Kelurahan Dufa-dufa, Kota Ternate, Maluku Utara.
54
Nakhoda (Saehu/Kapten/Kep) sebanyak 6 orang; ABK sebanyak 7 orang; Pemilik
alat dan sarana tangkap (Majikan/Bos) sebanyak 3 orang, yang semuanya
memiliki latar belakang sebagai Nakhoda (Saehu) di masa lalu. Sebanyak 2 orang;
seorang di antaranya adalah pemilik (Majikan/Bos) kapal motor pajeko dipilih
sebagai informan karena pengetahuannya tentang kebudayaan dan masyarakat
Tomalou. Tiga orang informan lainnya, yakni Kepala Lurah Tomalou dan seorang
stafnya serta seorang anggota DPRD Kota Tidore Kepulauan (mantan Ketua KUD
nelayan di Tomalou) ditunjuk pula sebagai informan dalam penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Data kualitatif yang dikumpulkan berupa pernyataan-pernyataan mengenai
isi, sifat, ciri, keadaan, dari suatu gejala, atau pernyataan mengenai hubungan-
hubungan antara sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sesuatu ini bisa berupa benda-
benda fisik, pola-pola perilaku, atau gagasan-gagasan, atau nilai-nilai, bisa pula
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam suatu masyarakat (Ahimsa-Putra, 2007:
19).
Beberapa hal yang akan disoroti dalam penelitian ini adalah: (1) sistem
pengetahuan masyarakat yang diteliti (tineliti) mengenai lingkungan alamnya; (2)
berbagai bentuk perilaku pemanfaatan sumberdaya alam yang dipraktikkan oleh
masyarakat di lokasi penelitian; (3) sumberdaya apa saja yang ada di sana; (4)
strategi-strategi yang ditempuh oleh masyarakat di lokasi penelitian terkait dengan
fenomena semakin menurunnya sumberdaya alam di dalam lingkungan mereka.
55
Tiga cara pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian, yakni: (1)
observasi; (2) wawancara; (3) dokumentasi. Ketiganya akan dijelaskan seperti
berikut ini.
a) Observasi (Pengamatan)
Data observasi meliputi berbagai aktivitas kehidupan sehari-hari anggota
komunitas nelayan. Beberapa di antaranya adalah kondisi lingkungan alam
(geografis), pola pemukiman, teknologi penangkapan, organisasi sosial, aktivitas
melaut, hasil tangkapan (sumber daya), interaksi antaranggota komunitas dan lain-
lain. Penulis juga terlibat langsung dalam aktivitas melaut (mangael) para nelayan
di sana. Dengan teknik ini, Penulis dapat mengikuti proses-proses melaut mereka,
sejak mulai dari persiapan hingga nelayan pulang ke rumahnya. Termasuk pula
bagaimana mereka mempersiapkan, siapa yang memiliki peranan terhadap fungsi
tertentu. Ketika mereka sedang di laut, apa saja yang dikerjakan, peranan setiap
orang yang ikut melaut dan lain-lain. Dengan demikian, hal-hal yang telah
didapatkan selama wawancara dapat dilihat dan dialami langsung, sekaligus
diharapkan dapat memperkaya data yang telah ada. Hal bermakna dari teknik ini,
menurut pengalaman Penulis, adalah ditemukannya hal-hal yang sebelumnya
tidak diungkapkan oleh mereka selama proses wawancara. Seringkali mereka
hanya menyebutkan garis besarnya saja, misalnya tahapan menangkap ikan
(mangael) saat hendak menurunkan jaring (soma). Rincian tentang siapa
mengerjakan apa, beberapa di antaranya tak terungkap dalam wawancara.
56
b) Wawancara
Data wawancara menyangkut topik-topik yang berkaitan dengan pandangan,
persepsi, dan tanggapan-tanggapan anggota komunitas tentang lingkungan,
sumberdaya, lokasi penangkapan, jumlah dan mutu hasil tangkapan. Selain itu,
topik wawancara juga meliputi kendala-kendala yang dihadapi, baik kendala
lingkungan maupun teknologi tangkap serta faktor eksternal lain yang
menyumbang kondisi eksistensial lingkungan dan aktivitas melaut (mangael)
mereka. Selanjutnya, bagaimana cara mengatasi kendala-kendala dan apa
pendapat mereka tentang strategi-strategi yang ada tersebut, juga dijadikan topik
wawancara dalam penelitian yang telah dilakukan ini.
c) Dokumentasi
Teknik dokumentasi meliputi kajian terhadap berbagai sumber: jurnal
ilmiah, tesis, disertasi, buku, laporan hasil penelitian, terbitan tidak berkala, dan
sumber lainnya yang relevan dengan topik dan permasalahan yang dikaji. Selain
itu, teknik ini juga mencakup data atau informasi berupa catatan resmi atau
publikasi yang bersumber dari instansi pemerintah; profil desa dan kecamatan,
data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupatane/Kota dan Provinsi, data
produksi nelayan dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI), Dinas Lingkungan Hidup,
Dinas Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, dan lain-lain.
Untuk keperluan dokumentasi data dan analisis hasil penelitian, maka data
wawancara direkam dengan alat perekam (MP-3 recorder). Kamera juga
digunakan untuk mendokumentasikan: perilaku atau praktik-praktik yang
57
berhubungan dengan aktivitas pemanfaatan sumberdaya, teknologi tangkap yang
digunakan, kondisi lingkungan pesisir Tomalou, pemukiman penduduk,
perumahan, sarana sosial, infrastruktur kelurahan, dan lain-lain.
d) Kepustakaan
Pengumpulan data melalui teknik kepustakaan dilakukan pada awal
penelitian hingga penyusunan hasil penelitian lapangan. Pada awal penelitian,
teknik ini membantu peneliti dalam penentuan dan penajaman fokus penelitian.
Berbagai informasi dan data yang diperoleh dari kepustakaan sebelumnya
berperan penting dalam meningkatkan pemahaman peneliti terhadap fokus
penelitian ini.
Pada tahapan penulisan hasil penelitian lapangan, teknik ini masih tetap
digunakan khususnya pada proses analisis data. Beberapa kepustakaan baru—dari
persiapan awal penelitian—diperoleh oleh peneliti seiring dengan bergulirnya
pembahasan dalam topik-topik penelitian ini.
Termasuk ke dalam sumber-sumber kepustakaan dimaksud adalah tesis,
disertasi, buku, buletin, jurnal, laporan-laporan penelitian, dokumen pemerintah,
makalah-makalah seminar, dan berbagai liputan atau pemberitaan dari media
massa, baik media media cetak maupun media elektronik.
4. Teknik Analisis Data
Menurut Huberman dan Miles (Denzin dan Lincoln, 2009), analisis data
terdiri dari tiga proses yang saling terkait: reduksi data, penyajian data, dan
pengambilan kesimpulan/verifikasi. Proses ini berlangsung sejak sebelum tahap
58
pengumpulan data, sewaktu proses pengumpulan data sementara dan analisis
awal, dan setelah tahap pengumpulan data akhir. Metode analisis domain dan
taksonomik diterapkan hingga akhir penelitian dengan mengikuti Spradley (2007:
189-199).
Reduksi data dilakukan ketika peneliti menentukan kerangka kerja
konseptual, pertanyaan penelitian, kasus, dan instrumen penelitian yang
digunakan. Jika hasil catatan lapangan, wawancara, rekaman, dan data lain telah
tersedia, tahap seleksi data berikutnya adalah perangkuman data (data summary),
pengkodean (coding), merumuskan tema-tema, pengelompokan (clustering), dan
penyajian cerita secara tertulis.
Tahap penyajian data (data display) adalah tahap di mana peneliti mengkaji
proses reduksi data sebagai dasar pemaknaan, sebagai konstruk informasi padat
terstruktur yang memungkinkan pengambilan kesimpulan. Tahap pengambilan
kesimpulan dan verifikasi ini melibatkan peneliti dalam proses interpretasi;
penetapan makna dari data yang tersaji. Cara yang digunakan adalah merumuskan
pola dan tema, pengelompokan (clustering) dengan metode triangulasi,
menindaklanjuti temuan-temuan dan cek-silang hasilnya dengan informan.
Spradley (2007: 203-208) menunjukkan empat prinsip pemaknaan dari
simbol-simbol dan relasi maknanya yang telah diperoleh dari hasil taksonomi.
Keempat prinsip tersebut adalah: (1) prinsip relasional; (2) prinsip kegunaan; (3)
prinsip kemiripan; (4) prinsip kontras. Prinsip-prinsip pemaknaan ini diterapkan
dalam tahap analisis data hingga diperoleh kesimpulan akhir.