bab i pendahuluan - sinta.unud.ac.id i.pdfmunculnya berbagai macam pelanggaran hukum atau perilaku...

37
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia dalam kehidupannya sehari-hari selalu menginginkan adanya ketentraman, ketertiban maupun keteraturan. Keinginan tersebut selalu berkembang dalam pergaulan hidup manusia di masyarakat dimana ia bertempat tinggal. Dalam proses mencapai ketentraman, ketertiban dan keteraturan ini tidak jarang kita temukan pula terjadinya pertentangan-pertentangan kepentingan yang dapat mengakibatkan terganggunya kehidupan. Mengatasi hal yang demikian, maka perlu kiranya dibuat suatu perangkat aturan untuk mengatur diri manusia itu agar supaya tercapai dan tercipta ketertiban. Aturan yang dimaksud tidak lain berupa patokan atau pedoman untuk berprilaku secara pantas, yang sebenarnya merupakan suatu pandangan dan sekaligus harapan. Patokan-patokan tersebut sering dikenal dengan sebutan norma atau kaedah yang mengatur diri pribadi manusia dalam pergaulan hidup di masyarakat. 1 Harus kita sadari bersama timbulnya pertentangan kepentingan-kepentingan tersebut diatas tentunya akan berpeluang besar menimbulkan adanya friksi-friksi tertentu dalam kehidupan masyarakat yang muaranya dapat mengakibatkan munculnya berbagai macam pelanggaran hukum atau perilaku yang menyimpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkah laku individu dan masyarakat telah 1 Soerjono Soekanto, 2013, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Cet. ke-12, Rajawali Press, Jakarta, h. 1. 1

Upload: vuongphuc

Post on 08-Apr-2019

226 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfmunculnya berbagai macam pelanggaran hukum atau perilaku yang menyimpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkah laku individu dan masyarakat

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia dalam kehidupannya sehari-hari selalu menginginkan adanya

ketentraman, ketertiban maupun keteraturan. Keinginan tersebut selalu

berkembang dalam pergaulan hidup manusia di masyarakat dimana ia bertempat

tinggal. Dalam proses mencapai ketentraman, ketertiban dan keteraturan ini tidak

jarang kita temukan pula terjadinya pertentangan-pertentangan kepentingan yang

dapat mengakibatkan terganggunya kehidupan.

Mengatasi hal yang demikian, maka perlu kiranya dibuat suatu perangkat

aturan untuk mengatur diri manusia itu agar supaya tercapai dan tercipta

ketertiban. Aturan yang dimaksud tidak lain berupa patokan atau pedoman untuk

berprilaku secara pantas, yang sebenarnya merupakan suatu pandangan dan

sekaligus harapan. Patokan-patokan tersebut sering dikenal dengan sebutan norma

atau kaedah yang mengatur diri pribadi manusia dalam pergaulan hidup di

masyarakat.1

Harus kita sadari bersama timbulnya pertentangan kepentingan-kepentingan

tersebut diatas tentunya akan berpeluang besar menimbulkan adanya friksi-friksi

tertentu dalam kehidupan masyarakat yang muaranya dapat mengakibatkan

munculnya berbagai macam pelanggaran hukum atau perilaku yang menyimpang.

Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkah laku individu dan masyarakat telah

1Soerjono Soekanto, 2013, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Cet. ke-12,Rajawali Press, Jakarta, h. 1.

1

Page 2: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfmunculnya berbagai macam pelanggaran hukum atau perilaku yang menyimpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkah laku individu dan masyarakat

2

bergeser dari norma-norma atau kaedah yang ada. Pada umumnya prilaku

kontradiktif tersebut hanya dilakukan oleh segolongan minoritas masyarakat

namun akibatnya dapat menimbulkan dampak yang luas bagi masyarakat lainnya.

Salah satu bentuk pelanggaran hukum khususnya hukum pidana adalah dalam

bidang ketertiban umum seperti misalnya mengenai masalah gelandangan dan

pengemis. Masyarakat umum lebih populer menggunakan singkatan “Gepeng”

untuk menyebutkan keberadaan gelandangan dan pengemis tersebut.2 Eksistensi

gelandangan dan pengemis (gepeng) dalam lingkungan masyarakat jelaslah sangat

meresahkan karena disamping sebagai pelanggaran hukum juga merupakan salah

satu penyakit sosial yang tidak boleh dianggap sebagai masalah sepele dan

dibiarkan begitu saja. Apalagi dalam kenyataannya kehadiran gepeng dalam

masyarakat tidak dapat dibendung, bahkan kian hari jumlahnya cenderung makin

banyak dan sulit ditanggulangi secara tuntas.

Kalau ditinjau lebih jauh masalah gelandangan dan pengemis ini adalah

merupakan masalah yang terus mewarnai kehidupan bangsa Indonesia dari dahulu

hingga sekarang. Kemiskinan yang terus melanda sebagian masyarakat Indonesia

disinyalir menjadi salah satu faktor penyebab utama berkembangnya masalah ini

dari jaman ke jaman.

Disamping itu, gelandangan dan pengemis jelas merupakan salah satu dampak

negatif pembangunan, khususnya pembangunan perkotaan. Keberhasilan

percepatan pembangunan di wilayah perkotaan dan sebaliknya keterlambatan

pembangunan di wilayah pedesaan mengundang arus migrasi atau urbanisasi dari

2Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Bali, 2004, Muntigunung Profil Sebuah Dusun, DinasKesejahteraan Sosial Provinsi Bali, Denpasar, h. 7.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfmunculnya berbagai macam pelanggaran hukum atau perilaku yang menyimpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkah laku individu dan masyarakat

3

desa ke kota yang antara lain dapat memunculkan gelandangan dan pengemis

karena sulitnya mendapatkan pemukiman dan pekerjaan di wilayah perkotaan.3

Saat ini di sejumlah kota besar di Indonesia ternyata persebaran maupun

jumlah gelandangan dan pengemis tersebut cukup tinggi. Begitu pula halnya

dengan kota-kota yang ada di Propinsi Bali, fenomena hadirnya gelandangan dan

pengemis telah menjadi masalah serius yang harus dihadapi dari tahun ke tahun.

Salah satunya adalah dapat kita lihat di Kota Denpasar yang mana di beberapa

sudut kota dan pusat keramaian sangat mudah kita temukan gelandangan dan

pengemis tersebut. Masalahnya disini adalah keberadaan mereka tidak pernah ada

habisnya, bahkan pada saat-saat tertentu jumlahnya semakin banyak, seperti

misalnya pada saat menjelang hari raya keagamaan dan musim liburan. Adanya

serbuan gelandangan dan pengemis tersebut memang sulit dibendung dan nyata-

nyata juga telah membuat sibuk Pemerintah Kota Denpasar untuk

menanggulanginya.4

Kondisi ini jelas sangat memprihatinkan dan meresahkan masyarakat Kota

Denpasar mengingat keberadaan gelandangan dan pengemis tersebut selain

merupakan penyakit sosial yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila

dan kepribadian bangsa Indonesia juga berpotensi meningkatkan angka

kriminalitas serta menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban umum seperti

pemerasan, pencurian dan sindikat perdagangan anak. Disamping itu, masalah

3Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial RI, 2010, Fenomena MunculnyaGelandangan dan Pengemis, http://rehsos.kemsos.go.id/modules.php/article=1066, Diaksestanggal 04 Desember 2013.

4Anonim; 2013. Tak Mempan Dirazia, Gepeng Muncul di Kuta. Jawa Pos Radar Bali, Tgl. 21Juni, Halaman 23, Kolom 5.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfmunculnya berbagai macam pelanggaran hukum atau perilaku yang menyimpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkah laku individu dan masyarakat

4

gelandangan dan pengemis ini tentu dapat menimbulkan citra buruk atau kesan

negatif bagi kota Denpasar itu sendiri sebagai ibu kota, pusat perekonomian

maupun pusat pemerintahan Propinsi Bali yang perkembangan sosialnya selalu

mendapat soroton masyarakat luas dan juga merupakan salah satu daerah tujuan

wisata utama di Indonesia.

Sebagai gambaran mengenai seriusnya permasalahan gelandangan dan

pengemis di Kota Denpasar dapat dilihat dari data dan informasi yang peneliti

dapatkan di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar, ternyata dalam

periode tahun 2012 saja jumlah gelandangan dan pengemis yang ditertibkan atau

ditangkap/terjaring razia adalah sejumlah 304 orang, rinciannya 15 orang

gelandangan dan 289 orang pengemis. Dari jumlah tersebut diketahui bahwa

kebanyakan gelandangan dan pengemis tersebut ternyata berasal dari daerah

Karangasem dan lainnya lagi berasal dari beberapa wilayah di Bali maupun luar

Bali.5 Fakta tersebut diatas menunjukkan bahwa jumlah gelandangan dan

pengemis yang tersebar di wilayah Kota Denpasar memang masih tinggi.

Dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Bali, seperti misalnya Kabupaten

Buleleng, ternyata jumlah gelandangan dan pengemis yang ada di Kota Denpasar

jauh lebih banyak. Peneliti memilih Kabupeten Buleleng sebagai bahan

perbandingan dalam penelitian ini mengingat jumlah penduduk dan luas wilayah

Kabupaten Buleleng adalah yang terbesar di Propinsi Bali serta saat ini

pembangunan di wilayah tersebut berkembang cukup pesat. Menurut data yang

dimiliki oleh Dinas Sosial Kabupaten Buleleng, dalam periode tahun yang sama

5Data di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar, research dilakukan pada bulanDesember 2014 s/d bulan Maret 2015.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfmunculnya berbagai macam pelanggaran hukum atau perilaku yang menyimpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkah laku individu dan masyarakat

5

yaitu tahun 2012, jumlah gelandangan dan pengemis yang ditertibkan atau

ditangkap/terjaring razia oleh aparat atau instansi terkait di Kabupaten Buleleng

adalah hanya sejumlah 75 orang, rinciannya 10 orang gelandangan dan 65 orang

pengemis.6

Tidak dapat kita pungkiri masalah gelandangan dan pengemis ini adalah

merupakan masalah yang sangat kompleks karena selain bersinggungan dengan

aspek hukum juga berkaitan erat dengan aspek-aspek sosial seperti ekonomi,

mental dan budaya masyarakat sehingga wajar apabila disini memerlukan upaya

penanggulangan atau penanganan yang lebih komprehensif dari aparat penegak

hukum maupun Pemerintah Kota Denpasar dengan melibatkan semua elemen

masyarakat.

Selama ini Pemerintah Kota Denpasar bersama dengan aparat penegak hukum

terkait memang telah melakukan upaya-upaya penanggulangan, hal tersebut dapat

dilihat dari pemberitaan beberapa media massa. Misalnya, menjelang digelarnya

berbagai even internasional di Bali Pemerintah Kota Denpasar gencar melakukan

penertiban terhadap gepeng.7 Selanjutnya, diberitakan pula bahwa Pemerintah

Kota Denpasar sibuk merazia gepeng dan upaya penertiban tersebut rutin

dilaksanakan, apalagi menjelang diselenggarakannya ajang Miss World pada

bulan September 2013.8 Selain itu, diperoleh suatu informasi bahwa Pemerintah

6Data di Dinas Sosial Kabupaten Buleleng, research dilakukan pada tanggal 12 Agustus 2013.

7Anonim; 2013. Kota dan Badung Buru Gepeng Jelang Gelaran Dua Even Internasional. JawaPos Radar Bali, Tgl. 10 Juni, Halaman 25, Kolom 6.

8Dewa Dedi Farendra, dan Maulana Sandijaya; 2013. Menyapa Miss World, MenghalauGepeng, Denpasar Ingin Aman dan Nyaman. Jawa Pos Radar Bali, Tgl. 16 Juni, Halaman 28,Kolom 7.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfmunculnya berbagai macam pelanggaran hukum atau perilaku yang menyimpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkah laku individu dan masyarakat

6

Kota Denpasar pada tahun 2012 terus berupaya menanggulangi keberadaan

gepeng di Kota Denpasar, jika sebelumnya telah memasang baliho yang berisi

imbauan agar tidak memberikan sedekah kepada gepeng, berikutnya Pemerintah

Kota Denpasar menyebar selebaran berisi imbauan agar warga tidak memberikan

sesuatu pada gepeng.9

Bahwa meskipun ketentuan Pasal 34 Undang Undang Dasar Negara Republik

Indonesia 1945 (UUDNRI 1945) menegaskan “Fakir miskin dan anak-anak

terlantar dipelihara oleh negara”, namun ketentuan pasal tersebut tidaklah dapat

dijadikan dasar atau alasan hukum untuk melakukan pembiaran maupun

meniadakan tindakan tegas negara dalam menanggulangi masalah gelandangan

dan pengemis tersebut. Untuk menjaga ketertiban umum, membangun masyarakat

Indonesia yang mandiri dan berbudi pekerti luhur serta memberikan rasa aman,

tenteram bagi masyarakat luas, maka sangat beralasan apabila diperlukan upaya

penanggulangan yang lebih serius terhadap permasalahan gelandangan dan

pengemis ini mulai dari yang sifatnya preventif sampai dengan upaya-upaya yang

sifatnya represif melalui penerapan atau fungsionalisasi Hukum Pidana, misalnya

berupa pemberian sanksi pidana agar memberikan efek jera kepada gelandangan

dan pengemis.

Beberapa aturan hukum yang dapat dijadikan pedoman/landasan dalam rangka

penanggulangan atau penanganan masalah gelandangan dan pengemis tersebut

secara umum dan pada khususnya di Kota Denpasar, termasuk yang didalamnya

9Anonim, 2012, Siaga Gepeng Sebar Himbauan, Bali Tribune,http://koranbalitribune.com/2012/04/15/siaga-gepeng-sebar-imbauan/, Diakses tanggal 03September 2013.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfmunculnya berbagai macam pelanggaran hukum atau perilaku yang menyimpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkah laku individu dan masyarakat

7

menegaskan dapat diterapkannya ketentuan Hukum Pidana adalah sebagai

berikut:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

2. Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;

3. Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan

Kesejahteraan Sosial;

4. Peraturan Pemerintah RI No. 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan

Gelandangan dan Pengemis;

5. Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000

tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum.

Disamping peraturan perundang-undangan tersebut tersebut diatas ada pula

berupa peraturan kebijakan seperti misalnya Peraturan Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia No. 14 Tahun 2007 tentang Penanganan Gelandangan dan

Pengemis.

Aturan-aturan yang tegas dan sifatnya represif mengenai penanganan

gelandangan dan pengemis memang tetap diperlukan mengingat ketentuan

tersebut dapat menghambat laju serta mempersempit ruang gerak gelandangan

dan pengemis itu sendiri di masyarakat, disamping tetap pula harus dikedepankan

upaya-upaya penanggulangan yang sifatnya preventif dan persuasif. Pemikiran

seperti ini sangat berdasar mengingat kebijakan Hukum Pidana itu sendiri

Page 8: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfmunculnya berbagai macam pelanggaran hukum atau perilaku yang menyimpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkah laku individu dan masyarakat

8

menegaskan adanya cara penal dan non penal dalam rangka penanggulangan

kejahatan atau pelanggaran hukum di masyarakat.10

Secara umum dalam hukum positif Indonesia, kegiatan pergelandangan dan

pengemisan tersebut ternyata dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yaitu

sebagai pelanggaran (overtredingen) di bidang ketertiban umum sebagaimana

diatur dalam ketentuan Pasal 504 dan 505 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana). Khusus untuk di Kota Denpasar mengenai larangan kegiatan

pergelandangan dan pengemisan termasuk ketentuan pidananya tersebut diatur

pula dalam Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar

No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban

Umum.

Pasal 504 KUHP menegaskan sebagai berikut:

“1. Barang siapa mengemis ditempat umum, diancam, karena melakukan

pengemisan, dengan pidana kurungan selama-lamanya enam minggu;

2. Pengemisan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang umurnya di atas

enam belas tahun, diancam dengan kurungan paling lama tiga bulan”.11

Selanjutnya, ketentuan Pasal 505 KUHP menegaskan sebagai berikut:

1. Barang siapa bergelandangan tanpa pencaharian, diancam, karenamelakukan pergelandangan, dengan pidana kurungan paling lama tigabulan;

10Barda Nawawi Arief, 2010, Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Hukum PidanaDalam Penanggulangan Kejahatan, Ed. I. Cet. Ke-3, Kencana, Jakarta (selanjutnya disebut BardaNawawi Arief I), h. 77.

11Moeljatno, 2012, KUHP = Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cet. ke-30, Bumi Aksara,Jakarta, h. 184.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfmunculnya berbagai macam pelanggaran hukum atau perilaku yang menyimpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkah laku individu dan masyarakat

9

2. Pergelandangan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang umurnyadi atas enam belas tahun, diancam dengan pidana kurungan paling lamaenam bulan. 12

Berikutnya, Pasal 35 ayat (4) jo. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota

Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan

Ketertiban Umum menegaskan sebagai berikut:

- Pasal 35 ayat (4): “Dilarang melakukan usaha/kegiatan meminta-

minta/mengemis, mengamen atau usaha lain yang sejenis”;

- Pasal 37 ayat (1): “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam pasal-pasal dari Bab II sampai dengan Bab X, dipidana

dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp.

5.000.000,- (lima juta rupiah)”.

Ini berarti kegiatan mengemis dan menggelandang menurut hukum adalah

dilarang dan merupakan suatu tindak pidana yang patut dihukum. Sanksi pidana

secara umum untuk kegiatan pergelandangan dan pengemisan diatur dalam

KUHP, namun Pemerintah Daerah melalui Peraturan Daerah (Perda) dapat pula

menetapkan peraturan soal larangan tersebut.

Secara substansi, ketentuan hukum pidana bagi gelandangan dan pengemis

tetap diperlukan dalam rangka menanggulangi permasalahan gelandangan dan

pengemis di Kota Denpasar. Idealnya dengan adanya ketentuan Hukum Pidana

tersebut sesuai dengan fungsi hukum sebagai sarana untuk mengarahkan dan

membina masyarakat (law as a tool of social engineering)13, maka hal

12Ibid.

13Otje Salman, dan Anton F. Susanto, 2004, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum. Ed. Ke-2 Cet.ke-1, Alumni, Bandung, h. 33 – 35.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfmunculnya berbagai macam pelanggaran hukum atau perilaku yang menyimpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkah laku individu dan masyarakat

10

tersebut seharusnya dapat mempengaruhi pola perilaku masyarakat dan membuat

masyarakat itu tidak memilih untuk melakukan kegiatan sebagai gelandangan dan

pengemis.

Dikaitkan dengan fakta di lapangan yang menunjukkan bahwa jumlah

gelandangan dan pengemis yang ada di lingkungan masyarakat Kota Denpasar

tenyata masih cukup tinggi, hal tersebut menunjukkan upaya-upaya

penanggulangan yang dilakukan selama ini termasuk penegakan hukum

pidananya masih belum berjalan dengan optimal dan terdapat kelemahan-

kelemahan. Kondisi tersebut tentu semakin menjadikan masalah penanggulangan

gelandangan dan pengemis ini sebagai isu atau permasalahan serius yang harus

segera dicarikan jalan pemecahannya bersama.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, maka sangat wajar dan beralasan

apabila peneliti sangat tertarik untuk mengkaji lebih lanjut hal-hal yang berkaitan

dengan upaya penegakan hukum pidana dalam rangka penanggulangan

gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar beserta faktor-faktor yang

menghambat dan mendukung penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan

pengemis tersebut dengan mengambil judul penelitian “Penegakan Hukum

Pidana Dalam Upaya Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis di Kota

Denpasar”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka yang menjadi

permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut:

Page 11: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfmunculnya berbagai macam pelanggaran hukum atau perilaku yang menyimpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkah laku individu dan masyarakat

11

1. Bagaimanakah implementasi penegakan hukum pidana dalam rangka

penanggulangan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar?

2. Apakah yang menjadi faktor-faktor penghambat dan pendukung

penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dan pengemis di Kota

Denpasar?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Pembatasan pembahasan terhadap permasalahan tersebut sangatlah diperlukan

untuk mendapatkan uraian yang lebih terarah. Bertitik tolak dari hal diatas, maka

permasalahan penegakan hukum pidana dalam upaya penanggulangan

gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar tersebut penyajiannya dikaji

berdasarkan data yang ada di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar

maupun Kantor Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Denpasar mengenai

jumlah gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar, serta upaya-upaya

penanggulangannya oleh Pemerintah Kota Denpasar bersama instansi penegak

hukum terkait yaitu Polresta Denpasar dan Pengadilan Negeri Denpasar dalam

kurun waktu 5 tahun terakhir yaitu dari periode tahun 2010 sampai dengan 2014.

Adapun pokok pembahasannya disini adalah mengenai implementasi penegakan

hukum pidana dalam menanggulangi gelandangan dan pengemis di Kota

Denpasar serta faktor-faktor penghambat dan pendukung dalam penegakan hukum

pidana terhadap gelandangan dan pengemis tersebut diatas.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfmunculnya berbagai macam pelanggaran hukum atau perilaku yang menyimpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkah laku individu dan masyarakat

12

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian tentang Penegakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penanggulangan

Gelandangan dan Pengemis di Kota Denpasar ini mempunyai tujuan umum dan

tujuan khusus sebagai berikut:

1.4.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk pengembangan Ilmu Hukum terkait dengan

paradigma Science as a Process (Ilmu sebagai Proses). Dengan paradigma ini,

ilmu Hukum Pidana akan terus berkembang terutama terkait dengan

penanggulangan gelandangan dan pengemis di masyarakat.

1.4.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengkaji dan menganalisis mengenai upaya penegakan hukum pidana

dalam rangka penanggulangan masalah gelandangan dan pengemis yang

terjadi di Kota Denpasar.

2. Untuk mengkaji dan menganalisis faktor-faktor penghambat maupun

pendukung penegakan hukum pidana dalam menanggulangi gelandangan dan

pengemis di Kota Denpasar.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian yang diperoleh dapat bermanfaat secara teoritis maupun

praktik di lapangan sebagai berikut:

Page 13: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfmunculnya berbagai macam pelanggaran hukum atau perilaku yang menyimpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkah laku individu dan masyarakat

13

1.5.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan memberi kontribusi teoristik dan pengembangan

konsep dasar dan teori Hukum Pidana, khususnya tentang tindak pidana yang

berhubungan dengan masalah gelandangan dan pengemis.

1.5.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk keperluan praktek atau

penegakan hukum yang dilakukan oleh pihak Pemerintah Kota Denpasar bersama

dengan aparat penegak hukum terkait seperti: Polisi dan Hakim dalam rangka

menanggulangi masalah gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar.

1.6 Orisinalitas Penelitian

Aspek orisinalitas dalam penelitian ini harus diperhatikan agar tulisan dan

penelitian ini dapat bernilai sebagai suatu karya ilmiah yang baik. Berdasarkan

penelusuran yang peneliti lakukan di Kepustakaan Pascasarjana Universitas

Udayana dan beberapa Universitas lainnya di Indonesia, maka penelitian dengan

judul “Penegakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penanggulangan

Gelandangan dan Pengemis di Kota Denpasar” belum pernah ada yang

melakukan penelitian sebelumnya.

Dalam tataran penulisan Tesis dan Disertasi, meskipun mengenai topik

gelandangan dan pengemis ini sudah ada yang meneliti dan membahas akan tetapi

hampir seluruhnya bukan dalam perspektif kajian ilmu hukum. Adapun hanya ada

1 (satu) penelitian hukum mengenai gelandangan dan pengemis yang peneliti

Page 14: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfmunculnya berbagai macam pelanggaran hukum atau perilaku yang menyimpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkah laku individu dan masyarakat

14

temukan. Sebagai gambarannya, beberapa tulisan ilmiah tersebut akan peneliti

uraikan sebagai berikut:

I. Nama : Yusrizal

NIM : 097005047

Univ./PS : Universitas Sumatera Utara (USU) / Magister Ilmu

Hukum

Judul Tesis : Penegakan Hukum Dalam Penanganan Gelandangan

Dan Pengemis (Suatu Tinjauan Menurut Undang-

Undang Dasar 1945 Dan Hukum Pidana)

Permasalahan : 1. Bagaimanakah fungsionalisasi hukum pidana

terhadap gelandangan dan pengemis?

2. Bagaimanakah kedudukan Pasal 504 dan Pasal 505

KUHP bila dikaitkan dengan Pasal 34 Undang-

Undang Dasar 1945?

3. Bagaimanakah upaya dekriminalisasi terhadap

perbuatan gelandangan dan pengemis dalam

perspektif kebijakan hukum pidana?

II. Nama : Desriyanti

NIM : 01505002

Univ./PS : Universitas Negeri Medan / Magister Antropologi Sosial

Judul Tesis : Miskin Papa: Kajian Antropologi Terhadap

Kelompok Pengemis di Kota Medan

Page 15: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfmunculnya berbagai macam pelanggaran hukum atau perilaku yang menyimpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkah laku individu dan masyarakat

15

Permasalahan : 1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan seseorang

menjadi pengemis? Bagaimana latar belakang

pendidikan mereka? dan Bagaimana mereka memilih

menjadi pengemis?

2. Daerah-daerah manakah yang menjadi lokasi mengemis

bagi para pengemis di kota Medan?

3. Mengapa kehidupan sebagai pengemis dapat dilakukan

secara turun temurun?

4. Bagaimanakah tipologi pengemis yang ada di kota

Medan?

5. Apakah ada usaha pemerintah untuk menanggulangi

kehidupan sebagai pengemis?

III. Nama : Mardian Wibowo

NIM : 0606017593

Univ./PS : Universitas Indonesia (UI) / Magister Ilmu Administrasi

Judul Tesis : Studi Implementasi Kebijakan Penanganan

Gelandangan di Kota Jakarta Timur

Permasalahan : 1. Bagaimanakah implementasi kebijakan penanganan

gelandangan di kota Jakarta Timur?

2. Apakah strategi yang dapat digunakan untuk

meningkatkan atau memperkuat implementasi

kebijakan penanganan gelandangan di Jakarta Timur?

Page 16: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfmunculnya berbagai macam pelanggaran hukum atau perilaku yang menyimpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkah laku individu dan masyarakat

16

Apabila dibandingkan dengan Tesis No. I diatas, maka penelitian yang peneliti

lakukan ini jelaslah sangat berbeda. Disamping perbedaan dalam rumusan

masalah, Tesis No. I yang ditulis Yusrizal tersebut jelas-jelas dibuat dengan jenis

penelitian hukum normatif, sedangkan penelitian ini adalah merupakan penelitian

hukum empiris dan tempat penelitiannya dilakukan di Kota Denpasar. Berikutnya,

apabila dibandingkan dengan Tesis No. II dan III diatas, maka Tesis-Tesis

tersebut jelas pula sangat berbeda dengan penelitian ini karena dalam Tesis No. II

dan III tersebut masalah gelandangan maupun pengemis dikaji, dibahas dalam

perspektif ilmu yang lain dan bukan dalam perspektif ilmu Hukum.

1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir

1.7.1 Landasan Teoritis

“Landasan Teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum

umum/teori khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, aturan hukum,

norma-norma dan lain-lain yang akan dipakai sebagai landasan untuk membahas

permasalahan penelitian”.14 Dalam hal ini tentu saja yang terfokus pada

permasalahan penegakan hukum pidana dalam penanggulangan masalah

gelandangan dan pengemis.

Negara Indonesia adalah sebagai negara hukum sebagaimana ditegaskan

dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia yaitu ketentuan Pasal 1 ayat (3)

14Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, 2013,Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis Dan Penulisan Tesis Program Studi Magister (S2)Ilmu Hukum, Universitas Udayana, Denpasar, h. 44.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfmunculnya berbagai macam pelanggaran hukum atau perilaku yang menyimpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkah laku individu dan masyarakat

17

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUDNRI 1945).15

Dalam konteks negara hukum tersebut tentu asas persamaan dihadapan hukum

(equality before the law) harus tetap dikedepankan dalam rangka mewujudkan

proses penegakan hukum yang adil (ketentuan Pasal 27 ayat 1 UUDNRI 1945).

Ini berarti setiap orang yang melakukan tidak pidana seharusnya ditindak tegas

tanpa pandang bulu termasuk bagi gelandangan dan pengemis, namun perlu

diingat pula bahwa dalam hukum pidana dikenal adanya adagium “ultimum

remedium” yang dapat diartikan bahwa sanksi pidana adalah sebagai senjata

terakhir/pamungkas.16 Dalam penegakan hukum pidana seharusnya prinsip ini

harus dipegang teguh dimana pemberian sanksi pidana tersebut memang benar-

benar dijadikan sebagai jalan terakhir dalam penyelesaian suatu masalah yang

terjadi masyarakat.

Menurut Pompe, Hukum Pidana adalah “keseluruhan aturan ketentuan hukum

mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan aturan pidananya”.17

Selanjutnya, dalam Black’s Law Dictionary disebutkan bahwa yang dimaksud

dengan gelandangan (Vagrants, Vagabond, Landloperij) adalah “one who, not

having a settled habitation, strolls from place to place, a homeless, idle

wandered”18 (terjemahan peneliti: orang yang tidak memiliki tempat tinggal tetap,

berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, tidak memiliki pekerjaan

15Ibnu Subarkah, 2010, Elastisitas Bagi Kemandirian Peradilan, Varia Peradilan: Tahun XXVNo. 295, Jakarta, h. 46.

16Wirjono Prodjodikoro, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Ed. 3 Cet. ke-1, RefikaAditama, Bandung, h. 17.

17Teguh Prasetyo, 2011, Hukum Pidana, Ed. 1 Cet. ke-2, Rajawali Pers, Jakarta, h. 4.

18Bryan A. Garner (ed), 2009, Black’s Law Dictionary, Ninth Edition, West, a ThomsonReuters Business, Texas, page 1689.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfmunculnya berbagai macam pelanggaran hukum atau perilaku yang menyimpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkah laku individu dan masyarakat

18

atau pengangguran). Sementara itu yang dimaksud dengan pengemis (Beggars,

Bedelarij) adalah “a person who communicates with people, often in public

places, asking for money, food, or other necessities for personal use, often as a

habitual means of making a living”19 (terjemahan peneliti: orang yang sering

berada di tempat umum, meminta uang, makanan, atau keperluan lainnya untuk

kepentingan pribadi, sering dipakai sebagai sarana kebiasaan mencari nafkah).

Sesuai dengan ketentuan hukum positif di Indonesia perbuatan

pergelandangan dan pengemisan yang dilakukan oleh gelandangan dan pengemis

jelas adalah merupakan salah satu bentuk tindak pidana yaitu sebagai pelanggaran

ketertiban umum, yang mana mengenai hal tersebut diatur dalam Pasal 504 dan

505 KUHP. Sementara itu, dalam lingkup wilayah Kota Denpasar, ada pula aturan

pidana yang lebih khusus mengenai larangan kegiatan pergelandangan dan

pengemisan tersebut yaitu sebagaimana diatur dalam ketentuan Peraturan Daerah

Kota Denpasar No. 15 tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan

Ketertiban Umum.

Sebagai gambaran mengenai penanggulangan atau penanganan masalah

gelandangan dan pengemis di Indonesia, maka salah satunya dapat dilihat dari

hasil penelitian yang dilakukan oleh Mardian Wibowo tentang gelandangan dan

pengemis di Jakarta Timur yang menjelaskan bahwa selama ini pola penanganan

gelandangan di Jakarta Timur cenderung bersifat reaktif, yakni menitikberatkan

pada kriminalisasi gelandangan, serta tindakan-tindakan on the spot (berupa

operasi langsung) menyingkirkan gelandangan dari wilayah Jakarta timur tanpa

19Ibid, h. 174.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfmunculnya berbagai macam pelanggaran hukum atau perilaku yang menyimpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkah laku individu dan masyarakat

19

memperbaiki infrastruktur di wilayah asal gelandangan. Penanganan yang bersifat

reaktif tersebut diatas terbukti tidak memberikan hasil sehingga perlu dilakukan

perubahan pendekatan dalam penanganan gelandangan.20 Berikutnya, Saptono

Iqbali dalam hasil penelitiannya terhadap gelandangan dan pengemis di

Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem sebagai daerah asal gepeng

mengemukakan bahwa selain tetap melakukan razia-razia, langkah-langkah

berupa pembinaan, penyuluhan, pemberian bantuan sosial, maupun pemenuhan

kebutuhan spiritual adalah sangat diperlukan sebagai bagian strategi penanganan

masalah gepeng tersebut di masyarakat.21

Pembahasan dalam penelitian ini nantinya akan didukung pula oleh beberapa

teori yang dapat digunakan sebagai landasan teoritis dalam mengkaji dan

menganalisis masalah tersebut. Penggunaan teori hukum adalah merupakan

bagian penting dalam suatu penelitian. Artinya, teori hukum harus dijadikan dasar

dalam memberikan penilaian tentang apa yang seharusnya menurut hukum. Selain

itu, teori juga bisa digunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang

terjadi. Untuk itu, kegunaan teori hukum dalam penelitian adalah sebagai pisau

analisis pembahasan tentang peristiwa atau fakta hukum yang diajukan dalam

masalah penelitian.22 Suatu undang-undang dapat dikaji dari aspek normatif

20Mardian Wibowo, 2008, “Studi Implementasi Kebijakan Penanganan Gelandangan di KotaJakarta Timur”, (tesis) Program Studi Magister (S2) Ilmu Administrasi Pascasarjana, UniversitasIndonesia, Jakarta.

21Saptono Iqbali, 2008, Studi Kasus Gelandangan – Pengemis (Gepeng) Di Kecamatan KubuKabupaten Karangasem, Jurnal, http://ojs.unud.ac.id/index.php/piramida/article/download/2972,Diakses tanggal 10 Oktober 2013.

22Mukti Fajar Nur Dewata, dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatifdan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 146.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfmunculnya berbagai macam pelanggaran hukum atau perilaku yang menyimpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkah laku individu dan masyarakat

20

maupun aspek empiris, secara garis besar ilmu hukum dapat dikaji melalui studi

law in books dan studi law in action. 23 Mengacu pada uraian tersebut, maka

jelaslah untuk mengkaji suatu permasalahan hukum secara lebih mendalam

memang diperlukan teori yaitu berupa serangkaian asumsi, konsep, definisi dan

proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara

merumuskan hubungan antar konsep.24

Adapun teori-teori yang relevan digunakan dalam menganalisis permasalahan

sesuai dengan rumusan masalah diatas adalah sebagai berikut:

a. Teori Bekerjanya Hukum

Berbicara mengenai penegakan hukum pidana dalam rangka

penanggulangan gelandangan dan pengemis, maka salah satu hal penting yang

terkait didalamnya adalah mengenai proses bekerjanya hukum pidana itu

sendiri dalam kehidupan masyarakat. Bekerjanya hukum dalam masyarakat

melibatkan beberapa unsur atau aspek yang saling memiliki keterkaitan.

Beberapa aspek tersebut yaitu: Lembaga Pembuat Hukum (Law Making

Institutions), Lembaga Penerap Sanksi (Sanction Activity Institutions),

Pemegang Peran (Role Occupant) serta Kekuatan Sosial Personal (Societal

Personal Force), Budaya Hukum (Legal Culture) serta unsur-unsur Umpan

Balik (Feed Back) dari proses bekerjanya hukum yang sedang berjalan.25

23Amiruddin, dan Zaenal Asikin, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 196.

24Burhan Ashshofa, 2004, Metoda Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h.19.

25Esmi Warrasih, 2005, Pranata Hukum sebagai Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru Utama,Semarang, h. 30.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfmunculnya berbagai macam pelanggaran hukum atau perilaku yang menyimpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkah laku individu dan masyarakat

21

Proses bekerjanya unsur atau aspek tersebut diatas akan menunjukkan pula

bahwa hukum tersebut dapat mempengaruhi perilaku pemegang peran (Role

Occupant) sebagaimana yang ditegaskan Robert B. Siedman dalam bukunya

yang berjudul The State, Law and Development: “Law as a divice to structure

choice expresses at once law’s usual marginality in influencing behavior, and

its importance as the principal instrument that government has to influence

behavior”26 (terjemahan peneliti: hukum adalah sebagai perangkat pilihan

struktur mengekspresikan sekaligus marginalitas biasa hukum dalam

mempengaruhi perilaku, dan pentingnya sebagai instrumen utama pemerintah

untuk mempengaruhi perilaku).

Robert B. Seidman mencoba untuk menerapkan pandangannya terkait

hasil bekerjanya berbagai macam faktor tersebut di dalam analisanya

mengenai bekerjanya atau berlakunya hukum dalam masyarakat. Model

Robert B. Seidman tersebut dapat dilukiskan dengan bagan sebagai berikut:

26Robert B. Siedman, 1978, The State, Law and Development, ST. Martin’s Press, New York,page 77.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfmunculnya berbagai macam pelanggaran hukum atau perilaku yang menyimpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkah laku individu dan masyarakat

22

Oleh Robert B. Seidman bagan diatas diuraikan dalam dalil-dalil sebagai

berikut:

1. Setiap peraturan hukum memberitahu tentang bagaimana seorang

pemegang peranan (role occupant) itu diharapkan bertindak;

2. Bagaimana seorang pemegang peranan itu akan bertindak sebagai suatu

respons terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan

yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, aktivitas dari lembaga-

lembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik

dan lain-lainnya mengenai dirinya;

3. Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai

respons terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan

hukum yang ditujukan kepada mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan

kompleks kekuatan-kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya yang

mengenai diri mereka serta umpan-umpan balik yang datang dari para

pemegang peranan;

4. Bagaimana para pembuat undang-undang itu akan bertindak merupakan

fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi-

sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan sosial, politik,

ideologis dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan-umpan

balik yang datang dari pemegang peranan serta birokrasi.27

Dari uraian teori yang dikemukakan oleh Robert B. Siedman tersebut diatas,

apabila dikaitkan dengan masalah penegakan hukum pidana dalam upaya

27Satjipto Rahardjo, 1986, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, h. 27-28.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfmunculnya berbagai macam pelanggaran hukum atau perilaku yang menyimpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkah laku individu dan masyarakat

23

penanggulangan gelandangan dan pengemis, maka pelaksanaannya tentu akan

dipengaruhi pula oleh beberapa unsur atau aspek yang mempengaruhi

bekerjanya hukum tersebut diatas sehingga penegakan hukum pidananya di

masyarakat dapat berjalan dengan baik dalam rangka menanggulangi

permasalahan tersebut.

b. Teori Pemidanaan

Salah satu masalah pokok dalam hukum pidana adalah mencari dasar

pembenaran dijatuhkannya pidana terhadap pelaku tindak pidana sehingga

pidana tersebut menjadi lebih fungsional. “Menurut Sudarto yang dimaksud

dengan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang

yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu”.28

Pada umumnya, teori pemidanaan (Strafrechts Theorien) dibagi dalam

tiga golongan teori yaitu:

1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan

Menurut teori ini, penjatuhan pidana itu dibenarkan semata-mata karena

orang telah melakukan suatu tindak pidana. Hanya dengan membalas

tindak pidana itu dengan penambahan penderitaan, dapat dinyatakan

bahwa perbuatan itu dapat dihargai. Oleh karena itu, pidana dilepaskan

dari tujuan. Adapun tokoh-tokoh penganut teori pembalasan ini seperti

Imanuel Kant, Van Bemmelen dan Pompe;

28Nyoman Serikat Putra Jaya, 2005, Relevansi Hukum Pidana Adat Dalam PembaharuanHukum Pidana Nasional, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 68.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfmunculnya berbagai macam pelanggaran hukum atau perilaku yang menyimpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkah laku individu dan masyarakat

24

2. Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doel Theorieen/Utilitarian Theory)

Teori ini pada pokoknya menyatakan bahwa pidana itu bukanlah untuk

melakukan pembalasan kepada pembuat kejahatan ataupun pelanggar

hukum, melainkan mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat.

Penganut teori ini antara lain A. Von Feuerbach, Van Hamel dan Simons.

Sehubungan dengan tujuan pidana itu ada beberapa pendapat, yaitu:

a. Tujuan pidana adalah untuk menentramkan masyarakat yang gelisah

karena akibat dari telah terjadinya kejahatan ataupun pelanggaran

hukum;

b. Tujuan pidana adalah untuk mencegah kejahatan yang mana dapat

dibedakan atas pencegahan umum (generale preventie) dan

pencegahan khusus (speciale preventie).

Pencegahan umum didasarkan kepada pikiran bahwa pidana itu

dimaksudkan untuk mencegah setiap orang yang akan melakukan

kejahatan atau pelanggaran, sedangkan pencegahan khusus didasarkan

pada pikiran bahwa pidana itu dimaksudkan agar orang yang telah

melakukan kejahatan atau pelanggaran hukum tidak mengulangi

kejahatan;

3. Teori Gabungan (Verenegings Theorieen)

Teori ini merupakan gabungan dari teori absolut/teori pembalasan dengan

teori relatif/teori tujuan. Dalam hal ini dibagi kedalam 3 (tiga) golongan

yaitu:

Page 25: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfmunculnya berbagai macam pelanggaran hukum atau perilaku yang menyimpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkah laku individu dan masyarakat

25

a. Menitikberatkan kepada pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh

melebihi daripada yang diperlukan dalam mempertahankan ketertiban

masyarakat;

b. Menitikberatkan kepada pertahanan ketertiban masyarakat, tetapi

pidana tidak boleh lebih berat daripada beratnya penderitaan yang

sesuai dengan beratnya perbuatan si terpidana;

c. Menitikberatkan sama baik kepada pembalasan maupun kepada

pertahanan ketertiban masyarakat.29

c. Teori Penanggulangan Tindak Pidana

Upaya-upaya dalam rangka pencegahan dan penanggulangan kejahatan

atau tindak pidana termasuk bidang kebijakan kriminal (criminal policy).

Marc Ancel pada pokoknya menegaskan bahwa kebijakan kriminal (criminal

policy) tersebut adalah sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat

untuk menanggulangi kejahatan. Kebijakan kriminal ini tidak terlepas dari

kebijakan yang lebih luas yaitu kebijakan sosial (social policy) yang terdiri

dari upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan

upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (social defence policy).30

Dalam implementasinya upaya penanggulangan kejahatan atau tindak

pidana ini harus dilakukan dengan pendekatan integral yakni ada

keseimbangan antara sarana penal (hukum pidana) dan non penal

(bukan/diluar hukum pidana). Dengan demikian, dalam rangka

29Tolib Setiady, 2010, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung,h. 52-60.

30 Barda Nawawi Arief I, Loc.cit.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfmunculnya berbagai macam pelanggaran hukum atau perilaku yang menyimpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkah laku individu dan masyarakat

26

penanggulangan tindak pidana yang terjadi di masyarakat khususnya dengan

menggunakan sarana penal (hukum pidana), maka pada tahap/proses dari

penegakan hukum pidana in concreto tersebut haruslah juga memperhatikan

dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu berupa

kesejahteraan sosial (social welfare) dan perlindungan masyarakat (social

defence).

d. Teori Sistem Hukum

Menurut Lawrence M. Friedman, “A legal system in actual operation is a

complex organism in which structure, substance, and culture interest”31

(terjemahan peneliti: suatu sistem hukum dalam pelaksanaannya merupakan

sebuah organisme kompleks dimana struktur, substansi dan budaya

berinteraksi). Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa dalam suatu

sistem hukum terdapat sub sistem-sub sistem hukum sebagai satu kesatuan

yang saling berinteraksi.

Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum

selalu mensyaratkan berfungsinya semua unsur/komponen sistem hukum

diatas yakni Struktur Hukum/Pranata Hukum, Substansi Hukum, dan Budaya

Hukum.

1. Struktur Hukum (legal structure)

Bagian-bagian yang bergerak di dalam suatu mekanisme sistem atau

fasilitas yang ada dan disiapkan dalam sistem, misalnya: Pengadilan,

31Lawrence M. Friedman, 1975, The Legal System: A Social Science Perspective, Russel SageFoundation, New York, page 10.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfmunculnya berbagai macam pelanggaran hukum atau perilaku yang menyimpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkah laku individu dan masyarakat

27

Kejaksaan, Kepolisian. Jadi disini menekankan pada aspek lembaga dan

aparat penegak hukumnya;

2. Substansi Hukum (legal substance)

Hasil aktual yang diterbitkan oleh sistem hukum, misalnya: Putusan

Hakim, Undang-Undang;

3. Budaya Hukum (legal culture)

Sikap publik atau nilai-nilai, komitmen moral dan kesadaran yang

mendorong berjalannya sistem hukum atau keseluruhan faktor yang

menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang logis

dalam kerangka budaya milik masyarakat.32

Ketiga unsur/komponen diatas mendukung berjalannya sistem hukum di suatu

negara.33

e. Teori Penegakan Hukum

Menurut Satjipto Raharjo, penegakan hukum pada hakikatnya merupakan

penegakan ide-ide atau konsep-konsep tentang keadilan, kebenaran,

kemanfaatan sosial, dan sebagiannya. Ini berarti penegakan hukum merupakan

usaha untuk mewujudkan ide dan konsep-konsep tersebut menjadi

kenyataan.34

Selanjutnya menurut Soerjono Soekanto, inti dan arti penegakan hukum

tersebut terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang

32Moh. Hatta, 2009, Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum & Pidana khusus,Cet. I, Liberty, Yogyakarta, h. 1.

33Saifullah, 2007, Refleksi Sosiologi Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, h. 26.

34Satjipto Rahardjo, 2006, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum di Indonesia, Cet. ke-2, Buku Kompas,Jakarta, h. 169.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfmunculnya berbagai macam pelanggaran hukum atau perilaku yang menyimpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkah laku individu dan masyarakat

28

terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejewantahkan dan

sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai-nilai tahap akhir, untuk

menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.

Masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang

mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral

sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor

tersebut. Adapun faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

1. Faktor hukum atau peraturan itu sendiri;

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum;

3. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

4. Faktor masyarakat, yaitu berkaitan dengan lingkungan dimana hukum

tersebut berlaku atau diterapkan;

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang

didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.35

Kelima faktor tersebut diatas saling berkaitan eratnya, oleh karena

merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada

efektevitas penegakan hukum. Berikutnya, Hamis MC. Rae juga

mengemukakan pendapatnya bahwa penegakan hukum tersebut harus

dilakukan dengan pendayagunaan kemampuan berupa penegakan hukum

harus dilakukan oleh orang yang betul-betul ahli di bidangnya dan dalam

35Soerjono Soekanto, Op.cit, h. 5-8.

Page 29: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfmunculnya berbagai macam pelanggaran hukum atau perilaku yang menyimpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkah laku individu dan masyarakat

29

penegakan hukum akan lebih baik jika pelaksanaanya mempunyai pengalaman

praktek berkaitan dengan bidang yang ditanganinya.36

Bahwa dari Teori-Teori Hukum yang dikemukakan diatas, maka dapat

dijelaskan Teori Hukum sebagaimana tersebut pada huruf a, b dan c lebih

digunakan untuk mengkaji, menganalisis dan menjawab Rumusan Masalah pada

poin 1, sedangkan Teori Hukum sebagaimana tersebut pada huruf d dan e

digunakan untuk mengkaji, menganalisis dan menjawab Rumusan Masalah pada

poin 2.

1.7.2 Kerangka Berpikir

Berdasarkan perumusan masalah dan landasan teoritis tersebut diatas, maka

peneliti dapat menyusun kerangka berpikir sebagai berikut:

36Ridwan HR, 2008, Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 17.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfmunculnya berbagai macam pelanggaran hukum atau perilaku yang menyimpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkah laku individu dan masyarakat

30

Penanggulangangelandangan dan

pengemis di Kota Denpasaryang lebih

komprehensif

Hukum Pidana :KUHP

dan Perda Kota DenpasarNo. 15 Tahun 1993 jo.

No. 3 Tahun 2000

BekerjanyaHukum

Perilaku Hukum Masyarakat

Timbul masalah gepengdi masyarakat (pelanggaran

hukum/perilaku menyimpang)

Upaya-upaya penanggulangangelandangan dan pengemis:

- Penal (Penegakan hukumpidana Pemidanaan)

- Non Penal

Faktor-faktor penghambat danpendukung penegakan hukum

pidana: hukum, penegak hukum,sarana dan prasarana, masyarakat,

kebudayaan.

Rekomendasi

KAJIAN YURIDIS

PERMASALAHAN1. Bagaimanakah penegakan hukum pidana

dalam rangka penanggulangan gelandangandan pengemis di Kota Denpasar ?

2. Apakah yang menjadi faktor-faktorpenghambat dan pendukung penegakanhukum pidana terhadap gelandangan danpengemis di Kota Denpasar ?

TEORI HUKUMa. Teori Bekerjanya Hukumb. Teori Tujuan Pemidanaanc. Teori Penanggulangan

Tindak Pidanad. Teori Sistem Hukume. Teori Penegakan Hukum

JUDUL:Penegakan Hukum Pidana Dalam Upaya

Penanggulangan Gelandangan danPengemis di Kota Denpasar

LATAR BELAKANG MASALAH- Keberadaan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar sangat meresahkan masyarakat. Larangan

mengenai kegiatan pergelandangan dan pengemisan diatur dalam ketentuan Pasal 504 dan 505 KUHP,sedangkan, khusus untuk di Kota Denpasar mengenai hal tersebut diatur pula dalam Pasal 35 ayat (4) jo.Pasal 37 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun 1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentangKebersihan dan Ketertiban Umum;

- Apabila dikaitkan dengan fakta di lapangan yang menunjukkan bahwa jumlah gelandangan danpengemis yang ada di lingkungan masyarakat Kota Denpasar tenyata masih cukup tinggi, hal tersebutjelas menunjukkan upaya-upaya penanggulangan yang dilakukan selama ini termasuk penegakan hukumpidananya masih belum berjalan dengan optimal dan terdapat kelemahan-kelemahan.

Page 31: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfmunculnya berbagai macam pelanggaran hukum atau perilaku yang menyimpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkah laku individu dan masyarakat

31

1.8 Metode Penelitian

1.8.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum empiris. Dalam hal ini mengkaji

mengenai penanggulangan gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar dalam

perspektif hukum pidana. Pada penelitian ilmu hukum dengan aspek empiris,

hukum dikonsepkan sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati di dalam

kehidupan nyata.37 Kalau kita bandingkan dengan pendapat Bambang Sunggono,

maka jenis penelitian ini disebut juga sebagai penelitian hukum non-doktrinal

(socio-legal research) yang mana penekanannya adalah pada studi law in

Process.38 Data sekunder dalam penelitian ini digunakan sebagai data awal untuk

kemudian dilanjutkan dengan data primer atau data lapangan. Penelitian hukum

empiris tetap mengacu pada premis normatif dimana definisi operasionalnya dapat

diambil dari peraturan perundang-undangan untuk selanjutnya melihat

pelaksanaan atau kenyataannya yang ada di lapangan (Das Solen dengan Das

Sein).

1.8.2 Sifat Penelitian

Penelitian hukum empiris ini adalah merupakan penelitian yang bersifat

deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat

suatu individu atau kelompok tertentu, keadaan, gejala, atau untuk menentukan

penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara

37Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana,Op.cit, h. 53.

38Bambang Sunggono, 2006, Metodologi Penelitian Hukum, Ed. 1 Cet. ke-8, PT. RajaGrafindoPersada, Jakarta, h. 102-103

Page 32: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfmunculnya berbagai macam pelanggaran hukum atau perilaku yang menyimpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkah laku individu dan masyarakat

32

suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.39 Biasanya peneliti sudah

mendapatkan/mempunyai gambaran yang berupa data awal tentang permasalahan

yang akan diteliti.40 Penelitian ini jelas bertujuan mendiskripsikan dan

menggambarkan apa adanya secara tepat mengenai penegakan hukum pidana

dalam penanggulangan masalah gelandangan dan pengemis di Kota Denpasar

beserta faktor-faktor penghambat maupun pendukungnya.

1.8.3 Data dan Sumber Data

Sumber data yang digunakan untuk mendukung penulisan penelitian ini

adalah terdiri dari dua jenis data yaitu data primer dan data sekunder, yaitu

sebagai berikut:

1. Data Primer

Data primer adalah data yang bersumber dari penelitian lapangan (field

research) yaitu suatu data yang diperoleh langsung di lapangan, baik itu dari

responden maupun informan. Data Primer dalam penelitian ini bersumber dari

penelitian lapangan yang dilakukan di Kantor Satuan Polisi Pamong Praja

(Satpol PP) Kota Denpasar; Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Denpasar;

Kepolisian Resor Kota Denpasar (Polresta Denpasar); dan Pengadilan Negeri

Denpasar. Alasan hukum penelitian ini mengambil lokasi di wilayah Kota

Denpasar adalah karena jumlah gelandangan dan pengemis di wilayah Kota

Denpasar tersebut cukup tinggi dibandingkan dengan wilayah kabupaten/kota

yang lainnya di Bali, selain itu juga didasari oleh rasa keprihatinan melihat

39Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana,Op.cit, h. 57.

40Bambang Waluyo, 2008, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Cet. ke-4, Sinar Grafika, Jakarta,h. 8.

Page 33: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfmunculnya berbagai macam pelanggaran hukum atau perilaku yang menyimpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkah laku individu dan masyarakat

33

kondisi Kota Denpasar sebagai pusat pemerintahan, ekonomi bahkan

pengembangan pariwisata Propinsi Bali ternyata masih menghadapi

permasalahan gelandangan dan pengemis yang kian hari makin sulit untuk

ditanggulangi secara tuntas;

2. Data sekunder adalah suatu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan

dengan meneliti bahan-bahan hukum sebagai berikut:

- Bahan Hukum Primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif,

artinya mempunyai otoritas.41 Dalam penelitian ini meliputi Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang RI No. 11

Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2009 No. 12, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia No. 4967), Peraturan Pemerintah RI No. 39 Tahun 2012 tentang

Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2012 No. 68, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia No. 5294), Peraturan Pemerintah RI No. 31 Tahun 1980 tentang

Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1980 No. 51, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia No. 3177), dan Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 15 Tahun

1993 jo. No. 3 Tahun 2000 tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum

(Lembaran Daerah Kota Daerah Tingkat II Denpasar No. 1 Tahun 1994

Seri D No. 1; Lembaran Daerah Kota Denpasar No. 4 Tahun 2000);

41Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Cet ke-8, Kencana, Jakarta,h. 181.

Page 34: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfmunculnya berbagai macam pelanggaran hukum atau perilaku yang menyimpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkah laku individu dan masyarakat

34

- Bahan Hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang

bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.42 Dalam hal ini meliputi

literatur-literatur tentang Hukum Pidana dan Teori Hukum, internet

dengan menyebut nama situsnya, hasil karya ilmiah Para Sarjana, hasil-

hasil penelitian dan jurnal-jurnal Hukum;

- Bahan hukum tersier (tertier) yaitu bahan – bahan yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun

sekunder. Dalam penelitian ini meliputi: Black Law Dictionary, disamping

itu termasuk pula kamus hukum dan kamus besar bahasa Indonesia.

1.8.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik

studi dokumen untuk mengumpulkan data sekunder dan teknik wawancara

(interview) mendalam untuk mengumpulkan data primer.

1. Teknik Studi Dokumen

Studi dokumen ini dilakukan atas data sekunder yaitu berupa bahan-bahan

hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian.43 Dalam proses

pengumpulan datanya dilakukan dengan melakukan penelusuran secara

mendalam kemudian membaca, menganalisa, serta mencatat secara sistematis

bagian-bagian yang terkait dengan pokok bahasan;

42Ibid.

43Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana,Op.cit, h. 60-61.

Page 35: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfmunculnya berbagai macam pelanggaran hukum atau perilaku yang menyimpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkah laku individu dan masyarakat

35

2. Teknik Wawancara (interview)

Selama ini teknik wawancara seringkali dianggap sebagai metode yang paling

efektif dalam pengumpulan data primer.44 Wawancara merupakan suatu cara

untuk memeperoleh data dengan jalan mengadakan tanya jawab secara

langsung dengan informan dan responden di lapangan. Dalam kegiatan ilmiah,

wawancara dilakukan bukan sekedar bertanya pada seseorang melainkan

dilakukan dengan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang atau telah dikonsep

sebelumnya (interview guide) untuk memperoleh jawaban-jawaban yang

relevan dengan masalah penelitian kepada responden maupun informan.

Dalam hal ini wawancara dilakukan dengan pejabat terkait di lingkungan

Pemerintah Kota Denpasar, aparat Satpol PP Kota Denpasar, aparat

Kepolisian pada Polresta Denpasar, Hakim Pengadilan Negeri Denpasar dan

tokoh masyarakat sebagai informan serta gelandangan dan pengemis itu

sendiri sebagai responden.

1.8.5 Teknik Penentuan Sampel Penelitian

Dalam hal ini teknik penentuan sampel penelitian yang digunakan adalah non

probability sampling artinya dalam penelitian ini tidak ada ketentuan pasti berapa

sampel harus diambil agar dapat mewakili populasinya. Populasi adalah

keseluruhan dari obyek pengamatan atau penelitian, sedangkan sampel adalah

bagian dari populasi yang akan diteliti yang dianggap mewakili populasinya.45

44Bambang Waluyo, Op.cit, h. 57.

45Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana,Op.cit, h. 65.

Page 36: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfmunculnya berbagai macam pelanggaran hukum atau perilaku yang menyimpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkah laku individu dan masyarakat

36

Bentuk dari non probalitas sampling yang dipergunakan adalah bentuk

purposive sampling, artinya: penarikan sampel dilakukan berdasarkan tujuan

tertentu yaitu sampel dipilih atau ditentukan sendiri oleh si peneliti, yang mana

penunjukkan dari pemilihan sampel didasarkan pada pertimbangan bahwa sampel

telah memenuhi kriteria dan sifat-sifat atau karakteristis tertentu yang merupakan

ciri utama dari populasi sehingga nantinya dapat diuraikan secara jelas mengenai

penegakan hukum pidana dalam penanggulangan gelandangan dan pengemis di

Kota Denpasar beserta faktor-faktor penghambat maupun pendukungnya.

1.8.6 Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data adalah kegiatan merapikan data hasil pengumpulan data di

lapangan sehingga siap pakai untuk dianalisis.46 Dalam hal ini model analisis data

yang digunakan adalah model analisis kualitatif atau yang sering dikenal dengan

deksriptif kualitatif. Dalam model analisis ini, dari keseluruhan data yang

terkumpul baik dari data primer maupun data sekunder selanjutnya akan diolah

serta dianalisis dengan cara menyusun data secara sistematis, diidentifikasi,

dikategorisasikan atau diklasifikasikan, dihubungkan antara satu data dengan data

yang lain, dilakukan interprestasi untuk memahami makna data dalam situasi

sosial, dan kemudian dilakukan penafsiran dari perspektif peneliti setelah

memahami keseluruhan kualitas data.47 Proses analisis tersebut dilakukan secara

terus menerus sejak pencarian data di lapangan dan berlanjut terus hingga pada

tahap analisis. Setelah dilakukan analisis secara kualitatif kemudian data akan di

46Bambang Waluyo, Op.cit, h. 72.

47Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana,Op.cit, h 76.

Page 37: BAB I PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfmunculnya berbagai macam pelanggaran hukum atau perilaku yang menyimpang. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkah laku individu dan masyarakat

37

sajikan secara dekstriptif yaitu dengan memaparkan atau menggambarkan secara

jelas, sistematis dan lengkap mengenai hasil penelitian dari permasalahan yang

diajukan.