bab i pendahuluan - sinta.unud.ac.id i dan ii.pdfpetobat yang berasal dari yunani, satu-satunya...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Injil Lukas adalah kitab pertama dari kedua kitab yang dialamatkan
kepada seorang bernama Teofilus (Luk 1:1, 3; Kis 1:1). Lukas adalah seorang
petobat yang berasal dari Yunani, satu-satunya orang bukan Yahudi yang menulis
sebuah kitab di dalam Alkitab. Lukas menulis Injil kepada orang-orang bukan
Yahudi guna menyediakan suatu catatan yang lengkap dan cermat tentang segala
sesuatu yang dikerjakan dan diajarkan Yesus, sampai pada hari Ia terangkat (Kis
1:1-2). Fokus utama Injil Lukas adalah pengajaran dan perumpamaan-
perumpamaan Yesus selama pelayanan-Nya yang luas dalam perjalanan-Nya ke
Yerusalem (Luk 9:51--19:27). Bagian ini mengandung himpunan materi terbesar
yang unik dalam kitab Lukas, dan mencakup banyak kisah dan perumpamaan
yang sangat digemari.
Perumpamaan berasal dari kata paroimia (bahasa Yunani), yang dapat
diartikan sebagai perkataan yang memiliki arti terselubung dan disampaikan
dengan meletakkan bagian di samping hal lainnya (Drane, 2005:5). Perumpamaan
dapat diartikan sebagai perbandingan yang menempatkan suatu hal di samping hal
2
lainnya untuk membuat sebuah pernyataan. Perumpamaan menggambarkan
sebuah tinjauan dalam membuat sebuah pernyataan. Perumpamaan
menggambarkan sebuah tinjauan dan garis persepsi antara dua hal yang
disampaikan untuk memberikan bentuk pemahaman yang berhubungan
dengan kebenaran, spiritualitas, dan yang berhubungan dengan hal-hal
surgawi.
Penggunaan metafora dalam teks perumpamaan yang terdapat
dalam Injil Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes merupakan tujuan inti dari
penulisan keempat Injil (Drane, 2005:6).
Perumpamaan dalam Injil merupakan suatu sarana yang
menggunakan kisah nyata, yang dapat ditemukan dalam kehidupan manusia
untuk menjelaskan kebenaran mengenai Kerajaan Surga dan prinsip-prinsip
Kristiani yang sering sulit dipahami, dengan cara yang sederhana. Kehadiran
dan penggunaan metafora dalam teks perumpamaan menjadikan bahasa religi
tidak lagi terlalu abstrak. Dengan metafora khususnya pemetaan konseptual
(selanjutnya disingkat PK, conceptual mapping) berbagai konsep Kerajaan
Surga dapat lebih dikonkretkan, diungkapkan melalui objek, bahkan dapat
dipersonifikasikan. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa berbagai jenis
metafora dalam teks perumpamaan merupakan model dasar bagi proses
pemahaman Kerajaan Surga (Hillyer, 1999:296).
Fenomena penggunaan metafora tidak terbatas hanya untuk tujuan
puitis-imaginatif dan retoris, tetapi juga yang sangat lazim dalam pikiran
(thought) dan tindakan (action) manusia. Melalui sistem konseptual, manusia
3
dapat memaknai realitas kehidupan sehari-hari, yakni dengan cara memahami
realitas itu sendiri atau ketika mereka berinteraksi dengan orang lain. Oleh
karena itu, apabila sistem konseptual manusia secara umum bersifiat metaforis,
cara berpikir mereka, pengalaman mereka tentang sesuatu, dan apa yang
mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari, pada dasarnya menyangkut
metafora. Dengan kata lain, sistem konseptual manusia pada hakikatnya
memiliki sifat metaforis (Lakoff dan Johnson, 1980:3).
Perwujudan metafora dapat ditelusuri melalui bahasa atau
ungkapan metaforis (metaphorical expressions) yang digunakan untuk
berkomunikasi yang didasarkan pada sistem konseptual yang sama, setidaknya
dalam satu sistem bahasa yang sama. Beberapa pakar kebudayaan berpendapat
bahwa metafora melalui pemetaan konseptual bersifat universal (Newmark
1988, Schäffner 2004, K�vecses 2005), dan dapat ditemukan dalam semua
bahasa dan budaya. Namun, setiap budaya memiliki pemetaan konseptual yang
spesifik (Lakoff, 1992:40, 1993:245). Misalnya, konsep Kerajaan Surga (Lukas
13:18) dalam bahasa Inggris diungkapkan melalui PK: KINGDOM OF GOD IS A
MUSTARD SEED seperti pada kalimat Kingdom of God is like a mustard seed.
Konsep yang sama dalam bahasa Indonesia juga dinyatakan dalam bentuk
ungkapan metaforis dengan ranah sumber (selanjutnya disingkat RSu) yang
sama, yaitu “Kerajaan Allah” seperti pada kalimat Kerajaan Allah seumpama
biji sesawi. Perbedaan PK dalam bahasa sumber (BS) dengan PK dalam bahasa
target (BT) terletak pada bentuk ungkapan metaforis yang digunakan untuk
mengungkapkan konsep yang sama (K�vecses, 2002).
4
Contoh lainnya, yaitu melalui kata ragi sebagai kata RSu, terdapat
pada Lukas 13: 21 yang antara lain berarti ‘pengembang adonan roti’ seperti
pada kalimat Ragi diadukkan ke dalam tepung terigu sampai khamir
seluruhnya (Lukas 13: 21b), juga dapat dirumuskan sebuah pemetaan
konseptual yang lain, yaitu KINGDOM OF GOD IS A LEAVEN.
Berbeda halnya dengan kata ragi sebagai kata RSu yang terdapat
dalam Markus 8:15 seperti pada kalimat Lalu kata Yesus memperingatkan
mereka, kata-Nya: ”Berjaga-jagalah dan awaslah terhadap ragi orang Farisi
dan ragi Herodes. Pemetaan konseptual yang sangat bertentangan muncul
apabila dibandingkan dengan pemetaan konseptual di atas karena konteks
yang berbeda.
Menurut Leech (1981) spesifikasi kaidah morfologis maupun
kaidah sintaksis antara ungkapan yang bermakna harfiah dan yang metaforis
tidak berbeda; yang membedakan keduanya adalah terdapatnya perubahan
semantis pada ungkapan yang bersifat metaforis. Demikian pula, pada kedua
kata ragi di atas spesifikasi kaidah morfologis maupun kaidah sintaksis antara
ungkapan bermakna harfiah dan yang metaforis tidak berbeda; hal yang
membedakan keduanya hanyalah terdapatnya perubahan kaidah semantis pada
ungkapan yang bersifat metaforis. Oleh karena itu, sangatlah logis bahwa
metafora mengisyaratkan adanya inferensi. Inferensi terhadap metafora tidak
dapat dilakukan begitu saja tanpa memperhatikan latar atau konteks metafora
digunakan, baik konteks yang bersifat fisik maupun konteks yang bersifat
psikologis, konteks ontologis (ilmu pengetahuan), dan sebagainya. Konteks
5
yang berbeda menuntut upaya penginferensian yang berbeda walaupun
terhadap metafora yang sama karena pikiran yang berbeda dapat ditemukan
dalam struktur yang sama (K�vecses, 2006). Pada metafora Ragi diadukkan
ke dalam tepung terigu sampai khamir seluruhnya (Lukas 13: 21b) misalnya,
terdapat berbagai kemungkinan inferensi berdasarkan perbedaan konteks yang
melatari munculnya metafora itu. Kemunculan metafora tersebut disebabkan
oleh latar konteks bahwa salah satu sifat ragi sebagai pengembang adonan roti
ditemukan pada salah satu sifat kerajaan surga, yaitu pemberi kehidupan.
Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa pengembang adonan roti dianalogikan
dengan pemberi hidup, yaitu analogi antara kata ragi sebagai RSu dan kerajaan
surga sebagai RSa.
Karena ragi tidak memiliki satu sifat saja, maka kemunculan
metafora ”Berjaga-jagalah dan awaslah terhadap ragi orang Farisi dan ragi
Herodes” (Markus 8:15), dapat muncul lagi dengan latar konteks yang
berbeda, bahkan dapat dikatakan berlawanan, yang didasarkan pada sifat lain
yang dimiliki oleh ragi. Sifat ragi yang bisa merusak adonan, membuat adonan
menjadi masam atau pahit misalnya, melatari atau merupakan konteks
kemunculan metafora tersebut. Dengan demikian, inferensi metafora yang
terdapat pada Markus 8:15, yaitu kaum Farisi dan raja Herodes yang
dimaksudkan adalah orang-orang yang suka merusak sesamanya atau suka
memberi pengaruh tidak baik pada orang di sekitarnya.
Demikian pula contoh tersebut semakin mempertegas bahwa
metafora (khususnya PK) memang benar bersifat spesifik budaya tertentu.
6
Meskipun demikian, metafora sulit dipahami karena faktor-faktor yang
berikut. Pertama, metafora khususnya ungkapan metaforis
(metaphorical/linguistic expression), yang merupakan semantic novelty yang
tidak selalu ada padanannya dalam bahasa sasaran. Kedua, metafora
merupakan penggunaan bahasa dalam budaya tertentu sebagai konteks yang
hanya dapat dipahami oleh para pembaca melalui penerjemahan langsung
(direct translation) bila mereka berasal dari bahasa dan/atau budaya yang
sama.
Berdasarkan paparan yang melatarbelakangi penelitian ini, ada tiga
alasan yang mendasari kajian tentang manifestasi metafora konseptual dalam
teks perumpamaan yang terdapat dalam Injil Lukas. Pertama, teks
perumpamaan yang terdapat dalam Injil menggambarkan aspek dan realitas
kehidupan manusia pada zaman Yesus yang masih sangat relevan dengan
kehidupan masa kini. Teks perumpamaan seperti dipaparkan di atas
merupakan prinsip-prinsip kebenaran Kristiani, sangat kental dengan muatan
budaya, dan tentu saja dalam kegiatan pembacaan teks memerlukan
interpretasi. Perumpamaan sebagai sebuah teks terdiri atas sistem sigifikansi
dan interpretasi harus dilakukan terhadap tanda atau realitas kehidupan yang
terjadi. Kedua, walaupun sudah ada yang mengkaji Injil Lukas, belum ada
satu pun penelitian mengenai kajian penerjemahan metafora untuk teks
perumpamaan menggunakan teori metafora konseptual/kognitif yang melihat
metafora sebagai sebuah fenomena yang melibatkan pikiran dan tindakan
manusia, di samping sebagai sebuah fenomena yang menggunakan bahasa
7
secara figuratif. Kebanyakan penelitian penerjemahan metafora di Indonesia,
khususnya, mempersoalkan penerjemahan teks fiksi (Suryawinata 1982, Hoed
1992). Ketiga, penggunaan Injil Lukas yang sangat intensif dan mentradisi
dalam peribadatan, baik komunitas Yahudi maupun Kristiani, hingga sekarang
ini, sudah sepatutnya dikaji lebih mendalam berkaitan dengan peran
penerjemahan, yang di dalamnya terjadi penafsiran makna secara terus-
menerus.
Melalui PK, ide atau argumen yang disampaikan sesungguhnya
mengikuti pola tertentu. Oleh karena itu, PK bersifat sistemik (Lakoff dan
Johnson, 1980:7). Dapat dikatakan bahwa ada konvensi yang disepakati oleh
anggota masyarakat tertentu tentang konsep yang lazim dan tidak lazim
digunakan dalam berargumentasi secara tertulis. Misalnya, konsep tentang
Firman Allah, Kerajaan Allah, lazim disampaikan secara tertulis dalam teks
perumpamaan yang terdapat dalam Injil Lukas. Seperti yang terdapat dalam
Injil Lukas 8:11, yaitu Now the parable is this: The seed is the word of God,
dan dalam Lukas 13:21 Kingdom of God is like a leaven. Melalui kata RSu
seed dan kingdom of God masing-masing dapat diformulasikan PK: THE
WORD OF GOD IS A SEED, THE KINGDOM OF GOD IS LIKE A LEAVEN.
Yesus, sebagai pembawa kabar keselamatan kepada manusia,
sering menggunakan gaya retoris (rhetorical language/rhetorical device)
dalam menyampaikan ajaran atau tentang sebuah realitas kehidupan yang
sedang terjadi sehingga dapat meyakinkan pembaca, pendengar atau mitra
bicara untuk memengaruhi mereka. Dalam konteks ini, perumpamaan sesuai
8
konteks bahasa Inggris dan budaya yang melatarinya berfungsi sebagai
wacana ( parables as discourse) (Drane, 2005: 11).
Ungkapan metaforis atau penggunaan bahasa dalam wacana
digunakan untuk menyampaikan pesan. Ungkapan metaforis, khususnya
metafora konseptual yang digunakan dalam sebuah wacana memerlukan
pemahaman secara kognitif oleh pembaca (Lakoff dan Johnson 1980),
termasuk juga oleh penerjemah. Penelitian ini menunjukkan bagaimana proses
kognitif terjadi pada penggunaan ungkapan-ungkapan metaforis yang terdapat
dalam perumpamaan Injil Lukas, dan bagaimana ungkapan-ungkapan
metaforis tersebut diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia.
Dalam konteks budaya atau religi, K�vecses (2002: 12)
mengungkapkan bahwa biasanya budaya atau pun religi dipahami melalui
metafora. Dalam konteks ajaran moral, K�vecses (2002:22) mengatakan
bahwa ajaran moral biasanya dipahami melalui metafora. Artinya, teks bidang
religi secara empiris juga kental dengan aplikasi metafora. Ungkapan
metaforis dan kedua PK di atas merupakan wujud dari konvensi yang berlaku
dalam satu masyarakat. Ketika seseorang berbicara tentang religi dia tidak
bisa lepas dari konsep budaya sebagai payungnya.
Kebudayaan dimaknai sebagai konvensi yang berlaku dalam
sebuah masyarakat. Kebudayaan umumnya diwariskan dari satu generasi ke
generasi berikutnya (Kroeber dan Kluckhohn, 1963). Menurut kedua ahli
tersebut, kebudayaan sebagai perilaku manusia terdiri atas tujuh unsur, yaitu
9
(1) kesenian, (2) religi, (3) teknologi, (4) sistem mata pencaharian (sistem
ekonomi), (5) sistem pengetahuan, (6) bahasa, dan (7) sistem kekerabatan.
Aplikasi ajaran moral dalam perumpamaan Injil Lukas
menunjukkan bahwa Tuhan Yesus sepenuhnya mengenal betul keragaman
seluk-beluk kehidupan manusia. Misalnya, tentang pertanian, seperti
perumpamaan seorang penabur (Lukas 8:4-15), perumpamaan pohon ara yang
tidak berbuah (Lukas 13:6-9), perumpamaan tentang pohon ara (Lukas:21:25-
33). Ada pula fenomena sosial, yang dimaksud adalah penyampaian berbagai
argumen tentang ekonomi misalnya yang terdapat dalam Lukas 20: 9-1, yaitu
perumpamaan tentang penggarap-penggarap kebun anggur, perumpamaan
tentang bendahara yang tidak jujur (Lukas 16:1-9). Dalam perumpamaan
bendahara yang tidak jujur ini terlihat jelas aplikasi cara menggunakan uang
dan harta dengan bijaksana, yaitu bagaimana kegiatan meminjamkan uang
oleh seorang bendahara yang tidak jujur yang sebenarnya merupakan
fenomena sosial, digunakan dengan perumpamaan tentang konsep ekonomi
untuk menyampaikan pesan moral yang masih bisa diamati dalam realitas
kehidupan masa kini. Hakim yang tidak benar (Lukas 18:1-8) dan
perumpamaan tentang orang farisi dengan pemungut cukai (Lukas 18:9-14)
juga merupakan fenomena sosial yang bisa diamati dalam realitas sosial
masyarakat masa kini. Dalam konteks ini, para pengkhotbah yang merupakan
pembaca atau orang yang menginterpretasikan (interpreter) teks bidang religi
sangat memegang peranan supaya pesan yang ada dalam teks perumpamaan
10
dalam bentuk metafora sampai dengan baik ke sidang pembaca atau
pendengar.
Penggunaan ungkapan metaforis dalam Lukas 8: 7-8, Lukas 13-19,
berikut masing-masing adalah konsep Firman Allah dan Kerajaan Allah yakni
(1) Some fell on rock; and as soon as it sprang up, it withered away because it
lacked moisture, (2) It is like a mustard seed, which a man took and put in his
garden; and it grew and became a large tree, dan (3) But others fell on good
ground, sprang up, and yielded a crop a hundred-fold. Pada contoh pertama,
dua konsep Firman Allah diidentikkan sebagai benih yang jatuh di tanah yang
banyak menghadapi tantangan (PK: THE WORD OF GOD IS A SEED) dan
memiliki sifat hidup/ tumbuh (PK: THE WORD OF GOD IS A PLANT).
Sebaliknya, dalam contoh kedua, ada dua konsep Kerajaan Allah dianalogikan
dengan biji sesawi yang memiliki sifat hidup/tumbuh, yang pertama adalah
(PK: KINGDOM OF GOD IS A PLANT) dan yang kedua adalah konsep kerajaan
Allah yang dianalogikan dengan pohon (PK: KINGDOM OF GOD IS A TREE).
Dalam contoh ketiga, terdapat dua konsep Firman Allah yang dianalogikan
sebagai benih yang jatuh di tanah yang subur (PK: THE WORD OF GOD IS A
PLANT) yang memiliki sifat tumbuh dan konsep Firman Allah diidentikkan
sebagai benih yang tumbuh dan berbuah.
Lakoff (1993) menyatakan bahwa tidak mudah memahami ide
yang disampaikan oleh penulis teks secara kognitif melalui satu bahasa saja,
apalagi lintas bahasa. Persoalan komunikasi lintas bahasa dan budaya melalui
11
kegiatan penerjemahan metafora dalam teks bidang religi sangat menarik
untuk dikaji.
Fenomena yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana metafora
dalam perumpamaan Injil Lukas berbahasa Inggris diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia. Permasalahan transfer makna lintas bahasa dan budaya
merupakan ranah penerjemahan yang dapat dilakukan dengan pendekatan
semantik. Berkenaan dengan metafora konseptual yang dimaksudkan di sini
adalah metafora yang mengkaji tidak sebatas menyangkut bahasa, tetapi juga
menyangkut penalaran (Malmkjaer, 2010: 62-64). Penerjemahan yang
dipergunakan dalam penelitian ini dibatasi dengan definisi penerjemahan yang
mengatakan bahwa:
translation is an operation performed on languages: a process of substituting a text in one language for a text in another, the theory of translation is concerned with a certain type of relation between languages and is consequently a branch of comparative linguistics (Catford, 1965:20)
Di samping sebagai sebuah proses, penerjemahan dalam kajian
terjemahan dapat dilihat sebagai sebuah produk (Hatim dan Mason, 1990:3-4).
Proses yang dimaksud adalah proses kognitif yang terjadi dalam benak
penerjemah ketika menerjemahkan sebuah teks. Sebagai sebuah produk,
penerjemahan dapat dilihat sebagai sebuah hasil atau sebuah karya terjemahan
dari kegiatan menerjemahkan teks dari bahasa sumber (BS) ke bahasa target
(BT). Oleh karena itu, penerjemah sangat memegang peranan penting dalam
penerjemahan. Dalam melakukan perannya, penerjemah sering diperhadapkan
12
dengan berbagai masalah dan kesulitan termasuk di dalamnya menerjemahkan
ungkapan metaforis sebagai unit terjemahan.
Para pakar terjemahan tampaknya sepakat bahwa analisis teks yang
ideal seharusnya dilakukan pada tataran tekstual (discourse). Nida dan Taber
(1969:152) mengemukakan bahwa fokus dalam penerjemahan adalah pada
tataran paragraf, bahkan dimungkinkan sampai pada tataran wacana. Analisis
teks yang dilakukan pada tataran wacana, proses penerjemahan sebagai salah
satu bentuk tindak komunikasi dapat ditelusuri secara komprehensif (Hatim
dan Mason, 1990:204-207). Untuk penerjemahan metafora khususnya,
Newmark (1988: 207-208) membatasi unit penerjemahan hanya sampai
tataran paragraf.
Dari perspektif penerjemahan metafora ini, terdapat dua pandangan
ekstrem yang saling bertentangan khususnya mengenai keterjemahan metafora
(metaphor translatability). Di satu pihak, beberapa ahli terjemahan seperti
Nida, Vinay dan Darbelnet yang menganggap metafora tidak bisa
diterjemahkan. Di pihak lain, beberapa tokoh, seperti Kloepfer dan Reiss,
menganggap bahwa metafora sebagai bagian dari bahasa, bisa diterjemahkan.
Keterjemahan ini didukung oleh beberapa kajian yang menunjukkan bahwa,
walaupun sebagian metafora harus diterjemahkan secara ekstra hati-hati,
majas ini tetap bisa diterjemahkan. Selain kedua pihak yang saling
berseberangan di atas, tidak sedikit pakar penerjemahan yang tidak mau
terlibat dalam penerjemahan metafora. Sebagai akibatnya, teori dan kajian
tentang penerjemahan metafora yang tersedia sangat minim.
13
Menurut Newmark (1988:104), masalah utama dalam
penerjemahan secara umum adalah pemilihan metode penerjemahan sebuah
teks, dan masalah penerjemahan yang paling sulit adalah penerjemahan
metafora. Terkait dengan masalah penerjemahan metafora, Dagut (1987:24)
menyatakan bahwa paling tidak terdapat tiga penyebab sulitnya penerjemahan
metafora. Pertama, metafora dalam BS merupakan unsur semantik yang baru,
sebagai akibatnya BT tidak memiliki persediaan padanan untuk metafora
tersebut. Kedua, metafora merupakan bagian dari sebuah bahasa yang tidak
terpisahkan dari budaya sehingga kebanyakan metafora sarat dengan nilai-
nilai budaya. Berkenaan dengan hal tersebut, metafora hanya dapat dipahami
jika nilai-nilai yang terkait dengan metafora telah terlebih dahulu dipahami.
Ketiga, metafora merupakan sarana untuk mengungkapkan makna secara
kreatif, singkat, dan padat. Oleh karena itu, agar mampu menerjemahkan
metafora, penerjemah dituntut mampu menulis secara kreatif.
Sehubungan dengan masalah penerjemahan metafora, Larson
(1998: 275-276) menjelaskan enam penyebab sulitnya memahami dan
menerjemahkan metafora. Pertama, citra yang digunakan dalam metafora
mungkin tidak lazim dalam BT. Misalnya, ungkapan white as snow tidak
begitu dipahami oleh penutur bahasa Indonesia. Ungkapan tersebut lebih baik
diterjemahkan “seputih kapas.” Kedua, topik metafora tidak selalu dinyatakan
dengan jelas. Misalnya, ungkapan the tide turned against the government, sulit
dipahami pembaca karena the tide mengacu pada “opini publik.” Ketiga, titik
kesamaan kadang-kadang implisit sehingga sulit diidentifikasi atau
14
mengakibatkan pemahaman yang berbeda bagi penutur bahasa lain. Sebagai
contoh, ungkapan He is a pig bisa dipahami menjadi “Dia jorok,” atau “Dia
rakus,” dalam budaya tertentu. Keempat, perbedaan budaya BS dan BT dapat
menimbulkan penafsiran yang berbeda terhadap titik kesamaan. Kelima, BS
mungkin tidak membuat perbandingan seperti yang terdapat dalam metafora
teks sumber. Misalnya, bahasa Inggris mengungkapkan “perdebatan yang
sengit” dengan ungkapan storm, seperti dalam There was a storm in the
parliament yesterday. Bahasa lain mungkin menggunakan fire bukan storm
untuk menyatakan hal yang sama. Keenam, setiap bahasa memiliki perbedaan
dalam penciptaan dan penggunaan ungkapan.
Berdasarkan kajiannya atas beberapa bagian Injil berbahasa Ibrani
dan terjemahannya dalam bahasa Inggris, Larson (1998:17) menyebutkan dua
faktor yang menentukan keterjemahan metafora. Pertama, pengalaman
kultural khusus dan asosiasi semantik yang dieksploitasi oleh metafora
tersebut. Jika vehicle (topik) sebuah metafora sarat dengan muatan budaya
dan asosiasi semantik yang spesifik, metafora tersebut tidak bisa
diterjemahkan. Kedua, faktor linguistik. Jika sebuah metafora mengandung
unsur-unsur leksikal spesifik yang tidak bisa diproduksi dalam bahasa target,
metafora tersebut tidak bisa diterjemahkan.
Senada dengan hal di atas, Van den Broeck (1981) memaparkan
bahwa kaidah penerjemahan teks secara umum berlaku juga pada
penerjemahan metafora. Namun, mengingat hakikat metafora yang memiliki
kekhususan, kaidah berikut dapat diterapkan pada penerjemahan metafora: (1)
15
tingkat keterjemahan tinggi jika BS dan BT merupakan “jenis” bahasa yang
dekat, dengan catatan poin kedua dan ketiga berikut terpenuhi, (2) tingkat
keterjemahan tinggi, apabila BS dan BT memiliki kontak, (3) tingkat
keterjemahan tinggi jika evolusi kebudayaan secara umum pada BS dan BT
sejajar, dan (4) tingkat keterjemahan rendah bila penerjemahan melibatkan
lebih dari satu jenis informasi. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa
sebuah teks yang mengandung satu informasi lebih mudah diterjemahkan
daripada teks dengan jenis informasi yang lebih dari satu.
Snell-Hornby (1955:41), yang mengadopsi dan mengembangkan
model Van den Broeck, menekankan bahwa keterjemahan sebuah metafora
tidak dapat ditentukan hanya melalui “seperangkat kaidah yang abstrak,”
tetapi tergantung pada struktur dan fungsi metafora dalam teks yang
dikerjakan. Tingkat keterjemahan sebuah metafora ditentukan oleh tingkat
kekhususan budaya teks sasaran serta jarak geografis dan waktu pemisah latar
belakang budaya antara BS dan BT.
Berdasarkan prosedur yang ada, terlihat bahwa keunikan membuat
penerjemahan setiap metafora perlu diawali dengan pemilahan elemen-elemen
yang ada, kemudian, analisis dilakukan terhadap unsur-unsur tersebut untuk
memperoleh pemahaman linguistik, kultural, dan konteks eksternal maupun
internal lainnya.
Elemen-elemen yang terlibat dalam proses komunikasi lintas
budaya seperti teks sumber, penerjemah sebagai pembaca dan juga sebagai
penulis teks sasaran serta pembaca memiliki tujuan dan fungsi masing-masing.
16
Dengan perkataan lain, norma penerjemahan (translation norms) sangat
relevan karena secara teoretis norma itu mengikat semua elemen tersebut
(Chesterman, 1993: 18; Malmkjaer, 1998:2). Yang dimaksud dengan norma
penerjemahan sesuai dengan yang dikemukakan oleh Toury (1995:4), yakni
the translation of general values or ideas shared by a group, as to what is conventionally right or wrong, adequate and inadequate, into performance instructions appropriate for and applicable to particular situations.
Norma yang tersirat di sini adalah apa yang dianjurkan dan apa yang dilarang
termasuk campur tangan penerjemah, apa yang ditoleransi dan diperbolehkan.
Dengan lain kata, bagaimana proses dan produk sebuah karya terjemahan
sebagai hasil dapat dinilai kualitasnya dan dampak yang ditimbulkan terhadap
pembaca (Baker 1998: 163-165). Penilaian seharusnya dilakukan dengan cara
menganalisis produk terjemahan (teks sasaran) sesuai dengan fungsi (teks
sumber) dan konteks situasi di tempat teks itu digunakan (House, 1997:42;
Hatim, 1997:29-31).
Oleh karena itu, penelitian ini juga mengkaji produk terjemahan
perumpamaan dalam Injil Lukas dari bahasa Inggris /BS ke dalam bahasa
Indonesia /BT. Aspek yang dikaji adalah karya terjemahan (aspek objektif)
dan efek yang ditimbulkannya pada pembaca sasaran (aspek afektif).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan alasan-alasan yang melatarbelakangi penelitian ini,
masalah dapat dirumuskan sebagai berikut:
17
(1) kategori metafora konseptual apa sajakah yang terdapat pada
perumpamaan Injil Lukas?
(2) teknik, prosedur, dan metode penerjemahan apa sajakah yang
diterapkan oleh penerjemah dalam menerjemahkan metafora
konseptual bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia pada
perumpamaan Injil Lukas?
(3) ideologi penerjemahan apakah yang dianut oleh penerjemah dalam
menerjemahkan metafora konseptual dari bahasa Inggris ke dalam
bahasa Indonesia pada perumpamaan Injil Lukas?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian adalah suatu pencarian yang bersifat sistematis untuk
menemukan jawaban dari suatu permasalahan. Demikian pula halnya dengan
penelitian ini yang memiliki dua tujuan, yaitu tujuan umum dan khusus, yang
dapat diuraikan seperti berikut.
1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum bertujuan:
(1) mengembangkan penelitian terjemahan terhadap teks perumpamaan
yang terdapat dalam Injil;
(2) memanfaatkan kajian terjemahan dalam menganalisis metafora
konseptual, baik dalam bahasa Inggris maupun dalam bahasa
Indonesia; dan
18
(3) menemukan prosedur, teknik, metode, dan ideologi penerjemahan
yang paling tepat dalam menerjemahkan metafora konseptual bahasa
Inggris ke dalam bahasa Indonesia.
1.3.2 Tujuan Khusus
Selain tujuan umum, penelitian ini mempunyai tujuan khusus berdasarkan
masalah yang telah dirumuskan seperti berikut:
(1) mengategorikan metafora konseptual yang terdapat pada perumpamaan
Injil Lukas;
(2) mendeskripsikan dan menganalisis teknik, prosedur, dan metode yang
diterapkan oleh penerjemah dalam menerjemahkan metafora konseptual
bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia pada perumpamaan Injil
Lukas; dan
(3) mendeskripsikan dan menganalisis ideologi penerjemahan yang dianut
oleh penerjemah dalam menerjemahkan metafora konseptual dari
bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia pada perumpamaan Injil
Lukas.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, baik pada tataran
teoretis yang berkaitan dengan studi terjemahan maupun pada tataran
praktis. Manfaat-manfaat tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
19
1.4.1 Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis yang dapat diberikan oleh penelitian ini adalah:
(1) berkontribusi dalam mengembangkan model kajian pemetaan
konseptual metafora serta interpretasinya;
(2) memperkaya teori penerjemahan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa
Indonesia, khususnya yang menyangkut prosedur, teknik, metode, dan
ideologi penerjemahan metafora konseptual; dan
(3) memperkuat argumen bahwa sistem kepercayaan dan sistem nilai
(ideologi) yang dianut oleh penerjemah dan pembaca sasaran akan
berpengaruh terhadap metode dan ideologi penerjemahan.
1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis yang dapat diberikan oleh penelitian ini adalah:
(1) mengungkapan kelebihan dan keterbatasan terjemahan metafora
konseptual dalam Injil Lukas, yang nantinya bermanfaat dalam
memperbaiki terjemahan Injil;
(2) menyediakan data dan informasi tentang metafora konseptual
bahasa Inggris yang terdapat dalam Injil Lukas dan terjemahannya
dalam bahasa Indonesia, yang dapat dijadikan pijakan dalam
meneliti terjemahan Injil;
(3) memberikan masukan kepada penerjemah tentang pemetaan
konseptual yang perlu dipertimbangkan dalam penerjemahan Injil;
dan
20
(4) pemacu peneliti-peneliti lainnya untuk mengkaji kekhasan dan
karakteristik bahasa Injil dan terjemahannya dalam bahasa
Indonesia.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Sesuai dengan jangkauan permasalahan yang diajukan dalam
penelitian ini, ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada hal yang berikut.
Pertama, mengategorikan metafora konseptual menggunakan pemetaan
konseptual, yaitu relasi antara RSu dan RSa yang meliputi kategori
metafora orientasional, metafora ontologis, dan metafora struktural pada
perumpamaan Injil Lukas. Kedua, mendeskripsikan dan menganalisis
penerapan teknik, prosedur, metode penerjemahan metafora konseptual
dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia pada perumpamaan Injil Lukas.
Ketiga, penelitian ini juga dibatasi pada ideologi penerjemahan yang
dianut oleh penerjemah dalam menerjemahkan metafora konseptual dari
bahasa Inggris ke bahasa Indonesia pada perumpamaan Injil Lukas.
21
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
Dalam bab ini dipaparkan objek kajian yang terdiri atas empat
subbab. Subbab pertama, yaitu kajian pustaka, yang mengulas beberapa
hasil penelitian yang sudah pernah dilakukan serta memiliki relevansi
dengan penelitian penerjemahan metafora konseptual dalam teks
perumpamaan Injil Lukas. Subbab yang kedua menguraikan konsep
dasar yang meliputi konsep metafora konseptual, konsep strategi
penerjemahan, konsep metode penerjemahan, dan ideologi
penerjemahan. Subbab ketiga, yaitu landasan teori, yang digunakan
secara eklektik sebagai alat untuk menganalisis data penelitian. Subbab
keempat adalah model konseptual. Subbab kelima merupakan model
penelitian dalam bentuk bagan yang menggambarkan alur penelitian ini.
2.1 Kajian Pustaka
Kajian pustaka merupakan langkah guna membuka wawasan,
menyampaikan gagasan, menemukan apa yang sudah diketahui serta
metodologi yang diterapkan. Kajian pustaka yang diuraikan dalam
penelitian ini terdiri atas dua bagian, yaitu bagian yang pertama terkait
dengan hasil penelitian penerjemahan, khususnya penerjemahan
22
metafora dan aplikasi metodologis yang memiliki relevansi dengan konsep-
konsep metodologis tentang arah dan model kerangka teoretis yang mendukung
penelitian. Bagian kedua merupakan hasil penelitian perumpamaan yang memiliki
kontribusi dalam memperkaya kerangka berpikir.
Penelitian terjemahan sebagai sebuah produk memfokuskan penelitian
terjemahan sebagai objek kajian. Masalah tentang teknik, prosedur, metode, dan
ideologi menjadi isu sentral dalam penelitian-penelitian terjemahan. Aspek
terjemahan yang dikaji pada penelitian produk bervariasi seperti kajian yang
berfokus pada linguistik mulai dari tataran kata sampai pada tataran teks. Berikut
dikaji hasil-hasil penelitian dan artikel-artikel yang menerapkan analisis
penelitian dalam Alkitab khususnya fokus analisis penelitian dan artikel yang
dikaji adalah bahasa Alkitab dan bagian lainnya yaitu penelitian terjemahan novel
dan buku teks ekonomi yang memiliki relevansi dengan penelitian ini.
Tinjauan pustaka pertama adalah tentang penerjemahan teks karya sastra
(fiksi) yang dikaji oleh Hasan (2000) yang meneliti penerjemahan metafora dari
tiga buah novel dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Hasan mengkaji
tentang identifikasi terhadap jenis ketidakcocokan kolokasi dan jenis
perbandingan yang membentuk metafora dalam TSu, kajian bentuk terjemahan
metafora TSu dalam TSa, kesepadanan metafora TSu dan terjemahannya dalam
TSa, identifikasi prosedur penerjemahan yang digunakan oleh penerjemah untuk
menerjemahkan metafora TSu ke dalam TSa, identifikasi berbagai faktor
penyebab tercapai atau tidak tercapainya kesepadanan metafora TSu dan TSa dan
kesesuaian antara metode penerjemahan dan jenis teks yang diterjemahkan.
23
Penelitian Hasan memberikan kontribusi terhadap penelitian disertasi peneliti.
Namun, kelemahan penelitian itu ialah tidak mengkaji aspek metafora konseptual
dari teks yang diteliti, sedangkan dalam penelitian ini peneliti mengkaji
terjemahan metafora konseptual yang terdiri atas (1) metafora orientasional, (2)
metafora ontologis, dan (3) metafora struktural.
Tinjauan pustaka kedua adalah kajian terjemahan tentang penerjemahan
metafora konseptual yang pernah dilakukan oleh Karnedi (2010) yang mengkaji
aplikasi metafora konseptual dalam buku teks bidang ekonomi dan bagaimana
penerjemah mengatasi masalah penerjemahan berbagai jenis metafora konseptual.
Disertasi Karnedi itu menguraikan tentang kajian penerjemahan metafora
konseptual dari bahasa sumber (bahasa Inggris) ke bahasa sasaran (bahasa
Indonesia) sebagai studi kasus penerjemahan buku teks bidang ekonomi.
Penelitiannya memfokuskan analisis aplikasi metafora konseptual dalam buku
teks bidang ekonomi dan bagaimana penerjemah mengatasi masalah
penerjemahan berbagai kategori/ jenis metafora konseptual dari bahasa Inggris ke
bahasa Indonesia. Penelitian tersebut memberikan kontribusi terhadap kajian
penerjemahan dalam penelitian ini berdasarkan sejumlah prosedur metafora
konseptual dan teknik penerjemahan yang digunakan. Namun, ada kelemahan
penelitian ini bahwa Karnedi tidak mengkaji aspek gaya bahasa dan tidak melihat
subjek penelitian. Karnedi (2010) tidak secara eksplisit memaparkan strategi yang
diterapkan dalam menganalisis realitas kehidupan khususnya ekonomi yang
menjadi latar timbulnya metafora dalam teks bidang (buku) ekonomi dalam
penelitiannya. Sebaliknya, penelitian yang peneliti lakukan ini lebih
24
memfokuskan persoalan metafora konseptual yang hadir dari realitas kehidupan
manusia dan strategi penerjemahan metafora yang menjadi isu sentral yang perlu
dipaparkan di samping penerjemahan metafora.
Tinjauan pustaka ketiga adalah penelitian penerjemahan yang berorientasi
pada produk yang pernah dilakukan oleh Hartono (2011). Dalam disertasinya
yang berjudul “Penerjemahan Idiom dan Gaya Bahasa (Metafora, Kiasan,
Personifikasi, dan Aliterasi) dalam Novel “To Kill a Mockingbird” Karya Harper
Lee dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia (Pendekatan Kritik Holistik), ia
mengkaji berdasarkan hasil karya terjemahan (faktor objektif), latar belakang
penerjemah (faktor genetik), dan respon khalayak pembaca hasil terjemahan
(faktor afektif). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa (1) idiom diterjemahkan
dengan metode penerjemahan idiomatik, sedangkan gaya bahasa lainnya
cenderung diterjemahkan dengan metode penerjemahan harfiah; (2) teknik yang
digunakan dalam penerjemahan gaya bahasa adalah teknik langsung dan tidak
langsung; dan (3) ideologi yang diterapkan dalam penerjemahan gaya bahasa
lebih banyak menggunakan ideologi domestikasi. Persamaan orientasi terhadap
produk terjemahan yang membuat penelitiannya memiliki kemiripan dengan
penelitian ini. Persamaan lainnya terletak pada strategi penerjemahan yang
diterapkan. Namun, ada perbedaan dengan penelitian ini yang perlu dipaparkan di
sini, yaitu penelitian ini lebih berfokus pada penerjemahan metafora konseptual
yang melihat metafora tidak sebatas yang imajinatif-puitis, retoris. Seperti
diketahui, aktivitas penerjemahan metafora tidak hanya melibatkan kebahasaan,
tetapi juga melibatkan pikiran dan tindakan manusia.
25
Tinjauan pustaka keempat adalah tesis Asrul Munazar (2012) yang
mengkaji tentang perumpamaan Yesus dalam Injil Lukas, kajian tentang bentuk
dan fungsi, latar belakang budaya dan transformasi penerjemahan. Dalam
tesisnya, ia menguraikan tentang kajian bentuk dan fungsi perumpamaan serta
transformasi penerjemahan dari bahasa sumber (bahasa Inggris) ke bahasa
sasaran (bahasa Indonesia), sedangkan latar belakang budaya merujuk pada
budaya Yahudi lama. Penelitian itu memfokuskan analisis kontekstual yang
mengungkapkan maksud dari perumpamaan dan melihat transformasinya dalam
penerjemahan dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Penelitian Asrul
tersebut memberikan kontribusi terhadap kajian bentuk dan fungsi dalam ranah
teori penelitian ini. Namun, ada kelemahan dalam penelitian tersebut, peneliti
tidak mengkaji aspek gaya bahasa dan tidak melihat subjek penelitian, serta efek
yang ditimbulkan terjemahan terhadap pembaca sasaran. Peneliti tersebut tidak
secara eksplisit memaparkan strategi yang diterapkan dalam menganalisis latar
belakang budaya dalam penelitiannya. Sebaliknya, dalam penelitian ini peneliti
lebih memfokuskan persoalan metafora konseptual dan strategi penerjemahan
metafora konseptual menjadi isu sentral yang perlu dipaparkan.
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Harmelik (2012) dengan tajuk
“Lecixal Pragmatics and Hermeneutical Issues in the Translation of Key
Terms”. Ia menyoroti penerjemahan yang melibatkan di antaranya usaha untuk
mengomunikasikan kata-kata dari suatu bahasa ke bahasa lainnya. Bagian
penting dari penerjemahan Bible terkait dengan penerjemahan istilah-istilah
kunci dalam Alkitab. Apakah kata yang benar-benar diterjemahkan atau konsep
26
yang berasosiasi dengan kata-kata tersebut yang diterjemahkan? Apakah
beralasan untuk mengharapkan bahwa penerjemahan yang akan dijumpai
merupakan kata dalam satu bahasa yang akan mengomunikasikan ”makna yang
sama” sebagai kata lain dalam bahasa yang lain, atau meminjam kata apabila
diperlukan? Apakah hubungan antara kata dan makna? Bagaimana perbedaan-
perbedaan sense atau perbedaan-perbedaan kata diikat bersama-sama dalam satu
kata? Apakah yang akan dibicarakan konsep kunci Bible atau istilah-istilah kunci
Bible sebagai tujuan dari apa yang dimaksud berkomunikasi dalam terjemahan?
Artikel itu menggambarkan kajian dari ranah leksikal pragmatik yang mengkaji
tentang realitas dan strategi dalam penerjemahan berdasarkan prinsip-prinsip
representations, underdeterminacy, dynamic context, dan relevance. Penelitian
tersebut memiliki relevansi dengan objek kajian yang digarap, dalam peneliti ini,
khususnya permasalahan nomor dua dan tiga dari penelitian yang dilakukan ini.
Kajian lainnya, yakni artikel yang berjudul “The Blibical Story Retold:
Symbols in Action a cognitive linguistic perspective” dari K�vecses (2012).
Dalam artikel ini K�vecses memetakan metafora konseptual terhadap “The
Apostles’ Creed (Pengakuan Iman Rasuli)”. Dalam pandangannya metafora dan
metonimia yang diidentifikasikan memegang peranan penting dalam interpretasi
the Biblical symbols and story yang dikategorikan menjadi dua, yakni (1)
metafora yang dipetakan secara konseptual, yaitu CAUSE IS PROGENERATION,
LIFE IS LIGHT, LIFE IS BREATH, IDEAS ARE FOOD, MORALITY IS ACCOUNTING,
LIFE IS A JOURNEY, COMMUNICATION IS SENDING; (2) metonimi yang
dipetakan secara konseptual, yaitu A MEMBER OF A CATEGORY FOR THE
27
WHOLE CATEGORY, THE INSTRUMENT FOR THE AGENT USING THE
INSTRUMENT PART FOR WHOLE, A PROPERTY OF A CATEGORY FOR THE
WHOLE CATEGORY, EMOTIONAL BEHAVIOR FOR EMOTION, CAUSE FOR
EFFECT, EFFECT FOR A CAUSE. Dekontekstualisasi metafora dan metonimia
yang digarisbawahi dalam kajian ini adalah simbol dan kisah dalam Alkitab, di
mana simbol-simbol tersebut diinterpretasikan. Bahasa dapat dilihat sebagai
sistem simbol dalam hal bentuk dan makna. Sistem simbol pada tingkat yang
lebih tinggi didasarkan pada bahasa sebagai sistem simbol religi. Dengan kata
lain, dapat dikatakan bahwa religi merupakan sistem simbol yang lebih tinggi
yang terdiri atas konsep metafisika (transcendental). Kajian tersebut menjadi
sangat identik dengan pembahasan masalah nomor satu peneilitian.
2.2 Konsep
Konsep memberikan batasan terhadap terminologi teknis yang
merupakan komponen dari kerangka teori. Ada beberapa konsep yang memiliki
relevansi dengan topik penelitian ini, yaitu konsep metafora konseptual, konsep
strategi penerjemahan metafora, konsep metode penerjemahan, dan konsep
ideologi penerjemahan. Konsep-konsep tersebut dipaparkan sebagai berikut.
(1) Metafora Konseptual
Metafora konseptual yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
metafora konseptual yang digagas oleh Lakoff dan Johnson (1980, 1993, 2003),
K�vecses (2005, 2006). Lakoff dan Johnson (2003:3) menyatakan bahwa
metafora merefleksikan apa yang dialami, dirasakan, dan apa yang dipikirkan
dalam kehidupan sehari-hari. Metafora bukan hanya sebagai alat untuk
28
menyatakan ide melalui bahasa, tetapi alat untuk memikirkan sesuatu. Lakoff dan
Johnson (dalam Ungerer dan Schmid, 1996:118) mengemukakan bahwa kita tidak
hanya menggunakan metafora +TIME IS MONEY+ secara linguistik, tetapi
memikirkannya atau mengonseptualisasikannya sehingga dapat diibaratkan TIME
sebagai ranah target dan MONEY sebagai ranah sumber, yang dipikirkan sebagai
komoditi yang berharga dan sumber yang terbatas. Dengan cara pandang seperti
itu, muncullah ungkapan metaforis seperti You’re wasting my time, Can you give
me a few minutes? How do you spend your time? Dengan contoh itu dapat
dikatakan bahwa bahasa yang digunakan merupakan bukti secara sistematis cara
manusia mengonseptualisasikan apa yang dipikirkan, dialami, dan apa yang
dilakukan.
(2) Strategi Penerjemahan
Konsep strategi dalam penelitian ini identik dengan konsep metode yang
digunakan Vinay dan Darbelnet (dalam Venuti, ed., 2000:84-93), prosedur oleh
Newmark (1988:68-93), dan penyesuaian (adjustment) oleh Nida (1964) dan
Larson (1998), serta teknik oleh Molina dan Albir (2002), yakni suatu cara
mencapai kesepadanan antara TSu dan TSa. Walaupun Vinay dan Darbelnet
(dalam Venuti, ed., 2000:84-93), dan Baker (1991) tidak membedakan metode
dengan prosedur, Newmark (1988) dan Machali (2000) menilai perbedaan antara
metode dan prosedur terletak pada satuan penerapannya.
(3) Metode Penerjemahan
Metode penerjemahan menurut Newmark (1988) dan Machali (2000)
berlaku untuk keseluruhan teks, sedangkan prosedur berlaku untuk kalimat dan
29
satuan-satuan bahasa yang lebih kecil (seperti klausa, frasa, kata). Oleh karena
itu, Baker (1991:17) menilai pilihan padanan selalu tergantung tidak hanya pada
sistem bahasa atau sistem yang sedang ditangani oleh seorang penerjemah, tetapi
juga pada bagaimana cara, baik penulis teks sumber maupun penerjemah,
memanipulasi sistem bahasa yang bersangkutan. Dalam hal ini, penerjemahan
menjadi tidak bisa terlepas dari campur tangan penerjemah dan memiliki
dinamika.
(4) Ideologi Penerjemahan
Secara etimologis, ideologi berasal dari kata ideo yang berarti gagasan-
gagasan dan logos yang berarti ilmu. Thompson (2003), Storey (2004)
menyatakan bahwa ideologi menunjuk pada kasadaran atau keyakinan atau
pendirian tentang pemikiran atau pandangan tertentu.
Ideologi penerjemahan dapat dipahami, baik melalui proses maupun
produk penerjemahan yang saling berkaitan. Ada dua ideologi di dalam
penerjemahan: yang pertama, ideologi yang mengatakan bahwa terjemahan yang
baik adalah terjemahan yang mengacu pada bahasa sasaran; ideologi ini disebut
domestikasi. Domestikasi adalah strategi penerjemahan yang dilakukan ketika
istilah asing dan tidak lazim dari teks bahasa sumber akan menjadi hambatan atau
kesulitan bagi pembaca bahasa sasaran dalam memahami teks (Mazi-Leskovar,
2003:5). Sebaliknya, yang kedua mengatakan bahwa terjemahan yang baik adalah
terjemahan yang mengacu pada bahasa sumber, atau dengan kata lain, teks
terjemahan yang baik adalah teks terjemahan yang masih mempertahankan
bentuk-bentuk bahasa sumber termasuk unsur-unsur kulturalnya; ideologi ini
30
disebut foreignisasi. Foreignisasi pada konteks penerjemahan adalah upaya
mempertahankan apa yang asing dan tidak lazim pada konteks bacaan pembaca
target, tetapi merupaka hal yang lazim, unik, dan khas dari budaya bahasa sumber
(Mazi-Leskovar, 2003:5). Menurut penganut ini, terjemahan yang bagus adalah
terjemahan yang tetap mempertahankan gaya, dan cita rasa kultural bahasa
sumber. Menurut penganut ini, mempertahankan apa yang terdapat pada teks
bahasa sumber adalah simbol “kebenaran”.
2.3 Landasan Teori
Beberapa teori yang digunakan untuk menjawab dan memecahkan
permasalahan dalam penelitian ini. Teori-teori tersebut adalah teori semantik dari
Palmer (2001), teori metafora konseptual oleh Lakoff dan Johnson (1980, 1993,
2003), dan K�vecses (2005, 2006), teori penerjemahan dari Newmark (1988),
Larson (1998), Vinay & Darbelnet (1958, 2000), dan Molina dan Albir (2002),
teori ideologi penerjemahan dari Venuti (1995), Tymoczko (2003), Hoed (2003),
dan Munday (2007, 2008).
Teori semantik dari Palmer (2001), teori metafora konseptual dari Lakoff
dan Johnson (2003), dan K�vecses (2005, 2006) dipergunakan untuk
menganalisis kategori metafora konseptual yaitu permasalahan nomor satu, dalam
penelitian ini. Teori tentang penerjemahan dari Newmark (1988) dan Larson
(1998) dipergunakan untuk menganalisis prosedur penerjemahan metafora
konseptual dalam perumpamaan Injil Lukas. Teori penerjemahan dari Vinay &
Darbelnet (1958, 2000) dan Molina dan Albir (2002) dipergunakan untuk
31
menganalisis teknik penerjemahan metafora konseptual, yakni permasalahan
nomor dua, dalam penelitian ini. Teori ideologi penerjemahan dari Venuti (1995),
Tymoczko (2003), (Hoed (2003), dan Munday (2007, 2008) dipergunakan untuk
menganalisis permasalahan nomor tiga, yaitu ideologi yang dianut oleh
penerjemah dalam menerjemahkan metafora konseptual dalam perumpamaan Injil
Lukas.
2.3.1 Teori Semantik
Palmer (2001:1) menyatakan bahwa semantik adalah “the technical term
used to refer to the study of meaning and since meaning is a part of language,
semantics is a part of linguistics”, “istilah yang mengacu pada studi tentang
makna dan karena makna adalah bagian dari bahasa, maka semantik adalah bagian
dari linguistik”. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa semantik adalah ilmu
yang menelaah lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna,
hubungan makna yang satu dengan makna yang lain dan pengaruhnya terhadap
manusia dan masyarakat, menelaah makna-makna kata.
Kata semantik disepakati sebagai sebuah istilah di bidang linguistik yang
mempelajari hubungan tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya.
Hal ini sejalan dengan pandangan Saussure (1966) yang mengemukakan bahwa
tanda linguistik terdiri atas: (1) komponen yang mengartikan, yang berwujud
bentuk-bentuk bunyi bahasa, dan (2) komponen yang diartikan atau makna dari
komponen yang pertama. Kedua komponen tersebut adalah Tanda, sedangkan
32
yang ditandai merupakan sesuatu yang berada di luar bahasa, yang biasa disebut
Referen atau hal yang ditunjuk.
Ogden dan Richards (1923) menyatakan bahwa semantik mengkaji
hubungan antara kata dan konsep atau makna dari sebuah kata, serta benda atau
hal yang dirujuk oleh makna itu yang berada di luar bahasa. Hubungan antara
ketiganya disebut hubungan referensial.
Konsep makna yang dikemukakan oleh Ogden dan Richards (1923)
menjelaskan hubungan antara kata, makna dan referen. Sebuah kata/leksem
mengandung makna atau konsep. Makna atau konsep bersifat umum, sedangkan
sesuatu yang dirujuk, yang berada di luar bahasa, bersifat tertentu.
Untuk memahami semantik lebih dalam, seseorang yang akan belajar
semantik haruslah dapat memahami beberapa sifat bahasa yang salah satunya
adalah bahasa bersifat arbitrer. Sifat arbitrer dalam bahasa ini menurut Chaer
(1989:32) diartikan bahwa tidak ada hubungan spesifik antara deretan fonem
pembentuk kata dengan maknanya. Dengan demikian, tidak ada hubungan
langsung antara yang diartikan (signifie) dengan yang mengartikan (signifiant).
Dikatakan oleh Chaer (1989:29) bahwa setiap tanda linguistik terdiri atas unsur
bunyi dan unsur makna. Kedua unsur tersebut merupakan unsur dalam bahasa
(intralingual) yang biasanya merujuk pada suatu referen yang merupakan unsur di
luar bahasa (ekstralingual). Misalnya, tanda linguistik kursi, tanda ini terdiri atas
unsur makna atau diartikan “kursi.” Tanda kursi ini mengacu pada suatu referen
yang berada di luar bahasa, yaitu kursi sebagai salah satu perabot rumah tangga
yang biasanya digunakan untuk duduk. Dengan demikian, kata “kursi” adalah hal
33
yang menandai (tanda linguistik) dan sebuah kursi sebagai perabot (konsep)
adalah hal yang ditandai.
Ruang lingkup kajian tentang makna sangatlah luas. Masalah yang
diangkat sebagai salah satu bahan kajian dalam penelitian ini adalah tentang
makna yang ada dalam ranah semantis, yaitu makna figuratif, khususnya satu dari
jenis bahasa figuratif, yakni metafora konseptual. Terkait dengan hal tersebut,
peranan teori semantik di dalam penelitian ini ialah untuk menganalisis makna
tanda khususnya tanda-tanda verbal yang ditemukan dalam setiap data dalam
penelitian ini.
2.3.2 Teori Metafora Konseptual
Secara etimologis, kata metaphora dalam bahasa Yunani terdiri atas dua
kata, yaitu meta ‘di atas’ dan pherein yang berarti ‘membawa’ (McGlone, 2007).
Teori metafora secara garis besar ada dua, yaitu teori metafora tradisional yang
sudah banyak dikenal, dan teori metafora konseptual. Dalam penelitian ini
digunakan teori metafora konseptual yang dikemukakan oleh Lakoff dan Johnson
(1980, 1993, 2003) dan didukung oleh teori metafora konseptual, yang
dikembangkan oleh K�vecses (2005, 2006), dipergunakan untuk mengkaji
aplikasi metafora teks perumpamaan dalam Injil Lukas dan untuk menganalisis
permasalahan nomor satu dari penelitian ini.
Menurut Lakoff (1993), metafora konseptual bisa juga disebut
conceptual theory of metaphor/conceptual metaphor theory/a cognitive theory of
metaphor/the contemporary of metaphor). Menurut teori tersebut, metafora hadir
34
dalam kehidupan sehari-hari. Kehadirannya bukanlah sekadar fenomena bahasa
semata, melainkan juga hadir dalam pikiran dan tindakan manusia (Lakoff dan
Johnson, 1980:3). Esensi metafora adalah bagaimana pembaca memahami dan
mengalami (berdasarkan pengalaman) satu hal (konsep) melalui konsep yang lain,
seperti dinyatakan pada kutipan berikut: “the essence of metaphor is
understanding and experiencing one kind of thing in terms of another” (Lakoff
dan Johnson, 1980:5). Dari kutipan tersebut dapat dikatakan bahwa metafora
merupakan satu cara bagaimana pembaca memahami satu ranah pengalaman
(RSa) melalui ranah pengalaman yang lain yang lebih mudah dipahami atau yang
sudah dikenal (RSu). Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa metafora
merupakan relasi antardomain dalam sistem konseptual manusia (Lakoff,
1993:203). Lakoff dan Johnson (2003:3) menyatakan bahwa metafora
merefleksikan apa yang dialami, dirasakan, dan apa yang dipikirkan dalam
kehidupan sehari-hari.
Batasan tersebut kemudian dipertegas oleh beberapa ahli metafora seperti
yang diungkapkan oleh Black dan dipertegas oleh Ungerer dan Schmidt
(1996:118), bahwa metafora bertindak sebagai alat kognitif. Hal ini sejalan
dengan Saeed (2003:342), yang mendukung pendapat ini, yang mengatakan
bahwa bahasa merupakan daerah mental dan kemampuan linguistik yang
didukung oleh bentuk khusus. Metafora bukan hanya untuk menyatakan ide
melalui bahasa, namun juga alat untuk memikirkan sesuatu. Metafora konseptual
didasarkan pada pendekatan kognitif, argumen yang mendasari pendekatan yang
dimaksud adalah bahwa aplikasi metafora bukanlah bersifat dekoratif semata,
35
melainkan menjadi dasar bagi proses berpikir dalam masyarakat. Lakoff dan
Johnson (2003:4) mengemukakan bahwa bahasa menunjukkan bagaimana
manusia mengonstruksikan idenya, dengan menunjukkan suatu metafora
ARGUMENT IS WAR. Metafora tersebut diformulasikan dari bahasa sehari-hari
berdasarkan yang dilakukan dan dialami dalam berargumentasi, misalnya I
demolished his argument, I’ve never won an argument with him, He shot down
all my arguments. Formulasi bahwa argumen adalah perang dibangun dari apa
yang dilakukan ketika berdebat atau berargumentasi. Ketika berargumentasi
seseorang melakukan hal seperti sedang berperang, sehingga digunakan kata
menyerang argumen atau pendapat, mempertahankan ide, merobohkan argumen,
mengalahkan; dan hal itu terjadi ketika perang. Collins dan Quilillian (dalam Jay,
2003:108) juga menjelaskan bahwa manusia memiliki tidak hanya leksikon
mental, tetapi juga memori semantik yang dapat digunakan kapan saja dibutuhkan
dengan cara mengaktifkannya. Memori semantik adalah bagian memori yang
berisi kata, konsep, dan fakta tentang dunia. Lakoff (1993) mengatakan bahwa
pemahaman terhadap metafora konseptual yang berasimilasi dengan konsep target
mencontohkan kata love menjadi konsep sumber konkret sebagai container dan
journey. Metafora konseptual LOVE IS A CONTAINER berkorespondensi dengan
hubungan cinta dan wadah, serta antara lovers dan entitas di dalam container.
Korespondensi tersebut diekspresikan melalui ungkapan We are in love; We fell
out love; dan We are trapped in this relationship. Sementara itu, metafora
konseptual LOVE IS A JOURNEY berkorespondensi antara lovers dan travelers,
hubungan cinta dan kendaraan yang digunakan ketika traveling, masalah dalam
36
hubungan dan hambatan dalam perjalanan dan sebagainya. Korespondensi
tersebut diekspresikan dengan ungkapan We are at a crossroads in our
relationship; Love is a two way street; dan We may have to go our separate ways.
Pemetaan metafora konseptual THEORIES ARE BUILDING (Lakoff dan
Johnson, 1980) merupakan struktur metafora mental yang diambil dari ungkapan
idiomatis seperti She constructed a theory to explain the incident; The theory is on
shaky ground. Struktur konsep target (theory) merupakan relasi entitas yang
berkorespondensi dengan entitas konsep sumber (building), sebagaimana gambar
berikut:
Ranah Target Ranah Target Ranah Sumber Gambar 2.1 Korespondensi Antara Konsep Theory dan Building (Lakoff
dan Johnson, 1980) Dengan penjelasan tersebut dapat dilihat bagaimana manusia menggunakan
memori semantiknya dengan mengasosiasikan ciri atau karakteristik entitas yang
satu dengan entitas yang lain. Hal ini didukung oleh Lakoff (2003) yang
menyatakan bahwa pikiran itu kenyataannya merasuk dalam pengalaman, dan
Theory
Theorist
Formulation
Ideas
Assumptions
Validity
Revision
Building
Builder
Construction
Materials
Foundation
Sturdiness
Renovation
37
secara langsung berada dalam persepsi, gerakan tubuh dan pengalaman fisik
ataupun sosial. Lebih jauh, pikiran itu juga imajinatif yang tidak ada dalam
pengalaman, bahkan jauh di luar cerminan langsung realitas eksternal. Pitts,
Smith, dan Pollio (dalam Kess, 1992:231) mengatakan bahwa pemahaman
metafora dilakukan dengan mencocokkan sifat, menunjukkan analogi ciri atau
analogi karakteristik yang dipersepsikan.
Seperti disebutkan di atas bahwa metafora merupakan satu cara
memahami satu ranah pengalaman (RSa) melalui ranah pengalaman yang lain
(RSu). RSu dalam benak manusia dipetakan (mapped) ke dalam RSa (domain yang
menggambarkan topik sebuah kalimat atau domain yang mendukung makna harfiah
sebuah ungkapan metaforis) melalui relasi metaforis. Dengan kata lain, komponen
struktural (melalui unsur bahasa) dari pengalaman dasar tersebut ditransfer ke
dalam RSa (ontological correspondences) sehingga inferensi dapat dilakukan
berdasarkan pengetahuan yang dimiliki (epistemic correspondences) (Schäffner,
2004:1257-1258).
Pembahasan tentang metafora dalam linguistik kognitif mengacu pada
dua istilah: (1) istilah “metafora” yang digunakan sebagai rujukan terhadap PK, (2)
istilah “ungkapan metaforis” (metaphorical/linguistic expression), yang terdapat
pada tabel berikut:
Tabel 2.1
Metafora Konseptual dan Tujuan
Pemetaan Konseptual Ungkapan Metaforis Tujuan
THE EYE IS LIGHT The lamp of the body is the eye. (Lukas 11:34a)
Membicarakan tentang mata yang merupakan pelita, dalam hal ini mata sebagai RSa, melalui
38
konsep (light) sebagai RSu.
Setiap unsur leksikal dalam RSu (makna harfiah dari sebuah kata, frasa atau
kalimat) pada tataran bahasa telah diperluas secara metaforis ke dalam RSa (makna
metaforis), sesuai dengan yang diungkapkan oleh Deignan (2005:211) berikut: “…
at the linguistic level, individual lexical items from the source domain has been
extended metaphorically into the target domain”. Misalnya, frasa the lamp of the
body secara metaforis bermakna “pelita” sebagai RSa. Jadi, metafora itu merupakan
perluasan makna harfiah dari frasa the eye is the light “mata adalah pelita” (sebagai
RSu). Namun, menurut sebagian ahli bahasa, metafora muncul dalam bentuk
kombinasi kata atau frasa, atau kalimat, dan tidak dalam bentuk kata per kata atau
berdiri sendiri. Pandangan ini dapat dimengerti karena makna metafora hanya dapat
dipahami melalui konteks tertentu. Senada pula dengan pernyataan yang
dikemukakan oleh Lakoff dan Johnson (dalam Ungerer dan Schmid, 1996:118),
yang mengemukakan bahwa ketika seseorang menggunakan metafora THE LAMP
OF THE BODY IS THE EYE (Lukas 11:34a) secara linguistik, tentu saja orang
memikirkannya atau mengonseptualisasikannya, sehingga dapat diibaratkan THE
LAMP OF THE BODY sebagai ranah target (target domain) dan THE EYE sebagai
ranah sumber (source domain) yang dipikirkan sebagai pelita yang dapat menerangi
tubuh. Dengan cara pandang seperti itu, maka muncullah ungkapan metaforis,
seperti “When your eye is good, your whole body also is full of light. But when your
eye is bad, your body also is full of darkness (Lukas 13:34b).
Batasan yang lain tentang metafora telah dikemukakan oleh para ahli, di
antaranya adalah Newmark (1981), Dobrzynska (1995), Goatly (1997), Lee (2001),
39
Samaniego (2002), Barcelona (2003), Martin dan Rose (2003), Schäffner (2004),
Knowles dan Moon (2006). Dalam penelitian ini, definisi metafora dan istilah yang
digunakan untuk menjelaskan konsep metafora merujuk pada batasan metafora yang
dikemukakan oleh beberapa ahli yang pada intinya mencakup dua elemen utama,
yakni aspek linguistis dan aspek kognitif, yang sangat berkaitan erat dengan budaya
yang melatarinya. Batasan metafora menurut beberapa ahli teori metafora dan
relevansinya dengan definisi metafora yang dikemukakan oleh Lakoff dan Johnson
(1980) dan Lakoff (1993) yaitu Newmark (1988:104) yang mendefinisikan metafora
sebagai “any figurative expression: the transferred sense of physical word; the
personification of an abstraction; the application of a word or collocation to what it
does not literally denote, i.e. to describe one thing in terms of another.” Realisasi
metafora dapat saja berupa satu kata atau gabungan kata, mulai dari kolokasi sampai
pada tataran tekstual. Metafora oleh Newmark digambarkan dengan tiga istilah: (1)
pencitraan (image), yaitu gambaran sesuatu melalui metafora yang bersifat
universal, cultural atau individual, (2) object, yaitu sesuatu yang akan digambarkan
melalui metafora, dan (3) sense, yaitu makna harfiah dari kata yang digunakan
sebagai metafora, yakni persamaan (resemblance) atau daerah pertemuan antara
object dan image seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini. Pada daerah
pertemuan semantik (sense) biasanya terdapat lebih dari satu komponen makna.
40
Gambar 2.2 Relasi Objek, Makna, dan Citra (Newmark, 1988).
Metafora, menurut pandangan Newmark, memiliki dua fungsi: (1) fungsi
referensial atau denotatif (kognitif), yaitu untuk menggambarkan proses mental,
konsep, orang, objek, kualitas, atau tindakan secara lebih komprehensif dan padat
daripada menggunakan bahasa harfiah, (2) fungsi pragmatik (estetis) atau konotatif,
yaitu untuk mengungkapkan makna, menarik minat pembaca, mengklarifikasi
sesuatu, menyenangkan pembaca, atau memberi kejutan kepada pembaca.
Dobrzynska (1995:596) merangkum batasan metafora yang dikemukakan
oleh sejumlah ahli metafora (Beardsley 1962, Weinrich 1963, Cohen 1966,
Boguslawski 1971, Arutiunova 1979, Cohen 1979, Searle 1979) sebagai berikut:
Metaphor is a linguistic sign used in the predictive function outside its normal usage.Metaphorical usage, as an intentional violation of certain standard, differes from nonsensical utterances in so far as the latter usually cannot be subject to interpretation. Metaphorical sense results from the use of an expression in a specific linguistic and situational context.
Untuk menjelaskan konsep metafora, para ahli menggunakan istilah yang
digunakan dalam teori semantik Goatly (1997), yaitu image/vehicle untuk benda
yang digunakan dalam menggambarkan sesuatu, dan object/topic untuk sesuatu
yang ingin dijelaskan melalui metafora serta sense/ground/tenor yang mengacu
pada kesamaan atau analogi yang dihasilkan. Goatly (1997: 108-109) juga
mengemukakan definisi metafora dalam konteks wacana, tetapi menggunakan
terminologi seperti topic, vehicle, dan grounds masing-masing untuk object,
image, dan sense seperti pada kutipan: “metaphor occurs when a unit of discourse
is used to refer to an object, process, concept, quality, relationship to the world to
41
which it does not conventionally refer or colligate with”. Relasi yang tidak
konvensional itu dapat dipahami berdasarkan kesamaan (similarity) atau analogi
(analogy) antara keduanya.
2.3.2.1 Kategori metafora konseptual
Lakoff dan Johnson (1980) membagi metafora konseptual menjadi tiga
kategori, yaitu (1) metafora orientasional (orientational metaphors) yang
digunakan untuk menjelaskan konsep-konsep, seperti UP/DOWN, IN/OUT,
FRONT/BACK, ON/OFF, NEAR/FAR, DEEP/SHOLLOW, CENTRAL/PERIPHERAL; (2)
metafora ontologis (ontological metaphors) yang digunakan untuk menjelaskan
hal-hal, seperti kegiatan, emosi, ide melalui konsep ENTITY dan SUBSTANCE, dan
(3) metafora struktural (structural metaphors) yang digunakan untuk
mengonstruksikan sebuah konsep melalui konsep yang lain. Hubungan antara
konsep-konsep itu (RSu dan RSa) bertujuan untuk menjembatani proses
pemahaman terhadap suatu makna metaforis (makna konotatif) yang dapat
dilakukan melalui pemahaman terhadap denotasi suatu kata dalam konteks
tertentu. Berikut penjelasan tentang ketiga kategori metafora konseptual yang
terdiri atas metafora orientasional, ontologis, dan struktural.
(1) Metafora Orientasional
Metafora orientasional adalah metafora yang berfungsi untuk menjelaskan
suatu konsep melalui ruang (Lakoff dan Johnson, 2003:14-21), misalnya konsep
UP-DOWN, pada bagian ini diulas PK dan perwujudannya dalam bentuk ungkapan
42
metaforis sebagai kategorisasi metafora orientasional yang dilakukan oleh Lakoff
dan Johnson (1980). Pertama, PK: HAPPY IS UP dan SAD IS DOWN yang maknanya
sangat bertolak belakang.
PK kedua yang termasuk dalam metafora orientasional yang dikemukakan
oleh Lakoff dan Johnson (1980:15) adalah CONSIOUS IS UP dan UNCONSIOUS IS
DOWN. Kesadaran seseorang dianalogikan dengan sesuatu yang bergerak ke atas,
sedangkan ketidaksadaran seseorang diidentikkan dengan sesuatu yang bergerak
ke bawah.
PK ketiga adalah HEALTH AND LIFE ARE UP dan SICKNESS AND DEATH
ARE DOWN. Kesehatan dan kehidupan dianalogikan dengan sesuatu yang naik
secara vertikal, sedangkan sakit dan kematian diidentikkan dengan sesuatu yang
turun secara vertikal.
Masih terkait dengan konsep UP-DOWN, Lakoff dan Johnson (1980: 15-
16) menciptakan PK: MORE IS UP dan LESS IS DOWN. Melalui PK: MORE IS UP
‘sesuatu yang mengalami peningkatan dianalogikan dengan sesuatu yang naik ke
atas secara vertikal’.
Sebaliknya PK: LESS IS DOWN ‘sesuatu yang mengalami
penurunan/pengurangan dianalogikan dengan sesuatu yang turun secara vertikal
ke bawah.’ Di samping PK: MORE IS UP dan LESS IS DOWN, ada konsep “status”
yang juga dirumuskan dalam dua PK: HIGH STATUS IS UP ‘ status yang tinggi
dianalogikan dengan sesuatu yang naik secara vertikal, dan LOW STATUS IS
DOWN ‘status yang rendah dianalogikan dengan sesuatu yang turun secara
vertikal’ (Lakoff dan Johnson, 1980:16).
43
Dua PK lainnya yang juga beroposisi secara biner adalah GOOD IS UP
‘sesuatu yang baik dianalogikan dengan sesuatu yang naik secara vertikal’ dan
BAD IS DOWN ‘sesuatu yang buruk dianalogikan dengan sesuatu yang turun
secara vertikal. Perwujudan PK: GOOD IS UP yang berfungsi untuk
menggambarkan ‘keadaan yang baik’, sedangkan PK: BAD IS DOWN yang
berfungsi untuk menggambarkan sesuatu yang buruk’. Kedua PK tersebut secara
simultan terungkap pada kalimat We hit a peak last year, but it’s been downhill
ever since yang secara metaforis bermakna ‘bisnis kami mencapai puncaknya
tahun lalu, namun terus menurun sejak itu’ (RSa). Secara harfiah, makna
metaforis tersebut dapat dipersempit menjadi kalimat they were racing downhill
on their bikes ‘mereka berlomba menuruni bukit dengan sepeda’ (RSu) Lakoff dan
Johnson (1980:21).
Dari konsep metafora orientasional yang dikemukakan Lakoff dan
Johnson (1980) di atas, peneliti mencoba merekonstruksi teori tersebut melalui
PK: DIE IS DOWN, seperti yang tercermin pada ungkapan metaforis Cut it down;
why does it use up the ground? (Lukas 13:7), (verba cut dalam konteks kalimat
tersebut berfungsi sebagai kata RSu) secara metaforis bermakna ‘orang yang tidak
mau bertobat’ (sebagai RSa). Makna metafora tersebut merupakan perluasan
makna harfiah dari kalimat and if it bears fruit, well. But if not, after that you can
cut it down ‘mungkin tahun depan ia berbuah; jika tidak, tebanglah dia!’ (sebagai
RSu). Sementara itu, PK: BAD IS DOWN yang berfungsi untuk menggambarkan
sesuatu yang buruk. PK tersebut terungkap pada kalimat Salt is good; but if the
salt has lost its flavor, how shall it be seasoned (Lukas 14:34). Ungkapan tersebut
44
secara metaforis bermakna manusia yang tidak memiliki iman pasti dibuang.
Demikian pula PK: LAW STATUS IS DOWN yang merupakan konsep status sosial
direkonstruksikan menjadi PK: EXALT IS DOWN melalui ungkapan The Pharisee
stood and prayed thus with himself, “God, I thank You that I am not like other
men-extortioners, unjust, adulterers, or even as this tax collector. I fast twice a
week; I give tithes of all that I possess”. (Lukas 18:11-12). Verba stood yang
memiliki makna harfiah menengadah, secara metafora konseptual dianalogikan
menjadi exalt atau meninggikan diri sendiri. Baik PK: LAW STATUS IS DOWN
maupun PK: EXALT IS DOWN merupakan konsep status sosial yang dilatari oleh
konteks yang berbeda. PK: LAW STATUS IS DOWN dilatari oleh konteks status
sosial masyarakat secara umum, sedangkan PK: EXALT IS DOWN dilatari oleh
konteks kaum Farisi yang cenderung menganggap diri mereka taat kepada hukum
agama Yahudi dan menganggap pemungut cukai sebagai orang berdosa.
Sementara itu, status yang tinggi dikonseptualisasikan oleh Lakoff dan
Johnson (1980) dengan PK: HIGH STATUS IS UP yang merupakan analogi dari
sesuatu yang naik secara vertikal direkonstruksikan menjadi PK: HUMBLE IS UP,
melalui ungkapan And the tax collector, standing afar off, would not so much as
raise his eyes to heaven, but beat his breast, saying, “God be merciful to me a
sinner!” (Lukas 18:13). Frasa verba standing afar off yang secara harfiah
bermakna berdiri jauh-jauh dianalogikan menjadi humble (merendahkan diri
sendiri). Pemetaan tersebut dilatari dari konsep yang berbeda, yakni pemungut
cukai yang merasa tidak layak di hadapan Tuhan dan memerlukan pengampunan,
45
sehingga ketika mereka sembahyang di tempat ibadah, mereka berdiri jauh-jauh di
belakang dan merasa tidak layak berdiri dekat altar.
(2) Metafora ontologis
Metafora ontologis berfungsi untuk menjelaskan suatu konsep melalui
konsep objek dan substansi. Lakoff dan Johnson menggunakan istilah entity
metaphors ‘metafora entitas’ yang terdiri atas human entity dan non-human entity
yang dalam pendekatan tradisional dikenal dengan istilah personifikasi, sebuah
kategori metafora yang terlalu umum (Lakoff dan Johnson, 2003:25-34).
Dalam ungkapan metaforis His theory explained to me, nomina theory
dalam konteks kalimat tersebut berfungsi sebagai entitas manusia yang dapat
menjelaskan sesuatu. Kalimat ini bermakna bahwa teori yang dimaksud dapat
digunakan untuk menjelaskan perilaku ayam yang dibesarkan di pabrik (RSa).
Secara harfiah makna metaforis tersebut antara lain dapat diungkapkan melalui
kalimat He explained the chemical process to his students (RSu). Fenomena
penggunaan ungkapan metaforis yang sama juga terjadi pada PK: INFLATION IS A
PERSON ‘inflasi dianalogikan dengan seseorang’.
Berdasarkan konsep metafora ontologis yang dikemukakan oleh Lakoff dan
Johnson (2003) di atas, peneliti mencoba merekonstruksikan teori tersebut dengan
PK: A MAN IS A TREE melalui ungkapan For a good tree does not bear bad fruit,
nor does a bad tree bear good fruit. (Lukas 6:43). Nomina tree yang sebenarnya
bermakna harfiah pohon dianalogikan dengan manusia. Sementara itu,
rekonstruksi lainnya, yaitu PK: TENET IS GARMENT melalui ungkapan No one
puts a piece from a new garment on an old one; otherwise the new makes a tear,
46
and also the piece that was taken out of the new does not match the old. (Lukas
5:36). Nomina garment yang secara harfiah bermakna kain dianalogikan dengan
ajaran. Pemunculan ungkapan metaforis yang sama juga terdapat pada PK:
TENET IS WINE melalui ungkapan And no one puts new wine into old wineskins;
or else the new wine will burst the wineskins and be spilled, and the wineskins
will be ruined. (Lukas 5:37), yang mana nomina wine yang secara harfiah
bermakna anggur dianalogikan juga sebagai ajaran.
Sementara itu, rekonstruksi juga terdapat pada PK: MAN IS LAMB melalui
ungkapan Go your way; behold, I send you as lambs among wolves (Lukas 10:3).
Nomina lambs yang sebenarnya bermakna domba secara harfiah, dianalogikan
dengan manusia. Demikian pula, rekonstruksi lainnya pada PK: THE LIGHT IS EYE
melalui ungkapan The lamp of the body is the eye. Therefore, when your eye is
good, your whole body also is full of light. But when your eye is bad, your body
also is full of darkness (Lukas 11:34a). Nomina the eye yang secara harfiah
bermakna mata dinanalogikan secara konseptual menjadi light (terang).
(3) Metafora stuktural
Metafora struktural berfungsi untuk menjelaskan struktur sebuah
konsep dengan cara membandingkannya dengan struktur konsep yang lain. Teori
tersebut membedakan metafora sebagai prinsip yang abstrak (misalnya, PK:
POLICIES AND PROGRAMS ARE WAR) yang terwujud dalam bentuk ungkapan
metaforis Before we can formulate effective policies and programs to attck
poverty and its source, we need some specific knowledge of these poverty groups
and their economic characteristics (White, 2003: 131-132). Makna metaforis
47
frasa to attack poverty pada kalimat tersebut adalah ‘memerangi/mengentaskan
kemiskinan’ sebagai (RSa). Makna metaforis tersebut merupakan perluasan
makna harfiah dari frasa attacking forces yang bermakna ‘pasukan tempur/untuk
menyerang’ (RSu), seperti terlihat pada kalimat the infantry would use hit and run
tactics to slow attacking forces.
Lakoff dan Johnson (1980) juga mengemukakan sejumlah PK, yakni
PK: IDEAS (MEANING ARE OBJECTS, PK: LINGUISTIC EXPRESSIONS ARE
CONTAINERS, PK: THEORIES (AND ARGUMENTS) ARE BUILDINGS, PK: IDEAS
ARE FOOD, PK: IDEAS ARE PEOPLE, PK: IDEAS ARE PLANTS, PK: IDEAS ARE
PRODUCTS, PK: IDEAS ARE COMMODITIES, PK: IDEAS ARE RESOURCES, PK:
IDEAS ARE MONEY, PK: IDEAS ARE CUTTING INSTRUMENTS, PK: IDEAS ARE
LIGHT, UNDERSTANDING IS SEEING, dan PK: DISCOURSE IS A LIGHT-MEDIUM.
Melalui uraian tersebut di atas, ketiga kategori metafora konseptual
dapat dipahami bahwa tujuan Lakoff dan Johnson mengembangkan teori metafora
konseptual ialah untuk menjelaskan relasi antar- PK (RSu dan RSa), serta
fungsinya dalam berargumen, bernalar dan berperilaku/bertindak: to uncover
these metaphorical mappings between domains and how they have guided human
reasoning and behaviour” (Croft dan Cruse, 2008:55).
Berdasarkan PK: IDEAS ARE PLANTS yang dikemukakan oleh Lakoff dan
Johnson (1980), peneliti mencoba merekonstruksi PK metafora struktural tersebut
melalui konseptualisasi, misalnya konsep the word of God is a seed ‘firman
Tuhan’ dipahami melalui konsep ‘tumbuhan’. Kalimat The seed is the word of
God (Lukas 8:11) dapat dipetakan menjadi PK: THE WORD OF GOD IS A PLANT.
Ungkapan the seed is the word of God secara metaforis bermakna firman Tuhan
48
itu seperti benih yang dapat tumbuh dalam hidup manusia (RSa). Makna metaforis
tersebut merupakan perluasan makna harfiah dari kalimat A sower went out to sow
his seed (Lukas 8:5) ‘seorang penabur keluar untuk menaburkan benihnya’ yang
dapat juga dipetakan melalui PK: THE WORD OF GOD IS A SEED.
Dalam satu kalimat atau paragraf sering terdapat beberapa PK yang
dipergunakan secara bersamaan (Lakoff dan Johnson, 1980: 41-45). Fenomena
seperti ini disebut “koherensi metaforis” (metaphorical coherence), yaitu relasi
kognitif antara PK yang bertujuan untuk mempertajam makna atau argumen
tentang sebuah konsep (Lakoff dan Johnson, 1980: 140).
Dari penjelasan di atas, peneliti mencoba merekonstruksi PK:
THEORIES (AND ARGUMENTS) ARE BUILDINGS. Hal ini terdapat dalam Lukas
6:48, yaitu He is like a man buiding a house, who dug deep and laid the
foundation on the rock. And when the flood arose, the stream beat vehemently
against that house, and could not shake it, for it was founded on the rock. Pada
kalimat tersebut setidaknya terdapat dua PK seperti berikut.
Tabel 2.2
Koherensi Metaforis
Ungkapan Metaforis Pemetaan Konseptual He is like a man building a house,… … who dug deep and laid the foundation on the rock…
FAITH IS A BUILDING
FAITH IS A FOUNDATION
Klausa a man building a house dalam konteks kalimat tersebut berfungsi
sebagai RSu, dan nomina the foundation dalam konteks kalimat di atas juga
berfungsi sebagai RSu.
49
Selain rekonstruksi di atas, peneliti juga mencoba merekonstruksi PK:
LIFE IN FAITH IS LIGHT yang dikonseptualisasikan melalui ungkapan No one,
when he has lit a lamp, covers it with a vessel or puts it under a bed, but sets it on
a lampstand, that those who enter may see the light. (Lukas 8:16). Nomina the
light yang secara harfiah bermakna terang dikonseptualisasikan dengan” hidup
oleh iman”.
Rekonstruksi teori lainnya, yaitu PK: KEEP PRAYING IS FAITH BASIS
melalui ungkapan …which of you shall have a friend, and go to him at midnight
and say to him, “Friend, lend me three loaves; (Lukas 11:5). Frasa adverbial at
might yang bermakna harfiah tengah malam dikonseptualisasikan “berdoa dengan
tidak jemu-jemu”. Di samping itu, PK yang sama juga terdapat dalam ungkapan
Yet because this widow troubles me I will avenge her, lest by her continual
coming she weary me (Lukas 18:5). Frasa adverbial continual coming yang secara
harfiah bermakna datang terus-menerus dikonseptualisasikan “berdoa dengan
tidak jemu-jemu”. Rekonstruksi lainnya, yaitu PK: FAITH OF LIFE IS WAKEFUL
melalui ungkapan Let your waist be girded and your lamps burning (Lukas 12:35).
Klausa waist be girded yang bermakna harfiah pinggang tetap berikat
dikonseptualisasikan menjadi “selalu siap melayani” dan frasa verba lamps
burning yang bermakna pelita tetap menyala dikonseptualisasikan “iman yang
hidup”.
Rekonstruksi PK: KINGDOM OF GOD IS GREAT BANQUET melalui
ungkapan A certain man gave a great supper and invited many (Lukas 14:16), dan
ungkapan For I say to you that none of those men who were invited shall taste my
50
supper (Lukas 14: 24). Frasa nomina a great supper dan taste my supper yang
bermakna jamuan makan besar dikonseptualisasikan “menikmati kehidupan
dalam kerajaan Allah”.
Rekonstruksi PK: GOD IS LOVE dalam pemunculan kalimat And when she has
found it, she calls her friends and neighbors together, saying: “Rejoice with me,
for I have found the piece which I lost (Lukas 15:9), And when he has found it,
he lays it on his shoulders, rejoicing. And when he comes home, he calls together
his friends and neighbors, saying to them, “Rejoyce with me, for I have found my
sheep which was lost!’ (Lukas 15 : 5-6), dan Yet because this widow troubles me
I will avenge her, lest by her continual coming she weary me (Lukas 18:5).
Ungkapan Rejoice with me, for I have found the piece which I lost (Lukas 15:9),
lays it on his shoulders, rejoicing, “Rejoyce with me, for I have found my sheep
which was lost!’ (Lukas 15 : 5-6), dan verba avenge dikonseptualisasikan
menjadi “kasih”.
Rekonstruksi terakhir peneliti lakukan melalui PK: FAITH IS SALT, terdapat
dalam ungkapan Salt is good; but if the salt has lost its flavor, how shall it be
seasoned? (Lukas 14:34). Nomina salt yang secara harfiah bermakna garam
dikonseptualisasikan menjadi “iman”.
Pendekatan kognitif terhadap metafora yang didasarkan pada teori
semantik kognitif berkontribusi pada pemahaman baru terhadap penerjemahan.
Teori tersebut dipergunakan untuk menganalisis aspek kognitif metafora (Lakoff
dan Johnson, 1980; Henderson, 1986; Moon, 1998; K�vecses, 2002) dalam
proses penerjemahan teks perumpamaan dalam Injil Lukas. Para pakar teori
51
linguistik kognitif (Dirven dan Paprotte, 1985; Gibbs. 1994; Johnson, 1987;
K�vecses, 1986/1988; Lakoff, 1987/1993; Lakoff dan Johnson, 1980; Lakoff dan
Turner, 1989) sepakat bahwa dalam kehidupan sehari-hari metafora berpengaruh
terhadap penggunaan bahasa secara konvensional. Proses yang sama dapat
memotivasi penggunaan bahasa secara abstrak untuk bernalar.
Relasi ontologis antara RSa dan RSu juga relevan dalam penerjemahan,
khususnya konsep keterjemahan metafora. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa keterjemahan tidak lagi berkaitan dengan ungkapan metaforis yang
terdapat dalam teks sumber (TSu), tetapi berkaitan erat dengan sistem konseptual
dalam budaya sumber dan budaya target. Dengan kata lain, pendekatan kognitif
terhadap metafora memiliki implikasi terhadap teori dan praktik penerjemahan.
2.3.2.2 Komponen Metafora Konseptual
K�vecses (2006:116-126) menyatakan bahwa metafora konseptual
merefleksikan apa yang dipersepsikan, dialami, dipikirkan orang tentang realitas
dunia. Semua yang dialami, dipersepsikan, dan dipikirkan merasuk dalam
memori semantik yang dapat digunakan kapan saja. Supaya dapat
menggunakannya, seseorang kemudian mengaktifkan memori itu untuk
direalisasikan dalam bentuk verbal yang digunakan dalam komunikasi. Oleh
karena itu, ungkapan-ungkapan metaforis lebih dipilih dibandingkan dengan
ungkapan yang bukan metaforis karena ungkapan metaforis mengandung muatan
yang diutamakan, difokuskan, dan emosi yang ada dalam ungkapan metaforis
sesuai dengan yang diinginkan oleh pengguna ungkapan.
52
Metafora memiliki dua komponen, yakni ranah sumber dan ranah target.
Berdasarkan penjelasan Lakoff dan Johnson (1980, 2003), yang diperkuat oleh
K�vecses (2006), ranah target biasanya lebih abstrak, sedangkan ranah sumber
lebih konkret. Agar maksud yang terkandung dalam metafora dapat dipahami,
kesamaan karakteristik yang dimiliki oleh ranah sumber dan target harus
ditemukan. Dengan membandingkan karakteristik antara ranah sumber dan target
akan ditemukan dasar suatu metafora yang digunakan.
Pemilihan suatu sumber tertentu untuk suatu target dilakukan karena
didasarkan pada pengalaman yang dirasakan tubuh ketika mengalami kondisi
yang dirasakan. Misalnya, dicontohkan oleh K�vecses (2006:117) +
AFFECTION IS WARMTH+ didasarkan pada pengalaman ketika mendapatkan
kasih sayang dari orang lain, seseorang merasakan kehangatan, sehingga
muncullah metafora tersebut.
Seperti penjelasan di atas, yang memaparkan bahwa metafora konseptual
mengindikasikan suatu proses yang terdapat dalam batin untuk menjelaskan suatu
entitas yang didasarkan pada perasaan, pengalaman, dan pikiran tentang realitas
yang benar-benar ada atau yang dibayangkan ada, dengan menggunakan entitas
lain yang lebih konkret atau dapat divisualisasikan atau dirasakan oleh tubuh.
K�vecses (2006) mengungkapkan bahwa terdapat komponen-
komponen dalam metafora yang dijelaskan sebagai berikut: (1) Ranah sumber,
ranah target, dan dasar metafora merupakan komponen dasar dalam metafora
konseptual. Ranah sumber yang memiliki ciri lebih konkret merupakan dasar
untuk menjelaskan ranah target yang bersifat lebih abstrak. Misalnya, dalam
53
metafora + LIFE IS A JOURNEY+ dapat dipahami bagaimana kehidupan (LIFE)
yang bersifat abstrak digambarkan, sehingga lebih mudah dipahami karena
dibandingkan dengan perjalanan (JOURNEY). Orang akan dapat mengerti apa yang
dimaksud dengan kehidupan (LIFE) yang menjadi ranah target berdasarkan
kesamaan ciri yang dimiliki oleh perjalanan (JOURNEY) sebagai ranah sumber.
Kesamaan ciri atau karakteristik yang ada dalam kedua komponen tersebut
menjadi dasar metafora, misalnya kalau dalam perjalanan pasti ada tujuan,
rintangan, jarak yang ditempuh, dan dalam kehidupan ada kesulitan hidup,
kemajuan hidup, tujuan hidup, dan sebagainya; (2) Pengalaman yang dirasakan
tubuh dapat memotivasi hubungan antara ranah sumber dan ranah target. Untuk
menjelaskan hal ini K�vecses memberi contoh +AFFECTION IS WARMTH+
+KASIH SAYANG ITU KEHANGATAN+ sehingga dapat ditujukkan hubungan kasih
sayang dengan kehangatan. Apa yang dirasakan oleh tubuh ketika mendapatkan
pelukan sebagai bentuk rasa saying, misalnya tubuh merasa hangat, nyaman, dan
tenang. Apa yang dirasakan tersebut merasuk ke dalam memori, kemudian pikiran
mencari kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana affection tersebut; (3)
Kesamaan tidak selalu menjadi dasar untuk menunjukkan hubungan antara ranah
target dan ranah sumber. Banyak contoh yang menjadikan kesamaan sebagai
dasar dalam metafora, tetapi tidak semua metafora dimotivasi oleh kesamaan,
namun ada dasar lain yang dapat dijadikan acuan dalam menunjukkan hubungan
antara ranah target dan ranah sumber; (4) Metafora juga dikaitkan dengan neuron
dalam otak, karena neuronlah yang menggerakkan tubuh, kemudian pengalaman
itu merasuk dalam neuron di otak sehingga, ketika, misalnya, daerah otak yang
54
berkaitan dengan kasih sayang diaktifkan, maka bagian neuron yang berhubungan
dengan kehangatan juga diaktifkan; (5) Kaitan antara ranah sumber dan target
merupakan hubungan yang berlaku antara ranah sumber yang dapat diberlakukan
pada beberapa target, dan suatu ranah target mungkin dapat diberlakukan pada
beberapa ranah sumber. Hubungan yang berlaku antara ranah sumber yang dapat
diberlakukan pada beberapa target disebut ruang lingkup sumber. Misalnya, ranah
sumber bangunan, selain sesuai diterapkan untuk teori, sesuai juga untuk
hubungan, sistem ekonomi, kehidupan, dan sebagainya. Jajaran target mengacu
pada perbedaan ranah sumber yang ada dalam suatu target. Misalnya, cinta
dikonseptualisasikan dalam bahasa Inggris dengan cara yang berbeda-beda,
seperti perjalanan, perang, api, permainan, dan sebagainya; (6) Konseptualisasi
kejutan dimanifestasikan dalam ungkapan yang terbatas; (7) Ungkapan linguistik
metaforis, dalam hubungan tertentu antara ranah sumber dan target, menimbulkan
ungkapan linguistik metaforis yang diperoleh dari dua ranah konseptual yang
dihubungkan. Misalnya, a warm relationship merupakan contoh +AFFECTION IS
WARMTH+ sedangkan get around a problem menjadi + DIFFICULTIES ARE
OBSTACLES+; (8) Pemetaan dasar yang ditandai oleh korespondensi konseptual
yang mendasar dan esensial yang disebut pemetaan antara ranah sumber dan
ranah target. Pemetaan harus disusun sehingga dapat menunjukkan ungkapan
linguistik metaforis tertentu; (9) Entailment yang potensial merupakan pemetaan
tambahan. Ranah sumber sering memetakan gagasan melebihi gagasan yang ada
dalam target. Pemetaan tambahan disebut entailment atau inferensi. Aspek konsep
yang terlibat dalam metafora hanya aspek tertentu yang berada, baik pada ranah
55
sumber maupun pada ranah target, dan tidak semua aspek digunakan, hanya aspek
yang utama saja yang digunakan; (10) Penyatuan ranah sumber dan ranah target
dapat mengakibatkan percampuran yang disebut blends, yaitu materi konseptual
yang baru sebagai akibat dari pencampuran ranah sumber dan ranah target; (11)
Realisasi non-linguistik yang menyebabkan metafora konseptual kadang-kadang
diwujudkan dalam bentuk nonverbal, misalnya +IMPORTANT IS CENTRAL+,
yang direalisasikan dengan posisi yang berbeda dengan orang yang tidak memiliki
posisi sosial yang tinggi; (12) Cakupan metafora konseptual sering menimbulkan
model kultural atau frame yang ada dalam pikiran. Misalnya, konsep tentang
waktu, karena waktu dikonseptualisasikan sebagai entitas yang bergerak, maka
diciptakan metafora +TIME IS A MOVING PATH+, yang menimbulkan ungkapan
metaforis waktu berjalan dengan cepat, waktu sudah tiba, waktu berlari sangat
cepat.
2.3.3 Teori Penerjemahan
Translation menurut Bell (1991:13) mengandung tiga pengertian, yaitu (1)
sebagai hasil atau produk berupa teks yang dalam bahasa Indonesia dinamakan
terjemahan (translation); (2) sebagai proses atau kegiatan menerjemahkan dari
satu bahasa ke bahasa lain, yang disebut penerjemahan (translating), dan (3)
sebagai konsep atau teori yang mencakup, baik proses penerjemahan maupun
hasil terjemahan.
Newmark (1988) berpendapat bahwa teori penerjemahan merupakan
turunan dari linguistik komparatif, yaitu perbedaan bentuk linguistik (makna dan
56
struktur) antara TSu dan TSa. Bagi Newmark, menerjemahkan berarti
mengalihkan makna teks dari bahasa sumber ke bahasa lain dengan penekanan
pada makna yang bersifat fungsional.
Teori penerjemahan metafora yang dikembangkan oleh Newmark (1988),
yang ditopang oleh teori terjemahan metafora Larson (1998), yang dipergunakan
dalam penelitian ini, termasuk di dalamnya: (1) strategi penerjemahan; (2)
prosedur penerjemahan metafora; (3) metode penerjemahan, dan (4) ideologi
penerjemahan.
2.3.3.1 Strategi Penerjemahan
Berbagai strategi penerjemahan yang telah dikemukakan oleh beberapa
pakar tersebut di atas, strategi pemadanan bisa dikelompokkan berdasarkan
orientasi penerjemah ke dalam: (1) strategi pemadanan yang berorientasi pada
bahasa sumber; (2) strategi yang berorientasi pada bahasa target (dampak
pemadanan); dan (3) strategi yang berorientasi pada makna, yakni apakah suatu
konsep bahasa sumber dikenal/dimiliki (known/shared) atau tidak (unknown)
dalam bahasa target (Yadnya, 2005).
1) Strategi pemadanan yang berorientasi pada bahasa sumber
Strategi pemadanan yang berorientasi pada bahasa sumber termasuk dalam
kategori direct translation yang dikemukakan oleh Vinay dan Darbelnet (dalam
Venuti, 2000 dan Bell (1991) meliputi :
(1) Borrowing, yakni mengambil unsur leksikal dari bahasa sumber ke
dalam bahasa target tanpa modifikasi formal dan semantik. Strategi ini
57
merupakan cara pemadanan yang paling sederhana. Borrowing yang
sudah lama dan digunakan secara luas bahkan sudah tidak dianggap lagi
sebagai unsur leksikal pinjaman, tetapi sebagai bagian dari leksikon
bahasa target. Misalnya, dalam bahasa Inggris menu, (dalam bahasa
Indonesia juga) dan rendeavous sudah tidak dianggap lagi sebagai
pinjaman;
(2) Calque, semacam borrowing, yakni suatu bahasa meminjam suatu
bentuk ekspresi bahasa lain kemudian menerjemahkannya secara
harfiah masing-masing elemennya sehingga menghasilkan: (a) lexical
calque dengan mempertahankan struktur bahasa target sambil
memperkenalkan modus ekspresi baru, atau (b) structural calque yang
sekaligus memperkenalkan konstruksi baru ke dalam bahasa target
(Vinay dan Darbelnet dalam Venuti, 2000:85). Strategi ini identik
dengan through-translation yang dikemukakan oleh Newmark
(1988:84) dan loan translation yang dikemukakan oleh Bell (1991),
yakni pemadanan melalui substitusi linear elemen suatu bahasa dengan
elemen bahasa yang lain (biasanya frasa nominal).
(3) Literal translation, yakni pengalihan langsung teks sumber ke dalam
teks target yang sepadan secara gramatikal dan idiomatis (Vinay dan
Darbelnet dalam Venuti, 2000:86-88). Newmark (1988:68-70)
beranggapan bahwa pemadanan literal merupakan prosedur dasar
penerjemahan, baik penerjemahan semantik maupun komunikatif,
untuk mencapai hasil yang cermat dan rentangannya berkisar dari kata-
58
ke-kata, kelompok kata-ke-kelompok kata, kolokasi-ke-kolokasi,
klausa-ke-klausa, kalimat-ke-kalimat. Walaupun demikian, semakin
panjang unit terjemahan tersebut semakin jarang terjadi padanan satu-
lawan-satu. Pemadanan ini sering dijumpai pada penerjemahan antara
dua bahasa yang serumpun, terlebih lagi bila kedua bahasa tersebut
memiliki budaya yang sama.
2) Strategi pemadanan yang berorientasi pada bahasa target
Stategi pemadanan yang berorientasi pada bahasa target (dampak
pemadanan) sangat beragam. Vinay dan Darbelnet (dalam Venuti, 2000)
menggolongkannya ke dalam istilah pemadanan oblik (oblique translation).
Termasuk dalam kelompok strategi ini adalah:
(1) Transposisi (transposition), yakni menggantikan elemen bahasa sumber
dengan elemen bahasa target yang secara semantik berpadanan, namun
secara formal tidak berpadanan, misalnya karena perubahan kelas kata
(Bell, 1991; Newmark 1988:85-88; Vinay dan Darbelnet (dalam Venuti,
2000:88); dan Machali, 2000:63-68). Strategi pemadanan dengan
melakukan pergeseran bentuk ini sudah lama diperkenalkan oleh Catford
(1965:73-83) dengan istilah shifts yang mencakup pergeseran level (level
shifts), kategori (category shifts), dan struktur (structure shifts);
(2) Modulasi (modulation), yakni pergeseran sudut pandang atau perspektif
(Newmark 1988:88-89); Machali, 2000:69-71; dan Vinay dan Darbelnet
(dalam Venuti, 2000:89).
59
(3) Equivalence, yakni penggantian sebagian bahasa sumber dengan padanan
fungsionalnya dalam bahasa target. Dengan kata lain, suatu situasi yang
sama dapat diungkapkan ke dalam dua teks dengan menggunakan metode
stilistika dan struktural yang sama.
(4) Adaptasi (adaptation), yakni pengupayaan padanan kultural antara dua
situasi tertentu. Strategi ini digunakan pada kasus pemadanan karena
situasi yang diacu oleh pesan bahasa sumber tidak dikenal/dimiliki
(unknown) dalam budaya bahasa target sehingga penerjemah harus
menciptakan situasi yang bisa dianggap sepadan (Vinay dan Darbelnet
dalam Venuti, 2000:90-91; Bell, 1991; dan Machali 2000:71). Strategi ini
identik dengan konsep pemadanan kultural (cultural equivalent) dari
Newmark (1988:82-83) dan konsep substitusi kultural (cultural
substitution) dari Baker (1991:31-34) dan Larson (1998:187-190).
(5) Pemadanan fungsional (functional equivalent), suatu strategi yang sangat
umum digunakan dalam penerjemahan kata berkonteks budaya dengan
cara menggunakan kata-kata yang bebas muatan budaya (culture free
word) dan kadang-kadang dengan ungkapan spesifik baru (Newmark,
1988:83). Cara ini menetralisasi atau menggeneralisasi kata-kata bahasa
sumber dan tidak jarang cara ini disertai dengan penambahan uraian
khusus. Strategi ini dinilai sebagai suatu analisis komponensial budaya
dan cara yang paling akurat dalam penerjemahan karena dengan
dekulturalisasi kata-kata budaya strategi ini menduduki daerah
pertengahan atau universal antara bahasa atau budaya bahasa sumber dan
60
bahasa dan budaya bahasa target. Penggunaan strategi ini dapat dilihat
pada kata berem (bahasa Bali) dengan Balinese wine dalam bahasa
Inggris.
(6) Pemadanan deskriptif (descriptive equivalent), yakni eksplikasi yang
berupa pemadanan yang dilakukan dengan memberikan deskripsi dan
kadang-kadang dipadukan dengan fungsi. Misalnya, Samurai
dideskripsikan sebagai ‘the Japanese aristocracy from the eleventh to the
nineteenth century’; dan fungsinya adalah ‘to provide officers and
administrators’ (Newmark, 1988:83-84).
3) Strategi pemadanan yang berorientasi pada makna
Strategi pemadanan yang berorientasi pada makna, apakah suatu konsep
bahasa sumber dikenal / dimiliki (known / shared) atau tidak (unknown) dalam
bahasa target dikemukakan oleh Larson (1998) yang selanjutnya digunakan
sebagai konsep acuan utama dalam melihat fenomena pengalihan makna
berkonteks budaya dalam kajian terjemahan ini. Untuk memperoleh suatu
padanan yang wajar, Larson menilai perlu mempertimbangkan tiga hal yakni :
(1) ada konsep yang terdapat dalam teks sumber dikenal / dimiliki (known
atau shared) dalam bahasa target,
(2) ada konsep yang terdapat dalam bahasa sumber tidak dikenal / dimiliki
(unknown) dalam bahasa target, dan
(3) ada item leksikal dalam teks yang berwujud key terms, yakni kata atau
ungkapan yang penting bagi tema dan pengembangan teks.
61
Alternatif strategi pemadanan konsep teks bahasa sumber yang dimiliki dalam
bahasa target mencakup:
(1) pemadanan non-literal dengan pertimbangan bahwa karena struktur
leksikal kedua bahasa berbeda, cara pengungkapan suatu konsep pun akan
berbeda pula;
(2) frasa deskriptif, yakni pemadanan suatu konsep (sebuah kata) dengan
beberapa kata yang menjelaskan konsep tersebut, seperti misalnya satak
(bahasa Bali) menjadi dua ratus (bahasa Indonesia) dan are (bahasa
Bali/Indonesia) dengan one hundred square meters (bahasa Inggris),
(3) penggunaan kata-kata yang berhubungan seperti sinonim, dan
(4) penggunaan kata-kata yang memiliki hubungan generik-spesifik.
5) Strategi mencari ungkapan padanan
Ketika konsep yang harus diterjemahkan mengacu pada sesuatu yang baru
atau tidak dikenal dalam budaya target maka usaha yang harus dilakukan oleh
penerjemah tidak saja mencari cara yang sesuai untuk merujuk sesuatu yang
sudah menjadi bagian pengalaman penutur bahasa target, tetapi juga dia harus
mencari jalan untuk mengungkapkan konsep yang baru bagi penutur bahasa target
tersebut. Beckman dan Callow (dalam Larson 1998:179) mengemukakan tiga cara
strategi mencari ungkapan padanan (equivalent expression) dalam bahasa target,
yakni:
(1) kata-kata generik dengan frasa deskriptif,
(2) kata-kata pinjaman, dan
(3) substitusi budaya (cultural substitute).
62
Larson (1998:179-190) sendiri mengajukan berbagai alternatif target, yakni
(1) dengan menyatakan secara eksplisit bentuk (form) dan fungsi
(function) dari suatu konsep,
(2) menggunakan kata generik sebagai unsur leksikal padanan disertai
modifikasi,
(3) memodifikasi kata-kata pinjaman, dan
(4) melalui substitusi kultural (cultural substitution)
Molina dan Albir (2002:509-511) merangkum teknik penerjemahan yang
dikemukakan oleh Vinay dan Darbelnet (1958) yang dikutip oleh Fawcett
(1974:34-40), dan Newmark (1988) mengemukakan dengan istilah teknik
penerjemahan, antara lain:
(1) kompensasi (compensation), yakni memperkenalkan sebuah informasi
dalam TSu pada bagian lain dalam TSa atau untuk menciptakan dampak
stilistika;
(2) kreasi diskursif (discursive creation), yakni teknik penerjemahan
memberikan padanan sementara namun lepas konteks, misalnya husband
for a year diterjemahkan ‘suami sementara’;
(3) amplifikasi linguistik (linguistic amplification), yaitu teknik penerjemahan
yang dilakukan dengan menambahkan unsur-unsur linguistik dalam BT;
(4) kompresi linguistik (linguistic compression), yakni teknik penerjemahan
yang dilakukan dengan mensintesiskan unsur-unsur linguistik pada BT,
yang merupakan kebalikan dari teknik amplifikasi linguistik;
63
(5) reduksi (reduction) adalah teknik penerjemahan yang diterapkan dengan
menghilangkan secara parsial karena penghilangan tersebut dianggap tidak
menimbulkan distorsi makna, yang mengimplisikan informasi yang
eksplisit.
2.3.3.2 Prosedur Penerjemahan Metafora
Dalam penelitian ini digunakan prosedur penerjemahan metafora yang
dikemukakan oleh Newmark (1988). Secara garis besar, Newmark (1988:88-91)
mengemukakan bahwa penerjemahan metafora dapat dilakukan dengan dua
langkah, yaitu (1) mengidentifikasi tipe metafora yang akan diterjemahkan, dan
(2) menentukan prosedur penerjemahan yang sesuai untuk mengalihkan metafora
tersebut ke dalam BT.
Newmark (1988) mengemukakan tujuh prosedur penerjemahan metafora
sebagai berikut: (1) menerjemahkan metafora BS menjadi metafora yang sama
dalam BT dengan cara mereproduksi citra yang sama pada teks sasaran (TSa).
Prosedur ini sesuai dengan metafora yang memiliki frekuensi dan keberlakuan
yang sepadan antara BS dan BT: (2) mengganti citra dalam BS dengan citra
standar yang berterima dalam BT, atau menerjemahkan metafora menjadi
metafora lain, namun dengan makna yang sama. Prosedur ini dapat pula
dipergunakan apabila frekuensi citra dalam register BT sama dengan register BS.
Pendekatan ini lazim digunakan untuk menerjemahkan metafora standar yang
kompleks, seperti idiom dan pepatah yang citranya selalu mengandung konotasi
kultural sehingga tidak dapat diterjemahkan secara semantik ke BT; (3)
64
menerjemahkan metafora menjadi simile (kiasan) dan tetap mempertahankan
citra. Prosedur ini dapat digunakan apabila citra BS tidak memiliki kesepadanan
di dalam BT, misalnya, He is hanging on a thread in the coming competition,
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi simile “Nasibnya bagai telur di
ujung tanduk dalam kompetisi mendatang”; (4) menerjemahkan metafora menjadi
sebuah simile dengan menambahkan citra. Prosedur ini sesuai digunakan apabila
citra BS tidak memiliki kesepadanan di dalam BT, penerjemah dapat mengubah
metafora tersebut menjadi sebuah simile. Sebagai contoh, ungkapan I read you
like a book dapat diterjemahkan menjadi “Aku memahami kamu semudah
memahami buku”; (5) mengubah metafora menjadi makna harfiah (sense).
Prosedur ini untuk menerjemahkan metafora yang sarat dengan makna harfiah
atau register (termasuk frekuensi, tingkat formalitas, muatan emosional, dan
keumuman). Sebagai contoh, ungkapan His business continues to flourish, dapat
diterjemahkan menjadi “Bisnisnya terus maju pesat”; (6) menghapus metafora
jika metafora tersebut tidak ada manfaatnya, atau hanya membuat teks sasaran
menjadi bertele-tele. Misalnya, ungkapan Your definition is easy to perceive. He is
a snail; he always walks slowly, cukup diterjemahkan menjadi “Dia berjalan
lambat sekali”; dan (7) menggunakan metafora yang sama yang dikombinasikan
dengan deskripsi harfiah atau keterangan tambahan di antara dua tanda baca
koma. Prosedur ini digunakan untuk menerjemahkan metafora yang tidak
memiliki padanan berterima dalam BT. Dalam konteks ini, keterangan tambahan
tersebut digunakan untuk memperkuat citra agar metafora itu dipahami pembaca
teks sasaran. Newmark menyusun tujuh prosedur tersebut berdasarkan preferensi,
65
dengan kata lain, disarankan agar penerjemah memprioritaskan penggunaan
masing-masing strategi tersebut sesuai dengan urutan dalam daftar di atas.
Prosedur kedua digunakan apabila ada benturan budaya, prosedur pertama tidak
dapat digunakan. Prosedur ketiga digunakan hanya jika prosedur kedua tidak
sesuai dengan kebutuhan.
Sama halnya dengan Newmark, Larson (1988:278-279) menyatakan
bahwa metafora dapat diterjemahkan setelah penerjemah mengidentifikasi unsur-
unsur pembentuknya, yaitu topik, citra, dan titik kesamaan. Di samping itu,
penerjemah juga harus paham konteks ungkapan secara menyeluruh agar makna
metafora tersebut dapat dipahami. Larson mengusulkan lima strategi
penerjemahan metafora sebagai berikut: (1) menerjemahkan metafora BS menjadi
metafora yang sama di dalam BT. Hal tersebut dapat dilakukan apabila metafora
itu berterima atau dapat dipahami pembaca teks sasaran. Misalnya, metafora
dalam bahasa Inggris economic growth dan flow of traffic dapat diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia menjadi metafora “pertumbuhan ekonomi” dan “arus lalu
lintas” ; (2) menerjemahkan metafora BS menjadi sebuah simile apabila dalam
sistem BT membuat simile lebih mudah dipahami daripada metafora. Misalnya,
metafora bahasa Inggris The road is a snake yang mengungkapkan bentuk jalan
tersebut berbelok-belok seperti seekor ular, lebih baik diterjemahkan menjadi
simile “Jalan itu seperti ular”; (3) menerjemahkan metafora BS menjadi metafora
lain dalam BT, tetapi memiliki makna yang sama dengan metafora BS tersebut,
seperti ungkapan icy needless lebih baik diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
menjadi “jarum-jarum dingin.” Walaupun kedua metafora ini sangat berbeda,
66
karena dalam kultur bahasa Indonesia citra “dingin” lebih sesuai daripada citra
icy, sehingga makna metafora “jarum-jarum dingin” lebih mudah dipahami atau
berterima daripada “jarum-jarum es”, maka penerjemahan tersebut akan lebih
efektif; (4) Menerjemahkan metafora BS menjadi metafora yang sama di dalam
BT yang disertai dengan penjelasan tentang metafora tersebut. Misalnya,
ungkapan metafora The tongue is a fire dapat diterjemahkan menjadi “Lidah
adalah api. Api yang menghanguskan benda-benda, dan ucapan kita bisa
menyakiti orang lain”; (5) menerjemahkan metafora menjadi ungkapan non-
metaforis, sehingga teks sasaran berubah menjadi ungkapan dengan makna
harfiah. Strategi ini biasanya digunakan untuk menerjemahkan metafora
berbentuk idiom yang kesan metaforisnya benar-benar hadir tanpa disadari
penutur. Misalnya, metafora He was a pig diterjemahkan “Dia sangat berantakan”
atau “Dia tidak pernah rapi.” Jika prosedur penerjemahan metafora yang
dikemukakan oleh Newmark (1988) dan Larson (1998) dibandingkan, maka
secara substansial tidak terdapat perbedaan. Namun, Newmark (1988) lebih
banyak mengemukakan prosedur penerjemahan metafora daripada Larson (1998),
yaitu (1) pengalihan metafora menjadi simile dengan menambahkan citra, dan (2)
strategi penghapusan. Kedua strategi tersebut pada dasarnya dapat dipergunakan
hanya dalam penerjemahan teks prosa, namun tidak dapat dipergunakan dalam
penerjemahan teks puisi, karena setiap kata dalam puisi sarat dengan makna. Oleh
karena itu, strategi penghapusan dalam penerjemahan metafora harus dicegah.
Apabila dikaji lebih jauh, sejumlah prosedur metafora yang diusulkan oleh
beberapa ahli tersebut di atas memiliki sejumlah persamaan sehingga prosedur
67
penerjemahan metafora tersebut dapat disintesakan. Newmark (1988) juga
menambahkan prosedur penerjemahan metafora dengan melibatkan simile (BS
dan BT) yang sering digunakan dalam penerjemahan fiksi serta prosedur
penambahan makna dan pelesapan metafora TSu dan TSa, seperti yang ditekankan
oleh Larson (1984). Berbeda dengan pendekatan metafora di atas, penelitian ini
menggunakan pendekatan kognitif yang meliputi dua istilah, yaitu (1) source
domain ‘RSu’ yang dalam pendekatan tradisional menggunakan istilah
image/vehicle ‘citra’, dan (2) target domain ‘RSa’ yang dalam pendekatan
tradisional disebut sense/ground/tenor ‘makna.’
Metafora merupakan bentuk ungkapan yang paling sulit diterjemahkan.
Beberapa ahli merumuskan strategi khusus untuk menerjemahkan metafora.
Dagut (1987:28) menyatakan bahwa metafora merupakan sebuah penyimpangan
kreatif terhadap sistem semantik. Oleh karena itu, secara teoretis, metafora tidak
memiliki ungkapan yang sepadan dalam bahasa lain. Dengan kata lain,
penerjemah harus mereproduksi metafora-metafora yang berterima dalam konteks
linguistik dan budaya BT, penerjemahan metafora merupakan aktivitas penciptaan
ulang (a re-creation job).
2.3.3.3 Metode Penerjemahan
Newmark (1988) mengusulkan tiga proposisi terkait dengan apakah
bentuk lingustik BS harus dipertahankan dalam BT. Proposisi tersebut adalah: (1)
apabila suatu teks mementingkan bentuk linguistik, maka terjemahannya harus
sedekat mungkin dengan bentuk linguistik teks BS, terjemahan seperti ini sering
68
terdapat dalam teks karya sastra; (2) jika bentuk lingusitik suatu TSu tidak begitu
dipentingkan, maka terjemahan bentuk lingusitik tidak perlu dibuat sedekat
mungkin dengan TSu, contoh teks sejenis ini adalah artikel di ensiklopedia, dan
(3) semakin baik sebuah teks ditulis, semakin dekat bentuk linguistik dalam teks
terjemahannya dengan teks BS, tanpa melihat apakah bentuk linguistik di dalam
teks itu dipentingkan atau tidak.
Dalam pemikiran Newmark kata “penting” dan “ditulis dengan baik”
menjadi kata kunci. Namun, kedua kata ini tidak terukur. Untuk sementara
proposisi ini bisa menengahi perdebatan antara ekstrem kiri (yang berpendapat
bahwa terjemahan harus setia kepada BS) dan ekstrem kanan (yang berpendapat
bahwa terjemahan harus setia kepada BT. Terlepas dari masalah ambiguitas kata
“penting” dan “ditulis dengan baik”, Newmark bermaksud menjembatani
kesenjangan antara pendapat yang cenderung berpihak pada bentuk linguistik BT.
Dengan kata lain, Newmark ingin para penerjemah tidak terjebak dalam
perdebatan terjemahan literal (setia pada bentuk linguistik BS) dan penerjemahan
bebas (setia pada bentuk linguistik BT), yang tergambar pada teori terjemahan
semantik dan komunikatif (dalam bentuk diagram V) berikut.
Gambar 2.3 Diagram V (Newmark, 1988:45)
69
Dari gambar di atas dapat dipahami bahwa menurut Newmark jenis-jenis
terjemahan tersebut berada di dalam kontinum yang tidak memiliki sekat-sekat
dan tidak benar-benar terpisah satu sama lain. Di ujung kiri adalah metode
penerjemahan yang berorientasi pada BS (harfiah) dan ujung kanan adalah yang
berorientasi pada BT (bebas). Apabila tingkat kesetiaan terhadap BS sedikit lebih
rendah, maka akan terjedi terjemahan yang setia, demikian seterusnya. Newmark
juga memandang bahwa terjemahan harfiah dianggap sebagai terjemahan terbaik
jika efek yang setara bisa dicapai. Apabila terjemahan harfiah tidak mencukupi,
maka metode terjemahan semantik atau komunikatif dipertimbangkan.
Newmark menanggapi pikiran Nida tentang padanan formal dan padanan
dinamis. Menurut Newmark, efek yang padan tersebut sulit dimengerti, sulit
dipahami, dan bersifat ilusif, karena tidak ada seorang pun yang dengan pasti
dapat mengetahui efek yang diharapkan dari penulisan teks kuno sekian ratus
tahun yang lalu, karena sulit membayangkan konteksnya. Karena hasil terjemahan
yang bisa bertahan lama, hingga ratusan tahun, efek yang dialami pembaca
sasaran sulit diprediksi pada saat mereka membaca sekian puluh tahun lagi
(Munday, 2000: 44).
Terkait dengan pendapat Newmark tentang metode penerjemahan, berikut
dipaparkan metode yang berorientasi pada BS, yaitu penerjemahan kata demi kata
(Word-for-word Translation). Satuan lingual pada penerapan metode ini ialah
pada tingkatan kata. Kata diterjemahkan satu demi satu secara urut, tanpa
memperhatikan konteks. Istilah-istilah budaya dalam BS pun diterjemahkan secara
harfiah (literal). Metode ini dapat diterapkan dengan baik apabila struktur BS
70
sama dengan struktur BT, atau teks BS yang hanya berisi kata-kata tunggal tidak
dikonstruksi menjadi frasa, klausa ataupun kalimat sehingga tidak saling bertautan
makna. Metode ini juga bisa dipergunakan ketika menghadapi suatu ungkapan
yang sulit, yaitu dengan melakukan penerjemahan awal (pre-translation) kata
demi kata, kemudian direkonstruksi menjadi sebuah terjemahan ungkapan yang
sesuai yang terdiri atas: (1) penerjemahan harfiah (literal translation). Metode
ini sama seperti metode penerjemahan kata demi kata, yaitu pemadanan masih
lepas dari konteks. Metode ini juga dapat digunakan sebagai langkah awal dalam
melakukan penerjemahan. Perbedaannya terletak pada konstruksi gramatika BS
yang berusaha diubah mendekati konstruksi gramatika pada BT; (2)
penerjemahan setia (faithful translation). Metode penerjemahan setia adalah
metode penerjemahan yang membentuk makna kontekstual, tetapi masih tetap
terikat pada struktur gramatika pada BS. Penerjemahan ini berusaha sesetia
mungkin terhadap BS. Hal ini menimbulkan adanya ketidaksesuaian terhadap
kaidah BT, terutama penerjemahan istilah budaya, sehingga hasil terjemahan
sering kali terasa kaku; (3) penerjemahan semantik (semantic translation).
Apabila dikaitkan dengan keterikatan dengan BS, metode ini lebih luwes
dibandingkan dengan metode penerjemahan setia. Istilah budaya yang
diterjemahkan jadi lebih mudah dipahami pembaca. Unsur estetika BS tetap
diutamakan, tetapi disertai kompromi yang masih dalam batas wajar.
Metode berikut berorientasi pada BT: (1) adaptasi (adaptation). Metode
penerjemahan adaptasi adalah keterikatan bahasa dan budaya terhadap BS
sangatlah tipis, bahkan hampir tidak ada, keterikatan justru lebih dekat pada BT.
71
Unsur-unsur budaya yang terdapat pada BS diganti dengan unsur budaya yang
lebih dekat dan akrab pada pembaca sasaran. Metode ini sering dipakai pada
penerjemahan teks drama atau puisi; (2) penerjemahan bebas (free translation).
Metode penerjemahan bebas lebih mengutamakan isi (content) BS daripada
bentuk strukturnya. Kebebasan dalam metode ini masih sebatas bebas
mengungkapkan makna pada BT, sehingga masih dibatasi maksud atau isi BS
walaupun bentuk teks BS sudah tidak dimunculkan kembali. Lebih lanjut,
pencarian padanan pun cenderung berada pada tataran teks, bukan kata, frasa,
klausa atau kalimat, sehingga akan tampak seperti memparafrasa BS; (3)
penerjemahan idiomatis (idiomatic translation); (4) metode penerjemahan
idiomatis adalah mereproduksi “pesan” dari BS, tetapi cenderung mendistorsi
nuansa makna. Ungkapan idiomatis yang ada pada BS diterjemahkan seperti
ungkapan biasa, bukan dengan ungkapan idiomatis. Hal ini disebabkan oleh
karena tidak ditemukannya ungkapan idiomatis yang sama pada BT, sehingga
distorsi nuansa tidak bisa dihindari; (4) penerjemahan komunikatif
(communicative translation). Metode penerjemahan komunikatif berupaya
demikian rupa agar menghasilkan makna kontekstual secara tepat, sehingga aspek
bahasa dapat diterima dan isi dapat langsung dipahami oleh pembaca sasaran.
2.3.3.4 Ideologi Penerjemahan
Ideologi penerjemahan dapat dirunut, baik melalui proses maupun
produk penerjemahan yang saling berkaitan.
72
Menurut Hoed (2003), ideologi dalam penerjemahan adalah prinsip atau
keyakinan tentang “benar atau salah” dalam penerjemahan. Sebagian penerjemah
menganggap bahwa penerjemahan dikatakan benar bila teks terjemahan telah
menyampaikan pesan teks bahasa sumber ke dalam teks bahasa sasaran secara
tepat. Keberterimaan kemudian menjadi sesuatu yang tidak diperhatikan. Sebagian
yang lain menganggap teks terjemahan yang benar adalah teks terjemahan dengan
keberterimaan yang tinggi, teks terjemahan yang memenuhi kaidah-kaidah bahasa
sasaran, baik kaidah gramatika maupun kaidah kultural. Tentu saja apa yang
dikatakan benar atau salah dalam penerjemahan bersifat sangat relatif dan
berkaitan dengan faktor-faktor yang ada di luar proses penerjemahan itu sendiri.
Seorang penerjemah sudah secara tak terhindarkan terikat pada konstruksi
ideologis tentang konsep benar dan salah ini. Apakah sebuah terjemahan benar
atau salah ditentukan oleh untuk siapa dan untuk tujuan apa suatu terjemahan
dilakukan (Hoed, 2003:4). Keyakinan tentang yang benar dan salah dalam
penerjemahan meliputi strategi atau metode yang dilakukan oleh penerjemah, yaitu
foreignization dan domestication. Istilah foreignization dan domestication
digunakan untuk merujuk pada metode yang diterapkan oleh penerjemah ketika
mentransfer sebuah teks dari suatu bahasa ke dalam bahasa lain (Mazi-Leskovar,
2003:5). Ada dua ideologi di dalam proses penerjemahan. Pertama, ideologi yang
mengatakan bahwa terjemahan yang baik adalah terjemahan yang mengacu pada
bahasa sasaran. Jadi, sebuah teks terjemahan dikatakan baik apabila bisa diterima
dan dipahami dengan baik oleh pembaca bahasa sasaran. Teks terjemahan tersebut
haruslah tidak terdengar seperti teks terjemahan; seakan-akan sebuah karya asli
73
bahasa yang bersangkutan. Ideologi ini disebut domestikasi. Kedua, terjemahan
yang baik adalah terjemahan yang mengacu pada bahasa sumber, atau dengan kata
lain, teks terjemahan yang baik adalah teks terjemahan yang masih
mempertahankan bentuk-bentuk bahasa sumber termasuk unsur-unsur kulturalnya.
Ideologi ini disebut foreignisasi, kebalikan dari yang pertama. Pada saat
penerjemah berhadapan dengan bentuk atau istilah atau apa pun dari teks bahasa
sumber yang memerlukan pertimbangan khusus apakah ia harus mempertahankan
bentuk seperti yang terdapat dalam bahasa sumber karena pertimbangan-
pertimbangan tertentu ataukah harus merubah untuk memudahkan pembaca
memahami dengan cara membuat sesuatu yang lebih dekat dengan khalayak
pembaca, penerjemah sedang berada pada posisi harus memutuskan apakah
domestikasi atau foreignisasi.
1) Domestikasi
Menurut Mazi-Leskovar (2003), domestikasi mengacu pada semua
perubahan pada semua tingkat teks untuk membuat pembaca sasaran bisa
memahami teks terjemahan dengan baik. Dengan demikian, perubahan pada teks
terjemahan yang dilakukan oleh penerjemah sebagai upaya untuk meningkatkan
keberterimaan teks. Pada beberapa teks terjemahan novel atau bentuk karya prosa
lain, upaya domestikasi dilakukan antara lain dengan mendomestikasi nama-nama
tokoh cerita dengan penggunaan nama dengan pengucapan yang lebih mudah
diucapkan pembaca. Pada novel “Romeo and Juliet”, misalnya, pada versi bahasa
Indonesia diganti dengan Romi dan Yuli. Perubahan ini tentu dimaksudkan tidak
saja agar pembaca Indonesia lebih mudah mengucapkannya, tetapi juga agar
74
tokoh-tokoh tersebut terasa lebih dekat dengan kultur pembaca Indonesia. Pada
beberapa novel lain penerjemah bahkan melakukan domestikasi dengan
memperpendek judul (Mazi-Leskovar, 2003:5). Pada terjemahan karya sastra
tertentu, penerjemah bisa menghubungkan isu sebuah peristiwa atau fenomena
sosial tertentu dalam teks bahasa sumber ke dalam fenomena yang mirip terjadi di
dalam masyarakat pembaca bahasa sasaran. Misalnya, kasus perbudakan
masyarakat Amerika abad ke-19 dihubungkan dengan isu perlakuan majikan
terhadap buruh. Di sini penerjemah menunjukkan bahwa perlakuan buruk para
majikan pada buruhnya pada dasarnya adalah sama dengan perbudakan yang
terjadi pada masyarakat lain. Pengandaian ini akan membuat pembaca lebih bisa
memahami bagaimana situasi masyarakat yang diceritakan di dalam novel dengan
membandingkannya dengan situasi riil yang ada dalam kehidupannya. Ini
merupakan alat yang ampuh untuk membawa teks terjemahan lebih dekat kepada
pembaca target dengan menggambarkan dua situasi yang mirip tetapi dengan
konteks kultural yang berbeda. Menurut Mazi-Leskovar (2003) foreignisasi pada
konteks penerjemahan adalah upaya mempertahankan apa yang asing dan tidak
lazim pada konteks bacaan pembaca target tetapi merupakan hal yang lazim, unik,
dan khas dari budaya bahasa sumber. Dengan paradigma ini, terjemahan yang
bagus adalah terjemahan yang tetap mempertahankan gaya, dan cita rasa kultural
bahasa sumber. Kebenaran, menurut paradigma ini, dilakukan dengan
mempertahankan apa yang terdapat pada teks bahasa sumber. Penerjemahan yang
benar, berterima, dan baik adalah yang sesuai dengan selera dan harapan sidang
pembaca yang menginginkan kehadiran kebudayaan bahasa sumber (Hoed,
75
2003:4). Sebalikyna, domestikasi adalah strategi penerjemahan yang dilakukan
ketika istilah asing dan tidak lazim dari teks bahasa sumber akan menjadi
hambatan atau kesulitan bagi pembaca bahasa sasaran dalam memahami teks
(Mazi-Leskovar, 2003:5). Kesulitan pemahaman pembaca bahasa sasaran bisa
diakibatkan oleh perbedaan cara pandang kultur bahasa sasaran dengan cara
pandang kultur bahasa sumber ataupun pengalaman peristiwa sosial tertentu.
2) Foreignisasi
Foreignisasi pada konteks penerjemahan adalah upaya mempertahankan
apa yang asing dan tidak lazim pada konteks bacaan pembaca target tetapi
merupakan hal yang lazim, unik, dan khas dari budaya bahasa sumber (Mazi-
Leskovar, 2003:5). Menurut penganut ini, terjemahan yang bagus adalah
terjemahan yang tetap mempertahankan gaya, dan cita rasa kultural bahasa sumber.
Mempertahankan apa yang terdapat pada teks bahasa sumber adalah simbol
˜kebenaran” menurut penganut ini. Mempertahankan gaya dan cita rasa bahasa
sumber tidak saja dimaksudkan untuk memberi informasi kultural kepada
pembaca. Bagian yang terdengar asing atau eksotik yang dipertahankan dari teks
bahasa sumber ini diharapkan menjadi stimulus bagi pembaca (Mazi-Leskovar,
2003:5). Keberadaan ideologi dalam memengaruhi teks terjemahan dan memberi
warna ideologi penganutnya sudah berlangsung lama.
2.4 Model Konseptual
Model konseptual dirancang untuk memberi gambaran secara konseptual
dan utuh tentang penggabungan teori yang dipergunakan untuk mengkaji
76
terjemahan metafora konseptual dalam teks perumpamaan Injil Lukas dari bahasa
Inggris ke bahasa Indonesia. Teori metafora konseptual Lakoff dan Johnson
(1980, 1993, 2003) dan K�vecses (2005, 2006) (pendekatan kognitif) mengkaji
metafora dengan pemetaan konseptual, beberapa teori terjemahan untuk mengkaji
TSu (pendekatan korpus) terjemahan metafora konseptual, model komparatif, dan
strategi terjemahan, dapat dilihat pada bagan berikut.
Bagan 2.1: Model Konseptual
2.5 Model Penelitian
Model penelitian menggambarkan kajian penerjemahan metafora
konseptual dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia dilakukan berdasarkan
Teori Metafora Konseptual (Lakoff, 1993; K�vecsec, 2005)
(Pendekatan Kognitif)
Teori Terjemahan: (1) Ideologi dalam Penerjemahan (Venuti, 1995;
Tymoczko, 2003; Hoed 2003; Munday, 2007/2008)
(2) Metode Penerjemahan (Newmark, 1988) (3) Prosedur Penerjemahan Metafora (Newmark,
1982; Larson 1984) (4) Teknik Penerjemahan (Vinay & Darbelnet,
1958; Newmark, 1988; Molina & Albir, 2002)
Kategorisasi Metafora Konseptual: (1) Metafora Orientasional (2) Metafora Ontologis (3) Metafora Struktural
Terjemahan Metafora
Subkorpus TSu (Pendekatan Korpus) (Baker, 1995; Cowie dan Pearson, 2002; Olohan, 2004; Stefanowitsch, 2006)
Model Komparatif (William & Chesterman, 2002)
Sukorpus TSa (Pendekatan Korpus) (Baker, 1995; Cowie dan Pearson, 2002; Olohan, 2004; Stefanowitsch, 2006)
77
masalah penelitian yang diajukan dan penjabaran unsur-unsur konsep strategi
penerjemahan meliputi teknik penerjemahan, prosedur penerjemahan, metode
penerjemahan, dan ideologi penerjemahan. Kategorisasi dilakukan terhadap
metafora konseptual yang terdapat dalam subkorpus TSu didasarkan pada teori
metafora konseptual yang dikemukakan oleh Lakoff dan Johnson (1993).
Bagan 2.2: Model Penelitian
Dari model penelitian di atas dapat dilihat hal yang berikut. Pertama,
penelitian ini menganalisis penerjemahan metafora konseptual dalam
perumpamaan Injil Lukas. Metafora konseptual dalam hal ini dianalisis
Penerjemahan Metafora Konseptual dalam Perumpamaan Injil Lukas
Metafora Konseptual Penerjemahan Ideologi
Kategori Pemetaan Konseptual Koherensi Korespondensi Analogi Karakteristik
Strategi Prosedur Teknik Metode
Domestikasi Foreignisasi
Teori Semantik
Teori Penerjemahan
Teori Ideologi
Teori Metafora
TEMUAN
78
berdasarkan empat hal, yaitu (a) berdasarkan kategori (orientasional, ontologis,
dan struktural), (b) berdasarkan pemetaan konseptual (PK) dari masing-masing
kategori, (c) koherensi metafora dari setiap PK dengan realitas kehidupan pada
setiap data, (d) korespondensi metafora pada setiap ungkapan metaforis pada data,
dan (e) analogi karakteristik (analogi ciri karekteristik dan relasi antara RSu dan
RSa).
Kedua, penelitian ini menganalisis penerjemahan metafora konseptual
perumpamaan pada Injil Lukas dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia
yang berkaitan dengan strategi penerjemahan meliputi teknik penerjemahan yang
dikemukakan oleh Vinay & Darbelnet (1958), Newmark (1988), Molina Albir,
(2002), prosedur penerjemahan metafora yang dikembangkan oleh Newmark
(1982), Larson (1984), dan metode penerjemahan yang digagas oleh Newmark
(1988). Telaah teknik dan prosedur penerjemahan pada bagian ini menganalisis
satuan-satuan lingual, seperti klausa, frasa, dan kata. Sementara itu, metode
penerjemahan menelaah keseluruhan teks yang dikemukakan oleh Newmark
(1988) dan Machali (2000).
Ketiga, berdasarkan telaah ideologi penerjemahan yang diartikan sebagai
prinsip atau keyakinan tentang “benar” atau “salah” (Hoed, 2003). Ideologi
foreignisasi berorientasi pada budaya BS, sedangkan ideologi domestikasi
berorientasi pada kaidah, norma, dan budaya BT. Penerjemah yang menganut
ideologi foreignisasi, maka hasil terjemahannya berorientasi pada pemadanan
formal dengan menerapkan metode penerjemahan kata per kata, harfiah, setia atau
semantik. Sementara itu, penerjemah yang menganut ideologi domestikasi