bab i pendahuluan - abstrak.ta.uns.ac.id · penelitian ini membahas tentang makna paribahasa bali...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan suatu lambang yang berwujud bunyi atau ujar yang
diujarkan manusia sebagai alat komunikasi. Bahasa itu terbentuk dari budaya dan
pengetahuan masyarakat itu sendiri. Setiap daerah pasti memiliki bahasa yang
berbeda-beda. Perbedaan ini terjadi dikarenakan pola pikir dan pengetahuan
manusia serta keadaan alam yang berbeda-beda pula. Perbedaan bahasa ini dapat
dilihat dari segi budaya, alam sekitar dan mata pencaharian.
Bahasa-bahasa dalam keseharian masyarakat saat ini terjadi karena adanya
suatu kejadian yang diolah dan akhirnya diberi nama dengan kesepakatan antar
masyarakat itu sendiri. Pemberian nama dalam suatu bahasa tidak bersifat semena-
mena, melainkan terdapat korelasi antara nama dengan sesuatu yang dirujuk. Nama
tersebut dibuat seperti simbol. Simbol tersebut merupakan sebuah benda yang
memiliki arti sendiri dan dapat memberikan makna sesuai dengan yang dituju.
Sehingga simbol-simbol tersebut memiliki makna dua arti diantaranya adalah arti
dari benda itu sendiri yang disebut dengan makna leksikal dan arti yang berkaitan
dengan sesuatu yang dirujuk yang disebut dengan makna kultural. Adapun ilmu
yang paling sesuai untuk mengkaji nama-nama tersebut adalah Etnolinguistik.
Etnolinguistik adalah suatu bidang linguistik yang mempelajari tentang hubungan
bahasa dengan kebudayaan.
Masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang erat hubungannya dengan
budaya Jawa. kebanyakan dari masyarakat tersebut, yang bertempat tinggal di desa
2
masih menjunjung tinggi budayanya. Ketika mereka ingin merencanakan atau
melakukan sesuatu kegiatan yang besar, mereka selalu meminta ijin kepada para
leluhurnya. Hal itu dilakukan dengan cara melakukan upacara-upacara kecil yang
diiringi dengan pembuatan sesaji. Cara pembuatan sesaji dan jenis-jenis sesaji yang
disajikan pun berbeda-beda. Perbedaan tersebut tergantung dari niat dan tujuannya.
Pada saat pembangunan rumah misalnya, pada awal dan akhir pembangunan rumah
masih ada orang yang melakukan upacara dan membuat sesaji. Pembuatan sesaji
dalam rangka pembangunan rumah ini masih sering dilakukan karena mereka
meyakini bahwa dengan adanya upacara dan pembuatan sesaji, pembangunan akan
selamat, tanpa ada korban dalam proses pembangunannya serta dapat selesai tepat
waktu. Selain itu, pembuatan sesaji memiliki harapan agar rumah tersebut bisa awet
dan kokoh, baik bangunannya maupun isi yang ada didalamnya (rumah tangga).
Tradisi pemasangan sesaji sudah jarang lagi diterapkan pada
pembangunan rumah, karena hal-hal yang berhubungan dengan sesaji dianggap
musrik. Di Desa Sidorejo, peneliti menemukan proses pembangunan rumah yang
masih menggunakan sesaji lengkap dengan upacara slametan. Warga yang masih
menggunakan sesaji adalah warga yang memiliki kepercayaan kuat terhadap
budaya Jawa. Mereka meyakini bahwa meninggalkan sesaji akan memberikan
dampak buruk terhadap hajat yang mereka lakukan seperti halnya sesaji dalam
pembangunan rumah di Desa Sidorejo Kecamatan Kendal Kabupaten Ngawi. Pada
pembangunan fondasi rumah nampak jelas terdapat sesaji pada setiap sudut fondasi.
Setelah ditinjau lebih dalam, sesaji ini memiliki makna yang berkorelasi dengan
jenis, nama, dan sifat dari benda-benda yang disertakan dalam sesaji. Akan tetapi,
kebanyakan masyarakat Desa Sidorejo tidak mengetahui fungsi dan makna sesaji
3
yang disertakan dalam pembangunan rumah. Masyarakat selalu meminta bantuan
seorang dukun untuk mempersiapkan sesaji. Tidak semua dukun di Desa Sidorejo
mengetahui fungsi dan makna sesaji, dan hanya mengetahui jenis sesaji apa yang
harus disiapkan. Disamping itu peneliti juga menemukan perbedaan penggunaan
sesaji. Perbedaan itu merupakan sebuah perkembangan yang terjadi dari masa ke
masa. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengkaji agar fungsi, makna dan
perkembangan dari sesaji tersebut dapat diketahui oleh generasi selanjutnya. Selain
itu, peneliti juga menganalisis bentuk istilah untuk mengetahui perbedaan makna
antara kata dasar dan kata yang sudah mengalami perubahan bentuk. Sampai saat
ini belum ada penulisan mengenai istilah-istilah sesaji dalam pembangunan rumah
di Desa Sidorejo Kecamatan Kendal Kabupaten Ngawi.
Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk megkaji
“Istilah-istilah Sesaji dalam Pembangunan Rumah di Desa Sidorejo,
Kecamatan Kendal, Kabupaten Ngawi” (Suatu Kajian Etnolinguistik).
Adapun penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dengan kajian etnolinguistik
antara lain sebagai berikut.
Iswati, 2004, dalam skripsi yang berjudul “Istilah Unsur-Unsur Sesaji
dalam Upacara Nyadranan di Makam Sewu Wiji Rejo Kecamatan Pondok
Kabupaten Bantul” (Suatu Kajian Etnolinguistik). Penelitian ini membahas
bentuk dan makna dari istilah unsur-unsur sesaji dalam upacara nyadranan makam
sewu Desa Wiji Kecamatan Pondok Kabupaten Bantul.
Hidhawatari, 2008, dalam skripsi yang berjudul “Istilah Unsur-Unsur
Sesaji dalam Tradisi Bersih Desa di Desa Gondang Kecamatan Gondang
Kabupaten Sragen” (Suatu Kajian Etnolinguistik). Penelitian ini membahas
4
tentang makna leksikal dan kultural perlengkapan sesaji bersih desa di Desa
Gondong Kecamatan Gondong Kabupaten Sragen.
Andina Dyah Sitaresmi, 2009, dalam skripsi yang berjudul “Istilah
Perlengkapan Sesaji Jamasan Nyai Setomi di Siti Hanggil Keraton Surakarta
Hadinngrat” (Suatu Kajian Etnolinguistik). Penelitian ini membahas bentuk,
makna leksikal, dan makna kultural Istilah Sesaji Jamasan Nyai Setomi di Siti
Hanggil Keraton Kusunanan Surakarta Hadiningrat.
Ninuk Diah Pratiwi, 2010, dalam skripsi yang berjudul “Istilah Unsur-
Unsur sesaji Tradisi Buku Luwur di Desa Candisari Kecamatan Ampel
Kabupaten Boyolali” (Suatu Kajian Etnolinguistik). Penelitian ini membahas
tentang bentuk, makna leksikal dan makna kultural sesaji buka luwur di Desa
Candisari Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali.
Ida Ayu Putu Aridawati, dalam Jurnal Budaya Volume 19 Nomor 2,
Agustus 2014 yang berjudul “Makna Ssioluktural Paribahasa Bali dalam Seni
Pertunjukan Drama Gong Lakon Kalung Berlian. Penelitian ini membahas tentang
makna paribahasa Bali dalam seni pertunjukan drama gong lakon kalung berlian.
Wakit Abdullah, dalam Jurnal Linguistik Jawa Volume 1 Nomor 1,
Februari 2003 yang berjudul “Masyarakat Samin di Kabupaten Blora: Tradisi,
Bahasa, dan Modernitas” (Suatu Awal Etnolinguistik). Penelitian ini mengkaji
tentang bahasa samin di Kabupaten Blora yang berkaitan dengan tradisi, bahasa,
dan modernitas.
Bebetho Frederik Kasmiadi, Bambang Wibisono, Andang Subaharianto,
dalam Jurnal Publik Budaya Volume 1 Nomor 1, November 2013 yang berjudul
“Istilah-istilah yang Digunakan Pada Acara Ritual Petik Pari Oleh Masyarakat
5
Jawa di Desa Sumberpucung Kabupaten Malang” (Suatu Kajian Etnolinguistik).
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan menjelaskan bentuk, makna, dan
penggunaan istilah-istilah yang digunakan pada ritual petik pari oleh masyarakat
Jawa di Desa Sumberpucung Kabupaten Malang.
Adapun alasan peneliti mengkaji “Istilah-istilah Sesaji dalam
Pembuatan Rumah di Desa Sidorejo, Kecamatan Kendal, Kabupaten Ngawi”
(Suatu Kajian Etnolingistik) adalah sebagai berikut:
1. Istilah-istilah sesaji dalam pembuatan rumah di Desa Sidorejo,
Kecamatan Kendal, Kabupaten Ngawi ini belum pernah diteliti.
2. Pengetahuan mengenai makna dari istilah-istilah sesaji dalam
pembuatan rumah ini adalah suatu pengetahuan yang mendasar ketika
ingin membangun sebuah rumah.
3. Kebanyakan masyarakat Jawa pada saat ini hanya menerapkan upacara
tersebut tanpa mengetahui makna dan fungsi dari sesaji yang
digunakan.
4. Sesaji dalam pembuatan rumah memiliki makna leksikal dan kultural
yang berdasarkan pada masyarakat sesuai dengan budaya yang berlaku
di Desa sidorejo Kecamatan Kendal Kabupaten Ngawi.
6
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka
penelitian ini akan mengkaji permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakankah bentuk dan makna leksikal istilah-istilah sesaji
dalam pembangunan rumah di Desa Sidorejo Kecamatan Kendal
Kabupaten Ngawi?
2. Bagaimanakah makna kultural dari istilah-istilah sesaji dalam
pembangunan rumah di Desa Sidorejo Kecamatan Kendal Kabupaten
Ngawi?
3. Bagaimanakah perkembangan sesaji dalam pembangunan rumah di
Desa Sidorejo Kecamatan Kendal Kabupaten Ngawi?
C. Tujuan Pembahasan
Berdasarkan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan sebagai
berikut:
1. Mendeskripsikan bentuk dan makna leksikal istilah-istilah sesaji
dalam pembangunan rumah di Desa Sidorejo Kecamatan Kendal
Kabupaten ngawi.
2. Mendeskripsikan makna kultural dari istilah-istilah sesaji dalam
pembangunan rumah di Desa Sidorejo Kecamatan Kendal Kabupaten
Ngawi.
3. Mendeskrisikan perkembangan sesaji dalam pembangunan rumah di
Desa Sidorejo Kecamatan Kendal Kabupaten Ngawi.
7
D. Pembatasan Masalah
Penelitian yang berjudul “Istilah-istilah Sesaji dalam Pembangunan
Rumah di Desa Sidorejo Kecamatan Kendal Kabupaten Ngawi” ini dikaji
menggunakan teori etnolinguistik. Untuk mempermudah penelitian dan tidak
melebar dari permasalahan yang ada maka permasalahan dibatasi pada masalah
bentuk istilah, makna leksikal, makna kultural, dan perkembangan sesaji dalam
pembangunan rumah di Desa Sidorejo Kecamatan Kendal Kabupaten Ngawi.
E. Landasan Teori
1. Etnolinguistik
Istilah ‘etnolinguistik’ berasal dari kata ‘etnologi’ berarti ilmu yang
mempelajari tentang suku-suku tertentu dan ‘linguistik’ berarti ilmu yang mengkaji
seluk-beluk bahasa keseharian manusia atau disebut juga ilmu bahasa yang lahir
karena adanya penggabungan antara pendekatan yang biasa dilakukan oleh para
ahli etnologi (kini antropologi budaya) (Sudaryanto, 1996: 9).
Etnolinguistik adalah jenis linguistik yang menaruh perhatian terhadap
dimensi bahasa (kosakata, frasa, klausa, wacana, unit-unit lingual lainnya) dalam
dimensi sosial dan budaya (seperti upacara ritual, peristiwa budaya, folklor, dan
lainya) yang lebih luas untuk memajukan dan mempertahankan praktik-praktik
budaya dan struktural sosial masyarakat. (Wakit Abdullah, 2003: 10)
Ditegaskan lagi bahwa etnolinguistik adalah suatu ilmu bagian yang pada
mulanya erat bersangkutan dengan ilmu antropologi yang objek penelitinya berupa
daftar kata-kata, pelukisan-pelukisan dari ciri-ciri dan pelukisan-pelukisan tentang
tata bahasa dari bahasa-bahasa lokal yang tersebar di berbagai tempat dimuka bumi
8
ini, terkumpul bersama-sama dengan bahan tentang unsur kebudayaan sesuatu suku
bangsa (Koentjaraningrat, 1977: 2).
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
etnolinguistik adalah ilmu yang mempelajari istilah-istilah yang berkaitan dengan
budaya masyarakat.
2. Istilah
Istilah adalah suatu kata atau gabungan kata yang dengan cermat
mengungkapkan makna, konsep, proses, keadaan atau sifat yang khas dalam bidang
tertentu (KBBI: 390).
Istilah yaitu perkataan khusus yang mengandung arti tertentu di
lingkungan suatu kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan
konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dalam bidang tertentu (Harimurti
Kridalaksana, 2011:97).
Koentjaraningrat mengartikan istilah sebagai keseluruhan dari isi serta
kemampuan alam pikiran dan alam jiwa manusia dalam hal menanggapi
lingkungannya (dalam Pratiwi, 2010: 22)
Berdasarkan pendapat peneliti tersebut, disimpulkan bahwa istilah adalah
suatu kata atau frase yang memiliki makna khusus, makna tersebut berasal dari arti
kosakata yang bersifat umum dari alam pikiran dan alam jiwa manusia dalam
menghadapi lingkunganya. Adapun penelitian ini membahas tentang istilah-istilah
yang memiliki makna sesuai dengan alam pikiran manusia dalam lingkungannya.
9
3. Sesaji
Sajen yaiku apa-apa sing disajekake (lumrahe awujud kembang, menyan,
lan sak piturute )’sajen yaitu semua yang disajikan (biasanya berwujud bunga,
menyan, dsb)’ (Widada dkk, 2001: 685) dalam setiap upacara orang Jawa selalu
diikuti dengan pembuatan sesaji, bahkan ada juga pembuatan sesaji yng dilakukan
tanpa adanya suatu upacara.
Sesaji memang ada dalam setiap upacara orang Jawa, bahkan pembuatan
sesaji yang dilakukan tanpa adanya suatu upacara. Adapun bentuk dari sesaji terdiri
dari berbagai jenis makanan, antara lain nasi tumpeng, berbagai jenis panganan,
rempah-rempah, bermacam-macam benda kecil yang diatur dalam sebuah pinggan
kecil yang terbuat dari bambu (Koentjaraningrat, 1984: 365). Selanjutnya Geertz
(dalam Koentjaraningrat, 1984: 365) menambahkan dengan membuat daftar dari
sebanyak 15 buah jenis benda, mulai dari sisir rambut saku sampai mata uang logam
serta makanan, yang diperlukan dalam suatu upacara tingkeban di Mojokuto dalam
1954.
Berdasarkan berbagai pendapat di atas dapat ditarik kesmpulan bahwa
sesaji merupakan perlengkapan simbolik yang terdapat dalam setiap upacara adat
Jawa. sesaji ini merupakan simbol-simbol yang emiliki makna khusus tergantung
pada tujuan suatu acara dilakukan. Dalam upacara adat selamatan, sesaji adalah
salah satu bagian penting yang tidak bisa ditinggalkan. Setiap upacara mempunyai
kelengkapan sesaji sesuai dengan jenis upacaranya, seperti dalam proses pembuatan
rumah di Desa Sidorejo.
10
4. Selamatan
Di pusat seluruh sistem keagamaan orang Jawa terdapat suatu upacara
yang sederhana, formal, tidak dramatis, dan hampir-hampir mengandung rahasia
yang disebut dengan selametan atau slametan. Slametan adalah versi Jawa dari apa
yang merupakan upacara keagamaan yang paling umum di dunia, karena
melambangkan kesatuan mistis dan sosial mereka yang ikut serta di dalamnya.
Teman, tetangga, rekan sekerja, sanak keluarga, arwah setempat, nenek moyang
yang sudah mati, dan dewa-dewa yang hampir terlupakan, semuanya duduk
bersama mengelilingi suatu meja dan karena itu terikat ke dalam suatu kelompok
sosial tertentu yang diwajibkan utnuk tolong-menolong dan bekerja sama (Geertz,
1983: 13). Slametan atau wilujengan adalah suatu upacara pokok atau unsur
terpenting dari hampir semua ritus dan upacara dalam sistem religi orang Jawa pada
umumnya, dan penganut Agami Jawi khususnya (Koentjaraningrat, 1984: 344).
Slametan adalah upacara adat Jawa yang berupa sedekah makanan dan doa
bersama yang bertujuan untuk memohon keselamatan dan ketentraman untuk
keluarga yang menyelenggarakan. Orang Jawa meyakini bahwa slametan adalah
syarat spiritual yang wajib dan jika dilanggar akan mendapatkan ketidakberkahan
atau kecelakaan.
Dalam pembangunan rumah terdapat berbagai slametan agar para pekerja
pembuat rumah dalam proses pembangunan akan selamat, lancar tidak ada suatu
halangan apapun. Rumah yang dibangun pun juga akan kokoh kuat, awet, dan tidak
terganggu oleh hal-hal yang bersifat merugikan.
11
5. Bentuk Istilah
a. Monomorfemis
Monomorfemis terjadi dalam satu morfem (Harimurti Kridalaksana, 2011:
257) monomorfemis adalah suatu kata yang terdiri dari satu morfem. Morfem
adalah satuan gramatikal yang terkecil yang mempunyai makna (Abdul Chaer,
2007: 146). Morfem merupakan satuan bahasan terkecil yang maknanya secara
relatif stabil dan yang tidak dapat dibagi atas bagian-bagian bermakna yang lebih
kecil (Harimurti Kridalaksana, 2011: 158).
Berdasarkan pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
monomorfemis adalah satuan gramatikal yang bermakna dan tidak dapat dibagi lagi
menjadi makna yang lebih kecil. Dalam istilah-istilah unsur sesaji dalam
pembangunan rumah di Desa Sidorejo terdapat istilah monomorfemis seperti
ingkung, peyek, takir.
b. Polimorfemis
Polimorfemis merupakan kata yang telah mengalami proses morfologis.
Hal tersebut dikarenakan terjadinya afiksasi, pemajemukan dan reduplikasi. Kata
yang bermorfem lebih dari satu disebut polimorfemis (Joko Kentjono, 1982: 44).
Istilah-istilah sesaji dalam pembangunan rumah di Desa sidorejo Kecamatan
Kendal Kabupaten Ngawi terdapat beberapa istilah yang termasuk dalam bentuk
polimorfemis. Bentuk ini terjadi dari proses pembubuhan afiks atau afiksasi dan
pemajemukan.
Afikasi adalah proses pembubuhan afiks pada sebuah dasar atau bentuk
dasar. Afiks adalah sebuah bentuk, biasanya morfem terikat yang diimbuhkan pada
12
sebuah dasar dalam proses pembentukan kata (Abdul Chaer, 2007: 177). Pada
dasarnya polimorfemis adalah sebuah kata yang telah dibubuhi imbuhan yang akan
menumbulkan makna baru. Contoh: kuluban, [kulupan] yaitu sebutan untuk
berbagai jenis sayuran yang dapat dihidangkan dengan sambal kacang atau sambal
kelapa. Kulub “sebutan untuk jenis sayuran yang dimasak dengan direbus dan
dihidangkan dengan sambal kacang atau sambel kelapa” + Sufiks –an → kuluban
‘sebutan untuk berbagai jenis sayuran yang dapat dihidangkan dengan sambal
kacang atau sambal kelapa’.
Pemajemukan atau kata majemuk adalah sebutan kata yang memiliki
makna baru yang tidak merupakan gabungan makna unsur-unsurnya (Alisjahbana,
1953 dalam Cheer, 2007: 186). Kata majemuk adalah gabungan leksem dengan
leksem yang seluruhnya berstatus sebagai kata yang mempunyai pola fonologis,
gramatikal, dan semantis yang khusus menurut kaidah bahasa yang bersangkutan
(Harimurti Kridalaksana, 2010: 111). Kata majemuk adalah proses morfemis yang
menggabungkan dua morfem dasar (atau pradasar) menjadi satu kata yang namanya
“kata majemuk” atau “kompaun” (Verhaar, 2010: 154).
Dari beberapa pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kata
majemuk adalah proses morfemis yang menggabungkan antara leksem dengan
leksem yang menghasilkan makna baru yang tidak merupakan gabungan dari unsur-
unsurnya. Pada penelitian ini terdapat kata yang merupakan kata majemuk
diantaranya adalah kata gedhang raja.
13
c. Frasa
Frasa adalah suatu gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak
terlampaui batas fungsi unsur klausa. Frasa adalah kelompok kata yang merupakan
bagian fungsional dari tuturan yang lebih panjang (Verhaar, 2010: 291). Frasa
adalah sebagai satuan gramatikal yang terdiri atas dua kata atau lebih dari dua kata
yang tidak berciri klausa dan yang pada umumnya tidak menjadi pembentukan
klausa (Joko Kentjono, 1982: 57). Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang
sifatnya tidak predikatif. (Harimurti Kridalaksana, 2011: 66).
Dari beberapa pendapat diatas jelas bahwa frasa adalah suatu gabungan
kata yang tidak predikatif yang tidak dapat dikatakan sebagai klausa. Kebanyakan
kata yang terdapat pada istilah-istilah sesaji dalam pembangunan rumah di Desa
Sidorejo Kecamatan Kendal Kabupaten Ngawi berupa frasa seperti: sega gurih,
dhuwit cring, janur kuning, cengkir kuning gadhing.
6. Makna
Makna adalah arti yang dimiliki oleh sebuah kata (baca: leksem) karena
hubungannya dengan makna leksem lain dalam sebuah tuturan (Edi Subroto, 2011:
23). Makna adalah maksud pembicara, pengaruh satuan bahasa dalam pemahaman
persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia, hubungan, dalam arti
kesepadanan atau ketidak sepadanan antara bahasa dan alam di luar bahasa atau
antara ujaran dan semua hal yang ditunjuknya. Makna adalah cara menggunakan
lambang-lambang bahasa (Harimurti Kridalaksana, 2011: 148). Berdasarkan uraian
diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa makna adalah arti dari sebuah kata karena
hubungannya dengan hal-hal lain dalam sebuah tuturan.
14
a. Makna Leksikal
Makna leksikal adalah arti yang terkandung dalam kata-kata sebuah
bahasa yang lebih kurang bersifat tetap (Edi Subroto, 2011: 31). Makna leksikal
adalah makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa dll. Unsur-
unsur bahasa lepas dari penggunaanya atau konteksnya (Harimurti Kridalaksana,
2011: 149). Makna leksikal merupakan sebuah arti yang sesungguhnya yang
terbebas dari konteks.
b. Makna Kultural
Makna kultural adalah arti yang secara khas mengungkapkan unsur-unsur
budaya dan keperluan budaya secara khas aspek kebudayaannya, arti kultural itu
begitu khasnya sehinngga hampir tidak mungkin diterjemahkan kedalam bahasa
lain (Edi Subroto, 2011: 36), kemudian dijelaskan (Subroto dalam Abdullah, 2013:
20) makna kultural adalah makna yang dimiliki bahasa sesuai dengan konteks
budaya penuturnya. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut jelas bahwa makna
kultural adalah arti bahasa yang khas yang berkitan dengan konteks budaya.
7. Prosesi Pembangunan Rumah
Perihal pembangunan rumah ada beberapa prosesi atau upacara. Upacara
ini dimaksudkan untuk mengantarkan doa selamat kepada tukang-tukang dan
penggarap lainnya. Pemberian doa ini bertujuan agar proses pembangunan rumah
lancer tanpa ada halangan. Pembangunan rumah di Desa Sidorejo ini terdiri dari
dua tahap diantaranya adalah Dhudhuk pondhasi ‘menggali tanah untuk pembuatan
15
fondasi’ dan Ngedegne omah ‘mendirikan rumah’. Dhudhuk pondasi adalah proses
awal dalam pembangunan sebuah rumah, yaitu membuat atau membangun pondhsi
rumah. Pada awal pembuatan fondasi, sesaji diletakkan di luar fondasi seperti
gambar berikut.
Gambar 1. Pemasangan Sesaji Takir di luar Fondasi
Ngedegne omah adalah proes pembangunan rumah yang mendekati tahap akhir
yaitu dengan didirikannya tiang penyangga, atau bila dalam model rumah tersebut
tidak memiliki tiang maka peristiwa itu ditandai dengan dinaikanya kayu sebagai
panuwun’kayu besar penyangga atap rumah’. Pada saat ngedegne omah juga diikuti
dengan pemasangan sesaji takir dan sesaji yang dipasang pada tiang penyangga
rumah seperti kelapa gading, janur kuning ‘daun kelapa yang berwarna kuning’,
tebu ireng ‘sejenis tebu hitam’, daun andong, dan lain-lain. Untuk sesaji takir
diletakkan di dalam lingkar sudut fondasi seperti gambar berikut.
16
Gambar 2. Pemasangan sesaji ngedegne omah
Untuk rumah model baru sesaji tetap digunakan dan diletakkan menyerupai model
lama. Sesaji tiang diletakkan pada bangunan utama diambil empat titik tengah dari
ujung fondasi. Untuk mengetahui bangunan utama dapat dilihat dari letak pintu
utama. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini. berikut
merupakan cara peletakkan sesaji takir dalam rumah yang berbentuk ‘L’.
17
Gambar 3. Pemasangan Sesaji pada Rumah Model ‘L’ dengan Pintu di Belakang
gambar di atas menunjukkan rumah yang letak pintunya berada diujung huruf ‘L’.
Bila pintu berada di sisi lain maka perhatikan gambar berikut.
18
Gambar 4. Pemasangan Sesaji pada Rumah Model ‘L’ dengan Pintu di Depan
Rumah model baru sudah tidak menggunakan tiang penyangga, maka
peletakkan sesaji tiang dapat diselipkan pada tembok rumah seperti pada gambar di
atas.
8. Selamatan dalam Membuat Rumah
Prosesi pembangunan rumah di Desa Sidorejo didahului dengan
mengadakan upacara slamatan. Kemudian pembanguan dimulai dengan menggali
tanah untuk membangun fondasi rumah. Penggalian tersebut diikuti dengan
menaruh sesaji takir pada setiap sudut fondasi dan pada bagian tengah bangunan
Slametan selanjutnya adalah slametan yang dilakukan pada saat akan
membersihkan, membentuk dan memasang bahan kayu bangunan bagian atas
19
rumah, slametan ini disebut ngedegne omah. Upacara pada tahapan ini terdapat
berbagai unsur sesaji yang diletakkan pada tiang, seperti janur kuning, gedhang
satundhun, jarit, dll. Kegiatan ini didahului dengan acara slametan yang dilakukan
oleh kerabat dan tetangga dekat.
Para peserta upacara slametan pada tahapan ini terdiri dari para kerabat
dan tetangga dekat ditambah dengan tenaga-tenaga tukang dan tenaga sukarela
tertentu yang disebut dengan sambatan. Tetangga dekat ini terdiri dari dua pihak,
yaitu tetangga dekat lama yang terdiri dari orang-orang di sekitar rumah tempat
tinggal yang mempunyai hajat dan tetangga dekat baru yang terdiri dari orang-
orang di sekitar lokasi bangunan rumah yang akan ditegakkan.
Penyelenggara upacara slametan adalah seseorang yang membangun
rumah, maksudnya adalah jika ada seseorang yang belum mampu membangun
rumah melainkan dibuatkan oleh orang lain seperti orang tua atau secara gotong-
royong maka yang menyelenggarakan adalah orang yang membuatkan rumah.
Orang tersebut juga harus menyiapkan seluruh peralatan upacara selamatan yang
diperlukan.
Pimpinan upacara slametan adalah seorang kiai atau seseorang yang lebih
dalam hal agama. Akan tetapi, ada juga yang mempercayakannya kepada seorang
dukun yang sangat dipercayai oleh masyarakat Desa Sidorejo Kecamatan Kendal
kabupaten Ngawi.
Adapun alat-alat upacaranya adalah sebagai berilut:
1) Jenis makanan untuk dihidangkan/dibagikan dalam upacara slametan.
a) Bothok pelas, makanan yang terbuat dari kedelai dan dalam prosesinya
dilakukan perendaman selama dua jam, kemudian ditumbuk dengan
20
campuran ketumbar, bawang putih, laos, garam, gula dan parutan kelapa,
adonan tersebut kemudian dibungkus dengan daun pisang dan kemudian
direbus sampai matang.
b) Gedhang raja, salah satu jenis pisang yang memiliki bentuk besar, panjang
dan berwarna kuning. Gedhang raja ini memiliki rasa yang manis dan jenis
pisang ini sangat dominan sebagai “alat upacara”, sedangkan jenis pisang
lainnya kurang berperanan dalam system upacara suku Jawa.
c) Ingkung, masakan daging ayam utuh, artinya daging tersebut seolah-olah
masih berwujud seekor ayam hanya saja kepala ditarik ke atasbv dan dijepit
dengan sayap. Ayam tersebut direbus dan dicampur dengan bumbu kemiri,
ketumbar, kunir, bawang merah, bawang putih, santan, laos, daun salam,
dan bawang goreng.
d) Jadah putih, makanan yang berbahan dasar ketan yang dicampur dengan
kelapa. Makanan ini di masak dengan cara dikukus.
e) Jangan lodheh, yaitu sayuran yang dimasak dengan santan dan bahan-bahan
yang digunakan adalah labu jipang, kacang panjang, petai, tempe, cabai, dan
santan, sedangkan bumbunya: bawang merah, bawang putih, tempe busuk
dan penyedap rasa. Jangan lodheh memiliki cita rasa gurih dan segar.
f) Jangan tempe, sayuran yang dimasak dengan bahan dasar tempe yang diberi
santan dan berbagai bumbu seperti bawang merah, bawang putih, tempe
yang sudah membusuk, cabe yang ditumbuk halus, lalu diberi daun salam
dan lengkuas.
g) Jenag abang memiliki leksikal yaitu sejenis makanan yang terbuat dari
tepung beras yang diolah dan dicampur dengan santan, garam dan gula
21
merah. Gula merah di sini berfungsi sebagai penghasil warna merah pada
jenang.
h) Jenang putih memiliki makna leksikal yaitu sejenis makanan yang terbuat
dari tepung beras yang dicampur dengan santan dan garam. Makanan ini
memiliki tekstur yang lunak seperti bubur.
i) Kulupan, yaitu sayur yang dimasak dengan cara direbus sampai matang,
biasanya diberi bumbu kacang atau sambal kelapa. Sayuran yang digunakan
dalam membuat kulupan seperti daun ketela pohon, kecambah, kol, bacam,
kacang panjang, dan lain-lain.
j) Kupat, makanan yang terbuat dari beras dan dalam prosesinya dibutuhkan
perendaman terlebih dahulu, kemudian dimasukkan ke dalam anyaman
daun kelapa berbentuk jajaran genjang, kemudian direbus dengan air sampai
matang.
k) Lepet, makanan yang terbuat dari ketan putih yang dibungkus menggunakan
daun kelapa, kemudian ditalipada tiga bagian, yaitu pada bagian atas, tengah
dan bawah.
l) Opak gaplek, sebuah olahan makanan yang terbuat dari ketela pohon, yang
kemudian diiris tipis-tipis untuk dijadikan kerupuk.
m) Pala kependem, yaitu jenis ubi-ubian yang terpendam di dalam tanah,
seperti: suweg, uwi, ketela, ganyong, garut dsb.
n) Panggang, yaitu ayam kampong utuh yangtelah dibersihkan jeroannya
kemudian disujeni, yaitu ditusuk dari tengah tepat di belakang brutu sampai
tembus pangkal leher. Setelah itu kepalanya ditarik ke depan dan dijepit
dengan sayap dan kaki. Ayam yang sudah disujeni kemudian dipanggang
22
dengan bara api dan diolesi bumbu yang terbuat dari campuran ketumbar,
bawang putih, gula Jawa, dan daun salam yang ditumbuk dan diberi sedikit
mentega, kemudian dipanggang sampai berwarna kecoklatan.
o) Peyek, yaitu makanan seperti kerupuk yang terbuat dari tepung beras yang
dicampur dengan berbagai bumbu. Biasanya diberi campuran kacang atau
teri.
p) Sega golong pitu, yaitu nasi putih yang dibentuk bulat dengan cara dikepal-
kepal menggunakan tangan. Nasi ini dibuat sejumlah tujuh buah.
q) Sega gurih, yaitu nasi putih yang rasanya gurih. Dalam proses
pengolahannya, nasi tersebut direbus terlebih dahulu dengan menggunakan
santan kelapa yang kental (Santen kanil) dan diberi garam secukupnya.
r) Srondeng, yaitu lauk yang terbuat dari parutan kelapa yang kemudian
dicampur dengan bumbu-bumbu seperti kunyit, ketumbar, bawang putih,
bawang merah, dan ditambah dengan daun salam, daun jeruk purut dan
lengkuas. Srondeng berwarna coklat kehitaman dan rasanya manis.
Srondeng ini biasanya diikutkan dalam takir dan adajuga yang dibuat lauk
dalam selametan.
2) Peralatan yang digunakan dalam sesaji
a) Andong, sebuah tanaman perdu yang bercabang. Mempunyai tinggi 2-4
meter dan bercabang. Andong memiliki daun yang panjang dan meruncing.
Biasanya tanaman andong ini digunakan sebagai tanaman hias dan bisa juga
dimanfaatkan sebagi obat.
23
b) Brabon, sebuah kain berwarna merah yang diletakkan pada ujung atas tiang
penyangga dalam prosesi pembangunan rumah. Kain ini berbentuk persegi
empat dan diberi lubang di tengah, dengan tujuan agar bisa dimasukki ujung
kecil yang dimiliki oleh tiang penyangga.
c) Cengkir kuning gadhing, yaitu buah kelapa gadhing muda yang berwarna
kuning. Berbentuk lonjong seperti buah pepaya dan berwarna kuning.
d) Dhahdhap, sebuah daun berwarna hijau yang berbentuk menyerupai daun
sirih namun agak melebar. Daun ini memiliki tekstur permukaan yang kasar.
Berasal dari pohon yang lunak, kecil dan pendek.
e) Dhuwit cring, yaitu uang logam. Nama tersebut muncul dikarenakan adanya
persentuhn antar permukaan uang logam yang menghasilkan bunyi cring.
Oleh sebab itu masyarakat Desa Sidorejo menyebutnya dengan dhuwit
cring.
f) Janur kuning, yaitu daun kelapa muda yang berwarna kuning. Daun ini
sering diikutsertakan dalam tradisi upacara adat Jawa, khususnya dalam
pernikahan. Janur kuning biasanya dipasang dan dibuat seperti gapura pintu
masuk lokasi acara dilaksanakan.
g) Jarit atau sewek, yaitu sebuah selendang. Selendang ini biasanya bermotif
batik yang biasanya digunakan untuk menggendong anak. Jarik juga
merupakan sebuah kain yang digunakan para kaum wanita sebagai pakaian
bawahan.
h) Manggar, sebuah bunga yang dihasilakn oleh pohon kelapa. Manggar
memiliki warna kuning muda dan jika diraba memiliki tekstur yang lembut.
Manggar merupakan bakal calon buah kelapa.
24
i) Pari, arane tetuwuhan sing wohe ditutu dadi beras (Bausastra Jawa,
2000:575). Sejenis tumbuhan yang buahnya digiling menjadi beras. Pari
memiliki tinggi 0,3 sampai dengan 1 meter. Jika sudah tua tanaman padi
berwarna kekuningan dan ujung tanamannya merunduk ke bawah.
j) Ringin, arane wit godhonge akeh ketel (Bausastra Jawa, 2000:672) yaitu
sebuah pohon besar yang memiliki daun yang rindang. Untuk benda atau
alat upacara ini digunakan seranting atau dua ranting daun beringin, dalam
arti daun pada ranting tidak dipetik.
k) Takir, sebuah wadah dari berbagai isi dari sesaji. Wadah ini terbuat dari dari
daun pisang yang dibentuk seperti mangkuk. Isi dari takir ini adalah telur,
kemiri, bawang merah, bawang putih, cabai, uang logam, bunga dan gantal.
l) Tebu ireng, adalah sejenis rumput-rumputan berbatang tinggi dan beruas-
ruas. Tanaman ini memiliki batang yang lunak dan berair. Tanaman ini
merupakan bahan baku dalam pembuatan gula pasir. Tebu ireng memiliki
daun yang berwarna keungu-unguan, bila batang dikupas warnanya
kekuning-kuningan dan memiliki batang yang lebih kecil daripada tebu
pada umumnya.
F. Data dan Suber Data
1. Data
Data adalah bahan penelitian (Sudaryanto, 1990:3). Dalam penelitian, data
yang dipandang sahih (valid) dan terhandal (terpercaya, reliable) adalah yang
berasal dari penutur asli bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto, 1988:26) Data
dalam penelitian ini adalah data lisan yang berupa tuturan dari narasumber yang
25
mengandung istilah-istilah sesaji dalam pembuatan rumah di Desa Sidorejo
Kecamatan Kendal Kabupaten Ngawi. Dalam penelitian ini data yang terkumpul
berbentuk kata-kata, analisis dan hasil laporan analisis menggunakan kata-kata.
2. Sumber data
Sumber data adalah penghasil atau pencipta data yang dimaksud, biasanya
disebut denngan narasumber (Sudaryanto dalam Pratiwi, 2010:23). Sumber data
dalam penelitian ini berasal dari informasi terpilih sesuai kriteria. Adapun kriteria
informan adalah sebagai berikut:
1. Penutur asli berbahasa Jawa
2. Usia di atas 50 tahun
3. Penganut budaya Jawa
4. Mengerti sesaji dalam adat Jawa
5. Sehat jasmani dan rohani
6. Memiliki alat wicara lengkap
7. Menguasai bahasa Indonesia
8. Bersedia untuk menjadi informan
Untuk memperoleh data peneliti menggunakan tiga informan yang sesuai
dengan kriteria. Informan yang dimaksud adalah:
1) Bapak Jumani selaku sesepuh desa di Desa Sidorejo Kecamtan Kendal
Kabupaten Ngawi yang masih melestarikan tradisi memasang sesaji
dalam pembangunan rumah.
26
2) Bapak Sugeng Jabir selaku dukun di Desa Sidorejo Kecamatan Kendal
Kabupaten Ngawi yang masih melestarikan tradisi memasang sesaji
dalam pembangunan rumah.
3) Bapak Wagiman selaku dukun dan sesepuh di Desa Sidorejo Kecamatan
Kendal Kabupaten Ngawi yang masih melestarikan tradisi memasang
sesajidalam pembangunan rumah.
G. Metode dan Teknik
1. Sifat Penelitian
Sifat penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, yaitu penelitian yang
dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena
secara empiris hidup pada penutur-penuturnya. Sehingga menghasilkan catatan
berupa pemberian bahasa dan sifatnya seperti potret (Sudaryanto, 1993:62).
Deskripsi merupakan prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan
menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian pada saat
sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya (Hadari
Nawawi, 1983:63). Penelitian kualitatif adalah metode pengkajian atau metode
penelitian suatu masalah yang tidak didesain atau dirancang menggunakan
prosedur-prosedur statistik (Edi Subroto, 2010: 5)
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah tempat atau objek penelitian. Lokasi penelitian ini
ada di wilayah Kabupaten Ngawi, yaitu lebih tepatnya di Desa Sidorejo. Peneliti
engambil lokasi ini sebagai objek penelitian karena merupakan salah satu wilayah
27
Jawa yang masih melestarikan kebudayaan Jawa terutama dalam pembangunan
rumah. Oleh karena itu dapat dipastikan pemilihan lokasi tersebut tepat dijadikan
sebagai lokasi penelitian.
3. Alat Penelitian
Alat penelitian meliputi alat utama dan alat bantu. Alat utama merupakan
alat paling dominan dalam penelitian yaitu peneliti sendiri, sedangkan alat bantu
yaitu alat yang berguna untuk memperlancar penelitian seperti alat tulis, buku
catatan, kamera, komputer, dan alat-alat lain yang menunjang dalam menyelesaikan
penelitian ini.
4. Metode Pengumpulan Data
Metode merupakan cara mendekati, mengamati, menganalisis dan
menjelaskan suatu fenomena (Harimurti Kridalaksana, 2008:153). Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode cakap. Metode cakap ini disebut juga
metode wawancara yaitu peneliti melakukan dengan mengajukan pertanyaan
kemudian dijawab oleh narasumber. Disebut metode cakap karena dalam
percakapan terjadi kontak antara peneliti dengan penutur selaku narasumber
(Sudaryanto, 1990:7). Teknik lanjutan yang digunakan yaitu teknik pancing, teknik
rekam dan teknik catat.
a. Teknik pancing, yaitu dengan memancing informan agar memberikan data.
Peneliti untuk mendapat data pertama-tama harus dengan segenap
kecerdikan dan kemauannya memancing seseorang atau beberapa orang
agar berbicara (Sudaryanto, 1988:7).
28
b. Teknik rekam, teknik rekam dilakukan dengan merekam tuturan informan.
Teknik ini digunakan sebagai bukti pendukung keabsahan penelitian.
Selain itu juga unuk menghindari ketertinggalan pencatatan data yang telah
diberikan oleh informan.
c. Teknik catat, teknik catat dilaksanakan dengan mencatat hal-hal yang
penting dalam penggunaan bahasa, pencatatan dapat dilakukan pada waktu
pengamatan atau segera setelah pengamatan berlangsung. Setelah data
terkumpul kemudian dianalisis. Dalam penelitian ini mencatat hal-hal yang
penting atau yang termasuk data yang kemudian dikumpulkan, disusun dan
kemudian dianalisis.
5. Metode dan Analisis Data
Metode yang digunakan peneliti untuk menganlisis data yaitu dengan
metode agih (distribusional) dan metode padan. Metode distibusional digunakan
untuk menganalisis bentuk. Metode padan digunakan untuk menganalisis makana
istilah-istilah yang terdapat dalam sesaji pembangunan rumah ini. Selain kedua
metode tersebut, untuk analisis makna leksikal peneliti memanfatkan kamus Jawa
dan panca indra.
a. Metode Agih (Distribusional)
Metode distribusional merupakan metode analisis data yang
penentunya unsur dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri (Sudaryanto,
1993:15). Adapun teknik yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik
bagi unsur langsung (BUL), yaitu teknik yang digunakan dengan membagi
satuan lingualnya menjadi beberapa bagian dan unsur-unsur yang
29
bersangkutan dipandang sebagai sebagian yang langsung membentuk satuan
lingual yang dimaksud. Teknik ini digunakan untuk menganalisis bentuk dari
istilah-istilah sesaji dalam pembuatan rumah dengan penerapanya sebagai
berikut.
Sega gurih [səgɔ gurIh] nasi putih yang gurih rasanya, karena dalam
proses pengolahannya, nasi tersebut terlebih dahulu direbus dengan santan
kelapa yang kental (Santan kanil) dan diberi garam secukupnya. Istilah sega
gurih bersifat frasa nomina. Hal tersebut dapat dibuktikan sebgai berikut.
Sega + gurih → sega gurih
N + adj → FN
Berdasarkan skema di atas, kata inti sega yang berjenis nomina yang diikuti
dengan modifikator gurih yang berjenis adjektif, sehingga frasa sega gurih
berjenis frasa nomina.
b. Metode Padan
Metode padan adalah metode analisis data yang penentuannya di
luar, terlepas dan tidak menjadi bagian dari bahasa (language) yang
bersangkutan (Sudaryanto, 1993:13). Metode padan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode padan referensi, yang alat penentunya berupa
kenyataan yang ditunjukkan oleh bahasa atau referen bahasa. Metode ini
digunakan untuk menganalisis makna leksikal dan makna kultural serta
30
perkembagan istilah-istilah dalam sesaji pembangunan rumah. Penerapan
metode ini sebagai berikut.
Sega gurih [səgɔ gurIh]
Sega gurih memiliki makna leksikal nasi putih yang memiliki
cita rasa gurih. Sega gurih terbuat dari nasi yang direbus dengan santen
kanil ‘santan kelapa yang kental’ dan diberi garam secukupnya.
Sega gurih
Sega gurih memiliki makna kultural sebagai lambang kekuatan.
Beras merupakan sumber daya kekuatan hidup dan kehidupan. Jelas
kiranya maksud simbolis dipakainya nasi (beras, padi) beberapa
upacara mendirikan bangunan rumah, rumah adalah tempat tinggal
manusia-manusia atau satu keluarga. Gurih ini melambangkan bahwa
masing-masing memerlukan kekuatan dan sumber hidup. Selain itu
juga sebagai lambang karena sega gurih berwarna putih maka sebagai
lambang kesucian. Hal itu dilakukan untuk menghormati seseorang.
Putih yaitu pimpinan umat Islam yaitu baginda Rasullulah SAW dan
para sahabat nabi yaitu Abu Bakar, Usman, dan Ali.
6. Sistematika Penyajian
Metode penyajian hasil analisis data menggunakan metode deskriptif,
formal dan informal. Metode deskriptif adalah metode yang semata-mata hanya
berdasarkan fakta-fakta yang ada atau fenomena-fenomena secara empiris hidup
pada penutur-penutur (Sudaryanto, 1993:63).
31
Metode informal, yaitu metode penyajian hasil analisis data yang
menggunakan kata-kata biasa atau sederhana agar mudah dipahami. Analisis
metode informal dalam penelitian ini agar mempermudah pemahaman terhadap
setiap hasil penelitian. Metode formal yaitu metode penelitian data denngan
menggunakan dokumen tentang data yang dipergunakan sebagai lampiran.
Lampiran tersebut dapat berupa gambar-gambar, bagan, table, grafik, dan
sebagainya. Dalam penelitian ini menggunakan lampiran gambar yaitu gambar
dokumentasi foto.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian ini terdiri dari tiga bab diantaranya adalah
sebagai berikut.
Bab l pendahuluan. Pendahuluan ini terdiri dari (A) Latar Belakang, (B) Rumusan
Masalah, (C) Tujuan Pembahasan, (D) Pembatasan Masalah, (E) Teori, (F)
Sumber Data, (G) Metode dan Teknik, dan (H) Sistematika Penyajian.
Bab ll Isi. Isi terdiri dari (A) Bentuk, (B) Makna, dan (C) perkembangan.
Bab lll Penutup. Penutup terdiri dari (A) kesimpulan, dan (B) Saran.