bab i pendahuluan latar belakang masalah...dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi dan alam. oleh...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Matematika merupakan salah satu ilmu dasar yang harus dikuasai setiap
manusia, terutama oleh siswa sekolah (Wahyudi, 2012: 7). Hal ini sesuai dengan
Permendiknas No 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi yang menyatakan bahwa
pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari
sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis,
analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerja sama. Kompetensi
tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh,
mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang
selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif. Susanto (2015: 185) juga
menambahkan bahwa matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang dapat
meningkatkan kemampuan berpikir dan berargumentasi, memberikan konstribusi
dalam penyelesaian masalah sehari-hari dan dalam dunia kerja, serta memberikan
dukungan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal tersebut
dipertegas lagi oleh Kline (Wahyudi, 2012: 4) yang menyatakan bahwa
matematika bukan pengetahuan tersendiri yang dapat sempurna karena dirinya
sendiri, tetapi keberadaannya karena untuk membantu manusia dalam memahami
dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi dan alam. Oleh karena itu, dapat
dilihat bahwa mempelajari matematika sangat penting karena dapat bermanfaat
untuk memecahkan masalah sehari-hari sehingga matematika perlu diberikan
sejak dini baik pada jenjang sekolah dasar, menengah sampai perguruan tinggi.
Susanto (2015: 185) berpendapat bahwa pembelajaran matematika adalah
suatu proses belajar mengajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan
kreativitas berpikir siswa yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa,
serta dapat meningkatkan kemampuan mengonstruksi pengetahuan baru sebagai
upaya meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi matematika. Pendapat
tersebut sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika di SD menurut
Permendiknas No 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi yang meliputi; 1) memahami
2
konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan
konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan
masalah; 2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan
gagasan dan pernyataan matematika; 3) memecahkan masalah yang meliputi
kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan
model dan menafsirkan solusi yang diperoleh; 4) mengomunikasikan gagasan
dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau
masalah; 5) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan,
yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari
matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Oleh
karena itu, untuk mencapai tujuan pembelajaran matematika tersebut, seorang
guru hendaknya dapat menciptakan kondisi dan situasi pembelajaran yang
memungkinkan siswa aktif membentuk, menemukan, dan mengembangkan
pengetahuannya. Selain itu, harus ada kerjasama yang kondusif antara guru
dengan siswa, sebab keduanya merupakan faktor penting sebagai pelaku
terlaksananya tujuan pembelajaran.
Guru menempati posisi kunci dalam menciptakan suasana belajar yang
kondusif dan menyenangkan untuk mengarahkan siswa mencapai tujuan secara
optimal, tujuan pembelajaran ini akan mencapai hasil yang maksimal apabila
pembelajaran berjalan secara efektif (Susanto, 2015: 187). Namun, tujuan
pembelajaran matematika sampai saat ini belum mencapai hasil yang maksimal.
Hal tersebut dapat dilihat dari rendahnya prestasi nilai matematika siswa pada
TIMSS.
Seperti yang dilansir oleh TIMSS (Trend in International Mathematics and
Science Study), survey internasional tentang prestasi matematika dan sains siswa
SMP kelas VIII, yang diterbitkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
memperlihatkan bahwa skor yang diraih Indonesia masih di bawah skor rata-rata
internasional. Hasil studi TIMSS (2003), Indonesia berada di peringkat ke-35 dari
46 negara peserta dengan skor rata-rata 411, sedangkan skor rata-rata
internasional 467. Hasil TIMSS (2007), Indonesia berada di peringkat ke-36 dari
3
49 negara peserta dengan skor rata-rata 397, sedangkan skor rata-rata
internasional 500. Dan hasil terbaru, yaitu hasil studi TIMSS (2011), Indonesia
berada di peringkat ke-38 dari 42 negara peserta dengan skor rata-rata 386,
sedangkan skor rata-rata internasional 500. IEA (Zakaria, 2014: 1).
Kondisi yang tidak jauh berbeda terlihat dari hasil studi yang dilakukan
PISA (Programme for International Student Assessment). Hasil studi PISA
(2006), Indonesia berada di peringkat ke-50 dari 57 negara peserta dengan skor
rata-rata 391, sedangkan skor rata-rata internasional 500 (Kemendikbud, 2011).
Hasil studi PISA (2009), Indonesia berada di peringkat ke-61 dari 65 negara
peserta dengan skor rata-rata 371, sedangkan skor rata-rata internasional 500
(OECD, 2010). Hasil studi PISA (2012), Indonesia berada di peringkat ke-64 dari
65 negara peserta dengan skor rata-rata 375, sedangkan skor rata-rata
internasional 500 (OECD, 2013). (Zakaria, 2014: 2)
Hasil studi TIMSS dan PISA di atas menunujukkan bahwa kemampuan
siswa dalam menyelesaikan masalah matematika masih rendah sehingga hasilnya
pun juga tergolong masih rendah. Menurut Sumaji (Wibowo, 2015: 2), banyak
siswa yang merasa bosan, sama sekali tidak tertarik dan bahkan merasa benci
terhadap matematika, karena matematika itu diajarkan dengan kurang tepat,
misalnya hanya kumpulan angka dan rumus serta cara-cara atau langkah-langkah
yang dihafalkan dan siap dipakai untuk menyelesaikan soal-soal tanpa didasari
dengan berpikir tingkat tinggi terlebih dahulu. Hal yang demikian dapat
menyebabkan hasil belajar matematika siswa rendah.
Rendahnya hasil belajar matematika siswa dipengaruhi oleh beberapa
faktor, seperti penerapan metode pembelajaran matematika yang masih terpusat
pada guru (teacher oriented) sehingga siswa cenderung pasif, penerapan model
pembelajaran konvensional seperti, ceramah, tanya jawab, dan pemberian tugas
atau pekerjaan rumah (PR). Sistem pengajaran yang demikian ini menyebabkan
siswa tidak berpartisipasi aktif dalam mengikuti pembelajaran, sehingga
dikhawatirkan siswa tidak dapat meningkatkan aktivitas belajar matematika untuk
meningkatkan pengembangan kemampuannya. Model pembelajaran konvensional
ini, biasanya menekankan pada latihan pengerjaan soal atau drill, prosedural dan
4
banyak menggunakan rumus dan algoritme sehingga siswa dilatih mengerjakan
soal seperti mekanik atau mesin. Model pembelajaran tersebut mendidik siswa
menjadi orang yang bersifat prosdural, simbolis tertentu, bekerja tetapi bukan
untuk berpikir, kurang mengedepankan aspek berpikir atau analisis yang mandiri
(Susanto, 2015: 191-192).
Hal tersebut selaras dengan kenyataan di lapangan yang menunjukkan
bahwa masih ada guru yang menerapkan model pembelajaran konvensional.
Mereka menganggap bahwa model pembelajaran tersebut masih sangat diperlukan
dalam pembelajaran, karena model tersebut bisa dikombinasikan dengan model
pembelajaran kooperatif. Seperti halnya yang telah dilakukan di SDN Bringin 02
dan SDN Popongan Bringin, kedua SD tersebut masih menggunakan model
pembelajaran konvensional dengan metode ceramah. Ceramah hanya digunakan
sebagai pengantar pembelajaran saja, selebihnya guru di SD tersebut mengajak
siswa untuk belajar dalam kelompok-kelompok kecil yang sudah ditentukan.
Namun, seperti yang di kemukakan oleh Roger dan David (Tukiran, 2011: 58)
bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap sebagai pembelajaran
kooperatif. Sehingga siswa cenderung kurang aktif untuk berpartisipasi pada
proses pembelajaran di kelas. Hal ini dikarenakan siswa yang bersangkutan
merasa jenuh dengan pelajaran matematika sejak awal pembelajaran, akibatnya
mereka kurang memperhatikan pembelajaran, bergurau di saat guru menjelaskan,
serta berbicara dengan teman lainnya ketika guru sedang menyampaikan
pembelajaran. Ini yang menjadi penyebab hasil belajar matematika siswa kelas V
di SDN Bringin 02 dan SDN Popongan Bringin belum maksimal. Hal tersebut
dapat dilihat dari nilai ketuntasan siswa kelas V di SD Negeri Bringin 02 pada Tes
Akhir Semester I Tahun Pelajaran 2014/2015 hanya 16 siswa dari 30 siswa yang
mencapai nilai ketuntasan dengan rentang 70 – 89. Pemilihan materi yang kurang
tepat juga menjadi salah satu faktor rendahnya hasil belajar siswa.
Materi matematika yang dipelajari di tingkat Sekolah Dasar khususnya di
kelas V Semester II Tahun Pelajaran 2015/2016 adalah pecahan, bangun datar dan
bangun ruang. Kata pecahan bearti bagian dari keseluruhan yang berukuran sama
berasal dari bahasa Latin fractiom yang bearti memecah menjadi bagian-bagian
5
yang lebih kecil. Sebuah pecahan mempunyai 2 bagian yaitu pembilang dan
penyebut yang penulisannya dipisahkan oleh garis lurus dan bukan miring (/).
Contoh �
� ,�
� , dan seterusnya Sukajati (Wibowo, 2015: 1). Pecahan juga dapat
digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan
perbandingan dan skala. Oleh karena itu, untuk mempelajari serta mengerjakan
soal pecahan haruslah dibutuhkan ketelitian karena kebanyakan siswa SD masih
sulit untuk membedakan antara pembilang dan penyebut. Ini adalah tantangan
bagi guru untuk mengemas pembelajaran menjadi aktif dan menarik agar seluruh
siswa ikut terlibat secara maksimal dalam proses pembelajaran supaya mereka
benar-benar paham dan mengerti tentang pembelajaran yang telah diterimanya.
Salah satu model pembelajaran yang memungkinkan hal ini terjadi adalah model
pembelajaran kooperatif.
Model pembelajaran kooperatif sangat efektif untuk diterapkan dalam
pembelajaran karena model kooperatif ini mengajak siswa untuk saling
berinteraksi secara aktif dan positif dalam kelompok. Sehingga peserta didik
dituntut untuk saling bekerjasama dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik
agar tujuan kelompok dapat tercapai dengan baik. Ada beberapa macam
pembelajaran kooperatif seperti, Student Teams Achievement Division (STAD),
Jigsaw, Group Investigation (GI), Think Pair Share (TPS), Numbered Head
Together (NHT), Make A Match (Membuat Pasangan), Teams Games
Tournaments (TGT), Pairs Check, dan lain sebagainya.
Model Student Teams Achievement Division (STAD) merupakan variasi
pembelajaran kooperatif, dimana siswa dibagi dalam kelompok-kelompok kecil
yang beranggotakan empat sampai lima orang yang beragam kemampuan, jenis
kelamin, dan sukunya untuk bekerjasama dalam menyelesaikan tugas kelompok,
mengikuti kuis secara perseorangan, pemberian skor dan penghargaan prestasi
tim. Kelebihan dari model kooperatif tipe Student Teams Achievement Division
(STAD) adalah meningkatkan kecakapan individu serta meningkatkan komitmen
antar siswa. Teams Games Tournaments (TGT) merupakan model pembelajaran
yang hampir sama dengan STAD, satu-satunya perbedaan antara keduanya adalah
STAD menggunakan kuis-kuis individual pada tiap akhir pembelajaran, sementara
6
TGT menggunakan game-game akademik. TGT adalah salah satu tipe
pembelajaran kooperatif yang menempatkan siswa dalam kelompok-kelompok
belajar yang beranggotakan lima sampai enam orang siswa yang memiliki
kemampuan, jenis kelamin, dan suku kata atau ras yang berbeda untuk bekerja
dalam kelompok-kelompok kecil, game, tournament, dan penghargaan kelompok.
Kelebihan dari model TGT adalah memberikan kebebasan kepada siswa untuk
berinteraksi dan menggunakan pendapatnya serta memotivasi siswa untuk belajar.
Slavin (Rusman, 2013: 213)
Penelitian ini menggunakan model pembelajaran Student Teams
Achievement Division (STAD) dan Teams Games Tournaments (TGT) karena
ingin melihat perbedaan hasil belajar matematika antara siswa kelas V yang diajar
dengan menggunakan model STAD dan siswa kelas V yang diajar dengan
menggunakan model TGT pada materi pecahan dan perbandingan di SD Gugus
Gajah Mada Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang. Kedua model tersebut
merupakan contoh dari model kooperatif yang sudah banyak diteliti. Para peneliti
yang meneliti STAD dan TGT kebanyakan mengungkapkan bahwa dengan
adanya diskusi kelompok dan penghargaan tim dalam kedua model tersebut dapat
meningkatkan hasil belajar siswa. Selain itu, kedua model pembelajaran tersebut
juga belum pernah digunakan dikedua sekolah yang bersangkutan.
Penelitian yang dilakukan oleh Susanti (2012), menyatakan bahwa
terdapat perbedaan efektivitas model pembelajaran yang signifikan untuk
pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif
tipe STAD (Student Team Achievement Division). Terbukti dengan perolehan nilai
rata-rata posttest sebesar 82,46 pada kelompok eksperimen yang menggunakan
model pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Team Achievement Division)
dan pada kelompok kontrol nilai rata-ratanya sebesar 75,42 dengan menggunakan
model pembelajaran konvensional pada pembelajaran matematika.
Sunario (2012), menyimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan
dalam pembelajaran Cooperative Learning tipe Team Game Tournament (TGT)
terhadap hasil belajar matematika siswa kelas V SD Negeri Kauman Lor 03
semester genap Tahun 2011/2012. Hal tersebut ditunjukkan oleh nilai rata-rata
7
posttest sebesar 87,22 pada kelompok eksperimen yang menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe TGT (Teams Games Tournaments) sedangkan pada
kelompok kontrol hanya memperoleh nilai rata-rata 67,48 dengan menggunakan
model pembelajaran konvensional.
Tri (2013), berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa model
pembelajaran kooperatif tipe TGT lebih efektif digunakan daripada model
pembelajaran kooperatif tipe STAD. Hal tersebut didukung dengan adanya hasil
belajar matematika yang diperoleh siswa setelah mengerjakan tes akhir
menunjukkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe TGT memiliki nilai rata-
rata 83,38 dan tipe STAD memiliki nilai rata-rata 72,79. Hal ini menunjukkan
model pembelajaran kooperatif tipe TGT lebih efektif digunakan dalam
pembelajaran matematika.
Berdasarkan uraian di atas, maka akan dilakukan penelitian dengan judul
“Perbedaan Hasil Belajar Matematika Menggunakan Model Pembelajaran STAD
dengan TGT Pada Materi Pecahan dan Perbandingan Siswa Kelas V SD Di Gugus
Gajah Mada Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang Semester II Tahun
Pelajaran 2015/2016".
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, dirumuskan
masalah sebagai berikut: Adakah perbedaan hasil belajar matematika yang
signifikan antara penggunaan model pembelajaran STAD dengan TGT pada
materi Pecahan dan Perbandingan siswa kelas V SD di Gugus Gajah Mada
Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang Semester II Tahun Pelajaran
2015/2016?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan hasil belajar
matematika yang signifikan antara penggunaan model pembelajaran STAD
dengan TGT pada materi Pecahan dan Perbandingan siswa kelas V SD di Gugus
Gajah Mada Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang Semester II Tahun
Pelajaran 2015/2016.
8
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan
para pengembang ilmu pendidikan mengenai model pembelajaran
Cooperative Learning tipe Student Teams Achievement Division
(STAD) dan Teams Games Tournament (TGT) dalam kegiatan
pembelajaran.
b. Penelitian ini juga dapat dijadikan referensi penelitian yang sejenis
untuk orang-orang yang ingin meneliti kedua model pembelajaran
tersebut.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Bagi Sekolah
a. Dapat meningkatkan kualitas pembelajaran yang lebih baik.
b. Dapat dijadikan sarana untuk dapat bersaing pada tingkat nasional
maupun internasional.
c. Membantu sekolah untuk berkembang karena adanya peningkatan
kemajuan pada diri guru dan pendidikan di sekolah tersebut.
2. Bagi Guru
a. Mendorong dan memotivasi guru untuk menciptakan proses
pembelajaran yang dapat menumbuhkan keaktifan siswa pada
pembelajaran matematika.
b. Membantu kinerja guru agar berkembang secara profesional dengan
menerapkan suatu model pembelajaran kooperatif.
c. Memberikan gambaran bagi guru untuk sekreatif mungkin dalam
mengemas suatu pembelajaran agar siswa merasa senang dan
nyaman ketika mengikuti proses pembelajaran.
d. Memberikan informasi kepada guru bahwa setiap model memiliki
kelebihan dan kelemahan yang harus diperhatikan agar tujuan
pembelajaran dapat mencapai hasil yang maksimal.
9
3. Bagi Siswa
a. Dapat membuat siswa aktif dan antusias dalam proses pembelajaran.
b. Dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa.
c. Dapat meningkatkan toleransi antar siswa untuk saling menerima
anggota kelompoknya.
4. Bagi Penelitian Selanjutnya
a. Memberikan pengetahuan dan pengalaman tentang penggunaan
model pembelajaran Cooperative Learning tipe Student Teams
Achievement Division (STAD) dan Teams Games Tournament
(TGT) dalam kegiatan pembelajaran matematika.
b. Memberikan motivasi kepada penelitian selanjutnya agar lebih
kreatif dan inovatif dalam menggunakan model pembelajaran
Cooperative Learning tipe Student Teams Achievement Division
(STAD) dan model pembelajaran Cooperative Learning tipe Teams
Games Tournaments (TGT).