bab i pendahuluan -...

13
BAB I PENDAHULUAN “...Karena Perempuan adalah mitra laki-laki Yang diciptakan dengan kemampuan-kemampuan mental yang setara dengannya............____Mahatma Gandi___ 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah sebuah negara yang demokratis, yang menjamin adanya kesamaan hak dan martabat bagi semua warga negaranya baik itu laki-laki maupun perempuan. Jaminan tersebut nyata terlihat dalam butir-butir UUD 1945, sebagai aturan yang mengatur dan menata kehidupan seluruh masyarakat di Indonesia. Dalam UUD 1945 secara umum, tidak ada pemilahan soal peran dan kedudukan warga negara Indonesia baik laki-laki maupun perempuan. Baik laki-laki maupun perempuan di Indonesia, memiliki peran dan kedudukan yang sama dan setara berdasarkan UUD 1945. Pasal-pasal seperti pasal 27, 28, 29, 30 dan 31 dengan jelas menjamin persamaan derajat dan hak warga negara baik perempuan maupun laki-laki dalam segala bidang kehidupan, seperti hukum, pemerintahan, politik, pendidikan, kesehatan dan agama. 1 Gereja di Indonesia merupakan salah satu institusi keagamaan yang hidup dan berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia. Sebagai bagian dari negara, gereja di Indonesia juga memiliki jaminan kesetaraan yang sama dengan institusi sosial keagamaan lainnya. Gereja juga harus ikut bertanggung jawab terhadap tatanan-tatanan dan relasi-relasi sosial yang telah terbangun dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Gereja harus turut terlibat membantu masyarakat memecahkan berbagai pergumulan dan permasalahan hidup mereka. 2 Keberhasilan dari gereja sebagai sebuah institusi sosial di tengah-tengah 1 Wahid Khudori, UUD‟45 Republik Indonesia beserta Amandemennya (Jakarta: Mahirsindo Utama, 2009), 3-46. 2 J.D.Engel, Gereja dan Masalah Sosial (Salatiga: Tisara Grafika, 2007), 1.

Upload: phungduong

Post on 09-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/2/T2_752010001_BAB I.pdf · menata kehidupan seluruh masyarakat di Indonesia. Dalam UUD 1945 secara

BAB I

PENDAHULUAN

“...Karena Perempuan adalah mitra laki-laki Yang diciptakan dengan kemampuan-kemampuan mental

yang setara dengannya............” ____Mahatma Gandi___

1.1. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah sebuah negara yang demokratis, yang menjamin adanya kesamaan

hak dan martabat bagi semua warga negaranya baik itu laki-laki maupun perempuan. Jaminan

tersebut nyata terlihat dalam butir-butir UUD 1945, sebagai aturan yang mengatur dan

menata kehidupan seluruh masyarakat di Indonesia. Dalam UUD 1945 secara umum, tidak

ada pemilahan soal peran dan kedudukan warga negara Indonesia baik laki-laki maupun

perempuan. Baik laki-laki maupun perempuan di Indonesia, memiliki peran dan kedudukan

yang sama dan setara berdasarkan UUD 1945. Pasal-pasal seperti pasal 27, 28, 29, 30 dan 31

dengan jelas menjamin persamaan derajat dan hak warga negara baik perempuan maupun

laki-laki dalam segala bidang kehidupan, seperti hukum, pemerintahan, politik, pendidikan,

kesehatan dan agama.1

Gereja di Indonesia merupakan salah satu institusi keagamaan yang hidup dan

berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia. Sebagai bagian dari negara,

gereja di Indonesia juga memiliki jaminan kesetaraan yang sama dengan institusi sosial

keagamaan lainnya. Gereja juga harus ikut bertanggung jawab terhadap tatanan-tatanan dan

relasi-relasi sosial yang telah terbangun dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Gereja harus

turut terlibat membantu masyarakat memecahkan berbagai pergumulan dan permasalahan

hidup mereka.2 Keberhasilan dari gereja sebagai sebuah institusi sosial di tengah-tengah

1 Wahid Khudori, UUD‟45 Republik Indonesia beserta Amandemennya (Jakarta: Mahirsindo Utama,

2009), 3-46. 2 J.D.Engel, Gereja dan Masalah Sosial (Salatiga: Tisara Grafika, 2007), 1.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/2/T2_752010001_BAB I.pdf · menata kehidupan seluruh masyarakat di Indonesia. Dalam UUD 1945 secara

masyarakat Indonesia, hanya dapat dilihat dari tercapainya sasaran-sasaran yang mengarah

kepada perbaikan hidup masyarakat. Inilah fungsi sosial dari gereja.3

Sebagai institusi sosial yang hidup di tengah-tengah masyarakat, maka geraja ikut

pula dipengaruhi oleh nilai atau norma hidup yang berlaku dalam masyarakat. Nilai dan

norma tersebut tentu saja dipengaruhi juga oleh adat istiadat (kebudayaan) masyarakat yang

secara turun temurun telah dipegang dan dipraktekkan dalam kehidupan mereka. Budaya-

budaya masyarakat itu, terkadang mengandung ketidak-adilan dan diskriminasi terhadap

nilai-nilai kemanusiaan dan bertolak belakang dengan keyakinan dari gereja.

Sebagian besar budaya yang berkembang di masyarakat, memang bersifat patriarkhat

dan lebih menekankan kekuasaan dan dominasi dari kaum laki-laki. Sistem dan struktur

kebudayaan seperti ini, cenderung mengunggulkan laki-laki daripada perempuan dan

menimbulkan relasi kekuasaan yang timpang dalam masyarakat.4 Dengan begitu maka

diskriminasi dan ketidak-adilan akan lebih banyak dirasakan oleh kaum perempuan dan anak-

anak.

Dalam hubungan dengan hal itu, nampaknya masalah-masalah menyangkut

perempuan telah menjadi suatu pergumulan besar dari seluruh realitas sosial masyarakat di

dunia setiap waktu. Problematikanya seakan-akan tidak pernah surut sepanjang struktur

jender dalam berbagai budaya di masyarakat masih ada dan memiliki pengaruh yang kuat

dalam kehidupan. Bentuk-bentuk diskriminasi dan ketidak-adilan terhadap perempuan terjadi

dalam berbagai bidang kehidupan mulai dari bidang ekonomi, politik, pendidikan, hukum,

agama dan terutama adat istiadat.

Salah satu bentuk ketidak-adilan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan adalah

mengenai peran dan kedudukan mereka dalam keluarga dan masyarakat. Di mana perempuan

dibatasi untuk berperan dan memiliki kedudukan hanya dalam area rumah tangga, sementara

3 Engel, Gereja dan Masalah Sosial, 2.

4 Nimali Fidelis Buke, Perempuan dalam Politik Bias Gender dalam Mianto N Agung dkk (Ed),

Perjuangan Perempuan Indonesia - Belajar dari Sejarah (Salatiga: Yayasan Bina Dharma, 2007), 91.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/2/T2_752010001_BAB I.pdf · menata kehidupan seluruh masyarakat di Indonesia. Dalam UUD 1945 secara

laki-laki memiliki akses yang besar untuk berperan dalam dunia publik. Dikotomi domestik

dan publik seperti ini, ditengarai bersumber dari pembagian kerja yang didasarkan pada jenis

kelamin yang secara populer dikenal dengan istilah jender. Pembagian kerja jender

tradisional (gender base division of labour) menempatkan perempuan di rumah (sektor

domestik) dan laki-laki bekerja di luar rumah (sektor publik). Pembagian kerja yang

demikian ini, telah dianggap baku oleh sebagian masyarakat.5

Menurut Arif Budiman, ada kepercayaan dalam masyarakat bahwa perempuan

sewajarnya harus hidup dalam lingkungan rumah tangga. Tugas untuk membesarkan anak,

memasak, mencuci, membersihkan rumah, mengurus kebutuhan suami merupakan kodrat

dari perempuan.6 Tugas-tugas rumah tangga seperti ini, sangat memakan waktu sehingga

menjadikan perempuan sulit untuk berkarya di sektor publik.7 Padahal peran-peran domestik

yang dilekatkan erat pada perempuan di atas, merupakan peran sosial kultural yang

diciptakan oleh manusia dan dapat dilakukan baik oleh perempuan maupun laki-laki.

Walaupun dalam perkembangan selanjutnya, banyak perempuan telah bekerja dan memiliki

karir di ruang publik tetapi mereka tetap dianggap hanya sebagai pelengkap dan penopang

bagi laki-laki.

Budaya patriarkhal yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat, tampaknya

menjadi faktor paling dominan dan sangat mempengaruhi eksistensi perempuan (peran dan

kedudukan perempuan) di tengah-tengah masyarakat. Pengaruhnya ada dalam semua lingkup

kehidupan masyarakat termasuk di dalam keluarga dan gereja. Pengaruh tersebut tak jarang

menimbulkan berbagai bentuk diskriminasi dan ketidak-adilan terhadap kaum perempuan.

Standar-standar stereotip tertentu dikenakan bagi perempuan di segala lini kehidupan,

misalnya perempuan selalu diidentikkan sebagai manusia yang lemah, perempuan hanya

5 Supartiningsih, “Peran Ganda Perempuan” Jurnal Filsafat, Jilid 33 No 1, 43 (April 2003).

6 Arif Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual (Jakarta: Gramedia, 1985), 1.

7 Sugishastuti & Itsna Hadi Saptiawan, Gender dan Inferioritas Perempuan (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2010), 58.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/2/T2_752010001_BAB I.pdf · menata kehidupan seluruh masyarakat di Indonesia. Dalam UUD 1945 secara

boleh berada dalam lingkungan rumah-tangga, atau perempuan adalah kelamin kelas dua.

Bahkan gereja dengan segala usahanya kadangkala gagal untuk mengatasi berbagai persoalan

ketidak-adilan dan diskriminasi seperti ini, oleh karena gereja (dan agama-agama pada

umumnya) juga bersifat patriarkhal.

Apa yang dialami oleh banyak perempuan di dunia pada umumnya dan di Indonesia,

dialami juga oleh anavina Fuka Bipolo8 di dalam masyarakat dan gereja di Buru Selatan. Di

Buru Selatan, anak perempuan tidak sepenuhnya mempunyai hak untuk memilih jalan

hidupnya. Pengambilan keputusan-keputusan penting mengenai diri dan masa depan

perempuan, tidak dilakukan oleh mereka sendiri. Semua ditentukan oleh orang tua, sanak

saudara yang umumnya adalah laki-laki dan calon suami beserta keluarganya.9 Perempuan

seringkali mengalami perlakuan yang tidak adil dan berbeda dengan perlakuan yang

diberikan kepada laki-laki.

Beberapa fakta yang menunjukkan adanya ketidak-adilan terhadap kaum perempuan di

pulau Buru antara lain sebagai berikut:

1) Dalam budaya perkawinan khususnya sistem kaweng panjar (piara).10

Sistem

kaweng panjar yang ada dalam masyarakat mengharuskan pihak laki-laki membayar

8 Anavina dalam bahasa daerah Buru berarti perempuan, anak perempuan. Sebutan ini tidak hanya

mencakup anak perempuan saja tetapi secara umum merupakan sebutan bagi seluruh perempuan Buru. Fuka

Bipolo merupakan sebutan masyarakat kepada pulau Buru. Fuka berarti pulau, gunung, buka dan Bipolo berasal

dari kata bia yang berarti papeda dan polon yang berarti getah. Konon dikisahkan bahwa manusia pertama yang

menginjakkan kaki di Pulau Buru mendapati tanah pulau ini masih dalam keadaan basah, tanah yang becek,

bergetah dan belum kering. Secara umum anavina Fuka Bipolo berarti perempuan dari Pulau Buru. 9 Umumnya perempuan di Buru Selatan sejak kecil telah dijodohkan, sehingga telah memiliki calon

suami. Hal ini membuat perempuan sejak kecil telah terikat dalam hubungan dengan laki-laki lain, sehingga

setiap proses pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan perempuan harus selalu dibicarakan dengan

pihak laki-laki sebagai calon suami dan keluarganya. 10

Kaweng panjar atau kaweng piara adalah salah satu sistem perkawinan yang berlaku secara legal

dalam kehidupan masyarakat di Buru Selatan. Kaweng panjar atau kaweng piara adalah sebuah sistem

perkawinan dimana anak perempuan (calon istri) telah dikawinkan secara adat oleh laki-laki (calon suami) sejak

anak tersebut masih berada di dalam kandungan. Prosesnya adalah dengan pemberian sejumlah harta kawin

(yang berlaku secara adat) dan berbagai permintaan lain dari keluarga perempuan yang berkaitan dengan

kebutuhan hidup anak perempuan (calon istri) sejak bayi hingga ia dipandang sudah layak untuk berhubungan

intim dan diambil oleh pihak laki-laki sebagai istrinya. Jadi sejak masih kecil anak perempuan secara tidak

langsung telah dipelihara oleh laki-laki (calon suami) dan keluarganya. Jika perempuan pada akhirnya menolak

untuk kawin dengan laki-laki yang telah melakukan adat kaweng panjar ini, maka keluarga perempuan harus

mengganti harta kawin yang telah dibayarkan pihak laki-laki kepada mereka sebanyak dua kali lipat.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/2/T2_752010001_BAB I.pdf · menata kehidupan seluruh masyarakat di Indonesia. Dalam UUD 1945 secara

harta kepada pihak perempuan (mencukupi semua kebutuhan hidup anak

perempuan) mulai dari masih berada di dalam kandungan hingga ia diambil ke

dalam pihak laki-laki. Jadi sejak dari dalam kandungan anak perempuan dapat

dikatakan telah dijual oleh keluarganya kepada pihak laki-laki. Demikian juga

seorang wanita dalam golongan umur berapa saja dapat dinikahkan dengan laki-laki

manapun, asalkan laki-laki tersebut sanggup memenuhi sejumlah persyaratan yang

ditentukan oleh orang tua dan yang sesuai dengan ketentuan adat (harta kawin).

Perempuan juga dapat diberikan pada lelaki lain dalam satu keluarga (saudara

kandung sang suami), jika suaminya telah meninggal. Selain sistem kaweng panjar,

ada juga sistem poligami yang dianut dalam adat perkawinan asli masyarakat di

Buru Selatan yang mengijinkan laki-laki mengawini lebih dari satu perempuan.

Dalam sistem perkawinan seperti ini, terlihat adanya ketidak-adilan dan diskriminasi

terhadap perempuan.

2) Dalam sistem pembagian kerja yang ada dalam masyarakat Buru, suami atau laki-

laki memiliki tugas untuk bekerja di luar rumah (di ladang atau kebun),

mempersiapkan lahan (tanah) untuk dijadikan ladang atau kebun, berburu di hutan-

hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga setiap hari. Laki-laki Buru akan

sangat sulit untuk membantu pekerjaan di dalam keluarga seperti memasak dan

mengurus anak. Semua tugas dan tanggung-jawab dalam keluarga seperti itu

termasuk juga mencuci, membersihkan rumah bahkan mengolah lahan (menanam

dan menawat kebun) harus dilakukan oleh perempuan (istri). Hal ini membuat

perempuan kurang mendapatkan peluang untuk beraktivitas di luar lingkungan

keluarga. Ketika suami dan istri sama-sama pulang dari kebun, perempuan (istri)

akan membawa banyak barang bawaan. Suami yang berjalan di depan hanya

Page 6: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/2/T2_752010001_BAB I.pdf · menata kehidupan seluruh masyarakat di Indonesia. Dalam UUD 1945 secara

memikul tombak, membawakan cadut11

dengan selempangan parang di pinggang

sambil menghisap tabaku (tembakau). Sementara istri yang berjalan dibelakang akan

memikul beban yang sangat berat (ia harus keku tolfafak12

, rege fodo13

yang berisi

penuh barang bawaan atau hasil kebun, sambil menggendong anak).

3) Dalam lingkungan pemerintahan, yang menduduki posisi-posisi penting seperti

kepala desa, kepala adat, badan adat (tokoh-tokoh adat) dan sebagainya adalah kaum

laki-laki. Perempuan tidak memiliki akses untuk menduduki jabatan-jabatan tersebut

dan hanya menjadi pembantu bagi kaum laki-laki. Perempuan juga tidak memiliki

hak untuk terlibat dalam pengambilan keputusan-keputusan penting di dalam

masyarakat sebab semuanya ditentukan oleh kaum laki-laki. Memang saat ini, kaum

perempuan sudah dilibatkan dalam pengambilan keputusan di keluarga, masyarakat

dan gereja tetapi jumlah mereka masih kecil dan sedikit dibandingkan kaum laki-

laki. Dan hal ini hanya terjadi pada desa-desa di pusat klasis atau kabupaten dan di

daerah-daerah pesisir pantai, sementara pada desa-desa yang jauh di pedalaman

Buru Selatan, perempuan bahkan belum dilibatkan sama sekali dalam proses-proses

pengambilan keputusan di masyarakat.

4) Dalam dunia pendidikan, perempuan sangat dibatasi untuk merengkuh pendidikan

ke jenjang yang tinggi. Umumnya perempuan di Buru selatan hanya sampai pada

tingkat SMP dan SMU saja. Hanya sedikit yang melanjutkan studi ke Perguruan

Tinggi jenjang S1. Penyebabnya adalah perempuan dalam adat istiadat di Buru

Selatan, diatur untuk tidak bersekolah dan mendapatkan pendidikan. Perempuan

11

Cadut adalah tas tempat orang Buru menaruh sirih pinang. Dulunya dibuat dari kulit-kulit pohon,

namun sekarang juga sudah memakai tas-tas produksi pabrik. 12

Keku tolfafak adalah memikul barang bawaan di kepala. Tolfafak sendiri adalah tempat menaruh

hasil kebun, bisa berupa bakul, keranjang, loyang atau wadah lainnya namun hanya ditaruh/dibawakan di atas

kepala. 13

Rege fodo adalah memikul barang di bagian belakang (punggung/tulang belakang). Modelnya seperti

memikul tas, hanya saja tali pikulannya berada bukan di kedua lengan tetapi di bagian kepala (dahi). Fodo

sendiri adalah bakul besar tempat ditaruhnya hasil-hasil kebun, dengan pegangan pada kain yang diikatkan di

kepala.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/2/T2_752010001_BAB I.pdf · menata kehidupan seluruh masyarakat di Indonesia. Dalam UUD 1945 secara

harus berada di rumah dan siap untuk dinikahi atau untuk melayani keluarga.

Meskipun pada saat ini, sudah ada anak-anak perempuan yang disekolahkan, tapi

masih ada juga desa-desa tertentu (terutama di daerah pegunungan) yang melarang

anak-anak perempuannya untuk bersekolah. Kalaupun bersekolah, tingkat

pendidikan mereka pasti lebih rendah dari kaum laki-laki.

5) Dalam gereja, ketidak-adilan terhadap perempuan terlihat dari berbagai jabatan

pelayanan. Memang ketidak-adilan yang terjadi dalam gereja di Buru Selatan tidak

sebesar yang terjadi dalam kehidupan masyarakat atau keluarga. Di jemaat yang

secara geografis jauh berada di pedalaman Pulau Buru dan jauh dari pusat klasis

Buru Selatan, berbagai jabatan pelayanan seperti majelis jemaat, kordinator unit,

guru sekolah minggu (pengasuh), koster (tuagama) lebih banyak dipegang oleh

kaum laki-laki. Bahkan di beberapa jemaat tertentu, perempuan sama sekali tidak

memegang jabatan-jabatan tersebut.

Beberapa kenyataan ini menggambarkan bahwa sesungguhnya kaum perempuan di

Buru Selatan, tidak memiliki peran dan kedudukan yang seimbang dengan laki-laki.

Perempuan bahkan tidak memiliki eksistensi sebagai seorang individu. Mereka ada dan hidup

tapi bukan untuk dirinya sendiri melainkan untuk keluarga dan masyarakatnya yang

didominasi oleh kaum laki-laki. Keberadaan mereka adalah untuk melakukan kehendak laki-

laki sepenuhnya. Pada akhirnya, seringkali argumen kultural digunakan untuk menegaskan

dominasi laki-laki terhadap perempuan. Dengan mengatasnamakan adat istiadat, kaum

perempuan di Buru Selatan didomestifikasi, dimarjinalisasikan, didiskriminasi, mengalami

kekerasan secar fisik maupun psikis, tidak ditingkatkan pendidikan dan kualitas dirinya,

diatur dalam bertindak, berpakaian, berperan, memiliki kedudukan dan sebagainya.

Memang harus diakui bahwa di Buru Selatan, sebagian besar gerak dan interaksi

sosial yang terjadi dalam masyarakat sangat dipengaruhi oleh budaya lokal yang diturunkan

Page 8: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/2/T2_752010001_BAB I.pdf · menata kehidupan seluruh masyarakat di Indonesia. Dalam UUD 1945 secara

secara turun temurun, dari zaman dulu hingga saat ini. Pengaruh budaya ini berada dalam

berbagai bidang hidup masyarakat mulai dari bidang politik dan hukum di pemerintahan,

agama dan kepercayaan dalam gereja, pendidikan di sekolah, hingga di keluarga dalam

berbagai budaya perkawinan, pembagian kerja antara suami istri dan berbagai aktivitas lain

dalam keluarga. Budaya (adat istiadat) menjadi simbol hidup yang sakral, yang mengatur dan

menata hidup seluruh masyarakat di Buru Selatan baik laki-laki maupun perempuan, mulai

dari orang tua sampai anak-anak. Dapat dikatakan bahwa seluruh masyarakat Buru Selatan,

tidak dapat hidup terpisah dari nilai-nilai adat istiadat-nya yang telah membentuk jati diri

mereka sebagai seorang manusia.

Meskipun begitu, dalam berbagai budaya tersebut justru bersemayam berbagai

praktek ketidak-adilan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Dengan demikian dapat

disimpulkan sedikitnya ada tiga hal penting dalam kehidupan masyarakat di Buru Selatan,

yang mendorong terjadinya berbagai bentuk ketidak-adilan tersebut yakni pertama, adanya

budaya (adat istiadat) di Buru Selatan yang melegitimasi berbagai bentuk perlakuan dan

tindakan yang bias jender sehingga memungkinkan terjadinya berbagai ketidak-adilan dan

diskriminasi terhadap kaum perempuan. Kedua, adanya struktur sosial baik dalam

masyarakat, gereja maupun keluarga yang kuat menekan kaum perempuan sehingga peran

mereka terbatasi dan dikecilkan pada bidang-bidang tertentu saja, yang umumnya adalah di

dalam keluarga. Ketiga, ketidakberdayaan perempuan ini (karena pengaruh adat istiadat dan

keterbatasan potensi diri), mengakibatkan mereka cenderung bertahan dalam situasi dan

kondisi tersebut. Mereka tak mampu memperjuangkan diri untuk berada di posisi yang setara

seperti laki-laki, dan hanya menerima berbagai hal yang terjadi bagi hidup mereka (adil

maupun tidak adil), sebagai satu-satunya realitas sosial yang telah menjadi kodrat mereka dan

mesti dijalani setiap saat.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/2/T2_752010001_BAB I.pdf · menata kehidupan seluruh masyarakat di Indonesia. Dalam UUD 1945 secara

Inilah beberapa fenomena yang membuat penulis tertarik untuk meneliti dan menulis

tentang kehidupan perempuan Pulau Buru khususnya kaum perempuan di dalam masyarakat

dan gereja di Buru Selatan. Berkaitan dengan itu, maka tulisan ini akan lebih mengkaji

tentang peran dan kedudukan perempuan Buru Selatan di tengah-tengah lingkungan keluarga,

gereja dan masyarakatnya. Adapun tulisan ini, ditulis dengan judul sebagai berikut:

ANAVINA FUKA BIPOLO Suatu Tinjauan Kritis dari Perspektif Kesetaraan Jender

terhadap Peran dan Kedudukan Perempuan dalam Masyarakat dan Gereja di Buru Selatan.

1.2. Rumusan Masalah

Memahami konsep masyarakat Buru tentang anavina Fuka Bipolo tidak hanya

terbatas pada apa yang mereka pikirkan tentang perempuan itu sendiri, tetapi mencakup

pula tempat dan posisi perempuan dalam segala bidang kehidupan di masyarakat

termasuk dalam struktur kebudayaan asli orang Buru. Dalam upaya itu maka rumusan

masalah dalam proses penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana peran dan kedudukan anavina Fuka Bipolo dalam masyarakat dan

gereja di Buru Selatan?

2. Apa tinjauan kritis dari perspektif kesetaraan jender terhadap peran dan kedudukan

perempuan di Buru Selatan?

1.3. Tujuan Penelitian

Dengan demikian, bertolak dari rumusan penelitian seperti diatas maka penulis

akan mengarahkan tujuan penelitian untuk:

1. Mendeskripsikan peran dan kedudukan perempuan dalam struktur masyarakat dan

gereja di Buru Selatan.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/2/T2_752010001_BAB I.pdf · menata kehidupan seluruh masyarakat di Indonesia. Dalam UUD 1945 secara

2. Melakukan tinjauan kritis terhadap peran dan kedudukan perempuan di Buru

Selatan dari prespektif kesetaraan jender.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Pada tataran akademik, diharapkan dari penelitian ini akan ada sumbangan teoritik

yang diberikan bagi instansi-instansi akademik sehingga dapat membantu para

akademisi untuk melakukan studi tentang perempuan dan jender di Indonesia.

2. Pada tataran praksis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pikiran baru, pandangan baru atau paradigma baru bagi masyarakat tentang

perempuan. Bagaimana kedudukan dan peran perempuan perlakuan yang adil dan

setara bagi mereka di tengah-tengah masyarakat. Selain itu, bagi gereja dan

pemerintah daerah untuk selalu memberikan pemahaman dan penyelesaian

terhadap berbagai kasus ketidak-adilan jender yang ada di dalam masyarakat, baik

yang menimpa kaum laki-laki, anak-anak dan terlebih khusus kaum perempuan.

1.5. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini tergolong jenis penelitian deskriptif yang bersifat kualitatif.14

Penelitian kualitatif menekankan segi akurasi data, maka akan menggunakan

pendekatan induktif artinya data dikumpulkan, didekati dan diabstraksikan.15

2. Lokasi Penelitian

Penelitian di lakukan di enam jemaat di Klasis Buru Selatan yang berada dalam

lingkup Kabupaten Buru Selatan antara lain jemaat Kase, Leksula, Waenamaolon,

14

Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remadja Rosdakarya, 2000), 16. 15

Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, dari Denzin Guba dan Penerapannya

(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), 5.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/2/T2_752010001_BAB I.pdf · menata kehidupan seluruh masyarakat di Indonesia. Dalam UUD 1945 secara

Wahaolon, Mngeswaen dan Batu Karang. Karena ke-enam jemaat tersebut juga

merupakan desa maka warga jemaat pada saat yang sama juga merupakan warga

masyarakat di desa-desa tersebut.

3. Teknik Pengumpulan Data dan Sumber Data.

Data yang dikumpulkan nanti berupa data primer dan data sekunder.16

Data primer diperoleh melalui wawancara mendalam atau depth interview dan

FGD (focus group discussion) dengan para informan yakni kaum perempuan, laki-

laki, tokoh adat, kepala desa dan pendeta di klasis Buru Selatan. Selain itu, juga

melalui observasi partisipatif (participant observation) terhadap kondisi sosial

kultural dalam masyarakat dan gereja di Buru Selatan.

Data sekuder diperoleh melalui buku, jurnal atau materi-materi tertulis lainnya,

yang memuat informasi tentang bahasan dan masalah penelitian ini.

4. Teknik analisis Data

Data yang diperoleh melalui wawancara dan pengamatan dilapangan, selanjutnya

akan diuraikan dalam bentuk deskripsi dan dilakukan tinjauan kritis dengan

menggunakan landasan teori sebagai pisau analisis.

1.6. Sistematika Penulisan

Secara garis besar, penulisan ini akan disusun dalam lima bab yaitu:

Bab pertama, berisi pendahuluan yang memaparkan tentang latar belakang, rumusan

penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab dua, membahas tentang landasan teori. Dalam penulisan ini, penulis akan

memakai teori atau pikiran-pikiran tentang peran dan kedudukan perempuan dalam

16

Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metode Penelitian Sosial (Jakarta: Bumi aksara, 2000),

90.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/2/T2_752010001_BAB I.pdf · menata kehidupan seluruh masyarakat di Indonesia. Dalam UUD 1945 secara

masyarakat dan gereja dari prespektif kesetaraan jender sebagai teori utama yang akan

menjadi dasar untuk menganalisa seluruh temuan (pemasalahan) dalam proses penelitian ini.

Bab ketiga merupakan fokus pembahasan yang berupa pemaparan hasil penelitian

yang telah dilakukan. Di sini data hasil penelitian akan dideskripsikan meliputi: gambaran

umum dari masyarakat dan daerah di Buru Selatan, termasuk didalamnya berbagai adat

istiadat masyarakat, ritus keberagaman hingga pemerintahan adat. Kemudian konsep anavina

Fuka Bipolo dalam sejarah hidup masyarakat di pulau Buru yang didalamnya memuat pula

pandangan masyarakat tentang perempuan (baik laki-laki terhadap perempuan dan secara

khusus pandangan perempuan terhadap diri mereka sendiri dalam masyarakat dan gereja di

Buru Selatan). Selanjutnya tentang relasi sosial di antara mereka, kedudukan dan peran

perempuan dalam masyarakat dan gereja di Buru Selatan, yang mencakup pembagian peran

dan penempatan posisi (kedudukan) antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga, gereja

dan masyarakat di Buru Selatan.

Bab empat, akan berisi analisa kritis dan refleksi. Analisa kritis dilakukan terhadap

hasil penelitian yang telah dideskripsikan dalam bab tiga. Analisa diarahkan untuk melihat

secara jelas kesetaraan peran dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam

kehidupan masyarakat dan gereja di Buru Selatan. Analisa terhadap kesetaraan dan keadilan

peran dan kedudukan dari perempuan dalam masyarakat dan gereja di Buru Selatan.

Sementara itu refleksi berbentuk refleksi teologis terhadap kesetaraan peran dan kedudukan

antara laki-laki dan perempuan, dengan mengutip beberapa ayat Alkitab yang bersifat

mendukung maupun menentang diskriminasi terhadap perempuan sebagai landasarn berpikir

menuju pemahaman yang baru bagi hubungan bersama yang lebih setara antara laki-laki dan

perempuan di Buru Selatan.

Bab lima, adalah bab penutup yang berupa kesimpulan, implikasi penelitian dan saran

serta usulan untuk penelitian lanjutan. Kesimpulan dalam hal ini berkaitan dengan peran dan

Page 13: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/2477/2/T2_752010001_BAB I.pdf · menata kehidupan seluruh masyarakat di Indonesia. Dalam UUD 1945 secara

kedudukan perempuan dalam kehidupan masyarakat dan gereja di Buru Selatan. Implikasi

penelitian berupa implikasi teori yang berhubungan kesetaraan jender dan implikasi praktis

yang lebih mengarah kepada masyarakat di Buru Selatan. Saran akan berupa pikiran-pikiran

rekomendatif bagi sebuah kehidupan yang adil dan setara antara laki-laki dan perempuan baik

dalam kebudayaan maupun bidang-bidang kehidupan yang lain dalam masyarakat di Buru

Selatan secara khusus dan di Maluku bahkan di Indonesia. Dan terakhir adalah usulan

penelitian lanjutan bagi siapa saja yang tertarik untuk melakukan penelitian lanjut (baik

tentang topik yang sama maupun topik yang berbeda) yang berkaitan dengan kehidupan

sosial budaya masyarakat di Buru Selatan.