bab i pendahuluan - eprints.unisnu.ac.ideprints.unisnu.ac.id/179/1/bab i.pdf · bagaimana letak...

94
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya hukum perdata yang selama ini kita kenal dan diketahui merupakan serangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan yang lainnya. Dengan menitik beratkan kepada kepentingan perseorangan saja yang bersumber pada kitab hukurn perdata sipil atau disingkat (BW). Begitu juga dalam Kompilasi Hukum Islam mdi indonesia. Yang bersumber pada Kompilasi Hukum Islam atau disingkat dengan (KHr). 1 Maka dengan demikian bahwa baik itu Kompilasi Hukurn Islam maupun Hukum Perdata materil, tidak akan terlepas pembahasannya mengenai perwalian, karena sebagaimana definisi dari pada Hukum Perdata tersebut di atas yang mengatur tentang kepentingan perseorangan dalam hal keperdataan. Oleh sebab itu, sehubungan dengan perwalian yang mengatur tentang kepentingan seseorang dan termasuk dalam Hukum Perdata maka perlulah sekiranya untuk diketahui konsep dari pada perwalian baik di dari segi Kompilasi Hukun Islam maupun dari Hukum Perdata (BW). Pada dasarnya perwalian merupakan hal terpenting bagi kelangsungan hidup anak krecil 1 Dian Dewi, Konsep Perwalian dalam Perspektif Hukum Perdata Islam dengan hukum Perdata Sipil (Study Komparatif), posted by on 14 April, 2010) 1

Upload: trantram

Post on 14-Aug-2019

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada dasarnya hukum perdata yang selama ini kita kenal dan

diketahui merupakan serangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur

hubungan hukum antara orang yang satu dengan yang lainnya. Dengan

menitik beratkan kepada kepentingan perseorangan saja yang bersumber pada

kitab hukurn perdata sipil atau disingkat (BW). Begitu juga dalam

Kompilasi Hukum Islam mdi indonesia. Yang bersumber pada Kompilasi

Hukum Islam atau disingkat dengan (KHr).1

Maka dengan demikian bahwa baik itu Kompilasi Hukurn Islam

maupun Hukum Perdata materil, tidak akan terlepas pembahasannya

mengenai perwalian, karena sebagaimana definisi dari pada Hukum Perdata

tersebut di atas yang mengatur tentang kepentingan perseorangan dalam hal

keperdataan.

Oleh sebab itu, sehubungan dengan perwalian yang mengatur tentang

kepentingan seseorang dan termasuk dalam Hukum Perdata maka perlulah

sekiranya untuk diketahui konsep dari pada perwalian baik di dari segi

Kompilasi Hukun Islam maupun dari Hukum Perdata (BW). Pada dasarnya

perwalian merupakan hal terpenting bagi kelangsungan hidup anak krecil

1 Dian Dewi, Konsep Perwalian dalam Perspektif Hukum Perdata Islam dengan hukum

Perdata Sipil (Study Komparatif), posted by on 14 April, 2010)

1

2

(anak dibawah umur) atau anak yang masih belum bisa mengurus diri sendiri

seperti anak-anak terlantar, baik dalam mengurus harta

Kekayaan maupun dalam mengurus lingkungannya sendiri atau

dengan istilah lain yakni anak yang masih belum bisa atau belum cakap

dalam bertindak hukum. Oleh karena itu maka perlulah ada seorang atau,

sekelompok orang yang dapat mengurus dan memelihara juga membimbing

anak yang masih belum ada walinya atau yang belum ada yang mengurus

demi keselamatan anak dan harta.

Masalah wali dalam Islam juga sangat berperan sekali dalam hal

pernikahan. Dengan demikian Kompilasi Hukum Islam membagi Perwalian

menjadi dua macam yakni perwalian dalam hal pernikahan dan Perwalian

dalam hal anak di bawah umur.

Jadi menurut ajaran agama Islam perwalian yang termasuk dalam

perkawinan adalah orang yang berhak menikahkan anaknya atau orang yang

berada dibawah perwaliannya. Untuk lebih jelasnya Imam Syafi'i2

menyatakan perwalian adalah "Suatu kekuasaan atau wewenang syar'i atas

segolongan manusia karena dilimpahkan kepada orang yang sempurna,

karena kekurangan tertentu pada orang yang dikuasai itu, demi

kemaslahatannya sendiri". Pendapat Imam As syafi'i dan para mazhab lain-

lain.

Maka dengan demikian wali disini sangat perlu dan sangat penting karena

termasuk dalam rukun nikah. Sahnya Pernikahan seorang harus dengan

2 Muhammad Jawad Mughniah, Fikih lima Mazhab, cet 5 (Jakarta : Lentera, 2000) hal. 345

3

adanya wali yang sah sebagaimana disebutkan Dalam AlQur'an Al Ma'idah :

51 yang berbunyi :

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-

orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian

mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara

kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu

Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk

kepada orang-orang yang zalim.(Q.S. Al Maidah : 51)

Sedangkan tentang perwalian anak di bawah umur para ulama' sepakat

bahwa perwalian adalah orang yang berhak mengurus dan membimbing

orallg yang dibawah perwalian. Selain itu juga ulama' menyepakati bahwa

perwalian disini adalah ayahnya sedangkan dari pihak ibunya tidak

mempunyai hak wali kecuali wali yang bukan ayah disini para ulama' berbeda

pendapat.

Sedang perwalian menurut Hukum Perdata Sipil KUH Perdata

(Burgerlijk Weetboek) yakni telah dibahas dalam Pasal 331 dalam hukum

keluarga "Perwalian adalah anak yatim piatu atau anak-anak yang belum

cukup umur dan tidak dalam kekuasaan orang tua yang memerlukan

bimbingan dan oleh karena itu harus ditunjuk wali yaitu orang-orang atau

perkumpulan yang akan menyelenggarakan keperluan hidup anak tersebut."3

3 Mudjiono, Sistem Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta, Liberty, 1997) hal 89

4

Wali ditetapkan oleh hakim atau dapat pula karena wasiat orang tua

sebelum meninggal: sedapat mungkin wali diangkat dari orang-orang yang

mempunyai pertalian darah dari si anak itu sendiri. Sedangkan tentang arti

perwalian menurut UUP No 1 Tentang Perkawinn yang merupakan Hukum

Perdata Sipil yang berlaku saat ini adalah anak yang belurn mencapai umur

18 (delapan belas) tahun, belurn pernah melangsungkan pemikahan, yang

tidak berada dalam kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.

Perwalian itu mengenai peribadi anak yang bersangkutan maupun harta

benda.(Pasal 50). Dari beberapa konsep perwalian diatas tadi baik yang

diambil dari konsep hukum perdata Islam dan hukum perdata sipil yang

memiliki konsep yang sedikit berbeda dan sama sama diterapkan di Negara

Indonesia. 4

Dengan demikian banyak hal yang perlu diketahui sebagai seorang

wrga Negara lndonesia dan sudah semestinya mengetahui. dan memahami

mengenai hukum yang diterapkan di negara Indonesia ini, terutama mengenai

hukum perdata, lebih lebih mengenai hukum perwalian karena perw'alian ini

rnenyangkut masalah yang menitik beratkan kepada kepentingan

perseorangan baik itu ditinjau dari segi Kompilasi Hukum Islam maupun dari

segi Hukum Perdata. Maka oleh sebab itu Karena pentingnya hal tersebut

untuk dikaji dan ditelaah, diupayakan supaya masyarakat tidak bingung

dalam memahami dan menerapkan kedua konsep hukum tersebut.

4 Ibid., hal 89

5

Adapun hal yang sangat mendasari dari pada masalah perwalian ini

untuk dikaji dalam penelitian ini adalah, dari beberapa Hukum Perdata yang

berlaku di Negara Indonesia ini, penulis ingin membandingkan baik itu

Kompilasi Hukum Islam maupun Hukum Perdata, dalam masalah Perwalian.

Selain itu juga peneliti berkeinginan untuk memahami secara mendalami

kedua model Hukum Perdata tersebut baik itu pengertianya, kedudukan

hukumnya, atau, dan hal hal yang berhubungan dengan perwalian tersebut.

Sehingga dengan demikian maka masalahperwalian dapat penulis ketahui

dengan itu juga jelas bermanfaat bagi masyarakat luas, yang ingin

mengetahui masalah wali dalam hukum perdata, baik Hukum Perdata Sipil

maupun dalarn kompilasi Hukum Islam.

Karena inilah salah satu dari tujuan penelitian ini. Selain itu juga salah

satu masalah yang perlu diperhatikan oleh masyarakat dan pemerintah adalah

tidak adanya ketentuan mengenai kedudukan hukum anak anak yang terlantar

yang merupakan tanggung jawab negara, yakni anak anak yang terlepas dari

kekuasaan orang tua mereka yang kian hari kian bertambah dan merupakan

sebagai probelematika yang,berkembang pada akhir akhir ini terutama di

Negara negara yang berpenduduk padat, seperti di Indonesia.

Disamping itu juga masyarakat awam yakni masyarakat yang masih

bingung dalam memahami hukum perdata yang berlaku saat ini baik itu

kedudukan perwalian anak yatim dan perwalian anak anak yang terlantar

anak dibawah umur, karena belum memahami dari pada konsep perwalian,

6

Kompilasi Hukum Islam dan dari segi Hukum selain itu juga perdata baik

itu dari segi Sipil (BW). 5

Banyak kasus-kasus yang berkembang tentang penemuan bayi-bayi

yang tidak memiliki orang tua dan wali.

Lantas dengan dernikian sipakah berhak mengurus dan menjaga anak

tersebut dan seandainya kalau anak-anak terlantar yang dibawah umur

berbuat hukum maka siapakah yang akan mengurus dan mengadili dan selain

itu juga siapa yang akan menjamin kesejahteraan anak, kalau bukan wali dan

pemerintah siapa lagi. Dan siapakan wali tersebut, juga apakah dia berhak

dalam mengawinkan orang yang dibawah perwaliannya dalam Kompilasi

Hukum Islam. Dengan demikian maka permasalahan ini perlu untuk

dipecahkan melalui penelitian. Oleh sebab itu mengingat betapa urgensinya

permasalahan tersebut untuk dikaji dan diteliti lebih lebih bagi si peneliti

maupun bagi masyarakat umum. Maka penulis akan membahasnya melalui

penulisan Skripsi ini dengan Konsep Perwalian Dalam Persepektif Kompilasi

Hukum Islam Dengan Hukurn Perdata Sipil Study Komparatif .

B. Penegasan Istilah

Untuk menghindari, terjadinya salah pengertian dalarn memahami

penelitian ini, maka, penulis maksud dari adalah : mernberikan penjelasan

teniang pengertian dan judul penelitian ini. Adapun istilah-istilah yang

menulis maksud adalah :

5 Ibid, hal 90

7

1. Konsep atau pengertian konsep adalah rancangan atau buram urat

dsb; ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret;6

atinya pendapat atau pemahaman dan pengertian yang terdapat,

baik di dalam kompilasi hukum Islam maupun yang terdapat pada

hukum perdata.mengenai perwalian.

2. Perwalian adalah "sebagai kewenangan untuk melaksanakan

perbuatan hukum demi kepentingan, atau atas nama anak yang

orang tuanya telah meninggal atau Tidak mampu melakukan

perbuatan hukurn".7 Penelitian dalam penulisan skripsi ini,atau

yang lebih jelasnya perwalian yakni penguasaan dan

perlindungan. Jadi Yang dimaksud dengan perwalian adalah

penguasaan penuh yang diberikan oleh ketentuan hukum kepada

seseorang untuk menguasai dan melindungi orang atau barang.

3. Persepektif adalah teori-teori atau pembahasan yang terdapat atau

terfokus dalam kompilasi hukum Islam dan hukum perdata sipil

dalam hal perwalian.

4. Hukum Perdata adalah hukum yang bersumber pada kitab hukum

perdata atau disingkat dengan (BW) Juga pada Undang undang

perdata dan peraturan pemerintah yang berlaku di Negara

Indonesia.adapun yang dimaksud dengan sumber disini adalah :

"Dalarn arti yang umum dapatlah dikatakan bahwa sumber hukum

6 Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2004), hlm. 748 7 50-54 UU no. I tahun 1974 dan pasal 107-112 Kompilasi Hukum Islam (KHI)

8

adalah sebagai tempat kita dapat rnenemukan hukum atau sebagai:

tempat ita rnengenali hukum."8

5. Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah hukum yang bersumber

pada pokok hukum ajaran agama Islam, atau dengan kata lain

Kompilasi Hukum Islam yang bersumber pada Kitab Al Qur'an

atau wahyu Allah dan Sunah Rasulullah SAW dan diyakini

mengikat untuk semua yang beragama Islam termasuk juga dalam

hal ini Kompilasi Hukum Islam (KHI) yakni Kitab Kompilasi

Hukum Islam.yang bersumber pada Al Qur'an dan Al Hadis. Dan

merupakan hasil Ijtihad para ulama' disamping itu juga kitab ini

berlaku bagi umat Islam yang ada di Indonesia. Studi Komparatip

atau perbandingan.

Studi Komparatip adalah mempelajari tentang perbandingan,

yakni membandingkan perbedaan dan kesamaan di antara kedua konsep

dalam hal perwalian.

C. Rumusan Masalah

Bertolak pada latar belakang masalah di atas, permasalahan yang penulis

rumuskan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana konsep perwalian dalam kompilasi hukum Islam (KHI) ?

2. Bagaimana konsep perwalian dalam Hukum Perdata ?

3. Bagaimana letak perbedaan dan persamaan antara konsep perwalian

kompilasi hukum Islam dengan hukum perdata ?

8 Burhan Ashshofa , Metode Penelitian Hukum,Cet l, (Jakarta, Rineka Cipta,1996) hal. 7

9

D. Tujuan Dan Manfaat Penulisan Skripsi

Agar penulis lebih terarah, maka sangatlah perlu untuk dirumuskan

tujuan. Penulisan secara jelas, karena tujuan inilah' yang menjadi landasan

berpijak setiap pekerjaan. Melalui penelitian ini ada beberapa tujuan yang

ingin penulis capai yaitu :

a. Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian yang ingin dicapai terdiri dari tujuan

umum dan tujuan khusus, adapun tujuan umum yang penulis rnaksud

adalah untuk melengkapi sebagian dari tugas belajar dan untuk

memperoleh gelar sarjana di dalam Fakultas Syari'ah Instisut Islam

Nahdlatul Ulama Jepara. Sedangkan tujuan khusus yang ingin dicapai

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Ingin mengetahui konsep perwalian dalam kompilasi hukum

Islam

2. Ingin mengetahui konsep perwalian dalam hukum perdata sipil

3. Ingin mengetahui perbedaan dan persamaan konsep perwalian

menurut hukum perdata dengan kompilasi hukum Islam

b. Manfaat Penelitian

Kegunaan penelitian ini pada garis besarnya dapat penulis

kelompokan menjadi dua bagian yaitu:

1. Secara teoritis yaitu hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan

bahan acuan dan termasuk pengembangan hukum sebagai literatur

bacaan bagi yang ingin memanfaatkannya sebagai bahan acuan dan

10

pedoman bagi yang ingin mengetahui kedua konsep hukum

perwalian tersebut.

2. Secara praktis yaitu untuk memperoleh pengalaman penulis dalarr

mengadakan obyek penelitian.

E. Metode Penelitian

Pengetahuan dan wawasan setia penelitian dan untuk mengetahui

Metode adalah cara yang teratur berdasarkan pemikiran yang matang untuk

mencapai maksud ( ilmu pengetahuan dsb) 9

Di dalam suatu penelitian tidak begitu saja meneliti obyek

penelitiannya, akan tetapi ia harus mempersiapkan segala sesuatu seperti data

data yang dibutuhkan atau yang berkaitan dengan apa yang ditelitinya. Suatu

keharusan bahwa dalam setiap sesuatu yang dilakukan memerlukan dan

terlebih lagi upaya penulisan suatu karya ilmiah tentu memerlukan cara atau

metcrde yang efektif dan efisien.

Sebuah karya tulisan ilmiah, data berkedudukan sangat penting dan

perimer dijadilan sebagai fakta tertulis suatu kebenaran dan keobyektifannya

sangat perlu untuk dipertanggung jawabkan kebenaranya. Oleh sebab itu

didalam metode pengurnpulan data sebagai dasar penyusunan skripsi ini telah

penulis identifikasikan menjadi beberapa hal antara lain.

a. Jenis Penelitian

Dalam penyusunan skripsi ini jenis penelitian yang dipergunakan

adalah jenis penelitian kepustakaan, karena data-data yang dibutuhkan

9 Anton m. Moeliono, op.Cit., hlm. 952

11

hanya data yang merupakan penganalisaan literatur saja, tanpa diikuti

oleh data-data yang diperoleh dari penelitian lapangan.

b. Sumber data

Sedangkan sumber data dalam penyusunan skripsi ini adalah

bersumber pada data-data kepustakaan libemriy resreach.yaitu data-

data yang diperoleh dari buku-buku literatur yang relevan dengan

pokok pembahasan seperti antara lain buku-buku

a. Buku sistem hukum dan tata hukum di Indonesia

b. Anak dan wanita dalam hukum

c. Pengantar tata hukum di Indonesia

d. Perkawinan di Indonesia

e. Perwalian dalam Islam

f. Perwalian dalam hukum perdata sipil

g. Dan buku buku yang berkaitan dengannya.

Kemudian dari beberapa sumber data yang telah ditetapkan diatas

maka untuk mempermudah dalam penganalisaan perlu ditentukan metode

untuk memperolehnya.

1. Metode Kepustakaan

Metode kepustakaan juga disebut dengan metode

literature, metode ini dilakukan dengan menelaah buku ilmiah

dan mengambil interpretasi dari pendapat para ahli, yang penulis

pergunakan sebagai penguat hasil pemikiran dalarn penyusunan

skripsi ini.

12

2. Metode Dokumenter.

Metode dokumenter adalah suatu yang tercetak atau

yang tertulis yang dapat dipakai sebagai bukti atau keterangan.

Di dalam definisi lain menyebutkan bahwa : "Dokumen adalah

sebagai bahan klasik untuk meneliti perkembangan histories

yang khusus yang biasanya digunakan untuk rnenjawab tentang

apa, kapan, dan dimana." 10

Dengan demikian beberapa definisi -diatas, maka dapat

dikemukakan bahwa metode dokumenter adalah metode

pengumpulan data yang diperoleh melalui catatan catatan

tertulis atau tercetak yang dapat dijadikan fakta dari suatu

argumentasi

F. Metode Analisis Data

a. Metode Induktif

Metode induktif adalah pengambilan kesimpulan yang dimulai dan

kesimpulan atau fakta-fakta khusus menuju pada kesimpulan yang bersifat

umum" Jadi metode induktif adalah menganalisa data yang bersifat khusus

kemudian ditarik kesimpulan secara umum, oleh karenanya dalam

penelitian sebagai isi dari skripsi ini, penulis mencari berdasarkan

literature tentang konsep perwalian dalam hukum perdata Silpil dan

10 Sartono kartodirjo, Metode Penelitisn masyarakat,. Redaksi Kontjoningrat, Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta, 1997, Cet Ketiga, hal 44

13

kompilasi Hukum Islam, kemudian dari temuan tersebut dilakukan analisa

atau kesimpulan secara umum.11

b. Metode deduktif

Adapun dalam bukunya Sutrisno Hadi yang berjudul Metodelogi

Resreach menyatakan bahwa pada prinsipnya deduksi adalah apa saja yang

dipandang benar pada semua pristiwa suatu klas ( Sutrisno Hadi ) 1998 :

83.

Pengertianya, metode yang dipakai dengan menarik fakta atau

kesimpulan yang bersifat umum, untuk dijadikan fakta atau kesirnpulan

umum yang bersifat khusus.

c. Metode Komparatif.

Yang dimaksud dengan metode kornparatip adalah metode

perbandingan.12 Menurut. Winarno Surakhmad. mendefinisikan bahwa

Penyidikan deskriptif yang berusaha mencari pemecahan melalui analisa

tentang perhubungan-perhubungan sebab akibat yakni yang meneliti faktor

faktor tedentu yang berhubungan dengan situasi atau fenomena yang

diselidiki dan membandingkan satu faktor dengan yang lain, adalah

penyidikan yang bersifat Komparatif ".

Dengan demikian dari definisi diatas tadi dapat penulis jelaskan

bahwa komparatif adalah membandingkan beberapa pendapat atau

peristiwa. Dengan metode ini dibandingkan beberapa pendapat fakta atau

11 Nana Sudjana, Tuntunan Penyusunan Karya llmiah. Sinar baru algesindo, Bandung, Cet

ketujuh,. 2003, hal 7

12 Anton M. Moeliono, Op.cit.,hllr..743

14

peristiwa yang diketahui dengan kaidah kaidah dijadikan landasan berfikir.

Dengan demikian baik data yang di analisis induksi, deduksi, maupun

komparatif selanjutnya disusun secara sistematis, logis dan yuridis guna

memperoleh gambaran umum tentang perbedaan, baik itu mengenai

konsep juga yang berkaitan dengan semua hal tentang perwalian dan juga

mengenai persamaanya.

Adapun dalam hal ini, penulis akan memperbandingan antara

konsep perwalian menurut Kompilasi Hukum Islam dengan hukum

perdata Sipil. Yang pada akhirnya mendapatkan kesimpulan.

G. Sistematika Pembahasan

Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab, yang masing-masing bab

memuat sub bab Adapun sistematikanya adalah sebagai berikut :

1. Bagian Muka

Pada bagian ini akan dimuat beberapa halaman di antaranya adalah

halaman sampul, halaman judul, halaman nota pembimbing, halaman

pengesahan, halaman motto, halaman persembahan, halaman kata

pengantar, halaman daftar isi, dan halaman daftar table

2. Bagian Isi

Pada bagian ini memuat lima bab yaitu :

BAB. I PENDAHULUAN, terdiri atas latar belakang masalah,

alasan pemilihan judul, telaah pustaka, rumusan masalah, penegasan

istilah, tujuan dan manfaat penelitian, rumusan hipotesis, metode

penelitian, dan sistematika pembahasan.

15

BAB II LANDASAN TEORI TENTANG PERWALIAN

DALAM PERSEPEKTIF KOMPILASI HUKUM ISLAM DENGAN

HUKUM PERDATA SIPIL, terdiri dua sub bab, sub bab pertama yaitu

konsep perwalian dalam kompilasi hukum Islam meliputi pengertian

dan dasar hukum perwalian, kedudukan hukum, sebab dan tujuan

perwalian, syarat dan rukun perwalian, urutan wali, larangan bagi para

wali, dan berakhimya hubungan perwalian , sub bab kedua yaitu konsep

perwalian dalam KUH Perdata Sipil, terdiri dari pengertian perwalian,

dasar hukum perwalian, sebab dan jenis perwalian, hal-hal yang

berkaitan dengan perwalian, syarat-syarat perwalian, tujuan dan

kewajiban wali, undang-undang yang mengatur tentang kesejahteraan

anak, larangan bagi wali, dan sebab berakhirnya perwalian

BAB. III. PROSES. KAJIAN yang tardiri. dari, tinjauan kedua

konsep hukum perdata tentang perwalian, perbedaan konsep perwalian

antara kompilasi hukum Isiam dengan hukum perdata, persamaan

konsep perwalian antwa kompilasi hukum Islam dengan hukum

perdata, hukum positif yang berlaku di Indonesia

BAB. IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN yang

terdiri dari analisis konsep perwalian antara kompilasi hukum Islam

dengan hukum perdata, kedua analisis perbedaan dan persamaan antara

konsep perwalian kompilasi hukum Islam dengan hukum perdata

BAB. V PENUTUP, terdiri atas kesimpulan, saran-saran, dan

kata penutup

16

3. Bagian Akhir

Pada bagian ini terdiri daftar pustaka, lampiran-lampiran, dan

daftar riwayat pendidikan penulis.

17

BAB II

LANDASAN TEORI TENTANG PERWALIAN DALAM PERSEPEKTIF

KOMPILASI HUKUM ISLAM DENGAN HUKUM PERDATA SIPIL

A. Perwalian Dalam Kompilasi Hukum Islam

1. Pengertian Perwalian

Sebelum membahas mengenai pengerlian perwalian dalarn Islam

terlebih dahulu perlu untuk diketahui perbedaan antara wali dengan

perwalian. Wali berasal dari bahasa Arab yakni berasal dari kata "( الولى)

yang artinya amat dekat"13 Jadi yang dimaksud dengan wali adalah

seorang atau sekelompok orang yang paling dekat dan yang belhak

mengurus juga yang berhak menjaga harta atas orang yang dibawah

perwaliannya baik itu dari sejak waktu ia ditetapkan keadaannya menjadi

wali, maupun ditetapkan oleh putusan hakim. Sedangkan wali dalam

istilah fiqih adalah orang yang diberi kekuasaan perwalian disebut wali,

wali merupakan suatu ketentuan hukum yang dapat dipaksakan kepada

orang lain yang sesuai dengan bidang hukumnya.

Sedangkan .yang dimaksud dengan perwalian adalah suatu

permasalahan tentang wali yakni kepada siapa akan dijatuhkan hak

kewalian seseorang atau barang apabila wali yang telah ditetapkan tersebut

sudah tidak ada atau sudah meninggal dunia sehingga kepada siapa yang

13 A. Sya’bi, kamus Indonesia, halim, 9surabaya, 1997, hlm 299

17

18

harus ditunjuk sebagai wali atas orang atau barang yang tidak mempunyai

wali.

Istiiah perwalian dalarn fiqih disebut wilayah yang berarti

penguasaan dan perlindungan atau dengan kata lain perwalian adalah

penguasaan peiruh yang dlberikan oleh agama kepada seseorang untuk

menguasai dan melindungi orang atau barang. 14

Maka dengan demikian perwalian itu dapat dibagi menjadi dua

bagian yaitu : perwalian atas keperibadian seseorang dan hartanya,

perwalian atas barang dan perwalian atas perempuan yang hendak mau

kawin.

a. Perwalian atas seseorang dan harta bendanya.

Perwalian atas orang termasuk dalarn istilah perwalian yang

secara umum. Dikatakan umum karena perwalian ini berkenaan

antara manusia dengan manusia. maksudnya yakni perwalian atas

orang orang yang belum cakap dalam bertindak hukum.guna

menjaga harta dan jiwanya Seperti perwalian atas orang gila, orang

safih atau idiot, dan anak dibawah umur.

b. Perwalian atas orang perempuan yang kawin.

Perwalian ini termasuk dalam kategori perwalian umurn

dikata kau umum karena perwalian ini berkenaan antara manusia

dengan manusia Yakni perwalian yang membahas dalam hal

seorang gadis perempuan yang hendak akan rnenikah namun

14 50-54 UU No. I tahun 1974 dan Pasal 107-l 12 Kompilasi Hukum Islam (KHI)

19

karena ada kekurangan terhadap dirinya maka perlulah adanya wali

yang akan menikahkannya. Oleh sebab itu perwalian dalam

pernikahan ini adalah merupakan rukun nikah dalam hukum

perdata Islam.

Masalah perwalian juga sangat berkaitan erat hubungannya

dalam masalah wala' (ولى) yakni ketuanan, istilah wala' yang

berkaitar, dengan hak waris tnewarisi yang diherikan kepada

seseorang yang rnemerdekakan hamba sahayanya budak atau

seseorang yang mendapat warisan karena ada sumpah setia untara

dua orang untuk saling membantu dalam berbagai kesulitan yang

dihadapi dan saling mewarisi.perwalian dalam bentuk pertama

adalah hak perwalin dan ahli waris yang ada pada tuan terhadap

harnba sahayanya yang telah dimerdekakan. oleh seorang tuan

berhak menjadi ahli waris muthlak ashobah dari serlua peninggalan

hamba sahayanya, bila hamba sahayanya itu tidak memiliki ahli

waris lain. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi yang artrnya: " bahwa

perwalian itu hanya hak bagi orang yang memerdekakan " ( HR Al

Bukhari dan Muslim)15

Sedangkan bentuk perwalian yang kedua adalah wala'

almu'awallah yakni perwalian karena pemyataan antata dua orang

untuk saling mewarisi dan saling membantu dalarn berbagai

15 Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedia Hukum islam, (Ikhtiar baru Van Hoeve, Jakarta 2001, cet 5)

hal : 1945

20

kesulitan yang mereka hadapi : termasuk mereka sama salna untuk

bertanggung jawab untuk membayar sanksi diat apablla salah satu

diantara mereka yang melakukan tindak pidana yang mewajibkan

diat. Tapi perwalian ini disyaratkan bagi orang yang mengalgkat

wali tidak mempunyai wali nasab atau keturunan. Dan juga

disyaratkan dalam mengambil wali harus yang dewasa dan sudah

cakap dalam bertindak hukum. Sedangkan menurut para pakar

hukum lslam, mendefinisrkan perwalian sebagai berikut.

Menurut Drs. Dedi Junaedi'' Pembicaraan masalah

perwalian dalam islam terbagai kepada dua kategori, perwalian

umurl dan khusus. Perwalian umum biasanya mencakup

kepentingan bersama ( bangsa atau rakyat ) seperti waliyul amri (

dalam arti gubernur ) dan sebagainya. Sedangkan perwalian khusus

adalah perwalian terhadap jiwa dan harta seseorang, seperti

terhadap anak yatim." 16

Sedangkan menurut Muhammad Jawad Mughniyah.

Mendifinisikan perwalian sebagai berikut." Perwalian adalah suatu

kekuasaan atau wewenang syar'I atas segolongan manusia yang

dilirnpahkan kepada orang yang sempuna,' karena kekurangan

tertentu pada orang yang dikuasai itu, demi kemaslahatannya

16 Dedi Junaedi,.Bimbingan Perkawinan , (Akademika pressindo. Jakarta2001, cet

pertama) hal: 104

21

sendiri."17 pendapat ini adalah merupakan kesepakatan diantara

beberapa para ulama' mazhab yang berkembang selama ini. Selain

definisi definisi yang dikemukakan oleh para pakar hukurn islam

diatas tadi, masih banyak juga definisi atau pendapat dari pakar

hukum lainnya, narnun pendapat pendapat tersebut tidak jauh

berbeda dengan definisi yang telah dipaparkan diatas.cuma

perbedaannya terdapat pada kaliamatnya sedangkan pada

maknanya sama.

2. Dasar hukum perwalian

Pada dasarnya, dasar hukum perwalian itu terbagi menjadi dua

bagian yaitu dasar hukum perwalian terhadap orang oraug yang belum

cakap dalam bertindak hukurn. dan dasar hukum perwalian dalam hal

perkawinan. Sebagai dasar hukum perwalian dalam hal perkawinan adalah

sebagairrana firman Allah dalam Alqul'an yang berbunyi :

Artinya : "Dan kawinkanlah orang-orangyang sedirian[l035] diantara

kamu,dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-harnba

sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika

mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kumia-Nya. dan

Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui". ( Qs An Nur:

32 )18

17 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Penerbit Lentera.Jakarta 2000) , Cet lima 18 Soenarjo SH,dkk,. Op.cit., hlm. 3l

22

[035] Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita-

wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.

Dalam hadis Rasulullah juga telah disebutkan bahwa pernikahan tidak sah

apabila tidak ada wali, hadis tersebut berbunyi :

Artinya: " Dari Aisyah ra berkata : Rasulullah SAW bersabda: "Tiap-tiap

wanita yang rnenikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal,maka

nikahnya batal, maka nikahnya batal. Jika perernpuan itu telah

disetubuhi, maka dia berhak meneritna mahar dengan sebab persetubuhan

itu. Maka jika para wali enggan (berselisih), rnaka sultanlah yang

menjadi wali bagi orang yang tidak ada wali." (HR. Ahmad). 19

Sedangkan yang menjadi dasar hukurn atas kedua perwalian

tersebut yakni perwalian terhadap anak dibawah umur dan perwalian

dalam perkawinan. adaiah sebagailana yatlgtelah tertera dalam Hukurn

perdata Islam yakni dalam Kornpilasi Hukurn Islam ( KHI ) yang terdapat

pada pasal 107 ayat 7 - 4 yangberbunyi.:

1. Perwalian hanya terhadap anak yang belurn mencapai umur 21

tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

2. Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaannya.

3. Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas

perwaliannya, maka pengadilan agama dapat menunjuk salah

seorang kerabat untuk bertindak sebgai wali atas pennohonan

kerabat tersebut.

4. Wali sedapat dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau

orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur, dan

berkelakuan baik, atau badan hukum. 20

19 Menurut Imam Tirmizi , hadis ini Hasan, dan Al Qurtubiy menyatakan bahwa hadis ini shahih,

dan menurut Imam Hakim,riwayat tentang hal ini memang benar datangnya dari istri istri 20 Kompilasi Hukum Islam, Pustaka Widyatama,2004,.hal.52

23

Dari beberapa dasar hukum perwalian diatas tadi adalah merupakan

dasar hukum perwalian dalam hukum perdata Islam sedangkan dasar

hukum menurut. hukum perdata sipil akan dibahas pada pasal yang

keberikutnya nanti.

3. Fungsi dan Kedudukan Wali

a. Fungsi Wali

Dalam Islam ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, khususnya

pada'masalah perkawinan. Seorang laki-laki jika telah dewasa dan aqil

(berakal), maka ia berhak untuk melakukan akad nikahnya sendiri. Hal

ini berbeda dengan wanita, walaupun ia dimintakan persetujuannya oleh

walinya, tetapi tidak diperkenankan untuk melakukan akad nikahnya

sendiri.

Rasullullah SAW. Diantaranya Siti Aisyah Umu salamah,Zairab,

dan menurut Ibnu Munzir tak diketahui seorang sahabatpun yang

menyelisihnya.Suatu perkawinan sangat mungkin menjadi titik tolak

berubahnyan hidup dan kehidupan seseorang. Dan dengan adanya

anggapan bahwa wanih (da1am bertindak) masih sering mendahulukan

perasaan dari pada pemikirannya, maka dikhawatirkan ia dapat

melakukan sesuatu yang rnenimbulkan kehinaan pada dirinya yang hal

itu juga akan menimpa walinya. Disamping itu pada prakteknya di

masyarakat, pihak perempuanlah yang mengucapkan ijab (penawaran),

sedang pengantin laki-laki yang diperintahkan mengucapkan qabul

(penerirnaan). Karena wanita itu pada umumnya (fitrahnya) adalah

24

pemalu (isin-Jawa), maka pengucapan ijab itu perlu diwakilkan kepada

walinya.l5 Hal ini berarti bahwa fungsi wali dalam pernikahan adalah

untuk menjadi wakil dari pihak perempuan untuk mengucapkan ijab

dalarn akad nikahnya.

b. Kedudukan wali

Para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan wali dalam

pernikahan. Hal ini dikarenakan tidak adanya satu ayat atau pun hadits

yang secara tegas mensyaratkan adanya wali dalam pernikahan. Selain itu

hadits-hadits"yang dipakai oleh para fuqaha masih diperselisihkan

keshahihannya kecuali hadits Ibnu Abbas Berikut ini akan diuraikan

beberapa pendapat para ulama mengenai kedudukan wali dalarn

pernikahan, yaitu:

1) Jumhur ulama, Imam Syafi'li dan Imam Malik Mereka

berpendapat bahwa wali merupakan salah satu rukun

perkawinan dan tak ada perkawinan kalau tak ada wali. Oleh

sebab itu perkawinan yang dilakukan tanpa wali hukumnya

tidak wali (batal). 16 Alasan yang mereka kemukakan,

diantaranya:

Dalam Al Qur'an Surat"AnNur: 32

25

Artinya : "Dan kawinkanlah orang-oran g yang sedirian diantara kamu, dan

orang-orang yang layak (berkawin) dari harnba-harnba sahayamu yang

lelaki dan harnba-harnba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin

Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas

(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui".(Q.S. An Nur:32). 21

Hadits Nabi SAW dari Abi Musa Al Asy'ari.

Artinya : "Dari Abi Musa Al- Asy'ari dari Ayahnya ra berkata Rasulullah

SAW bersabda : "Tidak ada suatu pernikahan kecuali dengan adanya wali"

(HR. Ahmad dan Imam Empat ' dan dibenarkan Ibnu Madini dan At-

Turmudzi dan Ibnu Hiban)

Jumhur berpendapat bahwa hadits ini secara dzahir menafikan (meniadakan)

keabsahan akad nikah tanpa wali dan bukan menafikan sempurnanya akad nikah.

Hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah

Artinya: " Dari Aisyah ra berkata : Rasulullah SAW bersabda: "Tiaptiap

wanita yang rnenikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal, maka

nikahnya batal, maka nikahnya batal. Jika perempuan itu telah disetubuhi,

maka dia berhak menerima mahar dengan sebab persetubuhan itu. Maka

jika para wali enggan (berselisih), maka sultanlah yang rnenjadi wali bagi

orang yang tidak ada wali." (HR. Ahrnad).22

21 Soenarjo SH,dkk,. Op.cit., hlm. 3l 22 Written By Admin BeDa on Senin, Hadis Bukhori Muslim, 25 Januari 2010

26

Hadits diatas mengandung beberapa pengertian :

Akad nikah yang dilaksanakan tanpa wali, maka hukumnya

batal

Melakukan persetubuhan atas dasar menganggap akar halalnya

mewajibkan kepada laki-laki pelaku untuk membayar mahar

mitsil.

Wanita yang berselisih dengan walinya atau gaib atau memang

tidak ada wali, maka sulthanlah walinya atau wali hakirn. Selain

itu mereka berpendapat perkawinan itu mernpunyai beberapa

tujuan, sedangkan wanita biasanya suka dipengaruhi oleh

perasaannya. Karena itu ia tidak pandai mernilih , sehingga tidak

dapat memperoleh tujuan

tujuan utama dalam hal perkawinan ini. Hal ini mengakibatkan

ia tidak diperbolehkan mengurus langsung aqadnya tetapi

hendaklah diserahkan kepada walinya agar tujuan perkawinan

ini benar-benar tercapai dengan sempuma.

2) Imam Hanafi dan Abu Yusuf (rnurid Imarn Hanafi)

Mereka berpendapat bahwa wali merupakan salah satu rukun

perkawinan dan tak ada perkawinan kalau tak ada wali. Oleh sebab itu

perkawinan yang dilakukan tanpa wali hukumnya tidak sah (batal).16

Alasan yang mereka kemukakan, diantaranya: Dalam Al Qur'an Surat

An Nur: 32

27

Artinya : "Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu,

dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang

lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin

Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas

(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui".(Q.S. An Nur:32). 23

Hadits Nabi SAW dari Abi Musa Al Asy'ari.

Jumhur berpendapat bahwa hadits ini secara dzahir menafikan

(meniadakan) keabsahan akad nikah tanpa wali dan bukan menafikan

sempumanya akad nikah.24

Hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah

25

23 Soenarjo SHdkh. Op.cit., hlm.3l 24 Imam Abi al-Fadhil Ahmad bin'AIi bin Hajar al-'Asqalani, Balaghtl Maron, Dar al-Fila,

1989), hlm.290 25 Ibid, hrm,297

28

Hadits diatas mengandung beberapa pengertian

Akad nikah yang dilaksanakan tanpa wali, maka hukumnya

batal

Melakukan persetubuhan atas dasar menganggap akan halalnya

mewajibkan kepada laki-laki pelaku untuk membayar mahar

mitsil.

Wanita yang berselisih dengan walinya atau gaib atau memang

tidak ada wali, maka sulthanlah walinya atau wali hakim.

Selain itu mereka berpendapat perkawinan itu mempunyai

beberapa tujuan sedangkan wanita biasanya suka dipengaruhi

oleh perasaannya. Karena itu ia tidak pandai memilih ,

sehingga tidak dapat memperoleh tujuan tujuan utama dalam

hal perkawinan ini.

Hal ini mengakibatkan ia tidak diperbolehkan mengurus

langsung aqadnya tetapi hendaklah diserahkan kepada walinya agar

tujuan perkawinan ini benar-benar tercapai dengan sempurna.

3) Imam Hanafi dan Abu Yusuf (murid Imam Hanafi)

Mereka berpendapat bahwa jika wanita itu telah baligh dan berakal, maka

ia mempunyai hak untuk mengakad nikahkan dirinya sendiri tanpa wali.

Alasan yang mereka kemukakan antara lain:

Dalam Al Qur'an Surat Al- Baqarah :2/232

29

Artinya : "Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa

iddahnya, lr4aka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin

lagr dengan bakal suaminya ....' (Q.S. Al-Baqarah: 2/232).26

Menurut mereka ayat diatas merupakan dalil mengenai kebolehan

bagi wanita untuk mengawinkan dirinya sendiri.

Hadits Ibnu Abbas r.a. yang telah disepakati shahihnya, yaitu:

27

Hadits ini memberikan hak sepenuhnya kepada wanita fanda)

mengenai urusan dirinya dan meniadakan campurtangan orang lain dalam

urusan pernikahannya. Sedangkan untuk gadis apabila dimintai

persetujuanny4 karena ia masih pemalu maka cukup dengan diamnya Hal

ini dianggap sebagai jawaban persetujuannya.

Selain itu Abu Hanifah melihat lagi bahwa wali bukanlah syarat

dalam akad nikah. Beliau menganalogikan dimana kalau wanita sudah

dewasa; berakalr.dm,cerdas mereka bebas bertasam:f dalam hukum-hukum

mu'amalat menurut syara', maka dalam akad nikah mereka lebih berhak

lagi, karena nikah menyangkut kepentingan mereka secara langsung.

26 Soenarjo SHdkh. Op.cit., hlm.24 27 Imam Abi al-Fadhil Ahmad bin'Ali bin Hajar al-'Asqalani, Op.Cit" hlm. 299

30

Menurut beliau juga, walaupun wali bukan syarat sah nikah, tetapi apabila

wanita melaksanakan akad nikahnya dengan pria yang tidak sekufu

dengannnya, maka wali mempunyai hak i'tiradh (mencegah perkawinan).

4. Macam-macam Wali

Wali dalam pernikahan'secara umum ada 3 macam, yaitu wali

nasab, wali hakim dan muhakkam, Dibawah ini akan diuraikan lebih lanjut

mengenai ke-3 macam wali tersebut.

a. Wali Nasab

Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon

mempelai wanita dan berhak menjadi wali. Wali nasab urutannya

adalah:

1) Bapak, kakek (bapak dari bapak) dan seterusnya ke atas

2) Saudara laki-laki kandung (seibu sebapak)

3) Saudara laki-laki sebapak

4) Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung

5) Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak an seterusnya ke

bawah

6) Paman (saudara dari bapak) kandung

7) Paman (saudara dari bapak) sebapak

8) Anak laki-laki paman kandung

9) Anak laki-laki pamun sebanyak seterusnya ke bawah 2l

Urutan diatas harus dilaksanakan secara tertib, artinya yang berhak

menjadi wali adalah bapak, apabila bapak telah meninggal atau tidak

31

memenuhi persyaratan, maka wali berpindah kepada kakek dan bila kakek

telah meninggal atau kurang memenuhi syarat yang telah ditentukan, maka

wali jatuh kepada bapaknya kakek dan seterusnya keatas. Begitulah

seterusnya sampai urutan yang terakhir.

Ada beberapa hal yang menjadikan perwalian yang lebih dekat itu

dapat digantikan oleh wali yang lebih jauh. Seperti dikemukakan di bawah

ini :

Wali yang lebih berhak tidak ada, wali yang lebih berhak belum

balig)t, yang berhak mendeita sakit gila, wdi yang lebih berhak pikun

kareria tua, wali yang lebih berhak bisu tidak bisa diterima isyaratnya, wali

yang lebih berhak tidak beragama Islam sedangkan wanita itu beraganra

Is1am.22

"Tika wali yang lebih berhak tidak ada, maka yang

menggantikannya adalah wali yang lebih jauh dengan memperhatikan

urutan seperti yang tercantum dalam kutipan tersebut. Bila terjadi di luar

ketentrran tersebut, maka wali nikah akan jatuh kepada wali yang lain,

yaitu wali sultan atau hakim. Wali nasab terbagi dua. Pertama, wali nasab

yang berhak memriksa menentukan perkawinan dan dengan siapa seorang

perempuan itu mesti kawin. wali nasab yang berhak memaksa ini disebut

wali mujbir.23 Wali mujbir yang mempunyai hak untuk mengawinkan

anak perempuannya dengan tidak harus meminta izin tedEbih dahulu

kepada anak perempuannya harus memenuhi beberapa persyaratan' yaitu:

32

a) Tidak ada permusuhan antara wali mujbir dengan anak gadis

tersebut.

b) Sekufu' antara perempuan dengan laki-laki calon suaminya

c) Calon suami itu mampu membayar mas kawin

d) Calon suami tidak bercacat yang membahayakan pergaulan dengan

dia, seperti orang buta'

Dengan demikian dapatlah diambil suatu pengertian bahwa

perkawinan dinyatakan sah bila wali mempelai perempuan adalah wali

mujbir, dengan ketentuan harus dapat memenuhi persyaratan yang telah

ditentukan. Akan tetapi bila salah satu persyaratan diatas tidak terpenuhi

maka anak perempuan itu dimintai izin terlebih dahulu sebelum

dinikahkan'

. Kedua, wali nasab yang tidak mempunyai hak kekuasaan

memaksa atau wali nasab biasa, yaitu saudara laki-laki kandung atau

sebapak, paman yaitu saudara laki-laki kandung atau sebapak dari bapak

dan seterusnya anggota keluarga laki-laki menurut garis keturunan

patirlinial-24

b. Wali Hakim

Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk

bertindar sebagai wali dalam suatu pernikahan. wali hakim dapat

menggantikan wali nasab apabila :

1) Calon mempelai wanita tidak mempunyai wali nasab

sama sekali.

33

2) Walinya mafqud, artinya tidak terrtu keberadaannya.

3) Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang

wali yang sederajat dengan dia tidak ada.

4) Wali berada ditempat yang jaraknya sejauh masaful qasri

(sejauh perjalanan yang membolehkan shalat qashar) yaitu 92,5

5) Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh

dijumpai.

6) Wali sedang melakukan ibadah haji atau umroh.25

7) Anak Zina (diahanya bemasab dengan ibunya).

8) Walinya gila atau fasik.26

Apabila terjadi hal-hal seperti diatas, maka wali hakim berhak

untuk menggantikan wali nasab. Kecuali apabila wali nasabnya telah

mewakilkan kepada orang lain untuk bertindak sebagai wali sehingga

orang lain yang diberikan kekuasaan untuk mewakilkan wali nasabnya

berhak menjadi wali' Sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 2

tahun 1987, yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai wali hakim adalah

KUA Kecamatan.

c. Waii Muhakkam

Wali muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua salain

suami-istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka' orang

yang bisa diangkat sebagai wali muhakkam adalah orang lain yang

terpandang, disegani, luas ilmu fiqihnya terutama tentang munakahat,

berpandangan luas, adil, islam dan laki-laki.

34

Apabila suatu penikahan yang seharusnya dilaksanakan dengan

wali hakim, padahal ditempat itu tidak ada wali hakimnya, maka

pernikahan dilangsungkan dengan wali muhakkam. caranya ialah kedua

calon suami-istri mengangkat seorang yang mempunyai pengertian tentang

hukum-hukum untuk menjadi wali dalam pernikahan mereka'

5. Sebab perwalian

a. Dengan sebab adanya hubungan darah

Adapun sebab sebab terjadinya perwalian adalah dengan sebab

nasab atau adanya hubungan darah dengan orang yang ada dibawah

perwaliannya seperti sorang anak yang mempunyai wali atas orang

tuanya. Atau orang yang paling dekat hubungan darahnya apabila wali

ayah sudah tidak ada.

b. Dengan sebab wasiat.

Sebab terjadinya hubungan perwalian dengan sebab wasiat

adalah pengangkatan wali atas kehendak orang tua seorang anak

kepada orang lain dengan alasan alasan tertentu seperti, tidak ada yang

dapat menggantikan dirinya sebagai wali dari keluarga yang terdekat,

merasa kurang percaya terhadap keluarga terdekatnya itu untuk

dijadikan sebagai wali terhadap anaknya, dan lebih mempercayakan

orang lain sebagai wali dari anaknya karena dengan alasan lebih cakap

dan pandai dalam bertindak hukum.

35

c. Dengan sebab hak mewarisi

Selain itu juga, penyebab terjadinya perwalian bisa disebabkan

karena adanya hubungan hak mewarisi yang diberikan kepada

seseorang yang memerclekakan seorang hamba,safiayanya ( budak). 28

la Seorang tuan berhak menjadi ahli waris mutlak asobah dari semua

peninggalan hamba sahayanya, bila hamba sahayanya tersebut tidak

memiliki ahli waris yang lain. Menyangkut masalah ini ulama' fiqih

sepakat berpendapat bahwa seseorang yang memerdekakan hamba

sahayanya atas kemauannya sendiri berhak menjadi walinya.

d. Dengan sebab wala' al mu'awallah

Wala' al mu'awallah maksudnya adalah perwalian karena

pernyataan antara dua orang untuk saling mewarisi dan saling

membantu dalam berbagai kesulitan yang mereka hadapi : termasuk

mereka sama sama bertanggung jawab untuk membayar sanksi diat

bila salah satunya melakukan tindak pidana yang mewajibkan diat"29.

Disyaratkan bagi orang orang yang mengangkat wali yang tidak

mempunyai wali nasab keturunan. Dan ia sangat membutuhkan wali

dalam kehidupannya. Di sisi lain wali yang ditunjukannya tersebut

adalah orang orang sudah dewasa dan waras akalnya serta cakap

dalam bertindak hukum'

28 Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Ikhtiar Baru Van hoeve, Jakarta 2001, Cet 5 29Ibid Hal : l9l5

36

6. Hal-hal yang berkaitan dengan perwalian

Wali adalah kekerabatan yang diakui keberadaanya menurut

hukum islam yang membawa hak dan kewajiban bagi seorang wali. Ia

berhak sebagai wali dan berhak menjaga serta mengelola atas harta orang

yang ada di bawah'perwaliannya baik perwalian,ya karena ditunjuk oreh

seseorang yang baru menganut agama islarn. Sedangka, wari yang

berdasarkan atas seorang budak yang dimerdekakan".seorang tuan berhak

menjadi wali dan sekaligus berhak mendapatkan, hafta pusaka atau

warisan dari hamba sahayanya yang telah ia merdekakan apabila budak

tersebut tidak mempunyai ahli waris lainnya.

Wali yang memerdekakan dapat dikategorikan sebagai ashobah

sababiyyah yakni suatu hak mewarisi keseluruhan harta peninggaran

seorang budak yang dimerdekakan disebabkan ia telah memerdekakan

hamba sahaya. Ia berhak menjadi ahri waris tunggar dari harta peninggalan

harta budaknya bila tidak ada ahri waris nasabbiyai ( keturunan yang

menjadi ahli warisnya ) haknya sebagai ahri waris tunggal hanya berperan

sebagai ahri waris bin nafsih. Ahli waris yang menghabisi semu a harta

peninggalan seterah dibagikan kepada zawir furud ( orang yang telah

ditentukan jurnlah bagiannya dalam hukum islam ) seperti anak kandung.

Sebagaimana Hadis nabi yang artinya Hubungan tuan yang

memerdekakan (wali) dengan hamba sahayanya yang dimerdekakan

adalah merupakan sebagian dari darah dagingnya, sama halnya dengan

darah daging senasab / keturunan " ( HR Ibnu Hibban dan hakirn ) oleh

37

karenanya tuan yang memerdekakan berhak menjadi ahli waris terhadap

budak yang di merdekakannya

7. Syarat-syarat perwalian

Persyaratan seseorang yang dapat dijadikan sebagai wali dalam

perkawinan menurut islam, tidak semua orang bisa dan dapat dijadikan

wali karena wali tersebut akan bertanggung jawab terhadap sah dan

tidaknya pernikahan seseorang. Oleh sebab itu islam mensyaratkan wali

dalarn pernikahan adalah orang orang yang rnemiliki sifat sobagai berikut.

a. Islam

Orang yang tidak beragama islam tidak dapat dijadikan wali, juga

tidak sah kewaliannya. Sebagaimana firman Allah dalam Alqur'an

yang berbunyi:

Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu

mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani rnenjadi pemimpin-

pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi,

sebahagian yang lain. Barang siapa diantara kamu mengambil

mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu tennasuk

golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk

kepada orang-orang yang zalim. ( Al Ma'idah : 51 ) 30 30 Soenarjo SH,dkk,. Op.cit., hlm.234

38

b. Baligh

Yang dimaksud dengan baligh adalah (sudah berumur 15

tahun) dan sudah cakap dalam melakukan tindakan hukum.

Sebagaimana syarat ini tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam

(KHI ) pada pasal 107 ayat 4 yangberbunyi :

"Wali sedapat dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut

atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur,

dan berkelakuan baik, atau badan hukum "Berakal Sebaglimana

diketahui ,,bahwa orang. yang"menjadi wali harus . bertanggung

jawab, karena itu seorang wali haruslah orang yang berakal sehat.

Orang yang kurang sehat akalnya atau gila atau juga orang yang

berpenyakit ayan tidak dapat memenuhi syarat untuk menjadi wali.

Yakni orang waras dan bukan orang gila atau safih (idiot).

Merdeka Orang sebagai wali haruslah orang yang merdeka yakni

orang yang tidak berada dalam kekuasaan seorang tuan

sebagaimana kebiasan kebiasaan orang terdahulu.

e. Laki laki

Karena telah disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan

oleh Ibnu Majjah dan Daruqutni. Yang berbunyi :

39

Artinya: "Dari Abu Hurairah ra, dia berkata: Rasulullah SAW

bersabda "wanita tidak boleh mengawinkan wanita dan wanita

tidak boleh mengawinkan dirinya"(HR. Ibnu Majah dan Ad-

Daruquthni ).

f. Adil

Yang dimaksud dengan adil disini adalah dimana seorang yang

diangkat sebagai wali harus dapat bersikap adil baik terhadap keluarganya

maupun terhadap orang yang berada dibawah perwaliannya. Telah

dikemukakan wali itu diisyaratkan adil maksudnya adalah tidak

bermaksiat, tidak fasik, orang baik-baik, orang shaleh, orang yang tidak

membiasakan diri berbuat mungkar.'l3 Ada pendapat yang mengatirkan.:

bahwa, adil diartikan dengan cerdas. Adapun yang dimaksud dengan

cerdas disini adalah dapat atau mampu menggunakan akal pikirannya

dengan sebaikbaiknya atau seadil-adilnya. Hal ini sesuai dengan sabda

Nabi SAW:

Artinya: "Dari Imran Ibn Husein dari Nabi SAW bersabda: "Tidak sah

pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang

adil"(HR.Ahmad Ibn Hambal).

Berdasarkan hadits diatas, maka seseorang yang tidak cerdas dan

tidak mampu berbuat adil tidak boleh dijadikan wali dalam pemikahan.

8. Tujuan dan kewajiban wali

Sebagaimana yang diketahui bahwa setiap tindakan hukum itu

mempunyai tujuan yang sangat bermanfaat bagr setiap insan apalagi

40

menyangkut keselamatan jiwa dan harta seseorang dari orang orang yang

tidak bertanggung jawab Oleh sebab itu masalah perwalian ini rnernpunyai

tujuan yang baik yakni tujuan yang bernilai ibadah dan merupakan bagian

dari ajaran agama islam adapun tujuan daripada perwalian ini terbagi

menjadi dua yakni tujuan perwalian dalam hal perkawinan dan juga tujuan

perwalian dalam anak dibawah umur. Adapun tujuannya adalah sebagai

berikut :

a. Adapun tujuan perwalian dalam hal perkawinan adalah

Untuk memenuhi syarat sahnya perkawinan karena wali

dalam peilikahan. itu adalah, sebagai bagian dari rukun nikah

dalam islarn.

Wali bertjuan untuk menikahkan anaknya atau orang yang

berada dibawah perwaliannya

Adapun keberadaan wali itu sebagai tempat kembali seorang

perempuan yang apabila akan terjadi perceraian dengan

suaminya, maka perempuan tersebut harus kembali kepada

walinya yang bertujuan untuk menghindari terjadinya

kemelaratan hidup perempuan tersebut.

b. Adapun tujuan perwalian terhadap anak dibawah umur adalah.

- Wali sebagai pemegang kontrol bagi anak maupun bagi orang

yang berada dibawah perwaliannya apabila ingin melakukan

suatu tindakan hukum.

41

- Wali bertindak sebagai pengaman, dalam artian bahwa wali

itu selalu menjaga, baik itu menjaga harta maupun jiwa dari

hal hal yang tidak diinginkan seperti menggunakan hartanya

dari hal hal yang dilarang oleh agama dan juga dari hal hal

yang membahayakan jiwanya atas orang yang berada

dibawah perwaliannya itu.

- Adanya wali juga dapat mengurangi beban seseorang

terhadap anak dan hartanya, apabrla orang tersebut sudah

meninggal dunia.maka dengan adanya wali tersebut anak dan

hartanya akan terselamatkan.

- Menambah hubungan silaturahmi yang kuat terhadap orang

olang yang mengadakan wala' al mu'awallah perwalian

karena pernyataan antaru dua orang untuk saling rnewarisi

dan saling membantu dalam berbagai kesulitan.

- Menciptakan lapangan kerja dalam hal.wali anak yatirn,

dengan adanya wali yatim tersebut dapat rnenciptakan

lapangan kerja bagi para wali yang miskin.dengan demikian

maka para wali yatim itu tidak ada halangan baginya

mengambil harta anak yatim yang dipeliharanya sekedar

untuk keperluan hidupnya sehari hari, hal ini diperbolehkan

jika ia terhalang berusaha yang lain karena mengurus harta

anak yatim tersebut yang dipeliharanya itu.sebagaimana

firman Allah SWT yang berbunyi :

42

Artinya : Dan ujilah[269] anak yatim itu sampai mereka

cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu

mereka Telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka

serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu

makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (anganlah

kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa.

barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah

ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan

barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia makan harta itu

menurut yang patut. I(emudian apabila kamu menyerahkan harta

kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang

penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai

Pengawas (atas persaksian itu).31

Hal ini juga dapat diperkuat dengan Undang undang I(ompilasi

Hukum Islam pada pasal 712 yang rnengatakan."Wali dapat

mempergunakan harta yang "berada - dibaw,ah perwaliannya, sepanjang

diperlukan untuk kepentingan menurut kepatutan atau billma'ruf kalau

wali itu fakir.

31 16 Soenarjo SH,dkk,. Op.cit., hlm. 317

43

9. Undang-undang yang mengatur tentang kesejahteraan anak

Selain Al-Qur'an dan hadis sebagai landasan ketentuan mengenai

perwalian. Dalam konteks sistem hukum Indonesia, landasan tersebut juga

telah diadopsi dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam), landasan hukum

terhadap perwalian tersebut, diatur dalam BAB XV mengenai perwalian.

Pada Pasal 107 ayat (1-4) dinyatakan bahwa :

1) Perwalian hanya terhadap anak yang belum berumur 21 tahun dan

atau belirm pernah melangsungkan perkawinan;

2) Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaan;

3) Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas

perwaliannya, maka pengadilan agama dapat menunjuk salah

seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan

kerabat tersebut,dan

4) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau

orang lain yang sudah dewasa, berpikir sehat, adil, jujur dan

berkelakuan baik, atau badan hukum.32

Dalam sistem hukum Indonesia, wali memiliki tanggung jawab

yang bertujuan untuk memelihara akan kesejahteraan dari pada yang

diperwalikan, termasuk dalam pemeliharaan harta benda yang

dipertinggalkan. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam pasal 110 KHI,

yaitu:

1) Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di

bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban

memberikan bimbingan agama, pendidikan dan ketrampilan

lainnya untuk masa depan orang yang berada dibawah

perwaliannya;

2) Wali dilarang mengikat, membebani dan mengasingkan harta orang

yang berada di bawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut

menguntu{rgkar,r b4gi orang yang berada di bawah perwaliannya

atau merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari;

32 Kompilasi Hukum Islam, Pustaka Widyatama, 2004,.ha1.52

44

3) Wali$ertaaggung jawah teftadap -barta orang yang berada di bawah

perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul akitat

kesatahan dan kelalainya; (4) Dengan tidak mengurangi ketentuan

yang diatur dalam pasal 51 ayat

4) UU No.l tahun 1974, pertanggungjawaban wali tersebut ayat (3)

harus dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap tahun sekali.

Sementara dalam Pasal 51 Undang-Undang No.1 Tahun 1974

menyatakan bahwa:

(1) Wali wajib mengurus anak yang berada dibawah kekuasaannya dan

harta bendanya sebaik baiknya dengan menghormati agarna

kepercayaan anak itu;

(2) Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah

kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat

semua peru bahan-perubahan harta benda anak tersebut;

(3) Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada

dibawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan kesalahan

dan kelalaiannya;

(4) Larangan Bagi Wali. Mengenai larangan bagi wali, telah diatur di

dalam Pasal. 52 UU No.l tahun 1974 menyatakan bahwa wali tidak

diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-

barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun

atau belum melakukan perkawinan kecuali apabila kepentingan

anak tersebut memaksa. Ketentuan tersebut di atas menjadi

landasan hukum yang mengikat terhadap kedudukan dan

45

wewenangan seorang wali dalarn menjaga dan atau memelihara

baik jiwa dan harta anak yatim. 33

10. Larangan bagi wali

Adapun larangan bagi para wali secara umum adalah sebalik

daripada kewajiban para waii tersebut. Namun ada sedikit tambahan

mengenai pelarangan tersebut yakni. Sebagai mana pendapat Imam Syaf i

dan beberapa ulama' lainnya rnengatakan bahwa wali atau washi tidak

boleh rnembeli harta anak kecil atau orang gila yang berada dibawah

perwalian mereka untuk diri mereka sendiri, dan tidak pula boleh menjual

hartanya sendiri kepada si anak. Dan . pendapat.,ini dipertegas oleh.Imam

abu hanifah,..beliau. rneny.atakan ,hal itu dilarang sebab, 'hal

tersebut'rberarti';telalr'mernutuskan . suatu untuk dirinya sendiri, dan hal

itu tidak dibenarkan. Adapun bagi wali atau washi boleh mewakilkan

kepada orang lain apabila ia tidak bisa menangani hal hal yang tidak bisa

ia lakukan.

Namun apabila sebaliknya maka wali atau washi dilarang untuk

mewakilkan kembali.

11. Sebab berakhirnya perwalian

Adapun bagi setiap yang diberikan tanggung jawab yang berat dan

kemudian tidak lalai dengan tugas tugasnya sebagai wali terhadap orang

yang berada dibawah perwaliarurya baik itu terhadap jiwa dan hartanya

33 Pasal5l(5) UU N:. lll974

46

maka, wali yang demikian itu adalah wali yang bertanggug jawab.34

Namun apabila sebaliknya wali tersebut tidak bertanggung jawab yakni

sering berbuat atau bertindak yang dapat merugikan anak anak yang

berada dibawah perwaliannya, misalnnya wali tersebut berubah menjadi

seorang wali yang pemabuk, penjudi, pemboros, dan melalaikan tugasnya

sebagai wali, Hakim berhak memecat orang tersebut dari hak kewaliannya.

Sebagaimana :tang tercantum dalam Hukum Perdata Islam, pasal 109

Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) yang berbunyi : Pengadilan Agama dapat

mencabut perwalian seseorang atau badan hukum dan memindahkannya

kepada pihak lain atas permohonan kerabatnya bila wali tersebut pemabok,

penjudi, gila, dan melalaikan atau menyalah gunakan hak dan

wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah

perwaliannya.

Sedangkan yang dapat rneayebabkan putusrqra:hubungan

perwalian untuk selamanya dan tidak dapat di sambung lagi sebagai hak

perwaliannya yakni apabila dari seseorang wali dengan orang yang berada

dibawah perwaliannya itu adalah dengan meninggalnya dari salah satu

pihak, yakni orang yang sebagai wali atau orang yang berada dibawah

perwaliarurya.

B. Perwalian Dalam KUH Perdata Sipil

1. Pengertian perwalian

34 lbid, Hal:698

47

Dalam negara Indonesia yang berdasar pada Pancasila dan UUD

1945 menganut tiga sistem hukum yaitu sistem hukurn Adat, sistem

hukum Islam dan sistem hukum Barat,35 dimana Ketiga sistem hukum ini

merniliki karakteristik dan ciri khas masing-masing mengakibatkan

terjadinya perbedaan antara yang satu dengan lainnya. Hal ini

menyebabkan terjadinya pluralisme hukum di Indonesi. Dalam lapangan

keperdataan misalnya, kita masih menggunakan system hukum Barat

(BW) yang notabenenya merupakan warisan peninggalan kolonial

Belanda, padahal sitem hukum Islam juga mengatur hal-hal keperdataan

(muamalat). Perwalian (Voo gdij ) adalah pengawasan terhadap anak yang

dibawah umur, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua. Sedang

perwalian menurut Hukum Perdata Sipil KUH.Perdata (Burgerlijk

Weetboek) yakni telah dibahas dalam Pasal 331 dalam hukum 1974

keluarga "Perwalian adalah anak yatirn piatu atau anak-anak yang belum

cukup umur dan tidak dalam kekuasaan orang tua yang memerlukan

bimbingan ilan oleh.karenaitu harus ditunjuk wali yditu orang-orang atau

perkumpulan yang akan menyelenggarakan keperluan hidup anak

tersebut.36

Imam Syafii menyatakan perwalian adalah "suatu kekuasaan atau

wewenang syar'i atas segolongan manusia karena dilimpahkan kepada

35 Kitab Undang - Undang Hukum Perdata Dan Undang - Undang Nomor I Tahun

36 Pasal 5l (5) UU No. l/l974

48

orang yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada orang yang

dikuasai itu, demi kemaslahatannya sendiri" Pada umumnya dalam setiap

perwalian hanya ada seorang wali saja, kecuali apabila seorang wali-ibu

(moerdervoogdes) kawin lagi, dalam hal mana suaminya menjadi

medevoogd. Jika salah satu dari orang tua tersebut meninggal, maka

menurut undang-undang orang tua yang lainnya dengan sendirinla menjadi

wali bagi anak-anaknya. Perwalian ini dinamakan perwalian menurut

undang-undang (Wettelij ke Voogdij ).

Seorang anak yang lahir diluar perkawinan berada dibawah

perwalian orang tua yang mengakuinya. Apabila seorang anak yang tidak

berada dibawah kekuasaan. orang tua ternyata tidak mempunyai wali,

hakim akan mengangkat seorang wali atas permintaan salah satu pihak

yang berkepentingan atau karena jabatanya (datieve voogdij). Tetapi ada

juga kemungkinan, seorang ayah atau ibu dalam surat wasiatnya

(testamen) mengangkat seorang wali bagi anaknya. Perwalian semacam ini

disebut perwalian menurut Wasiat (tertamentair voo gdij ).

Seseorang yang telah clitunjuk untuk menjadi wali harus rnenerima

pengangkatan tersebut, kecuali jika ia mempunyai alasan-alasan tertentu

merrurut undang-undang dibenarkan :rmhlkodibebaskan dari

pengangkatan tersebut. Dasar hukum perwalian Dalam lapangan

keperdataan misalnya, kita masih menggunakan sistem hukum Barat (BW)

yang notabenenya merupakan warisan peninggalan kolonial Belanda.

49

Berangkat dari hal-hal tersebut, penulis melakukan identifikasi masalah

yang dibahas dalam tulisan ini yaitu :

1. Perwalian menurut KUH Perdata ?

2. Perwalian menurut undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan

3. Sebab dan jenis Perwalian

Ada 3 (tiga) macam Perwalian, Yaitu:

a) Perwalian oleh suami atau isteri yang hidup lebih lama, pasal 345

sampai pasal 354 KUHPerdata. Pasal 345 KUH Perdata menyatakan:

“Apabila salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia, maka

perwatran turhadap anak-anak kawin yang belum dewasa, demi

hukum dipanglu oleh oring tua yang hidup terlama, sekadar ini

tidak telah dibebaskan atau dipecat diri likuoroon orang tuanya"37

Namun pada pasal ini tidak dibuat pengecualian bagi suami

istri yang hidup terpisah disebabkan perkawinan putus karena

perceraian atau pisah meja dan ranjang. Jadi, bila ayah setelah

perceraian menjadi wali maka dengan meninggalnya ayah maka si

ibu dengan sendirinya (demi hukum) menjadi wali atas anak-anak

tersebut.

b) Perwalian yang ditunjuk oleh tapak atau ibu,dengan surat wasiat atau

akta tersendiri. Pasal 355 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa :

"Masing-masing orang tua, yang melakukan kekuasaan orang tua

atau perwalian bagi seorang anahtya atau lebih berhak mengangkat

37 Ibid.hlm. 44

50

seorang wali bagi anak-anak itu, jika kiranya perwalian itu setelah

ia meninggal dunia demi hukum ataupun karena penetapan Hakim

menurut ayat terakhir pasal 35i, tidak harus ditakukan oleh orang

tua yang lain" 38

Dengan kata lain, orang tua masing-masing yang menjadi

wali atau memegang kekuasaan orang tua berhak mengangkat wali

kalau perwalian tersebut memang masih terbuka.

c) Perwalian yang diangkat oleh Hakim. Pasal 359 KUH Perdata

menenhrkan:

"Semua minderjarige yang tidak berada dibawah kekuasaan orang

tua dan yang diatur perwaliannya secara sah akan ditunjuk seorang

wali oleh Pengadilan".

4. Hal-hal yang berkaitan dengan perwalian Didalam sistem perwalian

menurut KUHPerdata ada dikenal beberapa asas, yakni :

a) Asas tak dapat dibagi-bagi ( Ondeelbaarheid ) Pada tiap-tiap

perwalian hanya ada satu wali, hal ini tercantum dalam pasal 331

KUHPerdata. Asas tak dapat dibagi-bagi ini mempunyai

pengecualian dalam dua hal, yaitu :

- Jika penvalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang

hidup paling lama (langs tlevendeouder), maka kalau ia kawin

lagi suaminya menjadi medevoogd atau wali serta, pasal 351

KUHPerdata.j

38 lbid., hlm 48

51

- Jika sarnpai ditunjuk", pelaksanaan pengurusan

{bewindvoorder) yang mengurus barang-barang minderjarige

diluar Indonesia didasarkan pasal361 KUHPerdata.

b) Asas persetujuan dari keluarga.

Keluarga harus dimintai persetujuan tentang perwalian.

Dalam hal keluarga tidak ada maka tidak diperlukan persetujuan

pihak keluarga itu, sedang pihak keluarga kalau tidak datang sesudah

diadakan panggilan dapat diruntut berdasarkan pasal 524 KUH

Perdata

5. Syarat-syarat perwalian

Menurut ketentuan UU No.l tahun 1914 tentang perkawinan, pada

pasal 50 disebutkan :

a. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah

melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan

orang tua, berada dibawah kekuasaan wali.

b. Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun

harta bendanya.

c. Syarat-syarat Perwalian

Jadi menurut ketentuan pasal 50 ayat (1) Undang-undang

No.1 tahun 1974 menyebutkan bahwa syarat-syarat untuk anak yang

memperoleh perwalian adalah : 39

Anak laki-laki dan perempuan yang belum berusia 18 tahun.

39 Ibid., hlm 98

52

Anak-anak yang belum kawin.

Anak tersebut tidak berada dibawah kekuasaan orang tua.

Anak tersebut tidak berat dibawah kekuasaan wali.

Perwalian menyangkut pemeliharaan anak tersebut dan harta

bendanya.

Menurut UU No.1 tahun 1974pasal51, perwalian terjadi

karena :

Wali dapat ditunjuk oleh salah seorang orang tua yang

menjalankan kekuasaan orang tua sebelum ia meninggal

dengan surat wasiat atau dengan lisan dengan dua orang

saksi.

Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut

atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil,

jujur dan berkelakuan baik.

6. Tujuan dan kewajiban wali

Adapun kewajiban para wali terhadap anak dibawah umur, pada

garis besarnya dapat di bagi sebagai berikut :

a. Mengeluarkan Berbagai hak.

Wali wajib mengeluarkan dari harta si anak hak hak yang

wajib dilakukan atasnya, seperti membayar hutang, membayar

zakat, membayar ganti rugi atas tindak pidana dan zakat, sekalipun

tidak ada permintaan untuk ito t"pudu wali.sedangkan pemberian

53

nafkah terhadap keluarga yang menjadi tanggung jawab sianak

tidak boleh dibayarkan oleh wali tanpa adanyapermintaan.40

b. Pemberian Nafkah Setagai seorang wajib huicumnya untuk

mengeluarkan nafkah (infak) bagi orang orang yangada dibawah

perwaliannya menurut apa yang patut ( ma'ruf ) dan tidak boleh

bersikap-kikir atau terlalu boros dalam mengeluarkan infak

tersebut. Tetapi sdang sedan saja menurut kebiasaan

dimasyarakatnya.

c. Bertanggung jawab atas harta orang yang di bawah perwaliannya.

Wali atau washi ( orang yang diberi wasiat ) adalah dipercaya,

tidak bertanggung jawab atas harta kecuali bila terbukti sengaja

merusak atau melalaikannya. Maka pabila si anak telah baligh, lalu

menuduh bahwa walinya telah melakukan pelanggaran terhadap

hartanya, maka sianak harus mengemukakan bukti, sedangkan wali

harus bersumpah karena dia adalah orang yang dipercaya.

7. Undang-undang yang mengatur tentang kesejahteraan anak41

Menurut pasal 51 Undang-undang No.l tahun 1974 menyatakan:

a. Wali wajib mengurus anak yang berada dibawah kekuasaannya dan

harta bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama

kepercayaan anak itu.

40 Ibid., hlm. 94

41 Ibid., hlm. 88

54

b. Wali wajib mem-buat daftar harta benda anak yang berada dibawah

kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua

peru bahan-perubahan harta benda anak tersebut .

c. Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada

dibawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan kesalahan

dan kelaldannya.

8. Larangan bagi wali

Pasal.52 UU No.1 tahun 1974 Menyatakan terhadap wali berlaku

pasal 48 Undang-undang ini,Yakni orang tua Dalam hal ini Wali tidak

diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap

yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum

melakukan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak tersebut

memaksa.

9. Sebab berakhirnya perwalian

Berakhirnya perwalian dapat ditinjau dari dua keadaan, yaitu: 42

a. Dalam hubungan dengan keadaan si anak, dalam hal ini perwalian

berakhir karena:

- Si anak telah menjadi dewasa (meerderjarig).

42 Ibid, hal. 94

55

- Matinya si anak.

- Timbulnya kembali kekuasaan orang tuanya.

- Pengesahan seorang anak di luar kawin yang diakui

b. Dalam hubungan dan tugas wali, dalam hal ini peru'alian dapat

berakhir 27 karena

- Ada pemecatan atau pembebasan atas diri si wali'

- Ada alas an pembebasan dan pemecatan dari perwalian (pasal

380 KUHP Perdata). ,yai11) Syarat utama untuk pemecatan

adalah .karena lebih mementingkan kepentingan anak

minderjarig itu sendiri' Alasan lain yang dapat'memintakan

pasal 382 KUH Perdata menYatakan : lbid., hul94 "21

pemecatan atas wali didalam pasal 382 KUH Perdata

menyatakan :

1. Jika wali berkelakuan buruk.

2. Jika dalam melaksanakan tugasnya wali tidak cakap atau

malah semakin kecakapannya ;

3. Jika wali dalam keadaan pailit.

4. Jika wali untuk dirinya sendiri atau keluarganya

melakukan perlawanan terhadap si anak tersebut.

5. Jika wali dijatuhi hukuman pidana yang telah berkekuatan

hukum tetap.

6. Jika wali alpa memberitahukan terjadinya perwalian

kepada Balai Hart Peninggalan (pasal 368 KUH Perdata).

56

7. Jika wali tidak memberikan pertanggung jawaban kepada

Balai Hart Peninggalan (pasal 372 KUH Perdata). 43

BAB III

PROSES KAJIAN

A. Tinjauan Kedua Konsep Hukum Perdata tentang Perwalian

Pada dasarnya Hukum Perdata yang selama ini kita kenal dan

ketahui merupakan serangkaian peraturan-peraturan hukum yang

mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan yang lainnya.

Dengan menitik beratkan kepada kepentingan perseorangan saja.yang

bersumber pada kitab hukum perdata sipil atau disingtat (BW). Begitu

juga dalam hukum perdata Islam di Indonesia. yang bersumber pada

Kornpilasi Hukum Islam atau disingkat dengan (KHI).

Maka dengan demikian bahwa baik itu Hukum Perdata Islam

maupun Hukum Perdata Sipil, tidak akan terlepas pembahasannya

43 lbid.,hal. 79

57

mengenai perwalian,karena sebagaimana definisi daripada Hukum Perdata

tersebut di atas yang mengatur tentang kepentingan perseorangan dal am

hal keperdataan' oleh sebab itu, sehubungan dengan perwalian yang

mengatur tentang kepentingan seseorang dan termasuk dalam Hukum

Perdata maka perlulah sekiranya untuk diketahui konsep dari pada

perwalian baik di dari segi Hukum Perdata Islam maupun dari Hukum

Perdata (BW)' Pada dasamya perwalian merupakan hal terpenting bagi

kelangsungan hidup anak kecil (anak dibawah umur) atau anak yang masih

belum bisa mengun diri sendiri seperti anak-anak terlantar, baik dalam

mengurus harta kekayaan maupun dalam mengurus lingkungannya sendiri

atau dengan istilah lain yakni anak yang masih belum bisa atau belum

cakap dalam bertindak hukum. Oleh karena itu maka perlulah ada seorang

atau sekelompok orang yang dapat mengurus dan memelihara juga

membimbing anak yang masih belum ada walinya atau yang belum ada

yang mengurus, demi,keselamatan anak dan harta.

Masalah wali dalam Islam juga sangat berperan sekali dalarn hal

pernikahan. Dengan demikian Hukum Perdata Islam mernbagi Perwalian

menjadi dua macam yakni. Perwalian dalam hal pernikahan dan Perwalian

dalam hal anak di bawah umur. Dari beberapa konsep perwalian diatas tadi

baik yang diarnbil dari konsep hukum perdata Islam dan hukum perdata

sipil yang memiliki konsep yang sedikit berbeda dan sama sama

diterapkan di Negara Indonesia.

58

Dengan demikian banyak hal yang perlu diketahui sebagai seorang

warga Negara Indonesia dan sudah semestinya mengetahui dan memahami

mengenai hukum yang diterapkan di negara Indonesia ini, terutama

mengenai hukurn perdata, lebih lebih mengenai hukum perwalian karena

perwalian ini menyangkut masalah yang menitik beratkan kepada

kepentingan perseorangan baik itu ditinjau dari segi Hukum Perdata Islam

maupun dari segi Hukum Perdata. Maka oleh sebab itu karena pentingnya

hal tersebut untuk dikaji dan ditelaah. diupayakan supaya masyarakat tidak

bingung dalam memahami dan menerapkan kedua konsep hukum tersebut.

Adapun hal yang sangat mendasari daripada masalah perwalian ini

untuk dikaji dalam penelitian ini adalah, dari beberapa Hukum Perdata

yang berlaku di negara Indonesia ini, penulis ingin membandingkan baik

itu Hukurn Perdata Islam maupun Hukum Perdata, dalam masalah

Perwalian. Selain itu juga peneliti berkeinginan untuk memahami secara

mendalami kedua model Hukum Perdata tersebut baik itu pengertianya,

kedudukan hukumnya, atau, dan hal-hal yang berhubungan dengan

perwalian tersebut. sehingga dengan demikian maka masalah perwalian

dapat penulis ketahui dsngan jelas. Disamping itu juga bermanfaat bagi

rnasyarakat luas, yang ingin mengetahui rnasalah wali dalam hukum

perdata, baik Hukum Perdata Sipil maupun dalarn Hukum Perdata Islam.

Karena inilah salah satu dari tujuan penelitian ini.

Selain itu juga salah satu masalah yang perlu diperhatikan oleh

masyarakat dan pemerintah adalah tidak adanya ketentuan mengenai

59

kedudukan hukum anak anak yang terlantar yang merupakan tanggung

jawab negara, yakni anak anak yang terlepas dari kekuasaan orang tua

mereka yang kian hari kian bertambah dan merupakan sebagai

probelematika yang berkembang pada akhir-akhir ini terutama di negata

negara yang berpenduduk padat, seperti di Indonesia.

Disamping itu juga masyarakat awam yakni masyarakat yang

masih bingung dalam memahami hukum perdata yang berlaku saat ini baik

itu kedudukal perwalian anak yatim dan perwalian anak anak yang

terlantar anak dibawah umur, karena belum memahami dari pada konsep

perwalian, baik itu dari segi hukum perdata Islam dan dari segi Hukum

Perdata sipil (Bw).

Selain itu juga banyak kasus-kasus yang berkembang tentang

penemuan bayi-bayi yang tidak memiliki orang tua dan wali. Lantas

dengan dernikian sipakah berhak mengurus dan menjaga anak tersebut dan

seandainya kalau anak-anak terlantar yang dibawah umur berbuat hukum

maka siapakah yang akan mengurus dan rnengadili dan selain itu juga

siapa yang akan menjamin kesejahteraan anak, kalau bukan wali dan

pemerintah siapa lagi. Dan siapakan wali tersebut, juga apakah dia berhak

dalam mengawinkan orang yang dibawah perwaliannya dalarn hukum

perdata Islam. dengan demikian maka permasalahan ini perlu untuk

dipecahkan melalui penelitian.

B. Perbedaan Konsep Perwalian antara Kompilasi hukum Islam dengan

Hukum Perdata

60

Pada dasarnya Hukum Perdata yang selama ini kita kenal dan

ketahui merupakan serangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur

hubungan hukum antara orang yang satu dengan yang lainnya. Dengan

menitik beratkan kepada kepentingan perseorangan saja.yang bersumber

pada kitab hukum perdata sipil atau disingkat (BW). Begitu juga dalam

hukum perdata islam di Indonesia. Yang bersumber pada Kompilasi

Hukurn Islam atau disingkat dengan (KHI).

Maka dengan demikian bahwa baik itu Hukum Perdata Islam

maupun Hukum Perdata Sipil, tidak akan terlepas pembahasannya

mengenai perwaliau, karena sebagaimana definisi daripada Hukum

Perdata tersebut di atas yang mengatur tentang kepentingan perseorangan

dalam hal keperdataan.

Oleh sebab itu, sehubungan dengan perwalian yang mengatur

tentang kepentingan seseorang dan termasuk dalam Hukum Perdata maka

perlulah sekiranya untuk diketahui konsep dari pada perwalian baik di dari

segi Hukum Perdata Islam maupun dari Hukum Perdata (BW).

Pada dasarnya perwalian merupakan hal terpenting bagi

kelangsungan hidup anak kecil (anak dibawah umur) atau anak yang masih

belum bisa mengurus diri sendiri seperti anak-anak terlantar, baik dalarn

mengurus harta kekayaan maupun dalam mengurus lingkungannya sendiri

atau dengan istilah lain yakni anak yang masih belum bisa atau belum

cakap dalam bertindak hukum. Oleh karena itu maka perlulah ada seorang

atau sekelompok orang yang dapat mengurus dan memelihara juga

61

membirnbing anak yang rrasih belum ada walinya atau yang belum ada

yang mengurus demi keselamatan anak dan harta.

Masalah wali dalam Islam juga sangat berperan sekali dalam hal

pernikahan. Dengan demikian Hukum Perdata Islam membagi Perwalian

menjadi dua macam yakni. Perwalian dalam hal pernikahan dan Perwalian

dalam hal anak di bawah umur.

Jadi rnenurut ajaran agama Islam perwalian yang termasuk dalam

perkawinan adalah orang yang berhak menikahkan anaknya atau orang

yang berada di bawah perwaliannya. Untuk lebih jelasnya Imam Syaf i

menyatakan perwalian adalah "suatu kekuasaan atau wewenang syar'i atas

segolongan manusia karena dilimpahkan kepada orang yang sempurna,

karena kekurangan tertentu pada orang yang dikuasai itu, demi

kemaslahatannya sendiri".

C. Persamaan Konsep Perwalian antara kompilasi hukum Islam dengan

Hukum Perdata

1. Arti Perwalian

Secara etimologi (bahasa), kata perwalian berasal dari kata wali,

dan jamak "awliya". Kata ini berasal dari kata Arab yang berarti

"teman", “klien”, “Sanak”, "pelindung". Sementara makna perwalian

dalam konteks hukum dan kajian ini adalah perwalian sebagaimana

terdapat dalam Pasal 50-54 UU No. 1 tahun 1974 dan Pasal 107-112

Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang menyatakan bahwa perwalian

adalah "sebagai kewenangan untuk melaksanakan perbuatan hukum

62

demi kepentingan, atau atas nama anak yang orang tuanya telah

rneninggal atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum". Dalam

fikih Islam Perwalian terbagi 3 macam, yakni : (1) perwalian jiwa (diri

pribadi); (2)Perwalian harta; (3) Perwalian jiwa dan harta; Perwalian

bagi anak yatim atau orang yang tidak cakap, bertindak dalam hukum

seperti orang gila adalah perwalian jiwa dan harta. Ini artinya si wali

berwenang mengurus pribadi dan mengelola pula harta orang di bawah

perwaliannya. Hal tersebut perwalian terhadap anak menurut hukum

Islam meliputi perwalian terhadap diri pribadi anak tersebut dan

perwalian terhadap harta bendanya. Perwalian terhadap diri pribadi

anak adalah dalam bentuk mengurus kepentingan diri si anak, mulai

dari mengasuh, memelihara, serta memberi pendidikan dan bimbingan

agama. Pengaturan ini juga mencakup dalam segala hal yang

merupakan kebutuhan si anak. Semua pembiayaan hidup tersebut

adalah menjadi tanggung jawab si wali. Sementara itu, perwalian

terhadap harta bendanya adalah dalam bentuk mengelola harta benda si

anak secara baik, termasuk mencatat sejumlah hartanya ketika dimulai

perwalian, mencatat perubahan-perubahan hartanya selama perwalian,

serta menyerahkan kembali kepada anak apabila telah selesai masa

perwaliannya karena si anak telah dewasa dan mampu mengurus diri

sendiri.

Sementara pengertian perwalian menurut KUHPerdata,

sebagaimanadisebutkandalam pasal 330 ayat (3) dinyatakan bahwa

63

"Perwalian adalah pengawasan terhadap anak di bawah umur, yang

tidak berada dibawahkekuasaan orang tua". Anak yang berada dibawah

perwalian adalah: (1) Anak sah yang kedua orang tuanya telah dicabut

kekuasaannya sebagai orang tua ;(2) Anak sah yang orang tuanya telah

bercerai; (3) Anak yang lahir diluar perkawinan (nutuurlijke kind). Pada

umumnya dalam setiap perwalian hanya ada seorang wali saja, kecuali

apabila seorang wali-ibu (moerdervoogdes) kawin lagi, dalam hal mana

suaminya menjadi medevoogd. Jika salah satu dari orang tua tersebut

meninggal, maka menurut Undang-undang orang tua yang lainnya

dengan sendirinya menjadi wali bagi anak-anaknya. Perwalian ini

dinamakan perwalian menurut Undang-undang (wettelijke Voogdij).

Dalam KUHPerdata, setidaknya terdapat 3 (tiga) macam perwalian,

yaitu:

a) Perwalian oleh suaini atau isteri yang hidup lebih lama. Hal ini

sebagaimana disebutkan dalam pasal 345 KUHPerdata: "Apabila

salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia, maka perwalian

terhadap anak-anak kawin yang belum dewasa, demi hukum

dipangku oleh orang tua yang hidup terlama, sekadar ini tidak telah

dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tuanya." Namun pada

pasal ini tidak dibuat pengecualian bagi suami istri yang hidup

terpisah disebabkan perkawinan putus karena perceraian atau pisah

meja dan ranjang. Jadi, bila ayah setelah perceraian menjadi wali

64

maka dengan rneninggalnya ayah maka si ibu dengan sendirinya

(demi hukum) menjadi wali atas anak-anak tersebut.

b) Perwalian yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan surat wasiat

atau akta tersendiri. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal

355 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa :"Masing-masing

orang tua, yang melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian bagi

seorang anaknya atau lebih berhak mengangkat seorang wali bagi

anak-anak itu, jika kiranya perwalian itu setelah ia meninggal dunia

demi hukum ataupun karena penetapan Hakim menurut ayat

terakhir pasal 353, tidak harus dilakukan oleh orang tua yang lain"

Dengan kata lain, orang tua rnasing-masing yang menjadi wali atau

memegang kekuasaan orang tua berhak mengangkat wali kalau

perwalian tersebut memang masih terbuka.

c) Perwalian yang diangkat oleh Hakim. Hal ini sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 359 KUH Perdata menentukan: "Semua

anak yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua dan yang

diatur perwaliannya secara sah akan ditunjuk seorang wali oleh

Pengadilan".

2. Landasan Hukum Perwalian

Adapun landasan hukum mengenai perwalian, dapat dibagi dalam

beberapa kategori, diantara:

a) Landasan Hukum Menurut Syariat

65

Dalam menetapkan hukum dan ketentuan mengenai

perwalian, Islam merujuk kepada firman Allah SWT mengenai

pentingnya pemeliharaan terhadap harta, terutama pemeliharaan

terhadap harta anak yatim yang telah ditiirggalkan.oleh orang

tuannya. Dalam hal ini Allah berfirman:

"Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah

dewasa) harta rnereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan

yang buruk, dan jangalah kamu makan harta mereka bersama

hartamu, sungguh (tindakan menukar dan memakan) itu adalah dosa

yang besar". QS.An-Nisa; ayat2

Ayat ini menjadi suatu landasan dalam memelihara harta

anak yatim yang telah ditinggalkan orang orang tuanya atau ahli

warisnya. Dirnana dalam ayat tersebut secara jelas menyatakan

mengenai pemeliharaan dan perlindungan terhadap harta sampai

mereka terah cakap dalam pengelolaannya (dewasa). Artinya

jika'anak-anak ydim tersebut belum cakap hukum, maka pengelolaan

harta tersebut harus dijaga dan dipelihara oleh walinya. Hal ini

sebagaimana kemudian dijelaskan pada ayat berikutnya. Allah

berfirman: "Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup

umur untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka

telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada

mereka hartanya. Dan janganlah kamu memakannya (harta anak

yatim) melebihi batas kepatutan dan (anganlah karnu) tergesa-gesa

66

(menyerahkannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (diantara

pemeliharaan itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari

memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka

bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang patut. Kemudian,

apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka, maka

hendaklah kamu adakan saksi-saksi. Dan cukuplah Allah sebagai

pengawas".8

b) Landasan Hukum Menurut KHI dan UU No.l Tahun 1974

Selain Al-Qur'an dan hadis sebagai landasan ketentuan

mengenai perwalian. Dalam konteks sistem hukum Indonesia,

landasan tersebut juga telah diadopsi dalam KHI (Kompilasi Hukum

Islam), landasan hukum terhadap perwalian tersebut, diatur dalam

BAB XV mengenai pervvalian. Pada Pasal 107 ayat (1-4) dinyatakan

bahwa: "

1) perwalian hanya terhadap anak yang belum berumur 21

tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan;

2) Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta

kekayaan;

3) Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan

tugas perwaliannya, maka pengadilan agama dapat

merunjuk salah seorang kerabad untuk bertindak sebagai

wali atas permohonan kerabat tersebut, dan

67

4) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak

tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikir

sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan

hukum."l1

Dalam sistem hukum Indonesia, wali memiliki tanggung

jawab yang bertujuan untuk memelihara akan kesejahteraan dari

pada yang diperwalikan, termasuk dalam pemeliharaan harta benda

yang dipertinggalkan. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam pasal

110 KHI, yaitu:

(1) Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada

dibawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban

memberikan bimbingan agama, pendidikan dan ketrampilan

lainnya untuk masa depan orang yang berada dibawah

perwaliannya;

(2) Wali dilarang rnengikat, membebani dan mengasingkan harta

orang yang berada di bawah perwaliannya, kecuali bila

perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di

bawah perwaliannya atau merupakan suatu kenyataan yang tidak

dapat dihindari;

(3) Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di

bawah penvaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul

akibat kesalahan dan kelalainnya;

68

(4) Dengan tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam pasal 5l

ayat (4) UU No.1 tahun 1974, pertanggungf awaban wali

tersebut ayat (3) hanrs dibuktikan dorgan pernbukuan

png'ditlurp tiap tahrxr sekali. Sementara dalam Pasal 51

Undang-Undang No.1 Tahun 1974 menyatakan bahwa: (1) Wali

wajib mengurus anak yang berada dibawah kekuasaannya dan

harta bendanya sebaik baiknya dengan menghormati

agamakepercayaan anak itu; (2) Wali wajib membuat daftar

harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya pada

waktu merrulai jabatannya dan mencatat semua peru bahan-

perubahan harta benda anak tersebut; (3) Wali bertanggung

jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah

perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan kesalahan dan

kelalaiannya; (4)Larangan Bagi Wali. Mengenai larangan bagi

wali, telah diatur di dalam Pasal. 52 UU No.l tahun 1'974

menyatakan bahwa wali tidak diperbolehkan memindahkan hak

atau menggadaikan barang barang tetap yang dimiliki anaknya

yang belum berumur 18 tahun atau belum melakukan

perkawinan kecuali apabila kepentingan anak tersebut memaksa.

Ketentuan tersebut di atas menjadi landasan hukum yang

mengikat terhadap kedudukan dan wewenangan seorang wali

dalam menjaga dan atau'memeliharabaik jiwa dan harta anak

yatim.

69

c) Landasan Hukum Menurut KUH Perdata

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa landasan

hukum tentang perwalian dalam KUHPerdata telah disebutkan

dalam pasal 330.Secara umum, dalam KUHPerdata terdapat

beberapa asas mengenai perwalian, yaitu

(1) Asas Tak Dapat Dibagi-bagi ( Ondeelbaarheid ) Pada tiap-

tiap perwalian hanya ada satu wali, hal ini tercantum

dalam pasatr 331 KUH Perdata. Asas tak dapat dibagi-

bagi ini rnernpunyai pengecualian dalam 2hal, yaitu:

a) Dalam pasal 351 I(IlHPerdata disebutkan bahwa jika

perwalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang tua

yang hidup paling lama (Langstlevendeouder), maka

kalau ia kawin lagi suaminya menjadi medevoogd

atau wali serta;

b) Dalam pasal 361 KUHPerdata, dinyatakan bahwa

jika sampai ditunjuk pelaksanaan pengunrsan

(bewindvoerder) yang mengurus barang-baran g

minderj ari ge diluar Indonesia

(2) Asas Persetujuan Dari Keluarga.

Asas persetujuan keluarga merupakan asas dimana

keluarga harus dimintai persetujuan tentang perwalian.

Jika keluarga tidak ada maka tidak diperlukan persetujuan

pihak keluarga itu, sedang pihak keluarga kalau tidak

70

datang sesudah diadakan panggilan dapat dituntut

berdasarkan pasal 524 KUH Perdata.

Dalam KUHPerdata, juga mengatur tentang

perwalian bagi seorang perempun. Dimana dalam pasal

332 b (1) dikatakan mengenai wewenang wali:

"perempuan bersuami tidak boleh menerima perwalian

tanpa bantuan dan izin tertulis dari suaminya." Namun jika

suami tidak memberika izin, maka bantuan dari

pendamping (bijstand) itu dapat digantikan dengan

kekuasaan dari hakim. Hal ini sebagaimana dinyatakan

dalam pasal332 b ayat 2 KUl Perdata: "Apabila si suami

telah rnemberikan bantuan atau izin atau apabila ia kawin ,

dengan perffEpuan itu setelah perwalian berrnula,

sepertipun apabila si perempuan tadi menurut pasal 112

atau pasal 114 dengan kuasa dari hakim telah menerima

perwalian tersebut, rnaka si wali perempuan bersuami atau

tidak bersuami, berhak melakukan segala tindakan-

tindakan perdata berkenaan dengan perwalian itu tanpa

pemberian kuasa atau bantuan ataupun juga dan atau

tindakan-tindakan itupun bertanggung jawab pula".

Selain perwalian dalam bentuk perorangan,

KUHPerdata juga mengatur tentang perwalian yang

dilakukan oleh badan hukurn.

71

Dalam pasal 355 ayat 2 KUH Perdata dinyatakan

bahwa badan hukum tidak dapat diangkat sebagai wali.

Tetapi berkaitan dengan hal tersebut, sebuah perwalian

yang dilaksanakan oleh badan hukum harus diperintahkan

oleh pengadilan. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam

Pasal 365 a (I)KUH Perdata dinyatakan bahwa: "dalam hal

sebuah badan hukum diserahi perwalian maka panitera

pengadilan yang menugaskan perwalian itu ia

memberitahukan putusan pengadilan itu kepada dewan

perwalian dan kejaksaan.

" Akan tetapi jika pengurus badan hukum tersebut

tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai wali, maka

badan tersebut dapat dicabut kewenangannya sebagai wali.

Selain itu, pasal 379 KuHPerdata mengatur tentang

golongan orang yang tidak boleh menjadi wali, yaitu: (l)

mereka yang sakit ingatan (krankzninngen); (2)mereka

yang belum dewasa (minderjarigen); (3)mereka yang

berada dibawah pengampuan; (4) mereka yang telah

dipecat.atau dicabut (onzet) dmi kekuasaan o:rang tua atau

perwalian atau penetapan pengadilan; (S)para ketua, ketua

pengganti, anggota, panitera, panitera pengganti,

bendahara, juru buku dan agen balai harta peninggalan,

kecuali terhadap anak- anak atau anak tiri mereka sendiri.

72

d) Landasan Hukum Perwalian Menurut Hukum Adat

Dalam konteks ke Acehan, khususnya setelah bencana

tsunarni, sistem perwalian yang dilaksanakan pada umumnya

bukan hasil penunjukkan resmi berdasarkan hukum formal,

tetapi berdasarkan persetujuan bersama dalam keluarga atau

komunitas. Dengan demikian, pengelolaan harta milik si anak

yang membutuhkan wali pun tidak dijalankan sesuai petunjuk

hukum, melainkan berjalan apa adanya, berdasarkan

kesepakatan dan kenyakinan dalam masyarakat tersebut,

sehingga hal ini menyebabkan penunjukan wali tidak memiliki

suatu kepastian hukum.

Proses ini dilakukan karena telah menjadi suatu kebiasaan

dalam masyarakat adat, bahwa ketentuan mengenai perwalian

hanya dilakukan melalui musyawarah pihak keluarga, dan atau

rnelibatkan petua kampung (adat) dalam menentukan pihak

mana yang menjadi wali, baik dalam pengasuhan anak tersebut

atau pemeliharaan harta yang ditinggalkan. Sehingga seringkali

antara satu daerah (gampong) dengan daerah lain mempunyai

ketentuan yang berbeda dalam tertentu, penunjukan wali dapat

melibatkan proses adat.

Dalam menetapkan status wali tersebut, ditentukan oleh

pihak keluarga dan tokoh masyarakat yang dilaksanakan di

Meunasah di perdesaan tersebut. Tujuan dari pertemuan dan

73

perlibatan para petua kampung ini. adalah untuk

mengkonfirmasi mengenai pengangkatan seorang wali dalam

keluarga tertentu. Hanya dalam kasus-kasus yang

dipersengketakan maka penunjukan wali diberi kewenangan

kepada geuchik dan/atau imeum meunasah.

Dalam beberapa kasus seperti yang pemah ditemukan oleh

IDLOl2, dimana Kasus ini terjadi terjadi di gampong Tibang,

Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh, misalnya. Disini ada

banyak anak-anak yang terkena dampak tsunami yang

kehilangan orang tua mereka dan kemudian diasuh oleh anggota

keluarga mereka. Proses perwalian anak-anak tersebut

berlangsung secara adat di gampong saja.

Meskipun demikian, dalam praktek, seringkali proses

perwalian adalah hal yang rumit. Di Aceh, wali yang ditunjuk

(biasanya saudara laki-laki pada pihak ayah dari keluarga anak)

yang akan bertanggung jawab untuk mengelola aset dan harta

yang ditinggalkan. Wali tersebut disebut sebagai 'wali warisan'.

Sementara untuk hal kesejahteraan, dan atau perawalan sehari-

hari terhadap anak tersebut biasanya akan diberikan pada ibu

atau keluarga dari pihak perempuan.l3 Hal ini seringkali

mengakibatkan pertentangan dan konflik dalam pengelolaan

harta yang kasus ditinggalkan. Apalagi jika pihak wali dari

74

pihak laki-laki (ayah) tidak dapat menjalankan kewajibannya

sebagai wali secara baik dan amanah.

3. Proses Penetapan Wali

Ada beberapa golongan yangdapat dikategorikan bahwa ia belum

memiliki kecakapan hukum, diantaranya; 1) Orang dewasa yang memiliki

ketidakmampuan dalam perihal hukum (tidak cakap hukum), Seorang anak

yang masih di bawah 21 tahun, atau seseorang yang memiliki cacat secara

mental. 2) Penunjukan Wali si ahli waris dapat mengajukan pengajuan

penetapan wali kepada pengadilan. Sementara menurut hukum Indonesia,

di mana seorang yatim piatu memiliki hak warisan tapi tidak ditunjuk

sebagai wali, warisan ini harus dikelola oleh Balai Harta Peninggalan

(Public Trust) atau lembaga lainnya yang berwenang.lg Sementara,

warisan anak yatim yang tidak memiliki wali tersebut sudah seharusnya

dikelola oleh Baitul Ma1.20 Namun karena Baitul Mal belum secara resmi

dibentuk di tingkat desa, sehingga fungsi ini tidak dapat dilakukan.

Fatwa MPU No 3 tahun 2005 menyatakan bahwa anak yatim yang

memiliki warisan dan tidak mempunyai wali, maka dengan keputusan

Mahkamatr Syar'iyah, maka harta tersebut harus dipelihara oleh Baitul

Mal, dan dalam prosesnya akan diawasi oleh Mahkamah Syar'iyah

4. Penggeloaan Manageman Harta (Aset) dalam Perwalian

Undang-Undang Nomor 2312002 Tentang Perlindungan Anak

telah mengatur bahwa wali mengelola kekayaan lingkungan mereka untuk

kepentingan yang anak tersebut. Dalam UU No.l tahun 1974 tentang

75

Perkawinan juga menyatakan bahwa seorang wali bertanggungjawab atas

pengelolaan asset (hartalglan harus membayar jika dalarn pengelolaan

harta tersebut menjadi hilang atau rusak, baik karena segaja maupun

karena keialaian.

Selain itu, wali dilarang menjual, trengalihkan atau menggadaikan

aset anak perwalian, kecuali dalarn keadaan yang darurat (memaksa).Z4

Wali juga dilarang mengikat, membebani atau membagi aset (harta)

tersebut kecuali tindakan tersebut akan meningkatkan (menambah) nilai

aset. Kemudian,' jika dalam hal wali terpaksa menjual harta (tanah) milik

anak perwalian tersebut, maka seorang wali wajib terlebih dahulu

memperoleh izin dari Mahkamah Syar'iyah.

5. Pengawasan Perwalian

Dalam UU No 23/2}02tentang Perlindungan Anak menyatakan

bahu,a Balai Harta Peninggalan (Public Trustee) atau lembaga lain yang

rnempunyai kewenangan serupa dapat bertindak sebagai 'wali pengawas'

untuk memastikan bahwa kepentingan anak di bawah perwalian adalah

dilindungan dan dipelihara secara baik. Fatwa MPU No.3/2005,

menyatakan bahwa Makamah Syar'iyah berwenang dalam mengawasi

perwalian anak-anak yatim piatu akibat tsunami.

Namun dalam masyarakat adat di Aceh, proses pengawasan

biasanya dilakukan oleh pihak gampong (keuchik), tuha peut dan para

tetua adat dan tokoh agarna lainnya. Namun jika wali tidak memenuhi

kewajiban mereka, maka pihak keluarga si anak tersebut atau Baitul Mal

76

dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk dapat mencabut

hak perwalian terhadap wali tersebut. Pengadilan akan mencabut

kekuasaan wali dan mengalihkan kekuasaan tersebut kepada orang lain

atau badan hukurn jika terbukti bahr.va wali: (1) Telah mengabaikan

kewaiibannya sebagai wali; (2). Telah bertinclak secara ticlak tepat atau

menyalahgunakan - kekuasaan m ka; (3) Mengkcnsumsi alkohol, bcrjudi

.atau'boros; (4) mengalarni cacat rnental;(5) Telah rneninggal atau tidak

cakap tnelakukan perbuatan hukurn.

D. Hukum Positif yang berlaku di Indonesia

Pada dasarnya Hukum Perdata yang selarna ini kita kenal dan

ketahui merupakantserangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur

hubungan hukum antar.a orang yang satu dengan yang lainnya. Dengan

menitik beratkan kepada kepentingan perseorangan saja.yang bersumber

pada kitab hukum perdata sipil atau disingkat (BW). Begitu juga dalarn

hukum perdata islam di indonesia. Yang bersumber pada Kompilasi

Hukum Islam atau disingkat dengan (KHI).

Maka dengan demikian bahwa baik itu Hukum Perdata Islarn

maupun Hukum Perdata Sipil, tidak akan terlepas pembahasannya

mengenai perwalian, karena sebagaimana definisi daripada Hukum

Perdata tersebut di atas yang mengatur tentang kepentingan perseorangan

dalam hal keperdataan.

Oleh sebab itu, sehubungan dengan perwalian yang mengatur

tentang kepentingan seseorang dan termasuk dalam Hukurn Perdata maka

77

pellulah sekiranya untuk diketahui konsep dari pada perwalian baik di dari

segi Hukum Perdata Islam maupun dari Hukum Perdata (BW). Pada

dasarnya perwalian merupakan hal terpenting bagi kelangsungan hidup

anak kecil (anak dibawah umur) atau anak yang masih belum bisa

mengurus diri sendiri seperti anak-anak terlantar, baik dalam mengurus

harta kekayaan maupun dalam mengurus lingkungannya sendiri atau

dengan istilah lain yakni anak yang masih belum bisa atau belum cakap

dalam bertindak ,hukurn.'Seh'kresraitu maka perlulah ada sesraflg

atau'sekelompok orang yang dapat mengurus dan memelihara juga

membimbing anak yang rnasih belum ada walinya atau yang belum ada

yang mengurus derni keselamatan anak dan harta.

Masalah wali dalam Islam juga sangat berperan sekali dalarn hal

pernikahan. Dengan demikian Hukum Perdata Islam membagi Perwalian

menjadi dua macam yakni. Perwalian dalam hal pernikahan dan Perwalian

dalam hal anak di bawah umur.

Jadi menurut ajaran agarrra Islam perwalian yang termasuk dalam

perkawinan adalah orang yang berhak menikahkan anakn ya atau orang

yang berada di bawah perwaliannya. Untuk lebih jelasnya Imam Syaf i

menyatakan perwalian adalah suatu kekuasaan atau wewenang syar'i atas

segolongan manusia karena dilimpahkan kepada orang yang sempurna,

karena kekurangan tertentu pada orang yang dikuasai itu, demi

kemaslahatannya sendiri.

78

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Konsep Perwalian Antara Kompilasi Hukum Islam Dengan Hukum

Perdata

Pada dasamya Hukum Perdata yang selama ini kita kenal dan ketahui

merupakan serangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan

hukum antara orang yang satu dengan yang lainnya. Dengan rnenitik beratkan ilt

kepada kepentingan perseorangan saja.yang bersumber pada kitab hukum perdata

sipil atau disingkat (BW). Begitu juga dalam hukum perdata islam diindonesia.

Yang bersumber pada Kornpilasi Hukum Islam atau disingkat dengan (KHR).

79

Maka dengan demikian bahwa baik itu Hukum Perdata Islarn maupun

Hukum Perdata Sipil, tidak akan terlepas pembahasannya mengenai perwalian,

karena sebagaimana definisi daripada Hukum Perdata tersebut di atas yang

mengatur tentang kepentingan perseorangan dalam hal keperdataan.

Oleh sebab itu, sehubungan dengan perwalian yang mengatur tentang

kepentingan seseorang dan termasuk dalam Hukum Perdata maka perlulah

sekiranya untuk diketahui konsep dari pada perwalian baik di dari segi Hukum

Perdata Islam maupun dari Hukum Perdata (BW).

Pada dasamya perwalian merupakan hal terpenting bagi kelangsungan

hidup anak kecil (anak dibawah umur) atau anak yang masih belum bisa

mengurus diri sendiri seperti anak-anak terlantar, baik dalam mengurus hatta

kekayaan maupun dalam mengurus lingkungannya sendiri atau dengan istilah lain

yakni anak yang masih belum bisa atau belum cakap dalam bertindak hukum.

Oleh karena itu malca perlulah ada seorang atau sekelompok orang yang dapat

mengurus dan memelihara juga rnembimbing.anak yang masih belum ada walinya

atau yang belum adayangmengurus demi keselamatan anak dan harta.

Masalah wali dalam Islam juga sangat berperan sekali dalam hal

pernikahan. Dengan demikian Hukum Perdata Islam mernbagi Perwalian menjadi

dua macam yakni. Perwalian dalam hal pernikahan dan Perwalian dalam hal anak

di bawah umur. Jadi menurut ajaran agama Islam perwalian yang termasuk dalarn

perkawinan adalah orang yang berhak menikahkan anaknya atau orang yang

berada di bawah perwaliannya.

78

80

Untuk lebih jelasnya Imam Syaf i menyatakan perwalian adalah "suatu

kekuasaan atau wewenang syar'I atas segolongan manusia karena dilimpahkan

kepada orang yang sempuma, karena kekurangan tertentu pada orang yang

dikuasai itu, demi kemaslahatannya sendiri". Pendapat Imam As Syaf i dan para

mazhab lain-lain.

Maka dengan demikian wali di sini sangat perlu dan sangat penting karena

termasuk dalarn rukun nikah. Sahnya pemikahan seorang harus dengan adanya

wali yang sah sebagaimana disebutkan dalam hadis yang berbunyi:

Artinya: "Dari Aisyah ra berkata : RasUlullah SAW bersabda: "Tiap-tiap wanita

yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal, maka nikahnya batal,

maka nikahnya batal. Jika perempuan itu telah disetubuhi, maka dia berhak

menerima mahar dengan sebab persetubuhan itu.Maka jika para wali enggan

(berselisih), maka sultanlah orang yang tidak ada wali." (HR. Ahmad). 44

Sedangkan tentang perwalian anak di bawah umur para ulama' sepakat

bahwa perwalian adalah omng yang berffi mengurusfan'rnornhimibing urang yang

dibawah perwalian. Selain itu juga ulatna' menyepakati bahwa perwalian disini

adalah ayahnya sedangkan dari pihak tidak mempunyai hak kecuali wali yang

bukan ayah disini para ulama' berbeda pendapat.

Sedang perwalian menurut Hukum Perdata Sipil KUH.Perdata (Burgerlijk

Weetboek) yakni telah dibahas dalam Pasal 331 dalam hukum keluarga

44 Menurut Imam Tirmizi , hadis ini Hasan, dan Al Qurtubiy menyatakan bahrva hadis ini shahih,

dan menurut Imam Hakim,riwayat tentang hal ini memang bengr datangnya dari istri istri

Rasullullah SAW. Diantaranya Siti Aisyah Umu salamah,Zainab, dan menurut Ibnu Munzir tak

diketahui seorang sahabatpun yang menyelisihnya.

81

"Perwalian adalah anak yatim piatu atau anak-anak yang belum cukup umur dan

tidak dalam kekuasaan orang tua yang memerlukan bimbingan dan oleh karena itu

harus ditunjuk wali yaitu orang-orang atau perkumpulan yang akan

menyelenggarakan keperluan hidup anak tersebut."

Wali ditetapkan oleh hakim atau dapat pula karena wasiat orang tua

sebelum meninggal: sedapat mungkin wali diangkat dari orang-orang yang

mempunyai pertalian darah dari si anak itu sendiri. Sedangkan tentang arti

perwalian menurut UUP No I Thn 1974 Tentang Perkawinan yang merupakan

Hukum Perdata Sipil yang berlaku saat ini adalah anak yang belum mencapai

umur 18 (delapan belas) tahun, belum pernah melangsungkan pernikahan, yang

tidak berada dalam kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.

Perwalian itu mengenai peribadi anak yang bersangkutan maupun harta

benda.(Pasal 50).

Dari beberapa konsep perwalian diatas tadi baik yang diambil dari konsep

hukum perdata Islarn dan hukum perdata sipil yang memiliki konsep yang sedikrt

berbela dan sama sarna ditsr-apkarr di Negara Indonesia' Dengan dernikian

banyak hal yang perlu diketahui sebagai seorang warga negara Indonesia dan

sudah sernestinya mengetahui dan memahami mengenai hukum yang diterapkan

di negara Indonesia ini, terutama mengenai hukum perdata, lebih lebih mengenai

hukum perwalian karena perwalian ini menyangkut masalah yang menitik

beratkan kepada kepentingan perseorangan baik itu ditinjau dari segi Hukum

Perdata Islam maupun dari segi Hukum perdata.

82

Maka oleh sebab itu karena pentingnya hal tersebut untuk dikaji dan

ditelaah, diupayakan supaya masyarakat tidak bingung dalam memahami dan

menerapkan,kedua konsep hukum tersebut. Adapun hal yang sangat mendasari

daripada masalah perwalian ini untuk dikaji dalam penelitian ini adalah, dari

beberapa Hukum Perdata yang berlaku di negara Indonesia ini, penulis ingin

membandingkan baik itu Hukum Perdata Islam maupun Hukum Perdata, dalam

masalah Perwalian. Selain itu juga peneliti berkeinginan untuk memahami secara

mendalami kedua model Hukum Perdata tersebut baik itu pengertianya,

kedudukan hukumnya, atav, dan hal hal yang berhubungan dengan perwalian

tersebut. sehingga dengan demikian maka masalah perwalian dapat penulis

ketahui dengan jelas.

Disamping itu juga bermanfaat bagi masyarakat luas, yang ingin

rnengetahui masalah wali dalam hukum perdata, baik Hukum Perdata Sipil

maupun dalam Hukum Perdata Islam. Karena inilah salah satu dari tujuan

penelitian ini.

Dari beberapa konsep perwalian diatas tadi baik yang diambil dari konsep

hukum perdata Islarn dan hukum perdata sipil yang memiliki konsep yang sedikit

berbela dan sama sarna ditsr-apkarr di Negara Indonesia' Dengan dernikian

banyak hal yang perlu diketahui sebagai seorang warga negara Indonesia dan

sudah sernestinya mengetahui dan memahami mengenai hukum yang diterapkan

di negara Indonesia ini, terutama mengenai hukum perdata, lebih lebih mengenai

hukum perwalian karena perwalian ini menyangkut masalah yang menitik

83

beratkan kepada kepentingan perseorangan baik itu ditinjau dari segi Hukum

Perdata Islam maupun dari segi Hukum perdata.

Maka oleh sebab itu karena pentingnya hal tersebut untuk dikaji dan

ditelaah, diupayakan supaya masyarakat tidak bingung dalam memahami dan

menerapkan,kedua konsep hukum tersebut. Adapun hal yang sangat mendasari

daripada masalah perwalian ini untuk dikaji dalam penelitian ini adalah, dari

beberapa Hukum Perdata yang berlaku di negara Indonesia ini, penulis ingin

membandingkan baik itu Hukum Perdata Islam maupun Hukum Perdata, dalam

masalah Perwalian. Selain itu juga peneliti berkeinginan untuk memahami secara

mendalami kedua model Hukum Perdata tersebut baik itu pengertianya,

kedudukan hukumnya, atav, dan hal hal yang berhubungan dengan perwalian

tersebut. sehingga dengan demikian maka masalah perwalian dapat penulis

ketahui dengan jelas.

Disamping itu juga bermanfaat bagi masyarakat luas, yang ingin

rnengetahui masalah wali dalam hukum perdata, baik Hukum Perdata Sipil

maupun dalam Hukum Perdata Islam. Karena inilah salah satu dari tujuan

penelitian ini. Selain itu juga salah satu masalah yang per'lu diperhatikan oleli

masyarakat dan pemerintah adalah tidak adanya ketentuan mengenai kedudukan

hukum anak aaak yang terlantar yang rnerupakan'tatggung jawab negara, yakni

anak anak yang terlepas dari kekuasaan orang tua mereka yang kian hari kian

bertambah dan merupakan sebagai probelematika yang berkernbang pada akhir

akhir ini terutama di negara negala yang berpenduduk padat, seperti di Indonesia.

84

Disamping itu juga masyarakat awam yakni masyarakat yang masih

bingung dalam memahami hukum perdata yang berlaku saat ini baik itu

kedudukan perwalian anak yatim dan perwalian anak anak yang terlantar anak

dibawah umur, karena belum memahami dari pada konsep perwaliati, baik itu dari

segi hukum perdata Islam dan dari segi Hukum Perdata sipil (Bw). Selain itu juga

banyak kasus-kasus yang berkembang tentang penemuan bayi-bayi yang tidak

memiliki orang tua dan wali. Lantas dengan demikian sipakah berhak mengurus

dan menjaga anak tersebut dan seandainya kalau anakanak terlantar yang dibawah

umur berbuat hukum maka siapakah yang akan mengurus dan rnengadili dan

selain itu juga siapa yang akan menjamin kesejahteraan anak, kalau bukan wali

dan pernerintah siapa lagi. Dan siapakan wali tersebut, juga apak?h dia berhak

dalam mengawinkan orang yang dibawah perwaliannya dalam hukum perdata

islam. dengan demikian maka pennasalahan ini perlu untuk dipecahkan melalui

penelitian.

B. Analisis Persamaan Dan Perbedaan Antara Konsep Perwalian Kompilasi Hukum

Islam Dengan Hukum Perdata

1. Persamaan

a. Makna perwalian rnenurut I(ompilasi Hukum Islam (I(Hi) dan KUH

Perdata adalah pengawasan terhadap anak di bawah umur yakni :

{1) Pernralian jiwa (diri pribadi);{2)Perwalianharta; (3) Perwalian jiwa

dan harta.

b. Landasan hukum mengenai perwalian menurut Kompilasi Hukurn Islam

(KHI) adalah UU No.l Tahun 1974 dan KUH Perdata tentang perwalian,

85

terutama pemeliharaan terhadap harta, terutama pemeliharaan terhadap

harta anak yatim yang telah ditinggalkan oleh orang tuannya.

c. Proses Penetapan Wali menurut Kompilasi Hukum Islarn (KHI) dan KUH

Perdata adalah 1) Orang dewasa yang memiliki ketidakmarnpuan dalam

perihal hukum (tidak cakap hukum), Seorang anak yang masih di bawah

21 tahun, atau seseorang yang memiliki cacat secara mental.2) Penunjukan

Wali si ahli waris dapat mengajukan pengajuan penetapan wali kepada

pengadilan.

d. Penggeloaan Manageman Harta (Aset) dalarn Perwalian, seorang wali

bertanggungjawab atas pengelolaan aset (harta) dan harus membayar jika

dalam pengelolaan harta tersebut menjadi hilang atau rusak, baik karena

segaja maupun karena kelalaian serta seorang wali wajib terlebih dahulu

memperolehizin dari keluarga atau rnahkamah syariah.

2. Perbedaan

Masalah wali dalam Islam juga sangat berperan sekali dalarn hal

pernikahan. Dengan demikian Hukum Perdata Islam membagi Perwalian

menjadi dua macam yakni. Perwalian dalam hal pernikahan dan Perwalian

clalam hal anak di bawah umur.

Jadi menurut ajaran agama Islam perwalian yang dalam perkawinan

adalah orang yang berhak menikahkan anaknya atau orang yang berada di

bawah perwaliannya. Untuk lebih jelasnya Imam Syaf’I menyatakan

perwalian adalah "suatu kekuasaan atau wewenang syar'i atas segolongan

manusia karena dilimpahkan kepada orang yang sempurna, karena

86

kekurangan tertentu pada orang yang dikuasai itu, demi kernaslahatannya

sendiri".

Pendapat Imam As Syaf iu dan para mazhab lain-lain. Maka dengan

demikian wali di sini sangat perlu dan sangat penting karena termasuk

dalam rukun nikah. Sahnya pemikahan seorang harus dengan adanya wali

yang sah. Sedangkan tentang perwalian anak di bawah ulnur para ularna'

sepakat bahwa perwalian adalah olang yang berhak mengurus dan

membimbing orang yang dibawah perwalian. Selain itu juga ulama'

menyepakati bahwa perwalian disini adalah ayahnya sedangkan dari pihak

ibunya tidak mempunyai hak wali kecuali wali yang bukan ayah disini para

ulama' berbeda pendapat.

Sedang perwalian menurut Hukum Perdata Sipil KUH.Perdata

(Burgerlijk Weetboek) yakni telah dibahas dalam Pasal 331 dalam hukurn

keluarga "Perwalian adalah anak yatim piatu atau anak-anak yang belurn

cukup umur dan tidak dalam kekuasaan orang tua yang memerlukan

bimbingan dan oleh karena itu harus ditunjuk wali yaitu orang-orang atau

perkrmpulan yang akan menyelenggarakan keperluan hidup anak tersebut."

Wali ditetapkaa oleh hakim atau dapat pula karena wasiat orang tua

sebelum meninggal: sedapat mungkin wali diangkat dari orang-orang yang

mempunyai perialian darah dari si anak itu sendiri. Sedangkan tentang arti

perwalian rnenurut UUP No 1 Thn !974 Tentang Perkawinn yang

merupakan Hukum Perdata Sipil yang berlaku saat ini adalah anak yang

belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun, belum pemah

87

melangsungkan pernikahan, yang tidak berada dalam kekuasaan orang tua,

berada di bawah kekuasaan, wali. Perwalian itu mengenai peribadi anak

yang bersangkutan maupun harta benda. (Pasal 50). Dari beberapa konsep

perwalian diatas tadi baik yang diambil dari konsep hukum perdata Islam

dan hukum perdata sipil yang memiliki konsep yang sedikit berbeda dan

sama sama diterapkan di Negara Indonesia.

Dengan demikian banyak hal yang perlu diketahui sebagai seorang

warga fiegaralndonesia dan sudah semestinya mengetahui dan rnemahami

mengenai hukum.yang diterapkan di negara Indonesia ini,

terutamamengenai hukum perdata, lebih lebih mengenai hukum perwalian

karena perwalian ini menyangkut masalah yang rnenitik beratkan kepada

kepentingan perseorangan baik itu ditinjau dari segi Hukum Perdata Islam

maupun dari segi Hukum Perdata. Maka oleh sebab itu karena pentingnya

hal tersebut untuk dikaji dan ditelaah, diupayakan supaya masyarakat tidak

bingUng dalam. memahami dan menerapkan kedua konsep hukum tersebut.

Adapun hal yang sangat mendasari daripada ryrasalah perwalian ini

untuk dikaji dalam penelitian ini adalah, dari beberapa Hukum Perdata yarg

bfflaku di negma lndonesia ini, penulibiingin ,.mernbandingkan baik itu

Hukum Perdata Islam maupun Hukurn Perdata, dalam masalah Perwalian.

Selain itu juga peneliti berkeinginan untuk memahami secara mendalami

kedua model Hukum Perdata tersebut baik itu pengertianya,kedudukan

hukumnya, atau, dan hal hal yang berhubungan dengan perwalian tersebut.

sehingga dengan demikian maka masalah perwalian dapat penulis ketahui

88

dengan jelas. Disamping itu juga bermanfaat bagi masyarakat luas, yang

ingin mengetahui masalah wali dalam hukum perdata, baik Hukum Perdata

Sipil maupun dalam Hukum Perdata Islam.

Karena inilah salah satu dari tujuan penelitian ini.selain itu juga

salah satu masalah yang perlu diperhatikan oleh masyarakat dan pemerintah

adalah tidak adanya ketentuan mengenai kedudukan hukum anak-anak yang

terlantar yang merupakan tanggung jawab negara, yakni anak-anak yang

terlepas dari kekuasaan orang tua mereka yang kian hari kian bertambah dan

merupakan sebagai probelematika yang berkembang pada akhir akhir ini

terutama di Negara negara yang berpenduduk padat, seperti di Indonesia.

Disamping itu juga masyarakat awam yakni masyarakat yang masih

bingung dalam memahami hukum perdata yang berlaku saat ini baik itu

kedudukan perwalian anak yatim dan perwalian anak anak yang terlantar

anak dibawah umur, karena belum memahami dari pada konsep perwalian,

baik itu dari segi hukum perdata Islam dan dari segi Hukum Perdata Sipil

(BW).

Selain itu juga banyak kasus-kasus yang berkembang tentang

penemuan bayi-bayi yang tidak memiliki orang tua dan wali. Lantas dengan

demikian sipakah berhak mangurus dan menjaga anak tersebut dan

seandainya kalau anak-anak terlantar yang dibawah umur berbuat hukum

maka siapakah yang akan mengunrs dan mengadili dan selain itu juga siapa

yang akan menjamin kesejahteraan anak, kalau bukan wali dan pemerintah

siapa lagi. Dan siapakan wali tersebut, juga apakah dia berhak dalam

89

mengawinkan orang yang dibawah perwaliannya dalam hukum perdata

Islam.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan setiap bab dan hasil penelitian

sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapatlah penulis

simpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Konsep perwalian dalam kompilasi hukum Islam (KHI) bahwa

perwalian dalam fiqih disebut wilayah yang berarti penguasaan dan

perlindungan atau dengan kata lain perwalian adalah penguasaan

penuh yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk

menguasai dan melindungi orang atau barang yang dibagi menjadi

90

dua bagian yaitu : perwalian atas keperibadian seseorang dan

hartanya perwalian atas barang dan perwalian atas perempuan yang

hendak mau kawin

2. Konsep perwalian dalam Hukum Perdata Sipil KUH Perdata bahwa

Perwalian adalah anak yatim piatu atau anak-anak yang belum cukup

umur dan tidak dalam kekuaman omng tua yang memerlukan

bimbingan dan oleh karena itu harus dituqiuk wali yaitu orang-orang

atau perkumpulan yang akan menyelenggarakan keperluan hidup

anak tersebuf'.

3. Bagaimana letak perbedaan dan persamaan antara konsep perwalian

kompilasi hukum Islam dengan hukum psrdata?

a. Persamaan

Makna penralian menurut Kompilasi Hukum Islam

(KHI) dan KUllPerdata adalah pengawasan terhadap anak di

bawah umur yakni : (1) Perwalian jiwa (diri pribadi);

(2)Perwalian harta; (3) Perwalian jiwa dan harta.

b. Perbedaan

Hukum Perdata Islam membagi Perwalian menjadi dua

macam yakni. Perwalian dalam hal pernikahan dan Perwalian

dalam hal anak di bawah umur.

Sedang penvalian menunrt Hukum Perdata Sipil

KUH.Perdata (Burgerltjh Weetboek) yakni perwalian adalah

anak yatim piatu atau anak-anak yang belum cukup umur

89

91

(belum mencapai umw lE (delapan belas) tahun) dan tidak

dalam kekuasaan orang tua yang memerlukan bimbingan dan

oleh karena itu hanrs ditunjuk ilali yaitu orang-orang atau

perkumpulan yang akan menyelenggarakan keperluan hidup

anak tersebut.

Selain itu juga salah satu masalah yang perlu

diperhatikan oleh masyarakat dan pemerintah adalah tidak

adanya ketentuan mengenai kedudukan hukum anak-anak yang

terlantar yang merupakail tanggung jawab negar4 yakni anak-

anak yang terlepas dari kekuasaan orang tua mereka yang kian

hari kian bertambah dan merupakan scbagai probelematika yang

berkembang pada akhir akhir ini terutama di Negara negara

yang berpenduduk padat, seperti di Indonesia. Disamping itu

juga masyarakat awam yakni masyarakat yang masih bingung

dalam meinahami hukum perdata yang berlaku saat ini baik itu

kedudukan perwalian anak yatim dan perwalian anak anak yang

terlantar anak dibawatr umur, karena belum memahami dari Fda

konsep perwalian, baik itu dari segi hukum perdata Islam dan

dari segi Hukum Perdata Sipil (Bw).

Selain itu juga banyak kasus-kasus yang berkembang

tentang penemuan bayi-bayi yang tidak memiliki orang tua dan

wali. Lantas dengan demikian sipakah bsrhak mengurus dan

menjaga anak tersebut dan seandainya kalau anak-anak terlantar

92

yang dibawah umur berbuat hukum maka siapakah yang akan

menBunrs dan mengadili dan selain itu juga siapa yang akan

meqiamin kesejahteraan analc, kalau bukan wali dan pemerintah

siapa lagi. Dan siapakan wali tersebut, juga apakatr dia berhak

dalam mengawinkan orang yang dibawah perwaliannya dalam

hukum perdaa Islam.

B. Saran-saran

Setelah penulis membahas secara teoritis, dn praktis, iiinkanlah

penulis menyampaikan beberapa saran-saran yang mungkin dapat

menambah masukan bagi kemajuan dan perembangan di dalam

meningkatkan proses pengkajian konsep perwalian.

C. Penutup

Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

melimphkan hidayahnya kepada kita sehingga penulis dapat

menyelemikan skripsi ini.Akhimya semoga Allah SWT menjadikan

karya ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi para

pembaca.

D. Saran - saran

Setelah penulis membahas secara teoritis, dan praktis, ijinkanlah

penulis saran - saran yang mungkin dapat menambah kemajuan dan

perkembangan di dalam meningkatkan proses pengkajian konsep perwa

alian.

93

E. Penutup

Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan hldayahnya kepada kita, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini . Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh

dari sempurna, ini di sebabkan oleh keterbatasan kemampuan penulis atau

pengetahuan yang dimiliki, kritik yang bersifat manbangun, dari semua

pihak, penulis terima dengan lapang dada dan dengan tangan terbuka,

demi kesempurnaan dan perbaikan skripsi ini .Akhimya semoga Allah

SWT menjadikan karya ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan

bagi para pembaca.

2

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Azis Dahlaru Ensiklopedi Hukum Islam, Ikhtiar Baru Van hoeve, Jakarta

2001, Cet 5

Anton M. Moeliono, Kamus Besm Bahasa btdonesia, Jakarta : Balai Pustaka ,

2004

Burhan Ashshofa , Metode Cipta,1996

Penelition Hukum, Cet l, Jakarta, Rineka

A Sya'bi, Kamus An Nur, Arab lndonesi4 Halim, Surabaya, 1997

Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jakarta

2001, cet 5

Dian Dewi, Konsep Perwalian dalam persepebif hukum perdata Islam dengan

huhtm prdata Sipil ( Study Komparatd), Posted by on 14 April, 2010

Imam Abi al-Fadhil Ahmad bin Ali bin Hajar al-'Asqalani, Bulughul Maram ,

(Beirut: Dar al-Fikr, 1989)

94

Dedi junaedi,.Bimbingan Perkawinaru Akademika Pressindq.Jakarta 2001, Cet

pertama Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Undang-

UndangNomor I Tahun 1974

Kompilasi Hukum Islam, Pustaka Widyatam4 2004

Muhammad Jawad Mughniah-Frqih Lima Mazhab,Cet 5, Jakarta : kntera, 2000

Mudjionq Sistem Huhtm dan Tata Hukum Indorusia, (Yogyakarta,LiMy, 1997

Nana Sudjana, Tuntunan Penyusunan Kmya llmiah, Sinar baru algesindo,

Bandung, Cet ketujuh, 2003

Sartono kartodirjo, Metode Metode Perulitian Ma^ryoakat,. Redaksi

Kontjoningrat, Gramedia pustaka utama, Jakart4 1997,Cet ketiga UUNo. I

tatrun l9T4 danPasal 107-112 Kompilasi Hukum Islan (KHI)