bab i pendahuluan -...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan penghasil kopi ketiga terbesar di dunia setelah Brazil
dan Vietnam. Kopi sumatera menjadi kopi yang banyak digemari oleh masyarakat
Indonesia maupun luar negeri. Kopi sumatera berasal dari Aceh, Sumatera Utara,
Bengkulu, Lampung, dan Riau. Kopi yang dikenal dari Sumatera Utara adalah
kopi lintong, kopi mandaeling, dan kopi sidikalang.Tradisi minum kopi menjadi
suatu kebudayaan bagi masyarakat baik di perkotaan maupun perdesaan. Hal ini
didukung oleh semakin banyaknya usaha kafe dan perusahaan pengolahan kopi
mulai dari skala home industry sampai skala multinational. Salah satu perusahaan
kopi multinasional yang sangat terkenal di dunia adalah Starbucks Coffee.
Berdasarkan website Starbucks Coffee tersebut, salah satu wilayah pemasok kopi
di Starbucks Coffeeadalah Pulau Sumatera yang disebut dengan Sumatran Coffee.
Salah satu wilayah yang menyumbang pasokan kopi di Sumatera adalah
Kabupaten Dairi. Kopi ini dikenal dengan kopi sidikalang untuk menyatakan
identitas wilayah karena ibukota dari Kabupaten Dairi adalah Sidikalang. Kopi
sidikalang merupakan komoditas unggulan pertanian yang berbasis ekspor di
Kabupaten Dairi.
Kabupaten Dairi berada pada ketinggian 1.066 mdpl dan merupakan dataran
tinggi - berbukit dengan lahan yang sangat suburdan sangat potensial untuk
pertanian. Hasil pertanian yang banyak ditemukan daerah ini adalah padi, buah-
buahan, sayur-sayuran, dan hasil perkebunan. Berdasarkan data Kabupaten Dairi
Dalam Angka 2012 perkebunan kopi di daerah ini seluas 18.999 Ha atau 9,86
persen dari luas wilayah (luas wilayah 192.780 Ha). Perkebunan kopi ini
merupakan perkebunan rakyat dimana sebagian besar kebun kopi dimiliki dan
dikelola oleh masyarakat setempat. Oleh sebab itu, hasil perkebunan ini dapat
dinikmati langsung oleh petani kopi.
Kabupaten Dairi memproduksi dua jenis kopi yaitu arabika dan robusta.
Kedua jenis kopi ini memiliki cita rasa yang berbeda. Kopi robusta memiliki
2
kafein yang lebih tinggi daripada kopi arabika, yaitu sekitar 70-80 persen. Kopi
sidikalang yang telah dikenal oleh masyarakat luas adalah kopi jenis robusta.
Sebagian besar home industry di kabupaten ini hanya mampu mengolah kopi
robusta saja, sedangkan kopi arabika diekspor. Kopi robusta sebagian besar tidak
diekspor melainkan untuk memenuhi kebutuhan lokal saja. Hal ini disebabkan
karena banyak masyarakat yang mengganti tanaman kopi robusta dengan tanaman
kopi arabika, sehingga produksi kopi robusta dari waktu ke waktu semakin
menurun. Peralihan tanaman kopi robusta ke kopi arabika disebabkan karena
produksi kopi rabika yang lebih tinggi dan harga kopi robusta yang jatuh pada
sekitar tahun 2000. Saat ini, tanaman kopi robusta di Kabupaten Dairi merupakan
tanaman tua saja. Peralihan tanaman kopi ini tentu berdampak terhadap rantai
tataniaga kopi di Kabupaten Dairi, dimana terjadi perbedaan jalur distribusi.
Kopi sumatera merupakan kopi yang telah diakui kualitasnya, sehingga
banyak digemari oleh pasar dunia. Namun, popularitas kopi ini tidak menjadikan
petani kopi menjadi lebih sejahtera. Hal ini disebabkan karena harga kopi yang
sangat murah di tingkat petani. Rendahnya harga pasar kopi di tingkat petani
disebabkan oleh panjangnya rantai distribusi kopi yang melibatkan banyak pelaku
usaha kopi. Pelaku-pelaku usaha kopi ini tentu mengambil keuntungan dari setiap
pemasaran kopi tersebut. Petani kopi memiliki peran yang sangat besar dalam
menyediakan kopi di pasar. Apabila rantai distribusi kopi dipotong di tingkat
petani, maka usaha dagang di tingkat atasnya pun akan terhenti. Walaupun petani
memiliki peran utama dalam distribusi kopi ini, petani tetap tidak dapat
menciptakan harga pasar yang sesuai dengan biaya produksinya karena harga kopi
di pasar dunia ditentukan oleh International Coffee Organization (ICO). Harga
pasar kopi arabika ditentukan oleh New York Board of Trade (NYBT) dan harga
kopi robusta ditentukan oleh London International Finansial and Options
Exchange (LIFFE).
3
1.2. Perumusan Masalah
Salah satu permasalahan pertanian dalam tataniaga hasil pertanian adalah
ketidakstabilan harga. Harga yang tidak stabil ini sangat dirasakan oleh petani
kopi yang berperan sebagai produsen kopi. Sistem tataniaga kopi memiliki pola
yang panjang dan pendek. Panjang – pendeknya pola tataniaga ini berpengaruh
terhadap harga yang diterima petani.
Harga kopi dunia ditentukan oleh suatu organisasi di Amerika
yaituInternational Coffee Organization (ICO). Harga kopi di tingkat petani sangat
berbeda dengan harga yang telah ditentukan oleh ICO. Harga kopi arabika di
tingkat petani berkisar Rp 10.000,00 sampai Rp 13.000,00 per kg dan harga kopi
robusta berkisar Rp 16.000,00 sampai Rp 17.000,00 per kg. Harga rata-rata kopi
arabika Bulan Juni 2013 di pasar dunia adalah 123,6 US $/ lbs atau setara dengan
Rp 27.006,00/ kg dan harga kopi robusta adalah 1786 US $/ ton atau setara
dengan Rp 17.860,00/ kg. Petani kopi arabika memiliki produksi, proses
pengolahan, dan harga yang berbeda dengan kopi robusta. Oleh sebab itu,
pendapatan petani kopi arabika dan kopi robusta juga berbeda.
Jenis kopi di Kabupaten Dairi yang sangat digemari oleh masyarakat adalah
kopi robusta. Kopi robusta memiliki cita rasa yang khas, sehingga petani kopi
robusta mengalami kejayaan pada masa lalu. Pada dekade terakhir ini, harga kopi
robusta semakin menurun karena penurunan kualitas dan kuantitas kopi
robusta.Usahatani kopi robusta dianggap tidak menguntungkan lagi, sehingga
banyak petani mengganti tanaman kopi robusta dengan tanaman kopi lain. Petani
mengganti tanaman kopi robusta dengan kopi arabika dan coklat. Data BPS 2012
menunjukkan bahwa produksi kopi arabika jauh lebih banyak dibanding kopi
robusta (arabika 8.570,2 ton dan robusta 2.753,9 ton). Berkurangnya produksi
kopi robusta di Kabupaten Dairi menjadikan kopi robusta bukan lagi komoditas
ekspor melainkan menjadi konsumsi lokal saja.
Jenis kopi banyak diusahatanikanpetani di Kabupaten Dairi adalah kopi
arabika. Berkembangnya usahatani kopi arabika memacu berkembangnya usaha
dagang kopi arabika yang berfungsi sebagai pelaku usaha distribusi kopi arabika.
Berkembangnya usaha dagang kopi arabika ini dilihat dari banyaknya gudang-
4
gudang penyimpanan kopi. Gudang penyimpanan kopi arabika ini dimiliki oleh
pedagang besar (toke). Kopi arabika yang disimpan dalam gudang ini akan
distribusikan ke eksportir. Semua kopi arabika yang dihasilkan di Kabupaten
Dairi didistribusikan keluar daerah karena sebagian besar masyarakat tidak tahu
bagaimana untuk mengolah kopi arabika tersebut.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka timbul pertanyaan penelitian berikut :
1. Bagaimana rantai distribusi kopi arabika dan kopi robusta di Kabupaten
Dairi ?
2. Bagaimana peran kopi terhadap kesejahteraan petani kopi di Kabupaten
Dairi ?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pertanyaan penelitian di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah :
1. Mengidentifikasi aliran distribusi kopi arabika dan kopi robustadi
Kabupaten Dairi.
2. Mengidentifikasiperanan kopi terhadap kesejahteraan petani kopi di
Kabupaten Dairi.
1.4. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:
1. Penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi untuk penelitian
selanjutnya.
2. Petani dapat menjadikan penelitian ini sebagai sumber informasi untuk
melihat peluang dalam usahatani dan distribusi kopi .
3. Analisis tataniaga komoditas kopi dapat digunakan sebagai rekomendasi
kepada pemerintah agar pemerintah turut berperan dalam tataniaga kopi.
4. Penelitian ini bermanfaat untuk mengangkat citra kopi sidikalang yang
mulai menurun.
5
1.5. Tinjauan Pustaka
1.5.1. Karakteristik Lahan Kopi
Kopi merupakan salah satu komoditas penting di Indonesia, dimana kopi
telah berbasis ekspor sehingga berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia.
Kopi dapat tumbuh dengan baik di wilayah sekitar garis khatulistiwa.
Indonesia merupakan salah satu wilayah yang sesuai untuk ditumbuhi
tanaman kopi.
Kopi arabika dapat tumbuh baik pada daerah yang memiliki :
Ketinggian 700-1700 mdpl
Suhu 16-20 derajat C
Iklim kering 3 bulan/ tahun yang mendapat hujan kiriman
Peka terhadap serangan penyakit HIV terutama pada tanaman kopi dengan
ketinggian lebih rendah dari 500 mdpl
Rata-rata produksi sedang sekitar 4,5 sampai 5 ku kopi beras/ ha/ tahun.
Apabila kopi dikelola dengan intensif, rata-rata produksi bias mencapai 15
sampai 20 ku/ ha/ tahun.
Rendemen ± 18 %.
Kopi robusta dapat tumbuh baik pada derah yang memiliki :
Ketinggian 400-700 mdpl
Suhu 21-24 derajat C
Iklim kering 3-4 bulan/ tahun yang mendapat hujan kiriman sebanyak 3-4
kali
Rata-rata produksi tinggi sekitar 9 sampai 13 ku kopi beras/ ha/ tahun. bila
dikelola dengan intensif, maka rata-rata produksi bias mencapai 20 ku/ ha/
tahun.
Rendemen ± 22 %.
6
1.5.2. Produksi, Konsumsi dan Ekspor Kopi di Indonesia
Indonesia merupakan produsen kopi terbesar urutan keempat di dunia
setelah Brazil, Vietnam, dan Colombia. Berdasarkan data dari Asosiasi
Ekspotir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI), Indonesia mengekspor kopi
sekitar 350 ribu ton/ tahun yang terdiri dari 85 persen kopi robusta dan 15
persen kopi arabika. Indonesia mengekspor kopi ke lebih 50 negara. Menurut
AEKI negara yang paling banyak mengimpor kopi dari Indonesia adalah
USA, Jepang, Jerman, Italia, dan Inggris.
Produksi kopi di Indonesia diperoleh dari perkebunan rakyat, perkebunan
besar Negara, dan perkebunan besar swata. Berdasarkan data yang diperoleh
dari AEKI(2012) produksi kopi Indonesia diperoleh dari 96,1 persen
perkebunan rakyat, 1,9 persen perkebunan besar negara dan 2 persen
perkebunan besar swasta. Data ini menunjukkan bahwa produksi kopi di
Indonesia didominasi oleh perkebunan rakyat. Menurut data dari Pusat Data
dan Sistem Informasi Pertanian (2013), produksi kopi di Indonesia pada tahun
2011 sekitar 638.647 ton dan pada tahun 2012 sekitar 657.138 ton. Dengan
demikian pertumbuhan kopi di Indonesia 2011 – 2012 adalah 2,9 persen.
Sumatera Utara merupakan salah satu daerah pemasok kopi di Indonesia. Pada
tahun 2012 Sumatera Utara memiliki produksi kopi sebanyak 57.479 ton atau
sekitar 8,9 persen produksi kopi Indonesia. Produksi kopi di Indonesia tahun
2012 terdiri dari 601.092 ton (80,4 persen) kopi robusta yang sebagian besar
diperoleh dari Lampung, Sumatera Selatan dan Bengkulu dan 147.017 ton (
19,6 persen) kopi arabika yang diperoleh dari Aceh, Sumatera Utara, Jawa
Timur, dan Sulawesi Selatan.
Indonesia mengekspor kopi sekitar 69 persen dari total produksi kopi,
sedangkan 31 persen digunakan memenuhi kebutuhan lokal (dalam negeri).
Indonesia mengekspor kopi dengan tiga jenis kopi yaitu kopi biji, kopi instan,
dan kopi olahan lainnya. Tahun 2012 Indonesia mengekspor kopi sebanyak
520.275 ton yang terdiri dari 446.279 kopi biji, 274.604 kopi instan, dan 7.005
kopi olahan lain.
7
Mengkonsumsi kopi telah menjadi sebuah budaya dimana kemajuan
teknologi yang semakin meningkat telah mengubah cara masyarakat Indonesia
dalam mengkonsumsi kopi. Sebagian besar kopi dengan kualitas bagus
diekspor ke luar negeri, sedangkan kopi dengan kualitas terbatas atau rendah
menjadi konsumsi dalam negeri.
Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia mengklasifikasikan industri kopi di
Indonesia dalam tiga kelompok, yaitu :
a. Industri kopi olahan kelas kecil (Home Industry)
Industri kopi kelas ini bersifat rumah tangga yang terdiri dari tenaga kerja
kurang dari 3 orang atau yang merupakan anggota keluarga. Industri rumah
tangga kopi kelas keci ini banyak ditemukan di seluruh daerah penghasil kopi.
Biasanya industri kelompok belum mendapat ijin dari Dinas Perindustrian
atau Dinas POM.
b. Industri kopi olahan kelas menengah
Industri pengolahan kopi kelompok ini mengolah kopi menjadi kopi bubuk
atau produk kopi olahan lain yang kemudian dipasarkan di berbagai wilayah
seperti wilayah kecamatan atau kabupaten tempat produk tersebut dihasilkan.
Produk kopi dalam kemasan sederhana biasanya telah mendapat ijin dari
Dinas Perindustrian.
c. Industri kopi olahan kelas besar
Industri pengolahan kopi kelompok ini mengolah kopi dalam produksi
besar seperti kopi bubuk, kopi instant (kopimix) dan kopi olahan lain yang
dipasarkan di berbagai daerah dan ekspor. Pada umumnya, produk dalam
kemasan ini telah memiliki nomor merek dagang atau label lain. Contoh
industri ini adalah PT. Nescafe.
8
1.5.3. Pemasaran (Tataniaga) Pertanian
Pemasaran pertanian merupakan proses yang dilakukan petaniterhadap
hasil pertanian setelah panen maupun setelah pengolahan hasil panen.
Pemasaran menurut Bell (1996) adalah suatu perencanaan strategis yang
diterapkan untuk mencapai keuntungan dalam memenuhi kebutuhan
konsumen secara integrasi usaha ke belakang (backward linkage) dan
integrasi usaha ke depan (forward linkage). Integrasi usaha ke belakang
bertujuan untuk menjamin ketersediaan bahan baku, sedangkan integrasi ke
depan lebih menekankan proses pemasaran.
Mc. Charthy dan Jr. Perceaunt (1996) membagi pemasaran dalam dua
jenis yaitu pemasaran mikro dan pemasaran makro. Pemasaran mikro adalah
perilaku-perilaku yang dilakukan untuk memperoleh tujuan organisasi atau
perusahan dalam memenuhi kebutuhan konsumen dengan cara mengontrol
aliran barang dan jasa dari produsen ke konsumen. Pemasaran makro adalah
proses sosial dalam mengatur arus barang dan jasa dari produsen ke konsumen
melalui interaksi permintaan dan penawaran, sehingga mencapai tujuan
masyarakat.
Menurut Downey dan Erikson (1989) pemasaran merupakan ilmu yang
mengidentifikasi aliran barang dan jasa secara fisik dan ekonomis dari
produsen ke konsumen melalui lembaga pemasaran.
Pemasaran pertanian menurut FAO (1958) merupakan kegiatan-kegiatan
ekonomi yang terjadi selama proses perjalanan suatu komoditi pertanian dari
prosusen sampai ke tangan konsumen. Thomson (1951) mendefinisikan
bahwa pemasaran pertanian merupakan aktivitas agen perdagangan dalam
menghubungkan pergerakan hasil pertanian baik dalam bentuk baku maupun
bentuk olahan berdasarkan aspek permintaan dan penawaran dari produsen
dengan konsumen. Aktivitas pemasaran ini berpengaruh terhadap pelaku-
pelaku pemasaran seperti petani, pedagang perantara dan pengolahan, dan
industri.
Menurut Abbott dan Makeham (1979) pemasaran pertanian dimulai dari
tingkat usahatani dimana hasil pertanian yang diperoleh petani biasanya tidak
9
dapat langsung memenuhi kebutuhan konsumen. Hasil pertanian memiliki
sifat musiman, sementara kebutuhan konsumen bersifat kontinyu dari tahun ke
tahun. Hasil pertanian biasanya masih dalam bentuk bahan mentah, sehingga
hasil pertanian tersebut perlu untuk diolah lebih lanjut sesuai kebutuhan
konsumen. Lokasi produksi pertanian memiliki jarak yang jauh dengan lokasi
konsumen, sehingga dibutuhkan sarana transportasi dalam mendistribusikan
hasil pertanian tersebut. Kondisi yang terjadi dalam pemasaran pertanian ini
akan berpengaruh terhadap biaya pemasaran, sehingga terjadi perbedaan biaya
di setiap tingkat pelaku usaha.
Menurut Mubyarto (1989) sistem pemasaran (tataniaga) dianggap efisien
apabila memenuhi dua kategori yaitu pertama, produsen (petani) mampu
menyampaikan hasil-hasil pertanian kepada konsumen dengan biaya keluar
yang semurah-murahnya. Kedua, adanya pembagian yang adil dari
keseluruhan harga yang dibayar konsumen (pelaku terakhir) terhadap semua
pelaku yang ikut dalam produksi dan tataniaga hasil/ barang tersebut.
Lembaga pemasaran pertanian adalah badan usaha atau individu yang
melakukan pemasaran dalam mendistribusikan komoditi atas jasa dari
produsen ke konsumen yang juga memiliki hubungan dengan badan usaha
atau individu lain. Lembaga pemasaran dibedakan dalam tiga kelompok
berdasarkan penguasaan terhadap komoditi yang dipasarkan. Lembaga
pemasaran pertanian tersebut adalah
1. Lembaga yang tidak memiliki tetapi menguasai produk seperti agen
perantara dan makelar (broker, selling broker, dan buying broker).
2. Lembaga yang memiliki dan menguasai produk pertanian yang dipasarkan
seperti pengumpul, tengkulak, eksportir dan importir.
3. Lembaga pemasaran yang tidak memiliki dan menguasai produk pertanian
yang dipasarkan seperti perusahaan – perusahaan penyedia fasilitas
transportasi, asuransi pemasaran, dan perusahaan penentu kualitas hasil
pertanian.
10
Setiap lembaga pemasaran pertanian melakukan fungsi pemasaran yang
dapat meningkatkan keuntungan dari pemasaran hasil pertanian. Fungsi utama
pemasaran (tataniaga) adalah pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan.
Fungsi pemasaran yang dilakukan oleh lembaga tersebut dikelompokkan
dalam tiga tipe fungsi pemasaran yaitu
1. Fungsi pertukaran (Exchange function)
Fungsi ini terdiri dari fungsi pembelian dan penjualan. Dalam menjalankan
fungsi penjualan, produsen atau lembaga pemasaran pada rantai sebelumnya
harus memperhatikan kondisi produk seperti kualitas, kuantitas, bentuk, waktu
dan harga yang diinginkan konsumen atau lembaga pemasaran berikutnya.
Fungsi pembelian ini meliputi pemilikan komoditi pertanian untuk dikonsumsi
atau digunakan untuk proses produksi selanjutnya. Fungsi pertukaran adalah
agar pembeli memperoleh barang pada waktu, tempat, bentuk, dan harga yang
tepat.
2. Fungsi fisik (Physical function)
Fungsi fisik merupakan kegiatan yang dilakukan terhadap komoditi
pertanian untuk meningkatkan nilai tambah guna tempat dan guna waktu.
Dalam fungsi fisik ini terjadi kegiatan penyimpanan dan pengangkutan
barang. Fungsi pengangkutan ini meliputi perencanaan, pemilihan dan
pergerakan alat-alat transportasi dalam pemasaran produk. Pemindahan
produk ini harus memperhatikan kualitas produk tersebut melalui kondisi
transportasi dan waktu pengangkutan, sehingga tingkat kerusakan produk
dapat diminimalisir. Fungsi penyimpanan bertujuan untuk mengurangi
fruktuasi harga yang berlebihan dan menghindari hama penyakit selama
proses pemasaran. Contoh, harga apel di tempat dimana apel tersebut
diproduksi lebih murah dibandingkan tempat yang tidak memproduksi apel,
sehingga peran transportasi dan penyimpanan sangat berperan pada fungsi
fisik.
11
3. Fungsi penyediaan fasilitas (Facilitating function)
Fungsi penyediaan fasilitas bertujuan untuk memperlancar fungsi
pertukaran dan fungsi fisik. Fungsi penyediaan fasilitas ini terdiri dari usaha-
usaha perbaikan sistem pemasaran yang meliputi standarisasi, penggunaan
resiko, informasi harga dan penyediaan dana.
1.5.4. Manajemen Rantai Pasokan/ Supply Chain Management (SCM)
Menurut Heizer & Rander (2004), manajemen rantai pasokan merupakan
suatu kegiatan yang terdiri dari pengelolaan kegiatan-kegiatan dalam
menjadikan bahan mentah menjadi barang dalam proses, barang setengah jadi,
dan barang jadi, sehingga dapat didistribusikan ke konsumen. Supply Chain
Management (SCM) berkaitan langsung dengan siklus lengkap bahan baku
dari pemasok ke produksi, gudang, dan distribusi kemudian sampai kepada
konsumen. Kegiatan ini mencakup fungsi pembelian tradisional ditambah
kegiatan penting lainnya yang berhubungan dengan pemasok dan distributor.
SCM dapat meliputi penetapan pengangkutan, pentransferan kredit dan tunai,
pemasok, distributor dan bank, utang dan piutang, penggudangan, pemenuhan
pesanan, dan membagi informasi mengenai ramalan permintaan, produksi, dan
kegiatan pengendalian persediaan.
Supply Chain Management (SCM) menurut Simchi-Levi, et al. (2003)
merupakan serangkaian pendekatan yang digunakan untuk mengintegrasikan
pemasok, pengusaha, gudang, dan tempat penyimpanan lainnya secara efisien,
sehingga produk yang dihasilkan dapat didistribusikan dengan kuantitas,
lokasi, dan waktu yang tepat guna untuk memperkecil biaya dan memuaskan
kebutuhan pelanggan. SCM bertujuan untuk membuat seluruh sistem menjadi
efisien dan efektif, meminimalisasi biaya dari transportasi dan distribusi bahan
mentah, bahan dalam proses, dan produk jadi. Pendekatan SCM berorientasi
di sekitar integrasi pemasok, pabrik, gudang, dan toko-toko secara efisien, dan
mencakup kegiatan-kegiatan perusahaan dari level strategis dan taktis sampai
operasional.
12
Definisi rantai pasokan/ Supply Chain menurut Indrajit dan Djokopranoto
(2003) adalah suatu sistem dimana organisasi menjual barang produksi dan
jasanya kepada pelanggan. Rantai ini merupakan jaringan dari berbagai
organisasi yang saling berintegrasi dan memiliki tujuan yang sama yaitu
menyelenggaraan pengadaan dan penyaluran barang sebaik mungkin.
Strategi adalah rencana aksi suatu organisasi dalam mencapai misi.
Strategi SCM dapat digunakan untuk mencapai tujuan suatu organisasi,
dengan demikian produk yang dihasilkan unggul dan mampu bersaing.
Strategi SCM memiliki tujuan sebagai berikut :
a. Cost reduction, strategi SCM dapat digunakan untuk meminimalisasi
biaya logistik
b. Capital reduction, strategi SCM digunakan untuk meminimalisasi tingkat
investasi dalam strategi logistik, dengan demikian biaya variable menjadi
lebih tinggi dibanding strategi dengan level yang lebih tinggi untuk
investasi. Namun pengembalian investasi diharapkan dapat meningkat.
c. Service improvement, perbaikan dan pengembangan pelayanan yang
berbeda dari para pesaing untuk memperoleh pendapatan pada tiap level
pelayanan.
1.5.5. Masalah Pertanian
Menurut Moehar Daniel (2001), ada empat masalah pokok dalam ekonomi
pertanian yaitu waktu usaha tani, biaya usahatani, tekanan penduduk, dan
sistem usahatani. Waktu usaha tani merupakan waktu yang dibutuhkan petani
untuk melakukan usaha tani. Waktu ini terdiri dari persiapan lahan pertanian,
penanaman, perawatan, sampai pemanenan. Semua kegiatan ini membutuhkan
waktu yang tidak singkat dan hasil pertanian juga dipengaruhi oleh musim.
Dengan demikian, petani memiliki masalah dalam hal pemenuhan kebutuhan
karena pertanian yang bersifat musiman.
Biaya usaha tani terdiri dari biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap
(variable cost). Besarnya biaya tetaptidak dipengaruhi oleh banyak sedikitnya
produksi, sehingga biaya tetap dikeluarkan untuk membayar bibit, pupuk,
13
obat-obatan, tenaga kerja, transportasi, pengepakan, dan lain-lain. Biaya tidak
tetap dipengaruhi oleh besar kecilnya produksi yang diperoleh seperti sewa
tanah, pajak, alat-alat pertanian, dll. Petani cenderung memiliki masalah
dengan biaya (modal) yang sedikit, sehingga hasil pertanian menjadi tidak
optimal bahkan mengalami kerugian.
Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkatkan akan mempengaruhi
pengalihanfungsi lahan pertanian. Penduduk yang banyak juga akan
membutuhkan kebutuhan pangan yang meningkat. Dengan demikian lahan
pertanian yang semakin berkurang akan mengalami penurunan hasil untuk
memenuhi kebutuhan penduduk yang banyak.
Sistem usaha tani merupakan sistem yang dilakukan petani untuk
mencapai tujuannya yaitu memenuhi kebutuhan keluarga. Sistem usaha tani
dapat dilihat dari pendistribusian hasil pertanian pasca panen. Petani menjual
hasil pertaniannya untuk memenuhi kebutuhan keluarga dengan harga jual
yang ditentukan oleh pasar, dimana harga pasar tersebut bersifat fruktuatif.
1.5.6. Kesejahteraan Petani
Pengertian kemiskinan ada dua yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan
relatif. Kemiskinan absolut adalah suatu keadaan dimana tingkat pendapatan
tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok seperti pangan, sandang, kesehatan,
pendidikan, dan permukiman. Kemiskinan relatif adalah perbandingan antara
persen pendapatan nasional yang diteriam penduduk berdasarkan kelas
pendapatan tertentu dengan proporsi pendapatan nasional yang diterima
penduduk berdasarkan kelas pendapatan lain.
Kemiskinan menurut Sajogyo (1996)adalah suatu tingkat kehidupan yang
berada di bawah standar kebutuhan hidup minimum yang ditetapkan
berdasarkan atas pengeluaran rumah tangga terhadap kebutuhan pokok
panganyang dilihat dari kebutuhan beras dan kebutuhan gizi.
14
Garis kemiskinan menurut Sajogyo (1996) ditentukan berdasarkan
pengeluaran rumah tangga karena pengeluaran sudah mencakup penghasilan
rumah tangga.
Garis kemiskinan ini dirinci sebagai berikut :
1. Spesifikasi atas tiga garis kemiskinan yang mencakup konsepsi “nilai
ambang kecukupan pangan” (food threshold)
2. Hubungan antara tingkat pengeluaran rumah tangga dengan ukuran
kecukupan pangan (kalori dan protein)
Berdasarkan ciri-ciri garis kemiskinan di atas, maka Sajogyo (1996)
mengklasifikasikan garis kemiskinan di perdesaan dan perkotaan. Klasifikasi
kemiskinan menurut Sajogyo untuk perdesaan adalah :
a. Miskin, pengeluaran rumah tangga di bawah 320 kg nilai tukar beras/
kapita/ tahun.
b. Miskin sekali, pangan tidak cukup di bawah 240 kg nilai tukar beras/
kapita/ tahun.
c. Paling miskin, pengeluaran di bawah 180 kg nilai tukar beras/ kapita/
tahun.
Klasifikasi kemiskinan menurut Sajogyo untuk perkotaan adalah :
a. Miskin, pengeluaran rumah tangga di bawah 480 kg nilai tukar beras/
kapita/ tahun
b. Miskin sekali, pengeluaran rumah tangga di bawah 380 kg nilai tukar
beras/ kapita/ tahun
c. Paling miskin, pengeluaran rumah tangga di bawah 270 kg nilai tukar
beras/ kapita/ tahun
BPS mengukur kemiskinan berdasarkan kemampuan penduduk untuk
memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Jadi, penduduk miskin
adalah penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar makanan dan
bukan makanan secara ekonomi yang diukur dari pengeluaran dimana rata-
rata pengeluaran/ kapita/ bulan di bawah garis kemiskinan.
Garis kemiskinan merupakan penjumlahan antara Garis Kemiskinan
Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Garis
15
Kemiskinan Makanan (GKM) adalah nilai pengeluaran minimum makanan
yaitu 2100 kkal/ kapita/ hari yang diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-
padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan,
buah-buahan, minyak dan lemak, dll). Garis Kemiskinan Non Makanan
(GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan,
dan kesehatan.
Berdasarkan Data Sosial Ekonomi (2013), BPS menentukan garis
kemiskinan penduduk di perdesaan dan perkotaan sebagai berikut :
Tabel 1.1. Garis Kemiskinan Penduduk Perdesaan dan Perkotaan Menurut
Badan Pusat Statistik
1.5.7. Kemiskinan Perdesaan
Hadi Prayitno dan Lincolin Arsyad dalam bukunya (1986) menjelaskan
lima ciri-ciri kemiskinan. Pertama, mereka yang hidup di garis kemiskinan
biasanya tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, dan
keterampilan. Mayarakat miskin tersebut biasanya memiliki pendapatan yang
terbatas.
Kedua, penduduk miskin biasanya tidak memiliki kemungkinan untuk
memiliki faktor produksi karena keterbatasan pendapatan. Penduduk ini juga
tidak memiliki syarat agunan untuk penjam modal di perbankan, sehingga
mereka cenderung meminjam ke “lintah darat” dengan syarat yang tinggi.
16
Ketiga, pendidikan mereka cenderung rendah karena sibuk untuk mencari
nafkah, sehingga tidak memiliki waktu untuk belajar. Demikian juga dengan
pendidikan anak yang rendah karena anak-anak tersebut sibuk membantu
orangtuanya mencari nafkah.
Keempat, sebagian besar mereka tidak memiliki lahan pertanian sendiri,
sehingga mereka bermatapencaharian sebagai pekerja upahan di lahan orang
lain. Hasil pertanian yang bersifat musiman menjadikan penghasilan mereka
tidak tetap, sehingga mereka juga bekerja sebagai tenaga upah selain di
pertanian. Namun, kesempatan bekerja yang dimiliki penduduk miskin ini
dihargai dengan upah yang sedikit. Dan kelima, banyak penduduk yang
memiliki pendidikan dan skill yang rendah berpindah ke kota untuk
memperoleh kehidupan yang lebih layak di perkotaan. Sebagaimana diketahui
bahwa perkotaan tidak mampu menampung gerak urbanisasi dari desa ke kota.
Oleh sebab itu, kemiskinan di perdesaan akan berdampak pada kemiskinan di
perkotaan.
1.6. Landasan teori
Lyn Square (1982) mengatakan bahwa tenaga kerja sektor pertanian di negara
sedang berkembang mengalami tekanan karena ketidakpastian harga dan
ketidakmerataan distribusi modal investasi. Hal ini sangat berpengaruh terhadap
petani kopi, dimana harga kopi sangat dipengaruhi oleh harga pasar dunia. Pada
rantai tataniaga kopi, petani berada pada posisi paling hulu dimana petani tertekan
karena ketidaksesuaian harga antar tingkatan distribusi. Pelaku usaha yang berada
di tingkat paling hilir memiliki kekuatan untuk memperoleh keuntungan
sebanyak-besarnya karena mereka memiliki modal yang besar untuk
menyesuaikan harga dengan petani. Menurut Arman Sudiono (2001) lemahnya
posisi petani dalam sistem tata niaga disebabkan oleh 6 hal yaitu :
- Bagian pangsa pasar (market share) yang dimiliki petani umumnya sangat
kecil, sehingga petani bertindak sebagai penerima harga (price taker).
17
- Produk pertanian diproduksi secara masal dan homogen, sehingga apabila
petani menaikkan harga komoditi yang dihasilkan akan menyebabkan
konsumen beralih ke petani lain.
- Komoditi yang dihasilkan mudah rusak (perishable), sehingga harus
secepatnya dijual tanpa memperhitungkan harga.
- Lokasi produksi terpencil dan sulit dicapai oleh transportasi yang mudah dan
cepat.
- Petani kekurangan informasi harga dan kualitas serta kuantitas yang
diinginkan konsumen, sehingga petani mudah diperdaya oleh lembaga-
lembaga pemasaran yang berhubungan langsung dengan petani.
- Adanya kredit dan pinjaman dari lembaga pemasaran kepada petani yang
bersifat mengikat.
Dilihat dari sisi selain harga pasar, pelaku-pelaku usaha yang memperpanjang
rantai tataniaga pertanian tidaklah selalu memberi kerugian bagi petani. Menurut
Mubyarto (1989) pelaku usaha seperti tengkulak desa atau kecamatan justru
membantu petani untuk menjual hasil pertaniannya karena petani memiliki hasil
pertanian dengan waktu utuh yang terbatas, jarak yang jauh dengan konsumen,
dan transportasi yang kurang memadai. Apabila hasil pertanian ini tidak
disalurkan, maka hasil pertanian tersebut hanya akan menjadi konsumsi petani
saja. Selain itu, panjangnya tataniaga pertanian juga memberi penghidupan
kepada pelaku usaha yang tidak memiliki lahan pertanian.
Harga kopi yang diberlakukan kepada petani mempengaruhi kesejahteraan
petani tersebut. Apabila kesejahteraan petani semakin ditekan maka produksi kopi
akan semakin menurun karena petani merupakan produsen kopi yang
membutuhkan biaya untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kopi. Menurut
Sajogyo (1996), kesejahteraan petani dapat dilihat dari pengeluaran terhadap
kebutuhan minimum pangan per kapita yang disetarakan dengan nilai tukar beras
di daerah tertentu. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Sajogyo
mengklasifikasikan kemiskinan menjadi tiga kelas yaitu miskin, miskin sekali,
dan paling miskin.
18
1.7. Kerangka pemikiran
Ilmu geografi memiliki tiga pendekatan yaitu pendekatan keruangan (spatial
approach), pendekatan ekologis (ecological approach), dan pendekatan kompleks
wilayah (regional approach). Pembangunan wilayah merupakan aplikasi dari
ilmu georgrafi. Pembangunan wilayah meliputi wilayah perdesaan (rural) dan
wilayah perkotaan (urban). Wilayah perdesaan (rural) identik dengan sektor
pertanian. Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, sektor pertanian
merupakan sektor yang paling besar dalam menyumbang PDRB. Namun,
pertanian di perdesaan mengalami berbagai permasalahan. Salah satu masalah
tersebut adalah tataniaga hasil pertanian. Panjangnya tataniaga pertanian ini
mempengaruhi harga di tingkat petani. Rendahnya penghasilan petani dari sektor
pertanian akan mempengaruhi kesejahteraan petani di perdesaan.
Tiga pilar pembangunan di Kabupaten Dairi adalah pertanian, pendidikan, dan
kesehatan. Kabupaten Dairi memiliki lahan pertanian yang luas. Komoditas
pertanian unggulan di kabupaten ini adalah padi, buah-buahan, sayur-sayuran, dan
komoditas ekspor seperti kopi, sawit, karet, kemenyan, dll. Suburnya tanah di
kabupaten ini sangat mendukung produktivitas pertanian. Salah satu hasil
pertanian yang sangat diunggulkan di kabupaten ini adalah kopi yang terdiri dari
kopi arabika dan kopi robusta. Kopi ini dikenal dengan “kopi sidikalang” atau
“kopi sigarar utang”. Luasnya perkebunan kopi rakyat di kabupaten ini tentu
memberi kontribusi terhadap pendapatan daerah karena kopi sidikalang (arabika)
adalah berbasis ekspor.
Kebun kopi di Kabupaten Dairi merupakan perkebunan rakyat. Peran
komoditas kopi dalam memberi kontribusi terhadap pendapatan daerah tentu
memiliki pelaku-pelaku usaha yang mendistribusikan kopi tersebut sampai ke luar
negeri. Secara garis besar pelaku-pelaku usaha pendistribusian kopi arabika di
Kabupaten Dairi adalah petani, pengumpul, pedagang, dan eksportir. Sedangkan
pelaku-pelaku usaha pendistribusi kopi robusta di Kabupaten Dairi adalah petani,
pengumpul, industri kopi bubuk, dan konsumen. Selain pelaku-pelaku usaha
tersebut, perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam untuk mengetahui
pelaku-pelaku usaha lain yang ikut terlibat dalam mendistribusikan kopi tersebut.
19
Melalui penelitian tersebut, maka dapat diketahui bagaimana proses
pendistribusian kopi arabika mulai dari petani sampai kepada eksportir dan proses
pendistribusian kopi robusta mulai dari petani sampai kepada konsumen. Proses
distribusi kopi ini diperoleh dari hasil wawancara dari setiap pelaku usaha yang
terlibat, sehingga diketahui kemana arah dan tujuan pelaku usaha
mendistribusikan komoditas tersebut.
Pelaku-pelaku usaha yang berperan dalam mendistribusikan komoditas kopi
tentu memperoleh keuntungan yang berbeda. Perbedaan keuntungan ini
dipengaruhi oleh perbedaan harga jual kopi di setiap tingkat pelaku usaha.
Perbedaan harga kopi di setiap tingkat pelaku usaha tentu akan sangat
mempengaruhi pelaku usaha tingkat paling bawah yaitu petani. Petani yang
berperan sebagai produsen kopi justru mendapat keuntungan yang rendah akibat
panjangnya rantai distribusi kopi. Apabila hasil kopi tidak dapat meningkatkan
kesejahteraan petani, maka petani akan mengalihfungsikan lahan kopi menjadi
lahan pertanian lainnya. Pengalihanfungsi lahan kopi ini sudah marak terjadi di
Kabupaten Dairi. Banyak petani yang mengganti tanaman robusta menjadi arabika
karena robusta yang dianggap sudah tidak menguntungkan lagi. Petani robusta di
Kecamatan Silima Pungga-Pungga telah mengantitanaman robusta menjadi
tanaman coklat. Hal ini menunjukkan bahwa petani cenderung mengikuti trend
pertanian dalam hal pengalihan fungsi lahan kopi untuk memenuhi kebutuhan
keluarga tani dan meningkatkan kesejahteraan petani.
20
Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran
Komoditas Unggulan
Pertanian di Kab. Dairi
Kopi (Robusta dan
Arabica)
Kesejahteraan petani
Proses
Petani
Pedagang Eksportir
Permintaan - Penawaran
Geografi Pembangunan Wilayah
Rural Urban
Masalah pertanian
(tataniaga pertanian)
21
1.8. Keaslian Penelitian
Tabel 1.2. Penelitian Sebelumnya
Nama Peneliti
Judul Penelitian Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
Novianti Prihatiningsih (2007)
Analisis Efisiensi Rantai Pasokan Komoditas Bawang Merah : Studi Kasus di Kotamadya Bogor
1. Menganalisis pengelolaan rantai pasokan (Supply Chain) komoditas bawang merah di Kota Bogor
2. Menganalisis efisiensi saluran rantai pasokan bawang merah di Kota Bogor
Wawancara terstruktur dan tidak terstruktur, Analisis Deskriptif, Analisis Efisiensi Rantai Pasokan
1. Aliran rantai komoditas bawang merah di Kota Bogor terdiri dari anggota primer (pengirim, pedagang besar, pedagang pengecer, konsumen rumah tangga dan industri) dan anggota sekunder (lembaga pengangkutan/ jasa transportasi, produsen kemasan, buruh angkut dan produsen atau pedagang mesin pengiris bawang).
2. Berdasarkan analisis marjin pemasaran, saluran pemasaran yang paling efisien adalah pengirim – pedagang besar pasar induk Kemang – pedagang pengecer pasar baru Bogor –
konsumen. Hella Mayang Shinta (2010)
Efisiensi Saluran Perdagangan Komoditas Gambir dengan Analisis Value – Chain di Kabupaten Lima Puluh Kota Provinsi Sumatera Barat
1. Mengidentifikasi saluran perdagangan komoditas gambir
2. Mengidentifikasi efisiensi saluran perdagangan komoditas gambir
3. Mengidentifikasi alasan pelaku usaha melakukan penjualan gambir
4. Mengidentifikasi nilai tambah komoditas gambir
Wawancara semi terstruktur, Analisis Deskriptif
1. Pola saluran perdagangan komoditas gambir terdiri dari petani gambir, pengumpul, dan eksportir.
2. Saluran perdagangan komoditas gambir masih berada pada koridor efisien.
3. Alasan pelaku usaha memilih tujuan penjualan karena faktor sistem berlangganan yang berlaku, keterikatan finansial, kecocokan, sistem kekeluargaan, dan faktor kepercayaan.
4. Peningkatan nilai tambah petani berada pada proses pengempaan. Pada tingkat pedagang pada proses pengeringan, pemisahan kualitas, dan pengepakan. Pada tingkat eksportir pengeringan, pengelompokan jenis, pengepakan, dan pemberian merk.
Maimun (2009)
Analisis Pendapatan Usahatani dan Nilai Tambah Saluran Pemasaran Kopi Arabika Organik dan Non Organik
1. Menganalisis pendapatan usahatani kopi arabika organik dan non organik berdasarkan penerimaan petani dan total biaya yang dikeluarkan dalam usahatani.
2. Menganalisis lembaga pemasaran
Wawancara, Analisis deskriptif kuantitatif dan kualitatif
1. Pendapatan usahatani kopi arabika organik lebih besar dibanding arabika non organik.
2. Saluran pemasaran kopi arabika organik dan non organik adalah petani – pengumpul desa – pengumpul kota (besar) – industri bubuk kopi Ulee Kareng.
3. Margin pemasaran kopi arabika organik lebih besar dibanding
22
(Studi Kasus Pengolahan Bubuk Kopi Ulee Kareng di Banda Aceh)
yang terlibat dalam pemasaran kopi arabika organik dan non organik dan peranan dari setiap lembaga yang terlibat.
3. Menganalisis efisiensi pemasaran kopi arabika organik dan non organik dnegan menghitung marjin dan farmer‘s share.
4. Menganalisis nilai tambah bubuk kopi organik dan non organik industri pengolahan bubuk kopi Ulee Kareng.
non organik, sedangkan farmer’s share kopi arabika non organik lebih besar dibanding organik.
4. Nilai tambah kopi arabika organik lebih besar dibanding non organik.
Veronika Reni Wijayanti (2010)
Usahatani Kakao dan Tingkat Ekonomi Petani di Desa Banjarasri Kecamatan Kalibawang Kabupaten Kulon Progo
1. Mengidentifikasi faktor fisik dan non fisik yang berkaitan dengan usahatani kakao
2. Mengetahui pengelolaan usahatani kakao di Desa Banjarasri Kecamatan Kalibawang
3. Mengetahui produksi kakao di Desa Banjarasri Kecamatan Kalibawang Kabupaten Kulon Progo
4. Mengetahui tingkat ekonomi petani kakao di Desa Banjarasri Kecamatan Kalibawang Kabupaten Kulon Progo
Observasi, wawancara, analisis deskriptif kuantitatif.
1. Kondisi fifik sesuai untuk budidaya tanaman kakao dan kondisi non fisik yang berkaitan bagi usahatani kakao adalah modal, tenaga kerja, transportasi, pemasaran, fasilitas kredit, dan teknologi.
2. Pengelolaan usahatani kakao di Desa Banjarasri adalah pembibitan tanaman kakao, pengolahan lahan pertanaman, penanaman, pemupukan, pemeliharaan tanaman, pengendalian hama dan penyakit, panen dan pengolahan pasca panen.
3. Sebanyak 34,28 % responden memproduksi kurang dari 50 kg kakao kering/ tahun per 1000 m² dengan pendapatan bersih petani sebesar Rp 1.536.100,00.
4. Tingkat kemiskinan rumah tangga petani kakao Desa Banjarasri terdiri dari 74,29 % di atas garis kemiskinan, 15,71 % paling miskin, 2,86% miskin sekali, dan 7,14 miskin.Tingkat kesejahteraan rumah tangga petani kakao Desa Banjarasri terdiri dari 61,43% sejahtera tahap I, 14,29% pra sejahtera, 17,14 % sejahtera tahap II, 1,43% sejahtera tahap III, dan 5,71% sejahtera tahap III plus.
Erick Sitanggang (2008)
Analisis Usahatani dan Tataniaga Lada Hitam (Studi Kasus : Desa Lau Sireme,
1. Mengetahui keadaan teknologi budidaya dan ketersediaan input produksi di daerah penelitian.
2. Mengetahui kelayakan usahatani lada di daerah penelitian.
Wawancara, kuesioner, analisis deskriptif kuantitatif dan kualitatif
1. Teknologi budidaya usahatani lada masih bersifat tradisional dan ketersediaan input produksi cukup tersedia.
2. Usahatani lada di daerah penelitian layak untuk diusahakan berdasarkan nilai (per petani) NPV = 3.130.502,39 ; Net B/C = 4,47 ; IRR = 48,85 %.
23
Kecamatan Tiga Lingga, Kabupaten Dairi)
3. Mengetahui saluran tataniaga lada hitam di daerah penelitian.
4. Mengetahui biaya tataniaga dan share margin pada setiap saluran pemasaran lada di daerah penelitian.
5. Mengetahui pengaruh harga di tingkat produsen terhadap pedagang dan konsumen.
3. Saluran tataniaga lada adalah petani – pengumpul kecamatan – pedagang besar di Medan – pedagang pengecer – konsumen.
4. Biaya pemasaran yang dikeluarkan pengumpul sebesar Rp 398,2/ kg ; pedagang besar Rp 74,5/ kg ; dan pedagang pengecer Rp 60,4 %.
5. Nilai elastisitas transmisi harga sebesar 1,67 % (setiap perubahan harga 1 % di tingkat pengecer akan mengakibatkan kenaikan harga sebesar 1,67 % di tingkat petani).
Sriulina Shinta Lingga (2013)
Rantai Distribusi Kopi Dalam Peningkatan Kesejahteraan Petani Kopi di Kabupaten Dairi
1. Mengidentifikasi aliran distribusi kopi arabika dan kopi robusta di Kabupaten Dairi
2. Mengidentifikasi bagaimana peran kopi terhadap kesejahteraan petani kopi di Kabupaten Dairi
Kuesioner, Wawancara terstruktur, Analisis deskriptif
1. Rantai distribusi kopi arabika lebih panjang dan bervariasi dibanding kopi robusta di Kabupaten Dairi. Kopi arabika didistribusikan untuk memenuhi kebutuhan global sedangkan kopi robusta didistribusikan untuk memenuhi kebutuhan lokal. Pelaku usaha yang terlibat dalam distribusi kopi arabika adalah petani, pengumpul kecamatan, pengumpul kabupaten, pedagang besar (toke), pabrik (PT. Wahana), dan eksportir. Pelaku usaha yang terlibat dalam distribusi kopi robusta adalah petani, pengumpul kecamatan, pengumpul kabupaten, industri kopi bubuk, dan konsumen.
2. Kesejahteraan petani kopi arabika lebih tinggi dibanding kesejahteraan petani kopi robusta. Petani arabika yang berada pada rantai distribusi pendek terdiri dari 91,67 persen tidak miskin dan 8,33 persen miskin, sedangkan petani arabika yang berada pada rantai distribusi panjang terdiri dari 76 persen tidak miskin dan 24 persen miskin. Petani robusta yang berada pada rantai distribusi pendek terdiri dari 50 persen tidak miskin dan 50 persen miskin, sedangkan petani robusta yang berada pada rantai distribusi panjang terdiri dari 37,5 persen tidak miskin dan 62,5 persen miskin. Persentase kemiskinan petani lebih tinggi pada rantai distribusi kopi panjang.