bab i pendahuluan -...

14
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota-kota di Pulau Kalimantan memiliki kaitan yang erat terhadap sungai. Hal ini dikarenakan kota-kota tersebut merupakan kota yang mengalami perkembangan dari jejalur sungai. Kota-kota besar di Pulau Kalimantan yang memiliki kaitan erat dengan sungai antara lain, Kota Samarinda, Kota Pontianak, Kota Palangkaraya dan Kota Banjarmasin. Kota-kota diatas merupakan kota perairan dengan jejaring sungai dan kanal sebagai jejaring utama perkembangan kota. Kota Pontianak dengan Sungai Kahayan, Kota Samarinda dengan sungai Mahakam, Kota Palangkaraya dengan sungai Kapuas dan Kota Banjarmasin dengan sungai Barito dan Sungai Martapura Kawasan tepian air sendiri bergantung terhadap kondisi geografis sebuah kawasan. Kawasan yang berbatasan dengan laut, selat dan teluk tentu berbeda terhadap kawasan yang dialiri atau berbatasn dengan sungai dan kanal. Kota- kota di Pulau Kalimantan sebagaian besar merupakan kota yang berkembang dari jejalur sungai dan kanal. Menurut Prayitno (dalam Yudha, 2010) terdapat 8 tipologi kota tepian air di Kalimantan yang terbentuk berdasarkan aliran sungai. Kota Banjarmasin tergolong pada tipologi bagian 5, dimana kota ini berkembang bermula pada kawasan muara Sungai Kuin yang kemudian menjadi cikal bakal Kota Banjarmasin. Gambar 1.1. Posisi kota-kota tepian sungai di Pulau Kalimantan Sumber: Heldiansyah, 2010 Gambar 1.2. Tipologi kota-kota perairan di Pulau Kalimantan Sumber: Prayitno (dalam Yudha, 2010)

Upload: buikhanh

Post on 09-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB IPENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kota-kota di Pulau Kalimantan memiliki kaitan yang erat terhadap sungai.

Hal ini dikarenakan kota-kota tersebut merupakan kota yang mengalami

perkembangan dari jejalur sungai. Kota-kota besar di Pulau

Kalimantan yang memiliki kaitan erat dengan sungai antara

lain, Kota Samarinda, Kota Pontianak,

Kota Palangkaraya dan Kota Banjarmasin.

Kota-kota diatas merupakan kota perairan

dengan jejaring sungai dan kanal sebagai

jejaring utama perkembangan kota. Kota

Pontianak dengan Sungai Kahayan, Kota

Samarinda dengan sungai Mahakam, Kota

Palangkaraya dengan sungai Kapuas

dan Kota Banjarmasin dengan sungai

Barito dan Sungai Martapura

Kawasan tepian air sendiri bergantung terhadap kondisi geografis sebuah

kawasan. Kawasan yang berbatasan dengan laut, selat dan teluk tentu berbeda

terhadap kawasan yang dialiri atau berbatasn dengan sungai dan kanal. Kota-

kota di Pulau Kalimantan sebagaian besar merupakan kota yang berkembang

dari jejalur sungai dan kanal. Menurut Prayitno (dalam Yudha, 2010) terdapat 8

tipologi kota tepian air di Kalimantan yang terbentuk berdasarkan aliran sungai.

Kota Banjarmasin tergolong pada tipologi bagian 5, dimana kota ini berkembang

bermula pada kawasan muara Sungai Kuin yang kemudian menjadi cikal bakal

Kota Banjarmasin.

Gambar 1.1. Posisi kota-kota tepian sungai di Pulau KalimantanSumber: Heldiansyah, 2010

Gambar 1.2. Tipologi kota-kota perairan di Pulau Kalimantan Sumber: Prayitno (dalam Yudha, 2010)

2

1.1.1. Gambaran Umum Kota Banjarmasin sebagai Kota Tepian Sungai

Seperti halnya kota-kota lainnya dipulau Kalimantan, Kota Banjarmasin

merupakan kota yang memiliki kaitan erat terhadap jejaring sungai. Hubungan ini

telah berlangsung selama ratusan tahun sebelumnya. Sejak dahulu sungai-

sungai di Kota Banjarmasin dimanfaatkan sebagai sarana penggerak

perekonomian, antara lain sebagai jalur perdagangan sehingga tidak

mengherankan banyak ditemukan pasar pada bagian tepian sungai di Kota

Banjarmasin. Selain sebagai sarana penggerak perekonomian, sungai-sungai di

Kota Banjarmasin juga masih gunakan sebagai pendukung kegiatan harian

masyarakat seperti mandi dan mencuci. Pada saat-saat tertentu tiap tahunnya

juga diadakan festival pada sungai utama seperti Sungai Martapura, misalnya

Festival Perahu Naga, Festival Tanglong, dll.

Kota Banjarmasin secara geografis berada pada 0.16 meter di bawah

permukaan air laut dengan struktur tanah rawa berlumpur, menjadikan kota ini

begitu lekat terhadap kondisi perairan. Kota Banjarmasin dikenal dengan julukan

“Kota Seribu Sungai” hal ini dikarenakan 40% wilayah dari Kota Banjarmasin

merupakan aliran sungai besar dan kecil yang saling berpotongan. Kota ini dialiri

oleh 4 sungai utama, yaitu Sungai Barito, Sungai Martapura, Sungai Kuin,

Sungai Kelayan, keempat sungai tersebut saling terhubung satu sama lain.

Sebagai kota perairan tentunya perkembangan dan pertumbuhan kota

lebih berorientasi pada perairan, dalam hal ini jejaring sungai dan kanal yang

terdapat di Kota Banjarmasin. Sejak dahulu masyarakat di Kota Banjarmasin

terbiasa memanfaatkan sungai sebagai urat nadi penopang kehidupan, atau bisa

dikatakan sungai tidak dapat terpisahkan dari kehidupan mereka sehari-hari.

Kegiatan harian lebih banyak dilakukan pada kawasan tepian sungai mulai dari

mandi, mencuci hingga perniagaan. Setelah masa kemerdekaan orientasi

masyarakat terhadap sungai sudah mulai berubah. Hal ini diakibatkan

pertumbuhan moda transportasi darat yang dianggap lebih mudah dan efisien.

Gambar 1.3. Kehidupan masyarakat Kota Banjarmasin pada masa lampauSumber: Museum Lambung Mangkurat, 2012

3

Banyak lahan yang pada dasarnya berupa rawa kemudian dilakukan pengurugan

dan pemadatan sebagai langkah mempermudah pembangunan fasilitas dan

jejaring jalan yang terdapat pada kawasan daratan.

Sedikit demi sedikit orientasi masyarakat terhadap sungai kemudian

mulai berkurang, sungai dianggap sebagai bagian belakang dari setiap

bangunan, tempat mereka membuang segala limbah dan segala hal yang tidak

diinginkan. Walaupun sungai-sungai besar di Kota Banjarmasin masih digunakan

sebagai moda transportassi, namun beberapa sungai kecil di kota ini mengalami

penyempitan dan akhirnya mati. Tercatat kurang lebih terdapat 117 sungai pada

tahun 1997, kemudian pada 2002 berkurang menjadi 70 sungai, lalu hingga pada

tahun 2004 hanya tersisa 60 sungai dan jumlah ini terus mengalami penurunan

tiap tahunnya (Dinas Kimprasko Banjarmasin dalam Heldiansyah, 2010).

Gambar 1.4. Foto udara Kota Banjarmasin tahun 2008Sumber: maps.google.co.id, 2008 (akses: Juli 2012)

!

"#$%&’!

(&)’*+!

"#$%&’!,#’$!

"#$%&’!,-.&/&$!

"#$%&’!0&)*&1#)&!

4

Sungai dan kehidupan disekililingnya merupakan buah warisan budaya

kota ini, karena sungai merupakan saksi sejarah terbentuknya kota ini. Pada

awal perkembangan Kota Banjarmasin, pola permukiman di kota ini berbentuk

linier mengikuti alur sungai-sungainya. Hal ini dapat dilihat dari rumah-rumah

tradisional yang masih bertahan hingga sekarang. Rumah-rumah tradisional ini

menghadap ke sungai. Ketergantungan masyarakat yang bermukim di sepanjang

jalur sungai terhadap sungai ini sangat besar, karena berkaitan dengan mata

pencaharian mereka sebagai pedagang yang menggunakan sungai sebagai jalur

perdagangan. (Kasnowiharjo dalam Heldiansyah, 2004).

Selain permukiman tentunya terdapat beberapa objek lain yang terdapat

pada bagian tepian sungai yang merupakan warisan budaya yang di anggap

sebagai kekhasan Kota Banjarmasin. Objek ini hadir akibat terjadinya proses

adaptasi yang dilakukan masyarakat dengan lingkungannya guna melaksanakan

kegiatan harian masyarakat. Kehidupan sehari-hari masyarakat yang sangat

dekat dengan sungai yang telah memberikan manfaat yang besar bagi

masyarakat, menjadikan mereka memiliki ketergantungan terhadap sungai.

Hubungan kuat ini di tunjukkan dengan adanya akses langsung menuju sungai

baik dari jejalur darat maupun dari rumah-rumah mereka. Akses atau jejalur ini

disebut masyarakat lokal sebagai “Titian”.

Gambar 1.5. Gambaran degradasi jumlah sungai di Kota BanjarmasinSumber: Heldiansyah, 2010

5

1.1.2. Titian sebagai Salah Satu Identitas Kota Banjarmasin

Sebagai kota yang dikenal memiliki banyak sungai dan kanal, kota ini

memiliki jaringan penghubung yang khas pada setiap kawasan tepian sungai di

Kota Banjarmasin berupa “titian”. Titian sendiri merupakan nama lokal yang

diberikan oleh masyarakat lokal Kota Banjarmasin. Titian lahir dari kedekatan

hubungan daratan dan perairan pada masa lampau, dimana pada masa lalu

sungai-sungai di Kota Banjarmasin merupakan jaringan utama di kota tersebut.

Sehingga setiap fungsi dan kegiatan diusahakan memiliki akses langsung

terhadap sungai dan darat, jadi tidak mengherankan jika di tepian-tepian sungai

Kota Banjarmasin banyak ditemukan titian.

Titian berfungsi sebagai jaringan penghubung pada kawasan. Umumnya

titian berada pada kawasan permukiman lama Kota Banjarmasin tetapi banyak

juga ditemukan titian pada kawasan-kawasan komersial dan jasa. Jaringan

penghubung ini memiliki konstruksi sederhana, umumnya menggunakan tiang

dari kayu besi dengan lantai juga terbuat dari bahan yang serupa. Hal ini

dikarenakan kayu besi merupakan bahan yang memiliki ketahanan terhadap air

dan waktu. Kondisi tanah Kota Banjarmasin yang didominasi oleh lahan rawa

dan berair juga menjadi salah satu pertimbangan pada masa lalu masyarakat

menggunakan titian sebagai jalur penghubung.

Gambar 1.6. Titian sebagai upaya mendekatkan akses daratan menuju perairan juga sebaiknya.

Sumber: Observasi, 2013

6

Titian sendiri memiliki ragam bentuk mulai dari yang menggunakan

konstruksi sederhana konstruksi yang lebih kompleks seperti ilustrasi berikut:

Berdasarkan ilustrasi diatas bentuk fisik titian dapat dibagi menjadi 3 (tiga) sistem

konstruksi utama dengan penjelasan sebagai berikut:

• Tipe 1: Merupakan sistem konstruksi titian paling sederhana, menggunakan

papan ulin sebagai titian. Umumnya hanya digunakan

menghubungkan antar bangunan dengan jarak tidak lebih dari 3 m.

• Tipe 2: Merupakan sistem modifikasi dari tipe 1, dengan dimensi yang lebih

besar. Umumnya berfungsi sebagai penghubung dengan intensitas

penggunaan yang lumayan sering. Papan melintang selain berguna

sebagai penyatu papan landasan, juga berfungsi sebagai pijakan jika

titian ini digunakan sebagai penghubung antara 2 elevasi yang

berbeda.

• Tipe 3: Merupakan tipe yang paling banyak ditemukan. Menggunakan sistem

konstruksi yang lebih kompleks dengan adanya tiang dan lantai.

Titian ini lebih kuat daripada 2 tipe titian sebelumnya.

1.1.3. Kondisi Titian dan Kawasan Tepian Sungai di Kota Banjarmasin

Sebagai cikal bakal pembentuk jaringan tepian sungai, titian memiliki

hubungan yang sangat erat terhadap kehidupan masyarakat Kota Banjarmasin,

terutama yang tinggal pada kawasan tepian sungai. Kondisi titian saat ini

sebagian besar sangat memprihatinkan baik dari segi kondisi maupun jumlah.

Gambar 1.7. Ragam sistem konstruksi titian beserta perletakannyaSumber: Observasi, 2013

7

Banyak titian yang telah lapuk dimakan usia dan banyak titian yang telah

digantikan dengan tanah urug. Tentunya ini berpengeruh terhadap kondisi

ekologis pada kawasan tepian sungau. Terjadinya kondisi tersebut tidak lain

diakibatkan semakin berkembangnya pembangunan pada jaringan darat

dibanding pada jaringan perairan.

Titian umumnya banyak ditemui pada kawasan permukiman, namun

tidak jarang titian juga ditemukan pada kawasan selain permukiman, seperti

kawasan jasa dan komersial. Kesamaan dari kedua hal tersebut adalah

perletakkan titian yang berada pada kawasan tepian sungai. Perbedaan titian

Gambar 1.8. Beberapa titian dengan kondisi yang memprihatinkanSumber: Observasi, 2013

Gambar 1.9. Salah satu titian yang berubah menjadi jalur daratSumber: Observasi, 2013

8

yang terdapat pada kedua kawasan tersebut berupa perbedaan fisik sebagai

akibat hubungan perairan dan daratan beserta pengaruhnya terhadap fungsi

kawasan tersebut, tentunya dengan beragam fungsi yang digunakan oleh warga.

Mengingat fungsi permukiman merupakan fungsi yang paling banyak berada

pada kawasan tepian sungai di Kota Banjarmasin, sehingga titian pada kawasan

ini berfungsi sebagai penghubung antar massa bangunan, maupun sebagai

media perpindahan moda angkutan dari darat menuju sungai. Kawasan

permukiman ini umumnya telah lama ada di kawasan kota, bermula dari

kampung-kampung etnik yang di bentuk oleh pemerintahan Kolonial Balanda

pada saat itu (Museum Lambung Mangkurat dalam Yudha, 2010). Saat ini

kawasan permukiman tersebut menjadi semakin padat dengan segala

permasalahan perkotaan yang semakin kompleks, seperti kekumuhan,

kepadatan tinggi hingga bahaya resiko kebakaran.

Gambar 1.10. Kawasan Muara Kuin tempo dulu Sumber: Museum Lambung Mangkurat, 2012

(a) (b)Gambar 1.11. Kawasan Muara Kuin saat ini,

(a) Titian yang terintegrasi dengan dermaga kapal motor (klotok), (b) Titian yang terintegrasi dengan fungsi komersial.

Sumber: Observasi, 2012

9

Titian yang berada pada kawasan komersial lebih sebagai media

perpindahan moda angkutan, hal ini dikarenakan umumnya fungsi komersial

tersebut dipadukan dengan dermaga baik dermaga penumpang maupun

dermaga pengangkutan barang. Kawasan komersial di Kota Banjarmasin

umumnya berada pada tepian sungai, mengingat pada zaman dahulu sungai

merupakan jaringan utama transportasi di Kota Banjarmasin.

Secara umum titian, menjadi penghubung terhadap beragam fungsi

kegiatan baik yang terdapat pada perairan dan daratan. Namun sebagai aset

Kota Banjarmasin titian memiliki kondisi yang memprihatinkan, karena tidak

adanya regulasi yang mengatur tentang titian tersebut, bahkan pada beberapa

kawasan titian tersebut sengaja dihilangkan sebagai imbas kebijakan penataan

kawasan permukiman yang dinilai kumuh dan semerawut pada tepian sungai.

(a) (b)Gambar 1.12. Kawasan komersial tepian Sungai Martapura tempo dulu,

(a) Kawasan Pasar Baru, (b) Titian yang terintegrasi dengan fasilitas umum (toilet apung)

Sumber: Museum Lambung Mangkurat, 2012

(a) (b)Gambar 1.13. Kawasan tepian Sungai Martapura kini,

(a) Titian yang terintegrasi dengan dermaga, (b) Titian yang terintegrasi dermaga, toilet apung dan fungsi jasa (pergudangan)

Sumber: Observasi, 2012

10

Beberapa tahun belakangan Pemerintah Kota Banjarmasin berusaha

melakukan penataan terhadap kawasan tepian sungai dengan mengembalikan

orientasi bangunan menuju kearah sungai, dengan demikian sungai menjadi

halaman depan dari tiap-tiap kawasan tepian air. Beberapa kawasan tepian

ditata ulang dengan membentuk jejalur yang sejajar dengan jalan atau disebut

promenade pada tepian sungainya, hal ini efektif untuk menghilangkan

kekumuhan dan kesemerawutan kawasan dengan konsep beautification. Namun

seperti halnya dua sisi mata uang hal ini kemudian memberikan dampak yang

berbeda terhadap keterhubungan kawasan darat dan perairan. Perbandingan

titian dan promenade pada kawasan tepian di Kota Banjarmasin dapat dilihat

pada tabel berikut:

(a) (b)Gambar 1.15. Dampak kebijakan terhadap penghilangan bangunan tepian sungai,

(a) Kawasan Pierre Tendean dengan promenade,(b) Kawasan Pasar Sudimampir dengan promenade

Sumber: Observasi, 2012

Gambar 1.14. Kondisi titian pada kawasan permukimanSumber: Observasi, 2012

11

Tabel 1.1. Komparasi titian dengan promenade

Sumber: Observasi, 2012

12

Beragam permasalahan pada kawasan tepian sungai di Kota

Banjarmasin berusaha di selesaikan dengan desain promenade oleh pihak yang

berwenang, misalnya kesemerawutan, kekumuhan. Permasalahan ini terjadi

tidak lain dikarenakan oleh sungai dianggap sebagai bagian belakang rumah,

sehingga kesemerawutan dan ketidak teraturan tidak dapat dihindari lagi terjadi

pada kawasan tepian sungai di Kota Banjarmasin. Kesemerawutan pada

kawasan tepian sungai juga mengakibatkan acaman bencana lain, seperti

kebakaran. Tidak kurang sekitar 2 kejadian kebakaran terjadi setiap harinya di

Kota Banjarmasin.

1.2. Rumusan Permasalahan

Sebagai kota yang memiliki kaitan perkembangan yang erat tehadap

sungai, Kota Banjarmasin semestinya mengembangkan kota dengan melakukan

integrasi yang lebih erat antara segmen perairan dan daratan. Titian sebagai

“jembatan” antara jejaring daratan dan perairan merupakan cikal bakal jejaring

kota kini perlahan mulai terdegradasi baik secara kualitas maupun secara

kuantitias. Selain diakibatkan kebijakan pemerintah daerah terhadap kawasan

tepian sungai di kota tersebut, peran masyarakat juga menjadi salah satu

penyebab terdegradasinya titian di Kota Banjarmasin. Beberapa titian mulai

Gambar 1.16. Sebaran resiko kebakaran akibat tingginya tingkat kepadatan bangunan di Kota Banjarmasin

Sumber: bbarus.staff.ipb.ac.id (akses September 2012)

13

lapuk dimakan usia dengan konstruksi seadanya juga mengabaikan aspek

keselamatan selain itu titian telah berubah menjadi jalur gang dengan melakukan

penimbunan dengan alasan efektifitas dan tahan lama. Hilangnya titian sebagai

jaringan dengan karakteristik lokal kawasan berakibat pada menurunya

hubungan daratan dan perairan pada kawasan. Degradasi yang terjadi pada

kawasan tepian sungai pada umumnya berupa degradasi akses fisik daratan dan

perairan. Tidak jarang akses visual pada kawasan juga menjadi terdegradasi dari

daratan menuju perairan ataupun sebaliknya.

Seiring dengan semakin berkembangnya pembangunan pada kawasan

daratan pembangunan pada kawasan perairan semakin kabur tanpa

memperhatikan nilai-nilai lokal masyarakat. Hal inilah yang menjadi pentingnya

peningkatan baik kualitas maupun kuantitas pada kawasan tepian sungai di Kota

Banjarmasin. Salah satu langkah peningkatan yang dapat ditempuh adalah

dengan melakukan konsolidasi pada kawasan-kawasan tepian air tentunya

dengan memperhatikan nilai lokal masyarakat. Berdasarkan pemaparan kondisi

diatas perlu dilakukannya penelitian mendalam terhadap objek titian yang

menjadi cikal bakal jaringan di Kota Banjarmasin. Adapun pertanyaan penelitian

yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana potensi dan kekurangan titian sebagai jaringan pada kawasan

tepian sungai di Banjarmasin?

2. Bagaimana konsep konsolidasi berdasarkan potensi dan kekurangan

titian guna meningkatkan dan menguatkan kembali kawasan tepian

sungai di Kota Banjarmasin?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui potensi dan kekurangan titian sebagai jaringan pada

kawasan tepian sungai di Banjarmasin.

2. Menemukan konsep konsolidasi berdasarkan potensi dan kekurangan

titian guna meningkatkan dan menguatkan kembali kawasan tepian

sungai melalui titian sebagai karakterisitik pada kawasan tepian sungai di

Kota Banjarmasin

14

Tabel 1.2. Keaslian penelitian

Sumber : Dirangkum dari berbagai karya tesis, 2013