bab i pendahuluan autoimunitas

2
BAB I PENDAHULUAN Dalam keadaan normal, sistem imun dapat membedakan self antigen (antigen tubuh sendiri) dari antigen asing, karena tubuh mempunyai toleransi terhadap self antigen (self- tolerance), tetapi pengalaman klinis menunjukkan bahwa adakalanya timbul reaksi autoimunitas. Idealnya, sistemimun dapat memelihara keseimbangan antara respon yang efektif terhadap antigen lingkungan dansistem pengendalian terhadap sejumlah molekul yang mempunyai kemampuan merusak dirisendiri. (Harnawatiaj. 2008) Autoimunitas adalah respon imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan olehkegagalan mekanisme normal yang berperan untuk mempertahankan self-tolerance sel B, sel T ataukeduanya. Potensi untuk autoimunitas ditemukan pada semua individu oleh karena limfosit dapatmengekspresikan reseptor spesifik untuk banyak self-antigen. (Baratawidjaja. 2006) Autoimunitas terjadi karena self-antigen yang dapat menimbulkan aktivasi, proliferasi Sertadiferensiasisel T autoreaktif menjadi sel efektor yang menimbulkan kerusakan jaringan dan berbagai organ. Respons terhadap self-antigen melibatkan komponen-komponen yang juga terlibatdalam respons imun, seperti antibodi, komplemen, komleks imun, dan cell mediated immunity. Baik antibodi maupun sel T atau keduanya dapat berperan dalam patogenesis penyakit autoimun. (Baratawidjaja. 2006) Dalam populasi, sekitar 3,5 % orang menderita penyakit autoimun. 94 % dari jumlahtersebut berupa penyakit Grave (hipertiroidism), diabetes melitus tipe 1, anemia pernisiosa, artritisreumatoid, tiroiditis, vitiligo, sklerosis multipel dan LES (Lupus eritematosus sistemik). Penyakitdiemukan lebih banyak pada wanita (2,7 kali dibanding pria). (Baratawidjaja. 2006) Dalam autoimunitas, antigen disebut autoantigen, sedang antibodi disebut autoantibodi. Selalutoreaktif adalah limfosit yang mempunyai reseptor untuk autoantigen. Bila sel

Upload: lee-auliea

Post on 15-Nov-2015

220 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

hiii

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUANDalam keadaan normal, sistem imun dapat membedakan self antigen (antigen tubuh sendiri) dari antigen asing, karena tubuh mempunyai toleransi terhadap self antigen (self-tolerance), tetapipengalaman klinis menunjukkan bahwa adakalanya timbul reaksi autoimunitas. Idealnya, sistemimun dapat memelihara keseimbangan antara respon yang efektif terhadap antigen lingkungan dansistem pengendalian terhadap sejumlah molekul yang mempunyai kemampuan merusak dirisendiri. (Harnawatiaj. 2008)

Autoimunitas adalah respon imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkanolehkegagalan mekanisme normal yang berperan untuk mempertahankan self-tolerance sel B, sel T ataukeduanya. Potensi untuk autoimunitas ditemukan pada semua individu oleh karena limfosit dapatmengekspresikan reseptor spesifik untuk banyak self-antigen. (Baratawidjaja. 2006)

Autoimunitas terjadi karena self-antigen yang dapat menimbulkan aktivasi, proliferasiSertadiferensiasisel T autoreaktif menjadi sel efektor yang menimbulkan kerusakan jaringan danberbagai organ. Respons terhadap self-antigen melibatkan komponen-komponen yang juga terlibatdalam respons imun, seperti antibodi, komplemen, komleks imun, dan cell mediated immunity. Baik antibodi maupun sel T atau keduanya dapat berperan dalam patogenesis penyakit autoimun. (Baratawidjaja. 2006)

Dalam populasi, sekitar 3,5 % orang menderita penyakit autoimun. 94 % dari jumlahtersebut berupa penyakit Grave (hipertiroidism), diabetes melitus tipe 1, anemia pernisiosa, artritisreumatoid, tiroiditis, vitiligo, sklerosis multipel dan LES (Lupus eritematosus sistemik). Penyakitdiemukan lebih banyak pada wanita (2,7 kali dibanding pria). (Baratawidjaja. 2006)

Dalam autoimunitas, antigen disebut autoantigen, sedang antibodi disebut autoantibodi. Selalutoreaktif adalah limfosit yang mempunyai reseptor untuk autoantigen. Bila sel tersebutmemberikan respon autoimun, disebut SLR (sel limfosit reaktif). Pada orang normal, meskipunSLR terpajan dengan autoantigen, tidak selalu terjadi respons autoimun oleh karena ada sistem yangmengontrol reaksi autoimun. (Baratawidjaja. 2006)