bab i pendahuluan a. latar...
TRANSCRIPT
7
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sekolah menjadi tempat bagi berlangsungnya proses-proses edukasi bagi siswa secara
tersistem dan bertahap. Sekolah juga merupakan miniatur kehidupan dalam masyarakat.1
Anggapan bahwa sekolah sebagai gambaran tentang dunia yang lebih besar lagi ditunjukkan
melalui adanya proses belajar dan mengajar antara guru dengan siswa. Artinya ada guru,
siswa, dan realitas dunia yang saling berhubungan dalam konteks pemahaman pembelajaran.
Pendidikan yang diselenggarakan di sekolah menetapkan adanya jenjang-jenjang bertahap
yang dimulai dari sekolah dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah
Menengah Atas (SMA), hingga bangku perguruan tinggi.
Sekolah tidak hanya seputar „dunia ruang kelas� beserta tumpukan buku dan tuntutan
agar mencapai prestasi melalui nilai saja. Kegiatan utama ini disebut sebagai kegiatan
intrakurikuler. Di samping kegiatan intrakurikuler terdapat pula fasilitas bagi para siswanya
dengan berbagai bentuk kegiatan penunjang. Organisasi seperti OSIS dan ekstrakurikuler
menjadi ruang alternatif dengan harapan siswa-siswi tidak hanya unggul di bidang akademis
tetapi memiliki kemampuan yang memadai pada ranah soft skill.
Tak hanya itu, keberadaan ektrakurikuler misalnya memiliki fungsi sebagai arena
penyaluran minat dan bakat siswa yang tidak diperoleh di dalam kelas. Pengembangan
prestasi di ranah non-akademis misalnya. Di samping itu juga agar dapat mengasah
kapabilitas siswa dalam membangun jaringan melalui mekanisme-mekanisme yang sifatnya
1 Saksono, Ign. Gatut, Pendidikan yang Memerdekakan Siswa (Yogyakarta:Rumah Belajar Yabinkas), 2008. Hal. 83
8
formal dan organisatoris. Beberapa ekstrakurikuler pilihan yang ditawarkan tentu beragam.
Di antaranya jurnalistik, pasukan baris-berbaris (pleton inti), pecinta alam, teater, public
speaking, paduan suara, basket, kelompok riset dan masih banyak lagi.
Namun kegiatan-kegiatan yang kemudian terorganisir dalam bentuk organisasi
ekstrakurikuler ini tidak menutup kemungkinan munculnya ruang-ruang lain di luar itu.
Ruang ini terbentuk atas asas kolektifitas para siswa yang ada di dalam sekolah sehingga
tidak berada di bawah payung regulasi sekolah. Ruang lain yang tumbuh di dalam lingkup
sekolah yang bisa dikatakan merupakan ruang minor. Arti dari ruang minor itu sendiri terkait
dengan sifatnya yang cenderung mengarah pada hal-hal negatif dan ilegal. Dunia pendidikan
dewasa ini masih disibukkan oleh problem kemunculan geng-geng pelajar yang meresahkan,
tidak hanya bagi warga sekolah tetapi secara lebih luas lagi bagi masyarakat. Maraknya aksi-
aksi kekerasan antar geng pelajar di berbagai kota masa kini kian menambah catatan buram
dunia generasi muda.
Seiring dengan peningkatan kualitas pendidikan di Yogyakarta, dari tahun ke tahun
angka tawuran pelajar di kota ini turut meningkat. Kasus yang terjadi tidak semua
diselesaikan melalui jalur penal atau hukum pidana tetapi ada yang diselesaikan melalui jalur
non penal dengan mediasi atau musyawarah secara kekeluargaan. Di tahun 2009 angka kasus
kekerasan tertinggi dilakukan oleh pelajar tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) yaitu
sebesar 50%. Sementara untuk kalangan pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) prosentase
yang ditunjukkan sebesar 6,77%.2 Meski demikian, kasus kekerasan antar pelajar SMA
marak terjadi. Beberapa sumber menunjukkan bahwa angka atau penurunan dari segi
kuantitas belum pasti mampu merepresentasi keadaan yang sebenarnya. 2 Dikutip dari Kurnia Budi Nugroho. Pendekatan Penal dan Non Penal dalam Penyelesaian Tindak Pidana Penganiayaan dan Pengeroyokan Oleh Pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) di Yogyakarta. 2010. Skripsi Fakultas Hukum UII: Yogyakarta.
9
Pada beberapa kasus bahkan hingga menyebabkan adanya korban jiwa yang
meninggal dunia. Salah satu aksi kekerasan yang identik dengan pelajar adalah tawuran antar
geng sekolah. Bermula sejak tahun 1990-an, khazanah geng remaja di Yogyakarta mulai
banyak diwarnai geng sekolah setingkat SMA, yaitu geng yang dibentuk oleh para siswa
sekolah tersebut.3 Sifat keanggotaan geng ini eksklusif karena tiap geng beranggotakan
siswa-siswa sekolah itu sendiri. Nilai dan norma yang diyakini oleh geng sebagai kelompok
sosial ini cenderung bersifat eksklusif karena dijadikan suatu tanda dari adanya identitas yang
berbeda dengan kelompok lain.
Studi-studi mengenai geng pelajar ini telah banyak dilakukan oleh para akademisi
dengan fokus-fokus kajian yang beragam. Tetapi jika ditarik benang merah dapat
disimpulkan bahwa ternyata sekolah juga memiliki kecenderungan dalam memunculkan
arena reproduksi kekerasan secara sosial dan kultural yang dilakukan oleh para siswanya. Hal
yang menarik adalah kontradiksi yang tercipta dengan hadirnya geng pelajar dengan segala
bentuk negativitasnya justru terjadi di dalam sekolah. Selama ini sekolah dianggap sebagai
poros area yang membentuk individu-individu terpelajar dan beradab melalui internalisasi
nilai-nilai serta proses yang mendidik.
Sementara sekolah selama ini diharapkan menjadi lingkungan pembentuk kepribadian
individu yang terpelajar dan berbudi. Fenomena ini mendorong peneliti mengasumsikan
bahwa mungkin ada beberapa aspek kebutuhan dari sebagian diri siswa yang tidak
„tertangkap� oleh pihak sekolah. Hingga pada akhirnya para siswa sendirilah yang berinisiatif
menciptakan ruang alternatif baru bagi mereka sehingga dirasa kebutuhan mereka yang tidak
tertampung sekolah terpenuhi. Salah satu ruang ini muncul dalam bentuk geng. 3 Jatmika, Sidik. Genk Remaja (Yogyakarta:Penerbit Kanisius), 2010. Hal. 85
10
Sebagian sekolah di beberapa kota bahkan menyandang predikat “sekolah tawur”.
Salah satunya SMA Negeri 6 Yogyakarta. Sebagian besar pelajar sekolah ini dikenal
seringkali terlibat aksi tawuran antar pelajar dengan sekolah lain. Image ini telah cukup lama
lekat di sekolah yang kini mulai lebih dikenal sebagai sekolah berbasis riset. Geng pelajar
sekolah ini bernama GNB. GNB sendiri merupakan kepanjangan dari “Gerakan Non Bodjo”
yang berarti para anggotanya adalah para siswa SMA 6 yang tidak memiliki kekasih.
Sebelumnya geng ini bernama De Pazter (Depan Pasar Terban). Nama kelompok ini
digunakan karena letak sekolah yang berhadapan dengan Pasar Terban di sebelah Barat.
Sebagai sebuah bentuk kelompok, GNB dimaknai oleh para anggotanya sebagai
wadah yang menguatkan solidaritas antar angkatan, terutama bagi siswa laki-laki. Meski
demikian mereka menganggap bahwa seluruh siswa SMA Negeri 6 Yogyakarta merupakan
anggota GNB yang harus dibela tanpa kecuali. GNB berdiri bukan sebagai sebuah organisasi
resmi seperti OSIS, ekstrakurikuler atau bersifat melembaga sekalipun. GNB ada atas dasar
solidaritas tiap angkatan. Basis kekuatan kelompok ini berupa ikatan komunal yang terjalin
antar angkatan bahkan dengan para alumni.
Di sisi lain, keberadaan kelompok ini justru dianggap oleh pihak sekolah sebagai
sesuatu yang harus dihindari oleh siswa-siswanya terutama bagi peserta didik angkatan
pertama. Hal ini disebabkan karena aktivitas kelompok yang cenderung negatif dan
membahayakan diri sendiri serta nama baik sekolah. Sejak awal tahun 2000-an kelompok
pelajar ini seringkali terlibat adu fisik atau tawuran dengan kelompok pelajar dari SMA lain.
Pada umumnya sebagian besar geng pelajar memiliki bentuk-bentuk aktivitas yang
seragam di antaranya aksi coret-coret tembok sebagai sebuah penanda identitas dan wilayah
kekuasaan, klithih (istilah yang kurang lebih berarti “mencari musuh di jalanan”) hingga
berujung pada aksi-aksi yang mendorong konflik maupun kekerasan secara terbuka. Tidak
11
terkecuali GNB. Kenakalan anggota geng pelajar ini sangat dikenal tidak hanya antar pelajar SMA tetapi juga oleh masyarakat Yogyakarta.
Menurut penuturan beberapa orang guru, siswa-siswa SMA 6 dikenal tak dapat
dikendalikan oleh guru. Bahkan terkadang guru yang menerima akibat dari kekerasan yang
mereka lakukan. Selain itu tak jarang ada siswa menginap di sekolah. Pada intinya, siswa-
siswa sangat sulit diatur. Sementara semangat dalam berkelahi cukup tinggi.
Sebagai arena sosialisasi sekaligus pendidikan, sekolah berpotensi melahirkan
berbagai bentuk kebudayaan di dalamnya. Geng pelajar GNB dalam hal ini tergolong sebagai
sebuah folklor, yang kurang lebih dimaknai sebagai sub kultur dari sesuatu yang bersifat
kolektif yang didistribusikan dan diwariskan turun-temurun melalui tradisi. Reproduksi nilai-
nilai kelompok ini dilakukan dengan cara yang terbuka sehingga membuat bergabungnya
para siswa secara sukarela akibat dari internalisasi simbol yang kurang tepat.
Kaum muda, dalam hal ini remaja khususnya, diposisikan sebagai salah satu sumber
patologi4 sosial. Mereka dianggap tidak hanya sebagai agen dalam pendefinisian ulang nilai-
nilai, tetapi juga menunjuk pada kisah-kisah pembangkangan. Bradley menyebutkan saat ini
kaum muda dipahami lekat dengan perilaku devian yang keluar dari nilai dan aturan normatif
lingkungan tertentu. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor. Beberapa di antaranya berada di
dalam ruang lingkup kondisi kejiwaan remaja yang secara umum memiliki sifat-sifat : (1)
ingin diperhatikan (2) senang berfantasi (3) mengandalkan rasa “aku” nya (4) ingin
mengetahui masalah seksual dan lain sebagainya. Sekolah, sebagai arena sosialisasi yang
penting dalam pembentukan kepribadian individu remaja justru menjadi arena cikal-bakal
kenakalan remaja. Salah satunya adalah tawuran antar pelajar. 4 Para ahli sosiologi menyebutnya sebagai segaa bentuk perilaku yang bertentangan dengan norma kebaikan, moral, stabilitas lokal, dan hukum formal.
12
Dalam penelitian ini, peneliti bermaksud menjadikan SMA Negeri 6 Yogyakarta
sebagai obyek kajian terkait dengan geng pelajar bernama GNB yang secara regeneratif
tumbuh di dalamnya. Riset mengenai GNB sendiri pernah dilakukan oleh Muhammad Dwiki
Prastianto, mahasiswa Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM, di dalam
skripsinya yang berjudul Pergulatan Membangun Identitas (Studi Tentang Formasi,
Kontestasi, dan Dinamika Pergulatan Identitas Geng Pelajar GNB di Kota Yogyakarta
Periode Tahun 2005-2010) . Di dalam skripsi tersebut dibahas mengenai aspek-aspek
kekuasaan yang berkembang dalam formasi atau pembentukan identitas geng pelajar dalam
konteks kelompok, serta pergulatan identitas yang berlangsung di dalam tubuh GNB sebagai
kelompok sosial yang sarat oleh hal-hal yang sifatnya patologis.
Dom Helder Camara dalam skripsi Tantra Gumilar dengan judul “Reproduksi Nilai
Kekerasan Langsung Gang Sunday Morning Cartoon” menyebutkan bahwa kekerasan tidak
berdiri sendiri. Ia muncul sebagai rantai fantasi berikutnya sehingga menyebabkan reproduksi
kekerasan yang tidak ada habisnya. Kelompok adalah individu yang mempunyai ikatan
emosional bersama, dimana jika satu kejadian mempengaruhi seseorang dalam kelompok
maka anggota lain akan terpengaruh. Dalam konteks ini keberadaan geng pelajar tetap ada di
setiap angkatan dipengaruhi oleh adanya dendam dari generasi sebelumnya terhadap musuh-
musuh mereka yang kemudian diwariskan kepada generasi baru. Hal ini yang menjadikan
musuh tersebut sebagai musuh bersama.
Pada kesempatan ini melalui pendekatan dan fokus yang berbeda peneliti mencoba
untuk menelusuri motif di balik berdirinya GNB sebagai sebuah ruang atau wadah serta
konsekuensi yang timbul karenanya. Bagaimana siswa yang terlibat di dalam aktivitas geng
mengkonstruksi nilai-nilai kelompok lalu mengasosiasikan dirinya sebagai anggota. Jika
menilik dari aspek resiprokalitas, eksistensi GNB sebagai geng pelajar yang hampir
13
memasuki tahun ke 20 ini tentunya memiliki dinamika mulai dari konstruksi nilai-nilai yang
berkembang hingga dampak yang ditimbulkan terhadap segala bentuk aktivitas internal
siswa. Dinamika yang cenderung menampilkan adanya perubahan pemaknaan nilai inilah
yang menarik. GNB seringkali dipahami sebagai bentuk penyimpangan social yang tercipta
dari dalam lingkungan sekolah. Pernyataan ini bukan tanpa alasan jika melihat aktivitas-
aktivitas yang dilakukan kelompok ini.
Namun mungkin yang luput dari pengamatan selama ini adalah bagaimana individu
dalam kelompok memaknai dan memandang GNB sebagai sebuah wadah, saluran
komunikasi, atau geng. Selama ini pokok perhatian dan persepsi yang diciptakan oleh
masyarakat terkait aktivitas-aktivitas GNB yang cenderung berbau kekerasan hanya
dipusatkan pada sejarah dan setting terjadinya kekerasan tersebut. Sementara di sisi lain
tindakan kekerasan dipahami sebagai instrumen bagi pencapaian tujuan-tujuan individu dan
kelompok. Berbagai tindakan itu pun mengalami penghalusan dari “doing violence” ke
“saying violence” dimana bentuk-bentuk simbolik kekerasan justru menjadi alat negosiasi
dan pembentukan sistem dan tatanan sosial.5
Para anggota GNB yang bersinggungan langsung dengan para siswa yang tidak ikut
serta didalam geng sedikit banyak tentu memberikan implikasi meskipun tidak secara
langsung. Salah satu contohnya bisa dilihat melalui mobilisasi massa saat pemilihan ketua
OSIS tiba misalnya. Indikasi ini timbul karena kuatnya penanaman prinsip-prinsip dan
doktrin kelompok untuk menyamakan visi dan misi seluruh siswa di dalam SMA Negeri 6
tanpa kecuali. Konsep mobilisasi secara politis ini dikonstruksi dengan mewariskan nilai-nilai
bentukan kelompok secara berkelanjutan antar angkatan. 5 Dikutip dari Abdullah, Irwan. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan (Yogyakarta:Pustaka Pelajar), 2006. Hal. 205
14
Hal yang menarik lainnya bahwa GNB telah dibubarkan oleh kelompok itu sendiri.
GNB disebut-sebut telah dibubarkan di tahun 2010 yang lalu setelah cukup dikenal melalui
eksistensinya sejak tahun 1995. Salah satu alasan yang menyeruak ke permukaan adalah
bahwa pembubaran ini berkaitan erat dengan kebijakan yang diterapkan oleh pihak sekolah
sebagai sebuah strategi pengembalian kembali fungsi sekolah sebagai arena pendidikan dan
pembentukan karakter manusia berbudi. Tujuan pendidikan adalah memungkinkan orang
menemukan kepribadiannya, membentuk kepribadiannya dengan memanusiakan manusia.6
Selain itu para alumni7 terutama melihat GNB telah mengalami banyak pergeseran
dari tujuan awal berdirinya dulu sehingga akhirnya diputuskan agar kelompok ini bubar.
Pergeseran seperti apa yang dimaksud tentu berhubungan erat dengan bagaimana melalui
GNB fungsi-fungsi dari sebuah kelompok dipraktekkan di ranah riil, khususnya di
lingkungan sekolah. Peneliti mencoba memfokuskan kajian kepada sejauh mana pergeseran
nilai dalam kelompok terjadi dengan rentang waktu yang tidak pendek. Penelitian ini
nantinya diharapkan dapat menjadi salah satu dokumen rekam jejak historis atas eksistensi
GNB sebagai sebuah kelompok pelajar di Yogyakarta.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana dinamika yang terjadi dalam proses konstruksi nilai-nilai pada GNB
sebagai geng pelajar sejak awal kemunculannya hingga dibubarkan?
2. Bagaimana dampak eksistensi GNB terhadap kegiatan kesiswaan? 6 Diunduh dari http://almasakbar45.blogspot.com/2011/01/sejarah‐dan‐dinamika‐pendidikan.html pada tanggal 12 November 2013 pukul 19.26 WIB 7 Alumni yang dimaksud adalah alumni yang pernah terlibat secara langsung maupun tidak langsung dengan
kegiatan kelompok dalam GNB.
15
C. Tujuan penelitian
1. Melakukan identifikasi secara khusus terhadap fenomena GNB sebagai sebuah
geng dan tujuan-tujuan yang menyertainya
2. Melakukan analisis terhadap kasus geng pelajar GNB pada ragam bentuk kegiatan
para siswa SMA Negeri 6 Yogyakarta.
D. Manfaat penelitian
1. Kontribusi sosiologis bagi dunia akademis melalui hasil penelitian berupa rekam
jejak sejarah mengenai kelompok pelajar di Yogyakarta.
2. Refleksi bagi dunia pendidikan, khususnya para siswa dan tenaga pelajar SMA
Negeri 6 Yogyakarta, agar dapat melihat dari berbagai sisi atas keberadaan geng
pelajar GNB.
E. Kajian pustaka
E.1. Organisasi
Jika merujuk pada fungsi organisasi atau ekstrakurikuler di dalam sekolah sebagai arena
penyaluran potensi siswa yang tak tertampung di ruang kelas rupanya tidak sepenuhnya
tercapai. Philip Selznick menjelaskan organisasi dari perspektif formal dan mikro.
Menurutnya organisasi merupakan ruang dari pembentukan individu-individu untuk
memfasilitasi accomplishment dari beberapa tujuan sekaligus terdapat tujuan dan fungsi yang
menyertai di dalamnya.
Dalam pengembangan lebih jauh konsep organisasi tersebut menjadi lebih luas ke dalam
definisi Chester I. Barnard yaitu “Cooperation of two or more persons, a system of
16
consciously coordinated personal activities or forces”.8 Sebagai sebuah bentuk organisasi
formal di dalam sekolah ekstrakurikuler dirasa seudah cukup mewadahi potensi non
akademik maupun aspirasi para siswanya. Namun rupanya keberadaan ekstrakurikuler tidak
menutup kemungkinan munculnya ruang-ruang lain yang sifatnya non formal atau tidak
berada di bawah payung regulasi sekolah.
E.2. Kelompok Sosial
Suatu kelompok sosial dimaknai sebagai kesatuan individu-individu yang didasari
oleh macam-macam hal. Pembentukan kelompok bisa terjadi karena kesamaan misi, jenis
kelamin, kemiripan asal-usul dan sebagainya. Page dan Mac. Iver9 melihat kelompok sebagai
suatu himpunan atau kesatuan-kesatuan manusia yang hidup bersama, memiliki hubungan
timbal balik, dan memiliki kesadaran untuk saling tolong menolong.
Analogi yang digunakan Olmsted dalam Pengantar Sosiologi Kelompok untuk
menjelaskan secara mendetail tentang kelompok sosial adalah dengan membayangkan orang-
orang yang sedang menyaksikan harimau di kebun binatang. Meskipun berada di tempat yang
sama atau dengan ketertarikan yang serupa, melihat-lihat harimau dari luar kandang, orang-
orang tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai kelompok sosial. Akan berbeda keadaannya
ketika kondisi berubah manakala harimau itu lepas dari kandang sehingga mereka terjebak di
dalam situasi ketakutan yang sama, yang pada akhirnya mendorong satu sama lain untuk
berkoordinasi menyelamatkan diri bersama-sama.
Perubahan status dari sebuah kerumunan ke bentuk kelompok sosial seperti analogi di
atas terjadi ketika masing-masing individu di dalamnya saling berinteraksi dan bekerja
8 Dikutip dari Amitai Etzioni, Complex Organization : A Sociological Reader, 1961 dalam Ndraha, Taliziduhu.Teori Budaya Organisasi.(Jakarta:PT. Rineka Cipta).2005 9 Dalam http://iesdepedia.com/blog/2013/02/13/1008/ diunduh pada tanggal 16 November 2013 pukul 14.06
WIB
17
bersama untuk mencapai satu tujuan yang sama. Meski dari contoh di atas keberadaan
kelompok hanya bersifat sementara. Karakteristik lain yang dimiliki kelompok sosial adalah
terciptanya suatu pola hubungan yang berlangsung secara intens yang kemudian lambat laun
memunculkan bentuk kebudayaan kelompok. Pembentukan gagasan-gagasan atau nilai-nilai
terdiri dari suatu proses pemusatan keputusan yang merupakan kesepakatan bersama.
Hal terpenting dari sebuah kebudayaan kelompok adalah bahwa hal-hal di dalamnya
tercipta sebagai suatu gejala yang mencerminkan kesamaan pandangan mengenai situasi dan
proses kelompok dalam melakukan interaksi dengan masyarakat. Jika suatu kelompok
merupakan bagian dari masyarakat yang lebih besar, maka bisa jadi kebudayaan yang ada di
kelompok tersebut adalah kebudayaan khusus. Namun tidak menutup kemungkinan jika
kebudayaan khusus kelompok tersebut bertentangan dengan kebudayaan masyarakat luas
atau sering disebut counter culture. Misalnya kebudayaan khusus remaja nakal.10
Dalam konteks kelompok, pembentukan identitas dapat dipahami sebagai proses
produksi identitas. Ada mekanisme-mekanisme yang dilakukan untuk menanamkan identitas
tertentu dan menginternalisasikan nilai yang dibawa kelompok. Terapan dari mekanisme-
mekanisme inilah yang membuat identitas kelompok akhirnya diamini individu-individu
didalamnya sebagai identitas sosialnya.11 Terbentuknya sebuah kelompok tidak terlepas dari
adanya ikatan emosional (afeksi) antar individu yang kemudian menimbulkan adanya rasa
memiliki dalam kebersamaan. Pada akhirnya tiap-tiap anggota akan saling terkait dalam
mencapai tujuan-tujuan dan menjalankan peranan dalam kelompok. 10 Soekanto, Soerjono.Pengantar Sosiologi Kelompok.(Bandung:Remadja Karya CV). 1986. Hal. 53 11 Lihat Dwiki Prastianto. Pergulatan Membangun Identitas (Studi Tentang Formasi, Kontestasi, dan Dinamika Pergulatan Identitas Geng Pelajar GNB di Kota Yogyakarta Periode Tahun 2005‐2010). Skripsi Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM: Yogyakarta. 2013.
18
Menurut Soetarno12 melalui kutipan hasil penelitian sosiologi dan psikologi sosial
menunjukkan ciri-ciri kelompok sosial antara lain :
1. Memiliki motif yang sama di antara anggotanya
Kesamaan motif membentuk sebuah kelompok memberikan tenaga moral yang
mustahil diperoleh jika ia sebagai individu hidup sendiri. Motif inilah yang
menjadi pengikat agar tiap anggotanya bekerja bersama untuk mencapai tujuan
tertentu.
2. Adanya sikap in-group dan out-group
Sikap in-group lebih menekankan pada aspek interaksi internal antara anggota
kelompok. Sikap ini juga dapat berarti penerimaan anggota kelompok terhadap
anggota lain yang tergabung di dalam kelompok melalui pembuktian dan
kesediaannya berkorban. Sementara sikap out-group dipengaruhi oleh adanya
perbedaan yang terentang antara satu kelompok dengan kelompok lain. Artinya
sikap ini ditunjukkan manakala kelompok bersinggungan dengan kelompok lain
sebagai aktor eksternal.
3. Adanya solidaritas
Terciptanya sebuah solidaritas tergantung pada tingkat kepercayaan tiap anggota
terhadap anggota lain atas kemampuannya melakukan tugas dengan baik. Aspek
ini seringkali dikaitkan dengan unsur kesetiakawanan satu sama lain. Asumsinya
semakin kuat solidaritas yang terjalin maka akan makin tinggi pula sense of
belonging terhadap kelompok. 12 Dalam Huraerah, Abu. Dinamika Kelompok. (Bandung:PT Refika Aditama). 2006. Hal. 6
19
4. Adanya struktur kelompok
Strukturisasi dalam sebuah kelompok tidak dapat dilepaskan dari bentuk atau sifat
kelompok itu sendiri. Misalnya jika kelompok terdiferensiasi menjadi kelompok
formal dan non formal. Tentu keduanya memiliki struktur yang berbeda. Dalam
konteks ini kelompok non formal memiliki struktur yang cenderung lebih fleksibel
sekalipun tetap ada posisi-posisi fungsional yang dimiliki anggota.
5. Adanya norma-norma yang disepakati kelompok
Norma yang dimaksud disini dimanifestasi kan sebagai pedoman yang mengatur
tingkah laku individu, tentang apa yang boleh dan tidak dilakukan. Dalam
kelompok non formal seperti geng, norma-norma yang dijalankan biasanya tidak
tertulis namun disepakati bersama.
E.3. Penelitian
Aksi-aksi kekerasan pelajar di Yogyakarta memang menarik untuk dikaji. Beberapa
penelitian tentang tawuran dan eksistensi geng-geng pelajar SMA khususnya telah banyak
dilakukan oleh para akademisi. Penelitian mengenai GNB sendiri pernah dilakukan
sebelumnya oleh Dwiki Prastianto, mahasiswa Jurusan Politik Pemerintahan Universitas
Gadjah Mada angkatan 2008, dalam skripsi yang berjudul “Pergulatan Membangun
Identitas (Studi Tentang Formasi, Kontestasi, dan Dinamika Pergulatan Identitas Geng
Pelajar GNB di Kota Yogyakarta Periode Tahun 2005-2010)”.
Hasil penelitian tersebut mengulas tentang bagaimana identitas kelompok yang dalam
hal ini dipersempit lagi maknanya sebagai geng pelajar GNB dikonstruksi oleh para
anggotanya secara turun-temurun. Di dalamnya dijelaskan bagaimana aktivitas-aktivitas
dan ritualisme geng justru dipahami oleh anggotanya sebagai bentuk lain atau alternatif
20
dalam membela nama baik almamater. Kebanggaan yang diperoleh dengan membawa
nama sekolah ini memunculkan anggapan bahwa geng tersebut mewakili sebuah
almamater tertentu. Geng pelajar adalah sekelompok siswa yang menegaskan diri mereka
dalam sebuah nama. Pada umumnya geng pelajar terbentuk dalam sebuah lingkup
almamater yang sama. Dalam perkembangannya, geng pelajar ini dekat sekali dengan
kegiatan-kegiatan yang dapat dikatakan negative.
Jika dilihat dari proses interaksional, identitas GNB ini merupakan identitas sosial
yang keberadaanya dihasilkan melalui proses yang cenderung deduktif. Dimana dalam
perspektif model ini, kelompok GNB dimaknai sebagai sumber identitas sosial individu
didalamnya. GNB pada dasarnya telah memiliki dan mempraktikkan atribut dan nilai-
nilai tertentu yang mengikat anggotanya menjadi satu kesatuan kolektif. Identitas sosial
pada perspektif ini diturunkan oleh kelompok kepada individu, melalui internalisasi nilai
dan atribut kelompok ke dalam konsep diri individu. Identitas sosial dalam model ini
dipahami sebagai konsekuensi logis yang muncul dari interaksi antara individu dan sistem
nilai dalam kelompok, sehingga pada tahap tertentu akhirnya kebiasaan kelompok GNB
ini terikat dan melahirkan kesadaran sebagai seorang anggota kelompok.
Selain itu di dalam bukunya yang berjudul Genk Pelajar, Dr. Sidik Jatmika Msi
memaparkan dengan lengkap dan terperinci mengenai sejarah kemunculan geng-geng
remaja di Yogyakarta termasuk di dalamnya geng-geng pelajar SMA. Kendati ia
menggolongkan bahwa keberadaan geng remaja memiliki stigma negatif, sebenarnya hal
tersebut lebih disebabkan oleh ketidakmampuan para remaja untuk memahami dan
menyepakati aturan-aturan budaya, masyarakat dan komunitas tempat berfungsinya
dengan sebagaimana mestinya. Inilah yang disebut Jurgen Habermas sebagai bentuk
distorsi komunikasi dalam diri remaja.
21
Secara umum menurut Paul B. Horton terdapat tiga langkah dalam mengupayakan
pengendalian dan kontrol atas penyimpangan sosial (social deviation). Pertama,
internalisasi nilai-nilai melalui kelompok informal. Keterlibatan lembaga sosial seperti
keluarga dan sekolah dianggap sebagai salah satu kekuatan untuk menekan pertambahan
jumlah dan aksi-aksi kekerasan geng. Kedua, penerapan hukum pidana. Dengan adanya
sanksi secara hukum diharapkan dapat memberikan efek jera bagi para pelaku tindak
kekerasan pelajar.
Yang terakhir, dekriminalisasi. Artinya ekesistensi geng pelajar ini diakui oleh
negara. Bukan berarti negara melegalkan tindakan-tindakan kriminalitas yang dilakukan
oleh geng pelajar. Sebaliknya disini negara lebih mengarah kepada satu betuk afiliasi
terhadap ekspresi dan potensi yang dimiliki sebuah geng agar dapat dikembangkan ke
arah yang positif. Misalnya dengan pemberian ruang atau media khusus untuk seni grafiti
yang selama ini sering dilakukan di berbagai fasilitas publik yang cenderung meresahkan
masyarakat.
Hingga saat ini definisi spesifik mengenai “geng” itu sendiri belum sepenuhnya jelas.
Namun setidaknya bagaimana sebuah kelompok sosial dikategorikan sebagai geng
diamati melalui beberapa karakteristik. Ciri-ciri utama geng remaja di Indonesia di
antaranya sebagai berikut :
1. Pewarisan nilai-nilai nya didistribusikan melalui tutur kata atau mulut ke mulut.
Hal ini membuka kemungkinan terjadinya perubahan, baik itu pengurangan maupun
penambahan, dalam consensus kelompok tersebut.
2. Sifatnya tradisional. Konsep geng disebarkan dalam bentuk relative tetap di antara
kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama.
22
3. Hadir dalam berbagai versi.
4. Bersifat anonim. Sebagian besar geng pelajar di Yogyakarta khususnya, tidak
diketahui secara jelas siapa dan dimana penciptanya
5. Memiliki pola tertentu
6. Menurut Ted Robert Gurr (dalam buku “Genk Remaja”) geng mempunyai fungsi
sebagai sarana pendidikan, pelipur lara, protes sosial, dan gambaran atau proyeksi
keinginan yang terpendam.
7. Bersifat pralogis karena logika yang digunakan dan disepakati biasanya tidak sesuai
dengan logika secara umum pada masyarakat kebanyakan
8. Menjadi milik bersama dari kolektif tertentu.
9. Menurut Frank Hearn dalam buku yang sama mengatakan bahwa sifat geng
umumnya bersifat polos dan lugu sehingga cenderung tampak kasar atau terlalu spontan.
Hal ini disebabkan karena folklor13 merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur.
F. Kerangka teoritis
(1) Sosiologi Pengetahuan dan Teori Konstruksi Sosial Peter L.Berger dan Thomas
Luckmann
Menurut Collins Dictionary of Sociology, sosiologi pengetahuan merupakan
sebuah cabang ilmu sosiologi yang mengkaji proses-proses sosial yang melibatkan
produksi pengetahuan. Sosiologi pengetahuan menganalisis keterkaitan antara
pengetahuan dan eksistensi serta menelusuri bentuk-bentuk perkembangan intelektual
13 Folklor sering diartikan sebagai sebagian dari kebudayaan dari kolektivitas yang tersebar dan diwariskan
secara turun‐temurun.
23
manusia. Menurut Peter Berger dan Luckmann pengetahuan yang dikembangkan
manusia hingga kini adalah kenyataan. Apa yang ditemui manusia pada kehidupannya
sehari-hari merupakan sesuatu yang mereka tafsirkan. Proses pembentukan
pengetahuan dipengaruhi oleh pola perilaku dan pikiran dari masing-masing individu.
Asumsinya adalah bahwa pengetahuan manusia tidak bisa lepas dari
subjektivitas individu yang memiliki pengetahuan tersebut. Pengetahuan dan
eksistensi merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Semua manusia akan
menangkap realitas berdasarkan perspektif yang dimilikinya. Latar belakang sosial
dan psikologi individu yang memiliki pengetahuan memiliki pengaruh dalam proses
menginterpretasikan dan kemudian memahami pengetahuan tersebut. Konsep awal
sosiologi pengetahuan berasal dari gagasan Karl Marx bahwa keberadaan individu
pada suatu konteks sosial turut mempengaruhi kesadaran dalam pemikiran dan
perspektif individu tersebut.
Poin utama dari sosiologi pengetahuan adalah bahwa terdapat cara-cara
berpikir yang tidak dapat dipahami secara memadai selama asal usul sosialnya tidak
jelas. Sosiologi pengetahuan berupaya memahami pemikiran dalam latar belakang
konkret dari situasi sosial historis tertentu yang memunculkan pikiran individual yang
berbeda-beda secara bertahap-tahap. Konsep ini mengandung pengertian bahwa
sesungguhnya bukan manusia sebagai individu yang berpikir tetapi manusia dalam
kelompok, pikiran manusia sebenarnya merupakan pikiran kelompoknya. Karena
sesungguhnya apa yang ada dalam pikiran seseorang berasal dari kelompok. Sehingga
pemikiran seseorang merupakan cermin dari pemikiran kelompok, pengetahuan
seseorang merupakan cermin pengetahuan kelompok dan pandangan seseorang
merupakan cermin pandangan kelompok.
24
Sosiologi pengetahuan yang dikembangkan oleh Berger dan Luckmann
mendasarkan pengetahuan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sebagai
kenyataan. Mereka menyatakan bahwa dunia kehidupan sehari-hari menampilkan diri
sebagai kenyataan yang ditafsirkan oleh manusia.14 Kenyataan dalam kehidupan
sehari-hari ini sifatnya intersubjektif karena dipahami oleh tiap individu yang ada
dalam masyarakat secara bersama-sama. Meskipun begitu bukan berarti perspektif
dan pemahaman mereka sudah pasti memiliki kesamaan. Beberapa di antaranya
sangat mungkin bertentangan sama sekali. Dapat disimpulkan bahwa kenyataan
dikonstruksi secara sosial. Kunci utama untuk memahaminya adalah dengan
mengintegrasikan kenyataan dan pengetahuan.
Berger menyatakan bahwa masyarakat merupakan kenyataan objektif
sekaligus kenyataan subjektif.15 Masyarakat sebagai kenyataan objektif memberikan
pengertian bahwa individu berada di luar masyarakat. Individu merupakan pembentuk
masyarakat. Sementara masyarakat sebagai kenyataan subjektif, individu tidak dapat
lepas dari masyarakat karena masyarakat juga membentuk individu. Hal tersebut
merupakan implikasi dari sebuah proses yang dikenal dengan dialektika pengetahuan.
Dialektika terdiri atas eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi.
Eksternalisasi merupakan tahap dimana individu menyesuaikan diri dengan
lingkungan sosio kulturalnya dengan pertukaran pengetahuan tentang suatu nilai atau
konsep. Nilai ini nantinya akan dikomunikasikan kepada antar anggota masyarakat.
Eksternalisasi juga berarti pencurahan atau pembentukan kedirian manusia ke dunia.
Manusia, dalam hal ini juga berarti individu, sejak dilahirkan ke dunia belum
14 Dikutip dari http://mkp.fisip.unair.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=119:memahami ‐ teori‐konstruksi‐sosial&catid=34:mkp&Itemid=61 pada tanggal 27 November 2013 pukul 11.35 WIB 15 Berger dalam Ucca Arawindha.2012.Konstruksi Sosial Kematian Orang Dengan AIDS/HIV (ODHA).(Tesis
Jurusan Sosiologi UGM)
25
sepenuhnya dapat dikatakan selesai dalam hal berproses sebagai manusia. Hal inilah
yang membedakan manusia dengan binatang.
Untuk menjadi manusia seutuhnya maka individu harus melewati proses
perkembangan diri serta perolehan budaya. Pembentukan diri ini juga merupakan
sarana untuk menunjukkan eksistensi individu atas individu lain. Dunia individu pada
akhirnya bukan diperoleh secara langsung dan terprogram melainkan dibentuk oleh
aktivitas-aktivitas individu tersebut. Dalam melakukan aktivitas pun tiap individu
akan mengalami persinggungan satu sama lain. Sehingga dibutuhkan tatanan sosial
yang mengatur kehidupan sehari-hari. Dunia bentukan inilah yang disebut sebagai
kebudayaan. Sifat kebudayaan ini tentunya tidak stabil karena selalu mengalami
perubahan. Ini yang menjadi alasan bagaimana individu-individu mereproduksi
kebudayaan secara terus-menerus. Sebagai sebuah produk, baik kebudayaan maupun
tatanan sosial, akan terus diproduksi selama individu mengeksternalisasi diri mereka
dalam setiap aktivitas.
Tahap yang kedua adalah objektivasi. Pada tahap ini nilai yang telah dipahami
didefinisikan kembali pada system of believe dalam kesadaran individu, di sini
pengetahuan akan nilai menjadi realitas obyektif karena nilai telah diakui dalam
masyarakat dan suatu komunitas. Kecenderungan yang dimiliki manusia adalah
repetitif atas tindakannya. Ketika suatu tindakan dirasa memberikan efek positif maka
ia akan mengulang kembali tindakan tersebut. Apa yang diproduksi manusia dan
dihasilkan memperoleh sifat sebagai realitas objektif. Segala bentuk aktivitas manusia
pada tahap eksternalisasi dapat mengalami proses pembiasaan (habitualisasi) dan
kemudian masuk fase pelembagaan (institusionalisasi). Pembiasaan dapat terjadi
melalui pola-pola tertentu dan mungkin saja mengalami inovasi pada prosesnya.
26
Sementara suatu pembiasaan baru dapat dikatakan masuk tahap pelembagaan
manakala terjadi tipifikasi timbal balik antar tiap-tiap tindakan. Tipifikasi tersebut
telah menjadi satu lembaga. Terlebih lagi tipifikasi menjadi milik bersama ketika
telah dibiasakan.
Tahap terakhir dalam proses dialektika adalah internalisasi. Tahapan ini
merupakan proses dimana pemaknaan atas nilai-nilai yang diperoleh individu melalui
dua tahapan sebelumnya ditularkan dan diinternalisasi ke dalam dirinya. Kegiatan
eksternalisasi dan obyektivasi merupakan momen-momen dalam suatu proses
dialektis yang berlangsung terus-menerus, hingga akhirnya membentuk suatu dunia
sosial baru bagi manusia Nilai-nilai dapat berupa agama, kebiasaan hidup, norma,
budaya, dan sebagainya.
G. Metode penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif.
Karakteristik utama dari metode penelitian ini tercermin pada fokus penelitian yang
lebih mementingkan proses daripada hasil sehingga yang dicari bukan pemahaman
mutlak melainkan pemahaman yang mendalam tentang kehidupan sosial. Pada
beberapa fenomena yang tidak dapat dikuantifikasi seperti langkah kerja atau budaya,
metode ini digunakan untuk melakukan eksplorasi lebih detail.
Selain itu metode ini melihat bahwa antara manusia dengan setting memiliki
keterkaitan yang erat. Keduanya tidak dipisahkan ke dalam bentuk-bentuk variabel
tetapi dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh. Keunggulan dari metode ini adalah
ketajaman dan kedalaman pemaknaan yang tersembunyi di antara realitas sosial yang
27
ada tanpa melakukan proses generalisasi. Oleh karena topik penelitian yang dilakukan
cukup kompleks dan berhubungan erat dengan interaksi sosial dan proses sosial maka
metode kualitatif merupakan sebuah alternatif yang tepat.
Metode yang digunakan dalam pengambilan data adalah fenomenologi.
Fenomenelogi berasal dari kata dalam Bahasa Yunani yaitu „phainomai� yang berarti
„menampak� dan „phainomenon� yang berarti „pada yang menampak�.16
Fenomenologi bertujuan untuk melihat lebih jauh tentang apa yang ada di balik
realitas, bukan hanya sekedar menangkap realitas pada permukaannya. Keen
menuturkan bahwa tidak seperti metode lain, fenomenologi lebih dari pendekatan,
sikap, cara menginvestigasi postur dengan serangkaian tujuan.17 Melalui metode ini
peneliti dapat mempelajari pengalaman sehari-hari dari subyek tanpa melakukan
intervensi atau mengkritisi pemahaman tersebut. Artinya fenomenologi berupaya
mengidentifikasi sebuah fenomena secara apa adanya sesuai dengan apa yang
dituturkan individu. Fenomenologi secara sistematis melakukan kontak
berkesinambungan dengan pengalaman-pengalaman. Metode ini mengungkap
kesadaran yang seperti apa yang menuntun individu melakukan sesuatu yang
kemudian menjadi realitas dan bagaimana proses kesadaran itu terbentuk.
Fenomenologi yang dipakai dalam penelitian ini adalah fenomenologi
transendental. Menurut Moustakas fenomenologi transendental atau disebut juga
sebagai fenomenologi psikologi ini hanya sedikit memfokuskan interpretasi peneliti
dan lebih menitikberatkan pada pengalaman yang disampaikan oleh narasumber.
Peneliti sangat dimungkinkan untuk menggali pengalaman, perilaku, esensi dan 16 Diunduh dari http://alldienow.blogspot.com/2011/10/fenomenologi.html pada 24 Desember 2013 pukul 10.40 WIB 17 Lihat Hycner, Richard H.Some Guidelines For the Phenomenological Analysis of Interview
29
pemahaman narasumber sebanyak mungkin. Segala bentuk data tersebut diposisikan
sebagai kesatuan yang saling berhubungan.
Sumber data utama diperoleh melalui wawancara langsung dengan para
narasumber yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam aktivitas geng.
Dalam melakukan wawancara peneliti bertindak secara pasif atau sebagai pendengar
dengan menciptakan suasana yang leluasa bagi narasumber untuk mengungkap
pengalamannya secara spontan. Narasumber dibebaskan bercerita dan tidak
terpengaruh oleh statement atau justifikasi dari peneliti sehingga data atas pengalaman
sehari-hari yang memiliki keterkaitan dengan obyek penelitian sifatnya alamiah dan
segar. Dalam penelitian jenis ini peneliti diharapkan memahami kombinasi yang
tercipta antara realitas dan pengalaman yang dimiliki oleh narasumber. Bila peneliti
menerapkan ukuran atau teorinya sendiri tentang makna tindakan maka dikhawatirkan
peneliti tidak akan menemukan makna yang sama di antara para aktor tersebut.
Data-data berupa pengalaman sehari-hari, latar sosial dan kejadian-kejadian
yang diungkapkan oleh narasumber menjadi aspek utama yang akan dianalisis sebagai
suatu rangkaian proses yang membentuk kesadaran individu tersebut dalam
memaknai fenomena atau mengambil keputusan yang dalam hal ini keikutsertaan
dalam sebuah kelompok atau geng. Perolehan data ini juga dilakukan dengan
mengkombinasi metode historis mengingat penelitian yang dilakukan tidak melihat
dari konteks kekinian melainkan dinamika yang berjalan dari awal eksistensi
kelompok di tahun 1990-an hingga dibubarkan belum lama ini. Kenyataan ini
dipahami peneliti bahwa terdapat kesadaran yang secara tidak sengaja dibentuk oleh
semangat kolektivitas dan kesadaran yang muncul secara spontan dari pribadi yang
bersangkutan.
29 2
2. Lokasi penelitian
Penelitian dilakukan di SMA Negeri 6 Yogyakarta yang beralamatkan di Jl. C.
Simanjutak no.2 Yogyakarta. Namun secara lebih spesifik lagi, penggalian data dan
informasi lebih terfokus di lingkungan sekitar sekolah terutama tempat-tempat
berkumpulnya para mantan anggota geng GNB dan alumni (biasanya di warung
makan atau angkringan).
3. Teknik Pemilihan Informan
Pemilihan informan dalam proses penelitian ini dilakukan berdasarkan beberapa
kriteria utama. Informan dibedakan ke dalam dua jenis yaitu key informan dan non-
key informan. Key informan adalah informan utama yang mengetahui dan memahami
seluk-beluk objek penelitian. Biasanya mereka merupakan orang-orang yang cukup
penting di dalam lingkungan tersebut atau orang-orang yang memiliki posisi penting
dan cukup dekat dengan hal-hal yang berkaitan dengan topik penelitian. Key informan
dalam penelitian ini adalah mereka (para siswa maupun alumni) yang menjadi
penggerak kelompok di tiap angkatan masing-masing.
Secara khusus, key informan berasal dari beberapa angkatan tertentu dengan
rentang waktu antara tahun 1995-2012. Namun tentu tidak secara berurutan dari tiap
angkatan tersebut diambil mengingat pemilahan informan mempertimbangkan
beragam aspek. Misalnya dengan melihat kondisi kelompok di angkatan tersebut,
gejolak dan dinamika, serta adanya peranan aktor yang berpengaruh signifikan.
Alasan periodisasi ini dikarenakan GNB berdiri pada tahun 1995 dan kemudian
disebut-sebut dibubarkan oleh para alumni maupun siswanya pada tahun 2010.
Penggalian data dari angkatan 2011 dan 2012 dilakukan sebagai upaya konfirmasi
30
dengan asumsi masih ada sebagian siswa yang mengatasnamakan diri mereka berada
di bawah bendera GNB.
Sementara non-key informan diposisikan sebagai informan yang memberikan data
pendukung terkait dengan data utama yang telah diperoleh dari key informan. Teknik
pemilihan informan ini dilakukan berdasarkan keberadaannya di lingkungan sekitar
objek penelitian. Non-key informan yang merupakan sumber data pendukung berasal
dari pihak sekolah yaitu para guru dan kepala sekolah sebagai pengambil kebijakan
utama. Selain dari para pemangku kebijakan di lingkup sekolah, para siswa yang tidak
tergabung sebagai anggota GNB namun memiliki pengalaman dengan geng tersebut
juga masuk sebagai non-key informan. Beberapa siswa yang menjadi non key
informan ini rata-rata berasal dari angkatan 2014. Penggalian data di ranah ini sebagai
bentuk konfirmasi atas kemungkinan adanya kaitan antara strategi sekolah dalam
mengembalikan fungsi dasar nya sebagai arena pendidikan dan langkah pembubaran
kelompok oleh GNB sendiri.
4. Teknik Pengambilan Data
a. Observasi
Kegiatan observasi meliputi melakukan pengamatan secara sistematik
kejadian-kejadian, perilaku, obyek-obyek dan hal-hal lain yang diperlukan dalam
mendukung penelitian yang sedang dilakukan. Pada tahap awal observasi
dilakukan secara umum, peneliti mengumpulkan data atau informasi sebanyak
mungkin. Observasi dilakukan melalui pengamatan langsung di dalam area
sekolah terutama di tempat-tempat yang biasa digunakan untuk berkumpul oleh
31
para anggota GNB terdahulu. Selain itu observasi juga dilakukan di tempat-tempat
berkumpulnya para alumni, salah satunya kafe dan jejaring sosial di dunia maya.
Tahap selanjutnya peneliti melakukan observasi yang terfokus, yaitu mulai
menyempitkan data atau informasi yang diperlukan sehingga peneliti dapat
menemukan pola-pola perilaku dan hubungan yang terus menerus terjadi. Jika hal
itu sudah diperoleh, maka peneliti dapat menemukan tema-tema yang akan diteliti.
Salah satu peranan pokok dalam melakukan observasi ialah untuk menemukan
interaksi yang kompleks dengan latar belakang sosial yang alami.
b. Wawancara
Wawancara atau in-depth interview merupakan salah stau langkah penggalian
data yang dilakukan dengan melakukan konfirmasi langsung terkait rumusan
masalah yang tertuang di dalam interview guide (pedoman wawancara).
Wawancara dapat dilakukan secara langsung atau bertatap muka dengan informan
atau secara tidak langsung melalui berbagai bentuk media komunikasi seperti
lewat telepon, pesan singkat, atau email. Di era yang kini dilengkapi dengan
kecanggihan teknologi wawancara sangat dimungkinkan berlangsung secara
virtual, dengan kata lain melalui media jejaring sosial seperti chatting.
c. Studi dokumen
Studi dokumen memiliki pengertian penelaahan terhadap dokumen-dokumen
atau literatur penelitian terdahulu. Profil sekolah, studi perilaku remaja, dan
kecenderungan aksi kekerasan merupakan beberapa di antara dokumen yang
dikaji terkait kebutuhan peneliti dalam mengetahui sisi hitoris sekolah dan peserta
didiknya.
32
Tabel 1.1 Informan Penelitian dan Sumber Data
Sumber Data Teknik Pengumpulan Data
Pri
mer
Observasi Lokasi : SMA N 6 Yogyakarta, warung angkringan di sekitar sekolah, pasar Terban
Wawancara Nama informan :
- C, 37 tahun (alumni angkatan 1995)
- NK, 31 tahun (alumni angkatan 2001)
- R, 26 tahun (alumni angkatan 2005)
- B, 22 tahun (alumni angkatan 2009)
- TY, 20 tahun (alumni angkatan 2011)
- KP, 19 tahun (alumni angkatan 2012)
- AFZ, 18 tahun (alumni angkatan 2013)
- M, 18 tahun (alumni angkatan 2013)
- D, 17 tahun (siswa angkatan 2014) - GB, 17 tahun (siswa angkatan
2014) Guru dan staf :
- Bapak Agus (guru BK) - Bapak Purwo (mantan guru
sosiologi)18 Sekunder Studi dokumen
a. Skripsi - Pergulatan Membangun Identitas
(Dwiki Prastianto, JPP UGM) - Reproduksi Nilai Kekerasan
Langsung Gang Sunday Morning Cartoon (Tantra Gumilar, Jurusan Sosiologi UGM)
b. Dokumen resmi milik sekolah c. Arsip Kesiswaan
Sumber : Data Primer dan Sekunder 2013-2014
33
5.1 Karakteristik Informan
Mayoritas informan penelitian ini adalah laki-laki, mengingat sebagian besar
penggerak maupun anggota GNB didominasi laki-laki. Pemilihan informan ini juga
berangkat dari maksud peneliti untuk melihat kelompok informal dalam konteks
kerangka struktur makna yang dikonstruksi para anggoanya berdasarkan pengalaman-
pengalaman terhadap kelompok. Selain menggunakan metode fenomenologi
penelitian ini juga dipadu dengan metode historis. Para informan ini terdiri dari para
siswa maupun alumni antar generasi.
Informan dalam penelitian ini sebenarnya berjumlah cukup banyak. Sebaran
ini dilakukan untuk dapat menemukan karakteristik data yang diharapkan mengingat
tiap angkatan memiliki dinamikanya sendiri. Setelah melalui penggalian data seluas-
luasnya akhirnya dikerucutkan pada beberapa informan terpilih saja yang memiliki
keunikan pengalaman dan pemaknaan. Mereka kemudian diwawancara lagi pada
topik yang lebih spesifik dan lebih mendalam. Sebagai upaya konfirmasi, guru
sekolah, staf, maupun siswa juga dilibatkan dalam proses penggalian data.
5.1.1 Alumni (mantan anggota GNB)
1. C, usia 37 tahun
C adalah alumni SMA Negeri 6 yang lulus pada tahun angkatan 1995. Ia berasal
dari Yogyakarta. Ia menamatkan bangku perkuliahannya dengan gelar sarjana
urusan teknologi informasi di salah satu perguruan tinggi di kota ini. Saat ini ia
berprofresi sebagai tenaga lepasan pada beberapa event yang sarat akan budaya
dan story board creator dalam produksi film-film pendek di Yogyakarta. C
disebut-sebut sebagai salah satu aktor yang cukup penting saat GNB muncul
pertama kali. C adalah seorang yang idealis, bebas dan sangat menyukai segala hal
yang berkaitan dengan budaya lokal dan kesenian. Saat di bangku SMA dulu ia
34
pernah mengikuti ekstrakurikuler teater dan turut berpartisipasi dalam berbagai
event. Di usianya saat ini ia belum memutuskan untuk menikah karena
menurutnya “life begins at forty”. Ia mengaku masih ingin mencari pengalaman
bekerja seluas-luasnya sebelum kemudian meletakkan tanggung jawab nya pada
keluarga yang akan dibina nanti.
2. R, 26 tahun
R adalah seorang alumni angkatan 2005 yang tinggal di sekitar Godean,
Yogyakarta. Semasa sekolah di SMA N 6 dulu ia sangat dekat dengan aktivitas
tawuran antara GNB dengan geng sekolah lain. Ia memiliki penilaian bahwa
kebrutalan para siswa GNB di tahun-tahun tersebut (antara 2003-2007)
merupakan bentuk kekecewaan atas apa yang mereka lihat tidak sesuai. Misalnya
seperti kebijakan kenaikan uang sekolah atau ketika salah seorang teman mereka
terancam dikeluarkan dari sekolah. R dalam hal ini memposisikan GNB sebagai
ajang guyub yang merekatkan tali pertemanan antar angkatan. Di balik tawuran
yang mereka lakukan sebenarnya ada aksi solider yang disisipkan untuk menjaga
harga diri dan melindungi teman dalam kelompok.
3. B, usia 22 tahun
B merupakan alumni yang memegang peranan penting dalam GNB angkatan
2009. Saat itu ia berperan sebagai koordinator pada divisi organisasi. Di tahun
2010 B dipercaya teman-teman dan kakak angkatannya untuk menjadi ketua OSIS
SMA Negeri 6 Yogyakarta. Sebagai seorang siswa B tergolong cukup aktif dalam
berorganisasi dan berkomunikasi dengan sekitarnya. Ia adalah seseorang yang
cukup supel dan dikenal baik oleh teman-teman dari berbagai angkatan. Teater
Muda Wijaya ia pilih sebagai organisasi ekstrakurikuler yang diikutinya. Selain di
teater, B juga aktif mengikuti kegiatan-kegiatan di MWHC. Kini ia berstatus
35
sebagai mahasiswa jurusan pertelevisian di salah satu perguruan tinggi swasta
Yogyakarta.
4. KP, usia 19 tahun
KP adalah salah satu alumni siswa angkatan 2012 yang tergolong cukup kritis.
Namun karena suatu peristiwa yang melibatkan dirinya dan memberikan ekses
negatif bagi sekolah, maka ia terpaksa harus dikeluarkan di detik-detik menjelang
ujian akhir (UNAS) dilaksanakan. Saat ini ia berkuliah di salah satu perguruan
tinggi negeri di Yogyakarta. KP adalah anak dari salah seorang pejabat daerah di
Yogyakarta. Meski demikian ia tetap menjadi pribadi yang down to earth dan
sangat senang mengakrabkan diri dengan banyak teman dari berbagai kalangan. Ia
memiliki hobi bermain musik. Kebiasaannya nongkrong bersama teman-teman
saat SMA dulu ia bawa ke bangku perkuliahan sehingga KP memiliki banyak
teman. Ia dikenal tidak hanya oleh teman-teman di jurusannya tetapi juga di
tingkat fakultas karena keaktifannya mengikuti organisasi. Saat GNB dibubarkan,
KP adalah salah satu siswa yang merasa keberatan atas keputusan tersebut. Karena
ia khawatir tidak adanya wadah lagi untuk mengemukakan pendapat mereka dan
memobilisasi kepentingan bagi para siswa.
5.1.2 Alumni dan Siswa (non-anggota GNB)
1. AFZ, usia 18 tahun
AFZ adalah alumni angkatan 2013. Semasa ia sekolah dahulu telah memiliki banyak
pengalaman buruk dengan GNB. Ia disebut-sebut sebagai pelopor di angkatannya
yang menolak kuasa atas seniornya yang tergabung di GNB yang sering melakukan
tindakan-tindakan kasar kepada adik kelasnya. AFZ beranggapan bahwa untuk
mengharumkan nama sekolah harus dilakukan dengan cara yang lebih baik, yaitu
melalui prestasi, tanpa harus ikut bergabung dengan kelompok informal seperti GNB.
36
AFZ adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ia besar dan tinggal di Yogyakarta
bersama ibu dan kedua adiknya. Ayahnya telah meninggal karena serangan jantung.
Keadaan inilah yang mendorong AFZ tumbuh menjadi sosok yang dewasa dan
futuristik. Sama seperti KP, ia menyukai musik sebagai jalan hidup. Bahkan sebagai
kenang-kenangan, ia menciptakan lagu untuk sekolah tercintanya, SMA 6 Yogyakarta
yang kemudian dirilis beberapa bulan yang lalu.
2. GB, usia 17 tahun
GB masih berstatus sebagai siswa angkatan 2014. Ia disebut-sebut sebagai orang yang
penting di angkatannya oleh teman-temannya.
5.1.3 Pihak Sekolah
Penggalian data dari pihak sekolah dilakukan dalam rangka konfirmasi atas apa yang
dipaparkan key informan terkait dengan GNB. Selain itu juga untuk melakukan
penelusuran arsip dan dokumen resmi tentang perkembangan sekolah dan kegiatan
kesiswaan dari tahun ke tahun.
1. Bapak Agus (Guru BK)
2. Bapak Purwanto (mantan guru Sosiologi)
3. Bapak Sukarman (mantan wakasek)
5. Teknik Analisa Data
Dalam penelitian ini peneliti melakukan analisis data mengacu pada analisis data
fenomenologi menurut Moustakas. Secara umum tahapan dalam metode analisis data
menurut Moustakas adalah sebagai berikut :
a. Menulis menjadi sebuah teks tulisan atau transkrip semua hasil wawancara
b. Proses decoding, yaitu proses pemberian kode-kode pada tiap baris wawancara
37
yang peneliti lakukan dengan subjek penelitian.
c. Pembacaan hasil wawancara secara berulang-ulang oleh peneliti. Hal ini
dilakukan agar peneliti memahami dengan benar dan jelas isi hasil wawancara.
d. Mengerucutkan berbagai pemahaman dan konsep dari jawaban yang sesuai
dengan pertanyaan penelitian
e. Kemudian setelah itu peneliti melakukan pemotongan hal-hal yang tidak ada
kaitannya dengan masalah yang peneliti diangkat, tanpa mengubah susunan kata
awal. Artinya hanya terjadi proses pemotongan. Kemudian hasil dari tahap
pemotongan tersebut dimasukkan ke dalam cluster yang seragam atau juga disebut
sebagai matriks.
f. Setelah memasukan dalam tabel matriks, data dimasukkan ke dalam tabel
horisonalisasi. Pada kolom pertama tabel horisonalisasi berisi kalimat-kalimat
penting yang berhubungan dengan masalah penelitian serta kode dari kalimat
wawancara tersebut. Pada kolom kedua diisi oleh inti dari kalimat dalam kolom
pertama, dan kolom ketiga berisi makna atas inti kalimat tersebut.
g. Dalam membuat makna dari pernyataan informan digunakan bahasa yang jelas
agar esensi atau makna terdalam dari pernyataan tersebut mudah diketahui.
h. Pada kolom kempat dari tabel horisonalisasi berisi makna terdalam dari makna-
makna pernyataan informan. Pada tahap ini makna tersebut disintesakan dan
diintegrasikan dalam sebuah harmoni makna.
i. Makna terdalam dalam bentuk harmoni makna inilah yang akan menjadi fokus
bahasan peneliti serta menjadi hasil penelitian peneliti dalam bab pembahasan.
38
Gambar 1.1. Garis Besar Analisis Data dalam Penelitian Fenomenologi
Transkrip
wawancara
Decoding
transkrip
wawancara
Matriks
penelitian
Tabel
Horisonalisas
i
Penggalian
makna
terdalam
Sumber : Modifikasi Peneliti 2014 Tahap terakhir merupakan tahap yang menunjukkan makna paling mendetail atas struktur
pengetahuan yang membingkai pemaknaan para informan. Ketika proses analisis telah
mencapai tahap ini maka artinya pemaparan informan telah dikerucutkan menjadi lebih
spesifik yang kemudian mengacu kepada sebuah kesimpulan makna terdalam dari apa yang
dipaparkan. Perlu dipahami bahwa dalam metode fenomenologi sangat dimungkinkan
dilakukan proses wawancara lebih dari satu kali.19 Hal ini dimaksudkan untuk memperkaya
data terkait struktur pengalaman yang akhirnya merangkai pengetahuan individu tersebut
sehingga dapat diperoleh pola pemaknaan yang dimiliki. 19 Richard H. Hycner, Ibid, hal.291