bab i pendahuluan a. latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Upaya kesehatan telah mengalami pergeseran paradigma sejalan dengan
perkembangan zaman. Dahulu upaya kuratif dan rehabilitatif menjadi andalan
dalam mengatasi masalah kesehatan. Biaya yang terlalu tinggi menyebabkan
pengkajian ulang terhadap upaya pelayanan kesehatan yang berfokus pada kuratif
dan rehabilitatif (Vincent et al., 2007). Di masa sekarang, paradigma promotif
serta preventif mulai mengemuka. Pada konggres promosi kesehatan dunia di
Nairobi tahun 2009, terdapat kesepakatan negara-negara peserta untuk
mengarusutamakan promotif dalam upaya kesehatan. Hal ini menjadikan semua
anggota masyarakat, terutama tenaga kesehatan termasuk apoteker, harus
memprioritaskan upaya-upaya promotif dalam layanannya (Catford, 2010). Studi
systematic review menyebutkan berbagai hal yang positif ikut berkontribusi untuk
meningkatkan peran dibidang kesehatan masyarakat oleh apoteker (Eades et al.,
2011).
Penilaian masyarakat dan pasien terhadap peran apoteker dalam kesehatan
masyarakat cukup positif. Masyarakat menganggap apoteker mampu melakukan
promosi kesehatan untuk mereka dan apoteker adalah salah satu tenaga kesehatan
yang mudah ditemui dan memberikan konsultasi kesehatan. Apoteker bisa
menerima peran barunya tersebut sejalan dengan tanggung jawab profesinya
2
sebagai bagian dari tim perawatan kesehatan. Kesuksesan perubahan pandangan
masyarakat terhadap apoteker dalam hal ini akan membutuhkan peran apoteker
untuk proaktif dalam menawarkan layanan kesehatan masyarakat (Kristina, 2014;
Anderson, 2002). Ikatan Apoteker Indonesia memberikan perhatian terhadap
peran apoteker dalam promosi kesehatan. Salah satu hal yang disebutkan dalam
standar kompetensinya adalah apoteker harus mampu berkontribusi dalam upaya
promotif dan preventif kesehatan masyarakat . Unjuk kerjanya meliputi kolaborasi
dengan tenaga kesehatan lain, mampu merumuskan program promosi kesehatan,
dan menjelaskan kejadian penyakit kepada masyarakat. Hal-hal tersebut
merupakan panduan apoteker untuk mengaplikasikan praktik promosi kesehatan
di masyarakat (Indonesian Pharmacists Association, 2011).
Pendidikan promosi kesehatan telah dimulai ketika apoteker menempuh
studi di kampus. Pengenalan program promosi kesehatan di kampus terbukti
mampu meningkatkan kesadaran apoteker bahwa ekspansi peran ke arah promosi
kesehatan penting dilakukan (Globe et al., 2004). Di negara berkembang, peran
ini dirasa masih sangat potensial dikembangkan karena masih banyak apoteker
yang berpersepsi peran ini milik tenaga kesehatan lain. Thailand telah
memperkenalkan program promosi kesehatan dalam kurikulum PharmD, dan
terbukti efektif meningkatkan kemampuan komunikasi dan praktik mahasiswa di
tempat magang (Sookaneknum et al., 2009). Mahasiswa farmasi di kawasan Asia
Tenggara menunjukkan minat yang positif dengan menjadi relawan dalam
program pemeriksaan kesehatan sebagai bagian pembelajaran promosi kesehatan.
Kegiatan ini meningkatkan kemampuan interaksi dengan masyarakat,
3
keterampilan klinis dan non klinis serta kerja sama dengan tenaga kesehatan lain
(Saleem et al., 2014). Kristina et al., (2014) melakukan program pendidikan
tembakau untuk mahasiswa farmasi di Indonesia, yang hasilnya adalah
peningkatan yang signifikan terkait dengan pengetahuan, persepsi terhadap peran
mahasiswa dan kepercayaan diri untuk melakukan konseling berhenti merokok.
Hal ini menunjukkan bahwa praktik promosi kesehatan oleh apoteker sangat
mungkin dilakukan jika tingkat pendidikan atau pengetahuan apoteker dapat
ditingkatkan.
Apoteker banyak berperan dalam program penghentian merokok,
manajemen kolesterol, diabetes, kontrasepsi darurat, imunisasi flu dan
penyalahgunaan obat. Program yang berhubungan dengan pencegahan penyakit
kardiovaskuler, hipertensi, kesehatan seksual, manajemen berat badan, promosi
penggunaan asam folat, osteoporosis juga dilakukan oleh apoteker di banyak
negara (Lalibert et al., 2012). Peran apoteker komunitas dalam mempromosikan
hidup sehat terlihat dalam praktik-praktik penghentian merokok, kontrol konsumsi
alkohol, konsumsi nutrisi sehat dan peningkatan aktivitas fisik (Eades et al. 2011).
4
Apoteker berpersepsi bahwa mereka mempunyai peranan yang penting
dalam promosi kesehatan maupun pencegahan penyakit. Namun, ada beberapa
faktor yang diidentifikasi sebagai faktor penghambat keterlibatan mereka.
Kurangnya waktu maupun tenaga menyebabkan menurunnya frekuensi kontak
pasien dengan apoteker. Koordinasi yang kurang dengan tenaga medis lainnya
menjadikan kurang efektifnya pesan-pesan kesehatan untuk pasien. Pengetahuan
dan keterampilan yang rendah menyebabkan pasien tidak tertarik meminta saran
kesehatan dari apoteker (Hassali, 2011). Tidak adanya tempat yang memadai
untuk konseling dan kurangnya kompensasi bagi apoteker juga menyebabkan
menurunnya kemauan apoteker untuk berkontribusi memberi saran kesehatan bagi
pasien (Awad dan Abahussain, 2010).
Menurut sosial cognitive theory, self-efficacy dan pengetahuan dapat
memengaruhi kebiasaan seseorang. Individu yang memiliki kepercayaan diri tidak
ragu-ragu dalam melakukan suatu hal dan dapat membantu idividu untuk
menangani masalah atau tugas yang sedang dihadapinya (Preston, 2001). Rasa
percaya diri yang dimiliki ini membuat individu yakin bahwa dirinya mampu
untuk melakukan apa yang diinginkan, direncanakan, dan diharapkan dalam
kehidupan (Davies, 2004).
Namun, sampai saat ini belum pernah dilakukan evaluasi tentang promosi
kesehatan oleh apoteker yang meliputi pengetahuan, persepsi peran, persepsi
barrier, dan self-efficacy praktik promosi kesehatan oleh apoteker di Daerah
Istimewa Yogyakarta, dan jenis praktik promosi kesehatan seperti apa yang sudah
diinisiasi oleh apoteker di Daerah Istimewa Yogyakarta. Oleh karena itu,
5
diperlukan penelitian ini untuk mengetahui gambaran dari pengetahuan, persepsi
peran, persepsi barrier, dan self-efficacy apoteker di Daerah Istimewa Yogyakarta
sehingga dapat menjadi sumber informasi dan gambaran dalam meningkatkan
praktik promosi kesehatan oleh apoteker di DIY.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disusun, rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana gambaran pengetahuan, persepsi peran, persepsi barrier, dan self-
efficacy dalam pelayanan promosi kesehatan apoteker di Apotek dan
Puskesmas wilayah DIY?
2. Bagaimana hubungan antara pengetahuan, persepsi peran, persepsi barrier,
dan self-efficacy dengan pelaksanaan praktik promosi kesehatan oleh apoteker
di Apotek dan Puskesmas wilayah DIY?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi permasalahan praktik
promosi kesehatan di farmasi komunitas dan memberikan rekomendasi untuk
pengatasan permasalahan tersebut. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah
untuk mengetahui:
1. Gambaran pengetahuan, persepsi peran, persepsi barrier, dan self-efficacy
dalam pelayanan promosi kesehatan apoteker di Apotek dan Puskesmas
wilayah DIY.
2. Hubungan antara pengetahuan, persepsi peran, persepsi barrier, dan self-
efficacy dengan pelaksanaan praktik promosi kesehatan oleh apoteker di
6
Apotek dan Puskesmas wilayah DIY.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan data ilmiah yang dapat
digunakan untuk mengetahui gambaran dan hubungan antara pengetahuan,
persepsi peran, persepsi barrier, dan self-efficacy dalam pelayanan promosi
kesehatan di Apotek dan Puskesmas wilayah DIY serta dapat mengevaluasi
pelaksanaan praktik promosi kesehatan oleh apoteker di Apotek dan Puskesmas
wilayah DIY.
E. Tinjauan Pustaka
1. Promosi Kesehatan
Piagam Ottawa untuk promosi kesehatan menyebutkan bahwa promosi
kesehatan merupakan proses untuk memampukan masyarakat dalam
meningkatkan kontrol diri dan kesehatan mereka. Kata kuncinya adalah ‘proses’
untuk memampukan dan memberdayakan masyarakat, jika tidak ada upaya untuk
memampukan maupun memberdayakan masyarakat, maka tidak bisa disebut
sebagai promosi kesehatan. Promosi kesehatan merupakan proses memampukan
individu dalam mengontrol faktor-faktor penentu kesehatan untuk meningkatkan
kesehatannya (Keleher et al., 2007).
Tones dan Green (2004) mengatakan bahwa promosi kesehatan merupakan
semua aktivitas yang dilakukan untuk mencegah penyakit atau memburuknya
kesehatan dalam meningkatkan kesehatan masyarakat. Hal yang dilakukan
termasuk upaya untuk mengatasi perubahan lingkungan maupun sosial yang
berpengaruh terhadap kesehatan melalui kebijakan kesehatan masyarakat.
7
Promosi kesehatan bisa dirumuskan sebagai hasil kali antara pendidikan
kesehatan dengan kebijakan kesehatan masyarakat.
Carter dan Slack (2010) mendefinisikan promosi kesehatan sebagai aksi
yang memengaruhi satu atau lebih dari faktor penentu kesehatan yang
memungkinkan orang untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan fisik, mental,
sosial dan kesejahteraannya. Promosi kesehatan lebih menfokuskan pada menjaga
dan meningkatkan derajat kesejahteraan daripada mengembalikan kesehatan
akibat dari sakit atau kecelakaan. Strategi promosi kesehatan yang digunakan
adalah:
a. Menyediakan informasi bagi masyarakat untuk lebih mendorong perilaku
hidup sehat dan menjauhi perilaku yang menimbulkan risiko kesehatan.
b. Menciptakan lingkungan yang mendukung hubungan positif ke arah
kesehatan antar manusia dan lingkungan.
c. Menyediakan informasi yang berhubungan dengan promosi kesehatan dan
di saat yang bersamaan memodifikasi lingkungan untuk mendukung
perilaku hidup sehat.
Menurut Undang-Undang Kesehatan No.23/1992, visi dari promosi
kesehatan adalah meningkatnya kemampuan masyarakat untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan, baik fisik, mental, maupun sosialnya, sehingga
produktif secara ekonomi maupun sosial. Demi tercapainya visi tersebut, promosi
kesehatan mempunyai beberapa misi, yaitu advokat (advocate), menjembatani
(mediate), dan memampukan (enable).
8
Sasaran promosi kesehatan berdasarkan pentahapan upaya dibagi dalam tiga
kelompok (Notoatmodjo, 2007), yang meliputi:
a. Sasaran primer (primary target)
Sasaran utama dalam promosi kesehatan adalah masyarakat umum.
Upaya promosi yang dilakukan terhadap sasaran utama sejalan dengan
strategi pemberdayaan masyarakat (empowerment).
b. Sasaran sekunder (secondary target)
Sasaran sekunder terdiri dari tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh
adat, dan sebagainya. Penyebutan sasaran sekunder dikarenakan dengan
diberikannya pendidikan kesehatan kepada kelompok ini diharapkan
untuk selanjutnya dapat memberikan pendidikan kesehatan kepada
masyarakat di sekitarnya. Upaya promosi kesehatan yang ditujukan
kepada kelompok ini sejalan dengan strategi dukungan sosial (sosial
support).
c. Sasaran tersier (tertiary target)
Sasaran tersier dalam upaya promosi kesehatan adalah para pembuat
keputusan atau penentu kebijakan baik di tingkat pusat, maupun daerah.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh kelompok tersier akan berdampak
terhadap masyarakat umum dan tokoh masyarakat. Upaya ini sejalan
dengan strategi advokasi (advocacy).
Promosi kesehatan bisa memberikan pengaruh dalam menurunkan penyakit
yang berhubungan dengan gaya hidup seperti diabetes dan penyakit yang dipicu
karena tembakau. Kesenjangan dalam sistem kesehatan terlihat dengan masih
9
tingginya beban kematian ibu hamil yang bisa diperjuangkan perbaikannya
dengan promosi kesehatan lewat advokasi sistem pelayanan kesehatan (WHO,
2009).
2. Praktik promosi kesehatan oleh apoteker
a) Definisi Apoteker
Menurut Permenkes nomor 58 tahun 2014 tentang Standar Kefarmasian di
Rumah Sakit, apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker
dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker.
b) Tugas Apoteker
Tugas apoteker adalah melakukan pekerjaan kefarmasian yang meliputi
pembuatan, termasuk pengendalian mutu, sediaan farmasi, pengamanan,
pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan
obat, pelayanan obat pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat,
serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Pelayanan kefarmasian
yang dilakukan apoteker adalah pelayanan langsung yang bertanggung jawab
kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud untuk
mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Pelayanan
tersebut dapat dilakukan di apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas,
klinik dan praktik bersama (Kemenkumham RI, 2009).
Perkembangan dunia kefarmasian menyebabkan apoteker sekarang
mengubah orentasinya. Dahulu apoteker dikenal sebagai ahli pembuat dan peracik
obat, sejak era revolusi industri peran tersebut semakin terkikis. Kegiatan
pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat
10
sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup dari pasien (Depkes RI, 2007). Konsep nine star of
pharmacist yang diperkenalkan oleh WHO kemudian dijadikan salah satu
kebijakan untuk apoteker oleh FIP dalam Good Pharmacy Practice. Konsep ini
memandang apoteker sebagai care giver, decision maker, communicator, leader,
manager, life long learner, teacher, researcher, and entrepreneur. Harapannya,
dengan konsep ini apoteker akan semakin dekat dan bermanfaat bagi pasien (Sam
dan Parasuraman, 2015).
c) Praktik Promosi Kesehatan oleh Apoteker
Apotek merupakan lokasi yang ideal untuk kegiatan promosi kesehatan.
Posisi apotek yang strategis menyebabkan masyarakat bisa mengunjungi dengan
mudah. Apoteker penanggungjawabnya dipercaya sebagai seorang ahli dalam
masalah obat dan mempunyai hubungan yang erat dengan pasien. Apoteker juga
dihormati dalam strata masyarakat sebagai pemberi layanan kesehatan profesional
yang terpercaya (Carter and Slack, 2010).
Menurut Anderson (2007), sejarah keterlibatan apoteker komunitas
berpraktik kesehatan masyarakat dipicu oleh revolusi dunia pengobatan di tahun
1950 – 1960 ketika peran apoteker dalam meracik dan menyiapkan obat diambil
alih oleh mesin dan industri yang menyebabkan apoteker kehilangan peran dalam
pelayanan kesehatan. Apoteker mulai menemukan jati diri sebagai tenaga
kesehatan melalui pelayanan kefarmasian yang menghendaki fungsi utama
apoteker lebih berorientasi kepada pasien daripada obat. Peran layanan
kefarmasian ini dirangkai dengan praktik promosi kesehatan yang semakin
11
menguatkan fungsi pelayanan apoteker untuk kesehatan masyarakat. Hal ini
menjadikan dobrakan yang mengharuskan apoteker komunitas berpraktik
kesehatan masyarakat dan hal ini mulai menular ke negara-negara maju serta
beberapa negara berkembang di dunia.
Anderson (2000) menyampaikan bahwa di Inggris apotek telah menjadi
tempat favorit untuk promosi kesehatan. Lokasi yang mudah diakses, jam praktik
apoteker yang panjang dan tanpa membuat janji jika bertemu, kunjungan yang
tinggi dari masyarakat, baik sehat maupun sakit, membuat masyarakat tertarik
memanfaatkan layanan kesehatan apoteker. Kurikulum tentang promosi kesehatan
pun sudah dimasukkan dalam pendidikan sarjana maupun pascasarjana untuk
apoteker. Leaflet menjadi media paling umum yang digunakan dalam mengirim
pesan-pesan kesehatan. Masyarakat yang diberi leaflet kesehatan dan ditawarkan
konseling oleh apoteker rata-rata tertarik dan merasa puas terhadap layanan
konseling yang diberikan.
Laliberte (2012) mengungkapkan bahwa sejalan dengan fungsi apoteker
komunitas sebagai pemberi pelayanan kesehatan, mereka bisa menerima untuk
melakukan praktik kesehatan masyarakat. Praktik yang bisa dilakukan apoteker
adalah penghentian merokok, skrining hipertensi, lipidemia, gula darah dan
kesehatan. Eades (2011) menambahkan bahwa kebanyakan apoteker melihat
layanan kesehatan masyarakat sebagai hal yang penting dan termasuk bagian dari
peran sekunder mereka setelah berbagai masalah berkenaan dengan obat.
Studi tentang kegiatan kesehatan oleh apoteker di Asia dilakukan oleh
Awad (2010). Beberapa temuan yang mengemuka adalah bahwa pasien rata-rata
12
mencari saran ke apoteker mengenai penggunaan obat dan sedikit sekali yang
meminta saran mengenai kesehatan maupun perubahan perilaku menuju sehat.
3. Self-Administered Questionnaire
Self-administered questionnaire adalah salah satu metode pengumpulan
data yang dilakukan dalam penelitian yang berarti data yang diperoleh
berdasarkan dari penilaian responden sendiri tanpa intervensi dari interviewer
(Gower dan Palleta, 1997). Metode lain yang dapat dilakukan adalah face to face
(personal) interview, dan telephone interview. Masing-masing metode memiliki
kelemahan dan kelebihan. Kelebihan metode self-administrated questionnaire
adalah biaya yang dibutuhkan lebih murah, sedangkan kelemahannya adalah
respon rate yang didapatkan lebih rendah daripada metode interview (Gower dan
Palleta, 1997). Kelebihan lain dari metode self-administered questionnaire adalah
metode pengumpulan data ini dapat digunakan untuk memperoleh jawaban dari
responden yang sensitif terhadap berbagai macam pertanyaan, responden tidak
perlu malu pada interviewer karena pertanyaan tidak ditanyakan secara face to
face dan dapat digunakan untuk mengumpulkan banyak data dalam waktu yang
bersamaan sehingga sangat bermanfaat untuk penelitian yang menggunakan
responden dalam jumlah besar (Rossi et al., 2013).
Self-administered questionnaire yang digunakan pada penelitian ini memiliki
domain pengetahuan, persepsi peran, persepsi barrier, self-efficacy dalam
pelayanan promosi kesehatan, dan praktik promosi kesehatan oleh apoteker.
13
1) Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil yang terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan ini terjadi melalui
panca indera manusia, yaitu indera pengelihatan, pendengaran, penciuman, rasa,
dan raba. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting
untuk terbentuknya perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2003). Menurut
Notoatmodjo (2003), ada 6 (enam) tingkatan pengetahuan dalam domain kognitif,
yaitu tahu (know), memahami (comprehension), aplikasi (application), analisis
(analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi (evaluation).
2) Sikap dan Perilaku
a. Sikap
Sikap merupakan suatu respon yang masih tertutup terhadap suatu objek dan
tidak dapat langsung dilihat. Sikap menunjukkan suatu konotasi adanya
kesesuaian antara reaksi dan stimulus yang dalam kehidupan sehari-hari
merupakan reaksi emosional terhadap stimulus sosial. Sikap belum merupakan
suatu perilaku atau tingkah laku (Notoatmodjo, 2014). Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Maseda, Suba, & Wongkar, (2013) didapatkan
bahwa sikap memengaruhi perilaku seseorang.
Menurut Allport (1954), terdapat tiga komponen pokok dalam menjelaskan
suatu sikap yaitu kepercayaan (keyakinan), kehidupan emosional (evaluasi
terhadap suatu objek), dan kecenderungan untuk bertindak. Ketiga komponen ini
secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh. Beberapa tingkatan sikap di
antaranya adalah:
14
1) Menerima, seseorang mau dan memperhatikan stimulus yang
diperhatikan (objek).
2) Merespon, memberikan jawaban ketika ditanya dan mengerjakan atau
menyelesaikan tugas yang diberikan.
3) Menghargai, indikasi dari tingkatan ini yaitu ketika seseorang mengajak
orang lain untuk mengerjakan dan mendiskusikan suatu objek.
4) Bertanggung jawab, menanggung atas segala sesuatu yang telah
dikerjakan.
b. Perilaku
Perilaku merupakan aksi individu terhadap reaksi hubungan dengan
lingkungannya. Perilaku tercipta karena ada rangsangan untuk menimbulkan
reaksi. Berdasarkan hasil penelitian Nasution (2007), perilaku merokok seseorang
dipengaruhi oleh faktor psikologis dan stress semakin banyak rokok yang
dikonsumsi. Dengan kata lain, perilaku merupakan tindakan atau aktivitas dari
manusia sendiri seperti berbicara, menangis, tertawa, bekerja, dan sebagainya.
Perilaku manusia merupakan semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang
dapat diamati langsung maupun tidak (Machfoedz & Suryani, 2008).
1) Teori pembentukan perilaku
Sebagian besar perilaku manusia dapat dibentuk dan dipelajari. Beberapa
teori pembentukan perilaku diantaranya adalah :
a) Cara pembentukan perilaku dengan conditioning atau kebiasaan
Membiasakan diri untuk melakukan sesuatu yang diharapkan akan
membentuk suatu perilaku tersebut. Pembiasaan tersebut
15
dicontohkan seperti pembiasaan untuk bangun pagi, tidak terlambat
masuk kantor, dan mengucapkan terima kasih (Notoatmodjo 2003
cit. Machfoedz & Suryani, 2008).
b) Pembentukan perilaku dengan pengertian (insight)
Pembentukan perilaku didasarkan pada teori belajar kognitif, yaitu
bahwa dalam belajar yang dipentngkan adalah latihan, dalam
eksperimen Kohler dalam belajar yang penting adalah pengertian
atau insight.
c) Pembentukan perilaku dengan menggunakan model
Teori belajar sosial (Sosial learning theory) atau (Observational
learning theory) oleh Bandura tahun 1977 merupakan dasar dari
pembentukan perilaku. Pemimpin yang dijadikan model atau
panutan oleh pengikutnya merupakan contoh dari teori ini.
2) Teori Lawrence Green
Berdasarkan teori Lawrence Green, kesehatan seseorang dipengaruhi
oleh dua faktor pokok, yaitu faktor perilaku di luar perilaku. Faktor
perilaku dari tiga faktor, yaitu:
1) Faktor predisposisi, yang terwujud dalam pengetahuan, sikap,
kepercayaan, keyakinan nilai-nilai, dan sebagainya.
2) Faktor pendukung, yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia
atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan.
16
3) Faktor pendorong, yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas
kesehatan atau petugas lain yang merupakan kelompok referensi
dari perilaku masyarakat.
3) Barrier atau Hambatan
Hambatan didefinisikan sebagai faktor-faktor yang membuat seseorang
tidak dapat memperoleh akses terhadap pelayanan kesehatan sebelum layanan
apapun diberikan atau dibutuhkan, dalam rangka usaha penyediaan yang
sesungguhnya atau pelayanan follow up jangka panjang. Suatu hambatan akan
membatasi penggunaan dari pelayanan kesehatan. Hambatan dapat dijumpai baik
pada level pasien, penyedia layanan, maupun sistem kesehatan yang bervariasi
tergantung pada karakteristik setiap daerah (Scheppers et al., 2006).
Ada beberapa faktor yang diidentifikasi sebagai faktor penghambat
keterlibatan apoteker dalam program promosi kesehatan. Kurangnya waktu
maupun tenaga menyebabkan menurunnya frekuensi kontak pasien dengan
apoteker. Koordinasi yang kurang dengan tenaga medis lainnya menjadikan
kurang efektifnya pesan-pesan kesehatan untuk pasien. Pengetahuan dan
keterampilan yang rendah menyebabkan pasien tidak tertarik meminta saran
kesehatan dari apoteker (Hassali, 2011). Tidak adanya tempat yang memadai
untuk konseling dan kurangnya kompensasi bagi apoteker juga menyebabkan
menurunnya kemauan apoteker untuk berkontribusi memberi saran kesehatan bagi
pasien (Awad dan Abahussain, 2010).
17
4) Kepercayaan diri (Self-Efficacy)
a. Pengertian kepercaayan diri
Kepercayaan diri merupakan suatu keyakinan yang dimiliki seseorang
bahwa dirinya mampu berperilaku seperti yang dibutuhkan untuk memperoleh hal
seperti yang diharapkan. Kepercayaan diri ditunjukkan pada suatu keyakinan
bahwa seseorang dapat melakukan sesuatu sesuai dengan harapannya (Bandura,
1977). Keyakinan akan kemampuan dirinya sendiri tersebut merupakan sebuah
kunci untuk menuju kesuksesan (Bebabou dan Tirole, 2002). Individu yang
memiliki kepercayaan diri tidak ragu-ragu dalam melakukan suatu hal dan dapat
membantu idividu untuk menangani masalah atau tugas yang sedang dihadapinya
(Preston, 2001). Rasa percaya diri yang dimiliki ini membuat individu yakin
bahwa dirinya mampu untuk melakukan apa yang diinginkan, direncanakan, dan
diharapkan dalam kehidupan (Davies, 2004). Kepercayaan diri memengaruhi
individu dalam pekerjaan, tugas akademik, kehidupan keluarga dan hubungan
sosial. Gulford (1959) menyatakan bahwa kepercayaan diri merupakan ciri
kepribadian yang mengandung arti keyakinan terhadap kemampuannya sendiri.
Menurut Fatimah (2006) kepercayaan diri adalah suatu sikap positif
individu yang yakin akan kemampuan dirinya untuk mengembangkan penilaian
positif,baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan atau situasi yang
diharapinya. Keyakinan individu terhadap segala aspek kelebihan yang dimiliki
sehingga membuatnya merasa mampu untuk bisa mencapai berbagai tujuan di
dalam hidupnya. Jadi, individu yang percaya diri memiliki rasa optimis dengan
18
kelebihan yang dimilikinya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya.
Kepercayaan diri merupakan sebuah keyakinan akan keberanian yang
dimiliki individu untuk menghadapi tantangan karena dapat memberi suatu
kesadaran bahwa belajar dari pengalaman jauh lebih penting daripada
keberhasilan atau kegagalan. Oleh karena itu individu tidak mudah terpengaruh
dengan orang lain (Lauster, 1978).
Berdasarkan uraian di atas maka, dapat disimpulkan bahwa kepercayaan
diri adalah suatu perasaan positif yang ada dalam diri individu berupa keyakinan
terhadap kemampuan dan potensi yang dimiliki, keberanian menghadapi
tantangan dan mampu merubah kelemahan menjadi sebuah motivasi, sehingga
individu merasa mampu mencapai tujuan seperti yang telah di rencanakan dan
diharapkan, dan dapat menghadapi segala situasi dengan tenang.
b. Faktor-faktor yang memengaruhi pembentukan kepercayaan diri
a) Faktor-faktor yang memengaruhi dari dalam individu meliputi :
1) Harga diri
Hurlock (1978) mengemukakan bahwa individu yang mengevaluasi diri
sendiri dan mampu menerima keadaan dirinya sendiri akan menciptakan rasa
kepercayaan diri dan harga diri. Individu yang memiliki harga diri tinggi
menyukai dirinya sendiri, merasa berharga dan memiliki nilai serta mempunyai
rasa percaya diri (Burns, 1979). Sementara individu dengan harga diri rendah
merasa cemas, tertekan, khawatir, tidak bahagia dan kurang keyakinan diri. Rasa
percaya diri yang dimiliki individu berawal dari terbentuknya konsep diri yang
19
positif kemudian berkembang melandasi harga diri yang dimiliki (Maslow, 1970).
Dari perkembangan konsep diri yang positif dan harga diri yang tinggi akan
mewujudkan kepercayaan diri individu sendiri.
2) Kondisi fisik
Kepercayaan diri berkaitan dengan daya tarik fisik individu. Fisik
merupakan bagian yang paling tampak dari kepribadian manusia dan menciptakan
kesan awal bagi orang lain. Penampilan fisik merupakan penyebab utama
rendahnya harga diri dan percaya diri seseorang (Anthony, 1992). Orang yang
berpenampilan menarik cenderung menghargai diri lebih tinggi daripada orang
yang berpenampilan membosankan. Citra tara individu dapat memengaruhi
keberanian individu untuk berbicara di depan umum. Orang yang puas dengan
keadaan dan penampilan fisiknya pada umumnya mempunyai kepercayaan diri
lebih tinggi daripada yang tidak (Triana, 2005).
3) Jenis kelamin
Dalam perbedaan jenis kelamin, laki-laki memiliki rasa percaya diri lebih
besar daripada wanita. Perbedaan kepercayaan diri antara dua jenis kelamin
tersebut pada awalnya disebabkan oleh perlakuan orangtua terhadap anak laki-laki
dan perempuan. Anak laki-laki ditempatkan pada peran yang lebih luas dari anak
perempuan. Menurut Istone, Majorm dan Bucher (1983) pemberian peran yang
berbeda kepada anak laki-laki dan perempuan ini secara tidak langsung
membentuk suatu konsep bahwa anak laki-laki merasa lebih superior daripada
anak perempuan. Superioritas yang tinggi menjadikan anak laki-laki mampu dan
percaya diri melakukan hal yang menantang. Sebaliknya, anak perempuan
20
seringkali canggung dan merasa kurang percaya diri apabila diminta mengemban
peran laki-laki.
4) Pengalaman
Kepercayaan diri tumbuh dan berkembang dalam kepribadian individu
melalui proses belajar dan berlatih. Pengalaman juga memberikan andil dalam
pembentukan kepercayaan diri individu. Rasa percaya diri bukan merupakan sifat
yang diturunkan melainkan diperoleh dari pengalaman hidup, serta dapat
diajarkan dan ditanamkan dalam pendidikan, sehingga upaya-upaya tertentu dapat
dilakukan guna membentuk dan meningkatkan rasa percaya diri (Lauster,1978).
b) Faktor yang memengaruhi dari luar diri individu meliputi
1) Pendidikan
Pendidikan memiliki peran penting bagi individu. Hal tersebut dikarenakan
pendidikan dapat membantu individu untuk memahami dirinya sendiri. Adanya
pemahaman terhadap diri sendiri akan membantu individu untuk beradaptasi
dengan lingkungan. Kesuksesan dalam penyesuaian diri di lingkungan akan
menambah rasa percaya diri individu karena mengetahui bagaimana individu
harus bersikap dan bertingkah laku baik untuk dapat diterima di lingkungannya.
Selain itu tingkat pendidikan yang rendah dapat menyebabkan individu
bergantung pada orang yang lebih pandai darinya, sebaliknya individu yang
memiliki tingkat pendidikan tinggi cenderung lebih mandiri dan tidak
menggantungkan dirinya pada orang lain. Ia mampu menghadapi tantangan yang
ada dengan penuh rasa percaya diri (Anthony, 1992).
2) Pola Asuh Orang Tua
21
Pola asuh merupakan faktor yang mendasar bagi terbentuknya rasa
kepercayaan diri pada individu. Terdapat tiga pola asuh orang tua terhadap
anaknya yaitu pola asuh otoriter, demokratis, dan permisif. Dari ketiga pola asuh
tersebut, pola asuh demokratis merupakan pola asuh pilihan yang paling
mendukung perkembangan kepribadian anak yang dapat menghasilkan pribadi
yang percaya diri (Lindenfield, 1997).
3) Lingkungan
Kepercayaan diri merupakan bagian dalam kepribadian manusia yang
terbentuk dan berkembang melalui proses belajar secara individual maupun sosial
(Burns, 1979). Dukungan yang positif dalam keluarga, seperti dapat berinteraksi
dengan baik akan memberikan rasa nyaman dan percaya diri yang tinggi. Begitu
juga dengan lingkungan masyarakat, semakin individu dapat mematuhi norma dan
diterima oleh masyarakat, maka semakin lancar hingga dirinya berkembang
(Centi, 1995). Kumara (1988) menjelaskan bahwa kepercayaan diri tidak terjadi
dalam masyarakat. Gilmer (1978) berpendapat bahwa lingkungan yang kompetitif
dan kebiasaan belajar yang baik dapat memberikan sumbangan bagi
perkembangan kepercayaan diri.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kepercayaan diri tidak
dapat tercipta tanpa adanya faktor-faktor yang memengaruhinya. Rasa percaya
diri terbentuk melalui suatu proses, baik proses belajar, proses interaksi dalam
keluarga, maupun dengan lingkungan. Pengalaman-pengalaman dari hasil
interaksi tersebut yang terdiri dari siapa dan bagaimana dirinya serta penilaian
22
terhadap fisiknya. Hal-hal yang berkaitan tersebut akan menjadi dasar
perkembangan rasa percaya diri individu.
F. Landasan Teori
Pelayanan promosi kesehatan yang dilakukan apoteker di Indonesia masih
dianggap hal yang baru. Menurut teori preceed procede, kemampuan apoteker
dalam memberikan layanan promosi kesehatan kepada pasien dan masyarakat
didasari oleh faktor-faktor predisposisi (predisposing), faktor pendorong
(reinforcing), dan faktor pendukung (enabling) (Green & Kreuter, 2005).
Pengetahuan dan persepsi merupakan faktor predisposisi untuk mengerjakan suatu
perilaku. Health Belief Model (HBM) merupakan teori yang mengidentifikasi
faktor-faktor yang memengaruhi perilaku pencegahan penyakit seperti
pemeriksaan kesehatan berkala dan imunisasi. Komponen dari teori ini adalah
persepsi akan ancaman yang terdiri dari dua komponen yaitu persepsi keparahan
dan kerentanan penyakit, persepsi akan hasil yang terdiri dari persepsi manfaat
dan hambatan suatu perilaku pencegahan, isyarat untuk bertindak, faktor lainnya
seperti sosial demografi, kebudayaan, dan kepercayaan.
Menurut sosial learning theory, oleh Bandura (1977), tindakan seseorang
didasari oleh keyakinan diri akan kemampuan melakukan sesuatu (self-efficacy).
Self-efficacy dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor individu (pengetahuan,
sikap, barrier), serta faktor lingkungan (norma subyektif, mastery experiences,
dan vicarious experiences) (Bandura, 1977).
Perilaku apoteker dalam menjalankan praktik promosi kesehatan erat
kaitannya dengan pengetahuan dasar yang dimiliki, sikap yang positif terhadap
23
pelayanan promosi kesehatan, serta kepercayaan diri apoteker. Faktor kendala
yang dirasakan apoteker diprediksi menjadi faktor penting juga dalam tindakan
apoteker memberi layanan promosi kesehatan untuk pasien (Kristina et al., 2014).
G. Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah:
1. Ada hubungan pengetahuan, persepsi peran, persepsi barrier dengan self-
efficacy dalam melakukan pelayanan promosi kesehatan oleh apoteker.
2. Ada hubungan antara pengetahuan, persepsi peran, persepsi barrier, dan self-
efficacy dengan praktik pelayanan promosi kesehatan oleh apoteker.
24
H. Kerangka Konsep Penelitian
Gambar 1.Kerangka Konsep Penelitian
Pengetahuan
Persepsi Peran
Persepsi Barrier
Self-efficacy
Promosi kesehatan
oleh apoteker di
wilayah DIY
Demografi apoteker
Nama
Jenis kelamin
Usia
Tempat bekerja
Lama bekerja
Tingkat pendidikan
Posisi
Pendapatan
Personal attribute