bab i pendahuluan a. latar belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6756/1/t1_802008001_bab...

14
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja akhir merupakan rangkaian terakhir dalam rentang perkembangan remaja yang berkisar antara usia 18-21 tahun (Steinberg, 1993). Masa remaja dikatakan sebagai peralihan masa perkembangan yang melibatkan perubahan besar dalam aspek fisik, kognitif, dan psikososial. Secara fisik, remaja mengalami tanda- tanda kematangan seksual yang dilihat dari munculnya karakteristik seks primer dan sekunder (Papalia, Olds dan Feldman, 2009). Perubahan fisik yang dramatis ini memiliki efek psikologis yang membuat remaja lebih peduli dengan penampilan mereka dibandingkan dengan aspek lain dalam diri. Rosenblum dan Lewis (1999) dalam Papalia (2009) menjelaskan bahwa remaja perempuan cenderung lebih tidak bahagia dengan penampilan mereka sehingga diantaranya mengalami gangguan makan seperti bulimia atau anoreksia untuk mencapai cermin diri yang ideal. Selain perubahan fisik, fungsi kognitif remaja juga mengalami perkembangan yang pesat. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan dramatis struktur otak yang berkaitan dengan emosi, penilaian, organisasi perilaku, dan kontrol diri. Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Baird, Gruber, et al (1999), diketahui bahwa remaja awal usia 11-13 tahun cenderung menggunakan amigdala (bagian otak dalam lobus temporal) yang berperan besar dalam reaksi emosional dan instingtual, sedangkan remaja akhir di awal usia 20 tahunan cenderung menggunakan

Upload: phungkhanh

Post on 06-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6756/1/T1_802008001_BAB I.pdf · A. Latar Belakang . ... Perkembangan otak yang belum matang pada usia remaja

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Remaja akhir merupakan rangkaian terakhir dalam rentang

perkembangan remaja yang berkisar antara usia 18-21 tahun

(Steinberg, 1993). Masa remaja dikatakan sebagai peralihan masa

perkembangan yang melibatkan perubahan besar dalam aspek fisik,

kognitif, dan psikososial. Secara fisik, remaja mengalami tanda-

tanda kematangan seksual yang dilihat dari munculnya karakteristik

seks primer dan sekunder (Papalia, Olds dan Feldman, 2009).

Perubahan fisik yang dramatis ini memiliki efek psikologis yang

membuat remaja lebih peduli dengan penampilan mereka

dibandingkan dengan aspek lain dalam diri. Rosenblum dan Lewis

(1999) dalam Papalia (2009) menjelaskan bahwa remaja perempuan

cenderung lebih tidak bahagia dengan penampilan mereka sehingga

diantaranya mengalami gangguan makan seperti bulimia atau

anoreksia untuk mencapai cermin diri yang ideal.

Selain perubahan fisik, fungsi kognitif remaja juga

mengalami perkembangan yang pesat. Hal ini dapat dilihat dari

perkembangan dramatis struktur otak yang berkaitan dengan emosi,

penilaian, organisasi perilaku, dan kontrol diri. Dalam suatu

penelitian yang dilakukan oleh Baird, Gruber, et al (1999),

diketahui bahwa remaja awal usia 11-13 tahun cenderung

menggunakan amigdala (bagian otak dalam lobus temporal) yang

berperan besar dalam reaksi emosional dan instingtual, sedangkan

remaja akhir di awal usia 20 tahunan cenderung menggunakan

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6756/1/T1_802008001_BAB I.pdf · A. Latar Belakang . ... Perkembangan otak yang belum matang pada usia remaja

2

lobus frontalis yang memungkinkan penilaian lebih akurat dan

beralasan. Perkembangan otak yang belum matang pada usia remaja

awal dapat membuat perasaan atau afeksi mengalahkan akal sehat.

Hal ini seringkali menyebabkan remaja membuat pilihan yang tidak

bijaksana seperti penyalahgunaan alkohol, narkoba, atau perilaku

seksual berisiko.

Aspek lain yang juga mengalami perkembangan dalam fase

remaja ini ialah aspek psikososial. Erikson (1968) mengemukakan

bahwa masa remaja adalah masa menghadapi ”krisis” dari fase

’pencarian identitas vs kebingungan identitas’. Erikson (1968)

dalam Kroger (1993) melihat indikasi bahaya yang mungkin

muncul dalam fase ini. Apabila tahap pencarian identitas ini tidak

terpenuhi, maka hal tersebut menghambat tercapainya kedewasaan

secara psikologis. Hal tersebut seringkali membuat remaja mundur

ke sifat kekanak-kanakan untuk menghindari penyelesaian konflik

dan melakukan segala sesuatu dengan impulsif (Erikson, 1982).

Penjabaran mengenai perkembangan aspek fisik, kognitif,

dan psikososial di atas sekaligus mengungkap berbagai resiko yang

dapat muncul selama periode perkembangan remaja berlangsung.

Dapat diartikan, remaja pada fase perkembangan ini menunjukkan

kerentanan di berbagai aspek kehidupannya. Namun, bukan berarti

kerentanan tersebut tidak dapat dikendalikan. Jalaludin (2007)

mengemukakan bahwa beberapa penelitian terdahulu telah mencoba

mengaitkan aspek religiusitas dengan proses pembentukan sikap

dan perilaku. Penelitian tersebut membuktikan bahwa religiusitas

yang dimiliki oleh seorang individu berpengaruh dalam penentuan

sikap dan perilaku individu. Hal ini disebabkan oleh proses

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6756/1/T1_802008001_BAB I.pdf · A. Latar Belakang . ... Perkembangan otak yang belum matang pada usia remaja

3

internalisasi dari nilai-nilai agama yang diyakini individu dan

menjadi pedoman dalam menentukan sikap dan perilaku.

Secara garis besar, religiusitas dan agama ialah dua konsep

yang berbeda, namun berkaitan. English dan English (1958)

mendefinisikan agama sebagai sistem perilaku, kebiasaan, ritual,

upacara yang berisi rangkaian nilai-nilai dan diyakini oleh masing-

masing individu atau kelompok dalam membangun hubungan

dengan Tuhan. Sedangkan, James (1958) dalam Paloutzian dan

Park (2005) mendefinisikan religiusitas sebagai perasaan, tindakan,

dan refleksi akan pengalaman individual dalam usaha menghayati

hubungan dengan sesuatu yang diyakininya. Jadi, dapat dikatakan

bahwa agama mengarah pada suatu sistem yang bersifat

institusional, sedangkan religiusitas lebih mengarah pada keyakinan

dan kepercayaan seorang individu kepada Tuhan yang bersifat

internal.

Jalaludin (2002) mengungkapkan bahwa setiap individu

memiliki dorongan untuk dicintai, tunduk dan mendekatkan diri

pada suatu kekuatan yang ada di luar dirinya sejak dilahirkan. Para

peneliti lainnya juga memiliki spekulasi yang merujuk pada

anggapan bahwa manusia adalah makhluk homo religious, yakni

bahwa setiap manusia memiliki satu atau lebih insting religius yang

dirancang untuk menghasilkan keyakinan dalam mencapai berbagai

tujuan. Berdasarkan pernyataan tersebut – baik secara eksplisit

maupun implisit – observasi sebagai langkah untuk mengambil pola

universal dari waktu dan budaya yang berbeda, menghasilkan bukti

bahwa “God module” atau konsep mengenai Tuhan telah ada di

dalam otak manusia. Insting religius ini memberikan ketahanan

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6756/1/T1_802008001_BAB I.pdf · A. Latar Belakang . ... Perkembangan otak yang belum matang pada usia remaja

4

bagi individu untuk menghadapi ketakutan akan kematian,

mengurangi berbagai bentuk kecemasan dan konflik dari solidaritas

sosial (Paloutzian dan Park, 2005).

Terkait dengan hal tersebut, masa remaja merupakan tahap

yang penting dalam perkembangan religiusitas (Crapps, 1994). Hal

ini juga dinyatakan oleh Hall (dalam Nelson, 2009) yang mengakui

bahwa masa kanak-kanak hingga remaja merupakan periode

penting dalam perkembangan religiusitas seorang individu karena

masa ini dilihat sebagai prediksi akan kehidupan masa dewasa yang

akan datang. Goldman (1964) menguraikan kemampuan yang

berkembang dalam membentuk konsep-konsep religius. Pada usia

6-11 tahun, cara berpikir anak terbatas pada situasi, perbuatan dan

data konkret. Tetapi setelah usia 11 atau 12 tahun, cara berpikir

logis dalam lambang dan gagasan abstrak mulai nampak dan

berfungsi, meskipun penggunaannya yang efektif baru berkembang

pada usia 17-18 tahun. Sejalan dengan itu, Loomba (1944) dalam

Crapps (1994) meyakini bahwa perkembangan kognitif yang

bertahap tersebut turut memungkinkan terjadinya perpindahan atau

transisi dari agama lahiriah ke agama batiniah.

Meskipun konsep mengenai Tuhan telah ada dalam otak

manusia, namun transisi konsep religius tidak berlangsung dengan

sendirinya (Jalaludin, 2010). Kehidupan religius anak memiliki

karakteristik yang unik dan inilah peran keluarga untuk

mengembangkannya (Pendleton, Benore, Jonas, Norwood, dan

Herrmann, 2004). Meskipun pendidikan agama di sekolah ataupun

pergaulan dengan teman sebaya juga merupakan faktor penting

dalam proses transisi religiusitas anak, namun parental religiousity

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6756/1/T1_802008001_BAB I.pdf · A. Latar Belakang . ... Perkembangan otak yang belum matang pada usia remaja

5

terhadap anak memiliki efek terkuat dalam kehidupan religius anak

(Regnerus dalam Nelson, 2009). Beberapa penelitian yang

dilakukan menyatakan bahwa persepsi anak mengenai kehidupan

religius orangtua mereka memiliki pengaruh yang besar terhadap

perkembangan kehidupan religius anak (Bao, Whitbeck, Hoyt, dan

Conger, 1999; Okagaki dan Bevis, 1999).

Berkaitan dengan pernyataan tersebut, Kirkpatrick (1999)

dan Kirkpatrick (2005) turut meyakini bahwa bentuk spesifik dari

keyakinan religius muncul melalui proses pengelolaan informasi

yang diterima individu dari hubungan interpersonal – kelekatan

(attachment) keluarga, persahabatan, koalisi, dan lain sebagainya –

yang ditunjukkan melalui keyakinan spesifik dan menjadi pedoman

individu dalam berperilaku. Granqvist (2003) juga menyatakan

bahwa beberapa aspek dalam perkembangan religiusitas individu di

masa remaja dan dewasa dapat diprediksi melalui pola kelekatan

yang diterima individu pada masa kanak-kanak.

Bowlby (1988) dalam Santrock (2002) menyatakan bahwa

konsep kelekatan mengacu pada suatu relasi antara dua orang, yakni

bayi dan orangtua (infant-parent) yang memiliki perasaan yang kuat

satu sama lain dan melakukan banyak hal bersama untuk

melanjutkan relasi tersebut. Erikson (1968) menyebutkan bahwa

tahun pertama kehidupan merupakan tahap kunci dalam

pembentukan kelekatan karena pada tahap tersebut, anak mulai

membentuk kepercayaan atau ketidakpercayaan. Rasa percaya

memerlukan suatu perasaan akan adanya kenyamanan fisik dan

sejumlah kecil rasa khawatir serta pemahaman akan masa depan.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6756/1/T1_802008001_BAB I.pdf · A. Latar Belakang . ... Perkembangan otak yang belum matang pada usia remaja

6

Relasi yang menanamkan kepercayaan tersebut kemudian

menimbulkan rasa aman pada diri anak.

Lebih lanjut, Bowlby (1988) dalam Holmes (1993)

menyatakan bahwa kelekatan dan ketergantungan anak terhadap

orangtua sebagai figur lekat akan terus aktif sepanjang rentang

kehidupan anak. Pada masa kanak-kanak, kelekatan anak dan figur

lekat dapat dilihat dari perilaku anak dalam ’situasi terpisah’ dari

figur lekatnya. Situasi terpisah dianggap sebagai ancaman bagi anak

sehingga anak menangis, memberontak, dan mencari figur lekat.

Semakin anak menunjukkan protes terhadap situasi terpisah dengan

figur lekat, maka semakin anak tersebut merasa aman dengan figur

lekat dan mencari kedekatan dengan figur lekat tersebut

(Ainsworth, 1982).

Pola kelekatan yang terjalin di masa kanak-kanak itu

berkembang hingga masa remaja. Bowlby (1988) dalam Holmes

(1993) menyatakan bahwa pada masa remaja, kelekatan yang

terjalin dalam relasinya dengan orangtua akan mengaktifkan

kembali ingatan remaja pada pola kelekatan yang terjalin selama

masa kanak-kanak, khususnya ketika remaja dihadapkan pada

kesakitan, kelelahan, dan situasi yang mengancam. Meskipun pada

masa remaja, figur lekat remaja dapat berpindah ke figur lekat yang

lain seperti teman sebaya, namun kelekatan yang dimiliki remaja

dengan orangtua di tahun-tahun pertama kehidupannya membuat

remaja tetap mencari orangtua sebagai figur lekat pertama yang

dibutuhkan.

Hal ini turut diperkuat dengan pernyataan Freud (1926)

dalam Holmes (1993) yang menerangkan bahwa pada situasi sulit

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6756/1/T1_802008001_BAB I.pdf · A. Latar Belakang . ... Perkembangan otak yang belum matang pada usia remaja

7

yang mengancam, remaja akan mencari kehadiran orangtua –

khususnya ibu – karena remaja tersebut telah memiliki pengalaman

kepuasan yang diperolehnya di masa bayi hingga kanak-kanak

seperti pemenuhan kebutuhan tanpa penundaan, perlindungan dari

bahaya, dan pemberian pertolongan saat dibutuhkan. Hal ini

membuatnya merasa aman berada dekat dengan figur lekatnya.

Prinsip pokok dari pola kelekatan yang aman (secure)

direfleksikan dalam perilaku secure-base antara anak dan orangtua

(Bowlby, 1973, 1982; Bretherton, 1985; Main, Kaplan, dan

Cassidy, 1985). Bowlby (1982) menyatakan bahwa perilaku secure-

base sekaligus mengindikasikan level keamanan (security) yang

dimiliki individu dari proses kelekatan di sepanjang rentang

perkembangannya. Esensi dari prinsip dasar secure-base ialah

peningkatan kemampuan eksplorasi dan pemenuhan rasa ingin tahu

anak tanpa rasa khawatir karena figur lekat dianggap dapat diakses,

melindungi dan menolong saat dibutuhkan. Ketika bahaya datang

mengancam, anak dapat mencari figur lekat dan ketika ancaman

telah terlewati, figur lekat tetap memberinya kesempatan untuk

kembali mengeksplorasi dunianya dan anak yakin bahwa figur lekat

tetap dapat diakses apabila ancaman datang kembali (Ainsworth,

1982).

Secara spesifik, perilaku secure-base dapat dilihat melalui

munculnya perilaku secure-base use dan secure-base support.

Secure-base use adalah perilaku anak yang menunjukkan rasa aman

terhadap figur lekat karena menganggap figur lekat dapat diakses

saat dibutuhkan, sedangkan secure-base support adalah perilaku

orangtua yang menunjukkan pemberian rasa aman terhadap anak

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6756/1/T1_802008001_BAB I.pdf · A. Latar Belakang . ... Perkembangan otak yang belum matang pada usia remaja

8

dengan menjadi figur yang dapat diakses ketika dibutuhkan.

(Ainsworth, 1982). Sama halnya dengan kelekatan yang mengalami

transisi dari masa kanak-kanak ke masa remaja, perilaku secure-

base juga mengalami transisi.

Allen dan Land (1999) menganggap bahwa masa remaja

merupakan periode transisi utama dalam perkembangan proses

kelekatan yang terlihat melalui perilaku secure-base use remaja dan

secure-base support orangtua. Selama periode ini berlangsung,

remaja mulai menginginkan kapasitas otonomi yang lebih dari figur

lekatnya (orangtua). Dykas (2003) menyatakan bahwa para ahli

yang meneliti tentang kelekatan menemukan bahwa struktur

kelekatan mulai berubah sejalan dengan berubah bentuknya secure-

base pada masa remaja. Perubahan tersebut terjadi sebagai bentuk

representasi dari perilaku secure-base yang terjadi pada masa

kanak-kanak.

Ziv, Feeney, dan Cassidy (2001) dalam Dykas (2003) turut

menemukan perubahan struktur kelekatan di masa remaja dan

mengembangkan beberapa komponen yang muncul dalam perilaku

secure-base use remaja dan secure-base support orangtua, yakni

mencakup penghargaan relasi, diskusi yang terbuka tentang masa

depan remaja, rasa aman secara menyeluruh, dukungan terhadap

otonomi remaja, dan kepekaan terhadap pemberian perhatian

kepada remaja. Remaja yang merasa aman memiliki keyakinan

bahwa figur lekat merupakan figur yang mudah diakses, tersedia,

dan responsif ketika dibutuhkan.

Hal tersebut kemudian dikaitkan dengan kondisi religius

seorang individu yang dapat diprediksi melalui rasa aman yang

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6756/1/T1_802008001_BAB I.pdf · A. Latar Belakang . ... Perkembangan otak yang belum matang pada usia remaja

9

muncul dari relasi seorang individu dengan orangtua. Kirkpatrick

(1992) menyatakan bahwa konsep Tuhan yang diyakini dalam

setiap agama dianggap sebagai figur lekat yang responsif. Figur

tersebut dianggap dapat memenuhi kebutuhannya, memberikan rasa

aman dan dapat dipercaya sehingga individu berdoa kepada figur

tersebut. Individu yang religius terus mengarahkan diri kepada

Tuhan dalam bentuk doa karena figur ini dianggap dapat menolong

di saat krisis kehidupan. Sejalan dengan itu, figur orangtua yang

mencintai dan melindungi ternyata memberikan kontribusi akan

terbentuknya figur Tuhan yang mencintai dan dapat dipercaya.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Granqvist dan

Hagekull (2000), motivasi dalam mengembangkan insting religius

dalam masa remaja memiliki hubungan positif dengan pola

kelekatan yang secure dan hubungan negatif dengan pola kelekatan

yang insecure. Lebih lanjut, Kirkpatrick dan Shaven (1990)

menemukan bahwa rasa aman yang diberikan oleh orangtua yang

religius akan menghasilkan anak yang lebih religius dibandingkan

dengan anak yang mendapatkan rasa aman dari orangtua yang tidak

religius.

Pentingnya rasa aman yang diberikan orangtua untuk

mengembangkan religiusitas anak ini menjadi potensi masalah

ketika kedua orangtua menjalani pernikahan beda agama.

Handrianto (dalam Djajasinga, 2004) mengartikan pernikahan beda

agama sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita

yang masing-masing berbeda agamanya namun tetap

mempertahankan perbedaan itu sebagai suami dan istri. Bossard

dan Boll (1957) menyebutkan bahwa anak dalam keluarga beda

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6756/1/T1_802008001_BAB I.pdf · A. Latar Belakang . ... Perkembangan otak yang belum matang pada usia remaja

10

agama memiliki potensi masalah, yakni ketika lahir, penentuan

agama anak kerap kali diperebutkan oleh keluarga besar. Beranjak

usia, anak yang telah menjadi remaja dapat mengalami

kebingungan dalam menentukan agamanya.

Apabila kedua orangtua adalah figur yang sama baik di mata

anak, maka anak akan cenderung menarik diri dari hal-hal yang

bersifat keagamaan karena merasa takut menyakiti hati salah satu

orangtuanya (Viemilawati, 2002). Pernyataan tersebut diperkuat

dengan hasil wawancara awal peneliti dengan tiga orang

narasumber remaja akhir yang merupakan anak dari orangtua yang

menjalani pernikahan beda agama, dua di antaranya memiliki

orangtua dengan agama Islam-Kristen, dan satu di antaranya ialah

anak dari orangtua yang beragama Islam-Katolik.

Wawancara tersebut menunjukkan hasil bahwa remaja

cenderung mengalihkan topik yang berkenaan dengan hal

keagamaan jika sedang diperhadapkan dengan kedua orangtua.

Remaja berpikir bahwa hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan

tidak perlu diperbincangkan sebagai bentuk toleransi terhadap

orangtua yang berlainan keyakinan, sehingga mereka lebih nyaman

mendiskusikan hal di luar keagamaan, seperti pendidikan,

pergaulan, dan masa depan. Berdasarkan observasi yang dilakukan

peneliti, remaja dan orangtua juga jarang sekali menunjukkan

simbol-simbol keagamaan dalam melakukan kegiatan bersama.

Dapat dilihat, hasil dari penelitian terhadap keluarga beda

agama menunjukkan data yang berbanding terbalik dengan

penelitian mengenai prinsip perilaku secure-base dan kaitannya

dengan perkembangan religiusitas anak di masa yang akan datang.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6756/1/T1_802008001_BAB I.pdf · A. Latar Belakang . ... Perkembangan otak yang belum matang pada usia remaja

11

Jika dilihat, perilaku secure-base yang di dalamnya mengandung

unsur cinta kasih, rasa aman dan nyaman dari kedua orangtua

terbukti dapat memotivasi anak dalam mengembangkan insting

religiusnya di masa remaja. Sedangkan dalam keluarga beda agama,

kebaikan orangtua yang seimbang di mata anak justru membuat

anak merasa takut dan cenderung menarik diri untuk

mengembangkan insting religiusnya.

Fenomena tersebut membuat peneliti bertanya: Apakah

dalam pernikahan beda agama, perilaku secure-base use remaja

dan perilaku secure-base support orangtua memiliki hubungan

dengan religiusitas remaja akhir? Untuk menjawab pertanyaan

tersebut, maka peneliti melakukan penelitian terhadap keluarga

beda agama, yakni keluarga yang orangtuanya menganut agama

Islam dan Kristiani. Pemilihan sampel ini didasarkan pada data

empiris yang menunjukkan bahwa dari sekian banyak kasus

pernikahan beda agama yang dilangsungkan, persentase tertinggi

pasangan yang melaksanakan pernikahan beda agama ialah

pasangan yang beragama Islam dan Kristiani (Aini, 2003).

Melalui paparan latar belakang di atas, maka dengan

penelitian ini peneliti akan mengukur perilaku secure-base use

remaja dan secure-base support orangtua serta melihat

hubungannya dengan religiusitas remaja akhir dari pernikahan beda

agama (Islam-Kristiani).

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6756/1/T1_802008001_BAB I.pdf · A. Latar Belakang . ... Perkembangan otak yang belum matang pada usia remaja

12

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, maka

dapat dirumuskan permasalahan yang menjadi fokus dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pada pernikahan beda agama (Islam-Kristiani), apakah perilaku

secure-base use remaja memiliki hubungan positif dengan

religiusitas remaja?

2. Pada pernikahan beda agama (Islam-Kristiani), apakah perilaku

secure-base support orangtua memiliki hubungan positif dengan

religiusitas remaja?

C. Tujuan Penelitian

Menyadari fungsi fundamental religiusitas pada kehidupan

remaja, yakni sebagai penentu sikap dan perilaku di kehidupan

personal maupun bermasyarakat, serta melihat adanya keterkaitan

antara perilaku secure-base anak-orangtua dengan religiusitas anak

di masa remaja akhir, maka penelitian ini dilakukan untuk melihat

perilaku secure-base use remaja dan secure-base support orangtua

dalam keluarga beda agama (Islam-Kristiani) dan hubungannya

dengan religiusitas anak di masa remaja akhir.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a) Hasil penelitian ini akan memperkaya ilmu pengetahuan

Psikologi, khususnya kajian Psikologi Perkembangan

terkait dengan perilaku secure-base use remaja dan secure-

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6756/1/T1_802008001_BAB I.pdf · A. Latar Belakang . ... Perkembangan otak yang belum matang pada usia remaja

13

base support orangtua serta kaitannya dengan religiusitas

remaja akhir dari pernikahan Islam-Kristiani.

b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambahkan kajian

dalam Psikologi Agama tentang religiusitas remaja akhir

yang dibesarkan dari pernikahan Islam-Kristiani.

2. Manfaat Praktis

a) Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi inspirasi atau

referensi bagi para peneliti selanjutnya yang ingin

mengembangkan penelitian terkait dengan perilaku secure-

base use remaja dan secure-base support orangtua serta

religiusitas remaja dari pernikahan Islam-Kristiani.

b) Bagi Remaja Akhir

Penelitian ini diharapkan dapat memberi pemahaman bagi

remaja akhir mengenai pentingnya menjaga relasi yang lekat

dengan orangtua dan juga memberikan pengetahuan bahwa

religiusitas memiliki peran yang penting dalam menjaga

sikap dan perilaku dalam kehidupan personal maupun

kehidupan bermasyarakat.

c) Bagi Orangtua

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan dan

pemahaman bagi orangtua akan pentingnya membina

kerjasama dalam mengajarkan dan membimbing remaja

yang menganut agama sama dengan orangtua sehingga

remaja dapat menjadikan figur orangtua sebagai panutan

dalam menjalankan ritual atau praktek keagamaan.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/6756/1/T1_802008001_BAB I.pdf · A. Latar Belakang . ... Perkembangan otak yang belum matang pada usia remaja

14

2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman

bagi orangtua agar lebih mempertahankan dan memelihara

relasi yang lekat dengan remaja sehingga remaja merasa

aman dan nyaman berada di dekat kedua orangtua.