bab i pendahuluan a. latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kanker merupakan penyebab angka kematian nomor satu di dunia. Pada
tahun 2012, diperkirakan ada 14 juta kasus kanker baru tiap tahunnya.
Berbagai macam kanker sering terdiagnosis pada manusia, salah satunya
adalah kanker payudara. Kanker payudara sendiri menempati urutan kedua
kanker yang biasa terdiagnosis (1,7 juta, 11,9%) setelah kanker paru (1,8
juta, 13% dari kasus total) (WHO, 2014). Hingga tahun 2012, angka
kematian karena kanker payudara berkisar 41% di China, 17% di Indonesia,
dan 12% di Jepang (Youlden et al., 2014).
Pengobatan yang biasa dilakukan pada penyakit kanker antara lain
kemoterapi, pembedahan, dan radioterapi. Akan tetapi, muncul berbagai
efek samping setelah dilakukan pengobatan tersebut, antara lain: mual,
muntah dan rambut rontok, myalgia, thromboembolisme, neuropati,
kelelahan, berat badan naik, gagal jantung, dan leukimia (Coates et al, 1983;
Partridge et al., 2001). Pengobatan kanker ini bersifat tidak selektif karena
tidak hanya membunuh sel kanker, tetapi juga membunuh sel normal.
Hingga saat ini, telah banyak dilakukan penelitian mengenai senyawa-
senyawa antikanker yang diketahui selektif terhadap sel kanker.
2
Banyak hasil penelitian yang telah mengatakan bahwa beraneka macam
tumbuhan memiliki kandungan senyawa antikanker. Salah satunya adalah
tanaman Curcuma sp. yang megandung senyawa kurkumin. Kurkumin (1,7-
bis-(4’-hydroxy-3’-methoxyphenyl)-1,6-heptadiene-3,5-dione) merupakan
salah satu komponen aktif tanaman Curcuma sp. yang telah dikembangkan
metodenya oleh Pabon (1964) dengan mereaksikan vanilin dan asetil aseton
dalam etil asetat pada suhu kamar. Berdasarkan penngamatan menggunakan
metode real-time PCR, kurkumin diketahui memiliki efek antikanker
menghambat ekspresi telomerase pada sel T47D (Nasiri et al., 2013).
Kemudian dikembangkan analog dari kurkumin, salah satunya
yaitu Pentagamavunon-0 (2,5-bis-(4’-hydroxy-3’-methoxy-benzylidine)cyclo-
pentanone) atau biasa disebut dengan PGV-0 yang merupakan hasil sintesis
dari Sardjiman (2000) diketahui juga memiliki efek antiinflamasi dan
antikanker dengan memacu terjadinya apoptosis (Supardjan et al., 2000;
Nurulita et al., 2006).
Akan tetapi, kurkumin dan PGV-0 memiiki bioavailabilitas yang
rendah dalam penggunaan oral karena sifatnya yang sukar larut air. Apabila
obat memiliki bioavailabilitas yang rendah, maka akan menurunkan efikasi
dari obat tersebut (Yuwono and Oetari, 2004). Untuk mengatasi hal
tersebut, maka dilakukan pengembangan dengan membuat Self-Nano
Emulsifying Drug Delivery System (SNEDDS) dari kurkumin dan PGV-0.
SNEDDS diketahui mampu meningkatkan kelarutan obat yang lipofil
(Pouton, 2000; Gursoy and Benita, 2004).
3
Penelitian mengenai potensi efek sitotoksik dari formulasi
SNEDDS kurkumin dan SNEDDS PGV-0 ini belum pernah dilakukan
sebelumnya khususnya pada sel kanker payudara T47D dan sel normal
Vero. Penggunaan sel kanker payudara T47D tersebut bertujuan untuk
melihat apakah formulasi SNEDDS dan SNEDDS PGV-0 berpotensi
membunuh sel kanker payudara, sedangkan penggunaan sel Vero bertujuan
untuk melihat selektivitasnya terhadap sel normal. Dengan dilakukannya
penelitian ini, diharapkan dapat diketahui efikasi dan selektivitas SNEDDS
kurkumin dan PGV-0.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh formulasi SNEDDS pada senyawa kurkumin dan
PGV-0 terhadap efek sitotoksiknya pada sel kanker payudara T47D?
2. Bagaimana pengaruh formulasi SNEDDS pada senyawa kurkumin dan
PGV-0 terhadap efek sitotoksiknya pada sel normal Vero?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mencari bukti ilmiah
terkait efek antikanker dari formulasi SNEDDS senyawa kurkumin dan
PGV-0.
4
2. Tujuan Khusus
a. Mengkaji pengaruh formulasi SNEDDS dari senyawa kurkumin dan
PGV-0 terhadap efek sitotoksiknya pada sel kanker payudara T47D.
b. Mengkaji pengaruh formulasi SNEDDS dari senyawa kurkumin dan
PGV-0 terhadap efek sitotoksiknya pada sel normal Vero.
D. Pentingnya Penelitian Diusulkan
1. Bagi Masyarakat
Masyarakat mendapat referensi alternatif obat kanker payudara.
2. Bagi Industri Obat
Industri dapat mengembangkan produk obat kanker baru yang efektif
sehingga dapat dipasarkan dengan jangkauan yang lebih luas.
3. Bagi Akademisi
Mengkaji pengaruh formulasi SNEDDS kurkumin dan SNEDDS PGV-0
terhadap efek sitotoksik kurkumin dan PGV-0 terhadap sel kanker
payudara T47D serta sel normal Vero. Hasil penelitian ini bermanfaat
untuk menambah data ilmiah mengenai aktivitas SNEDDS kurkumin dan
SNEDDS PGV-0 sebagai agen antikanker sehingga dapat menjadi sumber
data yang bermanfaat dan dapat digunakan sebagai landasan bagi
pengembangan penelitian selanjutnya.
5
E. Tinjauan Pustaka
1. Kanker
Kanker merupakan suatu penyakit yang dapat menyerang suatu
bagian tubuh yang ditandai dengan pertumbuhan sangat cepat dari sel
abnormal, dapat menginvasi jaringan normal lain yang ada di tubuhdan
menyebar pada organ lain (metastasis), biasa pula disebut sebagai tumor
malignan atau neoplasma (WHO, 2014). Hal ini dapat menyebabkan
gangguan kesehatan bahkan kematian.
Secara umum, ciri-ciri sel kanker adalah a) memiliki kemampuan
untuk mengadakan pertumbuhan sendiri dengan memacu daur sel b)
insensitif terhadap anti faktor pertumbuhan yang menyebabkan daur sel
tidak terhenti c) kehilangan kemampuan apoptosis (kemampuan
melakukan program bunuh diri) sehingga sel terus bertambah d) invasi ke
jaringan lain dan masuk ke persaran darah, sehingga dapat mengalami
metastasi e) dengan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan sinyal
pertumbuhan dan menghindar dari mekanisme apoptosis, sel kanker
memiliki kemampuan untuk bereplikasi tak terbatas (immortal) f)
kemampuan untuk membentuk saluran darah ke sel kanker (angiogenesis)
(Hanahan and Weinberg, 2000).
Kanker terjadi karena adanya perubahan genetik pada tubuh.
Berbagai macam perubahan genetik yang menyebabkan pertumbuhan
tidak terkontrol dan kehilangan kemampuan senescence inilah yang
menyebabkan progresi kanker (DeVita et al., 2001). Perubahan pada gen-
6
gen yang berperan proliferasi sel, seperti oncogen (regulator positif)
maupun tumor suppressor gene (regulator negatif) menyebabkan
proliferasi tak terkendali dari sel kanker (King and Robbins, 2006).
Oncogene seperti bcl-2 yang berperan dalam modulasi apoptosis ketika
terjadi perubahan ekspresi justru akan mengeblok apoptosis. Berdasarkan
penelitian di limfoma, bcl-2 tidak secara langsung menyebabkan kanker,
tetapi diikuti dengan rearrangement onkogen lain seperti c-myc yang
mempercepat progresi limfoma. Interaksi bcl-2/myc ini mendukung
prinsip onkogen bahwa adanya satu gen kanker akan meningkatkan
keganasan kanker. Selain itu, tumor suppressor gene seperti
retinoblastoma gene (Rb-1) dan p53 yang berperan untuk menghambat
proliferasi sel, memiliki mekanisme penghambatan masing-masing. Rb-1
secara negatif mengatur faktor traksripsi E2F yang penting dan dengan
adanya delesi pada Rb gene berakibat terjadinya supresi pada E2F. p53
meningkatkan ekspresi dari p21/CIP1 yang berfungsi sebagai supresor dari
cell-cycle regulatory kinases [cyclin-dependent kinases (CDKs)] yang
dibutuhkan dalam siklus sel dan CDK inhibitor seperti p21/CIP1 memblok
proses tersebut. Apabila p53 kehilangan fungsinya, akan mengakibatkan
siklus sel yang tak terkendali (DeVita et al., 2001).
Proses terjadinya kanker meliputi beberapa tahap, yaitu inisiasi,
promosi, malignant conversion, dan progesi tumor. Pada proses inisiasi,
terjadi paparan kimia yang mengakibatkan adanya mutasi pada sintesis
DNA sehingga terjadi kerusakan genetik yang irreversible. Promosi tumor
7
dimulai ketika terjadi ekspansi klonal pad sel yang terinisiasi sehingga
meningkatkan jumlah sel yang mengalami kerusakan DNA dan
meningkatkan terjadinya malignant conversion. Malignant conversion
merupakan perubahan sel preneoplastik menjadi sel yang mengekspresikan
fenotip malignant. Progresi tumor merupakan tahap dimana fenotip
malignant berkarakter lebih agresif yang memungkinkan terjadinya
metastasis (Weston and Harris, 2003).
2. Kanker Payudara
Kanker merupakan penyebab kematian terbesar di dunia (WHO,
2014). Kanker payudara bermula ketika sel pada payudara tumbuh tidak
terkontrol, biasanya membentuk tumor dan dapat dilihar dengan sinar X
dan dapat dirasakan sebagai benjolan. Biasanya kanker payudara bermula
dari saluran yang menghasilkan air susu ke arah nipple (ductal cancer)
atau dari kelenjar air susu (lobular cancer) (American Cancer Society,
2014). Faktor resiko yang dapat meningkatkan terjadinya kanker payudara
antara lain, faktor genetik dan faktor gaya hidup. Faktor gaya hidup antara
lain kebiasaan minum alkohol, merokok, obesitas, high fat diets,
penggunaan hormone replacement therapy (U.S. Department of Health
and Human Services, 2009).
Adanya mutasi genetik pada kanker payudara mempengaruhi
berbagai mekanisme seluler yang mengatur pertumbuhan dan proliferasi
sel. Gen-gen tersebut antara lain onkogen HER-2 yang berfungsi sebagai
growth factor receptor, c-MYC sebagai faktor transkripsi, dan RAS
8
sebagai sinyal transduksi, gen ER sebagai factor transkripsi, dan gen pada
cyclin D dan E yang mengatur CDKs, tumor suppressor genes sepert RB,
p53, serta BRCA-1 dan BRCA-2 (Suter and Marcum, 2007). Gen p53
bertugas segabai mediator dalam G1-S growth arrest dan mengatur
apoptosis dari DNA yang rusak (Arun and Hortobagyi, 2002). BRCA-1
merupakan gen yang berfungsi sebagai penanda ketika terjadi kerusakan
DNA dan regulator apoptosis, sedangkan BRCA-2 berfungsi untuk
merespon ketika terjadi kerusakan pada DNA (Martin and Weber, 2000).
Adanya mutasi pada gen-gen tersebut mengakibatkan pertumbuhan yang
tak terkendali dari sel kanker.
Pengobatan kanker payudara secara molekuler dapat melalui
hormonal yang dipresentasikan oleh reseptor estrogen dan non hormonal
yang dibagi menjadi tiga tipe yaitu pengaturan sinyal tranduksi, siklus sel
dan apoptosis, serta angiogenesis. (Cristofanili dan Hortobagyi, 2002).
3. Sel T47D
Sel T47D (gambar 1) merupakan cell line kanker yang diisolasi
oleh I. Keydar dari efusi pleura seorang wanita berusia 54 tahun dengan
kanker payudara. Sel ini merupakan sel yang berbentuk hipotripoploidi.
Medium kultur yang cocok bagi pertumbuhan sel ini adalah RPMI 1640
yang dilengkapi dengan 0,2 unit/ml bovine insulin, fetal bovine serum
10% (Anonim, 2014).
9
Gambar 1. Sel T47D a) low density. Sel yang hidup sedikit, banyak medium
yang tidak ditumbuhi sel b) high density. Banyak sel yang hidup, hampir tidak ada ruang kosong yang tidak ditumbuhi sel (ATCC, 2014)
Sel T47D mengalami mutasi pada protein p53 sehingga kehilangan
kemampuan dalam regulasi selnya. Selain itu, sel tersebut juga
kehilangan ekspresi reseptor estrogen in vitro (Schafer et al., 2000) Sel
T47D mengekspresikan Bcl-xL yang melindungi sel dari apoptosis yang
dipacu oleh p53 (Hahm and Davidson, 1998). Protein p53 meregulasi
apoptosis pada jalur mitokondria dengan mempengaruhi level ekspresi
Bcl-2 dan Bax (King, 2000). T47D merupakan cell line kanker yang
mengekspresikan ER+, HER2 + dan onkogen WN7B (Zhu, et al., 2006;
Grigoriadis, et al., 2012; Huguet, et al., 1994). T47D termasuk golongan
cell line kanker payudara yang mengekspresikan HER2 pada level
medium dibandingkan sel BT474 yang terjadi overekspresi HER2
10
(Emde, et al., 2011). Selain itu, T47D termasuk cell line kanker yang
responsif terhadap endokrin dan kemoterapi (Holliday and Speirs, 2011).
4. Sel Vero
Sel Vero (gambar 2) merupakan model sel normal yang dalam uji
sitotoksisitas antikanker dapat digunakan sebagai subjek uji untuk
mengamati selektifitas senyawa antikanker tersebut. Vero cell line diambil
dari ginjal African Green Monkey dewasa pada 27 Maret 1967 oleh Y.
Yasamura dan Y.Kawakita dari Universitas Chiba, Jepang. Semula, sel
Vero ditumbuhkan dalam media yang berisi 0,5% laktalbumin hidrolisat,
0,1% ekstrak yeast dan 0,1% polivinil pirolidon dalam 98% Earle’s BSS
dan 2% calf serum. Onsentrasi calf serum akhirnya dinaikkan menjadi 5%.
Kemudian sel dibawa ke laboratorium Virologi Nasional Amerika. Mulai
keturunan ke-97, sel Vero ditumbuhkan dalam 10% FBS (Fetal Bovine
Serum), media Morgan, Morton dan Parker, dan 95% MEM (Minimum
Essensial Med) dengan aa non-essensial dan Earle’s BSS dan 5% FBS
(Rebecca, 2000).
Sel Vero digunakan secara luas pada studi replikasi virus dan uji
penyakit pes. Selain itu, juga digunakan untuk uji berbagai penyakit yang
diakibatkan oleh virus. Sel vero bersifat aneuploidi. Sel ini berasal dari
Cercopithecus dan turunan dari Hep-2, WI-38, dan MRC-58 (human cell
strains). Dalam tes onkogenisitas yang dilakukan pada soft agar yang
dilakukan oleh FDA (Petriccini et al., 1987), sel vero dapat membentuk
koloni pada soft agar dan tumor di kultur organ (Rebecca, 2000).
11
Sebelumnya, sel Vero telah digunakan untuk produksi vaksin polio
karena dapat mengurangi risiko terjadinya kontaminasi oleh virus
endogen. Sel vero memiliki perbedaan dengan sel mamalia yang terletak
pada interferon 1. Sel vero tidak mengekspresikan interferon-1 ketika
terinfeksi virus, akan tetapi sel vero tetap memiliki reseptor alfa/beta
sehingga sel ini akan memberikan respon normal ketika ditambahkan
interferon ke dalam media kulturnya. (Doyle and Griffiths, 1998).
Gambar 2. Sel Vero a) low density Sel yang hidup sedikit, banyak medium yang tidak ditumbuhi sel b) high density. Banyak sel yang hidup, hampir tidak ada ruang
kosong yang tidak ditumbuhi sel (ATCC, 2014)
5. Kurkumin
Kurkumin (1,7-bis-(4’-hydroxy-3’-methoxyphenyl)-1,6-heptadiene-
3,5-dione) dengan strukturnya pada gambar 3 merupakan salah satu
komponen aktif tanaman Curcuma sp. yang metode sintesisnya telah
12
dikembangkan oleh Pabon (1964). Kurkumin tidak dapat larut dalam air
dan eter, tetapi larut dalam etanol, dimetilsulfoksida, dan aseton. Berat
molekul kurkumin yaitu 368,37 g/mol dengan titik lebur pada suhu
183oC (Aggarwal, 2006). Kurkumin diketahui memiliki khasiat sebagai
antikosidan, antiinflamasi dan antimikroba (Menon and Sudheer, 2007;
Nagpal and Sood, 2013). Selain itu, kurkumin juga dapat berfungsi
sebagai antikanker melalui penghambatan regulasi siklus sel,
mutagenesis, apoptosis, tumorigenesis dan metastasis (Wilken et al.,
2011).
Gambar 3. Struktur molekul kurkumin
Kurkumin bersifat COX-2 selective (Kawamuri, 1999). Kurkumin
menginduksi penahanan G2 pada kekurangan protein p53 yang terjadi
pada sel T47D (Astuti et al., 2012), menghambat ekspresi dan sekresi
leptin dan mungkin dapat digunakan sebagai obat pada terapi kanker
payudara melalui jalur leptin (Nejati-Koshki, 2014). Kurkumin juga
memiliki efek sitotoksik pada sel T47D dengan mekanisme
penghambatan ekspresi telomerase (Nasiri et al., 2013). Selain itu,
kurkumin secara selektif membunuh sel kanker dan tidak pada sel normal
13
dan tidak beracun meskipun diberikan dalam dosis tinggi (Ravindran et
al., 2009; Itokawa et al., 2008).
Kurkumin tidak stabil dalam kondisi basa dan kurkumin memiliki
bentuk lipofil maka kelarutannya dalam air tergolong rendah dan kurang
stabil dalam bentuk larutan. Hal ini menunjukkan bahwa bioavailabilitas
oral kurkumin rendah. Selain itu, masalah lain yang timbul yaitu
kurkumin juga diketahui memiliki absorpsi, distribusi dan metabolism
dalam tubuh yang kurang baik serta warna kuning yang ditimbulkan oleh
kurkumin sukar dihilangkan (Basnet and Skalko-Basnet, 2011; Lin et al.,
2009; De et al., 2009; Maheswari et al., 2006; Pan et al., 1999; Prasad et
al., 2014). Maka dari itu, kurkumin tergolong dalam BCS kelas IV
karena kelarutan dan permeabilitasnya rendah (Wahlang et al., 2011).
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka dibuat formulasi
SNEDDS (Self Nano Emulsifying Drug Delivery System).
6. Pentagamavunon-0 (PGV-0)
Pentagamavunon-0 merupakan senyawa analog kurkumin dengan
nama kimia 2,5-bis(4'-hidroksi-3'-metoksi-benzilidin) siklopentanon
(gambar 4), berat molekulnya 352 g/mol dengan jarak titik lebur 212-
214oC (Istyastono et al., 2004; Da’i et al., 2007; Sardjiman, 2000).
Sintesis PGV-0 berasal dari vanilin dan siklopentanon dengan katalis
asam sulfat (Oetari et al., 2001). PGV-0 dimodifikasi pada rantai tengah
kurkumin yg berupa asetil aseton diganti dengan siklopentanon. PGV-0
memiliki sifat lipofilisitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan
14
kurkumin. (Sardjiman, 2000). PGV-0 memiliki aktivitas antioksidan,
aktivitas penghambatan enzim siklooksigenase dan efek antiinflamasi
(Da’i, 1998; Nurochmad, 1997; Sardjiman, 2000).
Gambar 4. Struktur molekul PGV-0 (Sardjiman., 2000)
PGV-0 memiliki efek sitotoksik dan antiproliferatif lebih baik
daripada kurkumin. PGV-0 menginduksi apoptosis lebih baik pula
daripada kurkumin dengan mekanisme peningkatan protein p53 dan
menurunkan ekspresi Bcl-2. Selain itu, PGV-0 juga memiliki efek
antiangiogenesis yang lebih kuat dari kurkumin dengan menurunkan
ekspresi VEGF dan COX-2 (Nurulita dan Meiyanto, 2006). Ketika
dilakukan pengamatan BrdU incorporation assay, PGV-0 mampu
menghambat sel T47D memasuki S-phase progression (Meiyanto et al.,
2006). Secara khusus, PGV-0 menginduksi terjadinya apoptosis pada sel
kanker T47D melalui aktivasi caspase-3 karena mampu menurunkan
ekspresi protein Bcl-2 (Meiyanto, et al., 2007). Perlakuan dengan PGV-0
dapat meningkatkan ekspresi p21 yang merupakan famili Cip/Kip
sebagai CDK Inhibitor yang turut serta dalam pengaturan daur sel (Da’i,
2007: Harper et al., 1995)
15
Ketersediaan hayati PGV-0 rendah disebabkan oleh rendahnya
permeabilitas dan kelarutan PGV-0 dalam air, sehingga PGV-0 kurang
cocok apabila diformulasikan ke dalam sediaan cair seperti larutan
dimana merupakan suatu metode pencampuran praemulsi terdiri dari
obat, PGV-0 memiliki T90 dan T1/2 masing –masing 45,3 jam dan 299
jam (Yuwono and Oetari, 2004).
7. Nanoemulsi dan SNEDDS (Self Nano Emulsifying Drug Delivery
System)
Nanoemulsi merupakan suatu kelas emulsi yang terdiri dari butir-
butir yang sangat kecil dan seragam. Ukuran butir-butir ini berkisar antara
20-200 nm. Penampakan nanoemulsi yaitu transparan dan translucent
disebabkan oleh ukuran butirnya yang kecil (Soni et al., 2014). Kelebihan
nanoemulsi yaitu dengan adanya fase hidrofob. Fase ini meningkatkan
kemampuan formula dalam melakukan penetrasi menembus membran
biologis yang berkarakter lipid-bilayer. Selain itu dalam dosis yang sama
dengan formulasi lain, nanoemulsi mampu memberikan peningkatan efek
obat. Salah satu pengembangan nanoemulsi terkini adalalah teknologi
SNEDDS (Self Nano Emulsifying Drug Delivery System) (Ronny et al.,
2012).
SNEDDS (Self Nano Emulsifying Drug Delivery System) adalah
campuran homogen antara minyak, surfaktan dan kosurfaktan yang akan
membentuk suatu nanoemulsi minyak dalam air (o/w) secara spontan
dengan penggojogan ringan pada pencampuran dalam air (Thomas et al.,
16
2012). Sistem ini akan teremulsi secara spontan ketika terkena cairan
gastrointestinal dan membentuk nanoemulsi oil in water. Mekanisme
kerja SNEDDS dalam saluran gastrointestinal terlihat pada gambar 8.
Ukuran droplet dari nanoemulsi berkisar antara 100-250 nm (Basalious,
2010; Pouton, 2006).
SNEDDS akan meningkatkan absorpsi obat dalam saluran
gastrointestinal dengan mempercepat proses disolusi, memperantarai
pembentukan fase terlarut dengan membentuk ukuran yang lebih kecil,
mengubah drug uptake, efflux, dan disposisi obat dengan entero-based
transport, serta meningkatkan transport obat ke sistem sirkulasi melalui
sistem limpatik sehingga menghindari first pass metabolism di hati
(Kalepu et al., 2013). SNEDDS dapat diabsorbsi melalui beberapa
pathways yaitu limfatik pathways, paraseluler pathways yang
meningkatkan permeabilitas dari molekul hidrofilik atau makromolekul
konjugat, gut associated liymphoid tissues (GALT), transeluler pathways
(Swain et al., 2016).
Kelebihan pembentukan nanoemulsi melalui metode SNEDDS
yaitu dapat meningkatkan stabilitas fisika dan kimia pada penyimpanan
jangka panjang serta dapat dimasukkan dalam bentuk sediaan seperti
kapsul gelatin sehingga meningkatkan kenyamanan penggunaan dan
menutupi rasa yang kurang enak karena terenkapsulasi (Date et a.l,
2010). Obat yang diformulasi dalam bentuk SNEDDS terlindungi dari
mekanisme hidrolisis dalam saluran pencernaan (Ahmed, et al., 2015).
17
Formulasi SNEDDS menghasilkan tegangan antarmuka yang
sangat kecil dan permukaan antarmuka fase minyak dalam air yang luas
sehingga memungkinkan peningkatan kapasitas obat hifrofobik dalam
fase minyak dan absorbsi obat dalam tubuh. Obat akan dilepaskan dalam
ukuran nano yang meningkatkan luas permukaan efektif dalam disolusi
dan absorpsi in vivo. Metode ini dapat diterapkan sebagai pembawa
berbagai macam obat hidrofobik. Dengan mengkonjugasikan obat pada
molekul spesifik tertentu, SNEDDS memiliki potensi besar untuk
dikembangkan sebagai sistem penghantaran tertarget (Solans et al, 2005).
Formula SNEDDS terdiri dari sebagai berikut.
a. Minyak
Minyak merupakan komponen paling penting dalam formulasi
SNEDDS. Fungsi minyak yaitu sebagai pembawa obat hidrofobik,
membantu selfemulsification dari SNEDDS dan meningkatkan
absorpsi pada saluran gastrointestinal (Gursoy and Benita, 2004).
Pemilihan minyak akan mempengaruhi drug loading formulasi
SNEDDS. Minyak yang memiliki potensi melarutkan obat lebih
banyak serta menghasilkan nanoemulsi dengan ukuran droplet yang
kecil akan memiliki drug-loading yang maksimal (Date et al.,
2010).
b. Surfaktan
Surfaktan berfungsi untuk mengurangi tegangan antar muka
minyak dengan air. Surfaktan dapat dibagi menjadi surfaktan ionik,
18
surfaktan non ionik, dan surfaktan amfolitik (Nigade et al., 2012).
Surfaktan non ionik dengan nilai HLB yang relatif tinggi dapat
membantu pembentukan tetesan emulsi o/w dengan cepat dalam
media berair (Gursoy and Benita, 2004).
c. Kosurfaktan
Kosurfaktan merupakan senyawa ampifilik yang memiliki
afinitas terhadap fase air dan minyak. Kosurfaktan dapat
meningkatkan jumlah obat/ekstrak terlarut pada sistem SNEDDS,
membantu kelarutan surfaktan dalam minyak, membantu
kemampuan spontanitas surfaktan untuk membentuk sistem
nanoemulsi, serta meningkatkan stabilitas nanoemulsi (Makadia et
al., 2013; Patel et al., 2011; Benita, 2006).
8. Uji Sitotoksik
Uji sitotoksik adalah uji in vitro dengan menggunakan kultur
suatu sel untuk mendeteksi adanya aktivitas antineoplastik dari suatu
senyawa. Uji ini merupakan uji kualitatif dan kuantitatif dengan cara
menetapkan kematian sel (Freshney, 2000).
Persyaratan dalam suatu sistem uji sitotoksik, antara lain sistem uji
harus menghasilkan kurva dosis respon yang reproduksibel dengan
variabel tetapnya berupa konsentrasi senyawa uji yang meliputi dosis
yang biasa diberikan secara in vitro. Respon yang diperoleh harus
berbanding lurus dengan jumlah sel, dan informasi yang didapat harus
19
dari kurva dosis-respon dan harus menggambarkan efek senyawa uji
yang sama bila diberikan secara in vitro (Freshney, 2000).
Salah satu uji sitotoksik dapat dilakukan dengan MTT
assay. MTT {3-4,5-dimetiltiazol-2-il)-2,5-difenil tetrazolium bromida}
merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengukur
viabilitas dan proliferasi sel berdasarkan aktivitas metabolisme dengan
mengukur aktivitas mitokondria (Bernas and Dobrucki, 2002; Stoddart,
2011). Sel yang viable dengan sistem metabolisme yang aktif mengubah
MTT menjadi kristal formazan dengan absorbansi sekitar 570 nm seperti
yang terlihat pada gambar 5. Pengubahan MTT ke kristal formazan pada
sel bersifat time dependent (Riss et al., 2013). Sel yang masih hidup
memiliki enzim dehidrogenase mitokondria akan mengubah MTT yang
berwarna kuning dan larut air menjadi bentuk formazan berwarna biru
tua yang tidak larut air (Doyle and Griffiths, 1998).
Gambar 5. Reaksi yang terjadi pada MTT assay (Riss et al., 2013)
20
Keuntungan MTT assay yaitu absorbansinya dapat diukur secara
periodik selama inkubasi, akan tetapi plate yang berisi kultur sel harus
segera dikembalikan ke inkubator 37oC agar kondisinya tidak berubah
(Riss et al., 2013).
F. Landasan Teori
Kurkumin diketahui memiliki efek sebagai antikanker melalui
penghambatan telomerase pada sel T47D (Nasiri et al., 2013). Selain itu,
kurkumin secara selektif membunuh sel kanker dan tidak merusak sel
normal, contohnya yaitu hepatosit normal pada tikus (Ravindran et al.,
2009) sehingga dapat mengurangi adanya efek samping yang sering timbul
pada terapi kanker.
Selain itu, salah satu analog kurkumin yaitu PGV-0 juga diketahui
memiliki efek sitotoksik dan menginduksi apoptois lebih baik daripada
kurkumin (Nurulita dan Meiyanto, 2006). Namun, kurkumin dan PGV-0
tergolong dalam BCS kelas IV sehingga mengakibatkan
bioavailabilitasnya dalam tubuh rendah yang karena sifatnya yang sukar
larut air (Yuwono dan Oetari, 2004) sehingga dilakukan pengembangan
formulasi dengan menggunakan SNEDDS (Self Nano Emulsifying Drug
Delivery System) yang mampu meningkatkan bioavailabilitas suatu
senyawa/obat (Solans et al., 2005). Oleh karena itu, kurkumin dan PGV-0
yang diformulasikan dalam bentuk SNEDDS dapat meningkatkan efek
21
sitotoksiknya pada sel kanker payudara T47D dan diharapkan tidak toksik
pada sel normal Vero.
G. Hipotesis
1. SNEDDS kurkumin dan PGV-0 memiliki efek sitotoksik yang lebih
tinggi dibandingkan dalam bentuk non SNEDDS pada sel kanker
payudara T47D.
2. SNEDDS kurkumin dan PGV-0 memiliki efek sitotoksik yang lebih
rendah dibandingkan dalam bentuk non SNEDDS pada sel normal
Vero.