bab i pendahuluan a. latar belakangabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/c0111020_bab1.pdf · aspek...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mistik sebagai sebuah paham disebut mistisisme, sebagai paham yang
memberikan ajaran bersifat serbamistis,ajarannya berbentuk rahasia atau serbarahasia,
tersembunyi, gelap, atau terselubung dalam kekelaman, sehingga dapat dikenal,
diketahui, atau dipahami oleh orang-orang tertentu saja, terutama sekali oleh
penganutnya (Petir, 2014:15). Para antropolog dan sosiolog mengartikan mistik
sebagai subsistem yang ada pada hampir semua sistem religi untuk memenuhi hasrat
manusia mengalami dan merasakan kebersatuan dengan Tuhan.Mistik merupakan
keyakinan yang hidup di dalam alam pikiran kolektif masyarakat. Alam kolektif akan
kekal abadi, meskipun masyarakat telah berganti generasi. Demikian pula dengan
mistik orang Jawa. Keyakinan itu telah hidup bersamaan dengan lahirnya masyarakat
Jawa dan diturunkan dari generasi ke generasi (Yana,2010:25).Harun Nasution dalam
Orientalis Barat menyatakan bahwa tujuan dari mistik atau paham mistisme adalah
untuk memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, atau orang Jawa
biasa menyebutnya dengan istilah Manunggaling Kawula Gusti. MistikDalam
pandangan umum selalu dikaitkan dengan hal-hal yang menakutkan berbau horor,
dan selalu berhubungan dengan alam ghaib, gugon tuhon/mitos, makhluk halus, dan
hantu.
Jawa memiliki khasanah budaya yang beragam, dan filsafat berkehidupan yang
luas, salah satu unsur kebudayaan Jawa adalah agama dan kepercayaan masyarakat.
Masyarakat Jawa memiliki sistem kepercayaan yang khusus, sistem kepercayaan
2
tersebut dinamakan kejawen. Endraswara (2006:3-4) mengatakan bahwa religius
Jawa tidak lain adalah mistik kejawen. Kajian ini memfokuskan pada pokok bahasan
pada mistik kejawen.Kejawen sendiri memiliki arti sebuah kepercayaan atau
barangkali boleh dikatakan agama terutama dianut oleh masyarakat suku Jawa dan
bahkan suku bangsa lainnya yang menetap di pulau Jawa (Petir,2014:20).
Kejawen tidak menganggap ajarannya sebagai agama dalam pengertian seperti
agama monoteistik (Islam, Kristen, Katolik, Hindhu, dan Budha), tetapi lebih
melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan
laku. Simbol-simbol laku melibatkan benda-benda yang diambil dari tradisi yang
dianggap asli Jawa, seperti keris, wayang, pembacaan mantra, penggunaan bunga-
bunga tertentu yang memiliki arti simbolik, sesajen dan lain sebagainya, laku dapat
pula diartikan sebagai langkah atau jalan dalam mewujudkan Manunggaling Kawula
Gustiatau pendekatan diri kepada Tuhan YME.
Mistik Kejawen adalah suatu upaya spiritual mendekatkan diri kepada Tuhan
YME yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Jawa. Mistik kejawen berarti
juga kehidupan kejawen, karena itu jika kejawen tanpa mistik akan pudar kejawen
tersebut. Kejawen dan mistik telah menyatu, menjadi sebuah ekspresi religi mistik
kejawen. Mistik kejawen dalam hal-hal tertentu berbeda dengan mistik-mistik lainnya,
karena itu mistik kejawen memiliki karakter dalam aktifitas ritualnya.Adaalasan
mendasar mengapa manusia menjalankan mistik kejawen, alasan ini berhubungan
dengan hakikat hidup manusia di mana hidup manusia dituntut harus berbuat sejalan
dengan kehendak Tuhan YME (Petir,2014:36-37).
Masyarakat Jawa pada umumnya kejawen dipandang sebagai sebuah kepercayaan
yang selalu dikaitkan dengan mitos, segala perilaku orang Jawa sangat sulit lepas dari
3
aspek kepercayaan pada cerita-cerita sakral yang menjadi sebuah foklor dalam
kehidupan atau sering disebut dengan istilah gugon tuhon. Mistik kejawen adalah
pelaku budaya Jawa yang berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, hal ini
berarti mistik kejawen kepercayaan, dan kebatinan adalah perwujudan dari salah satu
laku yang dilaksanakan sebuah aliran kebatinan dan kepercayaan
(Suwardi,2006:39).Mistik Kejawen menurut Khaya Khan, terbagi menjadi dua
golongan. Pertama mistik eksoterin yaitu mistik yang berdasarkan tatanan agama,
kedua mistik esoterik, yaitu mistik yang berdasarkan pengalaman batin sesorang yang
terkadang oleh kaum sufi dianggap menyimpang dari agama.(Petir, 2014:42)
Menurut Petir Abimanyu dalam bukunya Mistik Kejawen, ia mengemukakan
beberapa perbedaan mistik kejawen dengan agama, ajaran atau mistik-mistik lainnya
adalah pertama mistik kejawen tidak memiliki kitab suci seperti agama lainnya karena
pada dasarnya kejawen memang bukan agama, kedua kejawen mampu menerima
nilai-nilai dari ajaran lain sehingga dapat terjadi akulturasi antara kejawen dengan
agama lain, misal terdapat istilah Islam kejawen sebagai wujud akulturasi dari agama
islam dan kejawen tersebut, hal ini biasa terjadi pada masyarakat Jawa yang beragama
Islam dan bertempat tinggal di pulau Jawa yang menjunjung tinggi nilai kejawen,
ketiga dalam ritualnya mistik kejawen menggunakan banyak sekali uba rampe yang
beraneka ragam. Mistik kejawen dalam opini umum, berisikan tentang seni, budaya,
tradisi, ritual, sikap serta filososfi orang-orang Jawa. Sastra merupakan bagian di
dalam seni dan budaya.(Petir, 2014:30)
Sastra adalah karya tulis yang jika dibandingkan dengan karya tulis yang lain
memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinilan, keartistikan, dan keindahan
dalam isi dan ungkapannya (Badan Pengembangan dan Pembinaan bahasa,2011:159).
Menurut Herman J. Waluyo (2008:1) Sastra adalah cabang kesenian dengan bahasa
4
sebagai mediumnya atau saranannya. Sastra dibagi menjadi dua yakni sastra tulis dan
sastra lisan.Sastra tulis sendiri dapat dibagi menjadi tiga genre yaitu prosa, puisi, dan
drama.Pengarang mencoba menghasilkan pandangan dunianya tentang realitas sosial
di sekitarnya untuk menunjukkan sebuah karya sastra berakar pada kultur tertentu dan
masyarakat tertentu. Karya sastra memiliki struktur yang membangunnya, struktur
tersebut antara lain adalah tema,alur, amanat, dan sebagainya.(Stanton, 2007:20)
Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengantar
serta refleksinya terhadap gejala-gajala sosial di sekitarnya (Ismanto,2003:59). Gejala-
gejala sosial tersebut salah satunya adalah pengalaman mistik kejawen yang dialami
oleh para tokoh. Dalam karya sasrra, khususnya karya sastra Jawa, mistik kejawen
memiliki eksistensi yang cukup besar, banyak karya sastra yang ditulis menggunakan
tema mistik, kejawen, bahkan mistik kejawen. Eksistensi tersebut dapat dibuktikan
dengan masih adanya majalah, koran, dan media masa cetak lainnya yang memuat
karya sastra fiksi yang bertemakan mistik, kejawen, seperti misalnya Penjebar
Semangat, dan Djoko Lodang.
Membaca sebuah karya sastra fiksi berarti menikmati cerita, menghibur diri untuk
memperoleh kepuasan batin. Betapapun syaratnya pengalaman dan permasalahan
kehidupan yang ditawarkan, sebuah karya sastra fiksi haruslah tetap merupakan
bangunan struktur yang koheren, dan tetap mempunyai tujuan estetik
(Burhan,2010:03). Sekian banyak karya sastra fiksi yang berbentuk prosa salah
satunya adalah cerkak. Salah satu karya sastra ini menarik perhatian penulis untuk
mengadakan penelitian tentang mistik kejawen yang terkandung di
dalamnya.Penelitian inimenggunakan objek kajian sastra tulis yang berbentuk
prosa.Prosa tersebut berwujud kumpulan cerkak yang dibukukan menjadi satu atau
lebih dikenal dengan antologi.
5
Objek kajian yang digunakan adalah lima cerkak dalam antologi cerkak Malaikat
Jubah Putih (selanjutnya ditulis ACMJP) yang merupakan antologi cerkak karya
Nono Warnono yang diterbitkan oleh Azzagrafika di kota Jogjakarta pada tahun 2014.
Nono Warnono menuliskan dua puluh tiga cerkak dari seratus lima puluh enam
halaman yang rata-rata diterbitkan pada tahun 1997-2014 dalam majalah bahasa jawa
yaitu Penjebar Semangat. Dipilihlima cerkakdari dua puluh tiga cerkakyang memiliki
tema yang sama yaitu mistik kejawen.Dengan tema yang sama, hal ini memudahkan
penulis dalam melakukan penelitian. Sebuah buku fiksi yang bersampulkan warna
hitam dengan gambar ilustrasi sosok malaikat berjubah putih sesuai dengan judulnya,
merupakan buku antologi cerkakyang menceritakan tentang berbagai kejadian mistik
atau misteri yang dialami oleh tokoh di dalam masing-masing cerita.
Beberapa hal yang menjadi alasan dalam penelitian terhadap lima cerkak ACMJP
karya Nono Warnono adalah pertama, ACMJP merupakan karya sastra yang dikarang
oleh penulis yang produktif, berpengalaman, dan penuh dengan prestasi. Nono
Warnono merupakan seorang sastrawan yang juga bertugas sebagai pengawas
sekolah, bernama asli H. Suwarno, S.pd., M.M. lahir di kota Bojonegoro pada tanggal
14 Juli 1964. Prestasi menulisnya terlihat sejak ia duduk di bangku Sekolah
Pendidikan Guru, tulisannya yang berupa cerpen, puisi, dan opini yang mulai
mendapat perhatian khalayak dengan diterbitkannya tulisan-tulisannya tersebut di
berbagai surat kabar. Karya-karyanya semakin melanglang buana sastra, sejak ia
bergabung menjadi anggota Pamarsudi Sastra Jawa Bojonegoro (PSJB). Cerkak,
geguritan, wacan bocah, cerita misteri, dan lain sebagainya banyak dimuat di
majalah-majalah bahasa Jawa seperti Jaya Baya, Penjebar Semangat, Mekarsari, Jaka
Lodhang dan Radar Jawa Pos. Karya lain yang juga sangat fenomenal adalah antologi
6
yang berjudul “Bojonegoro Ing Gurit” (2006), geguritan yang berjudul “Blangkon”
(2006), juga “Tunggak Jarak Mrajak” pada tahun (2010) wujud cerita cekak.
Tahun 1998 Nono Warnono mendapatkan prestasi yaitu Juara I Guru Teladan
Jawa Timur dengan makalahnya “Revitalisasi Nilai Budi Pekerti Melalui Bahasa,
Sastra dan Budaya Jawa”, dan pada tahun 2014 terpilih menjadi Instruktur Nasional
Kurikulum 2013. Alasan kedua, ACMJP merupakan cerkak yang berisikan tentang
cerita misteri, dimana cerita misteri memang sangat diminati oleh semua kalangan
serta tak pernah padam oleh waktu, sejak dulu hingga saat ini masih tetap banyak
sekali peminatnya. Tidak hanya dalam bentuk karya sastra, tema misteri memiliki
perhatian cukup tinggi dalam masyarakat Indonesia seperti film, dan acara TV (reality
show) yang menyajikan tentang hal-hal misteri masih sangat diburu dan dinikmati
oleh masyarakat. Selain kedua alasan di atas,alasan lain yaitu sebagian cerkak dari
antologi ini merupakan cerita nyata yang dialami langsung oleh pengarangnya sendiri.
Mengetahui bahwa beberapa cerita dalam ACMJP merupakan cerita nyata yang
dialami oleh pengarang maka, hal tersebut dapat menguatkan alasan peneliti untuk
melakukan penelitian terhadap antologi cerkak ini.
Pembahasan dalam penelitian ini, penulis meneliti mengenai pola struktur yang
terdapat dalam limacerkakkarya Nono warnono dalam ACMJP. Dari 23 cerkak yang
dimuat dalam ACMJP penulis mengambil limacerkak yang bertemakan mistik
kejawen. Limacerkaktersebut berjudul Malaikat Jubah Putih, Dhemit Gunung Pegat
Mantu, Tanggapan Ing Cungkup Dhompoh, Tendha Sanga Wolu, danUla Memba-
memba, meliputi fakta-fakta cerita (alur, karakter, dan latar), tema, dan sarana-sarana
sastra (judul, sudut pandang, ironi, gaya dan tone, dan simbolisme) kemudian
7
dilanjutkan tentang penjelasan tentang bentuk mistik kejawen yang terkandung dan
yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam cerita ACMJP ini.
Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi satra. Sosiologi sastra
merupakan suatu pendekatan terhadap sastra dengan mengikutsertakan atau
mempertimbangkan segi-segi luar (faktor eksternal) karya sastra seperti kondisi
sosial, politik, ideologi, budaya, sejarah, ekonomi dan sebagainya ke dalam lingkup
analisisnya dengan maksud untuk mendapatkan pemahaman yang selengkap-
lengkapnya terhadap sastra sebagai gejala sosial. Hubungannya dengan penelitian ini,
bahwa setiap karya sastra pasti selalu berhubungan dengan kehidupan bermasyarakat,
bagaimana gejala-gejala sosial yang terjadi di dalamnya, proses-proses sosial yang
ada, jadi untuk melihat lebih dekat bagaimana kehidupan sosial yang ada di dalam
sebuah karya sastra penulis mebutuhkan pendekatan sosiologi sastra.
Sosiologi mencoba mencari tahu bagaimana masyarakat itu tetap ada
(Wardhana, 20111:4-5).Operasionalnya dalam penelitian ini penulis menggunakan
pendekatan sosiologi sastra untuk melihat gejala sosial yang ada di dalam lima cerkak
karya Nono Warnono dalam ACMJP. Gejala sosial tersebut berupa pengalaman
misteri yang dialami oleh para tokoh dalam masing-masing cerita, dan bagaimana
pengaruh sosial yang timbul atas gejala sosial tersebut. Selain gejala sosial yang
terkandung juga terdapat nilai sosial di dalam lima cerkak karya Nono Warnono
tersebut yaitu berperilaku baik tidak selalu dengan makhluk nyata saja, jika kita mau
berperilaku baik sekalipun dengan mahkluk di alam gaib maka mereka pun juga akan
berperilaku baik kepada kita, dengan kata lain yang biasa orang jawa ungkapkan yaitu
Wong nandur bakale ngunduh.Maka dari itu penulis mengkaji tentang mistik kejawen
yang ada di dalam lima cerkak karya Nono warnono dalam ACMJP, dengan
8
menerapkan teori pendekatan sosilogi sastra, sehingga dalam penelitian ini penulis
mengambil judul Mistik Kejawen dalam Antologi Cerkak Malaikat Jubah Putih
Karya Nono Warnono (Suatu Pendekatan Sosiologi Sastra)
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, muncul berbagai permasalahan.Oleh karena
itu perlu pengidentifikasian masalah untuk menampilkan persoalan-persoalan yang
muncul untuk kemudian diteliti dan diselidiki. Permasalahan-permasalahan yang
dikaji dalam lima cerkakdalam antologi ACMJP karya Nono Warnono dapat
diidentifikasikan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah keterjalinan antarunsur pembangunlima cerkak karya Nono
Warnono dalam ACMJP?
2. Bagaimanakah Mistik kejawen yang terkandung di dalam lima cerkak karya
Nono Warnono dalam ACMJP?
3. Bagaimanakah Ritual kejawen yang terkandung di dalam lima cerkak karya
Nono Warnono dalam ACMJP?
4. Bagaimana Realisasimistik kejawen dalam lima cerkak karya Nono Warnono
terhadap kehidupan masyarakat Jawa ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan dan mendeskripsikan :
1. Mendeskripsikan keterjalinan antar unsur pembangun di dalam lima cerkak
karya Nono Warnono dalam ACMJP.
9
2. Menyebut dan menjelaskan mistik kejawen yang terkandung di dalam lima
cerkak karya Nono Warnono dalam ACMJP.
3. Menyebut dan menjelaskan ritual kejawen yang terkandungdi dalam lima
cerkak karya Nono Warnono dalam ACMJP.
4. Menyebut dan menjelaskanrealisasimistik kejawen dalam lima cerkak karya
Nono Warnono terhadap kehidupan masyarakat Jawa?
D. Batasan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka masalah yang akan diteliti
pada penelitian ini dibatasi pada penjelasan tentang mistik kejawen dan ritual kejawen
yang terkandung di dalam lima cerkak karya Nono Warnono dalam ACMJP.Lima cerkak
ini dapat diteliti menggunakan berbagai macam pendekatan, namun penulis memilih
pendekatan sosiologi sastra dalam penelitiannya. Pembatasan masalah dilakukan agar
tidak membias dan memudahkan pembahasan serta menghindari pendiskripsian yang
meluas.
E. Landasan Teori
A. Teori Cerpen
Cerpen adalah salah satu jenis teks sastra yang tak asing bagi kita.Meski demikian
namun kita masih sering bingung jika ditanya mengenai hakikat cerpen.Demikian pula
ketika ditanya mengenai ciri bahasa, kaidah, dan struktur yang terdapat di
dalamnya.Apabila merujuk pada redaksi definisi yang terdapat pada beberapa buku teks
cerpen dapat dimaknai sebagai sebuah karya prosa fiksi yang dapat selesai dibaca sekali
duduk dan ceritanya membangkitkan efek tertentu dalam diri pembacanya (Sayuti,
10
2000:8).Cerita pendek atau yang lebih dikenal dengan cerpen adalah karangan pendek
yang berbentuk prosa.Sebuah cerpen mengisahkan sepenggal kehidupan tokoh yang
penuh pertikaian, peristiwa, dan pengalaman.Tokoh dalam cerpen tidak mengalami
perubahan nasib (Depdiknas, 2014:6).
Cerita pendek, sesuai dengan namanya, memperlihatkan ciri bahasa yang serba
pendek, baik peristiwa yang diungkapkan, isi cerita, jumlah pelaku, dan jumlah kata yang
digunakan (Priyanti, 2013:5).ciri-ciri sebuah cerpen adalah sebagai berikut.
1. Bentuk tulisan singkat, padat, dan lebih pendek daripada novel.
2. Tulisan kurang dari 10.000 kata.
3. Sumber cerita dari kehidupan sehari-hari, baik pengalaman sendiri maupun
orang lain.
4. Tidak melukiskan seluruh kehidupan pelakunya karena mengangkat masalah
tunggal atau sarinya saja.
5. Habis dibaca sekali duduk dan hanya mengisahkan sesuatu yang berarti bagi
pelakunya.
6. Tokoh-tokohnya dilukiskan mengalami konflik sampai pada penyelesaiannya.
7. Penggunaan kata-katanya sangat ekonomis dan mudah dikenal masyarakat.
8. Meninggalkan kesan mendalam dan efek pada perasaan pembaca.
9. Menceritakan satu kejadian dari terjadinya perkembangan jiwa dan krisis, tetapi
tidak sampai menimbulkan perubahan nasib.
10. Beralur tunggal dan lurus.
11. Penokohannya sangat sederhana, singkat, dan tidak mendalam.
11
B. Teori Pendekatan Struktural
Totalitas yang dibangun secara koheresif oleh berbagai unsur pembangunnya,
sebuah karya sastra fiksi dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran
semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama-sama
membentuk totalitas atau kebulatan yang indah. Menurut Burahan Nugiantoro,
struktur sebuah karya sastra khususnya karya sastra fiksi juga mengarah pada
hubungan antar unsur (intrinsik) yang bersifat timbal balik, saling menentukan saling
mempengaruhi yang secara bersama-sama membentuk satu kesatuan yang utuh.
Aristoteles menekankan akan pentingnya pemahaman struktur dalam kajian fiksi.
Istilah strukturalisme secara khusus mengacu pada praktik kritik yang mendasarkan
model analisis kajian pada teori linguistik modern termasuk ke dalam kelompok
ini.Menurut Hawkes strukturalisme pada dasarnya merupakan cara pandang dunia
sastra yang menekankan pada susunan hubungan antarunsur.(Stanton,2007)
Pendekatan Struktural merupakan langkah awal yang menjembatani dengan
langkah selanjutnya.Pendekatan ini digunakan untuk memahami sebuah karya sastra
berdasarkan unsur intrinsik yang membangunnya, meliputi tema, tokoh dan
penokohan, setting, plot, sudut pandang, style, dan pesan.Berdasarkan uraian di atas
penelitian ini menganalisis tentang unsur pembangun dalam sebuah karya sastra,
tujuannya untuk memahami unsur-unsur intrinsik yang membangun karya sastra
dalam hal ini cerpen atau cerkak, sebelum memasuki kajian sosiologis.(Stanton,2007)
Adapun tinjauan struktur formal fiksi yang digunakan untuk menganalisis dalam
kajian struktural adalah teori struktural Robert Stanton. Stanton membagi unsur
intrinsik fiksi menjadi dua bagian yaitu, fakta cerita dan sarana cerita. Ia membagi
12
fakta cerita menjadi empat yaitu alur, tokoh, latar, dan tema. Sarana cerita terdiri dari
judul, sudut pandang, dan nada, simbolisme, dan ironi.sebagai berikut :
1. Fakta Cerita
Karakter, alur, dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Elemen-elemen ini
berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Jika dirangkum
menjadi satu, maka elemen ini dinamakan struktur faktual atau tingkatan faktual
cerita. Struktur faktual merupakan salah satu aspek cerita. Struktur faktual adalah
cerita yang disorot dari satu sudut pandang (Stanton, 2007:220). Unsur-unsur yang
berkaitan dengan fakta cerita adalah :
a. Alur
Secara umum alur merupakan rangkaian-rangkaian peristiwa dalam sebuah
cereita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung
secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau
menjadi dampak bagi peristiwa lain yang dapat diabaikan karena akan
berpengaruh pada keseluruhan karya(Stanton, 2007:26)
Alur merupakan tulang punggung cerita, sebuah cerita tidak akan pernah
seutuhnya dimengerti tanpa adanya pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa yang
mempertautkan alur. Sama halnya dengan elemen-elemen lain alur memeiliki
hukum-hukum sendiri, alur hendaknya memiliki bagian awal, tengah, dan akhir
yang memunculkan sekaligus mengakhiri ketegangan-ketegangan(Stanton,
2007:28)
Teknik pengaluran terbagi menjadi dua jenis yaitu :
a) Sorot balik (flashback) yaitu urutan tahapannya dibalik seperti halnya regresif.
Teknik flasback tentu mengubah teknik pengalurannya dari yang progresif ke
regresif.
13
b) Teknik tarik balik (backtracking) jenis pengaluran tetap progresif, hanya saja
pada tahap-tahap tertentu peristiwanya dibalik ke belakang. Jadi yang ditarik
ke belakang hanya peristiwanya (mengenang peristiwa yang lalu) alurnya
tetap progresif (Soediro,1996:28-29)
b. Tokoh atau karakter
Tokoh atau biasa disebut karakter biasanya dipakai dalam dua konteks.
Konteks pertama karakter merujuk pada individu-individu yang muncul dalam
cerita. Konteks kedua karakter merujuk pada berbagai percampuran dari berbagai
kepentingan, keinginan emosi, dan prinsip moral dari individu-individu tersebut.
Dalam sebuah cerita dapat ditemukan satu tokoh utama, tokoh yang terkait dalam
semua peristiwa yang berlangsung dalam sebuah cerita. Alasan tokoh dalam
bertindak sebagaimana yang dilakukan dinamakan motivasi(Stanton, 2007:33).
c. Latar
Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita,
semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung.
Latar dapat berwujud dekor, latar juga dapat berwujud waktu-waktu tertentu.latar
terkadang berpengaruh pada karakter-karakter, latar juga terkadang menjadi
contoh representasi tema. Dapat dilihat dari berbagai cerita dapat dilihat bahwa
latar memiliki daya untuk memunculkan tone dan mode emosional yang
mlingkupi sang karakter. Tone dan emosional ini disebut dengan istilah atmosfer.
Atmosfer bisa jadi merupakan cermin yang merefleksikan suasana jiwa sang
karakter(Stanton, 2007:35-36).
14
d. Tema
Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan makna dalam pengalaman
manusia,sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat(Stanton,
2007:36).Tema membuat cerita lebih terfokus,menyatu, mengerucut, dan
berdampak.bagian awal dan akhir menjadi pas, sesuai, dan memuaskan berkat
keberadaan tema (Stanton, 2007:37).
Tema hendaknya memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut :
a) Interpretasi yang baik hendaknya selalu mempertimbangkan berbagai detail
menonjol dalam sebuah cerita. Kriteria ini adalah yang paling penting.
b) Interpretasi yang baik hendaknya tidak terpengaruh oleh berbagai detail cerita
yang saling berkontradiksi.
c) Intrepretasi hendaknya tidak sepenuhnya bergantung pada bukti-bukti yang tidak
secara jelas diutarakan (hanya secara implisit).
d) Intrepetasi yang dihasilkan hendaknya diujarkan secara jelas oleh cerita
bersangkutan (Stanton, 2007:44-45)
2. Sarana Cerita
Sarana-sarana sastra dapat diartikan sebagai metode (pengarang) memilih dan
menyusun detail cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna. Metode semacam ini
perlu karena dengannya pembaca dapat melihat berbagai fakta melalui kacamata
pengarang, memahami apa maksud fakta-fakta tersebut sehingga pengalaman pun
dapat dibagi (Stanton, 2007:46-47).
a. Judul
Judul berhubungan dengan cerita secara keseluruhan karena menunjukkan
karakter, latar, dan tema. Judul merupakan kunci pada makna cerita. Seringkali
judul dalam karya sastra mempunyai tingkatan-tingkatan makna yang terkandung
15
dalam cerita. Judul juga dapat berisi sindiran terhadap kondisi yang ingin dikritisi
oleh pengarang atau merupakan kesimpulan terhadap keadaan yang sebenarnya
dalam cerita(Stanton,1965:25-26)
b. Sudut pandang
Stanton dalam bukunya membagi sudut pandang menjadi empat tipe utama
yaitu :
1. Sudut pandang orang pertama-utama.
Sang karakter utama bercerita dengan kata-katanya sendiri.
2. Sudut pandang orang pertama-sampingan.
Cerita dituturkan oleh satu karakter bukan utama(sampingan)
3. Sudut pandang orang ketiga-terbatas.
Pengarang mengacu pada semua karakter dan emosinya sebagai orang
ketiga tetapi hanya menggambarkan apa yang dilihat, didengar, dan
dipikirkan oleh suatu karakter saja.
4. Sudut pandang orang ketiga-tidak terbatas.
Pengarang mengacu pada semua karakter dan memposisikan sebagai orang
ketiga. Pengarang juga dapat membuat beberapa karakter melihat,
mendengar, atau berfikir atau saat tidak ada satu karakter pun hadir
(Stanton, 1965:27-28).
c. Gaya dan Tone
Dalam sastra gaya adalah cara seorang pengarang menggunakan bahasa.
Meski dua orang pengarang memakai karakter, alur, dan tema yang sama hasil
kedua tulisanya bisa sangat berbeda. Perbedaan tersebut secara umum terletak
16
pada penggunaan bahasa dan penyebar dalam berbagai aspek seperti kerumitan,
ritme, panjang-pendek kalimat, detail, humor, kekonkretan, dan banyaknya imaji
dan metafora. Campuran dari berbagai aspek di atas (dengan kadar tertentu) akan
menghasilkan gaya (Stanton,2007:61).
d. Simbolisme
Simbolisme dapat menimbulkan efek yang masing-masing bergantung pada
bagaimana simbol bersangkutan digunakan, pertama sebuah simbol yang muncul
pada suatu kejadian penting dalam cerita menunjukan makna peristiwa tersebut.
Kedua, simbol yang ditampilkan berulang-ulang mengingatkan kita pada beberapa
elemen konstan dalam semesta cerita. Ketiga, sebuah simbol yang muncul pada
konteks yang berbeda-beda akan membantu kita menemukan tema (Stanton,
2007:65).
Salah satu bentuk simbol yang khas adalah momen simbolis istilah ini dapat
disamakan dengan momen kunci atau momen pencerahan. Momen simbolis,
momen kunci, dan momen pencerahan adalah tabula tempat seluruh detail yang
terlihat dan beban fisis mereka dibebani oleh makna(Stanton, 2007:58).
e. Ironi
Secara umum ironi dimaksudkan sebagai cara untuk menunjukkan bahwa
sesuatu berlawanan dengan apa yang telah diduga sebelumnya. Ironi dapat
ditentukan dalam hampir semua cerita. Dalam dunia fiksi ada dua jenis ironi yang
dikenal luas, yaitu ironi dramatis dan tone ironi (Stanton, 2007:71).
C. Teori Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari kata
sosio (Yunani) (socius berarti bersama-sama,bersatu, kawan,teman) dan logi
17
(logosberartisabda,perkataan,perumpamaan). Perkembangan berikutnya mengalami
perubahan makna, sosio atau socius berarti masyarakat logi atau logos berarti ilmu
mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat. Ilmu pengetahuan yang
mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antarmanusia dalam
masyarakat,sifatnyaumum,rasionaldan empiris. Sastra dari akar sas (sansekerta) berarti
mengarahkan, mengajar dan memberi petunjuk dari instruksi. Akhiran tra berarti alat
atau sarana. Jadi, sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar,buku petunjuk atau
memiliki objek yang sama yaitu masyarakat (Ratna,2003: 18).
Semua fakta menyiratkan adanya penulis,buku,pembaca atau dikatakan pencipta
karya sastra dan publik. Setiap karya sastra merupakan bagian dari sirkuit. Sosiologi
sastra merupakan bagian dari sirkuit tersebut. Pendekatan sosologi sastra merupakan
pendekatan yang menganggap sebagai karya sastra merupakan bentuk cerminan
kaehidupan masyarakat. Karya sastra dapat mengungkapkan berbagai hal. Pengarang
bisa masuk karyanya sendiri (Escarpit,2005:3).
Pendekatan sosiologis bertolak dari asumsi bahwa sastra merupakan pencerminan
kehidupan masyarakat. Melalui karya sastra seorang pengarang mengungkapkan
problem kehidupan yang pengarang sendiri ikut beradaa di dalamnya. Karya sastra
menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh
terhadap masyarakat. Bahkan,sering kali masyarakat sangat menentukan nilai karya
sastra yang hidup di suatu zaman,sementara sastrawan sendiri yang merupakan angota
masyarakat tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang di terimanya dari
lingkungan yang membesarkannya dan sekaligus membentuknya (Semi,2012:19).
Sosiologi sastra adalah suatu pendekatan terhadap sastra dengan mengikut
sertakan atau mempertimbangkan segi-segi luar(faktor eksternal) karya sastra seperti
18
kondisi sosial,politik,ideologi,budaya,sejarah, dan ekonomi di dalam lingkup
analisisnya dengan maksud untuk mendapatkan pemahaman yang selengkap-
lengkapnya terhadap sastra sebagai gejala sosial. Secara singkat dapat di jelaskan
bahwa sosiologi adalah telaah yang objektif dan telaah tentang manusia dalam
masyarakat,telaah tentang lembaga sosial serta proses-prosessosial termasuk
perubahan-perubahan sosial. Sosiologi mencoba mencaritahu bagaimana masyarakat
itu tetap ada (Wardhana,2011:4-5)
Menurut Kasnadidan Sutejo, sosiologi merupakan ilmu yang mengkaji
segalaaspekkehidupan sosial manusia,yang meliputi masalah
perekonomian,politik,keagamaan,ideologi dan aspek yang lain. Sosiologi mempelajari
tumbuh dan berkembangnya manusia. Mempelajari proses-proses dalam kehidupan
masyarakat yang menyangkut masalah ekonomi,politik,budaya,agama, dan lain-lain,
kita mendapatkan bagaimana manusia berhubungan dengan manusia, manusia dengan
lingkunganya, dan bagaimana proses pembudayaanya(2010:56-57).
Menurut Kasnadi dan Sutejo(2010: 58-59), dalam sebuah kajianhal penting yang
harus di perhatikan adanya wujud karya sastra sebagai teks yang di kaji, oleh karna
itudalam sosiologi sastra perlu dikemukan wujud karya sastra yang dapat dijadikan
objek kajian.Objek kajian sosiologi satra dibagi menjadi tiga bidang kajian, yakni
(1)satra tulis, (2)sastra lisan, (3)kesenian.Sastra tulis berupa karya sastra yang
diwujudkan dalam bentuk cetakan (tulisan). Wujud sastra tulis dapat berupa puisi,
novel, novelet, prosa liris, drama.Sosiologi sastra pertama bergerak dari teori-teori
sosiologi untuk digunakan meganalisis karya sastra.Kedua analisis bermula dari
sebuah karya sastra untuk dicocokan dengan persoalan sosial yang ada di masyarakat.
19
Menurut Rene Wellek dan Austin Warren (dalam Kasnadi dan Sutedjo),
mengklasifikasikan sosiologi sastra meliputi :
a. Sosiologi pengarang
Masalah yang berkaitan dengan sosiologi pengarang adalah pengarang, status
sosial pengarang, umur pengarang, tempat kelahiran penagrang, profesi
pengarang, ideologi pengarang, latar belakang pengarang, ekonomi pengarang,
agama dan keyakinan pengarang, tempat tinggal pengarang, dan kesenangan
pengarang.
b. Sosiologi karya sastra
Masalah yang berkaitan dengan sosiologi karya sastra adalah isi karya sastra,
tujuan karya sastra, dan hal-hal yang tersirat dalam karya sastra dan yang
berkaitan dengan masalah sosial. Sosiolgi karya sastra mencangkup : (1) Aspek
sosial (sosial ekonomi, sosial politik, sosial pemdidikan, sosial religi, sosial
budaya, sosial kemsyarakatan); (2) Aspek adat istiadat (tentang perkawinan,
tentang “tingkeban” tentang perawatan bayi, tentang keamatian, tentang sabung
ayam, tentang judi, tentang pemujaan, dan sebagainya);(3) Aspek religious
(Keimanan, ketaqwaan, ibadah, hukum, muamalah);(4) Aspek etika (pergaulan
bebas antara laki-laki dan wanita, pertemanan, bertamu, berkunjung); (5) Aspek
Moral (pelacuran, pemerasan, penindasan, perkosaan, dermawan, penolong, kasih
sayang, korupsi, ketabahan); (6) Aspek nilai (nilai kepahlawanan, nilai religi, nilai
persahabatan, nilai moral, nilai sosial, nilai perjuangan, nilai diktatik)
20
c. Sosiologi Pembaca
Masalah yang diabahas dalam sosiologi pembaca ini adalah masalah pembaca
dan dampak sosial karya sastra terhadap masyarakatnya. Dalam kaitannya dengan
sosiologi pembaca ini dapat dikaji dari (jenis kelamin pembaca, umur pembaca,
pekerjaan pembaca, kegemaran pembaca, status sosial pembaca,profesi pembaca,
tendensi pembaca) (Kasnadi dan Sutejo: 2010: 58-59).
Sosiologi sastra adalah studi ilmiah mengenai manusia dalam masyarakat.
Studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial. Selanjutnya dikatakan
bahwa sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat
dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat bertahan hidup
(Faruk, 2012: 1-2). Menurut Mayor Polak (1974: 5-6) sosiologi adalah suatu ilmu
pengetahuan yang mempelajari msyarakat sebagai keseluruhan, yakni antar
hubungan diantara manusia dengan manusia, manusia dengan kelompok, dan
kelompok dengan kelompok baik formil maupunmateriil.
D. Konsep Mistik Kejawen
Unsur mistik seringakli merasuk dalam karya seorang pengarang. Maka,
pengkajian ini mencoba melihat sejauh mana posisi unsur mistik kejawen dalam
kelima cerkak karya Nono Warnono yang tergabung dalam ACMJP.
1. Mistik
Mistik adalah hal-hal gaib yang tidak terjangkau akal manusia, tetapi ada
yang nyata. Para antropolog dan sosiolog mengartikan mistik sebagai subsistem
yang ada pada hampir semua sistem religi untuk memenuhi hasrat manusia
mengalami dan merasakan kebersatuan dengan Tuhan(Suwardi,2006;3-4). Mistik
21
merupakan keyakinan yang hidup dalam pikiran kolektif masyarakat. Alam
kolektif akan kekal abadi, meskipun masyarakat telah berganti generasi.
Demikian pula dengan mistik orang Jawa. Keyakinan itu telah hidup bersamaan
dengan lahirnya masyarakat Jawa dan diturunkan dari generasi ke generasi (
Yana, 2010:25).Jawa dipandang dari sudut pemikiran memiliki khasanah budaya
yang luas, selain budaya yang luas filsafat kehidupan jawa juga sangat luas,
bahkan Jawa bisa dikatakan bukan lagi wilayah geografis tetapi Jawa adalah
filsafat.
Terdapat lima ciri-ciri mistik yaitu :
1. Misitisisme adalah persoalan praktek
2. Secara keseluruhan, mistisisme adalah aktifitas spiritual
3. Jalan dan metode mistisisme adalah cinta dan kasih sayang
4. Mistisisme menghasilkan pengalaman psikologis yang nyata
5. Mistisisme sejati tidak mementingkan diri sendiri
(Damarjati, 2006;12)
2. Kejawen
Kejawen adalah sebuah kepercayaan atau barangkali boleh dikatakan agama
yang terutama dianut oleh masyarakat suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang
menetap di Pulau Jawa. Penanaman “kejawen” bersifat umum, biasanya karena
bahasa pengantar ibadahnya menggunakan bahsa Jawa. Kejawen, dalam opini
umum, berisikan tentang seni, budaya, tradisi, ritual sikap, serta filosofi orang-
orang jawa. Penganut ajaran kejawen biasanya tidak menganggap ajarannya
sebagai agama dalam pengertian seperti agama monoteistik (Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, dan Budha) tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara
22
pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (mirip dengan
“ibadah”)(Petir, 20-21;2014)
Kebudayaan spiritual Jawa yang disebut kejawen memiliki ciri-ciri umum
antara lain :
a. Orang Jawa percaya bahwa hidup di dunia ini sudah diatur oleh Tuhan
yang Mahakuasa.
b. Orang Jawa percaya pada kekuatan gaib pada benda-benda seperti keris,
kereta istana, dan gamelan.
c. Orang Jawa percaya terhadap roh leluhur dan roh halus, yang berada di
sekitar tempat tinggal mereka(Kodiran,1971)
3. Mistik Kejawen
Mistik kejawen adalah pelaku budaya Jawa yang berusaha mendekatkan diri
pada Tuhan. Hal ini berarti, mistik kejawen, kepercayaan dan kebatinan adalah
perwujudan dari salah satu laku yang dilaksanakan sebuah aliran kebatinan dan
kepercayaan, dengan kata lain, mistik merupakan bagian dari jurus kebatinan
dalam praktik kultural(Suwardi, 2006:39).
Bentuk-bentuk mistik kejawen lebih sering diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari, misalnya keyakinan tentang keblatpapat lima pancer, sebuah
keyakinan tentang saudara ghaib. Kosmologi ini merupakan bentuk alam yang
dimanifestasikan dalam anatomi tubuh manusia. Alam kosmis ini dibatasi oleh
keblat papat lima pancer, yakni arah wetan, kidul, kulon dan lor serta pancer
(tengah). Tengah adalah kosmis manusia jawa. Arah kiblat ini juga terkait
dengan perjalanan hidup manusia, yang hidupnya ditemani juga oleh kadang
papat lima pancer. Kadang papat, yaitu kawah, getih, puser, dan adhi ari-ari.
sedangkan pancer (ego atau manusia itu sendiri). Letak kadang papat ini sejalan
23
dengan arah kiblat manusia juga. Kawah berwarna putih berada disebelah timur
(wetan,witan) ini mengawali kelahiran, dia pembuka jalan, getih berwarna merah
di sebelah selatan (kidul), puser berwarna hitam disebelah barat (kulon) dan adhi
ari-ari berwarna kuning berada di arah utara (lor). Yang ditengah adalah pancer
yaitu Mar dan Marti yang keluar lewat marga hina secara
lahiriah(Suwardi,2006;54)
Penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa mistik harus dipahami melalui
pemahaman batin yang dalam karena praktik mistik kejawen tidak bisa
dilepaskan dari kebatinan. Media batin inilah yang membuat mistik dapat
dipahami siapapun tanpa harus memandang ras.
4. Konsep Laku Ritual dalam Kejawen
Dalam literatur dan kaidah kebudayaan Jawa tidak ditemukan adanya pakem
dalam kalimat doa serta tata cara baku menyembah Tuhan, karena Kejawen
bukanlah agama maka dalam kejawen yang ada hanyalah laku spiritual dalam
tataran batiniah dan ritual dalam tataran lahiriahnya(Petir, 2014:51). Adapun
bentuk dari laku ritual kejawen adalah sebagai berikut :
1) Mantra
Mantra adalah teknologi kuno. Mantra bukanlah doa, namun sejenis
senjata atau alat berwujud kata-kata atau kalimat sebagai teknologi spiritual
tingkat tinggi hasil karya leluhur nusantara di masa silam. Mantra dibuat
melalui tahapan spiritual yang tidak mudah (Petir, 2014:54). Secara garis
besar, ada dua jenis mantra yaitu :
a. Mantra menurut fungsinya
24
Mantra ini hanya dapat digunakan untuk keperluan tertentu, misalnya
menaklukan musuh di medan perang, atau diperuntukan sebagai alat medis
sebagai mantra penyembuhan(Petir, 2014:54).
b. Mantra menurut sifatnya
Mantra jenis ini dibagi lagi menjadi dua jenis lagi, yaitu :
1. Mantra yang hanya dapat bekerja jika digunakan untuk hal-hal
yang sifatnya baik saja. Mantra jenis ini tidak dapat
disalahgunakan untuk hal-hal buruk oleh si pemakai. Mantra jenis
ini sering digunakan di lingkungan keraton sebagai salah satu
tradisi turun-temurun(Petir, 2014:54).
2. Mantra yang bersifat umum
Mantra jenis ini bebas digunakan untuk acara dann keperluan apa
saja tergantung kemauan si pemakai. Ibarat pisau, mantra ini dapat
digunakan sebagai alat bedah operasi, alat memasak, atau
disalahgunakan untuk mencelakai orang, namun, mantra jenis ini,
setiap penyalahgunaannya, pasti memiliki konsekuensi yang berat
berupa karma, atau hukuman Tuhan yang dirasakan langsung
maupun kelak setelah ajal(Petir, 2014:54)
2) Sesaji/sajen
Maksud sesaji sebenarnya merupakan suatu upaya harmonisasi melalui
jalan spiritual yang kreatif untuk menyelaraskan dan mengubungkan daya aura
magis manusia dengan seluruh ciptaan Tuhan yang saling berdampingan di
dunia ini, khususnya kekuatan alam dan makhluk gaib. Dengan kata lain,
sesaji merupakan harmonisasi manusia dalam dimensi horisontal terhadap
25
makhluk sesama ciptaan Tuhan. Harmonisasi diartikan sebagai kesadaran
manusia(Petir, 2014:55).
F. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
a. Bentuk Penelitian
Bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian sastra.
Penelitian sastra adalah suatu usaha untuk mengungkapkan fakta literer berdasarkan
realita literer (realita empiris yang ada di masyarakat) untuk dikembangkan dan diuji
kebenarannya dengan cara menganalisis data-data literer yang telah
disimpulkan(Sangidu,2004:12). Penelitian sastra dalam penelitian ini termasuk ke
dalam jenis penelitian deskriptif kualitatif, karena penelitian ini bersifat alamiah dan
digunakan untuk memahami fenomena apa yang dialami oleh subyek penelitian,
misalnya pelaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll, dengan cara deskriptif dalam
bentuk kata-kata dan bahasa (Lexy J. Moleong, 2010:6).
b. Sumber Data dan Data
a) Sumber Data
Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah lima cerkak
dalam antologi cerkak karya Nono Warnono yang berjudul Malaikat Jubah
Putih,yang diterbitkan oleh Azzagrafika di kota Jogjakarta pada tahun 2014. Adapun
kelima cerkak tersebut ialah :
1. Malaikat Jubah Putih
2. Tanggapan Ing Cungkup Dhompoh
3. Dhemit Gunung Pegat Mantu
4. Tendha Sanga Wolu
5. Ula Memba-memba
26
juga data yang berasal dari informan yaitu Nono Warnono sebagi pengarang yang
berupa hasil wawancara, Sumber data sekunder adalah berasal dari buku-buku
referensi sebagai penunjang penelitian, seperti yang tampak pada daftar pustaka
penelitian ini.
b) Data
Data yang disajikan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder.
Data primer adalah data pokok dalam penelitian ini terdiri dari data teks lima cerkak
dalam ACMJP karya Nono Warnono dan unsur-unsur intrinsik meliputi fakta-fakta
cerita (alur, tema, karakter, latar belakang) dan sarana-sarana cerita (judul, sudut
pandang, gaya dan tone, simbolisme, ironi) serta hasil wawancara dengan pengarang
yaitu Nono Warnono yang bertempat tinggal di perumahan Gajah Indah Village Blok
O Gang VII No. 18-19 Baureno Bojonegoro. Data sekunder adalah data pelaporan
kegiatan teknis, biografi, buku-buku acuan, artikel, foto, serta penelitian lain yang
relevan dengan objek penelitian ini.
c. Pengumpulan Data
1. Wawancara
Wawancara merupakan alat re-cheking atau pembuktian terhadap informasi
atau keterangan yang diperoleh sebelumnya.Tehnik wawancara yang digunakan
dalam penelitian kualitatif adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam
(in–depth interview) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan
penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara
dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa
menggunakan pedoman (guide) wawancara, di mana pewawancara dan informan
terlibat dalam kehidupan interaksi sosial yang relatif lama.
27
Beberapa hal yang perlu diperhatikan seorang peneliti saat mewawancarai
responden adalah intonasi suara, kecepatan berbicara, sensitifitas pertanyaan,
kontak mata, dan kepekaan nonverbal.Dalam mencari informasi, peneliti
melakukan dua jenis wawancara, yaitu autoanamnesa (wawancara yang
dilakukan dengan subjek atau responden) dan aloanamnesa (wawancara dengan
keluarga responden). Beberapa tips saat melakukan wawancara adalah mulai
dengan pertanyaan yang mudah, mulai dengan informasi fakta, hindari
pertanyaan multiple, jangan menanyakan pertanyaan pribadi sebelum building
raport, ulang kembali jawaban untuk klarifikasi, berikan kesan positif, dan
kontrol emosi negatif.
2. Content Analysis
Content analysis atau analisis isi merupakan metodologi yang digunakan
dalam penelitian dengan cara menganalisis data yang berbentuk tertulis atau
berupa buku, dengan kita membaca buku tersebut. Tehnik analisis isi yang
digunakan dalam penelitian kualitatif adalah tehnik menganalisis isi dari objek
penelitian yang berupa data teks, serta data-data tulis lainnya yang berhubungan
dengan tema objek sebagai sumber referensi, untuk menyusun landasan teori
dan sebagai alat menganalisis data dari objek tertulis tersebut.
G. Sistematika Penulisan
Dalam penyampaian hasil penelitian terhadap teks cerkak karya Nono
wranono yang berjudul Malaikat Jubah Putih, Dhemit Gunung Pegat Mantu,
Tanggapan Ing Cungkup Dhompoh, Tendha Sanga Wolu, dan Ula Memba-
memba penulis menggunakan sistematika sesuai dengan Pedoman penulisan
28
Skripsi/Tugas Akhir Fakultas Ilmu Budaya tahun 2013. Adapun sistematika
kajian ini sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Pendahuluan bermaksud mengantar pembaca ke dalam pembahasan suatu
masalah. Membaca bagian pendahuluan, pembaca sudah mendapat gambaran
tentang pokok pembahasan dan gambaran umum tentang penyajiannya.
Pendahuluan hendaklah dapat merangsang dan memudahkan pembaca memahami
seluruh karya ilmiah itu. Bagian laporan penelitian berisi :
a. Latar belakang masalah
Bagian ini berisi penalaran pentingnya pembahasan masalah atau alasan yang
mendorong pemilihan topik.
b. Perumusan masalah
Bagian ini menjelaskan tentang permasalahan pokok yang akan dibahas
secara jelas dan eksplisit dalam bentuk pertanyaan.
c. Tujuan pembahasan
Bagian ini berisi tentang upaya pokok yang akan dikerjakan di dalam
pemecahan masalah , dan garis besar hasil yang hendak dicapai.
d. Pembatasan masalah
Bagian ini berisi pembatasan masalah yang dibahas agar tidak membias dan
memudahkan pembahasan serta menghindari pendiskripsian yang meluas.
e. Landasan Teori
Bagian ini berisi prinsip-prinsip teori yang dapat menggambarkan langkah
dan arah analisis.
f. Sumber data
Bagian ini berisi tentang