bab i pendahuluan a. latar belakang...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Era Reformasi di Indonesia telah membawa perubahan yang signifikan
bagi kehidupan media lokal. Semarak demokrasi telah mengusung kebebasan pers
yang awalnya sesak dengan belenggu atau intervensi pemerintah kemudian lepas
dan bangkit dari jeratan tersebut. Kondisi ini memungkinkan kehidupan media
nasional di Indonesia termasuk juga kehidupan media lokal untuk tumbuh dan
berkembang. Tidak mengherankan jika semua kota atau provinsi di Indonesia
memiliki media sendiri baik berupa surat kabar daerah, radio daerah maupun
televisi daerah.
Berdasarkan data dari Serikat Perusahaan Pers Tahun 2012 menunjukkan
bahwa jumlah penerbitan media cetak adalah sebanyak 1.324 yang terdiri dari630
surat kabar harian dan mingguan dan 694 tabloid dan majalah1. Jumlah tersebut
sudah termasuk dengan media lokal yang berada di bawah naungan kelompok
media nasional seperti Kelompok Kompas Gramedia (KKG) atau Tribun dan Jawa
Pos. Seperti Tribun Batam di Batam, Tribun Pekanbaru di Pekanbaru, dan Radar
Jogja di Yogyakarta. Media-media lokal yang independen atau berdiri sendiri
tanpa bersandar dengan payung media nasional juga semakin menjamur di
Indonesia seperti kehadiran surat kabar Tabengan di Kalimantan Tengah, Papua
Pos Nabire di Papua dan Bincang Riau di Riau.
Fenomena demikian juga terjadi di Kalimantan Selatan yang selama ini
telah ada dua media nasional yang mengawal media lokal. Surat kabar harian
(SKH) Banjarmasin Post yang dikawal olehTribun dan Radar Banjarmasin
dengan media nasionalnya Jawa Pos. Sedangkan media lokal yang independen
sendiri juga tidak sedikit jumlahnya. Seperti surat kabar harian (SKH) Media
Kalimantan, Mata Banua, Barito Post dan Kalimantan Post.
1Amir Effendi Siregar, “Berselancar di Atas Gelombang Perubahan: Model Bisnis Baru Media
Cetak”, http:http://www.dewanpers.or.id/diakses tanggal 11 September 2015
2
Banjarmasin Post dan Kalimantan Post adalah dua surat kabar tertua
dalam sejarah pers di Kalimantan Selatan2. Meskipun dalam perjalanannya media-
media ini sempat tumbang dan diakusisi oleh beberapa media nasional seperti
sekarang, namun tetap menjadi pelopor jurnalisme terdepan. Seperti keberadaan
Banjarmasin Post saat ini dibawah induk PT Indopersda PrimamediaKelompok
Kompas Gramedia (KKG). Begitupun dengan Kalimantan Post yang dulunya
bernama surat kabar Dinamika sempat diambil alih oleh Surya Persindo Grup
(Media Indonesia) dengan komisarisnya Surya Paloh. Kemudian, karena krisis
moneter yang melanda tahun 1998 saham Kalimantan Post dijual kepada
pengusaha Kalselyakni Taufik Effendi yangjuga dikenal sebagai mantan politisi
partai Golkar di Kalimantan Selatan.
Profil masing-masing media tersebut memiliki karakteristik tersendiri
sehingga membuatnya berbeda. Jika Kalimantan Post bebas menjalankan
kebijakan yang mereka buat sendiri, maka berbeda dengan Banjarmasin Post
yang harus tunduk pada serangkaian aturan yang dibuat oleh Indopersda. Segala
sesuatunya yang terkait dengan media tersebut harus mendapatkan persetujuan
terlebih dahulu dari Indopersda lalu kemudian bisa diambil suatu putusan atau
kebijakan perusahaan. Satu sisi hal ini menjadi nilai tambah bagi Banjarmasin
Postkarena telah sukses menjaring pembaca layaknya koran-koran Tribun lainnya
di Indonesia. Melihat jumlah cetakan (oplah) nya saja mencapai angka 40.000
eksemplar setiap harinya.
Saat ini, usia Banjarmasin Post menginjak usia 44 tahun. Keputusan untuk
merger ke Indopersda dilakukan sekitar tahun 1995 karena pada saat itu kondisi
finansial Banjarmasin Post mengalami keterpurukan. Ketidakberdayaan tagihan
piutang yang banyak membuat Banjarmasin Post rela melepas saham mereka
yang besarnya lebih dari 50 persen kepada Indopersda. Selama puluhan tahun
Banjarmasin Post membina kerjasama dengan Indopersda,kemudian membuat
Banjarmasin Post memperluas bisnis media cetak lainnya yakni dengan
240 Tahun Banjarasmasin Post (PT Grafika Wangi Kalimantan, 2011). Kedua media ini sama-
sama lahir pada era Orde Baru. Banjarmasin Post lahir tahun 1971, sedangkan Kalimantan Post
tahun 1986. Sisanya seperti Media Kalimantan, Barito Post, Metro Banjar, Radar Banjarmasin,
Mata Banua hidup di atas tahun 90an ketika reformasi telah bergulir.
3
melahirkan surat kabar Metro Banjar, tabloid Serambi Ummah dan majalah
komunitas B Magazine. Selain bisnis media cetak juga ada bisnis radio dan
televisi yakni BPost radio serta Kompas TV Banjarmasin.
Dibalik keberhasilan Banjarmasin Post selama ini ternyata tidak lepas dari
kiprah pendiri media itu sendiri yaitu Pangeran H. Rusdi Effendi AR. Ia adalah
Pemimpin Perusahaan Banjarmasin Postyang memiliki sederet jabatan di
Kalimantan Selatan yang salah satunya adalah anggota aktif Dewan Pertimbangan
Partai Golkar Kalsel3. Prosentase saham yang ia miliki di Banjarmasin Post tidak
banyak atau hanya beberapa saja, namun intervensinya sangat kuat di
Banjarmasin Post terutama dalam hal konten atau isi pemberitaan.
Kalimantan Post sendiri juga dipelopori oleh tokoh ternama Kalsel, namun
jabatan yang pernah diduduki tidak sebanyak jabatan yang diemban oleh
pimpinan perusahaan Banjarmasin Post. Dengan usianya yang tak lagi muda
yakni sekitar 70 tahun Taufik Effendie hanya fokus pada usaha yang telah
dirintisnya selama ini yaitu bisnis kayu dan batubara. Selain itu, melihat
background pemilik Kalimantan Post yang dulunya juga mantan bendahara Partai
Golkar membuat media ini tidak luput afiliasinya dengan partai politik seperti di
Banjarmasin Post. Ditambah lagi dengan keterlibatan Dewan Penasehat
Kalimantan Postyang saat ini menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar.
Banjarmasin Post, Metro Banjar, Serambi Ummah, B Magazine dan
BPost Radio adalah kepanjangan bisnis Kelompok Kompas Gramedia
(KKG)untuk region Kalimantan Selatan. Media-media tersebut berkantor ditempat
yang sama, namun untuk bisnis radio dan televisi sistem manajemennya terpisah.
Sedangkan kelompok media cetaknya berada disatu wadah manajeman serta
organisasi yang sama. Tidak mengherankan jika menjumpai surat kabar
Banjarmasin Post, Metro Banjar, tabloid Serambi Ummah dan B Magazine itu
struktur keredaksiannya sama. Karyawan beserta posisi jabatannya juga tidak ada
3Saat ini ada 59 jabatan dan 7 penghargaan yang selama ini pernah diraih oleh Pangeran H. Gusti
Rusdi Effendie AR. Selain dinobatkan sebagai tokoh pejuang pers pada tahun 2010 juga dilantik
sebagai Anggota Dewan Pertimbangan partai Golkar hingga saat ini
(http://hgrusdieffendiar.com/profile, diunduh tanggal 20 Mei 2015).
4
yang berbeda. Hanya manajer redaksi dimasing-masing medianya saja yang
berbeda. Wartawan yang meliput Banjarmasin Post juga adalah wartawan yang
meliput Metro Banjar, Serambi Ummah dan B Magazine. Melihat fenomena ini,
kekhawatiran timbul manakala wartawan sehari-hari yang menangani empat
media sekaligus hanya mencari satu sumber berita kemudian dikemas dan
dikembangkan dalam versi Metro Banjar sebagai surat kabar kriminal dan
Serambi Ummah sebagai tabloid keagamaan. Mereka tidak mengolah berita secara
utuh dan bersengaja berdasarkan prinsip jurnalisme, namun hanya memanfaatkan
sumber-sumber seadanya sehingga keakurasian informasi bisa dipertanyakan.
Perluasan jaringan media seperti ini juga sudah banyak terjadi di
Indonesia. Diantaranya adalah Hary Tanoesodibjo pemilik Media Nusantara Citra
(MNC) Grupyang membawahi 20 stasiun televisi, 22 stasiun radio, 7 media cetak
dan satu media online. Relasinya dalam dunia politik juga patut diperhitungkan
karena ia adalah pendiri sekaligus Ketua Umum dari Partai Persatuan Indonesia
(Perindo). Tokoh politik lainnya sekaligus pemilik media adalah Surya Paloh
yang juga merupakan pendiri Partai Nasional Demokrat (NasDem) dan sekaligus
pemilik Media Grup dengan satu televisi dan 3 media cetak.
Melihat realitas demikian, maka tujuan hakiki jurnalisme adalah adalah
untuk mencerahkan publik (public enlightenment), semakin bergeser. Jurnalisme
saat ini cenderung dikendalikan oleh pasar dan hanya bertujuan untuk
memaksimalkan keuntungan ekonomi para pemodal. Ditambah lagi background
pemilik media adalah mereka yang terjun ke dalam dunia politik. Dapat dipastikan
media hanya menjadi corong atau alat bargaining untuk memuluskan jalan bisnis
mereka. Hal itu tidak hanya berpengaruh pada konten berita yang disajikan, tetapi
juga dapat menggiring opini publik untuk bersimpati terhadap media
tersebut.Fenomena ini tidak hanya berlaku pada media nasional, tetapi juga media
lokal di Kalimantan Selatan seperti Banjarmasin Post dan Kalimantan Post.
Tidak bisa dipungkiri bahwa pesatnya pertumbuhan media lokal maupun
nasional ditopang oleh dua kekuatan besar yakni kekuatan grup serta kekuatan
5
pemilik modal. Seperti yang diungkapkan oleh anggota PWI Kalsel Toto
Fachruddin terkait pesatnya pertumbuhan media di Kalimantan Selatan, yaitu:
“Kalau kita mengamati pertumbuhannya harus diakui memang media-
media yang ditopang oleh kekuatan grup. Karna mereka memang adalah
media yang memiliki infrastruktur yang cukup mapan. Baik secara kualitas
SDM, kemudian mekanisme kerja, aturan, dan mereka memiliki produk-
produk internal yang memang apa yaaa standarnya itu sudah standar yang
ditetapkan oleh grup mereka masing-masing. Seperti di Banjarmasin Post,
itu merupakan bagian dari KKG, Kompas Media Grup. Radar
Banjarmasin, itu juga contohnya adalah bagian dari Jawa Pos Grup. Ada
juga media yang ditopang oleh pemilik modal yang besar. Salah satunya
itu adalah Media Kalimantan. Media Kalimantan itu ditopang oleh pemilik
owner perusahaan PT Hasnur. Walaupun dia bukan media grup, tapi
pemilik modalnya ini adalah salah satu pengusaha yang cukup kuat, ya.
Sehingga mereka mampu menopang operasional penerbitan
dia.”(wawancara dengan Toto Fachruddin, wakil ketua bidang pendidikan
PWI Kalsel, 29 April 2015, di kantor PWI Kalsel, Banjarmasin).
Berdasarkan uraian di atas, persoalan pengkongsian media seperti yang
terjadi di Kalimantan Selatan dengan segala dampak lanjutnya merupakan satu
rangkaian telaah ekonomi politik media. Para teoritisi ekonomi politik media juga
percaya bahwa ada minoritas elit tertentu yang mengendalikan institusi ekonomi,
seperti bank dan pasar saham yang kemudian mempengaruhi banyak institusi
sosial lainnya, termasuk media massa. Dengan asumsi seperti itu, McQuail
mengatakan bahwa telaah ekonomi politik media mengarahkan penelitian pada
ketergantungan ideologi yakni kekuatan ekonomi serta analisis empiris terhadap
struktur kepemilikan dan mekanisme kerja kekuatan pasar. Institusi media dinilai
sebagai bagian dari sistem ekonomi yang juga bertalian erat dengan sistem politik.
Minoritas elit tertentu yang menduduki sebagian besar industri media di
Kalsel adalah orang-orang yang memiliki modal besar dan relasi yang kuat dalam
dunia politik. Pemimpin Umum Banjarmasin Post adalah anggota DPW Partai
Golkar dan Taufik Effendie adalah mantan bendahara Golkar. Mereka berasal dari
partai yang sama dengan jabatan yang berbeda. Tidak sulit bagi mereka untuk
melakukan intervensi terhadap perusahaan khususnya isi pemberitaan dengan
mengesampingkan kaidah yang berlaku dalam kode etik jurnalistik. Media
6
dijadikan sebagai alat bargaining untuk memuluskan karir dunia politik serta
bisnis tambang yang mereka jalankan selama ini.
Relasi politik yang kuat serta kemampuan finansial yang besar merupakan
bagian dari telaah ekonomi politik media yang ditulis Vincent Mosco dalam
bukunya yang berjudul The Political Economy of Communication.Mosco
membaginya dalam tiga pintu masuk yakni komodifikasi, spasialisasi dan
strukturasi. Fokus penelitian ini hanya mengkaji hal yang paling menonjol yakni
strukturasi dan spasialisasi. Komponen komodifikasi dalam hal ini tidak
disertakan karena akan berat jika dikejar dengan studi observasi partisipan dengan
teknik pengumpulan data melalui wawancara serta observasi langsung. Selain itu,
sasaran konseptual yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah lebih melihat
kepada peranan agen dalam usaha memperluas jaringan bisnis medianya. Bukan
melihat pada alasan-alasan yang melatarbelakangi media dijadikan sebagai
komoditas sebagaimana konsep yang berlaku pada komodifikasi.
Vincent Mosco menjelaskan bahwa teori strukturasi menunjukkan bahwa
agen secara kontinyu mereproduksi struktur sosial. Dalam strukturasi
memungkinkan bergabungnya beberapa proses komodifikasi dan spasialisasi
untuk mendapatkan keuntungan ekonomi politik. Strukturasi juga berimbas pada
penyeragaman ideologi secara terstrukturyakni media yang sama pemiliknya akan
memiliki ideologi yang sama pula. Dampak terbesarnya adalah timbulnya
keseragaman terhadap isi media itu sendiri yang pastinya tidak luput dari
genggaman intervensi pemilik media. Dengan kata lain media dapat digunakan
untuk menyampaikan ideologi pemiliknya. Sedangkan inti dari teori spasialisasi
adalah tentang cara-cara mengatasi hambatan jarak dan waktu dalam kehidupan
sosial. Spasialisasi merupakan proses perpanjangan institusional media melalui
bentuk korporasi dan besarnya badan usaha media. Fenomena strukturasi dan
spasialisasi inilah yang selama ini menjadi pintu masuk ekonomi politik media
yang paling menonjol pada Banjarmasin Post dan Kalimantan Post.
Melihat fenomena ekonomi politik media cetak di Kalimantan Selatan,
terutama eksistensi Banjarmasin Post dan Kalimantan Post tergambar dari nuansa
7
strukturasi dan spasialisasi masing-masing media. Terutama media yang disokong
oleh media nasional seperti Banjarmasin Post serta media yang didukung oleh
petinggi partai sekaligus pengusaha yakni Kalimantan Post. Jika memang
kemampuan bertahan hidup atas faktor tersebut, maka praktek strukturasi dan
spasialisasi macam apa yang selama ini dilakukan sehingga Banjarmasin Post dan
Kalimantan Post dapat terus bertahan. Untuk menemukan jawaban terkait
ekonomi politik terkait strukturasi dan spasialisasi di media cetak Kalimantan
Selatan ini adalah hal yang menarik untuk dikaji.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana ekonomi politik media
lokal di Kalimantan Selatan khususnya strukturasi dan spasialisasi dalam surat
kabar harian (SKH) Banjarmasin Post dan Kalimantan Post?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan ekonomi politik media lokal di
Kalimantan Selatan khususnya strukturasi dan spasialisasi dalam surat kabar
harian (SKH) Banjarmasin Post dan Kalimantan Post.
D. Manfaat Penelitian
Sebuah Penelitian ilmiah tentu diharapkan memberikan konstribusi
tertentu, baik akademis maupun praktis. Dalam konteks penelitian ini, maka
manfaat atau kegunaan yang diharapkan sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian ini bermanfaat untuk memberi sumbangan
pemikiran sekaligus bahan pembanding bagi penelitian sejenis lainnya tentang
ekonomi politik medialokal terutama konsep strukturasi dan spasialisasi serta
pengaplikasian studi kasus (case study) dalam membedah permasalahan ilmu
komunikasi.
2. Manfaat praktis
8
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi
industri media khususnya media cetak lokal agar dapat belajar banyak dari
pengalaman Banjarmasin Post dan Kalimantan Post dalam menjalankan bisnis
media mereka melalui strategi ekonomi politik strukturasi dan spasialisasi
sehingga bisa terus eksis di tengah pesatnya persaingan media selama ini.
E. Tinjauan Pustaka
Perkembangan media cetak semakin pesat diberbagai belahan bumi
Nusantara merupakan imbas dari kemajuan teknologi informasi dan komunikasi
yang ada saat ini. Tidak hanya dalam skala nasional saja, ditingkat lokal pun
angka media cetak juga terus mengalami peningkatan. Hal ini merupakan salah
satu wujud dari kebebasan pers yang selama masa Orde Baru terabaikan. Selain
ditunjang oleh tekhnologi, faktor lain yang lebih penting adalah strategi ekonomi
politik media itu sendiri untuk meraih simpati publik. Berbagai penelitian pun
telah dilakukan untuk melihat dinamika ekonomi politik media, seperti praktek
strukturasi, komodifikasi serta spasialisasi di aras lokal maupun nasional. Akan
tetapi, penelitian ini hanya berfokus strukturasi dan spasialisasi pada media lokal
saja.
Penelitian dilakukan oleh Yoseph Andreas Gual pada tahun 2013 yang
berjudul Dinamika Ekonomi Politik Industri Penerbitan Pers Lokal (Studi Kasus
Praktek Komodifikiasi dan Spasialisasi di Kota Kupang. Ada empat media yakni
Pos Kupang, Timor Express, Erende Pos dan Radar Timor yang ia lihat dari sudut
pandang komodifikasi dan spasialisasi yang dianggap sebagai ujung tombak
keberhasilan media dalam menjaring khalayak. Dari temuannya menjelaskan
bahwa akan sulit media lokal untuk bertahan jika tidak memiliki modal besar dan
mesin cetak sendiri. Seperti Pos Kupang dan Timor Express yang besar karena
dibina oleh Kompas Gramedia dan Jawa Pos. Sedangkan Erende Pos dan Radar
Timor hanya milik masyarakat lokal dan tidak berafiliasi dengan media nasioal
sehingga dalam perjalanannya Erende Pos kurang dikenal masyarakat dan Radar
Timor sendiri sudah mati sejak tahun 2006.
9
Muhamad Sulhan pada penelitiannya tahun 2006 yang berjudul Kisah
Kelabu di Balik Maraknya Pers Lokal di Kalimantan mengatakan bahwa pers
lokal di Kalimantan merupakan kepanjangan jaringan dua bisnis media nasional
terbesar di Indonesia yakni Kompas Gramedia dan Jawa Pos. Disamping itu,
media di Kalimantan juga dikuasai oleh sejumlah elit politik dan pengusaha.
Sehingga, pada prakteknya media-media di Kalimantan tidak memiliki idealisme
dan konsistensi atas misi penyampaian kebenaran serta hanya menjadi corong
politik dan kepentingan bisnis dari penguasa media tersebut.
Isma Adila melalui hasil penelitiannya tahun 2011 pada PT. Mugi Rekso
Abadi (MRA) milik Adiguna Soetowo yang berjudul Spasialisasi Dalam Ekonomi
Politik (Studi Kasus MRA Media) mengungkapkan bahwa MRA Grup bukanlah
lah lagi perusahaan yang berfokus pada bisnis media cetak dan radio. Akan tetapi,
telah berekspansi ke bisnis lifestyle, hiburan, otomotif, hotel dan properti dengan
konsentrasi vertikal maupun horizontal. Horinzontal artinya bahwa bentuk badan
usaha media tersebut adalah bentuk-bentuk konglomerasi dan monopoli.
Sedangkan vertikal adalah proses integrasi antara induk perusahaan dan anak
perusahaannya yang dilakukan dalam satu garis bisnis untuk memperoleh senergi,
terutama untuk memperoleh kontrol dalam produksi.
Penelitian lain terkait ekonomi politik yang berfokus pada strukturasi
dilakukan Rekno Sulandjari pada tahun 2012 berjudul Tinjauan Strukturasi
Dalam Krisis LPP TVRI. Penelitian ini melihat bahwa hampir semua bentuk
kelembagaan pernah disandang TVRI , mulai dari Perseroan Terbatas (PT) sampai
Lembaga Penyiaran Publik (LPP) seperti sekarang ini. Meskipun telah banyak
banyak mengalami perubahan dengan status baru tersebut, tidak kunjung menarik
minat khalayak untuk menyaksikan program TV tertua di Indonesia ini. Masalah
sebenarnya adalah pada tubuh TVRI itu sendiri, yakni agen (pegawai di
lingkungan LPP TVRI) dan struktur yang ada. Mereka sudah puluhan tahun
terbiasa dan terbentuk dalam suatu lingkungan kerja yang „enak‟ sehingga sukar
untuk berubah.
10
Selain di TVRI seperti di atas, penelitian lain terkait ekonomi politik
pernah dilakukan di TV swasta. Yolanda Presiana Desi pada tahun 2013
melakukan penelitian dengan judul Dinamika Ekonomi Politik Televisi Swasta
Lokal (Studi Kasus ADITV Yogayakarta. Praktek ekonomi politik dalam tubuh
televisi swasta lokal ADITV Yogyakarta membuktikan adanya tarik-menarik
kepentingan ekonomi politik yang sangat kuat antara lembaga penyiaran,
regulator, dan pihak-pihak lain yang terlibat. Selain itu, juga dipengaruhi oleh
faktor-faktor sosial dan budaya masyarakat yang membedakannya dengan daerah
lain.
Penelitian-penelitian sebelumnya hanya melihat bagaimana praktek
ekonomi politik secara umum maka penelitian ini mengkhususkan untuk mengkaji
sisi strukturasi dan spasialisasi nya. Ada beberapa juga penelitian yang berfokus
pada spasialisasi dan strukturasi, namun itu belum dikaji di Kalimantan Selatan
khususnya pada surat kabar Banjarmasin Post dan Kalimantan Post. Mengingat
juga pernah ada penelitian yang dilakukan oleh Sulhan pada tahun 2006 tentang
kisah pers di Kalimantan, namun belum pernah ada yang mengkaji khusus
ekonomi politik media di Kalimantan Selatan karena perkembangan surat kabar di
daerah ini semakin berkembang pesat. Untuk itu, penelitian ini berfokus pada titik
strukturasi dan spasialisasi yang dibangun Banjarmasin Post dan Kalimantan Post
sebagai koran lokal yang hidup selama puluhan tahun di Kalimantan Selatan.
F. Kerangka Pemikiran
1. Ekonomi Politik Media
Dalam sejarah perkembangan ilmu komunikasi, perspektif ekonomi politik
mulai tumbuh tahun 1960-an. Pada waktu itu terjadi benturan antara kebijakan
pemerintah dan arus pasar bebas dunia. Kebijakan pemerintah menitikberatkan
pada upaya demokratisasi dan peningkaan pelayanan publik. Sementara arus pasar
11
bergerak secara global dengan logikanya sendiri. Benturan-benturan inilah yang
akhirnya melahirkan berbagai penelitian ekonomi politik di bidang komunikasi.4
Menurut Vincent Mosco (2009) dalam artikelnya Current Trends in the
Political Economy of Communication, ekonomi politik adalah studi tentang
hubungan-hubungan sosial, khususnya hubungan kekuasaan yang saling
menguntungkan antara sumber, distribusi, dan konsumsi yang berkaitan dengan
komunikasi. Ini berarti pada ranah politik, kekuasaan digunakan untuk
mengendalikan sumber produksi, distribusi dan konsumsi komunikasi oleh
individu atau kelompok orang. Sementara Garnham memfokuskan diri pada
struktur relasi sosial dan kekuatan sosial khususnya yang dimiliki oleh kapitalisme
ketika mengkaji ekonomi politik media.
Ada juga yang berpandangan bahwa ekonomi politik media diarahkan
kepada bagian produksi media.5 Premis dasar dari pendekatan ini yakni media
sebagai institusi sekaligus sebagai konten merupakan hasil dominan dari sebuah
organisasi ekonomi. Dan saat ini, bentuk dominan dari organisasi ekonomi adalah
kapitalisme. Dengan demikian, maka media sangat ditentukan oleh modal
produksi kapitalis. Karena media dikuasai oleh pihak kapitalis maka media
sebagai sebuah institusi dijalankan sebaik mungkin untuk menghasilkan
keuntungan maksimum. Sehingga, isi media terkandung ideologi kelas dominan
yang diarahkan untuk menguasai kelas sosial lain. Kecenderungan perusahaan
media saat ini mengarah pada model oligopoli. Hal ini menyebabkan semakin
banyak media namun media-media tersebut dikuasai dan dikontrol oleh segelintir
perusahaan media.
Dalam konsteks seperti itu, untuk memahami ekonomi politik perlu
memperhatikan dua dimensi penting berikut. Pertama, sifat hubungan media
dengan struktur masyarakat. Hal ini penting karena dengan cara seperti ini akan
terlihat sejauh mana sistem media dengan berbagai atributnya terutama isinya
4Di Eropa, khususnya Prancis dan Inggris serta Amerika Serikat, para ilmuwan memfokuskan
penelitian mereka pada imperialisme budaya, industri dan industrialisasi budaya, hubungan televisi
dengan khalayak, serta iklan dan informasi.Mattelart & Mattelart, Theories of Communication: A
Short Introduction, (London: Sage Publication, 2004), hlm. 91-104. 5Eugenia Siapera, Cultural Diversity and Global Media: The Mediation of Difference, (United
Kingdom:Wiley-Blackwell, 2010), hlm. 66-67
12
meneguhkan, menentang dan mempengaruhi relasi-relasi yang ada dalam
masyarakat. Kedua, perilaku dan isi media.6 Dimensi ini penting karena isi media
selalu dipengaruhi oleh faktor kepemilikan, mekanisme dukungan dan kebijakan
pemerintah.
Curan dan Gueverich (1996) mengatakan bahwa untuk melihat ekonomi
politik media maka proses sejarah media yang bersangkutan juga perlu dilihat.
Untuk mempermudah pemahaman akan perluasan jaringan institusi, jangkauan
perusahaan, komodifikasi komunikasi dan informasi, serta intervensi negara
dalam perkembangan perusahaan. Oleh karena itu, menurut Oliver Boyd-Barret
dalam Kurnia (2008: 36) bahwa perspektif ekonomi politik media memiliki
kepentingan kritis dengan kepemilikan dan kontrol media, keterkaitan industri
media dengan industri lain, serta bersinggungan dengan elit politik, ekonomi dan
sosial.
Dalam perkembangannya, para ahli mengatakan bahwa studi ekonomi
politik media memiliki dua pendekatan utama yang mempengaruhi cara melihat
dan mengkaji media yakni pendekatan liberal dan pendekatan kritis. Perbedaan
prinsip ini terletak pada cara melihat aspek-aspek ekonomi politik media tersebut
(eds. Prajarto, 2004: 68). Pendekatan liberal melihat aspek ekonomi sebagai tools
profesional dalam menjalankan media. Sedangkan pendekatan kritis melihat aspek
ekonomi dan politik sebagai bagian dari kerja profesional melainkan dan bahkan
sebagai kontrol. Iklan dan pemodal dapat digunakan oleh kelas dominan untuk
memaksakan dominasi mereka kepada kelompok minoritas.
Penelitian ini lebih mengarah pada pendekatan kritis. Oleh karena itu, pada
bagian ini akan dijelaskan lebih jauh tentang kekhasan atau ciri khas pendekatan
ekonomi politik media kritis. Pendekatan ekonomi media kritis memiliki tiga
karakteristik yang menjadi ciri khasnya dan tergambar dalam sifat-sifatnya, yakni
bersifat holistik, bersifat historis dan bersifat praksis (Golding dan Murdock,
1997: xvi). Pertama, pendekatan ekonomi politik media bersifat holistik berarti
dalam telaahnya, penggunaan pendekatan ini harus melihat secara keseluruhan
6McChesney, The Political Economy of Global Communication (New York: Monthly Review
Press, 2008), hlm. 3
13
hubungan antara dinamika sosial, politik dan budaya pada masyarakat dimana
kajian itu dilakukan serta menghindari kecenderungan untuk mengabstraksi
realitas-realitas sosial kedalam teori ekonomi dan teori politik. Media harus
ditatakan dalam totalitas sistem yang lebih luas yang menjadi bagian integral dari
proses ekonomi, sosial, politik yang berlangsung dalam masyarakat dimana media
tersebut hidup.
Kedua, pendekatan ekonomi politik media bersifat historis menurut
Golding dan Murdock maksudnya adalah ketika menggunakan pendekatan
ekonomi politik media kritis, kajian yang dikembangkan haruslah berupaya
menjelaskan secara memadai perubahan-perubahan dan dialektika yang terjadi
berkaitan dengan posisi dan peran media dalam sistem kapitalisme global. Dengan
kata lain, mengaitkan posisi media dalam peta dunia global dan kapitalistik
dengan fokus pengamatannya pada pengaruh perubahan dan perkembangan
kekuatan pasar modal global.
Ketiga, pendekatan ekonomi politik media menurut Golding dan Murdock
bersifat praksis. Artinya, pendekatan ini mempunyai perhatian pada aspek-aspek
aktivitas manusia yang bersifat kreatif dan bebas dalam rangka mengubah
keadaan, terutama ditengah arus besar perubahan sosial. Ini juga berarti bahwa
pengetahuan adalah produk dari interaksi dan dialektika antara teori dan praktek
secara terus-menerus.
Untuk melihat praktik ekonomi politik media, Vincent Mosco
membaginya dalam tiga pintu masuk yakni komodifikasi, spasialisasi dan
strukturasi. Oleh karena itu, masing-masing komponen berperan penting dalam
melihat praktik ekonomi politik tersebut.
1.1 Komodifikasi
Pintu masuk pertama dalam memahami ekonomi politik adalah
komodifikasi. Istilah komodifikasi sebenarnya dipinjam Mosco dari istilah yang
dipakai Karl Marx untuk menjelaskan kapitalisme. Menurut Marx, dinamika
kapitalisme adalah suatu cara produksi yang didasarkan pada kepemilikan pribadi
14
atas sarana produksi.7 Berdasarkan penguasaan sarana produksi maka masyarakat
digolongkan dalam kelompok borjuis yang memiliki dan menguasai sarana
produksi dan kelas proletar atau pekerja yang tidak memiliki dan menguasai
sarana produksi. Kelas borjuis membeli dan mengksploitasi tenaga kelas proletar
mereka untuk memproduksi barang dan atau jasa. Realisasi nilai-surplus ke dalam
bentuk uang diperoleh dengan menjual produk itulah komoditas. Jadi, komoditas
menurut Marx adalah sesuatu yang tersedia untuk dijual di pasar. Sedangkan
komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme, dimana
obyek, kualitas dan tanda berubah menjadi komoditas.
Marx melihat seperti ditulis Peter Beilharz bahwa komodifikasi
menjadikan segala hal bisa saling diukur. Misalnya, harga dua buah buku “sama
nilainya” dengan satu jas.8 Padahal, segala sesuatu memiliki harganya sendiri dan
tidak bisa disama ratakan. Masyarakat borjuis mereduksi nilai kemanusiaan
menjadi nilai ekonomis dan menyeragamkan berbagai perbedaan yang semestinya
menjadi karakteristik kehidupan sehari-hari.
Dengan menggunakan istilah yang dipakai Marx, Mosco ingin
menjelaskan ekonomi politik komunikasi. Mosco mengatakan bahwa
commodification is the process of transforming use value into exchange values.9
Artinya, komodifikasi adalah proses untuk mengubah segala sesuatu baik bentuk
fisik maupun nonfisik menjadi komoditi yang memiliki nilai jual. Dalam dunia
media, komodifikasi melihat hal utama dari substansi kerja media yakni isi media,
ikla-audiens, dan pekerja. Mosco mengidentifikasi bentuk-bentuk komodifikasi
media menjadi komodifikasi: isi, audiens dan pekerja, imanent dan eksternal.
1.2 Spasialisasi
Spasialisasi adalah pintu kedua dalam memahami konsep ekonomi politik
komunikasi Mosco. Mosco secara singkat menerangkan arti spasialisasi dalam
ekonomi politik komunikasi.
7 Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Kreasi Wacana,2011), hlm. 15
8Peter Beilhaarz, Teori-Teori Sosial: Observasi Kritisterhadap Para Filosof Terkemuka,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hlm. 275 9Mosco, ibid, hlm. 129
15
“The political economy of communication has specifically addressed
spatialization chiefly in terms of the institutional extension of corporate
power in the communication industry. This is manifested in the sheer
growth in the size of media firms, measured by assets, revenues, profit,
employees, and share value. Political economy has specifially examined
groth by taking up different forms of corporate concentration.10
Menurut Vincent Mosco, istilah spasialisasi diperkenalkan oleh Henri
Lefebre, dengan arti „proses mengelola (deadling with) jarak dan waktu dalam
kehidupan sosial‟. Konsep ini merujuk pada pertumbuhan ekspansi kapital yang
memang bertujuan untuk memaksimalkan fungsi transportasi dan komunikasi,
mengurangi sebanyak mungkin waktu untuk memindahkan barang, orang, dan
pesan melintasi jarak seberapapun, sehingga membuat jarak tersebut tidak berarti.
Giddens dalam Mosco melihat perubahan karakteristik jarak dan waktu seiring
dengan berkembangnya ekspansi kapital dari sumber daya yang solid menjadi
sumber daya yang elastis. Dalam artian, jauh tidaknya suatu jarak atau lama
tidaknya waktu yang dibutuhkan didefinisikan secara relatif oleh berbagai macam
faktor. Seperti yang telah diebutkan di atas yaitu faktor tekhnologi dan
komunikasi.11
Spasialisasi pada intinya merupakan usaha industri dalam melakukan
ekspansi pasar dan ekspansi profit. Sebuah perusahaan (konteks komunikasi
misalnya media) tidak lagi mempunyai tujuan dalam orientasi perluasan
kepentingan publik namun lebih kepada perluasan kepentingan pasar atau profit.
Perluasan yang dimungkinkan dilakukan oleh sebuah industri tidak hanya berada
dalam batasan yang harfiah. Akan tetapi, melakukan usaha –usaha baru dalam
mendukung perluasan produk intinya, misalnya pembuatan merchandise dari film
tertentu.12
Selain itu perluasan usaha dalam menembus budaya dan sosial
dilakukan juga misalnya dengan akusisi perusahaan lokal dan sebagainya.
10
Mosco, ibid, hlm 175
11Mosco, ibid, hlm 157
12Adrian Yuwono. Tesis Eksistensi Bioskop Lokal di Indonesia (Studi Kasus Tentang Eksistensi
Bioskop Lokal NV.PERFEBI di Yogyakarta dan Wonosobo Dalam Perspektif Ekonomi Politik
Komunikasi). Pascasarjana Ilmu Komunikasi Fisipol UGM, 2009. Hlm, 41
16
Dalam spasialisasi Vincent Mosco juga menyebutkan dua macam integrasi
yang dapat dilakukan oleh korporasi, yaitu integrasi vertikal dan integrasi
horizontal. Disebut integrasi vertikal ketika penggabungan tersebut ditujukan pada
sektor kerja lain dalam satu rangkaian produksi komoditi. Seperti penyediaan
tenaga kerja atau bahan-bahan mentah. Sedangkan integrasi horizontal adalah
ketika penggabungan itu ditujukan pada korporasi yang lain dengan level yang
sama. Menambah pernyataan Mosco tentang integrasi vertikal, Douglas Gomery
(1989: 48) menyebutkan dua alasan utama dilakukan integrasi ini. Pertama, untuk
meminimalkan biaya produksi dan transaksi. Alasan ini sesuai dengan ideologi
kapitalisme yang menginginkan keuntungan sebanyak mungkin dan
mengeluarkan biaya sesedikit mungkin. Kedua, adalah untuk jaminan
„keamanan‟, dalam artian kontrol yang lebih luas terhadap pasar. Misalnya,
produsen program radio tidak perlu takut program yang dibuatnya tidak disiarkan
oleh stasiun radion manapun karena mereka telah memiliki stasiun radio menurut
komandonya pasti akan menyiarkan program tersebut.
Dengan dilakukannya integrasi demi integrasi, maka unit-unit yang
bergabung menjadi satu tersebut semakin terhindar dari kompetisi, dan pesaing
mereka berkurang karena jumlah insider membesar (karena dirangkulnya institusi-
institusi yang lain menjadi satu „keluarga‟), dan jumlah outsider, pesaing atau
rivalnya berkurang. Pemain baru pun menjadi kesulitan untuk memasuki pasar
yang oligopolis ini, karena modal material awal yang diperlukan untuk bersaing
menjadi sangat besar. Dalam Capitalism, Communication and Class Relations,
Golding dan Murdoc menyebutkan bukti-bukti keberadaan loss-making
newspaper, yaitu media-media yang tidak menuai keuntungan bagi korporasinya
namun tetap dipertahankan dengan alasan non ekonomis, seperti misalnya
menjadi bendera (flagships) bagi nilai-nilai korporasi tersebut. Media semacam
inilah yang harus diberi subsidi oleh media lain dalam sebuah korporasi.
Penjelasan yang diberikan Mosco tentang tujuan dari spasialisasi kurang
lebih sama dengan yang diutarakan Douglas Gomery, yaitu menghindari
persaingan, meminimalkan biaya produksi, meminimalkan jumlah pajak yang
harus dibayar dan mempercepat distribusi.
17
1.3 Strukturasi
Pintu terakhir dalam memahami ekonomi politik menurut Vincent Mosco
adalah melihat adanya interaksi, relasi, dan negosiasi yang terjadi dalam sebuah
struktur organisasi (konteks media).
“Process by which structures are constituted out of human agency, even as
they provide the very “medium” of that constitution.13
Dalam konteks ekonomi politik media, strukturasi digunakan untuk
memahami relasi kekuasaan pada kelas sosial, ras, gender dan gerakan sosial yang
pada akhirnya mengkristal dalam apa yang disebut hegemoni.14
Melalui teori
strukturasi, Mosco mencoba untuk menempatkan kajian ekonomi politik media
pada titik keseimbangan. Tidak hanya melihat peran struktur dari sistem media
saja, tetapi juga melihat para agen, relasi sosial, peran sosial, dan praktek sosial.
Strukturasi dalam ekonomi politik media adalah sebuah pendekatan analisis sosial
kritis untuk melihat komoditas, institusi, praktek dan konsekuensi dari produksi,
distribusi dan penggunaan kekuasaan.
Teori strukturasi dipelopori oleh Anthony Giddens, seorang sosiolog yang
mengembangkan apa yang disebutnya sebagai sosilogi sehari-hari. Sosiologi
didasarkan pada pemahamannya atas strukturasi dalam sistem sosial. Teori ini
ditawarkan dalam rangka membahas pertanyaan-pertanyaan seperti apakah agen
manusia sebagai pelaku atau kekuatan sosial yang besarkah yang membentuk
masyarakat. Teori strukturasi Giddens menunjukkan bahwa agen manusia secara
kontinyu memproduksi struktur sosial15
. Artinya, individu dapat melakukan
perubahan atas struktur sosial. Dalam teori strukturasi, memungkinkan
bergabungnya beberapa proses komodifikasi dan spasialisasi untuk mendapatkan
keuntungan ekonomi politik komunikasi.
Dalam teori strukturasinya Anthony Giddens mengaitkan stuktur dan
tindakan sosial itu dalam relasi agensi, yang melahirkan praktik-praktik sosial
dalam kehidupan masyarakat yang terjadi secara tersusun atau terstruktur yang
13
Mosco, ibid, hlm.212 14
Mosco, ibid, hlm. 187 15
Anthony Giddens, Teori Strukturasi, Dasar-Dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),hlm.12
18
berpola dan bukan sebagai suatu kebetulan. Fokus yang penting dari teori
stukturasi adalah hubungan antara agensi dan struktur (agency and structure),
yakni untuk menjelaskan dualitas dan hubngan dialektis antara agensi dengan
struktur. Bahwa antara agensi dan struktur tidak dapat dipahami terpisah satu
sama lain, keduanya merupakan dua sisi dari koin yang sama. Semua tindakan
sosial melibatkan struktur, dan semua struktur melibatkan tindakan sosial. Agensi
dan struktur terjalin erat dalam aktivitas atau praktik yang terus menerus
dijalankan manusia. Menurut Giddens, aktivitas “tidak dilakukan oleh aktor sosial
namun secara berkelanjutan diciptakan ulang melalui sarana yang mereka
gunakan untuk mengekspresikan diri mereka sebagai aktor. Di dalam dan melalui
aktivitas-akivitas mereka, agen menghasilkan sejumlah kondisi yang
memungkinkan aktivitas ini.16
Gagasan yang diusung strukturasi membedakannya dengan komodifikasi
atau spasialisasi. Strukturasi berhubungan langsung dengan hal-hal yang terkait
dengan keagenan, hubungan sosial, praktek sosial, dan proses sosial. Maka sudah
pasti ada pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan hal tersebut seperti: pihak
mana yang berpengaruh penting? bagaimana hubungan sosial diantara mereka?
dan bagaimana proses serta praktek sosialnya?17
Manfaat strukturasi lebih kepada
dua hal yaitu untuk mengkaji kekuasaan yang berlangsung dan pendekatan kritis
analitis sosial. Agen dalam strukturasi pun dapat berwujud individu atau
sekelompok orang. Sebagai agen, mereka merupakan aktor-aktor sosial yang
perilakunya ditentukan oleh tata hubungan sosial serta penempatan dirinya di
dalam masyarakat.
2. Problematika Industri Surat Kabar Lokal
Surat kabar merupakan media massa yang paling tua dibanding dengan
jenis media massa lainnya yang tidak hanya sekedar lembaran tercetak yang
memuat peristiwa yang terjadi dimasyarakat, namun juga sekaligus sebagai
16
George Ritzer dan Douglas J. Goodman. Teori Sosiologi. (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008),
hlm 569.
17Haedar Natsir. Memahami Strukturasi Dalam Perspektif Sosilogi Giddens. (Jurnal SOSIOLOGI
REFLEKTIF, Volume 7 No 1: 2010).
19
pencatat sejarah perkembangan kehidupan bangsa. Dahulu kala sebelum
ditemukannya kertas dan mesin cetak, manuskrip maupun buku tulis dengan
menggunakan tinta, lalu meningkat dengan munculnya alat cetak sederhana yang
mengharuskan operasi mesin tersebut menyusun satu demi satu huruf yang
diperlukan. Akan tetapi, saat Johan Guttenberg di tahun 1456 menemukan mesin
cetak di Jerman, maka pekerjaan bisa dilakukan dalam hitungan jam.18
Perjalanan surat kabar di Indonesia dilalui dengan proses yang panjang
dan penuh lika-liku perjuangan dari masa ke masa. Pers pasca peristiwa Malari
tahun 1974 memicu banyaknya pembreidelan media massa pada saat itu. Karena
pers cenderung mewakili kepentingan penguasa. Banyak wartawan yang
dimasukkan ke penjara. Pemerintah Orde Baru menganggap bahwa Pers adalah
institusi politik yang harus diatur dan dikontrol sebagaimana organisasi massa dan
partai politik.19
Pasca tumbangnya Orde Baru dan terjadinya reformasi politik tahun 1998
membawa angin segar terhadap tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara
terutama kebebasan menerima dan menyampaikan informasi. Informasi publik
yang semula menjadi kekuasaan pemerintah yang dikelola secara ketat oleh
manajemen pemegang kekuasaan sekarang semakin memudar sejalan dengan
eksistensi transparansi dan demokratisasi hampir dihampir semua lini kehidupan.
Memang idealnya, persoalan kebebasan komunikasi harus memenuhi kebutuhan
informasi di lingkungan masyarakat majemuk. Informasi kini bukan lagi sebagai
kebutuhan, melainkan sudah menjadi komoditi bagi masyarakat luas. Seperti yang
diungkapkan oleh salah seorang wartawan senior era orde baru yaitu Djadjat
Sudrajat 20
:
“Begitureformasi, kitabisanulisapasaja. Dikritik di
daerahmisalanya,adakelompok yang
18
Rusli Nasrullah. 2014. Komunikasi Antarbudaya Di Era Budaya Siber. (Jakarta: Kencana
Prenadamedia Grup), hlm 1 19
Ignatius Heriyanto. “KORAN Riwayatmu Kini” tayang di Metro TV tanggal 3 Mei 2015 pukul
21.00 WIB. 20
Saat ini ia aktif menjabat sebagai redaktur Media Grup dan cuplikan komentan didapat melalui
acara editorial “KORAN Riwayatmu Kini” yang tayang di Metro TV tanggal 3 Mei 2015 pukul
21.00 WIB.
20
tidakpuasitukanlangsungmendatangidanpastibiasanyafisik.
Kantornyamaudibakar, orangnyamaudilukai.Tapiadatrik yang
sayabelajarbanyakdariteman-teman di daerahitu, kalau orang demo
kitadengerinajadulu.”(Metro TV, 3 Mei 2015, pukul 21.00 WIB)
Era reformasi di Indonesia telah membawa perubahan yang signifikan bagi
kehidupan pers daerah atau media lokal. Euforia demokrasi dan pekik kebebasan
pers yang terbebas dari belenggu sensor, larangan, campur tangan dan intervensi
dari mulai pemerintah, parpol berkuasa, militer dan polisi dijamin oleh Undang-
Undang tahun 1999 tentang Pers, telah memungkinkan kehidupan pers nasional di
Indonesia.21
Termasuk juga kehidupan pers daerah untuk berkembang sesuai
dengan tuntutan kebutuhan, dinamika dan perkembangan masyarakat dimana pers
itu sendiri berada.
Sekarang di era informasi masyarakat menjadikan media sebagai lembaga
bisnis dengan menjual informasi, baik berita maupun iklan. Kemajuan teknologi
informasi mampu mendorong perkembangan media massa dengan pesatnya
sehingga memungkinkan dijadikan sebagai ajang bisnis. Idealnya media harus
menyesuaikan dengan kepentingan terutama kepentingan publik sebagai
audiensnya. Surat kabar dalam merebut simpati pelanggan tidak hanya dengan
sesama surat kabar atau media cetak lainnya, namun dengan majalah, televisi, dan
bahkan media online yang sekarang bak jamur di musim hujan.22
Demikian juga
sebaliknya, mereka sama-sama menjual berita dan iklan. Sehingga dampaknya
adalah pada kehidupan pers saat ini yang telah berubah. Dari pers idealis menjadi
pers industrialis, sementara informasi sudah menjadi komoditas.
Situasi yang demikian telah memberi peluang kepada pengusaha tertentu
untuk melakukan investasi dan menjalankan bisnis industri media massa di
daerah. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Kelompok Kompas Gramedia
(KKG) dan Jawa Pos terus melebarkan investasinya di berbagai provinsi di
Indonesia seperti di Kalimantan Selatan dengan menjaring surat kabar
21
Petrus Suryadi Sutrisno. Fenomena Kebangkitan Industri Pers Daerah/Media Lokal (Jurnal
Dewan Pers, Edisi No. 5, Mei 2011), hlm.87 22
“KORAN Riwayatmu Kini”, ibid.
21
Banjarmasin Post, Metro Banjar, Serambi Ummah dan B Magazine sebagai
perpanjangan institusi bisnisnya.
Selain kondisi di atas, problematika industri media menurut McQuail juga
dipengaruhi oleh tiga faktor.23
Pertama, pihak manajemen media. Hal yang
penting untuk membangun bisnis media adalah dengan terlebih dahulu melakukan
analisa terhadap lingkungan apakah itu lingkungan internal atau pun eksternal.
Lingkungan internal meliputi sumber daya manusia yakni dengan mencari tenaga
kerja yang ahli dalam bidang penerbitan surat kabar. Kenyataan sekarang
menunjukkan bahwa banyak media yang mempekerjakan karyawannya tidak
sesuai dengan disiplin ilmunya. Bekerja didunia media dianggap cukup mudah
dengan modal skill dan kerja keras dalam membangun komitmen. Selain itu, hal
yang perlu diperhatikan adalah peta persaingan dengan media lain. Mengingat
sekarang ini media lama maupun media baru sekalipun memasang strategi khusus
agar tidak kalah bersaing dalam industri penerbitan pers. Perilaku konsumen dan
segmentasi media juga menjadi titik kunci yang perlu diperhatikan dengan
seksama dalam membangun manajemen media agar tidak kalah bersaing.
Faktor Kedua menurut McQuail adalah profesional media.
Mediamassacetak, sepertisuratkabarsaat ini banyak yang
mulaitidakmengindahkanetikadanperasaanpihak lain dalammelaporkansesuatu.
Hal iniseringkalimenyulutpermusuhan di tengah-tengahpublik,
bahkantidakjarangmerugikansuratkabarataumajalahitusendiri.Misalnya,pihak
yang merasadirugikanmenyerangdanmenghancurkankantordari media yang
bersangkutanseperti yang terjadipadapenyerangankantorTempodalamkasus
Tommy Winatabeberapa waktu lalu. Mediayang baik adalah media
yangbertanggungjawabatasperandanfungsinyadalammenjujungtingginilai-
nilaikearifan, kejujuran, danketidakberpihakan.
Seharusnyamemerankandirisebagaipendidik, pemberiinformasi yang jujur,
sertamemeliharankearifanbudayamasyarakat.
Faktor yang terakhir bedasarkan pandangan McQuail adalah faktor
teknologi. Teknologi berperan penting dalam jalannya proses produksi media.
23
Denis McQuail, Reader in Mass Communication Theory, (London: Sage Publication, 2005)
22
Tanpa didukung media yang canggih serta modal yang besar, maka akan sulit
untuk media beroperasi. Satu hari saja mesin cetak rusak maka bisa dipastikan
perusahaan surat kabar akan mengalami kerugian ratusan juta rupiah. Problem
media-media lokal di Indonesia terutama di Kalimantan Selatan adalah sama
yakni ketidakmampuan untuk mengadakan mesin cetak sendiri. Setiap kali naik
cetak mereka harus menumpang dulu ke mesin percetakan lain agar bisa terbit.
Sedangkan teknologi gadget sepertihandphone, komputerisasi, itu masih bisa
teratasi.
G. Metodologi Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana ekonomi
politik media cetak di kalimantan selatan khususnya stukturasi dan spasialisasi
dalam surat kabar harian (SKH) Banjarmasin Post dan Kalimantan Post. Untuk
mendapat gambaran yang utuh terkait dengan kasus tersebut maka pada bagian
metodologi penelitian ini akan dipaparkan mengenai jenis penelitian, metode yang
digunakan, proses pengumpulan data hingga proses analisis data.
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Dimana Bogdan Robert. C
dan Steven J. Taylor dalam Moloeng (2010) menjelaskan bahwa metode kualitatif
adalah sebuah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-
kata tertulis maupun lisan dari orang-orang maupun perilaku yang dapat diamati.
Karena, hasil penemuan pada penelitian ini tidak dapat dicapai dengan
menggunakan prosedur-prosedur statistik atau dengan cara kualifikasi data
lainnya. Melainkan diperoleh melalui wawancara mendalam dengan para
narasumber serta studi kepustakaan. Sehingga, dengan data tersebut dapat
menghasilkan gambaran tentang ekonomi politik media cetak di Kalimantan
Selatan khususnya struktuasi dan spasialisasi pada surat kabar Banjarmasin Post
(Bpost) dan Kalimantan Post.
2. Metode Penelitian
23
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus
dengan pendekatan ekonomi politik kritis. Menurut Robert K. Yin (2013) studi
kasus sendiri adalah inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena di dalam konteks
kehidupan nyata, bilamana batas-batas antara fenomena dan konteks tak tampak
dengan tegas dan dimana multisumber bukti dimanfaatkan24
. Studi kasus melalui
pendekatan kritis akan melihat karakteristik ekonomi politik yang menjadi ciri
khas didalamnya yang bersifat holistik, historis dan praksis.25
Holistik sendiri
adalah kedalaman telaahannya dengan melihat secara keseluruhan hubungan
antara dinamika sosial, politik dan budaya yang berlangsung dalam masyarakat
dimana media tersebut berkembang. Historis adalah menjelaskan tentang posisi
dan peran media dalam kapitalisme global, sedangkan praksis adalah mempunyai
perhatian pada aspek-aspek aktivitas manusia yang bersifat kreatif dan bebas
dalam mengubah keadaan terutama ditengah arus besar perubahan sosial. Melalui
unsur-unsur pendekatan kritis itulah tujuan dari penelitian ini dapat dikaji.
Selain itu, dalam penelitian ini penulis menggunakan lebih dari satu kasus
atau studi kasus jamak (multiple case study). Alasan pemilihan multiple case study
pada penelitian ini adalah karena satu obyek saja belum cukup kiranya mewakili
secara lebih mendalam bagaimana ekonomi politik media cetak di Kalimantan
Selatan khususnya strukturasi dan spasialisasi. Oleh karena itu, dipilihlah
Banjarmasin Post dan Kalimantan Post untuk mewakili media cetak di
Kalimantan Selatan sebagai gambaran media yang melakukan strukturasi dan
spasialisasi tersebut dengan pendekatan kritis yang meliputi unsur holistik,
historis dan praksis tadi.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kantor Banjarmasin Post dan Kalimantan Post
yang bertempat di Kalimantan Selatan. Banjaramsin Post berlokasi di Gedung HJ
Djok Mentaya, Jl AS Musyaffa No 16, Banjarmasin. Sedangkan Kalimantan Post
24
Definisi lebih jelas dapat dilihat pada Robert K. Yin., Studi Kasus: Desain & Metode (Jakarta:
Rajawali Pers, 2013), hlm.18. 25
Golding dan Murdock. Ibid. Hlm, xvi
24
di Jl DI Panjaitan No. 67 Banjarmasin. Dan observasi langsung dilakukan selama
hampir dua bulan yakni mulai dari bulan April sampai bulan Mei tahun 2015.
4. Fokus Penelitian
Dalam penelitian ini fokus pada aspek-aspek, substansi serta karakteristik
dari ekonomi politik media. Khususnya adalah strukturasi dan spasialisasi yang
ada pada masing-masing media cetak yang telah dipilih sebagai objek penelitian
yaitu Banjarmasin Post dan Kalimantan Post.
5. Narasumber Penelitian
Untuk narasumber penelitian yang akan menjadi acuan dalam memberikan
informasi pada surat kabar Banjarmasin Post dan Kalimantan Post adalah sebagai
berikut:
Tabel 1.1
Daftar Narasumber Penelitian
Banjarmasin Post Kalimantan Post
Manager Redaksi:
Irhamsyah Safari
Pemimpin Redaksi:
Asmara Saibi
Manager Sirkulasi:
Ahmad Syairaji
Kabag SDM/Umum:
M. Bugimin
Senior Sell Intern:
Risda Noor Firmansyah
-
Kepada Bidang Pengembangan Sumber
daya Manusia (PSDM):
Hari Widodo
-
Sumber: Data Diolah Tanggal 20 maret 2015
Berdasarkan daftar tersebut, jumlah narasumber Kalimantan Post lebih
sedikit dibanding jumlah narasumber di Banjarmasin Post. Penulis berupaya
melakukan keseragaman dalam jumlah tersebut, namun pihak dari Kalimantan
Post cenderung tertutup dan terbatas dalam memberikan informasi kepada penulis
sehingga yang bersedia memberikan informasi hanya dua orang saja. Sedangkan
pihak Banjarmasin Post mulai dari level manager redaksi sampai kepala PSDM
sangat terbuka serta menyiapkan dengan matang terkait data-data perusahaan yang
diperlukan oleh penulis.
25
6. Tekhnik Pengumpulan Data
Pada proses pengumpulan data, penulis melakukan observasi langsung ke
lokasi penelitan untuk melakukan wawancara mendalam terhadap para
narasumber yang telah dipilih. Selain itu, dalam membuat kerangka konsep serta
data-data lainnya penulis melakukan studi kepustakaan melalui literature review
berbagai buku dan jurnal terkait yang relevan dengan tujuan penelitian. Jadi, data
yang telah didapat kemudian dievaluasi kembali untuk mencapai kualitas tertentu
sehingga dapat menjelaskan apa yang sedang diteliti.
a. Wawancara
Untuk mendapatkan data yang memadai dilakukan wawancara mendalam
terhadap para informan atau narasumber dengan menggunakan sebagian bahasa
daerah (bahasa Banjar) kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Wawancara dilakukan dengan berpedoman pada panduan pertanyaan (interview
guide) yang telah disusun sebelumnya. Pemilihan informan dalam penelitian ini
menggunakan metode purposive sampling seperti yang telah terlampir di atas.
Yakni informan dipilih secara sengaja oleh penulis berdasarkan pertimbangan
tertentu seperti tingkat pengetahuan terhadap isu dan informasi kasus secara
komperhensif. Penulis menggunakan tekhnik wawancara semi terstruktur, yaitu
tanya jawab secara langsung dengan informan untuk mendapatkan data yang jelas,
akurat dan mendalam. Masing-masing perusahaan surat kabar telah dibuatkan
interview guide yang berbeda. Interview guide untuk Banjarmasin Post cenderung
mengarah pada relasinya ke media nasional, sedangkan interview guide untuk
Kalimantan Post adalah tentang eksistensinya yang murni sebagai media lokal di
Kalimantan Selatan.
b. Observasi Langsung
Pada penelitian ini, observasi dilakukan dengan mengunjungi langsung
lokasi penelitian yakni Banjarmasin Post dan Kalimantan Post untuk melakukan
wawancara yang mendalam terhadap para narasumber yang telah dipilih
sebelumnya. Ketika melakukan kunjungan lapangan ke Banjarmasin Post, penulis
merasa puas atas sambutan hangat yang didapat dari pihak Banjarmasin Post
26
terutama para narasumber yang sangat lengkap memberikan informasi saat
melakukan wawancara mendalam. Meskipun ada beberapa hal yang sifatnya
rahasia tidak bisa mereka sampaikan ketika wawancara seperti finansial
perusahaan. Berbeda halnya ketika penulis melakukan observasi langsung ke
Kalimantan Postyang terbatas dalam memberikan informasi karena pihak atasan
yang diminta seperti pimpinan perusahaan menyerahkan sepenuhnya kepada
pimpinan redaksi dan kepala bagian SDM untuk melakukan wawancara
mendalam.
c. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan didapat dari literatur cetak atau elektronik yang
berkaitan dengan masalah penelitian beserta aspek yang terkait didalamnya.
Literatur cetak tersebut antara lain: buku-buku ekonomi politik media, jurnal-
jurnal tentang penelitian media lokal, serta bahan bacaan lainnya yang
mendukung penelitian ini. Sedangkan data-data dari internet berupa e-book, e-
journal maupun dalam bentuk lainnya. Dalam penelitian ini, studi pustaka
digunakan sebagai dasar teori akan dijadikan pedoman dalam menganalisis serta
mengumpulkan data-data pendukung yang diperoleh dari penelitian sebelumnya.
7. Teknik Analisa Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari
lapangan berupa wawancara semi terstruktur dengan informan penelitian, serta
observasi langsung ke lapangan. Langkah-langkah yang dilakukan peneliti antara
lain:
a. Pengumpulan data
Pada tahap ini, penulis mengumpulkan data melalui hasil observasi dan
wawancara mendalam kepada enam orang narasumber dengan membawa
interview guide yang telah dirumuskan sebelumnya. Masing-masing
narasumber yakni empat orang di Banjarmasin Post dan dua orang di
Kalimantan Post serta mencari informasi tambahan kepada PWI Kalsel terkait
perkembangan media lokal di Kalsel.
27
b. Reduksi data
Tahapan selanjutnya setelah melakukan wawancara dan melakukan studi
dokumen di Banjarmasin Post dan Kalimantan Post penulis melakukan reduksi
data. Hal ini dilakukan dengan cara memilah dan memilih data yang
dibutuhkan sesuai dengan tujuan penelitian.
c. Analisis dan penyajian data
Pada tahapan ini, penulis melakukan analisis kritis terhadap temuan data di
lapangan baik melalui hasil wawancara maupun studi dokumen. Analisis
dilakukan dengan mengelaborasi kedua hal tersebut agar sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai pada penelitian ini yaitu menjelaskan strukturasi dan
spasialisasi pada surat kabar Banjarmasin Post dan Kalimantan Post.
d. Penarikan kesimpulan atau verifikasi
Tahapan terakhir adalah penarikan kesimpulan berdasarkan analisis kritis yang
telah dilakukan sebelumnya. Setelah melakukan reduksi dan analisis data
penulis dapat menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan di
Banjarmasin Post dan Kalimantan Post.
G. Sistematika Penulisan
Penelitian ini disusun menjadi lima bab yang masing-masing mempunyai titik
tekan tersendiri, yaitu:
Bab I : membahas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, kerangka pemikiran, kerangka konsep, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
Bab II : membahas lebih rinci tentang perkembangan media lokal di Indonesia
khususnya di Kalimantan Selatan.
Bab III : membahas mengenai profil Banjarmasin Post (Bpost) dan Kalimantan
Post.
Bab IV : merupakan bab yang menjelaskan proses analisis obyek penelitian,
terutama tentang temuan strukturasi dan spasialisasi pada surat kabar harian
Banjarmasin Post dan Kalimantan Post.