bab i pendahuluan a. latar belakang...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Terorisme tidak pernah hilang dari pemberitaan di pelbagai media di Indonesia.
Keberadaannya seakan selalu aktual untuk menghiasi bingkai berita di media. Pada masa
reformasi pasca tumbangnya Orde Baru, nyaris semua media memberitakan tentang terorisme
yang marak terjadi dengan menisbatkan kelompok agama Islam sebagai kambing hitam.
Pengkambinghitaman salah satu kelompok jihadis sebut saja seperti Al Qaeda yang dimotori
oleh Osama bin Laden sebagai biang terorisme menjadi sesuatu yang membawa keuntungan
bisnis tersendiri bagi pihak media. Hal ini mengundang perhatian publik cukup besar ketimbang
isu politik lain yang krusial semisal jika ada isu besar seperti korupsi, maka isu terorisme dapat
digunakan sebagai pengalih perhatian. Terorisme dan segala pemberitaan yang terkait dengannya
membutuhkan tempat untuk berkembangbiak yang tidak semerta-merta muncul begitu saja.
Sehingga muncul sebuah pemeo yang dilontarkan oleh pakar komunikasi politik Indonesia,
Effendi Ghazali mengenai hubungan simbiosis media dan terorisme yaitu “without media there
can be no terrorism”.1 Dapat dikatakan bahwa eksistensi teror dan terorisme membutuhkan ruang
untuk bermetamorfosis menjadi utuh.
Asal mula isu terorisme dunia dapat dilacak pasca insiden gedung World Trade Center
(WTC) pada 11 September 2001. Ada simbiosis yang terbangun antara media dengan teroris
pasca peristiwa tersebut yang berkelanjutan pada serangan teroris di Madrid, London, Moskwa
dan beberapa kota di Rusia. Terdapat ulasan yang mencolok yang seolah membuktikan bahwa
teroris memiliki daya yang ampuh dan digdaya dalam istilah untuk menciptakan rasa takut di
kalangan publik serta tidak terkecuali dalam ranah politik pemerintahan.2 Secara historis
memang tak dapat dipungkiri sejak runtuhnya Uni Soviet pada 1991 yang praktis menjadikan
negara adidaya Amerika Serikat tanpa ada rival yang sepadan. Sehingga Amerika Serikat mulai
mencari musuh yang sepadan untuk kian memperkokoh klaim negara adikuasa di dunia.
1 Effendi Ghazali. "Without Media There Can Be No Terrorism!", (Jakarta: Cyber Media, 2003) 2 Periksa The Example of Kazakhstan and Kyrgyztan: Political Extrimism, terrorism and media in South East Asia. International Media Support hlm. 10
2
Lain halnya di Amerika Serikat, lain pula di tanah air. Tidak terkecuali di Indonesia, isu
terorisme juga masuk pasca dibukanya keran kebebasan pers setelah sebelumnya bungkam.
Terdapat beberapa kasus terorisme skala besar di Indonesia yang setidaknya tercatat ada 5 kasus
besar skala nasional di Indonesia yang melibatkan terorisme menurut pantauan penulis yakni:3
1) Bom Bali I (tahun 2002)
Bom Bali 2002 (disebut juga Bom Bali I) terjadi pada malam hari tanggal 12 Oktober
2002. Aksi ini merupakan rangkaian tiga pengeboman di lokasi yang berbeda di Bali.
Dua ledakan pertama terjadi di Paddy’s Pub dan Sari Club (SC) di Jalan Legian, Kuta,
Bali, sedangkan yang terakhir di Konsulat Amerika Serikat. Tercatat 202 korban jiwa dan
209 orang luka-luka.
2) Bom JW Marriot (tahun 2003)
Catatan kelam kembali menimpa Indonesia di tahun 2003. Sebuah bom meledak dan
menghancurkan sebagian Hotel JW Marriott di kawasan Mega Kuningan, Jakarta,
Indonesia. Bom meledak sekitar pukul 12.45 WIB dan 12.55 WIB pada Selasa, 5 Agustus
2003. Sebanyak 12 orang tewas dan 150 orang cedera. Ledakan ini merupakan aksi bom
dengan modus bunuh diri.
3) Bom Kedutaan Besar Australia (tahun 2004)
Ledakan besar terjadi di depan Kedutaan Besar Australia, kawasan Kuningan, Jakarta.
Bom meledak pada tanggal 9 September 2004 silam. Aksi teror ini merupakan rentetan
serangan terorisme yang ditujukan terhadap Australia. Jumlah korban jiwa tidak begitu
jelas, versi petugas Indonesia 9 orang, sementara versi Australia 11 orang tewas.
4) Bom Bali II (tahun 2005)
Peristiwa Bom Bali II yang merupakan ulangan dari sebelumnya kembali terjadi pada 1
Oktober 2005. Ledakan bom berada di RAJA’s Bar dan Restaurant, Kuta Square, daerah
Pantai Kuta dan di Nyoman Café Jimbaran. Meski lebih kecil dari bom Bali pertama,
peristiwa ini menewaskan 22 orang dan 102 orang mengalami luka-luka.
5) Bom Cirebon (tahun 2011)
3 Kelima kasus bom ini termasuk dalam liputan khusus yang dibahas detik.com. Periksa
http://news.detik.com/read/2009/07/17/161656/1167203/10/data-ledakan-bom-di-indonesia-2000-2009
diakses 10 Juni 2014 pukul 12.07 WIB
3
Sebuah ledakan bom bunuh diri terjadi di Masjid Mapolresta Cirebon saat shalat Jumat
pada 15 April 2011 silam. Berbeda dari aksi lainnya, modus bom bunuh diri ini ditujukan
untuk menyerang Polisi. Tercatat ada 25 orang mengalami luka-luka dan menewaskan
satu pelaku.
Serangkaian kasus bom yang terjadi di Indonesia tersebut tentunya dilakukan oleh sang
teroris dalam kognisi sadar. Artinya ada pola dan sistematika tertentu yang terkadang sukar
dipahami secara sepintas saja. Pemberitaan yang muncul di media merupakan gambaran yang
telah melalui berbagai proses hingga naik tayang. Oleh karena itu penelitian ini berusaha untuk
mengetahui bagaimana proses tersebut. Tujuan terorisme secara garis besar terbagi menjadi dua:
(i) menciptakan teror secara nyata; (ii) menciptakan manipulasi teror semu demi mengalihkan
perhatian publik.
Media yang seharusnya memberikan informasi yang jelas mengenai terorisme terkadang
justru bersikap sebaliknya dengan pemberitaan yang tidak jelas. Kesimpangsiuran arus informasi
ini dimanfaatkan dengan baik oleh pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan dari berita
terorisme. Penggunaan kata “tidak jelas”, “belum diketahui”, “belum pasti” dan semisalnya pada
hakikatnya adalah menjadikan suatu berita memiliki nilai teror tersendiri. Muatan ideologis
media tampak nyata di sana.
Keseragaman penggunaan kata “terorisme” sering digunakan untuk memberikan kesan
destruktif bagi pembaca sebagai konsumen media. Celakanya wacana yang dimunculkan media
kepada publik seakan mendekonstruksi pesan asli sehingga terdistorsi secara apik dan elegan.
Makna teroris yang diidentikkan dengan sesuatu yang buruk dan negatif menjadikan senjata
ampuh bagi media untuk berbagai kepentingan semisal menaikkan rating dan share, dan atau
mengalihkan isu nasional yang sedang hangat diperbincangkan.
Adapun hal yang menjadikan pemberitaan terorisme menjadi laku di media diantaranya
sikap pemerintah yang acuh tak acuh menanggulangi masalah terorisme (kontra terorisme)
hingga akar-akarnya. Di sisi lain, Indonesia merupakan negara yang rawan konflik karena
kemiskinan dan kebodohan masih menjadi masalah sosial yang tampak nyata di masyarakat.
Akan tetapi tampaknya terorisme belum dianggap sebagai sesuatu yang memiliki bahaya laten
sehingga layak dan perlu diwaspadai. Tidak adanya peraturan perundangan yang jelas mengenai
terorisme menjadikan kegamangan publik yang semakin luas.
4
Ambil contoh peraturan perundangan mengenai teror yakni UU no. tahun 2003 Tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-undang4. Disebutkan di sana bahwa
terorisme merupakan tindak kejahatan lintas negara sehingga mengancam perdamaian nasional
dan internasional. Akan tetapi tidak ada tindakan kontra atas terorisme secara jelas dari
pemerintah. Seakan pemerintah dianggap hanya bersikap normatif dan terkesan tidak memberi
solusi.
Tak dapat dipungkiri bahwa kemunculan tren media jejaring sosial (social media
network) yang lebih memudahkan akses persebaran informasi dari personal ke publik atau
sebaliknya. Adapun alasan penulis memilih Republika Online (ROL) dan Kompas Online
(kompas.com) sebagai studi kasus yakni karena media ini menurut dugaan awal penulis
cenderung mewakili afiliasi tertentu apabila diamati secara fisik berupa fitur-fitur yang
menampilkan berbagai konten berita di dalamnya. Sebagaimana diketahui ideologi Republika
berangkat dari pemikiran cendikiawan muslim Indonesia yang tergabung dalam ICMI pada awal
pendirian harian ini. Di sisi lain, Kompas yang berafiliasi dengan komunitas Katolik pada awal
pendirian dan merupakan harian berbasis nasional dengan tiras yang tinggi dalam skala nasional
menjadi dugaan awal penulis untuk membandingkan dua media yang berbeda ideologinya ini.
Alasan berikutnya baik republika.co.id dan kompas.com merupakan media yang dalam
versi cetaknya secara historis sama-sama pernah mengalami pembredelan pers dan kedua harian
tersebut yakni Harian Republika pada tahun 1974 dan Harian Kompas pada tahun 1965, namun
keduanya masih eksis hingga kini sehingga ada pengalaman empiris di masa lalu yang mungkin
terejawantah untuk masa kini dalam media digital masing-masing kantor berita yang telah
memuat beritanya melalui basis jaringan internet. Kemudian alasan yang mendukung pemilihan
dua media ini karena Republika dan Kompas merupakan pelopor lahirnya jurnalisme online di
Indonesia. Meskipun publik lebih mengenal detik.com yang lebih populer, namun pada fakta dan
sejarahnya dua media tersebut telah mendahului dari sebagai basis format jurnalisme online.
Terkait dengan pembahasan alasan ideologis dari dua media ini, penulis coba jelaskan pada bab
ketiga dari penelitian ini secara komperhensif.
4 Periksa www.kemenag.go.id/file/dokumen/UU1503.pdf mengenai UU no. 15 tahun 2003.
5
Singkat kata penelitian ini dibuat dengan tujuan untuk menelisik pemberitaan seputar
terorisme terkhusus pada kasus bom di Indonesia dengan beberapa alasan:
1) Penelitian mengenai new media dalam kaitannya dengan teroris merupakan sebuah
kajian yang menarik.
2) Untuk memberikan penjelasan kepada publik mengenai analisis framing pemberitaan
terorisme dari dua media sosial online yang berbeda.
Alasan pemilihan new media sebagai objek penelitian berhubungan dengan asumsi bahwa
terkait dengan perubahan jaman maka semakin banyak pembaca yang mengakses media online
sebagai pelengkap media cetak konvensional. Rentang waktu tahun 2005 - 2013 dipilih oleh
penulis penelitian mengingat tren media online dan media jejaring sosial berkembang sejalan
pasca teror bom skala nasional.
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah portal berita Republika Online (republika.co.id) dan Kompas Online
(kompas.com) membingkai berita teror bom rentang waktu tahun 2005 - 2013?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk menganalisis pembingkaian berita terorisme di portal berita Republika Online
(republika.co.id) dan Kompas Online (kompas.com) mengenai terorisme.
2. Untuk memetakan pertimbangan kebijakan redaksional dalam pembingkaian berita
terorisme di portal berita Republika Online (republika.co.id) dan Kompas Online
(kompas.com) mengenai terorisme.
D. Manfaat Penelitian
Adapun signifikansi manfaat penelitian ini yakni diharapkan memberikan masukan
positif bagi perkembangan dunia ilmu komunikasi Indonesia secara ilmiah maupun secara
praktis. Manfaat tersebut antara lain:
1) Manfaat Ilmiah
Ditinjau dari segi konteks kajian ilmiah yaitu agar memberikan perspektif ruang
dialektika komunikasi politik khususnya kajian terorisme di Indonesia. Diharapkan
penelitian ini membuka ruang baru bagi penelitian selanjutnya dalam ranah ilmu
6
komunikasi media dan tidak menutup kemungkinan untuk bertautan dan
bersinggungan dengan disiplin ilmu lain yang saling memiliki koherensi satu sama
lain. Signifikansi new media dalam penelitian ini juga memiliki perbedaan dari
format media konvensional pada umumnya.
2) Manfaat Praktis
Ditinjau dari segi kajian praktis yaitu agar memberikan gambaran mengenai ruang
ilmu komunikasi yang bersinggungan dengan disiplin ilmu yang lain terkhusus
bidang pembahasan berita terorisme di Indonesia.
E. Objek Penelitian
1. Portal Republika (ROL) dan Kompas (kompas.com)
Portal Republika (ROL) dan Kompas (kompas.com) merupakan dua pioneer dalam
perkembangan media online di Indonesia. Walau secara de facto masyarakat lebih cenderung
mengenal PT Agranet Multcitra Mediasiberkom dengan produk portal detik.com sebagai pelopor
media berbasis online di Indonesia. Tercatat Republika dan Kompas pada tahun 1995 telah
menjadikan sebuah wadah secara online untuk berinteraksi dengan pembacanya masing-masing.
2. Berita Terorisme
Berita terorisme menjadi bahasan yang selalu aktual di kedua media tersebut. Walaupun
tidak bersifat komperhensif semacam berita politik dan ekonomi, namun berita terorisme
memiliki keterkaitan sebagai sebuah linimasa yang utuh sekalipun dengan rentang waktu yang
tidak menentu jaraknya antar satu bahasan berita dengan yang lain. Adapun berita terorisme
dalam penelitian ini memfokuskan pada berita terorisme nasional di Indonesia saja, mengingat
skala mikro terorisme yang dijadikan acuan penelitan.
F. Tinjauan Pustaka
Penelitian sebelumnya mengenai terorisme dan media telah dilakukan oleh Isma Adila
dengan tesis berjudul Media dan Pemberitaaan Terorisme (Analisis Framing Pemberitaan Terorisme
di Indonesia pada Surat Kabar Edisi Tahun 2010) dibuat tahun 2011 yang membahas mengenai
terorisme dalam media massa Indonesia. Dalam penelitian ini korpus yang diteliti lebih fokus
pada mensigi berita dalam hitam di atas putih yang diwakili oleh media cetak berkaitan dengan
opini publik dengan metode analisis framing. Penelitian ini menggunakan bingkai konstruksi
7
makna ala Zhongdang Pan dan Gerald Kosicki atau lebih dikenal dengan Pan-Kosicki yakni
menggunakan tiga dari empat struktur yang ada: struktur sintaksis, struktur skrip, dan struktur
retoris. Penelitian ini mengambil tiga kesimpulan mendasar: 1) Dari ketiga struktur berita
terorisme yang dibahas telah menampilkan aktivitas yang berbau terorisme selama tahun 2010
yang imbasnya mengundang perhatian publik. 2) Dalam kasus pemberitaan terorisme,
konsentrasi kepemilikan media menjadi salah satu unsur yang sangat menonjol dalam
mempengaruhi ideologi media. 3) Bentuk konstruksi yang dilakukan oleh pada ketiga frame
pemberitaaan terorisme menunjukkan keberpihakan pada pemerintah yang sedang berkuasa. Hal
ini ditunjukkan dengan dukungan penuh kepada negara yang dalam hal ini diwakilikan oleh
POLRI.5
Penelitian lain mengenai analisis framing sebagai metode penelitian yang dirujuk oleh
penulis yakni tesis bertajuk Suara Perempuan di Media Cetak Sebagai Komunikasi Politik
(Analisis Framing Suara Politisi Perempuan Dalam Kasus Hukum Pancung TKI Ruyati di
Kompas) tahun 2012 yang merupakan tesis karya Putria Perdana.6Tesis ini menganalisis sejauh
mana suara perempuan di media sebagai kontekstuasi kasus hukum pancung yang dialami TKI
Ruyati yang dimuat oleh harian Kompas menggunakan teori standpoint. Teori ini berpegang
pada pengalaman perempuan yang membawa mereka pada beberapa pemahaman. Hasil
penelitian memaparkan bahwa frame suara politisi perempuan sebagai kelas bawah tidak penting
jika dibandingkan dengan kepentingan kaum dominan (kapitalis).
Penelitian ini mempertegas objek kajian penelitian pada media baru, sehingga memberikan
posisi tawar penelitian yang jelas dan layak untuk diteliti. Peneliti coba membahas keempat
aspek analisis Robert Entman secara komperhensif, mengingat hanya tiga dari empat variabel
aspek ala Pan Kosicki yang digunakan pada penelitian sebelumnya. Dalam segi media yang
diteliti, ada dua media yang menjadi objek penelitian ini yakni Republika Online (ROL) dan
5 Baca lebih lanjut dalam Isma Adila. Media dan Pemberitaan Terorisme (Analisis Framing Pemberitaan
Terorisme di Indonesia pada Surat Kabar Edisi Tahun 2010). (Yogyakarta: Pasca Sarjana Ilmu
Komunikasi Program Studi Ilmu Komunikasi dan Media Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada, 2011).
6 Baca lebih lanjut dalam Putria Perdana Suara Perempuan di Media Cetak Sebagai Komunikasi Politik
(Analisis Framing Suara Politisi Perempuan Dalam Kasus Hukum Pancung TKI Ruyati di ). (Depok:
Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Kekhususan Manajemen Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Indonesia, 2012).
8
Kompas Online (Kompas.com). Hal ini dimaksudkan untuk memberikan perbandingan analisis
framing yang jelas dari dua media tersebut. Adapun mengenai sumber data yang digunakan
peneliti menggunakan data sekunder yang dalam hal ini dapat menjadi data primer karena
mengingat keterbatasan kondisi yang tidak memungkinkan untuk mensigi lebih jauh mengenai
terorisme serta seluk beluknya lebih radikal. Sumber data dapat berupa teks wawancara, berita
berupa audio visual dari beberapa sumber yang dapat dipertanggungjawabkan dari segi
validitasnya.
G. Kerangka Pemikiran
1. Definisi Terorisme
Berdasarkan pada penjelasan pada pasal sebelumnya maka penulis ingin mendefinisikan
apa yang dimaksud dengan teroris. Secara etimologis makna teroris yang memiliki kata dasar
teror berasal dari bahasa Prancis yakni le terreur yang pada awalnya secara historis digunakan
untuk menyebut tindakan pemerintah akibat dari revolusi Prancis yang secara kejam membantai
40.000 orang yang dituduh melakukan gerakan separatis anti pemerintah. Istilah terorisme dalam
bahasa Arab disebut dengan irhab (إرھاب) yang disebutkan di dalam Al Quran padan dengan
takrif makna kata ‘musuh’. [QS Al Anfal 8: 60].
Sejatinya pengertian terorisme bersifat kompleks dan ideologis, artinya definisi terorisme
dipahami dari sudut pandang orang yang mendefinisikan terorisme itu sendiri. Adapun beberapa
pengertian terorisme (Biernatzki: 2002) yakni:
“Terrorism is the unlawful use of force or violence against persons or property
to intimidate or coerce a government, the civilian population, or any segment thereof, in
furtherance of political or social objectives”. (United Nation (UN) as quoted by The
Terrorism Research Center 2002)7
“Terrorism is use of coercive means aimed at populations in an effort to achieve
political, religious, or other aims”. (Noam Chomsky).
“Terrorism can be seen as criminal acts intended or calculated to provoke a
state of terror in the general public, a group of person of particular person for political
7 Definisi terorisme yang disepakati oleh Federal Bureau of Investigation (FBI), agen pemerintah Amerika
Serikat.
9
purposes whatever the consideration of political, philosophical, ideological, racial,
ethnic, religious or the nature that may be invoked to justify them (Koh 2002: 148)8
Kajian-kajian mengenai terorisme telah banyak sehingga menjadikan definisi terorisme
semakin lebih jelas. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Hendropriyono (2009), dalam sejarah
terorisme, selain penduduk sipil, kebanyakan teroris menjadikan polisi sebagai sasaran serangan.
Tujuannya adalah merebut senjata, amunisi, perlengkapan, uang, ataupun dokumen yang
diperlukan. Hal tersebut juga demi strategi pre-emptive, yang menekankan serangan mendahului
sebelum polisi menyerang mereka. Teroris jarang menyerang militer karena pertimbangan,
bahwa kekuatan, susunan, dan dislokasi pasukan tentara di luar kota menjadikan militer sasaran
yang lebih sulit.9
Secara global pengertian terorisme secara heuristik yakni terbagi atas makro dan mikro
(normal). Pengertian makro yakni yang bersifat masif atau kadangkala disebut dengan
“superterorisme” seperti yang terjadi pada insiden Bom WTC 11 September. Adapun mikro atau
yang disebut normal seperti yang dibahas dalam penelitian ini, yakni insiden yang terjadi secara
berulang dan memiliki pola.10 Penelitian ini menggunakan definisi terorisme secara global mikro
yakni terorisme yang memiliki pola dan rentang waktu tertentu. Identifikasi terorisme paling
tidak merujuk pada berbagai definisi yakni identik dengan kekerasan, teror, pemaksaan,
intimidasi, dengan cara dan tujuan tertentu.
Ada beberapa pilihan kata dalam menampilkan terorisme di media, seperti “gerilyawan”
(guerrillas), “ekstrimis”, “fundamentalis”, “mujahidin” , “jihadis”, dan lain sebagainya yang
dimaksudkan untuk menambah atau mereduksi makna terorisme guna mencapai tujuan
pemberitaan menurut Strimska (2001). Penggunaan termin terorisme selalu berubah sepanjang
masa, sebagai contoh pada abad ke-18 pengertian teroris digunakan untuk pemberontak Revolusi
Prancis, kemudian pada abad ke-19 terjadi perkembangan makna yakni seseorang yang bertindak
8 Definisi terorisme yang disepakati oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB)
9 http://www.mustofanahrawardaya.com/2013/02/sejak-kapan-pelaku-teror-papua-bisa.html diakses 13
Juni 2013 pukul 10.46 WIB
10
jahat terhadap lawan politik. Sedangkan pada abad ke-20 maknanya semakin berkembang tidak
hanya seseorang yang berkaitan dengan dunia politik saja (Nacos, 2007).
Penelitian ini memiliki ruang lingkup pada pemberitaan terorisme yang tercatat sepanjang
pasca orde baru ketika pintu kebebasan media dibuka dengan lebar. Setidaknya masa waktu
2005-2013 cukup untuk mewakili yang demikian tersebut. Hal ini dimaksudkan agar tujuan
penelitian tercapai. Keberagaman media setelah runtuhnya orde baru menjadikan terorisme
muncul ke permukaan dengan mudah tanpa adanya filter penyaring yang sanggup meredam
dengan baik layaknya cendawan di musim hujan. Seakan tak ada habisnya membahas terorisme,
yang oleh beberapa ahli dijadikan sebuah kajian studi tersendiri. Hal ini membuktikan eksistensi
terorisme yang terkait dengan media tempatnya untuk berafiliasi.
Teroris memiliki setidaknya empat basis pemikiran melalui keterlibatan mereka dalam
media (Nacos 2000: 20):
1) Teroris menginginkan perhatian dan kewaspadaan dari audiens yang jamak serta yang
menjadi sasaran teror mereka dalam rangka intimidasi.
2) Teroris ingin mengenali motif-motif mereka sendiri. Mereka ingin agar media dan publik
mengeksplorasi sebuah pertanyaan: Mengapa teroris menyerang kita (publik)?
3) Teroris menginginkan respek dan simpati dari apa yang mereka klaim sebagai aksi.
4) Teroris menginginkan status kuasi-legitimasi dan atau dengan media yang serupa
ketimbang legitimasi aktor politik secara personal.
Banyaknya definisi mengenai terorisme menjadikan pemahaman atasnya menjadi ambigu
di masyarakat. Akan tetapi agar signifikansi penelitian ini jelas, maka dapat ditarik sebuah
benang merah mengenai pengertian terorisme yang mencakup individu atau golongan yang
menciptakan teror secara sengaja menggunakan media sebagai tempat untuk bermetamorfosis.
Penelitian ini mencoba menjelaskan model terorisme yang selama ini dipahami oleh masyarakat
sebagai suatu ancaman yang meresahkan.
Untuk mengidentifikasi ciri-ciri atau aspek terorisme tentu membutuhkan suatu standar
khusus, namun setidaknya ada definisi standar sebagaimana yang didefinisikan oleh markas
11
besar kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) yang menyebutkan ciri-ciri terorisme modern
yakni:11
1) Pola terorisme yang parsial, setelah sebelumnya teroris menunggu perintah dari
atasan tertinggi untuk mengeksekusi sebuah teror.
2) Pelaku terorisme dalam perakitan senjata dan bom saat ini tidak belajar lagi dengan
cara fisik atau belajar dari guru, akan tetapi melalui tutorial otodidak via internet.
3) Bahan bom yang digunakan sudah sangat mudah didapat. Seperti bom dari bahan
dapur atau bahan pupuk.
4) Buku-buku rujukan yang bersifat provokasi serta menjustifikasi pembenaran atas aksi
terorisme. Sehingga menimbulkan kesan dendam terhadap pembacanya tanpa adanya
pemahaman menyeluruh mengenai seluk beluk terorisme.
5) Pola bantuan pendanaan terhadap pelaku teror. Ditengarai masih ada pihak yang
memberikan bantuan dana alih-alih keagamaan atau apapun berupa bentuk tunai
maupun perbankan.
Adapun penjelasan terorisme lebih jauh peneliti jelaskan di bab selanjutnya, mengenai
tinjauan historis dan etimologis serta penjelasan khusus mengenai definisi terorisme di
Indonesia.
2. Analisis Framing
2.1. Analisis Framing ala Robert Entman
Menurut Robert Entman (1993), analisis pembingkaian atau lebih populer disebut dengan
analisis framing bermakna menyeleksi beberapa aspek realitas yang dapat dipahami secara jelas
dan menjadikannya lebih spesifik sehingga memiliki karakter yang menonjol dengan cara
mengedepankan definisi masalah, interpretasi kausal, evaluasi moral, dan atau rekomendasi
perlakuan untuk hal-hal yang terdeskripsikan tersebut.
“To frame is to select some aspect of perceived reality and make them more in a
communication text, in such a way as to promote a particular problem definition, causal
11 http://news.okezone.com/read/2013/03/16/337/776850/inilah-5-ciri-teroris-modern-versi-mabes-polri
diakses 15 Juli 2013 pukul 12.28
12
interpretation, moral evaluation, and/or treatment recommendation for the item
described”.
Dengan kata lain analisis framing adalah membingkai sesuatu yang pada awalnya bersifat
global menjadi lebih spesifik dan detail sehingga sesuatu fenomena mudah dipahami karena sifat
kedekatan objek penelitian yang semakin terfragmen dengan tidak mengurangi esensi pokok.
Konsep dasar yang ditawarkan Entman yakni sebuah metode untuk mengungkap “the power of a
communication text”.
Framing menurut Chong dan Druckman (2007), yakni sebuah proses pengembangan
konsep secara partikel dari sebuah isu dan memberikan notasi pemikiran kembali atas isu
tersebut. Framing dapat diartikan sebagai sebuah kerangka yang mempengaruhi realitas
keseharian, pengungkap peristiwa dan alat untuk mempromosikan definisi dan interpretasi
terhadap isu tertentu. Isu utama framing dapat dilihat dari pelbagai sisi perspektif dan memiliki
implikasi nilai ganda dan beberapa pertimbangan. Realitanya, masing-masing individu memiliki
pandangan politik yang berbeda dan sikap politik yang berbeda pula. 12 Oleh karena itu framing
yang digunakan memiliki variasi sesuai kebutuhan isu tertentu.
Alasan pemilihan metode framing untuk penelitian ini yaitu karena metode ini dianggap
tepat guna dan sasaran dalam membedah fenomena yang muncul pada rumusan masalah
penelitian. Karena sifat penelitian yang khusus yang tidak bersifat global dan komperhensif
sehingga metode ini penulis anggap sesuai dan relevan dengan topik penelitian. Adapun teknik
yang digunakan oleh penulis yakni menggunakan kata kunci (keywords) yang berhubungan
dengan new media dan terorisme di Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah dalam
pendeteksian masalah guna proses telaah selanjutnya.
Terdapat beberapa tahapan dalam proses analisis framing menurut Entman yakni: i)
define problem yaitu mendefinisikan pangkal permasalahan secara global apa saja agen kausal
yang muncul dalam kaitannya dengan nilai budaya masyarakat secara nilai harga dan
keuntungan. ii) diagnose causes yaitu mendiagnosis kausa dengan cara mengidentifikasi proses
penyebab terjadinya sebuah permasalahan, iii) make moral judgement yaitu mengevaluasi agen
kausal penyebab masalah beserta efek yang ditimbulkannya; iv) suggest remedies yaitu
12 Denis Chong dan James N. Druckman, Framing Theory. (Illinois: Northwestern University, 2007) terarsip dalam http://faculty.wcas.northwestern.edu/~jnd260/Framing_theory.pdf.
13
menawarkan dan menjustifikasi permasalahan-permasalahan beserta memprediksi efek-efek
yang ditimbulkan dari berbagai permasalahan tersebut13.
Inti dari konsep kunci Entman mengenai framing seperti yang telah dijelaskan di atas
menyasar pada empat hal yakni: definisi, penjelasan, evaluasi, dan rekomendasi di dalam suatu
wacana untuk menekankan kerangka berpikir tertentu terhadap suatu peristiwa yang
diwacanakan (Eriyanto, 2009: 188-189). Adapun keempat konsep ini jika dibuat dalam bentuk
tabel adalah sebagai berikut:
Tabel 1.1 Pertanyaan Framing Robert Entman14
Define problems (definisi masalah) Bagaimanakah sebuah peristiwa itu dipandang? Atau
sebagai masalah apa?
Diagnose causes (diagnosa sumber masalah) Peristiwa dianggap sebagai apa? Apa yang dianggap
sebagai faktor penyebab dari suatu masalah?
Make moral judgements (membuat keputusan
moral)
Nilai moral apakah yang ditampilkan untuk menjelaskan
masalah? Nilai moral apa yang digunakan untuk
melegitimasi suatu tindakan?
Treatment recommendation (penekanan
penyelesaian)
Penyelesaian apa yang ditawarkan untuk menyelesaikan
masalah/ isu? Cara apa yang ditawarkan untuk
mengatasi masalah?
Define problems merupakan pokok elemen pertama dalam menganalisis sebuah wacana
khususnya pemberitaan di media. Elemen ini merupakan bingkai utama atau master element
untuk dipahami jurnalis sebagai pewarta sebuah berita. Bagaimanakah sebuah fenomena
dipahami atau diidentifikasi secara kompleks ketika sebuah fenomena tersebut muncul, karena
setiap fenomena memiliki perspektif yang berbeda-beda dalam konteks interpretasi identifikasi
masalah.
Diagnose causes merupakan elemen framing untuk tahapan selanjutnya yakni siapa yang
dianggap sebagai aktor dari sebuah peristiwa. Adapun penyebab di sini yaitu siapa (who) dan apa
(what). Bagaimana peristiwa dipahami untuk mempermudah dalam mengidentifikasi masalah
14 Tabel Pertanyaan Framing ala Entman, berdasarkan empat aspek utama framing Entman: define
problems, diagnose causes, make moral judgments, dan treatment recommendations.
14
karena yang demikian menjadi tolak ukur demi mencapai tahapan selanjutnya dari proses
framing.
Make moral judgement menjadi tahapan selanjutnya yang menjadi elemen ketiga setelah
diagnosa permasalahan. Ini merupakan elemen framing yang digunakan untuk justifikasi pada
argumen yang dinotifikasikan sebelumnya pada tahapan diagnosa permasalahan. Ketika masalah
sudah terpapar dengan jelas maka jawaban dari masalah akan mudah untuk ditemukan. Dalam
hal ini peran argumen dibutuhkan untuk mencapai suatu gagasan yang disepakati oleh publik
Treatment recommendation merupakan elemen terakhir dari proses framing untuk
menggunakan nilai yang dipakai oleh jurnalis dalam memandang suatu berita. Jalan apa yang
ditempuh untuk menyelesaikan masalah. Adapun penyelesaian tersebut tergantung pada
bagaimana peristiwa tersebut dipandang dan siapa yang dianggap sebagai penyebab masalah.
Dalam analisis model Entman terdapat suatu sisi yang selalu ditampilkan dalam sebuah
berita yakni sisi dominan menonjol (salience) yang nantinya berfungsi sebagai identifikasi
muatan ideologis dalam berita tersebut. Adapun definisi salience ini adalah sesuatu yang
diartikan sebagai pembuat sebuah informasi yang lebih diperhatikan, bermakna dan berkesan.
Suatu peningkatan dalam penonjolan dapat mempertinggi probabilitas penerimaan pesan
sehingga informasi dapat diterima lebih mudah, suatu makna dapat menjadi lebih tajam, lalu
diproses dan disimpan dalam memori ingatan dengan menggunakan asosiasi simbol budaya yang
sudah dikenal (Sobur: 2001)..
Adapun cara mengidentifikasi framing dalam suatu berita berdasarkan metode Entman
menggunakan diksi kata yang merepresentasikan makna tersendiri. Pilihan-pilihan kata mampu
mempengaruhi pembaca berita untuk berpikir dan memahami lebih lanjut atas teks yang dibaca.
Identifikasi model ini penulis gunakan untuk menelisik subjektifitas framing yang dilakukan oleh
redaktur berita dalam menulis pemberitaan teror bom. Di samping itu identifikasi lain yang
dilakukan penulis yakni melalui tata letak penulisan (lay out) dan gambar ilustrasi (picture) yang
termuat pada setiap pemberitaan media. Model-model pilihan tersebut memberikan sudut
pandang tersendiri bagi terbentuknya konstruksi pikiran pembaca.
Hal demikian sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa konsep framing
diciptakan untuk membuat audiens yang diwakili pembaca yakni apa saja gagasan yang
menonjol dari sebuah teks berita yang meliputi sasaran target agar pembaca merasa, berpikir, dan
bertindak (Gross dan D’Ambrosio: 2004) Dari proses identifikasi sebagai tahapan awal framing
15
dengan syarat yang telah terpenuhi maka fungsi pertama framing disebut juga dengan agenda
setting (Entman, 2010).
Langkah-langkah dalam penelitian ini untuk menentukan bagaimana seorang jurnalis
membentuk frame berita sebagai berikut:15
1) Topik (topic): apakah topik utama yang layak untuk ditampilkan pada halaman utama
dari sebuah tampilan media online?
2) Pemicu (trigger): apa saja hal yang memicu sebuah berita dipilih untuk kemudian
ditampilkan? Dengan kata lain apakah sudah mewakili suara pendapat umum dari
dewan redaksi berita?
3) Bingkai (frame): apakah pendekatan naratif yang dilakukan oleh jurnalis dalam
menulis sebuah berita? Artinya apakah isu konflik yang dikonfigurasi sedemikan rupa
dapat memenuhi target konsumen. Semisal apakah berita ini mendukung kebijakan
pemerintahan ataukah sebagai anti pemerintahan?
4) Pokok pesan dasar (underlying message): elemen ini mencoba menjelaskan dari sisi
luar dari sebuah konstruksi berita, semisal aspek sosial kultural kearifan lokal secara
sadar atau tidak sadar seperti mitos yang berkembang di masyarakat. Terdapat bias di
dalamnya yang disengaja agar tampilan sebuah berita terlihat lebih menarik untuk
disajikan dan tidak terkesan monoton.
5) Latar belakang (background): bagaimanakah latar belakang suatu berita yang
memiliki muatan tertentu ditampilkan.
Konsep framing Entman ini selaras dengan tujuan utama pembahasan tesis ini. Penulis
memiliki pijakan dasar meletakkan terminologi dasar dari konsep kunci framing yang memang
sejatinya digagas oleh Entman di awal kajian framing secara historis. Kajian framing ala Entman
merupakan kajian klasik framing yang mengelaborasi teks secara global dan dan lebih bernuansa
kualitatif. Tujuan penulis memasukkan teori Entman yaitu untuk memberikan definisi umum
mengenai metode framing yang secara garis besar memiliki kesamaan namun berbeda dalam
langkah operasionalnya secara teknis. Adapun untuk mencapai tujuan penulisan tesis ini maka
15 The Triggers, Frames, and Messages in Newspaper Coverage: A Study of the Project for Excellence in Journalism and Princeton Survey Research Associates terarsip di http://www.journalism.org/node/445 diakses 12 Mei 2013 pukul 13.35 WIB.
16
sikap penulis yakni berpijak untuk selanjutnya menggunakan kaidah framing yang dijelaskan
oleh Robert Entman yang akan dijelaskan pada pembahasan berikutnya.
Kemudian lebih lanjut berdasarkan kerangka pemikiran yang telah penulis paparkan di
atas, untuk mempermudah sebagai ilustrasinya dapat dirumuskan tabel analisis (coding sheet)
untuk membingkai unit analisis berita, sebagai contoh di bawah ini:
Tabel 1.2 contoh coding sheet frame berita
Frame Republika Kompas
1. Serangan teroris
melawan polisi
Teroris mendukung
pemerintah
Teroris menentang
pemerintah
2. Penangkapan teroris Jihadis ditangkap Teroris dibekuk polisi
3. Pendekatan teroris Pendekatan religius Pendekatan kebangsaan
Dari contoh frame ini, dapat dianalisis dengan menggunakan pisau bedah framing ala
Entman yang telah dipaparkan sebelumnya, untuk mempermudah ilustrasinya di bawah ini:
Tabel 1.3 contoh coding sheet analisis Entman
Define problems (definisi masalah) Republika memandang teroris mendukung pemerintah.
Sedangkan Kompas sebaliknya, menentang pemerintah
Diagnose causes (diagnosa sumber masalah) Hal ini dikarenakan sikap pemerintah yang acuh tak acuh
terhadap perkembangbiakan terorisme di Indonesia.
Tidak ada peraturan perundangan yang jelas terkait
terorisme.
Make moral judgements (membuat keputusan
moral)
Nilai yang terdapat dalam frame ini yakni pemerintah
dan teroris merupakan oposisi biner yang saling terkait
satu sama lain.
Treatment recommendation (penekanan
penyelesaian)
Kesamaan visi misi kebangsaan antara pemerintah dan
terorisme melalui pendekatan persuasif
Berbeda dengan model framing Entman yang menekankan pada dua hal seleksi besar,
yakni isu dan penekanan yang dalam teknis operasionalnya dilakukan dengan empat tahapan:
definisi, diagnosis, keputusan moral, dan penyelesaian. Framing model Pan-Kosicki memang
lebih bersifat teknis untuk memahami lebih lanjut bagaimana proses wartawan dalam mengemas
17
sebuah berita. Tampak unsur-unsur jurnalisme yang kental dalam model framing ini yang salah
satunya.mengedepankan 5W+1H.
Adapun lebih jauh, jika konsep framing Entman dibenturkan dengan Pan-Kosicki, maka
model framing Pan-Kosicki lebih menekankan aspek teknis melalui empat dimensi framing yang
terdiri dari skrip, struktur, tematik, dan retoris. Dari empat dimensi tersebut terbentuklah elemen-
elemen narasi yang berkaitan dalam suatu koherensi global. Model ini berasumsi bahwa setiap
berita mempunyai frame yang berfungsi sebagai pusat organisasi ide. Frame diartikan sebagai
suatu ide yang dihubungkan dengan elemen yang berbeda dalam teks berita, kutipan sumber,
latar informasi, pemakaian kata, atau kalimat tertentu kedalam teks secara keseluruhan.
Frame berhubungan dengan makna bagaimana seseorang memaknai suatu peristiwa, dapat
dilihat dari perangkat tanda yang dimunculkan dalam teks.
Keempat elemen utama model framing Pan-Kosicki yakni:
1. Struktur sintaksis; dapat diamati dari bagan berita. Sintaksis berhubungan dengan bagaimana
wartawan menyusun peristiwa-pernyataan, opini, kutipan, pengamatan atas peristiwa-ke dalam
bentuk susunan kisah berita. Dengan demikian struktur sintaksis dapat diamati dari bagan berita
(headline yang dipilih, lead yang dipakai, latar informasi yang dijadikan sandaran, sumber yang
dikutip dan sebagainya).
2. Struktur skrip; melihat bagaimana strategi bercerita. Struktur ini melihat gaya bertutur yang
dipakai wartawan dalam mengemas peristiwa.
3 Struktur tematik; berhubungan dengan cara wartawan mengungkapkan pandangannya atas
peristiwa kedalam proposisi, kalimat, atau hubungan antarkalimat yang membentuk teks secara
keseluruhan. Struktur ini akan melihat bagaimana pemahaman itu diwujudkan ke dalam bentuk
yang lebih kecil.
4. Sruktur retoris; berhubungan dengan cara wartawan menekankan arti tertentu. Dengan kata
lain, struktur retoris melihat pemakaian pilihan kata, idiom, grafik, gambar yang digunakan
untuk memberi penekanan pada arti tertentu.
Pilihan menggunakan model framing Entman ini dipilih penulis sebagai bentuk
konsistensi yang dinilai tepat guna untuk menjelaskan frame berita terorisme di Indonesia dalam
dua media yang berbeda, yakni republika.co.id dan kompas.com. Adapun ulasan mengenai
konfigurasi framing model Entman akan dijelaskan pada bab selanjutnya. Disertai juga
18
penjelasan singkat secara historis mengenai dua media online yang dipilih oleh penulis dalam
bingkai berita terorisme di Indonesia, berikut penjelasan singkat mengenai format media online.
3. Realitas Media dan Media Online
3.1. Konstruksi Realitas Media
Pekerjaan media pada dasarnya adalah mengkonstruksikan realitas. Isi media yang
berupa berita adalah hasil para pekerja yang merekonstuksikan realitas yang dipilihnya, di
antaranya yakni realitas politik. Secara umum terdapat tiga hal yang dilakukan oleh pekerja
media dalam mengkonstruksi realitas politik yang berujung pada pembentukan makna atau citra
mengenai sebuah kekuatan politik (Hamad, 2001: 57-58) yakni:
Pertama, dalam hal pilihan kata (diksi) simbol politik. Sekalipun media massa hanya
bersifat sebagai reporter atau melaporkan tindak peristiwa, namun telah menjadi sifat dari
pembicaraan politik untuk selalu memperhatikan aspek simbol politik. Dalam komunikasi
politik, para komunikator bertukar citra atau makna melalui lambang. Sehingga dalam konteks
acuan ini, pekerja media dalam merekam kejadian seperti dengan menggunakan kutipan
langsung (direct quotation) atau menjadikan komunikator politik sebagai narasumber maka tetap
menggunakan pilihan simbol yang digunakan oleh narasumber tersebut. Namun manakala media
membuat ulasan seperti editorial, tentu pilihan kata ditentukan oleh sang penyunting (editor).
Kedua, dalam melakukan pembingkaian peristiwa politik dengan sebab adanya tuntutan
teknis semisal keterbatasan ruang (space) kolom dan halaman atau waktu, sehingga
menyebabkan jarang ada media yang menampilkan suatu peristiwa secara utuh kronologis mulai
dari detik pertama hingga akhir. Acap kali jurnalis berargumen dengan kaidah jurnalistik melalui
peristiwa yang panjang lebar dan rumit disederhanakan dengan berbagai cara sehingga dianggap
layak naik cetak atau tayang. Dalam konteks demikian biasanya pihak media hanya menyoroti
aspek sesuatu yang menarik yang layak menjadi jualan suatu berita yang lazim disebut dengan
sisi “human interest”. Ditambah lagi dengan adanya motif kepentingan politik sehingga
konstruksi realitas politik sangat ditentukan oleh pihak yang memiliki kekuasaan dan
kepentingan semata.
Ketiga, menyediakan ruang dan waktu untuk sebuah peristiwa politik. Dalam konteks
demikian, agenda setting berperan besar dalam mempengaruhi audiens. Isu yang menyedot
perhatian besar khalayak dapat dianggap sesuatu yang mewakili apa yang sedang hangat
19
dibicarakan. Sebagai contoh media memajang headline besar dan mencolok dan dimuat di
halaman utama, yang hal ini berbeda apabila diletakkan di halaman dalam. Sintesisnya yakni
besarnya perhatian masyarakat terhadap sebuah isu amat bergantung pada seberapa besar media
memberikan perhatian pada isu tersebut. Sehingga hal yang demikian terkadang mengalihkan isu
seharusnya lebih penting untuk ditampilkan media.
Tren yang terjadi belakangan ini semenjak muncul media online adalah aktivitas
khalayak pembaca yang dengan tingkat mobilitas semakin tinggi sehingga hanya menelusuri
judul-judul berita ketimbang membaca berita secara keseluruhan. Sindrom ini disebut dengan
headline syndrome. Akibatnya secara jelas yakni pembaca hanya menafsirkan berita berdasarkan
asumsi atas judul belaka. Bahkan celakanya menurut Assegaf (1983), pembaca surat kabar di
Amerika Serikat sering disebut dengan “headline reader” (pembaca judul berita).
3.2. Jurnalisme Online
Jurnalisme online merupakan istilah baru yang muncul dari transisi media dari old media
ke new media yang oleh Mosco disebut sebagai akhir sejarah, akhir geografi, dan akhir politik
terjadi karena mitos teknologi (Steensen: 2010). Adapun aspek dominan yang menandai syarat
jurnalisme online yakni ada tiga: hiperteks, interaktivitas, dan multimedia.
Hiperteks (hypertext)
Hiperteks secara umum dapat didefinisikan sebagai sistem pemrograman komputer
berbasis non linear seperti teks berupa tulisan, gambar yang bertautan bersama dengan hiperlink
(hyperlink). Asumsi mengenai hiperteks atas jurnalisme cetak yaitu tanpa batas, tak ada deadline,
akses langsung ke sumber (direct access to source), personalisasi persepsi berita,
kontekstualisasi breaking news, secara bersamaan menyasar kepada khalayak kelompok
pembaca yang menyukai untuk membaca judul berita (headline) saja ketimbang kedalaman
berita.
20
Interaktivitas
Sebagaimana hiperteks, pengertian interaktivitas merupakan konsep licin untuk
mendeksripsikan proses komunikasi secara umum serta jurnalisme online secara khusus.
Menurut Jensen (1998), pengertian interaktivitas yakni ukuran kemampuan potensial media
untuk membiarkan penggunanya terkena pengaruh secara terpaksa melalui konten atau bentuk
komunikasi yang tersalurkan lewat media. Interaktivitas menjadi ciri utama yang dimiliki
jurnalisme online, sebagai contoh dengan apa yang kini kerap kali disebut dengan citizen
journalism yang mampu melaporkan peristiwa layaknya jurnalisme profesional
Multimedia
Deuze (2004) berpendapat bahwa konsep multimedia dapat dipahami berdasarkan dua
variabel yakni (i) presentasi media dengan menggunakan dua atau lebih media (teks, audio,
grafik); (ii) sebagai distribusi kemasa berita melalui berbagai media (suratkabar, website,
televisi). Namun mayoritas para ahli mendukung asumsi yang pertama mengenai penggunaan
dua media atau lebih dalam satu konfigurasi.
Adapun keuntungan yang didapat dari penggunaan jurnalisme online yang menjadi
pembeda dengan jurnalisme konvensional sebagai berikut:
1) Keluasan akses sumber informasi; Hal ini dapat berupa tokoh, data, atau arsip berita.
2) Kuantitas data yang dapat diakses; Hal yang demikian mencakup jutaan informasi, cerita,
ataupun kontak sosial.
3) Kecepatan akses; Fungsi ini yang menjadi keunggulan media berbasis online, dimanapun
kapanpun suatu informasi akan lebih mudah untuk diakses karena sifat khas yang
demikian.
4) Penggunaan data yang lebih mudah; Dari data yang sudah diperoleh maka pengguna akan
lebih mudah mengoperasionalisasikan untuk berbagai kepentingan seperti contohnya
untuk analisis data.
5) Kemampuan untuk jangkauan diskusi; Artinya bahwa dengan munculnya berbagai media
online berbasis jaringan sosial (social network) lebih memudahkan aktifitas diskusi, grup,
dan sebagainya.
21
Ketiga variabel tersebut berkaitan dengan pesan komunikasi yang dihasilkan dari berita
terorisme. Artinya kalau dahulu orang mengakses berita terorisme secara konvensional melalui
surat kabar cetak, sekarang orang mampu mengakses berita terorisme dengan mudah, akibat dari
fungsi kompleks hiperteks yang kemudian melahirkan interaktifitas melalui wadah basis
multimedia.
Signifikansi perbedaan old media dengan new media terletak pada substansi pokok berita
yang tergambar melalui kuantitas paragraf. Artinya kalau pada old media membutuhkan ruang
untuk narasi paragraf suatu berita secara detail, namun pada new media pada umumnya fungsi
ini tersubstitusi dengan format baru yang lebih ringkas. Fungsi new media yang mampu
menembus ruang dan waktu spasial semakin mempercepat dan mempermudah arus informasi
sehingga pesan dalam diterima dengan cepat, sederhana, dan mudah.
Semakin berkembangnya teknologi internet mendorong semakin banyaknya pengakses
media online. Ditambah lagi kini alat untuk mengakses portal tidak hanya menggunakan
komputer atau laptop tetapi dengan mudah melalui telpon genggam atau alat komunikasi lainnya.
kehadiran teknologi sehingga melahirkan media online ini sungguh luar biasa dampaknya
terhadap percepatan komunikasi di negeri ini. Terbukti, kini media-media cetak nasional tidak
bisa berkembang atau stagnan akibat pembaca sudah beralih ke format online.16
H. Metodologi Penelitan
1. Metode Penelitian
Metode penelitian yang akan digunakan untuk membahas riset ini adalah menggunakan
metode kualitatif melalui teknik analisis framing. Model ala Entman dipilih penulis sebagai
teknik analisis karena penulis anggap mampu mewakili sasaran penelitian. Metode yang
demikian dipilih karena sifat penelitian yang khas dan spesifik walau bernuansa klasik serta
masih dapat diambil generalisasi dari kasus lain yang serupa. Pendekatan kualitatif diharapkan
mampu menjawab secara utuh dan komperhensif dari pertanyaan awal penelitian mengenai
pemberitaan media seputar terorisme yang dikonfigurasikan oleh portal berita online kepada
16
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/03/23/mk4bhj-media-online-ancaman-bagi-koran-
dan-majalah diakses 19 Juni 2013 pukul 14.10 WIB
22
masyarakat. Metode yang demikian ini dimaksudkan untuk menyasar tujuan penelitian sehingga
tepat guna serta agar menghasilkan suatu pembahasan yang menarik dan tidak monoton.
2. Desain Penelitian
Pada dasarnya prinsip yang digunakan analisis framing yaitu proses seleksi dan
penajaman pada dimensi fakta yang dipotret oleh media. Fakta tidak ditampilkan secara
sederhana dan apa adanya melainkan melalui proses seleksi pembingkaian dengan beberapa
elemen seperti telah dijelaskan sebelumnya. Adapun kerangka alur model Entman yang
digunakan untuk penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Peneliti mengumpulkan data dokumen berupa naskah teks berita terorisme dari portal
berita Republika.co.id dan Kompas.com sepanjang tahun 2005-2013.
2) Peneliti mengklasifikasikan data berdasarkan relevansi penelitian guna
menyelaraskan dengan tujuan penelitian.
3) Peneliti kemudian mengolah data dengan memilah data reduksi yang tidak terpakai.
4) Peneliti melakukan wawancara dengan redaktur republika.co.id dan kompas.com
guna mengetahui proses framing serta ideologi masing-masing media.
5) Kemudian peneliti melakukan pendalaman data dan analisis berikut konseptualisasi
data hingga tercapai kesimpulan penelitian.
Rangkaian kerja dari pengumpulan-pengolahan-analisis data dapat digambarkan melalui
bagan sederhana berikut:
23
Tabel 1.4 Rangkaian Kerja Penelitian
PENGUMPULAN DATA
Studi dokumen-interview-observasi
REVIEW & REDUKSI DATA
Seleksi data berdasar relevansi
KATEGORISASI DATA
Menempatkan pada kategori spesifik struktur
yang akan diamati (skrip, retoris, tematik,
sintaksis)
INTERPRETASI DATA & WAWANCARA
Pendalaman dan analisis; konseptualiasi data;
perumusan jawaban penelitian
DISPLAY DATA
Menuangkan analisis data ke dalam laporan
tertulis
3. Pengumpulan Data
Untuk menjawab rumusan masalah penelitian ini, akan dilakukan beberapa mekanisme
seleksi pengumpulan data antara lain :
24
1. Studi dokumen/ literatur: digunakan untuk menganalisis berita yang berkaitan dengan
teror bom yang muncul di situs Republika Online (republika.co.id) dan Kompas Online
(kompas.com) rentang waktu tahun 2005-2013. Data yang diperoleh berjumlah 100 berita
dengan masing-masing 50 berita republika.co.id dan 50 berita kompas.com terkait
dengan teror bom di Indonesia. Tidak menutup kemungkinan terdapat perubahan jumlah
melalui proses seleksi dan sebagainya. Adapun penjelasan mengenai proses seleksi berita
dan sebagainya penulis jelaskan pada bab selanjutnya.
2. Wawancara mendalam (indepth interview): wawancara mendalam dilakukan dengan
tokoh kunci (key person) yang dijadikan narasumber yang memahami substansi persoalan
yang dibahas dalam penelitian ini. Hal yang utama mengenai penjelasan bagaimana
prosedur serta proses sebuah pembingkaian berita mengenai teror bom dari mulai awal
hingga akhirnya naik tayang melalui beberapa tahap serta bagaimana menentukan
variabel sebuah berita terkait dengan aksi teror bom di Indonesia. Dalam hal ini dewan
redaksi Republika (ROL) diwakili oleh Irwan Ariefyanto sebagai Redaktur Pelaksana dan
Kompas.com yang diwakili oleh J. Heru Margiyanto sebagai Asisten Editor menjadi
pihak utama yang terkait akan wawancara ini.
3. Observasi: Observasi akan dilakukan dengan mengamati langsung implementasi dan
dampak yang dihasilkan dari pemberitaan kasus seputar terorisme di Indonesia melalui
jagad dunia maya terkhusus kota Jakarta sebagai ibukota negara Republik Indonesia yang
menjadi tolok ukur kehidupan bermedia dan berpolitik.
Lihat matriks berikut:
Tabel 1.5 Pengumpulan Data
Metode Pengumpulan Data Sumber
Studi/review Dokumen - Naskah berita terorisme Republika Online
dan Kompas.com
Wawancara Mendalam (Indepth Review) - Dewan redaksi Republika Online dan
Kompas.com
Observasi - Impementasi pemberitaan media
25
4. Pengolahan Data
Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap. Setelah proses
pengumpulan data selesai dikerjakan, maka akan ada dua tahap pengolahan data. Pertama,
reduksi data. Data yang diperoleh baik dari observasi, wawancara, maupun studi
dokumen/literatur, akan dipilih dan diharapkan dapat memberikan data siap pakai. Reduksi
dilakukan untuk menilai relevansi data yang telah dikumpulkan, dan membuang beberapa data
residu dan redundan yang tidak relevan dengan pertanyaan penelitian.
Kondisi ini adalah syarat bagi tahap kedua, yakni kategorisasi data. Data-data yang
berhasil dikumpulkan akan dijabarkan dalam bentuk kategori-kategori agar mempermudah
proses verifikasi. Pada tahap ini akan diperoleh sketsa kumpulan data kualitatif yang siap
dianalisis. Kategorisasi data ditentukan berdasar variabel-variabel yang menjadi pokok
pertanyaan penelitian. Misalnya, kategorisasi mengenai konfigurasi pemberitaan teroris, subjek
objek kasus, tujuan serta motif aksi teroris dan sebagainya
5. Analisis Data
Analisis data dikerjakan melalui pola dan hubungan antar kategori dalam tahap
pengolahan data. Wilayah ini biasanya disebut sebagai interpretasi data. Pada tahap ini data yang
telah selesai dikelompokkan sesuai dengan kategori masing-masing, akan dianalisis melalui
pisau teoretik, dikonseptualisasikan, dan difokuskan guna mencari jawaban penelitian.
Berikutnya, peneliti akan melakukan display data dimana setelah serangkaian proses tersebut
peneliti kemudian menuangkan data dalam bentuk tulisan. Bagian ini menyajikan presentasi
naratif maupun visual.
26
6. Limitasi Penelitian
Terdapat beberapa keterbatasan atau limitasi daripada penelitian ini yang perlu
digarisbawahi, antara lain adalah:
• Penelitian ini hanya mengkhususkan pembahasan pada bingkai berita seputar terorisme di
Indonesia melalui kacamata new media seputar pemberitaan teror bom rentang waktu tahun
2005-2013.
• Penelitian dan eksperimen ini hanya menggunakan dua media digital online yakni Republika
Online (ROL) yang beralamat di www.republika.co.id dan Kompas Online (Kompas.com) yang
beralamat di www.kompas.com diwakili oleh data berupa teks berita maupun transliterasi teks
wawancara dari kantor berita tersebut.
• Penelitian ini bukan untuk mengupas tentang terorisme secara detail melainkan yang berupa
apa yang terkait dengan pemberitaan terorisme di media.
• Sehubungan dengan lokasi kantor berita yang bersangkutan berada di Jakarta, maka penelitian
ini mengambil sampel lapangan dengan mengkhususkan Jakarta sebagai ruang lingkup objek
penelitannya.[]