bab i pendahuluan a. latar belakang...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur perbuatan dan tindakan
yang bertentangan dengan hukum sekaligus sanksi yang dikenakan kepada
siapa saja yang melakukannya sehingga dapat dikatakan bahwa hukum pidana
memiliki fungsi ganda yakni sebagai sarana penanggulangan kejahatan dan
sebagai sarana pengaturan tentang kontrol sosial baik secara spontan maupun
secara tertulis oleh negara dengan alat perlengkapannya.1 Hukum pidana
adalah merupakan hukum yang memiliki sifat khusus, yakni dalam hal
sanksinya. Setiap kita berhadapan dengan hukum, pikiran kita menuju ke arah
sesuatu yang mengikat perilaku seseorang di dalam masyarakat. Di dalamnya
terdapat ketentuan tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh
dilakukan serta akibatnya. Yang disebut akibat adalah sanksi yang bersifat
negatif yang disebut sebagai pidana (hukuman).2
Berat ringannya hukum yang wajib dijalankan oleh seseorang yang
mempertanggungjawabkan perbuatannya itu tergantung dari penilaian
masyarakat atas perbuatan orang itu. Dan penilaian yang diberikan oleh
masyarakat terhadap suatu perbuatan baik atau tidak sesuai dengan ukuran
rasa keadilan dan kepentingan umum. Oleh karena itu, ketentuan-ketentuan
1 L & J Firm, Hak Anda saat Digeledah, Disita, Ditangkap, Ditahan, Didakwa dan
Dipenjara, Forum Sahabat, Jakarta, 2009, h. 1 2 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, RajaGrafindo Perkasa, Yogyakarta, 2010, h. 2
1
2
dalam pidana yang menjadi tolak ukurnya adalah kepentingan masyarakat
secara umum.3
Hukum pidana dan pelaksanaan hukum pidana merupakan objek
beberapa ilmu pengetahuan. Jika ditinjau dari segi metodenya maka dalam
ilmu pengetahuan hukum pidana yang sistematis terbagi menjadi dua yakni
hukum pidana (hukum pidana materiil) dan hukum acara pidana (hukum
pidana formal).4 Hukum acara pidana berhubungan erat dengan diadakannya
hukum pidana, oleh karena itu, merupakan suatu rangkaian peraturan yang
memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa yaitu
kepolisian, kejaksaan dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan
negara dengan mengadakan hukum pidana.5
Pada sidang pengadilan, sebelum hakim memulai pemeriksaan
perkara, lebih dulu memahami secara mantap semua unsur tindak pidana yang
didakwakan. Atas landasan inilah ketua sidang mengarahkan jalannya
pemeriksaan sehingga terhindar memeriksa hal-hal yang berada di luar
jangkauan surat dakwaan. Mengenai putusan apa yang akan dijatuhkan
pengadilan, tergantung dari hasil mufakat musyawarah hakim berdasarkan
penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan dihubungkan dengan
segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan.6
3 Ibid, h. 4 4 Ibid, h. 25 5 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, h.
2-3 6 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika,
Jakarta, 2003, h. 346
3
Salah satu isu hukum yang tengah marak menjadi perbincangan di
masyarakat adalah kasus korupsi, dalam benak masyarakat ada keinginan
yang kuat untuk menghukum pelaku korupsi dengan hukuman pidana yang
berat, karena korupsi merupakan penyakit yang membebani negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia. Bahkan banyak ahli menyatakan bahwa
penyakit korupsi telah melebar ke segala lapisan dalam strukur pemerintahan.
Korupsi telah menjadi isu sentral bahkan sangat populer melebihi isu apapun
yang muncul di Indonesia.
Trend perilaku korupsi tampak semakin endemis yang merambah
dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Korupsi merupakan suatu yang
biasa dan seakan-akan telah membudaya dalam masyarakat Indonesia.7
Sejarah perjalanan bangsa Indonesia sejak awal kemerdekaan sampai
pasca-reformasi dihadapkan pada persoalan korupsi yang telah mengakar dan
membudaya. Bahkan di kalangan para pejabat publik menganggap korupsi
sebagai sesuatu yang lumrah dan wajar. Ibarat candu, korupsi telah menjadi
barang bergengsi, yang apabila tidak dilakukan, akan membuat stres para
penikmatnya. Korupsi berawal dari proses pembiasaan, yang akhirnya
menjadi kebiasaan yang berujung pada sesuatu yang sudah terbiasa untuk
dikerjakan oleh pejabat-pejabat negara. Itulah sebabnya, masyarakat begitu
pesimis dan putus asa terhadap penegakan hukum dalam menumpas koruptor
negara kita.8
7 Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di
Indonesia, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2011, h. 146 8 Muhammad Yamin, Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 139
4
Dewasa ini permasalahan korupsi telah menjadi perhatian dan sorotan
dunia internasional. Hal ini dikarenakan korupsi bukan merupakan masalah
suatu negara saja, namun telah menjadi isu global dan terjadi tidak hanya di
negara-negara berkembang saja tetapi sudah melanda negara-negara maju di
dunia. 9
Memberantas korupsi bukanlah pekerjaan membabat rumput karena
memberantas korupsi adalah layaknya mencegah dan menumpas virus suatu
penyakit, yaitu penyakit masyarakat. Perkembangan korupsi sampai saat
inipun sudah merupakan akibat dari sistem penyelenggaraan pemerintahan
yang tidak tertata secara tertib dan tidak terawasi secara baik karena landasan
hukum yang dipergunakan juga mengandung banyak kelemahan-kelemahan
dalam implementasinya.
Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah
dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan Pasal-Pasal
tersebut, korupsi dirumuskan kedalam 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi.
Pasal-Pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang
bisa dikenakan sanksi pidana karena korupsi.
Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada
dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Kerugian keuangan negara;
9 Muhammad Yusuf, Merampas Asset Koruptor, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2013,
h. 79
5
2. Suap-menyuap;
3. Penggelapan dalam jabatan;
4. Pemerasan;
5. Perbuatan curang;
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan;
7. Gratifikasi.
Walaupun demikian biasanya core perbuatan korupsi tidak lepas dari
beberapa perbuatan berikut, yaitu perbuatan penyuapan, penggelapan dan
gratifikasi. Tindak pidana korupsi suap yang berasal dari tindak pidana suap
(omkoping) yang ada di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. KUHP
sendiri membedakan antara 2 (dua) kelompok tindak pidana suap yakni
tindak pidana memberi suap dan tindak pidana menerima suap.10
Salah satu kasus korupsi yang sempat mencuat dan menarik perhatian
masyarakat adalah kasus Angelina Sondakh di mana di dalam di antara
Putusan Pengadilan Negeri, Putusan Banding di Pengadilan Tinggi dan
Putusan tingkat Kasasi di Mahkamah Agung terdapat perbedaan di dalam
pemidanaannya.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
.54/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST. tanggal 10 Januari 2013 dalam amar
putusannya Majelis Hakim menjatuhkan pidana kepada Terdakwa
ANGELINA PATRICIA PINGKAN SONDAKH, dengan pidana penjara
selama 4 (empat) tahun dan 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp.
10 Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Kedua,
Alumni, Bandung, 2008, h. 169
6
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila
denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam)
bulan. Sedangkan pada tingkat banding di Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor
11/PID/TPK/2013/PT.DKI. tanggal 22 Mei 2013 dalam amar putusannya
Majelis Hakim menerima permintaan banding dari Penuntut Umum pada
Komisi Pemberantasan Korupsi dan menguatkan putusan Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor:
54/PID.B./TPK/2012/PN.JKT.PST, tanggal 10 Januari 2013 yang dimintakan
banding. Sedangkan di tingkat Kasasi yakni di Mahkamah Agung dalam
Putusan Nomor 1616 K/Pid.Sus/2013, Majelis Hakim Mahkamah Agung
membatalkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan
Tinggi Jakarta Nomor: 11/PID/TPK/2013/PT.DKI. tanggal 22 Mei 2013 yang
telah menguatkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 54/Pid.B/TPK/2012/PN.JKT.PST.
tanggal 10 Januari 2013 dan Majelis Hakim berpendapat untuk mengadili
sendiri perkara tersebut dengan Putusan yang menyatakan Terdakwa
ANGELINA PATRICIA PINGKAN SONDAKH terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ”KORUPSI SECARA
BERLANJUT” dan menghukum Terdakwa oleh karena itu dengan pidana
penjara selama 12 (dua belas) tahun dan denda sebesar Rp. 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar
diganti dengan pidana kurungan selama 8 (delapan) bulan serta menghukum
pula Terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar Rp.
7
12.580.000.000,00 (dua belas milyar lima ratus delapan puluh juta rupiah)
dan US $ 2.350.000,00 (dua juta tiga ratus lima puluh ribu Dollar Amerika
Serikat), dengan ketentuan jika Terpidana tidak membayar uang pengganti
paling lama 1 (satu) bulan sesudah putusan Pengadilan memperoleh kekuatan
hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk
membayar uang pengganti dan dengan ketentuan dalam hal Terpidana tidak
mempunyai harta yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut,
maka akan diganti dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun.
Memang undang-undang telah memberikan kebebasan kepada hakim
untuk menjatuhkan pidana antara hukuman minimum dan maksimum yang
diancamkan dalam Pasal pidana yang bersangkutan, sesuai dengan apa yang
diatur dalam Pasal 12 KUHP yang menyebutkan macam-macam pidana
yakni:
1. Pidana penjara ialah seumur hidup atau selama waktu tertentu;
2. Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek satu hari dan paling
lama lima berlas tahun berturut-turut;
3. Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh
tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh
memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara
selama waktu tertentu begitu juga dalam hal batas lima belas tahun
dilampaui sebab tambahan pidana karena perbarengan, pengulangan atau
karena ditentukan oleh pasal 52 KUHP;
4. Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh melebihi dua
puluh tahun.
Namun demikian, titik tolak hakim menjatuhkan putusan pemidanaan
didasarkan pada ancaman yang disebutkan dalam pasal pidana yang
didakwakan. Terserah pada penilaiannya seberapa beratkah hukuman pidana
8
yang pantas dijatuhkan kepada terdakwa sesuai dengan berat ringannya
kesalahan terdakwa dalam perbuatan tindak pidana yang dilakukannya.
Putusan pemidanan terhadap terdakwa Angelina Sondakh pada tingkat
Kasasi ternyata lebih berat daripada Putusan Pemidanaan di tingkat bawahnya
yakni putusan Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri. Majelis Hakim
Mahkamah Agung yang dipimpin oleh Artidjo Alkotsar tentu memiliki
pertimbangan tersendiri sehingga menjatuhkan pemidanaan terhadap
terdakwa lebih berat daripada peradilan tingkat bawahnya. Oleh karena itu,
pertimbangan hakim dari tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi
hingga Mahkamah Agung memiilki pertimbangan yang dapat ditinjau dari
aspek yuridis, filosofis, maupun sosiologis yang berkaitan dengan tujuan
pemidanaan itu sendiri.
Berdasarkan latar belakang serta putusan Hakim yang memberikan
vonis pemidanaan yang berbeda pada perkara yang sama dengan terdakwa
Angelina Sondakh dalam kasus korupsi di atas, maka kami sebagai penulis
tertarik untuk meneliti mengenai Pertimbangan Hakim Dalam Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor :
54/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST, Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta
Nomor : 11/PID/TPK/2013/PT.DKI dan Putusan Mahkamah Agung
Nomor : 1616 K/PID.SUS/2013 (Terdakwa Angelina Sondakh) dikaitkan
dengan tujuan pemidanaan guna menyusun sebuah tesis.
9
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan
pemidanaan tindak pidana korupsi dalam Putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat Nomor: 54/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST, Putusan
Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor: 11/PID/TPK/2013/PT.DKI dan
Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1616 K/PID.SUS/2013 (Terdakwa
Angelina Sondakh) dikaitkan dengan tujuan pemidanaan?
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan hakim di dalam
menjatuhkan putusan pemidanaan tindak pidana korupsi dalam Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta dan
Putusan Mahkamah Agung untuk terdakwa Angelina Sondakh) dikaitkan
dengan tujuan pemidanaan.
D. Keaslian Penelitian
Penelitian ini merupakan karya orisinil dari penulis sebagai eksplorasi
lebih dalam dan berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya. Tema tindak
pidana korupsi pernah dikaji dalam penelitian sebelumnya oleh beberapa
penulis, namun pengkajiannya tersebut belum sampai pada ranah
pertimbangan hakim di dalam pemidanaan secara spesifik. Penelitian
sebelumnya lebih mendeskripsikan mengenai pertimbangan hakim di dalam
10
pemidanaan terhadap tindak pidana korupsi dan usaha pengembalian uang
negara hasil tindak pidana korupsi. Pengkajian dimaksud antara lain:
1. Kadek Krisna Sintia Dewi, Efektifitas Penerapan Ancaman Sanksi
Pidana Tambahan Guna Pengembalian Kerugian Keuangan Negara
Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri
Denpasar), 2014, Universitas Udayana Denpasar Bali (Tesis).
2. Iskandar Supatmo Ika, Prinsip Pengembalian Keuangan Negara Akibat
Tindak Pidana Korupsi Melalui Gugatan Perdata, 2008, Universitas
Airlangga Surabaya (Disertasi).
Di dalam tesis ini, penulis bermaksud untuk menjawab problematika
yang belum tercakup dalam dua pengkajian tersebut di atas.
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penulis berharap dengan penelitian ini dapat memberikan
sumbangan ilmu pengetahuan bagi mahasiswa pada umumnya, akademisi
dan praktisi hukum yakni dengan tindak pidana korupsi.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah memberikan masukan
bagi aparat penegak hukum khususnya bagi hakim dalam rangka
memberikan pengetahuan tentang analisis terhadap putusan pemidanaan
dalam tindak pidana korupsi.
11
F. Tinjauan Pustaka
1. Tindak Pidana Korupsi
Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat dan
merusak. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan
kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat
dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur
pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian,
faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke
dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya.11
Korupsi secara etimologi berasal dari bahasa Latin, corruptio atau
corruptus yang artinya merusak, tidak jujur, dapat disuap. Korupsi juga
mengandung arti kejahatan, kebusukan, tidak bermoral dan kebejatan.
Korupsi diartikan pula sebagai perbuatan yang buruk seperti penggelapan
uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. Sementara itu, dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi artinya buruk, busuk, suka
memakai barang (uang) yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok
(melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi), penyelewengan atau
penggelapan (uang negara atau perusahaan), untuk kepentingan pribadi
dan orang lain.12
Pengertian tindak pidana korupsi menurut Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dijelaskan yaitu :
11 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, h. 89 12 Alfitra, Op.Cit., h. 146.
12
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara”.
Sedangkan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan dalam
jabatannya juga masuk dalam ranah Korupsi bila perbuatannya itu
merugikan keuangan Negara, seperti yang tercantum dalam Pasal 3
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian Negara”.
Pengaturan mengenai tindak pidana korupsi diatur di dalam Pasal
55 KUHP ayat (1) yang menyebut bahwa dipidana sebagai pelaku tindak
pidana (1) mereka yang melakukan, menyuruh, melakukan dan yang
turut serta melakukan perbuatan dan (2) mereka yang dengan memberi
atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau
martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan atau dengan
memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan
orang lain supaya melakukan perbuatan.
2. Sanksi Pidana Tindak Pidana Korupsi
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi menyatakan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
13
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,-(dua ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,-(satu miliyar rupiah).
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi menyatakan bahwa setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu orporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,- (satu miliyar rupiah).
Unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah
sebagai berikut:
a. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi;
b. Perbuatan melawan hukum;
14
c. Merugikan keuangan negara atau perekonomian;
d. Menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada
padanya karena jabatan dan kedudukannya dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Menurut Shed Husein Alatas ada beberapa ciri korupsi yakni
sebagai berikut:
a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Hal ini tidak
sama dengan kasus pencurian atau penggelapan;
b. Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu
telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa
dan mereka yang berada di dalam lingkungannya tidak tergoda untuk
menyembunyikan perbuatannya, namun motif korupsi tetap dijaga
kerahasiaannya;
c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik.
Kewajiban dan keuntungan itu tidak selalu berupa uang;
d. Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha
untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik
pembenaran hukum;
e. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas
dan mampu untuk mempengarugi keputusan-keputusan itu;
f. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan
oleh badan publik atau umum (masyarakat);
g. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.13
3. Putusan Hakim
Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah
dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat
berbentuk tertulis ataupun lisan14. Ada juga yang mengartikan putusan
(vonnis) sebagai vonnis tetap (definitief).
Dalam pembangunan hukum yang sedang berlangsung diperlukan
kecermatan dalam penggunaan istilah-istilah hukum. Mengenai kata
13 Shed Husein Alatas dalam Evi Hartanti, Op Cit, h. 11 14 Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana. Sinar Grafika. Jakarta, 2010,
h. 129
15
putusan yang diterjemahkan dengan kata vonnis adalah hasil akhir dari
pemeriksaan perkara di sidang pengadilan. Ada juga yang disebut dengan
interlocutoire yang diterjemahkan dengan keputusan antara atau
keputusan sela dalam preparatoire yang diterjemahkan dengan keputusan
pendahuluan/keputusan persiapan serta keputusan provisionele yang
diterjemahkan dengan keputusan untuk sementara.
Perkataan pidana identik dengan hukuman, tetapi berdasarkan
persepsi sebagian masyarakat yang memberi makna seolah-olah pidana
tersebut identik dengan pidana penjara, maka untuk mencegah pengertian
yang keliru dipergunakan istilah penghukuman.15
Mengenai penjatuhan hukuman/pidana tersebut dirumuskan pada
Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa: ”Jika pengadilan
berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya maka pengadilan menjatuhkan pidana”.
Bentuk dari suatu putusan tidak diatur dalam KUHAP. Namun
jika diperhatikan bentuk-bentuk putusan, maka bentuknya hampir
bersamaan dan tidak pernah dipermasalahkan karenanya sebaiknya
bentuk-bentuk putusan yang telah ada tidak keliru jika diikuti.
Putusan adalah hasil atau kesimpuan dari sesuatu yang telah
dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat
15 Ibid. h. 138
16
berbentuk tertulis ataupun lisan16. Ada juga yang mengartikan putusan
(vonnis) sebagai vonnis tetap (definitief).
Putusan yang dimuat berupa penghukuman terdakwa oleh
sebagian pakar yang menyebutkan putusan pemidanaan. Perkataan
pidana identik dengan hukuman, tetapi berdasarkan persepsi sebagian
masyarakat yang memberi makna seolah-olah pidana tersebut identik
dengan pidana penjara, maka untuk mencegah pengertian yang keliru
dipergunakan istilah penghukuman.17
Macam-macam putusan dalam sidang perkara pidana adalah 18:
a. Putusan yang menyatakan tidak berwenang mengadili;
b. Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan batal demi hukum;
c. Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima;
d. Putusan yang menyatakan bahwa terdakwa dilepas dari segala
tuntutan hukum;
e. Putusan bebas.
4. Pemidanaan
Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan
juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada
umumnya diartikan sebagai hukuman, sedangkan “pemidanaan” diartikan
sebagai penghukuman.
Selama ini, tujuan pidana dan pemidanaan tidak pernah
dirumuskan. Perumusan tujuan ini hanya termaktub di dalam konsep
KUHP Nasional, dan yang terakhir ini konsep Tahun 2012 Buku I Bab
III tentang “Pemidanaan, Pidana dan Tindakan” pada Bagian Kesatu
16 Ibid. h. 129 17 Ibid. hlm. 138 18 Ibid. hlm. 131-138
17
“Pemidanaan” dan Paragraf Satu “Tujuan pemidanaan” yang dirumuskan
dalam Pasal 54 ayat (1), yaitu:19
Pemidanaan bertujuan:
a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma
hukum demi pengayoman masyarakat;
b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan
sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat; dan
d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana;
5. Pertimbangan Hakim
Mengenai proses pengambilan putusan secara singkat diawali
dengan Ketua Sidang/Ketua Majelis yang menyatakan bahwa
pemeriksaan tertutup (Pasal 182 ayat (2) KUHAP), maka Hakim
mengadakan musyawarah yang dipimpin Ketua Sidang/Ketua Majelis
yang mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai
hakim yang tertua. Pertanyaan dimaksud adalah bagaimana pendapat dan
penilaian hakim yang bersangkutan terhadap perkara yang dihadapi
Hakim yang bersangkutan mengutarakan pendapat dan uraiannya
dimulai dengan pengamatan dan penelitiannya tentang hal formil barulah
kemudian tentang hal materiil, yang kesemuanya didasarkan atas surat
dakwaan penuntut umum.
Hal-hal formil yang dimaksud misalnya hal-hal sebagai berikut.
a. Apakah pengadilan negeri di mana majelis hakim bersidang
berwenang memeriksa perkara tersebut atau tidak.
19 http://www.legalitas.org/Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia
No....Tahun....tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Tahun 2012, h. 14.
18
b. Apakah surat dakwaan telah memenuhi syarat-syarat.
c. Apakah dakwaan dapat diterima atau tidak, hal ini berkenaan dengan
ne bis in iden dan verjaring.
Setelah masing-masing Hakim Anggota Majelis mengutarakan
pendapat atau pertimbangan-pertimbang dan keyakinannya atas perkara
tersebut maka dilakukan musyawarah untuk mufakat. Ketua Majelis
berusaha agar diperoleh permufakatan bulat (Pasal 182 ayat (2)
KUHAP), akan tetapi jika mufakat bulat tidak diperoleh maka putusan
diambil dengan suara terbanyak20. Adakalanya para hakim masing-
masing berbeda pendapat atau pertimbangan, sehingga suara terbanyak
pun tidak dapat diperoleh. Jika hal tersebut terjadi maka putusan yang
dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan terdakwa
seperti yang disebutkan dalam Pasal 182 ayat (6) KUHAP. Pelaksanaan
(proses) pengambilan putusan tersebut dicatat dalam buku Himpunan
Putusan yang disediakan secara khusus untuk itu yang sifatnya rahasia.
G. Landasan Teori
Landasan teori yang digunakan sebagai pendekatan (approach) untuk
menganalisis kajian yuridis mengenai tindak pidana korupsi suap pasif
penerima gratifikasi menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi adalah teori tanggung jawab hukum dan teori keadilan.
20 Leden Marpaung. Op cit. h. 130
19
1. Teori Tanggung Jawab Hukum
Teori tanggung jawab hukum yang ada dalam bahasa Inggris
disebut dengan the theory of legal liability, bahasa Belandanya disebut de
theorie van wetteleijke aansprakeelijkheid, sedangkan di dalam bahasa
Jerman disebut dengan die theorie der haftung merupakan teori yang
menganalisis tentang tanggung jawab subjek hukum atau pelaku yang
telah melakukan perbuatan melawan hukum atau perbuatan pidana
sehingga menimbulkan kerugian atau cacat atau matinya orang lain. Ada
tiga unsur yang terkandung dalam teori tanggung jawab hukum yang
meliputi: teori; tanggung jawab; hukum.21
Bahasa Indonesia kata tanggung jawab berarti keadaan wajib
menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut,
dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya). Menanggung diartikan
sebagai bersedia memikul biaya (mengurus, memelihara), menjamin,
menyatakan keadaan kesediaan untuk melaksanakan kewajiban.22
Pengertian tanggung jawab secara rinci disajikan berikut ini,
Algra dkk mengartikan tanggung jawab atau verantwoordelijkeheid
adalah Kewajiban memilkul pertanggungjawaban dan memikul kerugian
yang diderita (bila dituntut) baik dalam hukum maupun dalam bidang
administrasi.23
21 H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian
Disertasi dan Tesis, Buku Kedia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014, h. 207 22 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, 1989, h. 899 23 N.E. Algra, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia, Binacipta,
Jakarta, 1983, h. 68
20
Tanggung jawab hukum adalah jenis tanggung jawab yang
dibebankan kepada subjek hukum atau pelaku yang melakukan perbuatan
melawan hukum atau tindak pidana sehingga yang bersangkutan dapat
dituntut membayar ganti rugi dan atau menjalankan pidana. Sedangkan
tanggung jawab administrasi adalah suatu tanggung jawab yang
dibebankan kepada orang yang melakukan kesalahan administrasi seperti
misalnya dokter yang telah melakukan pelanggaran administrasi, maka
yang bersangkutan dapat dicabut izin prakteknya.24
2. Teori Keadilan
Teori hukum alam sejak Socretes hingga Francois Geny, tetap
mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori hukum alam
mengutamakan “the search for justice”25. Berbagai macam teori
mengenai keadilan dan masyarakat yang adil. Teori ini menyangkut hak
dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran.
Diantara teori-teori itu dapat disebut: teori keadilan Aristoteles dalam
bukunya nicomachean ethics dan teori keadilan sosial John Rawl dalam
bukunya a theory of justice dan teori hukum dan keadilan Hans Kelsen
dalam bukunya general theory of law and state.
a. Keadilan menurut Aritoteles
Pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa didapatkan
dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Spesifik
dilihat dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya
24 H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Op Cit, h. 208 25 Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, cet VIII, Kanisius,
Yogyakarta, 1995, h. 196
21
ditujukan bagi keadilan, yang, berdasarkan filsafat hukum
Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya,
“karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan
keadilan”26.
b. Keadilan menurut John Rawls
Beberapa konsep keadilan yang dikemukakan oleh Filsuf
Amerika di akhir abad ke-20, John Rawls, seperi A Theory of justice,
Politcal Liberalism, dan The Law of Peoples, yang memberikan
pengaruh pemikiran cukup besar terhadap diskursus nilai-nilai
keadilan.27
Lebih lanjut John Rawls menegaskan pandangannya terhadap
keadilan bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi
kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu,
pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan
dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap
orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial
ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang
bersifat timbal balik.28
26 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia,
Bandung, 2004, h. 24 27 Pan Mohamad Faiz, Teori Keadilan John Rawls, dalam Jurnal Konstitusi, Volume 6
Nomor 1 (April 2009), h. 135 28 John Rawls, A Theory of Justice, Oxford University press, London, 1973, yang sudah
diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006.
22
c. Keadilan menurut Hans Kelsen
Hans Kelsen dalam bukunya General Theory of Law and
State, berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat
dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan
cara yang memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagian
didalamnya.29
Pandangan Hans Kelsen ini pandangan yang bersifat
positifisme, nilai-nilai keadilan individu dapat diketahui dengan
aturan-aturan hukum yang mengakomodir nilai-nialai umum, namun
tetap pemenuhan rasa keadilan dan kebahagian diperuntukan tiap
individu.
Konsep keadilan dan legalitas inilah yang diterapkan dalam
hukum nasional bangsa Indonesia, yang memaknai bahwa peraturan
hukum nasional dapat dijadikan sebagai payung hukum (law
umbrella) bagi peraturan peraturan hukum nasional lainnya sesuai
tingkat dan derajatnya dan peraturan hukum itu memiliki daya ikat
terhadap materi-materi yang dimuat (materi muatan) dalam peraturan
hukum tersebut.30
d. Keadilan Bermartabat menurut Teguh Prasetyo
Pada hakikatnya penngertian teori keadilan bermartabat itu
dapat diketahui dengan jalan memahami teori keadilan bermartabat
29 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, 2011, diterjemahkan oleh Rasisul
Muttaqien, Nusa Media, Bandung, h. 7 30 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundangan-undangan
23
adalah suatu ilmu hukum. Sebagai suatu ilmu hukum, cakupan atau
scope dari teori keadilan bermartabat dapat dilihat dari susunan atau
lapisan dalam ilmu hukum.
Teori keadilan bermartabat sebagai ilmu hukum memiliki
sesuatu skopa atau cakupan antara lain; dapat dilihat dari susunan
atau lapisan ilmu hukum yang meliputi filsafat hukum atau
philosophy of low di tempat pertama. Pada lapisan kedua, terdapat
teori hukum (legal theory). Sementara dokmatik hukum atau ilmu
hukum positif berada di temapat yang ketiga. Hukum dan praktik
hukum berada pada susunan atau lapisan ilmu hukum keempat.
Sekalipun terlihat bahwa lapisan ilmu hukum dalam teori
keadilan bermartabat itu adalah lapisan saling terpisah anatara
lapisan satu dengan lapisan yang lainnya, namun prinsifnya lapisan-
lapisan ilmu hukum itu merupakan satu kesatuan sistemik,
mengendap, hidup dalam satu sistem. Saling berkaitan antara satu
dengan lainnya, bahu membahu (shoulder to shoulder), gotong-
royong sebagai sistem; bekerja mencapai tujuan yaitu keadilan
bermartabat. Keadilan yang memanusiakan manusia, atau yang nge
wong ke wong.
Teori keadilan bermartabat menganut suatu prinsip bahwa
sekalipun hukum itu tersusun empat komponen atau lapisan-lapisan.
Keempat komponen atau lapisan-lapisan dalam teori kedialan
bermartabat sebagai suatu ilmu hukum tersebut merupakan suatu
24
sistem atau kesatuan yang terdiri dari beberapa bagian yang saling
namun saling kait-mengkait. Gambar ilustrasi ikatan-ikatan yang
saling bahu-membahu.
Bagan lapisan-lapisan dalam ilmu hukum
Lapisan-lapisan ilmu hukum dalam dalam persepektif teori
keadilan bermartabat itu bekerrja atau berfungsi sebagai sumber, atau
tempat dimana hukum itu ditemukan.31 Kerangka kerja teori keadilan
bermartabat dapat dilihat pada bagan berikut:
31 Teguh Prasetyo. Keadialan Bermartabat Persektif Teori Hukum, Nusa Media
Bandung, 2015, h. 1-3
Filsafat Hukum
(Philosophy of Law)
Teori Hukum
(Legal Theory)
Dokmatik Hukum
(Jurisprudence)
Hukum dan Praktek
Hukum
(Law and Legal Practice)
25
Sebagai hasil dari proses kegiatan berfikir yang berdisiplin,
menaati kaidah-kaidah keilmuan sebagai kerangka kerja; teori keadilan
bermartabat dapat disebut sebagai suatu pemikiran. Pemikiran adalah
proses dan hasil dari kegiatan berfikir yang secara meta teoritis; suatu
pemahaman yang didominasi dengan abstraksi, konsepsi dan preposisi.
Tujuan filasat ialah mengumpulkan pengetahuan, menemukan
hakikatnya, dan menerbitkan serta mengatur semuanya di dalam bentuk
yang sistematik. Filsafat membawa kepada pemahaman, dan pemahaman
membawa kepada tindakan yang lebih layak32.
Sebagai suatu hasil atau output dari kegiatan berfikir, teori
keadilan bermartabat tidak datang secara kebetulan dan tidak jauh dari
realitas kehidupan. Issues atau persoalan-persoalan itu misalnya: apakah
ada perbedaan antara pertanggungjawaban moral dan
pertanggungjawaban legal (abaut moral and responsibilities);
pembenaran apakah yang dapat dipakai untuk menjustifikasi sanksi
hukuman dalam sistem hukum (justification of punishments); fungsi-
fungsi lembaga kehakiman dan hakim (the judicial function); hukum
32 Ibid, h. 7
Dikte
Hukum sebagai
Masukan
Proses Legislasi dan
Diskresi, serta proses peradilan menurut
hukum acara sebagai
konversi
Keluaran
(output): Peraturan,
Keputusan dan
Peraturan
Feedbeck atau loloh
balik
Eksekusi atau
Pelaksanaan
26
acara menurut hukum (due proces) dan masih banyak lagi yang tidak
dapat dirinci satu-persatu.33
Teori keadilan bermartabat menganut prinsip untuk memahami
doktrin dan ketentuan-ketentuan yang pernah ada di dalam sistem hukum
berdasarkan Pancasila sebagai sistem hukum utama atau kesepakatan
peertama yang menjadi sasaran kajian dan penyelidikan teori keadilan
bermartabat. Atas dasar itu, maka pemenuhan hukum berlaku pula dalam
penyelidikan dan analisa terhadap kasus-kasus kongkret, dalam hal ini
hukum yang masuk dalam kategori hukum dan praktek hukum ketika
diajukan ke pengadilan.
Penemuan hukum harus dilakukan manakala ditemukan bahwa
terhadap kasus-kasus itu pengaturannya belum ada, kurang jelas, atau
tidak lengkap diatur di dalam ketentuan perundang-undangan yang
berlaku. Ajaran pemenuhan hukum dalam sistem hukum berasarkana
Pancasila mengajarkan bahwa hakim harus tetap menjalankan fungsi
pembentukan hukum (rechtsforming). Hanya saja, kekuatan berlaku dari
hukum yang digali dari dalam jiwa bangsa atau hukum hasil penemuan
hakim tersebut adalah bersifat persuasif, kecuali undang-undang
menentukan lain.34
Teori keadilan bermartabat berisi suatu sistem hukum yang
mengemban empat fungsi:
33Ibid., h.8 34 Ibid., h.12-13
27
1) Sistem kontrol sosial mengatur perilaku manusia individu maupun
masyarakat;
2) Sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa;
3) Untuk melakukan rekayasa sosial;
4) Sebagai memelihara sosial atau memelihara status dari sistem hukum
itu sendiri sebagai suatu status quo, tidak menginginkan perubahan,
dalam pengertian hal-hal yang mengancam eksistensi hukum.35
Mengingat teori keadilan bermartabat sebagai suatu filsafat itu
dibangun dalam konteks untuk memahami, menjelaskan dan menerapkan
hukum terutama memahami, menjelaskan dan menerapkan suatu sistem
hukum positif tertentu, maka teori keadilan bermartabat itu adalah
filsafah hukum, teori hukum, ilmu hukum, jurisprudence.36
Keadilan bermartabat sebagai suatu filsafat hukum tidak hanya
merupakan suatu bentuk kongkret dari penyelarasan nilai-nilai yang
dipahami ada di dalam setiap kaidah dan asas hukum yang mengatur
setiap ketentuan perundang-undangan yang berlaku, keputusan hakim
maupun semua perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam hubungan
hukum keperdataan, dan perbuatan hukum publik, maupun para pihak itu
adalah subyek hukum internasional.
Sebagai suatu filsafat, teori keadilan bermartabat menggambarkan
tujuan hukum yang ada di dalam setiap sistem hukum, terutama tujuan
hukum dalam sistem hukum berdasarkan Pancasila. Penekanannya
dilakukan terhadap asas kemanusiaan yang adil dan beradap, yang
mendasari konsepsi memanusiakan manusia; disamping keadilan sosial
dan sila-sila yang lainnya. Teori keadilan bermartabat juaga menjelaskan
35Ibid., h. 171 36 Ibid,
28
tujuan hukum dalam pengertian keadilan, kepastian, dan kemanfaatan
yang ada dalam setiap asas dan kaidah hukum yang saling berkaitan satu
sama yang lain di dalam sistem tersebut. Keadilan bermartabat
berpendirian bahwa baik keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum
adalah merupakan satu kesatuan yang terhimpun di dalam keadilan. 37
Suatu hal yang relevan dengan konsep martabat dalam teori
keadilan bermartabat adalah preposisi bahwa, suatu refleksi dilakukan
atau dikerjakan secara penuh kesadaran dan aktif dari, oleh dan untuk
manusia dan/atau masyarakat (the spectators) itu sendiri. Sekalipun,
dalam hal penilaian atas hasil refleksi, sebagai umpan balik (feedback)
masih ada satu syarat yang penting. Syarat penting itu, yaitu bahwa
refleksi dimaksud harus obyektif. Dimaksudkan obyektif dan dilawankan
dengan sifat subyektif adalah bahwa penilaian itu datang dari manusia
dan/atau masyarakat yang lain atau benda yang diamati; datang dari luar
diri manusia dan/atau masyarakat yang mengamati; tetapi merupakan
bagian dari masyarakat itu.38
Lebih lanjut keadilan bermartabat menurut Teguh Prasetyo dalam
hukum positif sebagai suatu sistem dipandang tersusun dengan struktur
yang berisi tiga komponen sub sistem tertentu. Dimaksudkan dengan
tertentu adalah memiliki identitas dan batas-batas yang relatif jelas saling
berkaitan. Adapun unsur-unsur sebagai berikut. Unsur pertama disebut
dengan unsur idiil. Unsur idiil meliputi seluruh aturan, kaidah, pranata
37 Ibid., h. 52 38 Ibid., h. 55
29
dan asas hukum. Semua unsur ideal ini dalam konsep sistem dikenal
dengan sistem makna atau sistem lambang, simbulisasi atau sistem
prefensi. Mengingat prefensi itu berada di dalam suatu sistem hukum
makna sistem pemaknaan itu disebut dengan sistem makna yuridik.
Aturan adalah lambang yang memberikan kesatuan dan makna
pada kenyataan majemuk dari perilaku manusia dan masyarakat.
Lambang yang diwakili oleh aturan-aturan itu maka individu dan
masyarakat akan dapat mengerti dan memahami kemajemukan perilaku
individu dan masyarakat.
Selanjutnya, unsur kedua, disebut dengan unsur operasional.
Unsur kedua dalam sistem hukum ini mencakup keseluruhan organisasi,
lembaga dan pejabat. Pada tataran kenegaraan, unsur ini meliputi badan-
badan pemerintahan yang menjalankan fungsi-fungsi eksekutif, legistif,
dan yudikatif dengan aparatnya masing-masing. Secara teknis yuridis
kesemua unsur ini disebut dengan para pihak dalam hubungan hukum.
Pihak adalah pengemban hak-hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum
yang berlaku di dalam sistem hukum. Dimaksudkan dengan aparat
sebagaimana makna yuridis di atas adalah birokrasi pemerintahan seperti
penyidik pegawai negeri sipil atau pejabat yang memberikan perijinan,
pengadilan yang diisi oleh para hakim, kejaksaan dengan misalnya
keberadaan penuntut umum, kepolisian dengan pejabat peyidik advokat,
konsulat, notaris, dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang diisi
oleh para aktivis.
30
Unsur yang ketiga dalam sistem hukum sebagaimana dipahami di
atas dan juga penting diperhatikan dalam teori keadilan bermartabat ini
yaitu unsur aktual yang mencakup keseluruhan keputusan dan tindakan
(perilaku) baik itu perilaku para pejabat maupun para warga masyarakat,
sejauh keputusan dan tindakan itu berkaitan atau dapat ditempatkan
dalam kerangka sistem mana yuridis sebagaimana dimaksud di atas.
Keseluruhan keputusan primer untuk diperhatikan adalah berupa
Undang-Undang dan Keputusan-Keputusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap.39
3. Teori Pemidanaan
Secara tradisional, teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat
dibagi dalam dua kelompok teori, yaitu
a. Teori Absolut atau teori pembalasan (retributive/vergeldings
theorieen)
b. Teori Relatif atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorieen)
Menurut teori absolut, pidana dijatuhkan semata-mata karena
orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia
peccatum est). pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai
suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi, dasar
pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan
itu sendiri.
39 Ibid., h. 172-174
31
Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat dengan jelas
dalam pendapat Immanuel Kant bahwa “Pidana tidak pernah
dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan
tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi
masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang
yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan. Bahkan walaupun
seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya
sendiri (membubarkan masyarakatnya) pembunuh terakhir yang masih
berada di dalam penjara harus dipidana mati sebelum resolusi/keputusan
pembubaran masyarakat itu dilaksanakan. Hal ini harus dilakukan karena
setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari perbuatannya dan
perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarakat,
karena apabila tidak demikian mereka semua dapat dipandang sebagai
orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan
pelanggaran terhadap keadilan umum40”.
Menurut Nigel Walker, para penganut teori retributif ini dapat
pula dibagi dalam beberapa golongan sebagai berikut :41
a. Penganut teori retributif yang murni (The pure retributivist) yang
berpendapat bahwa pidana harus cocok atau sepadan dengan
kesalahan si pembuat
b. Penganut teori retributif tidak murni (dengan modifikasi) yang dapat
pula dibagi dalam:
1) Penganut teori retributif tidak murni (the limiting retributivist)
yang berpendapat bahwa pidana tidak harus cocok/sepadan
dengan kesalahan, hanya saja tidak boleh melebihi batas yang
cocok/sepadan dengan kesalahan terdakwa.
40 Pompe. WPJ., Handboek van het Nedelands Strafrecht, NV Uitgeversmaatchapij
WEJ, Tjeenkwillinmk. Zwolle. 1959. h. 62 41 Ibid. hal. 64
32
2) Penganut teori retributis yang distributif (Retribution in
distribution) atau disingkat dengan teori distributif yang
berpendapat bahwa pidana janganlah dikenakan pada orang
yang tidak bersalah, tetapi pidana juga tidak harus
cocok/sepadan dan dibatasi oleh kesalahan. Prinsip tiada pidana
tanpa kesalahan dihormati tetapi dimungkinkan adanya
pengecualian midalnya dalam hal “strict liability”.
Perkataan pidana identik dengan hukuman, tetapi berdasarkan
persepsi sebagian masyarakat yang memberi makna seolah-olah pidana
tersebut identik dengan pidana penjara, maka untuk mencegah pengertian
yang keliru dipergunakan istilah penghukuman.42 Menurut Van Hamel,
(dalam Lamintang), arti pidana atau straf, adalah:43
“Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan
oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas
nama Negara sebagai penanggung jawab dan ketertiban hukum
umum bagi seseorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang
tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum harus ditegakkan
oIeh Negara”.
Menurut Muladi, dalam pidana mengandung unsur-unsur atau
ciri-ciri sebagai berikut44 :
a. Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan
atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.
b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang
mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang).
c. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak
pidana menurut Undang-undang
Ketiga unsur tersebut pada umumnya terlihat dari definisi-definisi
di atas, namun Alf Ross menambahkan bahwa pidana itu harus juga
merupakan pernyataan pencelaan terhadap diri di pelaku. Pernyataan ini
42 Leden Marpaung. Op,Cit., h. 138 43 F. Lamintang, Op.Cit, h. 47 44 Muladi dan Barda Nawawi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung,
2005, h. 4
33
dimaksudkan untuk membedakan secara jelas antara pidana dengan
tindakan perlakuan (treatment).
Menurut Alf Ross, ‘concept of punishment’ bertolak pada dua
syarat atau tujuan, yaitu:
a. Pidana ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap orang yang
bersangkutan (Punishment is aimed at inflecting suffering upon the
person upon whom it is imposed).
b. Pidana itu merupakan suatu pernyataan pencelaan terhadap
perbuatan si pelaku (the punishment is an expression disapproval of
the action for which it is impossed).
Dengan demikian, menurut Alf Ross tidaklah dapat dipandang
sebagai ‘punishment’ hal-hal sebagai berikut:45
a. Tindakan-tindakan yang bertujuan pengenaan penderitaan tetapi
tidak merupakan pernyataan pencelaan, misalnya pemberian electric
shock, pada binatang dalam suatu penelitian agar tingkah lakunya
dapat diamati atau dikontrol.
b. Tindakan-tindakan yang merupakan pernyataan pencelaan tetapi
tidak dimaksudkan untuk mengenakan penderitaan. Misalnya
teguran, peringatan atau penyingkiran oleh masyarakat.
c. Tindakan-tindakan yang disamping tidak dimaksudkan untuk
mengenakan penderitaan, juga tidak merupakan pernyataan
pencelaan. Misalnya langkah-langkah yang diambil untuk mendidik
atau merawat/mengobati seseorang untuk membuatnya tidak
berbahaya bagi masyarakat atau tindakan dokter gigi yang mencabut
gigi seorang pasien.
Menurut Alf Ross perbedaan antara ‘punishment’ dan ‘treatment’
tidak didasarkan pada ada tidaknya unsur pertama (unsur penderitaan),
tetapi harus didasarkan pada ada tidaknya unsur kedua (unsur pencelaan).
Barda Nawawi Arief, menyatakan bahwa pokok-pokok pikiran
yang terkandung dalam perumusan tujuan pemidanaan adalah : 46
45 Ibid. hlm. 5
34
a. Pada hakikatnya Undang-Undang merupakan sistem hukum yang
bertujuan sehingga dirumuskan pidana dan aturan pemidanaan dalam
Undang-Undang, pada hakikatnya hanya merupakan sarana untuk
mencapai tujuan;
b. Dilihat secara fungsional operasional, pemidanaan merupakan suatu
rangkaian proses dan kebijakan yang konkretisasinya sengaja
direncanakan melalui tiga tahap. Agar ada keterjalinan dan
keterpaduan antara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem
pemidanaan, maka dirumuskan tujuan pemidanaan;
c. Perumusan tujuan pemidanaan dimaksudkan sebagai “fungsi
pengendalian kontrol” dan sekaligus memberikan landasan filosofis,
dasar rasionalitas dan motivasi pemidanaan yang jelas dan terarah.
Mengingat pentingnya tujuan pidana sebagai pedoman dalam
memberikan atau menjatuhkan pidana maka di dalam Konsep Rancangan
Buku I KUHP Nasional yang disusun oleh LPHN pada tahun 1972
dirumuskan dalam Pasal 2 sebagai berikut.47
a. Maksud tujuan pemidanaan ialah:
1) Mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman
negara, masyarakat dan penduduk;
2) Membimbing agar terpidana insaf dan menjadi anggota
masyarakat yang berbudi baik dan berguna;
3) Menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana.
b. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak
diperkenankan merendahkan martabat manusia.
c. Pemidanaan bertujuan untuk:
1) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan
norma hukum demi pengayoman masyarakat;
2) Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian
menjadikannya orang yang baik dan berguna, serta mampu
untuk hidup bermasyarakat;
3) Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
d. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak
diperkenankan merendahkan martabat manusia.
46 Barda Nawawi Arief dalam Zainal Abidin, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan
dalam Rancangan KUHP(Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri 3), ELSAM, Jakarta, 2005,
hl. 6 47 Ibid. h. 25
35
H. Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan adalah pendekatan perundang-undangan
(statue Approach)48 yaitu pendekatan menggunakan Pasal-Pasal yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan seperti Pasal-Pasal yang
ada dalam KUHP dan KUHAP, namun peneliti juga tidak hanya melihat
kepada bentuk perundang-undangan saja, melainkan juga menelaah
materi-materi muatan yang ada di dalamnya.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
pendekatan Yuridis Normatif yakni pendekatan terhadap masalah dengan
melihat norma-norma/ketentuan hukum yang berlaku yang berhubungan
dengan penelitian mengenai pertimbangan hakim dalam putusan tindak
pidana korupsi berdasarkan tujuan pemidanaan.
Selain itu peneliti juga menggunakan pendekatan kasus (Case
Approach) yang dikaitkan dengan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Nomor: 54/PID.B./TPK/2012/PN.JKT.PST, Putusan Pengadilan Tinggi
Jakarta Nomor 11/PID/TPK/2013/PT.DKI. dan Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor Nomor 1616 K/Pid.Sus/2013.
2. Karakteristik Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif dan penelitian preskriptif.
Bersifat deskriptif adalah suatu penelitian yang dimaksud untuk
memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau
48 Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
2006. h. 96
36
gejala-gejala lainnya. Maksudnya adalah terutama mempertegas
hipotesa-hipotesa agar dapat membantu memperkuat teori-teori lama atau
di dalam kerangka penyusunan kerangka baru49.
Berdasarkan pengertian di atas metode penelitian jenis ini
dimaksudkan untuk menggambarkan semua data yang diperoleh yang
berkaitan dengan pertimbangan hakim di dalam pemidanaan terhadap
Terdakwa Tindak Pidana Korupsi dalam Putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat Nomor .54/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST, Putusan
Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 11/PID/TPK/2013/PT.DKI dan
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor Nomor 1616
K/Pid.Sus/2013.
3. Sumber dan Jenis Bahan Hukum
Dalam penelitian hukum ini penulis menggunakan sumber Data
Sekunder. Pengertian data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi
kepustakaan yakni dari buku-buku, dokumen-dokumen, dan peraturan
perundang-undangan khususnya yang berkaitan dengan penelitian hukum
penulis.
Sumber-sumber penelitian hukum terdiri atas dasar bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan non hukum.
a. Bahan hukum primer50 merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif, artinya mempunyai otoritas, dalam penelitian ini yang
menjadi bahan hukum primer adalah :
49 Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press, Jakarta, 2001, h. 10
37
1) KUHP;
2) KUHAP;
3) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
4) Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
54/PID.B./TPK/2012/PN.JKT.PST;
5) Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor
11/PID/TPK/2013/PT.DKI;
6) Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor Nomor
1616 K/Pid.Sus/2013.
b. Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi meliputi yang
digunakan adalah berupa buku, jurnal-jurnal hukum berkaitan.
1) Buku-buku teks.
2) Jurnal-jurnal hukum berkaitan dengan permasalahan yang akan
diteliti.
3) Dokumen-dokumen.
c. Bahan non hukum berupa bahan yang diperoleh selain bahan hukum.
50 Peter Mahmud Marzuki. Op.Cit, h. 141
38
4. Pengumpulan Bahan Penelitian
Untuk data yang lengkap dan relevan dengan pokok-pokok
masalah yang akan dibahas, maka dalam pengumpulan data ini dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
a. Studi Dokumen
Mengambil data dari perundang-undangan yang berlaku
yakni Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana serta dikaitkan dengan Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
54/PID.B./TPK/2012/PN.JKT.PST, Putusan Pengadilan Tinggi
Jakarta Nomor 11/PID/TPK/2013/PT.DKI.dan Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Nomor Nomor 1616 K/Pid.Sus/2013.
b. Studi Kepustakaan
Mengambil data dari buku-buku teks yang berhubungan
dengan pertimbangan hakim dalam pemidanaan terhadap Terdakwa
Tindak Pidana Korupsi di dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat Nomor .54/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST, Putusan
Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 11/PID/TPK/2013/PT.DKI dan
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor Nomor 1616
K/Pid.Sus/2013.
39
5. Analisis Bahan Penelitian
Analisa data dilakukan secara kualitatif yang disajikan secara
deskriptif analitis. Sifat deskriptif dari data penelitian ini karena ingin
menggambarkan keadaan hukum ataupun fenomena hukum dari bahan
penelitian yang menyangkut bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tersier, berkaitan dengan pelaksanaan di
dalam prakteknya.
Analisa kualitatif artinya menguraikan data secara bermutu dalam
bentuk kalimat yang teratur, runtut, logis, tidak tumpang tindih dan
selektif, sehingga memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil
analisis. Komprehensif artinya analisis data secara mendalam dari
berbagai aspek sesuai dengan lingkup penelitian. Lengkap artinya tidak
ada bagian yang terlupakan, semuanya sudah masuk dalam analisis.
Analisis data dan interpretasi seperti ini akan menghasilkan produk
penelitian hukum normatif yang bermutu dan sempurna51.
Hasil analisis mampu mengemukakan dan menemukan kategori-
kategori yang berkaitan dengan suatu disiplin, tetapi juga dikembangkan
dari suatu kategori yang dikemukakan dan hubungan-hubunganya dengan
data yang didapat. Hasil analisis data tersebut dapat diperlakukan
kesimpulan secara deduktif, yaitu suatu cara berpikir dari hal sifatnya
umum di dasrkan atas fakta-fakta dan gejala kepada sifat yang khusus.
51 Ibid, h. 127
40
Dengan demikian, teknik analisis data yang dilakukan adalah
analisis hukum. Analisis bahan hukum dilakukan dengan cara deduktif,
yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan di atas dan juga
analisis hukum yaitu menganalisis pertimbangan hakim di dalam
pemidanaan terhadap Terdakwa tindak pidana Korupsi dalam Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
.54/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST, Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta
Nomor 11/PID/TPK/2013/PT.DKI dan Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 1616 K/Pid.Sus/2013.
I. Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan
Dalam bab ini akan dibahas tentang latar belakang penelitian,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian
penelitian, lan-dasan teori, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
Bab II Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka yang menjadi acuan analisia penelitian adalah
mengenai Filosofi Pemidanaan, Tindak Pidana Korupsi,
Pertimbangan Hakim dan Keadilan Bermartabat.
Bab III Hasil Penelitian dan Analisis
Dalam Bab III ini, penulis akan menjelaskan secara rinci mengenai
hasil penelitian yakni 1) Pertimbangan hakim Mahkamah Agung di
41
dalam menjatuhkan putusan pemidanaan tindak pidana korupsi
dalam Putusan Nomor 1616 K/Pid.Sus/2013 dikaitkan dengan
tujuan pemidanaan dan 2) Analisis terhadap pertimbangan hakim
Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 1616 K/Pid.Sus/2013
yang menjatuhkan pidana lebih berat dari putusan peradilan di
bawahnya dikaitkan dengan tujuan pemidanaan
Bab IV Penutup
Pada Bab IV ini akan dipaparkan mengenai kesimpulan dari
analisis dan saran atau masukan mengenai pertimbangan-
pertimbangan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi di
dalam Putusan Nomor 1616 K/Pid.Sus/2013 yang menjatuhkan
pidana lebih berat dari putusan peradilan di bawahnya.