bab i pendahuluan a. latar belakang...

41
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum pidana adalah hukum yang mengatur perbuatan dan tindakan yang bertentangan dengan hukum sekaligus sanksi yang dikenakan kepada siapa saja yang melakukannya sehingga dapat dikatakan bahwa hukum pidana memiliki fungsi ganda yakni sebagai sarana penanggulangan kejahatan dan sebagai sarana pengaturan tentang kontrol sosial baik secara spontan maupun secara tertulis oleh negara dengan alat perlengkapannya. 1 Hukum pidana adalah merupakan hukum yang memiliki sifat khusus, yakni dalam hal sanksinya. Setiap kita berhadapan dengan hukum, pikiran kita menuju ke arah sesuatu yang mengikat perilaku seseorang di dalam masyarakat. Di dalamnya terdapat ketentuan tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan serta akibatnya. Yang disebut akibat adalah sanksi yang bersifat negatif yang disebut sebagai pidana (hukuman). 2 Berat ringannya hukum yang wajib dijalankan oleh seseorang yang mempertanggungjawabkan perbuatannya itu tergantung dari penilaian masyarakat atas perbuatan orang itu. Dan penilaian yang diberikan oleh masyarakat terhadap suatu perbuatan baik atau tidak sesuai dengan ukuran rasa keadilan dan kepentingan umum. Oleh karena itu, ketentuan-ketentuan 1 L & J Firm, Hak Anda saat Digeledah, Disita, Ditangkap, Ditahan, Didakwa dan Dipenjara, Forum Sahabat, Jakarta, 2009, h. 1 2 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, RajaGrafindo Perkasa, Yogyakarta, 2010, h. 2 1

Upload: duongthuan

Post on 21-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14701/1/T2_322014020 _BAB I... · Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 139 . 4

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum pidana adalah hukum yang mengatur perbuatan dan tindakan

yang bertentangan dengan hukum sekaligus sanksi yang dikenakan kepada

siapa saja yang melakukannya sehingga dapat dikatakan bahwa hukum pidana

memiliki fungsi ganda yakni sebagai sarana penanggulangan kejahatan dan

sebagai sarana pengaturan tentang kontrol sosial baik secara spontan maupun

secara tertulis oleh negara dengan alat perlengkapannya.1 Hukum pidana

adalah merupakan hukum yang memiliki sifat khusus, yakni dalam hal

sanksinya. Setiap kita berhadapan dengan hukum, pikiran kita menuju ke arah

sesuatu yang mengikat perilaku seseorang di dalam masyarakat. Di dalamnya

terdapat ketentuan tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh

dilakukan serta akibatnya. Yang disebut akibat adalah sanksi yang bersifat

negatif yang disebut sebagai pidana (hukuman).2

Berat ringannya hukum yang wajib dijalankan oleh seseorang yang

mempertanggungjawabkan perbuatannya itu tergantung dari penilaian

masyarakat atas perbuatan orang itu. Dan penilaian yang diberikan oleh

masyarakat terhadap suatu perbuatan baik atau tidak sesuai dengan ukuran

rasa keadilan dan kepentingan umum. Oleh karena itu, ketentuan-ketentuan

1 L & J Firm, Hak Anda saat Digeledah, Disita, Ditangkap, Ditahan, Didakwa dan

Dipenjara, Forum Sahabat, Jakarta, 2009, h. 1 2 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, RajaGrafindo Perkasa, Yogyakarta, 2010, h. 2

1

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14701/1/T2_322014020 _BAB I... · Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 139 . 4

2

dalam pidana yang menjadi tolak ukurnya adalah kepentingan masyarakat

secara umum.3

Hukum pidana dan pelaksanaan hukum pidana merupakan objek

beberapa ilmu pengetahuan. Jika ditinjau dari segi metodenya maka dalam

ilmu pengetahuan hukum pidana yang sistematis terbagi menjadi dua yakni

hukum pidana (hukum pidana materiil) dan hukum acara pidana (hukum

pidana formal).4 Hukum acara pidana berhubungan erat dengan diadakannya

hukum pidana, oleh karena itu, merupakan suatu rangkaian peraturan yang

memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa yaitu

kepolisian, kejaksaan dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan

negara dengan mengadakan hukum pidana.5

Pada sidang pengadilan, sebelum hakim memulai pemeriksaan

perkara, lebih dulu memahami secara mantap semua unsur tindak pidana yang

didakwakan. Atas landasan inilah ketua sidang mengarahkan jalannya

pemeriksaan sehingga terhindar memeriksa hal-hal yang berada di luar

jangkauan surat dakwaan. Mengenai putusan apa yang akan dijatuhkan

pengadilan, tergantung dari hasil mufakat musyawarah hakim berdasarkan

penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan dihubungkan dengan

segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan.6

3 Ibid, h. 4 4 Ibid, h. 25 5 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, h.

2-3 6 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika,

Jakarta, 2003, h. 346

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14701/1/T2_322014020 _BAB I... · Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 139 . 4

3

Salah satu isu hukum yang tengah marak menjadi perbincangan di

masyarakat adalah kasus korupsi, dalam benak masyarakat ada keinginan

yang kuat untuk menghukum pelaku korupsi dengan hukuman pidana yang

berat, karena korupsi merupakan penyakit yang membebani negara-negara

berkembang, termasuk Indonesia. Bahkan banyak ahli menyatakan bahwa

penyakit korupsi telah melebar ke segala lapisan dalam strukur pemerintahan.

Korupsi telah menjadi isu sentral bahkan sangat populer melebihi isu apapun

yang muncul di Indonesia.

Trend perilaku korupsi tampak semakin endemis yang merambah

dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Korupsi merupakan suatu yang

biasa dan seakan-akan telah membudaya dalam masyarakat Indonesia.7

Sejarah perjalanan bangsa Indonesia sejak awal kemerdekaan sampai

pasca-reformasi dihadapkan pada persoalan korupsi yang telah mengakar dan

membudaya. Bahkan di kalangan para pejabat publik menganggap korupsi

sebagai sesuatu yang lumrah dan wajar. Ibarat candu, korupsi telah menjadi

barang bergengsi, yang apabila tidak dilakukan, akan membuat stres para

penikmatnya. Korupsi berawal dari proses pembiasaan, yang akhirnya

menjadi kebiasaan yang berujung pada sesuatu yang sudah terbiasa untuk

dikerjakan oleh pejabat-pejabat negara. Itulah sebabnya, masyarakat begitu

pesimis dan putus asa terhadap penegakan hukum dalam menumpas koruptor

negara kita.8

7 Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di

Indonesia, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2011, h. 146 8 Muhammad Yamin, Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 139

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14701/1/T2_322014020 _BAB I... · Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 139 . 4

4

Dewasa ini permasalahan korupsi telah menjadi perhatian dan sorotan

dunia internasional. Hal ini dikarenakan korupsi bukan merupakan masalah

suatu negara saja, namun telah menjadi isu global dan terjadi tidak hanya di

negara-negara berkembang saja tetapi sudah melanda negara-negara maju di

dunia. 9

Memberantas korupsi bukanlah pekerjaan membabat rumput karena

memberantas korupsi adalah layaknya mencegah dan menumpas virus suatu

penyakit, yaitu penyakit masyarakat. Perkembangan korupsi sampai saat

inipun sudah merupakan akibat dari sistem penyelenggaraan pemerintahan

yang tidak tertata secara tertib dan tidak terawasi secara baik karena landasan

hukum yang dipergunakan juga mengandung banyak kelemahan-kelemahan

dalam implementasinya.

Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah

dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun

1999 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan Pasal-Pasal

tersebut, korupsi dirumuskan kedalam 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi.

Pasal-Pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang

bisa dikenakan sanksi pidana karena korupsi.

Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada

dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Kerugian keuangan negara;

9 Muhammad Yusuf, Merampas Asset Koruptor, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2013,

h. 79

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14701/1/T2_322014020 _BAB I... · Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 139 . 4

5

2. Suap-menyuap;

3. Penggelapan dalam jabatan;

4. Pemerasan;

5. Perbuatan curang;

6. Benturan kepentingan dalam pengadaan;

7. Gratifikasi.

Walaupun demikian biasanya core perbuatan korupsi tidak lepas dari

beberapa perbuatan berikut, yaitu perbuatan penyuapan, penggelapan dan

gratifikasi. Tindak pidana korupsi suap yang berasal dari tindak pidana suap

(omkoping) yang ada di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. KUHP

sendiri membedakan antara 2 (dua) kelompok tindak pidana suap yakni

tindak pidana memberi suap dan tindak pidana menerima suap.10

Salah satu kasus korupsi yang sempat mencuat dan menarik perhatian

masyarakat adalah kasus Angelina Sondakh di mana di dalam di antara

Putusan Pengadilan Negeri, Putusan Banding di Pengadilan Tinggi dan

Putusan tingkat Kasasi di Mahkamah Agung terdapat perbedaan di dalam

pemidanaannya.

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor

.54/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST. tanggal 10 Januari 2013 dalam amar

putusannya Majelis Hakim menjatuhkan pidana kepada Terdakwa

ANGELINA PATRICIA PINGKAN SONDAKH, dengan pidana penjara

selama 4 (empat) tahun dan 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp.

10 Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Cetakan Kedua,

Alumni, Bandung, 2008, h. 169

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14701/1/T2_322014020 _BAB I... · Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 139 . 4

6

250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila

denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam)

bulan. Sedangkan pada tingkat banding di Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor

11/PID/TPK/2013/PT.DKI. tanggal 22 Mei 2013 dalam amar putusannya

Majelis Hakim menerima permintaan banding dari Penuntut Umum pada

Komisi Pemberantasan Korupsi dan menguatkan putusan Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor:

54/PID.B./TPK/2012/PN.JKT.PST, tanggal 10 Januari 2013 yang dimintakan

banding. Sedangkan di tingkat Kasasi yakni di Mahkamah Agung dalam

Putusan Nomor 1616 K/Pid.Sus/2013, Majelis Hakim Mahkamah Agung

membatalkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan

Tinggi Jakarta Nomor: 11/PID/TPK/2013/PT.DKI. tanggal 22 Mei 2013 yang

telah menguatkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 54/Pid.B/TPK/2012/PN.JKT.PST.

tanggal 10 Januari 2013 dan Majelis Hakim berpendapat untuk mengadili

sendiri perkara tersebut dengan Putusan yang menyatakan Terdakwa

ANGELINA PATRICIA PINGKAN SONDAKH terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ”KORUPSI SECARA

BERLANJUT” dan menghukum Terdakwa oleh karena itu dengan pidana

penjara selama 12 (dua belas) tahun dan denda sebesar Rp. 500.000.000,00

(lima ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar

diganti dengan pidana kurungan selama 8 (delapan) bulan serta menghukum

pula Terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar Rp.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14701/1/T2_322014020 _BAB I... · Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 139 . 4

7

12.580.000.000,00 (dua belas milyar lima ratus delapan puluh juta rupiah)

dan US $ 2.350.000,00 (dua juta tiga ratus lima puluh ribu Dollar Amerika

Serikat), dengan ketentuan jika Terpidana tidak membayar uang pengganti

paling lama 1 (satu) bulan sesudah putusan Pengadilan memperoleh kekuatan

hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk

membayar uang pengganti dan dengan ketentuan dalam hal Terpidana tidak

mempunyai harta yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut,

maka akan diganti dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun.

Memang undang-undang telah memberikan kebebasan kepada hakim

untuk menjatuhkan pidana antara hukuman minimum dan maksimum yang

diancamkan dalam Pasal pidana yang bersangkutan, sesuai dengan apa yang

diatur dalam Pasal 12 KUHP yang menyebutkan macam-macam pidana

yakni:

1. Pidana penjara ialah seumur hidup atau selama waktu tertentu;

2. Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek satu hari dan paling

lama lima berlas tahun berturut-turut;

3. Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh

tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh

memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara

selama waktu tertentu begitu juga dalam hal batas lima belas tahun

dilampaui sebab tambahan pidana karena perbarengan, pengulangan atau

karena ditentukan oleh pasal 52 KUHP;

4. Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh melebihi dua

puluh tahun.

Namun demikian, titik tolak hakim menjatuhkan putusan pemidanaan

didasarkan pada ancaman yang disebutkan dalam pasal pidana yang

didakwakan. Terserah pada penilaiannya seberapa beratkah hukuman pidana

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14701/1/T2_322014020 _BAB I... · Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 139 . 4

8

yang pantas dijatuhkan kepada terdakwa sesuai dengan berat ringannya

kesalahan terdakwa dalam perbuatan tindak pidana yang dilakukannya.

Putusan pemidanan terhadap terdakwa Angelina Sondakh pada tingkat

Kasasi ternyata lebih berat daripada Putusan Pemidanaan di tingkat bawahnya

yakni putusan Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri. Majelis Hakim

Mahkamah Agung yang dipimpin oleh Artidjo Alkotsar tentu memiliki

pertimbangan tersendiri sehingga menjatuhkan pemidanaan terhadap

terdakwa lebih berat daripada peradilan tingkat bawahnya. Oleh karena itu,

pertimbangan hakim dari tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi

hingga Mahkamah Agung memiilki pertimbangan yang dapat ditinjau dari

aspek yuridis, filosofis, maupun sosiologis yang berkaitan dengan tujuan

pemidanaan itu sendiri.

Berdasarkan latar belakang serta putusan Hakim yang memberikan

vonis pemidanaan yang berbeda pada perkara yang sama dengan terdakwa

Angelina Sondakh dalam kasus korupsi di atas, maka kami sebagai penulis

tertarik untuk meneliti mengenai Pertimbangan Hakim Dalam Putusan

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor :

54/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST, Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta

Nomor : 11/PID/TPK/2013/PT.DKI dan Putusan Mahkamah Agung

Nomor : 1616 K/PID.SUS/2013 (Terdakwa Angelina Sondakh) dikaitkan

dengan tujuan pemidanaan guna menyusun sebuah tesis.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14701/1/T2_322014020 _BAB I... · Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 139 . 4

9

B. Rumusan Masalah

Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan

pemidanaan tindak pidana korupsi dalam Putusan Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat Nomor: 54/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST, Putusan

Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor: 11/PID/TPK/2013/PT.DKI dan

Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1616 K/PID.SUS/2013 (Terdakwa

Angelina Sondakh) dikaitkan dengan tujuan pemidanaan?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan hakim di dalam

menjatuhkan putusan pemidanaan tindak pidana korupsi dalam Putusan

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta dan

Putusan Mahkamah Agung untuk terdakwa Angelina Sondakh) dikaitkan

dengan tujuan pemidanaan.

D. Keaslian Penelitian

Penelitian ini merupakan karya orisinil dari penulis sebagai eksplorasi

lebih dalam dan berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya. Tema tindak

pidana korupsi pernah dikaji dalam penelitian sebelumnya oleh beberapa

penulis, namun pengkajiannya tersebut belum sampai pada ranah

pertimbangan hakim di dalam pemidanaan secara spesifik. Penelitian

sebelumnya lebih mendeskripsikan mengenai pertimbangan hakim di dalam

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14701/1/T2_322014020 _BAB I... · Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 139 . 4

10

pemidanaan terhadap tindak pidana korupsi dan usaha pengembalian uang

negara hasil tindak pidana korupsi. Pengkajian dimaksud antara lain:

1. Kadek Krisna Sintia Dewi, Efektifitas Penerapan Ancaman Sanksi

Pidana Tambahan Guna Pengembalian Kerugian Keuangan Negara

Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri

Denpasar), 2014, Universitas Udayana Denpasar Bali (Tesis).

2. Iskandar Supatmo Ika, Prinsip Pengembalian Keuangan Negara Akibat

Tindak Pidana Korupsi Melalui Gugatan Perdata, 2008, Universitas

Airlangga Surabaya (Disertasi).

Di dalam tesis ini, penulis bermaksud untuk menjawab problematika

yang belum tercakup dalam dua pengkajian tersebut di atas.

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penulis berharap dengan penelitian ini dapat memberikan

sumbangan ilmu pengetahuan bagi mahasiswa pada umumnya, akademisi

dan praktisi hukum yakni dengan tindak pidana korupsi.

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah memberikan masukan

bagi aparat penegak hukum khususnya bagi hakim dalam rangka

memberikan pengetahuan tentang analisis terhadap putusan pemidanaan

dalam tindak pidana korupsi.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14701/1/T2_322014020 _BAB I... · Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 139 . 4

11

F. Tinjauan Pustaka

1. Tindak Pidana Korupsi

Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat dan

merusak. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan

kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat

dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur

pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian,

faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke

dalam kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya.11

Korupsi secara etimologi berasal dari bahasa Latin, corruptio atau

corruptus yang artinya merusak, tidak jujur, dapat disuap. Korupsi juga

mengandung arti kejahatan, kebusukan, tidak bermoral dan kebejatan.

Korupsi diartikan pula sebagai perbuatan yang buruk seperti penggelapan

uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya. Sementara itu, dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi artinya buruk, busuk, suka

memakai barang (uang) yang dipercayakan kepadanya, dapat disogok

(melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi), penyelewengan atau

penggelapan (uang negara atau perusahaan), untuk kepentingan pribadi

dan orang lain.12

Pengertian tindak pidana korupsi menurut Pasal 2 Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dijelaskan yaitu :

11 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, h. 89 12 Alfitra, Op.Cit., h. 146.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14701/1/T2_322014020 _BAB I... · Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 139 . 4

12

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang

dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara”.

Sedangkan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan dalam

jabatannya juga masuk dalam ranah Korupsi bila perbuatannya itu

merugikan keuangan Negara, seperti yang tercantum dalam Pasal 3

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri

atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan

kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena

jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara

atau perekonomian Negara”.

Pengaturan mengenai tindak pidana korupsi diatur di dalam Pasal

55 KUHP ayat (1) yang menyebut bahwa dipidana sebagai pelaku tindak

pidana (1) mereka yang melakukan, menyuruh, melakukan dan yang

turut serta melakukan perbuatan dan (2) mereka yang dengan memberi

atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau

martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan atau dengan

memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan

orang lain supaya melakukan perbuatan.

2. Sanksi Pidana Tindak Pidana Korupsi

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi menyatakan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum

melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14701/1/T2_322014020 _BAB I... · Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 139 . 4

13

korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian

negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana

penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)

tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,-(dua ratus juta rupiah)

dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,-(satu miliyar rupiah).

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi menyatakan bahwa setiap orang yang dengan tujuan

menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu orporasi,

menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada

padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan

negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara

seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan

paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.

50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.

1.000.000.000,- (satu miliyar rupiah).

Unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah

sebagai berikut:

a. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau

suatu korporasi;

b. Perbuatan melawan hukum;

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14701/1/T2_322014020 _BAB I... · Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 139 . 4

14

c. Merugikan keuangan negara atau perekonomian;

d. Menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada

padanya karena jabatan dan kedudukannya dengan tujuan

menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

Menurut Shed Husein Alatas ada beberapa ciri korupsi yakni

sebagai berikut:

a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Hal ini tidak

sama dengan kasus pencurian atau penggelapan;

b. Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu

telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa

dan mereka yang berada di dalam lingkungannya tidak tergoda untuk

menyembunyikan perbuatannya, namun motif korupsi tetap dijaga

kerahasiaannya;

c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik.

Kewajiban dan keuntungan itu tidak selalu berupa uang;

d. Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha

untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik

pembenaran hukum;

e. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas

dan mampu untuk mempengarugi keputusan-keputusan itu;

f. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan

oleh badan publik atau umum (masyarakat);

g. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.13

3. Putusan Hakim

Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah

dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat

berbentuk tertulis ataupun lisan14. Ada juga yang mengartikan putusan

(vonnis) sebagai vonnis tetap (definitief).

Dalam pembangunan hukum yang sedang berlangsung diperlukan

kecermatan dalam penggunaan istilah-istilah hukum. Mengenai kata

13 Shed Husein Alatas dalam Evi Hartanti, Op Cit, h. 11 14 Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana. Sinar Grafika. Jakarta, 2010,

h. 129

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14701/1/T2_322014020 _BAB I... · Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 139 . 4

15

putusan yang diterjemahkan dengan kata vonnis adalah hasil akhir dari

pemeriksaan perkara di sidang pengadilan. Ada juga yang disebut dengan

interlocutoire yang diterjemahkan dengan keputusan antara atau

keputusan sela dalam preparatoire yang diterjemahkan dengan keputusan

pendahuluan/keputusan persiapan serta keputusan provisionele yang

diterjemahkan dengan keputusan untuk sementara.

Perkataan pidana identik dengan hukuman, tetapi berdasarkan

persepsi sebagian masyarakat yang memberi makna seolah-olah pidana

tersebut identik dengan pidana penjara, maka untuk mencegah pengertian

yang keliru dipergunakan istilah penghukuman.15

Mengenai penjatuhan hukuman/pidana tersebut dirumuskan pada

Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa: ”Jika pengadilan

berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang

didakwakan kepadanya maka pengadilan menjatuhkan pidana”.

Bentuk dari suatu putusan tidak diatur dalam KUHAP. Namun

jika diperhatikan bentuk-bentuk putusan, maka bentuknya hampir

bersamaan dan tidak pernah dipermasalahkan karenanya sebaiknya

bentuk-bentuk putusan yang telah ada tidak keliru jika diikuti.

Putusan adalah hasil atau kesimpuan dari sesuatu yang telah

dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat

15 Ibid. h. 138

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14701/1/T2_322014020 _BAB I... · Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 139 . 4

16

berbentuk tertulis ataupun lisan16. Ada juga yang mengartikan putusan

(vonnis) sebagai vonnis tetap (definitief).

Putusan yang dimuat berupa penghukuman terdakwa oleh

sebagian pakar yang menyebutkan putusan pemidanaan. Perkataan

pidana identik dengan hukuman, tetapi berdasarkan persepsi sebagian

masyarakat yang memberi makna seolah-olah pidana tersebut identik

dengan pidana penjara, maka untuk mencegah pengertian yang keliru

dipergunakan istilah penghukuman.17

Macam-macam putusan dalam sidang perkara pidana adalah 18:

a. Putusan yang menyatakan tidak berwenang mengadili;

b. Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan batal demi hukum;

c. Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima;

d. Putusan yang menyatakan bahwa terdakwa dilepas dari segala

tuntutan hukum;

e. Putusan bebas.

4. Pemidanaan

Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan

juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada

umumnya diartikan sebagai hukuman, sedangkan “pemidanaan” diartikan

sebagai penghukuman.

Selama ini, tujuan pidana dan pemidanaan tidak pernah

dirumuskan. Perumusan tujuan ini hanya termaktub di dalam konsep

KUHP Nasional, dan yang terakhir ini konsep Tahun 2012 Buku I Bab

III tentang “Pemidanaan, Pidana dan Tindakan” pada Bagian Kesatu

16 Ibid. h. 129 17 Ibid. hlm. 138 18 Ibid. hlm. 131-138

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14701/1/T2_322014020 _BAB I... · Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 139 . 4

17

“Pemidanaan” dan Paragraf Satu “Tujuan pemidanaan” yang dirumuskan

dalam Pasal 54 ayat (1), yaitu:19

Pemidanaan bertujuan:

a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma

hukum demi pengayoman masyarakat;

b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan

sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;

c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,

memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam

masyarakat; dan

d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana;

5. Pertimbangan Hakim

Mengenai proses pengambilan putusan secara singkat diawali

dengan Ketua Sidang/Ketua Majelis yang menyatakan bahwa

pemeriksaan tertutup (Pasal 182 ayat (2) KUHAP), maka Hakim

mengadakan musyawarah yang dipimpin Ketua Sidang/Ketua Majelis

yang mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai

hakim yang tertua. Pertanyaan dimaksud adalah bagaimana pendapat dan

penilaian hakim yang bersangkutan terhadap perkara yang dihadapi

Hakim yang bersangkutan mengutarakan pendapat dan uraiannya

dimulai dengan pengamatan dan penelitiannya tentang hal formil barulah

kemudian tentang hal materiil, yang kesemuanya didasarkan atas surat

dakwaan penuntut umum.

Hal-hal formil yang dimaksud misalnya hal-hal sebagai berikut.

a. Apakah pengadilan negeri di mana majelis hakim bersidang

berwenang memeriksa perkara tersebut atau tidak.

19 http://www.legalitas.org/Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia

No....Tahun....tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Tahun 2012, h. 14.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14701/1/T2_322014020 _BAB I... · Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 139 . 4

18

b. Apakah surat dakwaan telah memenuhi syarat-syarat.

c. Apakah dakwaan dapat diterima atau tidak, hal ini berkenaan dengan

ne bis in iden dan verjaring.

Setelah masing-masing Hakim Anggota Majelis mengutarakan

pendapat atau pertimbangan-pertimbang dan keyakinannya atas perkara

tersebut maka dilakukan musyawarah untuk mufakat. Ketua Majelis

berusaha agar diperoleh permufakatan bulat (Pasal 182 ayat (2)

KUHAP), akan tetapi jika mufakat bulat tidak diperoleh maka putusan

diambil dengan suara terbanyak20. Adakalanya para hakim masing-

masing berbeda pendapat atau pertimbangan, sehingga suara terbanyak

pun tidak dapat diperoleh. Jika hal tersebut terjadi maka putusan yang

dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan terdakwa

seperti yang disebutkan dalam Pasal 182 ayat (6) KUHAP. Pelaksanaan

(proses) pengambilan putusan tersebut dicatat dalam buku Himpunan

Putusan yang disediakan secara khusus untuk itu yang sifatnya rahasia.

G. Landasan Teori

Landasan teori yang digunakan sebagai pendekatan (approach) untuk

menganalisis kajian yuridis mengenai tindak pidana korupsi suap pasif

penerima gratifikasi menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi adalah teori tanggung jawab hukum dan teori keadilan.

20 Leden Marpaung. Op cit. h. 130

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14701/1/T2_322014020 _BAB I... · Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 139 . 4

19

1. Teori Tanggung Jawab Hukum

Teori tanggung jawab hukum yang ada dalam bahasa Inggris

disebut dengan the theory of legal liability, bahasa Belandanya disebut de

theorie van wetteleijke aansprakeelijkheid, sedangkan di dalam bahasa

Jerman disebut dengan die theorie der haftung merupakan teori yang

menganalisis tentang tanggung jawab subjek hukum atau pelaku yang

telah melakukan perbuatan melawan hukum atau perbuatan pidana

sehingga menimbulkan kerugian atau cacat atau matinya orang lain. Ada

tiga unsur yang terkandung dalam teori tanggung jawab hukum yang

meliputi: teori; tanggung jawab; hukum.21

Bahasa Indonesia kata tanggung jawab berarti keadaan wajib

menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut,

dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya). Menanggung diartikan

sebagai bersedia memikul biaya (mengurus, memelihara), menjamin,

menyatakan keadaan kesediaan untuk melaksanakan kewajiban.22

Pengertian tanggung jawab secara rinci disajikan berikut ini,

Algra dkk mengartikan tanggung jawab atau verantwoordelijkeheid

adalah Kewajiban memilkul pertanggungjawaban dan memikul kerugian

yang diderita (bila dituntut) baik dalam hukum maupun dalam bidang

administrasi.23

21 H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian

Disertasi dan Tesis, Buku Kedia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014, h. 207 22 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai

Pustaka, Jakarta, 1989, h. 899 23 N.E. Algra, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia, Binacipta,

Jakarta, 1983, h. 68

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14701/1/T2_322014020 _BAB I... · Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 139 . 4

20

Tanggung jawab hukum adalah jenis tanggung jawab yang

dibebankan kepada subjek hukum atau pelaku yang melakukan perbuatan

melawan hukum atau tindak pidana sehingga yang bersangkutan dapat

dituntut membayar ganti rugi dan atau menjalankan pidana. Sedangkan

tanggung jawab administrasi adalah suatu tanggung jawab yang

dibebankan kepada orang yang melakukan kesalahan administrasi seperti

misalnya dokter yang telah melakukan pelanggaran administrasi, maka

yang bersangkutan dapat dicabut izin prakteknya.24

2. Teori Keadilan

Teori hukum alam sejak Socretes hingga Francois Geny, tetap

mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori hukum alam

mengutamakan “the search for justice”25. Berbagai macam teori

mengenai keadilan dan masyarakat yang adil. Teori ini menyangkut hak

dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran.

Diantara teori-teori itu dapat disebut: teori keadilan Aristoteles dalam

bukunya nicomachean ethics dan teori keadilan sosial John Rawl dalam

bukunya a theory of justice dan teori hukum dan keadilan Hans Kelsen

dalam bukunya general theory of law and state.

a. Keadilan menurut Aritoteles

Pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa didapatkan

dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Spesifik

dilihat dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya

24 H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Op Cit, h. 208 25 Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, cet VIII, Kanisius,

Yogyakarta, 1995, h. 196

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14701/1/T2_322014020 _BAB I... · Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 139 . 4

21

ditujukan bagi keadilan, yang, berdasarkan filsafat hukum

Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya,

“karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan

keadilan”26.

b. Keadilan menurut John Rawls

Beberapa konsep keadilan yang dikemukakan oleh Filsuf

Amerika di akhir abad ke-20, John Rawls, seperi A Theory of justice,

Politcal Liberalism, dan The Law of Peoples, yang memberikan

pengaruh pemikiran cukup besar terhadap diskursus nilai-nilai

keadilan.27

Lebih lanjut John Rawls menegaskan pandangannya terhadap

keadilan bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi

kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu,

pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan

dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap

orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial

ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang

bersifat timbal balik.28

26 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia,

Bandung, 2004, h. 24 27 Pan Mohamad Faiz, Teori Keadilan John Rawls, dalam Jurnal Konstitusi, Volume 6

Nomor 1 (April 2009), h. 135 28 John Rawls, A Theory of Justice, Oxford University press, London, 1973, yang sudah

diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan,

Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14701/1/T2_322014020 _BAB I... · Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 139 . 4

22

c. Keadilan menurut Hans Kelsen

Hans Kelsen dalam bukunya General Theory of Law and

State, berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat

dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan

cara yang memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagian

didalamnya.29

Pandangan Hans Kelsen ini pandangan yang bersifat

positifisme, nilai-nilai keadilan individu dapat diketahui dengan

aturan-aturan hukum yang mengakomodir nilai-nialai umum, namun

tetap pemenuhan rasa keadilan dan kebahagian diperuntukan tiap

individu.

Konsep keadilan dan legalitas inilah yang diterapkan dalam

hukum nasional bangsa Indonesia, yang memaknai bahwa peraturan

hukum nasional dapat dijadikan sebagai payung hukum (law

umbrella) bagi peraturan peraturan hukum nasional lainnya sesuai

tingkat dan derajatnya dan peraturan hukum itu memiliki daya ikat

terhadap materi-materi yang dimuat (materi muatan) dalam peraturan

hukum tersebut.30

d. Keadilan Bermartabat menurut Teguh Prasetyo

Pada hakikatnya penngertian teori keadilan bermartabat itu

dapat diketahui dengan jalan memahami teori keadilan bermartabat

29 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, 2011, diterjemahkan oleh Rasisul

Muttaqien, Nusa Media, Bandung, h. 7 30 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundangan-undangan

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14701/1/T2_322014020 _BAB I... · Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 139 . 4

23

adalah suatu ilmu hukum. Sebagai suatu ilmu hukum, cakupan atau

scope dari teori keadilan bermartabat dapat dilihat dari susunan atau

lapisan dalam ilmu hukum.

Teori keadilan bermartabat sebagai ilmu hukum memiliki

sesuatu skopa atau cakupan antara lain; dapat dilihat dari susunan

atau lapisan ilmu hukum yang meliputi filsafat hukum atau

philosophy of low di tempat pertama. Pada lapisan kedua, terdapat

teori hukum (legal theory). Sementara dokmatik hukum atau ilmu

hukum positif berada di temapat yang ketiga. Hukum dan praktik

hukum berada pada susunan atau lapisan ilmu hukum keempat.

Sekalipun terlihat bahwa lapisan ilmu hukum dalam teori

keadilan bermartabat itu adalah lapisan saling terpisah anatara

lapisan satu dengan lapisan yang lainnya, namun prinsifnya lapisan-

lapisan ilmu hukum itu merupakan satu kesatuan sistemik,

mengendap, hidup dalam satu sistem. Saling berkaitan antara satu

dengan lainnya, bahu membahu (shoulder to shoulder), gotong-

royong sebagai sistem; bekerja mencapai tujuan yaitu keadilan

bermartabat. Keadilan yang memanusiakan manusia, atau yang nge

wong ke wong.

Teori keadilan bermartabat menganut suatu prinsip bahwa

sekalipun hukum itu tersusun empat komponen atau lapisan-lapisan.

Keempat komponen atau lapisan-lapisan dalam teori kedialan

bermartabat sebagai suatu ilmu hukum tersebut merupakan suatu

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14701/1/T2_322014020 _BAB I... · Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 139 . 4

24

sistem atau kesatuan yang terdiri dari beberapa bagian yang saling

namun saling kait-mengkait. Gambar ilustrasi ikatan-ikatan yang

saling bahu-membahu.

Bagan lapisan-lapisan dalam ilmu hukum

Lapisan-lapisan ilmu hukum dalam dalam persepektif teori

keadilan bermartabat itu bekerrja atau berfungsi sebagai sumber, atau

tempat dimana hukum itu ditemukan.31 Kerangka kerja teori keadilan

bermartabat dapat dilihat pada bagan berikut:

31 Teguh Prasetyo. Keadialan Bermartabat Persektif Teori Hukum, Nusa Media

Bandung, 2015, h. 1-3

Filsafat Hukum

(Philosophy of Law)

Teori Hukum

(Legal Theory)

Dokmatik Hukum

(Jurisprudence)

Hukum dan Praktek

Hukum

(Law and Legal Practice)

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14701/1/T2_322014020 _BAB I... · Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 139 . 4

25

Sebagai hasil dari proses kegiatan berfikir yang berdisiplin,

menaati kaidah-kaidah keilmuan sebagai kerangka kerja; teori keadilan

bermartabat dapat disebut sebagai suatu pemikiran. Pemikiran adalah

proses dan hasil dari kegiatan berfikir yang secara meta teoritis; suatu

pemahaman yang didominasi dengan abstraksi, konsepsi dan preposisi.

Tujuan filasat ialah mengumpulkan pengetahuan, menemukan

hakikatnya, dan menerbitkan serta mengatur semuanya di dalam bentuk

yang sistematik. Filsafat membawa kepada pemahaman, dan pemahaman

membawa kepada tindakan yang lebih layak32.

Sebagai suatu hasil atau output dari kegiatan berfikir, teori

keadilan bermartabat tidak datang secara kebetulan dan tidak jauh dari

realitas kehidupan. Issues atau persoalan-persoalan itu misalnya: apakah

ada perbedaan antara pertanggungjawaban moral dan

pertanggungjawaban legal (abaut moral and responsibilities);

pembenaran apakah yang dapat dipakai untuk menjustifikasi sanksi

hukuman dalam sistem hukum (justification of punishments); fungsi-

fungsi lembaga kehakiman dan hakim (the judicial function); hukum

32 Ibid, h. 7

Dikte

Hukum sebagai

Masukan

Proses Legislasi dan

Diskresi, serta proses peradilan menurut

hukum acara sebagai

konversi

Keluaran

(output): Peraturan,

Keputusan dan

Peraturan

Feedbeck atau loloh

balik

Eksekusi atau

Pelaksanaan

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14701/1/T2_322014020 _BAB I... · Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 139 . 4

26

acara menurut hukum (due proces) dan masih banyak lagi yang tidak

dapat dirinci satu-persatu.33

Teori keadilan bermartabat menganut prinsip untuk memahami

doktrin dan ketentuan-ketentuan yang pernah ada di dalam sistem hukum

berdasarkan Pancasila sebagai sistem hukum utama atau kesepakatan

peertama yang menjadi sasaran kajian dan penyelidikan teori keadilan

bermartabat. Atas dasar itu, maka pemenuhan hukum berlaku pula dalam

penyelidikan dan analisa terhadap kasus-kasus kongkret, dalam hal ini

hukum yang masuk dalam kategori hukum dan praktek hukum ketika

diajukan ke pengadilan.

Penemuan hukum harus dilakukan manakala ditemukan bahwa

terhadap kasus-kasus itu pengaturannya belum ada, kurang jelas, atau

tidak lengkap diatur di dalam ketentuan perundang-undangan yang

berlaku. Ajaran pemenuhan hukum dalam sistem hukum berasarkana

Pancasila mengajarkan bahwa hakim harus tetap menjalankan fungsi

pembentukan hukum (rechtsforming). Hanya saja, kekuatan berlaku dari

hukum yang digali dari dalam jiwa bangsa atau hukum hasil penemuan

hakim tersebut adalah bersifat persuasif, kecuali undang-undang

menentukan lain.34

Teori keadilan bermartabat berisi suatu sistem hukum yang

mengemban empat fungsi:

33Ibid., h.8 34 Ibid., h.12-13

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14701/1/T2_322014020 _BAB I... · Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 139 . 4

27

1) Sistem kontrol sosial mengatur perilaku manusia individu maupun

masyarakat;

2) Sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa;

3) Untuk melakukan rekayasa sosial;

4) Sebagai memelihara sosial atau memelihara status dari sistem hukum

itu sendiri sebagai suatu status quo, tidak menginginkan perubahan,

dalam pengertian hal-hal yang mengancam eksistensi hukum.35

Mengingat teori keadilan bermartabat sebagai suatu filsafat itu

dibangun dalam konteks untuk memahami, menjelaskan dan menerapkan

hukum terutama memahami, menjelaskan dan menerapkan suatu sistem

hukum positif tertentu, maka teori keadilan bermartabat itu adalah

filsafah hukum, teori hukum, ilmu hukum, jurisprudence.36

Keadilan bermartabat sebagai suatu filsafat hukum tidak hanya

merupakan suatu bentuk kongkret dari penyelarasan nilai-nilai yang

dipahami ada di dalam setiap kaidah dan asas hukum yang mengatur

setiap ketentuan perundang-undangan yang berlaku, keputusan hakim

maupun semua perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam hubungan

hukum keperdataan, dan perbuatan hukum publik, maupun para pihak itu

adalah subyek hukum internasional.

Sebagai suatu filsafat, teori keadilan bermartabat menggambarkan

tujuan hukum yang ada di dalam setiap sistem hukum, terutama tujuan

hukum dalam sistem hukum berdasarkan Pancasila. Penekanannya

dilakukan terhadap asas kemanusiaan yang adil dan beradap, yang

mendasari konsepsi memanusiakan manusia; disamping keadilan sosial

dan sila-sila yang lainnya. Teori keadilan bermartabat juaga menjelaskan

35Ibid., h. 171 36 Ibid,

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14701/1/T2_322014020 _BAB I... · Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 139 . 4

28

tujuan hukum dalam pengertian keadilan, kepastian, dan kemanfaatan

yang ada dalam setiap asas dan kaidah hukum yang saling berkaitan satu

sama yang lain di dalam sistem tersebut. Keadilan bermartabat

berpendirian bahwa baik keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum

adalah merupakan satu kesatuan yang terhimpun di dalam keadilan. 37

Suatu hal yang relevan dengan konsep martabat dalam teori

keadilan bermartabat adalah preposisi bahwa, suatu refleksi dilakukan

atau dikerjakan secara penuh kesadaran dan aktif dari, oleh dan untuk

manusia dan/atau masyarakat (the spectators) itu sendiri. Sekalipun,

dalam hal penilaian atas hasil refleksi, sebagai umpan balik (feedback)

masih ada satu syarat yang penting. Syarat penting itu, yaitu bahwa

refleksi dimaksud harus obyektif. Dimaksudkan obyektif dan dilawankan

dengan sifat subyektif adalah bahwa penilaian itu datang dari manusia

dan/atau masyarakat yang lain atau benda yang diamati; datang dari luar

diri manusia dan/atau masyarakat yang mengamati; tetapi merupakan

bagian dari masyarakat itu.38

Lebih lanjut keadilan bermartabat menurut Teguh Prasetyo dalam

hukum positif sebagai suatu sistem dipandang tersusun dengan struktur

yang berisi tiga komponen sub sistem tertentu. Dimaksudkan dengan

tertentu adalah memiliki identitas dan batas-batas yang relatif jelas saling

berkaitan. Adapun unsur-unsur sebagai berikut. Unsur pertama disebut

dengan unsur idiil. Unsur idiil meliputi seluruh aturan, kaidah, pranata

37 Ibid., h. 52 38 Ibid., h. 55

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14701/1/T2_322014020 _BAB I... · Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 139 . 4

29

dan asas hukum. Semua unsur ideal ini dalam konsep sistem dikenal

dengan sistem makna atau sistem lambang, simbulisasi atau sistem

prefensi. Mengingat prefensi itu berada di dalam suatu sistem hukum

makna sistem pemaknaan itu disebut dengan sistem makna yuridik.

Aturan adalah lambang yang memberikan kesatuan dan makna

pada kenyataan majemuk dari perilaku manusia dan masyarakat.

Lambang yang diwakili oleh aturan-aturan itu maka individu dan

masyarakat akan dapat mengerti dan memahami kemajemukan perilaku

individu dan masyarakat.

Selanjutnya, unsur kedua, disebut dengan unsur operasional.

Unsur kedua dalam sistem hukum ini mencakup keseluruhan organisasi,

lembaga dan pejabat. Pada tataran kenegaraan, unsur ini meliputi badan-

badan pemerintahan yang menjalankan fungsi-fungsi eksekutif, legistif,

dan yudikatif dengan aparatnya masing-masing. Secara teknis yuridis

kesemua unsur ini disebut dengan para pihak dalam hubungan hukum.

Pihak adalah pengemban hak-hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum

yang berlaku di dalam sistem hukum. Dimaksudkan dengan aparat

sebagaimana makna yuridis di atas adalah birokrasi pemerintahan seperti

penyidik pegawai negeri sipil atau pejabat yang memberikan perijinan,

pengadilan yang diisi oleh para hakim, kejaksaan dengan misalnya

keberadaan penuntut umum, kepolisian dengan pejabat peyidik advokat,

konsulat, notaris, dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang diisi

oleh para aktivis.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14701/1/T2_322014020 _BAB I... · Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 139 . 4

30

Unsur yang ketiga dalam sistem hukum sebagaimana dipahami di

atas dan juga penting diperhatikan dalam teori keadilan bermartabat ini

yaitu unsur aktual yang mencakup keseluruhan keputusan dan tindakan

(perilaku) baik itu perilaku para pejabat maupun para warga masyarakat,

sejauh keputusan dan tindakan itu berkaitan atau dapat ditempatkan

dalam kerangka sistem mana yuridis sebagaimana dimaksud di atas.

Keseluruhan keputusan primer untuk diperhatikan adalah berupa

Undang-Undang dan Keputusan-Keputusan pengadilan yang mempunyai

kekuatan hukum tetap.39

3. Teori Pemidanaan

Secara tradisional, teori-teori pemidanaan pada umumnya dapat

dibagi dalam dua kelompok teori, yaitu

a. Teori Absolut atau teori pembalasan (retributive/vergeldings

theorieen)

b. Teori Relatif atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorieen)

Menurut teori absolut, pidana dijatuhkan semata-mata karena

orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia

peccatum est). pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai

suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi, dasar

pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan

itu sendiri.

39 Ibid., h. 172-174

Page 31: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14701/1/T2_322014020 _BAB I... · Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 139 . 4

31

Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat dengan jelas

dalam pendapat Immanuel Kant bahwa “Pidana tidak pernah

dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan

tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi

masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang

yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan. Bahkan walaupun

seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya

sendiri (membubarkan masyarakatnya) pembunuh terakhir yang masih

berada di dalam penjara harus dipidana mati sebelum resolusi/keputusan

pembubaran masyarakat itu dilaksanakan. Hal ini harus dilakukan karena

setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari perbuatannya dan

perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarakat,

karena apabila tidak demikian mereka semua dapat dipandang sebagai

orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan

pelanggaran terhadap keadilan umum40”.

Menurut Nigel Walker, para penganut teori retributif ini dapat

pula dibagi dalam beberapa golongan sebagai berikut :41

a. Penganut teori retributif yang murni (The pure retributivist) yang

berpendapat bahwa pidana harus cocok atau sepadan dengan

kesalahan si pembuat

b. Penganut teori retributif tidak murni (dengan modifikasi) yang dapat

pula dibagi dalam:

1) Penganut teori retributif tidak murni (the limiting retributivist)

yang berpendapat bahwa pidana tidak harus cocok/sepadan

dengan kesalahan, hanya saja tidak boleh melebihi batas yang

cocok/sepadan dengan kesalahan terdakwa.

40 Pompe. WPJ., Handboek van het Nedelands Strafrecht, NV Uitgeversmaatchapij

WEJ, Tjeenkwillinmk. Zwolle. 1959. h. 62 41 Ibid. hal. 64

Page 32: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14701/1/T2_322014020 _BAB I... · Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 139 . 4

32

2) Penganut teori retributis yang distributif (Retribution in

distribution) atau disingkat dengan teori distributif yang

berpendapat bahwa pidana janganlah dikenakan pada orang

yang tidak bersalah, tetapi pidana juga tidak harus

cocok/sepadan dan dibatasi oleh kesalahan. Prinsip tiada pidana

tanpa kesalahan dihormati tetapi dimungkinkan adanya

pengecualian midalnya dalam hal “strict liability”.

Perkataan pidana identik dengan hukuman, tetapi berdasarkan

persepsi sebagian masyarakat yang memberi makna seolah-olah pidana

tersebut identik dengan pidana penjara, maka untuk mencegah pengertian

yang keliru dipergunakan istilah penghukuman.42 Menurut Van Hamel,

(dalam Lamintang), arti pidana atau straf, adalah:43

“Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan

oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas

nama Negara sebagai penanggung jawab dan ketertiban hukum

umum bagi seseorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang

tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum harus ditegakkan

oIeh Negara”.

Menurut Muladi, dalam pidana mengandung unsur-unsur atau

ciri-ciri sebagai berikut44 :

a. Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan

atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.

b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang

mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang).

c. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak

pidana menurut Undang-undang

Ketiga unsur tersebut pada umumnya terlihat dari definisi-definisi

di atas, namun Alf Ross menambahkan bahwa pidana itu harus juga

merupakan pernyataan pencelaan terhadap diri di pelaku. Pernyataan ini

42 Leden Marpaung. Op,Cit., h. 138 43 F. Lamintang, Op.Cit, h. 47 44 Muladi dan Barda Nawawi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung,

2005, h. 4

Page 33: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14701/1/T2_322014020 _BAB I... · Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 139 . 4

33

dimaksudkan untuk membedakan secara jelas antara pidana dengan

tindakan perlakuan (treatment).

Menurut Alf Ross, ‘concept of punishment’ bertolak pada dua

syarat atau tujuan, yaitu:

a. Pidana ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap orang yang

bersangkutan (Punishment is aimed at inflecting suffering upon the

person upon whom it is imposed).

b. Pidana itu merupakan suatu pernyataan pencelaan terhadap

perbuatan si pelaku (the punishment is an expression disapproval of

the action for which it is impossed).

Dengan demikian, menurut Alf Ross tidaklah dapat dipandang

sebagai ‘punishment’ hal-hal sebagai berikut:45

a. Tindakan-tindakan yang bertujuan pengenaan penderitaan tetapi

tidak merupakan pernyataan pencelaan, misalnya pemberian electric

shock, pada binatang dalam suatu penelitian agar tingkah lakunya

dapat diamati atau dikontrol.

b. Tindakan-tindakan yang merupakan pernyataan pencelaan tetapi

tidak dimaksudkan untuk mengenakan penderitaan. Misalnya

teguran, peringatan atau penyingkiran oleh masyarakat.

c. Tindakan-tindakan yang disamping tidak dimaksudkan untuk

mengenakan penderitaan, juga tidak merupakan pernyataan

pencelaan. Misalnya langkah-langkah yang diambil untuk mendidik

atau merawat/mengobati seseorang untuk membuatnya tidak

berbahaya bagi masyarakat atau tindakan dokter gigi yang mencabut

gigi seorang pasien.

Menurut Alf Ross perbedaan antara ‘punishment’ dan ‘treatment’

tidak didasarkan pada ada tidaknya unsur pertama (unsur penderitaan),

tetapi harus didasarkan pada ada tidaknya unsur kedua (unsur pencelaan).

Barda Nawawi Arief, menyatakan bahwa pokok-pokok pikiran

yang terkandung dalam perumusan tujuan pemidanaan adalah : 46

45 Ibid. hlm. 5

Page 34: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14701/1/T2_322014020 _BAB I... · Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 139 . 4

34

a. Pada hakikatnya Undang-Undang merupakan sistem hukum yang

bertujuan sehingga dirumuskan pidana dan aturan pemidanaan dalam

Undang-Undang, pada hakikatnya hanya merupakan sarana untuk

mencapai tujuan;

b. Dilihat secara fungsional operasional, pemidanaan merupakan suatu

rangkaian proses dan kebijakan yang konkretisasinya sengaja

direncanakan melalui tiga tahap. Agar ada keterjalinan dan

keterpaduan antara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem

pemidanaan, maka dirumuskan tujuan pemidanaan;

c. Perumusan tujuan pemidanaan dimaksudkan sebagai “fungsi

pengendalian kontrol” dan sekaligus memberikan landasan filosofis,

dasar rasionalitas dan motivasi pemidanaan yang jelas dan terarah.

Mengingat pentingnya tujuan pidana sebagai pedoman dalam

memberikan atau menjatuhkan pidana maka di dalam Konsep Rancangan

Buku I KUHP Nasional yang disusun oleh LPHN pada tahun 1972

dirumuskan dalam Pasal 2 sebagai berikut.47

a. Maksud tujuan pemidanaan ialah:

1) Mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman

negara, masyarakat dan penduduk;

2) Membimbing agar terpidana insaf dan menjadi anggota

masyarakat yang berbudi baik dan berguna;

3) Menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana.

b. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak

diperkenankan merendahkan martabat manusia.

c. Pemidanaan bertujuan untuk:

1) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan

norma hukum demi pengayoman masyarakat;

2) Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian

menjadikannya orang yang baik dan berguna, serta mampu

untuk hidup bermasyarakat;

3) Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

d. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak

diperkenankan merendahkan martabat manusia.

46 Barda Nawawi Arief dalam Zainal Abidin, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan

dalam Rancangan KUHP(Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri 3), ELSAM, Jakarta, 2005,

hl. 6 47 Ibid. h. 25

Page 35: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14701/1/T2_322014020 _BAB I... · Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 139 . 4

35

H. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan adalah pendekatan perundang-undangan

(statue Approach)48 yaitu pendekatan menggunakan Pasal-Pasal yang

terdapat dalam peraturan perundang-undangan seperti Pasal-Pasal yang

ada dalam KUHP dan KUHAP, namun peneliti juga tidak hanya melihat

kepada bentuk perundang-undangan saja, melainkan juga menelaah

materi-materi muatan yang ada di dalamnya.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

pendekatan Yuridis Normatif yakni pendekatan terhadap masalah dengan

melihat norma-norma/ketentuan hukum yang berlaku yang berhubungan

dengan penelitian mengenai pertimbangan hakim dalam putusan tindak

pidana korupsi berdasarkan tujuan pemidanaan.

Selain itu peneliti juga menggunakan pendekatan kasus (Case

Approach) yang dikaitkan dengan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

Nomor: 54/PID.B./TPK/2012/PN.JKT.PST, Putusan Pengadilan Tinggi

Jakarta Nomor 11/PID/TPK/2013/PT.DKI. dan Putusan Mahkamah

Agung Republik Indonesia Nomor Nomor 1616 K/Pid.Sus/2013.

2. Karakteristik Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif dan penelitian preskriptif.

Bersifat deskriptif adalah suatu penelitian yang dimaksud untuk

memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau

48 Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media Group, Jakarta,

2006. h. 96

Page 36: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14701/1/T2_322014020 _BAB I... · Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 139 . 4

36

gejala-gejala lainnya. Maksudnya adalah terutama mempertegas

hipotesa-hipotesa agar dapat membantu memperkuat teori-teori lama atau

di dalam kerangka penyusunan kerangka baru49.

Berdasarkan pengertian di atas metode penelitian jenis ini

dimaksudkan untuk menggambarkan semua data yang diperoleh yang

berkaitan dengan pertimbangan hakim di dalam pemidanaan terhadap

Terdakwa Tindak Pidana Korupsi dalam Putusan Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat Nomor .54/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST, Putusan

Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 11/PID/TPK/2013/PT.DKI dan

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor Nomor 1616

K/Pid.Sus/2013.

3. Sumber dan Jenis Bahan Hukum

Dalam penelitian hukum ini penulis menggunakan sumber Data

Sekunder. Pengertian data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi

kepustakaan yakni dari buku-buku, dokumen-dokumen, dan peraturan

perundang-undangan khususnya yang berkaitan dengan penelitian hukum

penulis.

Sumber-sumber penelitian hukum terdiri atas dasar bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder dan bahan non hukum.

a. Bahan hukum primer50 merupakan bahan hukum yang bersifat

autoritatif, artinya mempunyai otoritas, dalam penelitian ini yang

menjadi bahan hukum primer adalah :

49 Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press, Jakarta, 2001, h. 10

Page 37: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14701/1/T2_322014020 _BAB I... · Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 139 . 4

37

1) KUHP;

2) KUHAP;

3) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah

dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

4) Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor

54/PID.B./TPK/2012/PN.JKT.PST;

5) Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor

11/PID/TPK/2013/PT.DKI;

6) Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor Nomor

1616 K/Pid.Sus/2013.

b. Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang

bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi meliputi yang

digunakan adalah berupa buku, jurnal-jurnal hukum berkaitan.

1) Buku-buku teks.

2) Jurnal-jurnal hukum berkaitan dengan permasalahan yang akan

diteliti.

3) Dokumen-dokumen.

c. Bahan non hukum berupa bahan yang diperoleh selain bahan hukum.

50 Peter Mahmud Marzuki. Op.Cit, h. 141

Page 38: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14701/1/T2_322014020 _BAB I... · Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 139 . 4

38

4. Pengumpulan Bahan Penelitian

Untuk data yang lengkap dan relevan dengan pokok-pokok

masalah yang akan dibahas, maka dalam pengumpulan data ini dilakukan

dengan cara sebagai berikut:

a. Studi Dokumen

Mengambil data dari perundang-undangan yang berlaku

yakni Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana serta dikaitkan dengan Undang-undang Nomor

31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Putusan

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor

54/PID.B./TPK/2012/PN.JKT.PST, Putusan Pengadilan Tinggi

Jakarta Nomor 11/PID/TPK/2013/PT.DKI.dan Putusan Mahkamah

Agung Republik Indonesia Nomor Nomor 1616 K/Pid.Sus/2013.

b. Studi Kepustakaan

Mengambil data dari buku-buku teks yang berhubungan

dengan pertimbangan hakim dalam pemidanaan terhadap Terdakwa

Tindak Pidana Korupsi di dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat Nomor .54/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST, Putusan

Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 11/PID/TPK/2013/PT.DKI dan

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor Nomor 1616

K/Pid.Sus/2013.

Page 39: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14701/1/T2_322014020 _BAB I... · Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 139 . 4

39

5. Analisis Bahan Penelitian

Analisa data dilakukan secara kualitatif yang disajikan secara

deskriptif analitis. Sifat deskriptif dari data penelitian ini karena ingin

menggambarkan keadaan hukum ataupun fenomena hukum dari bahan

penelitian yang menyangkut bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder dan bahan hukum tersier, berkaitan dengan pelaksanaan di

dalam prakteknya.

Analisa kualitatif artinya menguraikan data secara bermutu dalam

bentuk kalimat yang teratur, runtut, logis, tidak tumpang tindih dan

selektif, sehingga memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil

analisis. Komprehensif artinya analisis data secara mendalam dari

berbagai aspek sesuai dengan lingkup penelitian. Lengkap artinya tidak

ada bagian yang terlupakan, semuanya sudah masuk dalam analisis.

Analisis data dan interpretasi seperti ini akan menghasilkan produk

penelitian hukum normatif yang bermutu dan sempurna51.

Hasil analisis mampu mengemukakan dan menemukan kategori-

kategori yang berkaitan dengan suatu disiplin, tetapi juga dikembangkan

dari suatu kategori yang dikemukakan dan hubungan-hubunganya dengan

data yang didapat. Hasil analisis data tersebut dapat diperlakukan

kesimpulan secara deduktif, yaitu suatu cara berpikir dari hal sifatnya

umum di dasrkan atas fakta-fakta dan gejala kepada sifat yang khusus.

51 Ibid, h. 127

Page 40: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14701/1/T2_322014020 _BAB I... · Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 139 . 4

40

Dengan demikian, teknik analisis data yang dilakukan adalah

analisis hukum. Analisis bahan hukum dilakukan dengan cara deduktif,

yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan di atas dan juga

analisis hukum yaitu menganalisis pertimbangan hakim di dalam

pemidanaan terhadap Terdakwa tindak pidana Korupsi dalam Putusan

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor

.54/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST, Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta

Nomor 11/PID/TPK/2013/PT.DKI dan Putusan Mahkamah Agung

Republik Indonesia Nomor 1616 K/Pid.Sus/2013.

I. Sistematika Penulisan

Bab I Pendahuluan

Dalam bab ini akan dibahas tentang latar belakang penelitian,

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian

penelitian, lan-dasan teori, metode penelitian dan sistematika

penulisan.

Bab II Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka yang menjadi acuan analisia penelitian adalah

mengenai Filosofi Pemidanaan, Tindak Pidana Korupsi,

Pertimbangan Hakim dan Keadilan Bermartabat.

Bab III Hasil Penelitian dan Analisis

Dalam Bab III ini, penulis akan menjelaskan secara rinci mengenai

hasil penelitian yakni 1) Pertimbangan hakim Mahkamah Agung di

Page 41: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14701/1/T2_322014020 _BAB I... · Tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, h. 139 . 4

41

dalam menjatuhkan putusan pemidanaan tindak pidana korupsi

dalam Putusan Nomor 1616 K/Pid.Sus/2013 dikaitkan dengan

tujuan pemidanaan dan 2) Analisis terhadap pertimbangan hakim

Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 1616 K/Pid.Sus/2013

yang menjatuhkan pidana lebih berat dari putusan peradilan di

bawahnya dikaitkan dengan tujuan pemidanaan

Bab IV Penutup

Pada Bab IV ini akan dipaparkan mengenai kesimpulan dari

analisis dan saran atau masukan mengenai pertimbangan-

pertimbangan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi di

dalam Putusan Nomor 1616 K/Pid.Sus/2013 yang menjatuhkan

pidana lebih berat dari putusan peradilan di bawahnya.