bab i pendahuluan a. latar belakang - …aidsindonesia.or.id/repo/gayabahasahiv-fibui.pdf · b....
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Orang dengan HIV/AIDS atau biasa dikenal sebagai ODHIV dihadapkan kepada
polemik yang berkepanjangan dalam hidupnya. Selain harus berjuang melawan penyakit
yang diderita, pasien juga mendapatkan stigma negatif dan perilaku diskriminatif dari
lingkungan sekitar. Hal ini disebabkan karena masalah HIV/AIDS bukan hanya msalah
kesehatan, namun juga telah menjadi masalah sosial. Hampir 70% penderita adalah
anggota masyarakat yang berusia produktif, sehingga membutuhkan pertolongan supaya
tidak menjadi beban keluarga dan masyarakat (www.sinarharapan.com, 2009).
Menurut laporan UNDP, ODHIV sebagai individu tidak bisa dilepaskan dari
konteks keluarga, komunitas, dan masyarakat yang lebih luas. Norma, nilai, prasangka,
kondisi sosial ekonomi, serta politik memiliki peranan besar dan signifikan terhadap
penciptaan stigma bagi para ODHIV di seluruh penjuru dunia (Ivkovich, 2007).
Kesalahpahaman atau kurang lengkapnya pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS
seringkali berdampak pada stigmatisasi (prasangka buruk) terhadap ODHIV. Stigma pada
ODHIV yang paling sering dikenakan adalah stigma sebagai pendosa dan tidak bermoral.
Padahal, HIV/AIDS saat ini telah merambah tidak hanya individu yang sering melakukan
perilaku seks tidak aman, tetapi juga ibu rumah tangga dan bayi tidak berdosa.
Berbagai pencitraan negatif dan hujatan, tidak diterima bekerja di instansi
manapun bila seseorang diketahui sebagai ODHIV, terancam dikucilkan dari teman,
keluarga dan masyarakat, desakan agar ODHIV dikarantina, hingga ancaman fisik seperti
diusir dan disingkirkan dari tempat tinggalnya, merupakan bentuk stigma yang diterima
ODHIV. Padahal, dengan menghujat, mengisolasi dan atau mengasingkan ODHIV,
secara tak langsung kita memberi beban ganda (double burden) pada penderita.
Bahkan, tak jarang ODHIV dicap sebagai orang yang "kotor" karena telah
"melanggar aturan", "tidak taat" beragama, orang-orang yang "dikutuk" Tuhan dan
pendapat lainnya yang relatif sulit dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Stigma
masyarakat yang selalu negatif, membuat beban penderitaan kian berat dan terakumulasi
hingga membuat mereka semakin terpojok, putus asa, pesimistis dalam menjalani hidup.
2
Realita di lapangan tersebut menyebabkan upaya pencegahan HIV/AIDS di Indonesia
masih sulit mencapai hasil yang memuaskan (Kompas, 28 Agustus 2008). Hal ini
mengakibatkan laju pertumbuhan kasus HIV/AIDS di tanah air terus meningkat dalam
beberapa tahun terakhir. Indonesia dianggap sebagai salah satu negara dengan laju
pertumbuhan angka HIV/AIDS yang tercepat di Asia Tenggara.
Grafik jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia belum berhasil diubah secara
bermakna, karena masih menunjukkan kecenderungan meningkat secara tajam meski
program penanggulangan HI V/AIDS telah dilakukan intensif dan telah menunjukkan
hasil menggembirakan. Di sisi lain, pemerintah terkesan kurang tanggap terhadap
perlakuan diskriminatif terhadap ODHIV ini. Pemerintah seharusnya dapat membuat
kebijakan komunikasi kesehatan yang mendukung pereduksian stigmatisasi ODHIV.
Pengkomukasian kebijakan penanggulangan HIV/AIDS selayaknya menggunakan bahasa
yang mengandung nilai-nilai humanisme yaitu: anti-diskriminasi, anti-stigmatisasi, tidak
sensasional, serta tidak eksploitatif. Dengan demikian, pemberitaan media massa yang
sering mengutip bahasa kebijakan pemerintah, juga tidak semakin menyudutkan para
ODHIV. Kebijakan komunikasi kesehatan penanggulangan HIV/AIDS masih ditandai
dengan ketimpangan dan ketidakadilan bagi para ODHIV di Indonesia.
Respons positif dan akomodatif dari pemerintah dan stakeholders lain dalam
penanggulangan HIV/AIDS tidak hanya merupakan kepentingan Indonesia, tapi juga
merupakan kepentingan global. Sejak lebih dari 10 tahun lalu, pemerintah telah
membentuk Komisi Penanggulangan AIDS dari pusat sampai daerah di seluruh provinsi
dan kabupaten/kota. Pemerintah juga telah mengarahkan kepada Pemda untuk
mengalokasikan dana APBD khusus untuk Komite Penanggulangan AIDS Daerah
(KPAD) dalam upaya penanggulangan AIDS. Namun sampai dengan saat ini, upaya
pengurangan stigmatisasi terhadap ODHIV dikategorikan belum berhasil, karena
masyarakat masih memarjinalkan ODHIV mulai dari aspek religi, sosial, ekonomi,
budaya, dan politik.
B. Pertanyaan Penelitian
Dalam menghadapi epidemi HIV/AIDS yang semakin meningkat di Indonesia,
dibutuhkan kerangka kebijakan yang komprehensif. Salah satunya adalah
3
mengembangkan kebijakan komunikasi kesehatan yang humanis, populis, dan berpihak
kepada ODHIV. Sebagai bagian dari proses komunikasi, kegiatan komunikasi kesehatan
menyaratkan adanya kesediaan pemangku kepentingan untuk mendengar informasi yang
diutarakan masyarakat melalui caranya sendiri yang khas dan tidak tunggal. Diperlukan
kearifan pemerintah untuk menangkap simbol dan cara komunikasi yang digunakan
masyarakat dalam menyampaikan pesan kesehatan yang melingkupi aneka permasalahan
sampai kebutuhan kesehatan masyarakat.
Kebijakan komunikasi kesehatan seharusnya menggunakan bahasa yang bersifat
mendukung pengentasan sebuah penyakit secara keseluruhan, dan tidak memposisikan
penderita sebagai obyek yang bersalah. Kebijakan komunikasi kesehatan tidak bisa
menggunakan model komunikasi satu arah, serta gaya bahasa penyampaian yang
diametral dan kontraproduktif. Gaya bahasa seperti ini hanya akan menyebabkan
komunikasi berjalan tidak efektif, sehingga tercipta stigmatisasi yang akan menghambat
penanggulangan HIV/AIDS di seluruh wilayah Indonesia. Berkaitan dengan
permasalahan tersebut, penelitian ini mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1. Apakah gaya bahasa yang digunakan dalam kebijakan legal-formal
penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia mulai dari kebijakan di tingkat pusat,
provinsi dan kabupaten/kota kepada masyarakat telah memuat nilai-nilai
humanisme?
2. Apakah dalam materi kebijakan tersebut juga memperhatikan aspek-aspek
komunikasi kesehatan sehingga dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman
yang tepat mengenai HIV/AIDS dan ODHIV pada masyarakat?
3. Bagaimana hubungan antara pemilihan gaya bahasa dan pengkomunikasian
kebijakan tersebut ketika diimplementasikan dengan munculnya stigmatisasi bagi
ODHIV di wilayah yang menjadi obyek penelitian?
4. Bagaimanakah rancangan yang tepat untuk pemilihan gaya bahasa kebijakan
penanggulangan HIV/AIDS serta bahasa materi produk kebijakan seperti program
supaya dapat membentuk pemahaman yang tepat dan positif mengenai ODHIV di
kalangan masyarakat Indonesia?
4
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian dengan fokus pada kebijakan penanggulangan
HIV/AIDS, terutama yang berkaitan dengan stigmatisasi ODHIV. Pada penelitian ini
juga dianalisis proses implementasi kebijakan kesehatan tersebut dengan alat analisis
konsep komunikasi kesehatan. Dengan demikian penekanan penelitian ini adalah kepada
kebijakan legal yang disusun dalam bentuk Peraturan Daerah, Instruksi Kepala Daerah
dan sejenisnya. Selanjutnya juga dianalisis produk kebijakan atau keputusan sebagai
bentuk penjabaran dari kebijakan tersebut, misalnya program yang disusun oleh Dinas
Kesehatan. Penelitian ini memiliki pembatasan yaitu hanya menganalisis kebijakan serta
produk derivatif dari kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah yang terlibat
dalam kegiatan penanggulangan HIV/AIDS di sebuah wilayah. Jadi penelitian ini hanya
akan mengkaji dan menganalisis materi mulai dari kebijakan formal sampai dengan
kegiatan penyuluhan atau kampanye program, namun tidak sampai pada tahap teknik dan
cara memberikan penyuluhan.
Secara khusus ada 3 (tiga) tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Memberikan gambaran komprehensif mengenai pemilihan gaya bahasa dalam
penyusunan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS, terutama yang berkaitan
dengan ODHIV. Selain itu juga untuk memberikan gambaran mengenai proses
implementasi kebijakan dengan menggunakan perspektif komunikasi kesehatan.
2. Menganalisis hubungan antara pemilihan gaya bahasa dalam sebuah kebijakan
penanggulangan HIV/AIDS terhadap munculnya stigmatisasi pada ODHIV dalam
proses pengkomunikasian kebijakan melalui implementasi kebijakan
3. Memberikan output berupa rancangan kebijakan yang humanis pro-ODHIV
berdasarkan hasil evaluasi terhadap gaya bahasa kebijakan dan komunikasi
kesehatan yang diteliti kepada stakeholders primer pada kebijakan
penanggulangan HIV/AIDS
D. Justifikasi Penelitian dan Implikasi Kebijakan
Pemilihan gaya bahasa yang tepat merupakan salah satu kunci keberhasilan
dakam kebijakan komunikasi kesehatan. Penelitian ini akan menganalisis stigmatisasi
dari perspektif linguistik, yakni ilmu yang mempelajari bahasa dengan penekanan kepada
5
studi makna atau semantik. Dengan menganalisis gaya bahasa serta makna yang
dimilikinya, diharapkan dapat diperoleh penjelasan yang komprehensif terhadap
penyebab munculnya stigmatisasi dalam implementasi kebijakan penanggulangan
HIV/AIDS. Stigmatisasi dapat muncul akibat adanya perbedaan interpretasi dan
pemaknaan terhadap pesan-pesan yang disampaikan oleh pemangku kepentingan. Hasil
analisis terhadap kondisi tersebut dapat memberikan masukan sebagai bahan untuk
penyusunan rancangan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS di daerah yang menjadi
obyek penelitian. Tujuannya adalah supaya dapat disusun sebagai kebijakan komunikasi
kesehatan yang bersifat humanis, berempati kepada penderita, produktif, dan adil oleh
para stakeholders.
E. Jadwal Penelitian
Penelitian ini berlangsung selama kurang lebih enam bulan mulai dari bulan Juli
sampai dengan bulan Desember 2009. Rincian jadwal kegiatan terlampir pada lampiran
1.
6
BAB II
TINJAUAN TEORI DAN METODE PENELITIAN
A. Tinjauan Teori
Penelitian ini termasuk dalam ranah penelitian kebijakan (research policy) dengan
menggunakan pendekatan interpretif atau realisme dengan metode kualitatif. Fokus
penelitian ini adalah kebijakan pemerintah daerah tentang pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS. Secara khusus akan dianalisis materi kebijakan yang
berkaitan dengan stigma pada ODHIV dan nilai-nilai humanisme yang terkandung dalam
kebijakan pemerintah daerah tentang pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS.
Pada bagian berikut dipaparkan dan dijelaskan beberapa teori dan konsep yang digunakan
dalam studi ini.
1. Kebijakan Kesehatan
Kebijakan kesehatan merupakan salah satu bentuk dari kebijakan publik (public
policy). Secara umum kebijakan publik didefinisikan sebagai Serangkaian perencanaan
yang sengaja dibuat untuk dilaksanakan sebagai panduan bagi keputusan-keputusan
(decisions) untuk mencapai hasil-hasil yang rasional bagi kepentingan publik (Dye,
1987).
Kebijakan kesehatan didefinisikan sebagai serangkaian program dan tindakan
yang memiliki tujuan untuk meningkatkan kondisi kesehatan masyarakat
Ada 2 (dua) dimensi kebijakan kesehatan menurut Peyvand Khaleghian dan Monica Das
Gupta (2004) yaitu:
1. Pelayanan kesehatan publik (public health services) yaitu jenis pelayanan yang
ditujukan secara langsung kepada publik antara lain imunisasi, pengobatan,
penyuluhan dan sebagainya.
2. Fungsi kesehatan publik (public health functions) yaitu berkaitan dengan
kebijakan yang lebih luas dalam sektor kesehatan antara lain, pembuatan dan
implementasi kebijakan, pendidikan kesehatan, pengawasan (surveillance)
penyakit dan kegiatan-kegiatan lain.
7
Kebijakan kesehatan harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
berkelanjutan (sustained), efisiensi (efficiency), kesamarataan (equity), dan
keefektivitasan (effectiveness) dalam sektor kesehatan dalam setiap penyusunan skala
prioritas.
Kebijakan kesehatan merupakan sebuah sistem yakni suatu rangkaian dari
beberapa komponen yang saling terkait, dan bukan komponen yang berdiri sendiri-
sendiri.
Menurut Dunn (1987), sistem kebijakan terdiri atas tiga komponen, yaitu:
1. Komponen pertama, kebijakan publik merupakan isi kebijakan itu sendiri (policy
content) yang terdiri dari sejumlah daftar pilihan keputusan tentang urusan publik
(termasuk keputusan untuk tidak melakukan tindakan apa-apa) yang dibuat oleh
lembaga dan pejabat pemerintah. Isi sebuah kebijakan merespon berbagai
masalah publik (public issues) yang mencakup berbagai bidang kehidupan mulai
dari pertahanan, keamanan, energi, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan
lain-lain.
Secara umum kebijakan dituangkan dalam bentuk dokumen tertulis yang
memiliki standar isi sebagai berikut: pernyataan tujuan yakni mengapa kebijakan
tersebut dibuat dan apa dampak yang diharapkan; ruang lingkup yaitu
menerangkan siapa saja yang tercakup dalam kebijakan dan tindakan-tindakan
apa yang dipengaruhi oleh kebijakan; durasi waktu yang efektif yang
mengindikasikan kapan kebijakan mulai diberlakukan; bagian
pertanggungjawaban yang mengindikasikan di mana individu atau organisasi
bertanggung jawab dalam melaksanakan kebijakan, artinya dengan
mencantumkan secara jelas tanggung jawab semua pihak.
Selain itu juga memuat pernyataan kebijakan yang mengindikasikan aturan-aturan
khusus atau modifikasi aturan terhadap perilaku organisasi yang membuat
kebijakan tersebut jika menemui kendala-kendala tertentu; latar belakang yang
mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan kebijakan tersebut, yang kadang-
kadang disebut sebagai faktor-faktor motivasional tersebut untuk saat ini serta
definisi yang menyediakan secara jelas dan tidak ambigu mengenai definisi bagi
istilah dan konsep dalam dokumen kebijakan. Artinya istilah-istilah medis atau
8
teknis kesehatan harus diikuti dengan penjelasan umum dan detail, sehingga
setiap tenaga kesehatan dan pihak terkait dapat memahami dengan jelas kebijakan
tersebut.
2. Stakeholder kebijakan (policy stakeholder) yaitu individu atau kelompok yang
berkaitan langsung dengan sebuah kebijakan yang dapat mempengaruhi atau
dipengaruhi oleh keputusan atau kebijakan tersebut.
3. Lingkungan kebijakan (policy environment), yaitu konteks khusus di mana
sebuah kebijakan terjadi, yang berpengaruh dan dipengaruhi oleh stakeholder
kebijakan dan kebijakan publik itu sendiri. Lingkungan kebijakan ini akan
menentukan apakah sebuah kebijakan publik bisa dilaksanakan dengan dukungan
atau penolakan dari para pelaksana atau sasaran kebijakan tersebut.
2. Stigma
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memberikan definisi stigma sebagai ciri
negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya; tanda.
Secara etimologis, stigma sendiri berasal dari bahasa Latin stigmat yang berarti tanda.
Erving Goffman (1963) mendeskrispsikan stigma sebagai: ‖an atribute that is
deeply discrediting, transforming the affected individual into a discredited person.―
Definisi stigma terus berkembang dan direkonseptualisasikan semenjak publikasi oleh
Goffman yang dilakukan oleh Goffman. Stigma dapat dibagi ke dalam dua bentuk yaitu
apa yang dirasakan dan yang ditetapkan (Jacoby, 1994: Malcolm, et.al, 1998).
Stigma merupakan proses pendikotomisasian ke dalam bentuk instrumental dan
ekspresif, di mana seorang individu mungkin menerima orang lain secara negatif, tapi
mungkin hanya bertindak menurut prasangkanya di bawah keadaan tertentu (Herek and
Citanio, 1998). Proses yang menyebabkan terjadinya stigma digambarkan sebagai upaya
mempertahankan hirarki kekuasaan, ekonomi, dan sosial (Link and Phelan, 2001). Dalam
proses selanjutnya, stigma lebih diterima pada tingkat komunitas, institusi, dan level
kebijakan, daripada perilaku atau tindakan oleh seorang individu (parker and Aggleton,
2002).
Pada bagian lain Kidd dan Clay (2003) menyatakan bahwa stigma merupakan
proses penciptaan dan reproduksi relasi kekuasaan yang tidak sama atau setara, di mana
9
perilaku negatif mengarah kepada sekelompok orang, dengan dasar atribut tertentu
seperti status HIV, gender, seksualitas atau perilaku yang diciptakan dan dipertahankan
untuk melegitimasi kelompok-kelompok yang dominan dalam masyarakat. Stigma akan
menghasilkan diskriminasi, sebagai bentuk perbedaan yang sewenang-wenang, perilaku
ekslusi, pembatasan, di mana tindakan atau perlakuan berdasarkan sifat yang
terstigmatisasi.
Berkaitan dengan bahasa kebijakan pencegahan dan penanggulangan HIV dan
AIDS, UNAIDS dalam terbitan yang berjudul HIV-Related Stigma, Discrimination, and
Human Rights Violation: Case Studies of Successful Programmes (2005) menyebutkan
bahwa stigma diekspresikan lewat bahasa. Lebih lanjut:
‖Since the beginning of the epidemic, the powerful metaphors associating HIV
with death, guilt and punishment, crime, horror and ‗otherness‘ have
compounded and legitimated stigmatization. This kind of language derives from,
and contributes to, another aspect underpinning blame and distancing: people‘s
fear of life-threatening illness. Some fear-based stigma is attributable to people‘s
fear of the outcomes of HIV infection—in particular, the high fatality rates
(especially where treatment is not widely accessible), fear related to transmission,
or fear stemming from witnessing the visible debilitation of advanced AIDS.‖
Epidemi HIV/AIDS telah menciptakan kesempatan-kesempatan baru untuk
pembentukan stigma. Karakteristik penyakit ini adalah sama dengan penyakit lain yang
secara umum juga dapat memunculkan stigma. Ada beberapa kondisi yang menyebabkan
ODHIV lebih mudah mendapatkan stigmatisasi yakni:
1. Penyebab yang dipersepsikan membuat beban tanggung jawab jadi lebih berat,
sekalipun itu sering tidak keadaan yang sebenarnya
2. HIV/AIDS adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3. HIV/AIDS adalah penyakit menular dan dapat membahayakan orang lain
4. Pada beberapa kasus, HIV/AIDS, mudah dikenali gejala-gejalanya seperti
menjadi semakin kurus dan lemah
Selain dari sisi penyakit, stigma dapat disebabkan oleh (Campbell et.al, 2005):
1. Ketakutan karena akan terjadi sesuatu yang membahayakan jika bersentuhan
dengan ODHIV, karena potensi resiko dari HIV/AIDS dan ODHIV itu sendiri
10
2. Informasi yang kurang tepat, kurang jelas, dan kurang lengkap mengenai
HIV/AIDS yang diperoleh individu.
3. Fakta yang menyatakan bahwa HIV/AIDS identik dengan seks, sehingga
berkembang persepsi bahwa HIV/AIDS hanya bisa diderita oleh orang yang telah
melakukan hubungan seks
4. Kemiskinan yang diderita oleh ODHIV, karena banyak yang berasal dari keluarga
miskin.
5. Intensitas diskusi yang masih kurang mengenai HIV/AIDS, padahal ketersediaan
informasi dari berbagai pihak sangat mendukung keberhasilan penanganan
ODHIV. Penderita sendiri kadang kala, tidak percaya diri untuk berdiskusi
dengan konselor dan pihak yang berkompeten, sehingga terjadi misinformasi.
6. Manajemen pelayanan HIV/AIDS yang belum optimal, terutama di daerah
perdesaan. Akibatnya pelayanan kesehatan buat ODHIV tidak maksimal, dan
mereka terpaksa tinggal di rumah.
Stigma dapat dimanifestasikan pada 4 level yaitu:
1. Stigma individual; stigma lebih sering didiskusikan pada level individual. Pada
level ini, ODHIV mendapatkan perlakuan yang berbeda dari teman, anggota
keluarga dan juga individu lainnya yang berinteraksi dengan ODHIV.
2. Keluarga ; di Asia keluarga terinfeksi HIV/AIDS dengan beberapa cara. Oleh
sebab itu sebuah keluarga akan mendiskriminasi keluarga atau individu dalam
sebuah keluarga yang mengidap HIV/AIDS karena adanya ketakutan akan tertular
atau karena mereka malu oleh perilaku ODHIV tersebut.
3. Institusional; stigmatisasi dan diskriminasi terhadap ODHIV umumnya terjadi
pada level institusional.
4. Struktural dan Kebijakan; di beberapa negara Asia kebijakan nasional
mendiskreditkan ODHIV akibat stigma sebagai kelompok dengan resiko tinggi.
3. Komunikasi Kesehatan (Health Communication)
”Mari gunakan komunikasi secara strategis untuk meningkatkan kesehatan!”.
Kalimat ini merupakan kalimat pengantar yang tertera dalam buku Health
11
Communication, Lead Agency: Office of Diseases Prevention and Health Promotion.
Artinya tidak ada jalan lain untuk menyukseskan kesehatan masyarakat, kecuali dengan
memanfaatkan peranan dan jasa komunikasi.
Menurut Schiavo (2007), komunikasi kesehatan merupakan proses untuk
mengadvokasi dan meningkatkan hasil akhir kesehatan individu dan publik. Jadi
komunikasi kesehatan adalah studi dan penggunaan strategi komunikasi untuk
menginformasikan dan mempengaruhi keputusan individu dan komunitas untuk
meningkatkan derajat kesehatannya.
Ada beberapa elemen kunci penting yang tercakup dalam komunikasi kesehatan
yakni sebagai berikut (Schiavo, 2007);
1. Menginformasikan dan mempengaruhi keputusan melalui penggunaan teknik dan
strategi serta teknologi untuk mempengaruhi pihak tertentu
2. Memotivasi individu, karena komunikasi adalah seni dan teknik
menginformasikan, mempengaruhi dan memotivasi individu. Komunikasi
kesehatan yang efektif dapat memotivasi individu, institusi, dan masyarakat luas
mengenai pentingnya isu-isu kesehatan berdasarkan kesadaran etika dan saintifik
3. Perubahan perilaku atau Behavior Change Communication yaitu proses interaktif
dalam mengembangkan pesan dengan menggunakan sejumlah saluran
komunikasi, yang bertujuan untuk mendukung perilaku yang tepat dan positif.
dengan
4. Meningkatkan pemahaman terhadap isu-isu yang berhubungan dengan kesehatan,
sehingga dapat meningkatkan status kesehatan khalayak yang dituju
5. Memberdayakan anggota masyarakat melalui penyediaan informasi dan
pemahaman tentang campur tangan serta masalah kesehatan yang spesifik
6. Pertukaran informasi dan dialog dua arah karena komunikasi adalah proses
kemitraan dan partisipasi yang mengacu kepada konsep dialog dua arah, sehingga
ada pertukaran informasi, ide, teknik dan pengetahuan antara pengirim pesan dan
penerima pesan
12
4. Peninjauan Bidang Semantik
Dalam linguistik—sebagai bagian dari ilmu bahasa—semantik, berasal dari
bahasa Yunani sēmainó (bermakna) dan sēmantikós (yang dimaknai), sehingga semantik
dapat diartikan sebagai ilmu bahasa yang mempelajari makna (Krongauz, 2001). Makna
yang dikaji adalah makna bahasa yang terdapat dalam unsur bahasa itu sendiri: kata,
frase, klausa, kalimat, dan wacana. Makna adalah pertautan yang ada di antara unsur-
unsur bahasa itu sendiri, terutama kata-kata. Makna menurut Palmer (1976) dalam
Djajasudarma (1999) hanya menyangkut intrabahasa. Artinya, mengkaji makna adalah
mengkaji bahasa semata tanpa memperhitungkan unsur lain di luar bahasa yang justru
membentuk kebahasaan. Tetapi, seorang ahli lain, Adrienne Lehrer menyebutkan bahwa
semantik merupakan bidang yang sangat luas. Di dalamnya terlibat unsur-unsur struktur
dan fungsi bahasa yang berkaitan erat dengan psikologi, filsafat, antropologi, serta
sosiologi.
Dalam hal ini, bukan berarti semantik tidak memiliki ruang lingkup kajiannya.
Ruang lingkup semantik berkisar pada hubungan ilmu makna itu sendiri dalam linguistik,
meski faktor non-linguistik ikut mempengaruhi fungsi bahasa yang non-simbolik (emotif
dan afektif). Ecyclopedia Britanica (1965) mendefinisikan semantik sebagai studi suatu
pembeda bahasa dengan hubungan proses mental atau simbolisme dalam aktivitas bicara.
Untuk menyusun kalimat yang dapat dimengerti, sebagian pemakai bahasa dituntut agar
menaati kaidah gramatika, sebagian lagi tunduk pada kaidah pilihan kata (stilistika)
menurut sistem leksikal yang berlaku di dalam suatu bahasa.
Makna sebuah kalimat sering tidak bergantung pada sistem gramatika saja, tetapi
bergantung pada kaidah wacana. Makna sebuah kalimat yang baik pilihan katanya dan
susunan gramatikanya sering tidak dapat dipahami tanpa memperhatikan hubungannya
dengan kalimat lain dalam sebuah wacana. Kenyataan menunjukkan bahwa banyak
kata—sebagai bagian kalimat—dengan bermacam makna bila dihubungkan dengan kata
lain.
Linguistik membatasi diri pada garapan bentuk dan makna, sedangkan acuan
bergantung pada pengalaman penutur bahasa itu sendiri. Semantik lebih menitikberatkan
pada bidang makna dengan berpangkal dari acuan dan bentuk (simbol) Acuan dapat
berupa konkret dan abstrak. Tetapi, kekacauan semantik dapat dihindari apabila prinsip
13
kooperatif (cooperative principle, Kempson 1977 dalam Djajasudarma) ditetapkan, yaitu
meliputi: kuantitas (kata), kualitas (pembicaraan), hubungan (pembicaraan), dan cara
penyampaian yang singkat dan jelas sehingga tidak menimbulkan ketaksaan (ambiguitas).
Mempelajari makna bahasa tidak terlepas dari mempelajari bentuk bahasa itu
sendiri. Bahasa menurut Sturtevant (1947: 2) dalam Masinambow (2004): ”... is a system
of arbitrary vocal symbols by which members of a social group operate and interact.”
Krongauz menandai semantik sebagai hubungan antara yang memaknai dan yang
dimaknai, sehingga dari sini dapat direkonstruksi penerapan makna yang akan
digunakan dalam sebuah teks dan konteks. Selain itu dapat pula ditandai adanya meta
bahasa di dalam makna yang diberikan. Hal ini untuk menguatkan keberadaan makna
yang akan diberikan dalam sebuah teks.
Ferdinand de Saussure menyatakan bahwa tanda terdiri atas bentu fisik plus
konsep mental yang terkait, dan konsep ini merupakan pemahaman atas realitas eksternal.
Tanda terkait pada realitas hanya melalui konsep orang yang menggunakannya. Di
samping itu, Charles Sanders Peirce memiliki cara tersendiri dalam mengkaji makna dan
tanda. Peirce memberikan gambaran untuk memahami tanda, pengguna tanda, dan acuan
tanda:
Tanda
Interpretant Objek
Sumber: John Fiske, Cultural and Communication Studies, 1990
Peirce, sejalan dengan Ogden dan Richards, mengidentifikasi relasi segitiga antara tanda,
pengguna tanda, dan realitas eksternal sebagai suatu keharusan modal untuk mengkaji
makna. Panah dua arah menekankan bahwa msaing-masing istilah dapat dipahami hanya
dalam relasinya dengan yang lain. Sebuah tanda mengacu pada sesuatu di luar dirinya
sendiri—objek, dan ini dipahami oleh seseorang: dan ini memiliki efek di benak
penggunanya, interpretant.
14
Harus diperhatikan bahwa tidak ada hubungan langsung antara kata dan benda
yang diwakilinya; kata melambangkan pikiran atau referensi, yang pada gilirannya
mengacu pada ciri atau peristiwa yang kita bicarakan.
Dengan mempergunakan istilah yang lebih sederhana dari Ullman (1964), yaitu
name, sense, and thing, maka simbol sama dengan name, yaitu bentuk fonetis kata;
referensi sama dengan sense (makna, pengertian atau konsep) ialah informasi yang
disampaikan nama kepada pendengar; dan referen adalah benda, yaitu wujud atau
peristiwa non-linguistik yang kira bicarakan.
Menurut Ullman, Ogden dan Richards hanya memperhatikan pendengar dan
melupakan pembicara dalam teorinya. Bagi pendengar masalahnya akan sama seperti
yang dilukiskan dalam segitiga: jika ia mendengar sebuah kata, akan terpikir olehnya
benda yang diwakili kata itu. Sebaliknya, bagi pembicara, jika ia berpikir tentang sebuah
benda ia akan mengucapkan kata yang mewakili benda itu. Hubungan timbal balik antara
bunyi (sound) dan makna (sense) inilah yang disebut arti (meaning).
5. Peninjauan Bidang Stilistika
Melalui stilistika suatu teks dapat dipahami secara lebih komunikatif. Adanya
penerapan gaya bahasa (stilistika) dalam suatu teks menunjukkan adanya ketepatan dalam
memahami bahasa. Ada beberapa hal penting yang menyangkut ilmu stilistika untuk
menganalisa suatu teks, yang oleh Mucnik (B. S. Mucnik 1997: 465-468) diuraikan
sebagai berikut:
1. Prinsip stilistika dapat menguraikan proses konstruksi teks.
2. Stilistika dapat menjadi pemecahan masalah untuk mengingatkan terhadap
pemahaman yang tidak benar.
3. Pada dasarnya mekanisme dalam stilistika dapat mempermudah pembaca teks
dengan bahasa yang bersangkutan (kesatuan pengertian bagi semua pembaca).
Pemahaman yang berbeda-beda pada suatu masyarakat terhadap suatu teks,
kiranya dapat dijembatani dengan mengarahkannya kepada suatu alur gaya bahasa. Hal
ini dapat dilihat dengan mengamati tingkat kejelasan, ketepatan, kelengkapan, serta logis
tidaknya suatu teks. Pada prakteknya stilistika tidak hanya mempelajari teks dan elemen-
elemennya seperti sinonim, antonim, homonim, rasa emosi, dan lain-lain, namun juga
15
merekonstruksi makna yang ada di dalam teks sesuai dengan pesan yang disampaikan
penulis kepada pembaca (Mucnik, 1997: 10).
5.1. Gaya Bahasa
Seperti dalam proses komunikasi lainnya, dalam kebijakan, terjadi proses
pemilihan yang dilakukan oleh penulis naskah untuk mencapai tujuannya. Misalnya
memilih gaya bahasa yang paling cocok untuk menyampaikan gagasannya.
Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas
yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa) (Keraf, 1984: 113).
Gaya bahasa dapat ditinjau dari segi bahasa dan non-bahasa.
A. Segi non-bahasa: berdasarkan pengarang (gaya Chairil); berdasarkan masa
(gaya klasik); medium gaya (prancis); subjek (gaya filsafat); tempat (gaya
Jakarta); hadirin (gaya Demagog); dan tujuan (gaya Diplomatis).
B. Segi bahasa
Dilihat dari segi bahasa, gaya bahasa dapat dibedakan berdasarkan titik tolah
unsur bahasa yang digunakan:
1. Gaya bahasa berdasarkan pilihan kata
Berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa mempersoalkan kata mana yang
paling tepat dan sesuai untuk posisi tertentu dalam kalimat. Serta tepat
tidaknya penggunaan kata-kata dalam menghadapi situasi tertentu. Dalam
bahasa standar dibedakan gaya bahasa resmi, misalnya amanat
kepresidenan, dan gaya tak tak resmi, misalnya kuliah, gaya bahasa
percakapan.
2. Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat
a. Klimaks: gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali
semakin meningkat kedudukannya dari gagasan sebelumnya dan berakhir pada
gagasan yang peling penting
b. Anti-klimaks: kebalikan dari gaya bahasa klimaks. Jadi gagasan yang
terpenting dikemukakan terlebih dahulu.
c. Repetisi: gaya bahasa berupa perulangan atas kata-kata yang penting untuk
memberi tekanan dalam sebuah konsteks yang sesuai. Kata-kata, frasa atau
16
kelompok kata dapat diulang dalam sebuah kalimat dengan cara berbeda-beda
untuk mencapai efek berlainan
d. Antitesis: gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian
kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk
gramatikal yang sama. Kesejajaran tersebut dapat pula berbentuk anak klaimat
yang tergantung pada induk kalimat yang sama
3. Gaya bahasa berdasarkan nada
Gaya bahasa yang berdasarkan sugesti yang dipancarkan dari rangkaian kata-kata
yang terdapat dalam sebuah wacana.
4. Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna
Gaya bahasa ini disebut trope, yaitu suatu penyimmpangan bahasa secara
evaluatif atau emotif dari bahasa biasa entah dalam ejaan, pembentukan kataa,
konstruksi (kalimat, kalusa, frasa), atau aplikasi sebuah istilah, untuk memperoleh
kejelasan, penekanan, hiasan, humor, atau sesuatu efek lain. Gaya bahasa ini
dibagi dalam dua:
a. Retoris: yang merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk
mencapai efek tertentu. Misalnya, akiterasi, yaitu perulangan konsonan
yang sama, dan asonansi, yaitu perulangan bunyi vocal yang sama
b. Kiasan: yang merupakan penyimpangan yang lebih jauh, khususnya
dalam bidang makna. Gaya bahasa ini berdasarkan perbandingan atau
persamaan. Misalnya, simile, metafora, dan personifikasi
6. Bahasa Hukum
Bahasa Indonesia yang digunakan dalam ranah hukum merupakan laras bahasa
tersendiri, yaitu bahasa hukum Indonesia. Bahasa hukum Indonesia diangap sebagai laras
bahasa tersendiri karena mempunyai ciri-ciri tersendiri, yaitu lugas, eksak, objektif,
memberikan definisi yang cermat, dan tidak beremosi (Badudu, 1996: 3). Bahasa hukum
Indonesia terdapat dalam bentuk lisan dan tulisan (Hadikusuma, 1984: 2). Salah satu
perwujudan bentuk lisan bahasa hukum Indonesia adalah peristiwa tutur di pengadilan.
Perwujudan bentuk tulisan bahasa hukum Indonesia adalah teks-teks hukum seperti
undang-undang, berita acara, putusan pengadilan, dan surat perjanjian (kontrak).
17
Teks hukum harus memenuhi syarat-syarat bahasa hukum Indonesia, yaitu jelas,
lugas, dan cermat sehingga tidak menimbulkan tafsir ganda (Badudu, 1996: 8). Namun
pada kenyataannya, banyak ditemukan masalah dalam teks-teks hukum, misalnya
komposisi kalimat, pengunaan kata yang makna kurang tepat, dan penyususnan paragraf
yang tidak padu (Badudu, 1996: 10).
Bahasa peraturan perundang-undangan adalah bahasa Indonesia yang tunduk pada
kaidah bahasa Indonesia, baik yang menyangkut pembentukan kata, penyusunan kalimat,
maupun pengejaannya. Perancang peraturan perundang-undangan adalah orang yang
tugas dan pekerjaannya merumuskan gagasan-gagasan dalam bentuk tulisan, baik
gagasan tersebut berasal dari dirinya, maupun yang berasal dari penyelenggara negara.
Oleh karena itu, pesan penting terkait dengan bahasa peraturan prundang-undangan
adalah perancangan peraturan perundang-undangan harus:
1. Secermat mungkin untuk memilih kata-kata atau ungkapan agar tidak
menimbulkan pengertian ganda
2. Secermat mungkin menyusun kalimat norma agar yang terkandung di dalamnya
mengandung norma, bukan pernyataan belaka
3. Secermat mungkin menyesuaikan kalimat dan kata-kata yang akan disusun ke
dalam kalimat norma sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar.
4. Secermat mungkin mengatur hal yang memang harus dilaksanakan dengan
menghindari pengaturan delegasian karena ini akan mengakibatkan peraturan
yang dibuat tidak bisa dilaksanakan karena menunggu peraturan pelaksanaannya
dibuat.
Kerangka peraturan perundang-undangan terdiri atas enam bagian:
1. Judul
2. Pembukaan
- frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
- jabatan pembentuk peraturan perudang-undangan
- konsiderans, uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang
dan alasan pembuatan peraturan perundang-undangan
18
- dasar hukum, dasar kewenangan pembuatan peraturan prundang-undangan dan
peraturan perundang-undangan yang memerintahkan pembuatan peraturan perundang-
undangan tersebut
- diktum, yang terdiri atas:
* kata memutuskan
* kata menetapkan
* nama peraturan perundang-undangan
c. Batang tubuh:
- ketentuan umum
- materi pokok yang diatur
- ketentuan pidana
- ketentuan peralihan
- ketentuan penutup
d. Penutup
e. Penjelasan (jika diperlukan)
f. Lampiran (jika diperlukan)
Dalam batang tubuh bagian ketentuan umum terdapat definisi. Kata definisi
berasal dari bahasa Latin, yaitu denifitio yang berarti ’pembatasan’. Atas dasar ini, dapat
dikatakan bahwa tugas definisi ada;ah menentukan batasa pengertian dengan tepat, jelas,
dan singkat (Lanur, 1983: 21).
Secara umum definisi dibagi menjadi dua bagian: definisi nominal dan formal.
Definisi nominal merupakan suatu cara untuk menjelaskan sesuatu dengan menguraikan
arti katanya (lanur, 1983: 21). Definisi formal merupakan definisi yang memperlihatkan
hal/benda yang dibatasinyan dengan cara menyajikan unsur-unsur atau ciri-ciri yang
menyusunnya (Ibid: 23).
Definisi nominal digunakan untuk hal-hal yang sifatnya praktis dengan tujuan
mempermudah pemahaman. Ada beberapa macam definisi nominal, yaitu (a) sinonim,
(b) definisi kamus, (c) etimologi kata, (d) stipulatif/suatu batasan kata yang tidak
ditafsirkan lain, contoh Menteri adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan (e)
antonim.
19
Berbeda dengan definisi nomila yang tidak mempunyai syarat-syarat tertentu
dalam pembuatannya, definisi formal (definisi logis/definisiilmiah/definisi real) dalam
pembuatannya memperhatikan syarat-syarat berikut:
1. Ekuivalen
Definisi yang dibuat harus dapat diuji melalui konverbilitas atau dapat dipertukarkan satu
sama lain antara yang didefinisikan (definiendum) dan yang mendefinisikan (definiens).
Apabila definiendum adalah A dan definiens adalah B, maka A=B dan B=A. Oleh karena
itu luas A dan B haruslah sama (Lanur, 1983: 24).
2. Paralel
Dalam membuat suatu definisi, hindarka adanya penggunaan kata-kata yang mengandung
syarat atau pengadaian dalam definiens, contoh kata jika, kalau, di mana, untuk apa, dan
kepada siapa.
3. Pengulangan kata definiens
Hindari dalanya pengulangan kata yang sama yang ada di dalam definiendum ke dalam
definiens. Kalau pengulangan kata yang sama yang ada di dalam definiendum ke dalam
definiens terjadi, kita jatuh dalam bahaya circulus in definiendo, yang artinya ’sesudah
berputar-putar berapa lamanya, akhirnya kita dibawa kembali ke titik pangkal oleh
definisi itu’ (Lanur 1983: 25). Contoh kalimat yang mengandung pengulangan definiens:
ilmu hukum adalah ilmu yang memperlajari hukum.
4. Negatif
Hindari penggunaan kata yang mengandung negatif, seperti bukan dan tidak dalam
definiens. Definisi haruslah dirumuskan secara positif (Lanur 1983: 25).
5. Hindari Definisi yang Berjejal
Berikut adalah contoh definisi yang berjejal: Hakim AdHoc adalah Hakim AdHoc pada
pengadilan periklanan di pengadilan negeri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas
usul Ketua Mahkamah Agung. Frasa diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul
Ketua Mahkaman Agung merupakan norma yang seharusnya ditempatkan dalam materi
yang diatur, bukan definisi.
20
B. Metode Penelitian
1. Paradigma Penelitian
Setiap desain atau rancangan penelitian selalu diawali dengan pemilihan topik dan
paradigma (Creswell, 1994). Paradigma adalah basis kepercayaan utama dalam sistem
berpikir yang memuat pandangan-pandangan awal yang membedakan, memperjelas, dan
mempertajam orientasi berpikir. Paradigma memiliki pengertian yang sama dengan
perspektif atau sudut pandang, karena paradigma membawa konsekuensi praktis bagi
perilaku, sudut pandang, interpretasi, dan kebijakan dalam pemilihan masalah
(Poerwandari, 1994).
Rancangan penelitian ini menggunakan paradigma paradigma realisme atau
interpretif yang menganut konsep konstruksi sosial dan pemaknaan (meanings). Asumsi
dasarnya adalah dunia diciptakan atau dikonstruksikan, bukan ditemukan, Oleh sebab itu
manusia, memberikan arti pada dunia dengan menciptakan rangkaian makna. Paradigma
ini bersifat subyektif dan tidak bebas nilai, dan menggunakan metode kualitatif dan
induktif untuk mencapai tujuan penelitiannya (Amarattungga dan Baldry,2002).
Penelitian ini mengacu kepada paradigma realisme atau interpretif, sebab tujuan
dari penelitian ini adalah untuk menginterpretasikan dan memahami kebijakan
penanggulangan HIV/AIDS yang dibuat oleh Departemen Kesehatan serta stakeholders
lain yang terkait, mulai dari tingkat pusat, provinsi sampai dengan kabupaten/kota.
Hasil akhir dari penelitian ini diharapkan melahirkan preposisi yang dibangun
bukan hanya secara praktis, tetapi juga dari pemikiran-pemikiran peneliti. Dengan
menggunakan metode induktif, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
generalisasi yang mendalam (deep), kaya (rich) dan bermakna (meaningful), khususnya
mengenai termuatnya nilai-nilai humanisme dalam kebijakan komunikasi kesehatan
sebagai upaya untuk mengatasi stigmatisasi pada ODHIV di Indonesia
2. Populasi, Sampel (Unit Analisis) dan Lokasi Penelitian
Pada dasarnya populasi adalah himpunan semua hal yang ingin diketahui, dan
biasanya disebut universum. Populasi juga didefinisikan sebagai seluruh kumpulan
elemen yang dapat digunakan untuk membuat beberapa kesimpulan. (Agung, 2002).
21
Adanya keterbatasan seperti hal waktu, biaya, tenaga peneliti dan keberaksian
yang dapat mengubah hasil penelitian mengakibatkan perlunya ditarik sampel dalam
suatu penelitian. Sampel adalah bagian atau satuan dari keseluruhan objek penelitian
(populasi). Populasi pada penelitian ini adalah semua kebijakan penanggulangan
HIV/AIDS mulai dari tingkat pusat sampai dengan unit layanan. Adapun sampel yang
diambil adalah kebijakan yang terdapat di Provinsi Jawa Barat. Alasan pemilihan Jawa
Barat adalah karena telah lama menjalankan program penanggulangan HIV/AIDS serta
program untuk ODHIV. Selain itu Jawa Barat merupakan provinsi dengan kasus tertinggi
di Indonesia dalam kategori penderita HIV/AIDS. Dari segi geografi dan demografi,
Jawa Barat juga memiliki karakteristik kabupaten dan kota yang sangat beragam, mulai
dari kota pendidikan, kawasan wisata, industri, perkebunan, perikanan, sampai pertanian.
Artinya, provinsi Jawa Barat dengan sendirinya memiliki kondisi wilayah dan komposisi
penduduk yang variatif sehingga menarik untuk dijadikan obyek penelitian.
Keberagaman dari sisi geografis dan demografis ini diharapkan dapat memberikan
gambaran yang komprehensif mengenai kebijakan penanggulangan HIV/AIDS.
Selain menganalisis pada tingkat provinsi, penelitian ini juga akan meneliti
kebijakan penanggulangan HIV/AIDS di tingkat kabupaten/kota. Untuk itu diambil 2
kabupaten dan 1 kota sebagai obyek penelitian. Tujuan penelitian pada tingkat
kabupaten/kota ini adalah untuk memperoleh gambaran perbedaan karakteristik dalam
kebijakan penanggulangan HIV/AIDS.
3. Teknik Pengunpulan Data
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yang merupakan metode
dalam paradigma interpretif yaitu sebuah prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati. Menurut Bogdan dan Taylor, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu
tersebut secara utuh, di mana individu atau organisasi tidak boleh diisolasi ke dalam
variabel atau hipotesis, tapi perlu memandangnya sebagai bagian dari sebuah keutuhan
(holistic) (Moleong, 2000).
Pendekatan kualitatif dalam penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh data
dan analisis yang sifatnya mendalam. Jadi yang digunakan adalah pendekatan
22
fenomenologis yang menekankan dan mengedepankan aspek subjektivitas dari perilaku
orang. Jadi dalam penelitian kualitatif, peneliti berupaya untuk mendapatkan jawaban
melalui metode eksploratori yang tidak terstruktur dengan menggunakan jumlah sampel
yang sedikit, namun sampel tersebut dinilai mampu memahami persolan-persoalan yang
ada (Malhotra, 2004).
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder yang teknik
pengumpulannya dilakukan secara berbeda. Untuk pengumpulan data primer, penelitian
ini menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
1. Pengamatan atau observasi di lapangan yaitu terhadap dokumen atau kebijakan,
terutama isi kebijakan penanggulangan HIV/AIDS mulai dari tingkat pusat,
provinsi, dan kabupaten/kota.
2. Wawancara mendalam (depth interview) dengan para narasumber atau informan
yang ditetapkan sesuai dengan kriteria dan tujuan penelitian. Para narasumber
terdiri dari para aktor yang terkait dengan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS
terdiri dari anggota legislatif (DPRD Komisi Kesehatan), Eksekutif (Dinkes,
Bapeda, Pemda, Depsos), LSM, pihak swasta dan masyarakat sebagai kelompok
respon target. Untuk itu disusun instrumen penelitian yakni pedoman wawancara
mendalam dengan para informan atau narasumber.
3. Focus grup discussion (FGD) adalah sebuah teknik pengumpulan data dengan
tujuan untuk menemukan makna sebuah tema menurut pemahaman kelompok.
Teknik ini digunakan untuk mengungkap pemaknaan berdasarkan hasil diskusi
yang terpusat pada permasalahan penelitian. FGD ini dilakukan untuk
menghindari adanya kesalahan pemaknaan dari peneliti terhadap permasalahan
yang sedang diteliti.
Sementara itu untuk data sekunder (secondary data) yaitu dilakukan dengan
metode studi kepustakaan dengan mengambil data dan informasi yang relevan dari buku-
buku, jurnal, terbitan berkala, situs internet, serta referensi lainnya, terutama yang
berkaitan dengan masalah stigmatisasi, semiotika, semantik, kebijakan komunikasi
kesehatan, serta perspektif lain yang dinilai relevan dan memiliki kontribusi terhadap
penelitian ini.
23
4. Pengolahan dan Analisis Data
Ada beberapa tahap yang dilakukan dalam proses pengolahan dan penganalisisan
data pada penelitian kualitatif mulai dari menguji keabsahan sampai dengan tahap
penarikan kesimpulan yang merupakan jawaban dari pokok permasalahan penelitian ini.
a. Pengujian Validitas dan Reliabilitas Data
Pada dasarnya dalam penelitian kualitatif untuk menentukan keabsahan data akan
sangat berbeda dengan penentuan validitas dan realiabilitas dalam penelitian kuantitatif.
Kirk dan Miller mengemukakan bahwa tidak ada satu pun eksperimen yang dapat
dikontrol secara tepat dan tidak ada instrumen pengukuran yang dapat dikalibrasi secara
tepat. Apalagi jika penelitian yang dilakukan di bidang sosial, di mana masalah yang
diteliti adalah sangat kontekstual (Moleong, 1996).
Dalam menentukan keabsahan data kualitatif, dipergunakan beberapa teknik atas
kriteria-kriteria tertentu yaitu (Moleong, 1996):
a. Derajat kepercayaan (credibility) yaitu pada dasarnya menggantikan konsep
validitas internal dari non kualitatif.
b. Keteralihan (transferability) berbeda dengan validitas eksternal dari non
kualitatif. Konsep validitas itu menyatakan bahwa generalisasi suatu
penemuan dapat berlaku atau diterapkan pada semua konteks dalam keadaan
khalayak sasaran yang sama atas dasar penemuan yang diperoleh pada unit
analisis. Untuk melakukan keteralihan tersebut, seorang peneliti hendaknya
mencari dan mengumpulkan kejadian empiris tentang kesamaan konteks.
c. Konteks kebergantungan (dependability) merupakan subsitusi istilah
reliabilitas pada penelitian kuantitatif. Konsep kebergantungan lebih luas dari
konsep reliabilitas, karena konsep ini memperhitungkan segala-galanya yaitu
yang terdapat pada reliabilitas ditambah dengan faktor-faktor lainnya.
d. Kriteria kepastian (confirmability) berawal dari konsep objektivitas versi non
kualitatif yaitu menetapkan objektivitas dari segi kesepakatan antar subjek.
Pemastian bahwa sesuatu itu objektif atau tidak bergantung pada persetujuan
beberapa orang terhadap pandangan, pendapat dan penemuan seseorang.
Dapat dikatakan bahwa pemahaman satu orang adalah subjektif dan jika sudah
24
merupakan kesepakatan beberapa atau banyak orang baru bisa dikatakan
objektif.
b. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data adalah unsur yang juga penting dalam sebuah penelitian.
Dengan melakukan analisis, maka data tersebut akan memiliki makna dan berguna dalam
menjawab semua permasalahan penelitian. Analisis data menurut Patton adalah proses
mengatur, mengurutkan data dan mengorganisasikanya ke dalam suatu pola kategori dan
satuan uraian dasar. Sedangkan menurut Bogdan dan Taylor, analisis data merupakan
proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema atau ide seperti yang
disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema tersebut.
Analisis data juga dapat didefinisikan sebagai perubahan data menjadi informasi
yang dilakukan secara kualitatif, agar dapat dimengerti dan dipahami dengan lebih
mudah. Data kualitatif berbentuk laporan deskriptif dari hasil pengamatan atau
wawancara. Jadi analisis kualitatif menampilkan suatu bentuk uraian kata-kata, dengan
unit analisisnya adalah gejala-gejala yang diwujudkan dalam rangkaian tindakan berpola,
peristiwa, objek, tindakan atau ucapan-ucapan dalam interaksi dan serangkaian
pengetahuan.
Artinya, selain peneliti harus mampu mengungkapkan melalui analisisnya pada
permukaan luar dari suatu perilaku, juga harus mampu mengungkapkan aspek permukaan
dalam lapisan kemengapaan dan kebagaimanaan itu terjadi.
4. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki keterbatasan berkaitan dengan pemilihan metodologi
penelitian, pengumpulan data serta analisis data. Keterbatasan-keterbatasan penelitian ini
adalah:
1. Keterbatasan lokus karena yang diteliti yaitu hanya mengambil 1 provinsi dari
33 provinsi di seluruh Indonesia.
2. Keterbatasan kedua adalah pada fokusnya yaitu kajian semiotika terhadap
kebijakan penanggulangan HIV/AIDS. Studi semiotika bersifat kualitatif yang
sangat terbuka bagi munculnya interpretasi alternatif (Liitejohn, 1996). Jadi
25
kekuatan dan kelemahan studi ini terletak pada interpretasi peneliti atas data
yang dikumpulkan. Sejauh interpertasi yang dilakukan dapat menutup
kemungkinan adanya interpretasi yang lain, hasil penelitian menghasilkan
output yang valid. Dengan kata lain, kelemahan studi semantik bersifat rentan
terhadap munculnya intepretasi baru yang lebih kuat.
3. Pembuat kebijakan cenderung memberikan kredibilitas yang rendah kepada
hasil dari pendekatan kualitatif karena dianggap tidak bebas nilai dan
cenderung subyektif dalam memandang realitas (Amarattungga dan Baldry,
2000). Oleh sebab itu, peneliti berupaya untuk meminimalisasi kelemahan
metodologis tersebut dengan memperhatikan dan memperketat end-point dari
semua tahap dan proses penelitian, mulai dari penyusunan rancangan
penelitian sampai dengan penyajian laporan akhir secara lengkap.
C. Operasionalisasi Konsep
Berbagai konsep dan teori yang terdapat dalam tinjauan literatur proposal ini
selanjutnya ditransformasikan ke dalam bentuk operasionalisasi konsep. Pada bagian
berikut dijelaskan mengenai beberapa konsep dan operasionalisasinya yaitu:
1. Humanisme menurut The Encyclopedia of Philosophy (1967) berasal dari bahasa
Latin humanitas yang berarti “the education of man”, atau bahasa Yunani paideia
yang berarti “the education favored by those eho considered the liberal arts to be
instruments, that is, disciplines proper to man which differentiate him from other
animals”. berarti Humanisme dalam penelitian ini diartikan sebagai aliran yang
bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-citakan struktur dan
interaksi sosial yang lebih baik. Lebih lanjut menurut The Encyclopedia of
Philosophy, humanisme (humanism) adalah: “[...] philosophy which recognizes
the value or dignity of man makes him the measures of all things or somehow
takes human nature, its limits, or its interests as its theme”. Pada penelitian ini
humanisme dioperasionalkan sebagai muatan nilai humanisme dalam substansi
kebijakan yang terdiri dari:
Anti-stigmatisasi yakni bahasa yang digunakan dalam sebuah kebijakan
dan proses implementasi kebijakan tersebut tidak memuat dan
26
mengandung nilai-nilai yang mengarah kepada konteks negatif yaitu:
HIV/AIDS adalah penyakit karena karma, penyakit yang muncul karena
hubungan seks, penyakit yang tidak dapat disembuhkan, penyakit menular
yang berbahaya, penyakit yang membahayakan, penyakit karena hukuman
Tuhan, penyakit yang menimbulkan beban berat, serta penyakit yang
diderita oleh individu yang berperilaku tidak benar.
Anti-diskriminasi yakni bahasa yang digunakan dalam sebuah kebijakan
tidak mengandung nilai atau pernyataan yang menyudutkan dan
menempatkan ODHIV pada posisi sebagai orang yang bersalah; tidak
boleh bersentuhan dengan orang lain; harus dihindari dalam interaksi
sehari-hari, harus mendapatkan perlakuan ekslusif mulai dari lingkungan
keluarga, lingkungan tempat tinggal, lingkungan sekolah, lingkungan
tempat kerja sera lingkungan sosial; tidak mendapatkan perlakuan yang
layak dalam pelayanan publik; pembatasan terhadap hak dan kewajiban
ODHIV meskipun bertentangan dengan aturan hukum dan norma yang
berlaku
Tidak sensasional yakni bahasa yang digunakan dalam kebijakan
penanggulangan HIV/AIDS tidak memposisikan ODHIV sebagai individu
yang berbeda dari yang lain; memberikan perhatian ekstra hati-hati
terhadap ODHIV; serta HIV/AIDS adalah penyakit yang harus dimusuhi.
Tidak eksploitatif yakni bahasa kebijakan yang digunakan dalam
penanggulangan HIV/AIDS tidak bersifat menjadikan ODHIV sebagai
obyek penderita dalam kasus HIV/AIDS; tidak menimbulkan rasa takut di
masyarakat terhadap ODHIV; memposisikan ODHIV sama dengan pasien
penderita sakit lain; serta HIV/AIDS tidak hanya diderita oleh individu
dengan perilaku tetentu atau dari kelompok tertentu tapi dapat diidap oleh
semua orang.
2. Pada penelitian yang menjadi obyek pembahasan dari sebuah kebijakan
penanggulangan HIV/AIDS adalah komponen dari kebijakan yaitu isi dari
kebijakan. Adapun isi kebijakan yang akan dianalisis terdiri dari:
27
Pernyataan tujuan yakni mengapa kebijakan tersebut dibuat dan apa
dampak yang diharapkan
Ruang lingkup yaitu menerangkan siapa saja yang tercakup dalam
kebijakan dan tindakan-tindakan apa yang dipengaruhi oleh kebijakan
Durasi waktu yang efektif yang mengindikasikan kapan kebijakan mulai
diberlakukan
Bagian pertanggungjawaban yang mengindikasikan di mana individu atau
organisasi bertanggung jawab dalam melaksanakan kebijakan, artinya
dengan mencantumkan secara jelas tanggung jawab semua pihak
Pernyataan kebijakan yang mengindikasikan aturan-aturan khusus atau
modifikasi aturan terhadap perilaku organisasi yang membuat kebijakan
tersebut jika menemui kendala-kendala tertentu
Definisi yang menyediakan secara jelas dan tidak ambigu mengenai
definisi bagi istilah dan konsep dalam dokumen kebijakan HIV/AIDS
tersebut.
3. Komunikasi kesehatan digunakan dalam kerangka untuk menganalisis materi
ketika sebuah kebijakan diimplementasikan. Artinya, penelitian ini akan melihat
apakah kebijakan tersebut telah memperhatikan aspek komunikasi kesehatan
dalam proses implementasi. Sebab ketidaktepatan merancang unsur komunikasi,
dapat mempengaruhi proses implementasi sehingga terjadi kesenjangan
kebijakan. Adapun aspek komunikasi kesehatan yang akan diteliti adalah:
Proses penginformasian dan pembuatan keputusan untuk mempengaruhi
pihak tertentu memperhatikan nilai-nilai humanisme
Dalam tujuan memotivasi individu berdasarkan kesadaran etika dan
saintifik yang humanis
Penyampaian kebijakan bertujuan untuk merubah perilaku masyarakat
melalui pengenalan nilai-nilai humanisme, sehingga persepsi dan penilaian
masyarakat terhadap ODHIV menjadi lebih positif
Memberikan informasi yang tepat, jelas dan mudah dipahami mengenai
ODHIV
28
29
BAB III
KEBIJAKAN PENANGGULANGAN HIV dan AIDS
DI INDONESIA
A. HIV dan AIDS di Indonesia
HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang menyerang sel darah
putih yang mengakibatkan menurunnya sistem kekebalan tubuh manusia sehingga tubuh
manusia mudah terserang berbagai macam penyakit. AIDS atau Acquired Immuno
Deficiency Syndrome adalah sekumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh
menurunnya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV. HIV dan AIDS
adalah masalah darurat global yang mengakibatkan lebih dari 20 juta orang meninnggal
di dunia, sementara 40 juta orang telah terinfeksi (KPA, 2007).
HIV dan AIDS merupakan salah satu ancaman terbesar pembangunan sosial
ekonomi, stabilitas dan keamanan negara-negara berkembang sehingga mengakibatkan
kemiskinan semakin parah. Fakta menyebutkan, di seluruh dunia, setiap hari virus HIV
menular kepada sekitar 2000 anak di bawah usia 15 tahun melalui penularan ibu-bayi;
menewaskan 1400 anak di bawah usia 15 tahun; dan menginfeksi lebih dari 6000 orang
muda dengan usia produktif antara 15—24 tahun yang juga merupakan mayoritas dari
orang-orang yang hidup dengan HIV dan AIDS (ODHIV) (KPA, 2007).
Epidemi HIV telah berlangsung selama dua puluh tahun di Indonesia dan sejak
tahun 2000 sepidemi tersebut telah terkonsentrasi pada sub-populasi beresiko tinggi,
yaitu pengguna Napza suntik (penasun), penjaja seks komersial (PSK), dan waria (KPA,
2007). Sejak tahun 2004, laju peningkatan jumlah kasus AIDS semankin cepat.
Departemen Kesehatan (Depkes) melaporkan jumlah kasus baru AIDS pada tahun 2006
sebanyak 2.873 (Ibid), yang merupakan dua kali lipat dibanding jumlah kasus yang
dilaporkan selama 17 tahun pertama epidemi AIDS di Indonesia.
Data terbaru Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) menyebutkan sampai dengan
31 Maret 2009 jumlah kumulatif kasus AIDS di Indonesia adalah 16964 dengan jumlah
provinsi yang melapor adalah 32 provinsi dan 214 kabupaten/kota. Pada triwulan pertama
tahun 2009 terdapat 854 kasus. Jumlah kasus AIDS terbanyak berturut-turut dilapokan
dari provinsi Jawa Barat (3162), DKI Jakarta (2807), Jawa Timur (2652), Papua (2499),
30
dan Bali (1263). Sedangkan proporsi kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada
tingkat umur 20—29 tahun (50,50%), kemudian kelompok umur 30—39 tahun (29,48%),
dan kelompok umur 40—49 tahun (8,41%).
Menghadapi percepatan penambahan kasus baru HIV dan AIDS perlu dilakukan
akselerasi program penanggulangan AIDS. Bersamaan dengan itu, pemerintah beserta
pihak-pihak terkait tengah membangun sistem penanggulangan AIDS jangka panjang
yang komprehensif mencakup program pencegahan, perawatan, dukungan, dan
pengobatan serta mitigasi. KPA pusat bersama pemerintah telah meluncurkan tiga
Strategi nasional Penanggulangan HIV dan AIDS ( 1994, 2003—2007, dan 2007—2010).
Di samping itu, KPA juga merancang Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dam
AIDS di Indonesia2007—2010.
B. Kebijakan Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia
Upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia telah
dimulai secara sistematis sejak tahun 1994, tetapi jumlah kasus dan luas persebarannya
semakin meningkat setiap tahunnya (KPA, Stranas 2007). Secara prosedural, menurut
KPA, terdapat beberapa kelemahan dalam pelaksanaan program penanggulangan HIV
dan AIDS di Indoensia. Implementasi program yang terpecah-pecah di banyak tempat
oleh banyak pelaksana berjalan sendiri-sendiri dan cakupan program yang sangat kecil.
Kemampuan sumber daya yang rendah juga menjadi kendala tersendiri. Anggaran dari
pemerintah sangat kecil bila dibandingkan dengan besarnya masalah yang dihadapi.
Pemerintah Daerah masih beranggapan bahwa masalah HIV dan AIDS belum menjadi
prioritas utama di daerah sehingga dukungan dana sangat tidak memadai. Lemahnya
kepemimpinan dan mutu sumber daya juga menyebabkan Komisi Penanggulangan AIDS
di daerah tidak berfungsi sebagaimana yang diharapkan.
KPA merancang Stranas 2007—2010 berdasarkan pengalaman sebelumnya dan
untuk menjawab perubahan sistem pemerintahan dari sistem terpusat menjadi sistem
desntralisasi. Selain itu, Stranas juga dirancang dengan komitmen internasional, yaitu
menyesuaikan target yang ditetapkan Millenium Dvelopment Goals dan United General
Assembly Special Session on HIV and AIDS tahun 2020. Stranas 2007—2010
dimaksudkan sebagai pedoman bagi sektor pemerintah pusat dan daerah, sektor non-
31
pemerintah, masyarakat sipil maupun mitra internasional dalam upaya menanggulangi
HIV dan AIDS di Indonesia.
Data epidemi menunjukkan peningkatan kasus HIV dan AIDS terutama terdapat
di kalngan pengguna Napza sunti di kota-kota besar. Sedangkan untuk wailayan Tanah
Papua, dimana dua provinsinya telah mengalami generalized epidemic, peningkatan
kasus terjadai akibat hubungan seks tidak aman. Berdasarkan data KPA Maret 2009, pada
tahun 2008 terjadai penambahan jumlah kasus yang cukup signifikan, yaitu 4969 kasus
dari 2947 kasus pada tahun 2007. Para ahli epidemiologi Indonesia memproyeksikan, bila
tidak ada peningkatan upaya penanggulangan yang berarti, pada tahun 2010 jumlah kasus
AIDS akan menjadi 400.000 orang dengan kematian 100.000 orang, dan pada tahun 2015
akan menjadi 1.000.000 dengan kematian 350.000 orang.
Data KPA yang terangkum dalam Stranas 2007—2010 menyebutkan bahwa dari
tahun ke tahun, sejak tahun 1987 sampai 2006, peningkatan pesat kasus HIV dan AIDS di
Indonesia umumnya disebabkan penularan melalui penggunaan jarum suntiktidak steril di
sub-populasi pengguna napza suntik (penasun). Bersamaan dengan itu, penularan melalui
hubungan seksual berisiko tetap berlangsung. Sementara itu, berdasarkan data KPA 2009,
penularan kasus HIV dan AIDS didominasi oleh hubungan seksual heteroseksual berisiko
(48,4%), diikuti melalui pengguna napza suntik (42%), dan hubungan seksual
homoseksual berisiko (3,7%).
Pemerintah telah melakukan berbagai tindakan sebagai respons terhadap
kemunculan dan peningkatan kasus HIV dan AIDS di Indonesia sejak tahun 1985.
Respons utama pemerintah pada tahun 1980-an adalah dengan membentuk Kelompok
Kerja Penanggulangan AIDS di Departemen Kesehatan, penetapan wajib lapor kasus
AIDS, penetapan laboratorium untuk pemeriksaan HIV, penyiapan dan penyebaran bahan
Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE). Pada tahun 1994, pemerintah melalui
Keppres No. 36 membentuk Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) di tingkat pusat dan
kemudian disusul dengan terbentuknya KPA di beberapa provinsi. Pada tahun 2006, KPA
Nasional sebagai institusi mengalami pembaruan dengan dikeluarkannya Peraturan
Presiden Nomor 75 tahun 2006 yang melibatkan lebih banyak sektor: TNI, Polri, BNN,
dan masyarakat sipil. Bersamaan dengan terbentuknya KPA di tingkat pusat dan beberapa
32
provinsi, pemerintah melalui KPA mengeluarkan Strategi Nasional Penanggulangan HIV
dan AIDS 1994 (Stranas 1994).
Pada bulan Maret dan November 2002 pemerintah mengadakan Sidang Kabinet
Khusus HIV dan AIDS yang memutuskan beberapa hal penting:
Departemen/Lembaga harus memberikan komitmen dan respons yang kuat untuk
menghambat laju epidemi HIV dan AIDS;
Adanya Gerakan Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS sampai tahu 2010;
Menetapkan Penanggulangan HIV dan AIDS sebagai Prioritas Pembangunan
Nasional dan dicantumkan dalam Perencanaan Strategis Pembangunan Nasional
masing-masing departemen/lembaga terkait;
Menetapkan ketersediaan dana nasional gerakan Nasional Stop HIV dan AIDS
setiap tahun;
Menetapkan dan memperkuat organisasi KPA untuk mengkoordinasikan upaya
penanggulangan HIV dan AIDS.
Pada tahun 2003 Stranas 2003—2007 diluncurkan sebagai respons terhdap
berbagai perubahan, tantangan, dan masalah HIV dan AIDS yang semain besar dan
rumit. Pada tahun yan sama, Menko Kesra sebagai ketua KPA dan Kapolri selaku Ketua
Badan Narkotika Nasional (BNN) menandatangani nota kesepahaman tentang upaya
terpadu pencegahan penularan HIV dan AIDS dan pemberantasan penyalahgunaan napza
dengan cara suntik. Pada tahun 2004 Program Penanggulangan HIV dan AIDS di Tempat
Kerja diluncurkan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan
pemberlakukan Kaidah ILO.
Pemerintah bersama KPA tidak saja menyiapkan Strategi Nasional
Penanggulanagn HIV dan AIDS sebagai kerangka acuan nasional, tetapi juga
memperhatikan kesiapan rumah sakit dan perusahaan obat-obatan untuk menyokong
program nasional. Pemerintah melalui perusahaan farmasi PT. Kimia Farma
memproduksi obat anti-retroviral (ARV). Pada awal 2005 diluncurkan program
akselerasi di 100 kabupaten/kota di 22 provinsi, disertai dengan diberlakukannya Sistem
Monitoring, Evaluasi, dan Pelaporan HIV dan AIDS Nasional. Departemen Kesehatan
awalnya menyiapkan 25 rumah sakit, kemudian bertambah menjadi 75 rumah sakit untuk
pelayanan Care, Support, and Treatment (CST), termasuk penyediaan ARV.
33
Kesiapan pelaksanaan program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS
di Indonesia tidak saja dengan mematangkan institusi terkait beserta perangkatnya
hukumnya tetapi juga memperhatikan sejumlah isu penting yang dapat membuat progam
berjalan efektif. Beberapa isu penting terkait program pencegahan dan penanggulangan
HIV dan AIDS di Indonesia adalah:
Meningkatnya jumlah pengguna napza suntik (penasun)
Narapidana penasun
Hubungan seksual berisiko
Mobilitas penduduk
Anak yang terinfeksi HIV dan terafeksi HIV dan AIDS
Sementara itu, beberapa tantangan juga menjadi perhatian:
Norma-norma dan perilaku sosial
Koordinasi multipihak terhadap respons
Kebijakan dan pengembangan program
Pemenuhan kebutuhan kelompok remaja dan dewasa muda
Risiko khusus yang dihadapi anak perempuan
Kebutuhuan memperluas perawatan, pengobatan, dan dukungan
Stigma dan diskriminasi
Desentralisasi
Tujuan penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia secara umum adalah
mencegah dan mengurangi penularan HIV, meningkatkan kualitas hidup ODHA serta
mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat HIV dan AIDS pada individu, keluarga
dan masyarakat. Sedangkan tujuan khususnya adalah:
1. menyediakan dan menyebarluaskan informasi dan menciptakan suasana
kondusif utuk mendukung upaya penanggulangan HIV dan AIDS, dengan
menitikberatkan pencegahan pada sub-populasi berisiko tinggi dan
lingkungannya dengan tetap memperhatikansub-populasi lainnya
2. menyediakan dan meningkatkan mutu pelayanan perawatan, pengobatan, dan
dukungan kepada ODHA yang terintegrasi dengan upaya pencegahan
3. meningkatkan peran remaja, perempuan, keluarga, dan masyarakat umum
termasuk ODHA dalam berbagai upaya penanggulangan HIV dan AIDS
34
4. mengembangkan dan meningkatkan kemitraan antara lembaga pemerintah dan
masyarakat sipil, antara lain LSM, sektor swasta, dan dunia usaha, organisasi
profesi, dan mitra internasional di pusat dan di daerah untuk meningkatkan
respons nasional terhadap HIV dan AIDS.
Berdasarkan kondisi yang telah disebutkan di atas, Stranas 2007—2010
menyebutkan bahwa kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia:
1. upaya penanggulangan HIV dan AIDS harus memperhatikan nilai-nilai agama
dan budaya/norma kemasyarakatan dan kegiatannya diarahkan untuk
mempertahankan dan memperkokoh ketahanan dan kesejahteraan keliarga;
2. upaya penanggulangan HIV dan AIDS diselenggarakan oleh masyarakat dan
pemerintah berdasarkan prinsip kemitraan. Masyarakat sipil termasuk LSM,
KDS, dan ODHA serta OHIDA menjadi pelaku utama sedangkan pemerintah
berkewajiban mengarahkan, membimbing, dan menciptakan suasana yang
mendukung terselanggaranya upaya penanggulangan HIV dan AIDS;
3. upaya penanggulangan harus didasari pada pengertian bahwa masalah HIV
dan AIDS sudah menjadi masalah sosial kemasyarakatan serta masalah
nasional dan penanggulangannya melalui “ Gerakan Nasional
Penanggulangan HIV dan AIDS.”;
4. Upaya penanggulangan HIV dan AIDS diutamakan pada sub-populasi
berperilaku risiko tinggi tetapi harus pula memperhatikan masyarakat yang
rentan, termasuk yang berkaitan dengan pekerjaannya dan masyarakat yang
termarjinalkan terhadap penularan HIV dan AIDS;
5. Upaya penanggulangan HIV dan AIDS harus menghormati harkat dan
martabat manusia serta memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender;
6. Upaya pencegahan HIV dan AIDS pada anak sekolah, remaja, dan masyarakat
umum diselenggarakan melalui kegiatan komunikasi, informasi, dan edukasi
guna mendorong kehidupan yang lebih sehat. Upaya pencegahan melalui
pendidikan dilaksanakan intra- dan ekstrakurikuler;
7. Upaya pencegahan yang efektif termasuk penggunaan kondomm 100 persen
pada setiap hubungan seks berisiko, semata-mata hanya untuk memutus rantai
penularan penyakit menular termasuk HIV;
35
8. Upaya mengurangi infeksi HIV pada pengguna napza suntik melalui kegiatan
pengurangan dampak buruk (harm reduction) dilaksanakan secara
kmprehensif berarti juga mengupayakan penyembuhan dari ketergantungan
napza;
9. Upaya penanggulangan HIV dan AIDS merupakan upaya-upaya terpadu dari
peningkatan perilaku hidup sehat, pencegahan penyakit, pengobatan dan
perawatan berdasarkan data dan fakta ilmiah serta dukungan terhadap ODHA;
10. Setiap pemeriksaan untuk mendianosa HIV dan AIDS harus didahului dengan
penjelasan yang benar dan mendapat pesetujuan yang bersangkutan (informed
consent). Konseling yang memadi harus diberikan sebelum dan sesudah
pemeriksaan, dan hasil pemeriksaan diberitahukan kepada yang bersangkutan
tetapi haus dirahasiakan kepada pihak lain;
11. Diusahakan agar peraturan perundang-undangan mendukung dan selarasa
dengan Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS di semua tingkat;
12. Setiap pemberi pelayanan berkewajiban memberikan layanan tnapa
diskriminasi kepada ODHA dan OHIDA
C. Struktur Organisasi Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional merupakan lembaga yang berwenang
sebagai koordinator program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di
Indonesia. Untuk memudahkan pelaksanaan progarm sampai dengan ke tingkat daerah,
KPA juga menempatkan sekretariatnya sampai ke tingkat kabupaten/kota. Selanjutnya,
Camat dan Lurah juga berperan dalam mobilisasi sumberdaya dan berbagai upaya
penanggulangan HIV dan AIDS di tingkat kecamatan dan kelurahan.
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, selanjutnya disingkat KPAN, terbentuk
dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 75 tahun 2006 tentang Komisi
Penanggulangan AIDS Nasional. KPAN dibentuk atas dasar petimbangan bahwa dalam
rangka meningkatkan upaya pencegahan, pengendalia, dan penanggulangan AIDS perlu
dilakukan langkah-langkah strategis untuk menjaga kelangsungan penanggulangan AIDS
dan menghindari dampak yang lebih besar di bidang kesehatan, sosial, politik, dan
36
ekonomi; dan bahwa dalam rangka meningkatkan efektivitas koordinasi penanggulangan
AIDS sehingga lebih intensif, menyeluruh, dan terpadu.
Struktur organisasi KPA akan dijabarkan sebagai berikut:
A. Tingkat Pusat
Sesuai dengan Perpres Nomor 75 tahun 2006, KPAN memiliki tugas dan
wewenang sebagai berikut:
1. menetapkan kebijakan dan rencana strategis nasional serta pedoman umum
pencegahan, pengendalian dan penanggulangan AIDS;
2. menetapkan langkah-langkah strategis yang diperlukan dalam pelaksanaan
kegiatan;
3. mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan penyuluhan, pencegahan, pelayanan,
pemantauan, pengendalian, dan penanggulangan AIDS;
4. melakukan penyebarluasan informal mengenai AIDS kepada berbagai media
massa, dalam kaitan dengan pemberitaan yang tepat dan tidak menimbulkan
keresahan masyarakat;
5. melakukan kerjasama regional dan internasional dalam rangka pencegahan dan
penanggulangan AIDS;
6. mengkoordinasikan pengelolaan data dan informasi yang terkait dengan masalah
AIDS;
7. mengendalikan, memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan pencegahan,
pengendalian, dan penanggulangan AIDS;
8. memberikan arahan kepada Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi dan
Kabupaten/Kota dalam rangka pencegahan, pengendalian, dan penanggulangan
AIDS
Dalam melaksanakan tugasnya KPAN berada di bawah dan bertanggung jawab
kepada Presiden. Secara struktural, KPAN diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari KPAN dijalankan oleh
Tim Pelaksana yang diketuai oleh Sekretaris KPAN. Susunan keanggotaan Tim
Pelaksana terdiri dari unsur pejabat instansi terkait, organisasi profesi, tenaga profesional,
dan pihak lain yang terkait yang ditetapkan oleh Ketua KPAN. Selain itu, untuk
kelancaran pelaksanaan tugas, Ketua KPAN dapat membentuk Kelompok Kerja dan/atau
37
Panel Ahli yang terdiri dari pejabat instansi pemerintah terkait, pakar, akademisi,
dan/atau pihak-pihak lain yang dianggap perlu.
Dalam melaksanakan tugasnya KPAN melakukan koordinasi dan/atau kerjasama
dengan instansi Pemerintah Pusat maupun instansi Pemerintah Daerah, dunia usaha,
organisasi non-pemerintah, organisasi profesi, perguruan tinggi, badan internasional,
dan/atau pihak-pihak lain yang dipandang perlu, serta melibatkan partisipasi masyarakat.
B. Tingkat Provinsi
Di tingkat provinsi, untuk membantu pelaksanaan tugas KPAN, Gubernur
membentuk Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi yang diketuai oleh Gubernur. KPA
Provinsi dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari memiliki sekretariat KPA Provinsi.
KPA Provinsi mempunyai hubungan koordinatif, konsultatif, dan teknis dengan KPAN.
Adapun tugas KPA Provinsi, berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20
Tahun 2007 tentang Pedoman Umum Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS dan
Pemberdayaan Masyarakat dalam Rangka Penanggulangan HIV dan AIDS di Daerah,
adalah
1. mengkoordinasikan perumusan penyusunan kebijakan, strategi, dan langkah-
langkah yang diperlukan dalam rangka penanggulangan HIV dan AIDS sesuai
kebijakan, strategi, dan pedoman yang ditetapkan oleh Komisi Penanggulangan
AIDS Nasional;
2. memimpin, mengelola, mengendalikan, memantau, dan mengevaluasi
pelaksanaan penanggulangan HIV dan AIDS di provinsi;
3. menghimpun, menggerakkan, menyediakan, dan memanfaatkan sumber daya
berasal dari pusat, daeran, masyarakat, dan bantuan luar negeri secara efektif dan
efisien untuk kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS;
4. mengkoordinasikan pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing instansi yang
tergabung dalam keanggotaan KPA Provinsi;
5. mengadakan kerjasama regional dalam rangka penanggulangan HIV dan AIDS;
6. menyebarluaskan informasi mengenai upaya penanggulangan HIV dan AIDS
kepada aparat dan masyarakat;
7. memfasilitasi KPA Kabupaten/Kota;
38
8. mendorong terbentuknya LSM/Kelompok Peduli HIV dan AIDS dan;
9. melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan penanggulangan dan evaluasi
kegiatan pelaksanaan penaggulangan HIV dan AIDS serta menyampaikan laporan
secara berkala dan berjenjang kepada KPAN.
C. Tingkat Kabupaten/Kota
Pada tingkat Kabupaten/Kota, KPA diketuai oleh Bupati/Walikota setempat yang
dibantu oleh sekretariat KPA Kabupaten/Kota sebagai pelaksana tugas sehari-hari. KPA
Kabupaten/Kota mempunyai hubungan koordinatif, konsultatif, dan teknis dengan KPAN
dan KPA Provinsi. Adapun tugas KPA Kabupaten/Kota, berdasarkan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2007 tentang Pedoman Umum Pembentukan Komisi
Penanggulangan AIDS dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Rangka Penanggulangan
HIV dan AIDS di Daerah, adalah
1. mengkoordinasikan perumusan penyusunan kebijakan, strategi, dan langkah-
langkah yang diperlukan dalam rangka penanggulangan HIV dan AIDS sesuai
kebijakan, strategi, dan pedoman yang ditetapkan oleh Komisi Penanggulangan
AIDS Nasional;
2. memimpin, mengelola, mengendalikan, memantau, dan mengevaluasi
pelaksanaan penanggulangan HIV dan AIDS di kabupaten/kota;
3. menghimpun, menggerakkan, menyediakan, dan memanfaatkan sumber daya
berasal dari pusat, daeran, masyarakat, dan bantuan luar negeri secara efektif dan
efisien untuk kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS;
4. mengkoordinasikan pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing instansi yang
tergabung dalam keanggotaan KPA Kabupaten/Kota;
5. mengadakan kerjasama regional dalam rangka penanggulangan HIV dan AIDS;
6. menyebarluaskan informasi mengenai upaya penanggulangan HIV dan AIDS
kepada aparat dan masyarakat;
7. memfasilitasi pelaksanaan tugas Camat dan Pemerintah Desa/Kelurahan dalam
penanggulangan HIV dan AIDS;
8. mendorong terbentuknya LSM/Kelompok Peduli HIV dan AIDS dan;
39
9. melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan penanggulangan dan evaluasi
kegiatan pelaksanaan penaggulangan HIV dan AIDS serta menyampaikan laporan
secara berkala dan berjenjang kepada KPAN.
Dalam pelaksanaan kebijakan, strategi, dan langkah-langkah penanggulangan
HIV dan AIDS, Bupati/Walikota selaku Ketua KPA Kabupaten/Kota menugaskan:
1. Camat memimpin, mengkoordinasikan pelaksanaan, dan memobilisasi sumber
daya yang ada di kecamatan
2. Kepala Desa/Kelurahan melaksanakan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di
desa/kelurahan
Sedangkan dalam pelaksanaan kegiatan tersebut di atas, Kepala Desa/Kelurahan dibantu
oleh lembaga pendidikan, lembaga kemasyarakatan, tokoh adat, tokoh agama, dan
masyarakat.
Berdasarkan pasal 9 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2007
tentang Pedoman Umum Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS dan
Pemberdayaan Masyarakat dalam Rangka Penanggulangan HIV dan AIDS di Daerah,
upaya penanggulangan HIV dan AIDS di daerah dilaksanakan secara terpadu dengan
Program Pemberdayaan Masyarakat. Tujuannya adalah agar masyarakat tahu, mau, dan
mampu menanggulangi HIV dan AIDS di wilayahnya. Selain itu, upaya melibatkan
masyarakat dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS difokuskan pada peran yang
dimiliki masing-masing pihak, termasuk pencegahan diskriminasi dan stigmatisasi
terhadap ODHA dan OHIDA.
40
BAB IV
GAMBARAN UMUM KEBIJAKAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS
DI TIGA WILAYAH PENELITIAN
Bab ini memaparkan gambaran umum pelaksanaan kebijakan penanggulangan
HIV dan AIDS di tiga kabupaten/kota yang menjadi obyek penelitian. Pemaparan ini
mencakup upaya pemerintah daerah dalam meredam munculnya potensi stigmatisasi
melalui bahasa kebijakan yang digunakan dalam produk hukum daerah berkenaan dengan
penanggulangan HIV dan AIDS. Adapun tujuan pendeskripsian wilayah penelitian adalah
untuk memberikan gambaran dan pemahaman mengenai kondisi demografis dan
perkembangan HIV dan AIDS dan bahasa kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS di
masing-masing wilayah. Dengan demikian diperoleh bahan dan panduan singkat dalam
memahami permasalahan yang muncul di setiap wilayah, khususnya yang berkaitan
dengan stigmatisasi dalam bahasa kebijakan penanggulangan HIV dan AIDS di masing-
masing wilayah.
A. Provinsi Jawa Barat
Provinsi Jawa Barat terdiri dari tujuh belas kabupaten dan sembilan kota yang
terbagi dalam 584 kecamatan dan 5.201 kelurahan (www.jabar.go.id). Luas wilayah
provinsi Jawa Barat, yang meliputi daratan dan pulau-pulau di wilayah Samudera
Indonesia, adalah 35.746,26 km². Menurut Survei Sosial Ekonomi 2007, jumlah
penduduk Jawa Barat adalah 41.483.729 jiwa dengan kepadatan penduduk 147 jiwa per
km².
Berdasarkan data yang dirilis KPA pada tanggal 31 Maret 2009, Provinsi Jawa
Barat merupakan provinsi dengan kasus AIDS tertinggi di Indonesia, yaitu sebanyak
3.162 kasus dengan 579 kasus kematian. Dari jumlah total kasus AIDS di Jawa Barat,
pengguna napza suntik (penasun) merupakan penyumbang terbesar, yaitu sebanyak 2366
kasus atau sekitar 74 persen. Pengelompokan kasus berdasarkan faktor usia menunjukkan
bahwa 64 persen kasus AIDS berasal dari penduduk berusia 20—29 tahun. Sedangkan
kasus AIDS terbesar berdasarkan kabupaten/kota di Jawa Barat: kota Bandung 1.763
41
kasus, kota Bekasi 589 kasus, kota Sukabumi 392 kasus, kota Bogor 217 kasus, dan
kabupaten Bandung 150 kasus.
Tingginya jumlah kasus AIDS di Jawa Barat membuat Pemerintah Provinsi
melalui Gubernur menjadikan isu ini sebagai kondisi darurat dan harus mendapat
prioritas (www.tempointeratif.com). Meskipun demikian, Provinsi Jawa Barat belum
memiliki payung hukum yang berkaitan dengan upaya penanggulangan HIV dan AIDS.
Pada tanggal 18 Mei 2009, Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, mengeluarkan surat
bernomor 443/28/Yansos tentang Edaran Penanggulangan AIDS yang ditujukan kepada
seluruh Bupati/Walikota selaku Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten/Kota.
Surat edaran Gubernur Jawa Barat kepada Bupati/Walikota di Jawa Barat berisi
imbauan kepada Bupati/Walikota agar lebih serius melaksanakan Program Pencegahan
dan Penanggulangan HIV-AIDS melalui upaya:
1. Revitalisasi/Optimalisasi Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten/Kota
2. Menyusun Rencana Strategis Komisi Penanggulangan AIDS (KPA)
Kabupaten/Kota
3. Mengalokasikan anggaran APBD Kabupaten/Kota untuk mendukung pelaksanaan
Progam Pencegahan dan Penanggulangan HIV-AIDS
Sementara pemerintah Provinsi masih menyusun Peraturan Daerah tentang
Penanggulangan HIV dan AIDS, beberapa kabupaten dan kota di provinsi Jawa Barat
telah terlebih dahulu mengeluarkan Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan
Penanggulangan HIV dan AIDS. DPRD Kabupaten Tasikmalaya telah mengesahkan
Perda Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS
pada tanggal 13 Juni 2007. Kota Cirebon telah memiliki Perda tentang Pencegahan dan
Penanggulangan HIV dan AIDS pada 30 Juli 2009. Terakhir, Kota Bekasi baru saja
mengesahkan Perda tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS pada 3 Juli
2009.
Berdasarkan hasil pertemuan dengan Kepala Biro Hukum Kantor Gubernur
Provinsi Jawa Barat, Dr. Eni Rohyani, Pemprov Jawa Barat masih melakukan pengkajian
materi terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pencegahan dan
Penanggulangan HIV dan AIDS. Beliau mengatakan bahwa Pemprov menargetkan Perda
tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS dapat terealisasi pada akhir
42
tahun 2009. Dengan adanya Perda tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan
AIDS di tingkat provinsi, diharapkan seluruh kabupaten/kota di Jawa Barat ikut
menerbitkan perda yang serupa meskipun beberapa kabupaten/kota telah berinisiatif
menerbitkan Perda tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS terlebih
dahulu.
Sementara itu, untuk mendukung upaya pencegahan dan penanggulangan HIV
dan AIDS di wilayah provinsi Jawa Barat, KPA Provinsi Jawa Barat telah menerbitkan
Strategi Program Penanggulangan HIV dan AIDS Provinsi Jawa Barat 2009—2013. Visi
dari strategi ini adalah masyarakat Jawa Barat berperilaku hidup sehat, terhindari
HIV/AIDS pada 2013. Sedangkan misinya adalah
1. Meningkatkan kesadaran masyarakat akan risiko penularan HIV agar terbentuk
perilaku aman untuk terhindar dari HIV/AIDS
2. Menyediakan pelayanan HIV dan AIDS yang komprehensif dan
berkesinambungan dalam rangka pencegahan dan pengobatan HIV/AIDS
3. Menyediakan dukungan terhadap ODHA agar mereka bisa hidup layak tanpa
stigma dan diskriminasi
4. Menyusun kebijakan yang mendukung upaya pencegahan dan penanggulangan
HIV/AIDS
Tujuan diterbitkannya strategi ini secara umum adalah untuk mencegah terjadinya infeksi
baru HIV/AIDS dan pemberian layanan komprehensif kepada semia ODHA pada tahun
2013.
Kebijakan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di Jawa Barat
ditujukan untuk mencegah infeksi baru pada kelompok risiko tinggi dan menyediakan
perawatan, dukungan, dan pengobatan untuk ODHA. Untuk mencapai tujuan umum
mencegah infeksi baru sejumlah 184 ribu pada tahun 2020, ditetapkan target
penjangkauan sebesar 80 persen pada tahun 2010 dengan target perubahan perilaku
sebesar 60 persen. Pendekatan untuk kebijakan dasar ini adalah dengan melakukan
program penanggulangan secara komprehensif yang melibatkan seluruh unsur lintas
sektoral, LSM, dan unsur masyarakat dengan sasaran utama kelompok risiko tinggi.
Pendekatan ini dilakukan karena Jawa Barat masih dalam tahap epidemi terkonsentrasi
pada kelopok risiko tinggi.
43
Berikutnya akan dipaparkan kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat yang telah
menerbitkan Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS.
B. Kabupaten Tasikmalaya
Kabupaten Tasikmalaya terletak di sebelah tenggara provinsi Jawa Barat dengan
luas wilayah 2.563,35 km² (www.jabar.go.id). Kabupaten ini terdiri atas 39 kecamatan
dan 348 desa. Jumlah penduduk kabupaten Tasikmalaya berdasarkan Survey Sosial
Ekonomi tahun 2007 adalah 1.792.092 jiwa dengan kepadatan penduduk 640 jiwa per
km².
Jumlah kasus HIV dan AIDS di wilayah kabupaten Tasikmlaya dari tahun ke
tahun senderung bertambah. Penyakit ini tidak saja menyerang kelompok berisiko tinggi,
tetapi juga telah menjangkiti ibu dan bayi (www.hu-pakuan.com). Menurut data Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Barat, sampai dengan Maret 2009, jumlah kasus HIV dan AIDS
di kabupaten Tasikmalaya adalah sebanyak 119 kasus: 6 kasus AIDS dan 113 kasus HIV
positif. Dari jumlah tersebut, berdasarkan data KPA Kabupaten Tasikmalaya, 70 persen
kasus HIV dan AIDS berasal dari penasun. Dikaitkan dengan visi Kabupaten
Tasikmalaya, situasi tadi menjadi tantangan yang serius dalam mewujudkan pencapaian
visi Tasikmalya, yang religius dan islami.
Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya telah lama menaruh perhatian terhadap upaya
pencegahan dan peanggulangan HIV dan AIDS di wilayahnya. Hal ini terlihat dari Perda
Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS yang
diterbitkan pada 13 Juni 2007. Perda ini terdiri dari 12 bab dan 24 pasal yang memuat
dasar hukum bagi upaya pencegahan, penangulangan, pengamatan, dan perlindungan
HIV/AIDS. Perda ini tidak saja sebagai payung hukum bagi upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS di kabupaten Tasikmalaya, tetapi juga mendorong peran
serta masyarakat luas dalam berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan termasuk
mendampingi ODHA.
Setahun setelah menerbitkan Perda Nomor 4 Tahun 2007, Pemerintah Daerah
kabupaten Tasikmalaya menerbitkan Peraturan Bupati Tasikmalaya Nomor 6 Tahun 2008
tentang Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten Tasikmalaya pada 4
Maret 2008. Peraturan ini berfungsi sebagai payung hukum bagi KPA Kabupaten
44
Tasikmalaya dalam melakukan berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan
AIDS karena di dalamnya mencakup aturan struktur orgainsasi, peran, fungsi, wewenang
KPA Kabupaten Tasikmalaya dalam menanggulangi HIV dan AIDS.
Selain Peraturan Bupati tersebut di atas, pemerintah Kabupaten Tasikmalaya juga
menyediakan payung hukum bagi pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan HIV
dan AIDS melalui Peraturan Bupati Tasikmalaya Nomor 13 Tahun 2008 yang
diundangkan pada 7 Agustus 2008. Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya memandang
perlunya partisipasi masyarakat luas dalam menanggulangi HIV dan AIDS karena
pemerintah berserta aparatnya saja belum tentu mampu mengatasi permasalahan AIDS di
wilayahnya. Hal ini didukung fakta bahwa kasus AIDS di wilayah kabupaten
Tasikmalaya cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya dan upaya
penanggulangan AIDS memerlukan strategi dan langkah yang komprehensif.
C. Kota Cirebon
Kota Cirebon terletak di sebelah utara Provinsi Jawa Barat, yaitu di jalur Pantai
Utara pulau Jawa. Kota Cirebon terletak pada lokasi yang strategis dan menjadi simpul
pergerakan transportasi antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Letaknya yang berada di
wilayah pantai menjadikan Kota Cirebon memiliki wilayah dataran yang lebih luas
dibandingkan dengan wilayah perbukitannya. Luas Kota Cirebon adalah 3.735,82 hektar
atau ±37 km2 dengan dominasi penggunaan lahan untuk perumahan (32%) dan tanah
pertanian (38%). Menurut Sensus Sosial Ekonomi tahun 2007, penduduk Kota Cirebon
adalah 290.450 jiwa dengan kepadatan 7.376 jiwa per km².
Jumlah kasus AIDS di Kota Cirebon cenderung meningkat setiap tahunnya.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, jumlah kasus AIDS di Kota
Cirebon sampai dengan 31 Maret 2009 adalah 81 kasus. Jika dibandingkan dengan data
yang diumumkan KPA Kota Cirebon melalui pemberitaan di Antara, Jumat, 7 Agustus
2009, (www.antaranews.com), jumlah kasus AIDS di Kota Cirebon adalah 387 orang.
Jumlah ini menurut KPA Kota Cirebon meningkat 100 persen dari tahun sebelumnya.
Adapun cara penularan AIDS di Kota Cirebon didominasi melalui pengguna napza
suntik. Selain penasun, pergaulan bebas di kalangan anak muda juga merupakan potensi
lain penyaluran virus HIV (www.pikiran-rakyat.com).
45
Masalah HIV dan AIDS telah lama menjadi perhatian masyarakat Kota Cirebon.
Hal ini terbukti dengan munculnya inisiatif Raperda tentang Pencegahan dan
Penanggulangan HIV dan AIDS yang diusulkan oleh Sri Maryati, salah seorang anggota
DPRD Kota Cirebon (www.radarcirebon.com). Hak inisiatif kepada Pemda Cirebon yang
diajukan pada tanggal 8 Juni 2009, menurut Sri, diperbolehkan apabila minimal lima
orang anggota DPRD dari fraksi berbeda mengajukan haknya. Sementara itu, untuk
Raperda AIDS, hak inisiatif diambil oleh sebelas orang anggota DPRD Kota Cirebon dari
fraksi yang berbeda. Menurut Sri, pengajuan Raperda ini didasari fakta bahwa Kota
Cirebon tercatat sebagai daerah penyebaran virus HIV tertinggi di Jawa Barat.
Pada tanggal 30 Juli 2009 Pemerintah Kota Cirebon mengundangkan Peraturan
Daerah Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS
di Kota Cirebon. Perda ini terdiri atas 14 bab dan 44 pasal yang mencakup: maksud dan
tujuan, ruang lingkup, kebijakan dan strategi, objek dan subjek, kegiatan pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS, perlindungan, peran serta masyarakat, dan struktur
organisasi KPA Kota Cirebon.
D. Kota Bekasi
Kota Bekasi adalah salah satu kota yang berbatasan langsung dengan Provinsi
DKI Jakarta sebagai Ibukota negara. Kota Bekasi merupakan salah satu kota penyangga
di wilayah megapolitan Jabotabek selain Tangerang, Tangerang Selatan, Bogor, Depok,
dan Cikarang; serta menjadi tempat tinggal para komuter yang bekerja di Jakarta. Oleh
karena itu, ekonomi Kota Bekasi sangat berhubungan erat dengan kota-kota di wilayah
Jabotabek.
Kota Bekasi terdiri atas 12 kecamatan dan 56 kelurahan. Berdasarkan Sensus
Sosial Ekonomi 2007, jumlah penduduk Kota Bekasi adalah 2.084.831 jiwa dengan
kepadatan penduduk 9.178 jiwa per km². Sama seperti halnya Kabupaten Tasikmalaya,
jumlah kasus AIDS di Kota Bekasi terus meningkat setiap tahunnya. Cara penularan
terbesar adalah melalui penggunaan jarum suntik pada pengguna narkoba, disusul oleh
penyakit menular kelamin, dan terakhir melalui ASI. Berdasarkan data Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Barat, sampai dengan 31 Maret 2009, jumlah kasus AIDS di Kota Bekasi
adalah 589 kasus atau menduduki peringkat kedua jumlah kasus terbanyak menurut
46
kabupaten/kota se-Jawa barat. Angka lain menunjukkan bahwa dari total kasus AIDS di
Jawa Barat, 79,46 persennya ditularkan melalui jarum suntik, lebih tinggi dibanding
Kabupaten Tasikmalaya.
Berbagai upaya telah dilakukan KPA Kota Bekasi untuk mereduksi potensi
penularan virus HIV tetapi kondisi di lapangan menunjukkan bahwa masih ada hambatan.
Hasil pengawasan Badan Narkotika Kota Bekasi juga menunjukkan bahwa ancaman
terbesar yang dihadapi warga Kota Bekasi adalah masih maraknya peredaran gelap dan
penyalahgunaan narkoba. Setiap bulan, lebih dari 40 kasus narkoba diungkap jajaran
Kepolisian Resor Metropolitan Bekasi bersama BNK Kota Bekasi (www.kompas.com).
Selain maraknya narkoba, menurut Hari Bagianto, salah satu pengelola program KPA
Kota Bekasi, peningkatan kasus HIV dan AIDS juga disebabkan masih adanya penderita
yang kurang disiplin dalam mengkonsumsi obat anti-retroviral.
Untuk menciptakan payung hukum bagi upaya pencegahan dan penanggulangan
HIV dan AIDS di Kota Bekasi, Pemerintah Kota Bekasi pada tanggal 3 Juli 2009
mengundangkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2009 tentang Pencegahan dan
Penanggulangan HIV dan AIDS di Kota Bekasi. Perda ini terdiri atas 10 bab dan 22
pasal. Di dalamnya tercakup bab mengenai maksud, tujuan, dan sasaran program,
pedoman pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS, peran serta masyarakat dalam
upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS, serta pasal-pasal yang berkaitan
dengan struktur organisasi KPA Kota Bekasi.
47
BAB V
ANALISIS SEMANTIK DAN STILISTIKA
TERHADAP KEBIJAKAN PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN
HIV DAN AIDS
Bab ini memuat dan memaparkan hasil analisis dan penginterpretasian terhadap
data primer dan data sekunder yang telah dikumpulkan oleh tim peneliti. Hasil analisis
dan interpretasi bertujuan untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan atau fokus
kajian dari studi ini. Pada bagian berikut disajikan hasil analisis dan interpretasi terhadap
kebijakan pemerintah daerah dalam pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di
satu kabupaten dan dua kota di provinsi Jawa Barat. Analisis dan interpretasi dilakukan
dengan menggunakan pendekatan semantik dan stilistika untuk mengetahui unsur-unsur
humanisme yang dikandung oleh setiap peraturan daerah. Analisis terhadap unsur-unsur
humanisme dalam sebuah kebijakan ditujukan untuk mengetahui apakah sebuah
kebijakan telah memberikan perhatian terhadap masalah stigma terhadap penderita HIV
dan AIDS.
A. Analisis Semantik
Bagian pertama memuat analisis dan interpretasi awal terhadap makna yang
dikandung oleh setiap produk hukum kebijakan pemerintah daerah yang berkaitan dengan
upaya atau program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Pada tabel berikut,
tabel V.1., akan disajikan hasil temuan lapangan di provinsi Jawa Barat yang meliputi
satu kabupaten dan dua kota pemerintahan. Pada tebel tersebut dipaparkan ketersediaan
dokumen kebijakan tentang pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di masing-
masing kota dan kabupaten. Hasil temuan lapangan memperlihatkan bahwa pada tingkat
provinsi, Pemerintah Provinsi Jawa Barat belum menerbitkan produk hukum legal-formal
(Perda Provinsi) yang berkaitan dengan upaya atau program pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS.
Adapun yang menjadi fokus pengamatan dan observasi adalah kebijakan yang
dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) oleh Bupati/Walikota. Perda tersebut
merupakan realisasi kebijakan menindaklanjuti Strategi Nasional Pencegahan dan
48
Penanggulangan HIV dan AIDS yang dikeluarkan oleh KPAN. Dengan melakukan
pengamatan dan analisis semantik terhadap kebijakan formal, diharapkan dapat
memberikan jawaban dan kerangka pemahaman mengenai pemaknaan dalam bahasa
kebijakan khususnya yang berkaitan dengan masalah stigmatisasi terhadap penderita HIV
dan AIDS. Hasil temuan lapangan dari setiap kabupaten dan kota disajikan dalam tabel
berikut ini.
Tabel V.1
Dokumen yang Memuat Kebijakan TB Pada Tingkat Provinsi
No Wilayah Deskripsi Hasil Observasi dan Pengamatan
1 Provinsi Jawa
Barat
Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 443/28/Yansos tentang
Edaran Penanggulangan AIDS yang ditujukan kepada seluruh
Bupati/Walikota selaku Ketua KPA Kabupaten/Kota; Strategi
Program Penanggulangan HIV dan AIDS Provinsi Jawa Barat
2009—2013, mengacu kepada Strategi Nasional Penanggulangan
HIV dan AIDS 2007—2013 dan Rencana Aksi Nasional
Penanggulangan HIV dan AIDS 2007—2013, serta bentuk
komitmen Pemerintah Jawa Barat terhadap salah satu butir
Millenium Development Goals, yaitu memernai AIDS.
2 Kabupaten
Tasikmalaya
Kebijakan mengenai pencegahan dan penanggulangan HIV dan
AIDS diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2007 tentang
Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS; Peraturan Bupati
Tasikmalaya Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pembentukan Komisi
Penanggulangan AIDS Kabupaten Tasikmalaya; dan Peraturan
Bupati Tasikmalaya Nomor 13 Tahun 2008 tentang Pemberdayaan
Masyarakat dalam Upaya Pencegahan dan Penanggulangan HIV and
AIDS di Kabupaten Tasikmalaya
3 Kota Cirebon Kebijakan mengenai pencegahan dan penanggulangan HIV dan
AIDS diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2009 tentang
Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS
4 Kota Bekasi Kebijakan mengenai pencegahan dan penanggulangan HIV dan
AIDS diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS Sumber : Hasil Pengolahan Data oleh Tim Peneliti (2009)
Dari empat wilayah yang disebutkan di tabel di atas, terdapat satu kabupaten
(Tasikmalaya) dan dua kota (Cirebon dan Bekasi) yang telah memiliki Perda tentang
pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Analisis selanjutnya akan difokuskan
pada unsur semantik dalam ketiga Perda tersebut. Langkah-langkah analisis semantis
terhadap dokumen peraturan daerah (Perda):
49
Mengklasifikasi gaya bahasa Perda berdasarkan makna pilihan kata
Menghitung persentase kosakata khusus berdasarkan frekuensi kemunculan untuk
mengetahui kecenderungan tertentu
Definisi dan berbagai hal yang berkaitan dengan stigma telah dijelaskan pada bab
II. Demikian pula halnya dengan humanisme dan muatan nilai humanisme dalam
substansi kebijakan juga telah dipaparkan pada bab II. Bagian ini menyajikan analisis
semantik bahasa kebijakan tiga perda berdasarkan kerangka konsep stigma yang telah
diberikan pada bab II. Adapun yang menjadi fokus analisis adalah beberapa bagian perda:
pembukaan dan batang tubuh. Pada bagian batang tubuh pun fokus analisis dipersempit
pada bagian ketentuan umum dan materi pokok yang diatur. Alasan pembatasan ini
adalah karena pada bagian-bagian ini saja yang memuat kata, frasa, klausa, kalimat, dan
pasal-pasal yang berkaitan dengan stigma, diskriminasi, dan nilai-nilai humanisme.
A.1. Peraturan Daerah Kabupaten Tasikmalaya Nomor 4 Tahun 2007 tentang
Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS
Analisis semantik terhadap Perda Kabupaten Tasikmalaya Nomor 4 Tahun 2007
tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS diawali dengan klasifikasi gaya
bahasa Perda beradasarkan makna pilihan kata. Seperti telah dijelaskan pada bab II, gaya
bahasa peraturan perundang-undangan merupakan gaya bahasa resmi dalam laras bahasa
hukum. Pilihan kata yang digunakan umumnya kata-kata yang jelas, lugas, cermat dan
tidak menimbulkan tafsir ganda. Makna kata yang banyak ditemui adalah makna
denotatif, bukan konotatif. Tetapi, tidak tertutup kemungkinan muncul kata-kata dengan
tafsir ganda dan makna konotatif. Dalam bidang stilistika, pedoman gaya bahasa yang
digunakan dalam analisis adalah gaya bahasa berdasarkan pilihan kata, yaitu gaya bahasa
resmi. Sama seperti pemaknaan, bukan tidak mungkin muncul gaya bahasa lain selain
gaya bahasa resmi dalam setiap dokumen perda.
Setiap ayat dan pasal dianalisis dan diberikan interpretasi sesuai dengan nilai-nilai
humanisme yang telah ditentukan. Analisis dan interpretasi tidak saja difokuskan pada
kata, tetapi juga pada hubungan kata dengan kata lain yang membentuk frasa, klausa, dan
kalimat.
50
A.1.1. Klasifikasi Gaya Bahasa Berdasarkan Makna Pilihan Kata
Perda ini tidak mencantumkan ayat khusus definisi “stigma” tetapi pada bab I,
Ketentuan Umum, pasal 1, ayat 21 disebutkan definisi “diskriminasi” sebagai: ‖semua
tindakan atau kegiatan seperti yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Azasi‖. Ketiadaan definisi stigma bisa diinterpretasikan sebagai (1)
belum adanya perhatian khusus pemerintah; (2) tidak adanya masukan dari lembaga-
lembaga non-pemerintah seperti KPAD. Butir pertama, belum adanya perhatian khusus
pemerintah terhadap masalah stigma, tentu kurang kuat karena pasal 1, ayat 21 pada bab I
Ketentuan Umum disebutkan definisi dikriminasi. Diskriminasi merupakan salah salah
dampak yang muncul setelah adanya stigmatisasi. Ayat kedua, tidak adanya masukan dari
lembaga-lembaga non-pemerintah yang memiliki perhaian terhadap HIV dan AIDS, tentu
perlu ditelusuri lebih lanjut ke pihak berwenang yang merumuskan perda.
Definisi diskriminasi dalam bab I, Ketentuan Umum, pasal 1, ayat 21, tidak
memenuhi kategori definisi nominal ataupun definisi formal. Ayat ini membuat pembaca
harus mencari lagi UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi untuk mengetahui apa
sebenarnya definisi diskriminasi.
Pada bab I, Ketentuan Umum, pasal 1, ayat 31, disebutkan definisi dukungan
sebagai: ‖upaya-upaya, baik dari sesama orang dengan HIV/AIDS maupun dari
keluarga dan orang-orang yang bersedia untuk memberi dukungan pada orang dengan
HIV/AIDS dengan lebih baik lagi‖. Butir ini menunjukkan perhatian pemerintah terhadap
pentingnya memberikan dukungan kepada ODHIV. Dukungan jelas diperlukan untuk
menekan potensi kemunculan diskriminasi dan stigma tentunya pada masyarakat. Secara
umum, definisi ini, yang tergolong ke dalam definisi formal, tidak memiliki
permasalahan, baik dalam hal pemaknaan maupun kaidah tata bahasa.
Bab II, Objek dan Subjek, pasal 2 disebutkan: ‖Yang menjadi objek pengaturan,
pencegahan, dan penanggulangan HIV/AIDS adalah semua orang atau semua tempat
hiburan dan tempat-tempat lainnya yang berpotensi terjadi penularan infeksi
HIV/AIDS‖. ’Tempat hiburan’ menjadi penekanan pada pasal ini. Permasalahannya
adalah, apa yang menjadi dasar penetapan ’tempat hiburan’ sebagai penekanan dalam
pasal ini. Interpretasi yang dapat diberikan di sini adalah penekanan pada ’tempat
hiburan’ dalam pasal ini justru eksploitatif karena terlalu fokus pada tempat hiburan saja.
51
Penggunaan jarum suntik yang tidak steril juga menempati urutan atas dalam penyaluran
HIV dan AIDS. Artinya, tempat-tempat umum lain yang berpotensi terjadi penularan
HIV dan AIDS, seperti terminal, pasar, sekolah, lapangan, dan lain-lain, seharusnya juga
menjadi perhatian.
Bab IV, Upaya Pencegahan, Penanggulangan, Pengamtan, dan Perlindungan
HIV/AIDS, pasal 7, ayat 2 menyebutkan: ‖Dalam penanggulangan HIV/AIDS,
pemerintah wajib mengupayakan layanan yang mencakup perawatan, dukungan dan
pengobatan yang diperlukan bagi penderita HIV/AIDS baik yang diselenggarakan oleh
pemerintah maupun swasta atau masyarakat . . . ‖. Ayat ini menggunakan kata ’wajib’
untuk memberikan penekanan terhadap kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap
pihak terkait perawatan, dukungan, dan pengobatan bagi ODHIV. Interpretasi yang dapat
diberikan di sini adalah bahwa pemerintah daerah telah memberikan perhatian pada
ODHIV agar tidak diperlakukan diskriminatif dalam perawatan, dukungan, dan
pengobatan di instansi pemerintah, swasta, atau masyarakat. Artinya, semua pasien
memiliki hak yang sama dalam hal perawatan dan pengobatan.
Bab IV, pasal 11, ayat 1 menyebutkan: ‖Testing HIV/AIDS harus dilakukan
secara sukarela dengan konseling yang baik dan disertai informed consent yang
tertulis‖. Penekanan pada pasal ini ditunjukkan oleh penggunaan frasa ’harus dilakukan
secara sukarela’ pada proses testing HIV dan AIDS. Interpretasinya adalah ODHIV
memiliki hak untuk tidak memeriksakan darahnya ke unit-unit pelayanan kesehatan yang
tersedia; prinsip sukarela diutamakan untuk menjaga kerahasiaan data pribadi ODHIV.
Selanjutnya, pasal 11, ayat 2, menyebutkan: ‖Testing HIV/AIDS tidak diperlukan
secara khusus untuk keperluan seperti: lamaran kerja, promosi jabatan, pelatihan, atau
tujuan-tujuan lainnya‖. Frasa ’tidak diperlukan secara khusus’ pada ayat ini
menunjukkan bahwa pemerintah setempat menghargai hak individu warganya tanpa
harus mengikuti tes khusus HIV dan AIDS untuk kegiatan yang berhubungan dengan
pekerjaan. Seandainya tes khusus diwajibkan, besar kemungkinan ODHIV akan mundur
lebih awal dalam proses pelamaran pekerjaan, promosi jabatan, pelatihan, dan lain-lain.
Kesimpulannya adalah tidak ada diskriminasi bagi warga masyarakat dalam proses
pelamaran pekerjaan, promosi jabatan, pelatihan, dan lain-lain.
52
Pasal 11, ayat 3, menyebutkan: ‖Pekerja dan buruh dengan HIV/AIDS berhak
mendapat pelayanan kesehatan kerja yang sama dengan pekerja/buruh lain sesuai
dengan peraturan yang berlaku‖. Interpretasi terhadap butir ini adalah tidak ada
dikriminasi dalam hal pelayanan kesehatan bagi semua pekerja dan buruh, baik yang
terinfeksi HIV dan AIDS maupun yang tidak. Semua pekerja dan buruh memiliki hak
yang sama. Hal ini diperkuat dengan ayat 4 yang menyebutkan: ‖Seluruh fasilitas
kesehatan seperti Rumah Sakit, klinik dan atau dokter praktek tidak diperkenankan
menolak memberikan akses layanan kesehatan pada pasien yang terinfeksi HIV/AIDS‖.
Interpretasi untuk ayat ini cukup jelas.
Pasal 11 ayat 5 menyebutkan: ‖Setiap orang yang karena tugas dan pekerjaannya
mengetahui atau memiliki informasi tentang status HIV seseorang wajib
merahasiakannya, kecuali: (a) Jika ada persetujuan/izin yang tertulis dari orang yang
bersangkutan; (b) Kepada orang tua/wali dari anak yang belum cukup umur, cacat, atau
tidak sadar; (c) Jika ada kepentingan rujukan layanan medis dengan komunikasi atas
dokter atau fasilitas dimana orang dengan HIV tesebut dirawat; (d) untuk kepentingan
pro justicia‖. Pasal jelas melindungi kerahasiaan status ODHIV sehingga tidak
berpotensi menimbulkan stigma dan diksriminasi terhadap ODHIV di lingkungan
setempat. Ayat 5 diperkuat dengan tiga butir selanjutnya, yaitu ayat 6, 7, dan 8, yang
intinya kurang lebih sama dengan ayat 5: melindungi kerahasiaan status ODHIV.
Pasal 12 merupakan kelanjutan dari pasal sebelumnya, pasal 11. Pada ayat 1 pasal
12 disebutkan: ―Pemerintah Daerah melindungi hak-hak pribadi dan hak-hak azasi
orang yang terinfeksi HIV termasuk perlindungan dari kerahasiaan status HIV‖. Ayat ini
jelas memberikan tanggung jawab kepada pemerintah daerah sebagai otoritas yang
berwenang untuk melindungi hak asasi ODHIV. Interpretasinya adalah, pemerintah
melindungi hak asasi ODHIV yang setara dengan individu lain dalam semua mekanisme,
mulai dari perawatan, pengobatan, dan dukungan.
Ayat 2 pasal 12 menyebutkan: ―Diskriminasi dalam bentuk apapun ( pemecatan
pekerjaan secara sepihak, tidak mendapatkan pelayanan kesehatan memadai, ditolak
bertempat tinggal di tempat yang dipilih ODHA dan ditolak mengikuti pendidikan formal
dan informal) kepada orang yang terduga atau disangka telah terinfeksi HIV adalah
merupakan pelanggaran terhadap Peraturan Daerah ini‖. Ayat ini cukup jelas
53
menekankan pentingnya menghargai hak-hak asasi ODHIV dengan tidak melakukan hal-
hal diskriminatif di beberapa bidang, misalnya domisili dan pendidikan.
Ayat 3 pasal 12 menyebutkan: ―Pemerintah Daerah berhak untuk mengatur agar
narapidana yang terinfeksi HIV memperoleh hak-hak layanan kesehatan dan hak
kerahasiaan yang sama dengan orang lain yang terinfeksi HIV di luar lembaga
pemasyarakatan‖. Ayat ini menyatakan bahwa tidak ada perbedaan dalam hal pelayanan
kesehatan bagi siapapun, termasuk bagi narapidana yang terinfeksi HIV dan AIDS.
Artinya, pemerintah mengakui persamaan hak asasi manusia bagi siapapun tanpa
diskriminasi bahkan ia adalah narapidana sekalipun.
Ayat 4 pasal 12 menyebutkan: ―Tidak ada kewajiban bagi tahanan/narapidana
untuk ditest HIV kecuali untuk tujuan surveilans dan pembuktian hukum di Pengadilan‖.
Ayat ini menjamin hak narapidana untuk menjalani tes HIV kecuali dalam kondisi-
kondisi khusus, misalnya untuk kepentingan surveilans dan pembuktian perkara di
pengadilan.
Bab X, Ketentuan Pidana, pasal 22 ayat 1 menyebutkan: ―Setiap orang yang
melanggar Pasal 11 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 12 ayat (2), Pasal 13 diancam dengan
hukuman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp.
50.000.000,- (Lima puluh juta rupiah)‖. Ayat ini memberikan penekanan ketentuan
pidana terhadap pelanggaran atas tiga pasal dan tiga butir.
Pelanggaran terhadap pasal 11 ayat 4 hanya bisa dilakukan oleh penyedia layanan
kesehatan, seperti Rumah Sakit, klinik, atau dokter praktek yang menolak memberikan
layanan kepada pasien terinfeksi HIV dan AIDS. Pelanggaran terhadap pasal 11 ayat 5
dapat terjadi apabila petugas yang berwenang dalam mengelola data pasien terinfeksi
HIV dan AIDS ternyata memberitahukan kepada orang lain status seseorang yang
terinfeksi HIV dan AIDS.
Pelanggaran terhadap pasal 12 ayat 2 dapat dilakukan oleh siapapun, baik unsur
pemerintah maupun masyarakat. Pelanggaran terhadap ayat in menyangkut tindak
diskriminasi terhadap ODHIV. Siapapun yang terbukti melakukan diskriminasi terhadap
ODHIV dapat dituntut secara pidana dengan sanksi yang telah ditetapkan. Terakhir,
pelanggaran terhadap pasal 13 hanya mungkin dilakukan oleh ODHIV. Sama seperti
warga masyarakat lainnya, ODHIV pun memiliki tanggung jawab untuk mencegah
54
terjadinya penularan virus HIV kepada orang lain secara sengaja lewat: hubungan seksual
berisiko, penggunaan jarum suntik tidak steril, donor darah dan organ tubuh, dan melalui
tindak bujuk dan rayu.
A.1.2. Persentase Kata dan Frasa Khusus Berdasarkan Frekuensi Kemunculan
Frekuensi penggunaan kata dan frasa:
1. ”diskriminasi”: tiga (3) kali
2. ”harkat dan martabat manusia”: satu (1) kali
3. ”keadilan”: satu (1) kali
4. ”hak-hak pribadi”: tiga (3) kali
5. ”hak asasi”: satu (1) kali
6. ”hak-hak layanan kesehatan”: satu (1) kali
7. ”hak-hak kerahasiaan”: satu (1) kali
Penjelasan untuk frekuensi penggunaan kosakata dan frasa:
1. Penggunaan kata ”diskriminasi” sebanyak tiga (3) kali menunjukkan bahwa
pemerintah setempat telah memandang diskriminasi sebagai hal penting yang harus
diperhatikan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Perda ini
tidak memiliki pengertian khusus untuk dan diskriminasi pada bab I tetapi merujuk ke
pengertian ”diskriminasi ” yang ada pada Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia. Penggunaan kata ”diskriminasi” dalam perda ini menjadi rentan
terhadap multitafsir karena tidak ada acuan definisi nominal—berdasarkan kamus,
etimologis—yang dicantumkan pada bagian Ketentuan Umum.
2. Frasa ”harkat dan martabat manusia” digunakan sebanyak satu kali pada pasal 6.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mencantumkan kata ”harkat” sebagai derajat
(kemuliaan) sedangkan ”martabat” sebagai tingkat harkat kemanusiaan; harga diri.
Penggunaan frasa ”harkat dan martabat manusia” pada pasal ini menunjukkan adanya
perhatian pemerintah daerah—meskipun secara tertulis hanya satu kali digunakan dalam
perda—terhadap hak asasi manusia secara universal, termasuk mereka yang terinfeksi
HIV dan AIDS. Perhatian pemerintah diwujudkan dalam bentuk penghormatan terhadap
harkat dan martabat ODHIV dan keluarganya dalam program pencegahan dan
55
penanggulangan HIV dan AIDS. Idealnya, frasa ini dicantumkan pada bagian yang lebih
awal, misalnya pada bab I, Ketentuan Umum, yang berisikan sejumlah definisi.
3. Sejalan dengan penggunaan frasa ”harkat dan martabat manusia”, kata ”keadilan”
digunakan pada pasal yang sama, yaitu pasal 6, untuk menegaskan prinsip persamaan dan
penghormatan terhadap hak asasi manusia secara universal. Tujuan yang ingin dicapai
dengan menggunakan kata ”keadilan” dalam pasal ini adalah untuk meredam munculnya
diskriminasi pada masyarakat terhadap ODHIV dan keluarganya.
4. Frasa ”hak-hak pribadi” digunakan sebanyak tiga kali dalam tiga bagian berbeda.
Pemerintah dan peraturan daerah secara tegas menyatakan penghargaan dan melindungi
hak-hak pribadi ODHIV. Penggunaan frasa ini berada dalam konteks penghargaan dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia secara universal, sekalipun terhadap orang yang
terinfeksi HIV dan AIDS. Perbedaan antara hak pribadi dengan hak asasi adalah pada
ruang lingkup: hak pribadi lebih bersifat khusus untuk orang per orang, misalnya hak
membela negara, sedangkan hak asasi bersifat universal dan bersifat mendasar bagi setiap
manusia.
5. Perda juga menggunakan frasa ”hak asasi” dalam ayat 1 pasal 12 bersamaan dengan
frasa ”hak-hak pribadi”. KBBI mengartikan ”hak asasi” sebagai hak yang dasar atau
pokok. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, hak asasi bersifat universal. Setiap manusia
memiliki hak asasi yang sama di manapun.
6. Penggunaan frasa ”hak-hak layanan kesehatan” sebanyak satu kali pada pasal 12 ayat 3
berkaitan dengan keadilan dan kesetaraan hak memperoleh layanan kesehatan bagi
narapidana yang terinfeksi HIV dan AIDS. Ayat pada pasal 12 ini merupakan bukti
perhatian pemerintah daerah yang berlandas prinsip kesetaraan dan keadilan: siapapun
orang yang terinfeksi HIV dan AIDS memiliki hak mendapat layanan kesehatan.
Dengana adanya ayat ini, diharapkan tidak ada narapidana terinfeksi HIV dan AIDS yang
terlantar dalam hal pelayanan kesehatannya.
7. Frasa ”hak-hak kerahasiaan” digunakan satu kali pada pasal 12 ayat 3, atau bersamaan
dengan frasa ”hak-hak layanan kesehatan”. Frasa ini jelas bertujuan untuk melindungi
kerahasiaan status penyakit yang diderita seoarang pasien terinfeksi HIV dan AIDS dari
penyalahgunaan atau kesalahan dalam manajemen informasi. Dalam kehidupan sehari-
hari pun, prinsip penghargaan terhadap hak kerahasiaan pasien terinfeksi HIV dan AIDS
56
seharusnya bisa menjadi praktik dalam lingkungan masyarakat sehingga stigma dan
diskriminasi dapat diminimalisasi.
A.2. Peraturan Daerah Kota Cirebon Nomor 12 tentang Pencegahan dan
Penanggulangan Human Immunodeficiency Virus – Acquired Immune Deficiency
Syndrome (HIV – AIDS)
Analisis semantik terhadap Perda Kota Cirebon nomor 12 tentang Pencegahan
dan Penanggulangan HIV dan AIDS diawali dengan klasifikasi gaya bahasa Perda
beradasarkan makna pilihan kata. Setiap ayat dan pasal dianalisis dan diberikan
interpretasi sesuai dengan nilai-nilai humanisme yang telah ditentukan. Analisis dan
interpretasi tidak saja difokuskan pada kata, tetapi juga pada hubungan kata dengan kata
lain yang membentuk frasa, klausa, dan kalimat.
A.2.1. Klasifikasi Gaya Bahasa Berdasarkan Makna Pilihan Kata
Perda ini tidak mencantumkan definisi khusus stigma pada bagian Ketentuan
Umum. Seperti halnya Perda Nomor 4 Kabupaten Tasikmalaya, terdapat dua
kemungkinan yang dapat dikonfirmasi kepada perumus kebijakan: (1) belum adanya
perhatian khusus pemerintah; (2) tidak adanya masukan dari lembaga-lembaga non-
pemerintah seperti KPAD.
Pada Bab I pasal 1 ayat 12, penanggulangan diartikan sebagai serangkaian laju
penularan HIV-AIDS, melalui kegiatan promosi, pencegahan, konseling dan tes sukarela
rahasia, pengobatan serta perawatan dan dukungan terhadap orang dengan HIV-AIDS
(ODHA). Ayat ini mencantumkan kata “dukungan” yang secara implisit menyatakan
bahwa tidak ada diskriminasi dan stigma terhadap ODHA. Dukungan dapat juga diartikan
sebagai dukungan meningkatkan kepercayaan diri ODHA.
Pada Bab I pasal 1 ayat 31 disebutkan pengertian diskriminasi sebagai setiap
pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung
didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok,
golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang
berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau
penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual
57
maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek
kehidupan lainnya. Pencantuman pengertian diskriminasi pada bagian ketentuan umum
menunjukkan bahwa diskriminasi menjadi perhatian khusus dalam proses pencegahan
dan penanggulangan HIV-AIDS oleh Pemerintah Daerah kota Cirebon.
Pada Bab I pasal 1 ayat 39, dukungan diartikan sebagai upaya-upaya baik dari
sesama orang dengan HIV-AIDS maupun dari keluarga dan orang-orang yang bersedia
untuk memberikan dukungan pada orang yang terinfeksi HIV-AIDS dengan melakukan
upaya pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS. Penjelasan untuk bagian ini
mengikuti penjelasan untuk Bab I pasal 1 ayat 12 di atas.
Pada Bab III pasal 3 butir d, diebutkan ruang lingkup Peraturan Daerah mengatur
ha-hal yang berkenaan dengan pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS di kota
Cirebon yang meliputi perlindungan ODHA. Butir ini menggunakan kata perlindungan
dengan tujuan untuk mengantisipasi munculnya stigma dan diskriminasi terhadap ODHA
dalam proses pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS.
Pada bab IV pasal 4 ayat 2, disebutkan bahwa Kebijakan Pencegahan dan
Penanggulangan HIV-AIDS dilaksanakan secara intensif, menyeluruh, terpadu, dan
berkesinambungan berdasarkan asas kemanusiaan, yang berkesetaraan, dan berkeadilan
gender. Penggunaan frasa “asas kemanusiaan”, “berkesetaraan”, dan “berkeadilan
gender” jelas bertujuan untuk menghindari kemunculan stigma dan diskriminasi dalam
proses pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS.
Pada bab VI pasal 7 butir g, disebutkan bahwa pencegahan dan penanggulangan
HIV-AIDS dilakukan melalui kegiatan perawatan dan dukungan ODHA. Pasal ini
melalui butir g secara implisit menyatakan bahwa selain perawatan, dukungan juga perlu
diberikan kepada ODHA dengan tujuan meningkatkan kepercayaan diri ODHA untuk
bersosialisasi dan meminimalisasi potensi stigma dan diskriminasi dari lingkungan
sekitar.
Pada bab VI pasal 8 ayat 1 dan 2, melalui kegiatan promosi yang menunjang
upaya pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS dan kegiatan pendidikan kesehatan
reproduksi dan melalui Warga Peduli AIDS (WAPA) diharapkan masyarakat luas
mendapatkan informasi, dalam konteks ini tentunya informasi mengenai HIV dan AIDS.
Dengan adanya informasi ini, masyarakat diharapkan memiliki pemahaman mendasar
58
secara medis dan teknis mengenai HIV adn AIDS, shingga asumi dan prasangka yang
tidak mendasar dan berpotensi memunculkan stigma bisa tercerahkan oleh pengetahuan
yang lebih ilmiah.
Pada bab VI pasal 18, disebutkan bahwa penyelenggara dan/atau penyedia
layanan kesehatan wajib memberikan pelayanan pengobatan kepada ODHA dan IDU
suntik tanpa diskriminasi sesuai dengan fasilitas yang ada. Pasal ini cukup jelas.
Pada Bab VI pasal 20, disebutkan perawatan dan dukungan terhadap ODHA
dilakukan melalui pendekatan medis, agama, psikologis, sosial, ekonomi, keluarga,
masyarakat, dan dukungan pembentukan persahabatan ODHA (KDS). Pemerintah
Daerah Cirebon menempatkan permasalahan HIV-AIDS sebagai permasalahan
multidimensi, tidak semata-mata permasalahan medis. Hal ini terlihat jelas dari tujuh
bidang pedekatan yang digunakan Pemda Cirebon dalam proses perawatan dan dukungan
terhadap ODHA. Pendekatan multidimensi ini secara implisit memperlihatkan upaya
pemerintah setempat meminimalisasi potensi kemunculan stigam dan diskriminasi dari
masyarakat terhadap ODHA.
Pada bab VII pasal 23 ayat 2, disebutkan tes HIV-AIDS tidak diperlukan untuk
lamaran kerja, promosi jabatan, dan pelatihan atau tujuan-tujuan lainnya. Pasal ini
menegaskan tidak adanya pembedaan atau diskriminasi terhadap siapapun, khususnya
ODHA dalam proses melamar pekerjaan, promosi jabatan, pelatihan, dan tujuan-tujuan
sejenis.
Pada bab VII pasal 24 ayat1 menyatakan bahwa pekerja dan/atau buruh dengan
HIV-AIDS berhak mendapat pelayanan kesehatan kerja sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; ayat 2 menyatakan bahwa seluruh fasilitas kesehatan,
seperti rumah sakit, klinik dan/atau dokter praktek wajib memberikan akses layanan
kesehatan pada pasien terinfeksi HIV-AIDS. Kedua ayat ini memuat pesan anti-
diskriminasi dalam lingkungan pekerjaan (ayat 1) dan dalam pelayanan kesehatan umum
(ayat 2). Setiap pasien memiliki hak yang sama dalam hal pelayanan kesehatan.
Pada Bab VII pasal 26 ayat 1 disebutkan pemerintah kota melindungi hak-hak
pibadi dan hak-hak asasi ODHA termasuk perlindungan dari kerahasiaan status HIV-
AIDS. Ayat ini bertujuan untuk melindungi ODHA dari stigma dan diskriminasi dari
lingkungan dengan cara menjaga kerahasiaan status HIV-AIDS orang yang terinfeksi
59
HIV. Perlindungan ini didasarkan hak-hak pribadi dan hak-hak asasi universal manusia.
Ayat 2 menyebutkan bahwa setiap ODHA berhak mendapatkan perlindungan dari
tindakan diskriminasi dalam bentuk apapun, seperti pemecatan sepihak, tidak mendapat
pelayanan kesehatan yang memadai, ditolak bertempat tinggal di tempat yang dipilih
ODHA, dan ditolak mengikuti pendidikan formal dan informal. Ayat ini cukup jelas
memuat pesan anti-diskriminasi di empat bidang yang berbeda: pekerjaan, kesehatan,
domisili, dan pendidikan.
Pasal 43 pada bab XIV, Ketentuan Pidana menyebutkan:
―Setiap orang yang:
a. mengetahui dirinya terinfeksi HIV – AIDS tidak memenuhi kewajibannya untuk
melakukan upaya pencegahan sebagaimana dimaksud pada pasal 12 dan pasal 22;
b. mengetahui dirinya terinfeksi HIV – AIDS yang melangar larangan untuk tidak
mendonorkan darah, produk darah, cairan sperma, organ dan atau jaringan tubuhnya
kepada orang lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 huruf b;
c. melakukan skrining darah, produk darah, cairan sperma, organ dan atau jaringan
tubuh lainnya yang tidak mentaati standar prosedur skrining sebagaimana dimaksud
dalam pasal 14;
d. melakukan hubungan seksual berisiko tidak melakukan upaya pencegahan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 15;
e. menggunakan jarum suntik, jarum tato/tindik, atau jarum akupuntur pada tubuhnya
sendiri dan atau tubuh orang lain tidak menggunakan jarum steril sebagaimana
dimaksud dalam pasal 16;
f. karena pekerjaannya atau sebab apapun mengethaui dan memiliki informasi status
HIV – AIDS atas diri seeorang yang tidak memenuhi kewajiban untuk merahasiakannya
sebagaimana dimaksud padal 24 ayat (3);
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak
Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).‖
Pasal 1 bab ketentuan pidana ini berbebada dengan Perda Kabupaten Tasikmalaya
dan Kota Bekasi karena pemerintah kota Cirebon lebih menekankan pemberian sanksi
kepada ODHIV yang terbukti melakukan pelanggaran atas beberapa pasal. Ketentuan ini
dapat dilihat dari huruf a sampai huruf e pasal 1. Sedangkan huruf f merupakan ketentuan
60
pidana terhadap pelanggar yang membuka status kerahasiaan ODHIV. Pelanggaran yang
muncul atau disebabkan oleh pelanggar dari seseorang yang tidak terinfeksi HIV tidak
disebutkan dalam bab ini. Masalah ini perlu konfirmasi dari pihak perumus kebijakan
nantinya.
A.2.2. Persentase Kata dan Frasa Khusus Berdasarkan Frekuensi Kemunculan
Frekuensi penggunaan kata dan frasa:
1. Penggunan frasa ”dampak buruk” sebanyak satu (1) kali pada bagian pembukaan
dalam kalimat: ‖bahwa perkembangan kasus HIV – AIDS di Kota Cirebon yang semakin
meningkat dapat menimbulkan dampak buruk dan luas terhadap berbagai aspek . . .‖,
perlu dikaji lagi. Fakta memang membuktikan bahwa HIV dan AIDS virus dan penyakit
yang sangat sulit untuk diobati dan bisa menimbulkan kematian bagi penderitanya.
Tetapi, penggunaan frasa ” dampak buruk” kiranya kurang tepat dalam konteks
penghargaan terhadap nilai-nilai humanisme dan hak asasi manusia. Mungkin akan lebih
tepat jika digunakan ”dampak yang luas” saja.
2. Penggunaan kata ”diskriminasi” sebanyak tiga (3) kali menunjukkan bahwa
pemerintah setempat telah memperhatikan permasalahan diskriminasi dalam kebijakan
pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Namun demikian, sampai sejauh mana
pemerintah kota Cirebon memosisikan permasalahan ini perlu konfirmasi lebih lanjut.
3. Penggunaan frasa ”asas kemanusiaan” sebanyak satu (1) kali pada pasal 4 ayat 2
menunjukkan pemerintah setempat telah memperhatikan nilai-nilai humanisme dalam
kebijakan dan program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Tetapi,
implementasi asas kemanusiaan ini masih perlu diperjelas oleh pembuat kebijakan.
4. Penggunaan frasa ”berkesetaraan dan berkeadilan gender” sebanyak satu (1) kali pada
pasal 4 ayat 2 menunjukkan perhatian pemerintah terhadap prinsip keadilan dalam hak
asasi manusia.
5. Penggunaan kata ”melindungi” sebanyak dua (2) kali menunjukkan perhatian
pemerintah terhadap posisi ODHIV di masyarakat. Pemerintah melindungi ODHIV dari
berbagai upaya diskriminasi.
61
6. Penggunaan frasa ”hak-hak pribadi” dan ”hak-hak asasi” masing-masing sebanyak satu
(1) kali selaras dengan penjelasan di atas bahwa pemerintah melindungi hak pribadi dan
hak asasi setiap ODHIV dari berbagai potensi diskriminasi.
A.3. Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 03 Tahun 2009 tentang Pencegahan dan
Penanggulangan HIV dan AIDS
Analisis semantik terhadap Perda Kota Bekasi Nomor 03 tentang Pencegahan dan
Penanggulangan HIV dan AIDS diawali dengan klasifikasi gaya bahasa Perda
beradasarkan makna pilihan kata. Setiap ayat dan pasal dianalisis dan diberikan
interpretasi sesuai dengan nilai-nilai humanisme yang telah ditentukan. Analisis dan
interpretasi tidak saja difokuskan pada kata, tetapi juga pada hubungan kata dengan kata
lain yang membentuk frasa, klausa, dan kalimat.
A.3.1. Klasifikasi Gaya Bahasa Berdasarkan Makna Pilihan Kata
Pada Bab I, pasal 1 ayat 16, disebutkan definisi “stigma” sebagai: ―penilaian
terhadap seseorang atau kelompok dengan moral buruk‖. Penekanan definis stigma pada
ayat ini terdapat pada frasa “moral buruk”. Di sini interpretasi dapat diambil bahwa
orang-orang yang terstigma adalah orang-orang dengan moral buruk. Permasalahan akan
muncul jika seseorang tertularHIV dan AIDS melalui air susu ibu. Penilaian moral buruk
tidak dapat diberikan kepada orang yang tertular HIV dan AIDS melalui ASI karena ia
dapat dikategorikan sebagai korban yang tidak bersalah. Untuk itu, pengunaan frasa
“moral buruk” dalam definisi stigma pada Perda ini perlu ditinjau lagi secara etimologis
dan kontekstual agar tidak menimbulkan tafsir ganda bagi pembaca.
Pasal 1 ayat 17 menyebutkan “diskriminasi” sebagai: ―setiap pembatasan,
pelecehan, atau pengucilan yang langsung atau tak langsung berdasarkan pada
pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status
sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang mengakibatkan
pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau
penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam hidup baik individu maupun
kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan
lainnya‖. Definisi ini termasuk dalam kategori definisi formal yang di dalamnya terdapat
62
penggunaan kata-kata yang berulang (berjejal) sehingga mengurangi efektivitas kalimat
dan efisiensi penggunaan kata. Namun demikian, definisi bisa dikatakan sebagai definisi
yang kompleks dalam artian definisi ini menyebutkan batasan-batasan yang berhubungan
dengan konteks diskriminasi. Hal ini akan memudahkan pembaca mengaplikasikan
definisi ini dalam praktik kehidupan sehari-hari ketika bersentuhan dengan hal-hal yang
bersifat diskriminatif.
Pada Bab I, pasal 3, disebutkan tujuan pencegahan dan penanggulangan HIV dan
AIDS adalah melindungi masyarakat dan memutus mata rantai penularan HIV dan AIDS
melalui lima program (butir a sampai e pada pasal ini). Butir a secara implisit dapat
meminimalisasi munculnya stigma karena seluruh masyarakat mendapatkan informasi,
dalam konteks ini tentunya informasi mengenai HIV dan AIDS. Dengan adanya
informasi ini, masyarakat diharapkan memiliki pemahaman mendasar secara medis dan
teknis mengenai HIV adn AIDS, sehingga asumsi dan prasangka yang tidak mendasar
dan berpotensi memunculkan stigma bisa tercerahkan oleh pengetahuan yang lebih
ilmiah.
Butir c secara implisit dapat meminimalisasi munculnya stigma karena dalam
berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS, ODHA ikut berperan.
Masyarakat yang mencari informasi mengenai HIV dan AIDS dapat berinteraksi
langsung dengan ODHA untuk mengetahui dan memahami lebih jauh, apa, kenapa, dan
bagaimana HIV dan AIDS. Diharapkan asumsi dan prasangka tentang HIV dan AIDS
bias direduksi.
Pada Bab I, pasal 6 butir c, disebutkan bahwa kebijakan yang menjamin
efektivitas usaha pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS guna melindungi
setiap orang dari infeksi HIV termasuk populasi rawan, dapat dilakukan dengan
mengembangkan jejaring untuk mengembangkan sistem dukungan, perawatan, dan
pengobatan ODHA. Proses ini memperlihatkan bahwa pemerintah setempat memberikan
perhatian terhadap ODHA melalui sistem dukungan, perawatan, dan pengobatan, bukan
sebaliknya mengisolasi ODHA sehingga malah menyuburkan potensi stigma. Di antara
ketiga proses di atas, proses dukungan merupakan proses yang paling berarti untuk tetap
memberikan semangat hidup kepada ODHA.
63
Pada Bab I, pasal 7 butir a, b, c, dan d, pemerintah setempat menyediakan
berbagai program sosialisasi bagi masyarakat tentang pentingnya mencegah dan
menanggulangi HIV dan AIDS. Program ini tentu dilakukan di bawah pengawasan
tenaga ahli di bidangnya, sehingga informasi yang didapat peserta program adalah
informasi yang bersifat teknis dan ilmiah. Hal ini diharapkan meminimalisasi potensi
kemunculan stigma. Pada butir e, secara tegas disebutkan bahwa Pemerintah Daerah dan
masyarakat kota Bekasi wajib memberikan pelayanan kepada ODHA tanpa stigma dan
diskriminasi.
Pada Bab I, pasal 9 ayat 4, disebutkan bahwa seluruh sarana pelayanan kesehatan
dasar, rujukan, dan penunjang milik pemerintah dan swasta tidak boleh menolak/wajib
memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien yang terinfeksi HIV. Pasal ini jelas
menekankan tidak adanya diskriminasi terhadap pasien terinfeksi HIV karena setiap
sarana pelayanan kesehatan manapun di kota Bekasi tidak boleh menolak/wajib melayani
pasien terinfeksi HIV. Selanjutnya, ayat 5, menyebutkan bahwa bagi pasien HIV dan
AIDS yang memerlukan penanganan lebih lanjut akan dirujuk ke rumah sakit yang sudah
ditetapkan. Pasal ini tentu mengantisipasi kemampuan masing-masing sarana pelayanan
kesehatan dalam menangani berbagai jenis penyakit.
Pada Bab I, pasal 10 ayat 1, disebutkan bahwa pemerintah melindungi hak-hak
pribadi, hak-hak sipil, dan hak asasi ODHA termasuk perlindungan dari kerahasiaan
status HIV. Ayat ini secara tegas dimasudkan untuk meredam potensi kemunculan stigma
dan diskriminasi dari kalangan masyarakat tertentu terhadap ODHA. Ayat 2
menyebutkan bahwa setiap ODHA berhak memperoleh pelayanan pengobatan dan
perawatan serta dukungan tanpa stigma dan diskriminasi dalam bentuk apapun. Ayat ini
secara tegas memiliki pengertian bahwa setiap pasien HIV dan AIDS memiliki hak yang
sama dengan pasien manapun dalam hal pengobatan, tidak ada diskriminasi. Ayat 3
menyebutkan bahwa pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS didasarkan pada
nilai luhur kemanusiaan dan penghormatan terhadap harkat hidup manusia. Ayat ini jelas
mendukung pernyataan ayat 2, bahwa kesamaan hak semua pasien dijamin atas nilai
luhur kemanusiaan dan penghormatan terhadap harkat hidup manusia. Secara tegas salah
satu esensi filsafat humanis ditulis dalam ayat ini.
64
Pada Bab I, pasal 14 ayat 1 butir c, disebutkan bahwa masyarakat memiliki
kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam kegiatan pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS dengan cara tidak melakukan stigma dan diskriminasi
terhadap ODHA dan OHIDA. Bagian ini cukup jelas. Butir d menyebutkan bahwa cara
lain yang dapat ditempuh adalah dengan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi
ODHA serta keluarganya. Bagain ini jelas mendukung pernyataan pada butir
sebelumnya, butir c, yakni dengan tujuan agar ODHA dan keluarganya tetap merasa
hidup nyaman dan tenteram di tengah-tengah masyarakat umum tanpa ada ancaman
timbulnya potensi stigma dan diskriminasi.
Butir e menyebutkan cara yang lain, yaitu ODHA dan OHIDA terlibat dalam
kegiatan promosi, pencegahan, tes, kerahasiaan, pengobatan, dan perawatan serta
dukungan. Butir ini memiliki pengertian bahwa ODHA dan OHIDA tidak mengalami
diskriminasi akibat stigma dalam masyarakat karena diharapkan ikut terlibat dalam
berbagai kegiatan yang direncakan oleh pemerintah setempat.
Bab IX, Ketentuan Pidana, pasal 20 ayat 1 menyebutkan: ‖Setiap orang yang
melanggar ketentuan Pasal 7 huruf (b) dan Pasal 9 ayat (4) diancam dengan pidana
kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah)\, dan pelanggaran terhadap pasal 7 huruf (e) dikenakan sanksi
berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia‖.
Pelanggaran terhadap pasal 7 huruf (b) hanya mungkin dilakukan oleh pemilik atau
pengelola tempat hiburan yang tidak memasang media informasi HIV dan AIDS.
Pelanggaran terhadap pasal 9 ayat (4) hanya mungkin dilakukan oleh penyedia layanan
kesehatan, baik milik pemerintah maupun swasta yang tidak melayani pasien terinfeksi
HIV. Pelanggaran terhadap pasal 7 huruf (e) dapat dilakukan oleh pemerintah dan
masyarakat luas seandainya dalam pelayanan terhadap ODHA ternyata melakukan stigma
dan diskriminasi. Hal ini merupakan bukti keseriusan Pemerintah Daerah Kota Bekasi
dalam menangani permasalahan stigma dan diskriminasi dalam upaya dan program
pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS.
A.3.2. Persentase Kata dan Frasa Khusus Berdasarkan Frekuensi Kemunculan
Penjelasan untuk frekuensi penggunaan kosakata dan frasa:
65
1. Penggunaan kata ”stigma” sebanyak empat (4) kali dan ”diskriminasi” sebanyak lima
(5) kali menunjukkan bahwa pemerintah setempat telah memandang stigma dan
diskriminasi sebagai dua hal krusial yang harus diperhatikan dalam upaya pencegahan
dan penanggulangan HIV dan AIDS. Perda ini pun memiliki pengertian khusus untuk
stigma dan diskriminasi pada bab I.
2. Penggunaan frasa-frasa ”hak-hak pribadi”, ”hak-hak sipil”, ”hak asasi”, ”nilai luhur
kemanusiaan”, dan ”harkat hidup manusia”, masing-masing sebanyak satu (1) kali
dimaksudkan untuk mendukung atau menjelaskan dua terminologi sebelumnya (stigma
dan diskriminasi). Kelima frasa tersebut digunakan sebagai dasar utama mengapa stigma
dan diskriminasi tidak boleh muncul pada proses pencegahan dan penanggulangan HIV
dan AIDS. Apabila stigma dan diskriminasi ternyata muncul, secara langsung berarti hak-
hak pribadi, hak-hak sipil, hak asasi, nilai-nilai luhur kemanusian, dan harkat hidup yang
dimiliki manusia telah dilanggar. Hal ini jelas bertentangan dengan esensi filsafat
humanis yang menempatkan manusia, beserta hak asasi dan hak-hak lainnya, sebagai
pusatnya.
B. Aspek Komunikasi Kesehatan dalam Kebijakan Penanggulangan HIV/AIDS
Dari hasil penelitian di tiga kabupaten ditemukan hal-hal sebagai berikut:
1. Belum ditemukan adanya proses menginformasikan dan mempengaruhi
keputusan oleh pihak yang berwenang dalam penanggulangan HIV/AIDS di
setiap wilayah penelitian. Seharusnya, KPAD, DPRD dan Pemerintah Kabupaten
dan jajaran terkait (Dinas Kesehatan) melakukan kegiatan penginformasian dan
penyosialisasian Perda mengenai Penanggulangan HIV/AIDS kepada para
pemangku kepentingan dan masyarakat luas, melalui berbagai strategi dan
penggunaan teknik serta teknologi. Tujuannya adalah untuk memberikan
informasi mengenai HIV/AIDS, ODHIV, serta Perda itu sendiri. Dengan
demikian diharapkan ada perubahan persepsi dan perilaku dari masyarakat.
Pengkomunikasian Perda, kebijakan ataupun program merupakan proses untuk
mengadvokasi dan mempengaruhi keputusan khalayak, sehingga ada persepsi
yang konstruktif dan tepat mengenai HIV/AIDS dan ODHIV. Dalam konteks ini
ODHIV seharusnya dapat diposisikan sebagai korban, bukan pelaku, sehingga
66
tidak perlu mendapatkan stigma yang bertitik tolak dari sudut pandang religi dan
moralitas
2. Pemangku kepentingan juga tidak berupaya secara optimal untuk memotivasi
individu, institusi terkait, komunitas dan masyarakat luas mengenai HIV/AIDS
berdasarkan pemahaman medis-ilmiah dan kesadaran etika. Hal ini telah terlihat
dari proses penyusunan Perda yang tidak melaibatkan para pakar bahasa dan
hukum serta kesehatan, sehingga terjadi ketidaktepatan dalam pemilihan gaya
bahasa. Ketidaktepatan tersebut menyebabkan semakin berkembangnya
stigmatisasi terhadap ODHIV. Penerimaan oleh masyarakat terhadap keberadaan
Perda juga semakin runyam, karena proses pengkomunikasian yang kurang tepat.
Ketidak tepatan dalam dua aspek tersebutlah yang mendorong munculnya
pemahaman yang tidak tepat mengenai HIV/AIDS dan ODHIV.
3. Dalam penelitian ini juga terlihat, pemangku kepentingan inti dalam
penanggulangan HIV/AIDS di tingkat kabupaten maupun provinsi, belum
melakukan pola dan proses interaktif dalam mengembangkan pesan mengenai
HIV/AIDS. Akibatnya, penyampaian dengan pola monolog atau kampanye
melalui media cetak dan luar ruang, kurang berhasil menyampaikan dan
mengembangkan esensi pesan dari Perda penanggulangan HIV/AIDS kepada
khalayak. Kondisi ini lebih lanjut mendorong kurang berkembangnya persepsi
dan perilaku yang teoat dan positif mengenai AIDS yang akhirnya memposisikan
ODHIV pada pola relasi yang subordinate
4. Peningkatan pemahaman mengenai Perda, seluk beluk HIV/AIDS serta ODHIV
pada pemangku kepentingan serta isu-isu terbaru yang relevan dengan
penanggulangan HIV/AIDS tidak pernah dilakukan kepada khalayak. Akibatnya,
pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang HIV/AIDS cenderung bersifat
statis, yang akhirnya kembali memposisikan ODHIV sebagai individu yang
’bersalah’
5. Pihak Pemkab dan KPAD juga tidak berupaya untuk melakukan pemberdayaan
melalui penyediaan informasi, serta keterlibatan dalam proses sosialisasi Perda.
Hal-hal seperti inilah yang menyebabkan masyarakat kurang mengetahui
67
HIV/AIDs itu sendiri serta keberadaan Perda sebagai instrumen legal dalam
penanggulangan HIV/AIDS di wilayah tertentu
6. Minimnya pertukaran dan penyebaran informasi serta dialog dua arah
mempersulit proses penginformasian tentang HIV/AIDS dan Perda yang telah
disahkan oleh legislatif. Akibatnya, tidak tercapai titik temu pemahaman antara
apa yang diinginkan oleh pengirim pesan (ekskutif dan legislatif) dengan
penerima pesan yakni masyarakat sebagai kelompok target
Jika ditinjau dari aspek kebijakan kesehatan, maka dari hasil penelitian ini ditemukan
fakta sebagai berikut:
1. Dalam perencanaan kebijakan seperti Perda, terlihat bahwa komponen isi dari
kebijakan di 3 kabupaten belum berorientasi pada tujuan yakni untuk
menanggulangi epidemi HIV/AIDS di wilayah masing-masing, baik untuk jangka
pendek, menengah maupun jangka panjang. Dari konteks ini terlihat, bahwa
kebijakan yang tidak berorientasi pada tujuan yang jelas, justru berpotensi
menimbulkan masalah baru, misalnya tidak ada perubahan persepsi dan perilaku
pada masyarakat dalam jangka pendek, akan menyebabkan kegagalan program
penanggulangan HIV/AIDS secara keseluruhan
2. Dari penelitian ini terlihat bahwa pemangku kepentingan dalam Perda-Perda
tersebut, baik yang mempengaruhi ataupun yang dipengaruhi seperti populasi
kunci tidak dilibatkan dalam proses penecanaan Perda. Dampaknya adalah Perda
tidak mampu menjadi panduan atau acuan secara substantif bagai perancangan
beberapa program intervensi pada level operasional dalam penanggulangan
HIV/AIDS ketika diimplementasikan di lapangan. Jika ada panduan yang jelas,
maka dapat dirancang satu atau beberapa program terkait dengan Perda, yang
disesuaikan dengan kapasitas dan kapabilitas sebuah instansi, misalnya Dinas
Kesehatan Kabupaten, ataupun Puskesmas di tingkat kecematan
3. Perda-Perda secara keseluruhan belum berorientasi pada perubahan, karena tidak
terkandung pengertian mengenai kondisi tertentu yang harus dicapai di masa
mendatang, yang mengindikasikan adanya perbedaan positif dibandingkan dengan
kondisi dan situasi saat Perda tersebut diberlakukan
68
4. Rasionalitas juga kurang tercermin dalam isi Perda, karena belum mencantumkan
pilihan-pilihan yang disusun berdasarkan fakta dan data (evidence-based).
Padahal, idealnya sebuah kebijakan kesehatan, seperti penanggulangan
HIV/AIDS disusun berdasarkan realita atau fakta dan data di lapangan mengenai
kasus HIV/AIDS itu sendiri.
5. Penyusunan Perda mengabaikan aspek kolektivitas terutama kehadiran populasi
kunci yang merupakan pihak paling berkepentingan dan paham mengenai realita
dan kondisi riil HIV /AIDS serta dinamika kasusnya dari waktu ke waktu.
Pengabaian saran dan masukan dari populasi kunci, pakar, serta pihak terkait oleh
legislative, menyebabkan Perda terlihat sebagai paparan normative dengan gaya
bahasa birokrat yang sebenarnya kurang menyentuh akar permasalahan dari
HIV/AIDS, serta penanggulangannya.
69
BAB VI
KESIMPULAN
I. Berdasarkan hasil penelitian ini, penggunaan gaya bahasa dalam kebijakan legal
formal yakni Perda di Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut:
a. Masih cenderung tidak memperhatikan kaidah kebahasaan, khususnya di bidang
pemaknaan (semantik) sehingga berpotensi menimbulkan multiinterpretasi.
Sebagai payung hukum bagi penanggulangan HIV/AIDS, multiinterpretasi makna
berpotensi merugikan ODHIV sebagai salah satu pihak yang juga memiliki
kepentingan di dalam perda, dan implementasi perda dalam kehidupan sehari-
hari. Stigma dapat muncul jika pemangku kepentingan yang terlibat dalam
perumusan dan pelaksanaan perda mengabaikan aspek kemanusiaan dalam
pengkomunikasian perda yang telah disahkan.
b. Gaya bahasa yang digunakan dalam setiap perda lebih mementingkan aspek
bahasa hukum. Pembentukan KPAD dan segala hal yang menyangkut legalisasi
institusional dan operasional membutuhkan payung hukum yang jelas. Perda
dapat dikatakan sebagai bentuk usaha pemangku kepentingan di daerah untuk
segera membentuk KPAD secara legal formal berdasarkan hukum. Dampaknya,
hal-hal yang menyangkut komunikasi kesehatan yang di dalamnya mencakup
nilai-nilai kemanusiaan menjadi terabaikan.
c. Ketidaktaatan terhadap kaidah kebahasaan dan penekaan terhadap gaya bahasa
hukum pada perda-perda terjadi akibat kurang efektifnya komunikasi antarpihak
yang berkepentingan dalam proses perumusan perda. Selain itu, pihak yang
memiliki otoritas dalam perumusan perda mengabaikan perlunya tenaga ahli
khusus bidang bahasa dalam proses perumusan perda. Alasan utama terjadinya
hal ini adalah minimnya anggaran dalam proses perumusan perda sehingga tidak
memungkinkan adanya sosialisasi awal ke seluruh pemangku kepentingan dan
tidak memungkinkan untuk menyewa tenaga ahli khusus di bidang bahasa.
II. Perda-Perda tersebut juga tidak memperhatikan aspek komunikasi kesehatan, baik
dari sisi substansi, maupun proses sosialisasi dan implementasi di lapangan.
a. Materi perda yang menyangkut komunikasi kesehatan masih relatif kurang dalam
memberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai HIV/AIDS dan ODHIV.
70
Dalam proses perumusan perda. Sosialisasi awal komunikasi kurang dilakukan di
antara pemangku kepentingan. Pemerintah daerah kesulitan menjangkau dan
mengakomodasi suara semua pemangku kepentingan karena keterbatasan waktu
dan biaya. Hal ini terjadi sejak perda dirumuskan dan terus berlanjut sampai
dengan perda diterbitkan.
b. Provinsi Jawa Barat merupakan daerah yang sangat khas dengan nilai-nilai islami.
Hal ini dapat dilihat dari penggunaan visi dan misi islami pada beberapa
kabupaten dan kota di Jawa Barat. Untuk menanggulangi HIV/AIDS di daerah
Provinsi Jawa Barat, secara umum diperlukan pendekatan khusus kebudayaan dan
keagamaan mengingat sebagian besar masyarakatnya sangat patuh pada nilai
agama dan budaya setempat. Bersamaan dengan itu, peran tokoh masyarakat dan
ulama menjadi sangat signifikan dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS karena
mereka adalah orang-orang bisa dengan mudah didengar oleh masyarakat
setempat. Ringkasnya, diperlukan kombinasi antara komunikasi kesehatan dengan
pendekatan budaya dan agama dalam penanggulangan HIV/AIDS untuk daerah
dengan kekhasan seperti Jawa Barat.
c. Kurangnya aspek komunikasi kesehatan dalam materi perda disebabkan oleh
pemerintah setempat tidak meenggunakan tenaga komunikasi kesehatan dalam
proses perumusan perda. Sama halnya dengan bagian sebelumnya, hal ini
disebabkan keterbatasan biaya.
III. Ketidaktepatan pemilihan gaya bahasa serta teknik dan strategi pengkomunikasian
telah menyebabkan:
a. Perbedaan penggunaan istilah dan pengertian dalam masing-masing perda karena
setiap kabupaten kota mengacu ke daerah yang berbeda dalam proses perumusan
perda. Bukan tidak mungkin bahwa di antara aparat terkait pun terdapat perbedaan
pandangan dalam menginterpretasi materi perda.
b. Terabaikannya hak-hak kemanusiaan ODHIV, khususnya dengan munculnya
stigma negatif pada masyarakat tempat ODHIV tinggal. Hal ini terjadi karena
pengabaian nilai kemanusiaan dalam aspek komunikasi kesehatan karena perda
lebih menekankan aspek hukumnya.
71
c. Tekanan sosial yang diterima ODHIV menjadi labih berat karena tidak semua
lapisan masyarakat mengerti tentang HIV/AIDS. Hal ini disebabkan lemahnya
strategi komunikasi kesehatan yang dimiliki masing-masing perda.
Rekomendasi:
Rancangan yang direkomendasikan untuk pemilihan gaya bahasa dan
pengkomunikasian kebijakan penanggulangan HIV/AIDS adalah:
a. Diperlukan tenaga ahli khusus di bidang bahasa dan komunikasi kesehatan untuk
mempertimbangkan aspek lain selain bahasa hukum dalam setiap perda yang akan
dirancang.
b. Untuk perda yang telah diterbitkan, diperlukan revisi menyangkut gaya bahasa
dan peristilahan dengan melakukan konsultasi dengan ahli bahasa dan
menyangkut komunikasi kesehatan dengan ahli bidang komunikasi kesehatan.
c. Jika hal-hhal menyangkut komunikasi kesehatan tidak memungkinkan untuk
dimuat di dalam perda, perlu dipertimbangkan aturan tambahan khusus strategi
komunikasi kesehatan agar masyarakat luas pada umumnya dapat memahami
HIV/AIDS. Selain itu, aparat pemerintah dan pihak-pihak terkait yang
berkewajiban mengimplementasikan perda, memiliki panduan baku yang memang
telah dirancang dari awal bersamaan dengan perda.
d. Untuk mencakup ketiga hal di atas, khususnya yang menyangkut nilai-nilai
kemanusiaan pada ODHIV, diperlukan komunikasi yang melibatkan ODHIV
dalam proses perumusan dan revisi perda tentang penanggulangan HIV/AIDS.
Tujuannya agar pemerintah dan organ-organ terkait dapat memahami
permasalahan apa sebenarnya dihadapi ODHIV dalam kehidupan sehari-hari di
tengah masyarakat.
72
DAFTAR ACUAN
Badudu, J.S. 1996. Analisis dan Evaluasi tentang Perkembangan 25 Tahun Penggunaan
Bahasa Hukum. Yakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional.
Campbell, Catherine. et. al. 2005. Understanding and Challenging HIV/AIDS Stigma.
Durban: HIVAN
Christomy, T. Dan Untung Yuwono. 2004. Semiotika Budaya. Depok: PPKB-DRPM UI.
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia. 2006. Perancangan Peraturan Perundang-
undangan.
Firth, J.R. 1969. Papers in Linguistics 1934—1951. London: University Press.
Hadikusuma, S.H. 1984. Bahasa Hukum Indonesia. Bandung: Alumni.
Harimurti Kridalaksana, dan Tim Peneliti Linguistik Fakultas Sastra Indonesia
Universitas Indonesia. 1999. “Sintaksis (Naskah Kelima).” Bahan Ajar Jurusan
Sastra Indonesia. Depok
Ickovics, J.R. “HIV-Related Stigma and Discrimination in Asia: A Review of Human
Development Consequences”, UNDP Review Paper UNDP, July 2007.
Indrati, Maria Farida. 2007. Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi
Muatan. Yogyakarta: Kanisius.
Indrati, Maria Farida. 2007. Ilmu Perundang-undangan: Proses dan Teknik
Pembentukannya. Yogyakarta: Kanisius
Lanur, Alex. 1983. Logika: Selayang Pandang. Yogyakarta: Kanisius.
Loth. M.A. 1984. Bahasa dan Hukum: Sebuah Metodologi Kecil. Jakarta: Direktorat
Jenderal Peraturan Perundang-undangan.
Swan, Michael. 1996. Practical English Usage: Second Edition. Oxford: University
Press.
UNAIDS. 2005. HIV – Related Stigma, Discrimination, and Human Rigths Violations:
Case Studies for Successful Programmes. Original English Version. UNAIDS.
Valsiderri, Ronald. “HIV/AIDS Stigma: An Impediment to Public Health”. American
Journal of Public Health. March 2002. Vol.92 No.3.
73
Violine, Melody. 2008. Kalimat Efektif dalam Bahasa Hukum Indonesia. Skripsi. FIB
UI.
Widiastuti, Udiati. 1995. Panduan Pustaka: Kalimat Efektif Bahasa Indonesia. Yakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Yuwono, Untung. 2007. “Penulisan Kalimat dalam Karya Ilmiah: Apa yang Perlu
Dikuasai dan yang Perlu Dihindari.” Karya Tulis Ilmiah Sosial. Ed. Yunita T.
Winarto, Totok Suhardiyanto, dan Ezra M. Choesin. Jakarta: Yayasan Obor.