bab i pendahuluan a. latar belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/45136/5/chapter...bab i...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara umum, kehidupan perekonomian merupakan salah satu unsur yang
terpenting dalam kehidupan bernegara. Hal ini dikarenakan hanya melalui
kegiatan perekonomian, suatu negara dapat memenuhi berbagai kebutuhan hidup
masyarakatnya dalam rangka mencapai kesejahteraan. Kegiatan ekonomi ini
kemudian diimplementasikan oleh suatu negara dalam wujud pembangunan
ekonomi nasional yang berkesinambungan, dengan tujuan utamanya mencapai
pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya. Pembangunan ekonomi ini
sendiri, oleh banyak negara, ditempatkan pada urutan pertama dari seluruh
aktivitas pembangunan.2
Permasalahan kemudian timbul karena di dalam dunia usaha dan bisnis,
persaingan itu akan selalu ada. Secara terminologi, kata persaingan dapat diartikan
bahwa ketika ada dua pihak atau lebih yang terlibat dalam upaya saling
mengungguli dan ada kehendak di antara mereka untuk mencapai tujuan yang
Namun, dalam rangka mengembangkan kegiatan
perekonomian, Negara tidak dapat bergerak sendiri. Negara membutuhkan
keiikutsertaan dan keaktifan masyarakat dalam pasar yang kemudian
diimplementasikan oleh masyarakat dengan melakukan berbagai kegiatan
ekonomi dan bisnis.
2 Sirojuzilam dan Kasyful Mahalli, Regional: Pembangunan, Perencanaan, dan Ekonomi, (Medan: USU Press, 2010), hlm. 1.
Universitas Sumatera Utara
sama.3
Contoh klasik dari unfair competition ini adalah praktek monopoli yang
telah dilakukan sejak zaman penjajahan oleh Belanda melalui VOC.
Itu artinya, persaingan dilakukan oleh beberapa pelaku usaha yang sama –
sama bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dari setiap usahanya. Dengan
adanya persaingan di antara beberapa pelaku usaha, sering mengakibatkan adanya
suatu pelaku usaha yang melakukan kecurangan – kecurangan atau melakukan
tindakan yang tidak fair untuk mengungguli pelaku usaha lainnya dalam
memperoleh keuntungan. Akibatnya, maka akan ada pelaku usaha yang dirugikan
dan bisa saja pelaku usaha tersebut tidak dapat lagi melakukan kegiatan usahanya
jika terus – menerus dirugikan. Persaingan di antara para pelaku usaha yang
terjadi secara curang (unfair competition), tidak hanya dapat mengakibatkan
kerugian bagi konsumen, tetapi juga dapat merugikan negara.
4 Tidak hanya
pada masa penjajahan, praktik monopoli juga masih banyak terjadi setelah
kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Pada era orde baru misalnya, praktik-
praktik monopoli dengan perilaku pengusaha yang anti persaingan berkembang
pesat dan bahkan tidak mampu diatasi oleh pemerintah saat itu. Dapat diambil
contoh misalnya monopsoni BPPC dalam pembelin cengkeh5, masuknya PT
Timor sebagai industri otomotif nasional dengan berbagai fasilitas dan
kemudahan, dan beberapa contoh kasus monopoli lainnya.6
3 Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 13.
Hal ini telah
4 Suhasril dan Mohammad Taufik Makarao, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia (Jakarta,Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 2.
5 Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia: UU No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Ningrum Natasya Sirait I), (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004), hlm. 6-7.
6 Munir Fuady, Hukum Antimonopoli: Menyongsong Era Persaingan Sehat (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 41.
Universitas Sumatera Utara
menumbuhkan korporasi besar dan konglomerasi yang menguasai dan
memonopoli hampir disemua sector perekonomian Indonesia. Dunia
perekonomian dimonopoli oleh beberapa pengusaha yang mempunyai ikatan baik
dengan penguasa. Namun di sisi lain, tidak ada instrumen hukum yang secara
tegas dapat diterapkan untuk menghukum para pelaku praktik monopoli tersebut
berakibat pada sulitnya penegakan hukum dibidang persaingan usaha karena tidak
adanya aturan yang secara khusus mengatur tentang larangan praktik monopoli.
Monopoli ini kemudian mengakibatkan situasi perekonomian Indonesia
menjadi kurang sehat dan seiring waktu, banyak kendala yang terjadi akibat
kegiatan monopoli tersebut. Bahkan kegiatan monopoli tersebut kemudian
menjadi salah satu faktor Indonesia dilanda krisis moneter tahun 1998.7
Dihadapkan dengan situasi tersebut, Pemerintah kemudian sadar bahwa harus
dibuat suatu regulasi dalam rangka pencegahan maupun penanggulangan
permasalahan yang akan/sedang timbul khususnya dibidang persaingan usaha.8
Suatu Undang-Undang Antimonopoli atau Undang-Undang Persaingan
Usaha merupakan kelengkapan hukum yang diperlukan dalam suatu
Untuk itu, maka pada tanggal 5 Maret 1999 diundangkanlah sebuah Undang-
Undang yang mengatur persoalan Antimonopoli, yaitu Undang- Undang No. 5
Tahun 1999 (LN 1999-33) tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat.
7 Munir Fuady, op.cit., hlm. 3. 8 Andi Fahmi Lubis, et.al., Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks (Jakarta :
Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit, 2009), hlm. 3.
Universitas Sumatera Utara
perekonomian yang menganut mekanisme pasar.9 Disatu sisi Undang- Undang ini
diperlukan untuk menjamin agar kebebasan bersaing dalam perekonomian dapat
berlangsung tanpa hambatan, dan dilain pihak Undang- Undang ini juga berfungsi
sebagai rambu-rambu untuk memagari agar tidak terjadi praktik-praktik ekonomi
yang curang. Memilih ekonomi pasar tanpa melengkapi dengan pagar-pagar
peraturan, sama saja dengan membiarkan ekonomi berjalan berdasarkan hukum
siapa yang kuat boleh menghabiskan siapa yang lemah yang kemudian akhirnya
akan mengakibatkan penghentian fungsi pasar.10
Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat kemudian berimbas pada
pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai lembaga yang
berwenang untuk mengimplementasikan Undang-Undang tersebut. Sebagai
lembaga yang akan mengawasi pelaksanaan Undang-Undang ini, maka KPPU
memiliki tugas dan kewenangan dalam melakukan pencegahan dan penindakan
atas pelanggaran hukum persaingan usaha serta memberikan saran dan
pertimbangan kepada pemerintah dan instansi negara terkait.
Oleh karena itulah, keberadaan
Undang-Undang ini sangatlah krusial dan merupakan suatu keniscayaan.
11
9 Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 57.
Kewenangan
KPPU tidak terbatas hanya pada penindakan terhadap kegiatan monopoli saja
tetapi juga terhadap seluruh perbuatan yang dilarang dalam UU Nomor 5 tahun
10 Knud Hansen, Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Jakarta: Katalis Publishing Media Services, 2002), hlm. 6.
11 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Bab VI, Pasal 35, Huruf d dan e.
Universitas Sumatera Utara
1999 misalnya Kartel, Predatory Pricing, Persekongkolan Tender (Tender
Conspiracy), dll.
Salah satu kasus Persekongkolan Tender yang ditangani oleh KPPU dan
telah diputus pada tahun 2011 adalah kasus Proyek Donggi– Senoro di Sulawesi
Tengah yang melibatkan PT Pertamina (Persero), PT Medco Energi International,
Tbk., PT Medco E&P Tomori Sulawesi, dan Mitsubishi Corporation dengan No
Putusan 35/KPPU-I/2010. Indikasi awal adanya dugaan praktik persaingan usaha
tidak sehat dalam Proyek Donggi Senoro ini sebenarnya muncul setelah adanya
laporan dari PT LNG Energi Utama (PT LEU) yang kalah dalam proses beauty
contest12
12 Erman Rajagukguk, “Perluasan Tafsir Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999”, Jurnal Yudisial, Komisi Yudisial R.I. Volume V, No.01, April 2012, hlm.1.
pembangunan PT Donggi Senoro LNG (PT DSL). PT LEU awalnya
melaporkan bahwa telah terjadi persaingan usaha tidak sehat yaitu terkait dugaan
pelanggaran Pasal 20 dan 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dalam Proyek
Donggi Senoro dan juga pencurian rahasia perusahaan yang dilakukan oleh
Mitsubishi Corporation setelah melakukan due diligence. PT LEU meminta
KPPU untuk menyelidiki Gase Sale Agreement (GSA) yang telah ditandatangani
oleh PT DSL dengan PT Pertamina EP serta kontrak GSA antara PT DSL dengan
PT Pertamina HE Tomori dan PT Medco HE Tomori karena dengan meneliti
GSA tersebut, diharapkan KPPU dapat mempelajari perbandingan harga, baik
harga jual gas maupun nilai proyek pada saat tender, dengan harga yang
disepakati di dalam GSA sebagai bukti adanya tindakan merusak pesaing
(predatory practices) dan penawaran pura-pura (artificial offering) dalam beauty
contest tersebut. Namun setelah KPPU melakukan klarifikasi laporan yang
Universitas Sumatera Utara
tercatat dengan Nomor 1038 mulai tanggal 29 Januari 2009 hingga 9 Juni 2009
dan telah menyelesaikan resume laporan akhirnya diputuskan bahwa laporan
dugaan praktik persaingan usaha tidak sehat dalam proyek Donggi Senoro
tersebut dihentikan karena tidak cukup bukti.
Setelah selang beberapa waktu kasus tersebut sempat dinyatakan
dihentikan karena tidak cukup bukti, KPPU kemudian memutuskan untuk
membuka kembali dengan melakukan monitoring terhadap kasus dugaan
persaingan usaha tidak sehat tersebut. Setelah melakukan serangkaian kegiatan
monitoring, Tim Monitoring menemukan adanya indikasi bahwa dalam
pembangunan Proyek Donggi Senoro tersebut telah terjadi pelanggaran terhadap
Pasal 22 dan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dimana KPPU
menilai bahwa proses Beauty Contest yang dilakukan oleh PT Pertamina dan PT.
Medco Energi Internasional telah sengaja mengarahkan PT Mitsubishi
Corporation sebagai pemenang dalam proses Beauty Contest tersebut. Dalam
perkara ini, KPPU kemudian pada tanggal 5 Januari 2011 memutuskan bahwa PT
Pertamina (Persero), PT Medco Energi Internasional, Tbk dan Mitsubishi
Corporation telah terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 dan
menyatakan bahwa PT Medco Energi Internasional, Tbk, PT Medco E&P Tomori
Sulawesi dan Mitsubishi Corporation terbukti secara sah dan meyakinkan
melanggar Pasal 22 dan 23 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan
menghukum PT Pertamina (Persero) membayar denda sebesar Rp
10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah), PT Medco Energi Internasional, Tbk
membayar denda sebesar Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) dan Mitsubishi
Universitas Sumatera Utara
Corporation membayar denda sebesar Rp. 15.000.000.000,- (lima belas milyar
rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda
pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas
Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755
(Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha).13 Putusan KPPU
ini kemudian dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.
34/PDT.G/KPPU/2011/PN.JKT.PST setelah melalui mekanisme banding. 14
Putusan yang dikeluarkan oleh KPPU tersebut dinilai bermasalah dan
tidak sesuai dengan aturan yang ada. PT. Pertamina dan PT. Medco Energi
Internasional menilai bahwa KPPU tidak bisa membedakan antara beauty contest
yang digunakan dalam proyek Donggi Senoro dan tender seperti yang dimaksud
dalam kedua pasal tersebut.
15
13 Putusan KPPU No.35/KPPU-I/2010 tentang Proses Beauty contest Proyek Donggi Senoro hlm. 244-245.
Meskipun kasus ini telah diputus pada tahun 2011
dan telah dibawa banding ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, namun kaidah dan
norma hukum yang telah diputus tersebut masi menjadi suatu polemik yang
hangat di dalam dunia Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Pertimbangan
KPPU dalam menilai bahwa proses/praktik beauty contest dalam memilih mitra
usaha dapat disamakan dengan proses tender telah mengakibatkan kebingungan
dan kerancuan dalam kegiatan perekonomian di Indonesia. Hal ini dapat
dibuktikan dengan perbedaan pendapat antara para pakar Hukum Persaingan
Usaha seperti Prof. Erman Rajagukguk, Dr. Susanti Adi Nugroho,dll dengan
14 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 34/PDT.G/KPPU/2011/PN.JKT.PST hlm. 275.
15 Hukum-online, “Pertamina dan Medco Keberatan Atas Putusan KPPU”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20357/pertamina-danmedco- keberatan-atas-putusan-kppu, (diakses tanggal 23 Januari 2014).
Universitas Sumatera Utara
KPPU dimana mereka menilai bahwa beauty contest tidak dapat disamakan
dengan tender sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999.
Eksistensi polemik ini kemudian kembali dipertegas dengan adanya perbedaan
pendapat oleh Mahkamah Agung melalui putusan kasasi dengan No Perkara. 305
K/Pdt.Sus/2012 yang mengabulkan permohonan pemohon kasasi (PT. Pertamina)
dan membatalkan Putusan KPPU dan Putusan PN Jakarta Pusat16
Oleh karena masih adanya polemik didalam menanggapi putusan KPPU
mengenai beauty contest ini dan bahwa penulis merasa perkara ini khususnya
dalam interpretasi pasal 22 UU No 5 Tahun 1999 mengenai Persekongkolan
Tender merupakan masalah yang krusial dan fundamental bukan hanya antara
pihak PT. Pertamina et al dan KPPU namun juga untuk kejelasan bagi dunia usaha
di Indonesia, maka penulis berpendapat bahwa masih perlu dilakukan pembahasan
lebih lanjut dan mendalam untuk memperjelas dan menjawab polemik yang
timbul. Oleh karena itu, maka penelitian ini akan berusaha untuk mendefinitifkan
dan mencari jawaban terhadap perdebatan antara apakah Beauty contest dalam
rangka mencari partner usaha dapat dianggap sebagai tender atau tidak dalam
semangat Pasal 22 UU No.5 Tahun 1999. Selain itu juga diharapkan penelitian ini
dapat memberikan sedikit gambaran dan titik terang dalam penyelesaian beda
(salinan putusan
kasasi belum diturunkan oleh Mahkamah Agung sampai pada saat penelitian ini
dimulai). Polemik mengenai “Beauty Contest” ini sepertinya masih belum dapat
mencapai keputusan konkret dalam waktu dekat dikarenakan masih adanya upaya
Peninjauan Kembali yang mungkin akan diambil oleh Pemerintah.
16 http://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/perkara/perkara_detail.php?id=712881c0-904d-104d-87d2 30353433 (diakses tanggal 23 Januari 2014).
Universitas Sumatera Utara
pendapat dalam perkara eksplorasi minyak dan gas di Donggi – Senoro antara PT.
Pertamina, PT. Medco Energi Internasional dan Mitsubishi Corporation dengan
pihak KPPU. Penulis berharap nantinya penelitian ini dapat dijadikan bahan acuan
dan referensi karya ilmiah dalam menganalisis dan menyelesaikan perkara ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat
dirumuskan 3 permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini, yaitu:
1. Bagaimana Ruang Lingkup Praktek Tender dan Beauty Contest yang ada di
Indonesia.
2. Bagaimana Perbedaan Pengertian “Beauty Contest” untuk memilih mitra usaha
dengan pengertian persekongkolan tender sebagaimana diatur dalam Pasal 22
UU No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat?
3. Bagaimana Pertimbangan Hukum KPPU dalam menafsirkan dan menerapkan
Pasal 22 UU No.5 Tahun 1999 dalam memutus perkara No. 35/KPPU-I/2010
tentang praktek Beauty Contest proyek Donggi Senoro?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai melalui karya tulis skripsi ini ialah:
a. Untuk mengetahui cakupan pengertian “Tender” dan Persekongkolan
Tender” sebagaimana diatur dalam UU No.5 Tahun 1999
Universitas Sumatera Utara
b. Untuk menjelaskan perbedaan proses beauty contest dalam memilih
mitra usaha dengan persekongkolan tender sebagaimana diatur dalam
Pasal 22 Undang- Undang No.5 Tahun 1999.
c. Untuk menganalisis secara ilmiah permasalahan hukum eksplorasi gas
Blok Donggi Senoro dan menjawab permasalahan yang ada dalam
pertimbangan KPPU dalam memutus perkara ini.
2. Manfaat Penulisan
a. Secara Teoritis
1) Untuk menambah wawasan mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara dalam bidang hukum persaingan
usaha terutama berhubungan dengan persekongkolan tender.
2) Sebagai salah satu bahan kajian oleh kalangan akademisi dalam
mempelajari cakupan persekongkolan tender dalam kaitannya
dengan praktik beauty contest untuk memilih mitra usaha
b. Secara Praktis
1) Untuk memberikan masukan kepada pihak pemerintah dan KPPU
dalam melakukan interpretasi dan penafsiran terhadap Pasal 22
UU No.5 Tahun 1999 tentang Persekongkolan Tender
2) Untuk memberikan masukan kepada pihak KPPU, PT.Pertamina
et al untuk dapat menyelesaikan permasalahan hukum yang
terjadi dalam proses beauty contest eksplorasi gas Blok Donggi
Senoro.
Universitas Sumatera Utara
D. Keaslian Penulisan
Skripsi yang berjudul “PERTIMBANGAN HUKUM KPPU DALAM
MEMUTUS PERKARA NO. 35/KPPU-I/2010 TENTANG PRAKTEK BEAUTY
CONTEST SEBAGAI BENTUK PERSEKONGKOLAN TENDER” ini
merupakan benar hasil karya sendiri dari penulis sendiri, tanpa meniru Karya
Tulis milik orang lain. Oleh karenanya, keaslian dan kebenaran ini dapat
dipertanggungjawabkan oleh penulis sendiri dan telah sesuai dengan asas-asas
keilmuan yang harus dijunjung tinggi secara akademik yaitu kejujuran, rasional,
objektif, dan terbuka. Hal ini merupakan implikasi etis dalam proses menemukan
kebenaran ilmu sehingga dengan demikian penulisan Karya Tulis ini dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, keilmuan dan terbuka untuk kritik yang
sifatnya konstruktif. Selain itu, semua informasi di dalam skripsi ini berasal dari
berbagai karya tulis penulis lain, baik yang dipublikasikan ataupun tidak, serta
telah diberikan penghargaan dengan mengutip nama sumber penulis dengan benar
dan lengkap.
Karya tulis skripsi ini memiliki kemiripan dengan beberapa skripsi yang
sudah ditulis oleh beberapa mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, yaitu:
1. Nama : Elizabeth Aritonang
NIM : 010200035
Judul : Peranan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
dalam Penegakan Hukum Persaingan Usaha di
Indonesia menurut Undang-Undang No.5 Tahun 1999
Universitas Sumatera Utara
2. Nama : Agung Yuriandi
NIM : 030200058
Judul : Peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
dalam mengawasi Tender Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD) di Sumatera Utara.
3. Nama : Corry Sinaga
NIM : 070200084
Judul : Analisis Yuridis Terhadap Perjanjian Tertutup dalam
Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Studi
Putusan KPPU No.6/KPPU-L/2004.
4. Nama : Johannes Tare Pangaribuan
NIM : 070200235
Judul : Posisi Dominan yang Mengakibatkan Praktik Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Studi Kasus
Putusan KPPU No.02/KPPU-L/2005 Tentang
Carrefour).
Walaupun terdapat kemiripan dengan beberapa judul di atas, namun
terdapat perbedaan signifikan mengenai substansi pembahasan. Penelitian yang
Universitas Sumatera Utara
dilakukan dengan judul “Pertimbangan Hukum KPPU dalam Memutus Perkara
no.35/KPPU-I/2010 Tentang Praktek Beauty Contest Sebagai Bentuk
Persekongkolan Tender” ini secara khusus membahas mengenai perbedaan
praktek beauty contest yang dilakukan oleh perusahaan dalam rangka mencari
mitra usaha dengan pengertian tender sebagaimana dimaksud UU No.5 Tahun
1999 serta analisis pertimbangan hukum KPPU dalam memutus perkara
No.35/KPPU-I/2010 tentang proyek Blok Donggi Senoro. Sedangkan keempat
skripsi diatas membahas mengenai UU No.5 Tahun 1999 secara umum,
kewenangan KPPU dalam mengawasi pelaksanaan tender serta Studi Kasus
Putusan KPPU yang sama sekali berbeda dengan judul penelitian ini.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Kata "monopoli" berasal dari bahasa Yunani yang berarti "penjual
tunggal" 17Black’s Law Dictionary mendefinisikan monopoli sebagai sebuah
keistimewaan atau keuntungan yang melekat pada satu atau lebih orang atau
perusahaan, yang terdiri dalam hak eksklusif (atau kekuasaan) untuk menjalankan
suatu bisnis tertentu atau perdagangan, manufaktur tertentu, atau mengontrol
penjualan pasokan seluruh komoditas tertentu.18
17 Munir Fuady, Op. cit., hlm. 4.
Disamping istilah monopoli, di
Amerika Serikat sering digunakan kata antitrust untuk pengertian yang sepadan
dengan istilah "Antimonopoli" atau istilah "domination" yang dipakai oleh
masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan istilah "monopoli". Selain
18 Black’s Law Dictionary 8th edition.
Universitas Sumatera Utara
itu, terdapat lagi istilah yang artinya mirip-mirip yaitu istilah "kekuatan pasar".
Dalam praktik keempat istilah itu, yaitu istilah "monopoli" ," antitrust' , "kekuatan
pasar", dan "dominasi" saling dipertukarkan pemakaiannya. Keempat istilah
tersebut dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan di mana seseorang
menguasai pasar, di mana pasar tersebut tidak tersedia lagi produk substitusi atau
produk substitusi potensial' dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut
untuk menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi tanpa mengikuti
hukum persaingan pasar atau hukum tentang permintaan dan penawaran pasar.19
Monopoli dapat teriadi dalam setiap sistem ekonomi. Dalam sistem
ekonomi kapitalisme dan liberalisme dengan instrumen kebebasan pasar,
kebebasan keluar masuk tanpa restriksi, serta informasi dan bentuk pasarnya yang
atomistik monopolistik telah melahirkan monopoli sebagai anak kandungnya.
Adanya persaingan tersebut mengakibatkan lahirnya perusahaan-perusahaan yang
secara naluriah ingin mengalahkan pesaing-pesaingnya agar menjadi yang paling
besar paling hebat, dan paling kaya Sedangkan dalam sistem ekonomi sosialisme
dan komunisme monopoli juga teriadi dengan bentuk yang khas. Dengan nilai
instrumental perencanaan ekonomi yang sentralistik dan pemilikan faktor
produksi secara kolektif segalanya doimonopoli negara dan diatur dari pusat.
20
Kemunculan monopoli dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan cara,
yaitu:
21
19 Munir Fuady, Op. cit., hlm.4.
20 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Anti Monopoli (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 3-4.
21 Arie Siswanto, Op. cit., hlm. 22.
Universitas Sumatera Utara
a. Monopoli yang terjadi karena memang dikehendaki oleh hukum, maka
timbullah monopoly by law. Undang-Undang Dasar Tahun 1945
membenarkan adanya monopoli jenis ini, dengan memberi monopoli bagi
negara untuk menguasai bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya serta cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang
banyak. Berhubung sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak karena
sifatnya yang memberi pelayanan untuk masyarakat dilegitimasi untuk
dimonopoli dan tidak diharamkan. Selain itu pemberian hak-hak istimewa dan
eksklusif atas penemuan baru, merupakan bentuk monopoli yang diakui oleh
undang-undang;
b. Monopoli yang lahir dan tumbuh secara alamiah karena didukung oleh iklim
dan lingkungan yang cocok, timbullah monopoly by nature. Bentuk monopoli
ini, dapat dilihat dengan tumbuhnya perusahaan- perusahaan yang karena
memiliki keunggulan dan kekuatan terntentu dapat menjadi raksasa bisnis
yang menguasai seluruh pangsa pasar yang ada. Mereka menjadi besar karena
memiliki sifat-sifat yang cocok dengan tempat dimana mereka tumbuh. Selain
itu karena berasal dan didukung dengan bibit yang unggul serta memiliki
faktor-faktor dominan;
c. Monopoli yang diperoleh melalui lisensi dengan menggunakan mekanisme
kekuasaan, timbullah monopoly by license. Monopoli ini diperoleh melalui
lisensi dengan menggunakan mekanisme kekuasaan kekuasaan. Monopoli
jenis inilah yang sering menimbulkan distorsi ekonomi karena kehadirannya
mengganggu keseimbangan (equilibrium) pasar yang sedang berjalan dan
Universitas Sumatera Utara
bergeser kearah yang diinginkan oleh pihak yang memiliki monopoli
tersebut.22
Kemunculan Monopoli yang dapat menyebabkan distorsi pasar inilah yang
kemudian perlu dicegah dan dihindari. Richard Posner dalam bukunya "Antitrust
Law (An Economic Perspective)" mengemukakan ada 3 (tiga) alasan politis
mengapa monopoli tidak dikehendaki, yaitu: pertama, monopoli mengalihkan
kekayaan dari para konsumen kepada pemegang saham perusahaan-perusahaan
yang monopolistic, yaitu suatu distribusi kekayaan yang berlangsung dari
golongan yang kurang mampu kepada yang kaya. Kedua, monopoli atau secara
lebih luas setiap kondisi (seperti concentration) yang memperkuat kerja sama di
antara perusahaan-perusahaan yang bersaing, akan mempermudah dunia industri
untuk melakukan manipulasi politis guna dapat memperoleh proteksi (dari
pemerintah) berupa dikeluarkannya peraturan perundang-undangan yang memberi
proteksi kepada mereka yang memungkinkan mereka memperoleh kesempatan
meningkatkan keuntungan mereka di bidang industri yang bersangkutan.
Perlindungan tersebut sering berbentuk hambatan terhadap kemudahan untuk
memasuki pasar bagi perusahaan lain dan hambatan terhadap berlakunya Undang-
Undang Anti Monopoli kepada mereka, yang lebih lanjut akan menimbulkan
pembentukan kartel di dalam industri yang bersangkutan yang melalui cara itu
akan lebih efektif bekerjanya daripada dilakukan melalui pembuatan perjanjian di
antara perusahaan-perusahaan tersebut. Terakhir, berkaitan dengan keberatan atas
22 Ibid, hlm. 5-6
Universitas Sumatera Utara
praktik monopoli bahwa kebijakan Antimonopoli yang bertujuan untuk
meningkatkan economic efficiency dengan cara membatasi monopoli itu, adalah
suatu kebijakan yang bertujuan untukmembatasi kebebasan bertindak dari
perusahaan-perusahaan besar demi tumbuh dan berkembangnya perusahaan-
perusahaan kecil.23
Namun, dalam konteks yuridis tidak semua bentuk kegiatan monopoli
dilarang. Hanya kegiatan monopoli yang mengakibatkan terjadinya praktik
persaingan usaha tidak sehatlah yang dilarang yaitu pasar monopoli yang dapat
menimbulkan pemusatan ekonomi pada satu kelompok dimana tidak terjadi
persaingan usaha yang sehat dan keadaan ini dapat merugikan konsumen karena
tidak terdapat pesaing lainnya.
24 Namun, selama suatu pemusatan kekuatan
ekonomi tidak menyebabkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat, maka
tidak dapat dikatakan telah terjadi suatu praktek monopoli, yang melanggar atau
bertentangan dengan undang-undang, meskipun monopoli itu sendiri nyata-nyata
telah terjadi (dalam bentuk penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang
dan/atau jasa tertentu). Di sini monopoli itu sendiri tidak dilarang karena yang
dilarang adalah praktik monopoli yang menyebabkan terjadinya persaingan usaha
tidak sehat.25
Sementara itu, persaingan usaha tidak sehat adalah:
"Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan/atau jasa
23 Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Cet. Pertama(Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 85-86.
24 Ibid, hlm. 83. 25 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op. cit., hlm. 18.
Universitas Sumatera Utara
yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau
menghambat persaingan usaha."26
Istilah lain persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan curang (unfair
competition) atau praktik bisnis yang tidak jujur. Jadi, persaingan usaha tidak
sehat itu adalah suatu persaingan usaha yang dilakukan oleh antar pelaku usaha
secara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Pelaku usaha di sini melakukan cara-cara persaingan usaha yang tidak jujur,
melawan hukum, atau setidak-tidaknya perbuatan yang dilakukan pelaku usaha
tersebut dapat menghambat persaingan usaha.
Praktik bisnis yang tidak jujur dapat diartikan sebagai segala tingkah laku
yang tidak sesuai dengan iktikad baik, kejujuran di dalam berusaha. Perbuatan ini
termasuk perbuatan melawan hukum. Karenanya praktik bisnis yang tidak jujur
dilarangkarena dapat mematikan persaingan yang sebenarnya ataupun merugikan
perusahaan pesaing secara tidak wajar/tidak sehat dan juga dapat merugikan
konsumen. 27
Selain pelarangan kegiatan monopoli, berdasarkan laporan kerja United
Nation Conference on Trade and Development, legislasi Undang-Undang
Monopoli di berbagai Negara mempunyai esensi yang sama yaitu melarang:
28
26 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Bab I, Pasal 1, Angka6.
27 Rachmadi Usman, Op. cit., hlm. 88. 28 United Nations Conference on Trade and Developments, “Issues Related to
Competition Law of Particular Relevance to Development: Preparations for a Handbook on Competition Legislation, Handbook on Competition Legislation, Note by the UNCTAD Secretariat”, UNCTAD, 18 November 1998, hlm. 5.
Universitas Sumatera Utara
a. Perjanjian Tertutup
Pelarangan terhadap perjanjian yang mengatur harga, menyamakan
harga, mengatur pasar, syarat-syarat penjualan maupun tying contract.
Contoh tying contract, misalnya penjualan susu dikaitkan dengan sikat
gigi. Hal ini tidak adil bagi penjual susu yang tidak bisa mengikatkan
diri pada penjualan produk susu.
b. Price Discrimination dan Price Fixing
Contoh price discrimination, seperti menjual produk dengan harga
yang berbeda pada 2 (dua) orang. Contoh price fixing adalah pelaku
usaha yang menetapkan harga jual kembali apabila barang tersebut
dijual kembali oleh pembeli.
c. Pembagian pasar atau konsumen
Misalnya pembagian wilayah pada penjualan semen. Untuk daerah
timur diberikan kepada Semen Tomasa dan wilayah Barat kepada
Semen Padang.
d. Collusive tendering atau bid rigging
Collusive tendering atau bid rigging adalah suatu tindakan yang
dilakukan oleh para peserta tender untuk memenangkan suatu peserta
tender, dengan oleh para peserta tender untuk memenangkan suatu
peserta tender dengan cara berpura-pura menjadi competitor. Di
Indonesia dikenal dengan istilah “persekongkolan tender”. Tender ini
merupakan kecenderungan di seluruh dunia terutama di proyek
pemerintah.
Universitas Sumatera Utara
e. Boycott
Boycott adalah tidak membeli pada atau menjual kepada satu pelaku
tertentu.29
f. Cartel
Dalam pasar oligopoli, sangat cenderung untuk dilakukan kartel.
Kartel adalah kelompok produsen independen yang bertujuan
menetapkan harga, untuk membatasi suplai dan kompetisi.
g. Merger dan akuisisi
Merger adalah penggabungan dua perusahaan menjadi satu, dimana
perusahaan yang me-merger mengambil/membeli semua assets dan
liabilities perusahaan yang di-merger dengan begitu perusahaan yang
me-merger memiliki paling tidak 50% saham dan perusahaan yang di-
merger berhenti beroperasi dan pemegang sahamnya menerima
sejumlah uang tunai atau saham di perusahaan yang baru. Sedangkan
akuisisi adalah pembelian suatu perusahaan oleh perusahaan lain atau
oleh kelompok investor. Akuisisi sering digunakan untuk menjaga
ketersediaan pasokan bahan baku atau jaminan produk akan diserap
oleh pasar.
h. Predatory behavior
Predatory behavior didasarkan pada rule of reason. Misalnya satu
pabrik menjual murah dibawah produksi, apakah hal itu termasuk
predatory. Kalau memakai per se lllegal dipastikan bahwa perilaku
29 Rachmadi Usman, Op. cit., hlm. 75.
Universitas Sumatera Utara
tersebut cenderung membunuh pelaku usaha lain. Akan tetapi apabila
menggunakan rule of reason harus dicari alasan dibaliknya apakah
memang mengakibatkan pelaku lain mati untuk kemudian diambil alih,
atau memang karena pelaku tersebut sudah akan bangkrut, atau
mempunyai stok barang-barang yang tidak laku (semacam cuci
gudang). Hal ini sering terjadi di Jepang yang melakukan hal itu
dengan alasan efisiensi.30
2. Hukum Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia.
Di Indonesia, pengaturan mengenai larangan anti monopoli diatur di dalam
Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. Munculnya Undang-Undang ini merupakan
puncak dari berbagai upaya yang mengatur masalah persaingan antar pelaku usaha
dan larangan melakukan praktik monopoli. Dalam sejarahnya upaya untuk
membentuk hukum persaingan usaha telah dimulai sejak tahun 1970-an. Berbagai
rancangan undang-undang dan naskah akademis telah dimunculkan, namun baru
pada tahun 1998, sebagian karena desakan International Monetary Fund (IMF),
pembicaraan untuk membentuk undang-undang yang mengatur masalah
persaingan usaha secara serius dilakukan.31
30 Ibid.
Dalam perjanjian tersebut, IMF
menyetujui pemberian bantuan keuangan kepada Negara Republik Indonesia
sebesar US$ 43 miliar yang bertujuan untuk mengatasai krisis ekonomi, akan
tetapi dengan syarat Indonesia melaksanakan reformasi ekonomi dan hukum
31 Ningrum Natasya Sirait I, Op. cit., hlm. 7.
Universitas Sumatera Utara
ekonomi tertentu. Hal ini menyebabkan diperlukannya undang-undang
Antimonopoli. Akan tetapi perjanjian dengan IMF tersebut bukan merupakan
satu-satunya alasan penyusunan undang-undang tersebut32
Terdapat beberapa pertimbangan yang dijadikan alasan untuk segera
membuat UU Antimonopoli tersebut yaitu:
a. RUU tentang Antimonopoli tersebut merupakan RUU atas Usul
Insiatif DPR pada Kabinet Reformasi Pembangunan yang pada rezim
Orde Baru berkuasa tidak pernah dipergunakan/difungsikan. Peran
serta fungsi DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat yang
memperjuangkan hak-hak serta aspirasi rakyat selama itu terbelenggu
oleh kekuasaan Orde Baru;
b. RUU tentang Antimonopoli dan Persaingan Usaha, usulan dari
Kementerian Perindustrian dan Perdagangan, karena adanya tekanan
dari IMF, merupakan suatu hal yang sangan dinantikan oleh para
pelaku usaha untuk lebih membangkitkan iklim bisnis dan usaha yang
sehat dan etis;
c. Karakter iklim usaha yang dibina oleh pemerintahan Orde Baru selama
32 tahun sangat monopolistis, dekat dengan penguasa, sehingga terjadi
monopoli kebenaran, monopoli kekuasaan, dan sebagainya. Mereka
yang memperjuangkan kehadiran UU Antimonopoli dan Persaingan
Usaha yang Sehat dianggap telah melakukan perbuatan subversive
oleh rezim Orde Baru.
32 Andi Fahmi Lubis, Op. cit., hlm. 12.
Universitas Sumatera Utara
Dari konsiderans menimbang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,
dapat diketahui falsafah yang melatardepani kelahirannya yaitu:
a. Pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya
kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945;
b. Demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan
yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam
proses produksi dan pemasaran barang atau jasa, dalam iklim usaha
yang sehat, efektif dan efisien, sehingga dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi dan bekerjasama ekonomi pasar yang wajar.
c. Setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi
persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya
pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak
terlepas dari kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh negara republik
Indonesia terhadap perjanjian-perjanjian Internasional.33
Sementara itu Penjelasan Umum Undang-Undang No.5 Tahun 1999 juga
menyatakan antara lain:
Memperhatikan situasi dan kondisi tersebut di atas, menuntut kita untuk mencermati dan menata kembali kegiatan usaha di Indonesia, agar dunia usaha dapat tumbuh serta berkembang secara sehat dan benar, sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang sehat, serta terhindarnya pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu, antara lain dalam bentuk praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang merugikan masyarakat, yang bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial. Oleh karena itu, perlu disusun undang-undang tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang dimaksudkan untuk menegakkan
33 Rachmadi usman, Op. cit., hlm. 12.
Universitas Sumatera Utara
aturan hukum dan memberikan perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha di dalam upaya untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat, Undangundang ini memberikan jaminan kepastian hukum untuk lebih mendorong percepatan pembangunan ekonomi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan umum, serta sebagai implementasi dari semangat dan jiwa Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian kelahiran Undang-Undang No.5 Tahun 1999 ini
dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan yang
sama kepada setiap pelaku usaha dalam berusaha, dengan cara mencegah
timbulnya praktik-praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat
lainnya dengan harapan dapat meneiptakan iklim usaha yang kondusif, di mana
setiap pelaku usaha dapat bersaingan secara wajar dan sehat. Untuk itu diperlukan
aturan hukum yang pasti dan jelas yang mengatur larangan praktik monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat lainnya.
Pembentukan Undang-Undang Antimonopoli ini didasarkan pada asas-
asas dan tujuan yang pada intinya untuk mengatur berjalannya
kompetisi/persaingan usaha di Indonesia serta untuk memberikan “level playing
field” atau kesempatan yang sama bagi pelaku usaha untuk bersaing.34
34 Ningrum Natasya Sirait, Menata Ulang Kembali Persaingan Usaha di Indonesia dalam Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dan Perkembangannya, (Ningrum Natasya Sirait II), (Yogyakarta: Cicods FH UGM, 2009), hlm. 25.
Asas dari
UU No. 5 tahun 1999 adalah bahwa: “Pelaku usaha di Indonesia dalam
menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan
memperhatikan keseimbangan antar kepentingan pelaku usaha dan kepentingan
umum”. Asas demokrasi ekonomi tersebut merupakan penjabaran Pasal 33 UUD
Universitas Sumatera Utara
1945 dan ruang lingkup pengertian demokrasi ekonomi yang dimaksud dahulu
dapat ditemukan dalam penjelasan atas Pasal 33 UUD 1945.35
Adapun tujuan dari UU No. 5 tahun 1999 adalah untuk:
36
a. menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b. mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil;
c. mencegah praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha, dan
d. terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
Pasal 2 dan 3 tersebut di atas menyebutkan asas dan tujuan-tujuan utama
UU No. 5 Tahun 1999. Diharapkan bahwa peraturan mengenai persaingan akan
membantu dalam mewujudkan demokrasi ekonomi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 Ayat 1 UUD 1945 (Pasal 2) dan menjamin sistem persaingan usaha yang
bebas dan adil untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat serta menciptakan sistem
perekonomian yang efisien (Pasal 3). Oleh karena itu, mereka mengambil bagian
pembukaan UUD 1945 yang sesuai dengan Pasal 3 Huruf a dan b UU No. 5
Tahun 1999 dari struktur ekonomi untuk tujuan perealisasian kesejahteraan
nasional menurut UUD 1945 dan demokrasi ekonomi, dan yang menuju pada
sistem persaingan bebas dan adil dalam pasal 3 Huruf a dan b UU No. 5 Tahun
1999. Hal ini menandakan adanya pemberian kesempatan yang sama kepada
35 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Bab II, Pasal 2
36 Ibid, Pasal 3
Universitas Sumatera Utara
setiap pelaku usaha dan ketiadaan pembatasan persaingan usaha, khususnya
penyalahgunaan wewenang di sektor ekonomi.37
3. Ruang Lingkup Pengaturan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia.
Undang-Undang Antimonopoli bertujuan untuk mengontrol tindakan
pelaku usaha dari perbuatan melakukan praktik monopoli, di samping berusaha
mempromosikan kompetisi yang sehat, jujur, dan terbuka. Undang-Undang No.5
Tahun 1999 memuat hal-hal yang cukup luas. Hal ini telah dilihat dari materi
undang-undang itu sendiri yang memuat mengenai pelanggaran terhadap
persaingan usaha, termasuk perbuatan apa yang diatur bagi tindakan pelaku usaha,
berikut dengan pengaturan mengenai sanksi.38
Perbuatan yang secara luas diatur dalam Undang-Undang No.5 Tahun
1999 adalah kartel (kombinasi keseluruhan pengontrolan produksi, penjualan dan
harga, yang bertujuan untuk memonopoli atau membatasi kompetisi suatu
industry atau komoditas); exclusive dealing (bentuk integrasi vertical dengan
kontrak dimana pembeli setuju untuk membeli seluruh kebutuhan pasokan
komoditas tertentu dari suatu penjual); merger/akuisisi perusahaan sejenis atau
vertical; price fixing (kerjasama dengan perusahaan yang bersaing untuk
Undang-Undang No.5 Tahun 1999
dapat dianggap disusun secara singkat dan sederhana. Namun ditinjau dari isinya,
Undang-Undang No.5 tahun 1999 ini sudah cukup memadai, terutama jika dilihat
dari ide untuk mencegah dan menanggulangi tindakan monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat.
37 Andi Fahmi Lubis, Op. cit., hlm. 15. 38 Rachmadi Usman, Op. cit., hlm. 65.
Universitas Sumatera Utara
menetapkan harga pasar); oligopoli (hanya beberapa perusahaan yang menjual
produk yang sama yang mengakibatkan komoditas terbatas, harga tinggi);
monopsoni (pembeli tunggal, dan penjualan komoditas tersebut juga hanya
dikuasai oleh sang pembeli tunggal); tying contract (perjanjian yang terjadi ketika
penjual mewajibkan pembeli untuk membeli produk sampingan/tied product,
apabila hendak membeli produk pokok/tying product; division of market
allocation, yaitu perjanjian yang mengikat untuk membagi wilayah pasar diantara
produsen atau penjual pokok sejenis dengan pertimbangan memaksimalkan
keuntungan; dan boycotts, yaitu perbuatan mengajak orang lain untuk tidak
berhubungan dengan pihak ketiga atau pihak lain.39
Setelah menelusuri Batang Tubuh Undang-Undang No.5 Tahun 1999,
diketahui bahwa dalam undang-undang ini telah dimuat sejumlah norma hukum
persaingan usaha. Undang-Undang ini akan menjadi dasar hukum bagi pengaturan
anti monopoli dan persaingan usaha di Indonesia. Adapun hal-hal yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini dapat dikelompokkan ke dalam
11 Bab dan dituangkan ke dalam 53 Pasal dan 26 Bagian.
Secara umum, kerangka dan sistematika dari Undang-Undang No.5 Tahun
1999 dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
39 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1.1 Sistematika Undang-Undang No.5 Tahun 1999
Sumber: Usman hal 67
No Bab Perihal/Isi Pasal Jumlah Persentase
(%)
1 I Ketentuan Umum 1 1 pasal 1,89
2 II Asas dan Tujuan 2-3 2 pasal 3,78
3 III Perjanjian yang Dilarang 4-16 13 pasal 24,52
4 IV Kegiatan yang Dilarang 17-24 8 pasal 15,09
5 V Posisi Dominan 25-29 5 pasal 9,43
6 VI Komisi Pengawas Persaingan
Usaha
30-37 8 pasal 15,09
7 VII Tata Cara Penanganan
Perkara
38-46 9 pasal 16,98
8 VIII Sanksi 47-49 3 pasal 5,66
9 IX Ketentuan Lain 50-51 2 pasal 3,78
10 X Ketentuan Peralihan 52 1 pasal 1,89
11 X1 Ketentuan Penutup 53 1 pasal 1,89
Universitas Sumatera Utara
Di samping itu, Undang-Undang No.5 Tahun 1999 dilengkapi pula
dengan:
1. Penjelasan Umum;
2. Penjelasan Pasal Demi Pasal.
Dalam Penjelasan Umum atas Undang-Undang No.5 Tahun 1999
dinyatakan bahwa:
“Secara umum, materi materi Undang-Undang No.5 Tahun 1999
mengandung 6 (enam) bagian pengaturan yang terdiri atas:
1. Perjanjian yang dilarang;
2. Kegiatan yang dilarang
3. Posisi dominan
4. Komisi Pengawas Persaingan Usaha
5. Penegakan hukum
6. Ketentuan lain-lain.”
Selanjutnya, apabila diteluri lebih seksama isi Undang-Undang No.5
Tahun 1999 tersebut, maka materi kandungan yang diatur meliputi hal-hal sebagai
berikut:40
a. Perumusan istilah atau konsep-konsep dasar yang terdapat atau
dipergunakan dalam undang-undang maupun aturan pelaksanaan lainnya,
agar dapat diketahui pengertiannya. Pasal 1 memuat perumusan dari 19
istilah atau konsep dasar, yaitu pengertian monopoli, praktik monopoli,
40 Ibid, hlm. 68.
Universitas Sumatera Utara
pemusatan kekuatan ekonomi, posisi dominan, pelaku usaha, persaingan
usaha tidak sehat,perjanjian, persekongkolan, struktur pasar, perilaku
pasar, pangsa pasar, harga pasar, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dan
Pengadilan Negeri;
b. Perumusan kerangka politik Antimonopoli dan persaingan usaha tidak
sehat, berupa asas dan tujuan pernbentukan undang-undang, sebagaimana
dalam Pasal 2 dan Pasal 3;
c. Perumusan macam perjanjian yang dilarang dilakukan oleh pengusaha.
Pasal 4-16 memuat macam perjanjian yang dilarang tersebut, yaitu
perjanjian oligopoli, penetapan harga, pembagian wilayah pemasaran,
pemboikotan, kartel, oligopsoni, imegrasi vertikal, perjanjian tertutup, dan
perjanjian dengan pihak luar negeri;
d. Perumusan macam kegiatan yang dillarang dilakukan pengusaha. Pasal 17
sampai dengan Pasal 22 memuat macam kegiatan yang dilarang tersebut,
yaitu monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, dan persengkonglan;
e. Perumusan macam posisi dominan yang dilarang dilakukan oleh
pengusaha. Pasal 17 sampai dengan Pasal 22 memuat macam kegiatan
yang dilarang tersebut, yaitu monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, dan
persengkonglan;
f. Masalah susunan, tugas, dan fungsi Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Pasal 30 sampai dengan pasal 37 memuat perumusan status, keanggotaan,
tugas dan wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Universitas Sumatera Utara
g. Perumusan tata cara penanganan perkara persaingan usaha oleh Kornisi
Pengawas Persaingan Usaha. Pasal 38 sarnpai dengan Pasal 46 memuat
perumusan penerimaan laporan, pemeriksaan pendahuluan dan
pemeriksaan lanjutan, pemeriksaan terhadap pelaku usaha dan alat-alat
bukti, jangka waktu pemeriksaan, serta putusan komisi, kekuatan putusan
komisi, dan upaya hukum terhadap putusan kornisi;
h. Ketentuan sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha yang telah
melanggar ketentuan dalam undang-undang. Pasal 47 sampai dengan Pasal
49 memuat macam sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha,
yaitu tindal administrative, pidana pokok, dan pidana tambahan;
i. Perumusan perbuatan atau perjanjian yang g dikecualikan dari ketentuan
undang-undang dan monopoli oleh Badan Usaha Milik Negara dan/atau
badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh pemerintah. Pasal 50
memuat ketentuan yang dikecualikan dari undang-undang dan Pasal 51
memuat ketentuan monopoli oleh Badan Usaha Milik Negara;
j. Hal-hal yang menyangkut pelaksanaan undang-undang, yaitu perumusan
ketentuan peralihan dan ketentuan penutup. Pasal 52 mengatur bahwa
pelaku usaha yang telah membuat dan/atau melakukan kegiatan dan/atau
tindakan yang tidak sesuai dengan undang-undang diberi waktu untuk
menyelesaikan selama 6 (enam) bulan sejak undang-undang diberlakukan.
Sedangkan pasal 153 mengatur mengenai mulai berlakunya undang-
undang yaitu terhitung sejak 1 (satu) tahun sesudah undang-undang
diundangkan oleh pemerintah, yaitu tepatnya pada tanggal 5 Maret 2000.
Universitas Sumatera Utara
Dari kerangka dan sistematika Undang-Undang No.5 Tahun 1999,
sebagaimana diterangkan di atas dapat diketahui bahwa hal-hal yang berkaitan
dengan pasar yang telah diatur oleh hukum persaingan usaha meliputi:41
a. perjanjian yang dilarang;
b. kegiatan yang dilarang;
c. penyalahgunaan posisi dominan;
d. Komisi Pengawas Persaingan Usaha;
e. Tata cara penanganan perkara persaingan usaha;
f. Sanksi-sanksi;
g. Perkecualian-perkecualian.
Adapun hal-hal yang dilarang dalam hukum persaingan usaha berdasarkan
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999, meliputi:
a. Perjanjian-perjanjian tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan
pasar, yang terdiri atas :
1) Oligopoli;
2) Penetapan harga (price fixing);
3) Diskriminasi harga;
4) Penetapan harga dibawah harga pasar;
5) Penjualan kembali dengan harga terendah;
6) Pembagian wilayah(market division);
7) Pemboikotan (boycott);
41 Munir Fuady, Op. cit., hlm. 10-11.
Universitas Sumatera Utara
8) Kartel (cartel);
9) Trust (trust agreement);
10) Oligopsoni;
11) Intergrasi vertikal;
12) Perjanjian tertutup (exclusive dealing);
13) Perjanjian dengan luar negeri.
b. Kegiatan-kegiatan tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan
pasar, yang terdiri atas :
a. Monopoli;
b. Monopsoni;
c. Penguasaan pasar;
1) Predatory pricing;
2) Price war and price comptetition ;
3) Penetapan biaya produksi dengan curang;
d. Persekongkolan (conspiracy):
1) persekongkolan tender;
2) persekongkolan rahasia perusahaan;
3) persekongkolan untuk menghambat perdagangan (entry barriers).
c. Posisi dominan di pasar, terdiri dari :
1) mencegah atau menghalangi konsumen memperoleh barang atau jasa
yang bersaing;
2) membatasi pasar dan pengembangan teknologi;
3) menghambat pelaku usaha lain sebagai pesaing untuk memasuki pasar;
Universitas Sumatera Utara
4) jabatan rangkap secara bersamaan;
5) pemilikan saham;
6) penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan badan usaha atau
saham.
Salah satu bentuk tindakan yang dapat mengakibatkan persaingan tidak
sehat dan yang akan menjadi inti/fokus penelitian ini sebagaimana telah
disebutkan di atas, adalah persengkongkolan dalam tender, yang merupakan salah
satu bentuk kegiatan yang dilarang oleh Pasal 22 UU No.5 tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Persekongkolan tender pengadaan barang/jasa dapat dilakukan antara
pihak penyelenggara tender dengan pihak penyedia barang/jasa maupun dapat
dilakukan antara sesama peserta tender. Persekongkolan tender merupakan salah
satu bentuk tindakan yang dilarang dalam Undang-undang Anti Monopoli karena
persekongkolan tender merupakan perbuatan curang dan tindakan yang merugikan
terutama peserta tender yang lain yang tidak ikut bersekongkol, sebab dengan
sendirinya dalam tender pemenangnya tidak dapat diatur-atur, melainkan siapa
yang melakukan penawaran terbaik dialah yang jadi pemenangnya dan selain itu
persekongkolan tender merupakan tindakan yang anti persaingan. Dari segi
hukum perjanjian pun persekongkolan tender adalah batal demi hukum, karena
perjanjian persekongkolan tender melanggar syarat suatu sebab atau causa yang
halal yaitu melanggar ketentuan perundang-undangan yang mengatur ketentuan di
bidang pengadaan barang/jasa dan melanggar Pasal 22 UU No.5 Tahun 1999.
Universitas Sumatera Utara
4. Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Untuk mengawasi pelaksanaan UU No.5 Tahun 1999 dibentuk suatu
komisi dimana pembentukan susunan organisasi, tugas, dan fungsi komisi
ditetapkan melalui Keputusan Presiden. Komisi ini kemudian dibentuk
berdasarkan Keppres No 75 Tahun 1999 dan diberi nama Komisi Pengawas
Persaingan Usaha atau KPPU.42
KPPU diberi status sebagai pengawas pelaksanaan UU No.5 Tahun 1999.
Status hukumnya adalah sebagai lembaga yang independen yang terlepas dari
pengaruh dan kekuasaan Pemerintah dan pihak lain.
Sebagai suatu lembaga independen, dapat
dikatakan bahwa kewenangan yang dimiliki Komisi sangat besar yang meliputi
juga kewenangan yang dimiliki oleh lembaga peradilan. Kewenangan tersebut
meliputi penyidikan, penuntutan, konsultasi, memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara.
43 Dengan demikian,
penegakan hukum Antimonopoli dan persaingan usaha berada dalam kewenangan
KPPU. Menurut Bagir Manan, KPPU adalah salah satu instrumen meski tidak
dikatakan sebagai salah satu bentuk Dispute Resolution. Hal ini diartikan bahwa
perselisihan-perselisihan bisnis yang berkaitan dengan persaingan atau monopoli
kalau dapat tidak perlu masuk ke pengadilan, tetapi cukup diselesaikan oleh
KPPU saja.44
42 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Bab VI, Pasal 34.
Namun demikian, tidak berarti bahwa tidak ada lembaga lain yang
43 Hermansyah, Op. cit., hlm. 73. 44 Bagir Manan, “Sambutan Pengarahan” dalam Undang-undang No.5/1999 dan KPPU
Filosofi dan latar belakang UU No.5/1999: Procedings Rangkaian Lokakarya Terbatas Hukum
Universitas Sumatera Utara
berwenang menangani perkara monopoli dan persaingan usaha. Pengadilan
Negeri (PN) dan Mahkamah Agung (MA) juga diberi wewenang untuk
menyelesaikan perkara tersebut. PN diberi wewenang untuk menangani keberatan
terhadap putusan KPPU dan menangani pelanggaran hukum persaingan yang
menjadi perkara pidana karena tidak dijalankannya putusan KPPU yang sudah in
kracht. MA diberi kewenangan untuk menyelesaikan perkara pelanggaran hukum
persaingan apabila terjadi kasasi terhadap keputusan PN tersebut.45
Dalam konteks ketatanegaraan, KPPU merupakan lembaga negara
komplementer (state auxiliary organ)
46 yang mempunyai wewenang berdasarkan
UU No 5 Tahun 1999 untuk melakukan penegakan hukum persaingan usaha.
Secara sederhana state auxiliary organ adalah lembaga negara yang dibentuk
diluar konstitusi dan merupakan lembaga yang membantu pelaksanaan tugas
lembaga negara pokok (Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif) yang sering juga
disebut dengan lembaga independen semu negara (quasi judicial).47
Kepailitan Dan Wawasan hukum Bisnis Lainnya”, Cet. Pertama (Jakarta: Pusat Kajian Hukum, 2003), hlm. Xviii.
Artinya,
meskipun KPPU mempunyai fungsi penegakan hukum khususnya Hukum
Persaingan Usaha, namun KPPU bukanlah lembaga peradilan khusus persaingan
usaha. Dengan demikian KPPU tidak berwenang menjatuhkan sanksi baik pidana
maupun perdata. Kedudukan KPPU lebih merupakan lembaga administrative
45 Andi Fahmi Lubis, Op. cit., hlm. 311. 46 L. Budi Kagramanto, “Implementasi UU No 5 Tahun 1999 Oleh KPPU”, Jurnal Ilmu
Hukum Yustisia 2007, hlm. 2. 47 Suhasril dan Mohammad Taufik Makarao, Op. cit., hlm. 36.
Universitas Sumatera Utara
karena kewenangan yang melekat padanya adalah kewenangan administratif,
sehingga sanksi yang dijatuhkan merupakan sanksi administratif.48
KPPU dalam menjalankan kegiatannya mempunyai tugas untuk :
49
a. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
b. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku
usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
c. Melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan
posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha.
d. Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana
diatur dalam Pasal 36.
e. Memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah
yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat.
f. Menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan UU
No.5/1999
g. Memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada
Presiden dan DPR.
48 Ningrum Natasya Sirait II, Op. cit., hlm. 30. 49 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Bab VI, Pasal 35.
Universitas Sumatera Utara
Dalam menjalankan tugas tugasnya tersebut, KPPU mempunyai
kewenangan untuk:50
a. Menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang
dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
b. Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau
tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
c. Melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang
dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang
ditemukan komisi sebagai hasil penelitiannya.
d. Menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada
atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
e. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan UU No.5/1999.
f. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang
dianggap mengetahui pelanggaran ketentuan UU No.5/1999.
g. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi,
saksi ahli atau setiap orang yang dimaksud dalam nomor 5 dan 6
tersebut di atas yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi.
50 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Bab VI, Pasal 36.
Universitas Sumatera Utara
h. Meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan
penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang
melanggar ketentuan UU No.5/1999.
i. Mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen atau alat
bukti lain untuk keperluan penyelidikan dan atau pemeriksaan.
j. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak
pelaku usaha lain atau masyarakat.
k. Memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga
melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
l. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku
usaha yang melanggar ketentuan UU No.5/1999.
Jadi, KPPU berwenang untuk melakukan penelitian dan penyelidikan dan
akhirnya memutuskan apakah pelaku usaha tertentu telah melanggar UU No.5
Tahun 1999 atau tidak. Pelaku usaha yang merasa keberatan terhadap Putusan
KPPU tersebut diberikan kesempatan selama 14 hari setelah menerima
pemberitahuan putusan tersebut untuk mengajukan keberatan ke Pengadilan
Negeri. KPPU merupakan lembaga administratif. Sebagai lembaga semacam ini,
KPPU bertindak demi kepentingan umum. Oleh karena itu, KPPU harus
mementingkan kepentingan umum dari pada kepentingan perorangan dalam
menangani dugaan pelanggaran hukum Antimonopoli. Hal ini sesuai dengan
tujuan UU No.5 Tahun 1999 yang tercantum dalam Pasal 3 huruf a UU No.5
Tahun 1999 yakni untuk “menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi
Universitas Sumatera Utara
ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat”.51
5. Konsepsi
Konsepsi diartikan sebagai: ”kata yang menyatukan abstraksi yang
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.
Soerjono Soekanto berpendapat bahwa kerangka konsepsi pada hakekatnya
merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka
teoritis yang seringkali bersifat abstrak, sehingga diperlukan defenisi-defenisi
operasional yang menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian.52
Konsepsi juga digunakan untuk memberikan pegangan pada proses
penelitian. Oleh karena itu, dalam rangka penelitian ini, perlu dirumuskan
serangkaian defenisi operasional atas beberapa variable yang digunakan.
Selanjutnya, untuk menghindari terjadinya salah pengertian dan pemahaman yang
berbeda tentang tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, maka kemudian
dikemukakan konsepsi dalam bentuk defenisi operasional sebagai berikut:
a. Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang
ekonomi.53
51 Andi Fahmi Lubis, Op. cit., hlm. 315-316.
52 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 133. 53 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Bab I, Pasal 1, Angka 5.
Universitas Sumatera Utara
b. Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa
yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau
menghambat persaingan usaha54
c. Persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerjasama yang
dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud
untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang
bersekongkol.
55
d. Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah komisi yang dibentuk untuk
mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak
melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
56
e. Tender adalah tawaran mengajukan harga terbaik untuk membeli atau
mendapatkan barang/jasa, atau menyediakan barang/jasa, atau
melaksanakan suatu pekerjaan.
57
f. Persekongkolan tender merupakan upaya untuk mengatur dan menentukan
pemenang tender. Persekongkolan menjadi bentuk negatif dari kerja sama
antara peserta tender dengan penyelenggara tender.
g. Beauty Contest adalah proses pemilihan mitra kerja, sehingga pihak
penyelenggara dari proses ini dapat mencari dan menunjuk mitra kerja
54 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Bab I, Pasal 1, Angka 6.
55 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Bab I, Pasal 1, Angka 8.
56 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Bab I, Pasal 1, Angka 18.
57 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Penjelasan Pasal 22.
Universitas Sumatera Utara
yang dinilai memiliki pengalaman dan permodalan sesuai kriteria dalam
menjalankan proyek secara bersama-sama.58
F. Metode Penelitian
Penelitian merupakan sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk
memperkuat, membina serta mengembangkan ilmu pengetahuan.59 Skripsi ini
sebagai hasil penelitian tentu dihasilkan dari penerapan metodologi penelitian
sebagai pertanggungjawaban ilmiah terhadap komunitas pengemban ilmu
hukum.60
1. Sifat atau Jenis Penelitian
Skripsi ini merupakan hasil dari penelitian hukum yang bersifat normatif
dan yang bersifat deskriptif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.61
Penelitian hukum normatif ini sendiri mencakup:62
a. penelitian terhadap asas-asas hukum,
b. penelitian terhadap sistematika hukum,
c. penelitian terhadap tahap sinkronisasi hukum,
d. penelitian sejarah hukum, dan
e. penelitian perbandingan hukum.
58 Erman Rajagukguk, Op. cit., hlm. 6. 59 Soerjono Soekanto, Op. cit., hlm. 3. 60Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi: Penelitian Hukum Nomartif, Ed. Revisi
(Malang: Bayumedia Publishing, 2008), hlm. 26. 61 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu TInjauan
Singkat, Ed. Pertama, Cet. Ketujuh (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 13-14. 62 Soerjono Soekanto, Op. cit., hlm. 51.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian hukum normatif sendiri mengacu pada berbagai bahan hukum
sekunder,63 yaitu inventarisasi berbagai peraturan hukum nasional dan
internasional dalam bidang persaingan usaha, jurnal-jurnal dan karya tulis ilmiah
lainnya, serta artikel-artikel berita terkait. Sedangkan penelitian deskriptif ialah
penelitian yang pada umumnya bertujuan untuk mendeskripsikan secara
sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu
mengenai sifat-sifat, karakteristik-karakteristik atau faktor-faktor tertentu.64
Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin
tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya.65
2. Data
Pengumpulan data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini,
menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research) atau studi
dokumen (document study). Metode penelitian kepustakaan dilakukan terhadap
data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.66 Menurut Soerjono
Soekanto, data sekunder dalam penelitian hukum terdiri atas tiga bahan hukum,
yaitu:67
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, seperti
undang-undang, peraturan pemerintah, konvensi atau perjanjian
internasional, dan berbagai peraturan hukum nasional dan internasional
63 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Ed. Pertama, Cet. Kedua (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm. 14.
64 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum: Suatu Pengantar, Ed. Pertama, Cet. Kedua (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998), hlm. 36.
65 Soerjono Soekanto, Op. cit., hlm. 10. 66 Bambang Waluyo, Op. cit., hlm. 13-14 67 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op. cit., hlm. 13.
Universitas Sumatera Utara
yang mengikat (terutama yang berkaitan dengan persaingan usaha di
Indonesia) serta putusan-putusan hakim.
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, seperti: rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian,
hasil karya dari kalangan hukum, dan berbagai karya tulis ilmiah yang
berkaitan dengan penelitian yang dilakukan ini.
c. Bahan hukum tersier (tertier), yakni bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder;
contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya.
Selain itu, bahan tersier ini juga meliputi berbagai bahan primer,
sekunder, dan tersier di luar bidang hukum yang berhubungan dengan
penelitian yang dilakukan, terutama dari bidang ekonomi dan persaingan
usaha.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data diperlukan untuk memperoleh suatu kebenaran
dalam penulisan skripsi, dalam hal ini digunakan metode pengumpulan data
dengan cara studi kepustakaan (library research), yaitu mempelajari dan
menganalisis data secara sistematis melalui buku-buku, surat kabar, makalah
ilmiah, internet, peraturan perundang-undangan, dan bahan-bahan lain yang
berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.
Universitas Sumatera Utara
4. Analisis Data
Dalam menganalisis data penelitian digunakan analisis normatif kualitatif,
yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya
dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas
dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi. Metode kualitatif
dilakukan guna mendapatkan data yang bersifat deskriptif, yaitu data-data yang
akan diteliti dan dipelajari sesuatu yang utuh.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini meliputi:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan
kepustakaan metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM KEBERADAAN PRAKTEK TENDER DAN
BEAUTY CONTEST DI INDONESIA.
Bab ini menguraikan tentang ruang lingkup praktek tender serta
pengaturan tender yang ada di Indonesia. Selain itu, bab ini juga
akan membahas mengenai keberadaan praktek “Beauty Contest” di
Indonesia serta apakah tindakan tersebut dapat dibenarkan dalam
sistem hukum di Indonesia yang akan dikaitkan sebagai bentuk
manifestasi dari Aksi Korporasi.
Universitas Sumatera Utara
BAB III PERBEDAAN PENGERTIAN BEAUTY CONTEST DALAM
MEMILIH MITRA USAHA DENGAN PERSEKONGKOLAN
TENDER SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM UU NO.5
TAHUN 1999.
Bab ini menguraikan tentang ruang lingkup pengertian tender dan
persekongkolan tender sebagaimana diatur dalam UU No.5 Tahun
1999 serta akan dibahas juga mengenai bentuk-bentuk umum
persekongkolan tender dan dampak yang diakibatkan oleh
persekongkolan tender. Selain itu akan dibahas juga mengenai
apakah “Beauty Contest” untuk memilih mitra usaha kemudian
dapat disamakan atau diinterpretasikan sebagai tender berdasarkan
Pasal 22 UU No.5 Tahun 1999 melalui tinjauan secara yuridis
formil.
BAB IV PERTIMBANGAN HUKUM KPPU DALAM MEMUTUS
PERKARA NO.35/KPPU-I/2010 TENTANG PRAKTEK
BEAUTY CONTEST PROYEK DONGGI SENORO
Bab ini menguraikan tentang pihak-pihak yang bersengketa dalam
perkara tersebut termasuk juga posisi kasus. Selain itu akan
dibahas juga pertimbangan hukum yang diambil KPPU dalam
memutus perkara tersebut serta analisa penulis terhadap apakah
pertimbangan hukum dan dasar- dasar hukum yang digunakan oleh
KPPU dalam memutus perkara Donggi Senoro telah
diimplementasikan secara tepat.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini menguraikan tentang kesimpulan dan saran atas perbedaan
pendapat antara pihak KPPU dengan pihak PT. Pertamina, PT.
Medco dan PT. Mitsubishi dalam menafsirkan Pasal 22 UU No.5
Tahun 1999 tentang Larangan Persekongkolan Tender dikaitkan
dengan Praktik “Beauty Contest” dalam memilih partner usaha.
Saran dan kesimpulan ini diharapkaan bisa memberikan
pertimbangan dan dapat dijadikan bahan acuan dalam menganalisis
dan menyelesaikan permasalahan ini.
Universitas Sumatera Utara