bab i pendahuluan a. latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini kerjasama internasional tentunya bukan hal yang asing lagi.
Kerjasama internasional justru semakin menjadi hal yang umum dan kerap
dilakukan. Salah satu alasan yang melatarbelakangi suatu aktor, yaitu negara,
melakukan kerjasama adalah adanya upaya pemenuhan kebutuhan. Tidak semua
negara dapat memenuhi kebutuhan tersebut baik atas kebutuhan negara itu sendiri
maupun kebutuhan rakyatnya. Kekayaan alam dan kemajuan industri yang tidak
berimbang pun akan dapat menimbulkan hubungan dan kerjasama antar negara
yang kemudian membentuk kerjasama internasional di sektor tersebut.1
Meskipun demikian, dorongan untuk melakukan kerjasama tidak hanya
dilatarbelakangi oleh adanya kepentingan dari satu dan atau pun antar negara.
Sebagaimana tercantum dalam UNCLOS (United Nations Convention on the Law
of the Sea) tahun 1982 Bab V ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) pasal 61-67 tentang
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan oleh RFMO (Regional Fisheries
Management Organization) dan Bab VII pasal 118 tentang Laut Lepas
mengamanatkan bahwa negara-negara harus melakukan kerjasama satu dengan
yang lainnya dalam upaya konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di
daerah laut lepas.
Berkaitan dengan substansi dalam UNCLOS 1982 tersebut, rezim
internasional dapat dikatakan sebagai salah satu aspek yang membawa pengaruh
besar di dalam kerjasama internasional. Rezim yang dalam hal ini dikembangkan
1 Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R. Agoes. 2003. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta:
Alumni.
2
oleh aktor-aktor internasional dipercaya dapat menciptakan kesepakatan bersama
yang ditentukan dan dalam prakteknya harus ditaati oleh seluruh anggota dalam
rezim tersebut. Rezim tersebut dibentuk untuk memfasilitasi hubungan kerjasama
dalam membahas isu-isu tertentu dengan seperangkat aturan-aturan yang
disepakati bersama-sama.
Salah satu hal terkait pengelolaan sumber kekayaan hayati sebagaimana
diatur dalam UNCLOS 1982 tersebut adalah upaya konservasi dan pemanfaatan
yang tepat dan optimal terhadap spesies atau ikan yang beruaya jauh (highly
migratory fish). Spesies atau ikan yang beruaya jauh mencakup semua jenis
spesies atau ikan yang dalam habitatnya kerap bermigrasi dengan jarak yang
sangat jauh melintasi samudera. Tak jarang, wilayah habitat spesies atau ikan
tersebut kerap melintasi batas wilayah laut suatu negara baik laut teritorial
maupun wilayah zona ekonomi eksklusif. Sehingga upaya konservasi dan
pengelolaannya tidak hanya menjadi kepentingan atau tanggung jawab bagi satu
negara. Akan tetapi diperlukan adanya kerjasama antar negara-negara yang
memiliki kepentingan langsung terhadap tangkapan spesies atau ikan tersebut
maupun negara-negara yang wilayah perairan lautnya menjadi jalur migrasinya.
Ikan tuna merupakan salah satu jenis ikan yang termasuk dalam kategori
spesies atau ikan yang beruaya jauh. Secara biologis, ikan tuna diketahui
melakukan migrasi yang disebabkan oleh kebutuhan ikan tersebut dalam
beradaptasi dengan habitatnya. Mengingat karater ikan tuna sebagai ikan yang
beruaya jauh, tentunya dalam upaya konservasi dan pengelolaannya diperlukan
kerjasama dengan negara lain. Salah satu jenis ikan tuna yang paling potensial
3
adalah ikan tuna sirip biru selatan. Ikan jenis ini dapat mencapai ukuran yang
besar serta kandungan lemak dalam daging yang sangat banyak. Hal tersebut yang
menyebabkan permintaan konsumen akan ikan tuna sirip biru selatan semakin
meningkat terutama untuk konsumen sashimi di Jepang. Akibat permintaan yang
semakin meningkat inilah terjadi penangkapan tuna sirip biru selatan secara besar-
besaran (over exploitation) yang menyebabkan ketersediaan dan kelestarian tuna
tersebut terancam.
Untuk memastikan, melalui pengelolaan yang tepat, upaya konservasi dan
pemanfaatan optimal terhadap sumber daya tuna sirip biru selatan, dibentuklah
sebuah RFMO bernama CCSBT. CCSBT atau Commission for the Conservation
of Southern Bluefin Tuna dibentuk pada tahun 1993 dengan dilatarbelakangi oleh
fenomena semakin berkurangnya stok ketersediaan tuna sirip biru selatan akibat
adanya tangkapan besar-besaran yang dilakukan terhadap jenis ikan tuna tersebut.
Beberapa negara yang terdiri dari Jepang, Australia dan Selandia Baru secara
sukarela membentuk peraturan-peraturan yang berkaitan dengan upaya konservasi
dan pengelolaan tuna sirip biru selatan demi menjaga kelestariannya. Peraturan
tersebut kemudian diterapkan secara resmi pada 20 Mei 1994 dengan
terbentuknya CCSBT.
Sebagai sebuah rezim perikanan yang menangani segala isu dan
permasalahan terkait tuna sirip biru selatan, CCSBT memuat seperangkat aturan
dan prosedur maupun ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan sesuai standar
yang berlaku. Kesemuanya itu terbentuk atas dasar kesepakatan antar negara-
negara anggota yang selanjutnya wajib untuk diterapkan dalam sistem
4
pengelolaan tuna sirip biru selatan di negaranya masing-masing. Selain terdiri dari
aturan maupun ketentuan yang berkaitan dengan upaya konservasi dan
pengelolaan, terdapat pula hal-hal yang berkaitan dengan upaya penyelesaian
masalah berkaitan dengan spesies tuna sirip biru selatan.
Indonesia telah bergabung secara resmi dalam keanggotaan CCSBT pada
tanggal 8 April 2008. Bergabungnya Indonesia menjadi anggota CCSBT tidak
hanya dilatarbelakangi adanya keharusan bagi negara-negara untuk melakukan
kerjasama dalam konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati
sebagaimana tercantum dalam UNCLOS 1982. Akan tetapi, bergabungnya
Indonesia dalam rezim perikanan tuna tersebut juga didorong karena Indonesia
memiliki kepentingan langsung terhadap tangkapan tuna sirip biru selatan.
B. Identifikasi Masalah
Di Indonesia, perikanan tuna menduduki peringkat tinggi dalam kategori
perikanan tangkap. Nilai keseluruhan tangkapan perikanan tuna dari perairan laut
Indonesia secara umum mencapai 613.575 ton atau setara dengan 6,3 triliun
rupiah per tahunnya. Meskipun wilayah perairan selatan Indonesia merupakan
area pemijahan bagi jenis ikan ini (spawning ground), namun dalam hitungan
tersebut, tuna sirip biru selatan hanya menyumbang tangkapan sebesar 4% dari
total tangkapan tuna di Indonesia. Meskipun tangkapannya dinilai kecil, harga per
ekor tuna sirip biru selatan tangkapan Indonesia tetap bernilai tinggi. Dimana
ukuran dan banyaknya kandungan lemak dalam dagingnya lah yang menjadikan
permintaan akan ikan ini semakin meningkat.
5
Di satu sisi produksi tuna sirip biru selatan Indonesia dapat dikatakan bagus,
terlebih lagi dengan didukung wilayah starategis dimana perairan Laut Jawa
selatan Indonesia merupakan area pemijahan bagi ikan tuna sirip biru selatan.
Selain itu dengan bergabungnya Indonesia sebagai anggota CCSBT semestinya
akan berdampak pada kemudahan yang diperoleh Indonesia dalam mengelola
sumber daya tuna sirip biru selatan ini tentunya dengan tetap memperhatikan
segala hak dan kewajiban yang harus dijalankan Indonesia sebagai anggota rezim
tersebut.
Akan tetapi, di sisi lain Indonesia masih dihadapkan pada beberapa isu,
hambatan maupun permasalahan terkait pengelolaan sumber daya tuna sirip biru
selatan. Hal tersebut dapat dilihat dengan masih adanya kasus IUU fishing,
pembatasan dan atau penurunan alokasi kuota tangkap tuna sirip biru selatan, dan
tuduhan atas pelanggaran penangkapan baby tuna.
IUU fishing merupakan aktivitas penangkapan ikan ilegal, tidak terlaporkan
dan tidak terregulasi yang dilakukan oleh nelayan atau kapal penangkap ikan
suatu negara yang bertentangan dengan tindakan konservasi dan pengelolaan
perikanan. Dalam hal ini dimaksudkan bahwa IUU fishing tersebut dilakukan
terhadap sumber daya tuna sirip biru selatan yang juga bertentangan dengan
aturan-aturan terkait upaya konservasi dan pemanfaatan tuna sirip biru selatan
yang ditetapkan CCSBT. Indonesia kerap mendapat tuduhan atas tindakan IUU
fishig tersebut yang berakibat pada terhambatnya distribusi atau kegiatan ekspor
tuna sirip biru selatannya. Tuna sirip biru selatan hasil tangkapan Indonesia
6
diklaim merupakan tangkapan ilegal dimana wilayah penangkapannya melanggar
batas laut teritorial dan ZEE negara lain.
Sebagai anggota dari CCSBT Indonesia diwajibkan untuk menyetujui dan
melaksanakan segala aturan yang ditetapkan rezim perikanan tuna tersebut. salah
satu aturan atau ketentuannya adalah alokasi kuota tangkapan tuna sirip biru
selatan. Hingga tahun 2014, Indonesia memperoleh alokasi kuota tangkapan
sebanyak 750 ton tiap tahunnya. Alokasi tersebut dinilai tidak adil dengan alasan
bahwa besarnya alokasi kuota tersebut lebih kecil dan atau tidak sebanding
dengan kemampuan produksi tuna sirip biru di perairan laut Indonesia. Ketika
alokasi kuota tangkapan lebih kecil dibadingkan dengan kemampuan produksi
tuna sirip biru selatan Indonesia, menyebabkan terjadinya kelebihan tangkapan
terhadap ikan tersebut di perairan dalam negeri. Akibat adanya pelanggaran kuota
ini kemudian menyebabkan Indonesia kembali dihadapkan pada masalah
pengurangan kuota oleh CCSBT.
Sebagai upaya Indonesia untuk mendapatkan alokasi tambahan kuota
tangkapan tuna sirip biru selatan, Indonesia mengajukan klaim kepada CCSBT
bahwa Indonesia memiliki peran penting dalam upaya konservasi untuk menjaga
kelestarian sumber daya ikan tersebut. Menurut beberapa penelitian yang
dilakukan, wilayah perairan Laut Jawa selatan Indonesia merupakan area
pemijahan bagi sumber daya tuna sirip biru selatan sebelum akhirnya ikan-ikan
tersebut bermigrasi ke perairan laut yang lebih dalam dengan jarak yang sangat
7
jauh.2 Oleh karena itu, Indonesia dinilai memiliki hak atas tambahan alokasi kuota
tangkapan tuna sirip biru selatan. Namun hasilnya, Indonesia justru dihadapkan
atas pelanggaran penangkapan terhadap tuna-tuna kecil (baby tuna) dimana ikan
tuna hasil tangkapan Indonesia berukuran relatif kecil dan belum memenuhi
standar yaitu <Lm (Lm: 119-130cm).
Gambar 1. Peta Persebaran Habitat Tuna Sirip Biru Selatan3
Dari pemaparan tersebut dapat diketahui bahwa ada ketidaksesuaian antara
keadaan dimana semestinya sistem pengelolaan tuna sirip biru selatan Indonesia
yang lebih baik yang dapat dicapai dengan masuknya Indonesia menjadi anggota
resmi CCSBT dengan keadaan yang sebenarnya dimana Indonesia masih
dihadapkan pada beberapa isu, hambatan maupun permasalahan terkait sumber
daya tuna sirip biru selatan. Dengan bergabungnya Indonesia secara resmi
2 Yukinawa M. 1987. Report on 1986 research cruise of the R/V Shoyo Maru. Distribution
of tuna and billfishes larvae and oceanographic observation in the eastern Indian Ocean January
– March, 1987. Rep. Res. Div., Fish. Agency Jpn. 61:1-100. 3 Shingu C. 1981. Ecology and Stock of Southern Bluefin Tuna. Australian CSIRO Division
Fishery and Oceanography. 131: 79.
8
menjadi anggota CCSBT, Indonesia diwajibkan untuk mengadaptasi dan
mengimplementasi segala aturan dan ketentuan terkait pengelolaan tuna sirip biru
selatan di dalam negeri. Dipatuhinya segala aturan tersebut diharapkan akan
membawa Indonesia pada sistem pengelolaan tuna yang lebih baik sesuai dengan
standar yang telah ditentukan dalam rezim tersebut. Namun, kenyataannya
Indonesia masih dihadapkan pada beberapa isu dan permasalahan terkait
pengelolaan tuna sirip biru selatan. Adanya ketidaksesuaian tersebut kemudian
menimbulkan anggapan bahwa rezim cenderung tidak menguntungkan karena
dianggap hanya sebagai alat bagi negara-negara maju untuk mengeksploitasi
sumber kekayaan hayati yang dimiliki oleh negara berkembang seperti Indonesia.
C. Rumusan Masalah
Dari penjabaran latar belakang tersebut maka penulis ingin mengeskplorasi
lebih jauh mengenai pengaruh rezim perikanan tuna CCSBT terhadap pengelolaan
tuna sirip biru selatan di Indonesia. Selanjutnya penulis menuliskannya dalam
bentuk pertanyaan:
Bagaimana rezim perikanan tuna CCSBT memengaruhi pengelolaan tuna
sirip biru selatan di Indonesia?
D. Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian ini penulis merujuk pada beberapa referensi yang
berhubungan dengan variabel-variabel dalam topik penelitian ini. Referensi
tersebut terdiri dari jurnal penelitian, tesis dan web resmi terkait. Sebagai variabel
independen, rezim perikanan tuna memiliki peran tersendiri dalam upayanya
mengelola sektor perikanan tuna yang juga diiringi dengan upaya konservasi
9
untuk menjaga ketersediaan sumber daya ikan tersebut. Rezim mempunyai
mekanismenya sendiri dalam melaksanakan upaya konservasi dan pengelolaan
perikanan tuna secara optimal agar dapat dicapai hasil yang maksimal sesuai
dengan tujuan utama rezim tersebut. Adapun beberapa rezim yang berkenaan
dengan pengelolaan perikanan tuna yang juga berbatasan secara langsung dengan
perairan laut Indonesia meliputi CCSBT (Commission for the Conservation of
Southern Bluefin Tuna), IOTC (Indian Ocean Tuna Commission) dan WCPFC
(Western and Central Pacific Fisheries Commission).
Beberapa penelitian terkait rezim perikanan tuna baik regional maupun
internasional digunakan sebagai referensi dalam penelitian ini. Pertama, penelitian
yang dilakukan oleh Dewi Indira Biasane dalam tesisnya yang berjudul
“Kerjasama Maritim Asia Tenggara dalam Penanggulangan Penangkapan Ikan
Ilegal: Studi Kasus Praktik Penangkapan Ikan Ilegal di Wilayah Pengelolaan
Perikanan Republik Indonesia”. Dalam tesis tersebut dijelaskan mengenai peran
rezim internasional dalam upayanya menanggulangi praktik penangkapan ikan
ilegal melalui kerangka regional yaitu RPOA to promote responsible fishing
practices, including combating illegal, unreported and unregulated (IUU) fishing
in the region. Akan tetapi dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa RPOA-
IUU Fishing dinilai belum dapat menjadi sebuah rezim perikanan yang kuat
karena dalam mekanismenya belum memasukkan variabel penyelesaian sengketa
(dispute settlement). Hal yang membedakan penelitian tersebut dengan penelitian
penulis terletak pada kedua variabel yang digunakan. Meskipun inti dari
penelitian tersebut serupa, yaitu tentang peran atau kontribusi rezim perikanan
10
terhadap hal yang berkaitan dengan pengelolaan perikanan tuna, cakupan
independen penelitian tersebut lebih spesifik yaitu fokus terhadap RPOA-IUU
fishing tetapi cakupan variabel dependennya lebih luuas yaitu berkaitan dengan
praktik IUU fishing terhadap sumber daya ikan secar umum. Sedangkan dalam
penelitian penulis, variabel independen merujuk pada rezim perim perikanan tuna
CCSBT dengan variabel dependen yang lebih spesifik yaitu tentang pengelolaan
tuna sirip biru selatan di Indonesia.
Kedua, penelitian mengenai efektivitas rezim yang dilakukan oleh Soni
Martin Anwar. Penelitian yang diberi judul “Analisis Efektivitas Rezim Perikanan
Regional IOTC (Indian Ocean Tuna Commission) dalam Pengelolaan Perikanan
Samudra Hindia” bertujuan untuk menganalisa efektivitas rezim perikanan
regional IOTC dalam menghadapi permasalahan perikanan tuna di wilayah
Samudra Hindia. Hasil dari penelitian tersebut menyebutkan bahwa rezim
perikanan tuna IOTC dinilai efektif. Hal tersebut ditunjukkan bahwa rezim, dalam
kapasitasnya, dinilai mampu menangani masalah yang dihadapi. Selain itu,
masalah-masalah yang dihadapi rezim tersebut bersifat benign atau dengan kata
lain benignity permasalahan yang dihadapi cukup tinggi. Penelitian tersebut
memiliki tujuan yang hampir sama yaitu melihat bagaimana peran rezim
internasional dalam pengelolaan perikanan tuna. Akan tetapi, tetap ada pembeda
antar penelitian tersebut dengan penelitian penulis. Analisis yang digunakan
dalam penelitian tersebut menggunakan teknis analisis efektivitas rezim
sebagaimana digagas oleh Underdal. Ada dua variabel yang digunakan dalam
11
analisis tersebut yaitu variabel dependen dan independen. 4 Variabel dependen
merujuk pada efektivitas rezim dan variabel independen merujuk pada dua hal
utama yakni tipe permasalahan (problem benignity) dan kemampuan dalam
mengatasi permasalahan (problem solving capacity). Kedua hal tersebut nantinya
akan berpengaruh terhadap tingkat kolaborasi (level of collaboration).
Searah dengan pembahasan mengenai efektivitas rezim perikanan tersebut,
Miles dkk. membahas tentang evaluasi terhadap beberapa rezim perikanan tuna
regional yang bergerak dalam bidang lingkungan hidup. Dalam buku berjudul
Environmental Regime Effectiveness: Confronting Theory with Evidence ini juga
dipaparkan indikator-indikator yang dapat digunakan dalam mengevaluasi
efektivitas rezim sehingga sebagai hasilnya akan dapat diketahui seberapa efektif
atau tidaknya rezim tersebut.5
Ketiga, penelitian berjudul “Pengelolaan Kuota Penangkapan Tuna Sirip
Biru Selatan di Indonesia” yang dilakukan oleh Novia Tri Rahmawati. Dalam
penelitian tersebut dipaparkan masalah-masalah terkait pengelolaan tuna sirip biru
selatan. Sebagai hasil dari penelitian tersebut kemudian diusulkan sistem
penangkapan tuna sirip biru selatan yang dinilai lebih baik yang dapat mengatasi
segala permasalahan terkait pengelolaan tuna sirip biru selatan tersebut. Hal yang
membedakan penelitian tersebut dengan penelitian penulis adalah penelitian
tersebut lebih berfokus pada manajemen pengelolaan kuota tuna sirip biru selatan
yang disertai dengan penjelasan mengenai prosedur pengelolaan yang lebih
4 Underdal, Arild, 2002. One Question, Two Answers dalam Edward L. Miles, et.al., 2002.
Environmental Regime Effectiveness: Confronting Theory with Evidence. Cambridge,
Massachusetts: MIT Press. 5 Miles, Edward L., et.al. 2002. Environmental Regime Effectiveness: Confronting Theory With
Evidence. Cambridge, Massachusetts: MIT Press.
12
bersifat teknis. Metode yang digunakan dalam kedua penelitian ini pun berbeda
dimana penelitian mengenai pengelolaan kuota tuna sirip biru selatan tersebut
menggunakan analisis untuk mengetahui komposisi hasil tangkapan, analisis
produktivitas kapal penangkap ikan, analisis pendugaan musim penangkapan,
analisis ukuran rata-rata tertangkap dan analisis soft system methodology.
Sedangkan dalam penelitian penulis, analisis dilakukan untuk mengetahui
pengaruh rezim perikanan tuna CCSBT terhadap pengelolaan tuna sirip biru
selatan di Indonesia. Analisis tersebut dilakukan dengan mengadaptasi komponen
efektivitas rezim yang terdiri dari komponen output, outcome dan impact.6
Dengan menggunakan beberapa acuan referensi tersebut penulis mencoba
untuk menguraikan pembahasan secara lebih rinci dalam menjawab rumusan
pertanyaan penelitian. Dalam hal ini akan dapat diketahui bagaimana pengaruh
rezim perikanan CCSBT terhadap perdagangan perikanan tuna sirip biru
Indonesia. Sehingga nantinya penelitian ini dapat menunjukkan hasil yang relevan
dan akurat.
E. Kerangka Konseptual
Rezim Internasional
Untuk mengetahui pengaruh rezim perikanan tuna CCSBT terhadap
pengelolaan tuna sirip biru selatan Indonesia maka penulis menggunakan konsep
rezim internasional sebagai kerangka dalam memahami fenomena yang dibahas
dalam penelitian ini. Rezim dapat didefinisikan seperangkat prinsip-prinsip,
norma-norma, peraturan, dan prosedur pembuatan keputusan baik itu secara
6 Underdal, Arild. Op.Cit. halaman 5-6.
13
eksplisit maupun implisit dimana harapan-harapan para aktor menyatu di dalam
hubungan internasional.7 Rezim yang di dalamnya berisi serangkaian aturan main
berfungsi untuk mengelola hubungan-hubungan kekuasaan tertinggi. Tujuan
dibentuknya rezim itu sendiri adalah sebagai wujud dari kesepakatan bersama dari
aktor-aktor yang berkepentingan atas isu permasalahan tertentu dalam
meminimalisir konflik yang terjadi dari terjalinnya hubungan antar aktor tersebut
yang masing-masing cenderung bersifat otonom.
Jika dijabarkan dalam konsep rezim internasional, CCSBT (Commission for
the Conservation of Southern Bluefin Tuna) merupakan sebuah komisi untuk
konservasi yang mulanya dibentuk berdasarkan kesepakatan bersama negara-
negara yang memiliki kepentingan terhadap sumber daya ikan tuna sirip biru.
Kesepakatan itu dibentuk secara sukarela dimana negara-negara yang
berkepentingan tersebut membangun kesadaran bersama dalam upaya pengelolaan,
konservasi dan pemanfaatan sumber daya ikan tuna sirip biru secara tepat. Upaya-
upaya tersebut perlu dilakukan sehubungan dengan permasalahan yang dihadapi
yaitu menurunnya kuota hasil tangkapan ikan tuna sirip biru. Sejak saat itu
negara-negara utama pemancing ikan yakni Jepang, Australia dan Selandia Baru
mulai menerapkan kuota ketat untuk armada penangkapan ikan mereka sebagai
upaya konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan tuna sirip biru secara
optimal.8
7 Krasner, Stephen D. 1983. “Structural Causes and Regime Consequences: Regimes as
Intervening Variables”. USA: Cornell University Press. 8 The Origin of the Convention diakses melalui
http://www.ccsbt.org/site/origins_of_the_convention.php pada 18 Mei 2014
14
Rezim juga dapat dipahami sebagai serangkaian prosedur yang meliputi
peraturan dan norma yang bersifat jelas dan masuk akal dan saling memberi
keuntungan antar aktornya. 9 Jika nantinya terjadi perubahan atas prinsip dan
norma maka akan berpengaruh juga terhadap perubahan rezim itu sendiri. Begitu
juga ketika inkonsistensi atas prinsip dan norma tersebut terjadi akan berdampak
pada melemahnya rezim tersebut. Selain dibentuk atas adanya kesepakatan dan
persamaan kepentingan terhadap isu perikanan tuna sirip biru, CCSBT juga
memiliki seperangkat aturan yang terangkum dalam sebuah prosedur manajemen.
Di dalam prosedur manajemen tersebut telah diatur mengenai perubahan total
hasil tangkapan yang diperbolehkan (Total Allowable Catch) bagi negara-negara
penangkap ikan tuna sirip biru yang juga menjadi anggota dalam rezim perikanan
regional tersebut.
Analisis terhadap pengaruh yang ditimbulkan rezim perikanan tuna CCSBT
terhadap pengelolaan tuna sirip biru selatan di Indonesia dilakukan dengan
mengadaptasi komponen dalam efektivitas rezim yaitu output, outcome dan
impact.10 Output melihat pengaruh yang ditimbulkan dari proses pembentukan
baik tertulis maupun tidak tertulis seperti konvensi, rules of law, treaty, deklarasi,
atau dapat pula dalam bentuk norma, prinsip, dan lain sebagainya. Melalui
penelitian ini, output mengalisis pengaruh dengan melihat adanya seperangkat
aturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia
terkait dengan bergabungnya Indonesia menjadi anggota dalam CCSBT. Outcome
9 Haas, Ernst. “Technological Self-Reliance for Latin America: the OAS Contribution”
International Organization 34, 4 (Autumn 1980), halaman 553. dalam Krasner, Stephen D. 1983.
“Structural Causes and Regime Consequences: Regimes as Intervening Variables”. USA: Cornell
University Press (halaman: 2). 10 Underdal, Arild. Op.Cit. halaman 5-6.
15
berhubungan dengan adanya perubahan perilaku subyek dalam rezim tersebut.
Perubahan perilaku yang dialami subyek dalam rezim tersebut juga dapat dilihat
sebagai upaya subyek atau negara dalam menyesuaikan diri dengan segala aturan
maupun ketentuan yang telah ditetapkan CCSBT. Sedangkan impact menganalisis
pengaruh dengan melihat dampak yang muncul yang berkaitan dengan perubahan
lingkungan biofisik. Tentunya perubahan lingkungan biofisik yang dimaksudkan
berkaitan dengan ketersediaan sumber daya tuna sirip biru selatan di perairan laut
Indonesia.
CCSBT memiliki tujuan utama yaitu pencapaian konservasi terhadap
ketersediaan sumber daya tuna sirip biru selatan melalui upaya pengelolaan yang
tepat. Dalam konteks kebijakan lingkungan, sebagaimana ditulis oleh Underdal,
dijelaskan bahwa hal yang dinilai paling menentukan dalam konsep efektivitas
rezim ini dapat dispesifikasikan dengan membedakan antara konsekuensi yang
berupa perubahan subyek atau anggota dalam rezim tersebut dan konsekuensi
yang terwujud melalui perubahan lingkungan biofisik itu sendiri. Sehingga
bagaimana pun juga hal yang paling utama adalah terjaganya nilai-nilai
lingkungan.
Analisis melalui output, outcome, dan impact dimulai dengan mengalisis
satu titik awal yang kemudian hasilnya digunakan untuk mengalisis tahap
berikutnya. Pertama, diawali dengan menganalisis output untuk melihat aturan-
aturan maupun norma-norma yang diberlakukan dalam proses pembuatan
keputusan dan atau pada tahap pembentukan rezim itu sendiri. Analisis terhadap
aturan-aturan tersebut sekaligus dapat digunakan untuk melihat bagaimana bentuk
16
rezim yang sebenarnya yaitu mengikat atau tidak mengikat. Kedua, dari hasil
analisis terhadap aturan-aturan yang diberlakukan dalam rezim tersebut kemudian
dilanjutkan untuk menganalisis impact. Analisis impact ini melihat perubahan
perilaku subyek dalam rezim yang disebabkan adanya aturan-aturan yang
ditetapkan sebelumnya. Perubahan perilaku tersebut juga dapat dilihat sebagai
upaya penyesuaian diri dari subyek tersebut terhadap norma-norma dan atau
aturan yang berlaku dalam rezim. Sebuah rezim dikatakan baik apabila dapat
menimbulkan perubahan perilaku subyek dalam rezim tersebut. Selanjutnya, dari
perubahan perilaku tersebut akan dianalisis kembali dengan melihat perubahan
lingkungan biofisik yang menjadi target utama mengingat tujuan utama
dibentuknya rezim tersebut adalah untuk mengupayakan konservasi terhadap
sumber daya tuna sirip biru selatan Indonesia.
Object Output Outcome Impact
(regime formation) (regime implementation)
Time Level 1: Measures are in effect, and Nature responds
The international target groups adjust. to changes
agreement signed. in human
Level 2: behaviour.
Domestic measures
are taken.
Gambar 2. Konsep Analisis Output, Outcome, dan Impact11
F. Argumen Utama
Sebagai sebuah rezim perikanan tuna yang beranggotakan beberapa negara
yang berkepentingan terhadap sumber daya ikan tuna sirip biru selatan, adanya
CCSBT secara otomatis telah mampu memengaruhi perilaku para anggotanya
11 Underdal, Arild. Op.Cit. halaman 7.
17
termasuk Indonesia. Pengaruh rezim perikanan tuna CCSBT terhadap pengelolaan
tuna sirip biru selatan di Indonesia telah mendatangkan perubahan terutama dalam
sistem pengelolaan tuna sirip biru selatan di perairan laut Indonesia. Selain itu,
dengan dikeluarkannya beberapa resolusi oleh CCSBT yang kemudian diadaptasi
dan diimplementasikan dalam sistem pengelolaan tuna sirip biru selatan di
Indonesia telah mampu mengurangi aktivitas IUU fishing terhadap sumber daya
tuna sirip biru selatan di perairan laut Indonesia.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dari tesis ini terdiri dari lima bab dengan substansi
masing-masing bab tersebut masih berkaitan dengan bahasan utama yaitu tentang
pengaruh rezim perikanan tuna CCSBT terhadap pengelolaan tuna sirip biru
selatan di Indonesia. Bab I diawali dengan pendahuluan yang di dalamnya berisi
penjelasan mengenai latar belakang dilanjutkan dengan penjelasan mengenai
masalah-masalah terkait perikanan tuna sirip biru di Indonesia. Sebagai batasan
pembahasan tesis ini, penulis merumuskan sebuah rumusan dalam bentuk
pertanyaan rumusan masalah. Sebagai referensi dalam tinjauan pustaka, penulis
merujuk pada beberapa tulisan yang mengandung informasi yang signifikan dan
memiliki keterkaitan dengan tema bahasan penulis. Sedangkan konsep yang
digunakan dalam menganalisis pengaruh rezim perikanan tuna CCSBT terhadap
pengelolaan tuna sirip biru selatan di Indonesia, penulis menggunakan konsep
rezim internasional dan mengadaptasi komponen efektivitas rezim yaitu output,
outcome dan impact. Selanjutnya dalam bab ini juga menjelaskan mengenai
argumen utama penulis, jangkauan penelitian dan manfaat penelitian.
18
Bab II berisi gambaran pengelolaan tuna sirip biru selatan di Indonesia
dengan jangkauan waktu dari tahun 2006-2007. Batasan tahun tersebut didasarkan
pada pertimbangan bahwa pada tahun tersebut, Indonesia belum bergabung secara
resmi sebagai anggota CCSBT. Selain itu disebabkan oleh pertimbangan bahwa
data perikanan di Indonesia baru tercatat secara resmi dalam data statistik nasional
berdasarkan perbedaan spesies pada tahun 2006.
Bab III kembali menjelaskan mengenai gambaran pengelolaan tuna sirip
biru selatan Indonesia dengan batasan tahun sejak tahun 2008-2014. Batasan
tahun tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa pada tahun tersebut
Indonesia sudah bergabung secara resmi menjadi anggota CCSBT.
Bab IV berisi jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian atau analisis
pengaruh rezim perikanan tuna CCSBT terhadap pengelolaan tuna sirip biru
selatan di Indonesia. Sebelum dianalisis melalui tiga komponen output, outcome
dan impact terlebih dahulu penulis melihat perubahan yang terjadi dengan cara
membandingkan antara keadaan sebelum dan setelah Indonesia masuk menjadi
anggota resmi CCSBT. Gambaran keadaan sebelum dan setelah Indonesia
menjadi anggota CCSBT dapat dilihat pada penjelasan yang dipaparkan di bab II
dan bab III. Dari perubahan tersebut kemudian penulis malanjutkan analisis
dengan menggunakan tiga komponen output, outcome dan impact. Sedangkan bab
V atau bab terakhir berisi kesimpulan secara keseluruhan dari pembahasan dalam
penelitian.
19
H. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif.
Perolehan data penelitian dilakukan melalui teknik wawancara terstruktur secara
langsung dengan para stakeholder yang terlibat dalam komisi CCSBT delegasi
Indonesia. Untuk mempertajam analisis dan mendukung kelengkapan data,
penulis juga melakukan studi pustaka dari buku, jurnal penelitian terdahulu, situs
web resmi yang terkait dengan tema penelitian, dan sumber-sumber lain yang
dinilai valid serta akurat.
I. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh yang ditimbulkan oleh
rezim CCSBT terhadap pengelolaan perikanan tuna sirip biru di Indonesia sejak
Indonesia masuk dalam keanggotaan CCSBT yaitu tahun 2008 hingga saat ini.
J. Jangkauan Penelitian
Jangkauan penelitian dibagi ke dalam dua periode. Periode pertama antara
tahun 2006 - 2007 dan periode kedua antara tahun 2008 - 2014. Pembatasan tahun
tersebut didasarkan atas alasan bahwa pada tahun 2006 Indonesia belum masuk
sebagai anggota dalam CCSBT. Selain itu data perikanan Indonesia baru tercatat
secara resmi di data statistik nasional pada tahun 2006. Periode kedua antara
tahun 2008 – 2014 yang didasarkan atas pertimbangan bahwa tahun tersebut
merupakan tahun dimana Indonesia mulai masuk menjadi anggota resmi CCSBT
hingga saat ini.
20
K. Manfaat Penelitian
Penulis berharap tesis ini akan bermanfaat bagi para pihak yang
berkepentingan langsung terhadap pengelolaan tuna sirip biru selatan di Indonesia
yang terdiri dari nelayan yang melakukan tangkapan secara langsung, para pelaku
industri perikanan tuna, dan tentunya pemerintah atau institusi yang berwenang
dalam bidang perikanan. Pengetahuan tentang rezim perikanan tuna CCSBT
dengan segala aturan dan ketetapan serta pengaruhnya terhadap pengelolaan tuna
sirip biru selatan di Indonesia juga diperlukan bagi para nelayan dan pelaku
industri perikanan tuna mengingat pengelolaan perikanan tidak hanya menyangkut
permasalahan kebijakan. Akan tetapi, pengelolaan tersebut juga menyangkut
kegiatan penangkapan, distribusi dan pengolahan ikan tuna. Dalam CCSBT aturan
dan ketentuan mengenai pengelolaan tuna sirip biru selatan telah diatur dari mulai
proses penangkapan hingga distribusinya dimana aturan dan ketetapan tersebut
sudah dijadikan standar yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh negara-negara
anggota CCSBT. Jika ada tindakan pengelolaan yang tidak sesuai dengan aturan
dan ketetapan tersebut maka sanksi akan diberikan atas ketidakpatuhan tersebut.
Maka dari itu jika nelayan dapat memahami standar pengelolaan CCSBT secara
teori diharapkan nantinya dapat menjadi bekal yang kemudian diimplementasikan
dalam prosedur penangkapan secara langsung. Penulis juga berharap tesis ini akan
memberikan kontribusi positif sebagai referensi untuk penelitian-penelitian
selanjutnya terkait rezim dan pengelolaan perikanan tuna.