bab i pendahuluan a. latar belakangrepository.ucb.ac.id/61/1/bab 1-5 skripsi.pdf · 2020. 7. 8. ·...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hipertensi lebih dikenal sebagai penyakit kardiovaskular atau
jantung. Hipertensi merupakan suatu kondisi atau keadaan tekanan
darah seseorang melebihi ambang batas normal atau maksimal yaitu
120 mmHg untuk sistolik dan 80 mmHg untuk diastolik. Hipertensi
disebut sebagai the silent disease karena seseorang atau penderita
tidak mengetahui bahwa dirinya mengidap hipertensi sebelum
melakukan proses pemeriksakan tekanan darah. Jika hipertensi terjadi
dalam jangka waktu lama atau berlangsung terus menerus dapat
memicu timbulnya stroke, serangan jantung, gagal jantung dan
sebagai salah satu faktor utama timbulnya gagal ginjal kronik
(Purnomo, 2009), sehingga untuk mencapai manfaat klinis, dilakukan
penurunan tekanan darah dengan terapi yang tepat (Senfri et al., 2016).
Penyakit hipertensi sampai saat ini belum diketahui
penyebabnya dengan jelas, tetapi ditemukan beberapa faktor risiko
yang berperan menimbulkan hipertensi yaitu usia, adanya faktor
genetik dalam keluarga, kelebihan berat badan (obesitas), kurang
berolahraga, dan mengkonsumsi makanan yang terlalu berlemak dan
mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung kadar garam yang
tinggi. Penyebab hipertensi yang multifaktorial, mengakibatkan jumlah
penderita hipertensi menjadi cukup tinggi. Gejala yang timbul pada
penyakit hipertensi dapat dicegah dengan cara menurunkan berat
badan berlebih (obesitas), pembatasan asupan garam, melakukan
olahraga teratur, berhenti merokok dan minum obat secara teratur
(Depkes, 2008; Ramadhan et al.,2018).
Prevalensi hipertensi menurut National Health and Nutrition
Examination Survey (NHNESIII), di Amerika paling sedikit 30%
pasien hipertensi tidak menyadari kondisi mereka, dan hanya 31%
pasien yang diobati mencapai target tekanan darah yang diinginkan
2
yaitu dibawah 140/90 mmHg. Sedangkan di Indonesia sendiri angka
kejadian hipertensi sangatlah tinggi ditunjukan dari tingkat prevalensi
pada tahun 2007 angka kejadian hipertensi berada pada 7,6% dan pada
tahun 2013 terjadi peningkatan angka kejadian hipertensi yaitu 9,5%
(Riskesdas, 2013). Hasil Riskesdas tahun 2013 prevalensi hipertensi
hasil wawancara di seluruh provinsi NTT adalah 7,2% dan berada di
bawah angka nasional yang mencapai 9,4%. Di Kota Kupang sendiri
hipertensi termasuk dalam 10 peringkat penyakit terbanyak. Hipertensi
menduduki peringkat ke-4 dengan total kejadian sebanyak 21.856
kejadian atau 9,7 % (Dinkes Kota Kupang, 2017).
Obat-obat antihipertensi yang sering digunakan diantaranya
adalah amlodipine, captopril, hct, furosemid, ramimpril, bisoprolol,
propanolol, valsatran, dan spironolakton. Menurut Joint National
Committee (JNC) 8hipertensi merupakan salah satu penyakit penyebab
kematian terbesar atau disebut juga sebagai “silent killer”dan masa
terapinya yang cukup lama sehingga perlu dideteksi secara dini dan
diterapi dengan terapi yang tepat. Penentuaan Pemberian obat menurut
Joint National Committee (JNC) 8 dibagi menjadi dua bagian
berdasarkan adanya tidak adanya penyakit penyerta. Lini pertama
untuk hipertensi tanpa penyakit penyerta adalah golongan diuretik
tiazid, ACEI atau ARB atau CCB tunggal atau kombinasi. Lini
pertama untuk hipertensi disertai penyakit penyerta adalah golongan
ACEI atau ARB tunggal atau kombinasi dengan kelas obat lain (JNC
VIII, 2013).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Eka Kartika Untari
(2018) dalam penelitiannya mengenai rasionalitas penggunaan obat
antihipertensi di Puskesmas Siantar Hilir menunjukan Obat yang
digunakan pasien hipertensi yaitu kaptopril (47,46%), amlodipin
(34,75%), hidroklorotiazid (16,10%), furosemid (0,85%), dan
spironolakton (0,85%). Evaluasi rasionalitas penggunaan obat pada
pasien hipertensi berdasarkan pedoman JNC VII menunjukkan tepat
3
indikasi sebesar 100%, tepat obat 70,65%, tepat pasien 100%, dan
tepat dosis 98,91%. Secara keseluruhan pengobatan yang memenuhi
keempat kriteria penggunaan obat rasional adalah sebesar 69,56%.
Saftia Aryzki (2017) dalam penelitiannya mengenai evaluasi
rasionalitas pengobatan hipertensi di Puskesmas pelambuan
Banjarmasin, menunjukan obat yang sering digunakan adalah obat dari
golongan CCB (amlodipine, nifedipine) dan ACEI (captopril,
lisinopril). Persentase rasionalitas pengobatan hipertensi di Puskesmas
Pelambuan Banjarmasin diperoleh tepat indikasi 48,65%, tepat obat
48,65%, tepat dosis 45,95%, tepat pasien 89,19%, tepat cara pemberian
83,79% dan tepat lama pemberian 59,46%.
Rasionalitas penggunaan obat adalah pemakaian obat - obatan
yang telah terbukti keamanan dan efektifitasnya dengan uji klinik.
Kriteria pemakaian obat secara rasional meliputi tepat indikasi, tepat
obat, tepat penderita, tepat dosis dan cara pemakaian, serta waspada
terhadap efek samping (Departemen kesehatan- kebijakan obat
nasional, 2011).
Peneliti memilih Puskesmas Pasir Panjang sebagai tempat
penelitian, karena Puskesmas sebagai tempat pelayanan kesehatan
masyarakat yang terdapat disetiap kecamatan. Hal ini menunjukan
bahwa lokasi Puskesmas yang mudah dijangkau oleh masyarakat,
sehingga masyarakat atau pasien dapat menjalani pengobatan dengan
baik. Obat – obatan yang sering diberikan di Puskesmas umumnya
adalah obat generik sehingga biaya yang dikeluarkan oleh pasien
menjadi lebih murah dibandingkan pengobatan di Rumah Sakit dan
Puskesmas Pasir Panjang sebagai tempat penelitian karena Puskesmas
Pasir Panjang sendiri menduduki peringkat ke-2 dengan jumlah pasien
hipertensi terbanyak di Kota Kupang (Dinkes Kota Kupang, 2017).
Obat antihipertensi yang sering diberikan kepada pasien
hipertensi di Puskesmas adalah kaptopril, amlodipin, HCT, ramipril,
bisoprolol, valsatran, dan pemberian obat antihipertensi di Puskesmas
4
Pasir Panjang kepada pasien sesuai dengan ketersediaan obat di
Puskesmas. Pemilihan obat Antihipertensi di Puskesmas perlu
dilakukan upaya evaluasi untuk meningkatkan kualitas hidup pasien,
serta memperlambat perkembangan progesivitas. sehingga peneliti
merasa perlu dilakukan penelitian tentang rasionalitas penggunaan
antihipertensi pada pasien hipertensi di Puskesmas Pasir Panjang tahun
2018.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah
dalam tulisan ini adalah Bagaimana gambaran rasionalitas penggunaan
obat antihipertensi di Puskesmas Pasir panjang
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengevaluasi rasionalitas terapi obat antihipertensi di
Puskesmas PasirPanjang berdasarkan kategori tepat pasien, tepat
indikasi, tepat obat, dan tepat dosis.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1) Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah mengetahui jenis
golongan obat antihipertensi yang lebih sering digunakan dan yang
lebih efektif dalam penanganan hipertensi.
2) Manfaat Praktis
a) Bagi Peneliti
Meningkatkan keilmuan penulis dalam penelitian selanjutnya.
b) Bagi Peneliti Lain
Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan kajian dan
data untuk penelitian selanjutnya, yang berkaitan dengan
penelitian ini.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. hipertensi
1. Definisi Hipertensi
Hipertensi adalah meningkatnya tekanan darah sistolik lebih
besar dari 140 mmHg dan atau diastolik lebih besar dari 90 mmHg
pada dua kali pengukuran dengan selang waktu 5 menit dalam keadaan
cukup istirahat (Kemenkes RI, 2014). Menurut The Eighth Reportof
The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation
and Treatment of High Blood Pressure (JNC VIII), hipertensi
merupakan keadaan yang paling sering ditemukan pada pelayanan
kesehatan dan selanjutnya mengakibatkan infark miokard, stroke,
gagal ginjal dan kematian bila tidak dideteksi dan diterapi sedini
mungkin (James, et al., 2014).
2. Klasifikasi
a) Hipertensi primer (essensial)
Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi
essensial (hipertensi primer). Beberapa mekanisme yang mungkin
berkontribusi untuk terjadinya hipertensi ini telah diidentifikasi, namun
belum satupun teori yang tegas menyatakan patogenesis hipertensi
primer tersebut. Hipertensi sering turun temurun dalam suatu keluarga,
hal ini setidaknya menunjukkan bahwa faktor genetik memegang
peranan penting pada patogenesis hipertensi primer. Banyak
karakteristik genetik dari gen-gen ini yang mempengaruhi
keseimbangan natrium, tetapi juga didokumentasikan adanya mutasi-
mutasi genetik yang merubah ekskresi kallikrein urine, pelepasan nitric
oxide, ekskresi aldosteron, steroid adrenal, dan angiotensinogen
(Pharmaceutical care Hipertensi, Depkes RI, 2006).
b) Hipertensi sekunder
Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari
penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan
6
tekanan darah pada kebanyakan kasus, atau disfungsi renal akibat
penyakit ginjal kronis. Apabila penyebab sekunder dapat diidentifikasi,
maka dengan menghentikan obat yang bersangkutan atau mengoreksi
kondisi komorbid yang menyertainya sudah merupakan tahap pertama
dalam penanganan hipertensi sekunder (Pharmaceutical care
Hipertensi, Depkes RI, 2006).
Menurut Worlth Health Organization (WHO) (2011), tekanan
darah normal adalah kurang dari 135/85, dikatakan hipertensi bila
lebih dari 140/90 mmgHg. Klasifikasi hipertensi menurut WHO
berdasarkan tekanan diastolik adalah sebagai berikut :
a. Hipertensi derajat I, yaitu jika tekanan diastoliknya 95-109 mmHg
b. Hipertensi derajat II, yaitu jika tekanan diastoliknya 110-119
mmHg
c. Hipertensi derajat III, yaitu jika tekanan diastoliknya lebih dari
120 mmHg.
Salah satu cara untuk mengetahui apakah seseorang menderita
hipertensi atau tidak adalah dengan membuat suatu standar nilai ukur
dari tensi atau tekanan darah. Salah satu contoh standar yang
digunakan yaitu JNC (Joint National Committee). JNC (Joint National
Committee) telah mengeluarkan guideline terbaru pada tahun 2013
yaitu JNC 8 mengenai tatalaksana hipertensi. Mengingat bahwa
hipertensi merupakan salah satu penyakit penyebab kematian terbesar
atau disebut juga sebagai “silent killer”dan masa terapinya yang cukup
lama sehingga perlu dideteksi secara dini dan diterapi dengan terapi
yang tepat (JNC VIII, 2013).
Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi menurut JNC 8 tahun 2014
Klasifikasi Tekanan darah
Sistolik
(mmHg)
Tekanan darah Diastolik
(mmHg)
Normal <120 mmHg Dan <80 mmHg
Pre-Hipertensi 120-139 mmHg Atau 80-89mmHg
Hipertensi Tahap 1 140-159 mmHg Atau 90-99 mmHg Hipertensi Tahap 2 ≥160 mmHg Atau ≥ 100 mmHg
7
3. Patofisiologi Hipertensi
Gambar 2.1: Patofisiologi dari hipertensi.(JNC 8, 2013 )
Tekanan yang dibutuhkan untuk mengalirkan darah ke sistem
sirkulasi dilakukan melalui pompa jantung (cardiac output) dan
resistensi vaskular (peripheral vascular resistance), fungsi kerjanya
yang dipengaruhi oleh interaksi dari berbagai faktor yang kompleks.
Hipertensi merupakan abnormalitas dari faktor-faktor tersebut, yang
ditandai dengan peningkatan curah jantung dan atau ketahanan
periferal.
Kondisi cardiac output erat kaitannya dengan kejadian
hipertensi, peningkatan cardiac output secara logis timbul dari dua
jalur, yaitu baik melalui peningkatan cairan (preload) atau peningkatan
kontraktilitas dari efek stimulasi saraf simpatis. Tetapi tubuh dapat
mengkompensasi agar cardiac output tidak meningkat yaitu dengan
cara meningkatkan resistensi perifer. Selain itu konsumsi natrium
berlebih dapat menyebabkan hipertensi karena peningkatan volume
cairan dalam pembuluh darah dan preload, sehingga meningkatkan
cardiac output.
8
4. Komplikasi
Hipertensi merupakan penyakit yang meliputi banyak resiko.
Beberapa penyakit penyerta yang berperan penting dalam timbulnya
hipertensi. Penyakit penyerta dalam timbulnya hipertensi meliputi :
a) Jantung
Penyakit jantung sering menyebabkan kematian pada pasien
hipertensi. Penyakit jantung hipertensi merupakan hasil dari perubahan
struktur dan fungsi yang menyebabkan pembesaran jantung kiri
disfungsi diastolik, dan gagal jantung (Dipiro et.al.,2008).
b) Otak
Hipertensi merupakan faktor risiko yang penting terhadap
infark dan hemoragik otak. Sekitar 85 % dari stroke karena infark dan
sisanya karena hemoragik. Insiden dari stroke meningkat secara
progresif seiring dengan peningkatan tekanan darah, khususnya pada
usia> 65 tahun. Pengobatan pada hipertensi menurunkan insiden baik
stroke iskemik ataupun stroke hemoragik. Stroke merupakan
kerusakan target organ yang disebabkan hipertensi. Stroke timbul
karena pendarahan, tekanan intra kranial yang meninggi, atau akibat
embolus yang terlepas dari pembuluh non otak yang akan
meningkatkan tekanan tinggi (Bianti, 2015).
c) Ginjal
Hipertensi kronik menyebabkan nefrosklerosis, penyebab yang
sering terjadi pada renal insufficiency. Pasien dengan hipertensi
nefropati, tekanan darah harus 130/80 mmHg atau lebih rendah,
khususnya ketika ada proteinuria (Dipiro et.al., 2008).
5. Pentalaksanaan Hipertensi
a) Terapi non farmakologi
Pendekatan nonfarmakologi merupakan penanganan awal
sebelum penambahan obat-obatan hipertensi, disamping perlu
diperhatikan oleh seorang yang sedang dalam terapi obat.Sedangkan
pasien hipertensi yang terkontrol, pendekatan nonfarmakologis ini
9
dapat membantu pengurangan dosis obat pada sebagian penderita.
Oleh karena itu, modifikasi gaya hidup merupakan hal yang penting
diperhatikan, karena berperan dalam keberhasilan penanganan
hipertensi. Pendekatan nonfarmakologis dibedakan menjadi beberapa
hal:
1. Menurunkan faktor risiko yang menyebabkan aterosklerosis.
Berhenti merokok penting untuk mengurangi efek jangka
panjang hipertensi karena asap rokok diketahui menurunkan aliran
darah ke berbagai organ dan dapat meningkatkan beban kerja jantung.
Selain itu pengurangan makanan berlemak dapat menurunkan risiko
aterosklerosis.
Penderita hipertensi dianjurkan untuk berhenti merokok dan
mengurangi asupan alkohol. Berdasarkan hasil penelitian
eksperimental, sampai pengurangan sekitar 10 kg berat badan
berhubungan langsung dengan penurunan tekanan darah rata-rata 2-3
mmHg per kg berat badan.
2. Olahraga dan aktifitas fisik
Selain untuk menjaga berat badan tetap normal, olahraga dan
aktifitas fisik teratur bermanfaat untuk mengatur tekanan darah, dan
menjaga kebugaran tubuh.Olahraga seperti jogging, berenang baik
dilakukan untuk penderita hipertensi.Dianjurkan untuk olahraga
teratur, minimal 3 kali seminggu, dengan demikian dapat menurunkan
tekanan darah walaupun berat badan belum tentu turun.Melakukan
aktivitas secara teratur (aktivitas fisik aerobik selama 30-45 menit/hari)
diketahui sangat efektif dalam mengurangi risiko relatif hipertensi
hingga mencapai 19% hingga 30%. Begitu juga halnya dengan
kebugaran kardio respirasi rendah pada usia paruh baya diduga
meningkatkan risiko hipertensi sebesar 50%.
Olahraga yang teratur dibuktikan dapat menurunkan tekanan
perifer sehingga dapat menurunkan tekanan darah.Olahraga dapat
menimbulkan perasaan santai dan mengurangi berat badan sehingga
10
dapat menurunkan tekanan darah. Yang perlu diingat adalah bahwa
olahraga saja tidak dapat digunakan sebagai pengobatan hipertensi.
3. Perubahan pola makan
Terapi farmakologi dengan merubah pola makan di bagi menjadi 3
yaitu :
a. Mengurangi asupan garam
Pada hipertensi derajat I, pengurangan asupan garam dan
upaya penurunan berat badan dapat digunakan sebagai langkah
awal pengobatan hipertensi.Nasihat pengurangan asupan garam
harus memperhatikan kebiasaan makan pasien, dengan
memperhitungkan jenis makanan tertentu yang banyak
mengandung garam.Pembatasan asupan garam sampai 60 mmol per
hari, berarti tidak menambahkan garam pada waktu makan,
memasak tanpa garam, menghindari makanan yang sudah
diasinkan, dan menggunakan mentega yang bebas garam. Cara
tersebut diatas akan sulit dilaksanakan karena akan mengurangi
asupan garam secara ketat dan akan mengurangi kebiasaan makan
pasien secara drastis.
b. Diet rendah lemak jenuh
Lemak dalam diet meningkatkan risiko terjadinya
aterosklerosis yang berkaitan dengan kenaikan tekanan darah.
Penurunan konsumsi lemak jenuh, terutama lemak dalam makanan
yang bersumber dari hewan dan peningkatan konsumsi lemak tidak
jenuh secukupnya yang berasal dari minyak sayuran, biji-bijian dan
makanan lain yang bersumber dari tanaman dapat menurunkan
tekanan darah.
c. Memperbanyak konsumsi sayuran, buah-buahan dan susu
rendah lemak.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa beberapa mineral
bermanfaat mengatasi hipertensi.Kalium dibuktikan erat kaitannya
dengan penurunan tekanan darah arteri dan mengurangi risiko
11
terjadinya stroke.Selain itu, mengkonsumsi kalsium dan
magnesium bermanfaat dalam penurunan tekanan darah.Banyak
konsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan mengandung banyak
mineral, seperti seledri, kol, jamur (banyak mengandung kalium),
kacang-kacangan (banyak mengandung magnesium). Sedangkan
susu dan produk susu mengandung banyak kalsium.
4. Menghilangkan stress
Stres menjadi masalah bila tuntutan dari lingkungan hampir
atau bahkan sudah melebihi kemampuan kita untuk mengatasinya.
Cara untuk menghilangkan stres yaitu perubahan pola hidup dengan
membuat perubahan dalam kehidupan rutin sehari-hari dapat
meringankan beban stres.
b) Terapi Farmakologi
1) Diuretik
Strategi awal untuk pengelolaan hipertensi adalah untuk
mengubah keseimbangan natrium (Na+) dengan pembatasan garam
dalam diet. Perubahan farmakologi keseimbangan Na+ menjadi mudah
dengan perkembangan diuretik tiazid aktif peroral. Agen diuretik
memiliki efek antihipertensi bila digunakan tunggal dan meningkatkan
efektivitas hampir semua obat antihipertensi lainnya. Pertimbangan ini,
ditambah dengan pengalaman menguntungkan dengan diuretik dalam
percobaan acak pada pasien dengan hipertensi, mendorong
penggunaan golongan obat ini yang dinilai masih sangat penting dalam
pengobatan hipertensi (Brunton, et al., 2018).
Mekanisme tepat dalam penurunan tekanan darah arteri dengan
diuretik diketahui belum pasti. Umumnya, aksi obat ini akan menurunkan
volumecairan ekstraseluler melalui interaksi dengan co-transporter
NaCl yang sensitif tiazid yang terdapat dalam tubulus distal di ginjal,
sehingga meningkatkan ekskresi Na+ dalam urin dan mengarah pada
penurunan curah jantung. Efek hipotensif akandipertahankan selama
terapi jangka panjang karena adanya penurunan resistensi pembuluh
12
darah. Penemuan chlorothiazide mendorong pengembangan sejumlah
diuretik oral yang memiliki struktur dan fungsi molekuler yang serupa
dengan demikian senyawa benzothiadiazinedapat digolongkan ke
dalam kelas diuretik. Karena efek farmakologis yang mirip, umumnya
diuretik dapat saling menggantikan dengan penyesuaian dosis yang
tepat. Meskipun demikian, farmakokinetik, dan farmakodinamik obat
ini mungkin berbeda sehingga efikasi klinis tidak selalu sama dalam
diuretik tiazid dengan penurunan tekanan darah dalam waktu sekitar 4-
6 minggu(Brunton, et al., 2018).
Diuretik mungkin tidak efektif sebagai terapi tunggal pada
pasien dengan hipertensi tahap 2 namun efek diuretik tiazid yang aditif
dengan obat antihipertensi lainnya menyebabkan rejimen kombinasi
yang mencakup diuretik ini menjadi umum dan rasional digunakan.
Diuretik juga memiliki keuntungan meminimalkan retensi garam dan
air yang umum disebabkan oleh vasodilator. Diuretik lain di samping
diuretik tiazid adalah diuretik loop, seperti furosemid dan bumetanid.
Efek berbeda dari kedua agen ini kemungkinan besar terkait dengan
durasi pendek dari aksi diuretik loop sehingga dosis harian tunggal
tidak menyebabkan pengeluaran Na+ yang signifikan untuk periode 24
jam (Brunton, et al., 2018).
Efek khas diuretik loop dalam memproduksi natriuresis yang
cepat dan kuat dapat merugikan untuk pengobatan hipertensi.
Sedangkan ketika diuretik loop diberikan dua kali sehari, diuresis akut
dapat berlebihan dan menyebabkan efek samping yang lebih besar
dibanding diuretik tiazid.Namun, diuretik loop mungkin sangat
berguna pada pasien dengan azotemia atau dengan edema berat.
Amilorida adalah diuretik hemat kalium (K+) yang juga memiliki efek
menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi (Brunton, et al.,
2018).
Diuretik hemat kalium dalam hal ini spironolakton, juga
menurunkan tekanan darah tetapi memiliki beberapa efek samping
13
yang signifikan, terutama pada pria (misalnya, disfungsi ereksi).
Kemampuan diuretik tipe ini adalah untuk menghambat hilangnya K+
dalam urin menjadikan alasan obat ini digunakan dalam pengobatan
pasien hiperaldosteron yaitu sindrom yang dapat menyebabkan
hipokalemia (Brunton, et al., 2018).
2) Penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI)
ACEI dianggap sebagai terapi lini kedua setelah diuretik pada
kebanyakan pasien dengan hipertensi. Studi ALLHAT (2008)
menunjukkan kejadian gagal jantung dan stroke lebih sedikit dengan
klortalidon dibanding dengan lisinopril. Perbedaan untuk stroke
konsisten dengan hasil trial lainnya, the Captopril Prevention Project
(CAPP). Pada studi dengan lansia, ACEI sama efektifnya dengan
diuretik dan penyekat beta. ACEI mempunyai peranan lain pada pasien
dengan hipertensi plus kondisi lainnya. Kebanyakan klinisi setuju bila
ACEI bukan merupakan terapi lini pertama pada kebanyakan pasien
hipertensi, tetapi sangat mendekati diuretik.
ACEI menghambat perubahan angiotensin I menjadi
angiotensin II, dimana angioteSnsin adalah vasokonstriktor poten yang
juga merangsang sekresi aldosteron ACEI juga memblok degradasi
bradikinin dan merangsang sintesa zat-zat yang menyebabkan
vasodilatasi, termasuk prostaglandin E2 dan prostasiklin. Peningkatan
bradikinin meningkatkan efek penurunan tekanan darah dari ACEI,
tetapi juga bertanggung jawab terhadap efek samping batuk kering
yang sering dijumpai pada penggunaan ACEI. ACEI secara efektif
mencegah dan meregresi hipertrofi ventrikel kiri dengan mengurangi
perangsangan langsung oleh angiotensin II pada sel miokardial
(Pharmaceutical care Hipertensi, Depkes RI, 2006).
3) Penyekat reseptor angiotensin II (ARB)
Pengembangan agen antagonis nonpeptida terhadap reseptor
AT1 dilakukan mengingat pentingnya peran AngII dalam pengaturan
fungsi kardiovaskular.Losartan, candesartan, irbesartan, valsartan,
14
telmisartan, olmesartan, dan eprosartan telah disetujui untuk
pengobatan hipertensi. Melalui efek antagonis terhadap AngII, obat ini
merelaksasi otot polos dan menyebabkan vasodilatasi, meningkatkan
ekskresi garam dan air, mengurangi volume plasma, dan menurunkan
hipertrofi seluler. Ada dua subtipe yang berbeda dari reseptor AngII,
yaitu AT1 dan AT2. Reseptor subtipe AT1 terletak dominan di
pembuluh darah dan jaringan miokard dan juga di otak, ginjal, dan sel
glomerulosa adrenal yang mensekresi aldosteron. Subtipe AT2
ditemukan di medula adrenal, ginjal, danSSP yang mungkin memainkan
peran dalam perkembangan vaskular (Brunton, et al., 2018).
Penghambatan RAAS dengan ARB telah terbukti dapat
mengurangi inflamasi vaskular dan memperbaikifungsi endotel. Telah
diketahui bahwa stres oksidatif memainkan peran penting dalam
memediasi disfungsi endotelium. Penggunaan valsartan telah terbukti
mencegah terbentuknya Reactive Oxygen Species (ROS) dan untuk
menekan aktivitas NF-κB, yaitu faktor transkripsi yang mengatur
ekspresi sitokin inflamasi dan molekul adhesi sel, yang berkontribusi
terhadap pengembangan inflamasi vaskular. Secara in vitro dan in vivo,
penelitian menunjukkan bahwa efek antiinflamasi ARB candesartan
adalah melalui supresi reseptor inflamasi toll-like 2 dan 4 (TLR2 dan
TLR4) (Pacurari,et al., 2014).
Berbeda dengan ACEi, ARB tidak menghambat degradasi
bradikinin. Oleh karena itu, ARB tidak berpotensi menyebabkan efek
samping berupa batuk seperti ACEi (Dipiro, et.al., 2008). Pemberian
obat ini pada dosis yang cukup, sama efektifnya dengan ACEi dalam
pengobatan hipertensi. Jika tekanan darah tidak terkontrol oleh
antagonis reseptor AT1 saja, obat kedua dengan mekanisme yang
berbeda (misalnya, diuretik atau CCB) dapat ditambahkan (Brunton, et
al., 2018).
15
4) Beta blocker
Beta blocker memblok beta‐adrenoseptor. Reseptor ini
diklasifikasikan menjadi reseptor beta‐1 dan beta‐2. Reseptor beta‐1
terutama terdapat pada jantung, otak, dan ginjal sedangkan reseptor
beta‐2 banyak ditemukan di paru‐paru, pembuluh darah perifer, dan
otot lurik, jantung. Stimulasi reseptor beta pada otak dan perifer akan
memacu pelepasan neurotransmitter yang meningkatkan aktivitas
sistem saraf simpatis. Stimulasi reseptor beta‐1 pada nodus sinoatrial
dan miokardiak meningkatkan heart rate dan kekuatan kontraksi.
Stimulasi reseptor beta pada ginjal akan menyebabkan pelepasan
rennin, meningkatkan aktivitas sistem rennin‐angiotensin‐aldosteron.
Efek akhirnya adalah peningkatan cardiac output, peningkatan tahanan
perifer dan peningkatan sodium yang diperantarai aldosteron dan
retensi air. Terapi menggunakan beta‐blocker akan mengantagonis
semua efek tersebut sehingga terjadi penurunan tekanan darah.
Beta‐blocker yang selektif (dikenal juga sebagai cardio selective
beta‐blockers), misalnya bisoprolol, bekerja pada reseptor beta‐1,
tetapi tidak spesifik untuk reseptor beta‐1 saja oleh karena itu
penggunaannya pada pasien dengan riwayat asma dan bronkhospasme
harus hati‐ hati. Beta‐blocker yang non‐selektif (misalnya propanolol)
memblok reseptor beta‐1 dan beta‐ 2.
Beta‐blocker yang mempunyai aktivitas agonis parsial (dikenal
sebagai aktivitas simpatomimetik intrinsik), misalnya acebutolol,
bekerja sebagai stimulan‐beta pada saat aktivitas adrenergik minimal
(misalnya saat tidur) tetapi akan memblok aktivitas beta pada saat
aktivitas adrenergik meningkat (misalnya saat berolahraga). Hal ini
menguntungkan karena mengurangi bradikardi pada siang hari.
Beberapa beta‐blocker, misalnya labetolol, dan carvedilol, juga
memblok efek adrenoseptor‐alfa perifer. Obat lain, misalnya celiprolol,
16
mempunyai efek agonis beta‐2 atau vasodilator (Pharmaceutical care
Hipertensi, Depkes RI, 2006).
Beta‐blocker diekskresikan lewat hati atau ginjal tergantung sifat
kelarutan obat dalam air atau lipid. Obat‐obat yang diekskresikan
melalui hati biasanya harus diberikan beberapa kali dalam sehari
sedangkan yang diekskresikan melalui ginjal biasanya mempunyai
waktu paruh yang lebih lama sehingga dapat diberikan sekali dalam
sehari. Beta‐blocker tidak boleh dihentikan mendadak melainkan harus
secara bertahap, terutama pada pasien dengan angina, karena dapat
terjadi fenomena rebound (Pharmaceutical care Hipertensi, Depkes
RI, 2006).
5) Antagonis kalsium (CCB)
Agen penghambat kanal kalsium (Ca2+)merupakan golongan obat
yang penting pada pengobatan hipertensi. Penggunaan obat golongan ini
dalam hipertensi berdasarkan pemahaman bahwa hipertensi umumnya
adalah hasil dari peningkatan resistensi pembuluh darah perifer.
Kontraksi otot polos di pembuluhdarah tergantung pada konsentrasi
intrseluler dari Ca2+ yang bebassehingga akan terjadi mekanisme
penghambatan pada perpindahan trans membran Ca2+ melalui kanal
Ca2+yang bergantung pada voltase di mana dapat menurunkan junlah total
Ca2+ yang mencapai daerah intraseluler. Semua agen antagonis kanal
Ca2+ menurunkan tekanan darah melalui relaksasi otot polos arteriol
dan resistensi pembuluh darah perifer.
Pada kasus dari penggunaan dihidropiridin, takikardia dapat
terjadi akibat stimulasi adrenergik dari SA node, namun respon ini
cukup ringan kecuali jika obat diberikan dengan cepat.Takikardia
minimal terjadi pada penggunaanverapamil dan diltiazem. Penggunaan
bersama dengan β-blocker dapat memperbesar efek kronotropik negatif
obat ini atau menyebabkan blok jantung pada pasien yang rentan.
Antagonis kanal Ca2+ efektif baik digunakan sendiri atau kombinasi
17
dengan obat lain untuk pengobatan hipertensi. Hal ini telah diperkuat
oleh sejumlah besar uji klinis (Brunton, et al., 2018).
6) Antagonis reseptor α1-adrenergik
Ketersediaan obat yang selektif dapat menghambat reseptor
α1-adrenergik tanpa mempengaruhi reseptor α2-adrenergik. Prazosin,
terazosin, dan doxazosin adalah agen yang tersedia untuk pengobatan
hipertensi. Awalnya, antagonis reseptor α1-adrenergik mengurangi
resistensi arteriol dan peningkatan kapasitas vena
sehinggamenyebabkan peningkatan refleks pada denyut jantung dan
aktivitas renin plasma. Selama terapi jangka panjang, vasodilatasi
berlanjut tetapi curah jantung, denyut jantung, dan aktivitas renin
plasma kembali normal. Aliran darah ginjal tidak berubah selama
terapi dengan antagonis reseptor α1. Retensi garam dan air terjadi
pada banyak pasien selama pemberian berlanjut. Antagonis reseptor
α1 tidak dianjurkan sebagai monoterapi untuk penderita hipertensi.
Obat golongan ini digunakan terutama dengan diuretik, β-blocker, dan
antihipertensi lainnya. β-blockerdiketahui dapat meningkatkan efek dari
antagonis reseptor α1. Antagonis reseptor α1 adalah obat yang sesuai
bagi pasien hipertensi dengan benign prostatic hyperplasia, karena
dapat juga memperbaiki gejala urinaria (Brunton, et al., 2018).
7) Alpha‐blocker
Alpha‐blocker (penghambat adreno-septor alfa‐1) memblok
adrenoseptor alfa‐1 perifer, mengakibatkan efek vasodilatasi yang
menyebabkan relaksasi otot polos pembuluh darah dan bekerja dengan
menghambat alfa pasca sinaptik dan menimbulkan vasodilatasi,
namun jarang menyebabkan takikardia. Diindikasikan untuk
hipertensi yang resisten. Contoh dari obat ini adalah daksazosin dan
indoramin (Pharmaceutical care Hipertensi, Depkes RI, 2006).
18
Populasi umum tanpa diabetes dan PGK Disertai diabetes dan PGK
Ras kulit putih Ras kulit hitam
Semua ras
Gambar 2.2. Algoritma dan target tekanan darah pengobatan hipertensi
(JNC VIII,2013)
6. Rasionalitas Penggunaan Antihipertensi.
Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) 2011,
pemakaian obat secara rasional berarti hanya menggunakan obat - obatan yang
telah terbukti keamanan dan efektifitasnya dengan uji klinik. Kriteria pemakaian
obat secara rasional meliputi tepat indikasi, tepat obat, tepat penderita, tepat dosis
dan cara pemakaian, serta waspada terhadap efek samping.
1) Tepat indikasi
Tepat indikasi digunakan untuk menentukan apakah antihipertensi diberikan
sesuai dengan keperluan dan farmakoterapi serta kemanfaatannya. Pemilihan obat
mengacu pada penegakan diagnosis. Jika diagnosis yang ditegakkan tidak sesuai
maka obat yang digunakan juga tidak akan memberikan efek yang diinginkan.
Hipertensi dewasa 18thn
Terapkan gaya hidup sehat (disertai regimen
obat antihipertensi)
Mengatur target tekanan darah dan memulai terapi antihipertensi berdasarkan umur,
diabetes dan penyakit ginjal kronis (PGK)
Umur ≥ 60 thn Umur ≥ 60 thn Semua umur disertai
diabetes tanpa PGK
Semua umur di sertai
diabetes dan PGK
Target tekanan darah
TDS < 140mmHg
TDD < 90mmHg
Target tekanan darah TDS < 150mmHg
TDD < 90mmHg
Target tekanan darah TDS < 140mmHg
TDD < 90mmHg
Target tekanan darah
TDS < 150mmHg
TDD < 90mmHg
Lini pertama ACEI atau ARB
tunggal atau kombinasi dengan
kelas obat lain
Lini pertama diuretik tiazid atau
CCB tunggal atau kombinasi
dengan kelas obat lain
Lini pertama diuretik tiazid,
ACEI atau ARB atau CCB
tunggal atau kombinasi
19
2) Tepat obat
Pemilihan jenis obat harus memenuhi beberapa segi pertimbangan
yakni :
a. Kemanfaatan dan keamanan obat sudah terbukti secara pasti
b. Obat memiliki efektifitas yang telah terbukti
c. Derajat penyakit pasien meliputi pasien dengan penyakit berat
butuh obat yang bisa cepat mencapai kadar obat dalam plasma
dan cepat menurunkan tekanan darah sehingga cepat meredakan
penderitaan pasien
d. Risiko dari pengobatan dipilih yang paling kecil untuk pasien
dan seimbang dengan manfaat yang akan diperoleh. Risiko
pengobatan mencakup toksisitas obat, efek samping, dan
interaksi dengan obat lain
e. Biaya obat paling sesuai untuk alternatif-alternatif obat dengan
manfaat dan keamanan yang sama dan paling terjangkau oleh
pasien
f. Jenis obat yang paling mudah didapat
g. Cara pemakaian paling cocok dan paling mudah diikuti pasien
h. Sesedikit mungkin kombinasi obat atau jumlah jenis obat
3) Tepat pasien
Tepat pasien adalah kesesuaian pemilihan obat yang
mempertimbangkan keadaan pasien sehingga tidak menimbulkan
kontraindikasi kepada pasien secara individu.
4) Tepat cara pemakaian dan dosis obat
Tepat dosis adalah besar dosis, waktu pemberian dan durasi
yang digunakan paling aman dan efektif untuk pasien. Cara
pemakaian obat memerlukan pertimbangan farmakokinetika,
yakni cara pemberian, besar dosis, frekuensi pemberian dan lama
pemberian, serta pemilihan cara pemakaian yang paling mudah
diikuti oleh pasien dan paling aman serta efektif untuk pasien.
20
B. LANDASAN TEORI
Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis
yang beragam. Pada kebanyakan pasien etiologi patofisiologinya tidak
diketahui (essensial atau hipertensi primer). Hipertensi primer ini tidak
dapat disembuhkan tetapi dapat dikontrol. Kelompok lain dari populasi
dengan persentase rendah mempunyai penyebab yang khusus, dikenal
sebagai hipertensi sekunder. Banyak penyebab hipertensi sekunder
endogen maupun eksogen. Bila penyebab hipertensi sekunder dapat
diidentifikasi, hipertensi pada pasien-pasien ini dapat disembuhkan
secara potensial. Atau Hipertensi adalah meningkatnya tekanan darah
sistolik lebih besar dari 140 mmHg dan atau diastolik lebih besar dari
90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu 5 menit
dalam keadaan cukup istirahat (tenang) (Kemenkes RI, 2014).
Hipertensi didefinisikan oleh Joint National Committee on Detection,
Evaluation and Treatmentof High Blood Pressure sebagai tekanan
yang lebih tinggi dari 140 / 90 mmHg.
Kriteria dalam menentukan rasional penggunaan obat
hipertensi dapat dilihat melalui kriteria-kriteria sebagai berikut yaitu :
tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat, tepat dosis.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Eka Kartika Untari (2018)
dalam penelitiannya mengenai rasionalitas penggunaan obat
antihipertensi di Puskesmas Siantar Hilir menunjukan Obat yang
digunakan pasien hipertensi yaitu kaptopril (47,46%), amlodipin
(34,75%), hidroklorotiazid (16,10%), furosemid (0,85%), dan
spironolakton (0,85%). Evaluasi rasionalitas penggunaan obat pada
pasien hipertensi berdasarkan pedoman JNC 7 menunjukkan tepat
indikasi sebesar 100%, tepat obat 70,65%, tepat pasien 100%, dan
tepat dosis 98,91%. Secara keseluruhan pengobatan yang memenuhi
keempat kriteria penggunaan obat rasional adalah sebesar 69,56%..
Kriteria sampel dalam penelitian Eka Kartika Untari berdasarkan
jenis kelamin, rentang usia pasien 18-65 tahun, dan parameter yang
21
dilihat yaitu tepat indikasi, tepat dosis, tepat pasien, tepat waktu dan
tempat rute pemberian.
Penelitian lain yang telah dilakukan oleh Saftia Aryzki (2017)
penggunaan golongan antihipertensi yang paling sering digunakan
digunakan adalah obat dari golongan CCB (amlodipine, Nifedipine)
dan ACEI (captopril, lisinopril), dengan persentase rasionalitas
pengobatan hipertensi di Puskesmas Pelambuan Banjarmasin
diperoleh tepat indikasi 48,65%, tepat obat 48,65%, tepat dosis
45,95%, tepat pasien 89,19%, tepat cara pemberian 83,79% dan
tepat lama pemberian 59,46%.
22
C. Kerangka Konsep
Gambar 2.3 Kerangka Konsep
Keterangan :
= Yang dilakukan
= Yang dilakukan
Hipertensi Etiologi
1. HipertensiPrimer
2. HipertensiSekunder
Peningkatan Morbidiitas Komplikasi mikro dan makro Peningkatan Mortalitas
Terapi Non Farmakologis
Diet, mengurangi asupan garam,
olahraga, mengurangi konsumsi
alkohol, berhenti merokok
Terapi Farmakologis ACEI, diuretik, CCB, β-Blocker, ARB, α-1
Blocker, Agonis α-2 Sentral, Vasodilator Arteri
Langsung
Terapi yang diberikan
Tidak rasional Rasional
Tepat Pasien Tepat Indikasi Tepat Obat Tepat Dosis Efek Samping
Menggunakan literature pembanding
yaitu Joint National Committee (JNC) 8
23
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain dan Rancangan penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian
observasional dengan rancangan deskriptif. Pengambilan data
dilakukan pada bulan Agustus 2019. Pengambilan data dilakukan
secara retrospektif dengan menggunakan data yang tercantum pada
rekam medis (RM) pasien Puskesmas Pasir Panjang-Kota Kupang.
B. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Pasir Panjang Kota
Kupang pada bulan Agustus 2019.
C. Populasi dan Sampel penelitian
1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek
atau subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti (Sugiyono, 2017). Populasi penelitian ini
adalah semua pasien hipertensi tanpa disertai penyakit penyerta rawat
jalan dan rawat inap di Puskesmas Pasir Panjang Kupang periode
Januari – Maret 2018.
a. Kriteria inklusi sebagai berikut :
1. Rekam medis pasien rawat jalan yang terdiagnosa hipertensi tanpa
penyakit penyerta di Puskesmas Pasir Panjang Kupang periode
Januari – Maret 2018
2. Semua jenis kelamin dan usia antara ≥18 tahun.
Jumlah pasien rawat jalan pasien hipertensi periode Januari –
Maret 2018 adalah sebesar 764 pasien hipertensi.
24
b. Kriteria eksklusi
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah data rekam medis
pasien hipertensi yang tidak lengkap.
2. Sampel
Sampel penelitian adalah bagian dari populasi yang dipilih
dengan menggunakan teknik Systematic sampling. Teknik
pengambilan sampel ini didasarkan pada urutan dari anggota populasi
yang telah diberi nomor urut tertentu (Sugiyono, 2017). Jumlah sampel
ditentukan berdasarkan ukuran sampel yang di anjurkan oleh arikunto
(untuk penelitian deskriptif sampel minimum adalah 25-30%) sehingga
akan diambil 229 sampel dari populasi tersebut dengan menggunakan
teknik Systematic sampling(Arikunto et al., 2015). Pemberian nomor
urut pada populasi di tentukan berdasarkan rentang interval (k)
menggunakan rumus:
Sehingga rentang interval yang diperoleh sebesar:
Dengan demikian sampel akan dipilih dengan rentang tiap 3 rekam
medis sesuai dengan metode Systematic sampling.
k =
N = Jumlah populasi
n = Jumlah sampel
k =
k = 3,3
3,3 di bulatkan menjadi 3
25
D. Variabel Penelitian
Variabel adalah atribut seseorang, atau obyek, yang mempunyai
variasi antara satu orang dengan orang lain atau satu obyek dengan
obyek lain (Sugiyono, 2017).
Variabel dalam penelitian ini adalah rasionalitas penggunaan
antihipertensi meliputi tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis dan cara
pemakaian.
E. Definisi Operasional
1. Rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen
tentang identitas, anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, pengobatan
tindakan dan pelayanan lain yang diberikan kepada seorang
penderita selama mendapatkan perawatan di Puskesmas
2. Pasien Hipertensi adalah pasien yang dimana kondisi atau keadaan
tekanan darah > 120/80 mmHg.
3. Tepat pasien yaitu Pemilihan obat tidak di kontraindikasikan
dengan keadaan pasien.
4. Tepat Indikasi yaitu Kesesuaian pemberian obat dengan diagnosis
yang diderita pasien.
5. Tepat obat yaitu Pemilihan obat sesuai dengan algoritma terapi
pedoman diagnosis dan terapi yang didapatkan di Puskesmas.
6. Tepat dosis yaitu Pemberian obat yang meliputi besaran dosis,
frekuensi pemberian dan aturan pakai sesuai pedoman.
F. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang dipakai pada penelitian ini adalah
menggunakan rekam medis, form pengambilan data, literatur yang
digunakanJoint National Committee (JNC) 8dan alat tulis.
26
G. Jalannya Penelitian
Gambar 3.1 Alur jalannya penelitian
H. Analisis Hasil
Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif yaitu analisis
rasionalitas dilakukan dengan melihat penggunaan antihipertensi tiap
kasus, kemudian dibandingkan dengan Joint National Committee
edition 8 (JNC 8) yang digunakan sebagai acuan pengobatan untuk
mengetahui rasionalitas penggunaan antihipertensi pada pasien rawat
jalan dengan diagnosis Hipertensi tanpa penyakit penyerta di
Puskesmas Pasir Panjang Periode Januari – Maret 2018.
Pengajuan izin ke Puskesmas Pasir
panjang – Kota Kupang
Pengajuan izin ke Ketua Stikes
Citra Husadah Mandiri Kupang
Pengambilan data
Kepala Puskesmas Pasir Panjang Bagian pelayanan penyakit tidak
Menular
Pencatatan pasien
Hipertensi
Menganalisis rasionalitas obat antihipertensi dengan presentasi tiap kriteria rasionalitas penggunaan obat diolah menggunakan excel
pencatatan data penggunaan
Antihipertensi pada pasien
Hipertensi
Menganalisis penelitian yaitu penelusuran data dan pencatatan data rekam
medik yang memenuhi kriteria inklusi dan pengambilan sampel secara
Systematic sampling
Pembahasan dan kesimpulan
Studi pustaka
Perizinan Penelitian
27
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Sampel
Evaluasi penggunaan obat merupakan upaya yang dilakukan
dengan tujuan untuk menilai apakah terapi yang diberikan memiliki
efikasi dan keamanan berdasarkan, tepat pasien, tepat indikasi, tepat
obat, dan tepat dosis (Kemenkes RI, 2011). Hasil penelitian ini
diperoleh dengan mengolah 229 data rekam medis sebagai populasi
yang kemudian dilakukan systematic sampling dan didapatkan 77 data
rekam medis sebagai sampel. Deskripsi sampel dilakukan untuk
mengetahui karakteristik pasien hipertensi di Puskesmas Pasir Panjang
2018 secara umum meliputi :
1) Jenis Kelamin.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diketahui, bahwa
penderita hipertensi di Puskesmas Pasir Panjang lebih banyak dialami
oleh pasien perempuan (65%) dari pada pasien laki-laki (35%), seperti
yang ditampilkan pada tabel 4.1. Hasil ini sama dengan hasil survei
yang dilakukan oleh badan kesehatan nasional tahun 2018, yang
menyatakan bahwa jumlah pasien hipertensi perempuan lebih tinggi
yaitu 36,9% dari pada jumlah pasien hipertensi laki-laki yang hanya
sebesar 31,3%.
Tabel 4.1. Karakteristik sampel Berdasarkan Jenis kelamin.
Faktor gender berpengaruh pada terjadinya hipertensi, dimana pria
lebih banyak menderita hipertensi dibandingkan dengan wanita,
dengan rasio sekitar 2,29% untuk peningkatan tekanan darah sistolik.
Pria diduga memiliki gaya hidup yang cenderung meningkatkan
tekanan darah dibandingkan dengan wanita. Namun, setelah memasuki
No Jenis Kelamin Jumlah %
1 Perempuan 50 65
2 laki-laki 27 35
Total 77 100
28
masa menopause, maka prevalensi hipertensi pada wanita mengalami
peningkatan (Depkes RI 2013). Pada masa pramenopause wanita mulai
kehilangan sedikit demi sedikit hormone estrogen, dimana hormon
estrogen memiliki fungsi untuk melindungi pembuluh darah dari
kerusakan (Kumar et al., 2005). Laki-laki cenderung lebih besar
mengalami hipertensi dari pada perempuan, yang dipengaruhi oleh
pola hidup yang kurang sehat seperti merokok dan mengkonsumsi
alkohol. Dimana dalam rokok terdapat zat nikotin yang dapat yang
dapat mengakibatkan peningkatan denyut jantung, meningkatkan
tekanan darah, menurunkan kadar kolesterol HDL, meningkatkan
kadar kolesterol LDL, dan mempercepat arteriosklerosis (Arda, 2018).
Dan asupan alkohol yang dapat menyebabkan terjadinya hipertensi.
Beberapa mekanisme yang mungkin mempengaruhi adalah stres
oksidatif, gangguan baroreseptor, cedera pembuluh darah,
berkurangnya produksi oksida nitrat, dan stimulasi sistem RAAS
(Tariq, et al., 2018).
2) Usia.
Usia responden dalam penelitian ini dikelompokan menjadi 3
kelompok besar yang mengacu pada pengelompokan usia menurut
WHO (World Health Organization) yaitu usia dewasa < 45 tahun, usia
pertengahan (middle age) 45-60 tahun, dan lanjut usia > 60 tahun. Dari
tabel 4.2 diketahui, bahwa kelompok usia yang paling banyak
menderita hipertensi adalah pada kelompok usia 45-60 tahun dengan
jumlah 41 orang atau sebesar 53%.
Tabel 4.2. Karakteristik Sampel Berdasarkan Usia
No Kategori Usia Jumlah %
1 <45 tahun 2 3
2 45-60 tahun 41 53
3 >60 tahun 34 44
Total 77 100
Hipertensi merupakan penyakit yang timbul akibat adanya interaksi
berbagai faktor resiko yang dimiliki seseorang. Faktor pemicu
hipertensi dibedakan menjadi yang tidak dapat dikontrol seperti
29
riwayat keluarga, jenis kelamin, dan usia (Pharmaceutical care
Hipertensi, Depkes RI, 2006).
Adanya peningkatan tekanan darah salah satunya diakibatkan oleh
adanya pertambahan usia. Sejalan dengan bertambahnya usia, terjadi
perubahan struktur pada pembuluh darah besar, sehingga lumen bisa
menjadi sempit dan pembuluh darah menjadi lebih kaku, sebagai
akibatnya terjadi peningkatan tekanan darah sistolik (Depkes RI,
2013).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Tamamilang (2018) , mengenai hubungan antara umur dan aktivitas
fisik dengan derajat hipertensi dimana penderita dengan usia 36-45
tahun sebanyak 16 pasien (20,5%), penderita dengan usia 46-55 tahun
sebanyak 33 pasien (42,4%), dan penderita dengan usia > 56 tahun
sebanyak 29 (37,2%).
3) Golongan Obat Antihipertensi.
Berdasarkan tabel 4.3 diketahui bahwa obat yang paling banyak
digunakan dari 77 rekam medis adalah golongan Calcium Chanel
Blocker (CCB) sebanyak 58 (75%), golongan Angiotensin Cconversion
Enzyme Inhibitors (ACEi) sebanyak 17 (22%), dan kombinasi
golongan ACEi + CCB sebanyak 2 (3%).
Tabel 4.3. Karakteristik Sampel berdasarkan Penggunaan obat
Golongan obat CCB lebih sering digunakan kerena golongan
Calcium Chanel Blocker (CCB) bekerja dengan menurunkan influx ion
kalsium kedalam sel miokard, sel-sel dalam sistem konduksi jantung,
dan sel-sel otot polos. Efek ini akan menurunkan kontraktilitas
jantung, menekan pembentukan dan propagasi impuls elektrik kedalam
jantung dan memacu aktivitas vasodilatasi, interferensi dengan
No Antihipertensi Jumlah %
1 Gol CCB 58 75
2 Gol ACEi 17 22
3 ACEi + CCB 2 3
Total 77 100
30
konstriksi otot polos pembuluh darah (Gomer, 2007). Selain itu
golongan Calcium Chanel Bloker (CCB) juga merupakan golongan obat
yang penting pada pengobatan hipertensi. Penggunaan obat golongan ini
dalam hipertensi berdasarkan pemahaman bahwa hipertensi umumnya
adalah hasil dari peningkatan resistensi pembuluh darah perifer.
Kontraksi otot polos di pembuluhdarah tergantung pada konsentrasi
intrseluler dari Ca2+ yang bebassehingga akan terjadi mekanisme
penghambatan pada perpindahan trans membran Ca2+ melalui kanal
Ca2+yang bergantung pada voltase di mana dapat menurunkan junlah total
Ca2+ yang mencapai daerah intraseluler. Semua agen antagonis kanal
Ca2+ menurunkan tekanan darah melalui relaksasi otot polos arteriol
dan resistensi pembuluh darah perifer(Brunton, et al., 2018).
Adanya terapi kombinasi yang didapatkan oleh pasien dilihat dari
kondisi, diagnosis, serta tanda dan gejala dari pasien. Hal ini sesuai
dengan guidline JNC 8 dimana jika tekanan darah seseorang
>160/90mmHg maka akan mendapatkan terapi obat tunggal
(amlodipin/captopril/HCT) atau terapi obat kombinasi dua (2) atau
lebih obat (ACEi + CCB/ CCB + diuretic tiazid).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Sefri (2016) yang hasilnya menujukan bahwa penggunaan Golongan
obat antihipertensi yang paling banyak digunakan adalah Calcium
Chanel Blocker (CCB) yaitu amlodipine (63,08%), golongan
Angiotensin Cconversion Enzyme Inhibitors (ACEi) yaitu obat
captopril (12,31%), golongan diuretic tiazide yaitu furosemid (7,69),
HCT (3,08%), dan golongan B-Blocker yaitu propanolol (4,61%).
B. Interpretasi Hasil Rasionalitas
Kriteria pemakaian obat secara rasional meliputi tepat indikasi,
tepat obat, tepat penderita, tepat dosis dan cara pemakaian, serta
waspada terhadap efek samping (Kementrian kesehatan- kebijakan
obat nasional, 2011). Evaluasi rasionalitas penggunaan obat
antihipertensi yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan secara
31
kualitatif ditinjau dari empat hal antara lain tepat pasien, tepat indikasi,
tepat obat, dan tepat dosis, dengan menggunakan Joint National
Committee (JNC) 8 sebagai literatur pembanding. Interpretasi hasil
rasionalitasdalam penelitianadalah sebegai berikut:
1) Tepat Pasien
Tepat pasien adalah kesesuaian pemilihan obat yang
mempertimbangkan keadaan pasien sehingga tidak menimbulkan
kontraindikasi kepada pasien secara individu. Evaluasi ketepatan
pasien pada penggunaan antihipertensi dilakukan dengan
membandingkan kontraindikasi obat yang diberikan dengan kondisi
klinis pasien menurut diagnosis dokter. Ketepatan pasien perlu
dipertimbangkan agar tidak terjadi kesalahan dalam pemberian obat
kepada pasien yang tidak memungkinkan penggunaan obat tersebut
atau keadaan yang dapat meningkatkan resiko efek samping obat
(Kemenkes RI, 2011).
Tabel 4.4. Evaluasi Rasionalitas berdasarkan Tepat Pasien.
No Hasil Jumlah RM %
1 Tepat pasien 77 100
2 Tidak tepat Pasien 0 0
Total 77 100
Dari tabel 4.4 diketahui bahwa seluruh peresepan obat
antihipertensi untuk terapi hipertensi termasuk dalam kategori tepat
pasien atau dapat disimpulkan sebagai 100% tepat pasien. Peresepan
obat yang dilakukan oleh dokter dilihat dari tanda dan gejala pasien
seperti tegang pada bagian leher, pusing, nyeri pada kepala, dan keram
pada tangan dan kaki pasien. Serta diperkuat dengan dilakukannhya
pengukuran tekanan darah pada pasien dimana rentang tekanan darah
pasien hipertensi di Puskesmas Pasir Panjang yaitu untuk tekanan
darah sistolik 110-200 mmHg dan tekanan darah diastolik 70-100
mmHg. Tujuan pemberian antihipertensi pada pasien adalah untuk
menjaga dan mengontrol kestabilan tekanan darah pasien dan
32
pemberian terapi yang diberikan kepada pasien sesuai dengan literatur
yang dipakai (lihat tabel.4.5) (JNC 8, 2014).
Tabel. 4.5 Pengobatan hipertensi tanpa penyakit penyerta menurut joint national
committeeedition 8 (JNC 8) tahun 2014
Hasil ini sejalan dengan penelitiaan yang dilakukan oleh Eka
Kartika Untari (2018) dimana dari 65 data rekam medis yang dilihat
diperoleh tepat pasien (100%) dan tidak terdapat rekam medis yang
menyatakan tidak tepat pasien (0%).
2) Tepat Indikasi
Tepat indikasi digunakan untuk menentukan apakah antihipertensi
diberikan sesuai dengan keperluan dan farmakoterapi serta
kemanfaatannya. Pemilihan obat mengacu pada penegakan diagnosis.
Jika diagnosis yang ditegakkan tidak sesuai maka obat yang digunakan
juga tidak akan memberikan efek yang diinginkan. Evaluasi ketepatan
indikasi dilihat dari perlu tidaknya pasien diberi obat antihipertensi
berdasarkan tekanan darah yang dilakukan sebanyak dua (2) kali
dengan rentang waktu pengukuran 5 menit (Rasionalitas Penggunaan
obat Kemenkes RI, 2011). Evaluasi rasionalitas berdasarkan tepat
indikasi dapat dilihat pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6. Evaluasi Rasionalitas berdasarkan Tepat Indikasi.
No Hasil Jumlah RM %
1 Tepat indikasi 77 100
2 Tidak tepat indikasi 0 0
Total 77 100
Berdasarkan tabel 4.6 dapat dilihat bahwa dari 77 data rekam
medis diperoleh hasil 100% tepat indikasi. Penggunaan obat
antihipertensi ini dikategorikan tepat indikasi karena obat
antihipertensi ACEi dan CCB diberikan kepada pasien dengan
diagnosis hipertensi stage 1, dan hipertensi stage 2. Berdasarkan
No Usia (tahun) Tekanan darah
(mmHg) Terapi yang diberikan
1. >60 <150/90 Gol.
Diuretic/ACEi/CCB/Kombinasi
2. <60 <140/90 Gol.
Diuretic/ACEi/CCB/Kombinasi
33
klasifikasi hipertensi Joint National Committee (JNC) 8 tahun 2014
dimana hipertensi stage 1 dengan rentang tekanan darah yaitu < 159/99
mmHg dan hipertensi stage 2 dengan rentang tekanan darah >
160/100 mmHg, sama-sama mendapatkan pengobatan lini pertama
menggunakan obat antihipertensi golongan diuretik tiazid, atau ACEi,
atau CCB tunggal atau dengan kombinasi dua (2) atau lebih golongan
obat.
Menurut panduan Praktik klinis dan Clinical Patway(CP) dan
Pembuluh Darah (2016), pasien hipertensi yang terdiagnosa dengan
hipertensi stage 1 mempunyai tanda dan gejala yang sesuai pada
lampiran 3 dimana tanda dan gejala yang dialami pasien hipertensi
stage 1 yaitu pusing, kepala sakit, tegang pada leher, mudah lelah, dan
dan rentang hasil pengukuran tekanan darah yaitu sistolik > 140 - 159
mmHg dan diastolik > 90- 99 mmHg, sedangkan pasien yang
didiagnosa hipertensi stage 2 mempunyai tanda dan gejala yang sesuai
pada lampiran 3 dimana tanda dan gejala yang dialami oleh pasien
hipertensi stage 2 yaitu pusing, kepala sakit, nyeri dada, mudah lelah
dan rentang hasil pengukuran tekanan darah yaitu sistolik > 180
mmHg dan diastolik >80-110 mmHg.
Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Saftia
Arizky (2018) mengenai evaluasi rasionalitas penggunaan obat
antihipertensi diamana hasil penelitian yang dilakukan terhadap 37
rekam medik pasien hipertensi, tepat indikasi sebanyak 18 pasien
(48,65%), sedangkan ketidaktepatan indikasi sebanyak 19 pasien
(51,35%).
3) Tepat Obat
Tepat obat adalah kesesuaian pemberian obat antihipertensi yang
dapat ditimbang dari ketetapan kelas lini terapi, jenis dan kombinasi
obat bagi pasien hipertensi (Permenkes RI, 2011). Berdasarkan tabel
4.7 dari 77 data rekam medis diperoleh ketepatan pemilihan obat
antihipertensi berdasarkan tepat indikasi yaitu 100%, dimana hasil
34
penelitian ini dilihat berdasarkan diagnosis dari pasien dan obat yang
diresepkan kepada pasien dan dibandingkan dengan pedoman atau
literature yang digunakan yaitu joint national commitee(JNC) 8.
Tabel 4.7 Evaluasi Rasionalitas berdasarkan Tepat Obat
MenurutJoint National Commitee(JNC) 8, algoritma pengobatan
untuk hipertensi stage 1 lini pertama mendapatkan obat tunggal yaitu
captopril, amlodipin, da, HCT, sedangkan hipertensi stage 2
mendapatkan obat tunggal yaitu captopril, amlodipin, da, HCT dan
kombinasi yaitu Captopril + Amlodipin / HCT + Captopril/ HCT +
Amlodipin.
Hasil penelitian evaluasi rasionalitas berdasarkan ketepatan obat di
Puskesmas Pasir Panjang Periode Januari – Maret 2018 ini berbeda
dengan penelitian yang dilakukan oleh Eka Kartika Untari (2018)
dimana terdapat 65 pasien (70,65%) obat antihipertensi yang diberikan
sudah sesuai standar yang digunakan yaitu JNC 7 dan terdapat 27
pasien (29,35%) pemberian obat antihipertensi yang tidak sesuai
standar.
No Diagnos
is
Terapi yang
didapat
Pedoman Menurut JNC 8 Kesesuaian obat
(%)
Sesuai Tidak
1 Hiperten
si Stage 1
Amlodipin/
Captopril
Tunggal antara :
HCT/Amlodipin/ captopril
75
(97%)
-
2 Hiperten
si Stage
2
1. Tunggal
:
Amlodipin/
captopri
l
1. Tunggal :
HCT/Amlodipin/Ca
ptopril
2 (3%) -
2. Kombinasi:
Captopr
i+Amlo
dipin
2. Kombinasi: Captopril +
Amlodipin / HCT +
Captopril/ HCT +
Amlodipin
Total 77
(100%)
35
4) Tepat Dosis
Tepat dosis adalah kesesuaian pemberian dosis obat antihipertensi
dengan rentang dosis terapi, ditinjau dari dosis penggunaan per hari
dengan didasari pada kondisi khusus pasien. Bila peresepan obat
antihipertensi berada pada rentang dosis minimal dan dosis per hari
yang dianjurkan maka peresepan dikatakan tepat dosis. Dikatakan
dosis kurang atau dosis terlalu rendah adalah apabila dosis yang
diterima pasien berada dibawah rentang dosis terapi yang seharusnya
diterima pasien (Kemenkes RI, 2011).
Tabel 4.8 Evaluasi Rasionalitas berdasarkan Ketepatan Dosis.
No
Terapi yang
didapatkan
Pedoman
Menurut JNC 8
Kesesuaian obat
Sesuai Tidak Sesuai
Frekuensi
(n)
Persentase
(%)
Frekuensi
(n)
Persentase
(%)
1 Amlodipin
5- 20mg/hari
2,5-
10mg/hari
57 74 1 1,3
2 Captopril
12,5-
75mg/hari
25-
50mg/hari
17 22,1 2 2,6
Total 74 96,1 3 3,9
Berdasarkan tabel 4.8 diketahui bahwa dari 77 rekam medis,
terdapat 74 data rekam medis yang menujukan tepat dosis (96,1%),
dan terdapat 3 data rekam medis yang tidak tepat dosis (3,9%), hal ini
disebabkan karena dosis yang diberikan atau diresepkan kepada pasien
melebih dosis maksimum yang telah telah ditetapkan dalam algoritma
terapi menurut Joint National Committee(JNC) 8.
Berdasarkan Joint National Committee(JNC) 8 dosis maksimum
amlodipin yaitu 2,5 – 10mg/hari dan dosis maksimum captopril yaitu
25 – 50mg/hari. Dosis yang terlalu rendah dapat menyebabkan kadar
obat dalam darah berada dibawah kisaran terapi sehingga tidak dapat
memberikan respon yang diharapkan yaitu luaran terapi berupa
penurunan tekanan darah tidak tercapai. Sebaliknya dosis obat yang
terlalu tinggi dapat menyebabkan kadar obat dalam darah melebihi
kisaran terapi menyebabkan keadaan munculnya efek samping utama
36
antihipertensi yaitu hipotensi dan kemungkinan efek toksisitas lainnya
( Eka Kartika Untari, et al, 2018).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Pande Made Rama Sumawa (2015) mengenai rasionalitas penggunaan
obat antihipertensi, dimana terdapat 25 (64,10%) pemberian obat
antihipertensi yang tepat dosis dan ditemukan 14 (35,90%) pemberian
obat antihipertensi yang tidak tepat dosis. Evaluasi dosis penggunaan
obat antihipertensi di Puskesmas Pasir Panjang Periode Januari –
Maret 2018, dapat dilihat pada tabel 4.9 dan tabel 4.10.
Tabel 4.9. Data evaluasi dosis penggunaan obat anti hipertensi yang tepat dosis .
Tabel 4.10. Data evaluasi dosis penggunaan obat anti hipertensi yang tepat tepat
dosis .
5) Jumlah Rasionalitas Penggunaan obat Antihipertensi di
Puskesmas Pasir Panjang Periode Januari – Maret 2018.
Pengobatan hipertensi yang ditemukan dalam penelitian ini yaitu
masih terdapat ketidak rasionalan terapi obat berdasarkan tepat dosis
dimana terdapat 4 rekam medis yang tidak tepat dosis (5%) (dapat
dilihat pada tabel 4.11), hal ini dikarenakan ketidaksesuaian pemilihan
obat untuk pasien hipertensi stage 2. Dalam pemberian dosis dan
Antihipertensi Jumlah Dosis RM Dosis
standar
Keterangan
Amlodipin 57 5-10mg ( 1 hari) 2,5-10mg ( 1
hari)
Tepat dosis
Captopril 15 12,5-50mg (1
hari)
25-50mg (1
hari)
Tepat dosis
Amlodipin+Captopril 1 5-10mg ( 1
hari)+12,5-
50mg (1 hari)
2,5-20mg ( 1
hari)+ 25-
50mg (1
hari)
Tepat dosis
Antihipertensi Jumlah Dosis RM Dosis
standar
Keterangan
Amlodipin 1 5mg (3x1) 2,5-10mg ( 1
hari)
Tidak tepat
dosis
Captopril 2 25mg (3x1) 25-50mg (1
hari)
Tidak Tepat
dosis
Amlodipin+Captopril 1 2x10mg ( 1
hari)+
3x25mg (1
hari)
2,5-10mg ( 1
hari)+ 25-
50mg (1
hari)
Tidak Tepat
dosis
37
frekuensi pemakaian antihipertensi tersebut dapat menyebabkan
timbulnya dampak negatif penggunaan obat yang tidak rasional sangat
beragam dan bervariasi tergantung dari jenis ketidakrasionalan
penggunaannya. Dampak negatif ini tidak saja dialami oleh pasien
yaitu berupa efek samping dan biaya yang mahal namun juga dapat
dialami oleh populasi yang lebih luas berupa mutu pengobatan dan
pelayanan (Kemenkes RI, 2011).
Tabel 4.11. Jumlah Rasionalitas Penggunaan obat Antihipertensi di Puskesmas Pasir
Panjang Periode Januari–Maret 2018.
Faktor yang mempengaruhi kerasionalan penggunaan obat adalah
pola peresepan, pelayanan yang diberikan bagi pasien, dan tersedianya
obat untuk diberikan kepada pasien. Faktor peresepan berpengaruh
langsung pada ketepatan pemberian obat yang akan dikonsumsi oleh
pasien. Faktor pelayanan pasien berpengaruh pada ketepatan diagnosis
dan terapi untuk pasien, serta informasi yang seharusnya diterima oleh
pasien agar pasien mengerti akan tujuan terapinya dan paham tentang
penggunaan obatnya.
No Hasil Jumlah RM %
1 Rasional 73 95
2 Tidak rasioanal 4 5
Total 77 100
38
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Gambaran rasionalitas penggunaan obat antihipertensi di
Puskesmas Pasir Panjang tahun 2018 adalah sebagai berikut : tepat
pasien (100%), tepat indikasi (100%), tepat obat (100%), dan tepat
dosis (95%). Obat antihipertensi yang sering diberikan kepada pasien
hipertensi yaitu Amlodipin dengan persentase yaitu 75% dan
Captopril dengan persentase yaitu 72%.
5.2Saran
1) Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebaiknya dialakukan
penelitian lanjutan mengenai evaluasi rasionalitas penggunaan
obat antihipertensi. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas
kesehatan pasien, sehingga dapat menurunkan resiko terjadinya
hipertensi.
2) Perlu dilakukan penelitian menggunakan metode prospektif dan
pengoptimalan evaluasi dengan wawancara kepada pasien, dokter,
dan farmasi untuk menggali informasi lebih dalam mengenai
pengobatan yang diberikan kepada pasien.
39
DAFTAR PUSTAKA
Arda Adhayani Zul et al. 2018. Journal of Public Health. Hipertensi dan
Faktor Risikonya di Puskesmas Motolohu Kabupaten Pohuwato.
Volume 10. Hal 32-38.
Bianti Nuraini. 2015. Journal of Pharmacy. Risk Factors Of Hypertension.
Volume 4: hal 10-19.
Brunton, L.L., Bruce A. Chabner, dan Björn C. Knollmann. 2018. Goodman
& Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutics. Thirteen
edition. The McGraw-Hill Companies, Inc.
Budiman et al. 2015. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas. Hubungan
Dislipidemia, Hipertensi dan DiabetesMelitus Dengan Kejadian Infark
Miokard Akut. Volume 10. Hal 32-37.
Darmawan Hasbullahet al. 2018. Media Gizi Pangan. Asupan Natrium dan
Status Gizi terhadap tingkat Hipertensi pada Pasien Rawat Jalan Di
RSUD Kota Makasar. Volume 25. Edisi 1. Hal 11-17.
Departemen Kesehatan RI.2006. Pharmaceutical care untuk penyakit
Hipetensi. Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. (2011). Kebijakan obat nasional. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.
Dinkes kota kupang.2016. Profil Kesehatan Kota Kupan 2016.Kota Kupang.
Dinkes kota kupang.2017. Profil Kesehatan Kota Kupan 2016.Kota Kupang.
Depkes RI. 2008.Laporan hasil Riset kesehatan dasar (Riskesdas) Nasional
tahun 2007.CV Metronusaprima: Jakarta.
Depkes RI. 2013 .Laporan hasil Riset kesehatan dasar (Riskesdas)
Nasional tahun 2007 & 2013 .CV Metronusaprima: Jakarta.
Farida Umamah. 2016. Hubungan Pre-monepause dengan kejadian
hipertensi pada wanita di RT 11 RW 05 Kelurahan BanjarBendo
sidoarjo. Vol 9 No.1 : 82-87
40
Jayanti I Gusti Ayu Ninik et al. 2017. Jurnal gizi Indonesia. Hubungan Pola
Konsumsi Minuman Beralkohol Terhadap Kejadian hipertensi pada
Tenaga Kerja Pariwasata Di kelurahan Legia. Volume 6 : 65-70.
JNC VII. 2003. The seventh report of the joint National committee on
prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood
pressure Hypertension. JAMA.
JNC VIII. 2014. The Eight Report of the joint National Committee.
Hypertension Guidelines. An in-depth Guide. Am J Manag Care.
Kartika Eka Untari et al.2018. Pharmaceutical Sciences and Research.
Evaluasi Rasionalitas Penggunaan obat Anti hipertensi di Puskesmas
siantar hilir Kota Pontianak Tahun 2015. Volume 5- Hal 32-39
Notoatmodjo, soekidjo. 2010. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka
Cipta.
Pacurari, M., Ramzi Kafoury, Paul B. Tchounwou, dan Kenneth Ndebele.
2014. The Renin-Angiotensin-Aldosterone System in Vascular
Inflammation and Remodeling. International Journal of Inflammation.
Vol. 2014, hal. 1-13. Hindawi Publishing Corporation
Permenkes No.269.,2008,”Rekam Medis”, Jakarata: Indonesia.
Purnomo, H., 2009, “Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Yang Paling
Mematikan”, Buana Pustaka,Yogyakarta.
Ramadhan Adam.R. dkk (2018). Evaluasi Penggunaan Obat Antihipertensi
Pada Pasien Hipertensi Rawat Jalandi Puskesmas Sempaja
Samarinda.Jurnal Sains dan Kesehatan. 2015. Vol 1. No 2 Hal 82-89.
Sartik et al.2017. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Faktor-faktor Resiko dan
Angka Kejadian Hipertensi pada penduduk Palembang. Volume 8(3) :
Hal 180-191.
Sugiyono.2017.Metode Penelitian Administras. Bandung : Alfabeta.
Syahdrajat T. 2017. Panduan penelitian untuk skripsi kedokteran dan
kesehatan.Jakarta: Dian Rakyat Jakarta.
Tandililing Sefri dkk.(2016). Profil Penggunaan Obat Pasien Hipertensi
Esensial di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Umum Daerah
41
Ilagaligo Kabupaten Luwu Tmur Periode Januari-Desember Tahun
2014. Journal of Pharmacy Vol. 3 (1) : 49 – 56.
Weber MA, Schiffrin EL, White WB, Samuel MD, et al. 2014. Clinical
practice guidlines for the management of hypertension in the
community. The Journal of Clinical Hypertension. 16(1):14-26.
World Health Organization(WHO).2011. Hypertension Fact Sheet.
Department Of Sustainaible Development and Healthy Environments.
Regional Office For South-East Asia. Hal 1-2
42
LAMPIRAN
43
Lampiran 1. Surat Ijin Pengambilan Data Pra-Penelitian dari Universitas Citra Bangsa
44
Lampiran 2. Surat Ijin Pengambilan Data Penelitian dari Universitas Citra Bangsa
45
Lampiran 3. Surat Keterangan Selesai Pengambilan Data
46
Lampiran 4. Form Data Pasien Hipertensi
No
RM
Nama
Pasien
Jenis
Kelamin
Usia
(Tahun)
Diagnosa Tanda dan Gejala Tekanan
Darah
(mmHg)
Obat yang
didapatkan
Dosis
Obat
(mg)
dan
Aturan
Pakai
Dosis
Literatur
(mg)
1 SM P 67 HT
Stage 1
Tegang pada leher,
nyeri dada dan
sesak napas
140/90 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
3 SS P 58 HT
Stage 1
Nyeri dada dan
sakit kepala
150/90 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin
2,5-10
6 MD P 51 HT Stage 2
Tegang pada leher, sesak napas.
150/100 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin 2,5-10
9 SS P 53 HT
Stage 1
Tegang pada leher 130/80 Amlodipin 2,5(2x1) Amlodipin
2,5-10
12 SR P 49 HT
Stage 1
Kepala sakit,
pusing,dan nyeri
dada
140/90 Amlodipin 5(1x1) Amlodipin
2,5-10
15 FN P 51 HT
Stage 1
Nyeri dada 140/90 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
18 A P 47 HT stage 2
Tegang pada leher, pusing, napas sesak
200/130 Captopril 25 (3x1) Captopril 25-50
Amlodipin 10(3x1) Amlodipin
2,5-10
21 HR P 59 HT stage
1
Tegang pada leher
dan kram pada
tangan
140/90 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
24 RK P 48 HT stage
2
Nyeri dada 140/90 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
27 AT L 51 HT stage
1
Tegang pada leher 140/90 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
30 IL L 74 HT stage
1
Tegang pada leher
dan kram pada
tangan dan kaki
140/90 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin
2,5-10
33 MS P 48 HT
Stage 1
Nyeri dada dan
sesak napas
140/90 Captopril 12,5
(2x1)
Captopril
25-50
36 SR P 49 HT
Stage 1
Nyeri dada 140/90 Amlodipin 10(1x1) Amlodipin
2,5-10
39 B L 63 HT stage
1
Nyeri dada 110/20 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
42 NL L 77 HT Stage 1
Pusing dan tegang pada leher
150/80 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin 2,5-10
45 JN P 62 HT
Stage 1
Pusing dan nyeri
dada
140/90 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
48 PJ P 76 HT
Stage 1
Tegang pada leher
dan nyeri dada
120/80 Amlodioin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
51 WB P 65 HT
Stage 1
Pusing, nyeri dada
dan kepala sakit
150/100 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin
2,5-10
54 NK P 46 HT
Stage 1
Nyeri dada 140/80 Captopril 12,5
(2x1)
Captopril
25-50
57 MB P 49 HT
Stage 1
Pusing dan nyeri
dada
150/90 Captopril 12,5
(2x1)
Captopril
25-50
60 LS L 85 HT Batuk,pusing,tegang 150/90 Captopril 12,5 Captopril
47
Stage 1 pada leher (2x1) 25-50
63 L P 64 HT
Stage 1
Sesak napa, pusing
dan tegang pada
leher
150/90 Captopril 25 (3x1) Captopril
25-50
66 YO P 61 HT
Stage 1
Tegang pada leher,
kram pada tanagn
dan kaki
140/80 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
69 S P 65 HT
Stage 1
Nyeri dada dan
pusing
140/90 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
72 YB L 51 HT
Stage 2
Batuk, sesak napas
dan nyeri dada
140/100 Amlodipin 5 (2x1) Amlodipin
2,5-10
75 SA P 42 HT
Stage 2
Tegang pada leher
dan sesak napas
170/100 Captopril 25 (2x1) Captopril
25-50
78 SF L 58 HT
Stage 1
Pusing dan tegang
pada leher
140/80 Captopril 25 (2x1) Captopril
25-50
81 EF P 51 HT
Stage 1
Pusing, lemas dan
nyeri dada
140/80 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
84 DO P 50 Ht Stage
1
Sesak napas dan
nyeri dada
150/80 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
87 NT P 55 HT
Stage 1
Nyeri dada 140/80 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
90 HH L 80 HT
Stage 2
Pusing, nyeri dada
dan sesak napas
150/70 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin
2,5-10
93 NL L 77 HT
Stage 2
Kram pada kaki,
pusing, nyeri dada
dan sesak napas
130/80 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin
2,5-10
96 AS L 83 HT
Stage 1
Nyeri dada dan
sesak napas
140/90 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
99 DP L 46 HT
Stage 1
Pusing dan sesak
napas
140/80 Captopril 25 (2x1) Captopril
25-50
102 HH L 61 HT
Stage 1
Pusing dan nyeri
dada
140/90 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
105 FT L 61 HT
Stage 2
Nyeri dada dan
pusing
150/100 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin
2,5-10
108 W P 60 HT
Stage 2
Kram pada tangan
dan sesak napas
140/90 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin
2,5-10
111 YB P 53 HT stage
1
Nyeri dada 140/80 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
114 TB P 45 HT
Stage 2
Tegang pada leher,
sesak napas, pusing
150/90 Captopril 25 (2x1) Captopril
25-50
117 EZ L 51 HT stage
1
Kram pada tangan
dan kaki, pusing
dan nyeri dada
140/80 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
120 HD P 63 HT
Stage 1
Tegang pada leher
dan pusing
140/90 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
123 YDH P 46 HT
Stage 2
Batuk, tegang pada
leher dan nyeri dada
160/100 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin
2,5-10
126 TF P 55 HT
Stage 1
Batuk, pusing dan
nyeri dada
150/80 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin
2,5-10
129 QN L 52 HT
Stage 1
Tegang pada leher 140/90 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin
2,5-10
132 S P 63 HT
Stage 1
Pusing, tegang pada
leher dan lemas
130/80 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
135 MA P 69 HT Nyeri dada, tegang 150/90 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin
48
Stage 2 pada leher dan
batuk
2,5-10
138 MP L 63 HT
Stage 1
Nyeri dada dan
batuk
140/80 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
141 AN L 52 HT
Stage 2
Sesak napas dan
nyeri dada
150/90 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin
2,5-10
144 EB P 45 HT
Stage 1
Pusing dan tegang
pada leher
140/80 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
147 S L 69 HT
Stage 1
Nyeri dada 120/80 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
150 AK L 54 HT
Stage 1
Pusing dan nyeri
dada
130/80 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
153 NB P 51 HT
Stage 2
Pusing dan tegang
pada leher
150/90 Captopril 25 (2x1) Captopril
25-50
156 JN L 72 HT
Stage 2
Pusing, tegang pada
leher dan lemas
150/90 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
159 SM P 71 HT Stage 1
Tegang pada leher dan pusing
140/70 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin 2,5-10
162 SM L 75 HT stage
2
Lemas, pusing, dan
nyeri dada
160/100 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
165 SS P 53 HT
Stage 1
Keram pada tangan,
pusing, nyeri dada
150/90 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin
2,5-10
168 S P 58 HT
Stage 2
Nyeri dada, tegang
pada leher, dan
batuk
160/100 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin
2,5-10
171 SFA P 64 HT Stage 1
Pusing dan tegang pada leher
140/90 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin 2,5-10
174 MFA P 65 HT
Stage 1
Nyeri dada 150/80 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin
2,5-10
177 N P 73 HT
Stage 1
Tegang pada leher 140/70 Captopril 12,5
(2x1)
Captopril
25-50
180 JD L 74 HT
Stage 1
Tegang pada leher
dan pusing
140/90 Captopril 12,5
(2x1)
Captopril
25-50
183 JM P 45 HT
Stage 1
Tegang pada leher 130/90 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
186 HH L 75 HT
Stage 2
Sesak napas,
pusing, tegang pada
leher, dan nyeri
dada
160/80 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin
2,5-10
189 TD P 55 HT
Stage 2
Tegang pada leher,
kram pada kaki dan
tangan
150/90 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin
2,5-10
192 MK L 71 HT
Stage 2
Nyeri dada dan
pusing
150/80 Captopril 12,5
(2x1)
Captopril
25-50
195 PN L 78 HT
Stage 1
Nyeri dada dan
sesak napas
140/90 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin
2,5-10
198 LO P 64 HT
Stage 2
Pusing, nyeri dada,
sesak napas, dan
lemas
140/80 Captopril 12.5
(2x1)
Captopril
25-50
201 YD L 59 HT
Stage 2
Nyeri dada, sesak
napas, dan pusing
160/100 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin
2,5-10
204 TR P 54 HT
Stage 2
Tegang pada leher
dan nyeri dada
160/90 Captopril 25 (2x1) Captopril
25-50
49
207 SY P 51 HT
Stage 1
Tegang pada leher
dan pusing
140/80 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
210 AL L 57 HT
Stage 2
Pusing, nyeri dada,
tegang pada leher,
dan batuk
160/90 Captopril 25 (3x1) Captopril
25-50
213 NLO P 49 HT
Stage 1
Sesak napas dan
nyeri dada
140/70 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
215 MO P 51 HT
Stage 2
Nyeri dada, pusing,
dan tegang pada
leher
150/80 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin
2,5-10
218 CRR L 62 HT
Stage 2
Tegang pada leher 140/70 Amlodipin
5 (1x1)
Amlodipin
2,5-10
221 S L 52 HT
Stage 2
Keram pada tangan,
pusing, dan tegang
pada leher
160/80 Captopril 25 (3x1) Captopril
25-50
224 CP P 31 HT Stage 1
Tegang pada leher 140/70 Amlodipin 10 (1/2 x1)
Amlodipin 2,5-10
228 OL P 43 HT
Stage 2
Nyeri dada, sesak
napas, dan pusing
140/80 Amlodipin 5 (2x1) Amlodipin
2,5-10
50
Lampiran 5. Tepat pasien dan Tepat indikasi
No Nama
Pasien
Jenis
Kelamin
Usia
(Tahun)
Diagnosa Tanda dan Gejala Tekanan
Darah
(mmHg)
Terapi yang didapatkan
Obat yang
didapatkan
Dosis
Obat
(mg)
dan
Aturan
Pakai
Dosis
Literatur
(mg)
1 SM P 67 HT
Stage 1
Tegang pada leher,
nyeri dada dan
sesak napas
140/90 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
3 SS P 58 HT
Stage 1
Nyeri dada dan
sakit kepala
150/90 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin
2,5-10
6 MD P 51 HT
Stage 2
Tegang pada leher,
sesak napas.
150/100 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin
2,5-10
9 SS P 53 HT
Stage 1
Tegang pada leher 130/80 Amlodipin 2,5(2x1) Amlodipin
2,5-10
12 SR P 49 HT
Stage 1
Kepala sakit,
pusing,dan nyeri
dada
140/90 Amlodipin 5(1x1) Amlodipin
2,5-10
15 FN P 51 HT
Stage 1
Nyeri dada 140/90 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
18 A P 47 HT stage
2
Tegang pada leher,
pusing, napas sesak
200/130 Captopril 25 (3x1) Captopril
25-50
Amlodipin 10(3x1) Amlodipin
2,5-10
21 HR P 59 HT stage
1
Tegang pada leher
dan kram pada
tangan
140/90 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
24 RK P 48 HT stage
2
Nyeri dada 140/90 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
27 AT L 51 HT stage
1
Tegang pada leher 140/90 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
30 IL L 74 HT stage
1
Tegang pada leher
dan kram pada
tangan dan kaki
140/90 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin
2,5-10
33 MS P 48 HT
Stage 1
Nyeri dada dan
sesak napas
140/90 Captopril 12,5
(2x1)
Captopril
25-50
36 SR P 49 HT
Stage 1
Nyeri dada 140/90 Amlodipin 10(1x1) Amlodipin
2,5-10
39 B L 63 HT stage
1
Nyeri dada 110/20 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
42 NL L 77 HT
Stage 1
Pusing dan tegang
pada leher
150/80 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin
2,5-10
45 JN P 62 HT
Stage 1
Pusing dan nyeri
dada
140/90 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
48 PJ P 76 HT
Stage 1
Tegang pada leher
dan nyeri dada
120/80 Amlodioin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
51 WB P 65 HT
Stage 1
Pusing, nyeri dada
dan kepala sakit
150/100 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin
2,5-10
54 NK P 46 HT
Stage 1
Nyeri dada 140/80 Captopril 12,5
(2x1)
Captopril
25-50
57 MB P 49 HT Pusing dan nyeri 150/90 Captopril 12,5 Captopril
51
Stage 1 dada (2x1) 25-50
60 LS L 85 HT
Stage 1
Batuk,pusing,tegang
pada leher
150/90 Captopril 12,5
(2x1)
Captopril
25-50
63 L P 64 HT
Stage 1
Sesak napa, pusing
dan tegang pada
leher
150/90 Captopril 25 (3x1) Captopril
25-50
66 YO P 61 HT
Stage 1
Tegang pada leher,
kram pada tanagn
dan kaki
140/80 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
69 S P 65 HT
Stage 1
Nyeri dada dan
pusing
140/90 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
72 YB L 51 HT
Stage 2
Batuk, sesak napas
dan nyeri dada
140/100 Amlodipin 5 (2x1) Amlodipin
2,5-10
75 SA P 42 HT
Stage 2
Tegang pada leher
dan sesak napas
170/100 Captopril 25 (2x1) Captopril
25-50
78 SF L 58 HT
Stage 1
Pusing dan tegang
pada leher
140/80 Captopril 25 (2x1) Captopril
25-50
81 EF P 51 HT
Stage 1
Pusing, lemas dan
nyeri dada
140/80 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
84 DO P 50 Ht Stage
1
Sesak napas dan
nyeri dada
150/80 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
87 NT P 55 HT
Stage 1
Nyeri dada 140/80 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
90 HH L 80 HT
Stage 2
Pusing, nyeri dada
dan sesak napas
150/70 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin
2,5-10
93 NL L 77 HT Stage 2
Kram pada kaki, pusing, nyeri dada
dan sesak napas
130/80 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin 2,5-10
96 AS L 83 HT
Stage 1
Nyeri dada dan
sesak napas
140/90 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
99 DP L 46 HT
Stage 1
Pusing dan sesak
napas
140/80 Captopril 25 (2x1) Captopril
25-50
102 HH L 61 HT
Stage 1
Pusing dan nyeri
dada
140/90 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
105 FT L 61 HT
Stage 2
Nyeri dada dan
pusing
150/100 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin
2,5-10
108 W P 60 HT
Stage 2
Kram pada tangan
dan sesak napas
140/90 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin
2,5-10
111 YB P 53 HT stage
1
Nyeri dada 140/80 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
114 TB P 45 HT
Stage 2
Tegang pada leher,
sesak napas, pusing
150/90 Captopril 25 (2x1) Captopril
25-50
117 EZ L 51 HT stage
1
Kram pada tangan
dan kaki, pusing
dan nyeri dada
140/80 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
120 HD P 63 HT
Stage 1
Tegang pada leher
dan pusing
140/90 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
123 YDH P 46 HT
Stage 2
Batuk, tegang pada
leher dan nyeri dada
160/100 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin
2,5-10
126 TF P 55 HT
Stage 1
Batuk, pusing dan
nyeri dada
150/80 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin
2,5-10
129 QN L 52 HT
Stage 1
Tegang pada leher 140/90 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin
2,5-10
132 S P 63 HT Pusing, tegang pada 130/80 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
52
Stage 1 leher dan lemas 2,5-10
135 MA P 69 HT
Stage 2
Nyeri dada, tegang
pada leher dan
batuk
150/90 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin
2,5-10
138 MP L 63 HT
Stage 1
Nyeri dada dan
batuk
140/80 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
141 AN L 52 HT
Stage 2
Sesak napas dan
nyeri dada
150/90 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin
2,5-10
144 EB P 45 HT
Stage 1
Pusing dan tegang
pada leher
140/80 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
147 S L 69 HT
Stage 1
Nyeri dada 120/80 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
150 AK L 54 HT
Stage 1
Pusing dan nyeri
dada
130/80 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
153 NB P 51 HT
Stage 2
Pusing dan tegang
pada leher
150/90 Captopril 25 (2x1) Captopril
25-50
156 JN L 72 HT Stage 2
Pusing, tegang pada leher dan lemas
150/90 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin 2,5-10
159 SM P 71 HT
Stage 1
Tegang pada leher
dan pusing
140/70 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
162 SM L 75 HT stage
2
Lemas, pusing, dan
nyeri dada
160/100 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
165 SS P 53 HT
Stage 1
Keram pada tangan,
pusing, nyeri dada
150/90 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin
2,5-10
168 S P 58 HT
Stage 2
Nyeri dada, tegang
pada leher, dan batuk
160/100 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin
2,5-10
171 SFA P 64 HT
Stage 1
Pusing dan tegang
pada leher
140/90 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
174 MFA P 65 HT
Stage 1
Nyeri dada 150/80 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin
2,5-10
177 N P 73 HT
Stage 1
Tegang pada leher 140/70 Captopril 12,5
(2x1)
Captopril
25-50
180 JD L 74 HT
Stage 1
Tegang pada leher
dan pusing
140/90 Captopril 12,5
(2x1)
Captopril
25-50
183 JM P 45 HT
Stage 1
Tegang pada leher 130/90 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
186 HH L 75 HT
Stage 2
Sesak napas,
pusing, tegang pada
leher, dan nyeri
dada
160/80 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin
2,5-10
189 TD P 55 HT
Stage 2
Tegang pada leher,
kram pada kaki dan
tangan
150/90 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin
2,5-10
192 MK L 71 HT Stage 2
Nyeri dada dan pusing
150/80 Captopril 12,5 (2x1)
Captopril 25-50
195 PN L 78 HT
Stage 1
Nyeri dada dan
sesak napas
140/90 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin
2,5-10
198 LO P 64 HT
Stage 2
Pusing, nyeri dada,
sesak napas, dan
lemas
140/80 Captopril 12.5
(2x1)
Captopril
25-50
201 YD L 59 HT
Stage 2
Nyeri dada, sesak
napas, dan pusing
160/100 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin
2,5-10
53
204 TR P 54 HT
Stage 2
Tegang pada leher
dan nyeri dada
160/90 Captopril 25 (2x1) Captopril
25-50
207 SY P 51 HT Stage 1
Tegang pada leher dan pusing
140/80 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin 2,5-10
210 AL L 57 HT
Stage 2
Pusing, nyeri dada,
tegang pada leher,
dan batuk
160/90 Captopril 25 (3x1) Captopril
25-50
213 NLO P 49 HT
Stage 1
Sesak napas dan
nyeri dada
140/70 Amlodipin 5 (1x1) Amlodipin
2,5-10
215 MO P 51 HT
Stage 2
Nyeri dada, pusing,
dan tegang pada
leher
150/80 Amlodipin 10 (1x1) Amlodipin
2,5-10
218 CRR L 62 HT Stage 2
Tegang pada leher 140/70 Amlodipin
5 (1x1)
Amlodipin 2,5-10
221 S L 52 HT
Stage 2
Keram pada tangan,
pusing, dan tegang
pada leher
160/80 Captopril 25 (3x1) Captopril
25-50
224 CP P 31 HT
Stage 1
Tegang pada leher 140/70 Amlodipin 10 (1/2
x1)
Amlodipin
2,5-10
228 OL P 43 HT
Stage 2
Nyeri dada, sesak
napas, dan pusing
140/80 Amlodipin 5 (2x1) Amlodipin
2,5-10