bab i pendahuluan

6
 BAB I PENDAHULUAN A. Lat ar Bel aka ng Dewasa ini dunia termasuk kesehatan telah berkembang dengan pesat, yang ditandai dengan kemauan di berbagai ma!am segi kehidupan. Hal ini berdampak pada teradinya gl"bal isa si di segala bid ang, sehing ga ter adi per ubah an dar i mul ai buda ya, n"r ma,  perilaku dan gaya hidup masyarakat sampai kepada p"la k"nsumsi makanan turut  berubah. #elain itu dengan semakin tingginya peradaban manusia, tuntutan terhadap manusia uga semakin tinggi. $anusia bekera seperti mesin yang ditunggu waktu, hal ini mengakibatkan stres yang tinggi pada manusia tersebut. Perubahan%perubahan ini baik disadari maupun tanpa disadari telah memberi pengaruh yang sangat besar terhadap teradinya transisi epidemi"l"gi, hal ini ditandai dengan bergesernya p"la penyakit dari  enis in&eksi yang menular ke arah kasus%kasus penyakit tidak menular dan gangguan  iwa 'Irmansyah, ()*)+. angguan iwa adalah suatu perubahan pada &ungsi iwa yang menyebabkan adanya gang gua n pada &ungsi iwa, yang men imb ulka n pend eri taa n pada ind i-i du dan ata u hambatan dalam melaksanakan peran s"sial. #ese"rang yang menderita gangguan iwa akan mengalami ketidakmampuan ber&ungsi se!ara "ptimal dalam kehidupannya sehari% hari. Hawari '())+ yang mengut ip pendapat $ard"n" '*//(+ dan #ety"n "g"r" '*/0)+ mende&inisikan gangguan iwa 'mental dis"rder+ sebagai salah satu dari empat masalah kesehat an utama di negara%nega ra ma u, m"dern dan industri. 1eempat ma sala h kes ehat an uta ma ter sebut adal ah peny aki t dege ner ati &, kank er, ganggua n iwa dan ke!elakaan. $eskipun gangguan iwa tersebut tidak dianggap sebagai gangguan yang menyebabkan kematian se!ara langsung, namun beratnya gangguan tersebut dalam arti

Upload: heva-cii-mpuzz-nakal

Post on 08-Oct-2015

220 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

PENDAHULUAN

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUANA. LatarBelakangDewasa ini dunia termasuk kesehatan telah berkembang dengan pesat, yang ditandai dengan kemajuan di berbagai macam segi kehidupan. Hal ini berdampak pada terjadinya globalisasi di segala bidang, sehingga terjadi perubahan dari mulai budaya, norma, perilaku dan gaya hidup masyarakat sampai kepada pola konsumsi makanan turut berubah. Selain itu dengan semakin tingginya peradaban manusia, tuntutan terhadap manusia juga semakin tinggi. Manusia bekerja seperti mesin yang ditunggu waktu, hal ini mengakibatkan stres yang tinggi pada manusia tersebut. Perubahan-perubahan ini baik disadari maupun tanpa disadari telah memberi pengaruh yang sangat besar terhadap terjadinya transisi epidemiologi, hal ini ditandai dengan bergesernya pola penyakit dari jenis infeksi yang menular ke arah kasus-kasus penyakit tidak menular dan gangguan jiwa (Irmansyah, 2010).Gangguan jiwa adalah suatu perubahan pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam melaksanakan peran sosial. Seseorang yang menderita gangguan jiwa akan mengalami ketidakmampuan berfungsi secara optimal dalam kehidupannya sehari-hari. Hawari (2005) yang mengutip pendapat Mardjono (1992) dan Setyonogoro (1980) mendefinisikan gangguan jiwa (mental disorder) sebagai salah satu dari empat masalah kesehatan utama di negara-negara maju, modern dan industri. Keempat masalah kesehatan utama tersebut adalah penyakit degeneratif, kanker, gangguan jiwa dan kecelakaan. Meskipun gangguan jiwa tersebut tidak dianggap sebagai gangguan yang menyebabkan kematian secara langsung, namun beratnya gangguan tersebut dalam arti ketidakmampuan baik secara individu maupun kelompok akan menghambat pembangunan karena mereka tidak produktif dan tidak efisien (Hawari, 2005).WHO menyebutkan masalah gangguan jiwa di seluruh dunia sudah menjadi masalah yang sangat serius dengan angka perkiraan saat ini terdapat 450 juta orang mengalami gangguan jiwa dengan ratio rata-rata 1 dari 4 orang di dunia (Prasetyo, 2006 dalam Yosep 2009). Berdasarkan data hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 di Indonesia saat populasi gangguan jiwa adalah 11,6 % penduduk. Kalau kita bandingkan dengan jumlah penduduk sebesar 238 juta maka diperkirakan 26.180.000 penduduk mengalami gangguan jiwa dengan taksiran kerugian secara ekonomi mencapai 20 trilyun. Provinsi Jawa Barat sendiri merupakan salah satu provinsi dengan angka gangguan jiwa tertinggi di Indonesia mencapai 20 % dari 45 juta penduduk atau sekitar 9 juta jiwa. Diantara jenis gangguan jiwa yang sering ditemui salah satunya adalah skizofrenia.Skizofrenia adalah suatu sindroma klinis yang bervariasi dan sangat mengganggu dengan manifestasi bervariasi pada setiap individu dan berlangsung sepanjang waktu. Pengaruh dari penyakit skizofrenia ini selalu berat dan biasanya dalam jangka panjang (Durand, 2007). Angka statistik dunia menyebutkan hampir 24 juta orang di seluruh dunia menderita gangguan skizofrenia dengan angka kejadian 1 per 1000 penduduk (pada wanita dan pria sama) dan diperkirakan terdapat 4 10 % resiko kematian sepanjang rentang kehidupan penderita skizofrenia, di Amerika Serikat 300.000 orang setiap tahun menderita skizofrenia, dan negara maju Eropa berkisar 250.000 orang pertahun. Di Asia tidak didapatkan angka statistik yang pasti mengenai skizorenia ini, sedangkan di Indonesia sekarang diperkirakan 0,46-2 penduduk atau 1.700.000 jiwa. Provinsi Jawa Tengah ? Dampak adanya skizofrenia dapat mengakibatkan seseorang mengalami ketidakmampuan untuk berkomunikasi atau mengenali realitas yang menimbulkan kesukaran dalam kemampuan seseorang untuk berperan sebagaimana mestinya dalam kehidupan seharihari. Banyak hal yang dapat berdampak dari perilaku kekanak-kanakan, waham dan halusinasi yang diperlihatkan oleh individu dengan skizofrenia. Dampak lain bagi keluarga diakibatkan gangguan jiwa skizofrenia sulit diterima dalam masyarakat dikarenakan perilaku individu tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku, individu akan dipandang negatif oleh lingkungan, dikarenakan lingkungan masih belum terbiasa oleh kondisi yang terjadi pada individu yang mengalami gangguan jiwa skizofrenia, yang pada akhirnya kebanyakan keluarga tertentu membuat keputusan untuk mengurung individu dalam sebuah kerangkeng (dipasung) dengan tujuan agar tidak diketahui oleh masyarakat, tidak melakukan kekerasan/kerusakan sehingga keluarga terhindar dari rasa malu (Maramis, 2004).Skizofrenia selain berdampak berat pada penderita juga dapat berlanjut atau bersifat episodik dengan defisit yang bersifat progresif atau bisa menetap atau mengalami satu atau lebih episode dengan remisi sempurna atau tidak sempurna. Kebanyakan pasien-pasien skizofrenik mengalami perjalanan penyakit yang kronik dengan berbagai bentuk karakteristik relaps atau kekambuhan dengan eksaserbasi psikosis dan peningkatan angka rehospitalisasi. Kekambuhan dapat meningkatkan gejala sisa seperti adanya ketidakmampuan berkomunikasi dan mengenali realitas, serta perilaku kekanak-kanakan yang berdampak pada penurunan produktivitas hidup. Hal ini ditunjang dengan data Bank Dunia pada tahun 2001 di beberapa negara yang menunjukkan bahwa hari-hari produktif yang hilang atau Dissabiliiy Adjusted Life Years (DALYs) sebesar 8,1 % dari Global Burden of Disease, disebabkan oleh masalah kesehatan jiwa (Irmansyah, 2010).Campbell dalam Psychiatric Dictionary mendefinisikan kekambuhan sebagai suatu keadaan dimana apabila seorang pasien yang sudah pulih atau mengalami perbaikan kembali menunjukkan gejala sebelumnya. Kekambuhan berpotensi membahayakan bagi pasien dan keluarganya, dalam keadaan seperti ini pasien mungkin akan dirawat inap kembali dan membutuhkan biaya yang tinggi, sehingga penanganan pasca perawatan dengan kepatuhan pengobatan dan dukungan sosial yang baik sangat penting untuk masa pemulihan dan juga pecegahan terhadap resiko kekambuhan (Andriza, 2007).Salah satu aspek terpenting adalah dengan peningkatan peran serta keluarga dalam perawatan. Keluarga merupakan sekumpulan orang yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adopsi, kelahiran yang bertujuan untuk meningkatkan dan mempertahankan budaya yang umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional dan sosial dari tiap anggota. Keluarga bersama dengan individu, kelompok dan komunitas adalah klien kesehatan dan para anggota keluarga dan kualitas kesehatan keluarga mempunyai hubungan yang erat (Nasution, 2006).Dalam sebuah unit keluarga disfungsi dan gangguan apapun seperti penyakit, cedera, perpisahan akan mempengaruhi satu atau lebih anggota keluarga yang lain dan dalam hal tertentu sering mempengaruhi keluarga ini sebagai unit secara keseluruhan. Hal ini dimungkinkan karena adanya semacam hubungan yang kuat antara keluarga dan status kesehatan anggotanya. Melalui perawatan kesehatan keluarga yang berfokus pada tindakan promotif, peningkatan self care, pendidikan kesehatan, dan konseling keluarga serta upaya-upaya yang berarti dapat mengurangi resiko yang diciptakan oleh pola hidup dan bahaya dari lingkungan. Untuk dapat melakukan hal tersebut keluarga harus mempunyai pengetahuan yang baik untuk dapat memberikan perawatan pada klien dengan skizofrenia (Nasution, 2006).Pengetahuan merupakan faktor yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan yang didasari dengan pemahaman yang tepat akan menumbuhkan perilaku baru yang diharapkan, khususnya kemandirian dalam melakukan perawatan gangguan jiwa terutama terkait dengan kepatuhan dalam pengobatan klien skizofrenia. Pengetahuan keluarga tentang kapan kontrol, dimana tempat kontrol, cara mendapatkan obat, memberikan obat sesuai dengan dosis dan mengikuti anjuran perawat dan petugas kesehatan lain (Notoatmodjo ,2007 ; Videbeck, 2008).Pada studi pendahuluan tanggal 5 Maret sampai dengan 7 maret 2012 yang dilakukan penulis di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat sebagai pusat rujukan jiwa di Provinsi Jawa Barat menunjukan mayoritas pasien-pasien yang berkunjung adalah gangguan jiwa berat skizofrenia. Berdasarkan data tahun 2011 tercatat sebanyak 13.725 kasus skizofrenia dengan rincian Unit Rawat Jalan 10.029 kasus, Unit Rawat Inap 1245 dan Unit Gawat Darurat 2451. Pada wawancara tentang pengetahuan tentang kepatuhan pengobatan dari 30 responden dapat ditemui dan diwawancarai secara acak oleh peneliti didapatkan 16 diantaranya kontrol tidak teratur dan 14 lainnya kontrol teratur, dari 16 orang yang tidak teratur mayoritas responden sebanyak 13 orang keluarga tidak tahu tentang pentingnya kepatuhan pengobatan dan menganggap dengan 1 kali berobat klien sudah sembuh serta 3 orang lainnya mengetahui tentang kepatuhan pengobatan hanya keluarga kesulitan dengan biaya dan kadang kliennya sendiri susah diajak kontrol, sedangkan dari 14 responden yang teratur berobat 11 diantaranya menyatakan tahu tentang pentingnya kepatuhan pengobatan, 3 lainnya tidak tahu tentang cara pengobatan hanya disuruh saja oleh puskesmas untuk kontrol, letak Rumah Sakit Jiwa yang dekat dan pengguna Kartu Jaminan Pelayanan Kesehatan sehingga tidak bermasalah dengan biaya.Berdasarkan fenomena tersebut diatas, penulis merasa tertarik untuk meneliti lanjut tentang gambaran pengetahuan keluarga tentang pentingnya kepatuhan pengobatan pada klien skizofrenia di Unit Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat.