bab i pendahuluan 1.1. latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Gunungapi Sinabung merupakan gunungapi yang terletak di Dataran Tinggi
Karo, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Ketinggian gunungapi
ini sekitar 2460 meter. Gunungapi Sinabung tercatat tidak pernah meletus sejak tahun
1600an, tetapi mendadak aktif kembali pada Agustus 2010 dan masih berlangsung
hingga kini. Sebelum terjadi erupsi pada Agustus 2010, Gunungapi Sinabung
diklasifikasikan ke dalam tipe gunungapi strato Tipe B (klasifikasi Direktorat
Vulkanologi). Sejak 29 Agustus 2010 gunungapi ini diklasifikasikan ke dalam
gunungapi aktif Tipe A.
Pada peristiwa erupsi freatik dan abu Agustus 2010 tidak tercatat adanya
korban jiwa manusia, akan tetapi abu letusannya merusak daerah
perkebunan/pertanian masyarakat setempat serta mengakibatkan kontaminasi
sejumlah sumber air di sekitarnya. Selain itu berdampak negatif terhadap tingkat
kesehatan penduduk (iritasi kulit dan mata ISPA dan diare) di sekitar gunungapi
(terutama yang bermukim di daerah selatan-tenggara dan timur gunungapi). Sejak
peristiwa erupsi Agustus 2010, pemantauan, penyelidikan dan sosialisasi tentang
kegiatan gunungapi ini terus menerus dilakukan secara intensif oleh pihak Pusat
2
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi bekerjasama dengan berbagai pihak
terkait (Gunawan dkk, 2014).
Berdasarkan data Kementrian Pertanian tahun 2014, kerugian yang
diakibatkan oleh erupsi Gunungapi Sinabung untuk sektor pertanian berkisar antara
Rp 1,3 triliun hingga Rp.1,5 triliun. Luas lahan pertanian yang rusak akibat terkena
abu vulkanik mencapai 50.921 Ha yang tersebar di 14 kecamatan. Perinciannya yakni
tanaman pangan seluas 26.666 Ha, hortikultura 18.853 Ha dan perkebunan 5.402 Ha.
Menurut Suswono (Menteri Pertanian Republik Indonesia, 2014) komoditas yang
paling banyak terkena dampak erupsi terutama tanaman hortikultura (sayuran),
tanaman perkebunan (kopi, kakao dan cengkeh), tanaman buah buahan (jeruk dan
alpukat) dan tanaman pangan (padi dan jagung). Kerugian ini belum termasuk
kerusakan pada sejumlah permukiman, infrastruktur, listrik, serta air bersih.
Sebagaimana diketahui bahwa lahan yang berada di sekitar lereng gunungapi
merupakan lahan yang subur, yang cocok untuk kegiatan sektor pertanian. Kesuburan
lahan vulkanik merupakan salah satu penyebab perkembangan permukiman yang
cukup cepat dan pesat yang terjadi di sekitar lereng Gunungapi Sinabung. Sering kali,
penduduk kurang atau tidak mempertimbangkan kawasan itu merupakan kawasan
yang rentan terhadap ancaman/ bahaya erupsi. Sehingga ketika erupsi terjadi, banyak
permukiman yang mengalami kerusakan baik secara parsial maupun keseluruhan
yang menyebabkan permukiman tidak layak untuk dihuni kembali. Kecamatan -
kecamatan yang berada dalam kawasan rawan bencana erupsi Gunungapi Sinabung
3
meliputi Kecamatan Payung, Kecamatan Naman Teran, Kecamatan Simpang Empat,
Kecamatan Tiga Nderket.
BNPB telah menetapkan bahwa beberapa desa yang berada di dalam radius 3
km dari puncak Gunungapi Sinabung merupakan daerah steril dimana tidak boleh ada
aktivitas dari masyarakat sedikitpun. Beberapa desa yang termasuk di dalamnya yakni
Desa Suka Meriah, Desa Simacem, dan Desa Bekerah. Desa Suka Meriah termasuk
ke dalam Kecamatan Payung sedangkan Desa Simacem dan Desa Bekerah termasuk
ke dalam Kecamatan Naman Teran. Desa Suka Meriah memiliki luas wilayah sebesar
2,50 Km2, Desa Simacem memiliki luas wilayah sebesar 4,65Km2 dan Desa Bekerah
memiliki luas wilayah sebesar 3,82 Km2. Hal ini menunjukkan bahwa Desa Suka
Meriah memiliki luas wilayah yang lebih kecil dibandingkan kedua desa lainnya.
Dilihat dari kondisi demografi, Desa Suka Meriah memiliki kepadatan penduduk
paling tinggi dari antara kedua desa lainnya yakni sebesar 167 orang/ Km2
dikarenakan Desa Suka Meriah memiliki jumlah penduduk yang cukup besar tetapi
luas wilayah yang cukup sempit (BPS Kabupaten Karo 2012).
Gunungapi Sinabung hingga saat ini masih mengalami erupsi yang
intensitasnya terbilang cukup tinggi, sehingga apabila masyarakat dibiarkan untuk
kembali ke Desa Suka Meriah maka akan menimbulkan korban jiwa yang sangat
tinggi. Hingga kini, Desa Suka Meriah tidak terdapat aktivitas sama sekali karena
memang desa tersebut termasuk zona yang sangat berbahaya dengan keberadaannya
4
yang sangat dekat sekali dengan puncak Gunungapi Sinabung ditambah lagi berada di
dalam jalur aliran piroklastik, dapat dilihat pada gambar 1.1.
6
Di antara ancaman gunungapi, aliran piroklastik memiliki kekuatan yang
sangat besar dan sangat merusak (Mei et al., 2013). Baxter et al. (1998) membuktikan
dalam penelitiannya bahwa sangat sedikit orang yang bisa bertahan dari aliran
piroklastik karena suhunya yang dapat melebihi 200º C. Oleh karena itu, pada
wilayah yang memiliki risiko tinggi aliran piroklastik, terdapat dua solusi yang dapat
dilakukan yakni mengungsikan penduduk di saat krisis dan merelokasi permukiman
penduduk sebagai salah satu bentuk perencanaan keruangan (Baxter et al., 1998).
Sejalan dengan ancaman aliran piroklastik di Gunungapi Sinabung, salah satu
cara yang tepat dalam mengurangi tingkat risiko kerugian yang akan terjadi apabila
erupsi Gunungapi Sinabung kembali melanda adalah dengan cara merelokasi desa
tersebut ke suatu wilayah yang dianggap lebih aman. Namun demikian, relokasi
sangat membutuhkan perencanaan yang hati hati, detail dan secara menyeluruh
karena menyangkut pada penyiapan sebuah komunitas baru (Boen dan Jigyasu, 2005
dalam Martanto dan Sagala, 2014). Relokasi sangat berkaitan dengan proses
memindahkan jalan hidup masyarakat yang didalamnya meliputi pemindahan
manusia, tempat tinggal, dan fungsi sosial lainnya. Hal ini berhubungan dengan
kehidupan masyarakat yang berkelanjutan untuk di masa yang akan datang, sehingga
sebelum kegiatan relokasi dilakukan haruslah melakukan analisis di segala aspek
masyarakat agar hasil yang diharapkan dari relokasi ini berdampak positif bukan
sebaliknya.
7
Menurut Sumardjono dalam Darma (2009), prinsip utama relokasi yakni
bentuk kesukarelaan masyarakat tersebut untuk bersama sama pindah ke lokasi yang
baru. Maka dari itu, sangat diperlukannya transparansi dan akses informasi bagi
masyarakat yang bersedia ikut dalam program relokasi yang berkaitan dengan
fasilitas yang akan mereka peroleh dalam lokasi yang baru. Pengetahuan hak- hak dan
fasilitas yang akan diperoleh akan membantu masyarakat yang akan direlokasi
membuat keputusan mengikuti program dan berperan serta dalam prosesnya.
Lokasi tujuan relokasi permukiman hingga saat ini memberikan prioritas yang
tinggi pada Kawasan Hutan Produksi Siosar yang meliputi Kecamatan Merek dan
Kecamatan Tigapanah Kabupaten Karo. Kawasan ini merupakan kawasan agropolitan
milik Pemerintah Kabupaten Karo seluas 250 Ha. Pada rencananya, 30 Ha dari
kawasan tersebut akan dijadikan sebagai kawasan permukiman untuk 3 desa yang
wajib direlokasi tersebut dan sisanya akan dijadikan sebagai kawasan pertanian.
Tidak hanya itu, pemerintah daerah akan mencoba membebaskan lahan sebesar 450
Ha untuk menambah jumlah luasan dari kawasan pertanian kepada Menteri
Kehutanan Indonesia.
8
1.2. Rumusan Masalah
Desa Suka Meriah merupakan salah satu desa yang mengalami kerusakan
sebagai dampak langsung terhadap erupsi Gunungapi Sinabung. Hal ini sangat
berisiko apabila tetap mempertahankan fungsi permukiman di wilayah tersebut. Maka
dari itu pemerintah mewajibkan agar dilakukannya proses relokasi permukiman Desa
Suka Meriah ke Kawasan Hutan Produksi Siosar yang dianggap sebagai wilayah
yang cukup aman dan sesuai untuk dijadikan permukiman yang baru. Apabila Desa
Suka Meriah tetap dipertahankan di lokasi semula maka akan dapat menimbulkan
banyak kerugian termasuk korban jiwa jika erupsi Gunungapi Sinabung terjadi.
Relokasi akan berjalan lancar apabila partisipasi masyarakat sangat baik
terhadap proses relokasi tersebut. Partisipasi yang baik dipengaruhi oleh pendapat
masyarakat mengenai kegiatan relokasi dan kondisi lokasi tujuan dari relokasi
tersebut. Karakteristik individu masyarakat yang berbeda dapat mengakibatkan
perbedaan pendapat masyarakat. Semakin tinggi pengetahuan masyarakat terhadap
kegiatan relokasi dapat memicu tingginya tingkat partisipasi masyarakat terhadap
kegiatan relokasi tersebut dan begitu pula sebaliknya. Kondisi dari lokasi tujuan
relokasi dapat mempengaruhi kepuasan dari masyarakat yang akan direlokasi yang
nantinya akan memberikan sikap yang pro ataupun kontra terhadap kegiatan tersebut.
Maka dari itu penentuan lokasi serta pembangunan permukiman tersebut yang
ditentukan oleh pemerintah harus mempertimbangkan berbagai aspek seperti fisik,
sosial maupun ekonomi. Berbagai faktor yang dapat mempengaruhi pendapat
9
masyarakat tersebut dapat berupa : status lahan, jarak lokasi, peluang mata
pencaharian dan sebagainya. Saat ini pembangunan yang sedang terjadi diasumsikan
tergolong lambat, padahal seharusnya penanganan relokasi harus segera ditangani
sesegera mungkin. Dari pernyataan diatas dapat dirumuskan pertanyaan penelitian
sebagai berikut :
1. Seperti apa pendapat masyarakat terhadap proses relokasi permukiman?
2. Seperti apa kondisi lokasi tujuan relokasi permukiman?
3. Apa sajakah yang menjadi permasalahan dalam proses relokasi
permukiman?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan maka tujuan yang
ingin dicapai dari penelitian ini yakni :
1. Mengidentifikasi pendapat masyarakat terhadap proses relokasi
permukiman.
2. Menganalisis kondisi lokasi tujuan relokasi permukiman
3. Mengkaji permasalahan yang terjadi dalam proses relokasi
permukiman.
10
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang bisa didapatkan dari kegiatan penelitian ini meliputi :
1. Sumbangan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Karo terhadap kegiatan
relokasi tersebut.
2. Sebagai masukan untuk bahan kajian bagi para peneliti lain yang berminat
dengan bidang sama dengan penelitian ini.
3. Sebagai bahan bacaan bagi mahasiswa dan sumbangan bagi pengembangan
ilmu Geografi khususnya di bidang pengembangan wilayah.
11
1.5. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang daerah – daerah bencana sudah banyak dilakukan
oleh beberapa peneliti sebelumnya dengan tujuan dan lokasi yang berbeda
seperti rencana relokasi akibat bencana banjir di Kampung Cieunteung
(Harliani dan Rosyidie, 2012), relokasi pasca bencana lahar dingin di Kali
Putih (Martanto dan Sagala, 2014), relokasi permukiman di Kota Meulaboh
(Firman, 2008) dan ketahanan masyarakat di lereng Merapi (Ikhwanuddin,
2014). Perbedaan lokasi terjadinya bencana serta perbedaan jenis bencana
mengakibatkan semakin beragamnya jenis jenis pendekatan yang dilakukan
pada berbagai penelitian yang sudah dilakukan. Penelitian pertama dilakukan
oleh Harliani dan Rosyidie (2012) yang berjudul Identifikasi Persepsi
Masyarakat tentang Rencana Relokasi akibat Bencana Banjir di Kampung
Cieunteung. Penelitian ini memiliki tujuan penelitian yakni mengidentifikasi
persepsi masyarakat tentang rencana relokasi dan mengidentifikasi keterkaitan
antara persepsi masyarakat dengan faktor - faktor yang mempengaruhinya.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian berupa analisis statistik
deskriptif, analisis statistik inferensi, dan analisis asosiasi.
Penelitian kedua dilakukan oleh Martanto dan Sagala (2014) yang
berjudul Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Persoalan Relokasi Pasca
Bencana Lahar Dingin di Kali Putih. Penelitian ini memiliki tujuan yakni
mengidentifikasi persoalan utama dalam penerapan kebijakan relokasi pasca
12
bencana lahar dingin Kali Putih di Dusun Gempol, mengidentifikasi alasan
warga menolak kebijakan relokasi pasca bencana lahar dingin Kali Putih di
Dusun Gempol, dan mengidentifikasi alasan warga menerima kebijakan
relokasi pasca bencana lahar dingin Kali Putih di Dusun Gempol. Penelitian
ini menggunakan metode kualitatif dan purposive sampling. Penelitian
selanjutnya dilakukan oleh Firman yang berjudul Persepsi Penghuni terhadap
Permukiman Relokasi di Kota Meulaboh. Penelitian ini memiliki tujuan
menemukan persepsi penghuni terhadap lingkungan permukiman relokasi.
Penelitian ini menggunakan metode berpikir induktif dan metode deskriptif
kualitatif.
Penelitian yang keempat berjudul Metode Ketahanan Masyarakat
Lereng Merapi Terhadap Erupsi Di Kabupaten Sleman Yogyakarta. Penelitian
ini bertujuan mendeskripsikan upaya – upaya masyarakat dalam menghadapi
ancaman erupsi dan merumuskan model deskriptif ketahanan masyarakat
sesuai karakteristik masyarakat. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif
kualitatif.
Penelitian yang dilakukan oleh peneliti berjudul Relokasi Permukiman
Desa Suka Meriah Akibat Dari Kejadian Erupsi Gunungapi Sinabung.
Penelitian ini memiliki tujuan mengidentifikasi pendapat masyarakat terhadap
rencana relokasi permukiman, menganalisis lokasi tujuan relokasi
permukiman dan mengidentifikasi permasalahan yang terjadi dalam rencana
13
relokasi permukiman. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan
menggunakan analisis deskriptif dalam analisis datanya.
Secara umum penelitian - penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya
memiliki kemiripan maupun kesamaan dengan penelitian penulis hanya saja
perbedaannya terletak pada lokasi penelitian. Penelitian ini dilakukan di
Kabupaten Karo Sumatera Utara sementara penelitian sebelumnya di lakukan
di sebagian wilayah Pulau Jawa dan di Provinsi Aceh. Perbedaan objek lokasi
tentunya mempengaruhi jenis karakteristik objek masyarakatnya yang berada
di dalamnya. Metode penelitian maupun pendekatan yang dilakukan penulis
kurang lebih sama karena aspek yang ditinjau sama-sama merupakan sebuah
pendapat, analisis lokasi tujuan dari relokasi maupun permasalahan yang
terjadi pada saat proses relokasi terjadi. Untuk lebih jelas mengenai tujuan,
metode, dan hasil penelitian sebelumnya dapat dilihat pada tabel 1.1.
14
Tabel 1.1. Keaslian Penelitian
Nama Peneliti Judul Penelitian Tujuan
Penelitian
Metode Penelitian dan
Pendekatan
Hasil Penelitian
Harliani dan Rosyidie (2012)
Identifikasi persepsi masyarakat tentang rencana relokasi akibat bencana banjir di Kampung Cieunteung
Identifikasi persepsi masyarakat tentang rencana relokasi
Identifikasi keterkaitan antara persepsi masyarakat dengan faktor- faktor yang mempengaruhinya
Analisis statistik deskriptif Analisis statistik inferensi Analisis asosiasi
- Aspek fisik dan lingkungan yaitu penilaian masyarakat terhadap kelayakan dan kenyamanan desa,
- Aspek ekonomi yaitu kekhawatiran masyarakat terhadap penggantian aset lahan dan bangunan dan kekhawatiran terhadap mata pencaharian di lingkungan permukiman yang baru,
- Karakteristik internal masyarakat, yaitu umur yang turut mempengaruhi persepsi dan preferensi masyarakat,
- Aspek sosial dan budaya yaitu kekhawatiran terhadap hubungan sosial yang sudah terjalin dan mungkin tidak didapatkan lagi di lingkungan permukiman yang baru.
15
Lanjutan Tabel 1.1. Keaslian Penelitian
Nama Peneliti Judul Penelitian Tujuan
Penelitian
Metode Penelitian dan
Pendekatan
Hasil Penelitian
Martanto dan Sagala (2014)
Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Persoalan Relokasi Pasca Bencana Lahar Dingin Di Kali Putih
- Mengidentifikasi persoalan utama dalam penerapan kebijakan relokasi pasca bencana lahar dingin kali putih di Dusun Gempol
- Mengidentifikasi persoalan utama dalam penerapan kebijakan relokasi pasca bencana lahar dingin kali putih di Dusun Gempol
- Mengidentifikasi alasan warga menolak kebijakan relokasi pasca bencana lahar dingin kali putih di Dusun Gempol
- Mengidentifikasi alasan warga menerima kebijakan relokasi pasca bencana lahar dingin kali putih di Dusun Gempol
Metode kualitatif dan purposive samplimg
Faktor-faktor yang mempengaruhi: 1. .Kurangnya partisipasi aktif warga yang
dipindahkan maupun warga di sekitar lokasi Huntap Larangan.
2. Lokasi Huntap Larangan dianggap terlalu jauh dari lokasi pekerjaan mereka.
3. Mata pencaharian warga yang dipindahkan tidak sesuai dengan lokasi Hunian Tetap sehingga menyebabkan banyak warga yang tidak bisa bekerja seperti semula saat berada di Dusun Gempol
4. Kurangnya kemampuan warga Huntap untuk beradaptasi dengan masyarakat di sekitar lokasi Hunian Tetap Larangan.
5. Kekhawatiran warga Gempol atas hilangnya hak milik tanah di Dusun Gempol maupun keraguan warga Gempol atas status tanah di lokasi Hunian Tetap Larangan.
6. Warga yang bersedia direlokasi sebagian besar adalah warga yang rumahnya utuh atau rusak ringan, sedangkan warga yang rumahnya rusak berat atau bahkan hanyut sebagian besar menolak untuk direlokasi. Selain itu warga yang bersedia direlokasi juga kembali lagi ke rumahnya yang ada di Dusun Gempol.
16
Lanjutan Tabel 1.1. Keaslian Penelitian
Nama Peneliti Judul Penelitian Tujuan
Penelitian
Metode Penelitian dan
Pendekatan
Hasil Penelitian
Firman (2008)
Persepsi Penghuni Terhadap Permukiman Relokasi di Kota Meulaboh
- Menemukan persepsi penghuni terhadap lingkungan permukiman relokasi
Metode berpikir induktif Metode deskriptif kualitatif
Penghuni memberikan persepsi negatif (tidak puas) terhadap relokasi yang dihuni. Ketidakpuasan yang dirasakan penghuni merupakan ketidakpuasan terhadap legalitas kepemilikan, fisik, kualitas lingkungan, jauhnya aksesibilitas ke lokasi – lokasi strategis dan juga tidak lengkapnya fasilitas – fasilitas pendukung di permukiman relokasi.
17
Lanjutan Tabel 1.1. Keaslian Penelitian
Nama Peneliti Judul Penelitian Tujuan
Penelitian
Metode Penelitian dan
Pendekatan
Hasil Penelitian
Ikhwanuddin (2014)
Model Ketahanan Masyarakat Lereng Merapi Terhadap Erupsi Di Kabupaten Sleman Yogyakarta
- Mendeskrisikan upaya – upaya masyarakat lereng Merapi dalam menghadapi ancaman bencana erupsi Gunung Merapi
- Merumuskan model deskriptif ketahanan masyarakat sesuai karakteristik masyarakat basis untuk pengembangan suatu model ketahanan masyarakat lereng Merapi dalam menghadapi erupsi Gunung Merapi
Metode deskriptif kualitatif
1. Upaya masyarakat membangun ketahanan adalah terlibat dan berperan serta dalam setiap perencanaan, penyusunan program – program dan pelaksanaan kegiatan mitigasi bencana 2. Masyarakat lereng Merapi memiliki cara untuk bertahan hidup yang dinilai memiiki kemampuan melebihi masnusia pada umumnya 3. Masyarakat memiliki kemampuan dalam hal metamorphosis ekonomi sebagai cara bertahan hidup dan peningkatan ekonomi keluarganya 4. Dukungan wilayah yang subur, infrastruktur wilayah serta pengaturan pengelolaan sumber daya yang baik memberikan nilai lebih dalam proses pembangunan ketahanan masyarakat lereng Merapi
18
Lanjutan Tabel 1.1. Keaslian Penelitian
Nama Peneliti Judul Penelitian Tujuan
Penelitian
Metode Penelitian dan
Pendekatan
Hasil Penelitian
Pandia (2015) Relokasi Permukiman Desa Suka Meriah Akibat Dari Kejadian Erupsi Gunungapi Sinabung
1. Mengidentifikasi pendapat masyarakat terhadap rencanarelokasi permukiman.
2. Menganalisis lokasi tujuan relokasi permukiman
3. .Mengidentifikasi permasalahan yang terjadi dalam rencana relokasi permukiman.
Analisis deskriptif kualitatif
1. Masyarakat setuju dengan kegiatan relokasi
2. Lokasi tujuan relokasi belum terbangun secara sempurna karena masih dalam tahap prosespembangunan
3. Proses relokasi cenderung lambat terealisasi
19
1.6. Tinjauan Pustaka
1.6.1. Pendekatan Geografi
Menurut Haggett (1983) dalam Yunus (2010) terdapat 3 pendekatan utama
dalam ilmu geografi yaitu pendekatan keruangan, pendekatan ekologi, dan
pendekatan kompleks wilayah. Pendekatan keruangan adalah suatu metode untuk
memahami gejala tertentu agar mempunyai pengetahuan yang lebih mendalam
melalui media ruang yang dalam hal ini variabel ruang mendapat posisi utama dalam
setiap analisis. Pendekatan ekologi menekankan pada keterkaitan antara fenomena
geosfer tertentu dengan variabel lingkungan yang ada sedangkan pendekatan
kompleks wilayah mengkaji perbedaan karakteristik wilayah yang mendorong suatu
wilayah dapat berinteraksi dengan wilayah lain. Penelitian ini menggunakan
pendekatan ekologi dimana mengkaitkan fenomena geosfer yang berupa erupsi
Gunungapi Sinabung dengan aktivitas masyarakat Desa Suka Meriah. Pembahasan
mengenai relokasi sebagai salah satu solusi terbaik dalam meminimalisir dampak
dari erupsi Gunungapi Sinabung merupakan cara dalam menanggapi fenomena
geosfer yang terjadi.
1.6.2. Permukiman
Permukiman adalah perumahan dengan segala isi dan kegiatan yang ada di
dalamnya. Permukiman tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia itu sendiri.
Sejak adanya masyarakat dengan kemampuan mengembangkan budi dan dayanya
20
sejak itu pula ada permukiman. Karena itu dapat dikatakan bahwa adanya
permukiman telah seumur peradaban dan kebudayaan manusia itu sendiri
(Kuswartojo, 2010). Bagian permukiman yang disebut wadah tersebut merupakan
paduan unsur : alam (tanah, air, udara, hewan dan tetumbuhan), lindungan (shells)
dan jejaring (networks) sedang isinya adalah manusia dan masyarakat. Alam
merupakan unsur dasar dan di alam itulah diciptakan lindungan (rumah dan gedung
lainnya) sebagai tempat manusia tinggal serta menjalankan fungsi lain dan jejaring
(jalan, jaringan utilitas) yang memfasilitasi hubungan antar sesama maupun antar
unsur yang satu dengan yang lain (Doxiadis, 1971 dalam Kuswartojo, 2010). Secara
lebih sederhana dapat dikatakan bahwa permukiman adalah paduan antara unsur
manusia dengan masyarakatnya, alam dan unsur buatan.
Menurut Sadana (2014), permukiman merupakan bagian dari lingkungan
hidup. Permukiman merupakan bagian dari kawasan budidaya. Permukiman
merupakan tempat tinggal sekaligus sebagai tempat kegiatan yang mendukung
perikehidupan dan penghidupan para penghuninya. Permukiman merupakan kawasan
yang didominasi oleh lingkungan hunian dengan fungsi utama sebagai tempat tinggal.
Permukiman perlu dilengkapi dengan prasarana lingkungan, sarana lingkungan, serta
tempat kerja. Dapat disimpulkan bahwa permukiman merupakan lingkungan tempat
tinggal manusia yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.
Permukiman berasal dari kata pemukim. Dari asal katanya, terdapat tiga
istilah penting dalam permukiman yang berbeda maknanya, yaitu pemukim,
21
pemukiman, dan permukiman (Sadana, 2014). Pemukim adalah penghuni suatu
tempat atau rumah. Pemukim memiliki arti seseorang yang menghuni suatu tempat
tinggal. Pemukiman adalah suatu tindakan untuk memukimkan seseorang pada suatu
lokasi atau tempat tinggal tertentu, sedangkan permukiman dikenal sebagai human
settlement, yaitu : suatu kumpulan manusia baik itu berada di kota maupun di desa,
lengkap dengan aspek- aspek sosial, spiritual, dan nilai- nilai budaya yang
menyertainya.
Lahan permukiman didefenisikan sebagai suatu tempat atau suatu daerah bagi
masyarakat atau penduduk berkumpul dan hidup bersama serta menggunakan
lingkungan setempat untuk mempertahankan, melangsungkan dan mengembangkan
kehidupan (Batubara, 1984 dalam Wuryandari, dkk 2005)
Menurut Kuswartojo (2010), untuk menjamin rencana telah ditetapkan
berbagai pedoman teknis tentang berbagai unsur buatan. Antara lain tentang
kepadatan dan kerapatan bangunan, garis sempadan, lebar jalan, ukuran drainase,
persyaratan sanitasi, penyediaan air bersih, pengelolaan sampah, ruang hijau, fasilitas
umum, fasilitas sosial, dan sebagainya. Kesemua pedoman ini dapat digunakan untuk
menilai rencana permukiman artinya untuk menilai kondisi internal permukiman yang
akan dikembangkan. Namun belum ada pedoman baku untuk menilai dampak
setempat dan kaitannya dengan kondisi eksternal. Tiga aspek yang dijadikan dasar
penilaian yaitu : dampak setempat, rencana pembangunan permukiman dan kaitannya
22
dengan sekitarnya merupakan kerangka yang dapat mengakomodasikan berbagai
pedoman yang ada.
Menurut (Sastra, 2006 dalam Heydir, 2008) permukiman terbentuk dari
kesatuan isi dan wadah. Kesatuan antara manusia sebagai penghuni (isi) dengan
lingkungan hunian (wadah) akan membentuk suatu komunitas yang secara bersamaan
dapat membentuk suatu permukiman yang mempunyai dimensi yang sangat luas,
dimana batas dari permukiman biasanya berupa batas geografis yang ada di
permukaan bumi. Elemen- elemen permukiman yaitu isi dan wadah yang terdiri dari
beberapa unsur antara lain : alam, manusia, masyarakat, bangunan/ rumah, dan
networks. Alam memiliki beberapa komponen di dalamnya yang meliputi geologi,
topografi, tanah, air, tumbuh – tumbuhan, hewan dan iklim. Di dalam suatu wilayah
permukiman, manusia merupakan pelaku utama kehidupan, disamping makhluk
hidup seperti hewan, tumbuhan dan lainnya. Sebagai makhluk yang paling sempurna,
dalam kehidupannya manusia membutuhkan berbagai hal yang dapat menunjang
kelangsungan hidupnya, baik itu kebutuhan biologis (ruang, udara, temperatur dan
lain- lain), perasaan dan persepsi, kebutuhan emosional, serta kebutuhan akan nilai-
nilai moral.
Masyarakat merupakan kesatuan sekelompok orang (keluarga) dalam suatu
permukiman yang membentuk suatu komunitas tertentu. Hal- hal yang berkaitan
dengan permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat yang mendiami suatu wilayah
permukiman yakni kepadatan dan komposisi penduduk, kelompok sosial, adat dan
23
kebudayaan, pengembangan ekonomi, pendidikan, kesehatan dan hukum dan
administrasi. Bangunan (rumah) merupakan wadah bagi manusia (keluarga). Oleh
karena itu dalam perencanaan dan pengembangannya perlu mendapatkan perhatian
khusus agar sesuai dengan rencana kegiatan yang berlangsung di tempat tersebut.
Networks merupakan sistem buatan maupun alam yang menyediakan fasilitas untuk
operasional suatu wilayah pemukiman. Untuk sistem buatan, tingkat pemenuhannya
bersifat relatif dimana antara wilayah permukiman yang satu dan yang lain ridak
harus sama. Sistem buatan yang keberadaannya diperlukan di dalam suatu wilayah
antara lain adalah : sistem jaringan air bersih, sistem jaringan listrik, sistem
transportasi, sistem komunikasi, drainase dan air kotor dan tata letak fisik (Sastra,
2006 dalam Heydir, 2008).
Lokasi lingkungan perumahan harus memenuhi ketentuan (SNI 03-1733-2004)
sebagai berikut :
a) Lokasi perumahan harus sesuai dengan rencana peruntukan lahan yang diatur
dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) setempat atau dokumen
perencanaan lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah setempat,
dengan kriteria sebagai berikut :
1. Kriteria keamanan, dicapai dengan mempertimbangkan bahwa lokasi
tersebut bukan merupakan kawasan lindung (catchment area), olahan
pertanian, hutan produksi, daerah buangan limbah pabrik, daerah bebas
24
bangunan pada area bandara, daerah di bawah jaringan listrik tegangan
tinggi ;
2. Kriteria kesehatan, dicapai dengan mempertimbangkan bahwa lokasi
tersebut bukan daerah yang mempunyai pencemaran udara di ambang
batas, pencemaran air permukaan dan air tanah dalam ;
3. Kriteria kenyamanan, dicapai dengan kemudahan pencapaian
(aksesibilitas), kemudahan berkomunikasi (internal/ eksternal, langsung
atau tidak langsung), kemudahan berkegiatan (prasarana dan sarana
lingkungan tersedia) ;
4. Kriteria keindahan/ keserasian/ keteraturan (kompatibilitas), dicapai
dengan penghijauan, mempertahankan karakteristik topografi dan
lingkungan yang ada, misalnya tidak meratakan bukit, mengurug seluruh
rawa atau danau/ setu/ sungai/ kali dan sebagainya ;
5. Kriteria fleksibilitas, dicapai dengan mempertimbangkan kemungkinan
pertumbuhan fisik/ pemekaran lingkungan perumahan dikaitkan dengan
kondisi fisik lingkungan dan keterpaduan prasarana ;
6. Kriteria keterjangkauan jarak, dicapai dengan mempertimbangkan
jarak pencapaian ideal kemampuan orang berjalan kaki sebagai pengguna
lingkungan terhadap penempatan sarana dan prasarana- utilitas
lingkungan;
25
7. Kriteria lingkungan berjati diri, dicapai dengan mempertimbangkan
keterkaitan dengan karakter sosial budaya masyarakat setempat, terutama
aspek kontekstual terhadap lingkungan tradisional/ lokal setempat.
b) Lokasi perencanaan perumahan harus berada pada lahan yang jelas status
kepemilikannya, dan memenuhi persyaratan administratif, teknis dan
ekologis.
c) Keterpaduan antara tatanan kegiatan dan alam di sekelilingnya, dengan
mempertimbangkan jenis, masa tumbuh dan usia yang dicapai, serta
pengaruhnya terhadap lingkungan, bagi tumbuhan yang ada dan mungkin
tumbuh di kawasan yang dimaksud.
1.6.3. Relokasi
Relokasi adalah upaya pemindahan sebagian atau seluruh aktivitas berikut
sarana dan prasarana penunjang aktivitas dari satu tempat ke tempat lain guna
mempertinggi faktor keamanan, kelayakan, legalitas pemanfaatan dengan tetap
memperhatikan keterkaitan antara yang dipindah dengan lingkungan alami dan
binaan di tempat tujuan (Kementerian Pekerjaan Umum, 2010)
Menurut Asian Development Bank (2002) dalam Justitie (2009) relokasi
dapat menimbulkan berbagai dampak seperti hilangnya sumber- sumber poduktif
termasuk lahan, hilangnya pendapatan dan mata pencaharian, serta menurunnya
kultur budaya dan kegotongroyongan yang ada dalam masyarakat. Lokasi dan
26
kualitas tempat relokasi baru adalah faktor penting dalam perencanaan relokasi,
karena sangat menentukan beberapa hal seperti kemudahan menuju lahan usaha,
jaringan sosial, pekerjaan, bidang usaha, kredit, dan peluang pasar. Setiap lokasi
mempunyai keterbatasan dan peluang masing masing. Memilih lokasi yang sama baik
dengan kawasan yang dahulu dari segi karakteristik lingkungan, sosial, budaya dan
ekonomi akan lebih memungkinkan relokasi dan pemulihan pendapatan berhasil. Jadi
pemilihan lokasi harus dipertimbangkan sebagai bagian dari Studi Kelayakan.
Pemilihan lokasi harus memperhitungkan dampak terhadap masyarakat setempat.
Permasalahan seperti kualitas lahan, daya tampung lokasi, kekayaan milik umum,
sumberdaya, dan sarana dan prasarana yang mendukung perlu dipertimbangkan
selama studi kelayakan. Adapun dampak orang yang terkena relokasi dapat dilihat
pada tabel 1.2.
Tabel 1.2. Dampak Orang yang Terkena Relokasi
Orang yang terkena dampak Dampak
Petani penyewa/ bagi hasil Kehilangan kesempatan menyewa lahan dan hilangnya penghasilan dari lahan tersebut, kehilangan tanaman dan sumber pengembangan tanaman
Pekerja tanpa lahan atau upahan
Kehilangan kesempatan bekerja dari lahan terkena dampak
Penduduk liar dan pedagang kecil
Kehilangan pekerjaan atau pendapatan dari relokasi
Penduduk suku terasing Kehilangan hak adat terhadap lahan dan mata pencaharian
Kaum wanita dan wanita yang menjadi kepala rumah tangga
Kehilangan akses atas lahan atau harta kekayaan yang sah milik anggota keluarga
Sumber : (the world bank, 2002 dalam Justitie, 2009)
27
Menurut Asian Development Bank (2002 dalam Justitie, 2009) langkah
langkah pencegahan timbulnya dampak dari adanya suatu relokasi dapat dilihat pada
tabel 1.3.
Tabel 1.3. Dampak relokasi dan langkah penanggulangannya
Jenis Dampak Langkah Penanggulangan
Kehilangan sumber yang produktif termasuk lahan, pendapatan dan mata pencaharian
a. Ganti rugi sesuai harga penggantian bagi pendapatan dan mata pencaharian yang hilang
b. Penggantian pendapatan dan biaya pemindahan selama waktu pembangunan kembali serta langkah pemilihan pendapatan bagui yang kehilangan mata pencaharian
Kehilangan perumahan, mungkin seluruh struktur, sistem dan fasilitas sosial masyarakat
Ganti rugi bagi perumahan dan kekayaan yang hilang sesuai dengan harga penggantian relokasi termasuk pembangunan tempat relokasi kalau perlu dan langkah langkah memperbaiki taraf hidup
Kehilangan kekayaan lain Ganti rugi sesuai dengan harga penggantian atau diganti
Kehilangan sumber daya masyarakat, lingkungan, peninggalan budaya dan harta lainnya
Diganti atau ganti rugi yang sesuai dengan harta penggantian, serta langkah langkah pemulihan
Sumber : (Asian Development Bank, 2002 dalam Justitie, 2009)
Hal terpenting dalam merelokasi adalah pemilihan lokasinya. Dalam buku
panduan dari Asian Development Bank (2002 dalam Justitie, 2009) diterangkan
bahwa prioritas relokasi meliputi:
28
a. Pemilihan lokasi alternatif
Pemilihan lokasi terbaik sangat penting dengan pilihan pilihan alternatif yang
melibatkan permukiman kembali yang potensial dan penduduk setempat
dalam proses tersebut.
b. Studi kelayakan
Melakukan studi kelayakan dengan memperhatikan potensi kawasan dari segi
ekologi, harga lahan, pekerjaan, kemungkinan untuk memperoleh kredit,
pemasaran, dan peluang ekonomi lainnya untuk mata pencaharian penduduk
yang terkena dampak dan masyarakat setempat.
c. Susunan dan rancangan
Susunan dan rancangan kawasan relokasi harus sesuai dengan spesifikasi dan
kebiasaan budaya, mengidentifikasi lokasi sekarang terhadap berbagai
prasarana fisik dan sosial masyarakat yang terkena dampak.
d. Pembangunan lokasi permukiman kembali
Seluruh sarana dan prasarana fisik dan sosial harus sudah siap sebelum
pemukim diminta untuk pindah ke lokasi.
1.6.4. Gunungapi Sinabung
Gunungapi ialah tempat dimana magma keluar ke permukaan bumi (Santoso,
1992). Menurut Gazlay (2008), gunungapi aktif dapat bereaksi dengan sejumlah cara
yang berbeda. Gunungapi bisa dengan mudah melepaskan uap panas dan gas- gas
lain. Gunungapi juga bisa memiliki atau tidak memiliki aliran lava. Gunungapi itu
29
juga bisa meledak atau tidak. Beberapa gunungapi beralih dari satu reaksi ke reaksi
lain selama satu periode aktif. Berikut ini merupakan jenis letusan yang paling umum,
mulai dari yang paling tenang sampai yang paling hebat.
Secara administratif Gunungapi Sinabung termasuk ke dalam wilayah
Kabupaten Tanah Karo, Provinsi Sumatera Utara. Secara geografis, puncaknya
terletak pada koordinat 03º 10’ 00” LU, dan 98º 23’ 30” BT (Peta Bakosurtanal,
1982, Lembar Kabanjahe/Lembar 0619-22); Atlas Trop. Ned.. 1938, Lembar 12b).
Sebelum terjadi erupsi Agustus 2010, Gunungapi Sinabung diklasifikasikan ke dalam
tipe gunungapi strato Tipe B (klasifikasi Direktorat Vulkanologi), sejarah erupsinya
tidak diketahui. Sejak 29 Agustus 2010 gunungapi ini diklasifikasikan ke dalam
gunungapi aktif Tipe A. Hal ini berdasarkan peristiwa erupsi fratik yang diikuti oleh
erupsi abu.
Tingkat kerawanan bencana Gunungapi Sinabung dibagi menjadi tiga tingkat
(secara berurutan dari tertinggi ke terendah) yaitu : Kawasan rawan bencana III,
Kawasan rawan bencana II, dan Kawasan rawan bencana I dapat dilihat dari Gambar
1.1 (Gunawan et al., 2014).
Kawasan Rawan Bencana III
Kawasan rawan bencana III adalah kawasan yang sangat berpotensi terlanda
awan panas, aliran dan guguran lava, gas beracun, lontaran batu (pijar), dan hujan abu
lebat. Lokasi Desa Suka Meriah berada dalam kawasan rawan bencana. Kawasan
30
rawan bencana III Gunungapi Sinabung terdiri atas dua bagian yaitu : kawasan rawan
bencana terhadap awan panas, aliran dan guguran lava, dan gas beracun serta
kawasan rawan bencana terhadap material, lontaran batu (pijar), dan hujan abu lebat.
a. Kawasan rawan bencana terhadap awan panas
Apabila Gunungapi Sinabung meletus kembali pada masa datang dengan jenis
dan tipe erupsi yang relative identik dengan erupsi-erupsi sebelumnya, maka pola
aliran massanya diprediksi relatif sama. Kemungkinan akan mengarah terutama ke
bagian Selatan-Tenggara (sesuai dengan arah bukan kawahnya) dengan jarak jangkau
maksimum 5 km dari pusat erupsi. Apabila skala erupsinya membesar (dengan
asumsi kondisi topografi tidak berubah), maka kemungkinan dapat terjadi perluasan
aliran awan panas ke arah selatan, tenggara, dan baratdaya. Ke arah-arah tersebut
jarak jangkaunya diprediksi dapat mencapai jarak lebih kurang 5 km dari pusat
erupsi.
b. Kawasan rawan bencana terhadap aliran dan guguran lava
Berdasarkan keadaan topografi/morfologi daerah puncak dan kawah
Gunungapi Sinabung saat ini apabila pada erupsi mendatang terjadi lagi aliran lava,
maka sebarannya diperkirakan hanya di sekitar puncak/di dalam Kawah Sinabung.
Apabila erupsinya membesar, maka kemungkinan lava akan mengalir lebih jauh dari
pusat erupsi dan cenderung akan mengalir ke sektor selatan-tenggara dengan jarak
jangkau maksimum 3-4 km dari pusat erupsi. Apabila terjadi peristiwa guguran lava,
31
maka cenderung hanya di sekitar puncak dan lereng atas bagian selatan-tenggara
Gunungapi Sinabung.
c. Kawasan rawan bencana terhadap gas beracun
Gas beracun diprediksi hanya terdapat di sekitar kawah aktif dan lembah-
lembah sungai besar yang berhulu di puncak. Untuk mengantisipasi skala erupsi
Gunungapi Sinabung yang relatif besar dari skala erupsi pada masa silam, maka
radius lingkaran sebaran gas beracun diperdiksi hingga radius 2 km dari pusat erupsi.
d. Kawasan rawan bencana terhadap material lontaran dan hujan abu
lebat
Berdasarkan erupsi terdahulu, material lontaran batu (pijar) dan hujan abu
lebat dapat mencapai jarak maksimum 1,5 km. Untuk mengantisipasi skala erupsi
Gunungapi Sinabung yang relatif besar dari skala erupsi masa silam. Maka sebaran
material lontaran batu pijar berukuran lebih dari 6 cm, dan hujan abu lebat dibatasi
hingga radius 3 km dari pusat erupsi.
Kawasan Rawan Bencana II
Kawasan rawan bencana II adalah kawasan yang berpotensi terlanda awan
panas, aliran lava, guguran lava, lontaran batu (pijar), dan hujan abu lebat. Kawasan
ini dibedakan menjadi dua bagian yaitu: kawasan rawan bencana terhadap awan
32
panas, aliran dan guguran lava serta kawasan rawan bencana terhadap material
lontaran batu (pijar) dan hujan abu lebat.
a. Kawasan rawan bencana terhadap awan panas
Kawasan yang kemungkinan terlanda awan panas adalah sektor Selatan-
Tenggara, dan Timur-Tenggara. Apabila skala erupsinya membesar, maka
kemungkinan dapat terjadi perluasan aliran awan panas kea rah Baratdaya dan
Timurlaut. Jarak jangkaunya diprediksi dapat mencapai jarak maksimum lebih kurang
5 km dari pusat erupsi.
b. Kawasan rawan bencana terhadap aliran dan guguran lava
Berdasarkan keadaan topografi/morfologi daerah puncak dan kawah
Gununapi Sinabung (2013), apabila pada erupsi yang akan datang terjadi aliran lava,
maka sebarannya diperkirakan akan melanda daerah selatan-tenggara (sesuai dengan
arah bukaan kawahnya), dan mungkin saja mengarah pula ke timur-tenggara, dan
timurlaut. Apabila erupsinya lebih kecil, maka sebarannya diprediksi hanya terbatas
di sekitar puncak/kawah.
c. Kawasan rawan bencana terhadap material lontaran dan hujan abu
lebat
Berdasarkan data lapangan, bahwa material lontaran batu (pijar) berukuran 2 –
6 cm ditemukan di beberapa sector di lereng tengah dan atas Gunungapi Sinabung
33
pada radius antara 2 – 4,5 Km dari pusat erupsi. Untuk mengantisipasi skala erupsi
Gunungapi Sinabung yang relatif lebih besar dari skala erupsi di masa silam, maka
radius lingkaran sebaran material lontaran batu pijar dan hujan abu lebat dibatasi
hingga radius 5 Km dari pusat erupsi.
Kawasan Rawan Bencana I
Kawasan rawan bencana I adalah kawasan yang berpotensi terlanda lahar.
Apabila erupsinya membesar. Kawasan ini berpotensi tertimpa hujan abu dan
lontaran batu (pijar). Kawasan Rawan Bencana I ini dibedakan menjadi dua bagian
yakni : kawasan rawan bencana terhadap lahar serta kawasan rawan bencana terhadap
hujan abu dan kemungkinan material lontaran batu (pijar).
a. Kawasan rawan bencana terhadap aliran lahar
Pembentukan lahar kemungkinan besar dapat terjadi di daerah selatan-
tenggara, baratdaya, tenggara, dan timurlaut. Hal ini sangat erat kaitannya dengan
keberadaan sejumlah sungai besar yang berhulu di pusat erupsi. Besar/kecilnya
volume lahar tergantung dari beberapa faktor penunjang, diantaranya adalah;
kemiringan lereng, material pembentuk (umumnya bersumber dari fragmen
pembentuk aliran dan jatuhan piroklastik), curah hujan (terutama pada saat atau
sesaat paska erupsi). Besar/kecilnya dampak yang ditimbulkan tergantung pula pada
seberapa besar resiko bahaya sekunder yang harus diperhitungkan karena di sebagian
34
sektor-sektor tadi banyak terdapat unit pemukiman dengan kerapatan penduduk
jarang-sedang.
b. Kawasan rawan bencana terhadap material lontaran batu (pijar) dan
hujan abu
Berdasarkan sejarah erupsi Gunungapi Sinabung di masa silam menunjukkan
bahwa, lontaran batu (pijar) berukuran maksimum 2 cm dapat mecapai jarak antara 5
- 6 km dari pusat erupsi. Sementara abu letusan dapat mencapai jarak lebih dari 6 km,
hal ini sangat tergantung kepada arah dan kecepatan angin pada saat erupsi. Sehingga,
lokasi tersebut sangat berpotensi terlanda awan panas, aliran dan guguran lava, gas
beracun, lontaran batu (pijar), dan hujan abu lebat. Untuk mengantisipasi skala
erupsi Gunungapi Sinabung yang lebih besar dari skala erupsi di masa silam, maka
radius lingkaran sebaran material lontaran batu pijar dan hujan abu dibatasi hingga
radius 7 km dari pusat erupsi.
Tingkat kegiatan gunungapi menjadi dasar dalam peningkatan kewaspadaan
masyarakat terhadap ancaman bahaya erupsi. Maka dari itu tingkat kewaspadaan
masyarakat dibagi menjadi beberapa level berdasarkan tingkat kegiatan
gunungapinya antara lain : tingkat kegiatan gunungapi pada tingkat normal (level I),
tingkat kegiatan gunungapi pada tingkat waspada (level II), tingkat kegiatan
gunungapi pada tingkat siaga (level III) dan tingkat kegiatan gunungapi pada tingkat
awas (level IV)
35
a. Tingkat kegiatan gunungapi pada tingkat normal (level I)
Masyarakat dalam kawasan rawan bencana III, II, dan I dapat melakukan
kegiatan sehari-hari khusus untuk kegiatan di daerah puncak/pusat erupsi, masyarakat
harus tetap waspada dan mematuhi peraturan Pemerintah Daerah (Pemda) sesuai
degan saran teknis dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG).
b. Tingkat kegiatan gunungapi pada tingkat waspada (level II)
Masyarakat dalam kawasan rawan bencana III, II, dan I dapat melakukan
kegiatan sehari-hari. Khusus untuk kegiatan di kawasan rawan bencana III,
masyarakat harus tetap waspada dan mematuhi peraturan Pemda sesuai dengan saran
teknis dari PVMBG.
c. Tingkat kegiatan gunungapi pada tingkat siaga (level III)
Masyarakat dalam kawasan rawan bencana III, dan II harus menyiapkan diri
untuk mengungsi sambil menunggu perintah dari Pemda sesuai dengan saran teknis
dari PVMBG.
d. Tingkat kegiatan gunungapi pada tingkat awas (level IV)
Masyarakat dalam kawasan rawan bencana III, dan II harus sudah mengungsi
dan masyarakat dalam kawasan rawan bencana I harus meningkatkan
kewaspadaannya dan mematuhi peraturan Pemda sesuai saran teknis dari PVMBG.
Khusus masyarakat dalam kawasan rawan bencana I yang bermukim berdekatan
36
dengan sungai yang berhulu di daerah puncak agar lebih meningkatkan
kewaspadaannya terhadap ancaman lahar apabila terjadi hujan.
1.6.5. Pengertian Pendapat (Opini)
Dalam penelitian ini, yang dimaksudkan sebagai pendapat adalah mengacu
kepada sesuatu yang dipikirkan atau diyakini dan dinyatakan orang tentang sesuatu
hal (Olii dan Erlita, 2011). Ketika publik menghadapi isu, maka timbul perbedaan
pendapat diantara mereka. Perbedaan pendapat muncul karena :
a. Perbedaan pandangan terhadap fakta
b. Perbedaan perkiraan tentang cara- cara terbaik untuk mencapai tujuan
c. Perbedaan motif untuk mencapai tujuan
Manusia memiliki dua jenis kepentingan di dalam hidupnya yaitu kepentingan
pribadi (self interest) dan kepentingan kelompok (social interest). Kepentingan
pribadi dan kepentingan kelompok memiliki hubungan yang erat dan sulit dipisahkan.
Seseorang dapat menyatakan bahwa ia melakukan sesuatu demi social interest- nya,
namun kenyataannya juga merealisasi self interest. Manusia hidup sebagai makhluk
sosial. Manusia hidup dalam masyarakat yang mempunyai bermacam - macam
kebutuhan. Kebutuhan masyarakat menyebabkan terjadinya komunikasi. Manusia
memerlukan komunikasi sebagai alat pemenuhan kebutuhan, yaitu kebutuhan mental.
Kebutuhan mental tersebut yang mendorong manusia mengeluarkan opininya (Olii
dan Erlita, 2011).
37
Menurut Doob dalam Susanto (1975) Sikap yang mendahului pendapat adalah
hasil dari rangsangan luar yang telah diolah manusia dalam dirinya, sesuai dengan
hasil pendidikannya, pengalamannya, perasaannya, maka dari itu pendapat umum
merupakan hasil dari sikap sekumpulan orang yaitu sikap yang memperlihatkan
reaksi yang sama terhadap rangsangan luar yang sama. Hubungan erat antara sikap
dan pendapat dengan sendirinya menyimpulkan bahwa suatu pendapat dapat
dinyatakan (expressed) dan dapat juga tidak dinyatakan akan tetapi ada ataupun
disadari (laten).
Setiawan (1983) mengatakan bahwa pendapat adalah pernyataan yang bersifat
kontroversial. Pendapat tersebut dapat berupa sikap pro ataupun kontra terhadap
sesuatu hal.
Ciri- ciri pendapat publik menurut Setiawan (1983) yaitu :
1. Pendapat tersebut merupakan perilaku para individu
2. Pendapat tersebut dinyatakan oleh banyak orang
3. Pendapat tersebut dirangsang dan diarahkan pada obyek dan situasi yang
telah diketahui secara umum
4. Pendapat tersebut dinyatakan suatu kesadaran bahwa orang orang lainnya
juga akan memberikan reaksi terhadap situasi dengan suatu cara yang
sama pula
39
1.7. Kerangka Pemikiran
Desa Suka Meriah merupakan salah satu desa terparah yang terkena dampak
erupsi Gunungapi Sinabung. Desa Suka Meriah berada dalam kawasan rawan
bencana III sehingga sangat berpotensi terhadap ancaman aliran piroklastik.
Pemerintah menetapkan kebijakan untuk merelokasi desa tersebut ke lokasi yang
dianggap lebih aman khususnya aman dari bencana erupsi Gunungapi Sinabung.
Penetapan kebijakan relokasi tersebut merupakan solusi terbaik dalam mengurangi
dampak dari erupsi Gunungapi Sinabung. Untuk menganalisis kegiatan relokasi
tersebut, penelitian ini menetapkan tiga tujuan penelitian yakni mengidentifikasi
pendapat masyarakat terhadap rencana relokasi, menganalisis lokasi tujuan relokasi
permukiman, dan mengkaji permasalahan yang terjadi dalam rencana relokasi.
Tujuan pertama yakni mengidentifikasi tentang pendapat masyarakat terkait
proses rencana relokasi desa asal mereka ke Kawasan Siosar sebagai lokasi tujuan
relokasi. Pendapat masyarakat yang dimaksud dapat berupa setuju maupun
ketidaksetujuan masyarakat dan faktor yang mempengaruhi pendapat mereka
tersebut. Kemudian pendapat mereka mengenai kriteria pembangunan permukiman
baru yang mereka harapkan dan harapan masyarakat terhadap proses relokasi. Tujuan
kedua adalah menganalisis lokasi tujuan relokasi. Terdapat 3 kondisi yang akan
ditinjau dalam tujuan kedua ini yakni : kondisi fisik, kondisi sosial, maupun kondisi
ekonomi. Di dalam kondisi fisik terdapat beberapa variabel yang diteliti yakni :,
kondisi rumah, air bersih, sanitasi, listrik, aksesibilitas, dan jalan. Kondisi sosial
40
membahas mengenai ketersediaan fasilitas umum dan sosial yang nantinya akan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dan yang terakhir kondisi ekonomi
membahas tentang status kepemilikan lahan, mata pencaharian dan peluang kerja.
Hasil dari pembahasan tujuan kedua ini diharapkan dapat mengetahui kondisi
eksisting dari permukiman baru. Tujuan ketiga yakni menganalisis permasalahan
yang terjadi dalam rencana relokasi permukiman. Dalam tujuan ketiga ini ada
beberapa pihak yang akan diidentifikasi yakni permasalahan yang berasal dari
masyarakat dan permasalahan yang berasal dari pemerintah. Hasil dari tujuan ketiga
ini diharapkan dapat mengetahui permasalahan yang dihadapi saat relokasi
permukiman sedang berlangsung.
Berdasarkan hasil dari ketiga tujuan yang telah dibahas di atas maka dapat
disesuaikan bagaimana pendapat masyarakat yang akan direlokasi dan bagaimana
kondisi eksisting dari permukiman baru yang berada lokasi tujuan relokasi. Hal
tersebut kemudian disesuaikan dengan permasalahan yang terjadi di antara pihak
yang bersangkutan tersebut yakni masyarakat maupun pemerintah. Sehingga
penelitian ini dapat membantu memberikan arahan terhadap kebijakan relokasi yang
telah ditetapkan oleh pemerintah. Untuk dapat lebih memahami kerangka pemikiran
penelitian ini dapat dilihat dari gambar 1.2.
41
Gambar 1.2. Diagram Alir Kerangka Pemikiran
Kondisi eksisting permukiman baru
Fisik Sosial
Mengidentifikasi permasalahan yang terjadi dalam proses
Hambatan oleh masyarakat
Hambatan oleh
pemerintah
Permasalahan yang dihadapi
Kebijakan relokasi merupakan solusi terbaik meminimalisir risiko terhadap ancaman aliran
piroklastik
Desa Suka Meriah sebagai salah satu desa terparah terkena dampak erupsi Gunungapi Sinabung dan
terletak di KRB III
Mengidentifikasi pendapat masyarakat terhadap proses
relokasi permukiman
Menganalisis lokasi tujuan relokasi permukiman
Ekonomi
Arahan terhadap kebijakan
Setuju/ tidak setuju
terhadap proses
relokasi
Kriteria permukiman
baru
Harapan masyarakat
terkait proses relokasi
42
1.8. Batasan Operasional
Permukiman merupakan bagian dari kawasan budidaya yang terletak
di luar kawasan lindung. Permukiman merupakan tempat tinggal sekaligus
sebagai tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan
para penghuninya.
Relokasi adalah upaya pemindahan sebagian atau seluruh aktivitas
berikut sarana dan prasarana penunjang aktivitas dari satu tempat ke tempat
lain dengan tetap memperhatikan keterkaitan antara yang dipindah dengan
lingkungan alami dan binaan di tempat tujuan.
Gunungapi ialah tempat dimana magma keluar ke permukaan bumi
(Santoso, 1992). Dari definisi di atas jelaslah bahwa bentuk bentuk luar dari
suatu gunungapi tidak perlu berbentuk kerucut, melainkan dapat sebagai
bentuk lain yakni hanya lubang kepundan saja atau bentuk lain sebagai rekah
memanjang dan sebagainya.
Pendapat dalam penelitian ini merupakan sesuatu yang dipikirkan atau
diyakini dan dinyatakan orang tentang sesuatu hal. Ketika publik menghadapi
isu, maka timbul perbedaan pendapat diantara mereka. Perbedaan pendapat
muncul karena perbedaan pandangan terhadap fakta, perbedaan perkiraan
tentang cara- cara terbaik untuk mencapai tujuan, perbedaan motif untuk
mencapai tujuan.