bab i pendahuluan 1.1. latar...

42
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gunungapi Sinabung merupakan gunungapi yang terletak di Dataran Tinggi Karo, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Ketinggian gunungapi ini sekitar 2460 meter. Gunungapi Sinabung tercatat tidak pernah meletus sejak tahun 1600an, tetapi mendadak aktif kembali pada Agustus 2010 dan masih berlangsung hingga kini. Sebelum terjadi erupsi pada Agustus 2010, Gunungapi Sinabung diklasifikasikan ke dalam tipe gunungapi strato Tipe B (klasifikasi Direktorat Vulkanologi). Sejak 29 Agustus 2010 gunungapi ini diklasifikasikan ke dalam gunungapi aktif Tipe A. Pada peristiwa erupsi freatik dan abu Agustus 2010 tidak tercatat adanya korban jiwa manusia, akan tetapi abu letusannya merusak daerah perkebunan/pertanian masyarakat setempat serta mengakibatkan kontaminasi sejumlah sumber air di sekitarnya. Selain itu berdampak negatif terhadap tingkat kesehatan penduduk (iritasi kulit dan mata ISPA dan diare) di sekitar gunungapi (terutama yang bermukim di daerah selatan-tenggara dan timur gunungapi). Sejak peristiwa erupsi Agustus 2010, pemantauan, penyelidikan dan sosialisasi tentang kegiatan gunungapi ini terus menerus dilakukan secara intensif oleh pihak Pusat

Upload: duongdang

Post on 05-May-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1  

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Gunungapi Sinabung merupakan gunungapi yang terletak di Dataran Tinggi

Karo, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Ketinggian gunungapi

ini sekitar 2460 meter. Gunungapi Sinabung tercatat tidak pernah meletus sejak tahun

1600an, tetapi mendadak aktif kembali pada Agustus 2010 dan masih berlangsung

hingga kini. Sebelum terjadi erupsi pada Agustus 2010, Gunungapi Sinabung

diklasifikasikan ke dalam tipe gunungapi strato Tipe B (klasifikasi Direktorat

Vulkanologi). Sejak 29 Agustus 2010 gunungapi ini diklasifikasikan ke dalam

gunungapi aktif Tipe A.

Pada peristiwa erupsi freatik dan abu Agustus 2010 tidak tercatat adanya

korban jiwa manusia, akan tetapi abu letusannya merusak daerah

perkebunan/pertanian masyarakat setempat serta mengakibatkan kontaminasi

sejumlah sumber air di sekitarnya. Selain itu berdampak negatif terhadap tingkat

kesehatan penduduk (iritasi kulit dan mata ISPA dan diare) di sekitar gunungapi

(terutama yang bermukim di daerah selatan-tenggara dan timur gunungapi). Sejak

peristiwa erupsi Agustus 2010, pemantauan, penyelidikan dan sosialisasi tentang

kegiatan gunungapi ini terus menerus dilakukan secara intensif oleh pihak Pusat

2  

Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi bekerjasama dengan berbagai pihak

terkait (Gunawan dkk, 2014).

Berdasarkan data Kementrian Pertanian tahun 2014, kerugian yang

diakibatkan oleh erupsi Gunungapi Sinabung untuk sektor pertanian berkisar antara

Rp 1,3 triliun hingga Rp.1,5 triliun. Luas lahan pertanian yang rusak akibat terkena

abu vulkanik mencapai 50.921 Ha yang tersebar di 14 kecamatan. Perinciannya yakni

tanaman pangan seluas 26.666 Ha, hortikultura 18.853 Ha dan perkebunan 5.402 Ha.

Menurut Suswono (Menteri Pertanian Republik Indonesia, 2014) komoditas yang

paling banyak terkena dampak erupsi terutama tanaman hortikultura (sayuran),

tanaman perkebunan (kopi, kakao dan cengkeh), tanaman buah buahan (jeruk dan

alpukat) dan tanaman pangan (padi dan jagung). Kerugian ini belum termasuk

kerusakan pada sejumlah permukiman, infrastruktur, listrik, serta air bersih.

Sebagaimana diketahui bahwa lahan yang berada di sekitar lereng gunungapi

merupakan lahan yang subur, yang cocok untuk kegiatan sektor pertanian. Kesuburan

lahan vulkanik merupakan salah satu penyebab perkembangan permukiman yang

cukup cepat dan pesat yang terjadi di sekitar lereng Gunungapi Sinabung. Sering kali,

penduduk kurang atau tidak mempertimbangkan kawasan itu merupakan kawasan

yang rentan terhadap ancaman/ bahaya erupsi. Sehingga ketika erupsi terjadi, banyak

permukiman yang mengalami kerusakan baik secara parsial maupun keseluruhan

yang menyebabkan permukiman tidak layak untuk dihuni kembali. Kecamatan -

kecamatan yang berada dalam kawasan rawan bencana erupsi Gunungapi Sinabung

3  

meliputi Kecamatan Payung, Kecamatan Naman Teran, Kecamatan Simpang Empat,

Kecamatan Tiga Nderket.

BNPB telah menetapkan bahwa beberapa desa yang berada di dalam radius 3

km dari puncak Gunungapi Sinabung merupakan daerah steril dimana tidak boleh ada

aktivitas dari masyarakat sedikitpun. Beberapa desa yang termasuk di dalamnya yakni

Desa Suka Meriah, Desa Simacem, dan Desa Bekerah. Desa Suka Meriah termasuk

ke dalam Kecamatan Payung sedangkan Desa Simacem dan Desa Bekerah termasuk

ke dalam Kecamatan Naman Teran. Desa Suka Meriah memiliki luas wilayah sebesar

2,50 Km2, Desa Simacem memiliki luas wilayah sebesar 4,65Km2 dan Desa Bekerah

memiliki luas wilayah sebesar 3,82 Km2. Hal ini menunjukkan bahwa Desa Suka

Meriah memiliki luas wilayah yang lebih kecil dibandingkan kedua desa lainnya.

Dilihat dari kondisi demografi, Desa Suka Meriah memiliki kepadatan penduduk

paling tinggi dari antara kedua desa lainnya yakni sebesar 167 orang/ Km2

dikarenakan Desa Suka Meriah memiliki jumlah penduduk yang cukup besar tetapi

luas wilayah yang cukup sempit (BPS Kabupaten Karo 2012).

Gunungapi Sinabung hingga saat ini masih mengalami erupsi yang

intensitasnya terbilang cukup tinggi, sehingga apabila masyarakat dibiarkan untuk

kembali ke Desa Suka Meriah maka akan menimbulkan korban jiwa yang sangat

tinggi. Hingga kini, Desa Suka Meriah tidak terdapat aktivitas sama sekali karena

memang desa tersebut termasuk zona yang sangat berbahaya dengan keberadaannya

4  

yang sangat dekat sekali dengan puncak Gunungapi Sinabung ditambah lagi berada di

dalam jalur aliran piroklastik, dapat dilihat pada gambar 1.1.

5  

(Gambar 1.1. Peta Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Sinabung)

6  

Di antara ancaman gunungapi, aliran piroklastik memiliki kekuatan yang

sangat besar dan sangat merusak (Mei et al., 2013). Baxter et al. (1998) membuktikan

dalam penelitiannya bahwa sangat sedikit orang yang bisa bertahan dari aliran

piroklastik karena suhunya yang dapat melebihi 200º C. Oleh karena itu, pada

wilayah yang memiliki risiko tinggi aliran piroklastik, terdapat dua solusi yang dapat

dilakukan yakni mengungsikan penduduk di saat krisis dan merelokasi permukiman

penduduk sebagai salah satu bentuk perencanaan keruangan (Baxter et al., 1998).

Sejalan dengan ancaman aliran piroklastik di Gunungapi Sinabung, salah satu

cara yang tepat dalam mengurangi tingkat risiko kerugian yang akan terjadi apabila

erupsi Gunungapi Sinabung kembali melanda adalah dengan cara merelokasi desa

tersebut ke suatu wilayah yang dianggap lebih aman. Namun demikian, relokasi

sangat membutuhkan perencanaan yang hati hati, detail dan secara menyeluruh

karena menyangkut pada penyiapan sebuah komunitas baru (Boen dan Jigyasu, 2005

dalam Martanto dan Sagala, 2014). Relokasi sangat berkaitan dengan proses

memindahkan jalan hidup masyarakat yang didalamnya meliputi pemindahan

manusia, tempat tinggal, dan fungsi sosial lainnya. Hal ini berhubungan dengan

kehidupan masyarakat yang berkelanjutan untuk di masa yang akan datang, sehingga

sebelum kegiatan relokasi dilakukan haruslah melakukan analisis di segala aspek

masyarakat agar hasil yang diharapkan dari relokasi ini berdampak positif bukan

sebaliknya.

7  

Menurut Sumardjono dalam Darma (2009), prinsip utama relokasi yakni

bentuk kesukarelaan masyarakat tersebut untuk bersama sama pindah ke lokasi yang

baru. Maka dari itu, sangat diperlukannya transparansi dan akses informasi bagi

masyarakat yang bersedia ikut dalam program relokasi yang berkaitan dengan

fasilitas yang akan mereka peroleh dalam lokasi yang baru. Pengetahuan hak- hak dan

fasilitas yang akan diperoleh akan membantu masyarakat yang akan direlokasi

membuat keputusan mengikuti program dan berperan serta dalam prosesnya.

Lokasi tujuan relokasi permukiman hingga saat ini memberikan prioritas yang

tinggi pada Kawasan Hutan Produksi Siosar yang meliputi Kecamatan Merek dan

Kecamatan Tigapanah Kabupaten Karo. Kawasan ini merupakan kawasan agropolitan

milik Pemerintah Kabupaten Karo seluas 250 Ha. Pada rencananya, 30 Ha dari

kawasan tersebut akan dijadikan sebagai kawasan permukiman untuk 3 desa yang

wajib direlokasi tersebut dan sisanya akan dijadikan sebagai kawasan pertanian.

Tidak hanya itu, pemerintah daerah akan mencoba membebaskan lahan sebesar 450

Ha untuk menambah jumlah luasan dari kawasan pertanian kepada Menteri

Kehutanan Indonesia.

8  

1.2. Rumusan Masalah

Desa Suka Meriah merupakan salah satu desa yang mengalami kerusakan

sebagai dampak langsung terhadap erupsi Gunungapi Sinabung. Hal ini sangat

berisiko apabila tetap mempertahankan fungsi permukiman di wilayah tersebut. Maka

dari itu pemerintah mewajibkan agar dilakukannya proses relokasi permukiman Desa

Suka Meriah ke Kawasan Hutan Produksi Siosar yang dianggap sebagai wilayah

yang cukup aman dan sesuai untuk dijadikan permukiman yang baru. Apabila Desa

Suka Meriah tetap dipertahankan di lokasi semula maka akan dapat menimbulkan

banyak kerugian termasuk korban jiwa jika erupsi Gunungapi Sinabung terjadi.

Relokasi akan berjalan lancar apabila partisipasi masyarakat sangat baik

terhadap proses relokasi tersebut. Partisipasi yang baik dipengaruhi oleh pendapat

masyarakat mengenai kegiatan relokasi dan kondisi lokasi tujuan dari relokasi

tersebut. Karakteristik individu masyarakat yang berbeda dapat mengakibatkan

perbedaan pendapat masyarakat. Semakin tinggi pengetahuan masyarakat terhadap

kegiatan relokasi dapat memicu tingginya tingkat partisipasi masyarakat terhadap

kegiatan relokasi tersebut dan begitu pula sebaliknya. Kondisi dari lokasi tujuan

relokasi dapat mempengaruhi kepuasan dari masyarakat yang akan direlokasi yang

nantinya akan memberikan sikap yang pro ataupun kontra terhadap kegiatan tersebut.

Maka dari itu penentuan lokasi serta pembangunan permukiman tersebut yang

ditentukan oleh pemerintah harus mempertimbangkan berbagai aspek seperti fisik,

sosial maupun ekonomi. Berbagai faktor yang dapat mempengaruhi pendapat

9  

masyarakat tersebut dapat berupa : status lahan, jarak lokasi, peluang mata

pencaharian dan sebagainya. Saat ini pembangunan yang sedang terjadi diasumsikan

tergolong lambat, padahal seharusnya penanganan relokasi harus segera ditangani

sesegera mungkin. Dari pernyataan diatas dapat dirumuskan pertanyaan penelitian

sebagai berikut :

1. Seperti apa pendapat masyarakat terhadap proses relokasi permukiman?

2. Seperti apa kondisi lokasi tujuan relokasi permukiman?

3. Apa sajakah yang menjadi permasalahan dalam proses relokasi

permukiman?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan maka tujuan yang

ingin dicapai dari penelitian ini yakni :

1. Mengidentifikasi pendapat masyarakat terhadap proses relokasi

permukiman.

2. Menganalisis kondisi lokasi tujuan relokasi permukiman

3. Mengkaji permasalahan yang terjadi dalam proses relokasi

permukiman.

10  

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang bisa didapatkan dari kegiatan penelitian ini meliputi :

1. Sumbangan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Karo terhadap kegiatan

relokasi tersebut.

2. Sebagai masukan untuk bahan kajian bagi para peneliti lain yang berminat

dengan bidang sama dengan penelitian ini.

3. Sebagai bahan bacaan bagi mahasiswa dan sumbangan bagi pengembangan

ilmu Geografi khususnya di bidang pengembangan wilayah.

11  

1.5. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang daerah – daerah bencana sudah banyak dilakukan

oleh beberapa peneliti sebelumnya dengan tujuan dan lokasi yang berbeda

seperti rencana relokasi akibat bencana banjir di Kampung Cieunteung

(Harliani dan Rosyidie, 2012), relokasi pasca bencana lahar dingin di Kali

Putih (Martanto dan Sagala, 2014), relokasi permukiman di Kota Meulaboh

(Firman, 2008) dan ketahanan masyarakat di lereng Merapi (Ikhwanuddin,

2014). Perbedaan lokasi terjadinya bencana serta perbedaan jenis bencana

mengakibatkan semakin beragamnya jenis jenis pendekatan yang dilakukan

pada berbagai penelitian yang sudah dilakukan. Penelitian pertama dilakukan

oleh Harliani dan Rosyidie (2012) yang berjudul Identifikasi Persepsi

Masyarakat tentang Rencana Relokasi akibat Bencana Banjir di Kampung

Cieunteung. Penelitian ini memiliki tujuan penelitian yakni mengidentifikasi

persepsi masyarakat tentang rencana relokasi dan mengidentifikasi keterkaitan

antara persepsi masyarakat dengan faktor - faktor yang mempengaruhinya.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian berupa analisis statistik

deskriptif, analisis statistik inferensi, dan analisis asosiasi.

Penelitian kedua dilakukan oleh Martanto dan Sagala (2014) yang

berjudul Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Persoalan Relokasi Pasca

Bencana Lahar Dingin di Kali Putih. Penelitian ini memiliki tujuan yakni

mengidentifikasi persoalan utama dalam penerapan kebijakan relokasi pasca

12  

bencana lahar dingin Kali Putih di Dusun Gempol, mengidentifikasi alasan

warga menolak kebijakan relokasi pasca bencana lahar dingin Kali Putih di

Dusun Gempol, dan mengidentifikasi alasan warga menerima kebijakan

relokasi pasca bencana lahar dingin Kali Putih di Dusun Gempol. Penelitian

ini menggunakan metode kualitatif dan purposive sampling. Penelitian

selanjutnya dilakukan oleh Firman yang berjudul Persepsi Penghuni terhadap

Permukiman Relokasi di Kota Meulaboh. Penelitian ini memiliki tujuan

menemukan persepsi penghuni terhadap lingkungan permukiman relokasi.

Penelitian ini menggunakan metode berpikir induktif dan metode deskriptif

kualitatif.

Penelitian yang keempat berjudul Metode Ketahanan Masyarakat

Lereng Merapi Terhadap Erupsi Di Kabupaten Sleman Yogyakarta. Penelitian

ini bertujuan mendeskripsikan upaya – upaya masyarakat dalam menghadapi

ancaman erupsi dan merumuskan model deskriptif ketahanan masyarakat

sesuai karakteristik masyarakat. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif

kualitatif.

Penelitian yang dilakukan oleh peneliti berjudul Relokasi Permukiman

Desa Suka Meriah Akibat Dari Kejadian Erupsi Gunungapi Sinabung.

Penelitian ini memiliki tujuan mengidentifikasi pendapat masyarakat terhadap

rencana relokasi permukiman, menganalisis lokasi tujuan relokasi

permukiman dan mengidentifikasi permasalahan yang terjadi dalam rencana

13  

relokasi permukiman. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan

menggunakan analisis deskriptif dalam analisis datanya.

Secara umum penelitian - penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya

memiliki kemiripan maupun kesamaan dengan penelitian penulis hanya saja

perbedaannya terletak pada lokasi penelitian. Penelitian ini dilakukan di

Kabupaten Karo Sumatera Utara sementara penelitian sebelumnya di lakukan

di sebagian wilayah Pulau Jawa dan di Provinsi Aceh. Perbedaan objek lokasi

tentunya mempengaruhi jenis karakteristik objek masyarakatnya yang berada

di dalamnya. Metode penelitian maupun pendekatan yang dilakukan penulis

kurang lebih sama karena aspek yang ditinjau sama-sama merupakan sebuah

pendapat, analisis lokasi tujuan dari relokasi maupun permasalahan yang

terjadi pada saat proses relokasi terjadi. Untuk lebih jelas mengenai tujuan,

metode, dan hasil penelitian sebelumnya dapat dilihat pada tabel 1.1.

14  

Tabel 1.1. Keaslian Penelitian

Nama Peneliti Judul Penelitian Tujuan

Penelitian

Metode Penelitian dan

Pendekatan

Hasil Penelitian

Harliani dan Rosyidie (2012)

Identifikasi persepsi masyarakat tentang rencana relokasi akibat bencana banjir di Kampung Cieunteung

Identifikasi persepsi masyarakat tentang rencana relokasi

Identifikasi keterkaitan antara persepsi masyarakat dengan faktor- faktor yang mempengaruhinya

Analisis statistik deskriptif Analisis statistik inferensi Analisis asosiasi

- Aspek fisik dan lingkungan yaitu penilaian masyarakat terhadap kelayakan dan kenyamanan desa,

- Aspek ekonomi yaitu kekhawatiran masyarakat terhadap penggantian aset lahan dan bangunan dan kekhawatiran terhadap mata pencaharian di lingkungan permukiman yang baru,

- Karakteristik internal masyarakat, yaitu umur yang turut mempengaruhi persepsi dan preferensi masyarakat,

- Aspek sosial dan budaya yaitu kekhawatiran terhadap hubungan sosial yang sudah terjalin dan mungkin tidak didapatkan lagi di lingkungan permukiman yang baru.

15  

Lanjutan Tabel 1.1. Keaslian Penelitian

Nama Peneliti Judul Penelitian Tujuan

Penelitian

Metode Penelitian dan

Pendekatan

Hasil Penelitian

Martanto dan Sagala (2014)

Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Persoalan Relokasi Pasca Bencana Lahar Dingin Di Kali Putih

- Mengidentifikasi persoalan utama dalam penerapan kebijakan relokasi pasca bencana lahar dingin kali putih di Dusun Gempol

- Mengidentifikasi persoalan utama dalam penerapan kebijakan relokasi pasca bencana lahar dingin kali putih di Dusun Gempol

- Mengidentifikasi alasan warga menolak kebijakan relokasi pasca bencana lahar dingin kali putih di Dusun Gempol

- Mengidentifikasi alasan warga menerima kebijakan relokasi pasca bencana lahar dingin kali putih di Dusun Gempol

Metode kualitatif dan purposive samplimg

Faktor-faktor yang mempengaruhi: 1. .Kurangnya partisipasi aktif warga yang

dipindahkan maupun warga di sekitar lokasi Huntap Larangan.

2. Lokasi Huntap Larangan dianggap terlalu jauh dari lokasi pekerjaan mereka.

3. Mata pencaharian warga yang dipindahkan tidak sesuai dengan lokasi Hunian Tetap sehingga menyebabkan banyak warga yang tidak bisa bekerja seperti semula saat berada di Dusun Gempol

4. Kurangnya kemampuan warga Huntap untuk beradaptasi dengan masyarakat di sekitar lokasi Hunian Tetap Larangan.

5. Kekhawatiran warga Gempol atas hilangnya hak milik tanah di Dusun Gempol maupun keraguan warga Gempol atas status tanah di lokasi Hunian Tetap Larangan.

6. Warga yang bersedia direlokasi sebagian besar adalah warga yang rumahnya utuh atau rusak ringan, sedangkan warga yang rumahnya rusak berat atau bahkan hanyut sebagian besar menolak untuk direlokasi. Selain itu warga yang bersedia direlokasi juga kembali lagi ke rumahnya yang ada di Dusun Gempol.

16  

Lanjutan Tabel 1.1. Keaslian Penelitian

Nama Peneliti Judul Penelitian Tujuan

Penelitian

Metode Penelitian dan

Pendekatan

Hasil Penelitian

Firman (2008)

Persepsi Penghuni Terhadap Permukiman Relokasi di Kota Meulaboh

- Menemukan persepsi penghuni terhadap lingkungan permukiman relokasi

Metode berpikir induktif Metode deskriptif kualitatif

Penghuni memberikan persepsi negatif (tidak puas) terhadap relokasi yang dihuni. Ketidakpuasan yang dirasakan penghuni merupakan ketidakpuasan terhadap legalitas kepemilikan, fisik, kualitas lingkungan, jauhnya aksesibilitas ke lokasi – lokasi strategis dan juga tidak lengkapnya fasilitas – fasilitas pendukung di permukiman relokasi.

17  

Lanjutan Tabel 1.1. Keaslian Penelitian

Nama Peneliti Judul Penelitian Tujuan

Penelitian

Metode Penelitian dan

Pendekatan

Hasil Penelitian

Ikhwanuddin (2014)

Model Ketahanan Masyarakat Lereng Merapi Terhadap Erupsi Di Kabupaten Sleman Yogyakarta

- Mendeskrisikan upaya – upaya masyarakat lereng Merapi dalam menghadapi ancaman bencana erupsi Gunung Merapi

- Merumuskan model deskriptif ketahanan masyarakat sesuai karakteristik masyarakat basis untuk pengembangan suatu model ketahanan masyarakat lereng Merapi dalam menghadapi erupsi Gunung Merapi

Metode deskriptif kualitatif

1. Upaya masyarakat membangun ketahanan adalah terlibat dan berperan serta dalam setiap perencanaan, penyusunan program – program dan pelaksanaan kegiatan mitigasi bencana 2. Masyarakat lereng Merapi memiliki cara untuk bertahan hidup yang dinilai memiiki kemampuan melebihi masnusia pada umumnya 3. Masyarakat memiliki kemampuan dalam hal metamorphosis ekonomi sebagai cara bertahan hidup dan peningkatan ekonomi keluarganya 4. Dukungan wilayah yang subur, infrastruktur wilayah serta pengaturan pengelolaan sumber daya yang baik memberikan nilai lebih dalam proses pembangunan ketahanan masyarakat lereng Merapi

18  

Lanjutan Tabel 1.1. Keaslian Penelitian

Nama Peneliti Judul Penelitian Tujuan

Penelitian

Metode Penelitian dan

Pendekatan

Hasil Penelitian

Pandia (2015) Relokasi Permukiman Desa Suka Meriah Akibat Dari Kejadian Erupsi Gunungapi Sinabung

1. Mengidentifikasi pendapat masyarakat terhadap rencanarelokasi permukiman.

2. Menganalisis lokasi tujuan relokasi permukiman

3. .Mengidentifikasi permasalahan yang terjadi dalam rencana relokasi permukiman.

Analisis deskriptif kualitatif

1. Masyarakat setuju dengan kegiatan relokasi

2. Lokasi tujuan relokasi belum terbangun secara sempurna karena masih dalam tahap prosespembangunan

3. Proses relokasi cenderung lambat terealisasi

19  

1.6. Tinjauan Pustaka

1.6.1. Pendekatan Geografi

Menurut Haggett (1983) dalam Yunus (2010) terdapat 3 pendekatan utama

dalam ilmu geografi yaitu pendekatan keruangan, pendekatan ekologi, dan

pendekatan kompleks wilayah. Pendekatan keruangan adalah suatu metode untuk

memahami gejala tertentu agar mempunyai pengetahuan yang lebih mendalam

melalui media ruang yang dalam hal ini variabel ruang mendapat posisi utama dalam

setiap analisis. Pendekatan ekologi menekankan pada keterkaitan antara fenomena

geosfer tertentu dengan variabel lingkungan yang ada sedangkan pendekatan

kompleks wilayah mengkaji perbedaan karakteristik wilayah yang mendorong suatu

wilayah dapat berinteraksi dengan wilayah lain. Penelitian ini menggunakan

pendekatan ekologi dimana mengkaitkan fenomena geosfer yang berupa erupsi

Gunungapi Sinabung dengan aktivitas masyarakat Desa Suka Meriah. Pembahasan

mengenai relokasi sebagai salah satu solusi terbaik dalam meminimalisir dampak

dari erupsi Gunungapi Sinabung merupakan cara dalam menanggapi fenomena

geosfer yang terjadi.

1.6.2. Permukiman

Permukiman adalah perumahan dengan segala isi dan kegiatan yang ada di

dalamnya. Permukiman tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia itu sendiri.

Sejak adanya masyarakat dengan kemampuan mengembangkan budi dan dayanya

20  

sejak itu pula ada permukiman. Karena itu dapat dikatakan bahwa adanya

permukiman telah seumur peradaban dan kebudayaan manusia itu sendiri

(Kuswartojo, 2010). Bagian permukiman yang disebut wadah tersebut merupakan

paduan unsur : alam (tanah, air, udara, hewan dan tetumbuhan), lindungan (shells)

dan jejaring (networks) sedang isinya adalah manusia dan masyarakat. Alam

merupakan unsur dasar dan di alam itulah diciptakan lindungan (rumah dan gedung

lainnya) sebagai tempat manusia tinggal serta menjalankan fungsi lain dan jejaring

(jalan, jaringan utilitas) yang memfasilitasi hubungan antar sesama maupun antar

unsur yang satu dengan yang lain (Doxiadis, 1971 dalam Kuswartojo, 2010). Secara

lebih sederhana dapat dikatakan bahwa permukiman adalah paduan antara unsur

manusia dengan masyarakatnya, alam dan unsur buatan.

Menurut Sadana (2014), permukiman merupakan bagian dari lingkungan

hidup. Permukiman merupakan bagian dari kawasan budidaya. Permukiman

merupakan tempat tinggal sekaligus sebagai tempat kegiatan yang mendukung

perikehidupan dan penghidupan para penghuninya. Permukiman merupakan kawasan

yang didominasi oleh lingkungan hunian dengan fungsi utama sebagai tempat tinggal.

Permukiman perlu dilengkapi dengan prasarana lingkungan, sarana lingkungan, serta

tempat kerja. Dapat disimpulkan bahwa permukiman merupakan lingkungan tempat

tinggal manusia yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

Permukiman berasal dari kata pemukim. Dari asal katanya, terdapat tiga

istilah penting dalam permukiman yang berbeda maknanya, yaitu pemukim,

21  

pemukiman, dan permukiman (Sadana, 2014). Pemukim adalah penghuni suatu

tempat atau rumah. Pemukim memiliki arti seseorang yang menghuni suatu tempat

tinggal. Pemukiman adalah suatu tindakan untuk memukimkan seseorang pada suatu

lokasi atau tempat tinggal tertentu, sedangkan permukiman dikenal sebagai human

settlement, yaitu : suatu kumpulan manusia baik itu berada di kota maupun di desa,

lengkap dengan aspek- aspek sosial, spiritual, dan nilai- nilai budaya yang

menyertainya.

Lahan permukiman didefenisikan sebagai suatu tempat atau suatu daerah bagi

masyarakat atau penduduk berkumpul dan hidup bersama serta menggunakan

lingkungan setempat untuk mempertahankan, melangsungkan dan mengembangkan

kehidupan (Batubara, 1984 dalam Wuryandari, dkk 2005)

Menurut Kuswartojo (2010), untuk menjamin rencana telah ditetapkan

berbagai pedoman teknis tentang berbagai unsur buatan. Antara lain tentang

kepadatan dan kerapatan bangunan, garis sempadan, lebar jalan, ukuran drainase,

persyaratan sanitasi, penyediaan air bersih, pengelolaan sampah, ruang hijau, fasilitas

umum, fasilitas sosial, dan sebagainya. Kesemua pedoman ini dapat digunakan untuk

menilai rencana permukiman artinya untuk menilai kondisi internal permukiman yang

akan dikembangkan. Namun belum ada pedoman baku untuk menilai dampak

setempat dan kaitannya dengan kondisi eksternal. Tiga aspek yang dijadikan dasar

penilaian yaitu : dampak setempat, rencana pembangunan permukiman dan kaitannya

22  

dengan sekitarnya merupakan kerangka yang dapat mengakomodasikan berbagai

pedoman yang ada.

Menurut (Sastra, 2006 dalam Heydir, 2008) permukiman terbentuk dari

kesatuan isi dan wadah. Kesatuan antara manusia sebagai penghuni (isi) dengan

lingkungan hunian (wadah) akan membentuk suatu komunitas yang secara bersamaan

dapat membentuk suatu permukiman yang mempunyai dimensi yang sangat luas,

dimana batas dari permukiman biasanya berupa batas geografis yang ada di

permukaan bumi. Elemen- elemen permukiman yaitu isi dan wadah yang terdiri dari

beberapa unsur antara lain : alam, manusia, masyarakat, bangunan/ rumah, dan

networks. Alam memiliki beberapa komponen di dalamnya yang meliputi geologi,

topografi, tanah, air, tumbuh – tumbuhan, hewan dan iklim. Di dalam suatu wilayah

permukiman, manusia merupakan pelaku utama kehidupan, disamping makhluk

hidup seperti hewan, tumbuhan dan lainnya. Sebagai makhluk yang paling sempurna,

dalam kehidupannya manusia membutuhkan berbagai hal yang dapat menunjang

kelangsungan hidupnya, baik itu kebutuhan biologis (ruang, udara, temperatur dan

lain- lain), perasaan dan persepsi, kebutuhan emosional, serta kebutuhan akan nilai-

nilai moral.

Masyarakat merupakan kesatuan sekelompok orang (keluarga) dalam suatu

permukiman yang membentuk suatu komunitas tertentu. Hal- hal yang berkaitan

dengan permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat yang mendiami suatu wilayah

permukiman yakni kepadatan dan komposisi penduduk, kelompok sosial, adat dan

23  

kebudayaan, pengembangan ekonomi, pendidikan, kesehatan dan hukum dan

administrasi. Bangunan (rumah) merupakan wadah bagi manusia (keluarga). Oleh

karena itu dalam perencanaan dan pengembangannya perlu mendapatkan perhatian

khusus agar sesuai dengan rencana kegiatan yang berlangsung di tempat tersebut.

Networks merupakan sistem buatan maupun alam yang menyediakan fasilitas untuk

operasional suatu wilayah pemukiman. Untuk sistem buatan, tingkat pemenuhannya

bersifat relatif dimana antara wilayah permukiman yang satu dan yang lain ridak

harus sama. Sistem buatan yang keberadaannya diperlukan di dalam suatu wilayah

antara lain adalah : sistem jaringan air bersih, sistem jaringan listrik, sistem

transportasi, sistem komunikasi, drainase dan air kotor dan tata letak fisik (Sastra,

2006 dalam Heydir, 2008).

Lokasi lingkungan perumahan harus memenuhi ketentuan (SNI 03-1733-2004)

sebagai berikut :

a) Lokasi perumahan harus sesuai dengan rencana peruntukan lahan yang diatur

dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) setempat atau dokumen

perencanaan lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah setempat,

dengan kriteria sebagai berikut :

1. Kriteria keamanan, dicapai dengan mempertimbangkan bahwa lokasi

tersebut bukan merupakan kawasan lindung (catchment area), olahan

pertanian, hutan produksi, daerah buangan limbah pabrik, daerah bebas

24  

bangunan pada area bandara, daerah di bawah jaringan listrik tegangan

tinggi ;

2. Kriteria kesehatan, dicapai dengan mempertimbangkan bahwa lokasi

tersebut bukan daerah yang mempunyai pencemaran udara di ambang

batas, pencemaran air permukaan dan air tanah dalam ;

3. Kriteria kenyamanan, dicapai dengan kemudahan pencapaian

(aksesibilitas), kemudahan berkomunikasi (internal/ eksternal, langsung

atau tidak langsung), kemudahan berkegiatan (prasarana dan sarana

lingkungan tersedia) ;

4. Kriteria keindahan/ keserasian/ keteraturan (kompatibilitas), dicapai

dengan penghijauan, mempertahankan karakteristik topografi dan

lingkungan yang ada, misalnya tidak meratakan bukit, mengurug seluruh

rawa atau danau/ setu/ sungai/ kali dan sebagainya ;

5. Kriteria fleksibilitas, dicapai dengan mempertimbangkan kemungkinan

pertumbuhan fisik/ pemekaran lingkungan perumahan dikaitkan dengan

kondisi fisik lingkungan dan keterpaduan prasarana ;

6. Kriteria keterjangkauan jarak, dicapai dengan mempertimbangkan

jarak pencapaian ideal kemampuan orang berjalan kaki sebagai pengguna

lingkungan terhadap penempatan sarana dan prasarana- utilitas

lingkungan;

25  

7. Kriteria lingkungan berjati diri, dicapai dengan mempertimbangkan

keterkaitan dengan karakter sosial budaya masyarakat setempat, terutama

aspek kontekstual terhadap lingkungan tradisional/ lokal setempat.

b) Lokasi perencanaan perumahan harus berada pada lahan yang jelas status

kepemilikannya, dan memenuhi persyaratan administratif, teknis dan

ekologis.

c) Keterpaduan antara tatanan kegiatan dan alam di sekelilingnya, dengan

mempertimbangkan jenis, masa tumbuh dan usia yang dicapai, serta

pengaruhnya terhadap lingkungan, bagi tumbuhan yang ada dan mungkin

tumbuh di kawasan yang dimaksud.

1.6.3. Relokasi

Relokasi adalah upaya pemindahan sebagian atau seluruh aktivitas berikut

sarana dan prasarana penunjang aktivitas dari satu tempat ke tempat lain guna

mempertinggi faktor keamanan, kelayakan, legalitas pemanfaatan dengan tetap

memperhatikan keterkaitan antara yang dipindah dengan lingkungan alami dan

binaan di tempat tujuan (Kementerian Pekerjaan Umum, 2010)

Menurut Asian Development Bank (2002) dalam Justitie (2009) relokasi

dapat menimbulkan berbagai dampak seperti hilangnya sumber- sumber poduktif

termasuk lahan, hilangnya pendapatan dan mata pencaharian, serta menurunnya

kultur budaya dan kegotongroyongan yang ada dalam masyarakat. Lokasi dan

26  

kualitas tempat relokasi baru adalah faktor penting dalam perencanaan relokasi,

karena sangat menentukan beberapa hal seperti kemudahan menuju lahan usaha,

jaringan sosial, pekerjaan, bidang usaha, kredit, dan peluang pasar. Setiap lokasi

mempunyai keterbatasan dan peluang masing masing. Memilih lokasi yang sama baik

dengan kawasan yang dahulu dari segi karakteristik lingkungan, sosial, budaya dan

ekonomi akan lebih memungkinkan relokasi dan pemulihan pendapatan berhasil. Jadi

pemilihan lokasi harus dipertimbangkan sebagai bagian dari Studi Kelayakan.

Pemilihan lokasi harus memperhitungkan dampak terhadap masyarakat setempat.

Permasalahan seperti kualitas lahan, daya tampung lokasi, kekayaan milik umum,

sumberdaya, dan sarana dan prasarana yang mendukung perlu dipertimbangkan

selama studi kelayakan. Adapun dampak orang yang terkena relokasi dapat dilihat

pada tabel 1.2.

Tabel 1.2. Dampak Orang yang Terkena Relokasi

Orang yang terkena dampak Dampak

Petani penyewa/ bagi hasil Kehilangan kesempatan menyewa lahan dan hilangnya penghasilan dari lahan tersebut, kehilangan tanaman dan sumber pengembangan tanaman

Pekerja tanpa lahan atau upahan

Kehilangan kesempatan bekerja dari lahan terkena dampak

Penduduk liar dan pedagang kecil

Kehilangan pekerjaan atau pendapatan dari relokasi

Penduduk suku terasing Kehilangan hak adat terhadap lahan dan mata pencaharian

Kaum wanita dan wanita yang menjadi kepala rumah tangga

Kehilangan akses atas lahan atau harta kekayaan yang sah milik anggota keluarga

Sumber : (the world bank, 2002 dalam Justitie, 2009)

27  

Menurut Asian Development Bank (2002 dalam Justitie, 2009) langkah

langkah pencegahan timbulnya dampak dari adanya suatu relokasi dapat dilihat pada

tabel 1.3.

Tabel 1.3. Dampak relokasi dan langkah penanggulangannya

Jenis Dampak Langkah Penanggulangan

Kehilangan sumber yang produktif termasuk lahan, pendapatan dan mata pencaharian

a. Ganti rugi sesuai harga penggantian bagi pendapatan dan mata pencaharian yang hilang

b. Penggantian pendapatan dan biaya pemindahan selama waktu pembangunan kembali serta langkah pemilihan pendapatan bagui yang kehilangan mata pencaharian

Kehilangan perumahan, mungkin seluruh struktur, sistem dan fasilitas sosial masyarakat

Ganti rugi bagi perumahan dan kekayaan yang hilang sesuai dengan harga penggantian relokasi termasuk pembangunan tempat relokasi kalau perlu dan langkah langkah memperbaiki taraf hidup

Kehilangan kekayaan lain Ganti rugi sesuai dengan harga penggantian atau diganti

Kehilangan sumber daya masyarakat, lingkungan, peninggalan budaya dan harta lainnya

Diganti atau ganti rugi yang sesuai dengan harta penggantian, serta langkah langkah pemulihan

Sumber : (Asian Development Bank, 2002 dalam Justitie, 2009)

Hal terpenting dalam merelokasi adalah pemilihan lokasinya. Dalam buku

panduan dari Asian Development Bank (2002 dalam Justitie, 2009) diterangkan

bahwa prioritas relokasi meliputi:

28  

a. Pemilihan lokasi alternatif

Pemilihan lokasi terbaik sangat penting dengan pilihan pilihan alternatif yang

melibatkan permukiman kembali yang potensial dan penduduk setempat

dalam proses tersebut.

b. Studi kelayakan

Melakukan studi kelayakan dengan memperhatikan potensi kawasan dari segi

ekologi, harga lahan, pekerjaan, kemungkinan untuk memperoleh kredit,

pemasaran, dan peluang ekonomi lainnya untuk mata pencaharian penduduk

yang terkena dampak dan masyarakat setempat.

c. Susunan dan rancangan

Susunan dan rancangan kawasan relokasi harus sesuai dengan spesifikasi dan

kebiasaan budaya, mengidentifikasi lokasi sekarang terhadap berbagai

prasarana fisik dan sosial masyarakat yang terkena dampak.

d. Pembangunan lokasi permukiman kembali

Seluruh sarana dan prasarana fisik dan sosial harus sudah siap sebelum

pemukim diminta untuk pindah ke lokasi.

1.6.4. Gunungapi Sinabung

Gunungapi ialah tempat dimana magma keluar ke permukaan bumi (Santoso,

1992). Menurut Gazlay (2008), gunungapi aktif dapat bereaksi dengan sejumlah cara

yang berbeda. Gunungapi bisa dengan mudah melepaskan uap panas dan gas- gas

lain. Gunungapi juga bisa memiliki atau tidak memiliki aliran lava. Gunungapi itu

29  

juga bisa meledak atau tidak. Beberapa gunungapi beralih dari satu reaksi ke reaksi

lain selama satu periode aktif. Berikut ini merupakan jenis letusan yang paling umum,

mulai dari yang paling tenang sampai yang paling hebat.

Secara administratif Gunungapi Sinabung termasuk ke dalam wilayah

Kabupaten Tanah Karo, Provinsi Sumatera Utara. Secara geografis, puncaknya

terletak pada koordinat 03º 10’ 00” LU, dan 98º 23’ 30” BT (Peta Bakosurtanal,

1982, Lembar Kabanjahe/Lembar 0619-22); Atlas Trop. Ned.. 1938, Lembar 12b).

Sebelum terjadi erupsi Agustus 2010, Gunungapi Sinabung diklasifikasikan ke dalam

tipe gunungapi strato Tipe B (klasifikasi Direktorat Vulkanologi), sejarah erupsinya

tidak diketahui. Sejak 29 Agustus 2010 gunungapi ini diklasifikasikan ke dalam

gunungapi aktif Tipe A. Hal ini berdasarkan peristiwa erupsi fratik yang diikuti oleh

erupsi abu.

Tingkat kerawanan bencana Gunungapi Sinabung dibagi menjadi tiga tingkat

(secara berurutan dari tertinggi ke terendah) yaitu : Kawasan rawan bencana III,

Kawasan rawan bencana II, dan Kawasan rawan bencana I dapat dilihat dari Gambar

1.1 (Gunawan et al., 2014).

Kawasan Rawan Bencana III

Kawasan rawan bencana III adalah kawasan yang sangat berpotensi terlanda

awan panas, aliran dan guguran lava, gas beracun, lontaran batu (pijar), dan hujan abu

lebat. Lokasi Desa Suka Meriah berada dalam kawasan rawan bencana. Kawasan

30  

rawan bencana III Gunungapi Sinabung terdiri atas dua bagian yaitu : kawasan rawan

bencana terhadap awan panas, aliran dan guguran lava, dan gas beracun serta

kawasan rawan bencana terhadap material, lontaran batu (pijar), dan hujan abu lebat.

a. Kawasan rawan bencana terhadap awan panas

Apabila Gunungapi Sinabung meletus kembali pada masa datang dengan jenis

dan tipe erupsi yang relative identik dengan erupsi-erupsi sebelumnya, maka pola

aliran massanya diprediksi relatif sama. Kemungkinan akan mengarah terutama ke

bagian Selatan-Tenggara (sesuai dengan arah bukan kawahnya) dengan jarak jangkau

maksimum 5 km dari pusat erupsi. Apabila skala erupsinya membesar (dengan

asumsi kondisi topografi tidak berubah), maka kemungkinan dapat terjadi perluasan

aliran awan panas ke arah selatan, tenggara, dan baratdaya. Ke arah-arah tersebut

jarak jangkaunya diprediksi dapat mencapai jarak lebih kurang 5 km dari pusat

erupsi.

b. Kawasan rawan bencana terhadap aliran dan guguran lava

Berdasarkan keadaan topografi/morfologi daerah puncak dan kawah

Gunungapi Sinabung saat ini apabila pada erupsi mendatang terjadi lagi aliran lava,

maka sebarannya diperkirakan hanya di sekitar puncak/di dalam Kawah Sinabung.

Apabila erupsinya membesar, maka kemungkinan lava akan mengalir lebih jauh dari

pusat erupsi dan cenderung akan mengalir ke sektor selatan-tenggara dengan jarak

jangkau maksimum 3-4 km dari pusat erupsi. Apabila terjadi peristiwa guguran lava,

31  

maka cenderung hanya di sekitar puncak dan lereng atas bagian selatan-tenggara

Gunungapi Sinabung.

c. Kawasan rawan bencana terhadap gas beracun

Gas beracun diprediksi hanya terdapat di sekitar kawah aktif dan lembah-

lembah sungai besar yang berhulu di puncak. Untuk mengantisipasi skala erupsi

Gunungapi Sinabung yang relatif besar dari skala erupsi pada masa silam, maka

radius lingkaran sebaran gas beracun diperdiksi hingga radius 2 km dari pusat erupsi.

d. Kawasan rawan bencana terhadap material lontaran dan hujan abu

lebat

Berdasarkan erupsi terdahulu, material lontaran batu (pijar) dan hujan abu

lebat dapat mencapai jarak maksimum 1,5 km. Untuk mengantisipasi skala erupsi

Gunungapi Sinabung yang relatif besar dari skala erupsi masa silam. Maka sebaran

material lontaran batu pijar berukuran lebih dari 6 cm, dan hujan abu lebat dibatasi

hingga radius 3 km dari pusat erupsi.

Kawasan Rawan Bencana II

Kawasan rawan bencana II adalah kawasan yang berpotensi terlanda awan

panas, aliran lava, guguran lava, lontaran batu (pijar), dan hujan abu lebat. Kawasan

ini dibedakan menjadi dua bagian yaitu: kawasan rawan bencana terhadap awan

32  

panas, aliran dan guguran lava serta kawasan rawan bencana terhadap material

lontaran batu (pijar) dan hujan abu lebat.

a. Kawasan rawan bencana terhadap awan panas

Kawasan yang kemungkinan terlanda awan panas adalah sektor Selatan-

Tenggara, dan Timur-Tenggara. Apabila skala erupsinya membesar, maka

kemungkinan dapat terjadi perluasan aliran awan panas kea rah Baratdaya dan

Timurlaut. Jarak jangkaunya diprediksi dapat mencapai jarak maksimum lebih kurang

5 km dari pusat erupsi.

b. Kawasan rawan bencana terhadap aliran dan guguran lava

Berdasarkan keadaan topografi/morfologi daerah puncak dan kawah

Gununapi Sinabung (2013), apabila pada erupsi yang akan datang terjadi aliran lava,

maka sebarannya diperkirakan akan melanda daerah selatan-tenggara (sesuai dengan

arah bukaan kawahnya), dan mungkin saja mengarah pula ke timur-tenggara, dan

timurlaut. Apabila erupsinya lebih kecil, maka sebarannya diprediksi hanya terbatas

di sekitar puncak/kawah.

c. Kawasan rawan bencana terhadap material lontaran dan hujan abu

lebat

Berdasarkan data lapangan, bahwa material lontaran batu (pijar) berukuran 2 –

6 cm ditemukan di beberapa sector di lereng tengah dan atas Gunungapi Sinabung

33  

pada radius antara 2 – 4,5 Km dari pusat erupsi. Untuk mengantisipasi skala erupsi

Gunungapi Sinabung yang relatif lebih besar dari skala erupsi di masa silam, maka

radius lingkaran sebaran material lontaran batu pijar dan hujan abu lebat dibatasi

hingga radius 5 Km dari pusat erupsi.

Kawasan Rawan Bencana I

Kawasan rawan bencana I adalah kawasan yang berpotensi terlanda lahar.

Apabila erupsinya membesar. Kawasan ini berpotensi tertimpa hujan abu dan

lontaran batu (pijar). Kawasan Rawan Bencana I ini dibedakan menjadi dua bagian

yakni : kawasan rawan bencana terhadap lahar serta kawasan rawan bencana terhadap

hujan abu dan kemungkinan material lontaran batu (pijar).

a. Kawasan rawan bencana terhadap aliran lahar

Pembentukan lahar kemungkinan besar dapat terjadi di daerah selatan-

tenggara, baratdaya, tenggara, dan timurlaut. Hal ini sangat erat kaitannya dengan

keberadaan sejumlah sungai besar yang berhulu di pusat erupsi. Besar/kecilnya

volume lahar tergantung dari beberapa faktor penunjang, diantaranya adalah;

kemiringan lereng, material pembentuk (umumnya bersumber dari fragmen

pembentuk aliran dan jatuhan piroklastik), curah hujan (terutama pada saat atau

sesaat paska erupsi). Besar/kecilnya dampak yang ditimbulkan tergantung pula pada

seberapa besar resiko bahaya sekunder yang harus diperhitungkan karena di sebagian

34  

sektor-sektor tadi banyak terdapat unit pemukiman dengan kerapatan penduduk

jarang-sedang.

b. Kawasan rawan bencana terhadap material lontaran batu (pijar) dan

hujan abu

Berdasarkan sejarah erupsi Gunungapi Sinabung di masa silam menunjukkan

bahwa, lontaran batu (pijar) berukuran maksimum 2 cm dapat mecapai jarak antara 5

- 6 km dari pusat erupsi. Sementara abu letusan dapat mencapai jarak lebih dari 6 km,

hal ini sangat tergantung kepada arah dan kecepatan angin pada saat erupsi. Sehingga,

lokasi tersebut sangat berpotensi terlanda awan panas, aliran dan guguran lava, gas

beracun, lontaran batu (pijar), dan hujan abu lebat. Untuk mengantisipasi skala

erupsi Gunungapi Sinabung yang lebih besar dari skala erupsi di masa silam, maka

radius lingkaran sebaran material lontaran batu pijar dan hujan abu dibatasi hingga

radius 7 km dari pusat erupsi.

Tingkat kegiatan gunungapi menjadi dasar dalam peningkatan kewaspadaan

masyarakat terhadap ancaman bahaya erupsi. Maka dari itu tingkat kewaspadaan

masyarakat dibagi menjadi beberapa level berdasarkan tingkat kegiatan

gunungapinya antara lain : tingkat kegiatan gunungapi pada tingkat normal (level I),

tingkat kegiatan gunungapi pada tingkat waspada (level II), tingkat kegiatan

gunungapi pada tingkat siaga (level III) dan tingkat kegiatan gunungapi pada tingkat

awas (level IV)

35  

a. Tingkat kegiatan gunungapi pada tingkat normal (level I)

Masyarakat dalam kawasan rawan bencana III, II, dan I dapat melakukan

kegiatan sehari-hari khusus untuk kegiatan di daerah puncak/pusat erupsi, masyarakat

harus tetap waspada dan mematuhi peraturan Pemerintah Daerah (Pemda) sesuai

degan saran teknis dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG).

b. Tingkat kegiatan gunungapi pada tingkat waspada (level II)

Masyarakat dalam kawasan rawan bencana III, II, dan I dapat melakukan

kegiatan sehari-hari. Khusus untuk kegiatan di kawasan rawan bencana III,

masyarakat harus tetap waspada dan mematuhi peraturan Pemda sesuai dengan saran

teknis dari PVMBG.

c. Tingkat kegiatan gunungapi pada tingkat siaga (level III)

Masyarakat dalam kawasan rawan bencana III, dan II harus menyiapkan diri

untuk mengungsi sambil menunggu perintah dari Pemda sesuai dengan saran teknis

dari PVMBG.

d. Tingkat kegiatan gunungapi pada tingkat awas (level IV)

Masyarakat dalam kawasan rawan bencana III, dan II harus sudah mengungsi

dan masyarakat dalam kawasan rawan bencana I harus meningkatkan

kewaspadaannya dan mematuhi peraturan Pemda sesuai saran teknis dari PVMBG.

Khusus masyarakat dalam kawasan rawan bencana I yang bermukim berdekatan

36  

dengan sungai yang berhulu di daerah puncak agar lebih meningkatkan

kewaspadaannya terhadap ancaman lahar apabila terjadi hujan.

1.6.5. Pengertian Pendapat (Opini)

Dalam penelitian ini, yang dimaksudkan sebagai pendapat adalah mengacu

kepada sesuatu yang dipikirkan atau diyakini dan dinyatakan orang tentang sesuatu

hal (Olii dan Erlita, 2011). Ketika publik menghadapi isu, maka timbul perbedaan

pendapat diantara mereka. Perbedaan pendapat muncul karena :

a. Perbedaan pandangan terhadap fakta

b. Perbedaan perkiraan tentang cara- cara terbaik untuk mencapai tujuan

c. Perbedaan motif untuk mencapai tujuan

Manusia memiliki dua jenis kepentingan di dalam hidupnya yaitu kepentingan

pribadi (self interest) dan kepentingan kelompok (social interest). Kepentingan

pribadi dan kepentingan kelompok memiliki hubungan yang erat dan sulit dipisahkan.

Seseorang dapat menyatakan bahwa ia melakukan sesuatu demi social interest- nya,

namun kenyataannya juga merealisasi self interest. Manusia hidup sebagai makhluk

sosial. Manusia hidup dalam masyarakat yang mempunyai bermacam - macam

kebutuhan. Kebutuhan masyarakat menyebabkan terjadinya komunikasi. Manusia

memerlukan komunikasi sebagai alat pemenuhan kebutuhan, yaitu kebutuhan mental.

Kebutuhan mental tersebut yang mendorong manusia mengeluarkan opininya (Olii

dan Erlita, 2011).

37  

Menurut Doob dalam Susanto (1975) Sikap yang mendahului pendapat adalah

hasil dari rangsangan luar yang telah diolah manusia dalam dirinya, sesuai dengan

hasil pendidikannya, pengalamannya, perasaannya, maka dari itu pendapat umum

merupakan hasil dari sikap sekumpulan orang yaitu sikap yang memperlihatkan

reaksi yang sama terhadap rangsangan luar yang sama. Hubungan erat antara sikap

dan pendapat dengan sendirinya menyimpulkan bahwa suatu pendapat dapat

dinyatakan (expressed) dan dapat juga tidak dinyatakan akan tetapi ada ataupun

disadari (laten).

Setiawan (1983) mengatakan bahwa pendapat adalah pernyataan yang bersifat

kontroversial. Pendapat tersebut dapat berupa sikap pro ataupun kontra terhadap

sesuatu hal.

Ciri- ciri pendapat publik menurut Setiawan (1983) yaitu :

1. Pendapat tersebut merupakan perilaku para individu

2. Pendapat tersebut dinyatakan oleh banyak orang

3. Pendapat tersebut dirangsang dan diarahkan pada obyek dan situasi yang

telah diketahui secara umum

4. Pendapat tersebut dinyatakan suatu kesadaran bahwa orang orang lainnya

juga akan memberikan reaksi terhadap situasi dengan suatu cara yang

sama pula

38  

5. Pendapat tersebut diekspresikan atau paling tidak telah siap untuk

diekspresikan

39  

1.7. Kerangka Pemikiran

Desa Suka Meriah merupakan salah satu desa terparah yang terkena dampak

erupsi Gunungapi Sinabung. Desa Suka Meriah berada dalam kawasan rawan

bencana III sehingga sangat berpotensi terhadap ancaman aliran piroklastik.

Pemerintah menetapkan kebijakan untuk merelokasi desa tersebut ke lokasi yang

dianggap lebih aman khususnya aman dari bencana erupsi Gunungapi Sinabung.

Penetapan kebijakan relokasi tersebut merupakan solusi terbaik dalam mengurangi

dampak dari erupsi Gunungapi Sinabung. Untuk menganalisis kegiatan relokasi

tersebut, penelitian ini menetapkan tiga tujuan penelitian yakni mengidentifikasi

pendapat masyarakat terhadap rencana relokasi, menganalisis lokasi tujuan relokasi

permukiman, dan mengkaji permasalahan yang terjadi dalam rencana relokasi.

Tujuan pertama yakni mengidentifikasi tentang pendapat masyarakat terkait

proses rencana relokasi desa asal mereka ke Kawasan Siosar sebagai lokasi tujuan

relokasi. Pendapat masyarakat yang dimaksud dapat berupa setuju maupun

ketidaksetujuan masyarakat dan faktor yang mempengaruhi pendapat mereka

tersebut. Kemudian pendapat mereka mengenai kriteria pembangunan permukiman

baru yang mereka harapkan dan harapan masyarakat terhadap proses relokasi. Tujuan

kedua adalah menganalisis lokasi tujuan relokasi. Terdapat 3 kondisi yang akan

ditinjau dalam tujuan kedua ini yakni : kondisi fisik, kondisi sosial, maupun kondisi

ekonomi. Di dalam kondisi fisik terdapat beberapa variabel yang diteliti yakni :,

kondisi rumah, air bersih, sanitasi, listrik, aksesibilitas, dan jalan. Kondisi sosial

40  

membahas mengenai ketersediaan fasilitas umum dan sosial yang nantinya akan

meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dan yang terakhir kondisi ekonomi

membahas tentang status kepemilikan lahan, mata pencaharian dan peluang kerja.

Hasil dari pembahasan tujuan kedua ini diharapkan dapat mengetahui kondisi

eksisting dari permukiman baru. Tujuan ketiga yakni menganalisis permasalahan

yang terjadi dalam rencana relokasi permukiman. Dalam tujuan ketiga ini ada

beberapa pihak yang akan diidentifikasi yakni permasalahan yang berasal dari

masyarakat dan permasalahan yang berasal dari pemerintah. Hasil dari tujuan ketiga

ini diharapkan dapat mengetahui permasalahan yang dihadapi saat relokasi

permukiman sedang berlangsung.

Berdasarkan hasil dari ketiga tujuan yang telah dibahas di atas maka dapat

disesuaikan bagaimana pendapat masyarakat yang akan direlokasi dan bagaimana

kondisi eksisting dari permukiman baru yang berada lokasi tujuan relokasi. Hal

tersebut kemudian disesuaikan dengan permasalahan yang terjadi di antara pihak

yang bersangkutan tersebut yakni masyarakat maupun pemerintah. Sehingga

penelitian ini dapat membantu memberikan arahan terhadap kebijakan relokasi yang

telah ditetapkan oleh pemerintah. Untuk dapat lebih memahami kerangka pemikiran

penelitian ini dapat dilihat dari gambar 1.2.

41  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  Gambar 1.2. Diagram Alir Kerangka Pemikiran

Kondisi eksisting permukiman baru

Fisik Sosial

Mengidentifikasi permasalahan yang terjadi dalam proses

Hambatan oleh masyarakat

Hambatan oleh

pemerintah

Permasalahan yang dihadapi

Kebijakan relokasi merupakan solusi terbaik meminimalisir risiko terhadap ancaman aliran

piroklastik

Desa Suka Meriah sebagai salah satu desa terparah terkena dampak erupsi Gunungapi Sinabung dan

terletak di KRB III

Mengidentifikasi pendapat masyarakat terhadap proses

relokasi permukiman

Menganalisis lokasi tujuan relokasi permukiman

Ekonomi

Arahan terhadap kebijakan

Setuju/ tidak setuju

terhadap proses

relokasi

Kriteria permukiman

baru

Harapan masyarakat

terkait proses relokasi

42  

1.8. Batasan Operasional

Permukiman merupakan bagian dari kawasan budidaya yang terletak

di luar kawasan lindung. Permukiman merupakan tempat tinggal sekaligus

sebagai tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan

para penghuninya.

Relokasi adalah upaya pemindahan sebagian atau seluruh aktivitas

berikut sarana dan prasarana penunjang aktivitas dari satu tempat ke tempat

lain dengan tetap memperhatikan keterkaitan antara yang dipindah dengan

lingkungan alami dan binaan di tempat tujuan.

Gunungapi ialah tempat dimana magma keluar ke permukaan bumi

(Santoso, 1992). Dari definisi di atas jelaslah bahwa bentuk bentuk luar dari

suatu gunungapi tidak perlu berbentuk kerucut, melainkan dapat sebagai

bentuk lain yakni hanya lubang kepundan saja atau bentuk lain sebagai rekah

memanjang dan sebagainya.

Pendapat dalam penelitian ini merupakan sesuatu yang dipikirkan atau

diyakini dan dinyatakan orang tentang sesuatu hal. Ketika publik menghadapi

isu, maka timbul perbedaan pendapat diantara mereka. Perbedaan pendapat

muncul karena perbedaan pandangan terhadap fakta, perbedaan perkiraan

tentang cara- cara terbaik untuk mencapai tujuan, perbedaan motif untuk

mencapai tujuan.