bab i pendahuluan 1.1. latar belakang masalah i.pdfkedaulatan berasal dari kata sovereignty, hak...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan Negara kesatuan yang terletak di antara dua benua yakni benua
Asia dan benua Australia serta samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Posisi Indonesia sangat
strategis dan berada dalam persimpangan lalu lintas dunia. Negara kesatuan yang berdaulat yang
terdiri dari wilayah, pemerintah dan penduduk yang menempati suatu wilayah. Artinya,
Indonesia memiliki kedaulatan mutlak terhadap wilayah darat, perairan (laut), dan udara di
atasnya. Indonesia memiliki penduduk ± 259.940.857 jiwa.
Kedaulatan berasal dari kata sovereignty, hak berdaulat (sovereignty rights), yurisdiksi
dan hak-hak lain Indonesia atas perairannya ditetapkan dalam berbagai produk hukum Nasional
dan dilaksanakan dengan kegiatan penegakkan kedaulatan dan hukum. Kedaulatan sebagai
kekuasaan tertinggi dijabarkan dalam kewenangan-kewenangan atau hak Negara, antara lain
dalam yurisdiksi di wilayah tersebut (diartikan sebagai kewenangan untuk membuat dan
menegakkan peraturan hukum dalam suatu daerah/tempat berlakunya sebuah undang-undang).1
Kedaulatan teritorial suatu Negara meliputi lapisan tanah sebelah bawah, air (laut) beserta
isinya, tanah di bawah air (landas kontinen), pantai dengan batas tertentu, seperti perairan
teritorial dan ruang udara di atas benua serta wilayah perairan (laut). Wilayah merupakan atribut
yang nyata dari kenegaraan dan dalam wilayah geografis tertentu yang ditempatinya, suatu
Negara menikmati dan melaksanakan kedaulatan termasuk rakyat yang ada di dalam wilayah
tersebut.
Berdasarkan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, selanjutnya disingkat UUDNRI Tahun 1945, menyebutkan :
1 Luh Putu Sudini, 2013, Pengelolaan Pencemaran Laut di Indonesia, Titah Surga, Yogyakarta, hal.73-74
1
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Pengertian dari sebesar-besarnya kemakmuran rakyat adalah diharapkan wilayah Indonesia yakni
tanah beserta bangunan yang digunakan baik oleh warga Negara Indonesia maupun asing dapat
berpartisipasi dalam meningkatkan kesejahteraan, kemakmuran serta membantu perekonomian
rakyat Indonesia dengan cara membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat luas khususnya bagi
penduduk Indonesia. Perwujudannya adalah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (untuk selanjutnya disebut UUPA).
Wilayah yakni bumi beserta isinya, baik itu tanah, bangunan serta masyarakat yang
menempati suatu wilayah. Pengertian bumi menurut Pasal 1 ayat (4) UUPA adalah permukaan
bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Permukaan bumi
menurut Pasal 4 ayat (1) UUPA adalah tanah.2 Sedangkan Hukum Agraria (Agrarish Recht)
menurut Soebekti dan R. Tjitrosoedibio, adalah keseluruhan dari ketentuan-ketentuan hukum,
baik hukum perdata maupun hukum tata usaha Negara (Administratifrecht) yang mengatur
hubungan-hubungan antara orang termasuk badan hukum dengan bumi, air, dan ruang angkasa
dalam seluruh wilayah Negara dan mengatur pula wewenang-wewenang yang bersumber pada
hubungan-hubungan tersebut.3
Tanah adalah bagian permukaan bumi,4 yang merupakan benda yang sangat istimewa,
karena tanah sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup termasuk manusia tidak dapat hidup tanpa
tanah. Oleh karena semua kebutuhan hidup manusia dapat dipenuhi oleh tanah, maka semua
manusia membutuhkan tanah, sehingga tanah dapat berpotensi sebagai pemicu krisis sosial.
2 A.P. Parlindungan (selanjutnya disebut A.P Perlindungan-1), 1991, Komentar Atas Undang-Undang
Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, hal.36 3 Urip Santoso, 2012, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
(selanjutnya disingkat Urip Santoso I), hal. 5 4 Em Zul Fajri, 2007, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Difa Publisher, Jakarta, hal.790
Bagi orang Indonesia, tanah merupakan masalah yang paling pokok dapat ditinjau dari
banyaknya perkara perdata maupun pidana yang diajukan ke pengadilan yaitu berkisar persoalan
sengketa mengenai tanah. Berdasarkan banyaknya perkara yang menyangkut tanah, dapat dilihat
bahwa tanah memegang peranan sentral dalam kehidupan dan perekonomian masyarakat
Indonesia. Sengketa tanah tersebut antara lain menyangkut sengketa warisan, hutang piutang
dengan tanah sebagai jaminan, sengketa tata usaha Negara mengenai penerbitan sertifikat tanah,
serta pembuatan melawan hukum lainnya.5
Hak bangsa Indonesia atas tanah ini merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi
dan meliputi semua tanah yang ada dalam wilayah Negara, yang merupakan tanah bersama,
bersifat abadi dan menjadi induk bagi hak-hak penguasaan yang lain atas tanah. Pengaturan
mengenai penguasaan hak atas tanah ini dimuat dalam Pasal 1 ayat (1) dan ayat (3) UUPA.6
Asas nasionalitas yang dianut Indonesia terhadap tanah telah tercermin dalam UUPA.
Sebagai kawasan yang dimiliki oleh bangsa yang berdaulat dan bersatu, seluruh wilayah
Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia dengan hubungan yang bersifat
abadi. Asas nasionalitas ini memiliki konsekuensi yang jauh terhadap pemilikan atau pemegang
hak milik atas tanah di Indonesia, yaitu yang diperbolehkan mempunyai hak milik adalah hanya
warga Negara Indonesia.7
Tanah hanya boleh dipunyai warga Negara Indonesia dari sebuah Negara yang
menguasai seluruh kawasan Negara yang bersangkutan. Seandainya Warga Negara Asing (untuk
selanjutnya disebut WNA) diizinkan memiliki tanah di Indonesia, maka sedikit demi sedikit
tanah di wilayah Indonesia akan beralih hak kepada orang asing. Hal ini sekaligus akan
5 Sunaryati Hartono, 1978, Beberapa Pemikiran ke Arah Pembaruan Hukum Tanah, Alumni, Bandung,
hal.7 6 Urip Santoso I, op cit, hal.78 7 Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, hal.7
membahayakan kedaulatan Negara dan warga Negara Indonesia terancam tidak menjadi tuan
rumah di Negara sendiri.8
Hak menguasai dari Negara memberi wewenang kepada Negara untuk : 1. Mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang
angkasa tersebut, 2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.9
Mengenai hak menguasai Negara diatur di dalam Pasal 2 UUPA. Hak ini bersumber dari
hak Bangsa Indonesia, hak menguasai dari Negara merupakan kewenangan yang bersifat publik,
sehingga hak ini tidak sama dengan konsep domain yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial
Belanda. Subyek dari hak menguasai Negara adalah Negara Republik Indonesia sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia dan meliputi semua tanah yang berada di wilayah
Republik Indonesia, baik tanah yang belum maupun yang sudah dihaki dengan hak perorangan.
Tanah yang belum di haki dengan hak perorangan disebut tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara (dalam praktik administrasi disebut tanah Negara), sedangkan tanah yang sudah dihaki
dengan hak perseorangan disebut tanah hak milik.10
Hak perseorangan atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang
haknya (perseorangan, sekelompok orang secara bersama-sama, badan hukum) untuk memakai,
dalam arti menguasai, menggunakan, dan/atau mengambil manfaat dari tanah tertentu. Hak-hak
perseorangan atas tanah berupa hak atas tanah, tanah hak milik, hak tanggungan, dan hak milik
8 Ibid, hal 8 9 Budi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah,
Djambatan, Jakarta, hal.6 10 Wibowo Tunardy, 2013, “Macam-Macam Hak Penguasaan Atas Tanah” available from : URL : http
://www.jurnalhukum.com/macam-macam-hak-penguasaan-atas-tanah, diakses tanggal 13 Februari 2015, pukul.
22.45 WITA
atas satuan rumah susun.11 Sesuai dengan ketentuan Pasal 16 ayat (1) UUPA menyebutkan
mengenai jenis dari hak-hak atas tanah yakni sebagai berikut:
“Hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) ialah : a. Hak Milik,
b. Hak Guna Usaha, c. Hak Guna Bangunan, d. Hak Pakai, e. Hak sewa, f. Hak Membuka
Tanah, g. Hak Memungut Hasil Hutan, h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-
hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan undang-undang, serta hak-hak yang
sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53”.
Warga Negara Indonesia baik perseorangan maupun badan hukum dapat mempunyai
tanah. Perseorangan dapat mempunyai tanah dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna
bangunan dan hak pakai, sedangkan badan hukum dapat mempunyai tanah dengan hak guna
usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai, kecuali badan hukum tertentu yang ditunjuk oleh
pemerintah, dapat mempunyai tanah dengan hak milik. Hak milik hanya dimiliki oleh Warga
Negara Indonesia, sedangkan WNA tidak boleh memiliki hak milik atas tanah.
Hak milik menurut Pasal 20 ayat (1) adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh
yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6. Hak turun-
temurun artinya hak milik atas tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup
dan bila pemiliknya meninggal dunia, maka hak miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya
sepanjang memenuhi syarat sebagai subjek hak milik. Terkuat artinya hak milik atas tanah lebih
kuat bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, tidak mempunyai batas waktu tertentu,
mudah dipertahankan dari gangguan pihak lain dan tidak mudah hapus. Terpenuh artinya hak
milik atas tanah memberi wewenang kepada pemiliknya paling luas bila dibandingkan dengan
hak atas tanah yang lain, dapat menjadi induk bagi hak atas tanah yang lain, tidak berinduk pada
hak atas tanah yang lain, dan penggunaan tanahnya lebih luas bila dibandingkan dengan hak atas
tanah yang lain.12
11 Urip Santoso I, op cit, hal.83 12 Urip Santoso I, op cit, hal.92
Subjek Hak Milik diatur dalam Pasal 21 UUPA ayat (1), (2) dan ayat (3) :
(1) Hanya warga Negara Indonesia saja yang dapat mempunyai hak milik
(2) Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum Indonesia yang dapat mempunyai hak
milik dan syarat-syaratnya (PP 38/1963)
Bagi WNA yang setelah berlakunya UUPA ini tidak dapat memiliki hak milik atas tanah.
Baik karena adanya pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan.
Demikian pula warga Negara Indonesia yang mempunyai hak milik, setelah berlakunya UUPA
telah kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu
tahun setelah diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Dan apabila telah
lewat satu tahun dari masa tenggang waktu tersebut hak milik atas tanah itu tidak dilepaskan,
maka hak tersebut dengan sendirinya hapus demi hukum, dan tanah tersebut jatuh kepada
Negara.
Sebagai peraturan pelaksana dari Pasal 21 UUPA ayat (2) tersebut, berkenaan dengan
badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, maka dikeluarkan PP Nomor
38/1963 Tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah,
yaitu bank-bank yang didirikan oleh Negara (Bank Negara), Koperasi Pertanian, Badan
Keagamaan dan Badan Sosial.13
Sedangkan menurut Pasal 8 ayat (1) Permen Agraria/ Kepala BPN No.9 Tahun 1999
Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan,
badan-badan hukum yang dapat mempunyai tanah hak milik adalah Bank Pemerintah, Badan
Keagamaan dan Badan Sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah.
Dengan demikian bagi pemilik tanah yang tidak memenuhi syarat sebagai subjek hak
milik atas tanah, maka dalam waktu satu tahun harus melepaskan atau mengalihkan hak milik
atas tanahnya kepada pihak lain yang memenuhi syarat, ataupun mengalihkan hak tersebut dalam
bentuk hak lain sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
13 A.P Parlindungan, op cit, hal.142
Selain itu juga dikarenakan hak milik merupakan hak yang terkuat dan terpenuh yang
memberikan kewenangan kepada pemiliknya untuk memberikan kembali suatu hak lain di atas
bidang tanah hak miliknya. Hak dimaksud dapat berupa hak guna bangunan atau hak pakai,
dengan pengecualian hak guna usaha. Hal ini hampir sama dengan kewenangan Negara sebagai
penguasa untuk memberikan tanah kepada warganya, walaupun hak ini tidak mutlak sama tetapi
tetap harus mempunyai fungsi sosial.14
Peralihan hak milik atas tanah diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UUPA, hak milik dapat
beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Peralihan hak milik tersebut dapat dalam bentuk sebagai
berikut :
1. Beralih artinya berpindahnya hak milik atas tanah dari pemilik sebelumnya kepada pihak
lain dikarenakan suatu peristiwa hukum. Misalnya : meninggalnya pemilik tanah. Dengan
demikian hak milik atas tanahnya berpindah atau beralih secara hukum kepada ahli
warisnya sepanjang ahli warisnya memenuhi syarat-syarat sebagai subjek hukum.15
2. Dialihkan/pemindahan hak artinya beralihnya hak milik atas tanah dari pemiliknya
kepada pihak lain dikarenakan adanya suatu perbuatan hukum. Perbuatan hukum
dimaksud adalah : jual beli, tukar menukar, hibah pemasukan atau penyertaan ke dalam
modal perusahaan (inbreng), lelang, pembagian hak bersama, pemberian hak guna
bangunan atau hak pakai atas tanah hak milik, pemberian hak tanggungan dan pemberian
kuasa membebankan hak tanggungan.16
Berkenaan dengan pemindahan/ pengalihan hak milik undang-undang juga telah
mengaturnya, bahwa :
14 Kartini Mulyadi dan Gunawan Wijaya, 2007, Hak-Hak Atas Tanah-Seri Hukum Harta Kekayaan,
Kencana, Jakarta, hal.30 15 Ibid, hal.91 16 Ibid
1. “Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat
dan perbuatan-perbuatan lain dimaksudkan untuk pemindahan hak milik serta
pengawasannya di atur oleh peraturan pemerintah”.
2. Setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-
perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung ataupun tidak langsung memindahkan
hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga Negara yang disamping
kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu
badan hukum, kecuali yang ditetapkan pemerintah, termasuk dalam Pasal 21 ayat (2),
adalah batal demi hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan bahwa
hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung, serta semua pembayaran yang
telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.
Peralihan hak atas tanah dan bangunan khususnya hak pakai oleh WNA tersebut
berkaitan dengan hukum dan ditandai oleh adanya bukti yang dapat berupa akta jual beli, akta
hibah, fatwa waris, surat keputusan pemberian hak atas tanah dan bangunan, dan lain-lain. Untuk
memberikan kepastian dan kekuatan hukum pemilikan tanah dan bangunan maka setiap
peralihan hak harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang mengatur setiap peralihan
hak dan dilakukan secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang yakni
Notaris/PPAT atau Pejabat Pembuat Akta Tanah untuk selanjutnya didaftarkan pada instansi
yang berwenang yaitu Kantor Pertanahan setempat untuk memperoleh sertifikat hak. Dengan
demikian hak atas tanah dan bangunan secara sah ada pada pihak yang memperoleh hak tersebut
sehingga dapat dipertahankan terhadap semua pihak dan tidak terdapat pihak yang dirugikan.17
17 Marihot Pahala Siahaan, 2003, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan-Teori dan Praktek, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal. 6
Dalam kaitannya dengan pemilikan WNA maupun badan hukum asing untuk memiliki
hak-hak atas tanah, dalam UUPA diatur dalam Pasal 41 dan Pasal 42, masing-masing
menentukan :
Pasal 41 menentukan bahwa :
(1) Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain yang memberi wewenang
dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang
berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang
bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu
asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang ini.
(2) Hak pakai dapat diberikan :
a. Selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk
keperluan tertentu;
b. Dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun.
(3) Pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur
kekerasan
Pasal 42 menentukan bahwa :
Yang dapat mempunyai hak pakai ialah :
a. Warga Negara Indonesia;
b. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
c. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia;
d. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia
Kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996
Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai Atas Tanah (untuk selanjutnya
disebut PP Nomor 40 Tahun 1996) dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 Tentang
Pemilikan Rumah Tinggal atau Hunian oleh WNA (untuk selanjutnya disebut dengan PP Nomor
41 Tahun 1996) misalnya dalam ketentuan Pasal 2 angka 1 dan angka 2 PP Nomor 41 Tahun
1996 mengatur bahwa, rumah untuk tempat tinggal atau hunian dengan hak atas tanah tertentu
serta bangunan yang dibangun di atas bidang tanah hak pakai atas tanah Negara dan hak milik
properti yang dapat dikuasai berdasarkan perjanjian dengan pemegang hak atas tanah milik orang
perorangan maupun tanah Negara.
Hak pakai atas tanah hak milik dapat dimanfaatkan untuk kepentingan Penanaman Modal
atau investasi, baik Penanaman Modal Asing maupun Penanaman Modal dalam Negeri.
Penanaman modal asing diatur di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967
Tentang Penanaman Modal Asing (untuk selanjutnya disebut dengan UUPMA).
Warga Negara Asing dan badan hukum asing dalam penguasaan tanahnya mempunyai
perwakilan di Indonesia yakni diatur dalam Pasal 41 dan Pasal 42 UUPA yang diatur lebih lanjut
dalam PP Nomor 40 Tahun 1996.18
Peraturan perundang-undangan yang terkait dan pokok-pokok substansi akan diatur dan
dibahas dalam rangka penyempurnaan PP Nomor 41 Tahun 1996. Pemahaman tentang peraturan
perundang-undangan yang terkait diperlukan untuk menjaga keselarasannya dengan peraturan
perundang-undangan lain. Merupakan asas umum dalam penyusunan peraturan perundang-
undangan bahwa suatu peraturan tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi
(sinkron secara vertikal) dan peraturan lain yang sederajat (sinkron secara horizontal). Landasan
filosofis, yuridis, dan sosiologis merupakan pokok-pokok substansi yang akan diatur sehingga
peraturan itu diharapkan dapat berlaku dan ditaati oleh masyarakat. Substansinya harus mampu
mengakomodasi perkembangan yang ada tanpa melanggar peraturan perundang-undangan yang
berlaku di masyarakat. 19
Sesuai dengan perkembangan yang terjadi, terkait dengan hak atas tanah beserta
bangunan untuk WNA dan badan hukum asing, berkenaan dengan keterlibatan berbagai instansi
dalam implementasinya, disamping mendasarkan pada peraturan perundang-undangan sektor
terkait juga perlu memerhatikan UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah
18 Maria S.W. Sumardjono, 2007, Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta Bangunan, PT.
Kompas Media Nusantara, Jakarta, hal.6-7 19 Ibid, hal.35
(Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437)
dalam rangka memperoleh kejelasan tentang kewenangan masing-masing instansi serta
kewajiban atau tanggung jawabnya. Secara khusus peraturan perundang-undangan terkait hak
WNA dan badan hukum asing atas tanah beserta bangunan dapat dikelompokkan menjadi tiga,
yakni 1) kelompok peraturan perundang-undangan terkait dengan hak atas tanah beserta
bangunan, 2) ketentuan berkenaan dengan subyek hak atas tanah beserta bangunan, dan 3)
ketentuan di bidang perpajakan.20
Tanah hak pakai berasal dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik
orang lain, tanah yang dapat diberikan dengan hak pakai adalah tanah Negara, tanah Hak
Pengelolaan, atau tanah Hak Milik hal ini tegas disebutkan dalam Pasal 41 PP Nomor 40 Tahun
1996. Jangka waktu hak pakai dapat diberikan selama jangka waktu tertentu atau selama
tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu. Dalam PP Nomor 40 tahun 1996, jangka
waktu hak pakai diatur pada Pasal 45 sampai dengan Pasal 49. Jangka waktu hak pakai ini
berbeda-beda sesuai dengan asal tanahnya.21
Jangka waktu hak pakai atas tanah Negara adalah 25 tahun dan dapat diperpanjang untuk
jangka waktu paling lama 20 tahun, dan dapat diperbarui untuk jangka waktu paling lama 25
tahun. Khusus hak pakai yang dipunyai Departemen, Lembaga Pemerintah Non-Departemen,
Pemerintah Daerah, badan-badan keagamaan dan sosial, perwakilan Negara asing, dan badan
perwakilan internasional diberikan jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya
dipergunakan untuk keperluan tertentu.22
20 Ibid, hal.36 21 Urip Santoso, 2005, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
(selanjutnya disingkat Urip Santoso II), hal.116 22 Ibid, hal.117
Permohonan perpanjangan jangka waktu atau pembaruan hak pakai diajukan selambat-
lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu hak pakai tersebut. Perpanjangan jangka
waktu atau pembaruan hak pakai dicatat dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan Kabupaten/
Kota setempat. Jaminan perpanjangan dan pembaruan hak pakai untuk kepentingan penanaman
modal, permintaan perpanjangan dan pembaruan hak pakai dapat dilakukan sekaligus dengan
pembayaran uang pemasukan yang ditentukan pada saat pertama kali mengajukan permohonan
hak pakai. Dalam hal uang pemasukan telah dibayar sekaligus, untuk perpanjangan dan
pembaruan hak pakai hanya dikenakan uang administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Menteri
di bidang pertanahan setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan. Persetujuan untuk
pemberian perpanjangan dan pembaruan hak pakai serta perincian uang pemasukan dicantumkan
dalam keputusan pemberian hak pakai.23
Berkaitan dengan subjek hak pakai atas tanah Negara, A.P. Parlindungan menyatakan
bahwa ada hak pakai yang bersifat publikrechtelijk, yang tanpa right of disposal (artinya yang
tidak boleh dijual ataupun dijadikan jaminan utang), yaitu hak pakai yang diberikan untuk
instansi-instansi pemerintah seperti sekolah, Perguruan Tinggi Negeri, kantor pemerintah, dan
sebagainya, dan hak pakai yang diberikan untuk waktu yang tidak terbatas dan selama
pelaksanaan tugasnya, ataupun hak pakai yang diberikan untuk usaha-usaha sosial dan
keagamaan juga diberikan untuk waktu yang tidak tertentu dan selama melaksanakan tugasnya.24
Hapusnya hak pakai berdasarkan Pasal 55 PP Nomor 40 Tahun 1996, faktor-faktor
penyebab hapusnya hak pakai, yaitu :25
a. Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau
perpanjangan atau dalam perjanjian pemberiannya;
23 Urip Santoso II, op cit, hal. 119 24 A.P Parlindungan, 1989, Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, Mandar Maju, Bandung, hal.34 25 Urip Santoso II, op cit, hal.123
b. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang hak pengelolaan atau pemilik
tanah sebelum jangka waktunya berakhir, karena :
1. Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak pakai dan atau
dilanggarnya ketentuan-ketentuan dalam hak pakai;
2. Tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam
perjanjian pemberian hak pakai antara pemegang hak pakai dengan pemilik tanah
atau perjanjian penggunaan hak pengelolaan; atau
3. Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
c. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya
berakhir;
d. Hak pakainya dicabut;
e. Ditelantarkan;
f. Tanahnya musnah;
g. Pemegang hak pakai tidak memenuhi syarat sebagai pemegang hak pakai.
Hapusnya hak pakai atas tanah Negara mengakibatkan tanahnya menjadi tanah Negara.
Hapusnya hak pakai atas tanah hak pengelolaan mengakibatkan tanahnya kembali dalam
penguasaan pemegang hak pengelolaan. Hapusnya hak pakai atas tanah hak milik
mengakibatkan tanahnya kembali dalam penguasaan pemilik tanah tertuang dalam Pasal 56 PP
Nomor 40 Tahun 1996. Lalu dalam Pasal 57 PP Nomor 40 Tahun 1996 mengatur konsekuensi
hapusnya hak pakai bagi bekas pemegang hak pakai, yaitu :26
1. Apabila hak pakai atas tanah Negara hapus dan tidak diperpanjang dan diperbarui,
maka bekas pemegang hak pakai wajib membongkar bangunan dan benda-benda
yang ada di atasnya dan menyerahkan tanahnya kepada Negara dalam keadaan
kosong selambat-lambatnya dalam waktu satu tahun sejak hapusnya hak pakai.
2. Dalam hal bangunan dan benda-benda tersebut masih diperlukan kepada bekas
pemegang hak pakai diberikan ganti rugi.
3. Pembongkaran bangunan dan benda-benda tersebut dilaksanakan atas biaya
pemegang hak pakai
26 Urip Santoso II, op cit, hal.124
4. Jika bekas pemegang hak pakai lalai dalam memenuhi kewajiban membongkar
bangunan dan benda-benda yang ada di atas tanah hak pakai, maka bangunan dan
benda-benda yang ada di atasnya dibongkar oleh pemerintah atas biaya pemegang
hak pakai.
Dalam Pasal 58 PP Nomor 40 Tahun 1996 tertuang mengenai hapusnya hak pakai atas
tanah yakni apabila hak pakai atas tanah hak pengelolaan atau hak pakai atas tanah hak milik
hapus, maka bekas pemegang hak pakai tersebut wajib menyerahkan tanahnya kepada pemegang
hak pengelolaan atau pemilik tanah dan memenuhi ketentuan yang sudah disepakati dalam
perjanjian penggunaan tanah hak pengelolaan atau perjanjian pemberian hak pakai atas tanah hak
milik.27
Jika orang asing ingin berinvestasi di Indonesia maka orang asing tersebut harus
menggunakan hak pakai. Penanam modal asing di Indonesia hanya mempunyai hak pakai dan
hak guna usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 41 ayat (1), dan ayat (2) UUPA :
(1) “Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/ atau memungut hasil dari tanah
yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang member
wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh
pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik
tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah,
segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-
undang ini”.
(2) “Hak pakai dapat diberikan :
a. Selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk
keperluan yang tertentu.
b. Dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun”
Ketentuan dalam UUPA tersebut juga menjadi landasan pemikiran dari Peraturan
Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh
Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia, yang menegaskan bahwa pemberian properti
27 Urip Santoso II, op cit, hal.124
yakni tanah dan bangunan, hanya dengan hak pakai. Hak pakai diberikan kepada orang asing
yang mempunyai izin tinggal di Indonesia hanya selama 25 tahun dan dapat diperpanjang.
Terkait dengan rencana kebijakan yakni keputusan dari Presiden Joko Widodo yang
menyetujui pemberian hak milik properti untuk WNA dan Presiden menginginkan agar orang
asing dapat memiliki properti di Indonesia, dengan demikian orang asing dapat memiliki hak
milik sepenuhnya terhadap properti tersebut. Tentunya hal ini merupakan tindakan yang sangat
bertolak belakang dengan semangat UUPA yang mengusung asas nasionalitas.28 Akan tetapi
properti yang dapat dimiliki oleh orang asing dibatasi yakni hanya untuk hunian vertikal dalam
hal ini apartemen, tidak termasuk land house. Hal ini tentu mendapat respons positif bagi para
pengembang properti di tengah terus melesunya bisnis properti di tanah air.29
Rencana kebijakan dari Presiden yang mengemukakan bahwa Presiden menginginkan
orang asing agar mendapatkan hak milik atas properti di Indonesia hal ini yang melatar belakangi
penulis untuk melakukan penelitian. Permasalahan tersebut diatas terdapat inkonsistensi norma,
karena aturan yang sudah ada bertolak belakang dengan rencana kebijakan yang akan
direalisasikan oleh Presiden. Adanya dugaan inkonsistensi norma tersebut tentunya bertentangan
dengan perangkat hukum yakni UUD NRI Tahun 1945, UUPA dan PP Nomor 40 Tahun 1996
dan PP Nomor 41 Tahun 1996 yang bertujuan membatasi kepemilikan properti atas tanah dan
bangunan bagi WNA di Indonesia hanya dengan hak pakai, hal ini tentu tidak sejalan dengan
rencana kebijakan yang diwacanakan oleh Presiden Joko Widodo mengenai WNA yang
diperkenankan untuk memiliki properti atas tanah dan bangunan di Indonesia. Karena alasan
tersebut penulis tertarik untuk meneliti dan membahas lebih dalam mengenai hak memiliki
28 Jarot Widya Muliawan, 13 Juli 2015, Ihwal Hak Milik Properti untuk WNA, Jawa Pos, Denpasar, sub 1-
4, hal.2 29 Dewantara, 29 Juni 2015, Pengusaha Cemas, Rakyat Terancam, Radar Bali, Denpasar, sub 1-2, hal.21
properti bagi WNA ini dengan judul “Pengaturan Kebijakan Hak Kepemilikan Properti Atas
Tanah Dan Bangunan Bagi Warga Negara Asing Di Indonesia”.
Dari penelusuran kepustakaan yang dilakukan, ada beberapa penelitian yang berkaitan
dengan “Pengaturan Kebijakan Hak Kepemilikan Properti Atas Tanah Dan Bangunan Bagi
Warga Negara Asing Di Indonesia” yaitu :
Tabel 1.1. Tabel Orisinalitas Penelitian
No. Nama /
Universitas Judul Rumusan Masalah
1. Luh Putu Ayu
Devy Susanti /
“Hapus dan
Jatuhnya Hak
1) Apakah dasar pemikiran
dirumuskannya larangan
Fakultas Hukum
Program Studi
Magister
Kenotariatan
Universitas
Udayana
Milik Atas
Tanah Kepada
Negara Akibat
Pemindahan
Hak Milik
Secara Tidak
Langsung
Kepada Warga
Negara Asing
Dengan Akta
Notaris”
pemindahan hak milik atas tanah
kepada WNA sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Pasal 26
ayat (2) UUPA masih relevan
dengan perkembangan masyarakat
dewasa ini ?
2) Bagaimanakah pengaturan hapus
dan jatuhnya hak milik atas tanah
kepada Negara akibat pemindahan
hak milik secara tidak langsung
kepada WNA dengan akta notaris ?
2. Ni Putu Sanatha
Sarathy Lodra /
Fakultas Hukum
Program Studi
Magister
Kenotariatan
Universitas
Udayana
“Penyelesaian
Sengketa Yang
Timbul Dari
Akta Nominee
Yang Berisi
Peralihan Hak
Milik Atas
Tanah Kepada
Warga Negara
Asing
Berdasarkan
Pasal 26 ayat (2)
UUPA”
1) Upaya hukum apa yang dapat
dilakukan dalam hal terjadinya
sengketa perjanjian nominee tentang
peralihan hak milik atas tanah
kepada orang asing/WNA yang
dibuat dengan akta notaris ?
2) Bagaimana akibat hukum terhadap
perjanjian nominee tentang peralihan
hak milik atas tanah kepada orang
asing/WNA yang melanggar
ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA ?
3. Nyoman Carina
Pariska Pribadi /
Fakultas Hukum
Program Studi
Magister
Kenotariatan
Universitas
Udayana
“Status Hukum
Kepemilikan
Tanah Dengan
Hak Milik Oleh
Warga Negara
Asing Melalui
Perjanjian
Nominee”
1) Bagaimanakah pengaturan
penguasaan tanah dengan hak milik
oleh orang asing yang dibuat melalui
perjanjian nominee ?
2) Bagaimanakah status hukum
“perjanjian nominee” apabila salah
satu pihak meninggal dunia ?
4. Ni Made Irpiana
Prahandari /
Fakultas Hukum
Program Studi
Magister
Kenotariatan
Universitas
Udayana
“Penguasaan
Hak Milik Atas
Tanah Hak
Milik Warga
Negara
Indonesia Oleh
Warga Negara
Asing Dengan
Akta Notaris/
Pejabat Pembuat
1) Bagaimanakah keabsahan
penguasaan hak milik atas tanah hak
milik Warga Negara Indonesia
(WNI) oleh Warga Negara Asing
(WNA) yang dilakukan oleh Notaris
dengan Akta Notaris/ Pejabat
Pembuat Akta Tanah?
2) Apakah akibat hukum dari akta
perjanjian penguasaan hak milik atas
Akta Tanah
(Studi Kasus)”
tanah milik Warga Negara Indonesia
oleh Warga Negara Asing yang
dibuat oleh Notaris/ Pejabat
Pembuat Akta Tanah ?
5. I Putu Indra
Mandhala Putra /
Fakultas Hukum
Program Studi
Magister
Kenotariatan
Universitas
Udayana
“Efektifitas
Peraturan
Pemberian Hak
Pakai Atas
Tanah Hak
Milik Pribadi
Bagi Orang
Asing Di
Kabupaten
Badung”
1) Faktor-faktor apakah yang
mempengaruhi pelaksanaan
ketentuan pemberian hak pakai atas
tanah untuk orang asing di
Kabupaten Badung ?
2) Bagaimana fungsi dan peranan
Notaris/PPAT selaku pejabat umum
dalam mendukung efektififitas
pelaksanaan pemberian hak pakai
untuk orang asing ?
3) Apakah pelaksanaan ketentuan
pemberian hak pakai atas tanah
untuk orang asing di Kabupaten
Badung sudah berjalan efektif?
6 Putu Ayu Ratih
Tribuana/
Fakultas Hukum
Program Studi
Magister
Kenotariatan
Universitas
Udayana
“Pengaturan
Kebijakan Hak
Kepemilikan
Properti Atas
Tanah dan
Bangunan Bagi
Warga Negara
Asing di
Indonesia”
1) Apakah warga Negara asing dapat
memegang hak memiliki penuh atas
tanah dan bangunan di Indonesia ?
2) Bagaimanakah batas-batas hak
penuh kepemilikan properti atas
tanah dan bangunan bagi warga
Negara asing ?
Menyimak hasil penelusuran dari tesis dengan judul dan pokok permasalahan seperti
yang diuraikan diatas, menunjukkan bahwa penelitian dengan judul “Pengaturan Kebijakan Hak
Kepemilikan Properti Atas Tanah Dan Bangunan Bagi Warga Negara Asing Di Indonesia”
belum ada yang membahas. Oleh karena itu tesis ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
orisinalitas atau keasliannya.
1.2. Rumusan Masalah
1) Apakah Warga Negara Asing dapat memegang hak milik penuh atas tanah dan bangunan
di Indonesia ?
2) Bagaimanakah batas-batas hak penuh kepemilikan properti atas tanah dan bangunan bagi
Warga Negara Asing ?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini dilakukan sebagai upaya untuk memberikan pemahaman
yang lebih mendalam mengenai hak kepemilikan properti atas tanah dan bangunan bagi warga
Negara asing di Indonesia. Serta mengetahui secara umum mengenai pengaturan kebijakan hak
kepemilikan tanah dan bangunan bagi warga negara asing di Indonesia.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui dan menganalisis konsep hak kepemilikan properti atas tanah dan
bangunan bagi warga Negara asing di Indonesia
2. Untuk mendeskripsikan bagaimanakah batas-batas hak penuh kepemilikan properti
atas tanah bagi warga Negara asing
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan temuan berupa asas-asas, prinsip-prinsip
dan konsep-konsep hukum bagi perkembangan ilmu hukum dan khususnya dalam bidang
kenotariatan, perihal pengaturan kebijakan hak kepemilikan properti atas tanah dan bangunan
bagi warga Negara asing di Indonesia beserta persyaratan yang harus dipenuhi oleh warga
Negara asing terkait kepemilikan atas tanah dan bangunan di Indonesia dan bagaimanakah batas-
batas hak penuh kepemilikan properti atas tanah dan bangunan.
1.4.2. Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis yang diharapkan dalam penulisan ini, antara lain : Untuk para
notaris diharapkan menjadi sumber pengetahuan (baru) bahwa setiap akta notaris yang
substansinya mengandung perbuatan-perbuatan hukum yang dimaksudkan secara langsung atau
tidak langsung mengandung pengaturan kebijakan hak kepemilikan properti atas tanah dan
bangunan bagi WNA di Indonesia. Kemudian untuk masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat
memberi pemahaman mengenai orang asing dapat memegang hak penuh dalam memiliki
properti yakni tanah dan bangunan beserta persyaratan yang harus dipenuhi oleh warga Negara
asing tersebut.
1.5. Landasan Teoritis
Upaya dalam menganalisa dan menidentifikasi teori hukum umum dan khusus, konsep-
konsep hukum, asas-asas hukum dan yang lainnya yang akan digunakan sebagai landasan untuk
membahas permasalahan penelitian yang berkaitan dengan Pengaturan Kebijakan Hak
Kepemilikan Properti Atas Tanah dan Bangunan di Indonesia. Teori-teori, konsep maupun asas
yang penulis gunakan yakni sebagai berikut : 1. Teori Unsur-Unsur Negara 2. Teori Negara
Hukum, 3. Teori Kepastian Hukum 4. Teori Kewenangan, 5. Asas Nasionalitas 6. Konsep
Subyek Hukum, 7. Konsep Penguasaan Tanah, 8. Konsep Kepemilikan. Definisi dari empat
teori, satu asas dan tiga konsep tersebut adalah sebagai berikut:
1. Teori Unsur-Unsur Negara
Teori unsur-unsur Negara ini digunakan sebagai pisau analisa untuk menjawab
permasalahan dalam penulisan tesis ini.
Unsur-unsur Negara modern yakni:
a. adanya wilayah tertentu atau tetap;
b. adanya rakyat;
c. adanya pemerintahan yang berdaulat; dan
d. adanya pengakuan.
Jean Bodin (abad ke-16) adalah orang pertama yang memberi bentuk ilmiah pada
teori kedaulatan (Souvereiniteit). Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi untuk
menentukan hukum dalam Negara. Kedaulatan adalah atribut dari Negara, karena suatu
Negara tanpa kedaulatan bukanlah suatu Negara. Dalam teori Jean Bodin disebutkan ciri
utama dari Negara yakni asli, tunggal dan sempurna dan wujud dari kedaulatan adalah
kekuasaan tertinggi untuk menentukan hukum yang berlaku di dalam Negara.
Pemegang kedaulatan dalam suatu Negara ada berbagai teori yakni teori
kedaulatan Tuhan, teori kedaulatan Negara, teori kedaulatan raja, teori kedaulatan rakyat
dan teori kedaulatan hukum. Sehingga menurut teori kedaulatan rakyat kedaulatan ada di
tangan rakyat dan penyelenggara Negara dan diwujudkan dengan suatu Undang-Undang
Dasar prinsip konstitusionalisme. Hal ini disebutkan dalam alinea pembukaan IV UUD
NRI 1945. Pertama kali UUD NRI dibentuk oleh BPUPKI, tetapi dewasa ini badan
pembentuk hukum tertinggi adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan
pembentuk Undang-Undang adalah Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). MPR
dan DPR ini adalah perwujudan kedaulatan rakyat. Prinsip inilah yang mendasari
lahirnya ketentuan Pasal 33 UUD NRI 1945 yang menyatakan di dalamnya bahwa “bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.30 Prinsip tersebut yang
mendasari penulis untuk menggunakan teori Unsur-Unsur Negara ini karena sangat
relevan digunakan sebagai pisau analisis untuk menjawab permasalahan dari pengaturan
30 Abu Daud Busroh, 2010, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta, hal.69
bagi warga Negara asing terkait hak memiliki properti atas tanah dan bangunan di
Indonesia.
2. Teori Negara Hukum
Negara Hukum adalah Negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin
keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi terciptanya
kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu
diperlukan ajaran rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga Negara yang
baik. Demikian pula peraturan hukum yang sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum
itu mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antar warga negaranya.31 Dalam
ajaran Hukum Murni dari Hans Kelsen yang menyatakan bahwa:
“The State is the community created (as opposed to an international) legal
order. The state as juristic person is a personification of this community or the
national legal order constituting this community. From a furistic point of view, the
problem of the Statue therefore appears as the problem of the national legal
order.”32
Ajaran Hukum Murni dari Hans Kelsen ini menjelaskan bahwa Negara itu merupakan
komunitas yang diciptakan suatu tata hukum nasional sebagai perbandingan dari tata
hukum internasional Negara sebagai badan hukum yang terwujud sebagai dari
personafikasi dari komunitas atau personafikasi dari tata hukum nasional yang
membentuk komunitas tersebut.
Menurut Aristoteles yang memerintah dalam Negara bukanlah manusia
sebenarnya, melainkan pikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya
pemegang hukum dan keseimbangan saja. Kesusilaan yang akan menentukan baik
tidaknya suatu peraturan undang-undang dan membuat undang-undang adalah sebagian
31 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988, Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta,
hal.153 32 Hans Kelsen, 1961, General Theory Of Law and State, Russel & Russel, New York, hal.181
dari kecakapan menjalankan pemerintahan Negara. Oleh karena itu menurut Aristoteles,
yang terpenting adalah mendidik manusia menjadi warga Negara yang baik, karena dari
sikapnya yang adil akan terjamin kebahagiaan hidup warga negaranya.33
Pendapat Immanuel Kant & Fichte, Negara hukum liberal atau Negara hukum
dalam arti sempit hanya mengenal dua unsur yang penting yaitu perlindungan terhadap
hak-hak asasi manusia dan pemisahan kekuasaan. Sedangkan menurut Pendapat Freidrich
Julius Sthal ahli hukum dari Eropa Kontinental, unsur-unsur dari Negara hukum
(rechtstaat) formil ada 4 (empat) yakni :34
1. adanya jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia;
2. adanya pembagian kekuasaan berdasarkan trias politika;
3. setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan Undang-Undang;
4. adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri.
Secara umum, dalam setiap Negara yang menganut paham Negara hukum,
berlaku tiga unsur utama pemerintahan (the rule of law) menurut A.V Dicey yakni
a. supremasi hukum (supremacy of law);
b. kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law); dan
c. hak asasi adalah hak yang paling mendasar yang harus dilindungi (constitution
on individual rights)
Prinsip penting dalam Negara hukum adalah perlindungan yang sama (equal protection)
atau persamaan dalam hukum (equality before the law). Perbedaan perlakuan hukum
hanya boleh jika ada alasan yang khusus. Menurut A.V Dicey, bahwa berlakunya konsep
33 Moh. Kusnardi, op cit, hal.154 34 Ibid, hal.156
kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law), dimana semua orang harus tunduk
kepada hukum, dan tidak seorang pun berada di atas hukum (above the law).35
Di Indonesia simposium mengenai Negara hukum pernah diadakan pada tahun
1966 di Jakarta. Dalam simposium itu diputuskan sebagai berikut :
Sifat Negara hukum itu ialah dimana alat perlengkapannya hanya dapat bertindak
menurut dan terikat kepada aturan-aturan yang telah ditentukan lebih dahulu oleh alat-
alat perlengkapan yang dikuasakan untuk mengadakan aturan itu atau singkatnya disebut
prinsip “rule of law”.36
Ciri-ciri khas bagi suatu Negara hukum adalah :
a. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang mengandung persamaan
dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi dan kebudayaan;
b. Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh sesuatu
kekuasaan atau kekuatan apapun juga, legalitas dalam arti segala bentuknya.
Teori negara hukum dari Aristoteles, Freidrich Julius Sthal, Immanuel Kant,
Dicey serta Symposium Negara Hukum ini sangat relevan digunakan untuk mengkaji
mengenai pengaturan kepemilikan properti atas tanah dan bangunan bagi warga negara
asing di Indonesia.
3. Teori Kepastian Hukum
Menurut Peter Machmud Marzuki, Teori Kepastian Hukum mengandung 2 (dua)
pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu
mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa
keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya
35 Munir Fuady, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama, Bandung, hal.207 36 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, op cit, hal.162
aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh
dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya
berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam
putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk
kasus yang serupa yang telah di putuskan.37
Kepastian hukum menurut Soedikno Mertokusumo, merupakan salah satu syarat
yang harus dipenuhi dalam penegakan hukum. Dalam hal ini kepastian hukum
merupakan perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang yang berarti bahwa
seseorang dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.38
Pemerintah tidak boleh menerbitkan aturan pelaksana yang tidak diatur oleh undang-
undang atau bertentangan dengan undang-undang, apabila hal tersebut terjadi maka
pengadilan harus menyatakan bahwa peraturan tersebut batal demi hukum, artinya
dianggap tidak pernah ada sehingga akibat yang terjadi peraturan yang ada harus
dikembalikan seperti sedia kala, dan apabila peraturan tersebut tidak dicabut maka akan
berubah menjadi masalah politik antara pemerintah dengan pembentuk undang-
undang/wakil rakyat. Negara hukum adalah sistem hukum atau tata hukum yang teratur
dan terdapat prinsip menjamin kepastian hukum. Serta asas penafsiran hukum yang
menyatakan bahwa hukum yang terbaru mengesampingkan hukum yang lama (lex
posterior derogat legi priori).
Berdasarkan pendapat ahli tersebut, kepastian hukum yang digunakan untuk
menganalisis penelitian tesis dalam hal ini pengaturan kebijakan bagi warga Negara asing
terkait dengan hak memiliki properti atas tanah dan bangunan di Indonesia harus
37 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal.158 38 Soedikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum Sebuah Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta,
hal.145
memperoleh kepastian hukum yang tidak hanya berdasarkan pasal-pasal dalam undang-
undang melainkan ada konsistensi dalam putusan hakim.
4. Teori Kewenangan
Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dalam pemerintahan (hukum
administrasi), karena pemerintah baru dapat menjalankan fungsinya atas dasar wewenang
yang diperolehnya. Suatu kewenangan harus didasarkan pada ketentuan hukum yang
berlaku sehingga bersifat sah. Perihal kewenangan dari konstitusi Negara yang
memberikan legitimasi kepada Badan Publik dan Lembaga Negara dalam menjalankan
fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya, maka wewenang adalah kemampuan
bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan
dan perbuatan hukum.39 Philipus M.Hadjon mengemukakan ada dua sumber untuk
memperoleh wewenang yaitu atribusi dan delegasi. Namun dikatakan pula bahwa kadang
kala mandat digunakan sebagai cara tersendiri dalam memperoleh wewenang.40
Menurut Indroharto, kewenangan dalam arti yuridis adalah suatu kemampuan
yang diberikan oleh Peraturan Perundang-undangan yang berlaku untuk menimbulkan
akibat-akibat hukum.41 Sedangkan menurut Boedi Harsono, kewenangan berdasarkan
Pasal 2 UUPA meliputi bidang legislatif yang berarti mengatur, bidang eksekutif dalam
arti menyelenggarakan dan menentukan, serta bidang yudikatif dalam arti menyelesaikan
sengketa tanah baik antara rakyat dengan Pemerintah.42
39 SF Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Liberty,
Yogyakarta, hal.154 40 Philipus M.Hadjon, 1993, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta, hal.128-129 41 Indroharto, 1991, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta, hal.68 42 Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Boedi Harsono I) hal.279
Menurut Ibrahim R, kekuasaan itu diperoleh pertama-tama melalui attributie
(oorsponkelijk dalam arti asli), setelah itu dilakukan pelimpahan (afgeleid) yang
dilakukan dengan dua cara yakni delegatie dan mandat. Asal kewenangan attributie dari
sistem pembagian kekuasaan pada sistem pemerintahan yang dianut oleh suatu Negara,
kewenangan dan tanggung jawab ditetapkan dalam konstitusi, kecuali Negara yang tidak
memiliki konstitusi diatur oleh undang-undang. Delegatie dilakukan oleh yang memiliki
wewenang dan dalam waktu tertentu, penerima delegatie bertindak untuk dan atas nama
sendiri serta bertanggung jawab secara eksternal, dan yang terakhir Mandat tidak
menimbulkan pergeseran wewenang dari pemiliknya, sehingga beban dan tanggung
jawab tetap berada di pihak pemberi mandat.43
Berkenaan dengan kewenangan yang digunakan dalam penelitian ini, berikut
adalah pendapat dari Philipus M.Hadjon yaitu kewenangan atribusi, delegasi dan mandat.
Kewenangan delegasi dipilih dalam penelitian ini karena Presiden tidak dapat melakukan
sendiri kewenangan itu, tetapi harus dibantu oleh para pembantunya yaitu menteri-
menteri, sehingga untuk hal-hal tertentu Presiden dapat mendelegasikan kewenangan
tersebut kepada menteri yang membidangi agraria dan investasi. Berdasarkan
kewenangan tersebut di atas maka kewenangan menetapkan kebijakan pertanahan
dibidang hak pakai atas tanah oleh warga Negara asing. Teori kewenangan ini sangat
relevan sebagai landasan teori dalam pembahasan tesis ini untuk mengkaji Pengaturan
bagi warga negara asing terkait dengan hak memiliki properti atas tanah dan bangunan di
Indonesia serta memberikan pengaturan yang jelas bagi warga Negara asing yang
berkeinginan memiliki properti atas tanah dan bangunan di Indonesia.
43 Ibrahim R, 2010, Status Hukum Internasional dan Perjanjian Internasional Dalam Hukum Nasional :
Permasalahan Teoritik dan Praktek, Makalah Lokakarya Evaluasi UU Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian
Internasional, Universitas Udayana, Denpasar, hal.23
5. Asas Nasionalitas
UUPA mengusung asas nasionalitas dan merupakan asas yang paling utama
dalam UUPA. Dalam pembentukan Hukum Tanah Nasional asas nasionalitas hanya
memberikan hak kepada Warga Negara Indonesia (WNI) dalam hal kepemilikan hak atas
tanah, yang telah menutup kemungkinan Warga Negara Asing (WNA) untuk memiliki
hak atas tanah. Hal ini memberikan konsekuensi adanya perbedaan hak antara WNI
dengan WNA. Perbedaan tersebut merupakan hal yang sangat wajar , terutama terkait
dengan kedudukan tanah bagi masyarakat Indonesia yang memiliki kedudukan yang
sangat penting. Namun asas nasionalitas dalam UUPA tidak sepenuhnya melarang orang
asing untuk memiliki hak atas tanah, seperti yang tertuang dalam Pasal 9 ayat (1) UUPA
dan dalam penerapannya pada pasal-pasal yang mengatur hak milik atas tanah.
Menurut Pasal 21 ayat (1), pada intinya hanya WNI yang dapat memiliki hak
milik atas tanah. Ketentuan tersebut dipertegas dalam Pasal 21 ayat (3), yang pada intinya
mengatur pelepasan hak bagi WNA yang karena kondisi tertentu memperoleh hak milik
setelah berlakunya UUPA. Orang asing atau badan hanya dapat memiliki hak pakai,
sementara pada Pasal 30 bagi hak guna usaha yang pada intinya tidak dapat dimiliki
orang asing walaupun terdapat pengecualian tertentu. Perbedaan hak antara WNI dengan
WNA sebagai konsekuensi dari asas nasionalitas ini tidak secara kaku diterapkan di
Indonesia, yang artinya pembentuk UUPA memiliki pandangan bahwa penguasaan asing
terhadap tanah dimungkinkan dalam rangka pembangunan nasional walaupun hubungan
asing dengan tanah berbeda dengan hubungan antara WNI dengan tanah yang memiliki
hubungan sepenuhnya. Bahwa orang asing hanya dapat mempunyai hak atas tanah di
Indonesia selama kepentingan WNI tidak terganggu oleh keberadaan WNA dan juga
penguasaan tanah oleh orang asing itu dibutuhkan oleh Pemerintah dalam rangka
mendorong perekonomian Indonesia agar menjadi lebih maju di masa yang akan
datang.44
6. Konsep Subyek Hukum
Subyek hukum dalam ilmu hukum dapat diklasifikasikan menjadi dua yakni orang
dan badan hukum. Subyek hukum yang dimaksud adalah perorangan dan bukan badan
hukum. Orang perorangan yang dimaksud adalah Warga Negara Asing, Warga Negara
Indonesia dan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Pengertian WNA sangat erat kaitannya dengan masalah kewarganegaraan
Republik Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 20 Undang-Undang
Kewarganegaraan Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 1958 yang telah dirubah dengan
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa setiap orang
yang bukan Warga Negara Indonesia diperlakukan sebagai orang asing. Selain yang telah
ditentukan dalam Pasal 7 tersebut, yang juga dapat digolongkan sebagai orang asing
adalah seorang Warga Negara Indonesia yang hilang kewarganegaraannya. Dengan
demikian, apabila tidak dipenuhi criteria dalam Pasal 7 tersebut, maka orang tersebut
dikategorikan sebagai orang asing, yang hak dan kewajibannya terutama dalam
mendapatkan hak atas tanah diadakan perbedaan yang tegas.
7. Konsep Penguasaan Tanah
Pengertian dari “penguasaan” dan “menguasai” dapat digunakan dalam arti fisik
dan dalam arti yuridis yang memiliki aspek perdata dan beraspek publik. Penguasaan
yuridis dilandasi oleh hak yang dilindungi oleh hukum dan memberi kewenangan kepada
44 Martin Roestamy, 2011, Konsep Konsep Hukum Kepemilikan Properti Bagi Asing Dihubungkan Dengan
Hukum Pertanahan, Alumni, Bandung, hal.99
pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah tertentu. Sekalipun penguasaan yuridis
dilandasi oleh hak yang dilindungi oleh hukum dan memberi kewenangan untuk
menguasai tanah yang secara fisik namun pada kenyataannya penguasaan fisiknya
dilakukan pihak lain. Contoh : sewa menyewa properti atas tanah dan bangunan.
Dalam hal ini pemilik tanah berdasarkan hak penguasaan yuridisnya, berhak
untuk menuntut diserahkannya kembali tanah yang bersangkutan secara fisik kepada
pemilik tanah. Dalam hukum tanah penguasaan yuridis yang tidak memberi kewenangan
untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik. Kreditur pemegang hak jaminan
atas tanah mempunyai hak penguasaan yuridis atas tanah yang dijadikan agunan, tetapi
penguasaannya secara fisik tetap ada pada yang mempunyai tanah. Hak penguasaan atas
tanah apabila sudah dihubungkan dengan tanah orang (badan hukum) tertentu, maka yang
dimaksud dengan hak penguasaan atas tanah adalah hak penguasaan yang didasarkan
pada suatu hak maupun suatu kuasa yang pada kenyataannya memberikan wewenang
untuk melakukan perbuatan hukum sebagaimana layaknya orang yang mempunyai hak.45
Dalam hukum tanah nasional ada bermacam-macam hak penguasaan tanah, yaitu
:
1. Hak Bangsa Indonesia disebut dalam Pasal 1 UUPA, sebagai hak penguasaan atas tanah
yang tertinggi, beraspek perdata dan publik.
2. Hak menguasai dari Negara yang disebut dalam Pasal 2 UUPA, semata-mata beraspek
publik.
3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang disebut dalam Pasal 3 UUPA, beraspek
perdata dan public.
4. Hak Perseorangan atau Individual, semuanya beraspek perdata terdiri atas :
Hak-hak atas tanah sebagai hak-hak individual yang semuanya secara langsung atau
pun tidak langsung bersumber pada hak bangsa yang disebut dalam Pasal 16 UUPA
45 Ibid, hal.23
dan Pasal 53 UUPA. Macam-macam hak atas tanah dalam Pasal 16 UUPA,
menentukan bahwa :
(1) Hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai oleh perseorangan itu meliputi :
a. Hak Milik
b. Hak Guna Usaha
c. Hak Guna Bangunan
d. Hak Pakai
e. Hak Sewa
f. Hak Membuka Tanah
g. Hak Memungut Hasil Hutan
h. Hak-hak yang lain termasuk dalam hak-hak tersebut di atas akan ditetapkan
dengan Undang-Undang serta hak-hak yang sifatnya sementara
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 53 UUPA
(2) Hak-hak atas air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(3) adalah :
a. Hak guna air
b. Hak pemeliharaan dan penangkapan ikan
c. Hak guna ruang angkasa
d. Wakaf, yaitu hak milik yang sudah diwakafkan dalam Pasal 49 UUPA.
e. Hak jaminan atas tanah yang disebut hak tanggungan dalam Pasal 25, Pasal
33, Pasal 39 dan Pasal 5 UUPA.46
Menurut konsep hukum tanah barat, pada saat tanah masih cukup dan dianggap
merupakan tanah yang tidak bertuan (res nullius) maka atas dasar hak asasi manusia yang
dikaruniakan kepadanya oleh Sang Pencipta, setiap individu dengan cara menguasai secara fisik
sebidang tanah tak bertuan akan menciptakan hubungan antara dirinya dengan tanah tersebut
menjadi haknya atau menjadi eigendomnya.47
Berlakunya Agrarische Wet 1870, yang mengakui penguasaan oleh Negara atas tanah
sebagai eigenaar. Mengenai Agrarische Wet ini, Ali Achmad Chomzah menyatakan sebagai
berikut:
46 Ibid, hal.24 47 Arie Sukanti Sumantri, 2002, Konsepsi yang Mendasari Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional,
Universitas Indonesia, Jakarta, hal.1
“Agrariche Wet adalah Wet atau Undang-Undang di Negeri Belanda yang
diterbitkan pada tahun 1870, diundangkan dalam S.1870-55. Dimasukkannya ke
Indonesia, dengan memasukkan pada pasal 62 Regeringreglement (RR) terlebih dahulu,
yang pada mulanya terdiri dari 3 ayat dengan penambahan 5 ayat tersebut, sehingga pasal
62 Regeringreglement (RR) menjadi 8 ayat, yakni ayat 4 sampai dengan ayat 8.
Akhirnya keseluruhan pasal 62 Regeringreglement (RR) ini, menjadi pasal 51 Indische
Staatsregeling”48
8. Konsep Kepemilikan
Kepemilikan berbeda dengan penguasaan, pemilikan mempunyai wujud hukum yang
lebih jelas dan pasti. Konsep pemilikan juga menunjukkan hubungan antara seseorang dengan
obyek yang menjadi sasaran pemilikan, hal ini tentu berbeda dengan penguasaan yang lebih
bersifat factual maka pemilikan terdiri dari suatu kompleks hak-hak yang kesemuanya dapat
digolongkan ke dalam ius in rein karena berlaku terhadap semua orang, berbeda dengan ius
personam yang hanya berlaku terhadap orang-orang tertentu.
Sebutan hubungan antara orang dengan benda merupakan hubungan yang disebut dengan
hak. Makna dari sebutan tersebut adalah hak kepemilikan atas suatu benda atau yang dikenal
sebagai property right. C. Chambers mengartikan property rights are right to things. Namun kata
milik itu sendiri dalam makna hukum lebih menekankan pada hak dari pada bendanya.
Skhainender Panesar mengemukakan property in legal term, therefore means right to things
rather than the things itself.49
Menurut Fitzgerald ciri-ciri dari hak yang termasuk dalam pemilikan adalah sebagai
berikut:50
a. Pemilikan mempunyai hak untuk memiliki barang.
b. Pemilik mempunyai hak untuk menggunakan dan menikmati
c. Pemilik mempunyai hak untuk menghabiskan (merusak atau mengalihkan barangnya
d. Pemilikan mempunyai ciri tidak mengenal jangka waktu
48 Ali Achmad Chomzah, 2003, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia), Pustaka Publisher, Jakarta, hal.53 49 Muchtar Wahid, 2008, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, Republikan, Jakarta, hal.43-
44 50 Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.105-107
e. Pemilikan mempunyai ciri yang bersifat sisa
Pemilikan mempunyai artinya tersendiri dalam hubungannya dengan kehidupan
masyarakat dimana pemilikan diterima sebagai suatu konsep hukum sedangkan pemilikan dalam
konteks sosial tidak lagi sebagai suatu kategori yuridis. Dalam konteks yang demikian maka
pemilikan merupakan indeks tidak hanya bagi tingkat kesejahteraan dari pemiliknya tetapi juga
bagi kedudukan sosial.
Fungsi sosial pemilikan juga nampak pada hubungan dengan penguasaannya untuk
menyampaikan ide-ide politik sosial. Dengan demikian pemilikan menjadi lambang dari
perkembangan atau dominasi pemikiran sosial dan politik. Pada suatu saat pemilikan menjadi
pendekar dari pikiran-pikiran yang individualistis yang terlihat pada pensifatannya sebagai hak
yang memberikan kemerdekaan besar kepada pemiliknya untuk melakukan apapun yang menjadi
miliknya (indefinite, unrestricted, unlimited). Tetapi dalam perkembangannya mulai dari
pertengahan abad ke-sembilan belas dan selanjutnya terjadi perubahan yang menjurus kepada
konsep yang lebih bersifat sosial daripada individual.
1.6. Metode Penelitian
1.6.1. Jenis Penelitian
Soerjono Soekanto, seperti yang dikutip oleh Bambang Sunggono berpendapat bahwa
penelitian hukum dapat dibagi dalam 2 (dua) klasifikasi, yakni :
1. Penelitian Normatif yang terdiri dari: a. Penelitian terhadap asas-asas hukum;
b. Penelitian terhadap sistematika hukum;
c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum;
d. Penelitian sejarah hukum; dan
e. Penelitian perbandingan hukum.
2. Penelitian Hukum Sosiologis atau empiris, yang terdiri dari:
a. Penelitian terhadap identifikasi;
b. Penelitian terhadap efektivitas hukum.51
Berdasarkan klasifikasi di atas maka penelitian ini dapat dimasukkan dalam jenis
penelitian hukum normatif, karena penelitian ini berangkat dari inkonsistensi norma yakni dalam
hal rencana kebijakan yang memperbolehkan warga Negara asing yang ingin memiliki properti
atas tanah dan bangunan di Indonesia, hal ini bertentangan dengan semangat UUPA yang sangat
menjunjung asas nasionalitas.
1.6.2. Jenis Pendekatan
Metode pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan
(statute approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approach). Di dalamnya dikaji
mengenai pengaturan serta konsep hak memiliki atas tanah dan bangunan bagi warga Negara
asing di Indonesia.
1.6.3. Sumber Bahan Hukum
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Sumber data yang utama adalah
data sekunder yang berupa bahan hukum, baik bahan hukum primer, sekunder maupun tertier.
Bahan hukum primer yang terdiri atas berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI 1945), Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang
Jabatan Notaris, Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
41 Tahun 1996 Tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang
Berkedudukan di Indonesia dan PP No.103 Tahun 2015 Tentang Pemilikan Rumah Tempat
Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia. Bahan hukum
sekunder yang berupa buku-buku, tesis, disertasi dan hasil penelitian lain. Bahan hukum tertier
51 Bambang Sunggono, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 42.
yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan dari bahan hukum primer dan
sekunder contohnya kamus hukum dan ensiklopedia.
1.6.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Penelitian ini dilakukan dengan studi kepustakaan untuk mendapatkan bahan hukum.
Data kepustakaan yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan yang bersumber dari peraturan
perundang-undangan, buku-buku, dokumen resmi, publikasi, dan hasil penelitian. Selain itu
teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan teknik studi dokumen.Teknik pengumpulan
bahan hukum studi dokumen dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut :
1. mengumpulkan bahan hukum yaitu peraturan perundang-undangan, pendapat para ahli
(doktrin) maupun teori-teori hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas
dalam penulisan.
2. mencocokkan peraturan perundang-undangan, pendapat para ahli (doktrin) dan teori-teori
hukum yang dibahas dalam penulisan.
3. menganalisis semua bahan hukum yang telah dikumpulkan mulai dari peraturan perundang-
undangan, pendapat para ahli (doktrin) sampai dengan teori-teori hukum yang berkaitan
dengan permasalahan yang dibahas dalam penulisan.
4. hasil analisis dari peraturan perundang-undangan, pendapat para ahli (doktrin) dan teori-teori
hukum kemudian dikaitkan dengan implementasinya sesuai hierarkhi peraturan perundang-
undangan dalam penulisan ini.
1.6.5. Teknik Analisis Bahan Hukum
Bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan akan di analisis dengan analisis interpretasi
(penafsiran) hukum, identifikasi dan klasifikasi untuk menemukan hukum sesuai dengan masalah
yang diteliti. Interpretasi adalah metode untuk menafsirkan terhadap teks perundang-undangan
yang tidak jelas, agar perundang-undangan tersebut dapat diterapkan terhadap peristiwa konkrit
tertentu.
Metode interpretasi terdiri dari : 1) interpretasi subsumtif; 2) interpretasi gramatikal; 3)
interpretasi sistematis/logis; 4) interpretasi historis; 5) interpretasi teleologis/ sosiologis; 6)
interpretasi komperatif; 7) interpretasi antisipatif futuristis; 8) interpretasi restriktif; 9)
interpretasi otentik/secara resmi; 10) interpretasi interdisipliner; 11) interpretasi multidisipliner;
12) interpretasi dalam perjanjian.52
Berkaitan dengan penelitian ini, maka interpretasi yang relevan digunakan adalah
interpretasi otentik/secara resmi dan interpretasi sistematis. Pengertian interpretasi otentik/secara
resmi adalah tafsiran resmi yang biasanya dimuat dalam pasal-pasal peraturan perundang-
undangan, sedangkan interpretasi sistematis adalah penafsiran peraturan perundang-undangan
dengan menghubungkan dengan peraturan hukum (undang-undang lain) atau dengan
keseluruhan sistem hukum. Maka hukum dilihat sebagai satu kesatuan atau sebagai sistem
peraturan. Satu peraturan tidak dilihat sebagai peraturan yang berdiri sendiri, tetapi sebagai
bagian dari satu sistem undang-undang yang merupakan bagian dari sistem perundang-
undangan.53
52 Bambang Sutiyoso, 2011, Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Yogyakarta, UII
Press, hal.83. 53 Ibid, hal.84