bab i pendahuluan 1.1 latar belakang masalah i ngurah...berbuat sesuatu (pasal 1234 bw). dengan...

47
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perjanjian menguasai begitu banyak bagian kehidupan manusia, hingga orang tidak mengetahui berapa banyak perjanjian yang telah dibuat setiap harinya. Dalam pengertiannya yang luas, perjanjian adalah kesepakatan yang melandasi hubungan antara 2 (dua) pihak atau lebih. Dalam hal perjanjian jual-beli pengertiannya adalah kesepakatan yang dibuat oleh 2 (dua) pihak di mana pihak pertama disebut sebagai penjual dan pihak lainnya sebagai pembeli. Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lainnya atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbulah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. 1 Perjanjian bisa dibuat dalam bentuk lisan maupun tertulis. Perjanjian dalam bentuk tertulis pada dunia bisnis disebut kontrak. Namun sebenarnya kontrak ataupun perjanjian memiliki pengertian yang sama yaitu kesepakatan antara para pihak yang mempunyai akibat hukum yang mengikat. Perjanjian atau kontrak merupakan bagian yang melekat dari transaksi bisnis baik dalam skala besar maupun kecil, baik domestik maupun internasional. 1 R. Subekti, 1996, Hukum Perjanjian, cet. 10 , PT. Intermasa, Jakarta, hal.1 (selanjutnya disebut Subekti I).

Upload: vuphuc

Post on 04-Apr-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perjanjian menguasai begitu banyak bagian kehidupan manusia, hingga

orang tidak mengetahui berapa banyak perjanjian yang telah dibuat setiap harinya.

Dalam pengertiannya yang luas, perjanjian adalah kesepakatan yang melandasi

hubungan antara 2 (dua) pihak atau lebih. Dalam hal perjanjian jual-beli

pengertiannya adalah kesepakatan yang dibuat oleh 2 (dua) pihak di mana pihak

pertama disebut sebagai penjual dan pihak lainnya sebagai pembeli.

Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada

seorang lainnya atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan

sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbulah suatu hubungan antara dua orang tersebut

yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua

orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian

perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau

ditulis.1

Perjanjian bisa dibuat dalam bentuk lisan maupun tertulis. Perjanjian

dalam bentuk tertulis pada dunia bisnis disebut kontrak. Namun sebenarnya

kontrak ataupun perjanjian memiliki pengertian yang sama yaitu kesepakatan

antara para pihak yang mempunyai akibat hukum yang mengikat.

Perjanjian atau kontrak merupakan bagian yang melekat dari transaksi

bisnis baik dalam skala besar maupun kecil, baik domestik maupun internasional.

1 R. Subekti, 1996, Hukum Perjanjian, cet. 10, PT. Intermasa, Jakarta, hal.1 (selanjutnya

disebut Subekti I).

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

2

Fungsi kontrak sangat penting dalam menjamin bahwa seluruh harapan yang

dibentuk dari janji-janji para pihak dapat terlaksana dan dipenuhi. Dalam hal

terjadi pelanggaran, maka terdapat kompensasi yang harus dibayar dan

konsekuensi hukum yang harus ditanggung. Dalam dunia bisnis, waktu dan

kepastian merupakan faktor yang penting. Hukum kontrak dalam hal ini

memberikan sarana yang memungkinkan para pihak mengakomodasi seluruh

kepentingannya. Kontrak merupakan janji yang mengikat dan janji-janji tersebut

menimbulkan harapan-harapan yang layak. Hukum kontrak dalam hal ini

merupakan instrumen hukum yang berfungsi untuk menjamin pelaksanaan janji

dan harapan itu.2

Ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian diatur dalam Titel II Pasal 1313

sampai dengan Pasal 1351 Burgerljik Wetboek, Stb, 1847 No. 23 (selanjutnya

disebut BW). Menurut Pasal 1313 BW, yang dimaksud dengan perjanjian adalah

suatu perbuatan, dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap

satu orang lain atau lebih. Terjadinya persesuaian kehendak ini dapat berupa lisan

atau tertulis. Dari sini timbul suatu penawaran dan suatu acceptance

(penerimaan), sehingga menimbulkan suatu persetujuan yang mengakibatkan

timbulnya ikatan-ikatan bagi masing-masing pihak.

Suatu janji dengan sengaja antara dua pihak tersebut dan kesepakatan

untuk saling mengikatkan diri, menimbulkan suatu hak dan kewajiban bagi

masing-masing pihak yang perlu untuk diwujudkan. Hak dan kewajiban yang

perlu diwujudkan ini, berupa prestasi yang tersimpul dalam suatu kewajiban untuk

2 Yohanes Sogar Simamora, 2009, Hukum Perjanjian ; (Prinsip Hukum Kontrak

Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah), LaksBang Pressindo, Yogyakarta, hal. 32-33.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

3

memberikan atau menyerahkan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak

berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW).

Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat

antara para pihak. Pihak yang satu dapat menuntut prestasi yang diperjanjikan

pada pihak lainnya. Untuk itu para pihak diwajibkan untuk secara efektif berperan

dalam mewujudkan apa yang diperjanjikan. Mengingat perjanjian berlaku sebagai

undang-undang maka jika salah satu pihak melakukan wanprestasi, maka pihak

lainnya dapat menuntut pemenuhan prestasi melalui gugatan dipengadilan.

Selanjutnya dalam Pasal 1320 BW disebutkan bahwa untuk sahnya suatu

perjanjian, diperlukan 4 syarat, yaitu adanya sepakat mereka yang mengikatkan

dirinya, kecakapan untuk membuat perikatan, hal tertentu dan suatu sebab yang

halal. Pemenuhan persyaratan ini membuat setiap orang dapat membuat perjanjian

apa saja. Pasal 1320 BW disebut sebagai ketentuan yang mengatur asas

konsesualisme, yaitu perjanjian adalah sah apabila ada kata sepakat mengenai hal-

hal yang pokok dari perjanjian. Hal ini berkaitan dengan asas kebebasan

berkontrak dalam membuat semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, yang disimpulkan dari

Pasal 1338 ayat (1) BW, sehingga perjanjian harus dibuat dengan memenuhi

ketentuan Undang-Undang, maka perjanjian tersebut mengikat para pihak yang

kemudian menimbulkan hak dan kewajiban di antara pihak-pihak tersebut.

Berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) BW, salah satu syarat yang harus

dipenuhi dalam menerapkan asas kebebasan berkontrak, adalah itikad baik dari

pihak yang membuat perjanjian. Itikad baik dalam tahap pelaksanaan perjanjian

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

4

adalah kepatutan, yaitu suatu penilaian baik terhadap tindak tanduk suatu pihak

dalam melaksanakan apa yang akan diperjanjikan.3 Asas itikad baik dengan

demikian mengandung pengertian, bahwa kebebasan suatu pihak dalam membuat

perjanjian tidak dapat diwujudkan sekehendaknya tetapi dibatasi oleh itikad

baiknya.4

Pengaturan itikad baik di Indonesia ditemukan yang dalam Pasal 1338 ayat

(3) BW yang menyebutkan bahwa perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik.

Ketentuan ini sangat abstrak. Tidak ada pengertian dan tolok ukur itikad baik

dalam BW. Oleh karena itu, perlu dicari dan ditelusuri makna dan tolok ukur

itikad baik tersebut.

Asas iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak didasarkan pada ide bahwa

para pihak dalam suatu hubungan hukum harus memiliki sikap yang dikaitkan

dengan karakter reciprocal trust dan consideration sesuai dengan tujuan norma

hukum. Unsur moral dan postulat masyarakat masuk ke dalam konsep iktikad baik

sebagai basis bagi suatu tindakan yang mensyaratkan adanya penghormatan

tujuan hukum.5 Pelaksanaan perjanjian mengacu kepada itikad baik yang objektif.

Itikad baik objektif mengacu kepada suatu norma yang objektif. Itikad baik

tersebut tidak hanya mengacu kepada iktikad baik para pihak, tetapi harus pula

mengacu kepada pengaturan perundang-undangan di Indonesia. Dengan makna

3 Subekti, 2006, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, Bandung, hal. 26.

(Selanjutnya disebut Subekti II). 4 Sutan Remy Sjahdeni, 2008, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang

bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, hal. 49.

5 Arthur S. Hartkamp dan Marianne dalam Ridwan Khairandy, 2009, “Makna, Tolok Ukur, Pemahaman dan Sikap Pengadilan di Indonesia terhadap Iktikad Baik dalam Pelaksanaan Kontrak,” Jurnal Hukum, No. Edisi Khusus, Vol. 16, hal. 56-62. (Selanjutnya disebut Ridwan Khairandy I)

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

5

yang demikian itu menjadikan standar itikad baik sebagai suatu universal social

force yang mengatur hubungan antar sosial mereka, yakni setiap warga negara

harus memiliki kewajiban untuk bertindak dengan itikad baik terhadap semua

warga negara.6

Penyamaan perilaku itikad baik dengan ketaatan pada standar objektif

membatasi elastisitas konsep itikad baik, mengesampingkan fakta eksternal yang

menunjukkan perilaku itikad buruk, dan secara potensial menimbulkan hasil yang

tidak adil. Standar pengukuran perilaku dalam pembentukan perjanjian,

pelaksanaan perjanjian, atau penegakan hukum perjanjian harus menjadi sesuatu

yang elastis. Standar tersebut harus dibuat fleksibel dengan gagasan itikad baik,

yang pada hakikatnya suatu konsep yang luas. Gagasan itikad baik merupakan a

single mode of analysis comprising a spectrum of related, factual considerations.7

J.M van Dunn membagi tahapan berkontrak dalam tiga fase, yakni fase pra

kontrak, fase pelaksanaan kontrak dan fase pasca kontrak itikad baik sudah harus

ada sejak fase pra-kontrak dimana para pihak mulai melakukan negosiasi hingga

mencapai kesepakatan dan fase pelaksanaan kontrak8 Itikad baik pada tahap pra-

kontrak merupakan kewajiban untuk memberitahukan atau menjelaskan dan

meneliti fakta material bagi para pihak yang berkaitan dengan jual beli tanah yang

dinegosiasikan itu. Sehubungan dengan hal itu, putusan-putusan Hoge Raad

menyatakan para pihak yang bernegosiasi masing-masing memiliki itikad baik.9

6 Ibid. 7 Ridwan Khairandy, 2011, “Kebebasan Berkontrak dan Facta Sunt Servanda Versus

Itikad Baik: Sikap yang harus diambil Pengadilan,” disampaikan pada, Pidato Pengukuhan dalam Jabatan Guru Besar Hukum kontrak, Universitas Islam Indonesia, tanggal 8 februari, hal. 26-27. (Selanjutnya disebut Ridwan Khairandy II).

8 Ibid, hal. 190. 9 Ibid, hal. 190.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

6

Itikad baik subjektif dapat dikaitkan dengan hukum benda (bezit). Seorang

pembeli yang beritikad baik adalah seorang yang membeli barang dengan niat

untuk membeli suatu benda yang diinginkan dengan kesadaran bahwa untuk

membeli benda tersebut diperlukan pembayaran. Pembeli yang beritikad baik ini

adalah seorang pembeli yang jujur. Sebaliknya adalah pembeli yang beritikad

buruk atau pembeli yang tidak jujur.

Jadi, itikad baik di dalam hukum benda di artikan sebagai kejujuran.

Penjual yang beritikad baik atau penjual yang jujur adalah orang yang jujur yang

menunjukkan adanya cacat yang melekat pada barang yang dijualnya itu, dalam

hal jual beli tanah, penjual jujur menunjukkan cacat mengenai asal usul tanahnya.

Dalam hal ini, itikad baik merupakan suatu elemen subjektif. Itikad baik subjektif

ini berkaitan dengan sikap batin atau kejiwaan yaitu apakah yang bersangkutan

menyadari atau mengetahui bahwa tindakannya bertentangan atau tidak dengan

itikad baik atau kejujuran.

Pihak yang memiliki itikad baik dalam tahap pra perjanjian/kontrak jual

beli tanah namun menderita kerugian pada tahap pelaksanaan perjanjian/kontrak,

hak-haknya patut untuk dilindungi, sehingga janji-janji pra perjanjian/kontrak

akan berdampak hukum bagi yang melanggarnya, dimana asas itikad baik harus

sudah ada sejak pada tahap pra perjanjian/kontrak atau pelaksaan kontrak.

Sementara itu, masalah jual beli tidak dapat dipisahkan dari kehidupan

masyarakat sehari-hari dan itikad baik dalam jual beli merupakan faktor yang

penting sehingga pembeli yang beritikad baik akan mendapat perlindungan

hukum secara wajar menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku,

sedangkan yang tidak beritikad baik tidak perlu mendapat perlindungan hukum.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

7

Ada hal-hal yang harus diperhatikan dalam jual beli khususnya jual beli

atas tanah, seperti status hukum tanah tersebut apakah sedang dalam sengketa atau

tidak dan sedang dijaminkan atau tidak, hal tersebut biasanya tercantum dalam

surat pernyataan tidak dalam sengketa yang ditandatangani oleh pihak penjual dan

diketahui oleh pejabat daerah setempat dimana objek jual beli itu berada. Itikad

baik yang ditunjukkan oleh pihak pembeli yaitu dengan membayar harga yang

telah disepakati, dan pihak penjual berkewajiban menyerahkan objek jual beli

yang telah dibayar kepada pihak pembeli dalam keadaan tidak sedang dijaminkan

ke instansi manapun. Hal ini merupakan salah satu problem hukum apabila

penjual tidak memiliki itikad baik yaitu tidak mengatakan yang sebenarnya

mengenai obyek tanah yang dijualnya, seperti misalnya tanah sedang dijaminkan

tetapi tidak dikatakan secara terus terang atau tanah yang dijual sebenarnya masih

dalam sengketa tetapi dikatakan tidak dalam sengketa. Selain itu, bila pembeli

atau penjual tidak mempunyai itikad baik akan menyulitkan notaris untuk

membuatkan akta jual beli tanahnya mengingat notaris kesulitan dalam menilai

itikad baik dari para pihak baik penjual maupun pembeli.

Iktikad baik sebernarnya tidak hanya mengacu kepada iktikad baik para

pihak, tetapi harus pula mengacu kepada nilai-nilai yang berkembang dalam

masyarakat, sebab iktikad baik merupakan bagian dari masyarakat. Iktikad baik

ini akhirnya mencerminkan standar keadilan atau kepatutan masyarakat.10 Dengan

makna yang demikian itu menjadikan standar iktikad baik sebagai suatu tekanan

sosial yang mengatur hubungan antar sosial mereka, yakni setiap warganegara

10 P. van Warmelo, 1976, An Introduction to the Principles of Roman Law, Juta and Co

Ltd, Cape Town, hal. 151.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

8

harus memiliki kewajiban untuk bertindak dengan iktikad baik terhadap semua

warganegara.25 Ini merupakan konsepsi objektif, yang secara universal diterapkan

dalam semua transaksi. Hal ini sesuai dengan Roscoe Pound yang menyatakan

jika seseorang bertindak dengan iktikad baik sesuai dengan standar objektif yang

didasarkan pada kebiasaan sosial, maka orang lain juga harus bertindak yang

serupa terhadap dirinya.11

Walaupun itikad baik menjadi asas penting dalam hukum kontrak pada

berbagai sistem hukum tetapi asas itikad baik tersebut masih menimbulkan

sejumlah permasalahan hukum lainnya. Permasalahan hukum tersebut diantaranya

berkaitan keabstrakan atau kekaburan makna itikad baik sehingga timbul

pengertian itikad baik yang berbeda-beda baik dari perspektif waktu, tempat, dan

orangnya. Selain tidak ada makna tunggal itikad baik, dalam praktik (praktek)

timbul pula permasalahan mengenai tolak ukur, dan fungsi itikad baik tersebut.

Akibatnya, makna dan tolak ukur serta fungsi itikad baik lebih banyak

disandarkan pada sikap atau pandangan hakim yang ditentukan secara kasus per

kasus.12 Permasalahan yang menarik untuk diteliti diantaranya berkaitan dengan

kekaburan makna itikad baik sehingga timbul pengertian itikad baik yang

berbeda-beda baik dari perspektif waktu, tempat, dan orangnya. Selain tidak ada

makna tunggal itikad baik tersebut, timbul pula permasalahan mengenai tolak

ukur, dan fungsi itikad baik tersebut. Akibatnya, makna dan tolak ukur serta

fungsi itikad baik lebih banyak disandarkan pada sikap atau pandangan hakim

11 Ridwan Khairandy, 2009, “Makna, Tolok Ukur, Pemahaman, dan Sikap Pengadilan di

Indonesia terhadap Iktikad Baik dalam Pelaksanaan Kontrak,” Jurnal Hukum No. Edisi Khusus, Vol. 16, hal. 51-71.

12 Budi Untung, 2012, Hukum dan Etika Bisnis, Andi, Yogyakarta, hal.87

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

9

yang ditentukan secara kasus per kasus. Demikian juga bila dikaitkan dengan

perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah yang pada saat ini seringkali penjual

maupun pembeli banyak menggunakan penipuan atau itikad buruk pada waktu

melakukan transaksi jual beli tanah. Hal ini terjadi mengingat harga tanah

semakin hari semakin meningkat pesat sehingga mengundang minat orang untuk

meraih keuntungan sesaat yang besar namun dengan cara melakukan penipuan

dalam transaski jual beli tanah yang mengabaikan asas itikad baik.

Penilaian itikad baik harus memperhatikan kepatutan. Setiap kontrak harus

didasarkan pretium iustum yang mengacu kepada reason dan equity yang

mensyaratkan adanya keseimbangan antara kerugian dan keuntungan bagi kedua

belah pihak dalam kontrak (just price). Hal tersebut sejalan dengan tujuan hukum

sendiri, yakni merealisasikan keadilan. Isi hukum, termasuk isi kontrak harus

memuat nilai-nilai keadilan.

Ketentuan Pasal 1342 BW menyebutkan bahwa jika kata-kata dalam suatu

kontrak sudah jelas maka tidak lagi diperkenankan untuk menyimpang

daripadanya dengan jalan penafsiran. Hal ini mengisyaratkan bahwa apapun

kontrak yang dibuat orang hendaknya jelas isinya sehingga memberi kepastian.

Hal inilah yang dalam ilmu hukum kontrak disebut dengan asas sens clair atau

doktrin kejelasan makna (plain meaning rules).13 Idealnya suatu kontrak tidak

memerlukan penafsiran apapun, oleh karena itu kalimat atau kata-kata dalam

kontrak seharusnya sudah dengan sendirinya dapat menjelaskan maksud dari

klausula-klausula yang ada. Oleh karena itu, jika semuanya sudah jelas ditulis

13Suhardana, 2008, Contract Drafting: Kerangka Dasar dan Teknik Penyusunan Kontrak,

Universitas Atmajaya, Yogyakarta, hal. 65.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

10

dalam kontrak, maka penafsiran kontrak bukan hanya tidak diperlukan, tetapi

memang tidak diperbolehkan jika dengan penafsiran tersebut justru akan

mempunyai arti yang menyimpang dari yang tersirat tersebut.14

Berdasarkan penelitian kepustakaan baik melalui perpustakaan-

perpustakaan yang ada di Kota Denpasar maupun secara online terdapat beberapa

penelitian yang berkaitan dengan asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual

beli hak atas tanah yaitu :

1. Penelitian Arkie V.Y. Tumbelaka dengan judul ”Kajian Kontrak Baku

dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun dalam

Perspektif Itikad Baik (Kasus Rumah Susun Permata Gandaria Antara

Nyonya X dengan Pt. Putra Surya Perkasa)”. Magister Hukum Ekonomi,

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Tahun 2012. Rumusan masalah

dari tesis ini adalah sebagai berikut :

a. Bagaimanakah perspektif asas itikad baik terhadap kontrak baku

khususnya pada perjanjian pengikatan jual beli satuan rumah susun?

b. Bagaimanakah asas itikad baik memberikan perlindungan bagi calon

pembeli terkait dengan kontrak baku yang terdapat dalam perjanjian

pengikatan jual beli satuan rumah susun?

Penelitian Arkie V.Y. Tumbelaka dengan penelitian yang akan dilakukan

memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini

sama-sama meneliti tentang itikad baik dalam perjanjian. Perbedaannya

jika penelitian Arkie V.Y. Tumbelaka membahas perjanjian pengikatan

14 Bambang Sutiyoso, 2013, “Penafsiran Kontrak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Maknanya bagi Para Pihak yang Bersangkutan,” Jurnal Hukum Iuq Quia Iustum, No.2, Vol.20, hal. 208-209.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

11

jual beli tanah satuan rumah susun permata Gandaria, sedangkang pada

penelitian yang akan dilakukan membahas itikad baik dalam perjanjian

pengikatan jual beli tanah pada umumnya.

2. Penelitian Erna Widjajati dengan judul ”Itikad Baik dalam Jual Beli Tanah

di Indonesia”. Program Magister Hukum, Fakultas Hukum Universitas

Muhammadiyah Jakarta, Tahun 2010. Rumusan masalah dari tesis ini

adalah sebagai berikut :

a. Apakah perbuatan penjual yang menyatakan bahwa tanah yang

dijualnya kepada pembeli tidak dalam sengketa baik mengenai haknya

atau batas-batasnya, namun dalam pelaksanaan perjanjian ternyata

tidak sesuai dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum

menurut KUH Perdata?

b. Apakah penjual memiliki itikad tidak baik dalam perjanjian jual beli

tanah tersebut?

c. Apakah pengadilan agama memiliki kewenangan untuk meletakkan

sita jaminan terhadap tanah yang merupakan harta bersama antara A

dengan S?

Penelitian Erna Widjajati dengan penelitian yang akan dilakukan memiliki

persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini sama-sama

meneliti tentang itikad baik dalam perjanjian. Perbedaannya jika penelitian

Erna Widjajati membahas mengenai itikad baik dalam jual beli tanah di

Indonesia, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan membahas

mengenai asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas

tanah.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

12

3. Penelitian Bronto Hartono dengan judul “Prinsip Itikad Baik dalam

Pelaksanaan Perjanjian Asuransi Jiwa PT.Asuransi Jiwasraya (Persero) di

Regional Office Semarang”. Program Pascasarjana Magister Kenotariatan,

Universitas Diponegoro Semarang, Tahun 2013. Rumusan masalah dari

tesis ini adalah sebagai berikut :

a. Apakah cacat (kesehatan) tersembunyi merupakan pelanggaran prinsip

Utmost Good Faith?

b. Bagaimana akibat hukum klaim asuransi, apabila terdapat cacat

(kesehatan) tersembunyi dalam perjanjian asuransi jiwa, jika

dihubungkan dengan prinsip Utmost Good Faith?

c. Bagaimana penyelesaian sengketa klaim asuransi dalam perjanjian

asuransi jiwa yang diketahui terdapat cacat (kesehatan) tersembunyi?

Penelitian Bronto Hartono dengan penelitian yang akan dilakukan

memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini

sama-sama meneliti tentang itikad baik dalam perjanjian. Perbedaannya

jika penelitian Bronto Hartono membahas tentang prinsip itikad baik

dalam pelaksanaan perjanjian asuransi jiwa PT. Asuransi Jiwasraya

(Persero) di Regional Office Semarang, sedangkan pada penelitian yang

akan dilakukan membahas mengenai asas itikad baik dalam perjanjian

pengikatan jual beli hak atas tanah.

Berdasarkan persamaan dan perbedaan penelitian sebelumnya dengan

penelitian yang akan dilakukan seperti diuraikan di atas, maka dapat dinyatakan

bahwa penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan penelitian-penelitian

sebelumnya baik substansi maupun metodologinya.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

13

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul ”Asas Itikad Baik dalam

Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut di atas, maka

rumusan masalah dalam penelitian ini dikemukakan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah mewujudkan asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan

jual beli hak atas tanah?

2. Bagaimanakah akibat hukum yang terjadi jika tidak merealisasikan asas

itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini merupakan upaya peneliti untuk

pengembangan ilmu hukum terkait dengan perjanjian pengikatan jual beli hak atas

tanah. Berdasarkan hal ini tujuan umum dari penelitian ini adalah “untuk

mengetahui dan menganalisis asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual

beli hak atas tanah.”

1.3.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana mewujudkan asas itikad

dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

14

2. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum yang terjadi jika tidak

merealisasikan asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak

atas tanah.

1.4 Manfaat Penelitian

Tiap penelitian harus diyakini kegunaannya bagi pemecahan masalah yang

diselidiki. Untuk itu perlu dirumuskan secara jelas tujuan penelitian yang bertitik

tolak dari permasalahan yang diungkap. Suatu penelitian setidaknya harus mampu

memberikan manfaat baik teoritis maupun praktis dalam kehidupan masyarakat.

Kegunaan penelitian ini dapat ditinjau dari dua segi yang saling berkaitan yaitu

dari segi teoritis dan segi praktis.

1.4.1 Manfaat Teoritis

1. Hasil penelitian diharapkan bermanfaat bagi pengembangan keilmuan

hukum khususnya hukum perdata dalam hal perjanjian pengikatan jual beli

hak atas tanah dan ilmu pengetahuan lainnya.

2. Memberi masukan bagi para pihak yang membutuhkan pengetahuan

mengenai asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas

tanah.

3. Bermanfaat sebagai bahan kajian awal yang lebih mendalam bagi peneliti

lainnya yang akan melakukan kajian atas asas itikad baik dalam perjanjian

pengikatan jual beli hak atas tanah.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Memberikan masukan bagi para pihak yang terkait atau masyarakat dalam

memaknai asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas

tanah.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

15

2. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan

dapat memberikan informasi dalam memahami asas itikad baik dalam

perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah.

1.5 Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran

1.5.1 Landasan Teoritis

Pada dasarnya yang disebut teori adalah asas, konsep dasar, pendapat yang

telah menjadi kebenaran umum. Menurut Kerlinger15 sebuah teori adalah

seperangkat konstruk atau konsep, batasan, dan proposisi yang menyajikan suatu

pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan-hubungan

variabel dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi fenomena itu. Sedangkan

konsep adalah suatu pemikiran, ide atau gagasan yang menjadi obyek penelitian.

Teori memiliki peranan yang sangat penting untuk memandu penelitian

sehingga penelitian yang dilakukan dapat mencapai tujuan yang diinginkan.

Adapun teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Keadilan dan

Teori Kehendak, sedangkan asas yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

Asas Kepatutan dan Prinsip Rasionalitas serta konsep yang akan digunakan dalam

penelitian ini adalah Konsep Jual Beli.

1.5.1.1 Teori Keadilan

Transaksi jual beli tanaj mempersyaratkan adanya itikad baik antara

penjual dan pembeli. Itikad baik penjual dengan menunjukkan kejujuran

mengenai tanah yang dijualnya meskipun ada cacat yang tersembunyi yang

15 Fred N. Kerlinger, 2004, Foundation of Behavioral Research. Holt, Rinehart, hal. 16-

17.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

16

mungkin tidak mudah untuk diketahui pembeli, sedangkan itikad baik pembeli

ditunjukkan dengan sikap percaya dari pembeli atas penawaran yang diajukan

oleh penjual. Adanya itikad baik antara penjual dan pembeli itu dapat

mewujudkan keadilan dalam transaksi jual beli tanah yang berarti juga tidak ada

pihak baik penjual ataupun pembeli yang dirugikan. Oleh karena itu, Teori

Keadilan digunakan dalam penelitian ini untuk menganalisis rumusan masalah

yang pertama yaitu cara mewujudkan asas itikad dalam perjanjian pengikatan jual

beli hak atas tanah yang berarti juga mewujudkan keadilan diantara pihak penjual

dan pembeli..

Gustav Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum

sebagai “tiga ide dasar hukum” atau “tiga nilai dasar hukum”,16 yang berarti dapat

dipersamakan dengan asas hukum. Di antara ketiga asas tersebut yang sering

menjadi sorotan utama adalah masalah keadilan, dimana Friedman menyebutkan

bahwa : “In terms of law, justice will be judged as how law treats people and how

it distributes its benefits and cost,” dan dalam hubungan ini Friedman juga

menyatakan bahwa “every function of law, general or specific, is allocative”.17

Sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini yang menjadi

rujukan pertama baik dalam pengaturan perundang-undangan maupun dalam

berbagai aktivitas yang berhubungan dengan gerakan perlindungan konsumen

oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya.

16Gustav Radbruch, 1950, Legal Philosophy, in The legal Philosophies of Lask,

Radbruch, and Dabin, Translated by Kurt Wilk, Harvard University Press, Massachusetts, hal. 107. Lihat juga Achmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Ghalia Indonesia, Bogor, hal.67.

17Peter Mahmud Marzuki, 1997, “The Need for the Indonesian Economic Legal Framework”, dalam Jurnal Hukum Ekonomi, Edisi IX, hal. 28.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

17

Secara historis, pada awalnya menurut Gustav Radbruch tujuan kepastian

menempati peringkat yang paling atas di antara tujuan yang lain. Namun, setelah

melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut Jerman di bawah kekuasaan

Nazi melegalisasi praktek-praktek yang tidak berperikemanusiaan selama masa

Perang Dunia II dengan jalan membuat hukum yang mensahkan praktek-praktek

kekejaman perang pada masa itu, Radbruch pun akhirnya meralat teorinya

tersebut di atas dengan menempatkan tujuan keadilan di atas tujuan hukum yang

lain. Memanglah demikian bahwa keadilan adalah tujuan hukum yang pertama

dan utama, karena hal ini sesuai dengan hakekat atau ontologi hukum itu sendiri.18

Oleh karena itu hukum diciptakan untuk menggapai keadilan melalui peraturan

perundang-undangan yang adil sehingga dapat memberi kemanfaatan bagi orang

banyak. Dengan demikian dari 3 tujuan hukum, keadilan, kepastian dan

kemanfaatan, keadilan didudukan pada urutan yang pertama dan utama.

Keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum juga oleh banyak hakim

menyebut sebagai tujuan hukum. Persoalannya, sebagai tujuan hukum, baik

Radbruch maupun Achmad Ali mengatakan adanya kesulitan dalam mewujudkan

secara bersamaan. Achmad Ali mengatakan, kalau dikatakan tujuan hukum

sekaligus mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, apakah hal

itu tidak menimbulkan masalah? Dalam kenyataan sering antara tujuan yang satu

dan lainnya terjadi benturan. Dicontohkannya, dalam kasus hukum tertentu bila

hakim menginginkan putusannya “adil” menurut persepsinya, maka akibatnya

sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, demikian pula sebaliknya.19

18 Achmad Ali, Op.Cit., hal. 69 19Achmad Ali, 2008, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Yasrif Watampone,

Jakarta, hal. 95-96.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

18

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa melalui asas prioritas yang

kasuistis, tujuan hukum untuk mencapai keadilan, kemanfaatan, atau kepastian

hukum semua tergantung dari kondisi yang ada atau dihadapi di dalam setiap

kasus.

Dalam Teori Keadilan pengertian keadilan memiliki sejarah pemikiran

yang panjang. Dapat dikatakan tema keadilan merupakan tema utama dalam

hukum semenjak masa Yunani Kuno.20 Memang secara hakiki, dalam diskursus

hukum, sifat dari keadilan itu dapat dilihat dalam 2 (dua) arti pokok, yakni dalam

arti formal yang menuntut bahwa hukum itu berlaku secara umum, dan dalam arti

materil, yang menuntut agar setiap hukum itu harus sesuai dengan cita-cita

keadilan masyarakat.21 Namun apabila ditinjau dalam konteks yang lebih luas,

pemikiran mengenai keadilan itu berkembang dengan pendekatan yang berbeda-

beda, karena perbincangan tentang keadilan yang tertuang dalam banyak buku

atau literatur, tidak mungkin tanpa melibatkan tema-tema moral, politik dan teori

hukum yang ada. Oleh sebab itu menjelaskan mengenai keadilan secara tunggal

hampir-hampir sulit untuk dilakukan.

Pada garis besarnya, pembahasan mengenai keadilan terbagi atas 2 (dua)

arus pemikiran, yang pertama adalah keadilan ontologis atau metafisik, sedangkan

yang kedua, keadilan yang rasional. Keadilan yang metafisik atau ontologis

diwakili oleh Plato, sedangkan keadilan yang rasional diwakili oleh pemikiran

Aristoteles. Keadilan yang metafisik, sebagimana diutarakan oleh Plato,

20E. Fernando M. Manullang, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan, Tinjauan Hukum

Kodrat dan Antinomi Nilai, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal.96. 21Franz Magnis Suseno, 2003, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan

Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 81.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

19

menyatakan bahwa sumber keadilan itu asalnya dari inspirasi dan intuisi.

Sementara, keadilan yang rasional mengambil sumber pemikirannya dari prinsip-

prinsip umum dari rasionalitas tentang keadilan.22

Lebih lanjut, Aristoteles memformulasikan bahwa filsafat hukum

membedakan keadilan menjadi 2 (dua) yaitu keadilan distributif dengan keadilan

korektif, yang merupakan dasar bagi semua pembahasan teoritis terhadap pokok

persoalan keadilan. Keadilan distributif mengacu pada pembagian barang dan jasa

kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat, dan

perlakuan yang sama terhadap kesederajatan di hadapan hukum (equity before the

law)23. Sedangkan keadilan korektif, pada dasarnya merupakan ukuran teknis dan

prinsip-prinsip yang mengatur penerapan hukum.

Dengan demikian, jelas sekali bahwa dalam menentukan pengertian

keadilan, baik secara formal maupun substansial, dirasakan sangat sulit ditentukan

secara definitif. Keadilan itu dapat berubah-ubah isinya, tergantung dari pihak

siapa yang menentukan isi keadilan itu, termasuk juga faktor-faktor lainnya yang

turut membentuk keadilan itu, seperti tempat maupun waktunya. Seperti halnya

John Rawls, yang membangun teorinya secara teliti mengenai keadilan.

Menurut Rawls, keadilan itu tidak saja meliputi konsep moral tentang

individunya, tetapi juga mempersoalkan mekanisme dari pencapaian

keadilan itu sendiri, termasuk juga bagaimana hukum turut serta

mendukung upaya tersebut).24

22W. Friedman, 1967, Legal Theory, Columbia University Press, New York, hal. 346. 23Khudzaifah Dimyati, 2005, Teorisasi Hukum: Study Tentang Perkembangan Pemikiran

Hukum Di Indonesia 1945-1990, Muhammadiyah University Press, Surakarta, hal. 54. 24 John Rawls, 2009, Teori Keadilan, terj. Mahendra, Remaja Rosdakarya, Bandung, hal.

11.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

20

Sedangkan keadilan menurut Kelsen, pada dasarnya menyatakan keadilan

merupakan nilai yang mengarahkan setiap pihak untuk memberikan perlindungan

atas hak-hak yang dijamin oleh hukum (unsur hak) dan perlindungan itu sendiri

pada akhirnya harus memberikan manfaat kepada setiap individu (unsur

manfaat).25

1.5.1.2 Teori Kehendak

Teori kehendak dalam penelitian ini digunakan untuk membahas rumusan

masalah yang kedua yaitu akibat hukum jika tidak merealisasikan asas itikad baik

dalam perjanjian jual beli tanah yang hingga saat ini belum diatur secara jelas

dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Teori ini dipergunakan untuk membahas rumusan masalah yang kedua

yaitu akibat hukum jika tidak merealisasikan asas itikad baik dalam perjanjian jual

beli tanah yang hingga saat ini belum diatur secara jelas dalam peraturan

perundang-undangan di Indonesia. Tidak adanya itikad baik dari para pihak atau

salah satu pihak sebenarnya terjadinya kehendak para pihak adalah semu. Jika saja

piha yang bertikad baik mengetahui bahwa pihak lain tidak memiliki itikad baik

tentunya tidak ada pertemuan kehendak yang berarti juga tidak terjadainya

perjanjian diantara para pihak.

Teori kehendak termasuk salah satu teori hukum kontrak klasik yang

berasal dari prinsip private autonomy, kemudian bermakna bahwa kehendak para

pihak yang menentukan hubungan hukum kontrak mereka. Prinsip yang demikian

25 Hans Kelsen, 2000, Pengantar Teori Hukum, Penerbit Nusa Media, Bandung, hal, 48-

51.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

21

memiliki beberapa konsekuensi sebagai berikut (1) hukum yang berlaku bagi

mereka tersebut semata-mata berkaitan dengan maksud yang sebenarnya dari

pihak yang berjanji; (2) maksud para pihak harus “bertemu” pada saat sebelum

dibuatnya kontrak; (3) hakim tidak memiliki kewenangan untuk mengisi celah

dalam suatu kesepakatan dan tidak berdaya menghadapi kemungkinan hal yang

tidak terduga; dan (4) pihak yang berjanji bebas mengungkapkan kemauannya.26

Teori kehendak adalah salah satu teori dari hukum kontrak klasik.

Menurut teori kehendak suatu kehendak menghadirkan suatu ungkapan kehendak

di antara para pihak, yang harus dihormati. Dalam teori kehendak berasumsi

bahwa suatu kontrak melibatkan hak dan kewajiban yang dibebankan kepada para

pihak. Para pihak dalam suatu perjanjian memiliki hak untuk memenuhi

kepentingan pribadinya sehingga melahirkan suatu perikatan. Pertimbangannya

ialah bahwa para pihak harus memiliki kebebasan dalam setiap penawaran dan

mempertimbangkan kemanfaatannya bagi dirinya.

Subekti mengungkapkan bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian. Kontrak atau perjanjian semata-mata adalah suatu pernyataan kehendak dari dua atau lebih individu. Pernyataan ini merupakan suatu syarat yang harus ada. Tanpa adanya pernyataan ini maka kontrak yang dibuat tidak dapat ada. Para pihak membuat kontrak dengan beberapa kehendak yaitu :

a. Kebutuhan terhadap janji atau janji-janji; b. Kebutuhan terhadap janji atau janji-janji antara dua atau lebih; c. Pihak dalam suatu perjanjian; d. Kebutuhan terhadap janji-janji yang dimuat dalam bentuk kewajiban, dan; e. Kebutuhan terhadap kewajiban bagi penegakkan hukum.27

Perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah sebenarnya mencantumkan

janji-janji antara pihak penjual dengan pihak pembeli melalui klausula-klausula

26 Ridwan Khairandy, 2011, “Landasan Filosofis Kekuatan Mengikatnya Kontrak”, Jurnal Hukum No. Edisi Khusus Vol. 18, hal. 46.

27 R. Subekti, Op.Cit, hal. 3.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

22

hak dan kewajiban para pihak. Kehendak para pihak yang disebutkan dalam

perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah ini harus dinyatakan oleh para

pihak. Suatu pernyataan kehendak antara pihak penjual dengan pihak pembeli

merupakan suatu syarat yang harus ada. Tanpa adanya pernyataan ini maka

perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah yang dibuat tidak akan pernah ada.

Teori kehendak dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah adalah

sebagai teori yang menegaskan bahwa terdapat kebebasan bagi para pihak untuk

mewujudkan kehendaknya yang dinyatakan dalam transaksi hukum dua belah

pihak yaitu dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah.

1.5.1.3 Asas Kepatutan

Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 BW berkaitan dengan ketentuan

mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat

perjanjiannya Suatu perjanjian dilaksanakan dengan terlebih dahulu harus

menetapkan secara tegas dan cermat apa yang menjadi isi dari perjanjian tersebut.

Dengan demikian dapat diketahui hal-hal yang menjadi hak dan kewajiban dari

masing-masing pihak. Akan tetapi dalam kenyataannya seseorang dalam

mengadakan kontrak tidak mengatur maupun menetapkan secara teliti mengenai

hak dan kewajiban mereka. Biasanya para pihak hanya menyebutkan hal-hal yang

pokok dan penting saja.28

Berdasarkan Pasal 1339 BW, satu perjanjian tidak hanya mengikat untuk

hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk segala

sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan (diwajibkan) oleh kepatutan,

28 O.C.Kaligis, 2009, Asas Kepatutan dalam Arbitrase, Alumni, Bandung, hal.. 191.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

23

kebiasaan, dan undang- undang. Dengan kata lain, setiap perjanjian dilengkapi

dengan aturan yang terdapat dalam undang-undang, adat kebiasaan. Sedangkan

kewajiban-kewajiban yang diharuskan oleh keputusan (norma kepatutan) juga

harus diindahkan. Dalam Pasal 1339 BW inilah,dapat diketahui bahwa kepatutan

dan adat kebiasaan ditunjuk sebagai norma di samping undang-undang yang ikut

berperan dalam menentukan hak dan kewajiban kedua belah pihak.

Kepatutan dalam perjanjian berkaitan dengan kesesuaian dan keselarasan

antara perjanjian dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.

Kepatutan dengan acuan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan

tersebut merupakan bagian tidak terpisahkan pula dengan prinsip itikad baik dan

prinsip kehati-hatian. Itikad baik dalam pengertian yang sangat subyektif dapat

diartikan sebagai kejujuran seseorang, yaitu apa yang terletak pada seseorang pada

waktu diadakan perbuatan hukum. Sedangkan itikad baik dalam pengertian

obyektif yaitu bahwa pelaksanaan suatu perjanjian itu harus didasarkan pada

norma kepatutan atau apa-apa yang dirasa sesuai dengan yang patut dalam

masyarakat.29 Berdasarkan uraian ini dapat disimpulkan dalam perjanjian terdapat

asas kekuatan mengikat, yaitu terikatnya para pihak pada perjanjian tidak terbatas

pada hal yang diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap unsur-unsur lain sepanjang

sesuai dengan kebiasaan dan kepatutan serta moral.

1.5.1.4 Prinsip Rasionalitas

Prinsip rasionalitas pertama kali diperkenalkan oleh John Rawl. Rawls

menawarkan suatu penyelesaian terkait dengan problematika keadilan dengan

29 Purwahid Patrik, 2006, Asas lktikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian, Badan

Penerbit UNDIP, Semarang, hal. 36.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

24

membangun teori keadilan berbasis kontrak.30 Menurutnya suatu teori keadilan

yang memadai harus dibentuk dengan pendekatan kontrak, dimana asas-asas

keadilan yang dipilih merupakan hasil kesepakatan bersama dari semua individu

yang bebas rasional dan sederajat. Hanya melalui pendekatan kontrak sebuah teori

keadilan mampu menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan

kewajiban secara adil bagi semua orang. Oleh karenanya dengan tegas Rawls

menyatakan, suatu konsep keadilan yang baik haruslah bersifat kontraktual. Setiap

konsep keadilan yang tidak berbasis kontraktual harus dikesampingkan demi

kepentingan keadilan itu sendiri. Dalam konteks ini Rawls menyebut “justice as

fairness” yang ditandai dengan adanya prinsip rasionalitas, kebebasan dan

kesamaan.31 Oleh karena itu diperlukan prinsip-prinsip keadilan yang lebih

mengutamakan asas hak daripada asas manfaat. Prinsip keadilan distributif

dirumuskan oleh Rawls, sebagai berikut:32

a. The greatest equal principle, bahwa setiap orang harus memiliki hak yang

sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama

bagi semua orang. Ini merupakan hak yang paling mendasar (hak asasi)

yang harus dimiliki setiap orang. Dengan kata lain, hanya dengan adanya

jaminan kebebasan yang sama bagi semua orang maka keadilan akan

terwujud (prinsip kesamaan hak).

b. Prinsip ketidaksamaan, yang menyatakan bahwa situasi perbedaan (sosial

ekonomi) harus diberikan aturan sedemikian rupa sehingga paling

menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah (paling tidak

30 Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak

Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 40. 31 Ibid. 32 Ibid.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

25

mendapat peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapatan dan

prioritas). Rumusan prinsip kedua ini sesungguhnya merupakan gabungan

dari dua prinsip, yaitu prinsip perbedaan (the different principle) dan

prinsip persamaan yang adil atas kesempatan (the principle of fair equality

of opportunity.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulakn bahwa keadilan hanya dapat

dicapai apabila pelaksanaan hak dan kewajiban antara masing-masing bank

tersebut di atas dengan debitur telah didistribusikan secara adil. Tanpa keadilan

maka hubungan antara para pihak dalam perjanjian kredit tidak akan memenuhi

konsep justice as fairness yang ditandai oleh prinsip rasionalitas, kebebasan dan

kesamaan.

1.5.1.5 Konsep Jual Beli

Dalam Teori Jual Beli, jual beli merupakan salah satu jenis perjanjian atau

persetujuan khusus yang ada dalam BW mulai Pasal 1457 BW sampai dengan

Pasal 1540 BW. Sedangkan untuk definisi dari jual beli sendiri disebutkan dalam

Pasal 1457 BW.33

Jadi perjanjian jual beli adalah perjanjian atau persetujuan dua pihak yaitu

pihak penjual dan pihak pembeli. Dimana si penjual berjanji akan menyerahkan

hak sesuatu barang kepada si pembeli, sedangkan si pembeli akan membayar

harga barang tersebut sesuai dengan harga yang sudah disepakati bersama antara

penjual dan pembeli.

33 Salim, H. S., Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika,

Jakarta, 2003, hal. 49.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

26

Dari pengertian jual beli yang diberikan oleh Pasal 1457 BW tersebut,

persetujuan jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban :

a. Kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada

pembeli.

b. Kewajiban pihak pembeli membayar harga barang yang dibeli kepada

penjual.

Pengertian lain mengenai jual beli ini adalah perjanjian timbal balik dalam

pihak yang satu (penjual), berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu

barang, sedangkan pihak yang lainnya (pembeli) berjanji untuk membayar harga

barang yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik

tersebut.34

Disamping jual beli yang diatur oleh BW (yang tertulis) di dalam

pergaulan masyarakat di Indonesia juga dikenal suatu pengertian jual beli yang

diatur oleh Hukum Adat (yang tidak tertulis).

Menurut Hukum Adat, jual beli dilakukan secara terang dan tunai. Terang

artinya bahwa jual beli dilakukan di hadapan Kepala Adat dan Tunai artinya

bahwa jual beli itu dianggap telah dilaksanakan secara tunai, walaupun ada harga

yang belum dibayar (masih berhutang). Jadi menurut Hukum Adat

yangdinamakan jual beli itu bukanlah persetujuan belaka yang dilakukan antara

kedua belah pihak, melainkan suatu penyerahan barang oleh si penjual kepada si

pembeli dengan maksud memindahkan hak milik untuk selama-lamanya, dengan

pembayaran harga pembelian. Maka selama penyerahan belum terjadi, belumlah

34 R. Subekti I, Op.Cit, hal.1.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

27

ada terjadi jual beli dan belum dapat dikatakan, bahwa barangnya adalah milik si

pembeli.35

Unsur pokok perjanjian jual beli adalah barang dan harga sesuai dengan

asas konsensualisme yang menjiwai hukum perjanjian jual beli itu sudah

dilahirkan pada detik tercapainya “sepakat” mengenai barang dari harga, maka

lahirlah jual beli yang sah dan mengikat. Perjanjian jual beli, dianggap sudah

berlangsung antara pihak penjual dan pembeli, apabila mereka telah menyetujui

dan sepakat tentang “keadaan benda dan barang tersebut”, sekalipun barangnya

belum diserahkan dan harganya belum dibayar (Pasal 1458 BW). Pasal 1458 BW

ini merupakan asas konsensualisme dari jual beli yang dirumuskan dalam Pasal

1457 BW.

Dengan demikian maka berdasarkan Pasal 1457 BW dan Pasal 1458 BW

pengertian jual beli yang dianut oleh BW adalah harus mengandung unsur-unsur

sebagai berikut:

1. Persetujuan/kata sepakat

2. Kewajiban menyerahkan barang

3. Kewajiban menyerahkan uang dari harga barang.

Apabila diteliti unsur-unsur tersebut sifatnya terbatas, sehingga

berdasarkan unsur-unsur tersebut dapat dikatakan jual beli menurut BW hanya

mempunyai sifat ”obligatoir” (mengikat), tidak juga mempunyai ”zakelijke

werking,” artinya tidak berdaya langsung mengenai kedudukan barangnya.36

35 A. B Loebis, 1976, Jual Beli Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik

Indonesia, Jakarta, hal. 5. 36 Djoko Prakoso dan Bambang Riyani Lany, 1987, Dasar Hukum Persetujuan Tertentu

Di Indonesia, Jakarta, hal. 3

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

28

Hak dan kewajiban para pihak yang dimaksud sebenarnya adalah hak dan

kewajiban si penjual yang merupakan kebalikan dari hak dan kewajiban si

pembeli. Perihal kewajiban yang utama terdapat pada Pasal 1474 BW, yaitu ia

mempunyai kewajiban utama yaitu menyerahkan barangnya dan menanggung.

Sedangkan dalam Pasal 1516 BW, adalah memberikan hak kepada pembeli untuk

menangguhkan atau menunda pembayaran sebagai akibat gangguan yang dialami

oleh pembeli atas barang yang dibelinya.

1. Kewajiban pihak penjual

Dalam sistematika BW, kewajiban si penjual diatur dalam Buku III, Bab

Kelima, Bagian Kedua mulai dari Pasal 1473 BW sampai dengan Pasal 1512

BW. Menurut BW, bagi pihak penjual ada dua kewajiban, yaitu :

a. Kewajiban menyerahkan barangnya

Kewajiban penjual dalam penyerahan barang yang diartikan sebagai

suatu penyerahan pemegangan barang secara nyata, sekaligus juga dengan

hak milik atas barang-barang yang diperjualbelikan. Kewajiban

menyerahkan hak milik, meliputi perbuatan yang menurut hukum

diperlakukan untuk mengalihkan hak milik atas barang yang

diperjualbelikan itu dari si penjual kepada si pembeli.

BW, mengenal 3 (tiga) macam barang, yaitu : barang bergerak,

barang tetap dan barang tak bertubuh, sehingga menurut BW, terdapat tiga

macam penyerahan hak milik yang masingmasing barang itu :

1) Barang bergerak

Untuk barang bergerak cukup dengan menyerahkan kekuasaan atas

barang itu. Dalam Pasal 612 BW disebutkan : “penyerahan kebendaan

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

29

bergerak, terkecuali yang tidak bertubuh dilakukan dengan penyerahan

yang nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik, atau

dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana kebendaan

itu berada. Penyerahan tak perlu dilakukan apabila. Kebendaan yang

harus diserahkan dengan alas an hak lain telah dikuasai oleh orang

yang hendak menerimanya.”

2) Barang tetap (tak bergerak)

Untuk barang tetap (tak bergerak) penyerahan dilakukan dengan

perbuatan yang dinamakan “nama”melalui pegawai kadaster yang juga

dinamakan pegawai balik nama atau pegawai penyimpanan hipotik,

yaitu Pasal 616 BW: ”Penyerahan atau penunjukan akan kebendaan tak

bergerak dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan

dengan cara seperti ditentukan dalam Pasal 620 BW.” Pasal 620 BW:

“dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan termuat dalam tiga Pasal

lalu, pengumuman tersebut di atas dilakukan dengan memindahkan

sebuah salinan otentik yang lengkap dari salinan akta otentik atau

keputusan yang bersangkutan ke Kantor penyimpanan hipotik, yang

mana dalam lingkungannya barang-barang tak bergerak yang harus

diserahkan berada dan dengan membukukannya dalam register.

Bersama-sama dengan pemindahan tersebut, pihak yang

berkepentingan harus menyampaikan juga kepada penyimpan hipotik,

sebuah salinan otentik yang kedua atau sebuah petikan dari akta atau

Keputusan itu agar penyimpan mencatat dari register yang

bersangkutan”.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

30

3) Barang tak bertubuh

Barang tak bertubuh penyerahan dilakukan dengan perbuatan yang

dinamakan “cessie” sebagaimana diatur dalam Pasal 613 BW yang

berbunyi : “penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan

tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan membuat sebuah akta otentik

atau di bawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu

dilimpahkan kepada orang lain. Penyerahan tiaptiap piutang surat

bawa, dilakukan dengan menyerahkan surat itu; penyerahan piutang

karena surat tunjuk, dilakukan dengan menyerahkan surat disertai

dengan endorsement’.

Sehingga berdasarkan BW, hak milik belum berpindah dengan

perjanjian jual beli. Hak milik baru berpindah dengan levering atau

penyerahan. Maka dalam BW, levering merupakan suatu perbuatan hukum

guna memindahkan hak milik yang caranya tergantung dari macam barang

yang dipindahkan, seperti diterangkan di atas.

b. Kewajiban menanggungnya

Kewajiban kedua dari penjual adalah menanggung, bahwa si

pembeli tidak akan diganggu dalam menikmati barang yang ia sudah beli

dan sudah di terimanya.

Menurut Pasal 1491 BW, penanggungan yang menjadi kewajiban si

penjual terhadap si pembeli adalah:

1) Kewajiban menanggung kenikmatan dengan tentram

2) Kewajiban menanggung terhadap cacat-cacat yang tersembunyi.

2. Kewajiban pihak pembeli

Sebenarnya hanya ada satu kewajiban si pembeli, yaitu untuk

membayar harga barang yang dibelinya seperti yang disebutkan dalam Pasal

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

31

1513 BW yaitu: kewajiban utama si pembeli ialah membayar harga

pembelian, pada waktu dan di tempat sebagaimana di tetapkan menurut

perjanjian.

“Harga” tersebut harus berupa sejumlah uang. Meskipun mengenai

hal ini tidak ditetapkan dalam suatu Pasal Undang-undang namun sudah

dengan sendirinya termaktub di dalam pengertian jual beli, oleh karena bila

tidak maka akan merubah perjanjian itu sendiri. Misalnya apabila harga itu

berupa barang maka perjanjiannya adalah “tukar menukar” atau apabila

harganya adalah jasa maka perjanjiannya adalah perjanjian kerja.

Dalam perjanjian “jual beli” sudah termaktub pengertian bahwa

disatu pihak ada barang dan dipihak lain ada uang. Tergantung macamnya

uang tidak harus dalam bentuk rupiah karena terjadinya di Indonesia tetapi

para pihak bisa menentukan lain.

Harga itu harus ditetapkan oleh kedua belah pihak, namun

diperkenankan untuk menyerahkan kepada perkiraan atau penentuan seorang

pihak ketiga. Dalam hal yang demikian, maka jika pihak yang ketiga ini tidak

mampu untuk perkiraan tersebut atau menentukannya, maka tidaklah terjadi

suatu pembelian (Pasal 1465 BW).

Hal ini berarti, bahwa perjanjian jual beli yang harganya harus

ditetapkan oleh pihak ketiga itu pada hakekatnya adealah suatu perjanjian

dengan “syarat tangguh”, karena perjanjian baru akan jadi kalau harga itu

sudah ditetapkan oleh orang tersebut. Jika pada waktu membuat perjanjian

tidak ditetapkan tentang tempat dan waktu pembayaran, maka si pembeli

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

32

harus membayar di tempat dan pada waktu di mana penyerahan (levering)

barangnya dilakukan (Pasal 1514 BW).

Transaksi jual beli menurut hukum perdata menganut asas konsensualitas,

yang berarti kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini adalah suatu asas

dalam perjanjian yang timbul sejak tercapainya kesepakatan. Perjanjian itu sudah

sah apabila telah tercapai mengenai hal-hal yang pokok, yakni adanya

kesepakatan, kedua belah belah pihak cakap, suatu hal tertentu, dan suatu sebab

yang halal. Dalam hal ini tidak diperlukan suatu formalitas.37

Perjanjian pengikatan jual beli sebenarnya tidak ada perbedaan dengan

perjanjian pada umumnya. Hanya saja perjanjian pengikatan jual beli merupakan

perjanjian yang lahir akibat adanya sifat terbuka dari Buku III BW, yang

memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada subyek hukum untuk

mengadakan perjanjian yang berisi apa saja dan berbentuk apa saja, asalkan tidak

melanggar peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan.38

Perjanjian pengikatan jual beli lahir sebagai akibat terhambatnya atau

terdapatnya beberapa persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang yang

berkaitan dengan jual beli hak atas tanah yang akhirnya agak menghambat

penyelesaian transaksi dalam jual beli hak atas tanah. Persyaratan tersebut ada

yang lahir dari peraturan perundang-undangan yang ada dan ada pula yang timbul

sebagai kesepakatan para pihak yang akan melakukan jual beli hak atas tanah.

Persyaratan yang timbul dari undang-undang misalnya jual beli harus telah lunas

baru Akta Jual Beli (AJB) dapat ditandatangani. Pada umumnya persyaratan yang

37 R. Subekti, 1982, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, hal. 15.

(Selanjutnya disebut Subekti III). 38 Muchtar Rudianto, 2010, Perjanjian Pengikatan Jual-Beli Sebagai Perjanjian

Pendahuluan, Rajawali Press, Jakarta, hal.38

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

33

sering timbul adalah persyaratan yang lahir kesepakatan para pihak yang akan

melakukan jual beli, misalnya pada waktu akan melakukan jual beli, pihak

pembeli menginginkan adanya sertipikat hak atas tanah yang akan dibelinya

sedangkan hak atas tanah yang akan dijual belum mempunyai sertipikat, dan di

sisi lain misalnya, pihak pembeli belum mampu untuk membayar semua harga

hak atas tanah secara lunas, sehingga baru dibayar setengah dari harga yang

disepakati.39

Pengertian Perjanjian pengikatan jual beli dapat kita lihat dengan cara

memisahkan kata dari Perjanjian pengikatan jual beli menjadi perjanjian dan

pengikatan jual beli. Perjanjian pengertiannya dapat dilihat pada sub bab

sebelumnya, sedangkan Pengikatan Jual Beli pengertiannya menurut R. Subekti40

dalam bukunya adalah perjanjian antar pihak penjual dan pihak pembeli sebelum

dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi

untuk jual beli tersebut antara lain adalah sertifikat belum ada karena masih dalam

proses, belum terjadinya pelunasan harga. Sedang menurut Herlien Budiono,

perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai

perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas.41

Dari pengertian yang diterangkan di atas dapat disimpulkan bahwa

pengertian perjanjian pengikatan jual beli merupakan sebuah penjanjian

pendahuluan yang dibuat sebelum dilaksanakannya perjanjian utama atau

perjanjian pokoknya. Sebagaimana telah diterangkan tentang pengertiannya, maka

kedudukan perjanjian pengikatan jual beli yang sebagai perjanjian pendahuluan

39 Ibid. 40 R. Subekti I, Op.Cit, hal.75. 41 Herlien Budiono, 2004, “Pengikat Jual Beli Dan Kuasa Mutlak” Artikel Majalah

Renvoi, edisi Tahun I, No 10, Bulan Maret, hal. 57.

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

34

maka perjanjian pengikatan jual beli berfungsi untuk mempersiapkan atau bahkan

memperkuat perjanjian utama/pokok yang akan dilakukan, karena perjanjian

pengikatan jual beli merupakan awal untuk lahirnya perjanjian pokoknya.

Isi dari perjanjian pengikatan jual beli yang merupakan perjanjian

pendahuluan untuk lahirnya perjanjian pokok/utama biasanya adalah berupa

janjijanji dari para pihak yang mengandung ketentuan tentang syarat-syarat yang

disepakati untuk sahnya melakukan perjanjian pokoknya. Misalnya dalam

perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah, dalam klausul perjanjiannya

biasanya berisi janji-janji baik dari pihak penjual hak atas tanah maupun pihak

pembelinya tentang pemenuhan terhadap syarat-syarat agar perjanjian pokoknya

yaitu perjanjian jual beli dan akta jual beli tersebut dapat ditanda tangani

dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), seperti janji untuk melakukan

pengurusan sertipikat tanah sebelum jual beli dilakukan sebagaimana diminta

pihak pembeli, atau janji untuk segera melakukan pembayaran oleh pembeli

sebagai syarat dari penjual sebagai akta jual beli dapat ditandatangani dihadapan

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Selain janji-janji biasanya dalam perjanjian pengikatan jual beli juga

dicantumkan tentang hak memberikan kuasa kepada pihak pembeli.Hal ini terjadi

apabila pihak penjual berhalangan untuk hadir dalam melakukan penandatanganan

akta jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), baik karena lokasi

yang jauh, atau karena ada halangan dan sebagainya.Dan pemberian kuasa

tersebut biasanya baru berlaku setelah semua syarat untuk melakukan jual beli hak

atas tanah di Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) telah terpenuhi.42

42 Kamaluddin Patradi, 2010, Pemberian Kuasa Dalam Praktek Perjanjian Pengikatan Jual

Beli Hak Atas Tanah, Gamma Press, Yogyakarta, hal.20

Page 35: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

35

Sebagai perjanjian yang lahir karena kebutuhan dan tidak diatur secara

tegas dalam bentuk peraturan perundang-undangan maka perjanjian pengikatan

jual beli tidak mempunyai bentuk tertentu. Hal ini sesuai juga dengan pendapat

dari Herlien Budiono, perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian bantuan

yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas.

Akta perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat dihadapan notaris adalah

suatu perjanjian pengikatan jual beli atas objek tanah yang dibuat antara calon

penjual dan calon pembeli yang dibuat sebelum ditandatanganinya Akta Jual Beli

(AJB). Perjanjian pengikatan jual beli atas tanah yang bersertipikat hak milik

dapat dilaksanakan dihadapan notaris sedangkan pembuatan akta jual beli wajib

dilaksanakan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Karena objek yang

diperjualbelikan yakni tanah merupakan benda yang tidak bergerak yang

pengalihan haknya melalui suatu perbuatan hukum jual beli harus dibuat melalui

suatu akta PPAT maka sebelum dibuat, akta jual beli tersebut pada umumnya

perlu dilakukan pemenuhan sejumlah persyaratan baik oleh penjual maupun oleh

pembeli.43 Pemenuhan persyaratan dari pihak penjual pada umumnya

berhubungan dengan surat-surat sebagai tanda bukti hak milik atas tanah tersebut

maupun surat keterangan hak waris yang masih dalam pengurusan apabila tanah

yang akan dijual tersebut merupakan harta warisan.44

Sebagai perjanjian yang lahir karena kebutuhan dan tidak diatur secara

tegas dalam bentuk peraturan perundang-undangan maka perjanjian pengikatan

43 Aditya Sudarnanto, 2009, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Antara Kewenangan Dan

Kewajiban, Pelita Ilmu, Semarang, hal.21. 44 Muchtar Rudianto, Op. Cit., hal. 39.

Page 36: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

36

jual beli tidak mempunyai bentuk tertentu. Hal ini sesuai juga dengan pendapat

dari Herlien Budiono, perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian bantuan

yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas.45

Selanjutnya mengenai pengertian jual beli tanah menurut Harun Al

Rashid, pada hakekatnya merupakan salah satu pengalihan hak atas tanah kepada

pihak/orang lain yang berupa dari penjual kepada pembeli tanah.46 Sebelum

berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok

Agraria (selanjutnya disebut Undang-Undang Pokok Agraria disingkat UUPA), di

negara kita masih terdapat “dualisme” dalam hukum agraria, hal ini didasarkan

pada kenyataan bahwa masih berlaku dua macam hukum yang menjadi dasar bagi

hukum pertanahan kita, yaitu hukum adat dan hukum barat. Sehingga terdapat

juga dua macam tanah yaitu tanah adat (tanah Indonesia) dan tanah barat (tanah

Eropah).47

Dalam pengertian hukum adat “jual beli” tanah adalah merupakan suatu

perbuatan hukum, yang mana pihak penjual menyerahkan tanah yang dijualnya

kepada pembeli untuk selama-lamanya, pada waktu pembeli membayar harga

(walaupun haru sebagian) tanah tersebut kepada penjual. Sejak itu, hak atas tanah

telah beralih dari penjual kepada pembeli.

Dengan kata lain bahwa sejak saat itu pembeli telah mendapat hak milik

atas tanah tersebut. Jadi “jual beli” menurut hukum adat tidak lain adalah suatu

perbuatan pemindahan hak antara penjual kepada pembeli. Maka biasa dikatakan

45 Ibid, hal. 57. 46 Harun Al Rashid, 1987, Sekilas tentang Jual Beli Tanah (Berikut Peraturan-

peraturannya), Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 50. 47 A.P. Parlindungan, 1973, Berbagai Aspek Pelaksanaan UUPA, Alumni, Bandung, hal.

40.

Page 37: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

37

bahwa “jual beli” menurut hukum adat itu bersifat “tunai” (kontan) dan “nyata”

(konkrit).48

Sehubungan dengan hal tersebut Boedi Harsono berpendapat bahwa dalam

hukum adat perbuatan pemindahan hak (jual beli, tukar-manukar, hibah)

merupakan perbuatan hukum yang bersifat tunai. Jual beli tanah dalam hukum

adat adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah, dengan pembayaran

harganya pada saat yang bersamaan secara tunai dilakukan. Maka dengan

penyerahan tanahnya kepada pembeli dan pembayaran harganya kepada penjual

pada saat jual beli dilakukan, perbuatan jual beli itu selesai, dalam arti pembeli

telah menjadi pemegang haknya yang baru.49

Pengertian menurut hukum adat tersebut berbeda dengan sistem yang

dianut BW. Menurut sistem BW jual beli hak atas tanah dilakukan dengan membuat

akta perjanjian jual beli hak dihadapan notaris, dimana masing-masing pihak saling

berjanji untuk melakukan suatu prestasi berkenaan dengan hak atas tanah yang

menjadi obyek jual beli itu, yaitu pihak penjual untuk menjual dan menyerahkan

tanahnya kepada pembeli dan pembeli membeli dan membayar harganya.50

Perjanjian jual beli yang dianut BW tersebut bersifat obligatoir, karena

perjanjian itu belum memindahkan hak milik. Adapun hak milik baru berpindah

dengan dilakukannya levering atau penyerahan. Dengan demikian maka dalam

sistem BW tersebut “levering” merupakan suatu perbuatan yuridis guna

memindahkan hak milik (“transfer of ownership”).51

48 K. Wantjik Saleh, 1973, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 30. 49 Boedi Harsono, 1983, Penggunaan dan Penerapan Asas-asas Hukum Adat pada Hak

Milik Atas Tanah, Paper disampaikan pada Simposium Hak Milik Atas Tanah Menurut UUPA, Bandung-Jakarta, hal. 14. (selanjutnya disebut Boedi Harsono I)

50 Bachtiar Effendie, 1993, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan-Peraturan pelaksanaannya, Alumni, Bandung, hal. 86.

51 R. Subekti I, op.cit, hal. 11.

Page 38: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

38

Sedangkan pengertian jual beli tanah yang tercantum dalam Pasal 1457

BW menyatakan bahwa jual beli tanah adalah sesuatu perjanjian dengan mana

penjual mengikatkan dirinya (artinya berjanji) untuk menyerahkan hak atas tanah

yang bersangkutan kepada pembeli dan pembeli mengikatkan dirinya untuk

membayar kepada penjual harga yang telah disetujui.52

Selanjutnya Pasal 1458 BW mengatakan : “Jual beli telah terjadi antara

kedua belah pihak, seketika setelah orang-orang mencapai kata sepakat tentang

benda dan harganya, walaupun benda itu belum diserahkan dan harganya belum

dibayar.” Kemudian dikatakan oleh Pasal 1459 BW: “Hak milik atas barang yang

dijual tidaklah berpindah kepada pembeli, selama penyerahannya belum

dilakukan menurut Pasal 612 BW, Pasal 613 BW dan Pasal 616 BW”.

Berkaitan dengan hal tersebut, K. Wantjik Saleh berpendapat, bahwa jual

beli menurut hukum barat terdiri atas dua bagian yaitu : perjanjian jual belinya

dan penyerahan haknya. Yang keduanya itu terpisah satu dengan yang lainnya,

sehingga walaupun yang pertama sudah selesai, biasanya dengan suatu akta

notaris, tetapi kalau yang kedua belum dilakukan, maka status tanah masih milik

penjual, karena disini akta notaris hanya bersifat obligatoir.53 Setelah Berlakunya

UUPA sesuai ketentuan Pasal 26 ayat (1) UUPA, hanya manyatakan, jual beli,

penukaran, penghibahan, penberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan

perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta

pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

52Wiryono Prodjodikoro I, Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu,

Sumur, Bandung, hal. 13. (selanjutnya disebut Prodjodikoro, Wiryono I). 53 K. Wantjik Saleh, Op.Cit, hal. 32.

Page 39: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

39

Sehubungan dengan hal tersebut, Boedi Harsono berpendapat mengingat

bahwa hukum agraria sekarang ini memakai sistem dan asas-asas hukum adat,

maka pengertian jual beli tanah sekarang harus pula diartikan sebagai perbuatan

hukum yang berupa penyerahan hak milik/penyerahan tanah untuk selama-

lamanya oleh penjual kepada pembeli, yang pada saat itu juga menyerahkan

harganya pada penjual.54

Dengan berdasarkan pada Pasal 5 UUPA, maka jual beli tanah setelah

UUPA mempergunakan sistem dan asas dalam hukum adat. Berbeda dengan

pendapat tersebut adalah pendapat Saleh Adiwinata yang menyatakan: bilamana

kita perhatikan jual beli menurut UUPA ini dengan membandingkan caranya

dengan jual beli menurut hukum adat sebelum UUPA berlaku, maka dari saat

terjadinya persetujuan jual beli sampai kepada si pembeli menjadi pemilik penuh

adalah barbeda sekali caranya beserta formalitas lainya adalah lebih mirip kepada

jual beli eigendom dari jual beli tanah dengan Hak Milik Indonesia.55 Pengertian

jual beli tanah tidak mengacu secara fisik obyek yang diperjualbelikan adalah

tanah. Objek dari jual beli disini adalah hak atas tanah yang akan dijual. Hak atas

tanah yang dijual, bukan tanahnya. Memang benar dengan tujuan membeli hak

atas tanah ialah supaya pembeli dapat secara sah menguasai dan mempergunakan

tanah tersebut, tetapi yang dibeli (dijual) bukan tanahnya, tetapi hak atas

tanahnya.56

54 Boedi Harsono, 1972, UUPA, Sejarah Penyusunan, Isi, Pelaksanaan Hukum Agraria,

Bagian I dan II Jilid I, Djambatan, Jakarta, hal. 68. (selanjutnya disebut Boedi Harsono II). 55 Saleh Adiwinata, 1976, Pengertian Hukum Adat Menurut UUPA, Alumni, Bandung,

hal. 74. 56 Effendi Perangin, 1994, Praktek Jual Beli Tanah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 8

Page 40: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

40

Hak atas tanah menurut Pasal 16 UUPA ialah Hak Milik, Hak Guna

Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai, Hak sewa, Hak Membuka Tanah, Hak

Memungut Hasil Hutan, Hak Guna Air, Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan,

Hak Guna Ruang Angkasa dan hak-hak lain yang bersifat sementara (Pasal 53

UUPA).

Pengertian hak milik menurut Pasal 20 yang dihubungkan dengan Pasal 6

UUPA merumuskan :

“Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat

dipunyai orang atas tanah dengan mengingat bahwa hak itu mempunyai

fungsi sosial”.

Sedangkan menurut pendapat R. Susanto, Hak milik adalah hak untuk

menguasai tanah dengan cara yang seluas-luasnya dan memungut hasil dari tanah

itu dengan sepenuhnya, dengan mengindahkan peraturan-peraturan pemerintah

dan hukum adat setempat. Unsur-unsur yang terpenting dari hak milik adalah:

1. Menguasai tanah; artinya si pemilik tanah dapat menyewakan,

menggadaikan, meminjamkan; menukarkan, menghadiahkan, menjual

tanah menurut kehendak si pemilik.

2. Memungut hasil.57

Selanjutnya dalam Pasal 20 ayat (2) UUPA dijelaskan bahwa hak milik

bersifat “zakelijk”. Sehingga karena tak bersifat pribadi (persoonlijk) maka hak ini

dapat dialihkan dan beralih pada pihak lain.58

57R. Susanto., 1980, Hukum Pertanahan (Agraris)., Cetakan 1, Pradnya Paramita, Jakarta,

hal. 26. 58 Sudargo Gautama, 1973, Tafsiran UUPA, Alumni, Bandung, hal. 124.

Page 41: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

41

Peralihan/beralihnya hak milik atas tanah apabila dilihat dari segi hukum

dapat terjadi karena suatu tindakan hukum (istilah lain adalah perbuatan hukum),

atau karena suatu peristiwa hukum.

Tindakan hukum (rechtshandelingen) termasuk jual beli, hibah, pemberian

dengan wasiat, penukaran, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan

hukum lainnya. Sedangkan beralihnya hak milik karena peristiwa hukum

misalnya karena pewarisan.59

Jadi dapat dikatakan bahwa peralihan hak karena tindakan hukum adalah

peralihan hak yang dilakukan dengan sengaja supaya hak tersebut berpindah pada

pihak lain. Sedangkan karena peristiwa hukum, terjadi apabila seseorang yang

mempunyai salah satu hak meninggal dunia, sehingga secara otomatis haknya

berpindah pada ahli warisnya.60

1.5.2 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian dan landasan teori yang

telah dikemukakan, maka digambarkan kerangka pemikiran sebagai berikut:

59 Harun Al Rashid, Op.Cit, hal. 51. 60 K. Wantjik Saleh, Op.Cit, hal. 19.

Page 42: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

42

Gambar 1 Kerangka Pemikiran

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini megggunakan jenis penelitian hukum normatif, yang

mengkaji dan menganalisa bahan hukum yaitu berupa bahan hukum primer, bahan

hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang terkait dengan asas itikad baik

dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah.

Judul

- Teori Keadilan - Teori Kehendak - Asas Kepatutan - Prinsip Rasionalitas - Konsep Jual Beli

Metode Penelitian

Rumusan Masalah

Asas Itikad Baik dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah

Teori, Asas, Konsep

1. Bagaimanakah mewujudkan asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah?

2. Bagaimanakah akibat hukum yang terjadi jika tidak merealisasikan asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah?

Analisis Bahan Hukum

Kesimpulan dan Saran

Page 43: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

43

Penelitian hukum normatif (normative legal research) merupakan

penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundang-undangan

yang berlaku atau diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu.

Penelitian normatif seringkali disebut dengan penelitian doktrinal, yaitu penelitian

yang objek kajiannya adalah dokumen peraturan perundang-undangan dan bahan

pustaka.61 Penelitian hukum normatif juga disebut penelitian yang difokuskan

untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma dalam hukum positif.62

Dalam peneltian normatif hukum dipandang identik dengan norma-norma tertulis,

yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang dan

meninjau hukum sebagai suatu sistem normatif yang otonom, mandiri, tertutup

dan terlepas dari kehidupan masyarakat nyata.63

1.6.2 Jenis Pendekatan

Pendekatan (apprach) yang digunakan dalam suatu penelitian normatif

akan memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan hasil-hasil temuan

ilmu hukum dan ilmu-ilmu lain untuk kepentingan analisis dan eksplanasi. Dalam

kaitannya dengan penelitian normatif dapat digunakan beberapa pendekatan

yaitu:64

1. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach).

2. Pendekatan Konsep (conceptual approach).

61Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenida Media, Jakarta, hal.

34. 62Johny Ibrahim, 2012, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia,

Malang, hal. 295. 63Ronny Hanitijo Soemitro, 2008, Metodeologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia

Indonesia, Jakarta, hal 13-14. 64 Johnny Ibrahim, Op.Cit, hal. 300-301.

Page 44: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

44

3. Pendekatan Perbandingan (comparative approach).

4. Pendekatan Historis (historical approach).

5. Pendekatan Filsafat (philosophical approach).

6. Pendekatan Kasus (case approach).

Pendekatan-pendekatan tersebut dapat digabung sehingga dalam suatu

penelitian hukum normatif dapat saja menggunakan dua pendekatan atau lebih

yang sesuai. Metode pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah metode

pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep

(conceptual approach) dan pendekatan kasus (case approach), mengingat

permasalahan yang diteliti adalah mengenai asas itikad baik dalam perjanjian

pengikatan jual beli hak atas tanah.

1.6.3 Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini merupakan

data sekunder. Data sekunder yaitu data yang diambil secara tidak langsung atau

yang telah terlebih dahulu dikumpulkan orang lain di luar dari penelitian sendiri.

Adapun bahan hokum sekunder terdiri dari:65

1. Sumber Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,

yang berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

permasalahan yang akan dikaji, terdiri dari:

a. Undang-Undang Dasar Tahun 1945

b. Burgerljik Wetboek, Stb, 1847 No.23.

65Bambang Waluyo, 2001, Penelitian Hukum, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, hal. 18.

Page 45: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

45

c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok

Agraria. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor

104-Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2117.

d. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha,

Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 58-Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 643.

e. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 50-

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3969.

f. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan

Nasional.

g. Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun 2012 Perubahan Atas Peraturan

Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional.

h. Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 1 Tahun 1999 tentang Tata

Cara Penyelesaian Sengketa Pertanahan.

3. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang menjelaskan bahan hukum

primer, seperti: hasil penelitian, jurnal ilmiah, hasil seminar atau

pertemuan ilmiah lainnya, bahkan menurut Ronny Hanitijo Soemitro,

dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum termasuk

dalam bahan hukum sekunder ini sepanjang relevan dengan objek kajian

penelitian hukum ini.66

4. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi

petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

66Ronny Hanitijo Soemitro, Op.Cit, hal. 24.

Page 46: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

46

sekunder, seperti kamus hukum,67 Surat kabar, majalah mingguan, bulletin

dan internet juga dapat menjadi bahan bagi penelitian ini sepanjang

memuat informasi yang relevan dengan objek kajian penelitian hukum

ini.68

1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam pengumpulan bahan hukum ini harus ditegaskan permasalahan

mengenai jenis, sifat dan kategori data serta perlakuan terhadap data yang

dikumpulkan. Tujuannya agar pengumpulan data dan penganalisaan terhadap data

dapat sesuai dengan tujuan dari penelitian.

Teknik pengumpulan bahan hukum yang akan digunakan adalah studi

pustaka atau studi dokumen yaitu mengumpulkan data sekunder mengenai obyek

penelitian yang berupa bahan-bahan hukum bersifat normative-perspektif,

dilakukan dengan cara penelusuran, pengumpulan data sekunder mengenai objek

penelitian, baik secara konvensional maupun dengan menggunakan teknologi

informasi seperti internet, dan lain-lain.

1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Di dalam penelitian hukum normatif yang dianalisis bukanlah data,

melainkan melalui bahan hukum seperti tersebut di atas. Dengan demikian, erat

kaitannya antara metode analisis dengan pendekatan masalah. Analisis bahan

hukum yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini akan dilakukan secara

67Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001. Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. hal. 14-15.

68Jay A. Sieglar dan Benyamin R. Beede, 2007. The Legal Souyrces of Public Policy, Lexington Books, Massachussets, Toronto, hal. 23.

Page 47: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah I Ngurah...berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak

47

deskriptif, interpretatif, evaluatif dan argumentatif, yang diterangkan sebagai

berikut:

1. Teknik deskriptif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh

gambaran secara mendalam mengenai perumusan tindak pidana dan sanksi

pidananya.

2. Teknik Interpretatif berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu

hukum seperti penafsiran historis, sistematis, dan lain-lain. Selanjutnya

bahan Hukum tersebut dianalisis dengan menggunakan teknik evaluatif

,sistematis dan argumentatif.

3. Teknik evaluatif yaitu memberikan penilaian terhadap suatu pandangan,

proporsi, pernyataan, rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam

baik dalam hukum primer maupun dalam hukum sekunder.

4. Teknik Sistematif berupaya mencari kaitan rumus suatu konsep hukum

atau konsep hukum antara perundang-undangan yang sederajat maupun

tidak sederajat.

5. Teknik Argumentatif tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena

penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran

hukum.69

69 Buku Pedoman, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, Program Studi

Magister Hukum Universitas Udayana, hal. 14.