bab i pendahuluan 1.1. latar belakang masalah fileprofesi hukum sebagai profesi yang terhormat...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Profesi di bidang hukum merupakan profesi luhur yang terhormat atau
profesi mulia (nobile officium) dan sangat berpengaruh di dalam tatanan
kenegaraan. Profesi di bidang hukum, diantaranya: Polisi, Advokat, Jaksa, Hakim,
serta Notaris dan juga Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) merupakan pilar-pilar
utama dalam penegakan supremasi hukum untuk menjalankan strategi
pembangunan hukum nasional. Profesionalitas dan intregitas yang tinggi dari
masing-masing aparat penegak hukum tersebut mutlak dibutuhkan sesuai dengan
tugas pokok, fungsi dan kewenangannya masing-masing.
Profesi hukum sebagai profesi yang terhormat mempunyai nilai-nilai
moral profesi yang harus ditaati oleh aparatur hukum yang menjalankan profesi
tersebut, yaitu sebagai berikut: kejujuran, otentik, bertanggung jawab,
kemandirian moral, dan keberanian moral.1
Notaris sebagai salah satu pilar penegakan hukum nasional, dalam
menjalankan profesinya selain harus berdasarkan pada Undang-undang, juga
harus memegang teguh nilai-nilai moral profesi tersebut. Notaris merupakan
profesi hukum dan dengan demikian profesi Notaris adalah suatu profesi mulia
(nobile officium), hal tersebut dikarenakan profesi Notaris sangat erat
hubungannya dengan kemanusiaan. Akta yang dibuat oleh notaris dapat menjadi
1 Abdulkadir Muhammad, 2001, Etika Profesi Hukum. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
hlm. 4
2
alas hukum atas status harta benda, hak dan kewajiban seseorang.Kekeliruan atas
akta Notaris dapat menyebabkan tercabutnya hak seseorang atau terbebaninya
seseorang atas suatu kewajiban.2
Sejalan dengan perkembangan dari hukum dan kebutuhan akan
masyarakat terhadap pengguna jasa notaris, telah terbentuk Undang-Undang
Republik Indonesia No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris(selanjutnya
disebut UUJN) jo. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya
disebut UUJN-P), dengan maksud untuk menggantikan ketentuan Reglement of
Het Notaris Ambt in Indonesia (S.1860 No. 3) tentang Peraturan Jabatan Notaris
(untuk selanjutnya disebut PJN) yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan
hukum dan kebutuhan masyarakat. UUJN jo. UUJN-P tersebut diharapkan dapat
memberikan perlindungan hukum,baik kepada masyarakat maupun terhadap
notaris itu sendiri dan juga diharapkan lebih baik dari pada peraturan perundangan
yang digantikannya. Dalam UUJNjo. UUJN-Ptersebut telah diatur ketentuan yang
berkaitan dengan hak ingkar notaris dan pengawasan terhadap pelaksanaan
jabatan notaris.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UUJN-Pdinyatakan bahwaNotaris adalah
pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan
memilikikewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini
atau berdasarkan undang-undanglainnya. Tujuannya adalah agar akta tersebut
dapat digunakan sebagai bukti yang kuat jika suatu saat terjadi perselisihan antara
2 Abdul Ghofur Anshori, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia, Perspektif Hukum dan
Etika.UII Press, Yogyakarta, hlm. 25
3
para pihak atau ada gugatan dari pihak lain. Jika hal ini terjadi tidak menutup
kemungkinan bahwa notaris akan ikut terkait dalam persoalan tersebut.
Notaris sebagai pejabat yang berpijak pada ranah hukum (seperti halnya
advokat, hakim, jaksa, polisi) membuat notaris secara langsung ataupun secara
tidak langsung mempunyai hak selain membuat akta otentik, juga untuk menjaga
lancarnya proses hukum yang terjadi, termasuk di dalamnya berkaitan dengan
proses di peradilan, baik di dalam peradilan pidana maupun perdata. Proses
peradilan yang dimaksudkan disini sangat erat kaitannya dengan pembuktian, baik
pembuktian dengan tulisan dan juga pembuktian dengan kesaksian.
Pada proses peradilan pidana, di dalamnya akan terdapat proses
pembuktian yang menekankan pada alat bukti yang berdasarkan Pasal 184
KUHAP, yaitu Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk, dan juga
Keterangan terdakwa. Dalam Pasal 1866 KUHPerdata, yang dapat menjadi alat
bukti adalah Bukti tulisan, Bukti dengan saksi-saksi, Persangkaan, Pengakuan,
Sumpah, dan Segala sesuatunya dengan mengindahkan aturan-aturan yang
ditetapkan dalam KUHPerdata. Seiring perjalanan waktu, pada kasus tertentu para
pihak yang berperkara dapat diwakili oleh Pengacara, Jaksa, ataupun pihak-pihak
yang bersangkutan dan pengadilan merasa perlu untuk menghadirkan notaris
sebagai saksi berkaitan dengan akta yang telah dibuatnya.Dalam hal terjadi
sengketa, akta otentik yang merupakan alat bukti terkuat dan terpenuh dapat
memberikan sumbangan nyata bagi penyelesaian sengketa.
Keberadaan notaris sebagai saksi, jika dikaitkan dengan eksistensi
jabatannya dalam bidang hukum yang mempunyai hak untuk mendukung
4
lancarnya suatuproses hukum, termasuk juga proses peradilan, kiranya bukanlah
merupakan masalah. Dengan kata lain, wajar saja bilamana notaris berperan
sebagai saksi dalam suatu proses peradilan. Pada sisi lain, notaris dalam
menjalankan jabatannya selaku pejabat umum, selain terkait pada suatu peraturan
jabatan, juga terkait pada sumpah jabatan yang diucapkannya pada saat diangkat
sebagai notaris dimana notaris wajib untuk merahasiakan isi akta dan keterangan
yang diperolehnya sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2)UUJNyang
menyatakan bahwa, “saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang
diperoleh dalam pelaksanakan jabatan saya”.
Selanjutnya dalam Pasal 16 ayat (1) huruf fUUJN-Pdijelaskan bahwa,
dalam menjalankan jabatannya, notaris berkewajibanmerahasiakan segala sesuatu
mengenai Akta yang dibuatnya dan segala keterangan yangdiperoleh guna
pembuatan Akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-
undangmenentukan lain. Lebih lanjut dalam Pasal 54 ayat (1) UUJN-P dijelaskan
bahwa,
Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan
isi Akta, Grosse Akta,Salinan Akta atau Kutipan Akta, kepada orang yang
berkepentingan langsung pada Akta, ahli waris,atau orang yang
memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-
undangan.
Penggunaan hak untuk merahasiakan sesuatu yang berkaitan dengan
jabatan diatur pula dalam hukum acara pidana, hukum perdata, dan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana. Pasal 170 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa, mereka
yang karena pekerjaan, harkat, martabat, atau juga jabatannya diwajibkan untuk
menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari penggunaan hak untuk
memberikan keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan
5
kepadanya. Selanjutnya dalam Pasal 1909 ayat (2) KUHPerdata dinyatakan
bahwa, segala siapa yang karena kedudukannya, pekerjaannya, atau jabatannya
menurut undang-undang, diwajibkan merahasiakan sesuatu, namun hanyalah
semata-mata mengenai hal-hal yang pengetahuannya dipercayakan kepadanya
sebagaimana demikian. Pasal 322 ayat (1) KUHPidana menyatakan bahwasanya,
barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena
jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak
enam ratus rupiah.
Sejak saat berlakunya UUJNjo. UUJN-P, Pengadilan Negeri tidak
berwenang lagi untuk melakukan pengawasan terhadap notaris, pengawasan
dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM sebagaimana ketentuan Pasal 67 ayat
(2) UUJN, yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri membentukMajelis Pengawas.
Pengawasan atas notaris dilakukan oleh Menteri dengan membentuk Majelis
Pengawas yang terdiri dari Majelis Pengawas Pusat (MPP), Majelis Pengawas
Wilayah (MPW), dan Majelis Pengawas Daerah (yang selanjutnya disebut
MPD).3
Menurut Pasal 67 ayat (3) UUJN-Pdinyatakan bahwa:
Majelis Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berjumlah 9
(sembilan) orang, terdiri atasunsur:
a. Pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang;
b. Organisasi Notaris sebanyak 3 (tiga) orang; dan
c. Ahli atau akademisi sebanyak 3 (tiga) orang
3Muhammad Ilham Arisaputra, 2012, Kewajiban Notaris Dalam Menjaga Kerahasiaan
Akta Dalam Kaitannya dengan Hak Ingkar Notaris, Jurnal Perspektif, Vol. XVII No. 3, Edisi
September 2012, hlm. 175
6
Dengan adanya lembaga pengawas sebagaimana yang dimaksudkan dalam
UUJNjo. UUJN-P, idealnya pelaksanaan jabatan notaris dapat dilaksanakan
dengan profesional, jujur, amanat, dan juga mandiri. Dengan demikian pada
akhirnya dapat melayani dan membantu masyarakat dengan sepenuh hati dan
mendukung kepastian hukum yang berkeadilan.
Seorang notaris dalam menjalankan pelayanannya harus berhati-hati,
karena kelalaian yang dibuatnya dapat menimbulkan masalah hukum di kemudian
hari sehingga notaris dapat diperhadapkan dengan proses peradilan, dimana
notaris harus memberikan keterangannya ataupun menyerahkan fotokopi minuta
akta. Meskipun para notaris itu cenderung menolak untuk memberikan keterangan
dengan berlindung pada rahasia jabatan. Pasal 66 ayat (1)UUJN-P, bahwa:
Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau
hakim dengan persetujuanMajelis Kehormatan Notaris berwenang:
a. Mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan
pada Minuta Akta atauProtokol Notaris dalam penyimpanan Notaris;
dan
b. Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan
dengan Akta atauProtokol Notaris yang berada dalam penyimpanan
Notaris
Berdasarkan Pasal 66 ayat (1) UUJN-Ptersebut di atas, maka notaris yang
telah melakukan kelalaian tidak dapat serta merta menolak untuk memberi
keterangan dengan alasan rahasia jabatan, oleh karena dalam ketentuan tersebut
menentukan bahwasanya untuk kepentingan proses peradilan, maka dapat
dilakukan pengambilan fotokopi minuta akta dan pemanggilan notaris untuk
memberi keterangan setelah memperoleh persetujuan dari Majelis Kehormatan
Notaris (MKN). Dalam hal inilah sebenarnyakeberadaan Majelis Kehormatan
Notaris sangat strategis.
7
Ketentuan Pasal 66 ayat (1) UUJN-P disebutkan bahwa untuk kepentingan
proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan
Majelis Kehormatan Notaris berwenang :
1. Mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada
Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris;dan
2. Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan
Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.
Pasal 66 ayat (1) UUJN-P tersebut secara jelas menentukan tentang
lembaga yang memberikan persetujuan untuk dapat dipanggilnya dan/atau
diambilnya Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta
atau protokol notaris dalam penyimpanan notaris. Namun dalam Pasal 66A ayat
(3) disebutkan bahwa mengenai Majelis Kehormatan Notaris (MKN) ini akan
diatur dengan Peraturan Menteri tetapi hingga saat ini peraturan tersebut belum
ada. Berdasarkan ketentuan Pasal 66A UUJN-P tersebut, maka dalam proses
memberikan persetujuan MKN harus melakukan pemeriksaan terlebih dahulu.
Pemeriksaan yang dilakukan yaitu dengan melakukan sidang pelaksanaan jabatan
notaris terhadap seorang notaris. Setelah dilakukan pemeriksaan, hasil akhir dari
pemeriksaan MKN dituangkan dalam bentuk Surat Keputusan yang isinya
memberikan persetujuan atau menolak permintaan Penyidik, Penuntut Umum atau
Hakim.4
4Sri Utami, 2015, Perlindungan Hukum Terhadap Notaris Dalam Proses Peradilan
Pidana Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Jurnal Repertorium, ISSN : 2355-2646, Edisi 3,
Januari-Juni 2015, hlm. 91
8
Menurut Habib Adjie bahwa, para notaris berharap mendapatkan
perlindungan yang proporsional dalam menjalankan tugas-tugas jabatannya
sebagai seorang notaris, setidaknya ada pemeriksaan yang adil dan transparan dan
ilmiah ketika Majelis Pengawas Daerah (MPD) memeriksa notaris atas
permohonan pihak kepolisian, kejaksaan, atau pun pengadilan.5
Sebagai salah satu perangkat hukum, di satu sisi notaris mempunyai hak
ingkar sebagai pejabat umum yang profesional dengan harus memegang sumpah
jabatannya untuk tidak memberitahu isi aktanya, di sisi lain notaris harus berdiri
pada kepentingan negara yang mana mengacu pada kepentingan publik guna
terselesainya proses hukum dalam peradilan sehingga menghasilkan putusan yang
adil, bermanfaat dan menjamin kepastian, sebagaimana yang telah diatur dalam
kalimat terakhir pada Pasal 16 ayat (1) huruf fUUJN-P, bahwa kecuali undang-
undang menentukan lain, dan kalimat terakhir Pasal 54 ayat (1) UUJN-P bahwa,
kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. Dalam tersebut
terkesan seorang notaris bisa memberitahukan isi akta pada pihak yang tidak
berkepentingan terhadapnya seperti pihak kepolisian asal didukung peraturan
perundang-undangan.
Salah satu contoh terjadinya pemanggilan Notaris oleh Polisi tanpa
mendapat persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah (MPD), dialami oleh salah
seorang Notaris di Jakarta Selatan, Notaris tersebut menolak untuk memenuhi
pemanggilan tersebutdan mengirim surat kepada Kepolisian untuk meminta
persetujuan terlebih dahulu kepada MPD Jakarta Selatan, agar Kepolisian
5Habib Adjie, 2008, Hukum Notaris Indonesia: Tafsir Tematik terhadap UU No. 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Alumni, Bandung, hlm. 228
9
mendapat persetujuan terlebih dahuludari MPD Jakarta Selatan, kemudian karena
ditolaknya pemanggilan tersebut, Polisimengirim surat meminta persetujuan dari
MPD Jakarta Selatan, tapi MPD JakartaSelatan tidak memberikan persetujuan
agar Notaris tersebut datang memenuhi SuratPanggilan tersebut. Polisi sekali lagi
melakukan pemanggilan melalui Surat Panggilan ke II, dengan ancaman bila
masih juga Notaris tersebut tidak datang menghadap kekantor Kepoloisian, maka
Polisi akan melakukan penangkapan dan penahananberdasarkan Pasal 16 huruf f
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentangKepolisian, yang mengatur
mengenai wewenang polisi selaku penyidik memanggilseseorang untuk didengar
dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi serta ketentuanUndang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum AcaraPidana/KUHAP,
Pasal 7 ayat (1) huruf g, Pasal 11, Pasal 112 ayat (1) dan ayat (2),Pasal
113KUHAP dan Pasal 1909 KUHPer.
Akan tetapi sejak keluarnya Putusan Mahkamah KonstitusiNomor
49/PUU-X/2012 yang mencabut Pasal 66 ayat (1), khususnya pada frasa tentang
kewajiban untuk mendapatkan persetujuan dari MPD, pihak Kepolisian dapat
memanggil dan memeriksa Notaris tanpa persetujuan dari MPD. Dalam hal
pemanggilan kepada Notaris sebagai saksi oleh Kepolisian, Notaris tersebut harus
hadir. Penggunaan hak ingkar Notaris dilakukan apabila Notaris dimintai
keterangan terkait dengan isi akta yang telah dibuatnya tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian
lebih lanjut guna penyusunan tesis dengan mengambil judul “Analisis Yuridis
10
Tentang Hak Ingkar Notaris Menurut Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode
Etik Notaris”
Menelusuri kepustakaan ternyata belum begitu banyak hasil penelitian dan
karya ilmiah yang berkaitan dengan hak ingkar notaris.Berdasarkan pengamatan
penulis, penelitian tentang analisis yuridis tentang hak ingkar notaris menurut
Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris sampai saat ini belum
pernah ada. Akan tetapi apabila ternyata pernah dilaksanakan penelitian yang
sama atau sejenis, maka penelitian ini diharapkan dapat melengkapinya.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, maka
permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan hak ingkar notaris dalam hal dilakukan pemeriksaan
terhadap notaris berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik
Notaris?
2. Bagaimana penyelesaian hukumnya apabila notaris menggunakan hak
ingkarnya pada saat dilakukan pemeriksaan?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Untuk menghindari pembahasan yang meluas maka ruang lingkup
permasalahan penulis batasi yaitu analisis yuridis tentang hak ingkar notaris
menurut Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris.
11
1.4. Keaslian Penelitian
Menelusuri kepustakaan ternyata belum begitu banyak hasil penelitian dan
karya ilmiah yang berkaitan dengan hak ingkar notaris.Berdasarkan pengamatan
penulis, penelitian tentang analisis yuridis tentang hak ingkar notaris menurut
Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris sampai saat ini belum
pernah ada. Akan tetapi apabila ternyata pernah dilaksanakan penelitian yang
sama atau sejenis, maka penelitian ini diharapkan dapat melengkapinya. Adapun
judul beserta rumusan masalah penelitian lain yang tidak sama dengan penelitian
ini adalah :
1. Tesis berjudul Tinjauan Yuridis mengenai Rahasia Bank dalam Pemberian
Jasa Notaris Terhadap Bank dan Pengecualian Rahasia Jabatan Notaris yang
disusun pada tahun 2012 oleh Tri Theresa Tarigan Mahasiswi Kenotariatan
Universitas Indonesia. Tesis ini membahas mengenai pengaturan rahasia bank
terkait dengan jasa notaris terhadap bank serta pengaturan rahasia bank dan
rahasia jabatan notaris dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Tesis ini
lebih menekankan pada pengaturan rahasia jabatan notaris, rahasia bank, serta
tindak pidana pencucian uang, sedangkan pada tesis yang akan dibahas
berikut ini lebih menekankan pada analisa yuridis mengenai hak ingkar
Notaris menurut Undang-Undang Jabatan Notaris.
2. Tesis berjudul “Kesaksian Notaris Mengenai Akta Perjanjian Kredit Bank
Berkaitan Dengan Rahasia Jabatan Notaris Dalam Sistem Peradilan Pidana”
yang disusun tahun 2014 oleh I Gusti Ayu Made Semilir Susila Mahasiswi
12
Kenotariatan Universitas Udayana Denpasar. Tesis ini membahas mengenai
pembuatan akta yang dilakukan oleh Notaris dalam hal perjanjian kredit di
bank, lebih menekankan pada rahasia bank dan kesaksian notaries terhadap
akta tersebut, sedangkan pada tesis yang akan dibahas berikut ini lebih
menekankan pada analisa yuridis mengenai hak ingkar Notaris menurut
Undang-Undang Jabatan Notaris.
1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.5.1. Tujuan Penelitian
1.5.1.1 Tujuan Umum
a. Penelitian ini secara umum bertujuan berupa upaya untuk
mengembangkan Ilmu Hukum terkait dengan paradigma science as a
process (ilmu sebagai proses), dengan paradigma ini ilmu tidak akan
pernah berhenti (final) dalam penggaliannya atas kebenaran.6
b. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada
Program Studi Magister (S2) Kenotariatan Program Pascasarjana
Universitas Udayana Denpasar.
1.5.1.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui dan mengkaji pengaturan hak ingkar notaris dalam hal
dilakukan pemeriksaan terhadap notaris berdasarkan Undang-Undang
Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris
6Program Studi Ilmu Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Penulisan Usulan
Penelitian dan Tesis Hukum Normatif, Denpasar, hlm. 30.
13
b. Untuk mengetahui dan mengkaji penyelesaian hukumnya apabila notaris
menggunakan hak ingkarnya pada saat dilakukan pemeriksaan.
1.5.2. Manfaat Penelitian
1. Memberikan bahan masukan dan sumbangan pemikiran bagi pengembangan
ilmu hukum pada umumnya dan bidang Kenotariatan pada khususnya.
2. Sebagai masukan bagi Notaris maupun calon-calon Notaris, agar lebih
mengerti mengenai penggunaan hak ingkar notaris pada pemeriksaan di
Pengadilan.
1.6. Landasan Teoritis
1.6.1 Konsep Hukum
1.6.1.1 Pengertian Notaris
Pasal 1 angka 1 UUJN, notaris didefinisikan sebagaipejabat umum yang
berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang ini.Definisi yang diberikan oleh UUJNini
merujuk pada tugas dan wewenang yang dijalankan oleh notaris.Artinya notaris
memiliki tugas sebagai pejabat umum dan memiliki wewenang untuk membuat
akta otentik serta kewenangan lainnya yang diatur oleh UUJN.7
Wewenang notaris bersifat umum sedang wewenang para pejabat lainnya
adalah pengecualian.Itulah sebabnya bahwa apabila di dalam peraturan
perundang-undangan untuk suatu perbuatan hukum diharuskan adanya akta
otentik, maka hal itu hanya dapat dilakukan dengan suatu akta notaris, terkecuali
7Abdul Ghofur Anshori, 2009, Op. Cit, hlm. 14
14
peraturan perundang-undangan ada yang menyatakan dengan tagas, atau sebagai
yang satu-satunya berwenang untuk itu.8 Dalam hal demikian berlaku asas lex
specialis derogate legi generali yakni notaris sebagai pejabat yang berwenang
untuk membuat akta disimpangi oleh adanya pejabat lain yang berwenang untuk
membuat akta pengecualian ini dengan didasarkan pada peraturan perundang-
undangan (khusus) lainnya.
Kehadiran notaris sangat penting dalam menciptakan kepastian hukum dan
memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat. Notaris dalam melakukan
pencegahan terjadinya masalah hukum melalui akta autentik yang dibuatnya
sebagai alat bukti yang paling sempurna di pengadilan, apa yang akan terjadi jika
alat bukti yang paling sempurna tersebut kredibilitasnya diragukan.9
Perlunya suatu tanggung jawab baik individual maupun sosial, terutama
ketaatan terhadap norma-norma hukum positif dan kesediaan untuk tunduk pada
Kode Etik Profesi, bahkan merupakan suatu hal yang wajib sehingga akan
memperkuat norma hukum positif yang sudah ada.10
Masyarakat membutuhkan seorang notaris yang dapat diandalkan, dapat
dipercaya, yang tanda tangannya serta segala capnya memberikan jaminan dan
bukti, seorang ahli yang tidak memihak dan penasihat yang tidak ada cacatnya
(onkreukbaar atau unimpeachable), yang tutup mulut, dan membuat suatu
perjanjian yang dapat melindunginya di hari yang akan datang.
8GHS Lumban Tobing, 1983, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, hlm. 34 9Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, 2008, Jati Diri Notaris Indonesia, Gramedia
Pustaka, Jakarta, hlm. 7 10Liliana Tedjosaputro, 1995, Etika Profesi Notaris Dalam Penegakan Hukum Pidana,
Bigraf Publishing, Jakarta, hlm. 4
15
Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta yang
memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak
kepada Notaris. Menurut Subekti,11
yang dinamakan surat akta adalah suatu
tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa,
karenanya suatu akta harus selalu ditandatangani”. Sedangkan menurut Sudikno
Martokusumo,12
“bahwa yang dinamakan dengan akta adalah surat yang diberi
tanda tangan yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar dari suatu hak /
perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian”. “Sehingga
pembuatan akta Notaris dapat digunakan sebagai pembuktian dalam sebuah
sengketa hukum yang digunakan sebagai alat untuk mengingat kembali peristiwa-
peristiwa yang telah terjadi, sehingga dapat digunakan untuk kepentingan
pembuktian”.13
Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya
disebut KUH Perdata) “bahwa bukti tulisan merupakan salah satu alat bukti
tertulis” Demikian pula dalam Pasal 1867 KUH Perdata menetapkan :
“Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun
dengan tulisan-tulisan dibawah tangan”.
Dalam praktik banyak ditemukan, jika ada akta notaris dipermasalahkan
oleh para pihak atau pihak ketiga lainnya, maka sering pula notaris ditarik sebagai
11R. Subekti, 2006, Pokok-pokok Hukum Perdata, Cetakan ke-XXVIII, Intermasa,
Jakarta, hlm. 178 12Sudikno Martokusumo, 1998, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi ke-6, Liberty,
Yogyakarta, hlm.142. 13 R. Soegondo Notodiserjo, 1982, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan,
Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 19
16
pihak yang turut serta melakukan atau membantu melakukan suatu tindak pidana,
yaitu membuat atau memberikan keterangan palsu ke dalam akta notaris”.14
1.6.1.2 Kedudukan Notaris Sebagai Pejabat Umum
Mengenai kedudukan notaris sebagai pejabat umum, R. Soegondo
Notodisoerjo menyatakan bahwaLembaga Notariat telah dikenal di negara
Indonesia, yaitu sejak Indonesia dijajah oleh Belanda, semula lembaga ini
diperuntukkan bagi golongan Eropa terutama dalam bidang hukum perdata, yaitu
Burgerlijk Wetboek.15
Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa meski sebenarnya hanya
diperuntukkan bagi golongan Eropa, masyarakat Indonesia secara umum pun
dapat membuat suatu perjanjian yang dilakukan dihadapan notaris.Hal ini
menjadikan lembaga notariat sangat dibutuhkan keberadaannya di tengah-tengah
masyarakat.Kemudian dalam perkembangannya, lembaga notariat yang mula-
mula muncul pada zaman Romawi, diadopsi menjadi Hukum Indonesia, yaitu
Hukum Notariat Indonesia dan berlaku untuk semua golongan.
Kedudukan notaris sebagai pejabat umum memberikan wewenang kepada
notaris untuk dapat membuat akta-akta otentik.Sebelum menjalankan jabatannya,
notaris harus disumpah terlebih dahulu.Hal ini sebagai konsekuensi bahwa dalam
menjalankan jabatannya, notaris sebagai pejabat umum harus senantiasa
menghayati sumpah jabatannya yang termuat dalam Pasal 4 UUJN.Sebagaimana
dikatakan oleh Liliana Tedjosaputro bahwaPada asasnya jabatan notaris ini juga
14Habib Adjie, 2008, Hukum Notariat Di Indonesia Tafsiran Tematik terhadap UU No.30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Rafika Aditama, Bandung, hlm. 24 15Ibid., hlm. 1
17
seharusnya memberikan keadilan yang menuju kepada keselarasan, keserasian,
keseimbangan, tidak memihak kepada para pihak dan juga bebas dari kekuasaan
eksekutif.16
Hal ini sebenarnya menegaskan bahwa jabatan sebagai notaris haruslah
independen, dalam arti kata tidak memihak kepada pihak-pihak tertentu, sehingga
notaris menjadi jabatan kepercayaan.Selain sebagai jabatan kepercayaan, notaris
juga berperan sebagai pelayan kepentingan umum serta mengatur secara tertulis
dan otentik hubungan-hubungan hukum antara para pihak yang secara mufakat
meminta jasa notaris, maka notaris dituntut mempunyai pengetahuan yang luas
serta tanggung jawab yang besar terhadap segala hal yang telah dilakukannya.
Notaris sebagai pejabat umum menjalankan sebagian dari fungsi negara
terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat umum, khususnya
membuat alat bukti tertulis dan otentik dari perbuatan hukum yang dibuat atau
diadakan oleh para pihak.Hal demikian menjadi keharusan oleh karena akta
otentik lahir jika dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum.
Penunjukan notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta
otentik berkaitan erat dengan wewenang atau kewajibannya yang utama.
Kewenangan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 UUJNjo. UUJN-P
dikaitkan dengan Pasal 1868 KUHPerdata yang memuat ketentuan akta otentik
dan syarat-syarat agar supaya sesuatu akta dapat dikatakan dan berlaku sebagai
akta otentik adalah akta yang dalam bentuknya telah ditentukan oleh undang-
16Liliana Tedjosaputro, 1995, Etika Profesi Notaris Dalam Penengakan Hukum Pidana,
BIGRAF Publishing, Yogyakarta, hlm. 89
18
undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untukitu, di
tempat di mana akta dibuat.
Ketentuan mengenai kedudukan sebagai pejabat umum dapat dilihat pada
Pasal 1 angka 1 UUJNjo. UUJN-P di sana dinyatakan bahwa notaris adalah
pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik. Dengan demikian
ditugaskan untuk menjalankan kekuasaan pemerintah, notaris memperoleh
kekuasaan tersebut dari eksekutif, artinya notaris diberi kekuasaan langsung
sebagian hak dan wewenang eksekutif.
Notaris sebagai pejabat umum diangkat oleh pemerintah yaitu oleh
Menteri Kehakiman dan HAM RI dengan suatu surat keputusan. Hal ini berarti
turut serta melaksanakan kewibawaan dari pemerintah, meski demikian notaris
bukanlah pegawai negeri tetapi merupakan pejabat negara, notaris tidak tunduk
pada undang-undang kepegawaian, melainkan tunduk pada UUJNjo. UUJN-Pdan
ia tidak menerima gaji dari pemerintah tetapi menerima honorarium dari klien atas
jasanya. Berkaitan dengan honorarium bagi notaris, diatur dalam Pasal 36 ayat (1)
UUJNyaitu bahwa “notaris berhak menerima honorarium atas jasa hukum yang
diberikan sesuai kewenangannya”.
Seorang notaris meskipun sudah diangkat secara resmi dengan suatu surat
keputusan dari pejabat yang berwenang namun belum disumpah, maka ia belum
bisa melakukan tugas jabatannya, oleh karena itu setelah ia menerima surat
keputusan seorang notaris harus mengajukan permohonan kepada pemerintah
melalui kantor pemerintah daerah di mana notaris yang bersangkutan
ditempatkan.
19
Notaris sebagai pejabat umum (openbaar ambtenaar) yang berwenang
membuat akta otentik dapat dibebani tanggung jawab atas perbuatannya
sehubungan dengan pekerjaannya dalam membuat akta tersebut.Ruang lingkup
pertanggungjawaban notaris meliputi kebenaran materiil atas akta yang dibuatnya.
Mengenai tanggung jawab notaris selaku pejabat umum yang berhubungan
dengan kebenaran materiil, Nico membedakannya menjadi empat poin, yakni:17
1. Tanggung jawab notaris secara perdata terhadap kebenaran materiil
terhadap akta yang dibuatnya;
2. Tanggung jawab notaris secara pidana terhadap kebenaran materiil
dalam akta yang dibuatnya;
3. Tanggung jawab notaris berdasarkan Peraturan Jabatan Notaris
terhadap kebenaran maeriil dalam akta yang dibuatnya;
4. Tanggung jawab notaris dalam menjalankan tugas jabatannya
berdasarkan kode etik notaris.
Mengenai tanggung jawab notaris sebagai pejabat umum dalam
pembahasan ini meliputi tanggung jawab profesi notaris itu sendiri yang
berhubungan dengan akta. Pembahasan tanggung jawab notaris sebagai pejabat
umum dapat dijelaskan sebagai berikut:18
1. Tanggung jawab notaris secara perdata atas akta yang dibuatnya
Konstruksi yuridis yang digunakan dalam tanggung jawab perdata
terhadap kebenaran materiil terhadap akta yang dibuat oleh notaris adalah
konstruksi perbuatan melawan hukum. Konstruksi yuridis mengenai perbuatan
melawan hukum ini memang memiliki jangkauan yang begitu luas sehingga
memungkinkan untuk menjangkau perbuatan apapun asalkan merugikan pihak
lain dan kerugian tersebut memiliki hubungan kausalitas dengan perbuatan
17Nico, 2003, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Center for Documentation
and Studies of Business Law, Yogyakarta 18Abdul Ghofur Anshori, 2009, Op. Cit., hlm. 35
20
apapun tersebut. Apa yang disebut dengan perbuatan melawan hukum
memiliki sifat aktif maupun pasif. Aktif dalam artian melakukan suatu
perbuatan yang menimbulkan kerugian pada pihak lain, jadi sengaja
melakukan gerakan, maka dengan demikian perbuatan melawan hukum
merupakan suatu perbuatan yang aktif. Kecuali itu perbuatan melawan hukum
juga dapat bersifat pasif. Pasif dalam artian tidak melakukan perbuatan namun
sesungguhnya perbuatan tersebut merupakan kewajiban baginya atau dengan
tidak melakukan suatu perbuatan tertentu – suatu yang merupakan keharusan –
maka pihak lain dapat menderita suatu kerugian. Unsur dari perbuatan
melawan hukum ini meliputi adanya suatu perbuatan melawan hukum, adanya
kesalahan dan adanya kerugian yang ditimbulkan.
Termasuk dalam perbuatan melawan hukum apabila notaris yang
memiliki tugas memberikan pelayanan kepada masyarakat atau orang-orang
yang membutuhkan jasanya dalam pengesahan atau pembuatan suatu akta,
kemudian di dalam akta tersebut terdapat suatu klausula yang bertentangan
dengan hukum sehingga menimbulkan kerugian terhadap orang lain
sedangkan para pihak penghadap sama sekali tidak mengetahuinya, maka
dengan sikap pasif dan diam itu notaris yang bersangkutan dapat
dipertanggungjawabkan melalui perbuatan melawan hukum. Hal ini dapat
terjadi dikarenakan notaris memiliki pengetahuan yang kurang, pengalaman
yang kurang, dan/atau memiliki pengertian yang kurang.19
Meskipun demikian Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa
mengingat notaris pada dasarnya hanya mencatat apa yang dikemukakan oleh
19S. Soetrisno, dalam Nico, Op. Cit., hlm. 98
21
para penghadap dan tidak diwajibkan menyelidiki kebenaran materiil isinya,
maka tidaklah tepat jika hakim membatalkannya (atau menyalahkan notaris
tersebut dan menuduhnya melakukan perbuatan hukum). Notaris mungkin
dapat berbuat salah mengenai isi akta karena informasi yang salah (sengaja
atau tidak) dari para pihak.Kiranya kesalahan demikian ini tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada notaris karena isi akta itu telah
dikonfirmasikan kepada para pihak oleh notaris.20
Berkaitan dengan pertanggungjawaban secara perdata terhadap
kebenaran materiil dalam akta yang dibuat dihadapan notaris meskipun pada
dasarnya notaris tidak bertanggung jawab dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum terhadap kebenaran materiil dalam akta
yang dibuat dihadapannya, bukan berarti notaris dalam menjalankan tugas
jabatannya dapat dengan sekehendaknya dan tidak dengan sungguh-sungguh
dalam melakukan pembuatan suatu akta otentik. Lebih lanjut dijelaskan juga
bahwa ada hal lain yang juga harus diperhatikan oleh notaris, yaitu yang
berkaitan dengan perlindungan hukum notaris itu sendiri. Berdasarkan pada
pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan adanya ketidak hati-hatian
dan kesungguhan yang dilakukan notaris, sebenarnya notaris telah membawa
dirinya pada suatu perbuatan yang oleh undang-undang harus
dipertanggungjawabkan.Jika suatu kesalahan yang dilakukan oleh notaris
dapat dibuktikan, maka notaris dapat dikenakan sanksi berupa ancaman
sebagaimana telah ditentukan dalam undang-undang.
20Sudikno Mertokusumo, 1998, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta,
hlm. 149
22
2. Tanggung jawab notaris secara pidana atas akta yang dibuatnya
Mengenai ketentuan pidana tidak diatur di dalam UUJNjo. UUJN-
Pnamun tanggung jawab notaris secara pidana dikenakan apabila notaris
melakukan perbuatan pidana. UUJN jo. UUJN-Phanya mengatur sanksi atas
pelanggaran yang dilakukan oleh notaris terhadap UUJN jo. UUJN-P. Sanksi
tersebut dapat berupa akta yang dibuat oleh notaris tidak memiliki kekuatan
otentik atau hanya mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah
tangan.Terhadap notarisnya sendiri dapat diberikan sanksi yang berupa
teguran hingga pemberhantian dengan tidak hormat.
Berdasarkan pengertian dari tindak pidana maka konsekuensi dari
perbuatan pidana dapat melahirkan pertanggungjawaban pidana.
Pertanggungjawaban pidana ada apabila subjek hukum melakukan kesalahan,
karenanya dikenal adanya pameo yang mengatakan geen straf zonder schuld
atau tiada pidana tanpa kesalahan.Kesalahan dapat berupa kesengajaan (dolus)
maupun kealpaan (culpa).
Pasal 322 KUH Pidana berisi mengenai rahasia berwujud apa saja
yang dipercayakan kepada orang, dalam hal ini notaris, karena jabatan atau
pekerjaannya (beroep), baik yang sekarang masih dipegangnya, maupun yang
dahulu, jadi yang sekarang telah ditinggalkan. Perbuatan ini harus dilakukan
dengan sengaja dan apabila kejahatan ini mengenai seorang tertentu maka
tuntutannya digantungkan kepada pengaduan orang yang dirugikan.Pasal 322
KUH Pidana tidak menyebutkan secara spesifik suatu pekerjaan tertentu
23
namun dalam hal ini Pasal 322 KUH Pidana mencakup pula pekerjaan bagi
seorang notaris.21
3. Tanggung jawab notaris berdasarkan UUJNjo. UUJN-P
Kebutuhan akan jasa notaris dalam masyarakat modern tidak mungkin
dihindarkan. Notaris sebagai pejabat umum diangkat oleh pemerintah dan
pemerintah sebagai organ negara mengangkat notaris bukan semata untuk
kepentingan notaris itu sendiri, melainkan juga untuk kepentingan masyarakat
luas. Jasa yang diberikan oleh notaris terkait erat dengan persoalan trust
(kepercayaan) antara para pihak, artinya negara memberikan kepercayaan
yang besar terhadap notaris dan dengan demikian dapat dikatakan bahwa
pemberian kepercayaan kepada notaris berarti notaris tersebut mau tidak mau
telah dapat dikatakan memikul pula tanggung jawab atasnya. Tanggung jawab
ini dapat berupa tanggung jawab secara hukum maupun moral.22
Hal ini dikarenakan berbagai ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan
kebutuhan hukum masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, perlu diadakan
pembaharuan dan pengaturan kembali secara menyeluruh dalam satu undang-
undang yang mengatur tentang jabatan notaris sehingga dapat tercipta suatu
unifikasi hukum yang berlaku bagi semua penduduk di seluruh wilayah negara
Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan unifikasi hukum di bidang
kenotariatan tersebut, dibentuklah UUJNjo. UUJN-P.
21Wiryono Prodjodikoro, 2003, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika
Aditama, Bandung, hlm. 107-108 22Abdul Ghofur Anshori, 2009, Op. Cit., hlm. 43
24
Mengenai tanggung jawab notaris secara eksplisit disebutkan dalam
Pasal 65 UUJNjo. UUJN-Pyang menyatakan bahwa notaris (notaris pengganti,
notaris pengganti khusus dan pejabat sementara notaris) bertanggung jawab
atas setiap akta yang dibuatnya, meskipun protokol notaris telah diserahkan
atau dipindahkan kepada pihak penyimpan protokol notaris.
4. Tanggung jawab notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan
kode etik notaris
Profesi notaris sebagaimana telah diterangkan dapat dilihat dalam
perspektifnya secara integral.Melalui perspektif terintegrasi ini maka profesi
notaris merupakan profesi yang berkaitan dengan individu, organisasi profesi,
masyarakat pada umumnya dan Negara. Tindakan notaris akan berkaitan
dengan elemen-elemen tersebut oleh karenanya suatu tindakan yang keliru
dari notaris dalam menjalankan pekerjaannya tidak hanya akan merugikan
notaris itu sendiri namun dapat juga merugikan organisasi profesi, masyarakat
dan Negara.
Hubungan profesi notaris dengan masyarakat dan Negara telah diatur
dalam UUJNjo. UUJN-Pberikut peraturan perundang-undangan lainnya.
Sementara hubungan profesi notaris dengan organisasi profesi notaris diatur
melalui kode etik notaris.Keberadaan kode etik notaris merupakan
konsekuensi logis dari untuk suatu pekerjaan disebut sebagai profesi. Bahkan
ada pendapat yang mengatakan bahwa notaris sebagai pejabat umum yang
diberikan kepercayaan harus berpegang teguh tidak hanya pada peraturan
25
perundang-undangan semata namun juga pada kode etik profesinya, karena
tanpa adanya kode etik, harkat dan martabat dari profesinya akan hilang.
Terdapat hubungan antara kode etik dengan UUJNjo. UUJN-P.
Hubungan pertama terdapat dalam Pasal 4 UUJN mengenai sumpah jabatan.
Notaris melalui sumpahnya berjanji untuk menjaga sikap, tingkah lakunya dan
akan menjalankan kewajibannya sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan,
martabat dan tanggung jawabnya sebagai notaris. Kode etik profesi notaris
ditetapkan dan ditegakkan oleh organisasi notaris.
1.6.1.3 Kode Etik Notaris
Notaris dalam menjalankan tugasnya, dituntut untuk selalu berpijak pada
hukum dan regulasi yang berlaku di Indonesia. Bukan hanya itu, seorang notaris
juga berkewajiban untuk menjalankan tugasnya sesuai dengan etika yang sudah
disepakati bersama dalam bentuk kode etik, kode etik ini membatasi tindak tanduk
para notaris agar dalam menjalankan praktiknya tidak bertindak sewenang-
wenang.23
Kode etik notaris ada 2 yaitu:
1. Kode etik yang diatur secara hukum dalam peraturan jabatan notaris.
2. Kode etik yang ditetapkan oleh Konggres Ikatan Notaris Indonesia (INI) 1974.
Kode etik notaris secara hukum dalam Pasal 83 ayat (1) UUJNmenyatakan
“Organisasi Notaris menetapkan dan menegakkan Kode Etik Notaris”.Atas dasar
ketentuan Pasal 83 ayat (1) UUJNtersebut Ikatan Notaris Indonesia pada Kongres
Luar Biasa di Bandung pada tanggal 27 Januari 2005, telah menetapkan Kode Etik
yang terdapat dalam Pasal 13 Anggaran Dasar:
23Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, 2009, Ke Notaris, Raih Asa Sukses, Jakarta,
hlm. 49-50.
26
1. Untuk menjaga kehormatan dan keluhuran martabat jabatan Notaris,
Perkumpulan mempunyai Kode Etik yang ditetapkan oleh Kongres dan
merupakan kaidah moral yang wajib ditaati oleh setiap anggota perkumpulan.
2. Dewan Kehormatan melakukan upaya-upaya untuk menegakkan Kode Etik.
3. Pengurus perkumpulan dan/atau Dewan Kehormatan bekerjasama dan
berkoordinasi dengan Majelis Pengawas untuk melakukan upaya penegakkan
Kode Etik.
1.6.1.4 Hak Ingkar Notaris
Mengenai hak ingkar (verschoningsrecht) ini diatur dalam Pasal 1909
KUH Perdata, Pasal 146 dan Pasal 277 HIR.Pasal 1909 KUH Perdata mewajibkan
setiap orang yang cakap untuk menjadi saksi, untuk memberikan kesaksian di
muka pengadilan. Ketentuan ini tidak berlaku terhadap mereka, yang berdasarkan
ketentuan-ketentuan perundang-undangan tidak diperbolehkan untuk berbicara,
demikian juga tidak berlaku terhadap mereka yang berdasarkan Pasal 1909 ayat
(2) KUH Perdata dan Pasal-pasal 146 dan 227 HIR yang disebut di atas, dapat
mempergunakan haknya untuk mengundurkan diri sebagai saksi, dengan jalan
menuntut penggunaan hak ingkarnya. Hak ingkar merupakan pengecualian
terhadap ketentuan umum yang disebut tadi, yakni bahwa setiap orang yang
dipanggil sebagai saksi, wajib memberikan kesaksian.
Menurut Van Bemmelen24
ada 3 dasar untuk dapat menuntut penggunaan
hak ingkar ini, yakni:
24GHS Lumban Tobing, 1983, Op. Cit, hlm. 120
27
1. Hubungan keluarga yang sangat dekat
2. Bahaya dikenakan hukuman pidana
3. Kedudukan-pekerjaan dan rahasia jabatan.
Di dalam praktek para notaris sering terjadi perlakuan-perlakuan yang
kurang wajar terhadap para notaris dalam hubungannya dengan hak ingkar
ini.Apabila seorang notaris dipanggil untuk dimintai keterangannya mengenai atau
dipanggil sebagai saksi dalam hubungannya dengan suatu perjanjian yang dibuat
dengan akta di hadapan notaris yang bersangkutan.Bagi pihak-pihak tertentu,
apakah itu oleh karena disengaja atau karena tidak mengetahui tentang adanya
peraturan perundang-undangan mengenai itu, seolah-olah dianggap tidak ada
rahasia jabatan notaris, demikian juga tidak ada hak ingkar dari notaris. Dalam
pada itu adalah juga merupakan suatu kenyataan yang pahit, bahwa di kalangan
para notaris sendiri ada yang tidak atau kurang memahami tentang hak ingkar ini
dan baru kemudian setelah mengetahuinya mempergunakannya di dalam
persidangan, setelah ia sebelumnya memberikan keterangan-keterangan di
hadapan penuntut umum, hal mana selain merupakan pelanggaran terhadap
sumpah rahasia jabatan notaris, juga dapat menimbulkan kesan bahwa bagi para
notaris tidak ada hak ingkar.
Adapun yang menjadi dasar untuk hak ingkar bagi jabatan-jabatan
kepercayaan terletak pada kepentingan masyarakat, agar apabila seseorang yang
berada dalam keadaan kesulitan, dapat menghubungi seseorang kepercayaan
untuk mendapatkan bantuan yang dibutuhkannya di bidang yuridis, medis atau
28
kerohanian, dengan keyakinan bahwa ia akan mendapat nasehat-nasehat, tanpa
yang demikian itu akan merugikan baginya.
Ada pihak yang mengemukakan pendapat bahwa hak ingkar ini hanya bagi
kepentingan individu dan bukan kepentingan masyarakat umum, sehingga mereka
menganggap tidak ada gunanya hak ingkar ini.Pendapat sedemikian, apabila
dipikirkan lebih mendalam, adalah tidak benar dan tidak dapat diterima, oleh
karena dibalik kepentingan individu ini adalah kepentingan masyarakat.
Kepentingan masyarakat dan individu, di mana individu adalah bagian dari
masyarakat itu, dalam hal ini pada hakekatnya adalah sama. Lagi pula sesuatu
peraturan atau undang-undang tidaklah dibuat hanya untuk dan bagi kepentingan
individu, akan tetapi adalah untuk kepentingan seluruh masyarakat.
Mengenai pendapat yang umum dianut, hak ingkar tidak hanya dapat
diperlakukan terhadap keseluruhan kesaksian, akan tetapi juga terhadap beberapa
pertanyaan tertentu, bahkan hak ingkar dapat diperlakukan terhadap tiap-tiap
pertanyaan.Tuntutan untuk menggunakan hak ingkar harus dinyatakan secara
tegas.Pernyataan dari seorang saksi, yang menuntut penggunaan hak ingkarnya
dengan hanya menyatakan bahwa untuk menjawab pertanyaan yang ditujukan
kepadanya, sangat meyakinkan baginya, menurut HIR tidak cukup untuk dapat
diterima sebagai pernyataan hendak mempergunakan hak ingkarnya.
Dalam pada itu, apabila seorang saksi, yang semula tidak mengetahui
adanya hak ingkarnya, telah memberikan keterangan-keterangan dihadapan polisi
dan pengadilan, kemudian di dalam persidangan saksi yang bersangkutan
mempergunakan hak ingkarnya, maka hakim tidak diperkenankan untuk juga
29
menggunakan keterangan-keterangan dalam berita acara yang diberikan oleh saksi
tersebut di hadapan polisi dan pengadilan sebagai pembuktian.
Di atas telah dikemukakan bahwa ada 3 dasar untuk dapat menuntut
penggunaan hak ingkar.Dalam rangka pembahasan hak ingkar ini, yang
diutamakan dalam hal ini ialah hak ingkar dari para notaris.Di dalam membahas
masalah hak ingkar notaris ini, pertanyaan yang penting yang perlu mendapat
jawaban ialah, apakah hak ingkar ini merupakan suatu hak untuk tidak bicara atau
suatu kewajiban untuk tidak bicara. Hal ini penting untuk diketahui dalam
hubungannya dengan berbagai ketentuan dalam perundang-undangan yang
berlaku, antara lain dalam hubungannya dengan ketentuan dalam Pasal 1909 ayat
(1) KUH Perdata dan Pasal 43 HIR berhubungan dengan Pasal 322 KUH Pidana.
Kiranya tidak perlu diragukan bahwa bagi notaris tidak ada kewajiban
untuk memberikan kesaksian, yakni sepanjang yang menyangkut isi akta-
aktanya.Dalam sumpah jabatan notaris, mewajibkan notaris untuk tidak bicara,
sekalipun di muka pengadilan, artinya notaris tidak diperbolehkan untuk
memberikan kesaksian mengenai apa yang dimuat dalam aktanya. Notaris tidak
hanya berhak untuk tidak bicara, akan tetapi mempunyai kewajiban untuk tidak
bicara. Hal ini tidak didasarkan pada Pasal 1909 ayat (3) KUH Perdata yang
hanya memberikan hak untuk menuntut penggunaan hak ingkar, akan tetapi
berdasarkan sumpah rahasia jabatan kewajiban untuk merahasiakan
mengenyampingkan kewajiban umum untuk memberikan kesaksian yang
dimaksud dalam Pasal 1909 ayat (1) KUH Perdata, terkecuali dalam hal-hal
tertentu.
30
Hak untuk tidak bicara didasarkan atas kepercayaan yang diperlukan untuk
kepentingan baik jalannya suatu pekerjaan atau jabatan dan karenanya juga
mempunyai batas ruang lingkup yang lebih luas, akan tetapi hal itu belum berarti
adanya kewajiban untuk tidak bicara. Dikatakan demikian, oleh karena siapa yang
berhak untuk tidak bicara, berhak juga untuk bicara, akan tetapi siapa yang
diwajibkan untuk tidak bicara, tidak berhak untuk bicara. Itulah sebabnya maka
perlu diketahui, apakah hak ingkar yang diberikan oleh undang-undang bagi para
notaris merupakan hak untuk tidak bicara atau merupakan kewajiban untuk tidak
bicara dan sebagaimana telah diuraikan di atas, hak ingkar dari notaris didasarkan
kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan kewajiban untuk
tidak bicara.
Pitlo di dalam hubungannya dengan ketentuan dalam Pasal 1946 sub 3
(Pasal 1909 sub 3 KUH Perdata) mempertanyakan apa yang dimaksudkan oleh
pasal tersebut dengan “het recht om zich van het afleggen van getuigenis te
verschonen”, apakah itu “verschoningsrecht” atau “verschoningsplicht”.25
Pitlo
mengatakan bahwa kewajiban untuk merahasiakan antara lain berlaku bagi dokter,
notaris dan petugas agama, yang diletakkan kepada mereka oleh undang-undang
dan pergaulan hidup untuk memungkinkan agar seseorang tanpa perlu
memikirkan sesuatu dapat pergi meminta bantuan di bidang kerohanian dan
kebendaan kepada mereka, yang karena pekerjaan kemasyarakatannya
memungkinkan memberikan bantuan sedemikian.26
25Ibid, hlm. 124 26Ibid
31
Menurut pendapat Pitlo, seseorang kepercayaan tidak berhak untuk begitu
saja menurut sekehendaknya mempergunakan hak ingkarnya.Kewajiban
merahasiakan ini mempunyai dasar yang bersifat hukum publik yang kuat.
Sungguhpun “in concreto” seseorang individu memperoleh keuntungan
daripadanya, akan tetapi kewajiban merahasiakan itu bukan dibebankan untuk
melindungi individu itu, melainkan dibebankan untuk kepentingan masyarakat
umum.27
Dengan demikian, maka jelaslah bagaimana perlindungan dari
kepentingan individu itu selalu mempunyai kepentingan umum sebagai latar
belakangnya. Orang kepercayaan dari masyarakat umum itu harus
mempertimbangkan, apa yang dalam sesuatu hal tertentu yang harus lebih
diutamakan : kepentingan dari masyarakat umum ditambah dengan kepentingan
dari individu itu dalam hal ia tidak bicara atau kepentingan dari masyarakat dalam
hal ia bicara. Dari hasil penilaian ini ia harus menentukan, apakah ia akan
mempergunakan hak ingkarnya. Hukum publik adalah kewajiban publik. Mereka
yang dimaksud dalam kategori ketiga wajib untuk bicara atau wajib untuk tidak
bicara.Kewajiban yang mana dari yang dua ini dibebankan kepadanya, harus
ditentukan oleh mereka sendiri hal demi hal.
Pendapat Pitlo ini pada garis besarnya bersamaan dengan pendapat dari
Prof. Van Bovenal Faure yang telah dikemukakan di atas yang mengatakan bahwa
kepada orang kepercayaan itulah diserahkan penentuannya dengan
menyesuaikannya dengan hati nuraninya.Mengenai hak ingkar ini, khususnya
mengenai hal-hal yang diberitahukan oleh klien kepada notaris dalam jabatannya
27Ibid
32
yang tidak dicantumkan dalam aktanya, Mr. C. Asser mempunyai pendapat yang
sama dengan penulis-penulis yang disebut tadi.28
Asser29
mengatakan bahwa kepada mereka yang disebut dalam Pasal 1946
sub 3 (Pasal 1909 sub 3 KUH Perdata) diberikan hak ingkar oleh undang-undang,
bukan untuk kepentingan mereka sendiri, akan tetapi adalah untuk kepentingan
masyarakat umum. Hak ingkar itu hanya berlaku untuk hal-hal yang disampaikan
dengan pengetahuan kepada orang yang mempunyai kewajiban untuk
merahasiakan dalam kedudukannya sedemikian, mengenai kedudukan itu
hendaknya jangan diberi batas formal yang sempit. Juga kenyataan bahwa sesuatu
pemberitahuan tidak dilakukan secara sangat rahasia tidaklah berarti, bahwa ia
begitu saja dapat melepaskan haknya untuk menggunakan hak ingkarnya,
demikian juga dalam hal yang mempunyai persoalan telah diketahui sejak dari
mulanya oleh para pihak yang berperkara. Dalam hal-hal ini mereka yang
dimaksud dalam Pasal 1946 sub 3 (Pasal 1909 sub 3 KUH Perdata) sekalipun
keputusan terakhir ada di tangan hakim, harus diberikan kebebasan tertentu, oleh
karena mereka akan merahasiakan atau memberitahukan hal-hal yang mereka
ketahui itu. Bukanlah tanpa alasan hak ingkar itu oleh undang-undang dinamakan
sebagai hak.Penentuan batas-batasnya secara bebas harus diberikan secara khusus
kepada mereka, apabila orang yang memberitahukan hal yang menjadi persoalan
itu kepada mereka, membebaskan mereka dari kewajiban untuk
merahasiakan.Pembebasan dari kewajiban untuk merahasiakan ini juga tidak
merupakan alasan bagi mereka untuk begitu saja melepaskan hak mereka untuk
28 Ibid, hlm. 125 29 Ibid
33
mempergunakan hak ingkar mereka.Hak ingkar ini diberikan juga untuk
kepentingan umum dan karenanya hak untuk mempergunakannya tidak
tergantung dari sikap orang yang paling langsung berkepentingan itu.
1.6.2 Landasan Teori
1.6.2.1 Teori Perlindungan Hukum
Tokoh dari Teori Perlindungan Hukum ini adalah Philipus M. Hadjon dan
Sudikno Mertokusumo. Menurut Sudikno Mertokusumo, “hukum berfungsi
sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia
terlindungi, hukum harus dilaksanakan.Pelaksanaan hukum dapat berlangsung
secara normal, damai tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum”.30
Pelanggaran hukum terjadi ketika subyek hukum tertentu tidak menjalankan
kewajiban yang seharusnya dijalankan atau karena melanggar hak-hak subyek
hukum lain. Subyek hukum yang dilanggar hak-haknya harus mendapatkan
perlindungan hukum.
Subyek hukum selaku pemikul hak-hak dan kewajiban-kewajiban (de
drager van de rechten en plichten), baik itu manusia (naturlijke persoon), badan
hukum (rechtpersoon), maupun jabatan (ambt), dapat melakukan tindakan-
tindakan hukum berdasarkan kemampuan (bekwaam) atau kewenangan
(bevoegdheid) yang dimilikinya.Dalam pergaulan di tengah masyarakat, banyak
terjadi hubungan hukum yang muncul sebagai akibat adanya tindakan-tindakan
hukum dari subyek hukum itu.Tindakan hukum ini merupakan awal lahirnya
30Sudikno Mertokusumo, 1996, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta,
hlm. 140
34
hubungan hukum (rechtsbetrekking), yakni interaksi antar subyek hukum yang
memiliki relevansi hukum atau mempunyai akibat-akibat hukum. Agar hubungan
hukum antar subyek hukum itu berjalan secara harmonis, seimbang dan adil,
dalam arti setiap subyek hukum mendapatkan apa yang menjadi haknya dan
menjalankan kewajiban yang dibebankan kepadanya, maka hukum tampil sebagai
aturan main dalam mengatur hubungan hukum tersebut. “Hukum diciptakan
sebagai suatu sarana atau instrumen untuk mengatur hak-hak dan kewajiban-
kewajiban subyek hukum”.31
Di samping itu, hukum juga berfungsi sebagai
instrumen perlindungan bagi subyek hukum.
Fungsi hukum sebagai instrumen pengatur dan instrumen perlindungan ini,
di samping fungsi lainnya sebagaimana akan disebutkan di bawah, diarahkan pada
suatu tujuan yaitu untuk menciptakan suasana hubungan hukum antar subyek
hukum secara harmonis, seimbang, damai, dan adil. Ada pula yang mengatakan
bahwa “Doel van het rechts is een vreedzame ordering van samenleving. Het
recht wil de vrede…den vrede onder de mensen bewaart het recht door bepalde
menselijke belangen (materiele zowel als ideele), eer, vrijheid, leven, vermogen
enz. Tegen benaling te beschermen” (tujuan hukum adalah mengatur masyarakat
secara damai.Hukum menghendaki perdamaian…Perdamaian diantara manusia
dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia
tertentu (baik materiil maupun ideiil), kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta
benda dan sebagainya terhadap yang merugikannya). Tujuan-tujuan hukum itu
akan tercapai jika masing-masing subyek hukum mendapatkan hak-haknya secara
31Ridwan HR, 2002, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, hlm. 210
35
wajar dan menjalankan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan aturan hukum
yang berlaku.
Perlindungan hukum bagi rakyat merupakan konsep universal, dalam arti
dianut dan diterapkan oleh setiap negara yang mengedepankan diri sebagai negara
hukum, namun seperti disebutkan Paulus E. Lotulung, “masing-masing negara
mempunyai cara dan mekanismenya sendiri tentang bagaimana mewujudkan
perlindungan hukum tersebut, dan juga sampai seberapa jauh perlindungan hukum
itu diberikan”.32
Tindakan hukum pemerintah merupakan tindakan-tindakan yang
berdasarkan sifatnya menimbulkan akibat hukum.Karakteristik paling penting dari
tindakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah adalah keputusan-keputusan dan
ketetapan-ketetapan pemerintah yang bersifat sepihak. Dikatakan bersifat sepihak
karena dilakukan tidaknya suatu tindakan hukum pemerintahan itu tergantung
pada kehendak sepihak dari pemerintah, tidak tergantung pada kehendak pihak
lain dan tidak diharuskan ada persesuaian kehendak (wilsovereenstemming)
dengan pihak lain.33
Keputusan dan ketetapan sebagai instrumen hukum pemerintah dalam
melakukan tindakan hukum sepihak dapat menjadi penyebab terjadinya
pelanggaran hukum terhadap warga negara, apalagi dalam negara hukum modern
yang memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah untuk mencampuri
kehidupan warga negara.Oleh karena itu, diperlukan perlindungan hukum bagi
warga negara terhadap tindakan hukum pemerintah.Menurut Sjachran Basah,
32Paulus E. Lotulung, 1993, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum terhadap
Pemerintah, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 123 33 Ridwan HR, Op. Cit, hlm. 289
36
perlindungan terhadap warga negara diberikan bila sikap tindak administrasi
negara itu menimbulkan kerugian terhadapnya, sedangkan perlindungan terhadap
administrasi negara itu sendiri dilakukan terhadap sikap tindaknya dengan baik
dan benar menurut hukum baik tertulis maupun tidak tertulis.34
Hukum administrasi tidak tertulis atau asas umum pemerintahan yang
layak, seperti disebutkan pada bab sebelumnya, memang dimaksudkan sebagai
verhoogde rechtsbescherming atau peningkatan perlinndungan hukum bagi rakyat
dari tindakan administrasi negara yang menyimpang.Dalam rangka perlindungan
hukum, keberadaan asas-asas umum pemerintahan yang layak ini memiliki
peranan penting sehubungan dengan adanya terugtred van de wetgever atau
langkah mundur pembuat undang-undang, yang memberikan kewenangan kepada
administrasi negara untuk membuat peraturan perundang-undangan, dan adanya
pemberian freies ermessen pada pemerintah. Di satu sisi, pemberian kewenangan
legislasi kepada pemerintah untuk kepentingan administrasi ini cukup bermanfaat
terutama untuk relaksasi dari kekakuan dan fridigitas undang-undang, namun di
sisi lain pemberian kewenangan ini dapat menjadi peluang terjadinya pelanggaran
kehidupan masyarakat oleh pemerintah, dengan bertopang pada peraturan
perundang-undangan. A.A.H. Struycken menyesalkan adanya terugtred ini
(betreuren deze terugtred) dan menganggap tidak ada gunanya pengawasan hakim
yang hanya diberi kewenangan untuk menguji aspek hukumnya saja
34Sjachran Basah, 1992, Perlindungan Hukum atas Sikap Tindak Administrasi Negara,
Alumni, Bandung, hlm. 7-8
37
(rechtmatigheid), sementara aspek kebijaksanaan yang mengiringi peraturan
perundang-undangan lepas dari perhatian hakim.35
Ada dua macam perlindungan hukum bagi rakyat, yaitu perlindungan
hukum preventif dan represif.Perlindungan hukum preventif memiliki ketentuan-
ketentuan dan ciri tersendiri dalam penerapannya. Pada perlindungan hukum
preventif ini, subyek hukum mempunyai kesempatan untuk mengajukan keberatan
dan pendapatnya sebelum pemerintah memberikan hasil keputusan akhir.
Perlindungan hukum ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang
berisi rambu-rambu dan batasan-batasan dalam melakukan sesuatu. Perlindungan
ini diberikan oleh pemerintah untuk mencegah suatu pelanggaran atau sengketa
sebelum hal tersebut terjadi. Karena sifatnya yang lebih menekankan kepada
pencegahan, pemerintah cenderung memiliki kebebasan dalam bertindak sehingga
mereka lebih hati-hati dalam menerapkannya. Belum ada peraturan khusus yang
mengatur lebih jauh tentang perlindungan hukum tersebut di Indonesia.36
Perlindungan hukum represif memiliki ketentuan-ketentuan dan ciri yang
berbeda dengan perlindungan hukum preventif dalam hal penerapannya. Pada
hukum represif ini, subyek hukum tidak mempunyai kesempatan untuk
mengajukan keberatan karena ditangani langsung oleh peradilan administrasi dan
pengadilan umum. Selain itu, ini merupakan perlindungan akhir yang berisi sanksi
berupa hukuman penjara, denda dan hukum tambahan lainnya.Perlindungan
hukum ini diberikan untuk menyelesaikan suatu pelanggaran atau sengketa yang
35Ridwan HR, Op. Cit, hlm. 291 36Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia,Sebuah Studi
tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilandalam Lingkungan Peradilan Umum
dan Pembentukan PeradilanAdministrasi, Peradaban, Bandung, hlm. 41
38
sudah terjadi dengan konsep teori perlindungan hukum yang bertumpu dan
bersumber pada pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak manusia dan
diarahkan kepada pembatasan-pembatasan masyarakat dan pemerintah.37
Mengapa warga negara harus mendapat perlindungan hukum dari tindakan
pemerintah?Ada beberapa alasan, yaitu Pertama, karena dalam berbagai hal
warga negara dan badan hukum perdata tergantung pada keputusan-keputusan dan
ketetapan-ketetapan pemerintah, seperti kebutuhan terhadap izin yang diperlukan
untuk usaha perdagangan, perusahaan atau pertambangan.Oleh karena itu, warga
negara dan badan hukum perdata perlu mendapat perlindungan hukum, terutama
untuk memperoleh kepastian hukum dan jaminan keamanan, yang merupakan
faktor penentu bagi kehidupan dunia usaha.Kedua, hubungan antara pemerintah
dengan warga negara tidak berjalan dalam posisi sejajar.Warga negara merupakan
pihak yang lebih lemah dibandingkan dengan pemeirntah.Ketiga, berbagai
perselisihan warga negara dengan pemerintah itu berkenaan dengan keputusan dan
ketetapan, sebagai instrumen pemerintah yang bersifat sepihak dalam melakukan
intervensi terhadap kehidupan warga negara. Pembuatan keputusan dan ketetapan
yang didasarkan pada kewenangan bebas (vrijebevoegdheid) akan membuka
peluang terjadinya pelanggaran hak-hak warga negara. Meskipun demikian, bukan
berarti kepada pemerintah tidak diberikan perlindungan hukum.Sebagaimana
disebutkan Sjachran Basah, perlindungan hukum terhadap administrasi negara itu
sendiri dilakukan terhadap sikap tindaknya dengan baik dan benar menurut
hukum.38
37Ibid 38Ridwan HR, Op. Cit, hlm. 293
39
Di Indonesia perlindungan hukum bagi rakyat akibat tindakan hukum
pemerintah ada beberapa kemungkinan, tergantung dari instrumen hukum yang
digunakan pemerintah ketika melakukan tindakan hukum.Telah disebutkan bahwa
instrumen hukum yang lazim digunakan adalah keputusan dan ketetapan.Tindakan
hukum pemerintah yang berupa mengeluarkan keputusan merupakan tindakan
pemerintah yang termasuk dalam kategori regeling atau perbuatan pemerintah
dalam bidang legislasi. Hal ini dikarenakan, sebagaimana yang telah disebutkan di
depan, bahwa keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah itu merupakan
peraturan perundang-undangan.
1.6.2.2 Teori Penegakan Hukum
Menurut Soerjono Soekanto teori penegakan hukum ini adalah secara
konsepsional, inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan
hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan
mengejawantahkan dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap
akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan
hidup. Konsepsi yang mempunyai dasar filosofis tersebut, memerlukan penjelasan
lebih lanjut, sehingga akan tampak lebih konkrit.39
Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia.Agar
kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan.Pelaksanaan hukum
dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena
pelanggaran hukum.Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus
39Soerjono Soekanto, 2002, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 3.
40
ditegakkan.Melalui penegakan hukum inilah hukum itu menjadi kenyataan.
Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu:
kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan
(gerechtigkeit).40
Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan.Setiap orang mengharapkan
dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa yang konkrit. Bagaimana
hukumnya itulah yang harus berlaku; pada dasarnya tidak dibolehkan
menyimpang :fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum
harus ditegakkan). Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Kepastian
hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang,
yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan
dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum,
karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum
bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat.
Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau
penegakan hukum.Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau
penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat.Jangan
sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan di
dalam masyarakat.
Unsur yang ketiga adalah keadilan.Masyarakat sangat berkepentingan
bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum keadilan diperhatikan.Dalam
pelaksanaan atau penegakan hukum harus adil.Hukum itu bersifat umum,
mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Barangsiapa mencuri harus
40Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, hlm. 134.
41
dihukum: setiap orang yang mencuri harus dihukum, tanpa membeda-bedakan
siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat subyektif, individualistis dan
tidak menyamaratakan: adil bagi Si Suto belum tentu dirasakan adil bagi Si Noyo.
Menegakkan hukum hanya diperhatikan kepastian hukum saja, maka
unsur-unsur lainnya dikorbankan.Demikian pula kalau yang diperhatikan
hanyalah kemanfaatan, maka kepastian hukum dan keadilan dikorbankan dan
begitu selanjutnya.Menegakkan hukum harus ada kompromi antara ketiga unsur
tersebut.Ketiga unsur itu harus mendapat perhatian secara proporsional
seimbang.Tetapi dalam praktek tidak selalu mudah mengusahakan kompromi
secara proporsional seimbang antara ketiga unsur tersebut.
Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan
akhirnya timbul keresahan. Tetapi terlalu menitikberatkan pada kepastian hukum,
terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan
rasa tidak adil. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus
ditaati atau dilaksanakan. Undang-Undang itu sering terasa kejam apabila
dilaksanakan secara ketat: lex dura, sed tamen scripta (undang-undang itu kejam,
tetapi memang demikianlah bunyinya).Kalau kita bicara tentang hukum pada
umumnya kita hanya melihat kepada peraturan hukum dalam arti kaedah atau
peraturan perundang-undangan, terutama bagi praktisi.
Undang-Undang itu tidak sempurna.Memang tidak mungkin undang-
undang itu mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara tuntas.Ada
kalanya undang-undang itu tidak lengkap dan ada kalanya undang-undang itu
tidak jelas.Meskipun tidak lengkap atau tidak jelas undang-undang harus
dilaksanakan.
42
1.6.2.3 Teori Kepastian Hukum
Tokoh dari Teori Kepastian Hukum ini adalah Roscoe Pound. Semakin
banyak visi, misi dan tujuan yang harus dicapai oleh suatu proses penerapan
hukum di Pengadilan dalam era reformasi dan transformasi ini.Secara klasik di
samping untuk mencapai keadilan, hukum juga mempunyai tujuan untuk
menciptakan kepastian hukum bagi manusia pribadi maupun bagi masyarakat
luas.Banyak tujuan lainnya dari hukum yang harus dicapai di era reformasi dan
transformasi ini.Dalam hal ini, hukum harus dapat menyelaraskan antara unsur
keadilan, unsur kepastian hukum, dan elemen-elemen lainnya. Sebab, seringkali
antara keadilan, kepastian hukum dan unsur-unsur lainnya saling bertentangan
satu sama lain. Karena itu, dalam ilmu hukum dikenal istilah ”summum ius summa
injuria” (keadilan tertinggi adalah ketidakadilan tertinggi).
Salah satu contoh dari kontradiksi yang tajam antara elemen keadilan
dengan elemen kepastian hukum adalah dalam pranata hukum ”kadaluwarsa”.
Seorang penjahat tidak lagi dapat dituntut ke muka hakim jika sampai batas waktu
tertentu belum juga dapat ditangkap oleh penegak hukum. Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana menyebutkan seperti itu. Dalam hal ini, penuntutan hukum
terhadap pelaku kejahatan dianggap sudah kadaluwarsa. Dalam keadaan seperti
ini, dapat dibayangkan betapa dapat melukai keadilan masyarakat, apalagi
keadilan dari korban kejahatan, manakala si penjahat tidak dihukum hanya karena
penjahat tersebut tidak tertangkap untuk dalam jangka waktu tertentu.
Sesungguhnya, apa yang dikejar hukum jika tega membiarkan penjahat tetap
melanglang buana di luar penjara. Tidak lain yang dikejar adalah unsur kepastian
43
hukum, meskipun ongkosnya adalah dengan mengorbankan unsur keadilan. Hal
seperti ini banyak terjadi dalam berbagai pranata hukum yang ada. Karena jika
hukum tidak pasti, maka masyarakat juga yang susah.41
Sering terdapat ungkapan bahwa sektor hukum tidak memberikan
kepastian hukum bagi masyarakat sehingga pihak negara asing, orang asing dan
pihak pemodal asing segan masuk atau berhubungan dengan Indonesia. Sebab,
bukankah ketidakpastian hukum akan berdampak pada ketidakpastian berusaha di
Indonesia. Akibat dari ketidakadaan unsur kepastian hukum ini, maka secara
keseluruhan hukum Indonesia menjadi tidak dapat diprediksi (unpredictable).
Misalnya, jika kita beracara perdata di pengadilan-pengadilan negeri, sukar
diprediksi hasilnya. Seringkali perkara yang cukup kuat alat buktinya, tetapi tiba-
tiba kalah di pengadilan dengan alasan yang tidak jelas, bahkan dengan alasan
yang tergolong naif. Sebaliknya, sering juga kasus dimana pihak yang sangat
lemah kedudukan hukum dan pembuktiannya, di luar dugaan ternyata dia dapat
dimenangkan oleh pengadilan. Dalam hal ini, sebenarnya persoalan utamanya
terletak pada masalah penafsiran dan penerapan hukum yang tidak benar.
Akibatnya, banyak putusan pengadilan, termasuk putusan Mahkamah Agung
sekarang ini yang tidak terukur, tidak prediktif dan bersifat kagetan.
Apabila unsur keadilan jarang terpenuhi dalam suatu penerapan hukum
dan unsur kepastian hukumnya juga terpinggirkan, maka pantaslah penerapan
hukum yang demikian dikatakan telah jatuh sampai pada titik nadir, artinya, luar
biasa jeleknya dan nuansa seperti inilah yang sekarang sedang terjadi di
Indonesia.
41Munir Fuady, 2007, Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 180
44
Sebenarnya, terutama dalam tatanan normatif, secara evolutif hukum terus
berkembang menuju ke arah terciptanya suatu tata hukum yang lebih baik, bukan
malahan mundur ke belakang. Banyak peraturan dan undang-undang dibuat, baik
yang baru sama sekali ataupun untuk sekedar merevisi atau mengganti aturan
hukum yang lama. Tujuan terus menerus dibuatnya peraturan tersebut adalah agar
tercipta perangkat hukum yang lebih baik. Hukum dari segi ini, mestinya yang ada
sekarang jauh lebih maju dengan hukum sebelumnya. Hukum harus terus menerus
melakukan evolusi, baik pada tataran nasional maupun pada tataran internasional.
Berdasarkan hal ini, ahli hukum terkenal Roscoe Pound menyatakan sebagai
berikut:
Semenjak hukum Romawi, orang telah belajar untuk makin lama makin
baik menunaikan tugas praktisnya, guna mengatur hubungan-hubungan
dan menertibkan kelakuan supaya dapat dikekang insting dorongan
kehendak insan yang agresif dari masing-masing orang dan menggunakan
dorongan kehendak insan secara bekerja sama demi kemajuan
peradaban.42
Tatanan hukum dalam arti normatif seyogyanya semakin hari semakin
baik seperti yang dikatakan oleh Roscoe Pound tersebut, tidak berarti bahwa
tujuan dari hukum tersebut, termasuk tercapainya keadilan dan kepastian hukum
semakin hari semakin baik. Karena banyak juga orang merasa keadilan di jaman
penjajahan di rasa lebih baik dengan sekarang ini. Kata orang, dulu di masa
penjajahan Belanda, kepastian dan wibawa hukum jauh lebih terasa dari sekarang.
Hal ini karena perwujudan tujuan hukum ke dalam masyarakat, termasuk
perwujudan unsur keadilan dan kepastian hukum, masih tergantung minimal
kepada dua hak lain, yaitu sebagai berikut:
42Roscoe Pound, 1965, Tugas Hukum, terjemahan Moh. Radjab, Bharata, Jakarta, hlm. 60
45
1. Kebutuhan akan hukum yang semakin besar yang oleh hukum harus selalu
dipenuhi
2. Kesadaran hukum manusia dan masyarakat yang semakin hari semakin
bertambah tinggi sehingga hal tersebut harus direspons dengan baik oleh
hukum.
Jelas sekali bahwa faktor penerapan hukum mesti selalu dibenahi jika
ingin didapati suatuoutput hukum yang baik. Unsur terpenting dalam penerapan
hukum adalah unsur penegak hukum itu sendiri, in casu yang berpusat di
Mahkamah Agung sebagai benteng terakhirnya. Perbaikan sektor penegak hukum
di Indonesia saat ini merupakan hal yang tidak bisa ditawar-tawar, baik dalam arti
perbaikan moral, kualitas dan kuantitas, profesionalisme, metode kerjanya, dan
sebagainya. Peradilan yang bersih, berwibawa, modern, cepat, murah dan
predictable, merupakan dambaan dari masyarakat Indonesia yang memang juga
diinginkan oleh cita hukum bangsa ini, karena bangsa Indonesia tentu
menghendaki agar hukumnya siap bersaing dan siap bersanding dengan hukum-
hukum dari negara lain dalam masa globalisasi dan transformasi ini.
1.7 Metode Penelitian
1.7.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu suatu proses untuk
menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin
hukum guna menjawab menjawab isu-isu hukum yang dihadapi.43
43Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Prenada Media Grup, Jakarta, hlm.
11
46
1.7.2 Pendekatan Penelitian
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan
pendekatan tersebut peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek
mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya. Pendekatan-pendekatan
yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang
(statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis
(historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan
pendekatan konseptual (conceptual approach).44
Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan
menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu
hukum yang sedang ditangani. Pendekatan kasus (case approach) dilakukan
dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu
yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan yang tetap. Pendekatan historis (historical approach) dilakukan dengan
menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan
mengenai isu yang dihadapi. Pendekatan komparatif (comparative approach)
dilakukan dengan membandingkan undang-undang suatu negara dengan undang-
undang dari satu atau lebih negara lain mengenai hal yang sama. Sedangkan
pendekatan konseptual (conceptual approach) yaitu pendekatan yang beranjak
dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu
hukum.45
44Ibid, hlm. 93 45Ibid, hlm. 93-95
47
Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kasus (case approach). Dalam pendekatan kasus (caseapproach) yang perlu
dipahami oleh peneliti adalah ratio decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang
digunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusannya.46
Ratio decidendi dapat
diketemukan dengan memperhatikan fakta material. Fakta-fakta tersebut berupa
orang, tempat, waktu dan segala yang menyertainya asalkan tidak terbukti
sebaliknya. Perlunya fakta materiil tersebut diperhatikan karena baik hakim
maupun para pihak akan mencari aturan hukum yang tepat untuk dapat diterapkan
kepada fakta tersebut.47
1.7.3 Sumber Bahan Hukum
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif48
yang
terdiri dari:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
c. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
d. Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
e. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
f. Peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penelitian
ini.
46Ibid, hlm. 119 47Ibid 48Ibid, hlm. 142
48
2. Bahan hukum sekunder, adalah bahan-bahan hukum yang memberikan
penjelasan dan petunjuk terhadap bahan hukumprimer, yang terdiri dari:
berbagai literatur/buku-buku, berbagai hasil seminar, lokakarya, simposium
dan penelitian, jurnal, artikel yang berkaitan dengan permasalahan dalam
penelitian ini.
3. Bahan hukum tertier, adalah bahan-bahan hukum yang akan memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, yang terdiri dari:
a. Kamus hukum;
b. Kamus Inggris-Indonesia;
c. Kamus Umum Bahasa Indonesia;
d. Ensiklopedi.
1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan dengan
cara studi dokumen, yaitu dengan cara mempelajari, mengkaji dan menelaah
bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan penelitian ini.
1.7.5 TeknikAnalisis Bahan Hukum
Bahan hukum yang telah dikumpulkan dan disistematisir kemudian
dilakukan analisis secara kualitatif. Dengan kata lain, teknik analisis yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis kualitatif dengan langkah-
langkah sebagai berikut:
1. Bahan hukum yang diperoleh dari penelitian diklasifikasikan sesuai dengan
permasalahan dalam penelitian;
49
2. Hasil klasifikasi data selanjutnya disistematisasikan;
3. Bahan hukum yang telah disistematisasikan kemudian dievaluasi, diberikan
argumentasi, dan dianalisis untuk dijadikan dasar dalam pengambilan
kesimpulan terhadap permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini.