bab i pendahuluan 1.1 latar belakang - … i.pdf · hutan sebagai paru-paru dunia merupakan salah...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Hutan sebagai paru-paru dunia merupakan salah satu sumber daya alam ciptaan Tuhan
Yang Mahakuasa yang memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan alam di belahan
dunia. Terdapat berbagai jenis makhluk hidup berupa hewan besar maupun kecil bahkan sampai
yang tidak terlihat oleh mata. Selain itu tumbuh beribu pepohonan yang tumbuh menjadi satu
kesatuan. Hutan di Indonesia mempunyai peranan penting baik ditinjau dari aspek ekonomi,
sosial budaya maupun ekologi, namun tidak dapat dipungkiri bahwa semakin berkembangnya
penduduk dan pertumbuhan nasional, tekanan terhadap sumber daya hutan semakin meningkat.
Guna mempertahankan produktivitasnya, untuk itu sumber daya ini perlu dijaga kelestariannya.
Sebagai negara yang memiliki hutan tropis dataran rendah terluas ketiga di dunia setelah
Zaire dan Brazil, sumber daya hutan di Indonesia memiliki kandungan potensi yang sangat besar
untuk dikembangkan sebagai sumber pendanaan pembangunan bagi negara. Keberadaan hutan
harus dijaga dan dilindungi agar ekosistem dalam hutan tetap tumbuh dan berkembang demi
pembangunan negara di masa depan. Salah satu komponen perencanaan kehutanan yang
memegang peranan penting dalam mencegah terjadinya kerusakan hutan adalah kegiatan
inventarisasi hutan. Menurut Abubakar M. Lahjie, inventarisasi adalah kegiatan kehutanan
dengan membentuk dasar untukmanajemen hutan lestari.1 Berdasarkan sudut pandang
kehutanan, adanya kegiatan tersebut akan memudahkan untuk mengetahui mengenai potensi
kandungan yang terdapat dalam hutan baik berupa kayu maupun nonkayu.
1Supriadi, 2011, Hukum Kehutanan & Hukum Perkebunan Di Indonesia, PT. Sinar Grafika, Jakarta, him.
43.
Hutan memiliki 2 (dua) manfaat, yaitu manfaat langsung dan manfaat tidak langsung.
Manfaat langsung adalah manfaat yang dapat dirasakan atau dinikmati secara langsung oleh
masyarakat antara lain kayu yang merupakan hasil utama dari hutan, serta berbagai hasil hutan
ikutan atau yang lainnya seperti rotan, getah, buah-buahan, madu dan Iain-lain, sedangkan
manfaat hutan secara tidak langsung adalah manfaat yang tidak dapat dinikmati oleh masyarakat
secara langsung, akan tetapi yang dapat dirasakan adalah keberadaan hutan itu sendiri, seperti
dapat mengatur tata air, mencegah erosi, memberikan rasa keindahan, memberikan manfaat
terhadap kesehatan, memberikan manfaat di sektor pariwisata, serta dalam bidang pertahanan
dan keamanan, dapat menampung tenaga kerja dan juga dapat menambah devisa negara.
Upaya menyeimbangkan kondisi alam yang mengalami pergeseran ke pemanasan global,
pengeksploitasian hutan baik pada kawasan hutan lindung maupun hutan produksi memerlukan
suatu pendekatan yang bijak agar hutan tetap berada pada posisinya sebagai penyeimbang
lingkungan tersebut. Pemanfaatan hutan baik hutan lindung maupun hutan produksi,
pengelolaannya tetap mengacu pada ketentuan perundang-undangan dan kebijakan peraturan
yang ada selama ini yakni berdasarkan ketentuan UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
(Undang-Undang Kehutanan). Pada kenyataannya tidak dapat dipungkiri bahwaUndang-Undang
yang mengatur mengenai tindak tanduk kehutanan nampaknya belum sepenuhnya memberikan
kepastian hukum bagi tegaknya hukum di Indonesia. Aksi kejahatan terhadap hutan salah
satunya berupa penebangan liar atau diistilahkan dengan kata illegal logging yang semakin
berkembang bahkan sampai saat ini Indonesia belum memiliki peraturan khusus mengenai tindak
pidana illegal logging, hal demikianlah yang memicu beberapa pihak dari oknum pejabat negara
bahkan korporasi ikut terlibat dalam aksi ini.
Illegal logging adalah tindak kejahatan terhadap hutan yang merugikan negara, tidak
hanya secara ekonomi, tetapi juga secara sosial dan lingkungan. Potensi kerugian yang
ditanggung negara akibat pembalakan liar mencapai Rp 83 miliar per hari atau Rp 30,3 triliun
per tahun. Ironisnya, praktik illegal logging telah memusnahkan hampir tiga perempat hutan
alam di Indonesia. Luas areal hutan Indonesia yang hilang dalam setahun setara dengan luas
negara Swiss, yakni 41.400 kilometer persegi.2
Dilihat dari segi sosial, bahwa munculnya sikap kurang bertanggung jawab dikarenakan
adanya perubahan nilai dimana masyarakat pada umumnya sulit untuk membedakan antara yang
benar dan salah, serta antara baik dan buruk. Akibat tersebut disebabkan telah lamanya hukum
tidak ditegakkan ataupun kalau ditegakkan, sering hanya menyentuh sasaran yang salah.
Perubahan nilai ini bukanlah sesuatu yang mudah untuk dikembalikan tanpa pengorbanan yang
besar. Kerugian dari segi lingkungan yang paling utama adalah hilangnya sejumlah pohon
tertentu sehingga tidak terjaminnya keberadaan hutan yang berakibat pada
rusaknya lingkungan, berubahnya iklim mikro, menurunnya produktivitas lahan, erosi dan banjir
serta hilangnya keanekaragaman hayati.3 Kerusakan habitat dan terfragmentasinya hutan dapat
menyebabkan kepunahan suatu spesies termasuk fauna langka. Kemampuan pohon pada saat
masih hidup dalam menyerap karbondioksida sehingga dapat menghasilkan oksigen yang sangat
bermanfaat bagi mahluk hidup lainnya menjadi hilang akibat makin minimnya pohon yang
tersisa karena adanya penebangan liar.
Praktik illegal logging di Indonesia merupakan praktik yang sangat terorganisir, karena
modusnya melibatkan cukong dan para petugas kehutanan baik ditingkat pusat maupun daerah
2Statistik Kehutanan Indonesia, 2011, Kementrian Kehutanan, Jakarta., him. 28.
3Leden Marpaung, 1995, Tindak Pidana Terhadap Hutan, Hasil Hutan dan Satwa, Sinar Baru, Jakarta,
hlm.l.
serta melibatkan aparat penegak hukum.4Hasil penelusuran kompas menggambarkan
kebersamaan aparat, preman, cukong kayu di Kalimantan sepanjang tahun 2001-2005 selalu
terlihat di kota besar Kuching, Samarinda, Banjarmasin, Tawau, hingga kawasan Hulu Sungai
Mahakam.
Illegal logging membawa dampak negatif bagi kehidupan generasi yang akan mendatang
seperti hilangnya flora dan fauna, perubahan struktur alam, berkurangnya keanekaragaman
hayati, dan habisnya sumber daya alam. Salah satu upaya untuk memberantas tindak kejahatan
ini adalah melalui penegakan hukum. Namun pada praktiknya, hingga saat ini pemerintah belum
membuat peraturan khusus mengenai tindak pidana illegal logging. Jadi aturan maupun
ketentuan pidana yang digunakan masih bersumber dari Undang-Undang Kehutanan
begitupun aturan hukum lainnya yang terkait. Minimnya sanksi serta kepastian hukum terhadap
tindak pidana ini, belum mampu menyelesaikan beberapa kasus illegal logging terutama yang
disoroti adalah perbuatan yang dilakukan atas nama korporasi. Adanya hal tersebut menunjukkan
bahwa penegakan hukum dalam kasus illegal logging hingga kini belum menyentuh seluruh
aktor utama pembalakan liar, yaitu cukong dan pemilik modal.5
Permasalahan mendasar yang dihadapi penegak hukum dalam memberantas illegal
logging disebabkan karena illegal logging termasuk dalam kategori kejahatan yang terorganisir,
yaitu ada actor intelectualnya, ada pelaku materialnya. Pelaku material bisa buruh penebang
kayu yang hanya diupah, pemilik modal (cukong), pembeli, penjual dan acapkali ada backing
dari oknum TNI atau Polri, aparat pemerintah maupun tokoh masyarakat. Di antara mereka
selalu bekerja sama secara rapi, teratur dan solid. Disinyalir ada yang membackingi, sehingga
4Koran Kompas Tanggal 5 Maret 2006, him. 7.
5Ismail Rumadan, 2012, Penegakan Hukum Pidana Illegal Logging, Puslitbang Hukum dan Peradilan
Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI, Jakarta, hlm. 5.
praktek illegal logging sangat sulit diberantas, dan kalaupun ditemukan kasusnya yang dipidana
bukan actor intelectual atau cukong, hanya pelaku biasa seperti penebang kayu, pengemudi, atau
nakhoda kapal yang menjalankan kendaraannya. Pelaku sebenarnya sudah kabur duluan sebelum
aparat penegak hukum dapat menangkapnya.
Kasus illegal logging yang sudah tertangkap basah oleh aparat penegak hukum, disinyalir
hanya segelintir cukong atau pelaku utama yang berujung ke pengadilan. Namun penegakan
hukum kembali lemah sehingga hasilnya kembali mengecewakan. Oleh karena itu banyak
kalangan yang menyebut illegal loggingsebagai kejahatan yang tak tersentuh hukum. Satu sisi
karena belum ada aturan khusus yang mengatur dan di sisi lain Undang-Undang terkait
kehutanan yang digunakan untuk memberantas tindak pidana illegal logging belum mampu
memberikan kepastian hukum maupun sanksi yang tegas terhadap para pelaku.
Disamping lemahnya penegakan hukum terhadap tindak pidana illegal logging,
pertanggungjawaban pidana yang dibebankan terhadap pelaku belum berjalan maksimal,
sehingga pada prakteknya dalam penjatuhan sanksi pidana cenderung memberikan respon
negatif. Pertanggungjawaban pidana merupakan bentuk perbuatan dari pelaku tindak pidana
terhadap kesalahan yang dilakukannya. Dengan demikian terjadinya pertanggungjawaban pidana
karena ada kesalahan yang merupakan perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang.
Selama ini pengaturan mengenai illegal logging tersebar dalam beberapa peraturan yang
hanya sekedar saja tanpa memberikan penjelasan secara rinci bahwa hutan memang harus
dilindungi agar tidak terjadi bencana-bencana dahsyat. Pada Instruksi Presiden Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Illegal dan Peredaran
Hasil Hutan Illegal di Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Tanjung Putting hanya
memuat pembahasan mengenai pengertian dari illegal logging dan terbatas pada taman nasional
tersebut. Kemudian pada UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dalam Pasal 50 ayat (2)
dan (3) hanya berisi mengenai ijin pemanfaatan kayu hutan dan menebang pohon tanpa ijin serta
mengenai sanksi pidananya diatur dalam Pasal 78 UU Kehutanan, apalagi belum ada definisi
khusus mengenaiillegal logging sehingga banyak pihak yang masih memanfaatkan kesenjangan
hukum ini untuk mencari keuntungan pribadi.
Satu-satunya upaya terakhir (ultimum remidium) yang dapat dijadikan pencegahan
terhadap illegal logging adalah dengan membuat aturan khusus dan pemberian sanksi pidana
berupa pidana penjara karena pidana penjara merupakan salah satu bentuk pidana perampasan
kemerdekaan yang memberikan nestapa atau penderitaan.6 Penderitaan yang dimaksud bukan
hanya kepada pelaku yang telah melakukan tindak pidana illegal logging, akan tetapi juga
ditujukan pada pihak lain yang mempunyai kegiatan dalam bidang kehutanan sehingga timbul
rasa enggan untuk melakukan perbuatan tersebut karena adanya sanksi pidana yang berat.
Ada 3 (tiga) jenis pidana yang diatur dalam Pasal 78 UU Kehutanan yaitu pidana penjara,
pidana denda dan pidana perampasan benda yang digunakan untuk melakukan perbuatan pidana.
Ketiga jenis pidana ini dapat dijatuhkan kepada pelaku secara kumulatif. Jenis pidana itu
merupakan sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku yang melakukan kejahatan sebagaimana diatur
dalam Pasal 50 UU Kehutanan. Pada kenyataannya, sasaran penegakan hukum dalam ketentuan
pidana tersebut belum dapat menjangkau seluruh aspek pelaku kejahatan penebangan liar (illegal
logging), sehingga masih terdapat kerancuan dalam hal pertanggungjawaban pidananya. Dalam
perkembangan kasus illegal logging, justru diindikasikan banyak melibatkan oknum pejabat
pemerintah daerah, oknumpegawai negeri sipil, oknum TNI, POLRI, oknum pejabat
6Wirjono Prodjodikoro, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, PT. Refika Aditama, Jakarta, hlm. 4.
penyelenggara lainnya serta melibatkan pihak korporasi yang menjadi pelaku Intelektual dalam
kasus illegal logging dan belum dapat terjangkau oleh ketentuan pidana dalam UU Kehutanan.
Korporasi disebut juga sebagai badan hukum. Korporasi adalah sekumpulan orang yang
terorganisasi dan memiliki pimpinan serta melakukan perbuatan-perbuatan hukum, seperti
melakukan perjanjian dalam rangka kegiatan usaha atau kegiatan sosial yang dilakukan oleh
pengurasnya untuk dan atas nama kumpulan orang tersebut. Keterlibatan korporasi maupun
oknum pejabat negara selaku pemegang saham dalam usaha penebangan kayu maupun bisnis
kayu lainnya, acapkali lolos dari jeratan hukum sehingga tidak memberikan rasa keadilan bagi
masyarakat. Selain belum memberikan definisi yang tegas mengenai illegal logging, dalam
ketentuan UU Kehutanan yang menjadi subyek hukum (adresat) hanya terbatas pada orang
dalam artian pribadi (persoon) saja sehingga belum mengatur pertanggungjawaban pidana yang
dilakukan oleh pejabat negara maupun korporasi. Oleh karena itu, hal tersebut menjadi celah
hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan illegal logging yang secara tegas tidak
diatur dalam UU Kehutanan.
Salah satu contoh kasus yang terjadi di Pekanbaru-Riau pada tahun 2008 ditetapkannya
SP3 (Surat Penghentian Penyidikan) oleh kepolisian terhadap perkara kasus illegal logging yang
melibatkan 14 perusahaan di Riau karena diduga melakukan pelanggaran terhadap Undang-
Undang No. 23 Tahun 1997Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Kehutanan terkait
pemanfaatan kawasan hutan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan dan izin usaha pemungutan
hasil hutan (kegiatan illegal logging). Penerbitan SP3 oleh Kepolisian Negara Republik
Indonesia daerah Riau terhadap kasus tersebut dikarenakan beberapa alasan diantaranya tidak
cukup bukti, bukan merupakan tindak pidana (karena dianggap tidak ada peraturan khusus yang
dapat dijatuhkan pada pelaku) dan demi hukum. Namun menurut pelapor, alasan tersebut sangat
janggal karena Polda sebelumnya telah memeriksa puluhan saksi, pelapor (masyarakat), menyita
dan mengamankan 133 eksavator (alat berat) dan ribuan log kayu serta telah menetapkan sekitar
200 tersangka. Akibat dari aktivitas yang dilakukan oleh beberapa perusahaan tersebut diduga
telah terjadi kerusakan lingkungan hidup dan hutan, serta negara telah dirugikan kurang lebih
senilai Rp. 73.364.544.000.000,- (Tujuh Puluh Tiga Triliun tiga ratus enam puluh empat milyar
lima ratus empat puluh empat juta rupiah).7 Hasil pantauan sidang Tipikor terhadap kasus
tersebut, menambah kuat dugaan bahwa tiap IUPHHK-HT (Izin Usaha Hasil Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu pada Hutan Tanaman) perusahaan yang bermasalah identik dengan korupsi. Putusan
hakim kembali tidak menyebutkan hukuman atas keterlibatan perusahaan atau korporasi dalam
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terpidana. Fakta persidangan mengungkap jelas
pemberian uang kepada terdakwa oleh manajemen perusahaan untuk memuluskan proses
perizinan. Beberapa pejabat pemerintah sudah terbukti dan dikenai sanksi, dengan demikian
sekarang bagaimana Hakim berani menyebutketerlibatan suatu perusahaan atau korporasi dalam
kasus ini. Melihat hal tersebut, lemahnya penegakan hukum serta minimnya peraturan yang ada
terkait tindak pidana illegal logging untuk mengatur dan menjerat pelaku semakin menguatkan
dugaan masyarakat bahwa korporasi semakin sulit disentuh oleh hukum di tanah air ini.
Hukum berfungsi untuk melindungi kepentingan manusia dengan cara mengatur kegiatan
manusia. Oleh karena itu peraturan hukum yang tidak jelas harus dijelaskan, yang kurang
lengkap harus dilengkapi dengan jalan menemukan hukumnya agar aturan hukum tersebut dapat
7Kolom-Riau Post 21 September 2015, Korupsi dan Membuka Kasus SP3 Illog Riau :
http://rct.or.id/index.php/berita/opini/87-kompsi-dan-membuka-sp3-illog-riau, (Cited 2016 February, 12)
diterapkan terhadap peristiwanya sehingga dapat diwujudkan putusan hukum yang mengandung
aspek keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.
Keadaan seperti yang terpapar pada penjelasan inilah yang menjadi latar belakang dan
penulisan ini. Melihat dampak dari illegal logging yang begitu dahsyat sehingga harus disertai
dengan adanya kepastian hukum mengenai pertanggungjawaban yang mampu dibebankan
terhadap semua pihak terutama korporasi, karena sampai saat ini dapat dikatakan bahwa norma
yang ada masih bersifat kabur sehingga pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh
korporasi sangat sulit untuk diselesaikan. Untuk itu harus dilakukan pengkajian lebih spesifikasi
terhadap UU yang berkaitan terkait persoalan illegal logging yang dilakukan korporasi demi
terwujudnya kepastian hukum. Bertitik tolak dari latar belakang yang diuraikan di atas, maka
dilakukan penelitian secara normatif
denganjudul“PERTANGGUNGJAWABANKORPORASIDALAM TINDAK PIDANA
ILLEGAL LOGGING”.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, dapat dirumuskan beberapa
permasalahan yang nantinya akan menjadi pokok pembahasan dalam perumusan skripsi ini, yaitu
:
1. Apakah korporasi dapat dipertanggungjawabkan dalam tindak pidana illegal logging jika
dilihat dari segi hukum positif di Indonesia?
2. Bagaimanakah idealnya mengenai pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh
korporasi dalam tindak pidana illegal logging di masa yang akan datang?
1.3 RUANG LINGKUP MASALAH
Perlu ditentukan secara jelas dalam penulisan karya ilmiah mengenai batasan-batasan
terhadap materi yang akan diuraikan agar pembahasannya tidak menyimpang dari pokok
permasalahan yang akan disampaikan. Adapun ruang lingkup dari pokok permasalahan yang
dibahas, pertama apakah korporasi dapat dipertanggungjawabkan dalam tindak pidana illegal
logging jika dilihat dari segi hukum positif, dan yang kedua bagaimanakah idealnya mengenai
pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh korporasi dalam tindak pidana illegal logging
di masa yang akan datang.
1.4 TUJUANPENELITIAN
a.Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui bagaimana
pertanggungjawan korporasi dalam tindak pidana illegal logging jika dilihat dari berbagai hukum
positif di Indonesia. Tujuan ini diharapkan mampu menjadi upaya dalam memberantas tindak
pidana illegal logging dan memberikan efek jera terhadap setiap pelaku sehingga perbuatan
pidana tersebut dapat diatasi secara tegas.
b.Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengkaji bagaimana
idealnya mengenai pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh korporasi sebagai subjek
hukum dalam tindak pidana illegal logging di masa yang akan datang. Mengingat bahwa selama
ini ketentuan perundang-undangan yang mengatur kejahatan illegal logging belum mampu
memberikan kepastian hukum walaupun sudah ada beberapa ketentuan hukum yang mengatur
mengenai pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh korporasi terhadap tindak pidana
illegal logging.
1.5 MANFAAT PENELITIAN
Penelitian dilakukan bertujuan untuk memberikan manfaat terhadap sebuah ilmu. Adapun
manfaat yang dapat diambil dari penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut:
a.Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi atau masukan
bagi perkembangan ilmu terhadap pemberantasan kasus illegal logging dengan menganalisa
Undang-Undang untuk mengetahui bagaimana pengaturan mengenai illegal logging demi
terciptanya penegakan dan kepastian hukum.
b.Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat untuk
lebih mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir yang dinamis, sekaligus untuk
mengetahui kemampuan penyusun dalam mengkaji dan menerapkan ilmu-ilmu yang diperoleh di
bangku perkuliahan sehingga mampu menemukan jawaban dan memberikan solusi atas
permasalahan yang diteliti khususnya mengenai tindak pidana illegal logging.
1.6LANDASAN TEORITIS
Hubungan antara negara dengan hutan dan kehutanan erat kaitannya dengan kedudukan
negara sebagai organisasi tertinggi yang mempunyai wewenang untuk menetapkan dan mengatur
perencanaan, peruntukan dan penggunaan hutan. Sesuai dengan fungsinya, asas-asas hukum
kehutanan terdiri dari8:
1. Asas Manfaat
Asas manfaat mengandung makna bahwa pemanfaatan sumber daya hutan harus dapat
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
2. Asas Kelestarian
Asas kelestarian mengandung pengertian bahwa pemanfaatan sumber daya hutan harus
senantiasa memperhatikan kelestarian sumber daya alam hutan agar mampu memberikan
manfaat yang terus menerus.
3. Asas Perusahaan
Asas perusahaan adalah pengusaha harus mampu memberikan keuntungan finansial yang
layak.
4. Asas Perlindungan Hukum
Asas perlindungan hutan adalah suatu asas yang setiap orang atau badan hukum harus
ikut berperan serta untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan dan hasil hutan
yang disebabkan oleh perbuatan manusia dan ternak, daya-daya alam, hama dan penyakit.
Hukum memiliki peranan penting dalam berbagai hal terutama mengenai ketertiban.
Dimana ada masyarakat disana ada hukum (ubi societas ibi ius). Hukum tumbuh mengikuti
perkembangan masyarakatnya. Selain berfungsi sebagai pelindung subjek hukum, hukum
diciptakan sebagai suatu sarana untuk menciptakan hak dan kewajiban subjek hukum secara
wajar. Menurut Sudikno Mertokusumo, hukum berfungsi sebagai pelindung kepentingan
8Supriadi, 2011, Hukum Kehutanan & Hukum Perkebunan Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 72.
manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, maka hukum harus dilaksanakan. Dalam
pelaksanaan hukum diperlukan suatu asas yaitu asas legalitas untuk menegakkan
suatu keadilan dan kepastian hukum. Asas tersebut berarti tiada suatu perbuatan yang dilarang
dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan
(Pasal 10 KUHP).
Setiap orang maupun badan hukum harus tunduk terhadap hukum karena kajian hukum
itu sendiri adalah masyarakat. Jadi selain sebagai makhluk individu masyarakat juga disebut
sebagai makhluk sosial (zoon politicon) yang selalu bergantung saru sama lain dalam
membentuk suatu masyarakat. Selain itu manusia juga bergantung pada alam sekitarnya untuk
mempertahankan kehidupannya dengan memanfaatkan sumber daya alam. Namun terkadang
dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, tidak semua manusia mampu berpikir secara ideal
melainkan sebagian ada yang mempunyai pemikiran buruk untuk memanfaatkan kesempatan
yang ada dengan cara ilegal sehingga timbullah perbedaan kepentingan dalam satu interaksi yang
mengakibatkan adanya perselisihan yang mengganggu keserasian hidup sehingga manusia
membutuhkan suatu aturan untuk menjaga hubungan tersebut agar tetap harmonis.
Permasalahan tersebut bisa timbul dari sudut mana saja. Seperti yang akan kita bahas
dalam penulisan skripsi ini yakni mengenai pembalakan liar (illegal logging). Menurut Sukardi,
berdasarkan pengertian secara harafiah dapat dikatakan bahwa illegal logging menurut bahasa
berarti menebang kayu kemudian membawa ke tempat gergajian yang bertentangan dengan
hukum atau tidak sah menurut hukum.9 Selain itu menurut pendapat Prasetyo yang
mengungkapkan bahwa ada 7 (tujuh) dimensi dari kegiatan illegal logging, yaitu (1)
perizinan,apabila kegiatan tersebut tidak ada izinnya atau belum ada izinnya atau izinnya
kadaluarsa, (2) praktik, apabila pada praktiknya tidak menerapkan praktik logging yang sesuai
9Salim, dalam Sukardi, 2005, Illegal Logging Dalam Perspektif Hukum Pidana (Kasus Papua), Universitas
Atmajaya, Yogyakarta, hlm. 72.
peraturan, (3) lokasi, apabila dilakukan diluar lokasi izin, menebang dikawasan
konservasi/lindung, atau usul lokasi tidak dapat ditunjukkan, (4) produksi kayu, apabila kayunya
sembarang jenis (dilindungi), tidak ada batas diameter, tidak ada identitas asal kayu, tidak ada
tanda pengenal perusahaan, (5) dokumen, apabila tidak ada dokumen sahnya kayu, (6)
melakukan perbuatan melanggar hukum dibidang kehutanan, (7) penjualan, apabila pada saat
penjualan tidak ada dokumen maupun ciri fisik kayu dalam artian kayu diselundupkan.10
Tidak adanya definisi khusus mengenai illegal logging, maka sejumlah ahli memberikan
pendapatnya masing-masing mengenai illegal logging. Illegal logging sebagai satu bentuk
kejahatan lingkungan telah menjadi salah satu kendala utama dalam mewujudkan sebuah sistem
kelola hutan Indonesia bagi terwujudnya kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat. Dalam
kategori hukum pidana, illegal logging termasuk ke dalam tindak pidana khusus yaitu untuk
delik-delik kehutanan yang menyangkut pengelolaan hasil hutan kayu. Unsur tindak pidana
illegal logging, meliputi :
a. Perbuatan, baik disengaja maupun karena kelalaian yang mengakibatkan kerusakan
terhadap hutan atau kawasan dan ekosistemnya. Namun ketentuan tersebut khusus pada
kawasan suaka alam dan taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata.
b. Perbuatan, baik disengaja maupun karena kelalaian mengambil, menebang, memiliki,
merusak, memusnahkan, memelihara, mengangkut, memperniagakan dan
menyelundupkan hasil hutan, namun demikian ketentuan tersebut khusus terhadap hasil
hutan berupa tumbuhan yang dilindungi yaitu jenis spesies tertentu yang terancam
kepunahan.
10
Supriadi, op.cit, hlm 300
Korporasi sebagai salah satu pelaku dalam tindak pidana Illegal Logging, belum
sepenuhnya diatur dalam ketentuan perundang-undangan. Maka dari itu diperlukan upaya
pemerintah untuk membentuk suatu aturan khusus mengenai korporasi sebagai subjek hukum
dalam tindak pidana Illegal Logging. Mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan,
dikenal adanya Teori jenjang norma. Teori ini dikembangkan oleh Hans Nawiasky yang
merupakan salah satu murid Hans Kelsen, dalam bukunya yang berjudul “Allgemeine
Rechtslehre”Nawiasky mengemukakan bahwa suatu norma hukum negara selalu berlapis-lapis
dan berjenjang yakni norma yang berada dibawah berlaku, berdasar dan bersumber pada norma
yang lebih tinggi dan begitu seterusnya sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut
norma dasar. Nawiasky menambahkan bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang,
norma hukum juga berkelompok, yaitu terdiri dari11
:
1. Staatsfundamentalnorm (norma fundamental negara);
2. Staatsgrundgezets (aturan dasar negara);
3. Formell Gezets (undang-undang formal);
4. Verordnung dan Autonome Satzung (aturan pelaksana dan aturan otonom).
Menurut Moeljatno, tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum, larangan mana disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu barang
siapa yang melanggar aturan tersebut. Berbagai rumusan tindak pidana illegal logging dalam UU
Kehutanan tercantum unsur sengaja atau kealpaan maka dapat dikatakan bahwa
pertanggungjawaban pidana dalam delik ini menganut prinsip liability based on fault
11
Maria Farida Indrati Soeprapto, 2010, Ilmu Perundang-Undangan : Jenis, Fungsi dan Mated Muatan,
Kanisius, Yogyakarta, hlm. 41.
(pertanggung jawaban berdasarkan kesalahan). Hukum dan sanksi yang dianut hukum pidana
membedakan hukum pidana dengan hukum lainnya. Tujuan pemidanaan memiliki 3 (tiga) teori,
yakni :
1. Teori imbalan (absolute/vergeldingstheorie)
Menurut teori ini, dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri. Karena
kejahatan itu telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain, sebagai imbalannya
(vergelding) si pelaku juga harus diberi penderitaan.
2. Teori maksud dan tujuan (relative/doeltheorie)
Berdasarkan teori ini, hukuman dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan
dari hukuman itu, yakni memperbaiki ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat
kejahatan itu. Tujuan hukuman itu harus dipandang secara ideal.
3. Teori gabungan (verenigingstheorie)
Pada dasarnya, teori gabungan adalah gabungan dari kedua teori diatas. Gabungan
kedua teori itu mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk
mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan memperbaiki pribadi si
penjahat.12
Ketiga tujuan diatas, dalam hal pemberian pidana harus lebih subyektif sehingga tepat
sasaran terhadap siapa saja yang menjadi pelaku illegal logging khususnya dalam penulisan
skripsi ini yang disoroti adalah korporasi. Mengenai perwujudan korporasi sudah berabad-abad
lamanya menjadi perselisihan dan perjuangan pendapat para ahli hukum. Selama belum
ditemukannya suatu pandangan dan pendapat yang tepat mengenai bentuk-bentuk pengertian
12
Ibid, hlm. 21.
umum dalam ilmu pengetahuan maupun bagi tafsiran peraturan perundang-undangan pada
khususnya, selama itu pula akan tetap muncul berbagai macam tafsiran mengenai korporasi.
Untuk mengetahui sejauh mana korporasi mempunyai hak dan kewajiban dalam bertindak secara
hukum, maka timbullah bermacam-macam teori tentang pertanggungjawaban korporasi.
Menurut Barda Nawawi Arief13
, dalam bukunya yang berjudul “Sari Kuliah
Perbandingan Hukum” hanya menyebutkan 4 (empat) teori tentang pertanggungjawaban pidana
korporasi, yaitu : doktrin pertanggungjawaban pidana (direct liability doctrine) atau sering
disebut teori identifikasi (identification theory); doktrin pertanggungjawaban pidana pengganti
(vicarious liability);(doktrin pertanggungjawaban pidana yang ketat menurut Undang-Undang
(strict liability);dan teori budaya korporasi (company culture theory).
Sebagai salah satu negara yang mengalami proses modernisasi dengan melihat sejarah
pertumbuhan korporasi, Indonesia mengakui bahwa korporasi merupakan subjek tindak pidana
dan dapat dipertanggungjawabkan dalam hal penjatuhan pidana. Pertanggungjawaban pidana
korporasi dalam Undang-Undang terkait, baru dapat dibebankan kepada pengurus korporasi
sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab, kepada pengurus korporasi
dibebankan kewajiban tertentu. Kewajiban yang dibebankan itu sebenarnya adalah kewajiban
dari korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu diancam dengan pidana, sehingga
dalam sistem ini terdapat alasan yang menghapuskan pidana. Sedangkan dasar pemikirannya
adalah korporasi itu sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap suatu pelanggaran,
melainkan penguruslah yang bertanggungjawab dan diancam pidana terhadap delik yang
dilakukan atas nama korporasi.
13
Barda Nawawi Arief, 2010, Kapita Selekta Hukum Pidana, Get. Ke-II, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.
246.
Setiap kejahatan dimungkinkan adanya aturan yang mengatur untuk menghindari
terjadinya pelanggaran yang disebabkan oleh ulah manusia demi memenuhi kebutuhannya secara
pribadi. Terkait hal ini, dalam membuat suatu aturan hukum harus didahulukan adanya suatu
proses penemuan hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo14
, penemuan hukum adalah proses
pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas
menerapkan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkret, dengan kata
lainmerupakan proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang
bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkret (das sein) tertentu, yang penting dalam
penemuan hukum adalah bagaimana menemukan hukum untuk peristiwa yang konkret. Ada
beberapa aliran yang melandasi dalam hal penemuan hukum, yakni15
:
1. Aliran Legisme
Aliran ini berpandangan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah Undang-Undang,
karena Undang-Undang dianggap sudah lengkap dan jelas dalam mengatur semua
persoalan hukum. Kedudukan hakim ada dibawah Undang-Undang sebagai pelaksana
sehingga hakim tidak berwenang mengubah isi Undang-Undang.
2. Aliran Historis
Aliran ini berpandangan bahwa Undang-Undang sebagai sumber hukum saja tidak
lengkap. Konsekuensinya akan terdapat kekosongan dan ketidakjelasan dalam Undang-
Undang, oleh karena itu hakim dapat membuat hukumnya (judge made law). Hukum
kebiasaan dan yurisprudensi dapat melengkapi Undang-Undang dan dianggap sebagai
unsur sistem hukum.
3. Begriffjurisprudenz
14
Bambang Sutiyoso, 2006, Metode Penemuan Hukum, UII Press, Yogyakarta, hlm. 28. 15
Ibid, hlm. 52.
Aliran ini memberikan kebebasan pada hakim, jadi hakim tidak perlu terikat pada bunyi
Undang-Undang, tetapi dapat mengambil argumentasinya dan peraturan hukum yang
tersirat dalam Undang-Undang. Kesalahan dari aliran ini adalah terlalu menjunjung
rasio dan logika dalam meluaskan Undang-Undang sampai terbentuknya hukum.
Penganutaliraninisecaraterbalikmemandangalatsebagaitujuan sehingga keadilan dan
manfaat kemasyarakatan tidak tercapai.
4. Penemuan Hukum Modern
Pada aliran ini, yang menjadi titik tolak bukan pada sistem perundang-undangan, tetapi
masalah kemasyarakatan konkret yang harus dipecahkan. Tujuan pembentuk Undang-
Undang dapat digeser, dikoreksi, tetapi tidak boleh diabaikan.
Keempat aliran yang melandasi dalam hal terjadinya penemuan hukum, terkait dengan
tulisan ilmiah ini penulis mengasumsikan bahwa aliran yang paling penting digunakan adalah
penemuan hukum modern. Hal tersebut dikarenakan dalam aliran hukum modern, tidak hanya
berpatokan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku saja akan tetapi -melihat pada
kenyataan yang ada bahwa adanya Undang-Undang yang mengatur tindak pidana illegal loging,
belum mampu memberikan kepastian hukum dalam hal penjatuhan pidana terhadap pelakunya
baik pribadi maupun badan hukum/korporasi. Untuk itu diharapkan pembuat Undang-Undang
merancang dan menetapkan aturan yang baru dengan tujuan memberikan keadilan dan kepastian
hukum bagi masyarakat.
Terjadinya kerusakan hutan di Indonesia hampir dapat dipastikan 70 sampai 80 persen
merupakan akibat dari perbuatan manusia, oleh karena itu pemerintah telah mengeluarkan
berbagai kebijakan hukum agar dapat memberantas atau setidaknya meminimalisir kerusakan
hutan yang diakibatkanoleh perbuatan manusia. Kebijakan hukum yang dimaksud adalah
kebijakan hukum pidana. Menurut Barda Nawawi Arief, masalah kebijakan hukum pidana pada
hakikatnya bukanlah semata-mata menggunakan teknik perundang-undangan yang dilakukan
secara yuridis normatif dan sistematif dogmatik. Disamping pendekatan yuridis faktual juga
dapat berupa pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin ilmu sosial lainnya serta
pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya.16
Barda
mengemukakan pola hubungan antara kebijakan hukum pidana (penal policy) dengan upaya
penanggulangan kejahatan, bahwa pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan
dengan pendekatan integral dan ada keseimbangan antara penal dan non penal. Pencegahan dan
pendekatan kejahatan dengan sarana penal merupakan penal policy atau Penal Law Enforcement
Policy, yang fungsionalisasinya melalui beberapa tahap seperti tahap Formulasi (kebijakan
legislatif), Aplikasi (kebijakan yudikatif) dan Eksekusi (kebijakan Administratif). Sedangkan
upaya non penal dapat ditempuh dengan upaya preventif, berupa pendekatan agama, budaya,
moral dan edukatif.
1.7 METODE PENELITIAN
a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah penelitian
yuridis normatif atau sering disebut dengan penelitian hukum doktrinal, yaitu penelitian yang
objek kajiannya adalah dokumen peraturan perundang-undangan dan bahan pustaka17
. Penelitian
ini dimulai dengan adanya kesenjangan norma hukum, yakni terdapat norma yang kabur atau
tidak jelas. Sampai saat ini Undang-Undang yang digunakan sebagai dasar hukum dalam tindak
pidana illegal logging belum mampu memberikan kepastian hukum atas sanksi pidana yang
16
Barda Nawawi Arief, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Prenada Media Group, Jakarta,
hlm. 23. 17
Soejono dan H. Abdurahman, 2003, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 56.
dijatuhkan pada korporasi sebagai pelaku illegal logging bahkan belum ada definisi khusus
mengenai illegal logging itu sendiri. Padahal pengertian ini sangat penting untuk memberikan
batasan terhadap tindakan-tindakan apa yang termasuk dalam lingkup illegal logging. Praktik
illegal logging biasanya dikaitkan dengan UU Kehutanan, namun kelemahan Undang-Undang
tersebut yakni tidak menyebutkan korporasi sebagai subjek hukum melainkan hanya
perseorangan.
b. Jenis Pendekatan
Dalam penelitian ini, jenis pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan Perundang-
Undangan (The Statute Approach) dan Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical &
Conseptual Approach). Pendekatan Perundang-Undangan digunakan dengan mengumpulkan
peraturan Perundang-Undangan yang menjadi fokus penelitian. Selanjutnya akan
diklasifikasikan berdasarkan kronologis dari bagian-bagian yang diatur oleh peraturan tersebut,
kemudian akan dianalisis dengan menggunakan pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum,
yang mencakup : subjek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum dan
objek hukum. Hal yang dianalisis hanyalah pasal-pasal yang isinya mengandung kaidah hukum,
kemudian dilakukan konstruksi dengan caramemasukkanpasal-pasaltertentukedalamkategori-
kategoriberdasarkan pengertian dasar dari sistem hukum tersebut.18
Sedangkan pendekatan
konsep dilakukan dengan cara mengutip pendapat para sarjana yang terdapat dalam buku-buku
atau literatur penunjang yang digunakan dalam penelitian ini.
c. Bahan Hukum
Data yang diperoleh dan diolah dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh
dari narasumber kepustakaan, terdiri dari :
18
Ibid. hlm.128.
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinyamempunyaiotoritas.19
Penelitianinimengkajiketentuan Undang-Undang No. 41
Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang
Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, Peraturan Pemerintah No. 28
Tahun 1985 Tentang Perlindungan Hutan, serta Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana(KUHP)dalamhalpemberantasantindakpidanaillegal logging.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan
dokumen-dokumen resmi, meliputi:
- buku-buku hukum atau literatur penunjang yang menjelaskan mengenai tindak
pidana illegal logging, literatur mengenai kehutanan, literatur mengenai tindak
pidana khusus dan lainnya berkaitan dengan pokok permasalahan yang akan
dibahas.
- Pendapat dan tulisan para sarjana atau para ahli hukum yang termuat dalam media
massa berupa karya tulis maupun jurnal hukum berkaitan dengan pokok
permasalahan yang akan dibahas.
- Kamus hukum.
- Internet.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan
hukum lainnya, yaitu RUU KUHP (Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana).
19
Ibid.
d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan cara menggali kerangka
normatif (melakukan kajian terhadap perundang-undangan) menggunakan bahan hukum sebagai
penunjang yang membahas teori-teori hukum terkait dengan permasalahan yang ada dengan cara
membaca, meneliti dan mencatat.
e.Teknik Analisis
Pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif, yakni menarik kesimpulan dari
suatu permasalahan yang bersifat umum untuk permasalahan yang bersifat konkret yang sedang
dihadapi. Selanjutnya bahan hukum yang telah ada akan dianalisis untuk melihat bagaimana
ketentuan hukum yang digunakantersebut mengatur mengenai tindak pidana illegal logging serta
bagaimana pengaturan maupun pemidanaannya apabila subjek hukum yang melakukan
perbuatan hukum tersebut bukanlah perseorangan melainkan atas nama korporasi, sehingga
dapat membantu untuk menjadi acuan dan bahan pertimbangan hukum guna memberikan solusi
bagaimana seharusnya ketentuan hukum di Indonesia terkait illegal logging dapat menjamin
suatu ketertiban.