bab i pendahuluan 1.1 latar belakang i.pdfundang-undang hukum perdata selanjutnya disebut kuhperdata...

24
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bisnis merupakan hal yang tidak asing ditelinga masyarakat global pada era ini. Dengan akses yang mudah membuat lintas bisnis semakin bebas dan tak mengenal batas. Bisnis terkadang tak bisa lepas dengan kata saham yang dimana saham merupakan salah satu instrumen pasar keuangan yang paling popular. Saham merupakan salah satu modal dalam berbisnis, yang dimana saham merupakan suatu investasi modal yang akan memberikan hak atas dividen perusahaan yang bersangkutan. 1 Perdagangan yang bebas dalam dunia bisnis terkadang tak berjalan sesuai yang telah direncanakan oleh para pengusaha. Kendala yang dihadapi oleh para pengusaha memicu terjadinya sengketa di dalam berbisnis baik sengketa yang kecil maupun sengketa yang besar yang tidak dapat diselesaiakan secara internal dan dirasa perlu campur tangan dari pihak luar. Adanya sengketa ini dapat berimbas pada pembangunan ekonomi yang tidak efesien, penurunan produktivitas, kemandulan dunia bisnis dan biaya produksi yang meningkat. 2 Dalam penyelesaian sengketa bisnis dapat diselesaiakn melalui litigasi maupun non litigasi, kedua cara penyelesian ini disesuaikan dengan kesepakatan para pihak. Melihat pernyataan yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa bisnis haruslah diselesaikan dengan sesegera mungkin 1 Tavinayati dan Yulia Qamariyanti, 2009, Hukum Pasar Modal Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 18 2 Suyud Margono, 2004, ADR & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm.12.

Upload: others

Post on 10-Dec-2020

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I.pdfUndang-Undang Hukum Perdata selanjutnya disebut KUHPerdata menetukan 3 M. Husseyn Umar dan A. Supriyani Kardono dikutip dalam buku Rachmadi

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bisnis merupakan hal yang tidak asing ditelinga masyarakat global pada

era ini. Dengan akses yang mudah membuat lintas bisnis semakin bebas dan tak

mengenal batas. Bisnis terkadang tak bisa lepas dengan kata saham yang dimana

saham merupakan salah satu instrumen pasar keuangan yang paling popular.

Saham merupakan salah satu modal dalam berbisnis, yang dimana saham

merupakan suatu investasi modal yang akan memberikan hak atas dividen

perusahaan yang bersangkutan.1 Perdagangan yang bebas dalam dunia bisnis

terkadang tak berjalan sesuai yang telah direncanakan oleh para pengusaha.

Kendala yang dihadapi oleh para pengusaha memicu terjadinya sengketa di dalam

berbisnis baik sengketa yang kecil maupun sengketa yang besar yang tidak dapat

diselesaiakan secara internal dan dirasa perlu campur tangan dari pihak luar.

Adanya sengketa ini dapat berimbas pada pembangunan ekonomi yang tidak

efesien, penurunan produktivitas, kemandulan dunia bisnis dan biaya produksi

yang meningkat.2 Dalam penyelesaian sengketa bisnis dapat diselesaiakn melalui

litigasi maupun non litigasi, kedua cara penyelesian ini disesuaikan dengan

kesepakatan para pihak. Melihat pernyataan yang menyatakan bahwa

penyelesaian sengketa bisnis haruslah diselesaikan dengan sesegera mungkin

1 Tavinayati dan Yulia Qamariyanti, 2009, Hukum Pasar Modal Di Indonesia, Sinar

Grafika, Jakarta, hal. 18 2 Suyud Margono, 2004, ADR & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum,

Ghalia Indonesia, Bogor, hlm.12.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I.pdfUndang-Undang Hukum Perdata selanjutnya disebut KUHPerdata menetukan 3 M. Husseyn Umar dan A. Supriyani Kardono dikutip dalam buku Rachmadi

2

dengan waktu yang lebih cepat, prosedur yang sederhana dan dirasa mampu

mengakomodir rasa keadilan maka penyelesaian secara non litigasi merupakan hal

yang baik untuk ditempuh dalam menyelesaikan sengketa bisnis. Menurut M.

Husseyn Umar dan A. Supriyani Kardono menyebutkan bahwa orang-orang

dalam dunia bisnis cenderung memilih arbitrase yang merupakan salah satu

bentuk penyelesaian sengketa non litigasi dengan alasan sebagai berikut:

1. Pemilihan arbitrase memberikan prediktibilitas serta kepastian dalam

proses penyelesaian sengketa.

2. Selama arbitrasenya seseorang yang memang ahli dalam bidang bisnis

yang sedang disengketakan, maka para pihak yang bersengketa

memiliki kepercayaan terhadap arbiter dalam memahami permasalahan

yang disengketakan.

3. Privasi merupakan faktor penting dalam proses arbitrase dan masing-

masing pihak memperoleh privasi tersebut sepanjang proses masih

merupaka proses yang tertutup bagi umum dan putusan hanya

ditujukan kepada para pihak yang bersengketa.

4. Peranan pengadilan dalam proses arbitrase pada umunya terbatas

sehingga terjamin penyelesaiannya secara final.

5. Secara ekonomis proses arbitrase dianggap telah cepat dan lebih murah

dibandingkan proses berpekara di pengadilan.3

Dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa selanjutnya disebut UU

AAPS arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar

peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara

tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Berdasarkan rumusan pengertian dari

arbitrase maka dapat diketahui bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase

didasarkan pada perjanjian. Jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1233 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata selanjutnya disebut KUHPerdata menetukan

3 M. Husseyn Umar dan A. Supriyani Kardono dikutip dalam buku Rachmadi Usman,

2013, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Cetakan ke III, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, hal. 142.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I.pdfUndang-Undang Hukum Perdata selanjutnya disebut KUHPerdata menetukan 3 M. Husseyn Umar dan A. Supriyani Kardono dikutip dalam buku Rachmadi

3

adanya dua perikatan, maka arbitase ini merupakan perikatan yang lahir dari

perjanjian. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 1 yang menyatakan bahwa

perjanjian arbitase harus dibuat secara tertulis. Sebagai salah satu bentuk

perjanjian, sah tidaknya perjanjian arbitrase juga digantungkan pada syarat-syarat

sebagaimana dituangkan dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPer yang menyatakan:

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

3. Mengenai suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal

Menurut Yahya Harahap perjanjian arbitrase ini dibuat dengan maksud

menetukan cara dan pranata hukum dalam menyelesaikan sengketa atau

perselisihan yang timbul dalam pelaksanaan perjanjian pokok. Perjanjian arbitrase

sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 3 UU AAPS menyatakan bahwa

kesepakatan para pihak dalam menyelesaiakn sengketanya melalui lembaga

arbitrase dalam bentuk klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian

tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian

arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Klausula

arbitrase dalam suatu kontrak bisnis menurut Huala Adolf, dijelaskannya sebagai

berikut:

“penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat dilakukan dengan

pembuatan suatu submission clause, yaitu penyerahan kepada arbitrase suatu

sengketa yang lahir. Alternatif lainnya, atau melalui pembuatan suatu klausul

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I.pdfUndang-Undang Hukum Perdata selanjutnya disebut KUHPerdata menetukan 3 M. Husseyn Umar dan A. Supriyani Kardono dikutip dalam buku Rachmadi

4

arbitrase dalam suatu perjanjian sebelum sengketanya lahir (klausul arbitrase

atau arbitration clause)”.4

Berdasarkan pendapat Huala Adolf, maka klausul arbitrase dimaksud ialah suatu

ketentuan yang tercantum dalam kontrak yang berisikan ketentuan tentang cara

bagaimana penyelesaian suatu persengketaan atau perselisihan jika di kemudian

hari timbul persengketaan di antara para pihak yang membuat kontrak bisnis

tersebut. Bertolak pada rumusan mengenai perjanjian arbitrase tersebut dapat

disimpulkan bahwa perjanjian arbitrase timbul karena adanya kesepakatan berupa:

1. Klausula arbutrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang

dibuat para pihak sebelum timbulnya sengketa (pactum de

compromittendo)

2. Suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat oleh para pihak setelah

timbul sengketa (akta kompromis).

Kedua bentuk perjanjian arbitrase diatas, baik berbentuk pactum de

compromittendo maupun akta kompromis pada dasarnya memiliki tujuan serta

konsekuensi hukum yang sama. Artinya, perjanjian arbitrase akan melahirkan

kompetensi absolut atau kewenangan mutlak lembaga arbitrase untuk memeriksa

sengketa para pihak. Perjanjian arbitrase tidak melekat menjadi satu kesatuan

dengan materi pokok perjanjian. Klausula arbitrase merupakan tambahan yang

diletakkan pada perjanjian pokok, meskipun keberadannya hanya sebagai

tambahan pada perjanjian pokok klausula arbitrase maupun perjanjian arbitrase

tidak bersifat accesoir oleh karena itu pelaksanaanya sama sekali tidak

mempengaruhi atau dipengaruhi oleh keabsahan maupun pelaksanaan pemenuhan

4 Huala Adolf, 2011, Hukum Perdagangan Internasional, cet. I, Rajawali Pers, Jakarta,

Hal. 208.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I.pdfUndang-Undang Hukum Perdata selanjutnya disebut KUHPerdata menetukan 3 M. Husseyn Umar dan A. Supriyani Kardono dikutip dalam buku Rachmadi

5

perjanjian pokok. Hal ini senada dengan pendapat dari Harrifin A Tumpa, mantan

ketua Mahkamah Agung yang menyatakan:

”suatu perjanjian yang didalamnya ada kalusula arbitrase tidak bisa dilihat

klausula arbitrase itu bersifat accesoir karena di dalam suatu perjanjian

yang didalamnya kalusula arbitrase memuat dua substansi perjanjian yaitu

perjanjian yang menyangkut hukum materiil dan menyangkut hukum

hukum prosedural (acara), keduanya sederajat, sehingga batalnya salah

satu perjanjian tersebut tidak dengan sendirinya membatalkan isi

perjanjian lainnya”.5

Berhubungan dengan pendapat dari Harrifin A Tumpa maka dalam klausula

arbitrase terkandung asas separabilitas, yaitu batalnya perjanjian pokok tidak

menyebabkan perjanjian arbitrasenya batal dengan adanya hal ini yang termuat

dalam ketentuan Pasal 10 huruf h dan f UU AAPS. Adanya ketentuan Pasal 10

UU AAPS mencegah timbulnya itikad buruk dari salah satu pihak yang

bermaksud membatalkan klausula arbitrase dengan membatalkan perjanjian

induknya (perjanjian pokok). Adanya pendapat dari Harifin A Tumpa dan adanya

ketentuan Pasal 10 UU AAPS mengenai perjanjian arbitrase maka dirasa perlu

adanya pembahasan yang signifikan mengenai kekuatan mengikat dari klausula

arbitrase yang memuat kewenagan absolut lembaga arbitrase dalam memutus

sengketa bisnis yang telah terikat dengan perjanjian arbitrase.

Dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman

selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman pada ketentuan Pasal 25 ayat (1)

menyebutkan mengenai pembagian lingkup peradilan di bawah Mahkamah

Agung, yang memiliki pembagian bahwa peradilan yang berada di bawah

Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum,

5 Andi Julia Cakrawala, 2015, Penerapan Konsep Hukum Arbitrase Online di Indonesia,

Rangkang Education, Yogyakarta, Hal.76.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I.pdfUndang-Undang Hukum Perdata selanjutnya disebut KUHPerdata menetukan 3 M. Husseyn Umar dan A. Supriyani Kardono dikutip dalam buku Rachmadi

6

peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Dalam

ketentuan Pasal 25 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman badan peradilan tersebut

memiliki kewenangan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan

perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sengketa bisnis

merupakan salah satu perkara perdata yang diputus Peradilan Umum khusunya

Peradilan Perdata, namun dengan adanya ketentuan Pasal 3 UU AAPS secara

yuridis telah mencabut kewenangan absolut dari Pengadilan Negeri dalam

memutus sengketa bisnis tersebut. Dalam praktiknya suatu sengketa yang telah

terikat akan kalusula arbitrase tidak bisa secara mudah diselesaikan melalui

lembaga arbitrase, banyak pihak yang berusaha mencari celah agar klausula

arbitrase tidak berlaku dalam sengketa yang sedang dihadapi. Salah satu bentuk

pengabaian klausula arbitrase yang kerap terjadi dalam segketa bisnis adalah

dengan mengajukan sengketa bisnis ke Pengadilan Negeri secara sepihak yang

dimana sengketa tersebut sebenarnya sudah terikat perjanjian atau klausula

arbitrase. Salah satu contoh sengketa yang mengabaikan klausula arbitrase oleh

para pihak yaitu sengketa antara Hari Tanusoedibjo dengan Siti Hardijanti

Rukmana pada sengketa kepemilikan saham PT. Televisi Pendidikan Indonesia

(disingkat PT. TPI), dimana bahwa sengketa ini telah terikat dengan perjanjian

arbitrase yang dibuat dalam bentuk pactum de compromittendo dalam investment

agreement, namun dalam penyelesaian sengketa tersebut diajukan ke Pengadilan

Negeri dan telah diputus dengan Putusan Nomor 10/Pdt.G/2010/PN Jkt.Pst.6

Dalam kasus ini pula terjadi kejanggalan yaitu dengan dikeluarkannya putusan

6 Lihat lebih lanjut Putusan Peninjauan Kembali, Nomor Putusan 238 PK/Pdt/2014.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I.pdfUndang-Undang Hukum Perdata selanjutnya disebut KUHPerdata menetukan 3 M. Husseyn Umar dan A. Supriyani Kardono dikutip dalam buku Rachmadi

7

Peninjauan Kembali Mahkamah Agung dengan Nomor 238 PK/Pdt/2014 yang

dimana putusan Peninjauan Kembali tersebut menyatakan secara tidak langsung

bahwa Pengadilan Negeri berhak untuk mengadili sengketa yang telah terikat

perjanjian atau klausula arbitrase. Kasus antara Hari Tanusoedibjo dengan Siti

Hardijanti Rukmana merupakan cerminan nyata kegagalan pemahaman para pihak

akan kekuatan mengikat klalusula arbitrase dalam suatu sengketa bisnis ditambah

lagi sikap Pengadilan Negeri yang secara terang membenarkan kewenanagnnya

dalam memutus sengketa yang telah terikat akan klausula arbitrase. Maka dari itu

perlu dirasa adanya suatu pengaturan yang bisa memberikan suatu akibat hukum

diabaikannya klausula arbitrase oleh Pengadila Negeri sebagai bentuk kepastian

hukum yang berfungsi untuk menghindari tumpang tindih kewenangan dalam

mengadili suatu sengketa bisnis. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut,

maka penulis tertarik untuk hal tersebut dengan mengidentifikasi instrumen

hukum mengenai kekuatan mengikat dari klausula arbitrase dan merumuskan

akibat hukum diabaikannya klausula arbitrase dalam sengketa yang telah terikat

perjanjian arbitrase.

Dari uaraian latar belakang di atas, maka permasalahan ini menjadi sangat

menarik dan relevan jika dianalisa serta dibahas secara komperhensif dalam

pembahasan penulis skripsi yang berjudul “KEKUATAN MENGIKAT

KLAUSULA ARBITRASE DALAM SENGKETA BISNIS”.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I.pdfUndang-Undang Hukum Perdata selanjutnya disebut KUHPerdata menetukan 3 M. Husseyn Umar dan A. Supriyani Kardono dikutip dalam buku Rachmadi

8

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulis mengangkat beberapa

permasalahan akan dibahas lebih lanjut. Adapun permasalahan tersebut adalah

sebagai berikut :

1. Bagaimana kekuatan mengikat dari klausula arbitrase ditinjau dari

penyelesaian sengketa bisnis?

2. Bagaimanakah akibat hukum diabaikannya klausula arbitrase dalam

sengketa bisnis?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Dalam penulisan karya tulis yang bersifat ilmiah, perlu ditegaskan

mengenaimateri yang diatur didalamnya. Hal ini dimaksudkan untuk

menghindari menyimpangnya pembahasan materi dari pokok permasalahan

yang telah dirumuskan sebelumnya, sehingga dapat diuraikan secara

sistematis. Adapun ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas adalah

sebagai berikut :

1. Dalam permasalahan pertama, ruang lingkup permasalahannya

meliputi pembahasan mengenai kekuatan mengikat dari klausula

arbitrase yang termuat dalam ketentuan UU AAPS. dalam

penyelesaian sengketa bisnis yang diatur dalam UU AAPS dikaitkan

pula dengan pengaturan perjanjian dalam KUHPer.

2. Dalam permasalahan kedua, ruang lingkup permasalahannya meliputi

pembahasan dan perumusan mengenai akibat hukum pengabaian

klausula arbitrase oleh Pengadilan Negeri. Dalam hal ini akan lebih

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I.pdfUndang-Undang Hukum Perdata selanjutnya disebut KUHPerdata menetukan 3 M. Husseyn Umar dan A. Supriyani Kardono dikutip dalam buku Rachmadi

9

banyak beriorentasi terhadap akibat hukum terhadap putusan yang

dikeluarkan oleh para pihak dan Pengadilan Negeri yang belum diatur

dalam UU AAPS.

1.4 Orisinalitas Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang dilakukan di

Kepustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana maka penelitian

dengan judul Kekuatan Mengikat Klausula Arbitrase Dalam

Menyelesaikan Sengketa Bisnis, belum pernah ada yang melakukan

penelitian sebelumnya. Namun pada Universitas lain ditemukan penelitian

sejenis yang terkait dengan kekuatan mengikat kalusula arbitrase dan

akibat hukum diabaikannya klausula arbitrase, telah dilakukan penelusuran

diantaranya sebagai berikut:

1. Menemukan jurnal di Universitas Sam Ratulangi, Sulawesi Utara,

pada Tahun 2015, atas nama Daru Tyas Wibawa “Klausul Arbitrase Dan

Penerapannya Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis” dengan latar

belakang sebagai berikut: “Perjanjian arbitrase atau klausul arbitrase

mempunyai fungsi penting dalam penyelesaian sengketa bisnis yang pada

hakikatnya merupakan bagian pengamanan dari kegiatan bisnis itu sendiri.

Melalui pencantuman perjanjian arbitrase, ada suatu landasan hukum atau

dasar hukum yang memberikan perlindungan hukum dalam kegiatan bisnis

serta memberikan rasa aman dari kemungkinan timbulnya pelanggaran

terhadap isi perjanjian (kontrak) tersebut. Perjanjian dan perjanjian

arbitrase adalah perbuatan hukum mengikatkan diri di antara para pihak

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I.pdfUndang-Undang Hukum Perdata selanjutnya disebut KUHPerdata menetukan 3 M. Husseyn Umar dan A. Supriyani Kardono dikutip dalam buku Rachmadi

10

yang menimbulkan konsekuensi hukum, sehingga dipenuhinya persyaratan

yang ditentukan, maka keabsahan dan kekuatan mengikatnya menjadi

bagian penting dari keabsahan perbuatan hukum mengikatkan diri tersebut.

Pengaturan perjanjian arbitrase pada perjanjian induk atau pokok

memberikan keabsahan dan kekuatan mengikat untuk digunakan lebih

lanjut perjanjian arbitrase tersebut di kemudian hari. Akan tetapi manakala

hubungan bisnis berlangsung lancar dan memuaskan para pihak, tentunya

perjanjian arbitrase (klausul arbitrase) tidak perlu digunakan lebih lanjut.

Dari latar belakang tersebut dibuat rumusan masalah sebagai berikut:7

1. Bagaimana pengaturan penyelesaian sengketa bisnis melalui

arbitrase?

2. Bagaimana kekuatan mengikat klausul arbitrase?

3. Sejauhmana akibat hukum pelanggaran klausul arbitrase?

2. Menemukan skripsi di Universitas Sebelas Maret, pada Tahun

2009, atas nama Novi Kusuma Wardhani “Tinjauan Yuridis

Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Menyelesaikan Perkara

Kepailitan Dengan Adanya Akta Arbitrase (Studi Putusan Kasus

PT.Environmental Network Indonesia dan Kelompok Tani Tambak

FSSP Maserrocinnae melawan PT. Putra Putri Fortuna Windu dan

PPF International Corporation)” dengan latar belakang sebagai

berikut:“Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dipaparkan bahwa

akta arbitrase merupakan akta yang dibuat seseorang atau suatu

7 Daru Tyas Wibawa, 2015, Klausul Arbitrase Dan Penerapannya Dalam Penyelesaian

Sengketa Bisnis, Sulawesi Utara: Universitas Sam Ratulangi.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I.pdfUndang-Undang Hukum Perdata selanjutnya disebut KUHPerdata menetukan 3 M. Husseyn Umar dan A. Supriyani Kardono dikutip dalam buku Rachmadi

11

badan usaha dalam melakukan suatu hubungan dengan mitra

usahanya yang mengatur mengenai cara penyelesaiannya bila

timbul masalah atau sengketa di kemudian hari berkaitan dengan isi

perjanjian tersebut. Akta arbitrase dapat berbentuk akta

compromise, yaitu akta perjanjian yang dibuat para pihak setelah

timbul sengketa maupun berbentuk pactum de compromittendo

yang dibuat sebelum terjadinya sengketa. Akta arbitrase memiliki

kekuatan mengikat apabila akta arbitrase sesuai dengan asas

kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 1338 KUH Perdata, selain itu juga

memenuhi syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320

KUH Perdata, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-

undang, kesusilaan, maupun ketertiban umum. Pengadilan Niaga

berwenang memutus perkara kepailitan walaupun para pihak telah

membuat akta arbitrase, karena arbitrase merupakan suatu prosedur

penyelesaian sengketa utang piutang biasa yang dimintakan ganti

rugi, namun apabila sengketa utang piutang tersebut diajukan

permohonan pernyataan pailit, maka menjadi kewenangan

Pengadilan Niaga sepenuhnya dan arbitrase tidak boleh

menyelesaikannya. Hal tersebut juga diperjelas dengan adanya

ketentuan dalam Pasal 303 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I.pdfUndang-Undang Hukum Perdata selanjutnya disebut KUHPerdata menetukan 3 M. Husseyn Umar dan A. Supriyani Kardono dikutip dalam buku Rachmadi

12

Dari latar belakang tersebut ditarik rumusan masalah sebagai

berikut:8

1. Bagaimanakah kekuatan mengikat akta arbitrase?

2. Bagaimanakah kewenangan pengadilan niaga dalam

menyelesaikan perkara kepailitan dengan adanya akta

arbitrase?

Dengan melihat beberapa judul dan pembahasan yang ada dalam dua judul

tersebut maka menurut penulis tidak ada kesamaan yang signifikan, namun

tidak dapat dipungkiri bahwa dalam rumusan masalah pertama yang

membahasa mengenai kekuatan mengikat klausula arbitrase memiliki

kesamaan hanya saja yang membedakan arah dari pembahasaan setiap

judul memiliki perbedaan. Dengan hal tersebutmaka judul penelitian ini

berbeda sehingga dapat dikatakan bahwa penelitian ini dapat dijamin

keasliannya dan dapat dipertanggung jawabkan dari segi isinya.

1.5 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini

adalah sebagai berikut :

1.5.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dalam penulisan skripsi ini yaitu :

8 Novi Kusuma Wardhani, 2009, Tinjauan Yuridis Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam

Menyelesaikan Perkara Kepailitan Dengan Adanya Akta Arbitrase (Studi Putusan Kasus

PT.Environmental Network Indonesia dan Kelompok Tani Tambak FSSP Maserrocinnae melawan

PT. Putra Putri Fortuna Windu dan PPF International Corporation)”, Jawa Tengah: Universitas

Sebelas Maret.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I.pdfUndang-Undang Hukum Perdata selanjutnya disebut KUHPerdata menetukan 3 M. Husseyn Umar dan A. Supriyani Kardono dikutip dalam buku Rachmadi

13

Adapun tujuan umum dari penulisan ini tidak lain untuk lebih

memperdalam pemahaman mengenai penyelesesaian sengketa bisnis

melalui lembaga Arbitrase.

1.5.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus penulisan skripsi ini, yaitu :

1. Untuk mempertegas dan memberikan pemahaman mengenai

kekuatan mengikat dari klausula arbitrase dalam perjanjian

arbitrase sesuai dengan UU AAPS.

2. Untuk mengetahui dan membentuk suatu rumusan akibat hukum

ketika diabakannya klausula arbitrase oleh Pengadilan Negeri

dalam menyelesaikan sengketa bisnis yang dimana akibat hukum

tersebut belum diatur dalam UU AAPS.

1.6 Manfaat Penelitian

Penulisan skripsi ini diharapkan memberi manfaat sebagai berikut :

1.6.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi tambahan untuk

acuan ataupun pengembangan Ilmu Hukum secara umum, khususnya di

Bidang Peradilan mengenai pemecahan permasalahan sengketa bisnis yang

telah terikat dengan kaluasula arbitrase.

1.6.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi seluruh pihak dan

Badan Peradilan dalam upayanya dalam menindak lanjuti suatu sengketa

hukum yang dimana sudah terikat akan klausula Arbitrase. Penelitian ini

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I.pdfUndang-Undang Hukum Perdata selanjutnya disebut KUHPerdata menetukan 3 M. Husseyn Umar dan A. Supriyani Kardono dikutip dalam buku Rachmadi

14

dalam implementasinya dapat berguna dalam pengekan keadilan dengan

menghormati dan menaati proses penyelesaian sengketa yang dimana

sengketa tersebut sudah terikat dengan perjanjian/klausula arbitrase.

1.7 Landasan Teoritis

Pengkajian mengenai Kekuatan Mengikat Klausula Arbitrase Dalam

Menyelesaikan Sengketa Bisnis, ada beberapa konsep atau teori yang nanti

digunakan sebagai landasan teoritis dalam mengkaji dan menganalisis

masalah ini.

1.7.1 Asas-Asas Umum Perjanjian

Di dalam buku ke III KUHPerdata dikenal lima macam asas

hukum, yaiut asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta

sunt servanda (asas kepastian hukum), asas itikad baik, dan asas

kepribadian. Dari kelima asas hukum itu, yang mempunyai hubungan yang

sangat erat dengan perancangan kontrak adalah asas kebebasan berkontrak

dan asas pacta sunt servanda.

a. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338

ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan “Semua perjanjian yang dibuat

secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya”. Maksud dari asas kebebasan berkontrak adalah bahwa

para pihak bebas membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I.pdfUndang-Undang Hukum Perdata selanjutnya disebut KUHPerdata menetukan 3 M. Husseyn Umar dan A. Supriyani Kardono dikutip dalam buku Rachmadi

15

perjanjian dengan siapapun, menentukan isi perjanjian, pelaksanaanya,

persyaratannya dan menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis atau

lisan. Kebebasan ini sudah barang tentu tidak boleh bertentangan

dengan undang-undang, kepentingan umum, kesusilaan, kesopanan dan

lain-lain persyaratan yang ditetapkan oleh masing-masing sistem

hukum.9

b. Asas Pacta Sunt Servanda

Asas pacta sunt servanda atau perjanjian berlaku sebagai undang-

undang, asas ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata

menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Merupakan

konsekuensi logis dari ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata, yang

menyatakan bahwa setiap perikatan dapat lahir dari undang-undang

maupun perjanjian. Jadi perjanjian adalah sumber dari perikatan,

sebagai perikatan yang dibuat dengan sengaja atas kehendak para pihak

secara sukarela maka segala sesuatu yang telah disepakati dan disetujui

oleh para pihak harus dilaksanakan oleh para pihak sebagaimana telah

dikehendaki oleh mereka. Dalam hal perjanjian berlaku sebagai

undang-undang, maka perjanjian ini harus dilaksanakan dengan adanya

itikad baik.10

9 Huala Adolf, 2011, Hukum Perdagangan Internasional, PT RajaGrafindo Persada,

Jakarta, h. 15. 10

Ibid, h.16.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I.pdfUndang-Undang Hukum Perdata selanjutnya disebut KUHPerdata menetukan 3 M. Husseyn Umar dan A. Supriyani Kardono dikutip dalam buku Rachmadi

16

1.7.2 Asas Separabilitas

Hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah “perjanjian

menerbitkan perikatan”, perjanjian adalah salah satu sumber perikatan di

samping sumber-sumber lain. Menurut KUHPer dalam Pasal 1313 yang

menyatakan: “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang

atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”

Dari rumusan yang diberikan tersebut bahwa dari perjanjian

dilahirkan perikatan, yaitu kewajiban untuk melakukan sesuatu,

menyerahkan sesuatu atau untuk melakukan sesuatu. Pada praktiknya,

sebagaimana juga dapat dilihat dari macam-macam perjanjian bernama

yang diatur secara khusus dalam KUHPerdata, suatu perjanjian dapat

melahirkan lebih dari satu perikatan. Misalnya dalam jual beli, penjual

memiliki kewajiban untuk tidak hanya menyerahkan barang yang dijual,

melainkan untuk memberikan penanggungan terhadap barang yang dijual,

melainkan untuk memberikan penanggungan terhadap barang yang dijual,

yaitu bahwa benda yang dijual adalah benar miliknya dan lepas dari cacat-

cacat tersembunyi. Bahkan lebih jauh lagi dimungkinkan terjadinya

penggabungan berbagai macam kesepakatan dalam suatu perjanjian utuh.

Perjanjian yang demikian dinamakan dengan “severable contract”,

“severable contract” yang memuat lebih dari 1 (satu) kesepakatan dalam 1

(satu) perjanjian, praktik juga menunjukkan dikenalnya istilah “severbal

clause” menurut Black’s Law Dicitonary, Severbal Clause ini adalah:

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I.pdfUndang-Undang Hukum Perdata selanjutnya disebut KUHPerdata menetukan 3 M. Husseyn Umar dan A. Supriyani Kardono dikutip dalam buku Rachmadi

17

“a provision that keeps the remaining provision of a contract is any

portion of that contract is judicially declare void”.11

Dimana dalam hal ini

berarti di dalam suatu perjanjian dapat terdiri dari dua atau lebih perikatan.

Apabila salah satu dari perikatan dalam perjanjian itu batal, maka bukan

berarti perikatan yang lain menjadi batal tetapi perikatan yang lain harus

tetap dilaksanakan. Dengan melihat pada penjelasan tersebut, maka jelas

jika suatu perjanjian pun dapat terdapat severbal clause (asas

separabilitas).12

1.7.4 Teori Perjanjian

a. Menurut teori lama yang disebut perjanjian adalah hukum berdasarkan

kata sepakat untuk memberikan akibat hukum. dari definisi ini telah

tampak adanya asas konsensualisme dan timbulnya akibat hukum

(timbul/lenyapnya hak dan kewajiban).13

b. Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan

perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih

berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.. Ada tiga

tahap dalam membuat perjanjian menurut teori baru :

1. Tahap Pracontractual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan

2. Tahap Contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak

antara para pihak

11

Gunawan Widjaja, 2008, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis “Arbitrase vs Pengadilan

Persoalan Kompetensi (Abolut) yang Tidak Pernah Selesai”, Kencana Pranada Media Group,

Jakarta, hal.27.

12Ibid.

13Salim, 2011, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, h. 161.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I.pdfUndang-Undang Hukum Perdata selanjutnya disebut KUHPerdata menetukan 3 M. Husseyn Umar dan A. Supriyani Kardono dikutip dalam buku Rachmadi

18

3. Tahap Post Contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian.14

1.7.5 Doktrin Klausula Arbitrase

1. Klausula arbitrase dalam suatu kontrak bisnis menurut Huala Adolf,

dijelaskannya sebagai berikut:“Penyerahan suatu sengketa kepada

arbitrase dapat dilakukan dengan pembuatan suatu submission clause,

yaitu penyerahan kepada arbitrase suatu sengketa yang lahir. Alternatif

lainnya, atau melalui pembuatan suatu klausul arbitrase dalam suatu

perjanjian sebelu sengketanya lahir (klausul arbitrase atau arbitration

clause)”.15

Berdasarkan pendapat Huala Adolf, maka klausul arbitrase

dimaksud ialah suatu ketentuan yang tercantum dalam kontrak yang

berisikan ketentuan tentang cara bagaimana penyelesaian suatu

persengketaan atau perselisihan jika di kemudian hari timbul

persengketaan di antara para pihak yang membuat kontrak bisnis

tersebut.

1.7.6 Doktrin Mengenai Arbitrase

1. Subekti menyebutkan, bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau

pemutusan sengketa oleh seseorang hakim atau para hakim

berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau

menaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim

yang mereka pilih atau tunjuk tersebut.16

2. Abdulkadir Muhammad memberi batasan yang lebih perinci

bahwa arbitrase adalah badan peradilan swasta di luar lingkungan

14

Ibid. 15

Huala Adolf, loc.cit 16

Subekti, 1992, Arbitrase Perdagangan, Bina Cipta, Bandung,, Hlm.1.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I.pdfUndang-Undang Hukum Perdata selanjutnya disebut KUHPerdata menetukan 3 M. Husseyn Umar dan A. Supriyani Kardono dikutip dalam buku Rachmadi

19

peradilan umum, yang dikenal khusus dalam dunia perusahaan.

Arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri

secara sukarela oleh pihak-pihak pengusaha yang bersengketa.

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara merupakan

kehendak bebas para pihak. Kehendak bebas ini dapat dituangkan

dalam perjanjian tertulis yang mereka buat sebelum atau sesudah

terjadi sengketa sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam

hukum perdata.17

3. Frank Elkoury dan Edna Elkoury dalam bukunya How

Arbitratiom Works disebutkan, bahwa arbitrase adalah suatu

proses yang mudah atau simpel yang dipilih oleh para pihak

secara sukarela yang iingin agar perkaranya diputus oleh juru

pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka dimana keputusan

mereka berdasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para pihak

setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secar final

dan mengikat.18

1.8 Metode Penelitian

Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mendapatkan kebenaran

adalah dengan penelitian secara ilmiah, hal tersebut berarti suatu metode yang

bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa permasalahan dengan jalan

menganalisanya dan dengan mengadakan pemeriksaan yang mendalam untuk

17

Abdulkadir Muhammad, 1993, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung, h. 276. 18

Rachmadi Usman, op.cit, hal 138.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I.pdfUndang-Undang Hukum Perdata selanjutnya disebut KUHPerdata menetukan 3 M. Husseyn Umar dan A. Supriyani Kardono dikutip dalam buku Rachmadi

20

kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas masalah-masalah yang timbul.19

Untuk dapat dinyatakan sebagai skripsi, maka diperlukan suatu metodologi yang

tentunya bertujuan untuk mengadakan pendekatan atau penyelidikan ilmiah yang

bersahaja. Adapun metodologi penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi

ini adalah sebagai berikut:

1.8.1 Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh penulis merupakan penelitian

yuridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji

penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.20

Penelitian yuridis normatif dipilih penulis karena penulis akan

menganalisis mengenai kekuatan mengikat kalusula arbitrase dalam UU

AAPS.

1.8.2 Jenis Pendekatan

Dalam penelitian hukum terdapat beberapa jenis pendekatan,

antara lain :

1. Pendekatan kasus (the case approach),

2. Pendekatan perundang-undangan (the statutory approach),

3. Pendekatan Fakta (the fact approach),

4. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (analytical and

conceptual approach),

19.

Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum

Universitas Udayana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar. h. 74. 20

Johny Ibrahim, 2007, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia

Publishing, Malang, h. 295.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I.pdfUndang-Undang Hukum Perdata selanjutnya disebut KUHPerdata menetukan 3 M. Husseyn Umar dan A. Supriyani Kardono dikutip dalam buku Rachmadi

21

5. Pendekatan Frasa (word and phrase approach),

6. Pendekatan Sejarah (historical approach),

7. Pendekatan Perbandingan (comparative approach).

Adapun pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah :

2. Pendekatan Perundang-undangan (The Statutory Approach)

Penulis menelaah segala undang-undang maupun dan regulasi terkait

isu hukum yang sedang diteliti. Pendekatan ini peneleiti dapat melihat

konsistensi anatara regulasi satu dengan yang lainnya. Peraturan yang

dimaksud dalam skripsi ini adalah dari aspek instrumen hukum

nasional, yakni Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang No.

48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Herziene Indonesisch

Reglement (HIR), Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBG)

dan Reglement op de Bergelijke Rechtsvordering (Rv).

2. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)

Pendekatan konseptual penulis mengkaji pandangan-pandangan dan

doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum, khusunya

bidang Hukum Peradilan. Dengan mempelajari pandangan-pandangan

dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum seorang peneliti akan

menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum,

konsep-konsep hukum, asas-asas hukum yang relevan dengan isu

hukum yang dihadapi. Pandangan akan doktrin tersebut dapat

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I.pdfUndang-Undang Hukum Perdata selanjutnya disebut KUHPerdata menetukan 3 M. Husseyn Umar dan A. Supriyani Kardono dikutip dalam buku Rachmadi

22

digunakan sebagai dasar bagi peneliti dalam membangun suatu

argumentasi hukum dalam isu hukum yang dihadapi.

1.8.3 Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum dalam suatu penelitian yang bersifat normatif,

haruslah berdasar pada studi bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder.21

Adapun bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,

yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi, yaitu :

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang digunakan

sifatnya mengikat terutama berpusat pada peraturan perundang-

undangan. Bahan hukum primer ini bersifat otoritatif, artinya

mempunyai otoritas, yaitu merupakan hasil tindakan atau kegiatan

yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk itu.22

Bahan

hukum primer yang digunakan, yaitu :

a. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa

b. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman

c. Herziene Indonesisch Reglement (HIR)

d. Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBG) dan

e. Reglement op de Bergelijke Rechtsvordering (Rv).

21

Hadin Muhjad, 2012, Penelitian Hukum Indonesia Kontemporer, Genta Publishing,

Jogjakarta. h. 51. 22

Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, h.

144.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I.pdfUndang-Undang Hukum Perdata selanjutnya disebut KUHPerdata menetukan 3 M. Husseyn Umar dan A. Supriyani Kardono dikutip dalam buku Rachmadi

23

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer.23

Bahan hukum sekunder

yang digunakan berasal dari buku literatur, majalah, makalah dan

internet yang ada hubungannya dengan kekuatan mengikat klausula

arbitrase dan akibat hukum diabaikannya klausula arbitrase.

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Metode pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam

kajian ini menggunakan metode bola salju (snow ball), yaitu bahan

hukum dilacak berdasarkan sumber pustaka yang digunakan dari pustaka

yang satu ke pustaka yang lain, dengan harapan peneliti menemukan

sumber pustaka atau pendapat dari pustaka pertama. Metode kepustakaan

sistematis, khususnya untuk undang-undang dilacak sumber yang berupa

himpunan peraturan perundang-undangan yang ada.24

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini, yaitu:25

- Teknik Deskripsi, analisa bahan hukum ini dilakukan dengan

menguiraikan suatu kondisi hukum maupun non-hukum, dimana

dalam hal ini penulis menguraikan mengenai kondisi hukum yang

terjadi di Indonesia. Adapun urain tersebut adalah mengenai

23.

Ibid. 24

Philipus M. Hadjon, 1997, Pengkajian Ilmu Hukum, Bahan Penelitian Hukum

Normatif, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum Lembaga Penelitian UNAIR dan FH

UNAIR, Surabaya,h. 14.

25. Fakultas Hukum Universitas Udayana, Op.cit. h. 75.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I.pdfUndang-Undang Hukum Perdata selanjutnya disebut KUHPerdata menetukan 3 M. Husseyn Umar dan A. Supriyani Kardono dikutip dalam buku Rachmadi

24

mengenai kondisi hukum terkait penyelesaian sengketa bisnis

melalai lembaga Arbitrase. Dimana penulis menguraikan terlebih

dahulu mengenai kekuatan mengikat dari klausula arbitrase

kemudian menguraikan mengenai akibat hukum diabaikannya

kalusula arbitrase oleh para pihak dan Pengadilan Negeri.

- Teknik Evaluasi, berupa penilaian tepat tidak atau tepat, setuju

atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah terhadap

suatu pandangan. Dimana dalam hal ini penulis memberikan

penilaian sah tidak sah suatu perjanjian yang memuat klausula

arbitrase dalam penyelesaian sengketa bisnis yang dimana hal ini

berpengaruh terhadap terhadap kekuatan mengikat klausula

arrbitrase. Dalam hal ini penulis juga memberikan penilaian salah

atau benar maupun sah atau tidak sah putusan Pengadilan Negeri

mengenai penerimaan sengketa yang telah terikat klausula

arbitrase yang nantinya akan berimplikasi terhadap akibat hukum

dari putusan tersebut.

- Teknik Konstruksi, berupa pembentukan konstruksi yuridis

dengan melakukan analogi dan pembalikan proposisi, dimana

dalam hal ini penulis mencoba melakukan analogi terhadap Pasal

yang memberikan arahan mengenai akibat hukum ataupun

pertanggung jawaban perdata yang terdapat dalam KUHPerdata

ataupun peraturan perundag-undangan terkait diabaikannya

klausula arbitrase oleh Pengadilan Negeri.