bab i pendahuluan 1.1. latar belakang -...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Rumah sakit merupakan suatu institusi pelayanan kesehatan yang
kompleks yang bekerja selama 24 jam penuh, padat pakar dan padat modal.
Kompleksitas dalam pelayanan kesehatan dirumah sakit muncul karena pelayanan
di rumah sakit menyangkut banyak aspek pelayanan (bio-psiko-sosial-spiritual),
pendidikan, dan penelitian serta mencakup berbagai tingkat kedisiplinan yang
diterapkan dirumah sakit tersebut agar rumah sakit, perawat dan bidang kesehatan
lainnya mampu memberikan pelayanan yang profesional baik dibidang medis
maupun dibidang administrasi kesehatan (Rustiyanto, 2010).
Berdasarkan Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia No.
659/MANKES/PER/VIII/2009 dalam Revalicha (2013) tentang Rumah Sakit
Indonesia Kelas Dunia, rumah sakit merupakan sebuah organisasi pelayanan
kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan perseorangan secara menyeluruh
yang meliputi pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat. Rumah sakit
diharapkan mampu memberikan pelayanan yang baik dan kompleks, oleh karena
itu untuk memenuhi tujuan tersebut dibutuhkan tenaga medis yang mampu
memberikan pelayanan kepada masyarakat. Perawat adalah salah satu tenaga
medis yang diharapkan mampu memberikan pelayanan untuk menunjang
kesembuhan klien.
Perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan yang ikut berperan dalam
memberikan warna dalam pelayanan di rumah sakit. Perawat yang jumlahnya
dominan dalam sebuah rumah sakit juga memberikan pelayanan kesehatan pada
pasien secara konstan dan terus–menerus, oleh karena itu tenaga perawat
memberikan kontribusi yang besar dalam meningkatkan kualitas pelayanan di
rumah sakit sehingga setiap usaha untuk meningkatkan kualitas pelayanan di
rumah sakit harus juga disertai dengan usaha untuk meningkatkan kualitas
pelayanan keperawatan dengan cara meningkatkan kinerja perawat. Perawat yang
menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan merupakan masalah yang sangat
penting dan perlu untuk dikaji dalam rangka meningkatkan dan mempertahankan
kualitas mutu pelayanan di rumah sakit, perawat yang memiliki kinerja baik
merupakan jaminan dalam jawaban untuk membrikan kualitas pelayanan
kesehatan yang diberikan kepada klien baik yang sakit maupun yang sehat
(Mulyono, Hamzah & Abdullah, 2013).
Perawat adalah seseorang yang profesional dalam melakukan pekerjaannya
yang mempunyai kemampuan, tanggung jawab dan kewenangan dalam
melaksanakan pelayanan dalam memberi asuhan keperawatan dalam berbagai
jenjang pelayanan keperawatan (Mahyar Suara et.al, 2010). Perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan di tuntut untuk bertanggung jawab dalam
memberikan pelayanan yang aman dan efektif serta bekerja pada lingkungan yang
memiliki standar kerja yang tinggi (Mahlmeister dalam Maharani, 2012). Begitu
banyak tanggung jawab dan beban kerja yang harus di laksanakan perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan akan membuat profesi keperawatan sangat
rentan mengalami kejenuhan kerja (burnout).
Berdasarkan sumber yang diungkapkan oleh Kleiber & Enzmann
(Schaufely & Buunk) dalam Widiastuti dan Astuti (2012) menyatakan bahwa dari
2.946 publikasi mengenai kejenuhan kerja (burnout), 43% kejenuhan kerja (burnout)
terjadi pada bidang kesehatan (perawat, dokter dan tenaga kesehatan lainnya) dan
pekerja sosial, 32% kejenuhan kerja (burnout) terjadi pada pengajar atau bidang
pendidikan, 9% kejenuhan kerja (burnout) terjadi pada bidang administrasi dan
manajemen, 4% kejenuhan kerja (burnout) pada pengacara dan polisi dan 12%
kejenuhan kerja (burnout) terjadi pada kelompok lain seperti siswa atau pelajar,
pasangan yang telah menikah dan pemeluk agama.
Kejenuhan kerja (burnout) adalah suatu keadaan dimana kondisi fisik,
mental dan emosional yang sangat drop yang disebabkan karena situasi kerja yang
sangat menuntut dalam jangka waktu yang panjang. Perawat yang memiliki
kejenuhan kerja (burnout) biasanya disebabkan karena kurangnya control,
ekspentasi kerja yang tidak jelas, dinamika ruang kerja yang fungsional,
ketidaksesuaian dalam nilai, pekerja yang tidak diskusi dan aktivitas perawat yang
ekstrim (overload), (Muslihudin dalam Maharani, 2012).
Kejenuhan kerja (burnout) biasanya terjadi pada tenaga kerja yang bekerja
secara monoton, pekerjaan yang dilakukan berulang–ulang, tidak menarik dan
bervariasi, namun ada kalanya kejenuhan kerja (burnout) terjadi atau muncul dari
suatu pekerjaan yang dianggap menarik dan meng-asyikkan (Anies dalam Pardede,
2009). Individu yang berada dalam kondisi jenuh seringkali membuat pikiran mulai
terasa penuh dan kehilangan rasional, hal ini dapat menyebabkan kewalahan
dengan pekerjaan dan akhirnya menyebabkan terjadinya keletihan mental,
emosional, kemudian mulai kehilangan minat dalam pekerjaan dan motivasi kerja
dan pada akhirnya kualitas kerja dan kualitas hidup menjadi menurun (National
Safety Council /NSC) dalam Maharani, 2012). Kejenuhan kerja (burnout) merupakan
suatu hal yang umum terjadi didalam pekerjaan, perawat merupakan salah satu
profesi yang beresiko memiliki beban kerja dan stress kerja yang tinggi (Dale dalam
Maharani, 2012).
Individu yang mengalami kejenuhan kerja (burnout) akan ditandai dengan
empat kondisi yaitu (a) kelelahan fisik yang ditandai dengan mudah lelah, mudah
mengalami sakit kepala, sering mengalami mual, perubahan pola makan,
perubahan pola tidur dan merasa tenanganya terkuras secara berlebihan. (b)
kelelahan dalam bentuk emosional yang ditandai dengan munculnya rasa depresi,
frustasi, merasa terperangkap di dalam tugas, apatis, mudah marah, mudah sedih
dan merasa tidak berdaya. (c) kelelahan dalam bentuk mental atau sikap yang
berupa perasaan negatif pada orang lain dan bersikap sinis pada orang lain,
berpandangan negatif pada diri sendiri dan pekerjaan. (d) perasaan dimana
individu merasa tidak mampu mencapai sesuatu yang berarti dalam hidup ditandai
dengan ketidakpuasan terhadap diri sendiri, pekerjaannya dan kehidupannya (Leats
& Stolar dalam As’ad dan Sutjipto, 2000).
Hasil wawancara tersetruktur yang dilakukan oleh Gorji (2011) terhadap
15 perawat di instansi rawat inap (IRNA) Rumah Sakit Baptis Kediri yang dipilih
secara acak menunjukkan 4 orang perawat (26,67%) memiliki kejenuhan kerja
tinggi, 5 orang perawat (33,34%) memiliki kejenuhan kerja sedang, 4 orang perawat
(26,67%) memiliki kejenuhan kerja ringan, dan 2 orang perawat (13,34%) memiliki
respon normal atau tidak mengalami kejenuhan kerja. Dari hasil wawancara diatas
dapat di tarik kesimpulkan bahwa dari 15 perawat, 13 perawat (86,68%) mengalami
kejenuhan kerja (burnout) sedangkan 2 perawat (13,34%) tidak mengalami
kejenuhan kerja (burnout). Perawat yang mengalami Kejenuhan Kerja (burnout)
ditandai dengan seringnya perawat melihat jam, menunda-nunda pekerjaan bahkan
mempercepat suatu kengiatan yang seharusnya belum waktunya untuk
dilaksanakan dan seringnya menggunkan handphone dalam jam kerja.
Menurut National Safety Council dalam Maharani (2012) kejenuhan kerja
(burnout) pada umumnya di akibatkan karena adanya stress kerja dan beban kerja
yang tinggi, Sehingga terdapat fakto–faktor yang saling berintraksi yang memicu
terjadinya kejenuhan kerja, yaitu faktor situasional (faktor eksternal) dan faktor
individu (faktor internal). Faktor eksternal meliputi beban kerja yang berlebihan,
dan kurangnya dukungan sosial.
Menurut Wandy dalam Maharani (2001) beban kerja merupakan frekuensi
rata-rata dari masing-masing pekerja yang harus dilaksanakan. Beban kerja disini
dapat dilihat dari tugas-tugas yang diberikan kepada individu tersebut, apakah
pekerjaan tersebut melebihi kemampuan indivdu, bervariasi bahkan ada tugas
tambahan yang harus dilaksanakan di luar tugas pokoknya, Sehingga semakin
banyak tugas tambahan yang harus dilaksankan perawat maka beban kerja juga
akan semakin tinggi, dan apabila beban kerja semakin besar maka akan
menyebabkan terjadinya kejenuhan kerja (burnout).
Selain beban kerja yang berlebihan faktor eksternal yang menyebabkan
kejenuhan kejenuhan kerja (burnout) adalah kurangnya dukungan sosial.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Andarika dalam Rahman (2007)
menemukan bahwa ada hubungan yang negatif antara dukungan sosial dengan
tingkat kejenuhan kerja (burnout) pada perawat. Semakin tinggi dukungan sosial
yang diterima oleh perawat maka semakin rendah tingkat kejenuhan kerja (burnout)
sebaliknya perawat yang kurang mendapatkan dukungan sosial baik adari rekan
kerja maupun keluarga akan meningkatkan resiko untuk mengalami kejenuhan
kerja. Dari penelitian yang dilakukan oleh Farhati dan Rosyid dalam Rahman
(2007) menunjukkan pula bahwa ketika seseorang mendapatkan dukungan sosial
yang baik dari rekan kerja maupun keluarga serta karakteristik pekerjaan yang jelas
akan berdampak positif terhadap penurunan tingkat kejenuhan kerja (burnout).
Dengan demikin ketika seorang pekerja tidak mendapatkan dukungan sosial atau
kurangnya dukungan sosial baik dari rekan kerja, atasan ataupun keluarga akan
menyebabkan terjadinya kejenuhan kerja (burnout)
Adapun faktor lain yang menyebabkan terjadinya kejenuhan kerja (burnout)
adalah faktor internal. Faktor internal adalah faktor yang menyebabkan kejenuhan
kerja (burnout) yang datang dari dalam diri individu. Faktor individu meliputi faktor
demografi (usia, jenis kelamin, masa kerja atau lama kerja) dan karakteristik
kepribadina (locus of control, hardinnes, kepribadian) (Maslach dalam Widiastuti &
Astuti, 2012).
Penelitian yang dilakukan oleh Mariyanti dan Citrawati (2011) perbedaan
tingkat kejenuhan kerja (burnout) pada perawat yang bertugas di ruang rawat inap
dan rawat jalan. Berdasarkan penelitian tersebut perawat yang rentan mengalami
kejenuhan kerja (burnout) adalah perawat dalam usia dewasa muda. Menurut Farber
dalam Mariyanti & Citrawati (2011) menyatakan bahwa individu yang berusia di
bawah 40 tahun paling beresiko dengan gangguan yang berhubungan dengan
sindrom kejenuhan kerja (burnout). Dimana kejenuhan kerja (burnout) yang dialami
oleh individu disebabkan karena harus melayani pasien yang bereda-beda, baik
karakter maupun penyakitnya. Hal yang membedakan tingkat kejenuhan kerja yang
dialami oleh individu adalah dari rentan usianya, dimana perawat yang berusia 22-
30 tahun mengalami kejenuhan kerja (burnout) dengan kategori rendah. HaL
tersebut disebabkan karena perawat dewasa muda secara fisik sedang mencapai
puncak kesehatan atau berada dalam kondisi fisik yang prima, sedangkan perawat
yang berusia 30-40 mengalami kejenuhan kerja kategori tinggi. Hal tersebut
disebabkan karena secara fisik mulai mengalami penuruan kondisi fisik.
Adapun faktor lain yang menyebabkan terjadinya kejenuhan kerja (burnout)
adalah masa kerja. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Maharani (2012)
individu dengan lama kerja 1-5 tahun cendrung mengalami kejenuhan kerja
(burnout) dibandingkan dengan pekerja dengan masa kerja lebih dari 5 tahun, karena
semakin lama bekerja individu akan terbiasa dengan pekerjaannya, sedangkan
individu dengan lama kerja 1-5 tahun masih membutuhkan penyesuaian dengan
pekerjaannya sehingga secara tidak langsung dapat menjadi beban dan stress yang
pada akhirnya menyebabkan terjadinya kejenuhan kerja (burnout).
Penelitian yang dilakukan Zahorodny dan Pasannante dalam Nasir &
Omar (2006) mengemukakan bahwa perempuan lebih sering mengalami
kejenuhan kerja (burnout) dibandingkan dengan laki-laki, karena perempuan
mempunyai berbagai peran tidak hanya di lingkungan pekerjaan melainkan juga di
lingkungan keluarga. Peran ganda yang di jalankan oleh perempuan akan lebih
cepat menimbulkan terjadinya stress kerja yang akan berakhir pada kejenuhan kerja
(burnout) terhadap individu tersebut, dimana hal ini disebabkan karena adanya
konflik-konflik di dalam lingkungan keluarga sehingga menyebabkan proses
pelaksanaan suatu pekerjaan akan terhambat dan terganggu.
Penelitian yang dilakukan Jaya G dan Rahmat (2005) locus of control pertama
kali dieperkenalkan oleh Jullian Rotter pada tahun 1966, locus of control merupakan
keadaan dimana individu memiliki tanggung jawab terhadap pekrjaan. Menurut
Rotter dalam Jaya G & Rahmat (2005) locus of control dibedakan menjadi dua macam,
yaitu locus of control internal dan locus of control eksternal. Dalam kejadian kejenuhan
kerja (burnout) terdapat perbedaan yang singnifikan antara locus of control internal dan
locus of control eksternal, dimana kejenuhan kerja (burnout) lebih rentan dialami oleh
individu yang memiliki locus of control eksternal daripada locus of control internal. Hal ini
disebabkan karena individu dengan locus of control eksternal cendrung beranggapan
bahwa kesuksesan yang di peroleh disebabkan karena faktor dari luar seperti nasib,
takdir dan keputusan yang ditentukan oleh orang lain sehingga hal ini akan
mempermudah individu tersebut merasa tertekan dan terbebani di dalam
pekerjaannya.
Penelitian yang dilakukan oleh Sari dan Arruum (2006) dalam penelitian
diungkapkan bahwa tipe kepribadian A lebih cendrung untuk mengalami stress
dibandingkan dengan tipe kepribadian B, adapun ciri-ciri yang muncul dari tipe
kepribadian A antara lain sering merasa terburu-buru dalam melakukan
pekerjaannya, tidak sabaran dan konsentrasi pada lebih dari satu pekerjaan dalam
waktu yang sama, cendrung tidak puas terhadap hidupnya, cendrung berkompetisi
dengan orang lain dalam sebuah situasi dan kondisi yang Nonkompetitif dan
emosional yang tidak setabil sehingga hal-hal inilah yang dapat meningkatkan
terjadinya stress yang tinggi.
Penelitian yang dilakukan oleh Kreitner & Kinichi dalam Widiastuti &
Astuti (2012) seorang pekerja yang memiliki kepribadian herdinass yang tinggi secara
tidak langsung akan menghambat meningkatnya stress dalam menghadapi tuntutan
emosional dalam lingkungan pekerjaan dan sebaliknya apabila seorang individu
memilik kepribadian herdinass yang rendah akan cepat mengalami stress pada
tingkat yang kronis karena munculnya stressor dari pekerjaan yang dianggap
sebagai suatu ancaman sehingga muncul sikap pasif dalam melakukan pekerjaan.
Gentry & Kobasa dalam Widiastuti & Astuti (2012) Terdapat tiga aspek dasar
dalam keperibadian hardiness yaitu control, comitmen, dan tantangan. individu
dengan kepribadian hardiness mengalami kejenuhan kerja (burnout) ketika tiga aspek
dasar dari kepribadian hardiness melemah dan akan menjadi indicator munculnya
kejenuhan kerja (burnout).
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti (2015) di
ruang rawat inap Airlangga, Diponegoro dan Imam bonjol RSUD “Kanjuruhan”
Kepanjen Kabupaten Malang, terdiri dari 40 perawat pelaksana.
Ruang rawat inap Airlangga merupakan ruangan dengan spesifikasi
penanganan untuk penyakit dalam. Perawat yang bertugas diruang rawat inap
Airlangga sebanyak 12 perawat yang termasuk karu dan wakaru sedangkan
perawat pelaksana terdiri dari 9 perawat. Perawat pelaksana yang bertugas diruang
rawat inap Airlangga terdiri dari 4 perawat laki-laki dan 5 perawat perempuan
dengan usia ≤40 tahun terdapat 8 perawat serta >40 tahun terdapat 1 perawat
sedangkan untuk masa kerjanya terdapat 6 perawat dengan masa kerja >5 tahun
dan 3 perawat dengan masa kerja ≤ 5 tahun. Ruang rawat inap Airlangga memiliki
kapasitas 28 pasien, dimana setiap shifnya terdiri dari 3 perawat untuk shif pagi, 3
perawat untuk shif siang dan 3 perawat untuk shif malam.
Ruang rawat inap Imam Bonjol merupakan ruangan dengan spesifikasi
penanganan penyakit saraf dan paru. perawat yang bertugas di ruang rawat inap
Imam Bonjol sebanyak 15 perawat termasuk karu dan wakaru sedangkan untuk
perawat pelaksananya terdiri dari 14 perawat. Perawat pelaksana yang bertugas
diruang rawat inap Imam Bonjol terdiri dari 5 perawat laki-laki dan 9 perawat
perempuan dengan usia ≤40 tahun terdapat 9 perawat serta usia >40 tahun
terdapat 5 perawat sedangkan unutuk masa kerjanya terdapat 2 perawat dengan
masa kerja ≤ 5 dan 12 perawat dengan masa kerja >5 tahun. Ruang rawat inap
Imam Bonjol memiliki kapasitas 40 pasien, dimana setiap shifnya terdiri dari 4
perawat untuk shif pagi, 3 perawat untuk shif siang dan 3 perawat untuk shif
malam.
Ruang rawat inap Diponegoro merupakan ruangan dengan spesifikasi
penanganan oprasi. perawat yang bertugas diruang rawat inap Diponegoro
sebanyak 19 perawat yang termasuk karu dan wakaru sedangkan untuk perawat
pelaksana terdiri dari 17 perawat. Perawat pelaksana yang bertugas diruang rawat
inap Diponegoro terdiri dari 9 perawat laki-laki dan 8 perawat perempuan dengan
usia ≤40 tahun terdapat 13 perawat serta usia >40 tahun terdapat 4 perawat
sedangkan untuk masa kerjanya terdapat 7 perawat dengan masa kerja ≤5 tahun
dan 10 perawat dengan masa kerja > 5 tahun. Ruang rawat inap Diponegoro
memiliki kapasitas 48 pasien.
Hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti pada 13 perawat yang
bertugas di ruang rawat inap Airlangga, Diponegoro dan Imam bonjol RSUD
“Kanjuruhan” Kepanjen Kabupaten Malang secara acak didapatkan 3 perawat
(23,07%) mengalami kejenuhan kerja kategori tinggi, hal ini disebabkan karena
individu merasa tidak efektif dan berkurangnya kecakapan dalam bekerja, 4
perawat (30,77%) mengalami kejenuhan kerja(burnout) kategori sedang, hal ini
disebabkan karena individu mulai mengeluarkan respon yang bersifat sinis pada
orang lain dan 6 perawat (46,16%) mengalami kejenuhan kategori rendah, hal ini
disebabkan karena individu mulai banyak kehilangan energi baik secara fisik
maupun emosional.
Berdasarkan data dan hasil studi pendahuluan serta dari beberapa faktor–
faktor diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang” Analisis faktor internal
yang mempengaruhi kejenuhan kerja (burnout) pada perawat yang bertugas diruang
rawat inap Airlangga, Diponegoro dan Imam bonjol RSUD”Kanjuruhan”
Kepanjen Kabupaten Malang.
1.2. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka dapat disusun
rumusan masalah sebagai berikut” apakah faktor internal mempengaruhi
kejenuhan kerja (burnout) pada perawat yang bertugas di ruang rawat inap
Airlangga, Diponegoro dan Imam bonjol RSUD”Kanjuruan” Kepanjen
Kabupaten Malang.
1.3. Tujuan penelitian
1.3.1. Tujuan umum
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor internal yang
mempengaruhi kejenuhan kerja (burnout) pada perawat yang bertugas di ruang
rawat inap Airlangga, Diponegoro dan Imam bonjol RSUD “Kanjuruhan”
Kepanjen Kabupaten Malang.
1.3.2. Tujuan khusus
1. Mendeskripsikan faktor internal (jenis kelamin, usia, masa kerja, locus of
control, hardiness dan tipe kepribadian) pada perawat yang bertugas di ruang
rawat inap Airlangga, Diponegoro dan Imam bonjol RSUD “Kanjuruhan”
Kepanjen Kabupaten Malang..
2. Mengidentifikasi kejenuhan kerja (burnout) pada perawat yang bertugas di ruang
rawat inap Airlangga, Diponegoro dan Imam bonjol RSUD “Kanjuruhan”
Kepanjen Kabupaten Malang.
3. Menganalisis faktor internal (jenis kelamin, usia, masa kerja, locus of control,
hardiness dan tipe kepribadian) yang mempengaruhi kejenuhan kerja (burnout)
pada perawat yang bertugas di ruang rawat inap Airlangga, Diponegoro dan
Imam bonjol RSUD “Kanjuruhan” Kepanjen Kabupaten Malang.
4. Menganalisis faktor internal (jenis kelamin, usia, masa kerja, locus of control,
hardiness dan tipe kepribadian) yang dominan mempengaruhi kejenuhan kerja
(burnout) pada perawat yang bertugas di ruang rawat inap Airlangga, Diponegoro
dan Imam bonjol RSUD “Kanjuruhan” Kepanjen Kabupaten Malang .
1.4. Manfaat penelitian
1.4.1 Bagi peneliti
Dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam melakukan
penelitian dan dapat memberikan informasi terhadap penelitian selanjutnya
mengenai faktor internal kejenuhan (burnout) pada perawat.
1.4.2. Bagi Institusi Pendidikan Keperawatan
Melalui penelitian ini, diharapkan dapat dijadikan sebagai tambahan
refrensi yang bermanfaat, sebagai masukan dan sebagai tambahan wawasan bagi
penelitian selanjutnya.
1.4.3. Bagi Rumah Sakit
1. Berdasarkan penelitian ini pihak rumah sakit dapat membuat terobosan–
terobosan baru untuk mengatasi kejenuhan kerja (burnout) pada perawat untuk
meningkatkan kualitas dan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan di instansi
rumah sakit tersebut.
2. Berdasakan penelitian ini perawat dapat memperbaiki kekurangan dan
kelemahan untuk meminimalisir tingkat kejadian kejenuhan kerja (burnout)
untuk meningkatkan kualitas dan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan di
instansi rumah sakit tersebut.
1.5. Keaslian penelitian
1. Dari hasil kajian pustaka ada beberapa penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya tapi berlainan dengan penelitian ini. Penelitian yang dilakukan oleh
Efa Novita Tawale, Widjajaning Budi & Gartinia Nurcholis (2011) yang
berjudul “hubungan antara motivasi kerja perawat dengan kecendrungan
mengalami kejenuhan kerja (burnout) pada perawat di RSUD Serui –Papua”.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode korelasional dengan
menggunakan purposive sampling dalam pengambilan sampelnya. Adapun
perbedaan penelitian yang akan dilakukan sekarang dengan penelitian yang
dilakukan oleh Efa Novita Tawale, Widjajaning Budi & Gartinia Nurcholis
(2011) terdapat pada variabel penelitian, dan tujuan penelitian. Dimana variabel
independen pada penelitian yang akan dilakukan sekarang adalah analisis faktor
internal dan variabel dependennya adalah kejenuhan kerja (burnout) pada perawat,
sedangkan di lihat dari tujuan penelitian, penelitian yang akan dilakukan
sekarang bertujuan untuk menganalisis pengaruh faktor internal terhadap
kejadian kejenuhan kerja (burnout) pada perawat di RSUD “Kanjuruhan”
Kepanjen Kabupaten Malang. Sementara penelitian yang dilakukan oleh Efa
Novita Tawale, Widjajaning Budi & Gartinia Nurcholis (2011) dengan variabel
independen motivasi kerja perawat dan variabel dependen kecendrungan mengalami
kejenuhan kerja (burnout) serta tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui hubungan antara motivasi kerja perawat dengan kecendrungan
mengalami kejenuhan krja (burnout) pada perawat di RSUD Serui – Papua.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Sulis Mariyanti & Anisah Citrawati (2011) yang
berjudul “kejenuhan kerja (burnout) pada perawat yang bertugas di ruang rawat
inap dan rawat jalan RSAB harapan kita” metode deskriptif adalah metode yang
digunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan teknik non probability
sampling dalam pengambilan sampelnya. Adapun perbedaan penelitian yang
akan dilakukan sekarang dengan penelitian yang dilakuakan oleh Sulis Mariyanti
& Anisah Citrawati (2011) terdapat pada variabel penelitian dan tujuan
penelitian, diaman variabel indepenen dari penelitian yang akan dilakukan
sekarang adalah analisis faktor internal dan variabel dependennya adalah kejenuhan
kerja (burnout) pada perawat sedangkan tujuannya adalah untuk menganalisis
pengaruh faktor internal terhadap kejadian kejenuhan kerja (burnout) pada
perawat di RSUD “Kanjuruhan” Kepanjen Kabupaten Malang. Sementara itu
penelitian yang dilakukan oleh Mariyanti & Anisah Citrawati (2011) hanya
menggunakan satu variabel yaitu kejenuhan kerja (burnout) pada perawat serta
tujuan penelitiannya untuk mengetahui hubungan anatra perawat yang bertugas
di ruang rawat inap dan rawat jalan terhadap kejadian kejenuhan kerja (burnout)
pada perawat.
1.6. Batasan penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti akan membahas tentang analisis faktor
internal yang mempengaruhi kejenuhan kerja (burnout) pada perawat yang bertugas
di ruang rawat inap kelas III RSUD “Kanjuruhan” Kepanjen Kabupaten Malang.
Batasan penelitian sebagai berikut :
1. Faktor internal (faktor individu) adalah faktor yang mempengaruhi kejenuhan
kerja (burnout) yang berasal dari dalam diri individu tanpa adanya pengaruh dari
lingkungan. Faktor internal, meliputi : faktor demografi (jenis kelamin, usia
perawat dan masa kerja perawat) dan karakteristik kepribadian (locus of control,
hardinnes dan tipe kepribadian)
2. Responden yang diteliti difokuskan pada perawat yang mengalami kejenuhan
kerja, Kejenuhan kerja (burnout) adalah keadaan dimana individu mengalami
kelelahan (fisik maupun mental), mengalami depersonalisasi (menarik diri dari
lingkungan pekerjaan, bersifat negatif pada diri sendiri, orang lain dan
kehidupannya) dan prestasi pribadi yang kurang (tidak efektif dalam melakukan
pekerjaan, kurangnya kecakapan dalam melakukan pekerjaan.