bab i pendahuluan 1. latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan oleh manusia untuk
berinteraksi dengan orang lain. Setiap orang pasti akan mendefinisikan “bahasa”
dengan cara yang berbeda-beda berdasarkan dengan pendekatan teori yang
mereka anut. Menurut teori struktural, bahasa dapat didefinisikan sebagai suatu
sistem tanda arbitrer yang konvensional yang berkaitan dengan ciri sistem yang
bersifat sistematik dan sistemik. Bersifat sistemik karena mengikuti ketentuan-
ketentuan atau kaidah-kaidah yang teratur dan bersifat sistematik karena bahasa
itu sendiri merupakan suatu sistem atau subsistem-subsistem (Soeparno, 2002: 1).
Manusia tidak dapat lepas dari bahasa. Hal ini dapat dibuktikan dengan
penggunaan bahasa dalam percakapan sehari-hari. Bahasa dalam kehidupan
bermasyarakat berfungsi sebagai alat komunikasi yang dipakai untuk
menyampaikan pesan antara penutur satu dengan penutur lainnya. Selain itu,
bahasa juga digunakan untuk menyampaikan ide-ide yang ada di dalam pikiran
manusia. Dengan demikian, ada peran bahasa yang membuat satu sama lain dapat
berkomunikasi, saling menyampaikan maksud, tidak hanya dalam bentuk lisan,
namun juga dalam bentuk tulisan. Wardaugh (1986: 1) mengatakan a language is
what the members of a particular society speak (sebuah bahasa adalah apa yang
diujarkan oleh masyarakatnya). Tanpa bahasa manusia tidak dapat menyalurkan
ide, gagasan, atau memberikan informasi kepada orang lain. Dalam hal ini, setiap
2
manusia membutuhkan bahasa untuk bisa berkomunikasi dan berinteraksi dalam
kehidupan bermasyarakat. Mengingat pentingnya bahasa dalam kehidupan
bermasyarakat, para anggota masyarakat dituntut untuk dapat berkomunikasi lebih
dari hanya satu bahasa saja.
Setiap bangsa di dunia memiliki bahasanya masing-masing untuk
memudahkan komunikasi antar sesama masyarakatnya. Dan bahasa- bahasa
tersebut tentunya memiliki sistem bahasa yang berbeda-beda. Sistem bahasa yang
berbeda itu ditunjukkan dengan adanya tata bahasa atau grammar yang berbeda-
beda dari masing-masing bahasa. Adanya sistem yang berbeda antara bahasa satu
dengan bahasa yang lainnya menunjukkan bahwa bahasa bersifat unik. Bahasa
dikatakan bersifat unik karena setiap bahasa mempunyai ciri khas yang tidak
dimiliki oleh bahasa lainnya (Chaer, 2003: 49).
Ketika hubungan antar bangsa semakin erat, hal tersebut akan menuntut
suatu bahasa menjadi alat komunikasinya. Hubungan antar bangsa yang berbeda
bahasa akan menimbulkan usaha untuk mempelajari bahasa. Pada dasarnya, setiap
manusia akan menggunakan bahasa yang telah mereka pelajari, baik yang
didapatkan dari orang tuanya yang disebut sebagai bahasa pertama atau bahasa
ibu, maupun yang didapatkan dari lembaga pendidikan yang disebut sebagai
bahasa kedua (second language) dan bahasa asing (foreign language). Bahasa
Inggris merupakan salah satu bahasa di dunia yang menjadi bahasa internasional
sekaligus salah satu bahasa asing yang banyak diajarkan pada lembaga-lembaga
pendidikan di Indonesia. Dalam pembelajaran bahasa Inggris, para pembelajar
yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama atau bahasa kedua
3
tentu akan mengalami hambatan atau kesulitan. Hal tersebut terjadi karena setiap
bahasa memiliki persamaan dan perbedaan. Perbedaaan dan persamaan tersebut
banyak dijumpai pada tata bahasa atau grammar dari masing-masing bahasa.
Persamaan dalam tata bahasa antara bahasa satu dengan bahasa lainnya
tidak akan menimbulkan kesulitan bagi para pembelajar yang sedang mempelajari
suatu bahasa yang berbeda. Namun, perbedaan tata bahasa biasanya akan
membuat pembelajar mengalami kesulitan yang pada akhirnya akan menimbulkan
kesalahan. Hal tersebut dapat terjadi karena mereka memiliki dua atau lebih
sistem tata bahasa yang berbeda. Karena terdapat perbedaan sistem pada setiap
bahasa terutama pada tata bahasa atau grammar, maka pembelajar atau siswa akan
menggunakan sistem bahasa pertamanya atau bahasa ibunya dalam mempelajari
bahasa kedua atau bahasa asing. Brown (1987: 172) mengatakan bahwa salah satu
yang menjadi penyebab kesalahan yaitu transfer interlingual. Tahap awal
pembelajaran bahasa lazimnya ditandai oleh transfer interlingual, yakni
perpindahan unsur-unsur bahasa pertama atau bahasa ibu ke dalam bahasa kedua
atau bahasa yang sedang dipelajari siswa. Pada tahap belajar, kekeliruan atau
kesalahan dapat disebabkan oleh interferensi, yaitu kesalahan atau kekeliruan
yang disebabkan oleh kebiasaan penggunaan bentuk-bentuk bahasa pertama
kedalam bahasa kedua atau bahasa asing yang sedang dipelajari.
Setiap kalimat yang digunakan oleh manusia dalam menyampaikan
sesuatu, disesuaikan dengan kondisi yang menyertainya. Terlebih lagi, setiap
kalimat yang digunakan dalam komunikasi berbeda-beda satu sama lain.
Misalnya, kalimat deklaratif merupakan kalimat yang berbentuk pernyataan yang
4
dapat berbentuk narasi, argumentasi, informasi, atau deskripsi. Kalimat interogatif
atau kalimat tanya pada dasarnya dibedakan dari tanda tanya yang menyertai
kalimat tersebut. Sementara itu, kalimat imperatif ditekankan sepenuhnya
terhadap perintah yang titik acuannya lebih kepada objek yang dimaksud. Secara
konstruksional, kalimat imperatif diawali dengan verba dasar yang perannya lebih
bersifat menyuruh seseorang, yang identik dengan aktifitas manusia untuk
bertindak.
Pembelajaran bahasa tentu tidak akan terlepas dari pembelajaran kalimat,
khususnya kalimat imperatif. Konstruksi kalimat imperatif bahasa Inggris tentu
saja memiliki perbedaan dengan konstruksi kalimat imperatif bahasa Indonesia
karena kedua bahasa tersebut memiliki sistem bahasa yang berbeda dan berasal
dari rumpun bahasa yang berbeda pula. Perbedaan itulah yang pada akhirnya
akan menimbulkan kesulitan dan hambatan para pembelajar bahasa Inggris
khususnya dalam menghasilkan kalimat imperatif.
Dalam hal ini, untuk menghindari kesulitan-kesulitan yang terjadi dalam
proses belajar mengajar, terutama dalam pembelajaran bahasa Inggris sebagai
bahasa asing atau foreign language diperlukan analisis kontrastif (anakon). Dalam
pengajaran bahasa, anakon dianggap sangat penting. Karena dengan
membandingkan bahasa yang sedang dipelajari (target language) dengan bahasa
yang dimiliki oleh siswa, maka pola-pola yang akan menimbulkan kesulitan bagi
pembelajar dapat diprediksi dan dideskripsikan. Pada proses pengontrasan antar
bahasa, pembanding dapat membandingkan ciri-ciri pengembangan frasa bahasa
pertama( B1) atau bahasa kedua (B2), pola dasar kalimat inti B1 dan B2, ciri-ciri
5
kalimat tanya dan perintah, ciri-ciri penggabungan kalimat, dan semua yang
berhubungan dengan analisis sintaksis secara mikro sebuah bahasa (Parera 1997:
111).
Semua bahasa memiliki “siasat” (Verhaar, 2006: 257) atau strategi untuk
membuat orang yang disapa melakukan atau tidak melakukan sesuatu sesuai
dengan isi ujaran yang disampaikan pembicara seperti: Pergi(lah)! dalam bahasa
Indonesia dan Go! dalam bahasa Inggris. Tuturan-tuturan tersebut dikenal sebagai
kalimat imperatif. Kadar tuntutan dalam kalimat imperatif bisa bermacam-macam.
Kalimat imperatif yang menyatakan perintah jelas memiliki kadar tuntutan yang
lebih tinggi, sedangkan kalimat imperatif yang menyatakan permohonan
mempunyai tuntutan yang rendah. Tinggi rendahnya kadar tuntutan pada kalimat
imperatif tersebut ditentukan oleh kewenangan (otoritas) serta keterlibatan kedua
pembicara. Selain itu, tinggi rendahnya tuntutan dalam kalimat imperatif ditandai
pula dengan adanya konstituen-konstituen tambahan yang berfungsi
menghaluskan perintah, seperti adanya penambahan prefiks pada verbal atau
dengan menambahkan frasa ‘lebih baik’ pada kalimat imperatif sebagai contoh
dalam bahasa Indonesia: Lebih baik jangan diangkat! (Verhaar, 2006: 259) atau
dengan memanfaatkan bentuk pasif. Pemakaian bentuk pasif dalam kalimat
imperatif sangat umum dalam bahasa Indonesia (Alwi dkk, 2003: 355). Hal ini
sangatlah berbeda dengan bahasa Inggris yang tidak mengenal bentuk pasif dalam
kalimat imperatifnya. Contoh kalimat imperatif dalam bahasa Indonesia dan
bahasa Inggris adalah sebagai berikut:
(1) Masuk! (I1)
6
(2) Tolong ambilkan buku itu! (I2)
(3) Kontrak ini dikirimkan sekarang! (I1)
(4) Jump! (E8)
(5) Do work a little harder! (E9)
(6) Please write with a good pen! (E5)
Adanya bentuk pasif dalam kalimat imperatif bahasa Indonesia dan tidak
dikenalnya bentuk pasif dalam kalimat imperatif bahasa Inggris tersebut
seharusnya dipahami oleh para pembelajar bahasa Inggris yang ada di Indonesia.
Hal ini berkaitan dengan pemahaman tentang struktur kalimat yang berbeda
diantara kedua bahasa tersebut. Sebagai contoh, bahasa Inggris merupakan bahasa
yang memiliki kata kerja bantu (auxiliary verbs) sedangkan di dalam bahasa
Indonesia tidak mengenal tentang hal itu.
Dengan berbagai “siasat” atau cara dalam memanifestasikan aktivitas
memerintah, membuktikan bahwa kalimat imperatif dalam bahasa Inggris dan
bahasa Indonesia menarik untuk dikaji lebih lanjut. Dipilihnya pengontrasan
kalimat imperatif bahasa Inggris dan bahasa Indonesia dalam penelitian ini karena
kedua bahasa tersebut memiliki struktur bahasa yang berbeda dan sangat menarik
dikaji lebih lanjut untuk mengetahui perbedaan-perbedaan apa saja yang ada
didalamnya. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan adanya persamaan-
persamaan diantara kedua bahasa tersebut.
Menilik dari latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk mengkaji
kalimat imperatif menggunakan metode perbandingan atau kontrastif dengan
7
mengambil objek kajian kalimat imperatif bahasa Inggris dan kalimat imperatif
bahasa Indonesia. Oleh karena itu, maka analisis yang akan dilakukan pada
penelitian ini adalah murni analisis kebahasaan dengan hasil analisis berupa
persamaan dan perbedaan melalui metode analisis pengontrasan atau contrastive
study.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan beberapa
masalah penelitian ini sebagai berikut:
a. Bagaimana pola-pola pembentukkan kalimat imperatif bahasa Indonesia?
b. Bagaimana pola-pola pembentukkan kalimat imperatif bahasa Inggris?
c. Apa saja persamaan dan perbedaan antara kalimat imperatif bahasa Indonesia
dan bahasa Inggris?
3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:
a. Mendeskripsikan pola-pola pembentukkan kalimat imperatif bahasa Indonesia.
b. Mendeskripsikan pola-pola pembentukkan kalimat imperatif bahasa Inggris.
c. Menjelaskan persamaan dan perbedaan antara kalimat imperatif bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris.
4. Manfaat Penelitian
Penulisan karya ilmiah ini diharapkan dapat memberikan kontribusi atau
manfaat baik bagi pembaca pada umumnya maupun para pembelajar yang
8
mempelajari bahasa Inggris khususnya dalam menggunakan kalimat imperatif.
Manfaat tersebut dapat berupa manfaat secara praktis dan teoritis.
Manfaat praktis yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah untuk
menambah khasanah kajian dalam bidang perbandingan bahasa khususnya
kalimat imperatif bahasa Inggris dan bahasa Indonesia karena penelitian mengenai
perbandingan antara kalimat imperatif bahasa Inggris dan bahasa Indonesia belum
pernah dilakukan.
Sementara manfaat teoritis dari penelitian ini adalah menjadi masukan
bagi mereka yang bergerak di bidang pengajaran bahasa Inggris dan bahasa
Indonesia untuk menyusun materi yang akan diajarkan dan membantu
mempermudah para pembelajar bahasa Inggris dalam mempelajari kalimat
imperatif bahasa Inggris. Para pembelajar dapat membandingkan antara kalimat
imperatif bahasa Inggris dengan kalimat imperatif bahasa Indonesia.
Dengan mengetahui perbedaan-perbedaan tersebut, para pembelajar
bahasa Inggris dan bahasa Indonesia dapat dengan mudah menggunakan kalimat
imperatif bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia, sehingga mereka tidak lagi
membuat kesalahan-kesalahan terutama dalam menulis dan menggunakan kalimat
imperatif bahasa Inggris.
5. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan penelusuran terhadap karya ilmiah yang telah dilakukan
sebelumnya, khususnya tentang analisis perbandingan bahasa, peneliti belum
pernah menemukan penelitian tentang perbandingan kalimat imperatif bahasa
9
Inggris dan bahasa Indonesia. Namun, terdapat beberapa penelitian yang telah
dilakukan oleh para peneliti sebelumnya tentang kalimat imperatif yang ada
relevansinya dengan penelitian ini.
Penelitian yang dilakukan oleh Rahardi (1990) dalam disertasinya yang
berjudul “Kalimat Imperatif dalam Bahasa Indonesia: Kajian Pragmatik tentang
Kesantunan Berbahasa” dimaksudkan untuk mengungkap aspek-aspek
kesantunan pemakaian tuturan imperatif bahasa Indonesia. Aspek kesantunan
yang dimaksud berkaitan sangat erat dengan 1) wujud formal dan wujud
pragmatik imperatif dalam bahasa Indonesia, 2) wujud dan peringkat kesantunan
pemakaian tuturan imperatif bahasa Indonesia, dan 3) penentu wujud peringkat
kesantuanan pemakaian tuturan imperatif bahasa Indonesia.
Temuan-temuan penelitian ini dapat disampaikan secara ringkas sebagai
berikut: Pertama, tuturan imperatif dalam bahasa Indonesia memiliki dua macam
perwujudan yakni wujud formal imperatif dan wujud pragmatik imperatif. Kedua,
kesantunan pemakaian tuturan imperatif bahasa Indonesia dibedakan menjadi
dua, yakni kesantunan linguistik dan kesantuan pragmatik. Ketiga, lima variabel
penentu persepsi peringkat kesantunan pemakain tuturan imperatif teridentifikasi
dalam penelitian ini. Kelima variabel tersebut adalah: 1) variabel jenis kelamin, 2)
variabel umur, 3) variabel latar belakang, 4) variabel pekerjaan, dan 5) variabel
daerah asal. Dari penelitian Rahardi ini didapatkan urutan persepsi peringkat
kesantunan dalam pemakaian tuturan imperatif dengan menggunakan tipe-tipe
tuturan imperatif secara berurutan dari bentuk yang paling tinggi tingkat
kesantunannya sampai bentuk yang paling rendah tingkat kesantunannya.
10
Penelitian lain yang dilakukan oleh Sitanggang (2009) dalam skripsinya
yang berjudul A Contrastive Analysis of Imperative Sentences in English and
Batak Toba Language berusaha untuk menganalisis kalimat imperatif bahasa
Inggris dan bahasa Batak Toba. Dalam skripsi ini dituliskan bahwa kalimat
imperatif adalah kalimat perintah yang berisi perintah (command), permintaan
(request), larangan (prohibition), nasehat (advice), saran (suggestion), peringatan
(warning), dan compulsion. Tipe kalimat imperatif bahasa Inggris dan bahasa
Batak Toba adalah sama, yaitu kalimat imperatif positif dan kalimat imperatif
negatif. Fungsi kalimat imperatif bahasa Batak Toba ada tujuh, yaitu: kalimat
perintah yang berisi perintah (command), permintaan (request), larangan
(prohibition), nasehat (advice), saran (suggestion), peringatan (warning), dan
compulsion. Sedangkan fungsi kalimat imperatif bahasa Inggris ada lima, yaitu:
kalimat perintah yang berisi perintah (command), permintaan (request), larangan
(prohibition), nasehat (advice), dan saran (suggestion). Hasil analisis menyatakan
bahwa dari segi tipe, bahasa Inggris dan bahasa Batak Toba memiliki tipe yang
sama, namun pada fungsi dan markernya berbeda, sehingga dapat disimpulkan
bahwa kalimat imperatif bahasa Batak Toba dan bahasa Inggris adalah sebagian
sama atau disebut partly correspondence.
Apa yang menjadi konsep kalimat imperatif, baik yang hanya menyangkut
konsep gramatikal, maupun yang mencakup konsep gramatikal dan konsep
pragmatik, dari beberapa hasil penelitian dalam sajian tinjauan pustaka diatas,
dimanfaatkan oleh penulis sebagai modal kerja dalam rangka penelitian kalimat
imperatif bahasa Indonesia dan bahasa Inggris ini.
11
Adapun dalam penelitian ini akan mengupas kalimat imperatif dalam
bahasa Indonesia dan kalimat imperatif dalam bahasa Inggris secara gramatikal
yang mencakup konsep sintaktis, dimana di dalamnya terkandung tentang fungsi
dan kategori masing-masing kata atau frase dalam kalimat imperatif tersebut.
Untuk selanjutnya diketahui pola pembentukkan kalimat imperatif dalam bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris, sehingga dapat dibandingkan diantara keduanya,
kemudian diketahui persamaan dan perbedaan yang terdapat didalamnya. Dengan
mengetahui hal tersebut maka akan mempermudah pembelajaran kalimat
imperatif dalam kedua bahasa tersebut.
6. Landasan Teori
Pada bagian ini akan dijelaskan teori-teori terkait dengan judul penelitian.
Konsep teoritis yang akan dijelaskan adalah: 1) analisis kontrastif, 2) definisi
kalimat, dan 3) kalimat imperatif bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.
6.1 Analisis Kontrastif (Contrastive Analysis)
Carl James (1980) dalam Soedibyo (2004: 47) mendefinisikan analisis
kontrastif (anakon) adalah suatu kajian linguistik yang bertujuan untuk
mengkontraskan dua bahasa dan didasarkan pada asumsi bahwa bahasa dapat
dibandingkan. Sementara itu, menurut Kridalaksana (2008: 15), anakon adalah
metode sinkronis dalam analisis bahasa untuk menunjukkan persamaan dan
perbedaan antara bahasa-bahasa atau dialek-dialek untuk mencapai prinsip yang
dapat diterapkan dalam masalah praktis, seperti pengajaran bahasa dan
terjemahan.
12
Menururt Parera (1997:111) ada dua macam analisis kontrastif, yaitu
analisis kontrastif mikrolinguistik dan analisis kontrastif makrolinguistik. Analisis
kontrastif secara mikrolinguistik disesuaikan dengan subsistem linguistik secara
murni, yakni subsistem fonologi, subsistem morfologi, subsistem sintaksis, dan
subsistem semantik. Butir-butir dari masing-masing subsistem B1 dan B2
dibandingkan untuk mengidentifikasi persamaan dan perbedaan antara dua bahasa
terbanding. Untuk dapat membandingkan secara sistematis butir-butir bahasa pada
masing-masing subsistem linguistik, pembanding harus menguasai dengan benar
dan baik dasar-dasar mikrolinguistik.
Berdasarkan definisi di atas, anakon merupakan aktivitas atau kegiatan
yang mencoba membandingkan bahasa untuk mengidentifikasi persamaan dan
perbedaan di antara dua bahasa atau lebih. Lebih lanjut, Lado (1974: 2)
menjelaskan bahwa those elements that are similar to his native language will be
simple for him, and those elements that are different will be difficult (elemen-
elemen bahasa yang mirip dengan bahasa aslinya akan mudah dipelajari, dan
elemen-elemen yang berbeda akan menjadi sulit dipelajari). Kajian terhadap
unsur-unsur kebahasaan itu dilakukan dengan cara membandingkan dua data
kebahasaan, yakni data bahasa pertama (B1) dengan data bahasa kedua (B2).
Kemudian kedua data bahasa itu dideskripsikan atau dianalisis, sehingga hasilnya
akan diperoleh suatu penjelasan yang menggambarkan perbedaan dan kesamaan
dari kedua bahasa tersebut.Setelah itu, persamaan dan perbedaan yang diperoleh
dan dihasilkan melalui anakon tersebut dapat digunakan sebagai landasan dalam
13
meramalkan atau memprediksi kesulitan belajar yang akan dihadapi oleh para
siswa atau mahasiswa.
Dari penjelasan-penjelasan sebelumnya, dapat diketahui bahwa teori
analisis kontrastif berhubungan dengan bahasa sumber dan bahasa sasaran.
Pernyataan tentang kontrastif menggambarkan transfer dan interferensi dari B1 ke
B2 dalam proses pemroduksian B2 (Parera, 1997: 114). Pernyataan ini juga
dikuatkan oleh Cook (2000: 11) yang menyatakan bahwa the fundamental
assumption in contrastive analysis is “transfer” (asumsi pokok dalam analisis
kontrastif adalah “transfer”). Hal tersebut juga didukung oleh pendapat Larsen-
Freeman dan Long (1991: 53) yang menyatakan bahwa where two languages
were similar, positive transfer would occur; where they were different, negative
transfer, or interference, would result (pada saat dua bahasa itu mirip, transfer
positif akan terjadi; pada saat keduanya berbeda, transfer negatif atau interferensi
yang akan dihasilkan).
Dalam setiap pengajaran bahasa kedua atau bahasa asing, ada dua hal yang
biasa dilakukan oleh siswa. Pertama, siswa sering membuat kesalahan dalam
mempelajari bahasa kedua. Kedua, siswa sering membuat kesalahan berbahasa
dalam proses mempelajari bahasa kedua tersebut. Adapun para ahli
mengungkapkan hambatan terbesar dalam proses menguasai bahasa kedua (B2)
adalah tercampurnya sistem bahasa pertama dengan sistem bahasa kedua
(Pranowo, 1996: 40).
14
Anakon adalah suatu konsep yang berfungsi sebagai sarana
mengefisienkan dan mengefektifkan pengajaran bahasa. Sehingga, dengan analisis
kontrastif diharapkan pengajaran bahasa kedua (B2) atau bahasa asing (BA)
menjadi lebih baik. Analisis kontrastif mempunyai langkah-langkah tertentu yang
dikenal dengan istilah metodologi analisis kontrastif. Menurut Ellis (1986: 71),
ada empat langkah yang harus dilakukan dalam Analisis Kontrastif, yaitu:
mendeskripsikan sistem atau unsur-unsur bahasa pertama dan bahasa kedua,
menyeleksi sistem atau unsur-unsur bahasa (B1 dan B2) yang akan dibandingkan
atau dianalisis, mengontraskan sistem atau unsur-unsur bahasa (B1 dan B2)
dengan cara memetakan unsur-unsur dari kedua bahasa yang dianalisis, dan
memprediksikan sistem atau unsur-unsur bahasa (B1 dan B2) untuk keperluan
pengajaran bahasa di sekolah.
Jadi, analisis kontrastif adalah suatu kajian terhadap unsur-unsur
kebahasaan untuk keperluan pengajaran bahasa kedua, terutama untuk mengatasi
kesulitan dan kesalahan berbahasa yang dilakukan oleh siswa.
6.2 Definisi Kalimat
Kehadiran kalimat sewaktu berlangsungnya komunikasi, pada dasarnya
didorong oleh keinginan antar individu untuk menyampaikan perasaaan dan
pikirannya. Berdasarkan batasan ini, maka kalimat merupakan satuan lingual yang
sangat penting dalam tataran bahasa. Dengan satuan lingual berupa kalimat inilah
maka seseorang dapat berkomunikasi dengan orang yang lain.
15
Kalimat biasa didefinisikan sebagai suatu susunan kata-kata yang teratur
dan berisi pikiran yang lengkap (Chaer, 2003: 240). Definisi seperti ini sama
halnya seperti yang dikatakan oleh Alwi dkk, bahwa kalimat adalah satuan bahasa
terkecil, dalam wujud lisan atau tulisan, yang mengungkapkan pikiran yang utuh
(2003: 311). Mengingat bahwa kalimat memuat pesan yang utuh, maka apa yang
teramanatkan dalam kalimat sewaktu berlangsungnya “peristiwa cakapan” atau
dialog menuntut suatu pernyataan pikiran yang pasti atau tegas. Jadi kepastian
atau ketegasan pikiran akibat dari berlangsungya “peristiwa cakapan” atau dialog
merupakan tujuan yang pokok. Peristiwa semacam ini dapat dikatakan berlaku
pada setiap tipe kalimat. Salah satu diantara sekian tipe kalimat tersebut adalah
kalimat imperatif.
Di sisi lain, Frank (1972: 220-221) dalam bukunya Modern English
menjelaskan bahwa berdasarkan tipe-tipenya, kalimat terbagi menjadi kalimat
deklaratif, kalimat interogatif, kalimat imperatif, dan kalimat eksklamasi.
Sedangkan berdasarkan jumlah prediksi penuhnya, kalimat terbagi menjadi
kalimat sederhana dan kalimat luas. Tambahan lagi, menurut Ramlan (2005: 26),
berdasarkan fungsinya dalam hubungan situasi, kalimat dapat digolongkan
menjadi tiga golongan, yaitu kalimat berita, kalimat tanya, dan kalimat suruh.
Dalam ragam tulis, kalimat sebagian besar ditandai oleh huruf kapital di
pangkalnya dan oleh tanda akhir seperti titik, tanda seru, tanda tanya, atau tidak
ditandai apa-apa (misalnya dalam kalimat tak lengkap). Kalimat memiliki fungsi
sebagai dasar pembentukkan wacana. Sebuah wacana dapat terbentuk dari adanya
beberapa kalimat yang masing-masing memiliki arti sehingga wacana tesebut
16
dapat dipahami. Kalimat merupakan satuan dasar wacana, artinya wacana hanya
akan terbentuk jika ada dua kalimat atau lebih yang letaknya berurutan dan
berdasarkan kaidah kewacanaan. Dengan demikian setiap tuturan berupa kata atau
untaian kata yang memiliki ciri-cri di atas pada suatu wacana berstatus sebagai
kalimat (Alwi dkk, 2003: 311).
Pengertian kalimat dalam bahasa Inggris hampir sama dengan pengertian
kalimat dalam bahasa Indonesia. Leech dan Svartvik (1973: 268) mengatakan
bahwa sentences are units made up of one or more clauses (kalimat merupakan
unit yang terdiri dari satu klausa atau lebih). Leech dan Jan juga menjelaskan
bahwa kalimat yang hanya terdiri dari satu klausa saja disebut dengan kalimat
sederhana atau simple sentence, sedangkan kalimat yang terdiri dari dua klausa
atau lebih disebut sebagai kalimat luas atau complex sentence. Tambahan lagi,
Downing dan Locke (2006: 35) dalam bukunya juga menjelaskan bahwa
traditionally, the single independent clause (or simple sentence) is divided into
two main parts, subject and predicate. (Biasanya, suatu klausa independen (atau
kalimat sederhana) dibagi menjadi dua bagian utama, subjek dan predikat).
Kemudian, menurut Frank (1972: 220) kalimat dalam bahasa Inggris dapat
disusun dengan menggunakan simbol seperti SVO (Subject+Verb+Object), N1
VN2 (Noun+Verb+Noun), atau NP+VP (Noun Phrase+Verb Phrase).
6.3 Kalimat Imperatif bahasa Indonesia dan bahasa Inggris
Kalimat perintah sering juga disebut kalimat imperatif (Markhamah, 2009:
71). Kalimat imperatif merupakan salah satu tipe kalimat yang selalu dapat
17
dijumpai dalam setiap bahasa, sebab keberadaan tipe kalimat ini dapat
dimanfaatkan oleh pihak pembicara untuk merangsang timbulnya persoalan reaksi
dari pihak lawan pembicara. Hal ini sesuai dengan apa yang sudah dituliskan oleh
Markhamah (2009: 71) bahwa kalimat imperatif berisikan perintah kepada
pembaca atau pendengar untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Berkaitan dengan kalimat imperatif, dalam bukunya Ramlan (2005: 39-40)
menyebutnya sebagai kalimat suruh dan berdasarkan strukturnya, dibagi menjadi
empat jenis, yaitu: 1) kalimat suruh yang sebenarnya, 2) kalimat persilahan, 3)
kalimat ajakan, dan 4) kalimat larangan. Dengan demikian, persoalan kalimat
imperatif secara konsep dapat dikatakan menyangkut adanya pernyataan yang
tegas dari pihak pembicara dan adanya reaksi atau tanggapan yang pasti dari pihak
lawan pembicara. Tipe kalimat imperatif dapat dikenali berdasarkan penentu
wujudnya, baik yang bersifat morfologis maupun yang bersifat sintaktis, atau
merupakan gabungan antar penentu wujud tersebut.
Lebih lanjut, Ramlan (2005: 39-40) menjelaskan bahwa kalimat imperatif
adalah kalimat yang mengandung intonasi imperatif dan menurut ciri formalnya,
jenis kalimat imperatif ini memiliki pola intonasi yang berbeda dengan pola
intonasi kalimat berita dan kalimat tanya yaitu ditandai dengan penggunaan tanda
/!/ pada akhir kalimatnya. Kemudian, Kridalaksana (2008: 104) juga mengatakan
bahwa dalam bahasa Indonesia, kalimat imperatif ini biasanya ditandai oleh
partikel seru –lah atau kata-kata seperti hendaknya, jangan, dsb. Dengan kata lain,
kalimat imperatif dapat didefinisikan sebagai kalimat yang mengandung perintah
18
atau permintaan agar orang lain melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal yang
diinginkan oleh orang yang memerintah.
Kalimat yang mengandung perintah itu meliputi suruhan yang keras
hingga ke permintaan yang halus. Adapun menurut Alwi (2003: 353) kalimat
perintah dan permintaan jika ditinjau dari isinya, dapat dirinci menjadi enam
golongan yaitu: perintah atau suruhan biasa, perintah halus, permohonan, ajakan
dan harapan, larangan atau perintah negatif, dan pembiaran. Masih menurut Alwi
(2003: 353-354) bahwa kalimat imperatif memiliki ciri formal seperti berikut:
intonasi yang ditandai nada rendah di akhir tuturan; pemakaian partikel penegas,
penghalus dan kata tugas ajakan, harapan, permohonan dan larangan; susunan
inversi sehingga urutannya menjadi tidak selalu terungkap predikat-subjek, jika
diperlukan; dan pelaku tindakan tidak selalu terungkap.
Pengertian mengenai kalimat imperatif dalam bahasa Inggris juga tidak
jauh berbeda dengan pengertian imperatif dalam bahasa Indonesia seperti yang
sudah tertulis di atas. Dixson (1957: 19) menyatakan bahwa the imperative form
in English is used to express a command or request (bentuk imperatif dalam
bahasa Inggris digunakan untuk mengekspresikan suatu perintah atau
permintaan). Pernyataan ini juga didukung oleh George O. Curme dalam bukunya
berjudul English Grammar (1966: 97) yang menyatakan bahwa we usually employ
simple imperative in commands, admonitions, and requests (kita selalu
menggunakan kalimat imperatif sederhana dalam perintah, peringatan, dan
permintaan). Lebih lanjut, Quirk dan Greenbaum (1973: 200-202) membagi
kalimat imperatif menjadi tiga kelompok, yaitu: commands, negative commands
19
(prohibition), and persuasive imperatives (perintah, perintah negatif (larangan),
dan imperatif persuasif).
Selain definisi-definisi di atas tentang kalimat imperatif bahasa Inggris,
Downing dan Locke (2006: 191) dalam bukunya juga menuliskan bahwa kalimat
imperatif dalam bahasa Inggris merupakan salah satu bentuk kalimat yang khas
dan sangat berbeda dengan bentuk kalimat yang lainnya karena kalimat imperatif
tidak memiliki Subjek. Pernyataan tersebut didukung oleh Quirk dan Greenbaum
(1973: 200) yang menyatakan bahwa ciri umum dari kalimat imperatif bahasa
Inggris yaitu: it has no subject and it has an imperative finite verb (the base form
of the verb, without endings for number of tense) (kalimat imperatif tidak
memiliki subjek dan memiliki sebuah bentuk verba imperatif (bentuk verba dasar,
tanpa diakhiri sejumlah tenses)).
Berdasarkan definisi-definisi yang telah disebutkan sebelumnya, maka
pada dasarnya kalimat imperatif dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris
memiliki maksud dan tujuan yang sama yaitu untuk memberikan perintah kepada
orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
7. Metode Penelitian
Penelitian ini pada dasarnya bersifat kontrastif dengan menekankan aspek
sintaktisnya. Penelitian ini bersifat kontrastif, yang artinya bahwa penelitian
dilakukan dengan cara mengkomparasikan atau memperbandingkan unsur-unsur
bahasa dari dua bahasa yang berbeda. Penelitian ini memanfaatkan metode
kontrastif yang termasuk dalam tiga cakupan penelitian kualitatif. Jalannya
20
penelitian mengikuti metode linguistik yang dikemukakan oleh Sudaryanto
(1993:5) yang menggolongkan metode penelitian berdasarkan pada tiga tahap
upaya strategis yang berurutan yaitu : 1) cara atau metode pengumpulan data, 2)
cara atau metode analisis data, 3) cara atau metode penyajian hasil analisis data.
7.1 Metode Pengumpulan Data
Sudaryanto (1993:133-136) mengatakan bahwa pengumpulan data dari
sumber tertulis dilakukan dengan metode simak dan dilanjutkan dengan teknik
catat. Mengingat penelitian ini bertujuan untuk mencari persamaan dan perbedaan
kalimat imperatif bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, maka sumber data dalam
penelitian ini adalah sumber tertulis yang berasal dari buku-buku tata bahasa.
Tahapan penyediaan data ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data
yang relevan dengan tujuan penelitian.
Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan metode simak, yaitu
metode yang dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa secara tertulis yang
dilanjutkan dengan mencatat data-data yang diperlukan. Setelah itu, peneliti
memberikan kode-kode khusus terhadap buku-buku yang dibutuhkan guna
mempermudah pencarian dari buku yang mana data-data penelitian tersebut
berasal. Dalam penelitian ini data yang berupa kalimat imperatif dalam bahasa
Inggris diambil dari buku-buku tata bahasa Inggris seperti: English Grammar
(E1), Test & Drills in English Grammar (E2), English Grammar: A University
Course (E3), Modern English: A Practical Reference Guide (E4), English
Sentence Patterns (E5), A Communicative Grammar of English (E6), Exercise in
21
English Patterns & Usage (E7), Modern English Grammar (E8), A University
Grammar of English (E9), A Practical English Grammar (E10), sedangkan data
yang berupa kalimat imperatif dalam bahasa Indonesia diambil dari buku-buku
tata bahasa Indonesia, antara lain: Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (I1),
Ragam dan Analisis Kalimat Bahasa Indonesia (I2), Ilmu Bahasa Indonesia:
Sintaksis (I3), dan Asas-asas Linguistik Umum (I4). Selain itu, data kalimat
imperatif bahasa Indonesia juga dibuat sendiri oleh peneliti karena peneliti
merupakan penutur asli bahasa Indonesia. Hal ini sejalan dengan pendapat
Mahsun (2003:102) yang menyatakan bahwa dalam penelitian bahasa terdapat
suatu metode yang disebut dengan metode introspektif yaitu metode penyediaan
data dengan memanfaatkan intuisi kebahasaan peneliti yang meneliti bahasa yang
dikuasainya (bahasa ibunya) untuk menyediakan data yang diperlukan bagi
analisis sesuai dengan tujuan penelitiannya. Data-data yang diambil dari sumber-
sumber tersebut dibatasi sesuai dengan kepentingan dan tujuan penelitian ini.
Kemudian peneliti melanjutkan proses pengumpulan data dengan teknik catat
terhadap data bahasa yang telah dipilih dengan lengkap. Sumber data lain yang
dianggap penting demi memperkaya data juga dimanfaatkan yaitu dengan
memanfaatkan skripsi, tesis, disertasi, dan hasil-hasil penelitian yang berbahan
penelitian kalimat imperatif.
7.2 Metode Analisis Data
Setelah data terhimpun dalam kategorinya, langkah selanjutnya adalah
menangani masalah yang terkandung dalam data. Penanganan masalah tersebut
memanfaatkan teknik hubung banding, yaitu teknik analisis data dengan cara
22
membandingkan satuan-satuan kebahasaan yang dianalisis dengan alat penentu
berupa hubungan banding antara semua unsur penentu yang relevan dengan
semua unsur satuan kebahasaan yang ditentukan (Kesuma, 2007: 53).
Lebih lanjut, Verhaar (2006: 162) mengungkapkan bahwa ada tiga cara
untuk menganalisis klausa secara sintaktis. Pertama, ada “Fungsi-Fungsi” di
dalam klausa, kedua ada “Peran-Perannya”, dan ketiga ada “Kategori-
Kategorinya”. Sejalan dengan hal itu, analisis yang dilakukan dalam penelitian ini
berdasarkan fungsi dan kategori sintaksisnya. Maksudnya yaitu data-data yang
sudah terkumpul kemudian dianalisis berdasarkan konstituen-konstituen
klausanya, entah konstituen itu berupa kata ataupun frasa. Lebih lanjut, untuk
menentukan jenis kategori dalam kalimat imperatif bahasa Indonesia, peneliti
merujuk pada buku Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia (Harimurti Kridalaksana)
dan Tata Bahasa Indonesia: Penggolongan Kata (Ramlan). Sedangkan dalam
melakukan analisis kalimat imperatif bahasa Inggrisnya, penulis merujuk pada
buku English Sentence Analysis: An Introductory Course (Marjolijn Verspoor dan
Kim Sauter), English Grammar: A University Course (Angela Downing dan
Philip Locke), A Communicative Grammar of English (Geoffrey Leech dan Jan
Svartvik), serta A University Grammar of English (Randolph Quirk dan Sidney
Greenbaum).
Dalam penelitian ini, data diklasifikasikan dengan menggunakan
pendekatan kontrastif untuk mendapatkan persamaan dan perbedaan antara
kalimat imperatif bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Metode analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode agih beserta teknik-tekniknya dan
23
metode padan beserta teknik-tekniknya. Metode agih adalah metode analisis yang
alat penentunya ada di dalam dan merupakan bagian dari bahasa yang diteliti
(Sudaryanto, 1993: 15). Dalam menganalisis data-data yang sudah terkumpul
seluruhnya, pertama-tama penulis menggunakan teknik dasar dalam metode agih
yang disebut teknik bagi unsur langsung (BUL) untuk mengetahui unsur-unsur
apa saja yang terkandung dalam kalimat imperatif itu sendiri dilihat dari segi
Fungsi dan Kategori sintaktisnya. Kemudian, analisis data dilanjutkan dengan
menggunakan teknik-teknik lanjutan dalam metode agih, seperti: teknik permutasi
(teknik balik), teknik subtitusi (teknik ganti), dan teknik delesi (teknik lesap).
Setelah masing-masing kalimat imperatif dalam bahasa Indonesia dan
bahasa Inggris tersebut dinalisis dengan metode agih dan teknik-tekniknya,
peneliti kemudian membandingkan antara kalimat imperatif bahasa Indonesia
dengan kalimat imperatif bahasa Inggris dengan metode padan. Metode padan
adalah metode/cara yang digunakan dalam upaya menemukan kaidah dalam tahap
analisis data yang alat penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari
bahasa (langue) yang bersangkutan (1993:15). Metode tersebut digunakan untuk
mengetahui persamaan dan perbedaan antara kalimat imperatif bahasa Indonesia
dan bahasa Inggris. Metode padan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode padan translasional. Yang dimaksud dengan metode padan translasional
yaitu metode padan yang alat penentunya bahasa lain (Kesuma, 2007: 49). Dalam
penelitian ini, penulis akan berusaha untuk mencari semua persamaan
menggunakan teknik Hubung Banding Menyamakan (HBS), dan perbedaan
menggunakan teknik Hubung Banding Membedakan (HBB), kemudian semua
24
unsur tersebut digunakan untuk mencari persamaan pokoknya dengan
menggunakan atau dikenal sebagai teknik Hubung Banding Menyamakan Hal
Pokok (HBSP).
7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Metode penyajian hasil analisis data terdiri atas dua metode yaitu metode
penyajian informal dan metode penyajian formal. Penyajian hasil analisis data
secara informal adalah penyajian hasil analisis data dengan menggunakan kata-
kata biasa, sedangkan penyajian hasil analisis data formal yaitu penyediaan data
dengan menggunakan kaidah (Kesuma, 2007:71-71). Adapun hasil penelitian
tentang kalimat imperatif bahasa Inggris dan bahasa Indonesia ini akan disajikan
secara informal yaitu dengan mendeskripsikan hasil penelitian dalam bentuk
uraian kata-kata biasa.
8. Sistematika Penyajian
Penelitian ini akan disajikan dalam lima bab, yaitu bab I berisi
pendahuluan yang terdiri dari: latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan
sistematika penyajian. Bab II membahas pola-pola pembentukkan kalimat
imperatif bahasa Indonesia. Bab III membahas pola-pola pembentukkan kalimat
imperatif bahasa Inggris. Bab IV menyajikan persamaan dan perbedaan kalimat
imperatif bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Bab V merupakan penutup yang
berisi simpulan dan saran.