bab i - jurnal online antropologi itb | kumpulan jurnal ... · web viewsesungguhnya diperlukan...
TRANSCRIPT
BUDAYA PEDAGANG KAKI LIMA
DI KAWASAN GASIBU
LAPORAN KU4184 ANTROPOLOGI
Oleh :
KELOMPOK 8B
Hera Rosmiati 10506079
Ratna Pemila 10606033
Alfeus Ebenezer Kaban12005063
Asmoro Santo 12206043
Louis Marcel 12206083
Ery Adhityo Wibowo 13204105
MATA KULIAH DASAR UMUM SOSIOTEKNOLOGI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2010
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................11.1 Latar Belakang.........................................................................................................................11.2 Judul.........................................................................................................................................21.3 Identifikasi Masalah.................................................................................................................21.4 Rumusan Masalah....................................................................................................................21.5 Tujuan Penelitian......................................................................................................................2BAB II LANDASAN TEORI........................................................................................................32.1 Isi Kebudayaan Menurut C. Kluckholn....................................................................................32.2 Teori J.G Frazer Mengenai Ilmu Gaib Dan Religi...................................................................32.3 Emergent Norm Theory (Turner Killian).................................................................................3BAB IIIMETODE PENELITIAN..................................................................................................43.1 Studi Literatur...........................................................................................................................43.2 Observasi..................................................................................................................................43.3 Wawancara...............................................................................................................................4BAB IVANALISIS DAN PEMBAHASAN..................................................................................64.1 Budaya PKL Menurut Persepsi Masyarakat............................................................................64.2 Sistem Bahasa.........................................................................................................................104.3 Sistem Religi..........................................................................................................................124.4 Teknologi................................................................................................................................134.5 Sistem Kemasyarakatan.........................................................................................................134.6 Sistem Ekonomi.....................................................................................................................164.7 Sistem Pengetahuan................................................................................................................17BAB V KESIMPULAN DAN SARAN......................................................................................185.1 Kesimpulan.............................................................................................................................185.2 Saran.......................................................................................................................................18BAB VIHASIL DISKUSI DI KELAS.........................................................................................19DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................22
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap hari Minggu, kawasan Gasibu selalu penuh sesak oleh pedagang kaki lima
yang menjadikan kawasan tersebut sebagai pasar kaget. Para pedagang menempati daerah
Gedung Sate, lapangan Gasibu, hingga Monumen Perjuangan Rakyat.
Pembeli merasa diuntungkan dengan adanya pasar tersebut. Hal ini dibuktikan
dengan jumlah pembeli yang tidak berkurang, bahkan semakin bertambah. Keramaian ini
tentu menimbulkan kekacauan lalu lintas.
Di balik ramainya suasana tersebut, tentu banyak hal menarik yang bisa diungkap.
Salah satunya adalah kebudayaan pedagang kaki lima. Dan tema itulah yang kami
jadikan sebagai tema penelitian.
Ketertarikan kami akan masalah ini disebabkan karena latar belakang pedagang di
kawasan itu beragam. Keragaman tersebut bisa meliputi tempat tinggal, suku, bahasa,
agama, tingkat pendidikan, dan lain-lain.
Mengapa kami yakin bahwa mereka beragam? Sebab kenyataan saat ini menunjukkan
bahwa di Gasibu, terjadi pertemuan antara penjual dan pembeli dalam jumlah besar
dalam sehari. Transaksi ekonomi banyak terjadi di sana. Tentu saja orang-orang dari
berbagai tempat banyak yang tertarik untuk memanfaatkan peluang ekonomi ini.
Keragaman itulah yang ingin kami uraikan di sini. Kami menganalisisnya dan
menggambarkannya secara jelas dan sistematis.
1.2 Judul
Penelitian ini kami beri judul “Budaya Pedagang Kaki Lima di Kawasan Gasibu”
1.3 Identifikasi Masalah
1. Kawasan Gasibu setiap hari Minggu selalu ramai dengan aktivitas perdagangan
2. Kehidupan sosial pedagang kaki lima di Gasibu sangat beragam
3. Tingkat pendidikan pedagang kaki lima di Gasibu secara umum rendah
1.4 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah struktur sosial pedagang kaki lima di kawasan Gasibu?
2. Bagaimana latar belakang pendidikan pedagang kaki lima?
3. Apa pekerjaan mereka pada hari lain?
4. Faktor apa saja yang turut dipengaruhi oleh pilihan mata pencaharian mereka?
5. Apa pengaruh religiusitas pedagang dalam kehidupan ekonomi mereka?
6. Bahasa apa yang mereka gunakan?
7. Teknologi apa saja yang mereka gunakan dalam berdagang?
1.5 Tujuan Penelitian
1. Menggambarkan kebudayaan pedagang kaki lima ditinjau dari unsur ekonomi,
sistem pengetahuan, bahasa, sistem religi, teknologi, dan sistem kemasyarakatan.
2. Menemukan keterkaitan antarunsur pada tujuan pertama.
BAB II
LANDASAN TEORI
Dalam laporan ini, ada bebarapa teori yang kami gunakan untuk analisis sistem
kebudayaan PKL di Gasibu, yaitu:
2.1 Isi kebudayaan menurut C. Kluckholn
Kluckholn mengelompokkan unsur kebudayaan ke dalam tujuh unsur, yaitu.
1. Sistem peralatan & perlengkapan hidup.
2. Sistem mata pencaharian.
3. Sistem kemasyarakatan.
4. Bahasa.
5. Kesenian.
6. Sistem pengetahuan.
7. Sistem religi.
2.2 Teori J.G Frazer mengenai ilmu gaib dan religi
Teori ini menyatakan bahwa manusia memecahkan soal- soal hidupnya dengan akal
dan system pengetahuannya, tetapi akal dan system pengetahuan itu ada batasnya. Soal-
soal hidup yang tak dapat dipecahkan akal pikiran dipecahakan dengan magic, ilmu gaib.
2.3 Emergent Norm Theory (Turner Killian)
Bunyi teori ini yaitu interaksi yang tidak ada aturannya sering muncul aturan-aturan
baru yang diikuti oleh kerumunan.
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian yang kami lakukan melalui tiga metode yakni sebagai berikut:
3.1 Studi Literatur
Literatur yang kami gunakan sebagai metode penelitian berasal dari teori-teori di
internet dan buku yang menunjang penelitian kami.
3.2 Observasi
Observasi yang kami lakukan di sini maksudnya memantau dari dekat cara-cara
pedagang dan pembeli di Gasibu saling berinteraksi. Interaksi tersebut kami amati dengan
seksama, sehingga gambaran pola kebudayaan mereka bisa kami teliti.
3.3 Wawancara
Kami juga melakukan wawancara kepada beberapa pedagang di kawasan Gasibu
untuk mengetahui secara lebih detail mengenai sistem kebudayaan di kawasan tersebut.
Kami tidak menerapkan metode survei karena tingkat pendidikan mereka rendah
sehingga dikhawatirkan akan menyulitkan proses pengisian kuesioner.
Adapun data responden yang kami wawancarai yakni seperti berikut ini.
0.0020.00
40.0060.00
Suku (%)
54.50
9.127.3
9.1
Tdk MenyebutkanSumateraJateng & JatimJabar
Grafik 1. Data responden berdasarkan suku
Grafik 2. Data responden berdasarkan jenis kelamin
Grafik 3. Data responden berdasarkan tingkat pendidikan
0.0050.00
100.00
Jenis Kelamin
(%) 18.2081.8
Laki-lakiPerempuan
0.00 20.00 40.0060.00
Pendidikan (%)
9.1027.3
18.245.5
SMASMPSDTidak lulus SD
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1 Budaya PKL Menurut Persepsi Masyarakat
Pedagang kaki lima (PKL) merupakan komunitas pedagang yang tampak tidak asing
lagi di beberapa kota di Indonesia, khususnya Bandung, Jakarta, Surabaya, Yogyakarta,
serta seluruh kota besar dan kecil di Indonesia dipenuhi PKL. Bahkan di negara lain,
seperti Thailand, juga demikian.
Dari sudut pandang filsafat ekonomi, PKL adalah antitesis dominasi korporatisme
global yang mendominasi seluruh sudut kota dengan jaringan pertokoan ritel. Sebagai
antitesis, PKL adalah manifestasi perlawanan dari si kecil melawan si besar, yaitu
perlawanan pemodal kecil kepada pemodal besar yang mampu membangun pusat
pertokoan di berbagai lokasi strategis dengan biaya mahal.
Bagi konsumen, PKL adalah solusi pemenuhan kebutuhan di tengah harga-harga
yang melambung tinggi. Konsumen dengan daya beli rendah akan cenderung memilih
barang-barang dari PKL dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak hanya masyarakat
dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, masyarakat dari kalangan eknomi menengah
ke atas pun juga memilih berbelanja sebagian kebutuhan hidupnya di PKL. Tentu saja
terdapat simbiosis mutualisme antara konsumen dan PKL. Dengan demikian, pemerintah
sebagai pelayan masyarakat seharusnya tidak mengobrak-abrik PKL, tetapi
memberdayakannya.
Dari sisi budaya, PKL adalah penyemarak semangat budaya, ekonomi, dan pariwisata
suatu kota. Bukan sekadar penyemarak, PKL juga merupakan penanda atau ikon suatu
perkumpulan, pesta, dan kerumunan massa. Contohnya, pasar tumpah di berbagai sudut
kota pada hari Minggu, banyak yang melakukan aktivitas pagi di pusat keramaian
tertentu. Di Bandung, keramaian itu terkonsentrasi di Gasibu dan beberapa tempat lain.
Apabila dikaitkan dengan data dan sejarah ekonomi republik ini, harus diakui bahwa
usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yang di dalamnya termasuk PKL, sangat
berperan dalam membangun fondasi perekonomian nasional. Selain menyumbang produk
domestik bruto (PDB) sebesar Rp 1.505,3 triliun (30,3 persen), sektor usaha mikro juga
mampu menyerap 83.647.711 tenaga kerja (89,3 persen). Pelaku usaha mikro di negeri
kita mendominasi. Menurut basis data UMKM, jumlah usaha mikro di Indonesia sekitar
50,70 juta unit atau 98,9 persen.
Apabila dibandingkan dengan usaha besar yang hanya 43.700 unit dan menyerap 2,3
juta tenaga kerja (2,9 persen), usaha besar tersebut msmpu memberikan sumbangannya
bagi PDB yang relatif besar, terlihat jelas bahwa UMKM lebih berperan bagi
pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, untuk menciptakan kekuatan ekonomi
bangsa ke depan, diperlukan suatu transformasi atau upaya ekspansif dari pengusaha
mikro untuk memajukan usahanya. Dengan kata lain, perlu dilakukan ekspansi dari jenis
usaha mikro menjadi usaha kecil, sampai bertransformasi ke bentuk usaha menengah.
Berdasarkan hasil wawancara dan studi literatur yang telah dilakukan oleh kelompok
kami, persepsi yang meliputi pandangan dan enilaian masyarakat mengenai PKKL yang
menjamur di beberapa kawasan di kota Bandung, seperti Gasibu, Dalem Kaum, Pasar
Baru, dan wilayah lainnya, sebagaian besar mengungkapkan bahwa keberadaan PKL
menimbulkan dampak positif maupun negatif. Penilaian masyarakat yang sekaligus
menjdai fakta bagi keberadaan PKL adalah PKL cenderung mengganggu ketertiban dan
keindahan lingkungan, khususnya fasilitas umum, menjadi salah satu penyebab
kemacetan lalu lintas, ketersediaan fasilitas yang diberikan untuk melayani konsumen
sangat rendah, misalnya dari segi kebersihan, mutu, serta memiliki posisi yang lemh
terhadap hukum yang berlaku, hal ini disebabkan kegiatan berdagang yang dilakukan
PKL berada di tempat-tempat yang merupakan akses publik.
Dari sisi regulasi, keberadaan PKL yang semakin menjamur dan dinilai mengganggu
ketertiban umum tersebut mencerminkan ketidakpastian aturan yang ditetapkan dan
bermainnya oknum-oknum aparat yang menikmati jasa keamanan. Argumentasi inilah
yang dipergunakan aparat pemerintah untuk membubarkan PKL. Sesungguhnya
diperlukan kebijakan yang komprehensif dan berkelanjutan untuk menangani dan
memberdayakan PKL. Argumentasinya jelas, landasan konstitusional pemberdayaan
PKL diatur oleh kewajiban negara untuk memberikan penghidupan yang layak bagi
warga negaranya.
Faktanya, pelaku usaha PKL adalah mereka yang secara ekonomi lemah. Menjadi
PKL dilakukan demi menjaga kelangsungan hidup mereka, bukan untuk memperkaya
diri. Dengan demikian, keberadaan PKL harus dijaga dan diberdayakan, sehingga
aktivitas ekonomi (perdagangan) tetap dapat dilakukan, namun di sisi lain penegakan
keamanan dan ketertiban masyarakat pun tetap berjalan.
Pemberdayaan tersebut dapat dilakukan dengan beberapa langkah. Pertama,
melakukan edukasi mengenai aturan hukum dan kesadaran keagamaan. Dalam konteks
ini, jangan ada sikap rancu dan premanisme. Jika kebijakannya ambigu, di satu sisi
dibubarkan dan di sisi lain dimintai setoran, selama itu PKL akan ada. PKL adalah wajah
kebobrokan oknum aparat keamanan dan ketertiban negara.
Dalam edukasi dan pembinaan keagamaan, sebaiknya dilakukan kerja sama dengan
organisasi keagamaan yang dekat dengan wilayah tersebut. Selain itu, PKL harus
diorganisasi agar keanggotaannya terkontrol dan tidak terjadi hukum rimba. Selama ini
pengorganisasian lebih untuk kepentingan memungut retribusi dibandingkan dengan
pembinaan. Lebih lanjut, di setiap wilayah didirikan koperasi sebagai lembaga yang
menaungi para anggota PKL yang telah diorganisasi itu.
Kedua, PKL yang lokasinya tidak mengganggu ketertiban umum sebaiknya terus
dibina dan diberdayakan untuk menjadi duta pariwisata. PKL yang dilokalisasi di daerah
tertentu, dengan keunikannya, dapat menjadi aset pariwisata.
Ketiga, edukasi dan pembinaan sebaiknya diarahkan juga pada upaya untuk
menaikkelaskan PKL. Keberadaan koperasi dan lembaga keuangan penting agar PKL
yang omzetnya ratusan ribu rupiah naik kelas menjadi ratusan juta rupiah. Berbagai
pelatihan bidang administrasi dan akses ke perbankan harus dilakukan.
Keempat, konsistensi pemerintah daerah mutlak diperlukan. Pemerintah daerah harus
melihat PKL sebagai aset ekonomi yang mampu menggerakkan ekonomi masyarakat
lebih baik, bukan sebaliknya dipandang sebagai pengganggu ketertiban dan sumber
retribusi semata. Pemerintah daerah harus mengatur PKL di lokasi yang strategis dan
selama ini banyak pembeli tanpa mengganggu ketertiban. Komitmen itu harus dibangun
kelompok PKL yang diorganisasi sehingga merekalah yang menjaga agar lokasi
usahanya tetap tertib.
Selama ini PKL menolak pemindahan karena lokasi yang ditawarkan selalu
bermasalah. Ini soal moralitas kepemimpinan. Pemerintah harus berpihak kepada PKL.
Usia usaha PKL sama dengan usia keberadaban manusia yang mulai mengenal pasar
sebagai pusat kegiatan ekonomi. Jadi, secara antropologis, PKL adalah kebudayaan
ekonomi yang telah lama ada dan penting bagi kehidupan manusia. Jika demikian, yang
penting adalah memberdayakan, bukan membubarkannya sebab PKL pun harus dapat
memenuhi kebutuhan demi kelangsungan hidupnya.
Di balik fakta keberadaan PKL yang dinilai mengganggu ketertiban, khususnya PKL
yang menggunakan fasilitas umum dalam berdagang, minat masyarakat untuk terjun
melibatkan diri dalam aktivitas jual beli atau berbelanja, semakin lama semakin
meningkat. Sebagai contoh, PKL yang berdagang di pasar Minggu di kawasan Gasibu,
setiap minggunya dipadati oleh ratusan warga yang hendak berbelanja atau sekadar cuci
mata sambil berolahraga di daerah tersebut. Masyarakat yang terlibat dalam aktivitas jual
beli tersebut berasal dari berbagai wilayah, bukan hanya dari sekitar Gasibu, namun dari
daerah lain di Bandung, Kabupaten Bandung, bahkan hingga dari luar Jawa Barat serta
luar Pulau Jawa, seperti Padang atau Jambi.
Masyarakat yang terlibat dalam aktivitas jual beli di kawasan Gasibu setiap
minggunya bukan hanya didominasi oleh masyarakat menengah ke bawah, masyarakat
dari kalangan menengah ke atas pun turut serta dalam roda rutinitas tersebut. Ada yang
hanya datang untuk berbelanja atau mencuci mata dan berolahraga, namun ada juga
warga yang berasal dari kalangan menengah ke atas yang ikut berjualan dengan cara
membuka tenda atau menggunakan mobil, tidak jarang mobil yang digunakan untuk
berjualan adalah mobil yang mewah. Kesempatan adanya pasar Minggu di Gasibu ini
juga tidak jarang dimanfaatkan oleh para siswa atau mahasiswa untuk ikut berjualan
barang-barang sederhana, dari hasil dagangannya tersebut kemudian digunakan untuk
mendanai suatu kegiatan di sekolah atau kampusnya. Dari beragam aktivitas dan pelaku
yang terlibat dalam perputaran roda ekonomi, khususnya di Gasibu setiap minggunya,
dapat diketahui bahwa kegiatan ekonomi tersebut telah mampu menggerakkan berbagai
lapisan masyarakat untuk ikut serta dalam salah satu bentuk roda perekonomian dan tentu
saja memberikan akses untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang terlibat di
dalamnya. Kondisi yang lahir akibat kegiataan tersebut, seperti kemacetan lalu lintas,
lingkungan yang kotor, kurangnya ketertiban dan keamanan di kawasan tersebut, menjadi
sisi lain yang berdampak buruk bagi kota Bandung. Oleh karena itu, untuk
mengoptimalkan potensi ekonomi yang dapat dihasilkan dari aktivitas pasar Minggu di
Gasibu, juga di beberapa kawasan lain di kota bandung dan kota-kota lainnya, diperlukan
suatu manajemen atau pengelolaan keberadaan dan aktivitas PKL yang baik, baik dari
segi tempat, pelayanan ketertiban dan keamanan, serta keindahan, sehingga penegakkan
hukum untuk keanaman dan ketertiban serta kesejarteraan masyarakat dapat ditegakkan
dan tidak merugikan masyarakat.
Sebagai masyarakat tentu saja kita semua berharap agar pemerintah daerah bukan
hanya mengejar keuntungan semata, namun tetap memberikan perhatian penuh terhadap
sektor ini. Bangunan-bangunan yang menjulang tinggi, sudah seharusnya dilengkapi
basement untuk para PKL. Memang dari sisi keuntungan, tidak akan menguntungkan
penyediaan basement untuk PKL dibandingkan dengan mall atau pusat-pusat perkantoran
maupun hotel-hotel, tetapi apabila hal ini dapat dilakukan, masyarakat akan melihat
pemerintah daerah mampu menjalankan kewajiban moralnya karena PKL eksistensinya
dilindungi undang-undang dan sebenarnya penertiban terhadap mereka tanpa
memberikan solusinya dapat melanggar HAM yang berkaitan dengan hak ekonomi,
sosial, dan budaya.
4.2 Sistem Bahasa
Bahasa merupakan salah satu komponen dalam kebudayaan, seperti yang terdapat
dalam teori yang dikemukakan oleh C. Kluckholn. Bahasa adalah salah sarana interaksi
dan komunikasi agar makna dan tujuan dari topik yang dibicarakan dapat tersampaikan
dengan baik. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi langsung yang dilakukan di
pasar Minggu Gasibu, dapat diketahui bahwa bahasa yang digunakan oleh para pedagang
bervariasi, antara lain :
1. bahasa Indonesia
2. bahasa Sunda
3. bahasa Minang
4. bahasa Jawa
5. bahasa Melayu
6. campuran dari beberapa bahasa tersebut
Penggunaan bahasa tersebut dapat dilihat dari komunikasi pedagang dengan pembeli
dan pada saat menawarkan barang dagangannya dan dari hasil wawancara yang
dilakukan untuk mengetahui beberapa kebiasaan yang umumnya dilakukan oleh
pedagang tersebut.
Komunikasi menggunakan bahasa tersebut atau campuran dari beberapa bahasa atas
dilakukan antar sesama pedagang dan pada saat berinteraksi dengan pelanggannya.
Umumnya, pedagang yang berasal dari daerah Jawa Barat (suku Sunda) melakukan
komunikasi menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa yang digunakan sehari-hari juga
dengan pedagang lainnya, namun untuk pedagang yang berasal dari luar Jawa
Barat/bukan suku Sunda berinteraksi menggunakan campuran bahasa Indonesia dengan
bahasa Sunda dan bahasa dari daerah asalnya. Dalam berkomunikasi dengan rekan-
rekannya yang berasal dari daerah yang sama biasanya mereka menggunakan bahasa
daerah mereka masing-masing. Meskipun beberapa pedagang menggunakan bahasa
Indonesia atau bahasa Sunda dalam berinteraksi dengan pembeli atau pedagang lainnya,
dialek/logat daerah asal mereka, seperti Padang atau Batak, tetap tampak dan menjadi ciri
tersendiri.
Pedagang di Gasibu sebagian besar berasal wilayah Jawa Barat (suku Sunda) dan
Sumatra seperti Padang, Medan, dan Jambi, namun mayoritas bahasa yang umum
digunakan adalah bahasa Indonesia dan Sunda. Pada intinya bahasa yang digunakan oleh
pedagang mengikuti bahasa yang digunakan oleh pembelinya yang kadang berbahasa
Sunda, Indonesia maupun campuran Indonesia Sunda, disini pedagang menyesuaikan diri
dengan pembelinya agar komunikasi berjalan dengan baik, sehingga proses tawar-
menawar barang yang dapat berjalan dengan nyaman dan akhirnya pembeli tertarik untuk
membeli barang dagangannya. Beberapa pedagang dari luar suku Sunda pun ternyata bisa
berbahasa Sunda karena mereka menyadari bahwa mereka berada di tanah Sunda. Oleh
karena itu, berdasarkan hasil survey dapat diketahui bahwa dalam komunitas pedagang di
Gasibu telah terjadi suatu proses adaptasi yang dilakukan oleh para PKL terhadap bahasa
yang umumnya digunakan di lingkungan tempat mereka berada sekarang. Setiap
organisme selalu melakukan proses adaptasi terhadap lingkungannya agar tetap survive.
4.3 Sistem Religi
Agama yang dianut sebagian besar PKL di gasibu adalah Islam. Sebagian besar dari
mereka mengaku tetap menjalankan ibadah di sela-sela kesibukan perdagangannya
walaupun tidak tepat waktu. Sehari-hari mereka juga rutin menjalankan ibadah.
Di kalangan pedagang, dikenal istilah benda penglaris, yaitu benda yang dipercaya
bisa membuat barang dagangan mereka laku. Salah satu bentuknya yang berhasil kami
ketahui yaitu uang dari pembeli pertama. Pedagang mengibas-ngibaskan uang tersebut ke
barang dagangan.
Fenomena ini sesuai dengan teori J.G Frazer mengenai ilmu gaib dan religi. Teori ini
mengatakan bahwa manusia memecahkan soal-soal hidupnya dengan akal dan sistem
pengetahuannya, tetapi akal dan sistem pengetahuan itu ada batasnya. Soal-soal hidup
yang tak dapat dipecahkan akal pikiran, dipecahkan dengan magic atau ilmu gaib.
Apalagi tingkat pendidikan pedagang rendah. Semakin rendah pendidikan,
kemampuan pikiran seseorang rendah. Dan semakin rendah kemampuan pikiran itu,
semakin mudah mereka meyakini ilmu gaib.
Namun tidak semua pedagang menjalani ritual tersebut. Mereka meyakini bahwa
agama yang mereka anut melarang hal tersebut.
4.4 Teknologi
PKL di gasibu sebagian besar tidak menggunakan teknologi tinggi dalam proses
jualannya, hanya alat-alat sederhana yang untuk operasionalnya dilakukan secara manual
seperti kalkulator atau timbangan yang dugunakan, tapi barang2 tersebut juga hanya
digunakan oleh sebagian kecil pedagang sesuai dengan kebutuhannya. Jadi pada intinya
penyerapan unsur teknologi pada PKL gasibu untuk aktivitas berjualannya sangat minim,
tetapi untuk aktivitas kehidupan pribadinya para PKL menerapkan teknologi karena pada
umumnya mereka memiliki HP untuk kemudahan berkomunikasi. Penerapan teknologi
hanya sesuai dengan kebutuhan yang bias membantu kelancaran dalam beraktivitas
sebagai pedagang kaki lima, karena dalam situasi berjualan di jalan seperti yang
dilakukan PKL yang terpenting adalah pelayanan yang cepat dan memuaskan. System
perdagangan masih terbilang sederhana, maka dalam aktivitanya pun tidak diperlukan
penerapan penggunaan barang berteknologi tinggi.
4.5 Sistem Kemasyarakatan
Sistem kemasyarakatan secara umum menurut Emergent Norm Theory (Turner
Killian) menyatakan bahwa interaksi yang tidak ada aturannya sering memunculkan
aturan-aturan baru yang diikuti oleh kerumunan tersebut. Jadi ada semacam suatu
interaksi yang terjadi yang dilakukan oleh anggota dari masyarakat tersebut, dan interaksi
tersebut dilakukan secara berulang-ulang. Akibatnya, setelah dilakukan secara berulang-
ulang, interaksi ini menjadi suatu yang diikuti oleh anggota masyarakat lainnya, sehingga
menjadi suatu kebiasaan atau tradisi di lingkungan masyarakat tersebut. Aspek ini dalam
antropologi disebut juga sebagai sistem kemasyarakatan.
Dalam studi kasus kelompok kami mengenai sistem kemasyarakatan para pedagang
kaki lima (PKL) di Gasibu Bandung, kami mendapatkan beberapa poin-poin penting
yang cukup menarik perhatian kami mengenai sistem kemasyarakatan yang berlaku di
antaa para pedagang kaki lima di Gasibu ini:
Gasibu ramai dipenuhi oleh para PKL terutama pada hari minggu, sejak subuh
hingga sore hari
Para PKL hanya saling mengenal dengan PKL lainnya yang lokasi berjualannya
berdekatan saja
Topik pembicaraan antara pedagang biasanya menyangkut keadaan dagangannya
Para PKL telah terkoordinasi dengan baik, misalnya para pedagang tidak saling
berebutan tempat jualan
Perizinan cukup hanya kepada RT atau RW setempat
Iuran kepada Pemda tergantung besar / kecilnya dagangan
Polisi ikut ambil bagian dalam menerima uang iuran dari para pedagang ini
Dalam sistem kemasyarakatan yang terjadi di Gasibu ini, unur-unsur yang terdapat di
dalamnya antara lain adalah pedagang, pembeli, preman, serta aparat, baik aparat dari
pemda maupun aparat kepolisian. Interaksi yang terdapat di dalam sistem
kemasyarakatan Gasibu ini, selain interaksi antara pedagang dengan pembeli, adalah
interaksi antara pedagang dengan pedagang, pedagang dengan preman, serta pedagang
dengan aparat.
Para padagang di Gasibu saling mengenal satu sama lain dengan pedagang lainnya
tetapi hanya di kawasan yang terbatas, yaitu terbatas hanya dengan pedagang yang berada
si sekitar tempat jualannya saja. Selain mengenal pedagang lainnya karena lokasi yang
berdekatan, para pedagang ini juga umumnya saling mengenal para pedagang lainnya
yang memiliki kesamaan latar belakang seperti asal daerah, suku, ras, ataupun agama.
Akan tetapi, menurut analisis kelompok kami, alasan yang paling mendasar dalam
terciptanya relasi sistem kemasyarakatan yang baik antara sesama pedagang di Gasibu
adalah adanya kesamaan kepentingan. Karena adanya kesamaan tujuan yang ingin
dicapai, yaitu mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan hidup inilah, maka tercipta
suatu komunitas pedagang kaki lima di Gasibu Bandung ini. Oleh sebab itu, topik
pembicaraan yang umunya berlangsung antar para pedagang ini adalah topik
pembicaraan yang mengenai kondisi jualannya masing-masing.
Jika diperhatikan PKL di gasibu bisa dikatakan terkoordinasi dengan baik, karena
mereka menempati lokasi berjualan yang sama setiap minggunya. Tidak terjadi perebutan
lokasi berjuaan antar pedagang sehingga mereka dapat berjualan dengan damai.
Sebenarnya para pedagang dapat terkoordinasi dengan baik seperti ini dikarenakan
terdapat pihak yang mengaturnya yaitu para aparat. Aparat di sini adalah orang-orang
yang dianggap berkuasa di daerah tersebut serta disegani. Oleh karena itu, aparat di sini
terdiri dari para preman, pemda, serta polisi. Berdasarkan survey lapangan yang kami
lakukan, diperoleh informasi bahwa para pedagang yang hendak berjualan di Gasibu ini
terlebih dahulu harus membayar uang sewa atau yang disebut sebagai “iuran keanggotaan
tahunan” kepada asosiasi atau perkumpulan pedagang di Gasibu. Selain itu, setiap kali
berjualan, para pedagang ini juga harus membayar berbagai macam retribusi kepada para
preman maupun juga pemda, dimana dalam seharinya, mereka harus membayar hingga 3-
4 kali retribusi, seperti retribusi keamanan, kebersihan, dan lain-lain. Kami belum sempat
melakukan analisa yang lebih dalam mengenai “asosiasi pedagang” yang disebut-sebut
oleh para pedagang sebagai asosiasi yang memberikan perijinan kepada mereka, apakah
“asosiasi” ini benar merupakan perkumpulan dari para pedagang yang berjualan di
Gasibu, ataukah merupakan bentuk dari “aparat-aparat” yang mengkoordinasi para
pedagang ini. Dengan membayar uang iuran tahunan dan uang retribusi ini, para
pedagang tidak perlu khawatir lapaknya akan direbut oleh pedagang lainnya karena para
aparat ini yang akan menanganinya, sehingga perebutan tempat dapat dihindari.
Selain itu, kelompok kami juga menemukan suatu fenomena yang menarik terkait
dengan keterlibatan aparat kepolisian sistem kemasyarakatan para pedagang di Gasibu.
Kami menemukan bahwa secara berkala pada waktu-waktu tertentu, lewat mobil polisi di
sekitar Gasibu. Dan setelah diselidiki, ternyata polisi ini menerima uang dari petugas
pemda dan juga preman-preman sekitar. Ternyata uang yang diberikan kepada polisi ini
adalah uang yang berasal dari iuran yang dikumpulkan oleh para preman dan petugas
pemda dari para pedagang. Jadi, kami menyimpulkan bahwa petugas pemda dan para
preman pun juga ikut membayar “iuran” kepada pihak yang berwajib atau polisi untuk
turut serta menjaga keamanan di Gasibu dan sekitarnya. Jadi terdapat keterlibatan pihak
formal yaitu polisi di sektor informal yaitu para pedagang ini. Sebenarnya fenomena ini
sangat menarik untuk ditelaah lebih dalam lagi, namun karena katerbatasan akses serta
waktu dan tema yang diberikan sebagai tugas kami, maka kami tidak menyelidiki secara
lebih dalam lagi mengenai fenomena keterlibatan pihak polisi dalam sistem
kemasyarakatan para pedagang kaki lima di Gasibu ini.
Fenomena ini sesuai dengan teori Emergent Norm Theory. Teori ini berbunyi,
interaksi yang tidak ada aturannya sering muncul aturan-aturan baru yang diikuti oleh
kerumunan. Pada awalnya kawasan bukan merupakan pasar kaget seperti ini, melainkan
pusat olahraga. Lama-kelamaan, berdatanganlah para pedagang sedikit demi sedikit. Saat
itu belum ada aturan yang mengikat di antara mereka. Kini, para pedagang telah memiliki
aturan tidak tertulis yang disepakati bersama, sebagaimana yang telah kami jelaskan
sebelumnya.
4.6 Sistem Ekonomi
Setiap hari minggu gasibu merupakan kawasan yang ramai dikunjungi orang, dengan
alasan inilah PKL berjualan disana, namun jika bukan hari minggu PKL ini berjualan di
tempat lain, bahkan melakukan profesi yang lain seperti menjadi kuli bangunan.
Berdasarkan sumber modalnya PKL disana dikelompokan menjadi 2 yaitu
1. PKL modal Pribadi : barang yang dijual berasal dari modal sendiri
2. PKL modal non pribadi : modal berasal dari pihak lain, PKL hanya menjualkan
barang milik orang lain.
Keduanya memiliki sisi positif maupun negatifnya bagi PKL, PKL modal pribadi
memiliki resiko yang tinggi dalam kegiatannya karena ia harus menanggung resiko
kehilangan modal akibat kerugian, namun keuntungan yang diperoleh 100% adalah
miliknya sehingga penghasilan lebih besar. PKL modal non-pribadi tidak menanggung
resiko kerugian, kerugian ditanggung oleh pemilik modal, tetapi pendapatan yang
diperoleh sedikit karena keuntungan jualan harus dibagi dengan pemilik modal.
Berdasarkan cara mendapatkan barang, PKL diGasibu dibagi menjadi 4 kelompok
1. pedagang yang membuat barang dagangannya sendiri contoh : pedagang makanan
2. Pedagang kulakan, pedagang yang membeli barang dagangannya secara glosiran
contoh pedagang sepatu, tas
3. Pedagang yang menjualkan barang dagangan orang lain (majikan)
4. Pedagang dadakan : sebenarnya meraka adalah karyawan sebuah toko, dimana
pada hari minggu toko tersebut membuka lapak di gasibu dan para karyawannya lah
yang disuruh berjualan disana.
Kebanyakan menyatakan dengan pendapatan mereka, mereka dapat hidup
berkecukupan secara sederhana dan mereka juga selalu mengusahakan untuk
menyisihkan pendapatan mereka untuk dapat ditabung atau adapula keuntungan yang
diperoleh dibelikan lagi barang dagangan sebagai tambahan modal pendapatan yang
diperoleh beragam, pada umumnya pedagang yang berjualan dengan modal yang besar
memperoleh pendapatan yang besar pula, jadi pendapatan berbanding lurus dengan
modal.
4.7 Sistem Pengetahuan
Dilihat dari latar belakang pendidikan PKL digasibu paling tinggi adalah SMA,
bahkan ada PKL yang tidak tamat SD, jadi bisa dikatakan bahwa latar pendidikan PKL di
Gasibu Rendah. faktor kuat yang bisa menyebbabkan hal ini yaitu latar belakang
perekonomian PKL yang berasal dari kalangan ekonomi menenah ke bebawah sehingga
tidak ada biaya untuk bersekolah tinggi.
Namun dari hasil wawancara ternyata sebagian besar PKL menyekolahkan anaknya,
tetapi ada pula yang tidak menyekolahkan anaknya (mungkin putus sekolah atau anaknya
memang bukan usia belajar), berati kesadaran pentingnya pendidikan bagi PKL sudah
ada tetapi bukan menjadi prioritas yang utama. Pendidikan merupakan hal yang selalu
berbenturan dengan perekonomian, pada dasarnya orang akan mendahulukan
kepentingan sandang pangan demi kelangsungan hidupnya, dan jika ada kelebihan maka
kelebihan itu digunakan untuk keperluan lain seperti pendidikan.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah disebutkan sebelumnya, beberapa kesimpulan yang bisa
diambil antara lain:
1. Relasi sosial pedagang kaki lima di kawasan Gasibu cukup baik, meski terkotak-
kotak.
2. Pedagang meyakini religi, atau hal gaib/magis mempengaruhi kehidupan mereka.
3. Ada hubungan antara sistem pengetahuan dengan sistem ekonomi.
4. Teknologi yang digunakan untuk berdagang masih sederhana.
5. Secara umum, PKL menggunakan bahasa Sunda dan Indonesia untuk
berkomunikasi.
5.2 Saran
1. Saran Kepada pemerintah
Pemerintah hendaknya menertibkan perdagangan di Gasibu. Penertiban yang dapat
dilakukan misalnya memperjelas perizinan dan biaya retribusi. Pemerintah hendaknya
mentertibkan pelaku pemungutan iuran liar. Pemerintah hendaknya memperbaiki
pendidikan sehingga mudah diakses dan memperbaiki kualitas pendidikan agar
lulusannya bermutu
2. Kepada peneliti
Perlu diadakan penelitian yang lebih mendalam dan terfokus lagi. Sebab, penelitian
yang kami lakukan berfungsi sebagai pembuka jalan karena kami hanya memaparkan
keseluruhan keadaan secara umum. Penelitian selanjutnya yang dapat dilakukan adalah
penilitian terhadap masing-masing unsur.
BAB VI
HASIL DISKUSI DI KELAS
6.1 Pertanyaan Taruna
1. Mengapa jumlah pedagang kaki lima di gasibu terus bertambah, padahal
tanggapan terhadap keberadaan PKL ini negatif?
Jawab: Meskipun merugikan pengguna kendaraan bermotor, banyak orang yang
merasa diuntungkan dengan adanya PKL tersebut, yaitu para pembeli. Mereka bisa
mendapatkan barang yang beraneka ragam dengan harga terjangkau.
2. Penghasilan PKL yang dipaparkan penyaji merupakan pendapatan atau laba?
Jawab: Pendapatan. Para pedagang tidak bisa menjawab dengan baik ketika ditanya
mengenai keuntungan. Hal ini disebabkan oleh sederhananya manajemen keuangan
mereka.
3. Apakah kalian menemukan kalangan atas yang berjualan di gasibu?
Jawab: Selama proses pengamatan dan wawancara, kami tidak menemukannya.
6.2 Pertanyaan Hamzah
1. Apakah kalian menemukan PKL gasibu yang sebenarnya bukan pedagang,
mahasiswa yang berdagang misalnya?
Jawab: Kami tidak menjumpai mahasiswa yang berdagang di Gasibu.
2. Sistem retribusi disana ilegal atau legal? Bagaimana tanggapan para PKL dan aparat?
Jawab: Retribusi atau iuran yang dikenakan kepada pedagang ada dua macam, yaitu
tahunan dan harian. Iuran tahunan sebesar Rp 150.000,00 per tahun. Iuran ini
dikenakan kepada pedagang bermodal besar. Sedangkan iuran harian besarnya antara
Rp 500,00 sampai dengan Rp 1.000,00. Dalam sehari, mereka biasanya ditarik tiga
sampai empat kali. Jadi, rata-rata iuran yang mereka keluarkan Rp 1.500,00 sampai
dengan Rp 4.000,00 per hari. Kami belum mengetahui apakah iuran tersebut ilegal
atau legal sebab kami belum melakukan cross check ke pengurus RT ataupun
pemerintah baik provinsi maupun kota.
6.3 Pertanyaan Iman
1. Sejarah cikal bakal gasibu?
Jawab: Gasibu dahulu bukan merupakan tempat perdagangan seperti sekarang ini.
dahulu, Gasibu adalah kawasan pusat olahraga. Karena ramai dikunjungi, sedikit
demi sedikit pedagang berdatangan. Lama kelamaan, pedagang yang datang semakin
banyak hingga jumlahnya sebanyak sekarang.
2. Apakah antar pedagang ada lokalisasinya, misalnya daerah barat kawasan pedagang
padang, yang daerah lain kawasan pedagang sunda?
Jawab: Kami tidak menemui realita seperti itu.
3. Barang yang paling laris?
Jawab: Barang-barang yang dijual meliputi pakaian, makanan, dan aksesoris.
Bahkan ada pula yang menjual hewan dan tenda. Menurut pengamatan kami, secara
umum semua barang dagangan laris.
6.4 Pertanyaan Esa
1. keberadaan PKL gasibu legal atau illegal?
Jawab: Sebagian pedagang mengaku telah mengurus perizinan ke pemerintah.
Namun demikian, sebagian besar pedagang menyatakan tidak perlu mengurus izin.
3. ada aturan tertulis atau tidak?
Jawab: Tidak ada aturan tertulis. Akan tetapi, ada aturan tidak tertulis yang
dijalankan oleh pedagang.
4. jika terjadi konflik,,siapa yang akan menangani?
Jawab: Jarang sekali terjadi konflik di sini. Dahulu, sering terjadi konflik perebutan
tempat dagangan. Namun sekarang sudah tidak lagi.
6.5 Pertanyaan Jupiter
1. Apa kaitan antara hal gaib dengan konsep teori yang diajukan kelompok anda?
Jawab: Dalam memutuskan sesuatu, manusia menggunakan pengetahuannya.
Apabila pengetahuannya terbatas, manusia akan memutuskan dengan ilmu gaib.
2. Apa ada tindakan dari polisi atas pungutan liar?
Jawab: Pungutan liar ini sudah banyak dan rutin terjadi dalam waktu lama.
Berdasarkan keadaan ini, kemungkinan aparat penegak hukum belum mengambil
tindakan tegas.
DAFTAR PUSTAKA
Keesing, Roger M. Teori-Teori Tentang Budaya. Jurnal Antropologi No 52.
Musthofa Chabib. Handout Antropologi.
http://ekonomi.kompasiana.com/2009/11/17/memberdayakan-pkl/
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/08/28/10164253/pkl.terus.jejali.kota.bandung