bab i - iii ku coii

Upload: ika-wirya-wirawanti

Post on 15-Jul-2015

70 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Di seluruh dunia, kemajuan yang terjadi pada era globalisasi telah mengubah cara pandak penduduk dunia dan melahirkan kebiasaan-kebiasaan baru yang tidak sesuai dengan gaya hidup sehat (Cahyono, 2008). Hal ini berpengaruh pada angka kejadian Penyakit Tidak Menular (Noncommunicable Diseases) terutama di negara-negara dengan tingkat income rendah sampai menengah. Dalam beberapa dasawarsa ke depan diprediksi akan menunjukkan trend yang semakin meningkat. Hal ini terkait erat dengan perilaku yang berisiko untuk terkena penyakit tidak menular. Peningkatan angka Penyakit Tidak Menular (PTM) dapat menyebabkan kenaikan beban pada negara, salah satunya adalah beban ekonomi karena penyakit ini dapat mempengaruhi pertumbuhan, kecerdasan, dan produktivitas kerja individu sehingga secara langsung berhubungan dengan pendapatan keluarga dan sampai pada penurunan pertumbuhan ekonomi Negara. Prevalensi PTM Dari sisi mortalitas dan morbiditas, Laporan Badan Kesehatan Dunia PBB (WHO), dari 57 juta kematian di seluruh dunia pada 2008, 36 juta atau 63% di antaranya disebabkan oleh penyakit tidak menular terutama penyakit kardiovaskular, diabetes, kanker, dan penyakit saluran pernafasan kronik. Selain itu, data WHO menunjukkan angka kejadian PTM meningkat di negara-negara berkembang, hampir 80% dari seluruh kematian akibat PTM terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan

menengah, kecuali Afrika. Pada tahun 2004 WHO melaporkan kematian di dunia akibat penyakit jantung iskemik sebesar 7,2 juta (12,6%), cerebrovascular 5,5 juta (9,7%), Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 2,7 juta (4,8%), kanker paru 1,2 juta (2,2%), dan diabetes mellitus 1 juta (1,7%). Menurut profil pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan (2006) prevalensi penyakit tidak menular di dunia pada tahun 2005 mencapai 61%. Di Indonesia sendiri, menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) terjadi peningkatan angka kejadian penyakit tidak menular dari 7,5% pada tahun 2001 menjadi 10,4% pada tahun 2004. PTM mengakibatkan 56% dari kematian serta 44% dari beban penyakit di Asia Tenggara yang menurut data Kementerian Kesehatan 1995 proporsi kematian di Indonesia adalah 41,7% meningkat menjadi 49,9% pada 2001 dan meningkat lagi menjadi 59,5% di tahun 2007. Hal yang mengkhawatirkan adalah hampir setengah dari kematian akibat PTM terjadi pada usia lebih dini dan usia produktif (35-60 tahun) yang dapat menjadi ancaman serius bagi tingkat sosial ekonomi masyarakat, terlebih bagi negara berkembang seperti Indonesia yang penduduknya kebanyakan miskin menyebabkan terbatasnya akses pelayanan kesehatan sehingga PTM tidak menutup kemungkinan akan semakin meningkat. Meningkatnya prevalensi penyakit tidak menular salah satunya disebabkan karena terjadinya perubahan perilaku masyarakat, perubahan gaya hidup masyarakat menjadi gaya hidup tidak sehat seperti perubahan pola konsumsi makanan tidak seimbang dan penurunan aktivitas fisik. Hal ini tak lain dikarenakan globalisasi yang mempengaruhi urbanisasi, pertumbuhan ekonomi, perubahan teknologi di rumah dan tempat kerja, kemudahan transportasi,

industrialisasi, promosi makanan dan minuman, serta pertumbuhan media massa (Popkin, B., 2001). Adapun indikator gaya hidup sehat menurut Depkes (2002) yaitu perilaku tidak merokok, pola makan seimbang, dan aktivitas fisik yang teratur. Indikator hidup sehat yang dinyatakan Depkes telah diidentifikasi dan sejalan dengan issue global dan regional. Masalah rokok telah menjadi issue global, karena selain mengakibatkan berbagai penyakit, rokok juga dipercaya sebagai entry point untuk narkoba. Pola makan yang tidak seimbang berakibat buruk bagi kesehatan pada semua golongan umur. Kurang aktivitas fisik dapat mengakibatkan metabolisme tubuh terganggu. Apabila hal ini berlangsung lama maka akan menyebabkan berbagai penyakit. Laporan Kesehatan Dunia tahun 2002 melaporkan kejadian penyakit tidak menular dan hubungannya dengan pola konsumsi dan pola aktivitas fisik. Faktor resiko umum berupa pola konsumsi yang salah yakni konsumsi makanan tidak beragam, makanan tidak bergizi seimbang, dan tidak aman serta penurunan aktivitas fisik yakni aktivitas fisik yang tidak cukup dan tidak teratur merupakan faktor resiko penting yang harus sangat diperhatikan untuk mencegah kejadian penyakit tidak menular atau paling tidak menurunkan komplikasi penyakit. Departemen Pertanian, 2005 mengemukakan yang dimaksud dengan pola makan seimbang adalah pangan yang dikonsumsi harus memenuhi kualitas (mutu) maupun kuantitas (jumlah) dan terdiri dari sumber karbohidrat (kelompok pangan padi-padian dan umbi-umbian), sumber protein hewani dan nabati (pangan hewani dan kacang-kacangan), penambah citarasa/ pelarut vitamin (minyak dan lemak, buah biji berminyak, gula), serta vitamin dan mineral. Sementara pola aktivitas

fisik yang sehat menurut Bustan (2007) adalah melakukan kegiatan aktivitas yang teratur. Aktivitas fisik adalah pergerakan tubuh yang menyebabkan pengeluaran tenaga (pembakaran kalori), yang meliputi aktivitas sehari-hari dan berolahraga. Aktivitas fisik yang ideal adalah aktivitas yang dapat meningkatkan ketahanan jantung respirasi, disamping juga melatih ketahanan dan kekuatan otot. Pada Sidang Kesehatan Dunia tahun 2004 disahkan Global Strategy on Diet, Physical Activity, and Health atau Strategi Global pada Pola Konsumsi, Aktivitas Fisik, dan Kesehatan yang tujuan utamanya adalah untuk menurunkan faktor resiko PTM dengan pendekatan upaya preventif dan promotif, melalui peningkatan kesadaran para penentu kebijakan di semua sektor termasuk masyarakat madani, swasta dan media baik cetak maupun elektronik. Untuk pengaktualisasiannya pemerintah memiliki peran sentral, bekerja sama dengan stakeholder lainnya, untuk menciptakan lingkungan yang memberdayakan dan mendorong perubahan perilaku oleh individu, keluarga dan masyarakat, untuk membuat perilaku yang positif, peningkatan kualitas kehidupan dengan cara pengaplikasian diet sehat dan pola aktivitas fisik. Baik di perdesaan maupun di perkotaan, perubahan perilaku pola konsumsi dan aktivitas ini menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. Mobilitas yang sangat tinggi di kota besar membuat orang cenderung mengkonsumsi makanan cepat saji tanpa mempertimbangkan kandungan gizinya yang umumnya tidak bergizi seimbang yaitu tinggi lemak dan garam, serta rendah kandungan seratnya juga minuman tidak sehat yang tinggi gula dan kalori. Hal ini diperparah dengan fisik yang tidak aktif bergerak rutin karena kemudahan sarana transportasi

dan jenis pekerjaan yang membuat pekerja relatif statis untuk waktu lama padahal sudah bukan rahasia lagi jika kegiatan fisik yang rutin dilakukan bisa meningkatkan daya reaksi, konsentrasi, kreativitas dan kesehatan mental dikarenakan tubuh memompa lebih banyak darah sehingga kadar oksigen dalam peredaran darah juga meningkat yang ujungnya mempercepat pemasukkan darah ke otak (Supriyono, 2008). Penelitian menunjukkan adanya hubungan aktivitas fisik yang rendah dengan kejadian obesitas. Individu dengan aktivitas fisik yang rendah mempunyai resiko peningkatan berat badan sebesar 5 kg (Chandra, S. dkk., 2007). Di Indonesia, menurut data Riskesdas 2007 penduduk yang kurang mengonsumsi sayur dan buah adalah sebanyak 93,6% sementara penduduk berumur di atas 10 tahun yang kurang melakukan aktivitas fisik adalah sebanyak 48,2%. Hal ini sejalan dengan pernyataan Depkes (2002) bahwa pada tahun 2000 penduduk Indonesia yang berusia lebih dari 10 tahun hanya 5,53% saja yang melakukan olahraga secara teratur. Prevalensi ini hampir sama pada penduduk kaya maupun miskin. Hal ini memperlihatkan bahwa masalah kesehatan ini bukan hanya terfokus pada penduduk kalangan ekonomi menengah atas saja, namun merupakan masalah kesehatan menyeluruh juga pada penduduk miskin terlebih karena kurangnya akses pelayanan kesehatan yang diperoleh oleh penduduk miskin. Promosi makanan cepat saji yang semakin gencar dilakukan dengan pembukaan outlet dan petugas layan antar di setiap outlet yang telah memberi kontribusi 7-8 % dari seluruh penjualan. Sekarang ini, iklan-iklan junk food

semakin banyak di media, hasil survei Internasional menyatakan bahwa 67% siaran iklan di televisi 11 negara didominasi oleh jenis iklan junk food, atau dua pertiga dari total tayangan iklan makanan di televisi adalah iklan junk food. Di Indonesia, menurut penelitian Raharjo (2008) persentase iklan junk food menduduki porsi sebesar 60-70% dari total penayangan iklan. Data lain menunjukkan pertumbuhan penjualan salah satu minuman populer di Indonesia pada trimester 1 tahun 2011, terjadi peningkatan penjualan 6,3% dibandingkan pada trimester yang sama tahun sebelumnya. Di seluruh dunia penjualan yang fantastis telah terbukti dengan peningkatan pendapatan perusahaan tersebut ratarata US$ 600 juta per tahun. Industri dan konsumsi minuman soda, minuman beralkohol dibuktikan sangat meningkat dalam dekade terakhir (Chandra, S. dkk., 2007). Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya transisi pola

konsumsi dan pola aktivitas masyarakat adalah semakin mewabahnya toko waralaba franchise convenience store seperti minimarket di seluruh pelosok kota sampai ke perdesaan yang menyediakan kebutuhan sehari-hari, umumnya dengan menjual makanan dan minuman kemasan (siap saji) atau olahan yang membuat masyarakat lebih mudah untuk menjangkau suatu produk makanan atau minuman yang sebelumnya biasanya telah dipromosikan secara gencar melalui media. Semakin gencarnya promosi makanan cepat saji di media massa ditambah semakin dekatnya penyedia atau tempat menjangkau makanan tersebut dengan pemukiman dapat menjadi penyumbang terhadap semakin berubahnya pola konsumsi masyarakat. Penjualan yang dilakukan dengan berbagai strategi

pemasaran yang gencar dengan tempat pembelian yang nyaman dan terlihat berkelas membuat masyarakat lebih tertarik untuk berbelanja di toko-toko waralaba tersebut dibandingkan tempat berbelanja seperti pasar tradisional. Kehadiran minimarket ini telah mempengaruhi pola belanja masyarakat khususnya masyarakat di sekitar wilayah minimarket yang secara langsung kembali mempengaruhi pola konsumsi keluarga. Letak minimarket yang dekat dengan daerah pemukiman atau perumahan membuat masyarakat semakin tertarik untuk berbelanja di toko-toko tersebut tanpa harus membuang tenaga lebih untuk pergi ke tempat berbelanja lainnya dengan memperoleh kepuasan berbelanja dalam tempat perbelanjaan yang nyaman dan mudah dijangkau. Hasil penelitian dalam salah satu jurnal administrasi mengungkapkan bahwa dari 146 responden di empat kota besar yakni Bandung, Jakarta, Medan, dan Surabaya sebanyak 67,23% lebih memilih pasar modern sebagai tempat berbelanja dan selebihnya memilih pasar tradisional. Penelitian lain di Depok mengemukakan pilihan tempat berbelanja tertinggi adalah supermarket/ hipermarket dengan persentase 44,1%, kemudian pasar tradisional dan minimarket Franchise dengan persentase yang sama sebesar 22,4%, dan terakhir adalah Toko kelontong dengan persentase 12,6% (Aryanti, T., 2011). Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia mencatat pertumbuhan volume penjualan pasar modern di Indonesia dari 6.804 di tahun 2004 menjadi 7.470 di tahun 2005. Menurut data Dinas Perindustrian dan Perdagangan kota Makassar, jumlah toko waralaba minimarket yang terdaftar mencapai XXXXX toko. Toko-toko ini tersebar di bla bla bla bla.

Maraknya pertumbuhan minimarket ini dan belum ditemukannya penelitian akan gaya hidup masyarakat terutama pola belanja, pola konsumsi, dan pola aktivitas masyarakat yang bermukim di sekitar minimarket tersebut membuat peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana gaya hidup masyarakat tersebut. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai bagaimana gambaran pola belanja, pola konsumsi, dan pola aktivitas masyarakat di wilayah sekitar minimarket kecamatan XX kota Makassar tahun 2012.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan dari uraian tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana gambaran pola belanja, pola konsumsi, dan pola aktivitas masyarakat di wilayah sekitar minimarket kecamatan XX kota Makassar tahun 2012?.

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui gambaran pola belanja, pola konsumsi, dan pola aktivitas masyarakat di wilayah sekitar minimarket kecamatan XX kota Makassar tahun 2012. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui gambaran pola belanja keluarga yang bermukim di wilayah sekitar minimarket kecamatan XX kota Makassar tahun 2012.

b. Untuk mengetahui gambaran frekuensi konsumsi makanan dan minuman yang dibeli oleh masyarakat di wilayah sekitar minimarket kecamatan XX kota Makassar tahun 2012. c. Untuk mengetahui gambaran pola aktivitas masyarakat di wilayah sekitar minimarket kecamatan XX kota Makassar tahun 2012.

D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti Menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang pengetahuan pola belanja, pola konsumsi, dan pola aktivitas masyarakat di wilayah sekitar minimarket dan sebagai bahan informasi untuk penelitian lebih lanjut. 2. Bagi Mahasiswa Memperkaya dan memberikan wacana konseptual bagi pengembangan kajian teori dan kebijakan kesehatan juga ekonomi. 3. Bagi Masyarakat Memberikan informasi kepada masyarakat yang terkait mengenai pola belanja, pola konsumsi, dan pola aktivitas masyarakat yang bermukim di wilayah sekitar minimarket.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Menurut Anies (2006) penyakit tidak menular adalah penyakit yang dianggap tidak dapat disebarkan dari seseorang terhadap orang lain secara langsung, sebagian muncul ketika lahir, sedangkan lainnya disebabkan oleh gaya hidup dan lingkungan, diantaranya adalah asma, talasemia, auitisme, penyakit jantung, diabetes mellitus, stroke, kanker. Penyakit degeneratif telah menjadi penyebab kematian terbesar di dunia hingga saat ini. Menurut laporan WHO, seperti yang dilansir situs resmi organisasi kesehatan dunia tersebut, disebutkan hampir 17 juta orang meninggal lebih awal tiap tahunnya sebagai akibat epidemi global penyakit degeneratif. Fakta yang mencengangkan, ternyata epidemi global ini ditemukan lebih buruk di banyak negara dengan pendapatan nasional rendah dan sedang, dimana 80% dari kematian akibat penyakit degeneratif. Upaya dalam bentuk kerjasama global yang diusulkan WHO untuk menanggulangi epidemi penyakit degeneratif ini, dapat menyelamatkan kehidupan 36 juta orang yang akan meninggal hingga tahun 2015 (Depkes, 2005). Peningkatan penyakit tidak menular (PTM) disebabkan salah satunya karena gaya hidup yang tidak sehat. Becker (1979) dalam Notoadmojo (2007), mengklasifikasi gaya hidup sehat yang mencakup; makan dengan menu seimbang, olahraga teratur, tidak merokok, tidak minum-minuman keras dan narkoba, istirahat yang cukup, mengendalikan stress, dan bergaya hidup positif bagi

kesehatan. Sementara perilaku yang tidak sehat dimaksud yaitu perilaku merokok, pola makan yang tidak seimbang, rendahnya asupan buah dan sayur, kebiasaan meminum alkohol, dan rendahnya aktivitas fisik. Semua perilaku itu sebenarnya bisa dirubah guna mencegah terjadinya sebagian besar penyakit tidak menular . Kemajuan yang terjadi pada era globalisasi telah mengubah cara pandang penduduk dunia dan melahirkan kebiasaan-kebiasaan baru yang tidak sesuai dengan gaya hidup sehat (Cahyono, 2008). Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya transisi gaya hidup sehat diantaranya pola konsumsi dan pola aktivitas masyarakat adalah semakin mewabahnya toko waralaba franchise convenience store seperti minimarket di seluruh pelosok kota sampai ke perdesaan yang menyediakan kebutuhan seharihari, umumnya dengan menjual makanan dan minuman kemasan (siap saji) atau olahan yang membuat masyarakat lebih mudah untuk menjangkau suatu produk makanan atau minuman yang sebelumnya biasanya telah dipromosikan secara gencar melalui media. Semakin gencarnya promosi makanan cepat saji di media massa ditambah semakin dekatnya penyedia atau tempat menjangkau makanan tersebut dengan pemukiman dapat menjadi penyumbang terhadap semakin berubahnya pola konsumsi masyarakat. Penjualan yang dilakukan dengan berbagai strategi pemasaran yang gencar dengan tempat pembelian yang nyaman dan terlihat berkelas membuat masyarakat lebih tertarik untuk berbelanja di tokotoko waralaba tersebut dibandingkan tempat berbelanja seperti pasar tradisional. Kehadiran minimarket ini telah mempengaruhi pola belanja masyarakat

khususnya masyarakat di sekitar wilayah minimarket yang secara langsung kembali mempengaruhi pola konsumsi keluarga.

A. Tinjauan Umum tentang Minimarket 1. Pengertian Minimarket Toko Modern adalah Sebuah toko yang menjual macam-macam barang kebutuhan pokok yang lengkap. Toko modern ini terletak di tempat yang strategis dan selalu ramai dikunjungi banyak konsumen. Toko modern ini menawarkan berbagai produk yang terjamin kualitas dan kuantitasnya. Tidak hanya itu, toko modern ini juga menawarkan promosi-promosi harga barang baru dan diskondiskon yang menarik minat konsumen untuk berbelanja di toko tersebut. Suasana penataan toko modern ini tergolong sangat baik yang tersusun rapi dan bersih. Toko modern ini memiliki tingkat pelayanan lebih baik dari pada toko-toko lainnya. Disamping itu toko modern ini mempunyai fasilitas-fasilitas yang membuat nyaman konsumen seperti AC dan Musik yang membuat konsumen betah berbelanja di toko tersebut. Berbeda dengan Toko Tradisional (toko kecil) adalah sebuah toko yang juga menjual barang-barang kebutuhan pokok. Toko ini didirikan oleh satu orang sebagai usaha di rumah untuk membatu kebutuhan ekonomi keluarga. Usaha ini tergolong usaha yang tidak begitu susah karena modal yang diperlukan untuk mendirikannya tidak begitu banyak dan bisa dilakukan di rumah sendiri, sehingga semakin banyak orang yang mendirikan usaha serupa (Ahyani, D., dkk. 2010).

Toko modern yang dimaksud seperti swalayan, supermarket, dan minimarket. Swalayan adalah sebuah toko yang menjual segala kebutuhan seharihari. Kata yang secara harfiah yang diambil dari bahasa Inggris ini artinya adalah pasar yang besar. Barang barang yang dijual di Swalayan biasanya adalah barang barang kebutuhan sehari hari. Seperti bahan makanan, minuman, dan barang kebutuhan seperti tissue dan lain sebagainya. Sedangkan Supermarket adalah sebuah toko yang ukurannya lebih besar. Di Supermarket semua barang ada, dari kelontong, sepeda, TV dan camera, furnitur, baju, ikan dan daging, buah-buhaan, minuman, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Contohnya Giant Supermarket, Carrefour Express, Foodmart, Foodmart Gourmet, Super Indo dan lain-lain. Minimarket sendiri adalah sebenarnya adalah semacam toko kelontong yang menjual segala macam barang dan makanan, namun tidak selengkap dan sebesar sebuah supermarket. Berbeda dengan toko kelontong, minimarket menerapkan sistem swalayan, dimana pembeli mengambil sendiri barang yang ia butuhkan dari rak-rak dagangan dan membayarnya di kasir. Sistem ini juga membantu agar pembeli tidak berhutang. Minimarket yang ada di Indonesia diantaranya adalah Alfamart, Indomaret, dan lain-lain. Perbedaan istilah minimarket, supermarket dan hypermarket adalah di format, ukuran dan fasilitas yang diberikan. Contohnya (Wikipedia, 2012): Minimarket berukuran kecil (100m2 s/d 999m2 ) Supermarket berukuran sedang (1.000m2 s/d 4.999m2) Hypermarket berukuran besar (5.000m2 ke atas) Grosir berukuran besar (5.000m2 ke atas)

Dalam dunia perdagangan saat ini, toko barang kebutuhan sehari-hari dengan ruangan yang tidak terlalu luas (minimarket) bukan lagi merupakan istilah asing bagi masyarakat umum, terutama yang tinggal dikota-kota besar. Minimarket merupakan perantara pemasar antara produsen dan konsumen akhir dimana aktivitasnya adalah melaksanakan penjualan eceran Menurut Hendri Maruf (2005:84) pengertian minimarket adalah toko yang mengisi kebutuhan masyarakat akan warung yang berformat modern yang dekat dengan permukiman penduduk sehingga dapat mengungguli toko atau warung. Minimarket adalah wadah atau sarana yang menjual segala macam barang dan makanan, namun tidak selengkap dan sebesar sebuah supermarket. Minimarket menerapakan sistem swalayan, dimana pembeli mengambil sendiri barang yang dibutuhkan dari rak-rak dagangan dan membayar dikasir. Berbeda dengan supermarket, kasir di minimarket hanya 1 meja dengan 1 mesin struk.

2. Kelebihan Minimarket Kelebihan yang ditawarkan jika berbelanja di minimarket adalah memberikan kemudahan bagi konsumen untuk mencari barang yang diinginkan, memberikan kepuasan bagi konsumen dari pelayanannya, memberikan

kenyamanan pada konsumen dalam berbelanja, menyediakan berbagai macam barang kebutuhan sehari-hari, dan memberikan diskon atau potongan harga bagi konsumen. Hal ini membuat masyarakat lebih tertarik untuk berbelanjan di minimarket dibandingkan toko tradisional lain.

Letak minimarket yang dekat dengan daerah pemukiman atau perumahan membuat masyarakat semakin tertarik untuk berbelanja di toko-toko tersebut tanpa harus membuang tenaga lebih untuk pergi ke tempat berbelanja lainnya dengan memperoleh kepuasan berbelanja dalam tempat perbelanjaan yang nyaman dan mudah dijangkau. Hasil penelitian dalam salah satu jurnal administrasi mengungkapkan bahwa dari 146 responden di empat kota besar yakni Bandung, Jakarta, Medan, dan Surabaya sebanyak 67,23% lebih memilih pasar modern sebagai tempat berbelanja dan selebihnya memilih pasar tradisional. Penelitian lain di Depok mengemukakan pilihan tempat berbelanja tertinggi adalah supermarket/ hipermarket dengan persentase 44,1%, kemudian pasar

tradisional dan minimarket Franchise dengan persentase yang sama sebesar 22,4%, dan terakhir adalah Toko kelontong dengan persentase 12,6% (Aryanti, T., 2011). Dari hasil pengamatan, terdapat beberapa faktor yang membuat masyarakat cenderung berbelanja di minimarket dibanding pasar tradisional. Pertama, faktor harga, dimana minimarket banyak memberi potongan-potongan harga yang membuat harga barang tersebut relative lebih murah. Kedua, faktor fasilitas, dimana minimartket memiliki fasilitas-fasilitas yang lebih seperti AC dan Musik yang membuat konsumen merasa betah untuk belanja di tempat tersebut. Ketiga, faktor yang paling penting adalah pelayanan terhadap konsumen yang dimana Minimarket memberikan pelanyanan yang sangat bagus, misalnya: kesopanan, penyambutan, sampai dengan mencarikan barang yang diinginkan oleh konsumen (Suryadana, ddk. 2007).

B. Tinjauan Umum tentang Pola Belanja 1. Pengertian Pola Belanja Seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang maju dan berkembang pesat khususnya di kota-kota besar, telah terjadi perubahan di berbagai sektor termasuk di bidang industri dan produksi serta pada kegiatan eceran di Indonesia yang telah berkembang menjadi usaha berskala besar. Hal ini membawa dampak kepada pola perilaku belanja seseorang, di mana semakin meningkatnya taraf hidup seseorang, maka tuntutan akan tempat berbelanja yang diyakini dapat memenuhi segala kebutuhan konsumen dalam satu lokasi semakin dibutuhkan (Nugroho, K., 2010). Menurut kamus besar bahasa Indonesia, Pola adalah suatu sistem atau cara kerja sedangkan belanja adalah uang yang dipakai untuk keperluan sehari-hari. Jadi dapat disimpulkan bahwa pola belanja adalah perilaku seseorang dalam menerapkan suatu sistem atau cara kerja untuk menggunakan uang yang dipakai untuk keperluan sehari-hari. Gambaran tentang cara pengeluaran rumahtangga sebagai tindak lanjut dari pendapatan rumahtangga setiap hari sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, budaya dan sosial itulah disebut pola belanja. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang maju khususnya di kota-kota besar, telah terjadi perubahan di berbagai sektor termasuk di bidang industri dan produksi serta pada kegiatan ritel di Indonesia menjadi usaha ekonomi berskala besar. Di sisi lain juga terjadi pergeseran gaya hidup dari tradisional menjadi modern, sehingga menciptakan perubahan pola belanja konsumen. Bisnis ritel di Indonesia sendiri dapat dibedakan menjadi 2 kelompok besar, yakni ritel

tradisional dan ritel modern. Ritel modern pada dasarnya

merupakan

pengembangan dari ritel tradisional. Format ritel ini muncul dan berkembang seiring perkembangan perekonomian, teknologi, dan gaya hidup masyarakat yang membuat masyarakat menuntut kenyamanan yang lebih dalam berbelanja (Aryanti, T. 2011). Industri ritel modern telah berkembang pada tahun 1960-an tepatnya pada tahun 1964 yang ditandai dengan berdirinya sarinah buiding. Industri ini mulai menampakkan pertumbuhannya dari tahun 1970 1977 dengan adanya perubahan jenis gerai misalnya supermarket, department store dan sebagainya. Pada awalnya bisnis ritel modern ini didominasi oleh peritel dalam negeri misalnya Matahari, Ramayana, Hero dan sebagainya. Dalam perkembangannya, pada tahun 1998 terjadi kesepakatan antara IMF dengan pemerintah Indonesia mengenai perijinan peritel asing untuk dapat berinvestasi atau membuka gerai tanpa harus berpartner dengan peritel lokal. Hal tersebut merupakan peluang yang sangat menjanjikan bagi peritel lokal maupun asing karena Indonesia memiliki potensi market share sangat besar dengan jumlah penduduk terbesar ke-empat di dunia setelah Cina, Amerika dan India yakni lebih dari 220 juta penduduk, sehingga banyak peritel baik lokal maupun asing mengincar pasar ritel di Indonesia untuk memperoleh keuntungan yang sangat besar (Cipto, 2009 dalam Aryanti, T. 2011). Pasar tradisional yang dulunya merupakan tempat pertemuan antara penjual dan pembeli barang-barang kebutuhan pokok dalam perkembangannya harus bersaing dengan pasar modern yang juga melakukan penjualan produk yang sama. Pasar tradisional yang identik dengan dengan suara hiruk pikuk, kotor,

panas, dan bau harus bersaing dengan tempat supermarket yang nyaman, tidak berbau, dan terjaga kebersihannya. Di pasar, masyarakat bisa membeli dengan harga kesepakatan, di supermarket pembelian sesuai harga yang diberikan. Harga di supermarket memang cenderung lebih murah dibandingkan dengan di pasar. Dikarenakan modal yang dimiliki oleh supermarket juga jauh lebih besar dibandingkan modal pedagang kecil. Oleh karena itu kemampuan melakukan pembelian dari supplier langsung juga terbatas bagi para pedagang kecil, sedangkan supermarket mampu membeli dalam jumlah yang besar akibatnya harga yang diberikan jauh lebih murah (Widyarini, M. dan Septina, N., 2009). Dalam perjalanannya sekarang, kehidupan pasar tradisional semakin redup sejalan dengan munculnya pasar modern. Pasar modern seringkali disebut masyarakat dengan supermarket, minimarket, dan hipermarket. Dalam

perkembangannya, pemerintah daerah membuka keran lebar bagi investasi pasar modern dalam rangka peningkatan Penerimaan Asli Daerah. Munculnya supermarket berkontribusi pada perubahan pola belanja konsumen. Dengan berjalannya waktu, peran pasar tradisional akan terus menurun. Kondisi pasar tradisional yang tidak dikelola dengan baik berdasarkan potensi yang ada makin meminggirkan keberadaannya. Di sisi lain, masyarakat telah beradaptasi dengan budaya baru pola transaksi harga tetap yang dipraktikkan di pasar modern. Konsumen berusia di bawah 30 tahun sudah enggan ke pasar tradisional dan lebih memilih pasar modern. Perkembangan pasar swalayan yang cepat terkait langsung dengan urbanisasi. Urbanisasi ini membawa konsekuensi, wanita masuk dalam dunia kerja sehingga harus keluar dari rumah. Situasi ini menjadikan para wanita

menginginkan menghemat waktu untuk berbelanja, nyaman dalam berbelanja, dan meningkatnya keinginan untuk mendapatkan makanan yang sudah diolah agar mengurangi waktu memasak. Dengan semakin banyak perempuan yang bekerja, belanja di supermarket semakin menjadi pilihan. Pilihan hemat waktu karena semua kebutuhan disediakan oleh supermarket. (Widyarini, M. & Nina S., 2009). Timmer (2006) dalam Maria W. dan Nina S. (2009) menuliskan bahwa resolusi supermarket berdampak pada penyesuaian rantai suplier keutuhan pangan masyarakat Indonesia (Indonesias food supply chain), yaitu dari petani ke konsumen. Supermarket juga disinyalir turut memberikan kontribusi atas perubahan pola belanja konsumen.

2. Perubahan Perilaku Pola Belanja Fenomena munculnya supermarket, hipermarket, dan pusat perkulakan di Indonesia ini menandai adanya perubahan pada perilaku belanja konsumen dari pasar tradisional ke pasar modern. Hal ini tidak lain disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya peningkatan pendapatan penduduk, peningkatan jumlah wanita karir, waktu untuk berbelanja semakin berkurang, dan pengaruh yang sangat kuat dari kebudayaan negara-negara barat (Rajaguguk, 1993 dalam Rusdi F., 2002). Fenomena bertambahnya gerai minimarket yang sangat cepat bak jamur di musim hujan cukup menarik untuk diperhatikan. Berdasarkan survei Nielsen research menunjukan bahwa terjadi pergeseran pola belanja di masyarakat, pergeseran tersebut lebih mengarah kepada kecenderungan untuk lebih memilih belanja di

minimarket. Hal inilah yang membuat minimarket bertambah subur (Nugroho, K., 2010) Diakui oleh masyarakat konsumen kebutuhan rumah tangga, pada awal berdirinya minimarket Alfamart ataupun Indomaret kebutuhan belanja semakin bertambah. Hal ini yang mengakibatkan masyarakat yang tadinya memiliki keterbatasan daya beli, dengan adanya minimarket dan juga ditunjang oleh sifat konsumenrisme masyarakat mengakibatkan daya beli masyarakat menjadi meningkat (Saveatina, 2005).

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Belanja Faktor-faktor penting penentu pola belanja konsumen yakni dengan melihat variabel usia, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan. Usia memberikan pengaruh terhadap pemilihan model tempat belanja konsumen, konsumen dengan usia 45 Tahun ke bawah rata-rata lebih menyukai jenis tempat belanja yang praktis, nyaman, dan bersih yang dalam hal ini dapat dipenuhi oleh pasar swalayan. Tingkat pendidikan, dari hasil observasi dapat dibuktikan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, dari hasil obesrvasi dapat dibuktikan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, dari hasil obesrvasi dapat dibuktikan semakin modern dan hal ini memberikan dampak pada pola belanja mereka. Jenis pekerjaan dan tingkat pendapatan juga merupakan faktor yang sangat mempengaruhi pola belanja konsumen, semakin tinggi tingkat pendapatannya maka semakin tinggi pula kecenderungan berbelanja di pasar swalayan (Adiprana, T., 2002).

Bagi masyarakat sendiri, ekspansi retail yang agresif sebagai salah satu dampak dari globalisasi ekonomi memunculkan fenomena retailisasi di beberapa kota besar di Indonesia, salah satunya di kota Depok, Jawa Barat. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa pilihan tempat berbelanja tertinggi di Depok adalah supermarket/ hipermarket dengan persentase 44,1%, kemudian pasar tradisional dan minimarket Franchise dengan persentase yang sama sebesar 22,4%, dan terakhir adalah Toko kelontong dengan persentase 12,6% (Aryanti, T. 2011). Menurut Engel (1995:257) dalam Aryanti T. (2011) atribut yang mencolok dalam pengambilan keputusan pembelian konsumen biasanya masuk dari kategori berikut ini : (1) lokasi, (2) sifat dan kualitas kemasan, (3) harga, (4) iklan dan promosi, (5) personel penjualan, (6) atribut fisik tempat berbelanja, (7) kelengkapan produk, (8) atmosfer tempat berbelanja, serta (9) pelayanan dan kepuasan setelah transaksi. Jurnal Administrasi Bisnis, 2009 oleh Maria Widyarini dan Nina Septina mengemukakan bahwa dari hasil penelitian di empat kota besar, data menunjukkan hal yang sama yaitu bahwa baik pria maupun wanita responden lebih banyak memilih berbelanja di pasar modern dibandingkan di pasar tradisional. Sebanyak 67,23% dari 146 responden memilih pasar modern sebagai tempat berbelanja, dan selebihnya memilih pasar tradisional. Mereka mengakui bahwa secara bertahap beralih dari pasar tradisional ke pasar modern. Sebanyak 31,31% beralih karena keberadaan pasar modern yang yang semakin dekat dari kediaman mereka atau kantor tempat mereka bekerja. 22,22% beralih karena harganya pasti dan terjangkau, sedangkan 19,19% beralih karena program

promosi yang ditawarkan oleh pasar modern, selain itu 10,10% beralih karena berbelanja di pasar modern tersedia scanner yang berfungsi mengecek harga produk sehingga konsumen tidak perlu bertanya pada karyawan toko untuk mengetahui harga dan tersedianya trolley yang membuat proses berbelanja menjadi lebih leluasa karena tidak perlu terbebani terlalu berat selayaknya di pasar tradisional dimana konsumen membawa kantung belanjanya sepanjang waktu berbelanja. Walupun nilainya tidak terlalu tinggi, namun program promosi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap beralihnya masyarakat berbelanja ke pasar modern. Dua dari sekian banyak alternatif bentuk consumer promotion yang dikemukanan Kotler (2003) dalam Maria Widyarini dan Nina Septina (2009) adalah undian berhadiah dan kupon berhadiah. Bentuk promosi berupa undian dan kupon berhadiah menyedot konsumen pada periode promosi berlaku. Dengan demikian belanja di bulan berikutnya akan berkurang karena produk-produk tersebut telah dibeli ada bulan sebelumnya.

C. Tinjauan Umum tentang Pola Konsumsi 1. Pengertian Pola Konsumsi Perilaku konsumtif adalah pencarian konsumen dalam

mempertimbangkan, menggunakan, mengevaluasi, dan memanfaatkan suatu produk untuk memuaskan kebutuhan mereka. Selain itu mereka juga mengatakan bahwa perilaku konsumen adalah bagaimana individu membuat keputusan dalam apa yang mereka beli, kapan dan dimana mereka membeli, dan seberapa serius mereka membeli suatu barang (Listyorini, 2001). Perilaku konsumsi ialah suatu

kegiatan yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa, untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Jika tujuan pembelian produk tersebut untuk dijual kembali, maka dia disebut pengecer atau distributor. Pada masa sekarang ini bukan suatu rahasia lagi bahwa sebenarnya konsumen adalah raja sebenarnya, oleh karena itu produsen yang memiliki prinsip holistic marketing sudah seharusnya memperhatikan semua yang menjadi hak-hak konsumen (Wikipedia, 2010). Pola makan adalah gambaran pola menu, frekuensi, dan jenis bahan makanan yang dikonsumsi setiap hari dimana merupakan bagian dari gaya hidup atau ciri khusus suatu kelompok (Suwiji, 2006). Menurut Harper (1986), pola makan (dietary pattern) adalah cara yang ditempuh seseorang atau sekelompok untuk memilih makanan dan mengkonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, budaya dan sosial. Pola makan merupakan ciri khas untuk status kelompok masyarakat tertentu. Pola makan suatu daerah dapat berubahubah. Pola makan masyarakat pedesaan di Indonesia pada umumnya diwarnai oleh jenis-jenis bahan makanan yang umum dan diproduksi setempat. Misalnya pada masyarakat nelayan di daerah-daerah pantai ikan merupakan makanan sehari-hari yang dipilih karena dapat dihasilkan sendiri. Daerah-daerah pertanian padi, masyarakat berpola makan pokok beras. Daerah-daerah dengan produk utama jagung seperti pulau Madura dan Jawa Timur bagian selatan,

masyarakatnya berpola pangan pokok jagung. Gunung Kidul dan beberapa daerah lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur masyarakatnya berpola pangan pokok ubi kayu karena produksi tanaman pangan utama adalah ubi kayu (Suwiji, 2006). Pengertian pola makan lain adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai macam dan jumlah bahan makanan yang dimakan tiap hari oleh satu orang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu. Pola makan ini dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain adalah: kebiasaan kesenangan, budaya, agama, taraf ekonomi, lingkungan alam, dan sebagainya. Sejak zaman dahulu kala, makanan selain untuk kekuatan atau pertumbuhan, memenuhi rasa lapar, dan selera, juga mendapat tempat sebagai lambang yaitu lambang kemakmuran, kekuasaan, ketentraman dan persahabatan. Semua faktor di atas bercampur membentuk suatu ramuan yang kompak yang dapat disebut pola konsumsi (Santoso dan Ranti, 2004).

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Konsumsi Pola makan masyarakat atau kelompok di mana anak berada, akan sangat mempengaruhi kebiasaan makan, selera, dan daya terima anak akan suatu makanan. Oleh karena itu, di lingkungan anak hidup terutama keluarga perlu pembiasaan makan anak yang memperhatikan kesehatan dan gizi (Santoso dan Ranti, 2004). Kebiasaan makan adalah cara-cara individu dan kelompok individu memilih, mengkonsumsi, dan menggunakan makanan-makanan yang tersedia, yang didasarkan kepada faktor-faktor sosial dan budaya di mana mereka hidup. Kebiasaan makan individu, keluarga dan masyarakat dipengaruhi oleh :

1. Faktor perilaku termasuk di sini adalah cara berpikir, berperasaan, berpandangan tentang makanan. Kemudian dinyatakan dalam bentuk tindakan makan dan memilih makanan. Kejadian ini berulang kali dilakukan sehingga menjadi kebiasaan makan. 2. Faktor lingkungan sosial, segi kependudukan dengan susunan, tingkat, dan sifat-sifatnya. 3. Faktor lingkungan ekonomi, daya beli, ketersediaan uang kontan, dan sebagainya. 4. Lingkungan ekologi, kondisi tanah, iklim, lingkungan biologi, system usaha tani, sistem pasar, dan sebagainya. 5. Faktor ketersediaan bahan makanan, dipengaruhi oleh kondisi-kondisi yang bersifat hasil karya manusia seperti sistem pertanian (perladangan), prasarana dan sarana kehidupan (jalan raya dan lain-lain), perundang-undangan, dan pelayanan pemerintah. 6. Faktor perkembangan teknologi, seperti bioteknologi yang menghasilkan jenis-jenis bahan makanan yang lebih praktis dan lebih bergizi, menarik, awet dan lainnya. Pemilihan bahan makanan ternyata dipengaruhi oleh unsur-unsur tertentu. Pertama, sumber-sumber pengetahuan masyarakat dalam memilih dan mengolah pangan mereka sehari-hari. Termasuk dalam sumber pengetahuan dalam memilih dan mengolah pangan adalah: sistem sosial keluarga secara turun temurun, proses sosialisasi dan interaksi anggota keluarga dengan media massa. Kedua, aspek aset dan akses masyarakat terhadap pangan mereka sehari-hari. Unsur aset dan akses

terhadap pangan adalah berkenaan dengan pemilikan dan peluang upaya yang dapat dimanfaatkan oleh keluarga guna melakukan budidaya tanaman pangan dan atau sumber nafkah yang menghasilkan bahan pangan atau natura (uang). Ketiga, pengaruh tokoh panutan atau yang berpengaruh. Pengaruh tokoh panutan terutama berkenaan dengan hubungan bapak anak, jika keluarga yang memperoleh pangan atau nafkah berupa uang kontan melalui usaha tani majikan (Santoso dan Ranti, 2007). Kesalahan dalam memilih makanan dan kurang cukupnya pengetahuan tentang gizi akan mengakibatkan timbulnya masalah gizi yang akhirnya mempengaruhi status gizi. Status gizi yang baik hanya dapat tercapai dengan pola makan yang baik, yaitu pola makan yang didasarkan atas prinsip menu seimbang, alami dan sehat (Sediaoetama, 2000).

3. Survei Konsumsi Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Metode survei konsumsi makanan untuk individu antara lain : 1. Metode recall 24 jam 2. Metode esthimated food record 3. Metode penimbangan makanan (food weighting) 4. Metode dietary history 5. Metode frekuensi makanan (food frequency)

4. Pola Konsumsi Seimbang Menu seimbang adalah menu yang terdiri dari beraneka ragam makanan dalam jumlah dan proporsi yang sesuai, sehingga memenuhi kebutuhan gizi seseorang guna pemeliharaan dan perbaikan sel-sel tubuh dan proses kehidupan serta pertumbuhan dan perkembangan (Almatsier, 2004). Ilmuwan

memperkirakan 75% kanker bisa dicegah melalui diet yang lebih baik. Konsumsi makanan yang salah dapat membuat tubuh kekurangan nutrisi-nutrisi vital yang diperlukan agar tubuh dapat bekerja dengan baik. Kunci menuju kesehatan yang baik adalah diet yang seimbang dan bervariasi. Departemen Pertanian, 2005 mengemukakan yang dimaksud dengan pola makan seimbang adalah pangan yang dikonsumsi harus memenuhi kualitas (mutu) maupun kuantitas (jumlah) dan terdiri dari sumber karbohidrat (kelompok pangan padi-padian dan umbi-umbian), sumber protein hewani dan nabati (pangan hewani dan kacang-kacangan), penambah citarasa/ pelarut vitamin (minyak dan lemak, buah biji berminyak, gula), serta vitamin dan mineral. Kemajuan di bidang ekonomi terutama di perkotaan menyebabkan terjadinya perubahan gaya hidup antara lain perubahan pola makan dan kebiasaan makan yang memberikan kontribusi terhadap pesatnya fast food. Perubahan dari pola makan tradisional ke pola makan barat seperti fast food yang banyak mengandung kalori, lemak dan kolesterol, ditambah kehidupan yang disertai stress dan kurangnya aktivitas fisik, terutama di kota-kota besar mulai menunjukkan dampak dengan meningkatnya masalah gizi lebih (obesitas) dan penyakit degeneratif seperti jantung koroner, hipertensi dan diabetes mellitus (Hermina,

2003). Junk food adalah kata lain untuk makan yang jumlah nutrisinya terbatas. Umumnya, yang termasuk dalam golongan junk food adalah makanan yang kandungan garam, gula, lemak, dan kalorinya tinggi, tetapi kandungan gizinya sedikit. Yang paling mudah masuk dalam jenis ini adalah keripik kentang (kentang russet) yang mengandung garam, permen, semua pencuci mulut yang manis, makanan fast food yang digoreng dan minuman soda atau minuman berkarbonasi (Sari, 2008). Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Nurses Health Study di Harvard University terhadap 65.000 wanita selama 6 tahun menunjukkan bahwa wanita yang pola makannya tinggi gula dan rendah serat makanan, 2.5 kali beresiko lebih tinggi terhadap diabetes dibandingkan wanita yang biasa makan banyak serat makanan dan sedikit gula. Menurut penjelasan dokter, serat larut memang mampu mengurangi kebutuhan tubuh akan insulin karena serat larut dapat memperlambat penyerapan karbohidrat dan mencegah kenaikan gula darah secara tiba-tiba. Sebaliknya, asupan serat larut yang rendah dibarengi dengan konsumsi gula yang berlebihan dapat memicu kebutuhan insulin yang tinggi, melebihi jumlah yang mampu diproduksi pankreas. Para peneliti di National Institute of Diabetes, Digestive and Kidney Diseases di Amerika membandingkan komunitas suku Pima Indian yang tinggal di Meksiko dan di Arizona. Meskipun secara genetika mereka sama, tetapi pola makan dan gaya hidupnya jauh berbeda. Suku Pima Indian di Meksiko umumnya pekerja keras dan sehari-hari banyak mengkonsumsi makanan rendah lemak dan tinggi serat, seperti corn tortilla dan taco. Sedangkan suku Pima Indian yang

tinggal di Arizona jarang melakukan aktivitas fisik serta mengkonsumsi makanan rendah serat dan tinggi lemak, seperti hot dog dan french fries. Akibatnya, 50% suku Pima Indian di Arizona yang berusia 30 sampai 64 tahun banyak menderita diabetes dan hanya 9% suku Pima Indian Meksiko yang terkena diabetes. Penemuan ini menunjukkan bahwa untuk penyakit diabetes, pola makan dan gaya hidup memiliki pengaruh lebih besar daripada faktor genetik.

D. Tinjauan Umum tentang Pola Aktivitas 1. Pengertian Pola Aktivitas Aktivitas fisik adalah kegiatan yang dilakukan seseorang mulai dari bangun sampai tidur kembali. Aktivitas fisik berarti menggunakan otot untuk menggerakkan badan. Perbaikan tingkat hidup dan kemajuan teknologi telah memacu perubahan pola kebiasaan hidup atau gaya hidup. Dalam kehidupan masyarakat modern dengan dukungan teknologi dan sarana yang mutakhir, meyebabkan menurunnya aktivitas fisik. Penggunaan elevator telah menggantikan fungsi tangga diberbagai sarana umum. Adanya remote kontrol juga menyebabkan remaja kurang bergerak dan tidak perlu beranjak dari tempat menonton televisi. Penggunaan alat transportasi bermotor juga telah menggeser peran sepeda (Nadesul, 1997). Aktivitas fisik yang dilakukan secara terstruktur dan terencana disebut latihan jasmani, sedangkan aktivitas fisik yang tidak dilakukan secara terstruktur dan terencana disebut aktivitas fisik sehari-hari (Gibney, 2008). Beberapa pakar mempunyai pengertian tentang aktifitas fisik, antara lain menurut Sunita

Almatsier (2009) mengatakan bahwa aktivitas fisik dapat didefinisikan sebagai gerakan fisik yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem penunjangnya. Sedangkan Siti Fathonah, dkk (1996) menyatakan bahwa aktivitas fisik dibagi menjadi dua yaitu aktivitas internal dan aktivitas eksternal, aktivitas fisik internal yaitu suatu aktivitas dimana proses bekerjanya organ-organ dalam tubuh saat istirahat, sedangkan aktivitas eksternal yaitu aktivitas yang dilakukan oleh pergerakan anggota tubuh yang dilakukan seseorang selama 24 jam serta banyak mengeluarkan energi. Aktivitas fisik adalah pergerakan anggota tubuh yang menyebabkan pengeluaran tenaga secara sederhana yang sangat penting bagi pemeliharaan fisik, mental dan kualitas hidup sehat. Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang memerlukan pengeluaran energi. Aktivitas fisik yang tidak ada (kurangnya aktivitas fisik) merupakan faktor risiko independen untuk penyakit kronis, dan secara keseluruhan diperkirakan menyebabkan kematian secara global (WHO, 2010). Aktivitas fisik adalah setiap pergerakan tubuh akibat aktivitas otot-otot skeletal yang mengakibatkan pengeluaran energi. Aktivitas fisik terdiri dari aktivitas selama bekerja, tidur, dan pada waktu senggang. Setiap orang melakukan aktivitas fisik, atau bervariasi antara individu satu dengan yang lain bergantung gaya hidup perorangan dan faktor lainnya seperti jenis kelamin, umur, pekerjaan, dan lain-lain. Aktivitas fisik sangat disarankan kepada semua individu untuk menjaga kesehatan. Aktivitas fisik juga merupakan kunci kepada penentuan penggunaan tenaga dan dasar kepada tenaga yang seimbang. Berbagai tipe dan

jumlah aktivitas fisik sangat diperlukan untuk hasil kesehatan yang berbeda (Kristianti, N., 2009). Aktivitas fisik dapat diartikan suatu bentuk dari kegiatan manusia yang berupa olah raga dan dianggap sebagai salah satu cara untuk mencegah terjadinya berbagai penyakit tidak menular. Aktifitas fisik merupakan salah satu penggunaan energi oleh tubuh, disamping metabolisme basal dan Specific dynamic action (SDA) dari bahan makanan (Ansar, 2009).

2. Manfaat Aktivitas Fisik Menurut Bustan (2007) melakukan kegiatan aktivitas yang teratur dapat mencegah penyakit jantung koroner, hipertensi, kanker, depresi, kegemukan, osteoporosis, dan diabetes mellitus. Aktivitas fisik adalah pergerakan tubuh yang menyebabkan pengeluaran tenaga (pembakaran kalori), yang meliputi aktivitas sehari-hari dan berolahraga. Aktivitas fisik yang ideal adalah aktivitas yang dapat meningkatkan ketahanan jantung respirasi, disamping juga melatih ketahanan dan kekuatan otot. Dari suatu hasil penelitian yang membandingkan antara diet dan aktivitas ditemukan bahwa aktivitas dapat menurunkan jumlah lemak dan kadar lemak dalam darah. Disamping itu aktivitas dapat meningkatkan kolesterol HDL dan menurunkan trigliserida. Peningkatan aktivitas secara teoritis dihubungkan dengan meningkatnya sirkulasi kolesterol dijantung yang dapat membantu pada saat serangan jantung (Hadju, 2005). Pada orang-orang yang sering berolahraga, jumlah pembuluh kolateral (penghubung) dijantung menjadi bertambah banyak

sehingga apabila salah satu terhambat, jantung masih mendapat pasokan darah dari pembulu pembuluh yang lain (Ansar, 2009). Melakukan aktivitas fisik atau bergerak secara teratur merupakan konsep awal upaya pencegahan penyakit kardiovaskular dan upaya rasional bagi penderita gangguan kardiovaskular. Aktivitas fisik berupa olahraga, kegiatan harian bahkan menari yang dilakukan secara rutin bermanfaat untuk mencegah timbunan lemak di dinding pembuluh darah. Hal ini terbukti dari autopsi pada juara maraton Boston tujuh kali, Clarence deMar, yang menunjukkan ukuran pembuluh darah koronernya dua sampai tiga kali ukuran normal serta tak ditemukan adanya stenosis (penyempitan pembuluh darah) yang signifikan. Namun, manfaat itu baru bisa didapat jika peningkatan aliran darah lewat aktivitas fisik berlangsung secara teratur dalam waktu cukup lama. Menurut WHO paling tidak dilakukan 30 menit setiap hari. Aktivitas apa pun asal mampu meningkatkan denyut jantung antara 110-130 per menit, berkeringat dan disertai peningkatan frekuensi napas namun tidak sampai terengah-engah sudah cukup baik untuk mencegah penyakit jantung dan stroke (Ansar, 2009). Sebuah penelitian menunjukkan bahwa mereka yang menghabiskan lebih dari 2.000 kalori untuk seluruh aktivitasnya dalam satu minggu, setara dengan anda melakukan jogging sejauh kurang lebih 32 km, ini dapat meningkatkan angka harapan hidup menjadi dua tahun lebih panjang (Bajry, 2008). Hasil dari banyak studi membuktikan bahwa aktivitas fisik menurunkan angka kejadian hipertensi, kegemukan, stroke, osteoporosis, kencing manis, dan penyakit jantung koroner (Soeharto, 2004).

Penelitian badan kesehatan dunia (WHO) yang dipublikasikan dalam blog world Health Organization tentang Physical activity, menyatakan bahwa gaya hidup duduk terus menerus dalam bekerja menjadi penyebab 1 dari 10 kematian dan kecacatan dan lebih dari dua juta kematian setiap tahun disebabkan oleh kurangnya bergerak/aktivitas fisik. Aktivitas fisik secara teratur memiliki efek yang menguntungkan terhadap kesehatan yaitu (Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2006): 1. Terhindar dari penyakit jantung, stroke, osteoporosis, kanker, tekanan darah tinggi, kencing manis, dan lain-lain 2. Berat badan terkendali 3. Otot lebih lentur dan tulang lebih kuat 4. Bentuk tubuh menjadi ideal dan proporsional 5. Lebih percaya diri 6. Lebih bertenaga dan bugar Secara umum manfaat dilakukannya aktivitas fisik, adalah (Karim, 2006): a. Manfaat Fisik/ Biologis Menjaga tekanan darah tetap stabil dalam batas normal, meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit, menjaga berat badan ideal, menguatkan tulang dan otot, meningkatkan kelenturan tubuh, dan meningkatkan kebugaran tubuh. b. Manfaat Psikis/ Mental. Mengurangi stress, meningkatkan rasa percaya diri, membangun rasa sportifitas, memupuk tanggung jawab, dan membangun kesetiakawanan sosial.

Sebagian besar energi yang masuk melalui makanan pada anak remaja dan orang dewasa seharusnya digunakan untuk aktivitas fisik. Kurangnya aktivitas fisik menyebabkan banyak energi yang tersimpan sebagai lemak, sehingga cenderung pada orang-orang yang kurang melakukan aktivitas menjadi gemuk (Salam, 1989). Hasil penelitian Dedi Subardja (2005) menjelaskan bila

dibandingkan besarnya hubungan antara pola makan dan aktivitas fisik, ternyata aktivitas fisik lebih berhubungan dengan terjadinya obesitas pada anak. Hal ini mencerminkan bahwa, pola hidup sedentary berkontribusi dalam terjadinya obesitas pada anak (Salam, 1989).

3. Klasifikasi Aktivitas Fisik Gaya hidup yang kurang menggunakan aktivitas fisik akan berpengaruh terhadap kondisi tubuh seseorang. Aktivitas fisik tersebut diperlukan untuk membakar energi dari dalam tubuh. Apabila pemasukan energi berlebihan dan tidak diimbangi dengan aktivitas fisik akan memudahkan seseorang memiliki berat badan berlebih. Aktivitas (kegiatan) fisik biasanya dibagi menjadi tiga golongan, yaitu (Khumaidi, 1994) : 1. Ringan: 75% waktu untuk duduk atau berdiri, 25% waktu untuk berdiri sambil bergerak. 2. Sedang: 40% waktu untuk duduk atau berdiri, 60% waktu untuk melakukan pekerjaan khusus. 3. Berat: 25% waktu untuk duduk dan berdiri, 75% waktu untuk melakukan pekerjaan khusus.

4. Tipe Aktivitas Fisik Ada 3 tipe atau macam atau sifat aktivitas fisik yang dapat kita lakukan untuk mempertahankan kesehatan tubuh yaitu: 1. Ketahanan (endurance) Aktivitas fisik yang bersifat untuk ketahanan, dapat membantu jantung, paruparu, otot, dan sistem sirkulasi darah tetap sehat dan membuat kita lebih bertenaga. Untuk mendapatkan ketahanan maka aktivitas fisik yang dilakukan selama 30 menit (4-7 hari per minggu). Contoh beberapa kegiatan yang dapat dipilih seperti berjalan kaki, misalnya turunlah dari bus lebih awal menuju tempat kerja kira-kira menghabiskan 20 menit berjalan kaki dan saat pulang berhenti di halte yang menghabiskan 10 menit berjalan kaki menuju rumah, lari ringan, berenang, senam, bermain tenis, dan berkebun dan kerja di taman. 2. Kelenturan (flexibility) Aktivitas fisik yang bersifat untuk kelenturan dapat membantu pergerakan lebih mudah, mempertahankan otot tubuh tetap lemas (lentur) dan sendi berfungsi dengan baik. Untuk mendapatkan kelenturan maka aktivitas fisik yang dilakukan selama 30 menit (4-7 hari per minggu). Contoh beberapa kegiatan yang dapat dipilih seperti peregangan, mulai dengan perlahan-lahan tanpa kekuatan atau sentakan, lakukan secara teratur untuk 10-30 detik, bisa mulai dari tangan dan kaki, senam taichi, yoga, mencuci pakaian, mobil, mengepel lantai. 3. Kekuatan (strength)

Aktifitas fisik yang bersifat untuk kekuatan dapat membantu kerja otot tubuh dalam menahan sesuatu beban yang diterima, tulang tetap kuat, dan mempertahankan bentuk tubuh serta membantu meningkatkan pencegahan terhadap penyakit seperti osteoporosis. Untuk mendapatkan kelenturan maka aktivitas fisik yang dilakukan selama 30 menit (2-4 hari per minggu). Contoh beberapa kegiatan yang dapat dipilih seperti push-up, pelajari teknik yang benar untuk mencegah otot dan sendi dari kecelakaan, naik turun tangga, angkat berat/beban, membawa belanjaan, mengikuti kelas senam terstruktur dan terukur (fitness). Aktivitas fisik tersebut akan meningkatkan pengeluaran tenaga dan energi (pembakaran kalori), misalnya: Berjalan kaki dengan kecepatan 3,5 mil/jam (5,6-7 kkal/menit), berkebun (5,6 kkal/menit), menyetrika (4,2 kkal/menit), menyapu rumah (3,9 kkal/menit), membersihkan jendela (3,7 kkal/menit), mencuci baju (3,56 kkal/menit), mengemudi mobil (2,8 kkal/menit), mengajar (1,7 kkal/menit), potong kayu (3,8 kkal/menit), dan mengecat rumah (3,5 kkal/menit) (Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2006).

5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Aktivitas Fisik Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan aktivitas fisik yaitu (Soeharto, 2004): 1. Frekuensi artinya berapa kali melakukan latihan selama waktu tertentu. Menurut berbagai penelitian, disamping intensitas olahraga, frekuensi olahraga mempengaruhi efektifitas hasil latihan secara keseluruhan. Bila

dilakukan terlalu sering, misalnya setiap hari, otot tidak mempunyai kesempatan untuk istirahat, sedangkan bila terlalu jarang , hasilnya tidak efektif. Hasil penelitian menganjurkan Dalam seminggu melakukan olahraga secara teratur 3-5 kali seminggu dengan jarak 1-2 hari. 2. Intensitas adalah ukuran berat ringannya atau beban suatu latihan. Bila ingin melakukan olahraga atau latihan, perlu diketahui terlebih dahulu berapa jauh intensitas yang ingin dicapai. Agar dapat meningkatkan daya tahan jantung dan paru-paru diperlukan intensitas 70-85% denyut nadi maksimun (DNM), sedangkan untuk pembakaran lemak dapat dengan intensitas yang lebih ringan (15 menit Menyapu/mengepel Memasak Mencuci Berkebun

5.

Apakah jenis kegiatan fisik anda seharihari?

III. Pola Belanja1. 2. 3. 4. 5. 6. Dimana anda sering berbelanja? Apakah anda pernah berbelanja di minimarket? Berapa kali ibu ke minimarket dalam sebulan? Siapa yang minimarket? sering berbelanja ke a. pasar b. mini market a. ya b. tidak a. 1 kali b. 2 kali c. >2 kali a. ibu/bpk sendiri b. anak c.lainnya: a.mingguan b.bulanan c. setiap ada kebutuhan a. ya b. tidak

Bagaimana frekuensi belanja ibu?

7.

8.

Apakah ibu berbelanja ke minimarket dengan membawa list atau hanya mengandalkan ingatan? *Apakah jenis bahan makanan yang a. biskuit sering ibu beli di minimarket? b. snack c. mie instant d. minuman berkarbonasi e. sayur atau buah f minuman elektrolit g. lainnya Apakah dalam berbelanja ibu sering a. ya membeli bahan makanan yang tidak b. tidak direncanakan sebelumnya?

9.

Apakah bahan makanan yang ibu beli a. ya selalu habis dikonsumsi oleh keluarga? b. tidak

Penilaian Aktivitas Fisik Isila: Apakah bapak/ibu melakukan aktivitas fisik dengan banyak bergerak minimal 10 menit dalam satu kegiatan dan lebih dari 30 menit sehari dalam seminggu terakhir? Kode 1 bila Ya Kode 2 bila tidak (A) (B) (C) Waktu senggang./olah raga/rekreasi Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu Minggu Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu Minggu Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu Minggu A B C

bekerja/sekolah/rumah Perjalanan/transportasi tangga

Lampiran 2 FORMULIR DATA AKTIVITAS SEHARI RESPONDEN (SELAMA 24 JAM) No 1. 2. 1. 4. 5. 1. 2. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. Baring Aktivitas Tidur Istrahat Membaca Menulis Membalik Menonton TV Berbicara Tidak aktif Membaca Berbicara Menulis Mengetik Makan Main piano Mengemudi Main game Nnonton TV Tidak aktif Erbicara Menulis Memasak Mencuci piring Menyanyi Makan Tenis Basket Pingpong Bersepeda Membungkuk Aktif Yoga Menggiling Mengurus diri (MCK, berhias,dll) Sembahyang Berbelanja Faktor energy 0,9 1,0 1,0 1,1 1,1 1,0 1,0 1,2 1,2 1,2 1,4 1,7 2,1 2,3 2,1 1,7 1,2 1,4 1,4 1,7 1,9 2,7 1,4 1,7 6,0 7,0 4,0 6,0 1,4 2,5 1,4 1,7 2,9 1,4 1,7 Durasi (perhari ) Jumlah jam

Duduk

Berdiri

37. 38. 34 40 41 42. 43. 4. 45.

Kerja kantor Pesta Pindahkan barang Membersihkan Mengecet rumah Turun tangga Naik gunung Berjalan Jogging

1,7 1,8 3,7 3,7 4,5 3,5 6,5 3,5 9,0

Lampiran 3 KODE AKTIFITAS DAN FAKTOR ENERGI

Faktor Faktor Kode 00 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Berdiri Duduk Baring Aktifitas Tidur Istirahat Membaca Menulis Membalik Menonton TV Berbicara Tidak Aktif Membaca Berbicara Menulis Mengetik Makan Main Piano Mengemudi Main game Nonton TV Tidak aktif Berbicara Menulis Memasak Energi 0,9 1,0 1,0 1,1 1,1 1,0 1,0 1,2 1,2 1,2 1,4 1,7 2,1 2,3 2,1 1,7 1,2 1,4 1,4 1,7 1,9 Kode 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 Aktifitas Membungkuk Aktif Yoga Menggiling Mengurus diri (MCK, berhias, dll). Sembahyang Berbelanja Kerja kantor Pesta Pindahkan barang Merangkak Membersihkan Mengecat rumah Berjalan datar Turun lereng Turun tangga Naik gunung Naik Tangga Hiking Berjalan cepat Berdiri dengan 1,4 1,7 1,7 1,8 3,7 2,9 3,7 4,5 2,9 3,5 3,5 6,5 8,0 5,0 3,5 3,7 2,9 energi 1,4 2,5 1,4 1,7

beban 21 22 23 48 49 50 51 Mencuci Piring Menyanyi Makan Tenis Basket Pingpong Bersepeda 2,7 1,4 1,7 6,0 7,0 4,0 6,0 45 46 47 52 53 54 Berdiri dan makan Bowling Jogging Dancing Exercise Volleyball 2,9 3,5 9,0 5,0 5,0 3,1

*Faktor ini dikalikan dengan REE untuk memberikan jumlah energi yang digunakan pada setiap aktifitas. (disebut juga dengan MET; 1 MET = 3,5 ml O2/kg/min)

Lampiran 4 FOOD FREQUENCY QUESTIONNARE (FFQ) Petunjuk: Untuk setiap item pangan beri tanda () berapa kali (frekuensi) biasanya dikonsumsi. Frekuensi Penggunaan 13