bab i hadits tarbawi
TRANSCRIPT
14
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidik merupakan komponen terpenting dalam pendidikan. Tanpa
adanya pendidik, maka ilmu yang akan disampaikan tidak mungkin pernah
sampai kepada peserta didik. Islam membebani orang-orang yang berilmu untuk
menyampaikan ilmunya kepada orang banyak (orang lain). Oleh karena itu,
seorang pendidik harus mempunyai jiwa pemimpin terhadap peserta didiknya dan
harus bertanggung jawab dari kepemimpinannya. Agar ilmu yang akan
disampaikan dapat diterima dengan baik oleh peserta didik.
Seorang pendidik harus memberikan nasihat yang disampaikan dengan
memperhatikan komunikasi dua arah, dan bukan untuk kepentingan dari sang
pemberi nasihat, akan tetapi juga yang mendengarkan nasihat itu juga, karena
agama itu nasihat. Penghargaan patut kita berikan kepada orang-orang yang telah
berjasa dalam mengajarkan ilmu tentang agama maupun ilmu yang lainnya, baik
berupa material maupun non material. Islam juga menekankan bagi pendidik
untuk menjaga, memelihara dan mengarahkan kepada jalan yang lurus, jalan yang
dikehendaki oleh Allah dan sebagaimana di contohkan oleh Rasulullah, karena
pendidik laksana ayah terhadap anaknya.
Dalam makalah ini kami akan mencoba memberikan penjelasan mengenai
hadits-hadits tentang pendidik yang meliputi honor dan gaji bagi pendidik dalam
dunia pendidikan.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan honor dan gaji?
1.2.2 Apa isi hadits yang menjelaskan mengenai sistem honor dan gaji dalam
dunia pendidikan?
Honor dan Gaji dalam Pendidikan
14
1.3 Tujuan
Dengan adanya penjelasan dari beberapa hal yang telah ditentukan pada
rumusan masalah diatas, diharapkan mahasiswa dapat memahami dan menelaah
lebih jauh tentang materi yang telah dipelajari, yaitu tentang honor dan gaji dalam
dunia pendidikan dengan berlandaskan kepada sumber hukum islam, yakni hadits.
Selain itu, mahasiswa juga diharapkan dapat mengkaji lebih dalam serta
mengaplikasikan pemahaman yang telah didapat dari materi yang berkaitan
dangan kehidupan sehari-hari.
Honor dan Gaji dalam Pendidikan
14
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Honor dan Gaji
Gaji adalah balas jasa yang dibayar secara periodik kepada karyawan tetap
serta mempunyai jaminan pasti (Hasibuan: 2002), sedangkan dalam versi lain gaji
diartikan sebagai bayaran pokok yang diterima oleh seseorang, tidak termasuk
unsur-unsur variabel dan tunjangan lainnya (Amstrong dan Murlis: 1994: 7).
Tidak jauh berbeda dengan honor, merupakan arti yang sama dengan gaji
sebagaimana telah dijelaskan di atas. Hanya saja penggunaan kata honor menjadi
lebih populer karena sering digunakan dan menjadi makna yang lebih
komprehensif dibandingkan dengan gaji.
2.2 Hadits yang Menjelaskan Mengenai Sistem Honor dan Gaji dalam Dunia
Pendidikan
A. Pengajar Boleh Menerima Upah
1. Kosakata (Mufradat)
= Pada air, dimaksudkan pada suatu kaum atau desa tempat
turun air.
= Binatang yang menggigit berbisa seeperti kalajengking.
Penggunaan kata ladigh pada kalajengking secara majaj
(makna kiasan) asalnya kata ladagh ( ) digunakan pada
binatang berbisa pada ular, sedangkan binatang yang
berbisa pada ekornya disebut lasa’ ( ), yang berbisa pada
Honor dan Gaji dalam Pendidikan
14
giginya disebut nahis ( ), yang berbisa pada hidungnya
disebut nakaz ( ) dan yang berbisa pada suing atau
taring disebut nasyath ( ).
= Penduduk tempat turun air.
= Nama binatang berbisa di air, asal artinya yang selamat
karena ada harapan agar selamat daripadanya.
= Seseorang yang bisa ruqiyah, jampi-jampi pengobatan orang
sakit dengan membaca Al-Qur’an atau do’a-do’a dari Nabi.
= Dengan upah seekor kambing.
= Mereka benci hal itu.
= Engkau ambil, engkau terima.
2. Terjemah
“Dari Ibnu Abbas ada sekelompok sahabat Nabi berjalan melewati
sebuah kaum tempat turun air, di dalamnya ada seorang yang digigit binatang
berbisa atau disebut binatang salim. Seorang dari penghuni air itu
menawarkan kepada mereka: Apakah ada diantara kamu seorang yang bisa
mengobati (rukiyah) pada air itu? Ada seseorang yang digigit binatang
berbisa. Datanglah seorang dari mereka membacakan Al-Fatihah dengan
diberi upah seekor kambing. Seorang yang digigit binatang berbisa itu
sembuh, kemudian seekor kambing itu dibawa kepada teman-temannya, tetapi
mereka tidak suka hal itu. Mereka berkata: “Engkau ambil upah atas kitab
Allah?”, sehingga mereka datang ke Madinah, lantas bertanya: “Hai
Rasulullah, dia mengambil upah atas Kitab Allah,”, Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya sesuatu yang paling berhak kamu ambil upah adalah kitab
Allah”. (HR Al-Bukhari)
3. Penjelasan (Syarah Hadits)
Hadits di atas memberikan motivasi bolehnya menerima upah bagi
pengajar, guru, atau pendidik serta pengobatan jampi-jampi yang membacakan
ayat-ayat Al-Qur’an. Latar belakang atau asbab al-wurud hadits di atas adalah
Honor dan Gaji dalam Pendidikan
14
ketika sekelompok sahabat Nabi saw melewati sebuah kaum yang tinggal di
tempat turunnya air. Di situ terjadi peristiwa yang mengejutkan, ketika ada
seekor binatang berbisa (mungkin ular dan mungkin kalajengking) di dalam air
itu menggigit salah seorang di antara mereka. Lantas mereka meminta tolong
kepada salah seorang sahabat Nabi untuk mengobatinya. Di antara mereka
bertanya: Apakah ada di antara kalian yang bisa mengobati orang sakit yang
digigit binatang berbisa? Salah seorang sahabat Nabi berangkat mengobatinya
dengan dibacakan surah Al-Fatihah. Dengan izin Allah, orang yang tergigit
binatang berbisa itu dapat disembuhkan dan dikasih upah seekor domba.
Ketika menerima upah itu, para sahabat menanggapinya negatif dan
hati mereka merasa tidak berkenan menerima upah tersebut karena seolah
menjual ayat Al-Qur’an dengan harta benda, yakni seekor domba. Mereka
bertekad untuk melaporkan peristiwa ini kepada Rasulullah di Madinah.
Setelah di Madinah, mereka bertanya kepada Beliau, lantas beliau menjawab:
“Sesungguhnya sesuatu yang paling berhak kamu ambil upah adalah
Kitab Allah.”
Pada riwayat al-A’masy selain al-Turmudzi diperjelas sekelompok
sahabat tersebut sejumlah 30 orang yang diutus Nabi pada malam hari
melewati suatu kampung Arab, tidak dijelaskan kampung apa namanya, dan
konteksnya utusan ini bukan dalam jihad. Syekh ‘Athiyah Muhammad Salim
dalam Syarah Bulugh al-Maram menjelaskan: Ada sekelompok sahabat Nabi
yang melewati suatu kampung pada malam hari, mereka ingin bertamu dan itu
sudah menjadi kebiasaan orang Arab menerima dan menjamu tamu. Tetapi
penduduk kampung itu menolaknya, lantas berpindah ke kampung lain.
Kemudian di antara tokoh kampung yang menolak tamu itu tersengat
kalajengking pada malam itu juga, mereka mencari berbagai obat tetapi tidak
dapat menyembuhkan. Di antara mereka berpendapat coba kita bertanya
kepada rombongan tamu yang kita tolak itu, barangkali ada di antara mereka
yang bisa mengobatinya. Mereka pun mendatanginya dan bertanya, apakah di
antara kalian ada yang bisa mengobati pimpinan kami yang sedang kesakitan
tersengat kalajengking? Jawab mereka, ya bisa. Mereka mengundang datang ke
Honor dan Gaji dalam Pendidikan
14
kampungnya untuk mengobati, tetapi sahabat Nabi itu merasa enggan hadir di
kampung halamannya karena telah ditolak bertamu, kecuali dengan dibayar
dengan upah yang pasti. Kemudian terjadi kesepakatan sekitar 20 hingga 30
ekor kambing.
Sahabat Nabi itu mengunjunginya, dibacakannya Al-Qur’an surah Al-
Fatihah, dengan izin Allah pimpinan penduduk itu bisa sembuh dapat bangun
seolah terlepas dari ikatan tali. Kambing itu dibawanya dan akan dibagikan
kepada sahabat-sahabat lain dalam rombongan tersebut, tetapi para sahabat
menolaknya sebelum upah ini diperbolehkan Nabi saw. Setelah sampai di
Madinah, Nabi memperbolehkannya dan bersabda: “Ketahuilah bahwa itu
adalah ruqiyah”. Nabi tersenyum dan bersabda: “Bagi mereka dan aku satu
bagian”. Setelah dibagi, beliau menyampaikan hadits di atas.
Al-asyqalani menjelaskan bahwa ada dua kisah berkaitan dengan
rukiyah yang dilakukan oleh sahabat Nabi, yang kedua terhadap seorang yang
terkena penyakit gila kemudian dibacakan surat Al-fatihah dan dapat
disembuhkan (HR Abu Daud, al-Turmudzi, dan anNasa’i).
Al-‘Asyqalani dalam Fath al-Bariy (4) : 453 menjelaskan adanya
perbedaan pendapatpara ulama dalam sistem penggajian, honor, atau upah
dalam pendidikan atau pengajaran.
a. Jumhur ulama memperbolehkan menerima upah dalam pengajaran
berdasarkan hadits diatas.
b. Ulama Hanafiyah melarang penerimaan upah dalam pengajaran dan
memperbolehkannya dalam pengobatan atau ruqiyah saja. Alasan mereka
mengajarkan Al-Qur’an adalah ibadah pahalanya dari Allah, kebolehan
menerima upah dalam ruqiyah karena adanya hadits tersebut. Sebagian
mereka berpendapat bahwa makna kata ajran ( ) pada hadits di atas
diartikan pahala sama dengan tsawab, tetapi interpretasi ini ditolak oleh
sebagian ulama karena tidak sesuai dengan konteks asbab wurur al-hadits
seperti di atas. Sebagian ulama lagi berpendapat bahwa hadits di atas telah
di nasakh (dihapus) dengan hadits ancaman menerima upah dalam
pengajaran sebagaimana yang diriwayatkan Abu Daud. Pendapat ini pun
Honor dan Gaji dalam Pendidikan
14
ditolak karena permasalahan nasakh harus ada indikasi yang tegas,
sementara pada hadits di atas tidak ada indikasi tersebut.
Syekh ‘Athiyah Muhammad Salim dalam Syarah Bulugh al-Maram,
menjelaaskan bahwa berdasarkan hadits di atas hukum menerima upah atau
gaji dalam pembelajaran Al-Qur’an atau membacakannya ada beberapa
pendapat:
1. Jika pemberian upah atau gaji dari kehendak sendiri dari orang yang diajar
atau yang dibacakannya, boleh saja.
2. Jika diupahkan mengajar atau diberi upah karena membaca Al-Qur’an tidak
diperbolehkan.
Kesimpulannya, tidak ada larangan secara mutlak dan secara tegas
dalam sistem gaji, honor, dan upah dalam pendidikan dan pengajaran, tetapi
bergantung pada kondisi yang dihadapi karena memungkinkan kompromi pada
hadits-hadits shahih yang lahirnya kontra. Al-Bukhari sendiri meriwayatkan
hadits di atas dengan beberapa teks yang sama menunjukkan adanya
kecenderungan bolehnya menerima gaji atau upah dalam pengajaran Al-
Qur’an.
Abd. Al-Muhsin al-Ibad dalam syarah Abi Daud (3) : 403 pada bab
upah azan menyatakan bahwa upah atau penggajian pada tukang azan, imam
masjid, dan guru pengajar Al-Qur’an atau ibadah untuk mendekatkan diri
kepada Allah, para ulama berbeda pandanga, terdapat tigapendapat:
1. Boleh menerima upah dengan alasan hadits upah pada ruqiyah sebagaimana
hadits di atas.
2. Tidak boleh menerima upah secara mutlak. Bolehnya menerima upah
apabila berbentuk barang yang di wakafkan bagi kaum muslimin atau uang
kas dan atau amal dari dermawan.
3. Perumpamaan pengajaran al-Qur’an bagaikan wali anak yatim, jika dia
orang mampu tidak mau mengambil upah dan bila ia miskin, ambillah
dengan makruf.
Dari beberapa pendapat di atas, tidak ada yang memperbolehkan
honor dan gaji secara mutlak. Bolehnya, selalu ada catatan yang intinya
Honor dan Gaji dalam Pendidikan
14
profesionalisme guru agama atau Al-Qur’an, jangan tawar-menawar seperti
tukang kayu, tukang besi, atau profesi lain yang semata mencari upah, bukan
karena kewajiban dan bukan mencari pahala dari Allah swt.
4. Pelajaran yang dapat dipetik dari Hadits
a. Bolehnya menerima upah dalam pengobatan orang sakit dengan ruqiyah
atau membaca ayat-ayat Al-Qur’an atau do’a-do’a dari Nabi saw.
b. Bolehnya penggajian, honor atau upah bagi para guru, pegawai dan
karyawan dalam sistem pendidikan dan pengajaran.
c. Sunahnya menerima, menghormati, dan menjamu tamu yang datang untuk
menginap.
d. Bolehnya berobat dengan menggunakan jampi-jampi atau bacaan do’a dari
Al-Qur’an dan Hadits.
B. Larangan Pengajar Menerima Upah
1. Kosakata (Mufradat)
= Penghuni Shuffah, yakni penghunian sahabat Muhajirin
yang meninggalkan harta bendanya di Mekkah
ditampung di suatu tempat (di emper) di Masjid Al-
Nabawi.
= Busur Panah.
= Bukan harta, bukan harta yag berharga.
= Dan aku gunakan memanah.
= Hendak engkau dikalungi.
Honor dan Gaji dalam Pendidikan
14
2. Terjemah
“Dari Ubadah bin Shamit berkata: Aku telah mengajar orang-orang
yang membaca Al-Qur’an. Seseorang di antara mereka memberiku hadiah
sebuah busur panah (bukan harta), jadi dapat aku gunakan untuk memanah di
jalan Allah. Aku mendatangi Rasulullah saw dan menanyakan hal ini. Aku
datang dna bertanya: Wahai Rasulullah saw, seseorang telah menghadiahkan
aku sebuah busur panah dari orang-orang yang telah aku ajarkan membaca
Al-Qur’an, ia bukan harta (yang mahal) dan dapat aku gunakan memanah di
jalan Allah. Nabi bersabda: “Jika engkau senang dikalungi dengan kalung api
neraka maka terimalah.” (HR Abu Daud dan Ibnu Majah).
3. Penjelasan (Syarah Hadits)
Hadits di atas menjelaskan larangan menerima hadiah atau gaji dalam
pengajaran lawan hadits sebelumnya. Ubadah bin Shamit seorang sahabat
sebagai guru Al-Qur’an dan tulis menulis di Al-Shuffah. Ketika salah seorang
muridnya memberikan hadiah sebuah busur panah, ia melapor kepada nabi dan
bertanya tentang hal tersebut. Nabi pun menjawab dengan melarang dan
ancamannya. Yakni dikalungi neraka, maksudnya masuk neraka. Teks hadits
ini diawali dengan kata yang menyenangkan, tetapi sesungguhnya merupakan
ancaman; “Jika engkau senang dikalungi api neraka”, tentu tidak ada yang
senang.
Kitab ’Awn al-Ma’bud syarah Sunan Abi Daud disebutkan bahwa al-
khatabiy berkata bahwa para ulama berbeda pendapat dalam memahami hadits
di atas:
a. Sebagian ulama mengambil makna Hadits secara tekstual, bahwa
mengambil gaji dalam mengajarkan Al-Qur’an terlarang sebagaimana
pendapat Al-Zuhriy, Abu Hanifah, dan Ishak bin Rahawayh.
b. Sebagian mereka berpendapat tidak apa menerima upah atau gaji
dalam pengajaran Al-Qur’an selagi tidak dipersyaratkan, artinya
kehendak santri atau murid yang diajar, pendapat al-Hasan al-Bashriy,
Ibnu Sirin, dan al-Sya’biy.
Honor dan Gaji dalam Pendidikan
14
c. Sebagian lain memperbolehkan upah atau gaji dalam pengajaran
sebagimana pendapat Malik, Atha’, Al-Syafi’i, dan Abi Tsawr. Alasan
mereka ialah: Pertama, hadits Sahal bin Sa’ad bahwa yang
menjelaskan Rasulullah saw bersabda kepada seorang laki-laki yang
akan menikah, tetapi tidak mempunyai kemmpuan harta untuk mahar.
“Aku nikahkan engkau akan dia dengan maskawin apa yang engkau
hafal dari al-qur’an”. (HR Muttafaq ‘Alayh).
Hadits Abi Shamit di atas dipahami mereka sebagai sukarelawan dari
awal niatnya mencari pahala, bukan mencari pekerjaan, maka dilarang oleh
Rasulullah saw. Kedua, kondisi Ahl al-Shuffah orang miskin hidupnya makan
sedekah dari kaum Muslimin, seharusnya memang dibantu, bukan dipungut
biaya. Sebagian lagi berpendapat jika seorang yang mengajar Al-Qur’an itu
merupakan kewajiban ‘ain tidak boleh memungut upah atau gaji, tetapi jika
kewajiban kifayah boleh nmengambilnya.
Hasan Langulung dalam bukunya berjudul Asas-asas Pendidikan Islam
(1992:174-175), menjelaskan bahwa Ibnu Habib memberi komentar
interpretasi hadits ini adalah bahwa larangan itu pada permulaan Islam dan
ketika itu Al-Qur’an masih sedikit dihafalkan, belum tersebar dan belum
banyak dikenal orang. Jadi, mendapatkan gaji dalam mendapatkan gaji pada
masa itu serupa dengan harga Al-Qur’an. Tetapi ketika Al-Qur’an sudah
tersebar dan dikenal oleh masyarakat luas, penggajian alqur’an dipahami
sebagai penggajian kepada orang yang mengajarkannya, bukan harga Al-
Qur’an tersebut.1
Al-Ghazali yang mengharamkan gaji guru sebagaimana beberapa
alasan, yakni: bahwa hendaknya guru mengikuti pembawa syari’at, yaitu Nabi
Muhammad saw yang tidak menuntut gaji karena mengajarkan ilmu. Juga tidak
mengharap balasan dan syukur. Tetapi ia mengajar karena Allah dan ingin
1 Abdul Majid Khon, Hadis Tarbawi, (Jakarta: Kencana Prenamedia Group, 2012), hlm. 197-206
Honor dan Gaji dalam Pendidikan
14
mendekatkan diri kepada-Nya. Diantara alasan yang melarang profesionalitas
guru ialah:
a. Al-Qur’an diajarkan karena Allah, jadi tidaklah patut digaji orang yang
mengajarkannya. Ini alasan agama yang menuntut guru-guru bekerja di
jalan Allah.
b. Pemimpin-pemimpin kaum Muslimin pada permulaan kebangkitan Islam,
semuanya memperhatikan kepentingan kaum Muslimin. Tak ada di antara
mereka yang mengkhususkan guru-guru untuk mengajar anak-anak
mereka di surau-surau (kuttab) dan menggaji guru-guru tersebut. Inilah
alasan yang berasal dari tradisi yang diwaris dan kebijakan yang
dikerjakan oleeh ulama salaf. Adapun praktik kaum Muslimin dapat
dijadikan alasan kepada orang lain dan termasuk salah satu dasar agama.2
Demikian juga Plato dan Aristoteles berpendapat bahwa motivasi
belajar harus mengangkat derajat dan pengabdian, dalam kata lain harus
diniatkan demikian pada awal pekerjaan. Kalau begitu halnya motivasi awal
yang menentukan profesi guru atau pekerjaan-pekerjaan lain berarti bukan
larangan kepada profesionalitas guru atau pengajar.3
Dalam kehidupan manusia, tidak semua orang dapat bekerja untuk
dirinya sendiri, karena ketiadaan modal kerja, sehingga harus bekerja untuk
orang lain. Pekerja untuk orang lain bukan suatu kekurangan karena Rasul pun
sebelum diangkat menjadi Rasul adalah pengembala yang menadapatkan upah
dari pekerjaannya sebagai penggembala kambing penduduk Mekah pada
waktu itu, seperti yang terdapat dalam hadis berikut:
“Dari Abu Hurairah, Rasul bersabda: Allah tidak mengutus Rasul
kecuali sebelumnya ia sebagai pengembala, sahabat bertanya Anda ya Rasul.
Rasul menjawab: Aku mengembala kambing penduduk Mekah dengan upah
beberapa qirath.”
Dari hadis di atas diketahui bahwa bekerja untuk orang lain bukan
pekerjaan yang tidak layak, bahkan Rasul sendiri sebelum bi’sah menjadi
2 Ibid., hlm. 208
3 Ibid., hlm. 209
Honor dan Gaji dalam Pendidikan
14
pekerja untuk orang lain. Pekerjaan yang dapat dilakukan untuk mendapatkan
rizki Allah adalah dengan menggembalakan binatang ternak. Penggembala
mengerahkan tenaga dan waktunya untuk menjaga dan memenuhi kebutuhan
makan dan minum binatang yang digembalakan.4
4. Pelajaran yang Dapat Dipetik
a. Larangan memungut bayaran murid yang miskin untuk penggajian atau
upah guru yang mengajar Al-Qur’an.
b. Larangan menerima gaji bagi guru yang sejak awal berniat menjadi
sukarelawan atau pengajaran fardu’ain.
c. Bolehnya pekerjaan guru menjadi profesi dan berhak menerima gaji
sekalipun dalam mengajarkan Al-Qur’an atau ilmu agama asal tidak
matrealistis.5
4 http://cupitakyt.blogspot.com/2013/03/hadist-tarbawi-2_5.html, diakses pada: Senin, 26 Mei 2014, pkl: 14: 30 wib.
5 Op. Cit., hlm. 209
Honor dan Gaji dalam Pendidikan
14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
a. Bolehnya menerima upah dalam pengobatan orang sakit dengan ruqiyah atau
membaca ayat-ayat Al-Qur’an atau do’a-do’a dari Nabi saw.
b. Bolehnya penggajian, honor atau upah bagi para guru, pegawai dan karyawan
dalam sistem pendidikan dan pengajaran.
c. Sunahnya menerima, menghormati, dan menjamu tamu yang datang untuk
menginap.
d. Bolehnya berobat dengan menggunakan jampi-jampi atau bacaan do’a dari Al-
Qur’an dan Hadits.
e. Larangan memungut bayaran murid yang miskin untuk penggajian atau upah
guru yang mengajar Al-Qur’an.
f. Larangan menerima gaji bagi guru yang sejak awal berniat menjadi
sukarelawan atau pengajaran fardu’ain.
g. Bolehnya pekerjaan guru menjadi profesi dan berhak menerima gaji sekalipun
dalam mengajarkan Al-Qur’an atau ilmu agama asal tidak matrealistis.
3.2 Saran
Setelah menerima dan memahami materi yang telah disajikan, diharapkan
para audience dapat mengkaji lebih dalam dengan mencari sumber dan referensi
yang lebih banyak guna mendapatkan kebenaran yang valid. Selain itu, tim
penyusun juga sangat berharap ada feedback setelah dilakukannya diskusi, baik
berupa kritik dan saran ataupun berupa manfaat bagi para audience, serta
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Honor dan Gaji dalam Pendidikan
14
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad. 1992. Guru Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar
Baru.
Faiz Almaz, Muhammad. 1991. 1001 Hadis Terpilih. Jakarta:
Gema Insani Press.
Khon, Abdul Majid. 2012. Hadis Tarbawi. Jakarta: Kencana Prenamedia Group
Masyhur, Kahar. 1992. Bulughul Maram Jilid I. Jakarta: PT. Rineka
Ciptahttp://cupitakyt.blogspot.com/2013/03/hadist-tarbawi-2_5.html, diakses
pada: Senin, 26 Mei 2014, pkl: 14: 30 wib.
Honor dan Gaji dalam Pendidikan