bab i fe
TRANSCRIPT
BAB I
PENGANTAR
I.1 Latar Belakang
Perkembangan industri di Indonesia dewasa ini selain membawa
keuntungan dan kesejahteraan umat manusia, juga membawa dampak
negatip bagi lingkungan sekitar misalnya pencemaran oleh limbah industri.
Limbah industri ini dapat berbentuk padat, cair dan gas. Limbah cair yang
dapat berupa air limbah biasanya mengandung senyawa anorganik antara
lain ion-ion logam berat maupun senyawa organik seperti fenol dan
turunannya. Keberadaan fenol sebagai polutan biasanya berasal dari
industri petroleum dan migas, industri pulp dan kertas, rumah sakit,
industri plastik dan industri kayu, sehingga fenol potensial untuk
mencemari lingkungan perairan.
Kehadiran senyawa fenol maupun fenol terklorinasi seperti senyawa
p-klorofenol, diklorofenol, triklorofenol, tertraklorofenol dan pentaklorofenol
di perairan dapat berbahaya bagi lingkungan. Hal ini karena senyawa
fenol maupun fenol terklorinasi merupakan polutan yang mempunyai
toksisisitas yang tinggi dan bersifat karsinogen (pemicu kanker). Oleh
karena itu kandungan fenol (fenol total) di dalam limbah cair yang
diperbolehkan sesuai Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 42/MENLH/10/1996 tidak boleh lebih dari 2,0 mg/L. Rendahnya
batas ambang konsentrasi fenol dalam perairan mendorong dilakukannya
1
berbagai penelitian untuk menurunkan konsentrasi fenol atau
menghilangkan fenol dari air limbah.
Pengolahan fenol dan turunannya dapat dilakukan secara fisika,
biologi maupun kimia. Secara fisika, penanganan klorofenol dapat
dilakukan dengan cara adsorpsi menggunakan karbon aktif maupun zeolit
alam sebagai adsorben. Metode adsorpsi ini relatif sederhana dan
memberikan hasil yang efektif. Pengolahan fenol secara biologi, biasanya
dilakukan dengan cara peruraian menggunakan berbagai mikroorganisme
seperti Pseudomonas sp., yang juga disebut biodegradasi. Biodegradasi
p-klorofenol dalam kondisi anaerob dapat menguraikan senyawa tersebut
menjadi gas metana dan gas karbon dioksida dalam waktu yang relatif
cepat, sedangkan dalam kondisi aerob p-klorofenol dapat terdegradasi
menjadi CO2 dan H2O, tetapi memerlukan waktu yang relatif lama.
Degradasi klorofenol secara kimia dapat dilakukan antara lain
dengan cara oksidasi dan fotodegradasi. Secara oksidasi, oksidan yang
telah digunakan antara lain ozon dan hidrogen peroksida, yang sangat
efektif untuk pemecahan cincin benzena. Metoda oksidasi ini kurang
ekonomis karena memerlukan jumlah oksidan yang banyak dan
menghasilkan limbah bahan kimia.
Pada dasarnya klorofenol dapat mengalami degradasi secara
alamiah oleh cahaya matahari yang disebut fotodegradasi, namun
berlangsung secara lambat. Hal ini dapat mengakibatkan akumulasi yang
lebih cepat daripada degradasinya, sehingga konsentrasi p-klorofenol
2
akan terus meningkat sampai tingkat yang berbahaya. Peningkatan
efektivitas fotodegradasi fenol dapat dilakukan dengan menggunakan
fotokatalis antara lain Fe2O3, ZnO, CdS, dan TiO2. Kemampuan fotokatalis
berasal dari struktur elektronik yang dikarakterisasi oleh energi band gap
(Eg) antara 2,2 sampai dengan 3,5 eV. Di antara semikonduktor tersebut,
TiO2 paling sering diaplikasikan ke lingkungan daripada semikonduktor
yang lain. Hal ini karena TiO2 mempunyai harga energi band gap (Eg)
sebagai parameter fotokatalis yang cukup tinggi yaitu 3,0 eV untuk jenis
rutile dan 3,2 eV untuk jenis anatase. Selain mempunyai harga Eg yang
cukup tinggi, TiO2 mempunyai kestabilan yang tinggi terhadap proses
biologi dan kimia. Penggunaan fotokatalis TiO2 dalam fotodegradasi
senyawa fenol ini telah sering dikaji di laboratorium maupun diterapkan
pada instalasi pengolahan air limbah (IPAL) industri.
Selain oleh adanya fotokatalis TiO2, fotodegradasi juga dapat
ditingkatkan dengan adanya pemeka (sensitizer) yang berupa ion seperti
ion Fe (III). Sementara itu, suatu perairan sering menerima pembuangan
air limbah yang tidak hanya mengandung fenol, tetapi juga mengandung
TiO2 dan berbagai jenis ion logam seperti ion Fe(III), yang berasal dari
limbah industri cat, kosmetik, dan pelapisan logam. Dalam perairan
tersebut, jika ada sinar matahari yang cukup dan pH yang sesuai, maka
dapat terjadi degradasi p-klorofenol yang efektivitasnya dipengaruhi oleh
ion Fe(III). Sampai saat ini, fenomena tersebut belum banyak mendapat
perhatian. Oleh karena itu untuk membuktikan hal tersebut, dalam
3
penelitian ini akan dilakukan kajian pengaruh ion Fe(III) terhadap hasil
fotodegradasi p-klorofenol yang terkatalisis TiO2 dalam skala laboratorium.
Mengingat bahwa berlangsungnya proses fotodegradasi dapat
dipengaruhi oleh fotokatalis, reaktan, maupun kondisi proses, maka pada
penelitian ini telah dipelajari pengaruh jumlah fotokatalis, konsentrasi p-
klorofenol, konsentrasi ion Fe(III), dan pengaruh pH larutan terhadap hasil
fotodegradasi p-klorofenol. Selain itu, juga ditentukan efek proses
fotokatalisis terhadap kristalinitas TiO2, dan ion Fe(III). Senyawa-senyawa
hasil fotodegradasi p-klorofenol yang terkatalisis TiO2 dengan adanya ion
Fe(III) akan ditentukan jenis strukturnya.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar
desain penanganan limbah p-klorofenol secara alamiah dan sinergis,
misalnya pembuangan limbah p-klorofenol dilakukan di perairan yang
sama dengan pembuangan air limbah yang mengandung TiO2 dan ion
Fe(III). Pengolahan limbah secara alamiah atau self-treatment yang murah
dan efektif ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi
pengembangan ilmu di bidang lingkungan dan industri, khususnya dalam
teknologi penanganan air limbah.
4
I.2. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum penelitian adalah mengkaji pengaruh adanya ion
Fe(III) terhadap efektivitas fotodegradasi senyawa p-klorofenol
terkatalisis TiO2.
2. Tujuan Khusus dalam penelitian ini adalah :
a. Menentukan rasio konsentrasi p-klorofenol terhadap massa
TiO2 dan konsentrasi awal p-klorofenol minimum yang dapat
menghasilkan fotodegradasi p-klorofenol yang maksimum.
b. Mempelajari pengaruh adanya ion Fe(III) dan konsentrasi ion
Fe(III) terhadap efektivitas fotodegradasi p-klorofenol yang
terkatalisis TiO2.
c. Mempelajari pengaruh pH larutan terhadap efektivitas
fotodegradasi senyawa p-klorofenol yang terkatalisis TiO2
dengan adanya ion Fe(III).
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II. 1 Tinjauan Pustaka
Senyawa fenol dan turunannya misalnya p-klorofenol, dalam
perairan diketahui sebagai polutan yang berbahaya karena bersifat
karsinogenik (pemicu kanker) dan beracun (U.S. EPA, 1996). Usaha
penanganan fenol dalam skala laboratorium telah banyak dilakukan,
antara lain dengan cara fisika, biologi dan kimia. Secara fisika antara lain
dengan cara adsorpsi menggunakan karbon aktif (Hu et al., 2000) dan
zeolit alam (Sulistiyani dkk., 2000). Metoda adsorpsi dengan adsorben
karbon aktif merupakam metoda yang relatif sederhana dan efektif, namun
memerlukan biaya mahal. Selain itu, jika adsorben tersebut telah jenuh
dengan fenol, maka bahan ini akan menjadi limbah padat. Adsorpsi yang
lebih murah adalah dengan menggunakan zeolit alam yang tersedia
melimpah di Indonesia. Zeolit alam telah dibuktikan dapat berfungsi
sebagai adsorben dengan kapasitas yang cukup besar. Zeolit alam dapat
menyerap fenol yang bersifat polar karena memiliki sisi aktif seperti
hidroksil, (SiO4)4- dan (AlO4)5- yang juga bersifat polar (Brus, 1986).
Penanganan fenol secara biologi dilakukan dengan menggunakan
berbagai jenis mikroorganisme. Penggunaan mikroorganisme Clostridium
sp., Methanospirillum hungatii, dan Methanosarcina barkeri, yang bekerja
pada kondisi anaerob dapat mendegradasi 2,2-diklorofenol menjadi gas
6
metana dan gas karbon dioksida. Selain itu biodegradasi dengan
mikroorganisme Arthrobacter sp. dan Pseudomonas sp. pada kondisi
aerob dapat mendegradasi p-klorofenol menjadi CO2 dan H2O. Degradasi
klorofenol secara biologi (biodegradasi) pada kondisi aerob maupun
anaerob memerlukan waktu yang relatif lama (Sulfita dan Miller dalam
Chauldry, 1994).
Degradasi klorofenol secara kimia dapat dilakukan dengan berbagai
cara, salah satunya adalah oksidasi. Oksidan yang telah digunakan antara
lain ozon (Prado et al., 1994 dan Jung, 2001) dan hidrogen peroksida
(Zepp et al., 1992 dan Ghaly et al, 2001), yang sangat efektif untuk
pemecahan cincin benzena. Metode oksidasi biasanya kurang ekonomis
karena memerlukan jumlah oksidan yang banyak, dan menghasilkan
limbah bahan kimia.
Metoda kimia lain yang dikembangkan untuk mendegradasi fenol
dan turunannya adalah metoda fotodegradasi. Proses fotodegradasi
adalah peruraian dengan menggunakan energi foton yang dapat berasal
dari matahari maupun lampu UV. Proses fotodegradasi secara alamiah
yaitu dengan cahaya matahari biasanya berlangsung lambat. Oleh karena
itu telah dikembangkan berbagai macam fotokatalis untuk mempercepat
proses fotodegradasi tersebut, antara lain Fe2O3, ZnO, CdS dan TiO2.
Penggunaan TiO2 untuk mempercepat reaksi fotodegradasi fenol
telah dilaporkan oleh Hoffmann et al. (1995) dan Linsebigler et al. (1995).
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa fotodegradasi fenol dengan
7
katalis TiO2 berlangsung lebih efektif daripada tanpa katalis. Peiro, et al.
(2001) juga telah membuktikan bahwa aktivitas fotokatalis TiO2 dalam
mendegradasi senyawa organik cukup tinggi, dan penggunaan TiO2
dengan berat yang bervariasi menghasilkan pengaruh yang berbeda
terhadap penurunan konsentrasi polutan organik.
Penelitian aktivitas fotokatalitik TiO2 yang diembankan dalam
beberapa jenis zeolit seperti zeolit X dan zeolit Y untuk mendegradasi
asetofenon dalam medium cair telah dilaporkan oleh Liu et al. (1993), Xu
and Langford (1997). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
kemampuan fotokatalitik TiO2–zeolit lebih besar daripada TiO2 saja. Telah
dilaporkan pula oleh Vinodgopal et al. (1993) bahwa penggunaan
fotokatalis TiO2 yang diembankan pada elektroda memberikan hasil
degradasi p-klorofenol yang lebih tinggi daripada serbuk TiO2.
Selain itu, kajian fotodegrdasi fenol atau zat organik yang terkatalisis
TiO2 oleh adanya berbagai logam juga telah dilaporkan. Dominguez et al.
(1998) telah melakukan oksidasi fotokatalitik oleh TiO2 dengan adanya
FeCl3 untuk mendegradasi polutan-polutan organik dalam air seperti
dodesilbenzensulfonat (DBS), azynphos methyl dan dimethoate. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa selama 150 menit DBS mengalami
fotodegradasi sebesar 30% dengan adanya TiO2, dan terdegradasi 70%
oleh adanya campuran TiO2 dan FeCl3. Selama 20 menit azynphos methyl
mengalami fotodegradasi 85% oleh adanya FeCl3, dan dapat terdegradasi
100% dengan TiO2. Namun bila menggunakan campuran TiO2 dan FeCl3,
8
azynphos methyl dapat terdegradasi 100% selama 2 menit. Jadi adanya
ion Fe(III) dapat meningkatkan secara nyata efektifitas fotodegradasi
senyawa-senyawa organik yang terkatalisis TiO2.
Brezova et al. (1995) dan Shul’pin et al. (1997) juga telah
mempelajari pengaruh ion-ion logam terlarut seperti Ca2+, Mg2+, Ni2+,
Zn2+, Mn2+, Co2+, Cu2+, Cr3+, dan Fe3+ terhadap efektifitas fotodegradasi
fenol terkatalisis TiO2. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa Ca2+,
Mg2+, dan Ni2+ tidak mempunyai pengaruh terhadap laju degradasi fenol,
sedangkan Mn2+, Co2+, dan Cu2+ menghambat fotodegradasi fenol, Cr3+
dapat menghentikan degradasi fotokatalitik fenol, sementara itu Fe3+dapat
meningkatkan degradasi fenol.
Dari berbagai hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, dapat
diketahui bahwa di antara ion-ion logam yang telah dikaji, ion Fe(III)
adalah salah satu ion logam yang dapat meningkatkan fotodegradasi fenol
yang terkatalisis TiO2. Hal ini karena Fe(III) pada pH>4 yang berada
sebagai Fe(OH)2+, Fe(OH)2+, Fe2(OH)2
4+ atau Fe(OH)3 setelah menyerap
energi foton (hv) dapat menghasilkan radikal OH, yang merupakan
oksidator kuat (Brezova et al., 1995).
Penggunaan Fe2O3 dan FeO-Zeolit sebagai fotokatalisis terhadap
hasil fotodegradasi fenol telah dilaporkan oleh Wahyuni (2003). Hasil
penelitian diperoleh bahwa fotodegradasi fenol meningkat dengan
menggunakan fotokatalis FeO-Zeolit daripada Fe2O3 saja.
9
Sejauh ini kajian efek pH dan konsentrasi Fe(III) terhadap
fotodegradasi p-klorofenol yang terkatalisis TiO2 belum banyak dilaporkan.
Oleh karena itu pada penelitian ini telah dilakukan kajian pengaruh pH dan
konsentrasi ion Fe(III) terhadap efektivitas fotodegradasi senyawa
p-klorofenol yang terkatalisis TiO2.
II. 2 Landasan Teori
II. 2. 1 Senyawa p-klorofenol
Senyawa p-klorofenol atau 4-klorofenol merupakan fenol yang
tersubstitusi oleh klor pada posisi para yang mempunyai rumus molekul
C6H4OHCl dengan struktur molekul sebagai Gambar 1.
Gambar 1. Struktur molekul p-klorofenol
Sifat fisika p-klorofenol merupakan kristal putih kekuningan yang
berbau khas fenol, mempunyai densitas 1,224 g/mL pada suhu 20 ºC, titik
lebur 41-43 ºC, dan titik didih 217–220 ºC. Senyawa ini bersifat asam,
sangat mudah larut dalan aseton, alkohol, benzen, kloroform, eter dan
metanol, dan sedikit larut dalam air (Merck, 2000; NIOSH, 1994).
Pembakaran terhadap senyawa p-klorofenol akan menghasilkan HCl
dan Cl2 yang bersifat racun dan korosif. Senyawa para-klorofenol sangat
10
OH
Cl
berbahaya bagi manusia, antara lain jika terhirup dapat mengganggu
pernapasan, kontak dengan mata dapat menyebabkan iritasi, jika kontak
dengan kulit dapat menyebabkan kulit melepuh dan sangat beracun jika
tertelan. Tindakan pencegahan untuk keselamatan adalah setelah kontak
dengan kulit, maka kulit harus segera dicuci dengan air yang cukup.
Senyawa p-klorofenol dapat mengalami oksidasi sehingga dapat
berperan sebagai reduktor. Fenol dan fenol terklorinasi dapat mengalami
biodegradasi oleh adanya bakteri tertentu. Pada umumnya semakin
banyak jumlah klor yang terikat pada fenol, maka laju biodegradasi
aerobik semakin menurun. Waktu yang diperlukan untuk terjadinya proses
biodegradasi p-klorofenol secara aerobik adalah 2 hari untuk fenol, 14 hari
untuk 2-klorofenol, >72 hari untuk 3-klorofenol, 2,4,5-triklorofenol, 2,3,4,6-
tetraklorofenol dan pentaklorofenol, 9 hari untuk p-klorofenol dan
2,4-diklorofenol serta 5 hari untuk 2,4,6-triklorofenol (Aleksander dan
Aleem dalam Chauldry, 1994).
Senyawa p-klorofenol dalam suasana asam lebih mudah
melepaskan ion klorida daipada suasana basa, sehingga pada suasana
asam p-klorofenol lebih mudah menjadi senyawa fotoaktif dan mudah
terdegradasi menjadi senyawa lain yang lebih sederhana. Senyawa
p-klorofenol dapat mengalami reaksi fotooksidasi menjadi hidrokuinon,
p-benzokuinon, hidroksi p-benzokuinon, p-klorokatekol dan asam-asam
karboksilat, dan jika fotodegradasi berlangsung secara sempurna maka
11
akan menghasilkan CO2, HCl dan H2O (Hoffman et al., 1995, Alemany
et al., 1997, Burrows et al., 1998).
II. 2. 2 Titanium oksida (TiO2)
Sifat TiO2. TiO2 merupakan kristal yang berwarna putih dengan
indeks bias sangat tinggi dan titik lebur 1855 ºC. Kristal ini bersifat asam
yang tidak larut dalam air, asam klorida, asam sulfat encer dan alkohol,
tetapi larut dalam asam sulfat pekat dan asam fluorida (Merck, 2000).
TiO2 mempunyai 3 bentuk struktur kristal yaitu rutile, anatase dan brookite.
Rutile dan anatase mempunyai struktur tetragonal dengan tetapan kisi
kristal dan sifat fisika yang berbeda seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Perbandingan sifat TiO2 jenis rutile dan anatase (Fujishima et al., 1999)
Sifat Rutile Anatase
Bentuk kristal Tetragonal Tetragonal
Tetapan kisi-kisi a 4,58 Ǻ 3,78 Ǻ
Tetapan kisi-kisi c 2,95 Ǻ 9,49 Ǻ
Berat jenis 4,2 3,9
Indeks bias 2,71 2,52
Kekerasan 6,0-7,0 5,5-6,0
Permitivitas 114 31
Titik didih 1858ºC berubah menjadi rutile pada temperatur tinggi
12
Struktur rutile lebih stabil pada temperatur tinggi, sedangkan anatase
lebih stabil pada temperatur rendah. Brookite mempunyai struktur
ortorombik yang sulit dibuat dan jarang ditemukan. Titanium oksida relatif
melimpah dalam kulit bumi yaitu sekitar 0,6 %. Mineral TiO2 yang utama
adalah FeTiO3 (ilmenite) dan CaTiO3 (perovskite).
Sebagai fotokatalis, spesies aktif dari TiO2 dalam larutan berair
adalah >TiOH. Keberadaan >TiOH dari dapat dilihat dari persamaan
reaksi berikut:
>TiOH2 pKa1 >TiOH + H+ + e- pKa1 = 4,5 (1)
>TiOH pKa2 >TiO- + H+ pKa2 = 8,0 (2)
Dari persamaan reaksi 1 dan 2 terlihat bahwa >TiOH stabil pada pH 4,5
sampai dengan pH 8 (Hoffmann et al., 1995).
Kegunaan TiO2. TiO2 dapat dipergunakan antara lain sebagai
pigmen dalam industri cat, pemutih pada industri kosmetik, dan fotokatalis.
TiO2 dapat berfungsi sebagai fotokatalis yaitu mempercepat reaksi yang
diinduksi oleh cahaya karena mempunyai struktur semikonduktor yaitu
struktur elektronik yang dikarakterisasi oleh adanya pita valensi (valence
band; vb) terisi dan pita konduksi (conduction band; cb) yang kosong.
Kedua pita tersebut dipisahkan oleh celah yang disebut energi celah pita
(band gap energy; Eg). Eg TiO2 jenis anatase sebesar 3.2 eV dan jenis
rutile sebesar 3.0 eV, sehingga jenis anatase lebih fotoreaktif daripada
jenis rutile (Hoffmann et al., 1995; Fujishima et al., 1999). Secara umum,
13
cara kerja suatu fotokatalis digambarkan oleh Hoffmann et al. (1995),
yang disajikan dalam Gambar 2.
Keterangan : 1. Pembentukan muatan oleh foton 2. Rekombinasi pembawa muatan 3. Inisiasi reaksi oksidasi
4. Inisiasi reaksi reduksi5. Reaksi termal lanjutan6. Trapping elektron7. Trapping hole
Gambar 2. Mekanisme fotokatalitik TiO2
(Hoffmann et al., 1995)
Gambar 2 menunjukkan tahapan utama mekanisme fotokatalitik
TiO2 yaitu :
1. Pembentukan muatan oleh foton: Jika fotokatalis dikenai radiasi
foton (hv) dengan energi hv yang besarnya sama atau melebihi
energi celahnya (Eg), maka satu elektron akan tereksitasi ke dalam
pita konduksi (evb-) dengan meninggalkan lubang pada pita valensi
(hvb+).
14
eeb-
hvb+
4
3
Oksidator
Oksidator-
Reduktor+
Reduktor
CO2 , Cl- , H+ , H2O
7
5
6
Ti
Ti
2 1hv
HO
2. Rekombinasi pembawa muatan: Hole (lubang) pada pita valensi
(hvb+) dapat bertindak sebagai oksidator yang cukup kuat dan dapat
bergabung dengan elektron pada pita konduksi (ecb-) sambil
melepaskan panas.
3. Jika di dalam sistem terdapat substrat (misalnya p-klorofenol) yang
dapat teroksidasi maka lubang pada pita valensi (hVb+) akan
menginisiasi reaksi oksidasi terhadap substrat tersebut.
4. Jika di dalam sistem terdapat suatu oksidator (misalnya oksigen)
maka dapat terjadi inisiasi reaksi reduksi oleh elektron pada pita
konduksi (ecb-).
5. Reaksi fotoreduksi terkatalisis dan reaksi termal lanjutan ( misalnya
reaksi hidrolisis atau reaksi dengan oksigen aktif) akan
menghasilkan gas CO2, H+, Cl-, dan H2O.
6. Penjebakan (trapping) elektron pada pita konduksi (ecb-) ke
permukaan fotokatalis Ti(IV)OH membentuk Ti(III)OH.
7. Penjebakan (trapping) lubang pada pita valensi (hVb+) ke dalam
permukaan gugus titanol menghasilkan radikal OH. Radikal OH
pada permukaan Ti(IV)OH dapat bertindak sebagai oksidator.
Dengan demikian jelas bahwa peran fotokatalis adalah
menyediakan spesies oksidator yaitu lubang pada pita valensi (hvb+) dan
radikal OH, yang akan meningkatkan efektifitas reaksi fotodegradasi
suatu substrat seperti senyawa p-klorofenol. Tahapan reaksi fotokatalisis
TiO2 tersebut dapat dituliskan sebagai berikut:
15
1. Pembentukan pembawa muatan oleh foton (cahaya).
TiO2 + hv >Ti (IV) OH + hvb+ + ecb
- (3)
2. Trapping pembawa muatan.
hvb+ + >TiIV OH (>Ti IV OH )+ (4)
ecb- + >Ti IVOH ( >Ti III OH) (5)
ecb- + >Ti IV >Ti III (6)
3. Rekombinasi pembawa muatan
ecb- + (>Ti IVOH )+ >Ti IVOH (7)
hvb+ + (>Ti III OH) >TiIVOH (8)
4. Ttransfer muatan antar muka
(>Ti IV OH)+ + Red >TiIV OH + Red+ (9)
ecb- + Oks >TiIV OH + Oks (10)
(Hoffmann et al., 1997).
dimana >TiOH = bentuk terhidrat dari TiO2
Red (reduktant) = pendonor elektron
Oks (oksidant) = akseptor elektron
(>Ti IV OH)+ = permukaan dari penjebakan hvb+ (radikal OH)
(>Ti III OH) = permukaan dari penjebakan ecb-
Dengan demikian (>Ti IV OH)+ akan mengoksidasi senyawa organik
misalnya p-klorofenol menjadi senyawa yang fotoaktif atau senyawa yang
lebih sederhana.
16
II. 2. 3 Proses fotodegradasi p-klorofenol yang terkatalisis TiO2
Reaksi fotodegradasi atau reaksi perusakan senyawa organik pada
dasarnya merupakan reaksi oksidasi yang diinduksi oleh cahaya
UV/Visibel. Reaksi tersebut dapat berlangsung apabila dalam suatu
sistem terdapat sumber cahaya, substrat, oksigen dan fotokatalis.
Penyedia energi foton dapat berasal dari sinar matahari atau lampu UV,
substrat biasanya berupa senyawa organik yang dapat menyerap radiasi
UV/Vis seperti p-klorofenol. Jika senyawa organik tersebut menyerap
radiasi UV maka akan teraktifkan menjadi senyawa fotoaktif yang kurang
stabil dan selanjutnya senyawa ini akan terurai menjadi senyawa-senyawa
yang lebih sederhana.
Selain itu, molekul-molekul H2O yang telah menyerap radiasi UV
akan membentuk radikal OH yang dapat mendegradasi senyawa
p-klorofenol. Namun karena radikal OH yang dihasilkan relatif sangat
rendah maka pada umumnya reaksi ini berjalan lambat. Penyerapan
radiasi ultraviolet oleh molekul H2O dan oksigen terlarut juga dapat
menghasilkan radikal OH maupun radikal HO2 yang berfungsi sebagai
oksidator dan dapat mengoksidasi p-klorofenol.
Degradasi senyawa organik dapat meningkat dengan adanya radikal
OH yang tidak hanya berasal dari molekul H2O, tetapi juga berasal dari
permukaan fotokatalis. Jumlah radikal OH yang disediakan oleh
fotokatalis ini jauh lebih banyak daripada yang berasal dari H2O. Oleh
17
karena itu reaksi fotodegradasi dapat berlangsung lebih efektif dengan
adanya fotokatalis.
Fotokatalis TiO2 setelah menyerap foton, dapat menghasilkan
spesies hvb+ dan ecb
-. Spesies hvb+ bila bereaksi dengan >TiIVOH dapat
menghasilkan radikal OH. Sementara itu, spesies hvb+ dan spesies ecb
-
dapat bergabung kembali (rekombinasi) sambil melepaskan panas. Jika
hal ini terjadi maka jumlah radikal OH akan berkurang, sehingga terjadi
penurunan efektivitas dari fotokatalis. Rekombinasi ini dapat dicegah
dengan penambahan O2 sehingga pembentukan radikal OH pada
permukaan fotokatalis oleh adanya hvb+ tidak berkurang. Penyediaan
oksigen ke dalam sistem reaksi dapat dilakukan dengan cara mengalirkan
gas oksigen ke dalam sistem sampai jenuh sebelum sistem disinari
dengan lampu UV. Reaksi fotodegradasi p-klorofenol dapat dituliskan
sebagaimana yang diusulkan oleh Hoffmann et al. (1995) dalam
Gambar 3.
Gambar 3 menunjukkan bahwa bila senyawa p-klorofenol (4-CP)
bereaksi dengan radikal OH maka senyawa tersebut akan teroksidasi
menjadi 4-klorodihidroksi-fenil radikal (4-CD). Selanjutnya 4-CD dapat
mengalami reduksi menjadi hidroquinon (HQ) dan ion klorida. Selain
mengalami reduksi, 4-CD juga mengalami reaksi oksidasi dengan spesies
aktif (seperti HO2 atau OH) menjadi 4-klorokatekol (4-CC).
Senyawa p-klorokatekol tersebut dapat terhidrolisis membentuk senyawa
dengan cincin benzen terbuka dan terhidrolisis lagi menjadi senyawa
18
karboksilat sambil melepaskan HCl. Selanjutnya senyawa karboksilat
akan terurai menjadi CO2 dan H2O (Hoffmann et al., 1995). Menurut
Alemany et al. (1997), hidrokuinon juga dapat terurai menjadi asam
asetat dan asam karboksilat. Selanjutnya asam asetat dan karboksilat
terurai menjadi CO2 dan H2O.
Gambar 3. Mekanisme Fotodegradasi p-klorofenol terkatalis TiO2
(Hoffmann et al., 1995)
Efektivitas proses fotodegradasi terkatalisis dapat dipengaruhi oleh
katalis, reaktan dan kondisi proses. Peran katalis dapat diwakili oleh
jumlah fotokatalis. Jumlah fotokatalis akan menentukan jumlah permukaan
19
OH
Cl
> TiOH+
OH
Cl OH
OH
OH
OH
O Cl
OH+ le
le- 1 H-atom
H2O
4-CP 4-CD 4 C-C
HQ
+ Cl-
+ HCl
H2O
CO2 + H2O
OH CClO
CH2OH
OH
CH2OH
COOH
fotokatalis yang dapat menyediakan radikal OH. Dengan demikian,
jumlah radikal OH yang besar dapat meningkatkan efektivitas reaksi
fotodegradasi p-klorofenol.
Peran reaktan dapat berkaitan dengan konsentrasi reaktan tersebut
dalam sistem reaksi. Dengan kenaikan konsentrasi larutan p-klorofenol,
berarti jumlah tumbukan antar molekul p-klorofenol dan tumbukan antara
p-klorofenol dengan radikal OH bertambah banyak sehingga efektivitas
proses fotodegradasi p-klorofenol juga meningkat.
Kondisi proses yang berpengaruh antara lain pH dan lama waktu
penyinaran. pH larutan mempengaruhi spesiasi p-klorofenol, fotokatalis
TiO2, maupun ion Fe(III). Mengingat bahwa spesies-spesies tersebut
menentukan kemudahan proses fotodegradasi maka pH larutan juga
dapat berpengaruh terhadap efektivitas proses fotodegradasi. Spesiasi
p-klorofenol dan fotokatalis telah dikemukakan pada sub bab sebelumnya.
Lama waktu penyinaran dengan lampu UV dalam proses
menggambarkan lama interaksi (kontak) antara fotokatalis dengan cahaya
(hv) dan kontak antara radikal OH dengan substrat p-klorofenol. Semakin
lama waktu penyinaran maka semakin banyak energi foton yang diserap
oleh fotokatalis, sehingga radikal OH yang terbentuk pada permukaan
fotokatalis semakin banyak. Selain itu, semakin lama waktu penyinaran
berarti waktu kontak antara fotokatalis dengan larutan p-klorofenol juga
semakin lama. Hal ini akan meningkatkan efektivitas proses fotodegradasi
p-klorofenol.
20
II. 2. 4 Spesiasi besi
Besi merupakan logam yang melimpah kedua di alam sesudah
alumunium, dan unsur keempat yang melimpah di kulit bumi. Di alam, bijih
besi yang utama adalah hematite (Fe2O3), magnetite (Fe3O4), limonite
[FeO(OH)] dan siderite (FeCO3) (Cotton and Wilkinson, 1989). Besi
memiliki tingkat oksidasi +2, +3, +4, dan +6. Besi dengan tingkat oksidasi
+4, dan +6 tidak stabil, sedangkan besi dengan tingkat oksidasi +2 dan +3
adalah stabil. Spesiasi besi(II) dan besi(III) dalam suatu larutan
merupakan fungsi pH, seperti diperlihatkan pada Gambar 4 dan Gambar
5. Angka 1,0; 1,1; 1,2 dll. pada Gambar 4 dan 5 sebagai x,y dimana x
adalah jumlah atom Fe dan y adalah jumlah OH dalam satu senyawa.
Gambar 4. Spesies-spesies ion Fe(III) fungsi pH (Baes dan Mesmer,1976)
Gambar 4 menunjukkan bahwa hidrolisis ion Fe(III) dimulai pada
pH 1 dengan membentuk spesies Fe(H2O)5OH2+. Spesies binuklear
21
Fe2(OH)24+ dan dua buah spesies mononuklear Fe(OH)2+, Fe(OH)2
+
terbentuk pada suasana asam, sedangkan spesies Fe(OH)3 dan Fe(OH)4-
berada pada suasana netral dan basa. Sebelum terjadi pengendapan, ion
Fe(III) berada sebagai Fe3(OH)45+ dalam jumlah yang sangat kecil.
Endapan stabil dari Fe(OH)3 yaitu FeO(OH) (Baes dan Mesmer, 1976).
Reaksi fotooksidasi-reduksi (fotoredoks) antara ion Fe(III) dan H2O
air dengan adanya radiasi foton (hv) diawali oleh terjadinya reduksi ion
Fe(III) menjadi ion Fe(II), radikal OH dan H+, seperti reaksi berikut:
Fe3+ + H2O + hv Fe2+ + OH + H+ (11)
Selanjutnya radikal OH berfungsi sebagai oksidator kuat yang akan
mengoksidasi p-klorofenol (Brezova et al., 1995 dan Hoffmann et al.,
1995). Pembentukan radikal OH selain berasal dari hidrolisis ion Fe(III),
juga berasal dari spesies Fe(OH)2+, Fe(OH)2+, Fe2(OH)2
4+, Fe(OH)3 dan
Fe(OH)4-, yang setelah menyerap foton akan menghasilkan reaksi berikut
(Herrera et. al., 2001):
Fe(OH)2+ +hv Fe2++OH (12)
Fe(OH)2+ + hv Fe2++ 2OH+ e – (13)
Fe2(OH)24++ hv 2Fe2++2OH (14)
Fe(OH)3 + hv Fe 2+ + 3 OH + 2e– (15)
Fe(OH)4- + hv Fe2+ + 4OH + e– (16)
Spesies aktif dari Fe(III) dalam pelarut air adalah >FeOH.
Keberadaan >FeOH dapat dilihat dari reaksi berikut:
>FeOH2+ pKa1 >FeOH + H+ pKa1 = 6,7 (17)
22
>FeOH pKa2 >FeO- + H+ pKa2 = 10,4 (18)
Dari persamaan reaksi 17 dan 18 mengindikasikan bahwa spesies
aktif FeOH pada pH 6,7 sampai dengan 10,4. Selain sebagai Fe(III), besi
dapat berbentuk Fe(II). Spesies-spesies ion Fe(II) dalam suatu larutan
merupakan fungsi pH larutan, sehingga pada pH 0-7 spesies besi akan
berada sebagai ion Fe2+. Pada pH 7-14 diperlihatkan spesies-spesies ion
Fe(II) dalam suatu larutan merupakan fungsi pH larutan dan disajikan
sebagai Gambar 5.
Gambar 5. Spesies-spesies ion Fe(II) fungsi pH (Baes dan Masmer, 1976
Gambar 5 memperlihatkan bahwa pada pada pH 7 sampai dengan
14 ion Fe(II) terhidrolisis menghasilkan spesies mononuklear FeOH+,
Fe(OH)2, Fe(OH)3-, dan Fe(OH)4
2-. Hidrolisis ion Fe2+ membentuk ion
23
FeOH+ terjadi pada pH 8, dan terus meningkat sampai pH 10 dan turun
kembali sampai pH 12, dan pada pH 10 mulai terjadi pengendapan
Fe(OH)2. Pada pH 10 mulai terbentuk spesies Fe(OH)3- sampai pH 12,
dan pada pH 12 baru terbentuk spesies Fe(OH)42-.
Menurut Balzanni dan Carassiti (1970) bahwa dengan kenaikan pH,
jumlah ion Fe(II) pada larutan yang mengandung Fe(OH)3 akan berkurang
karena terjadinya reaksi balik produk Fe(II) setelah menyerap cahaya
menjadi Fe(III). Kecenderungan Fe2+ teroksidasi menjadi Fe3+ dalam
keadaan dalam asam maupun basa dan dapat diamati berdasarkan harga
potensial elektrodanya, seperti reaksi berikut:
2 Fe2+ + ½ O2 + 2H+ 2 Fe3+ + H2O E = 0,46 V (19)
Fe(OH)2 + OH ½ Fe2O3 . 3 H2O + e- E = 0,56 V (20)
Berdasarkan harga potensial elektrodanya, kecepatan oksidasi
spesies Fe(II) dalam larutan basa lebih tinggi daripada dalam larutan
asam.
II. 2. 5 Metode Analisis
Dalam penelitian ini dilakukan berbagai analisis, yaitu penentuan
jenis TiO2 dan penentuan tingkat kristalinitas fotokatalis TiO2 setelah
digunakan dalam proses fotodegradasi, analisis konsentrasi p-klorofenol
yang tidak terdegradasi, analisis konsentrasi Fe(II) hasil fotoreduksi
Fe(III), dan penentuan senyawa-senyawa hasil fotodegradasi p-klorofenol
yang masing-masing dilakukan dengan metode difraksi sinar-X,
24
kromatografi gas, spektrofotometri UV-Visibel, dan kromatografi cair
kinerja tinggi.
Metode difraksi sinar-X. Metode difraksi sinar-X adalah metode
analisis yang didasarkan pada difraksi radiasi elektromagnetik yang
berupa sinar-X oleh suatu kristal. Proses difraksi dapat terjadi karena
panjang gelombang sinar-X (0,5–2,5Ǻ) mempunyai order yang sama
dengan jarak antar bidang suatu kristal (d). Bragg menyusun
hipotesissebagai berikut:
2d sin = n . (21)
Persamaan 21 disebut hukum Bragg yang menunjukkan hubungan
antara jarak bidang kristal d, dengan sudut difraksi () suatu kristal pada
panjang gelombang tertentu (λ), dan n = order refleksi, yang mempunyai
harga 1, 2, 3 dan seterusnya. Secara umum orde refleksi suatu senyawa
dianggap 1, sehingga persamaan 21 menjadi:
2 d sin = (22)
Metode difraksi sinar-X digunakan untuk mengidentifikasi zat
padat kristal, karena setiap kristal mempunyai harga d dengan intensitas
yang karakteristik. Identifikasi jenis kristal TiO2 dilakukan dengan
membandingkan minimum 3 harga d dengan intensitas yang tinggi dari
difraktogram sampel TiO2 dengan difraktogram standar yang disediakan
oleh JCPDS. Data difraktogram TiO2 jenis rutile dan anatase dinyatakan
sebagai Tabel 2.
25
Tabel 2. Data XRD TiO2 jenis rutile dan anatase
Anatase Rutile
d(A) Intensitas d (A) Intensitas
3,52 100 3,24 999
2,43 10 2,48 442
2,38 20 2,29 65
2,33 10 2,18 171
1,89 35 2,05 60
1,70 20 1,68 479
1,67 20 1,62 139
1,48 14 1,48 66
d : Jarak antara tiap satuan bidang (International Centre for Diffraction Data, 2001)
Selain digunakan untuk mengidentifikasi jenis kristal TiO2, metode
difraksi sinar-X dalam penelitian ini juga digunakan untuk menentukan
kristalinitas TiO2 setelah digunakan. Hal ini dilakukan karena selama
proses fotokatalisis, kristalinitas TiO2 dimungkinkan mengalami kerusakan
kristal akibat interaksi dengan radiasi foton maupun dengan reaktan.
Kristalinitas TiO2 ditentukan dengan cara membandingkan intensitas
yang relatif tinggi pada beberapa harga d pada difraktogram sebelum dan
sesudah digunakan dalam proses fotodegradasi p-klorofenol. Jika
Intensitas total TiO2 sesudah digunakan dibandingkan dengan intensitas
total TiO2 sebelum digunakan mengalami penurunan, ini menunjukkan
bahwa TiO2 mengalami kerusakan kristal.
26
Metode kromatografi gas. Analisis larutan p-klorofenol dalam
penelitian ini dilakukan dengan kromatografi gas. Dasar analisis
kromatografi gas adalah perbedaan distribusi komponen sampel diantara
2 fase yaitu fase diam dan fase cair. Dalam kromatografi gas-cair, fase
diam (stationary phase) berupa cairan yang dilekatkan pada padatan,
sedangkan fase gerak (mobile phase) berupa gas yang mangalir terus
menerus sepanjang fase diam.
Pada kromatografi gas, sampel yang telah berubah menjadi uap
dibawa oleh gas pembawa (fase gerak) untuk melewati kolom. Dalam
kolom, komposisi sampel mempunyai koefisien distribusi berbeda-beda,
sehingga di dalam kolom, sampel akan terdistribusi di antara fase gerak
dan fase diam dengan waktu yang berbeda-beda pula. Fase diam akan
menahan komponen secara selektif berdasarkan koefisien distribusi
sampel. Pemisahan di dalam kolom memerlukan waktu tertentu. Waktu
sejak penyuntikan sampai puncak maksimum disebut waktu retensi (tR).
Pada suhu, laju alir dan kolom tertentu, waktu retensi suatu senyawa
adalah khas. Data kromatografi gas suatu sampel berupa kromatogram
yang terdiri dari puncak-puncak dengan luasan tertentu yang muncul pada
waktu retensi tertentu.
Analisis kualitatif terhadap sampel yang mengandung p-klorofenol
menggunakan kromatografi gas dikerjakan dengan cara membandingkan
waktu retensi suatu cuplikan terhadap waktu retensi p-klorofenol standar.
Sedangkan analisis kuantitatif dengan kromatografi gas bertujuan untuk
27
menentukan jumlah atau prosentase komponen dari suatu sampel, yang
dapat dikerjakan dengan metode standar eksternal. Prinsip utama metode
standar eksternal adalah pembuatan kurva standar yang menunjukkan
hubungan luas puncak dengan sederetan konsentrasi larutan p-klorofenol
standar. Cara penentuan konsentrasi p-klofenol dalam sampel dapat
dilakukan dengan cara mengintrapolasikan luas puncak sampel ke dalam
kurva standar p-klorofenol (Robyt dan White, 1987; Stewart dan Ebel,
2000).
Metode spektrofotometri UV-Visibel. Dasar analisis pada metode
spektrofotometri UV-Visibel adalah absorpsi radiasi UV-Visibel oleh
larutan berwarna yaitu mengandung solut yang mempunyai gugus
kromofor. Prinsip penentuan Fe(II) dengan metode spektrofotometri UV-
Visibel adalah 1 molekul Fe(II) yang terlarut dalam suasana asam akan
bereaksi dengan 3 molekul 1,10-fenantrolin membentuk ion kompleks
yang berwana merah orange dan reaksi yang terjadi dituliskan sebagai
persamaan 23 :
Fe2++ 3phen [Fe(phen)]32+ (23)
Struktur dari senyawa kompleks [Fe(phen)3]2+ sebagai Gambar 6.
28
2 +
N
N
Fe
3
Gambar 6. Struktur dari senyawa [Fe(phen)3]2+
Senyawa kompleks [Fe(phen)3]2+ dapat menyerap radiasi pada
panjang gelombang antara 490 sampai dengan 530 nm. Metode ini
selektif untuk penentuan Fe(II), karena Fe(III) tidak membentuk kompleks
dengan ortho-fenantrolin pada panjang gelombang tersebut.
Analisis kuantitatif dengan metoda spektrofotometri didasarkan pada
hubungan absorbansi dengan tebal larutan dan konsentrasi, yang dikenal
dengan hukum Lambert-Beer, yaitu:
A = . b. c atau A = a . b . c (24)
dimana A = absorbansi, b = tebal larutan, c = konsentrasi larutan, dan
= koefisien ekstingsi bila satuan konsentrasi mol/L dan a = absorptivitas
molar bila satuan konsentrasi dalam satuan gram/L.
Penentuan konsentrasi Fe(II) dalam sampel dilakukan dengan
mengintrapolasikan absorbansi sampel pada kurva standar Fe(II). Kurva
standar berupa hubungan antara absorbansi sederetan larutan standar
dengan berbagai konsentrasi dengan konsentrasi larutan tersebut. Dari
hubungan absorbansi (A) dengan konsentrasi larutan tersebut dapat
diperoleh persamaan garis regresi linear Y = a + bX , di mana Y adalah
29
absorbansi senyawa kompleks, X adalah konsentrasi larutan Fe(II),
a adalah titik potong (intercept), dan b adalah lereng (slope) (Robyt and
White, 1987; Stewart and Ebel, 2000).
Dalam analisis untuk mendapatkan hasil yang akurat, maka
dilakukan optimasi beberapa parameter antara lain optimasi panjang
gelombang, waktu kestabilan kompleks, pH dan perbandingan moll
1,10-fenantrolin / mol Fe(II).
Metode kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT). Kromatografi cair
kinerja tinggi (KCKT) atau high performance liquid chromatography
(HPLC) adalah kromatografi yang fase geraknya berupa cairan. Di dalam
setiap pemisahan suatu campuran yang terdiri dari 2 komponen yang
dipentingkan adalah kemampuan alat untuk memisahkan komponen satu
dan komponen lain yang disebut resolusi antara dua puncak. Efisiensi dan
efektivitas KCKT dipengaruhi oleh diameter kolom dan panjang kolom.
KCKT menggunakan kolom dengan diameter < 40 μm sehingga memiliki
efisiensi yang relatif tinggi dalam memisahkan analit.
Analisis kualitatif KCKT didasarkan pada perbedaan laju alir setiap
senyawa dalam suatu kolom. Cuplikan yang masuk ke dalam kolom,
komponen-komponennya akan terpisah dengan laju penahanan dalam
fase diam yang berbeda. Hal ini mengakibatkan komponen-komponen
senyawa yang keluar dari suatu kolom akan memiliki waktu retensi yang
berbeda. Untuk menentukan jenis senyawa dari suatu cuplikan, waktu
30
retensi dari komponen-komponen suatu cuplikan dibandingkan dengan
waktu retensi dari senyawa standar yang sama (Makuch and Kamiski,
1993).
II. 3 Hipotesis
Apabila TiO2 dikenai cahaya atau energi foton sebesar hv yang
sama atau lebih besar daripada energi bandgap (Eg) dari semikonduktor
fotokatalis tersebut maka TiO2 akan menyerap cahaya sehingga
menghasilkan radikal OH di permukaan katalis [OH(s)]. Semakin banyak
jumlah katalis yang dipergunakan maka semakin banyak permukaan TiO2
yang menyerap radiasi ultraviolet, sehingga jumlah radikal OH yang
dihasilkan juga bertambah banyak. Dengan bertambahnya jumlah radikal
OH maka efektivitas dalam fotodegradasi p-klorofenol semakin besar.
Dari uraian tersebut dapat diajukan hipotesis 1 sebagai berikut:
Hipotesis 1: Kenaikan jumlah fotokatalis TiO2 yang dipergunakan
dapat meningkatkan efektivitas fotodegradasi
p-klorofenol.
Efektivitas fotodegradasi p-klorofenol, selain dipengaruhi oleh jumlah
fotokatalis, juga dipengaruhi oleh konsentrasi awal reaktan (p-klorofenol).
Kenaikan konsentrasi awal p-klorofenol berarti jumlah tumbukan antar
molekul-molekul p-klorofenol dan tumbukan antara p-klorofenol dengan
radikal OH baik yang berada di permukaan katalis maupun di dalam
31
larutan bertambah banyak, sehingga efektivitas fotodegradasi p-klorofenoll
meningkat. Dengan demikian dapat diajukan hipotesis 2 sebagai berikut:
Hipotesis 2: Kenaikan konsentrasi awal p-klorofenol dapat
meningkatkan efektivitas fotodegradasi p-klorofenol.
Dalam reaksi fotodegradasi p-klorofenol, radikal OH tidak hanya
berasal dari TiO2 saja tetapi dapat berasal dari adanya ion Fe(III). Ion
Fe(III) di dalam larutan, yang dapat berada sebagai Fe3+, Fe(OH)2+,
Fe(OH)2+, [Fe2(OH)2 ]4+ dan Fe(OH)3, setelah menyerap radiasi UV akan
tereduksi menjadi ion Fe(II) dan radikal OH. Jadi adanya Fe(III) dan
fotokatalis TiO2, jumlah radikal OH yang dihasilkan lebih besar daripada
dengan fotokatalisis TiO2 saja. Dengan demikian dapat diajukan hipotesis
3 seperti berikut ini:
Hipotesis 3: Adanya spesies Fe(III) dalam larutan akan meningkatkan
efektivitas fotodegradasi p-klorofenol yang terkatalis
TiO2 yang peningkatannya sejalan dengan kenaikan
konsentrasi ion Fe(III) tersebut.
Spesiasi p-klorofenol, TiO2, maupun Fe(III) dapat dipengaruhi oleh
pH larutan. Pada suasana asam p-klorofenol akan lebih mudah
melepaskan ion kloridanya daripada suasana basa. Spesies aktif dari TiO2
dalam larutan berair adalah >TiOH. Spesies >TiOH stabil atau terbentuk
pada pH 4,5 sampaii dengan 8,0. Keberadaan TiOH dari TiO2 seperti
32
disebutkan pada bab sebelumnya. Hidrolisis ion Fe(III) dimulai pada pH 1
dengan membentuk spesies Fe(H2O)5OH2+. Spesies binuklear Fe2(OH)24+
dan dua buah spesies mononuklear Fe(OH)2+, Fe(OH)2+ terbentuk pada
pH asam, sedangkan spesies Fe(OH)3 dan Fe(OH)4- berada pada pH
netral dan basa. Spesies-spesies tersebut setelah menyerap foton
mempunyai kemudahan dalam membentuk radikal OH yang berbeda.
Radikal OH mudah terbentuk dari spesies Fe(OH)3 yang berada pada pH
6 sampai dengan 8. Dengan demikian dapat diajukan hipotesis sebagai
berikut:
Hipotesis 4 : jika dalam proses fotodegradasi p-klorofenol yang
dominan adalah peran fotokatalis TiO2 dan ion Fe(III),
maka proses yang paling efektif berlangsung pada pH
6 sampai dengan 8.
33
BAB III
CARA PENELITIAN
Dalam cara penelitian dikemukakan bahan, alat, dan prosedur
penelitian.
III. 1 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah p-klorofenol,
TiO2, FeCl3 .6H2O, Fe(NH4)2(SO4)2.6H2O, HCl, NaOH, KH-ftalat, KH2PO4,
KCl, dan H3BO3 semuanya buatan Merck, akuabides, kertas saring
Whatman 42, dan oksigen dari PT. Aneka gas.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah reaktor yang
dilengkapi dengan pengaduk magnetic P.N. 510-652 dan lampu UV tipe-C
40 Watt merk Phillip, Centrifuge IEC (International Equipment Company)
MP4R, Neraca analitik Mettler AE 200, pH meter OP-211,
Spektrofotometer UV-Vis Lambda 20 buatan Perkin Elmer, alat-alat gelas
meliputi erlenmeyer, labu ukur, pipet volume, corong gelas, dan beker
gelas (semuanya berada di laboratorium Kimia Analitik UGM), Difraksi
sinar-X merk Shimadzu tipe PW 3710 di jurusan Kimia UGM, Kromatografi
gas merk HITACHI Tipe 263-50 dan HPLC merk Shimadzu LC-6A di
laboratorium Kimia Fisika Pusat UGM Yogyakarta.
34
III. 2 Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian ini terdiri dari: (1) Karakterisasi TiO2, analisis
p-klorofenol yang tidak terdegradasi dan konsentrasi ion Fe(II), (2) Proses
fotodegradasi p-klorofenol, (3) Penentuan tingkat kristalinitas TiO2 setelah
digunakan dalam proses fotodegradasi p-klorofenol, dan (4) Analisis
senyawa–senyawa hasil fotodegradasi p-klorofenol.
III.2.1 Karakterisasi TiO2, analisis konsentrasi p-klorofenol yang tidak terdegradasi dan analisis konsentrasi ion Fe(II)
Karaktarisasi TiO2. Serbuk TiO2 murni dianalisis secara kualitatif
dengan metoda difraksi sinar-X untuk menentukan jenis struktur kristal
dari TiO2 dan kristalinitas TiO2 sesudah digunakan selama fotodegradasi p-
klorofenol. Penentuan ini dilakukan dengan kondisi sebagai berikut:
Tabung sinar X : - Logam target : Cu - Voltase : 40,0 kV - Arus : 30,0 mA Kisaran scan : 5.000 – 80.000 degLaju difraksi : 5 deg / menitSlit DS : 1,00 deg ; SS = 1,00 deg; RS = 0,30 mm
Difraktogram sinar-X berupa hubungan harga jarak antar bidang (d)
dan intensitas relatif (Ir). Identifikasi jenis kristal dilakukan dengan
membandingkan d dan Ir sampel dengan data dari JCPDS- International
Centre for Diffraction Data yang tersedia pada data base alat, sehingga
jenis kristal TiO2 murni dapat diketahui.
35
Analisis konsentrasi p-klorofenol yang tidak terdegradasi.
Konsentrasi p-klorofenol yang tidak terdegradasi dalam larutan diukur
dengan kromatografi gas menggunakan metoda standar eksternal. Kurva
standar dibuat dari satu seri larutan standar p-klorofenol dengan
konsentrasi 15, 25, 50 75, 100, 125,150, 175, 200, 225, 250 dan 300 mg/L
melalui pengenceran larutan induk p-klorofenol 1000 mg/L. Kondisi
operasi alat kromatografi gas yang digunakan adalah:
Alat : Kromatografi GasMerk : HITACHI 263-50Detektor : FIDKolom : SE 30 dengan panjang 2 m dan diameter 0,4 cmSuhu injector : 250CSuhu detector : 250C Suhu Kolom : 140CGas pembawa : N2 = 30 mL/ menit Udara = 1 kg/ cm2
H2 = 1 kg/ cm2
Kisaran : 10 2
Attunution : 2Volume injeksi : 3 LRekorder : Integrator C-R6A
Kromatogram yang dihasilkan berupa luas puncak (A) dengan
waktu retensi tertentu. Dari data luas puncak (A) dan konsentrasi p-
klorofenol (C) kemudian dibuat hubungan A dengan C yang diperoleh
persamaan garis regresi linear dan koefisien korelasi. Luas puncak (A)
sampel diintrapolasikan pada persamaan garis regresi dari larutan standar
p-klorofenol tersebut.
36
Analisis konsentrasi ion Fe(II). Pada proses fotodegradasi dengan
penambahan ion Fe(III), diduga ion Fe(III) tereduksi menjadi ion Fe(II).
Untuk memastikan hal itu dilakukan analisis konsentrasi ion Fe(II) yang
terjadi. Analisis Fe(II) dilakukan dengan metoda spektrofotometri Visibel
menggunakan pengompleks 1,10-fenantrolin yang membentuk warna
merah orange. Sebelum dilakukan analisis Fe(II) pada sampel, terlebih
dahulu dilakukan optimasi panjang gelombang, waktu kestabilan
kompleks, rasio mol 1,10-fenantrolin / mol Fe(II) dan pH. Selanjutnya
dilakukan pembuatan kurva standar Fe(II) dengan menggunakan kondisi
optimum.
Prosedur optimasi panjang gelombang pada penentuan Fe(II)
adalah sebagai berikut: 5,0 mL larutan p-klorofenol 10 mg/L ditambah
3 mL larutan NH2OH.HCl 10–3 M, dibuat pada pH 4 dengan larutan
HCl 0,2 M. Larutan tersebut kemudian dikomplekskan dengan 5 mL 1,10-
fenantrolin 10-2 M dan tambahkan akuabides sampai volume larutan
25,0 mL. Larutan berwarna yang terbentuk selanjutnya diukur
absorbansinya pada panjang gelombang 490–530 nm setelah 10 menit
dari saat pencampuran Fe(II) dengan 1,10-fenantrolin.
Penentuan dengan cara yang sama, telah dilakukan optimasi waktu
kestabilan kompleks, yaitu dengan mengukur absorbansi pada panjang
gelombang optimum dengan selang waktu 5 menit selama 60 menit, rasio
[mol 1,10- fenantrolin / mol Fe(II)] optimum (dengan variasi rasio mol 1-6),
dan pH (dengan variasi pH 1 – 7).
37
Pembuatan kurva standar Fe(II) 0,1–1,0 mg/L dilakukan sebagai
berikut : Dimasukkan larutan standar Fe(II) 10 mg/L berturut-turut 0,25;
0,5; 0,75; 1,0; 1,25; 1,50; 1,75; 2,0; 2,25 dan 2,50 mL dalam labu ukur
25,0 mL kemudian ditambah 3 mL larutan NH2OH.HCl 10–3 M, dan diatur
pH optimum. Selanjutnya larutan tersebut dikomplekskan dengan
1,10-fenantrolin 10-2 M dengan volume optimum dan tambahkan
akuabides sampai volume larutan 25,0 mL. Selanjutnya larutan tersebut
diukur absorbansinya pada panjang gelombang optimum setelah waktu
reaksi yang optimum. Dari data absorbansi dan konsentrasi Fe(II) dibuat
kurva standar sehingga diperoleh persamaan garis regresi dan koefisien
korelasi.
Penentuan konsentrasi Fe(II) dalam larutan sampel hasil
fotodegradasi p-klorofenol yang terkatalisis TiO2 dengan adanya ion Fe(III)
(variasi pH larutan 2-12 dan variasi konsentrasi ion Fe(III) 25-1200 mg/L
dilakukan dengan langkah yang sama, dan absorbansi sampel
diintrapolasikan pada kurva standar.
III.2.2 Proses fotodegradasi p-klorofenol yang terkatalisis TiO2
dengan adanya ion Fe(III)
Proses fotodegradasi p-klorofenol dilakukan secara sistem batch
dalam reaktor yang dilengkapi lampu UV tipe C 40 Watt. Proses diawali
dengan memasukkan 25,0 mL p-klorofenol 300 mg/L ke dalam
erlenmeyer, kemudian ditambahkan dengan 20 mg TiO2 dan dialiri gas
oksigen dengan laju alir 200 mL/menit selama 30 menit. Suspensi yang
38
diperoleh selanjutnya dimasukkan dalam reaktor seperti Gambar 7 yang
disinari lampu UV sambil diaduk dengan pengaduk magnetik selama
waktu tertentu. Larutan dipisahkan dari padatannya dengan cara
sentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit. Filtrat yang
diperoleh diencerkan sampai volume larutan tepat 25,0 mL dan dianalisis
dengan kromatografi gas guna penentuan konsentrasi p-klorofenol yang
tidak terdegradasi.
Gambar 7. Gambar reaktor yang digunakan dalam penelitian
Reaksi fotodegradasi p-klorofenol dapat dipengaruhi jumlah TiO2,
konsentrasi p-klorofenol, adanya ion Fe(III), konsentrasi Fe(III), dan pH
39
a. Kotak Tanpa celahb. Saklarc. Jendela d. Magnetik Stirrere. Erlenmeyer dan pengaduk magnetf. Lampu UV
larutan. Oleh karena itu pengaruh variabel-variabel tersebut telah
dipelajari dengan membuat variasi massa TiO2 (10, 20, 30 dan 40 mg per
25 mL larutan p-klorofenol 300 mg/L), variasi konsentrasi p-klorofenol
(200, 300, 400 dan 500 mg/L), penambahan ion Fe(III) 600 mg/L, variasi
konsentrasi ion Fe(III) yaitu 25, 75, 150, 300, 600, 900, dan 1200 mg/L,
dan variasi pH yaitu pH 2 - 12.
III.2.3 Penentuan tingkat kristalinitas TiO2 setelah digunakan dalam proses fotodegradasi
Padatan TiO2 yang telah digunakan dalam proses fotodegradasi p-
klorofenol selama 25 jam ditentukan tingkat kristalinitasnya dengan
metode difraksi sinar-X dengan kondisi alat sama seperti pada
karakterisasi TiO2. Dari difraktogram diperoleh intensitas total sampel TiO2
dari beberapa puncak yang tinggi. Selanjutnya kristalinitas TiO2 sesudah
digunakan selama fotodegradasi ditentukan dengan membandingkan
intensitas total sampel TiO2 sesudah digunakan dengan intensitas total
TiO2 awal dan dikalikan 100%.
III.2.4 Identifikasi senyawa hasil fotodegradasi p-klorofenol yang terkatalisis TiO2 dan adanya Fe(III)
Larutan hasil fotodegradasi p-klorofenol yang terkatalisis TiO2
dengan adanya ion Fe(III) selama waktu degradasi 1, 2, 4, dan 25 jam
dianalisis dengan metoda kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) untuk
diketahui jenis senyawa yang diperoleh sesudah proses fotodegradasi.
40
Identifikasi dilakukan dengan membandingkan senyawa hasil
fotodegradasi dengan senyawa dari larutan standar p-klorofenol dan
hidrokuinon. Kondisi operasi alat kromatografi cair kinerja tinggi yang
digunakan adalah:
Alat : Kromatografi Cair Kinerja Tinggi merk Shimadzu Pompa : Shimadzu LC-6A Kolom : ODS 3 dengan panjang 7 cm dan partikel 5 mikron Eluen : Rasio Volume metanol : volume H2O = 40 : 60 Laju alir : 1mL/ menitPanjang gelombang: 285 nm AUFS : 0,16Detektor : Shimadzu SPD - 6AVVolume injeksi : 5 LRekorder : Chromatopac C-R 6A
41
42
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini disajikan hasil penelitian dan pembahasan tentang :
(1) Karakterisasi TiO2, analisis konsentrasi p-klorofenol dan ion Fe(II), (2)
Proses fotodegradasi p-klorofenol yang terkatalisis TiO2, (3) Efek proses
fotokatalisis terhadap kristalinitas TiO2 dan ion Fe(III), dan (4) Identifikasi
senyawa-senyawa hasil fotodegradasi p-klorofenol yang terkatalisis TiO2
dengan adanya ion Fe(III).
IV.1 Karakterisasi TiO2 , Analisis Konsentrasi p-Klorofenol, dan Analisis Konsentrasi Ion Fe(II)
IV.1.1 Karakterisasi TiO2
Dalam penelitian ini digunakan TiO2 sebagai fotokatalis yang
diperoleh dari perdagangan. TiO2 dapat ditemukan sebagai rutile dan
anatase yang mempunyai fotoreaktivitas berbeda. Oleh karena itu pada
penelitian ini, TiO2 sebelum digunakan terlebih dahulu ditentukan jenisnya
dengan alat difraksi sinar-X. Difraktogram TiO2 sampel yang dibuat
dengan radiasi Cu -K dari sudut 2 = 10 – 80° ditampilkan sebagai
Gambar 8.
Gambar 8 menunjukkan adanya puncak-puncak dengan intensitas
yang tinggi pada 2 = 22,86; 25,35; 37,85; 48,10; 53,95; 55,13; dan
62,75°. Masing-masing harga 2 tersebut diubah menjadi harga jarak
antar bidang (d) mengikuti hukum Bragg, dengan panjang gelombang
1,54060 Ǻ. Harga-harga d tersebut berturut–turut adalah 3,89; 3,51; 2,38;
1,89; 1,70; 1,66; dan 1,48 Ǻ dengan intensitas 21, 100, 20, 32, 17, 19, dan
15 %.
2 θ (derajat)
Gambar 8. Difraktogram sampel TiO2
Harga-harga d dan intensitas sampel tersebut selanjutnya
dibandingkan dengan data XRD dari berbagai jenis TiO2 pada JCPDS-
International Centre for Difraction Data (2001) yang telah disajikan pada
Tabel 2. Data (d) dan intensitas (I) sampel ternyata sesuai dengan d dan I
karakteristik dari TiO2 jenis anatase.
TiO2 jenis anatase mempunyai harga Eg 3,2 eV yang lebih besar
daripada harga Eg jenis rutile yaitu 3,0 eV. Dengan demikian TiO2 jenis
anatase yang digunakan dalam penelitian ini diharapkan mempunyai
fotoaktivitas yang tinggi.
43
IV. 1. 2 Analisis konsentrasi p-klorofenol dan ion Fe(II)
Dalam penelitian ini telah dilakukan penentuan konsentrasi
larutan p-klorofenol yang tidak terdegradasi dan konsentrasi ion Fe(II)
yang terbentuk dalam larutan setelah proses fotodegradasi. Penentuan
konsentrasi larutan p-klorofenol dilakukan dengan metode kromatografi
gas dan penentuan konsentrasi ion Fe(II) dilakukan dengan metode
spektrofotometri UV-Visibel dengan pengompleks 1,10-fenantrolin.
Analisis p-klorofenol yang tidak terdegradasi dengan
kromatografi gas. Analisis p-klorofenol yang tidak terdegradasi dilakukan
dengan kromatografi gas, karena metoda ini lebih selektif dan praktis
daripada metoda lain seperti metoda spektrofotometri UV-Visibel. Dengan
kromatografi gas, senyawa yang berbeda mempunyai waktu retensi (tR)
yang berbeda pula. Sementara itu analisis p-klorofenol menggunakan
metoda spektrofotometri UV-Visibel dapat terjadi interferensi dengan
senyawa turunan fenol lain, yang terbentuk selama fotodegradasi. Hal ini
disebabkan senyawa turunan fenol lain tersebut mempunyai panjang
gelombang yang sangat berdekatan dengan panjang gelombang p-
klorofenol.
Kurva standar p-klorofenol dibuat dengan mengalurkan hasil
pengukuran luas puncak standar p-klorofenol terhadap sederetan
konsentrasi larutan standar p-klorofenol. Untuk menarik suatu garis lurus
pada grafik antara luas puncak (A) terhadap konsentrasi p-klorofenol (X),
44
diperoleh persamaan regresi yaitu Y = a + bX, a adalah titik potong
(intercept), b adalah lereng (slope) yang menggambarkan kepekaan
analisis, dan R2 adalah koefisien korelasi yang menunjukkan linearitas
kurva. Data luas puncak dari larutan srandar p-klorofenol tercantum dalam
Lampiran 5 dan kurva standar p-klorofenol disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9. Kurva standar p-klorofenol
Gambar 9 menunjukkan bahwa persamaan garis regresi p-klorofenol
yaitu Y = 49,156 X – 115,8 dan koefisien korelasi R2= 0,9948. Koefisien
korelasi yang mendekati 1 merupakan korelasi yang baik dan kurva
hampir linier. Dari data perhitungan pada lampiran 5 diperoleh limit deteksi
6,55 mg/L, di mana limit deteksi didefinisikan sebagai batas konsentrasi
minimum dari suatu hasil analisis yang memberikan sinyal instrumen yang
berbeda secara signifikan dari sinyal blanko, dan kisaran konsentrasi
45
p-klorofenol yang memberikan garis linear adalah 6,55 sampai dengan
300 mg/L Konsentrasi p-klorofenol yang tidak terdegradasi dalam sampel
dihitung dengan cara menginterpolasikan luas puncak sampel ke dalam
persamaan garis regresi dari kurva standar p-klorofenol yang diperoleh.
Analisis konsentrasi ion Fe(II) dengan metode spektrofotometri
UV- Visibel. Selama proses fotodegradasi p-klorofenol terkatalisis TiO2
dengan adanya ion Fe(III), maka ion Fe(III) akan tereduksi menjadi Fe(II).
Oleh karena itu perlu dilakukan analisis Fe(II) yang dilakukan
menggunakan metode spektrofotometri UV-Visibel dengan pengompleks
1,10-fenantrolin. Dengan metode ini diperoleh hasil yang selektif terhadap
pengukuran konsentrasi Fe(II) dan tidak terhadap Fe(III), sedangkan
metoda yang lain seperti spektrofotometri serapan atom (Atomic
Absorption Spectrophotometry=AAS) hanya dapat mengukur Fe total,
sehingga metoda tersebut tidak dapat membedakan konsentrasi ion Fe(II)
dan konsentrasi ion Fe(III).
Untuk mendapatkan hasil yang akurat, penentuan konsentrasi Fe(II)
dilakukan pada kondisi yang optimum. Oleh karena itu pada penelitian ini
telah dilakukan optimasi panjang gelombang, waktu kestabilan kompleks,
pH, dan rasio mol 1,10-fenantrolin / mol Fe(II). Data optimasi dan kurva
standar Fe(II) tecantum pada Lampiran 7.
Dari data pada lampiran 7, kondisi optimum diperoleh pada panjang
gelombang 510 nm, waktu kestabilan kompleks 10 menit dari
46
pencampuran Fe(II) dengan 1,10-fenantrolin, pH larutan 4, dan rasio mol
[1,10-fenantrolin:Fe(II)] adalah 3:1 diterapkan untuk analisis Fe(II) pada
langkah selanjutnya. Untuk menentukan Fe(II) yang terjadi selama proses
fotodegradasi p-klorofenol yang terkatalisis TiO2 dan adanya Fe(III)
diperlukan kurva standar Fe(II). Kurva standar Fe(II) disajikan dalam
Gambar 10.
Gambar 10. Kurva Standar Fe(II)
Gambar 10 menunjukkan persamaan garis regresi Fe(II) yaitu
Y= 0,3066X – 0,003 dan koefisien korelasi (R2) adalah 0,9967. Koefisien
korelasi ini menunjukkan linearitas kurva, dan R2 mendekati 1, berarti
kurva hampir linear. Dari data perhitungan pada lampiran 7 diperoleh limit
deteksi = 0,05 mg/L dan kisaran konsentrasi yang memberikan garis linear
antara 0,05 – 1,00 mg/L. Konsentrasi Fe(II) dalam sampel dihitung dengan
47
cara menginterpolasikan absorbansi sampel ke dalam persamaan garis
regresi dari kurva standar Fe(II) yang diperoleh.
IV. 2 Proses Fotodegradasi p-Klorofenol Terkatalis TiO2
Proses fotodegradasi dengan katalis TiO2 dilakukan dengan cara
mencampur suspensi p-klorofenol, serbuk TiO2, dan gas O2 sampai jenuh,
kemudian disinari dengan lampu UV 40 Watt. Lampu UV merupakan
sumber energi foton yang diperlukan agar reaksi fotokimia dapat terjadi.
TiO2 setelah meyerap radiasi foton dapat menyediakan radikal OH dan
menghasilkan elektron (ecb-). Radikal OH dan ecb
- dapat bergabung
kembali (rekombinasi) sambil melepaskan panas. Rekombinasi tersebut
dapat menurunkan jumlah radikal OH, sehingga harus dicegah.
Pencegahan rekombinasi tersebut dilakukan dengan cara menambahkan
oksigen yang akan menangkap eCB- tersebut. Efektivitas fotodegradasi
p-klorofenol dapat dipengaruhi oleh jumlah TiO2, konsentrasi awal
p-klorofenol, adanya ion Fe(III), konsentrasi ion Fe(III), dan pH larutan.
Faktor-faktor tersebut telah dipelajari dalam penelitian ini.
IV.2.1 Pengaruh jumlah TiO2 yang digunakan
Jumlah TiO2 yang dipergunakan berkaitan dengan jumlah radikal OH
yang dapat disediakan oleh fotokatalis. Hasil kajian tentang pengaruh
jumlah TiO2 untuk setiap 25,0 mL p-klorofenol 300 mg/L (data lengkap
disajikan sebagai Tabel 6. 1, Lampiran 6) ditunjukkan sebagai Gambar 11.
48
0
20
40
60
80
100
0 10 20 30 40 50
Jumlah TiO2 (mg) per 25 mL larutan
% p
-klo
rofe
nol t
erde
grad
asi
Gambar 11. Pengaruh jumlah fotokatalis terhadap efektivitas fotodegradasi p-klorofenol selama waktu reaksi 25 jam
Gambar 11 nampak bahwa kenaikan jumlah fotokatalis TiO2 dari
0 sampai dengan 40 mg akan meningkatkan jumlah p-klorofenol yang
terdegradasi. Hal ini mengindikasikan bahwa kenaikan massa fotokatalis
yang digunakan meningkatkan jumlah permukaan fotokatalis yang
menyediakan radikal OH. Adanya radikal OH yang semakin meningkat
maka reaksi fotodegradasi p-klorofenol semakin efektif dan jumlah
p-klorofenol terdegradasi semakin banyak. Untuk pertimbangan efisiensi,
dalam penelitian digunakan 20 mg TiO2 untuk setiap 25 mL larutan p-
klorofenol 300 mg/L.
IV.2.2 Pengaruh konsentrasi awal p-klorofenol
Peran p-klorofenol sebagai reaktan dapat berkaitan dengan
konsentrasi larutan tersebut. Pengaruh konsentrasi p-klorofenol terhadap
jumlah p-klorofenol yang terdegradasi (data lengkap pada pada Tabel 6.2,
Lampiran 6) disajikan dalam Gambar 12.
49
Gambar 12. Pengaruh konsentrasi awal p-klorofenol terhadap efektivitas
fotodegradasi p-klorofenol 5jam( TiO2 = 20 mg/25 ml)
Gambar 12 menunjukkan bahwa secara umum kenaikan konsentrasi
awal larutan p-klorofenol meningkatkan efektivitas fotodegradasi
p-klorofenol. Pada kenaikan konsentrasi awal larutan p-klorofenol 200
sampai dengan 300 mg/L talah meningkatkan efektivitas p-klorofenol
terdegradasi yang cukup nyata. Namun demikian, kenaikan konsentrasi
awal larutan p-klorofenol dari 300 sampai dengan 500 mg/L ternyata
hanya memberikan peningkatan pada efektivitas fotodegradasi
p-klorofenol yang sangat kecil.
Hal ini mengindikasikan bahwa kenaikan konsentrasi awal larutan
p-klorofenol dari 200-300 mg/L telah meningkatkan tumbukan efektif di
antara p-klorofenol maupun antara p-klorofenol dengan radikal OH di
permukaan fotokatalis sehingga efektivitas fotodegradasi p-klorofenol juga
semakin meningkat.
Untuk konsentrasi awal larutan p-klorofenol yang lebih tinggi lagi,
sudah terbentuk produk hasil fotodegradasi dalam jumlah banyak,
50
sehingga akan mengurangi interaksi antara permukaan fotokatalis dengan
p-klorofenol, akibatnya proses fotodegradasi p-klorofenol lebih lambat
atau kurang efektif. Dalam penelitian ini digunakan konsentrasi awal
larutan p-klorofenol 300 mg/L.
IV.2.3 Pengaruh adanya ion Fe(III) terhadap efektivitas fotodegradasi p- klorofenol terkatalisis TiO2
Pengaruh adanya ion Fe(III) terhadap efektivitas fotodegradasi
p-klorofenol terkatalisis TiO2 diamati selama waktu reaksi antara 0 sampai
dengan 50 jam pada pH 8. Data lengkap disajikan sebagai Tabel 6.3,
Lampiran 6 dan hasil perhitungan ditunjukkan sebagai Gambar 13.
Gambar 13. Pengaruh adanya ion Fe(III) [600 mg/L] terhadap efektivitas fotodegradasi p-klorofenol (pH 8)
51
Gambar 13 menunjukkan bahwa tanpa fotokatalis TiO2 fotodegradasi
p-klorofenol dapat berlangsung namun hasilnya sangat rendah. Dengan
penambahan fotokatalis TiO2, efektivitas fotodegradasi p-klorofenol terlihat
meningkat. Dengan penembahan fotokatalis TiO2 dan ion Fe(III),
efektivitas fotodegradasi p-klorofenol meningkat lebih tinggi lagi.
Efektivitas fotodegradasi p-klorofenol dapat berlangsung meskipun
tanpa fotokatalis, karena p-klorofenol setelah menyerap cahaya akan
menjadi senyawa fotoaktif atau radikal sehingga p-klorofenol tidak stabil
dan mudah mengalami degradasi. Selain itu, H2O setelah menyerap
cahaya dapat membentuk radikal OH, yang dapat menguraikan p-
klorofenol. Pada kondisi ini peruraian p-klorofenol menjadi senyawa
fotoaktif relatif lambat dan radikal OH yang berasal dari H2O jumlahnya
sangat kecil. Oleh karena itu proses kurang efektif dan hasil fotodegradasi
p-klorofenol rendah. Sementara itu, adanya TiO2 yang dapat menyediakan
radikal OH dengan mudah akan menambah jumlah radikal OH dalam
sistem reaksi, sehingga reaksi lebih efektif. Selain H2O dan TiO2, Fe(III)
yang berada sebagai Fe(OH)3 juga dapat membentuk radikal OH.
Dengan demikian jumlah radikal OH menjadi lebih banyak lagi dan
efektivitas fodegradasi p-klorofenol semakin meningkat.
Gambar 13 juga menunjukkan bahwa semakin lama penyinaran
(1 sampai dengan 25 jam), efektivitas fotodegradasi p-klorofenol semakin
meningkat. Untuk penyinaran yang lebih tinggi lagi (25 sampai dengan 50
jam), efektivitas fotodegradasi p-klorofenol terlihat relatif tetap.
52
Hal ini mengindikasikan bahwa pada penyinaran 1 sampai dengan
25 jam, interaksi antara cahaya dengan p-klorofenol, TiO2, dan Fe(III)
semakin besar sehingga jumlah p-klorofenol yang menjadi senyawa
fotoaktif dan radikal OH yang terbentuk semakin banyak. Selain itu,
interaksi radikal OH dengan p-klorofenol juga semakin lama sehingga
reaksi fodegradasi p-klorofenol semakin efektif. Akan tetapi pada waktu
reaksi yang semakin lama, produk hasil fotodegradasi yang telah
terbentuk semakin banyak. Hal ini dapat menghalangi interaksi antara
cahaya dengan reaktan, cahaya dengan fotokatalis, dan fotokatalis
dengan reaktan, sehingga fotodegradasi p-klorofenol lebih lambat atau
kurang efektif.
IV.2.4 Pengaruh konsentrasi ion Fe(III) terhadap efektivitas fotodegradasi p- klorofenol terkatalisis TiO2.
Dari kajian sebelumnya menunjukkan bahwa adanya Fe(III) dapat
meningkatkan fotodegradasi p-klorofenol. Untuk mendukung hal tersebut
telah dilakukan kajian tentang pengaruh konsentrasi ion Fe(III) terhadap
fotodegradasi p-klorofenol terkatalis TiO2. Data lengkap disajikan sebagai
Tabel 6.4, Lampiran 6 dan hasil perhitungan ditunjukkan sebagai Gambar
14.
53
Gambar 14. Pengaruh konsentrasi ion Fe(III) terhadap efektivitas fotodegradasi p-klorofenol terkatalisis TiO2 (pH 8)
Gambar 14 menunjukkan bahwa pada kenaikan konsentrasi ion
Fe(III) dari 25 sampai dengan 600 mg/L memberikan kenaikan prosen
p-klorofenol terdegradasi yang cukup tajam. Namun kenaikan konsentrasi
Fe(III) dari 600 sampai dengan 1200 mg/L kenaikan prosen p-klorofenol
yang terdegradasi relatif kecil.
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa peran Fe(III) pada pH 8
yang barada sebagai Fe(OH)3 adalah menyediakan radikal OH. Jadi
radikal OH dapat berasal dari H2O, TiO2, dan Fe(OH)3. Dengan
bertambahnya konsentrasi ion Fe(III) maka Fe(OH)3 yang terbentuk juga
semakin besar, sehingga jumlah radikal OH yang terbentuk juga semakin
banyak, dan reaksi fotodegradasi p-klorofenol semakin efektif. Namun jika
konsentrasi Fe(III) lebih tinggi lagi maka jumlah Fe(OH)3 yang terbentuk
semakin banyak, sehingga dapat menutupi permukaan TiO2 dan
54
menghalangi pembentukan radikal OH. Dengan demikian reaksi reaksi
fotodegradasi p-klorofenol kurang efektif.
IV.2.5 Pengaruh pH larutan terhadap efektivitas fotodegradasi p-klorofenol terkatalisis TiO2 dan adanya ion Fe(III)
Pengaruh pH larutan terhadap hasil fotodegradasi p-klorofenol
terkatalisis TiO2 dengan adanya ion Fe(III) juga telah dipelajari dalam
penelitian ini. Hal ini karena spesiasi p-klorofenol, TiO2 maupun ion Fe(III)
merupakan fungsi pH larutan. Pengaruh pH terhadap efektivitas
fotodegradasi p-klorofenol (data lengkap dalam Tabel 6.5, Lampiran 6),
disajikan dalam Gambar 15.
Gambar 15. Pengaruh pH larutan terhadap efektivitas fotodegradasi p-klorofenol (300 mg/L) yang terkatalis TiO2 dan ion Fe(III) 600 mg/L selama waktu reaksi 25 jam
Gambar 15 menunjukkan bahwa kenaikan pH dari 2 sampai
dengan 6, telah meningkatkan hasil fotodegradasi p-klorofenol, pada
kenaikan pH dari 6 sampai dengan 8, jumlah p-klorofenol terdegradasi
55
relatif tetap, dan kenaikan pH dari 8 sampai dengan 12 menyebabkan
penurunan p-klorofenol yang teredegradasi. Jika ditinjau dari spesiasi
p-klorofenol, pada pH asam p-klorofenol lebih mudah melepas ion klorida
sehingga lebih mudah terdegradasi. Namun data menunjukkan hal yang
sebaliknya. Oleh karena itu perlu ditinjau dari spesiasi TiO2 dan Fe(III).
Spesies TiO2 lebih mudah membentuk radikal OH jika berbentuk
TiOH. TiOH dapat terbentuk pada pH 4,5 sampai dengann 8 (Hoffmann
et al., 1995). Pada pH < 4,5 TiO2 berada sebagai TiOH2 dan pada pH > 8
TiO2 berada sebagai TiO- sehingga sulit membentuk radikal OH. Namun
demikian, seharusnya efektivitas fotodegradasi p-klorofenol tertinggi pada
pH 4,5 sampai dengan 8. Sementara itu, efektivitas fotodegradasi
p-klorofenol pada pH 4,5 sampai dengan 6 relatif lebih rendah dan hasil
tertinggi diperoleh pada pH 6 sampai dengan 8. Hasil yang lebih rendah
pada pH 4,5 sampai dengan 6, kemungkinan karena spesies ion Fe(III).
Oleh karena itu, perlu dilihat spesies ion Fe(III) pada pH larutan.
Pada kenaikan pH dari 2 sampai dengan 4, ion Fe(III) berada
sebagai Fe3+, sehingga jumlah radikal OH kecil. Pada kenaikan pH dari 4
sampai dengan 6, ion Fe(III) berada sebagai campuran Fe(OH)2+,
Fe(OH)2+, Fe2(OH)2
4+dan Fe(OH)3, dengan jumlah Fe(OH)3 semakin
banyak sehingga jumlah radikal OH lebih besar daripada sebagai Fe3+.
Pada kenaikan pH dari 6 sampai dengan 8, jumlah Fe(OH)3 paling
dominan sehingga jumlah radikal OH paling maksimal. Sedangkan pada
pH > 8, ion Fe(III) berada sebagai anion Fe(OH)4– sehingga sulit
56
membentuk radikal OH dan efektivitas fotodegradasi p-klorofenol
menurun.
Dengan demikian, jika hanya dilihat peran TiO2 saja, maka efektivitas
fotodegradasi tertinggi pada pH 4-8. Sedangkan ion Fe(III) pada pH 4,5
sampai dengan 6 merupakan campuran Fe(OH)2+, Fe(OH)2+, Fe2(OH)2
4+,
dan Fe(OH)3 maka pembentukan radikal OH berkurang dan ion Fe(III)
pada pH >8 berada sebagai anion Fe(OH)4-, sehingga sulit membentuk
radikal OH. Dengan demikian, jumlah radikal OH tertinggi pada pH 6
sampai dengan 8, berasal dari TiO2 dan Fe(III), sehingga efektivitas
fotodegradasi p-klorofenol diperoleh pada pH 6 sampai dengan 8.
IV. 3 Efek Proses Fotokatalisis Terhadap Kristalinitas TiO2 dan Ion Fe(III)
IV.3.1 Efek proses fotokatalisis terhadap kristalinitas TiO2
Dalam proses fotokatalisis, TiO2 berinteraksi dengan hv untuk
pembentukan radikal OH, maupun dengan p-klorofenol dan ion Fe(III).
Hal ini dapat berpengaruh terhadap kristalinitas TiO2. Untuk mengetahui
hal ini maka dilakukan penentuan kristalinitas TiO2, dengan membuat
difraktogram sinar-X sampel tersebut. Kristalinitas ditentukan dengan cara
membandingkan intensitas yang tinggi dari beberapa harga d pada
difraktogram TiO2 sebelum dan sesudah digunakan dalam proses
fotodegradasi. Difraktogram TiO2 sebelum dan sesudah digunakan untuk
fotodegradasi p-klorofenol selama 25 jam disajikan sebagai Gambar 16.
57
Gambar 16. Difraktogram TiO2 sebelum dan sesudah digunakan dalam proses fotodegradasi p-klorofenol
Gambar 16 menunjukkan adanya beberapa puncak dengan
7 puncak yang mempunyai intensitas tinggi pada beberapa sudut 2θ. Dari
data difraktogram diperoleh harga d dan intensitas relatif TiO2 sebelum
dan sesudah digunakan dalam memfotodegradasi p-klorofenol selama
25 jam dan data disajikan dalam Tabel 3.
58
Tabel 3. Data 2θ, d ,dan intensitas TiO2 sebelum dan sesudah digunakan pada proses fotodegradasi p-klorofenol
Puncak No 2θ d (Ǻ)Intensitas
Sebelum Sesudah 1 22,86 3,89 1034 855
2 25,35 3,51 4978 4160
3 37,85 2,38 998 898
4 48,10 1,89 1600 1364
5 53,95 1,70 827 778
6 55,95 1,66 933 797
7 62,75 1,48 729 670
Jumlah 11094 9522
Dari Tabel 3 ditunjukkan bahwa jumlah intensitas total TiO2
sebelum digunakan adalah 11094 dan jumlah intensitas TiO2 sesudah
digunakan adalah 9522. Bila kristalinitas TiO2 sebelum digunakan
dianggap 100%, maka kristalinitas TiO2 sesudah digunakan adalah
85,87% yang berarti terjadi kerusakan sebesar 14,13%. Hal ini
mengindikasikan bahwa iselama fotodegradasi terjadi interaksi antara TiO2
dengan cahaya maupun antara TiO2 dengan p-klorofenol dan Fe(III).
IV.3.2 Efek proses fotodegradasi p-klorofenol terkatalisis TiO2
terhadap ion Fe(III) Peran Fe(III) dalam meningkatkan hasil fotodegradasi p-klorofenol
adalah menyediakan radikal OH dan atau menangkap elektron sehingga
59
ion Fe(III) dapat tereduksi menjadi ion Fe(II) yang terlarut. Peran tersebut
tergantung pada spesies ion Fe(III) yang keberadaannya tergantung pada
pH larutan. Untuk membuktikan hal tersebut telah diukur konsentrasi ion
Fe(II) dalam larutan hasil fotodegradasi pada berbagai pH. Data lengkap
dalam Tabel 9.1, Lampiran 9 dan hasil perhitungan disajikan sebagai
Gambar 17.
.
Gambar 17. Pengaruh pH larutan pada proses fotodegradasi p-klorofenol terkatalisis TiO2 selama 25 jam dengan adanya ion Fe(III) 600 mg/L terhadap konsentrasi ion Fe(II)
Gambar 17 menunjukkan bahwa pada kenaikan pH dari 2 sampai
dengan 4, jumlah ion Fe(II) hasil reduksi ion Fe(III) relatif tinggi. Pada
kenaikan pH dari 4 sampai dengan 8, jumlah ion Fe(II) yang terbentuk
mengalami penurunan secara drastis. Pada kenaikan pH dari 8 sampai
dengan 12, jumlah ion Fe(II) sangat kecil dan relatif tetap.
Pada pH 2 sampai dengan 4 ion, Fe(III) yang berada sebagai ion
Fe3+ dapat menangkap elektron yang dihasilkan oleh TiO2 setelah
60
menyerap cahaya, dan tereduksi menjadi ion Fe2+. Pada kenaikan pH dari
4 sampai dengan 8, spesies Fe(III) yang berada sebagai campuran
Fe(OH)2+, Fe(OH)2+, Fe2(OH)2
4+, dan Fe(OH)3. Fe(III) yang berupa kation
tersebut lebih mudah menangkap elektron dan lebih mudah tereduksi,
sedangkan Fe(III) yang berada sebagai Fe(OH)3 sulit menangkap elektron
dan sulit tereduksi menjadi ion Fe(II). Namun dengan kenaikan pH, jumlah
Fe(III) sebagai kation berkurang dan jumlah Fe(OH)3 meningkat, sehingga
jumlah ion Fe(III) yang tereduksi menjadi ion Fe(II) berkurang. Pada
kenaikan pH dari 8 sampai dengan 12, ion Fe(III) berada sebagai Fe(OH)4-
yang tidak dapat menangkap elektron sehingga ion Fe(III) sulit tereduksi.
Untuk mendukung bahwa ion Fe(III) dapat tereduksi menjadi ion
Fe(II), juga telah dilaakukan penentuan Fe(II) yang terbentuk sebagai hasil
fotoreduksi pada konsentrasi Fe(III) yang bervariasi pada pH 8. Data
lengkap dalam Tabel 9.2, Lampiran 9 dan Hasil perhitungan disajikan
sebagai Gambar 18.
Gambar 18 menunjukkan bahwa pada kenaikan konsentrasi Fe(III)
dari 25 sampai dengan 600 mg/L, konsentrasi ion Fe(II) yang terbentuk
dari reduksi ion Fe(III) semakin meningkat. Namun pada konsentrasi yang
lebih tinggi lagi (600 sampai dengan 1200 mg/L) konsentrasi ion Fe(II)
yang dihasilkan relatif tetap.
61
Gambar 18. Pengaruh konsentrasi Fe(III) pada proses fotodegradasi p-klorofenol terkatalisis TiO2 terhadap pembentukan ion Fe(II) (mg/L) pada pH 8
Pada pH 8, spesies Fe(III) berada sebagai campuran Fe(OH)2+,
Fe(OH)2+, Fe2(OH)2
4+, dan Fe(OH)3. Ion Fe(III) yang berupa kation tersebut
lebih mudah menangkap elektron dan lebih mudah tereduksi menjadi ion
Fe(II) daripada yang berada sebagai Fe(OH)3. Dengan kenaikan
konsentrasi ion Fe(III), jumlah Fe(III) yang berupa kation bertambah
banyak sehingga lebih mudah menangkap elektron dan ion Fe(III) yang
tereduksi semakin meningkat meskipun jumlahnya rendah. Namun
demikian, untuk konsentrasi ion Fe(III) yang lebih tinggi lagi produk hasil
fotodegradasi sudah terbentuk, sehingga akan menghalangi ion Fe(III)
dalam menangkap elektron dan tereduksi menjadi ion Fe(II) lebih sulit.
V. 4 Penentuan Senyawa Hasil Fotodegradasi p-Klorofenol Terkatalis TiO2 dengan Adanya Ion Fe(III)
62
Penentuan senyawa-senyawa hasil fotodegradasi p-klorofenol
terkatalis TiO2 dilakukan dengan menggunakan kromatografi cair kinerja
tinggi (KCKT) atau high performance liquid chromatography (HPLC).
Larutan yang dianalisis adalah larutan hasil fotodegradasi selama 1, 2, 4
dan 25 jam. Gambar kromatogram sampel disajikan sebagai Gambar 19
dan Gambar 20.
Gambar 19. Kromatogram hasil fotodegradasi p-klorofenol yang terkatalisis TiO2 dengan adanya ion Fe(III) selama waktu fotodegradasi a. 1jam, b. 2 jam.
63
Gambar 19 a Gambar 19 b
Gambar 20. Kromatogram hasil fotodegradasi p-klorofenol yang terkatalisis TiO2 dengan adanya ion Fe(III) selama waktu fotodegradasi a. 4 jam, b. 25 jam.
Dari Gambar 19 dan 20 dapat diketahui bahwa setelah fotodegradasi
terdapat luas puncak (A) yang berbeda dan dari data kromatogram
diperoleh harga waktu retensi dan luas puncak sampel yang disajikan
sebagai Tabel 4.
Kromatogram larutan standar p-klorofenol dan hidrokuinon
disajikan sebagai Gambar 21.
64
Gambar 20 a Gambar 20 b
Gambar 21. Kromatogram larutan standar (A) p-klorofenol (B) hidrokuinon
Tabel 4. Harga tR dan Luas Puncak (A) Setelah Proses Fotodegradasi p-Klorofenol yang Terkatalisis TiO2 dengan Adanya Ion Fe(III)
No
Puncak
Senyawa
Waktu
retensi
(menit)
Luas puncak (A) sampel setelah
mengalami fotodegradasi selama
waktu tertentu (jam)
1 2 4 25
1 X1 – X20 0,600 11857 13786 24129 -
2 Y 0,825 1441 1441 550 -
3 Hidrokuinon 1,045 3005 3226 5533 -
4 Z 1,433 - - 671 -
5 p-Klorofenol 5,890 178392 175266 163371 11179
Dari Tabel 4 terlihat bahwa selama waktu reaksi (1 sampai 25 jam)
larutan hasil fotodegradasi memberikan 5 harga tr yang berbeda. Selain itu
65
juga terlihat bahwa semakin lama waktu degradasi maka harga luas
puncak (A) yang menunjukkan jumlah / konsentrasi yang berbeda untuk
setiap komponen. Kromatogram HPLC dari larutan standar hidrokuinon
dan p-klorofenol, memberikan harga tR = 1,045 untuk hidrokuinon dan
tr = 5,890 untuk p-klorofenol (Gambar 21). Dengan demikian dapat
diketahui bahwa dalam larutan hasil fotodegradasi mengandung
hidrokuinon dan p-klorofenol yang tidak terdegradasi. Namun untuk ketiga
senyawa yang lain belum dapat ditentukan jenisnya sehingga diberi notasi
senyawa X, Y, dan Z.
Fase diam yang digunakan dalam HPLC adalah oktadesilsilika 3
yang bersifat non polar, sehingga senyawa yang mempunyai sifat non
polar akan tertahan lebih lama pada fase diam tersebut, dan sebaliknya
senyawa yang polaritasnya tinggi akan terpisah lebih dahulu (waktu
retensi rendah). Harga tR senyawa X < tR senyawa Y < tR hidrokuinon,
mengindikasikan bahwa polaritas senyawa X > polaritas senyawa Y >
polaritas hidrokuinon. Sementara itu tR hidrokuinon < tR senyawa Z<
tR p-klorofenol, mengindikasikan bahwa polaritas hidrokuinon > polaritas
senyawa Z > polaritas p-klorofenol.
Dalam waktu reaksi 1 sampai dengan 4 jam, luas puncak
hidrokuinon dan senyawa X semakin bertambah, yang berarti jumlah
hidrokuinon dan senyawa X semakin bertambah, yang berarti hidrokuinon
dan senyawa X merupakan senyawa hasil fotodegradasi p-klorofenol.
Semakin lama waktu reaksi 1sampai dengan 4 jam, luas puncak p-
66
klorofenol dan senyawa Y semakin berkurang, yang berarti jumlah p-
klorofenol dan senyawa Y berkurang, kemungkinan p-klorofenol dan
senyawa Y terdegradasi menjadi senyawa X. Setelah 4 jam waktu
fotodegradasi, luas puncak senyawa Z baru terbentuk dan kemungkinan
senyawa Z adalah hasil dari fotodegradasi senyawa X dan p-klorofenol.
Oleh karena itu Senyawa X, Y dan Z perlu diidentifikasi lebih lanjut.
Setelah 25 jam waktu fotodegradasi, hanya terdapat luas puncak
p-klorofenol, yang berarti di dalam larutan tidak ada senyawa lain kecuali
p-klorofenol yang tidak terdegradasi. Hal ini menunjukkan bahwa setelah
25 jam hidrokuinon, senyawa X, senyawa Y, dan senyawa Z sudah tidak
terdeteksi dalam larutan yang kemungkinan telah berubah menjadi CO2
dan H2O yang tidak dapat terdeteksi.
67
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V. 1 KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan
diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Kenaikan jumlah fotokatalis TiO2 dan konsentrasi awal larutan
p-klorofenol memberikan peningkatan efektivitas fotodegradasi
p-klorofenol.
2. Adanya ion Fe(III) dalam proses fotodegradasi p-klorofenol yang
terkatalisis TiO2 dapat meningkatkan efektivitas fotodegradasi
p-klorofenol, yang peningkatannya sejalan dengan kenaikan
konsentrasi ion Fe(III) tersebut.
3. Efektivitas tertinggi dalam proses fotodegradasi p-klorofenol
terkatalisis TiO2 dan adanya ion Fe(III) diperoleh pada pH larutan
antara 6 sampai dengan 8, yang terkait dengan spesiasi dari TiO2
dan ion Fe(III) dalam larutan.
4. Hasil fotodegradasi p-klorofenol yang terkatalisis TiO2 dengan
adanya ion Fe(III) tertinggi adalah 93,90% dan diperoleh pada
kondisi rasio antara konsentrasi p-klorofenol dengan massa TiO2
adalah 300 mg/L p-klorofenol : 20 mg TiO2 dalam 25 ml larutan,
konsentrasi awal p-klorofenol 300 mg/L, konsentrasi ion Fe(III)
68
600 mg/L, pH larutan 6 sampai dengan 8, dan lama penyinaran
25 jam.
5. Jenis TiO2 yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah anatase
dan efek proses fotodegradasi terhadap kristalinitas TiO2 sesudah
digunakan adalah terjadinya kerusakan kristal TiO2 sebesar
14,13%.
6. Efek proses fotodegradasi p-klorofenol yang terkatalisis TiO2
terhadap ion Fe(III) adalah proses tereduksinya ion Fe3+ menjadi
ion Fe2+ dan kenaikan konsentrasi ion Fe3+ akan meningkatkan
jumlah konsentrasi ion Fe2+.
7. Selama 1-4 jam proses fotodegradasi p-klorofenol yang terkatalisis
TiO2 terhadap ion Fe(III), p-klorofenol berubah menjadi senyawa
lain, yaitu hidrokuinon dan 3 senyawa yang belum diketahui jenis
senyawanya. Setelah 25 jam hanya terdapat p-klorofenol yang
belum terdegradasi, hidrokuinon dan 3 senyawa yang belum
diketahui jenisnya sudah tidak ada lagi dalam larutan, yang
kemungkinan telah berubah menjadi CO2 dan H2O yang tidak dapat
terdeteksi.
69
V. 2 SARAN
Dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi
senyawa-senyawa hasil fotodegradasi p-klorofenol selain hidrokuinon
dan menentukan mekanisme reaksi fotodegradasi yang terkatalisis
TiO2 dengan adanya ion Fe(III) dengan menggunakan metode HPLC
dan spektrofotometri Infra Red.
70
DAFTAR PUSTAKA
Alemany, L. J., Banares, M. A., Pardo, E., Martin, F., Galan-Fereres, M., and Blasco, J. M., 1997, “Photodegradation of Phenol in Water Using Silica Supported Titania Catalyst”, J. Appl. Catal. B: Environ., 13, 289 297.
Anonim, 1996, “Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor : 42/MENKLH/10/1996 tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan”, Sekretariat Kementrian Negara KLH, Jakarta.
Baes, C. and Mesmer, R.E., 1976, “The Hydrolysis of Cation”, John Wiley and Sons, New York.
Balzani, V. and Carassiti, V., 1970, “Photochemistry of Coordination Compounds”, Academic Press : New York.
Bendiyasa,M., Syamsiah, S., dan Indriani, S., 2000, “Equilibrium Adsoption of single and binary Component of Phenolic Compounds in aqueous Solution onto Activated Natural Zeolit”, Proceeding of the Second Pacific Basin Conference on Adsorption Sci. and Techn., Brisbane, 593 597.
Brezova, V., Blazkova, A, Blazkova, A., Borozova, E., Ceppan, M., and Fiala Radin, 1995, “The Influence of Dissolved Metal Ion on the Photocatalytic Degradation of Phenol in Aqueous TiO2
Suspensions”, J. Molec. Catal. A, 98, 109 116.
Brus, L., 1986, “Electronic Wave Function in Semiconductor Clusters : Experiment and Theory”, J. Phys. Chem., 90, 2555 2560.
Burrows, H. D., Ernestova, L. S., Kemp, T. J., Skurlatov, Y. I., Purmal A. P., and Yermakov, A. N., 1998, “Kinetics and Mechanism of Photodegradation of Chlorophenol”, J. Sci. and Techn. Lett., 23, 4285 4299.
Chuang, K. T., Qin,, J., and Zhang, Q., 2001, “Catalytic Wet Oxidations of
p-Chlorophenol Over Supported Noble Metal Catalysts”, J. Appl. Catal. B, Environ., 29, 115 123.
Chauldhry , G. R., 1994, “Biological Degradation and Bioremediation of Toxic Chemicals”, Chapman and Hall, London, 74 158.
71
Cotton, F. A., and Wilkinson, G., 1976, “Basic Inorganic Chemistry”, diterjemahkan oleh : Suharto, S., 1989, Kimia Anorganik Dasar, Cetakan Pertama, UI Press, Jakarta.
Day, R. A., and Underwood, A. L., 1986, “Quantitative Analysis”, diterjemahkan oleh A. Hadyana Pudjatmaka, Analisa Kimia Kuantitatif, edisi kelima, Erlangga, Jakarta.
Dominguez, C., Garcia, J., Pedras, M.A., Torres, A., and Galan, M.A.,
1998, “Photocatalytic oxidation of Organic pollutants in water”, J. Catal. Today , 85 101.
Dunitz, J. D., 1995, “X-Ray Analysis and the Structure of Organic Moleculs Chemical Acta Base”, Switzerland, Germany.
Ghaly, M. Y., Hartel, G., Mayer, R., and Hasender, R., 2001, “Photochemical Oxidation of p-Chlorophenol by UV/H2O2 and Photo-Fenton Process A Comparative Study”, J. Wast. Manag., 21, 41 47.
Herrera, F., Lopez, A. Mascolo, G., Albers, P., and Kiwi, J., 2001, “Catalytic Combustion of Orange II on Hematite Surface Species Responsible for the Dye Degradation”, J. Appl. Catal. B: Environ., 29, 147 162.
Herrera, F., Lopez, A., Mascolo, G., Albers, P., and Kiwi, J., 2001, “Catalytic Decomposition of the Reactive Dye Uniblue A on Hematite, Modelling of the Reactive Surface”, J. Wat. Res., 35, (3), 750 760.
Hoffmann, M.R., Martin, S.T., Choi, W., and Bahneman, D.W., 1995, “Environmental Application of Semiconductor Photocatalysis”, J. Chem. Rev., 69 96.
Hu, Z., Srinivast, MP., and Ni, Y., 2000, “Adsorption and Desorption of Phenol and Dyes on Microporous and Mesoporous Activated Carbon”, Proceeding of the Second Pacific Basin Conference on Adsorption Sci. and Techn., Brisbane Australia, 274 278.
Jung, O.J., 2001, “Destruction of 2-Chlorophenol from Waste Water and Investigation of Product by Ozonation”, Chem. Soc., 22, (8), 850 856.
Liu, X., Lu, K., and Thomas, J. K., 1993, “Preparation, Characterization, and Photoactivity of Ti(IV) Oxide Encapsuled in Zeolit”, J. Chem. Soc., 89, (11), 1861 1865.
72
Mac Nair, H. M., dan Bonelli, E. J., 1988, “Dasar-dasar Kromatografi Gas”, edisi kelima, Penerbit ITB, Bandung.
Makuch, B., Gazda, K., and Kamiski, M., 1993, “Determination of Phenol and Monochlorophenols in Water by Reversed-Phase Liquid Chromatography”, J. Anal. Chem., 284, 53 58.
Matos, J., Herrmann, J. M., and Laine, J., 1998, “Sinergy Effect in Photocatalytic Degradation Suspended Mixture of Titania and Activated Carbon”, J. Appl. Catal. B: Environ., 18, 281 291.
Mercks, 2000, “The Mercks Index on CD-Room Version 12:3”, Merck & Co Inc, Whitehouse Station, NJ, USA.
Miller, J.C. and Miller, J.N., 1991, “Statistic and Chemometric for Analytical Chemistry”, 4 ed., diterjemahkan oleh Suroso, Penerbit ITB, Bandung.
NIOSH Manual of Analytical Methods, 1994, “p-Chlorophenol”, Method 2014, 4 ed., www.edc.gov/niosh/nmam/pdfs/7600.pdf.
Peiro, A.M., Antinio, J., Peral, J., and Domenech, X., 2000, “TiO2-photocatalyzed degradation of phenol and ortho phenolic compounds”, J. Appl. Catal. B: Environ., 359 373.
Prado, J., Arantegui, J. A., and Esplugas, S., 1994, “Degradation of 2,4-Chlorophenol by Ozone and Light”, J. Sci. Eng., 16, 235 254.
Pulgarin, C. , Peringer, P., Alberts, P., and Kiwi J., 1994, “Effect of Fe-ZSM-5 Zeolite on Photochemical and Biochemical Degradation of 4-Nitrophenol”, J. Molec. Catal. A, 61 74.
Robyt, J.F., and White B.J., 1987, “Biochemical Thechniques Theory and Practice”, Waveland Press, Inc., America.
Saragih, B. S., 2002, “Aplikasi Asam Humat sebagai Sensitizer dalam
Fotoreduksi Fe(III) menjadi Fe(II)”, Tesis S2, Program Studi Kimia FMIPA, UGM, Yogyakarta.
Shul’pin, G.B., Bochkova, M.M., Nizova, G.V., Kozlova, N. B., 1997, “Aerobic Photodegradation of Phenols in Aqueous Solution Promoted by Metal Compounds”, J. Appl. Catal. B, Environ., 12, 1 19.
73
Stumm, W. and Morgan, J. J., 1996, “Aquatic Chemistry, Chemical Equilibria and Rates in Natural Water”, 3 ed., John Willey & Sons, New York.
Stewart, K.K., and Ebel, R.R., 2000, “Chemical Measurements in Biological System”, John Wiley & Sons, Inc. Publication, New York.
Sulistyani, E., 2000, “Kajian Adsorpsi Fenol oleh Zeolit Alam”, Skripsi S1, FMIPA UGM, Yogyakarta.
Sykes, A. G., 1997, “Advances in Inorganic Chemistry”, Academic Press, San Diego, 44.
Tonda, R. M., “ Kajian Fotodegradasi 4-Klorofenol yang Terkatalisis oleh CdO/Zeolit Alam”, Skripsi S1, FMIPA UGM, Yogyakarta.
U. S. EPA, 1996, “Test Methods for Evaluating Solid Waste Physical / Chemical Method”, SW-846, on line versions, Methods 7190, 7196A, U.S. Env. Protection Agency, Washington, DC. http://www.epa.gov/epaoswer/main.htm.
Wahyuni, E.T., 2003, “Synthesis of Iron Oxide Nanoparticles in the Zeolite-NaY Structure, Disertasi S3, Program Studi Kimia UGM, Yogyakarta.
Waite, T. D. dan Morel F. M. M., 1984, “Photoreactive Dissolution of Colloidal Iron Oxides in Natural Waters” Environ. Sci. Techn., 18, (11), J. Chem. Soc., 860 868.
Xu, Y., and Langford, C. H., 1995, “Enchanched Photoactivity of Titanium (IV) Oxide Supported on ZSMS and Zeolite A at Low Coverage”, J. Phys. Chem., 11501 11507.
Xu, Y., and Langford, C. H., 1997, “Photoactivity of Titanium (IV) Oxide Supported on MCM41, Zeolite X, and Zeolite Y”, J. Phys. Chem. B, 101, 3115 3121.
Vinodgopal, K., Hotchadani, S., and Kamat, P.V., 1993, “Elechtrochemically Assisted Photocatalysis TiO2 Particulate Film Electrodes for Photocatalytic Degradation of 4-Chlorophenol”, J. Phys. Chem., 97, 9040 9044.
Zepp, R. G., Faust, B. C., and Hoigne, J., 1992, “Hydroxyl Radical Formation in Aqueous Reactions of Fe(II) with H2O2: The Photo-Fenton Reaction”, J. Environ. Sci. Techn., 26, 313 319.
74