bab dua

Upload: karmila-karim

Post on 05-Mar-2016

35 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kkkkk

TRANSCRIPT

30

BAB II

KAJIAN TENTANG TEORI KEPASTIAN HUKUM DAN TEORI

KEADILAN DALAM TINDAK PIDANA PENCURIAN

A. Teori Kepastian Hukum

Menurut Kelsen, hukum merupakan sebuah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek seharusnya atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.

Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai identitas, yaitu sebagai berikut :

1. Asas kepastian hukum (rechtmatigheid). Asas ini meninjau dari sudut yuridis.

2. Asas keadilan hukum (gerectigheit). Asas ini meninjau dari sudut filosofis, dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan3. Asas kemanfaatan hukum (zwechmatigheid atau doelmatigheid atau utility.

Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Kaum Positivisme lebih menekankan pada kepastian hukum, sedangkan Kaum Fungsionalis mengutamakan kemanfaatan hukum dan sekiranya dapat dikemukakan bahwa summum ius, summa injuria, summa lex, summa crux yang artinya adalah hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya, dengan demikian kendatipun keadilan bukan merupakan tujuan hukum satu-satunya akan tetapi tujuan hukum yang paling substantif adalah keadilan.

Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.

Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang didasarkan pada aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom dan mandiri, karena bagi penganut pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.

1. Pengertian Jaminan Kepastian Hukum

Merupakan suatu kenyataan bahwa dalam hidup bermasyarakat diperlukan aturan-aturan yang bersifat umum. Berapa pun setiap kepentingan yang ada di dalam masyarakat dipertimbangkan untuk dituangkan di dalam aturan yang bersifat umum agar kepentingan-kepentingan itu dilindungi dan sedemokratis apapun kehidupan bernegara dan bermasyarakat suatu bangsa, tidaklah mungkin aturan-aturan itu dapat mengakomodasi semua kepentingan tersebut. Begitu pula dalam kehidupan nyata kasus-kasus yang unik jarang terjadi.Faktanya yang terjadi sekarang adalah masalah-masalah umum yang timbul dari kepentingan yang harus dilayani. Hal itupun perlu dituangkan di dalam aturan yang bersifat umum juga. Pada masyarakat modern, aturan yang bersifat umum tempat dituangkannya perlindungan kepentingan-kepentingan itu adalah undang-undang.

Aturan hukum baik berupa undang-undang maupun hukum tidak tertulis, berisi aturan-aturan yang bersifat umum yang menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam hidup bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan semacam itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum. Dengan demikian, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan dan yang kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim yang lainnya untuk kasus serupa yang telah diputuskan.

Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam arti tidak menimbulkan keragua-raguan (multi tafsir) dan logis dalam arti menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk kontestasinorma, reduksi norma, atau distorsi norma.Dalam menjaga kepastian hukum, peran pemerintah dan pengadilan sangat penting. Pemerintah tidak boleh menerbitkan aturan pelaksanaan yang tidak diatur oleh undang-undang atau bertentangan dengan undang-undang. Apabila hal itu terjadi, pengadilan harus menyatakan bahwa peraturan demikian batal demi hukum, artinya dianggap tidak pernah ada sehingga akibat yang terjadi karena adanya peraturan itu harus dipulihkan seperti sediakala. Akan tetapi, apabila pemerintah tetap tidak mau mencabut aturan yang telah dinyatakan batal itu, hal itu akan berubah menjadi masalah politik antara pemerintah dan pembentuk undang-undang. Hal yang lebih parah lagi apabila lembaga perwakilan rakyat sebagai pembentuk undang-undang tidak mempersoalkan keengganan pemerintah mencabut aturan yang dinyatakan batal oleh pengadilan tersebut. Sudah jelas bahwa hal semacam itu, tidak memberikan kepastian hukum dan akibatnya hukum tidak mempunyai daya prediktibilitas.

Dalam literatur-literatur klasik dikemukakan antinomi antara kepastian hukum dan keadilan. Menurut literatur-literatur tersebut, kedua hal itu tidak dapat diwujudkan sekaligus dalam situasi yang bersamaan. Oleh karena itu, dalam hal ini menurut literatur-literatur tersebut hukum bersifat kompromi, yaitu dengan mengorbankan keadilan untuk mencapai kepastian hukum.

Dalam menghadapi antinomi tersebut peran penerap hukum sangat diperlukan. Peranan tersebut akan terlihat pada saat penerap hukum dihadapkan kepada persoalan-persoalan yang konkret. Dalam hal ini, penerap hukum harus mampu untuk melakukan pilihan mana yang harus dikorbankan, kepastian hukum ataukah keadilan. Yang menjadi acuan dalam hal ini adalah moral. Apabila kepastian hukum yang dikedepankan, penerap hukum harus pandai-pandai memberikan intepretasi terhadap undang-undang yang ada. Tanpa memberikan intepretasi yang tepat, akan berlaku Lex Durra Sed Tamen Scripta yang terjemahannya undang-undang memang keras, tetapi mau tidak mau memang demikian bunyinya. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa dalam hal melakukan tindakan kemanusiaan dan mempunyai kemaslahatan, pemerintah dapat melakukannya tanpa perlu adanya aturan atau bahkan mungkin menyimpangi prosedur baku.

Dalam hal demikian kepastian hukum dapat dikorbankan. Begitu pula pengadilan, dengan berlandaskan moral ia dapat putusan yang berbeda untuk kasus serupa yang sudah diputus oleh pengadilan terdahulu jika pengadilan itu menimbang bahwa putusan pengadilan terdahulu tersebut secara moral perlu diperbaiki.

2. Asas Kepastian Hukum

Asas Kepastian Hukum, adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatuhan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan negara.Asas kepastian hukum harus diterapkan dalam setiap peraturan. Tanpa adanya asas tersebut dapat dipastikan suatu peraturan akan menimbulkan banyak masalah dikemudian hari. Hal ini akan terjadi karena tidak adanya penghormatan terhadap hak-hak sebagai manusia. Keadilan berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, tetapi seorang manusia diberi kecakapan atau kemampuan untuk meraba atau merasakan keadaan yang dinamakan adil itu.

Negara hukum bertujuan untuk menjamin bahwa kepastian hukum terwujud dalam masyarakat. Hukum bertujuan untuk mewujudkan kepastian dalam hubungan antar manusia, yaitu menjamin prediktabilitas, dan juga bertujuan untuk mencegah bahwa hak yang terkuat yang berlaku, beberapa asas yang terkandung dalam asas kepastian hukum adalah :

a. Asas legalitas, konstitusionalitas, dan supremasi hukum.

b. Asas undang-undang menetapkan berbagai perangkat aturan tentang cara pemerintah dan para pejabatnya melakukan tindakan pemerintahan.

c. Asas non-retroaktif perundang-undangan : sebelum mengikat, undang-undang harus diumumkan secara layak.

d. Asas non-liquet : hakim tidak boleh menolak perkara yang dihadapkan kepadanya dengan alasan undang-undang tidak jelas atau tidak ada.

e. Asas peradilan bebas : objektif-imparsial dan adil-manusiawi.

f. Hak asasi manusia harus dirumuskan dan dijamin perlindungannya dalam undang-undang dasar.

3. Unsur Kepastian Dalam HukumKepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologi. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk konsestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Kepastian hukum konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif.

Bahwa dalam hal penegakan hukum, setiap orang selalu mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadinya peristiwa konkret, dengan kata lain bahwa peristiwa tersebut tidak boleh menyimpang dan harus ditetapkan sesuai dengan hukum yang ada (berlaku), yang pada akhirnya nanti kepastian hukum dapat diwujudkan. Pentingnya kepastian hukum sesuai dengan yang terdapat pada pasal 28 D ayat 1 UndangUndang Dasar 1945 perubahan ketiga bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.Tentang kepastian hukum menurut Bismar Siregar didalam KUHAP ternyata lebih menitikberatkan kepada kepastian hukum dan perlindungan hak terdakwa dari penegak keadilan itu sendiri. Selanjutnya bahwa hakim harus terjun ke tengah-tengah masyarakat, yakni tidak lain agar hakim lebih peka terhadap perasaan hukum dan rasa keadilan yang berguna dalam masyarakat. Singkatnya bahwa hakim tidak boleh terasing dari masyarakat. Seandainya terjadi benturan bunyi hukum antara apa yang dirasakan adil oleh masyarakat dengan apa yang disebut kepastian hukum, jangan hendaknya kepastian hukum dipaksakan dan rasa keadilan masyarakat dikorbankan.

Dalam paradigma positivisme definisi hukum harus melarang seluruh aturan yang mirip hukum, tetapi tidak bersifat perintah dari otoritas yang berdaulat. Kepastian hukum harus selalu di junjung apapun akibatnya dan tidak ada alasan untuk tidak menjunjung hal tersebut, karena dalam paradigmanya hukum positif adalah satu-satunya hukum. Dari sini nampak bahwa bagi kaum positivistik adalah kepastian hukum yang dijamin oleh penguasa. Kepastian hukum yang dimaksud adalah hukum yang resmi diperundangkan dan dilaksanakan dengan pasti oleh Negara. Kepastian hukum berarti bahwa setiap orang dapat menuntut agar hukum dilaksanakan dan tuntutan itu harus dipenuhi.Namun demikian, pada paradigma positivistik bahwa sistem hukum tidak diadakan untuk memberikan keadilan bagi masyarakat, melainkan hanya sekedar melindungi kemerdekaan individu. Kemerdekaan individu tersebut senjata utamanya adalah kepastian hukum. Paradigma positivistik berpandangan, demi kepastian hukum maka keadilan dan kemanfaatan boleh dikorbankan. Pandangan positivistik yang telah mereduksi hukum sehingga telah menjadi sesuatu yang sederhana, linear, mekanistik dan deterministik maka apabila dilihat lagi hukum tidak lagi sebagai pranata manusia melainkan hanya sekedar media profesi.Akan tetapi karena sifatnya yang determistik, maka aliran ini memberikan suatu jaminan kepastian hukum yang sangat tinggi. Artinya masyarakat dapat hidup dengan suatu acuan yang jelas dan ketaatan hukum demi ketertiban bermasyarakat yang merupakan suatu keharusan. Karena tanpa kepastian hukum, setiap orang tidak akan mengetahui apa yang harus diperbuat yang pada akhirnya akan menimbulkan keresahan.Menurut Gustav Radbruch, terdapat dua macam pengertian kepastian hukum, yaitu kepastian hukum oleh hukum dan kepastian hukum dalam atau dari hukum. Hukum yang berhasil menjamin banyak kepastian hukum dalam masyarakat adalah hukum yang berguna. Kepastian hukum oleh karena hukum memberi tugas hukum yang lain, yaitu keadilan hukum serta hukum harus tetap berguna. Sedangkan kepastian hukum dalam hukum tercapai apabila hukum tersebut sebanyak-banyaknya dalam undang-undang. Dalam undang-undang tersebut terdapat ketentuan-ketentuan yang bertentangan (undang-undang berdasarkan suatu sistem yang logis dan praktis). Undang-undang dibuat berdasarkan rechtswerkelijkheid (keadaan hukum yang sungguh-sungguh) dan dalam undang-undang tersebut tidak terdapat istilah-istilah yang dapat ditafsirkan secara berlain-lainan.

Menurut Friedrich Julius Stahl, seorang pelopor hukum Eropa Kontinental, ciri sebuah Negara hukum antara lain adalah adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia, adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan, pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan (wetmatigheid van bestuur) serta peradilan administrasi dalam perselisihan. Konsep Negara hukum disamping mencakup perihal kesejahteraan sosial (welfare state), kini juga bergerak kearah dimuatnya ketentuan perlindungan hak asasi manusia dalam konstitusi tertulis satu negara. Berdasarkan hal tersebut Negara disamping bertugas untuk mensejahterakan masyarakat dan memberikan keadilan sosial maka Negara juga harus memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang saat ini diatur dalam pasal 28 I ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 dikenal dengan Prinsip Negara Hukum yang Demokratis.Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa untuk mencapai ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia di masyarakat, karena tidak mungkin manusia dapat mengembangkan bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal tanpa adanya kepastian hukum dan ketertiban.

Menurut Satjipto Rahardjo, untuk mendirikan Negara hukum memerlukan suatu proses yang panjang, tidak hanya peraturan-peraturan hukum saja yang harus ditata kelola dengan baik, namun dibutuhkan sebuah kelembagaan yang kuat dan kokoh dengan kewenangan-kewenangan yang luar biasa dan independen, bebas dari intimidasi atau campur tangan eksekutif dan legeslatif, yang dilaksanakan oleh sumber daya manusia yang bermoral baik dan bermoral teruji sehingga tidak mudah terjatuh diluar skema yang diperuntukkan baginya demi terwujudnya suatu kepastian hukum yang syarat akan keadilan.Hukum bukan hanya urusan (a business of rules), tetapi juga perilaku (matter of behavior).

B. Teori Keadilan Hukum

Teori-teori Hukum Alam sejak Socrates hingga Francois Geny, tetap mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori Hukum Alam mengutamakan the search for justice. Berbagai macam teori mengenai keadilan dan masyarakat yang adil. Teori-teori ini menyangkut hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran. Diantara teori-teori itu dapat disebut : teori keadilan Aristoteles dalam bukunya nicomachean ethics dan teori keadilan sosial John Rawl dalam bukunya a theory of justice dan teori hukum dan keadilan Hans Kelsen dalam bukunya general theory of law and state.

1. Teori Keadilan AritotelesPandangan Aristoteles tentang keadilan bisa didapatkan dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Spesifik dilihat dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang, berdasarkan filsafat hukum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan. Pada pokoknya pandangan keadilan ini sebagai suatu pemberian hak persamaan tapi bukan persamarataan. Aristoteles membedakan hak persamaanya sesuai dengan hak proposional. Kesamaan hak dipandangan manusia sebagai suatu unit atau wadah yang sama. Inilah yang dapat dipahami bahwa semua orang atau setiap warga negara dihadapan hukum sama. Kesamaan proposional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang telah dilakukanya.

Lebih lanjut, keadilan menurut pandangan Aristoteles dibagi kedalam dua macam keadilan, keadilan distributief dan keadilan commutatief. Keadilan distributief ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang porsi menurut pretasinya. Keadilan commutatief memberikan sama banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya dalam hal ini berkaitan dengan peranan tukar menukar barang dan jasa. Dari pembagian macam keadilan ini Aristoteles mendapatkan banyak kontroversi dan perdebatan.

Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan pembuktian matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai degan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat.

2. Teori Keadilan John RawlsBeberapa konsep keadilan yang dikemukakan oleh Filsuf Amerika di akhir abad ke-20, John Rawls, seperi A Theory of justice, Politcal Liberalism, dan The Law of Peoples, yang memberikan pengaruh pemikiran cukup besar terhadap diskursus nilai-nilai keadilan.

John Rawls yang dipandang sebagai perspektif liberal-egalitarian of social justice, berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions). Akan tetapi, kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan. Khususnya masyarakat lemah pencari keadilan.Secara spesifik, John Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsip-prinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaanya yang dikenal dengan posisi asali (original position) dan selubung ketidaktahuan (veil of ignorance).

Pandangan Rawls memposisikan adanya situasi yang sama dan sederajat antara tiap-tiap individu di dalam masyarakat. Tidak ada pembedaan status, kedudukan atau memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, sehingga satu pihak dengan lainnya dapat melakukan kesepakatan yang seimbang, itulah pandangan Rawls sebagai suatu posisi asasli yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom), dan persamaan (equality) guna mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure of society).Sementara konsep selubung ketidaktahuan diterjemahkan oleh John Rawls bahwa setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu, sehingga membutakan adanya konsep atau pengetahuan tentang keadilan yang tengah berkembang. Dengan konsep itu Rawls menggiring masyarakat untuk memperoleh prinsip persamaan yang adil dengan teorinya disebut sebagai Justice as fairness.

Dalam pandangan John Rawls terhadap konsep posisi asasli terdapat prinsip-prinsip keadilan yang utama, diantaranya prinsip persamaan, yakni setiap orang sama atas kebebasan yang bersifat universal, hakiki dan kompitabel dan ketidaksamaan atas kebutuhan sosial, ekonomi pada diri masing-masing individu.Prinsip pertama yang dinyatakan sebagai prinsip kebebasan yang sama (equal liberty principle), seperti kebebasan beragama (freedom of religion), kemerdekaan berpolitik (political of liberty), kebebasan berpendapat dan mengemukakan ekpresi (freedom of speech and expression), sedangkan prinsip kedua dinyatakan sebagai prinsip perbedaan (difference principle), yang menghipotesakan pada prinsip persamaan kesempatan (equal oppotunity principle). Lebih lanjut John Rawls menegaskan pandangannya terhadap keadilan bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik.

Dengan demikian, prinsip perbedaan menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua, setiap aturan harus meposisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum lemah.3. Teori Keadilan Hans KelsenHans Kelsen dalam bukunya general theory of law and state, berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagian didalamnya.

Pandangan Hans Kelsen ini pandangan yang bersifat positifisme, nilai-nilai keadilan individu dapat diketahui dengan aturan-aturan hukum yang mengakomodir nilai-nialai umum, namun tetap pemenuhan rasa keadilan dan kebahagian diperuntukan tiap individu. Lebih lanjut Hans Kelsen mengemukakan keadilan sebagai pertimbangan nilai yang bersifat subjektif. Walaupun suatu tatanan yang adil yang beranggapan bahwa suatu tatanan bukan kebahagian setiap perorangan, melainkan kebahagian sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin individu dalam arti kelompok, yakni terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang oleh penguasa atau pembuat hukum, dianggap sebagai kebutuhan-kebutuhan yang patut dipenuhi, seperti kebutuhan sandang, pangan dan papan. Tetapi kebutuhan-kebutuhan manusia yang manakah yang patut diutamakan. Hal ini apat dijawab dengan menggunakan pengetahuan rasional, ang merupakan sebuah pertimbangan nilai, ditentukan oleh faktor-faktor emosional dn oleh sebab itu bersifat subjektif.Sebagai aliran posiitivisme Hans Kelsen mengakui juga bahwa keadilan mutlak berasal dari alam, yakni lahir dari hakikat suatu benda atau hakikat manusia, dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan. Pemikiran tersebut diesensikan sebagai doktrin yang disebut hukum alam. Doktrin hukum alam beranggapan bahwa ada suatu keteraturan hubungan-hubungan manusia yang berbeda dari hukum positif, yang lebih tinggi dan sepenuhnya sahih dan adil, karena berasal dari alam, dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan.

Pemikiran tentang konsep keadilan, Hans Kelsen yang menganut aliran positifisme, mengakui juga kebenaran dari hukum alam. Sehingga pemikirannya terhadap konsep keadilan menimbulkan dualisme antara hukum positif dan hukum alam.Menurut Hans Kelsen : Dualisme antara hukum positif dan hukum alam menjadikan karakteristik dari hukum alam mirip dengan dualisme metafisika tentang dunia realitas dan dunia ide model Plato. Inti dari fislafat Plato ini adalah doktrinnya tentang dunia ide. Yang mengandung karakteristik mendalam. Dunia dibagi menjadi dua bidang yang berbeda : yang pertama adalah dunia kasat mata yang dapa itangkap melalui indera yang disebut realitas; yang kedua dunia ide yang tidak tampak.

Dua hal lagi konsep keadilan yang dikemukakan oleh Hans Kelsen : pertama tentang keadilan dan perdamaian. Keadilan yang bersumber dari cita-cita irasional. Keadilan dirasionalkan melalui pengetahuan yang dapat berwujud suatu kepentingan-kepentingan yang pada akhirnya menimbulkan suatu konflik kepentingan. Penyelesaian atas konflik kepentingan tersebut dapat dicapai melalui suatu tatatanan yang memuaskan salah satu kepentingan dengan mengorbankan kepentingan yang lain atau dengan berusaha mencapai suatu kompromi menuju suatu perdamaian bagi semua kepentingan.Kedua, konsep keadilan dan legalitas. Untuk menegakkan diatas dasar suatu yang kokoh dari suatu tananan sosial tertentu, menurut Hans Kelsen pengertian Keadilan bermaknakan legalitas. Suatu peraturan umum adalah adil jika ia bena-benar diterapkan, sementara itu suatu peraturan umum adalah tidak adil jika diterapkan pada suatu kasus dan tidak diterapkan pada kasus lain yang serupa. Konsep keadilan dan legalitas inilah yang diterapkan dalam hukum nasional bangsa Indonesia, yang memaknai bahwa peraturan hukum nasional dapat dijadikan sebagai payung hukum (law unbrella) bagi peraturan peraturan hukum nasional lainnya sesuai tingkat dan derajatnya dan peraturan hukum itu memiliki daya ikat terhadap materi-materi yang dimuat (materi muatan) dalam peraturan hukum tersebut.

4. Perspektif Keadilan Dalam Hukum NasionalPandangan keadilan dalam hukum nasional bersumber pada dasar negara. Pancasila sebagai dasar negara atau falsafah negara (fiolosofische grondslag) sampai sekarang tetap dipertahankan dan masih tetap dianggap penting bagi negara Indonesia. Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila (subcriber of values Pancasila). Bangsa Indonesia yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan, dan yang berkeadilan sosial.Sebagai pendukung nilai, bangsa Indnesialah yang menghargai, mengakui, serta menerima Pancasila sebagai suatu bernilai. Pengakuan, penghargaan, dan penerimaan Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai itu akan tampak merefleksikan dalam sikap, tingkah laku, dan perbuata bangsa Indonesia. Kalau pengakuan, penerimaan, atau penghargaan itu direfleksikan dalam sikap, tingkah laku, serta perbuatan manusia dan bangsa Indonesia dalam hal ini sekaligus adalah pengembannya dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan manusia Indonesia. Oleh karenanya Pancasila sebagai suatu sumber hukum tertinggi secara irasional dan sebagai rasionalitasnya adalah sebagai sumber hukum nasional bangsa Indonesia.

Pandangan keadilan dalam hukum nasional bangsa Indonesia tertuju pada dasar negara, yaitu Pancasila, yang mana sila kelimanya berbunyi : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah yang dinamakan adil menurut konsepsi hukum nasional yang bersumber pada Pancasila.

Menurut Kahar Masyhur dalam bukunya mengemukakan pendapat-pendapat tentang apakah yang dinamakan adil, terdapat tigal hal tentang pengertian adil.

a. Adil ialah : meletakan sesuatu pada tempatnya.b. Adil ialah : menerimahak tanpa lebih dan memberikan orang lain tanpa kurang.c. Adil ialah : memberikan hak setiap yang berhak secara lengkap tanpa lebih tanpa kurang antara sesama yang berhak dalam keadaan yang sama, dan penghukuman orang jahat atau yang melanggar hukum, sesuai dengan kesalahan dan pelanggaran.

Untuk lebih lanjut menguraikan tentang keadilan dalam perspektif hukum nasional, terdapat diskursus penting tentang adil dan keadilan sosial. Adil dan keadilan adalah pengakuan dan perlakukan seimbang antara hak dan kewajiban. Apabila ada pengakuan dan perlakukan yang seimbang hak dan kewajiban, dengan sendirinya apabila kita mengakui hak hidup, maka sebaliknya harus mempertahankan hak hidup tersebut denga jalan bekerja keras, dan kerja keras yang dilakukan tidak pula menimbulkan kerugian terhadap orang lain, sebab orang lain itu juga memiliki hak yang sama (hak untuk hidup) sebagaimana halnya hak yang ada pada diri individu.

Dengan pengakuan hak hidup orang lain, dengan sendirinya diwajibkan memberikan kesempatan kepada orang lain tersebut untuk mempertahankan hak hidupnya.

Konsepsi demikian apabila dihubungkan dengan sila kedua dari Pancasila sebagai sumber hukum nasional bangsa Indonesia, pada hakikatnya menginstruksikan agar senantiasa melakukan perhubungan yang serasi antar manusia secara individu dengan kelompok individu yang lainnya sehingga tercipta hubungan yang adil dan beradab.

Hubungan adil dan beradab dapat diumpamakan sebagai cahaya dan api, bila apinya besar maka cahayanya pun terang : jadi bila peradabannya tinggi, maka keadilanpun mantap.

Lebih lanjut apabila dihubungkan dengan keadilan sosial, maka keadilan itu harus dikaitkan dengan hubungan-hubungan kemasyarakatan. Keadilan sosial dapat diartikan sebagai :

(1) Mengembalikan hak-hak yang hilang kepada yang berhak. (2) Menumpas keaniayaan, ketakutan dan perkosaan dan pengusaha-pengusaha. (3) Merealisasikan persamaan terhadap hukum antara setiap individu, pengusaha-pengusaha dan orang-orang mewah yang didapatnya dengan tidak wajar.

Sebagaimana diketahui bahwa keadilan dan ketidakadilan tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai orang yang main hakim sendiri, sebenarnya perbuatan itu sama halnya dengan perbuatan mencapai keadilan yang akibatnya terjadi ketidakadilan, khususnya orang yang dihakimi itu.Keadilan sosial menyangkut kepentingan masyarakat dengan sendirinya individu yang berkeadilan sosial itu harus menyisihkan kebebasan individunya untuk kepentingan Individu yang lainnya

Hukum nasional hanya mengatur keadilan bagi semua pihak, oleh karenanya keadilan didalam perspektif hukum nasional adalah keadilan yang menserasikan atau menselaraskan keadilan-keadilan yang bersifat umum diantara sebagian dari keadilan-keadilan individu. Dalam keadilan ini lebih menitikberatkan pada keseimbangan antara hak-hak individu masyarakat dengan kewajiban-kewajiban umum yang ada didalam kelompok masyarakat hukum.

C. Teori Penegakan Hukum

1. Pengertian Penegakan Hukum

Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Jadi penegakan hukum pada hakikatnya adalah proses perwujudan ide-ide.Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep hukum yang diharapakan rakyat menjadi kenyataan. Penegakan hukum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal.

Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaidah-kaidah/pandangan nilai yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.

Penegakan hukum secara konkret adalah berlakunya hukum positif dalam praktik sebagaimana seharusnya patut dipatuhi. Oleh karena itu, memberikan keadilan dalam suatu perkara berarti memutuskan hukum in concreto dalam mempertahankan dan menjamin di taatinya hukum materiil dengan menggunakan cara procedural yang ditetapkan oleh hukum formal.

Menurut Satjipto Raharjo penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penegakan ide-ide atau konsep-konsep tentang keadilan , kebenaran, kemamfaatan sosial, dan sebagainya. Jadi Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide dan konsep-konsep tadi menjadi kenyataan.

Hakikatnya penegakan hukum mewujudkan nilai-nilai atau kaedah-kaedah yang memuat keadilan dan kebenaran, penegakan hukum bukan hanya menjadi tugas dari para penegak hukum yang sudah di kenal secara konvensional, tetapi menjadi tugas dari setiap orang. Meskipun demikian, dalam kaitannya dengan hukum publik pemerintahlah yang bertanggung jawab.

Penegakan hukum dibedakan menjadi dua, yaitu:

a. Ditinjau dari sudut subyeknya: Dalam arti luas, proses penegakkan hukum melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normative atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, penegakkan hukum hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya

b. Ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya: Dalam arti luas, penegakkan hukum yang mencakup pada nilai-nilai keadilan yang di dalamnya terkandung bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang ada dalam bermasyarakat. Dalam arti sempit, penegakkan hukum itu hanya menyangkut penegakkan peraturan yang formal dan tertulis.

2. Teori Penegakan Hukum

Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Jadi penegakan hukum pada hakikatnya adalah proses perwujudan ide-ide.Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep hukum yang diharapakan rakyat menjadi kenyataan. Penegakan hukum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal.

Joseph Goldstein membedakan penegakan hukum pidana menjadi 3 bagian yaitu:

a. Total enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif (subtantive law of crime). Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin dilakukan sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana yang antara lain mencakup aturanaturan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan pendahuluan. Disamping itu mungkin terjadi hukum pidana substantif sendiri memberikan batasan-batasan. Misalnya dibutuhkan aduan terlebih dahulu sebagai syarat penuntutan pada delik-delik aduan (klacht delicten). Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut sebagai area of no enforcement.b. Full enforcement, setelah ruang lingkup penegakan hukum pidana yang bersifat total tersebut dikurangi area of no enforcement dalam penegakan hukum ini para penegak hukum diharapkan penegakan hukum secara maksimal.c. Actual enforcement, menurut Joseph Goldstein full enforcement ini dianggap not a realistic expectation, sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi, dana dan sebagainya, yang kesemuanya mengakibatkan keharusan dilakukannya discretion dan sisanya inilah yang disebut dengan actual enforcement.

Sebagai suatu proses yang bersifat sistemik, maka penegakan hukum pidana menampakkan diri sebagai penerapan hukum pidana (criminal law application) yang melibatkan pelbagai sub sistem struktural berupa aparat kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan. Termasuk didalamnya tentu saja lembaga penasehat hukum. Dalam hal ini penerapan hukum haruslah dipandang dari 3 dimensi:

a. penerapan hukum dipandang sebagai sistem normatif (normative system) yaitu penerapan keseluruhan aturan hukum yang menggambarkan nilai-nilai sosial yang didukung oleh sanksi pidana.b. penerapan hukum dipandang sebagai sistem administratif (administrative system) yang mencakup interaksi antara pelbagai aparatur penegak hukum yang merupakan sub sistem peradilan diatas.c. penerapan hukum pidana merupakan sistem sosial (social system), dalam arti bahwa dalam mendefinisikan tindak pidana harus pula diperhitungkan pelbagai perspektif pemikiran yang ada dalam lapisan masyarakat.

3. Faktor faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Faktor faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto adalah :

a. Faktor Hukum

Praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Justru itu, suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. Maka pada hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup law enforcement, namun juga peace maintenance, karena penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai kaedah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.b. Faktor Penegakan Hukum

Fungsi hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak hokumc. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung

Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan. Pendidikan yang diterima oleh Polisi dewasa ini cenderung pada hal-hal yang praktis konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi mengalami hambatan di dalam tujuannya, diantaranya adalah pengetahuan tentang kejahatan computer, dalam tindak pidana khusus yang selama ini masih diberikan wewenang kepada jaksa, hal tersebut karena secara teknis yuridis polisi dianggap belum mampu dan belum siap. Walaupun disadari pula bahwa tugas yang harus diemban oleh polisi begitu luas dan banyak.d. Faktor Masyarakat Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan.e. Faktor Kebudayaan Berdasarkan konsep kebudayaan sehari-hari, orang begitu sering membicarakan soal kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang.

D. Hukum Pidana, Pemidanaan dan Tindak Pidana

1. Hukum Pidana

Hukum pidana di Indonesia merupakan warisan Pemerintah Kolonial Belanda, yang telah disesuaikan dengan alam kemerdekaan. Dewasa ini pemerintah sedang berusaha menyusun Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia.

Hukum pidana mempunyai arti yang luas, sehingga ada beberapa pengertian. Banyak para sarjana khususnya hukum pidana yang merumuskan pengertian tersebut. Tetapi dari rumusan yang ada tidak ada satupun yang dianggap sebagai rumusan yang sempurna yang dapat diberlakukan secara umum.

Ada beberapa ahli hukum pidana yang merumuskan hukum pidana hanya sebagian saja, artinya tidak mencakup keseluruhan. Misalnya Prof. Lemaire, yang menyatakan hukum pidana merupakan hukum pidana materiil saja. Sedangkan disamping hukum pidana materiil saja. Sedangkan disamping hukum pidana materiil kita kenal pula hukum pidana formil atau hukum acara pidana. Demikian pula Prof. W.F.C. Van Hattum merumuskan hukum pidana kurang lengkap. Beliau mengemukakan hukum pidana hanya merupakan suatu keseluruhan asas-asas dari peraturan yang berkenaan dengan penetuan sanksi dan norma. Sedangkan kita ketahui hukum pidana berkaitan pula dengan penentuan syarat-syarat bagi akibat hukum suatu pelanggaran norma dan pematuhan serta pelaksanaan dari hukum tersebut.

Menurut Prof. Sudarto, SH. Mendefinisikan hukum pidana sebagai peraturan yang mengikat kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana. Menurut beliau pula pada dasarnya hukum pidana berpokok pada dua hal, yaitu :

a. Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu

Yang dimaksud adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang memungkinkan adanya pemberian pidana. Perbuatan semacam ini dapat disebut perbuatan yang dapat dipidana atau perbuatan jahat, ini harus ada orang yang melakukanya maka persoalan tentang perbuatan tertentu itu diperinci menjadi dua, ialah perbuatan yang dilarang dan orang yang melanggar larangan itu.

b. Pidana

Yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.

Menurut Moeljatno yang dimaksud dengan hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku dari suatu negara, yang mengadakan dasar dan aturan-aturan hukum :

1) Menentukan perbuatan-perbuatan masyarakat yang tidak boleh dilakukan, dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.

2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

3) Menentukan dengan cara bagaiamana pengenaan pidana dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Definisi lain yang dapat dikatakan berlaku secara umum, dirumuskan oleh Prof. W.P.J. Pompe, yang menyatakan:

Hukum pidana itu sama halnya dengan hukum tata negara, hukum perdata dan lain-lain bagian dari hukum biasanya diartikan sebagai suatu keseluruhan peraturan-peraturan yang sedikit banyak bersifat umum yang diabstrahir dari keadaan yang bersifat konkret.

Menurut Prof. Simons hukum pidana dapat dibagi dalam 2 (dua) bagian, yaitu hukum pidana dalam arti obyektif (strafrecht in objectieve) dan hukum pidana dalam arti subjektif (strafrecht van subjectieve).

Hukum pidana dalam arti objektif yaitu hukum pidana yang berlaku sekarang ini atau hukum pidana positif, yang dirumuskan oleh Prof. Simons sebagai berikut:

Keseluruhan dari larangan-larangan dan keharusan-keharusan, yang atas pelanggaranya oleh negara atau oleh suatu masyarakat hukum umum lainya telah dikaitkan dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa suatu hukuman, dan keseluruhan dari peraturan-peraturan dimana syarat-syarat mengenai akibat hukum itu telah diatur serta keseluruhan dari peraturan-peraturan yang mengatur masalah penjatuhan dan pelaksanaan dari hukuman itu sendiri.

Sedangkan hukum pidana dalam arti subyektif mempunyai 2 (dua) pengertian, yaitu:

1) Hak dari negara dan alat-alat kekuasaanya untuk menghukum, yakni hak yang mereka peroleh dari peraturan-peraturan yang telah ditentukan oleh hukum pidana dalam arti objektif.

2) Hak dari negara untuk mengkaitkan pelanggaran terhadap peraturan-peraturanya dengan hukuman.

Menurut Van Hamel dalam bukunya Inleiding Studie Ned. Strafrecht 1972, yang menyatakan:

Hukum Pidana adalah semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu negara dalam menyelenggarakan ketertiban umum (rechsorde) yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada yang melanggar larangan-laranagan tersebut.

Dari definisi-definisi di atas nampak bahwa hukum pidana mendasar pada adanya kekuasaan negara itu memberlakuakan norma-norma yang ditetapkan dan berlaku pada warga negaranya. Disini ketaatan warga negara yang ditekankan. Disamping itu bagi mereka yang melanggar dikenal sanksi yang berupa pidana atau nestapa.Pada hukum pidana yang diperlu ditekankan tidak hanya pemidanaan terhadap terdakwa, namun perlu diperhatikan apakah benar-benar terdakwa tersebut yang telah melakukan tindak pidana yang dituduhkan atau tidak. Kemudian melangkah apakah terdakwa karena perbuatan pidana yang dituduhkan dapat dipertanggungjawabkan atau tidak. Hal ini berkaitan dengan asas kesalahan yaitu tiada pidana tanpa kesalahan. Asas ini terdapat dalam Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 pasal 6 ayat (2), yang menyatakan :

Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat bukti yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang, yang dianggap bertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.

Selain asas kesalahan, untuk adanya suatu perbuatan dinyatakan tindak pidana oleh hukum pidana maka harus ada aturan yang mengaturnya sebelum perbuatan itu dilakukan. Ini berkaitan dengan asas legalitas yaitu Nullum delictum noela poena sine previa lege poenali, yang tercantum dalam pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang menyatakan :

Tiada suatu perbuatn dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan hukum pidana dalm perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakuakan.

Maka hukum pidana menyatakan suatu perbuatan yang termasuk dalan kategori tindak pidana apabila memenuhi dua asas tersebut. Selain kedua asas tersebut ada asas-asas lain yang sifatnya hanya melengkapi, yang terpenting adalah kedua asas tersebut.Hukum mengatur kehidupan suatu masyarakat dalam negara yang menciptakan hukum tersebut. Dalam masyarakat suatu negara setiap individu atau kelompok mempunyai kepentingan yang saling berbenturan. Hukum mengatur dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan yang berjalan sendiri-sendiri, bahkan yang saling bertentangan menjaadi satu hubungan yang tertib sehingga menjadi produktif bagi masyarakat tersebut.

Dalam hal ini hukum berusaha mengatur dan mengkoordinasikan benturan-benturan kepentingan yang ada dengan jalam mewujudkan penertiban yaitu berupa penegasan hak-hak, kewajiban-kewajiban, pertanggungan jawab dan lain-lain.Demikian pula hukum pidana, peraturan hukum yang tertuang dalam kaidah-kaidah atau norma-norma memuat hak-hak dan kewajiban ini yang akan berperan dan menentukan tingkah laku warga masyarakatnya.

Hukum pidana tidak hanya mengatur tata kehidupan masyarakat, tetapi yang lebih penting adalah mengatur tindakan-tindakan yang sepatutnya dan seharusnya dilakukan oleh masyarakat sehingga lebih bermanfaat.

Berbeda dengan positif yang lain di Indonesia, misalnya bidang hukum perdata, bidang hukum administrasi dan bidang hukum lain yang mencari kebenaran formil. Untuk hukum pidana yang yang dicari adalah kebenaran materiil, dan kebenaran ini yang dijadikan dasar suatu putusan hakim pidana. Yang dimaksud kebenaran materiil adalah :

Kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan-ketentuan hukum acara secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melanggar hukum pidana dan selanjutnya minta pemeriksaan, dan putusan pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu dapat dipermasalahkan.

Melihat pentingnya kedudukan hukum pidana dalam kehidupan masyarakat sebagai sarana pengatur pergaulan bermasyarakat di suatu negara, maka fungsi hukum pidana. Fungsi hukum pidana dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu :

1) Fungsi yang umum

Oleh karena hukum pidana itu merupakan bagian dari keseluruhan lapangan hukum, maka fungsi hukum pada umumnya, ialah mengatur kehidupan masyarakat atau menyelenggarakan tata dalam masyarakat.

2) Fungsi yang khusus

Fungsi khusus dari hukum pidana adalah melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan-perbuatan yang hendak memperkosanya (rechguterschutz) dengan sanksi yang berupa pidana yang bersifat lebih tajam dibanding dengan cabang hukum lain.

Hukum pidana sebagai alat kontrol sosial dapat pula termasuk dalam hukum pidana fungsi yang primer, yaitu sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan. Dalam hal ini hukum pidana merupakan bagian dari politik kriminal yaitu usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi masyarakat.Disamping fungsi primer, hukum pidana mempunyai fungsi sekunder, yaitu hukum pidana merupakan pengaturan kontrol sosial (fungsi primer), dimana menjamin hak dan kepentingan yang sah dari warga masyarakat.

Hukum pidana sebagai ketentuan yang harus ditaati oleh setiap warga negara dimana hukum ini diberlakukan dan untuk menjamin ketertiban masyarakat, maka menitikberatkan pada kepentingan umum, atau hukum pidana bersifat publik. Sifat publik hukum pidana ini merupakan hubungan hukum yang diakibatkan oleh suatu perbuatan seseorang sehingga dijatuhi pidana, bukanlah hubungan koordinasi antara pihak yang slaah dengan pihak yang dirugikan, melainkan hubungan itu bersifat subordinasi dari yang bersalah terhadap pemerintah.

2. Tindak Pidana dan Pemidanaan

a. Pengertian Tindak Pidana dan Unsur-unsurnya

Istilah tindak pidana berasal dari Bahasa Belanda yaitu strafbaarfeit, namun demikian belum ada konsep yang secara utuh menjelaskan definisi strafbaarfeit. Oleh karenanya masing-masing para ahli hukum memberikan arti terhadap istilah strafbaarfeit menurut persepsi dan sudut pandang mereka masing-masing.

Strafbaarfeit, terdiri dari tiga suku kata yakni, straf yang diterjemahkan sebagai pidana dan hukum, kata baar diterjemahkan sebagai dapat dan boleh sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.

Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan sederhana, bahwa strafbaarfeit kiranya dapat dipahami sebagai sebuah tindak, peristiwa, pelanggaran atau perbuatan yang dapat atau boleh dipidana atau dikenakan hukuman.

Wirjono Prodjodikoro, menterjemahkan istilah strafbaarfeit sama dengan tndak pidana yakni suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana. Simons, merumuskan bahwa strafbaarfeit itu sebenarnya adalah tindakan yang menurut rumusan Undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.

Dalam perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia dapat dijumpai istilah-istilah lain yang mempunyai maksud sama dengan strafbaarfeit.

Istilah-itilah ini terdapat di dalam :

1) Peristiwa pidana, terdapat dalam ketentuan Undang-undang Dasar sementara (UUDS) Tahun 1950 pasal 14 ayat 1.

2) Perbuatan pidana, istilah ini dapat ditemukan di dalm UU No. 1 Tahun 1951 pasal 5 ayat 3b mengenai tindakan sementara untuk menyelenggarakan satuan susunan kekuasaan dan acara peradilanperadilan sipil.

3) Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, ketentuan ini terdapat dalam Undang-undang Darurat No. 2 Tahun 1951.

4) Hal-hal yang diancam dengan hukum dan perbuatan-perbuatan yang dapat dikenakan hukuman, ketentuan ini terdapat dalam Undang-undang Darurat No. 16 Tahun 1951 pasal 19, 21 dan 22 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan.

5) Tindak pidana, istilah ini terdapat dalam Undang-undang Darurat No. 7 Tahun 1953 pasal 129 tentang pemilihan umum.

6) Tindak pidana, ketentuan ini terdapat dalam Undang-undang Darurat No. 7 Tahun 1955 pasal 1 tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi.

7) Tindak pidana, ketetapan ini terdapat dalam penetapan Presiden No.4 Tahun 1961 pasal 1 tentang kewajiban kerja bakti dalam rangka pemasyarakatan bagi terpidana karena melakukan tindak pidana.

Muljatno, seorang guru besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada menganggap lebih tepat dipergunakan istilah perbuatan pidana, yakni sebuah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum yang disertai dengan ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut.

Lebih jauh Moeljatno menjelaskan antara larangan dan ancaman ada hubungan yang sangat erat, oleh karenanya kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang, maka dalam hal ini orang tidak dapat diancam pidana jika bukan karena perbuatan yang ditimbulkan olehnya.

Dan untuk menyatakan hubungan yang erat dipakailah istilah perbuatan, sebuah pengertian yang abstrak yang menunjukkan kepada dua keadaan yang konkrit : Pertama adanya kejadian-kejadian tertentu dan kedua adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu.

Sedangkan untuk dapat dikatakan adanya perbuatan pidana menurut Moeljatno harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

1) Perbuatan

2) Yang dilarang (oleh aturan hukum)

3) Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).

Menurut R. Tresna, merumuskan bahwa unsur-unsur perbuatan pidana harus memuat hal-hal seperti di bawah ini :

1) Perbuatan / rangkaian perbuatan manusia.

2) Yang bertentangan dengan pertauran perudang-undangan.

3) Diadakan tindakan hukuman.

Dari unsur ketiga, kalimat diadakan tindakan penghukuman, terdapat perngertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu selalu diikuti dengan penghukuman (pemidanaan), hal ini berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Moeljatno yang menyebutkan bahwa setiap perbuatan pidana itu tidak selalu harus dijatuhi pidana.

b. Maksud dan Tujuan Pemidanaan

Penjatuhan pidana di satu sisi dipahami sebagai sebuah penjatuhan nestapa dalam kerangka memperbaiki terpidana, di sisi lain penatuhan pidana dipahami sebagai aksi balas dendam oleh alatalat negara secara legal formal.

Dari perbedaan mengenai apa yang sebenarnya menjadi tujuan dan hakikat pemidanaan ini, pada ahirnya memunculkan banyak teori yang membahasnya dilihat dari berbagai sudut dan sisi.

Teori-teori ini berupaya menerangkan tentang dasar negara dalam menjatuhkan pidana.

1) Teori Absolut / mutlal (Vergeldings theorien).

Menurut teori absolut / mutlak, setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana. Seorang mendapatkan pidana oleh karena ia melakukan tindak pidana, dan negara berhak menjatuhkan pidana karena ia telah melakukan penyerangan dan perkosan pada hak dan kepentingan hukum (pribadi, masyarakat atau negara ) yang telah dilindungi.

Pada masyarakat Jawa ada sebuah semboyan seperti yang terlihat dari sebuah unfkapan utang pati nyaur pati, utang loro nyaur loro. Dari ungkapan sederhana ini dapat dipahami bahwa seseorang yang melakukan tindak pidana pembunuhan, maka ia pun harus dibunuh juga, seseorang yang melakukan tindak pidana penganiyaan maka ia pun harus pula mendapatkan penganiyaan.

Dari kutipan tersebut di atas dapat dipahami bahwa tujuan pemidanaan terhadap suatu tindak pidana menurut teori absolut / mutlak adalah aksi pembalasan.

Ada beberapa dasar atau pertimbangan tentang adanya kaharusan untuk di adakannya pembalasan itu antara lain :

a) Pertimbangan dari sudut Ketuhanan

Hukum adalah suatu aturan yang bersumber pada Tuhan yang diturunkan melalui pemerintahan negara sebagai abdi atau wakil Tuhan di dunia. Karenanya negara wajib memelihara dan melaksanakan hukum dengan cara setiap pelanggaran terhadap hukum wajib dibalas setimpal dengan pidana terhadap pelanggarnya.

b) Pandangan dari sudut etika

Pandangan ini berasal dari pemikiran Emmanuel Kant, bahwa menurut rasio atau akal, tiap kejahatan itu haruslah diikuti oleh suatu pidana. Menjatuhkan pidana adalah sesuatu yang dituntut oleh keadilan ethis.

Pemerintah mempunyai hak untuk menjatuhkan dan menjalankan pidana dalam rangka memenuhi keharusan yang dituntut oleh ethika tersebut. Jadi menurut Kant, pidana merupakan suatu tuntutan kesusilaan.

c) Pandangan alam pikiran dialektik

Pandangan alam pikiran dialektika ini dipelopori oleh Hegel, dalam pandangannya pidana mutlak harus ada sebagai reaksi dari setiap kejahatan dan merupakan keonskuensi logis dari adanya kejahatan. Hukum atau keadilan adalah merupakan suatu kenyataan (sebagai these). Jika seorang melakukan kejahatan atau penyerangan terhadap keadilan, ia berarti mengingkari kenyataan adanya hukum (anti these), oleh karenanya harus diikuti oleh suatu ketidak adilan terhadap pelakunya (synthese) untuk mengembalikan menjadi suatu keadilan atau kembali tegaknya hukum (these).

2) Teori relatif atau teori tujuan.

Menurut ini suatu tindak pidana tidak mutlak harus diikuti dengan pidana, oleh karenanya kurang tepat bila penjatuhan pidana hanya dipandang sebagai aksi balas dendam, tetapi penjatuhan pidana harus dipandang sebagai suatu yang berguna bagi pelaku tindak pidana atau pun masyarakat secara umum.

Tujuan pokok diajatuhkannya pidana terhadap pelaku tindak pidana adalah dalam rangka menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat, maka penjatuhan pidana sekurangkurangnya harus memiliki tiga macam sifat yaitu :

a) Bersifat menakut-nakuti / upaya preventif.

b) Bersifat memperbaiki / upaya edukatif dan

c) Bersifat membinasakan.

2) Teori gabungan

Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada azas pembalasan dan azas pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar penjatuhan pidana. Secara garis besar teori ini dapat dibedakan menjadi dua yakni :

a) Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib masyarakat. b) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana.

Pendukung teori gabungan yang menitik beratkan pada pembalasan ini didukung oleh POMPE, yang berpadangan bahwa pidana tiada lain adalah pembalasan pada penjahat, tetapi juga bertujuan untuk mempertahankan tata teritib hukum agar kepentingan umum diselamatkan dan terjamin dari kejahatan. Menurut Thomas Aquino, bahwa yang menjadi dasar pidana itu ialah kesejahteraan umum18.

Untuk adanya pidana maka harus ada kesalahan pada pelaku perbuatan, dan kesalahan itu hanya terdapat pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan suka rela. Pidana yang dijatuhkan pada orang yang melakukan perbuatan yang dilakukan dengan suka rela inilah yang tiada lain bersifat pembalasan. Sifat pembalasan dari pidana adalah merupakan sifat umum dari pidana, tetapi bukan tujuan dari pidana, sebab tujuan pidana pada hakikatnya adalah pertahanan dan perlindungan tata tertib masyarakat.

c. Macam-macam Sanksi Pidana

Pidana adalah suatu perasaan tidak enak atau sengsara yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar hukum. Roeslan Saleh, mendefinisikan pidana sebagai reaksi atas delik yang banyak berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik.

Pidana juga didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan atau diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) telah menetapkan jenis-jenis pidana yang termaktub dalam pasal 10. Ada dua macam jenis pidana yakni pokok dan pidana tambahan. Jenis-jenis pidana pokok menurt pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana ialah sebagai berikut :

1) Pidana mati

2) Pidana kurungan

3) Pidana denda.

Adapun bentuk pidana tambahannya dapat berupa :

1) Pencabutan beberapa hak-hak tertentu

2) Perampasan barang-barang tertentu dan

3) Pengumuman keputasan hakim.

Dalam kaitan jenis-jenis pidana, pemerintah berkali-kali merumuskan perubahan atau penyempurnaan melalui rancangan KUHP, misalnya dalam rancangan KUHP Tahun 1982-1983 disebutkan adanya pidana pemasyarakatan, tetapi dalam naskah rancangan KUHP baru (hasil penyempurnaan tim intern Departemen Kehakiman), pidana kemasyarakatan tidak ada, yang ada adalah pidana kerja sosial.

d. Alasan Penghapusan Pidana

1) Alasan Pembenar

Alasan pembenar dipahami sebagai alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar, yang termasuk dalam alasan pembenar diantaranya adalah :

a) Pasal 49 (1) mengenai pembelaan terpaksa (noodweer).

Pasal 49 berbunyi : Tidak dipidana barang siapa melakukan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sndiri maupun orang lain, karena serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.

Dalam pandangan Prof. Moeljatno, perbuatan yang dimaksud dalam pasal 49 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut harus berupa pembelaan, artinya lebih dahulu harus ada hal-hal memakasa terdakwa melakukan perbuatannya, yang dirumuskan dalam bantuk kalimat adanya serangan atau ancaman.

Menurut Adami Chazawi, dari rumusan pasal 49 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut setidaknya dapat diimpulkan dua hal yakni :

(1) Unsur mengenai syarat adanya pembelaan terpaksa dan(2) Unsur dalam hal apa (macamnya) pembelaan terpaksa.

Unsur syarat mengenai adanya pembelaan terpaksa ialah : (a) Pembelaan terpaksa harus dilakukan karena sangat terpaksa.

(b) Untuk mengatasi adanya serangan atau ancaman serangan seketika yang bersifat melawan hukum.

(c) Serangan atau ancaman serangan mana ditujukan pada 3 (tiga) kepentingan hukum, ialah kepentingan hukum atas yakni badan, kehormatan kesusilaan dan harta benda sendiri ataupun orang lain.

(d) Harus dilakukan ketika ada ancaman serangan, kerika berlangsungnya serangan atau ancaman bahaya yang mengancam.

(e) Perbuatan pembelaan harus seimbang dengan serangan yang mengancam

Sedangkan dalam hal apa pembelaan terpaksa dapat dilakukan ialah :

(a) Dalam hal untuk membela dirinya sendiri atau orang lain, artinya ialah serangan itu bersifat dan ditujukan pada serangan fisik atau badan manusia.

(b) Dalam hal untuk membela kehormatan kesusilaan, dan

(c) Dalam hal untuk membela harta benda diri sendiri atau harta benda orang lain dan serangan itu tertuju pada harta milik atau kebendaan.

Penyerangan yang melawan hukum seketika itu melahirkan hukum darurat yang membolehkan si korban melindungi dan mempertahankan kepentingan hukumnya atau kepentingan hukum orang lain olehnya sendiri. Hal inilah yang menjadi dasar filosofi dari sebuah pembelaan yang sangat terpaksa harus dilakukan.

b) Pasal 50 Mengenai Melaksanakan Ketentuan Undang-undang Menjalankan Perintah Undang-undang (Wettelijk Voorschrift)

Dasar peniadaan pidana karena menjalankan perintah Undang-undang dirumuskan dalam pasal 50 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi : Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan Undang-undang tidak dipidana.

Perbuatan itu boleh dilakukan sepanjang memang diperlukan, seimbang dan layak untuk dilakukan demi pelaksanaan kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang tersebut.

c) Pasal 51 (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Melaksanakan Perintah dari Atasan.

Mengenai dasar peniadaan karena menjalankan perintah jabatan dapat dijumpai dalam pasal 51 KUHP ayat 1 yang berbunyi : Barang siapa melakukan perbuatan untuk melakukan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang tidak dipidana.

2) Alasan Pemaaf

Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Yang termasuk dalam alasan pemaaf diantaranya adalah pasal 49 (2) tentang pembelaan yang melampaui batas.

Dalam pasal 49 (2) dirumuskan bahwa pembelaan terpaksa, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu tidak dipidana. Persamaannya dengan pasal 49 (1) adalah usaha pembelaan terpaksa ini ditujukan peda tiga kepentingan hukum seperti tubuh, kehormatan kesusilaan dan harta benda baik diri sendiri maupun orang lain.

Perbedannya dengan pasal 49 (1) dalam pembelaan terpaksa, perbuatan yang dilakukan sebagai wujud pembelaan terpaksa haruslah seimbang dengan bahaya yang diakibatkan dari serangan terhadap sikorban dan harus dilakukan saat itu juga ketika ancaman atau serangan sedang berlangsung.

Sementara itu menurut pasal 59 ayat (2) pembelaan terpaksa yang melampaui batas sudah melebihi dari apa yang diperlukan dalam hal pembelaan atas kepentingan hukumnya yang terancam, yang artinya pilihan perbuatan itu sudah tidak seimbang dengan bahaya yang ditimbulkan oleh adanya serangan atau ancaman.

Disamping alasan pembenar dan alasan pemaaf yang dibenarkan dalam undang-undang ada juga hal-ha yang lain yang dapat menghapuskan pidana atas diri seseorang seperti :

3) Tidak dapat dipertanggungjawabkan karena jiwa yang cacat dalam pertumbuhannya dan jiwa yang terganggu karena sakit. Di dalam pasal 44 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) merumuskan :

a) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit tidak dipidana.

b) Jika perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pembuatnya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dapat dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama 1 Tahun sebagai masa percobaan. Ketentuan ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan negeri.

Dalam praktik hukum, sepanjang si pembuat tidak menunjukkan gejala-gejala kejiwaan abnormal, maka keadaan jiwa tidak dipermasalahkan. Sebaliknya apabila nampak gejala-gejala abnormal maka gejala-gejala tersebut akan segera diselidiki, apakah gejala-gejala tersebut sungguh-sungguh benar dan merupakan alasan pemaaf sebagaimana dimaksudkan oleh pasal 44 ayat 1.

Ada tiga cara yang dapat digunakan dalam rangka menyelediki keadaan si - pembuat berada dalam keadaan tidak mampu bertanggungjawab yakni :

a) Dengan metode biologis, artinya dengan menyelidiki gejala-gejala atau keadaan yang abnormal yang kemudian dihubungkan dengan ketidak mampuan bertanggungjawab.

b) Dengan metode psikologis, yakni dengan menyelidiki ciri-ciri psikologis yang ada, kemudian dari cara-cara itu dinilai untuk menarik kesimpulan apakah orang itu mampu bertanggungjawab atau tidak.

c) Dengan metode gabungan, yakni kedua cara tersebut digunakan secara bersama-sama. Disamping menyelidiki gajala-gejala abnormal, diselidiki juga ciri-ciri psikologis orang itu, untuk menarik kesimpulan apakah orang itu mampu bertanggungjawab atau tidak.

4) Daya paksa

Dalam ketentuan pasal 48 disebutkan : Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana. Menurut Prof. Moeljatno, yang menjadi persoalan ialah apakah daya paksa itu merupakan paksaan secara fisik sehingga orang sulit menghindarkan diri, atau merupakan paksaan psychis walaupun secara fisik orang dapat menghindarinya tetapi dengan daya paksa yang sedemikian besarnya seseorang tidak dapat menahan daya tersebut.

Lebih lanjut Prof. Moeljatno menyebutkan, bahwa dalam daya paksa yang sempit, inisiatif untuk berbuat ke arah perbuatan yang tertentu ada pada orang yang memberi tekanan. Sedangkan dalam keadaan darurat orang yang terkena bebas untuk memilih perbuatan mana yang akan dilakukan, artinya inisiatif untuk melakukan sesuatu ada pada dirinya sendiri.

5) Menjalankan Perintah Jabatan yang Tidak Sah dengan Itikat Baik.

Menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan Itikat baik sebagai dasar peniadaan pidana dirumuskan dalam pasal 51 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) ayat 2 yang berbunyi : Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah dengan Itikat baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaanny.

Karena tidak mengatahui bahwa perintah itu tidak sah dengan Itikat baik, maka hal inilah yang menjadi dasar alasan pemaaf yang menghapus unsur melawan hukumnya.

E. Pengertian dan Unsur Pencurian

1. Pengertian Pencurin

Dalam hukum kriminal, pencurian adalah pengambilan properti milik orang lain secara tidak sah tanpa seizin pemilik. Kata ini juga digunakan sebagai sebutan informal untuk sejumlah kejahatan terhadap properti orang lain, seperti perampokan rumah, penggelapan, larseni, penjarahan, perampokan, pencurian toko, penipuan dan kadang pertukaran kriminal. Dalam yurisdiksi tertentu, pencurian dianggap sama dengan larseni; sementara yang lain menyebutkan pencurian telah menggantikan larseni. Seseorang yang melakukan tindakan atau berkarir dalam pencurian disebut pencuri, dan tindakannya disebut mencuri. pencurian besar diartikan kejahatan mengambil harta orang lain terhadap kehendak mereka dengan maksud secara permanen merampas properti.

Dalam agar dapat dipertimbangkan besar pencurian, nilai total dari apa yang diambil harus melebihi jumlah dolar tertentu. Nilai dari properti curian merupakan kejahatan sebagai pencurian besar bervariasi oleh locale dan spesifik lainnya. properti dalam definisi pencurian besar dapat meliputi uang, tenaga, nyata, atau properti pribadi yang secara sah menjadi milik orang lain individu atau sekelompok individu. Istilah pencurian dengan pemberatan biasanya secara doctrinal disebut sebagai pencurian yang dikualifikasikan. Pencurian yang dikualifikasikan ini menunjuk pada suatu pencurian yang dilakukan dengan cara-cara tertentu atau dalam keadaan tertentu, sehingga bersifat lebih berat dan karenanya diancam dengan pidana yang lebih berat pula dari pencurian biasa. Pencurian dengan pemberatan atau pencurian yang dikualifikasikan diatur dalam Pasal 363 dan 365 KUHP. Oleh karena pencurian yang dikualifikasikan tersebut merupakan pencurian yang dilakukan dengan cara-cara tertentu dan dalam keadaan tertentu yang bersifat memberatkan, maka pembuktian terhadap unsur-unsur tindak pidana pencurian dengan pemberatan harus diawali dengan membuktikan pencurian dalam bentuk pokoknya.

Pencurian dengan pemberatan yang diatur dalam Pasal 363 KUHP. Pencurian yang diatur dalam Pasal 363 KUHP dirumuskan sebagai berikut: Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun: pencurian ternak, pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang; pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang adanya di situ tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak; pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama; pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambilnya, dilakukan dengan membongkar, merusak atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan (seragam) palsu.

Pencurian ringan yaitu pencurian yang memiliki unsur-unsur dari pencurian di dalam bentuknya yang pokok, yang karena di tambah dengan unsur-unsur lain (yang meringankan), ancaman pidananya menjadi diperingan. Dalam kebanyakan kasus, pencurian kecil adalah pelanggaran kejahatan yang diancam dengan hukuman tidak lebih dari satu tahun di penjara dan denda maksimal. Kebanyakan negara menganggap pencurian besar kejahatan yang membawa kemungkinan hukuman yang lebih keras. Sedangkan menurut KUHP dirumuskan dalam pasal 362 KUHP yang menyatakan :

Barangsiapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum karena pencurian dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900,- (sembilan ratus rupiah)

2. Unsur-unsur pencurian

Apabila dirinci rumusan diatas terdiri dari unsur - unsur objektif (perbuatan mengambil, objeknya suatu benda, dan unsur keadaan yang menyertai/melekat pada benda, yaitu benda tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain) dan unsur - unsur subjektif (adanya maksud yang ditujukan untuk memiliki, dan dengan melawan hukum).

Berdasarkan rumusan pasal 362-363 KUHP diatas, maka unsur-unsur objektif dan subyektif.

a. Unsur Objektif

Unsur-unsur Objektif berupa :Unsur perbuatan mengambil (wegnemen). Dari adanya unsur perbuatan yang dilarang mengambil ini menunjukkan bahwa pencurian adalah berupa tindak pidana formil. Mengambil adalah suatu tingkah laku positif/perbuatan materiil, yang dilakukan dengan gerakan-gerakan otot yang disengaja yang pada umumnya dengan menggunakan jari-jari dan tangan yang kemudian diarahkan pada suatu benda, menyentuhnya, memegangnya, dan mengangkatnya lalu membawa dan memindahkannya ke tempat lain atau ke dalam kekuasaannya.

Sebagaimana dalam banyak tulisan, aktifitas tangan dan jari jari sebagaimana tersebut di atas bukanlah merupakan syarat dari adanya perbuatan mengambil. Unsur pokok dari perbuatan mengambil adalah harus ada perbuatan aktif, ditujukan pada benda dan berpindahnya kekuasaan benda itu ke dalam kekuasaannya. Berdasarkan hal tersebut, maka mengambil dapat dirumuskan sebagai melakukan perbuatan terhadap suatu benda dengan membawa benda tersebut ke dalam kekuasaan. Berdasarkan hal tersebut, maka mengambil dapat dirumuskan sebagai melakukan perbuatan terhadap suatu benda dengan membawa benda tersebut ke dalam kekuasaannya secara nyata dan mutlak. Unsur berpindahnya kekuasaan benda secara mutlak dan nyata adalah merupakan syarat untuk selesainya perbuatan mengambil, yang artinya juga merupakan syarat untuk menjadi selesainya suatu pencurian secara sempurna. Sebagai ternyata dari Arrest Hoge Raad (HR) tanggal 12 Nopember 1894 yang menyatakan bahwa "perbuatan mengambil telah selesai, jika benda berada pada pelaku, sekalipun ia kemudian melepaskannya karena diketahui".

Unsur benda. Pada mulanya benda - benda yang menjadi objek pencurian ini sesuai dengan keterangan dalam Memorie van Toelichting (MvT) mengenai pembentukan pasal 362 KUHP adalah terbatas pada benda - benda bergerak (roerend goed). Benda benda tidak bergerak, baru dapat menjadi objek pencurian apabila telah terlepas dari benda tetap dan menjadi benda bergerak, misalnya sebatang pohon yang telah ditebang atau daun pintu rumah yang telah terlepas/dilepas. Benda bergerak adalah setiap benda yang berwujud dan bergerak ini sesuai dengan unsur perbuatan mengambil. Benda yang kekuasaannya dapat dipindahkan secara mutlak dan nyata adalah terhadap benda yang bergerak dan berwujud saja. Benda bergerak adalah setiap benda yang menurut sifatnya dapat berpindah sendiri atau dapat dipindahkan (pasal 509 KUHPerdata). Sedangkan benda yang tidak bergerak adalah benda - benda yang karena sifatnya tidak dapat berpindah atau dipindahkan, suatu pengertian lawan dari benda bergerak.

Unsur sebagian maupun seluruhnya milik orang lain. Benda tersebut tidak perlu seluruhnya milik orang lain , cukup sebagian saja, sedangkan yang sebagian milik petindak itu sendiri. Seperti sebuah sepeda milik A dan B, yang kemudian A mengambilnya dari kekuasaan B lalu menjualnya. Akan tetapi bila semula sepeda tersebut telah berada dalam kekuasaannya kemudian menjualnya, maka bukan pencurian yang terjadi melainkan penggelapan (pasal 372). Siapakah yang diartikan dengan orang lain dalam unsur sebagian atau seluruhnya milik orang lain? Orang lain ini harus diartikan sebagai bukan si petindak. Dengan demikian maka pencurian dapat pula terjadi terhadap benda - benda milik suatu badan misalnya milik negara. Jadi benda yang dapat menjadi objek pencurian ini haruslah benda - benda yang ada pemiliknya. Benda - benda yang tidak ada pemiliknya tidak dapat menjadi objek pencurian.Contoh di atas adalah bentuk hukuman mati yang sangat tidak manusiawi. Hal tersebut sangat wajar karena saat itu hukum yang berlaku adalah hukum kolonial. Hukum kolonial terkenal kejam karena untuk memberikan rasa takut bagi masyarakat untuk melakukan perlawanan. Sehingga Belanda dapat bertahan cukup lama di Indonesia.27

b. Unsur Subjektif

Unsur subjektif terdiri dari dua unsur, yakni pertama unsur maksud (kesengajaan sebagai maksud atau opzet als oogmerk), berupa unsur kesalahan dalam pencurian, dan kedua unsur memiliki. Dua unsur itu dapat dibedakan dan tidak terpisahkan. Maksud dari perbuatan mengambil barang milik orang lain itu harus ditujukan untuk memilikinya. Dari gabungan dua unsur itulah yang menunjukkan bahwa dalam tindak pidana pencurian, pengertian memiliki tidak mensyaratkan beralihnya hak milik atas barang yang dicuri ke tangan petindak, dengan alasan, pertama tidak dapat mengalihkan hak milik dengan perbuatan yang melanggar hukum, dan kedua yang menjadi unsur pencurian ini adalah maksudnya (subjektif) saja. Sebagai suatu unsur subjektif,30 memiliki adalah untuk memiliki bagi diri sendiri atau untuk dijadikan sebagai barang miliknya. Apabila dihubungkan dengan unsur maksud, berarti sebelum melakukan per buatan mengambil dalam diri petindak sudah terkandung suatu kehendak (sikap batin) terhadap barang itu untuk dijadikan sebagai miliknya.

Melawan hukum. Maksud memiliki dengan melawan hukum atau maksud memiliki itu ditujukan pada melawan hukum, artinya ialah sebelum bertindak melakukan perbuatan mengambil benda, ia sudah mengetahui, sudah sadar memiliki benda orang lain (dengan cara yang demikian) itu adalah bertentangan dengan hukum. Berhubung dengan alasan inilah, maka unsur melawan hukum dalam pencurian digolongkan ke dalam unsur melawan hukum subjektif.

Pendapat ini kiranya sesuai dengan keterangan dalam MvT yang menyatakan bahwa, apabila unsur kesengajaan dicantumkan secara tegas dalam rumusan tindak pidana berarti kesengajaan itu harus ditujukan pada semua unsur yang ada di belakangnya. Unsur maksud adalah merupakan bagian dari kesengajaan. Dalam praktik hukum terbukti mengenai melawan hukum dalam pencurian ini lebih condong diartikan sebagai melawan hukum subjektif sebagaimana pendapat Mahkamah Agung yang tercermin dalam pertimbangan hukum putusannya (No. 680 K/Pid/1982 tanggal 30-7-1983).

Dimana Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta (yang menghukum) dan membebaskan terdakwa dengan dasar dakwaan jaksa penuntut umum tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, dengan pertimbangan hukum "tidak terbukti adanya unsur melawan hukum". Sebab pada saat terdakwa mengambil barang-barang dari kantor, dia beranggapan bahwa barang-barang yang diambil terdakwa adalah milik almarhum suaminya. Sebagai seorang ahli waris, terdakwa berhak mengambil barang-barang tersebut. Pada bagian kalimat yang berbunyi "dia beranggapan bahwa barang-barang yang diambil terdakwa adalah milik almarhum suaminya" adalah merupakan penerapan pengertian tentang melawan hukum subyektif pencurian pada kasus konkrit dalam putusan pengadilan. Walaupun sesungguhnya tidak berhak mengambil sebab barang bukan milik suaminya, tetapi karena dia beranggapan bahwa barang adalah milik suaminya, maka sikap batin terhadap perbuatan mengambil yang demikian, adalah merupakan tiadanya sifat melawan hukum subyektif sebagaimana yang dimaksud pasal 362 KUHP.

Sedangkan apa yang dimaksud dengan melawan hukum (wederrechtelijk) undang-undang tidak memberikan penjelasan lebih lanjut. Pada dasarnya melawan hukum adalah sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu perbuatan tertentu. Dilihat dart mana atau oleh sebab apa sifat tercelanya atau terlarangnya suatu perbuatan itu, dalam doktrin dikenal ada dua macam melawan hukum, yaitu pertama melawan hukum formil, dan kedua melawan hukum materiil.34 Melawan hukum formil adalah bertentangan dengan hukum tertulis, artinya sifat tercelanya atau terlarangnya suatu perbuatan itu terletak atau oleh sebab dari hukum tertulis. Seperti pendapat Simons yang menyatakan bahwa untuk dapat dipidananya perbuatan harus mencocoki rumusan delik yang tersebut dalam undang-undang. Sedangkan melawan hukum materiil, ialah bertentangan dengan azas-azas hukum masyarakat, azas mana dapat saja dalam hukum tidak tertulis maupun sudah terbentuk dalam hukum tertulis. Dengan kata lain dalam melawan hukum mate rill ini, sifat tercelanya atau terlarangnya suatu perbuatan terletak pada masyarakat. Sifat tercelanya suatu perbuatan dari sudut masyarakat yang bersangkutan. Sebagaimana pendapat Vos yang menyatakan bahwa melawan hukum itu sebagai perbuatan yang oleh masyarakat tidak dikehendaki atau tidak diperbolehkan.

F. Sanksi Pencurian Menurut KUHPSesuai dalam KUHP pasal 362 yaitu: Barang siapa yang mengambil suatu barang yang sama sekali atau sebagian termaksud akan memiliki barang tersebut dengan melawan hak, dihukum karma pencurian dengan hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900,-.Dengan demikian jelaslah bahwa sanksi bagi pelaku pencurian dalam hukum positif adalah 5 tahun penjara atau membayar denda sebesar Rp. 900, Namun dalam pasal 363 ayat 1 KUHP diterangkan tindakan pencurian diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun, dengan ketentuan: a. Pencuri ternak,

b. Pencurian pada waktu kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru hara, pemberontakan, atau bahaya perang,

c. Pencurian diwaktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada disitu tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak.

d. Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu,

e. Pencurian yang untuk masuk ketempat kejahatan atau untuk sampai pada barang yang diambil, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu, dan pakaian jabatan palsu.

Yang dimaksud dengan pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dangan bersekutu yaitu kejahatanya tidak dilakukan oleh seorang diri melainkan dilakuakan secara brsama-sama lebih dari seorang, denagancara mengorganisir dalam melakukan kejahatan tersebut, artinya kejahatan tersebut dilakukan dengan perencanaan-perencanaan tertentu dan adanya pembagian tugas-tugas tertentu yang dilakukan oleh pelaku tindak kejahatan tersebut. Adapun sanksi yang dapat dikenakan bagi para pelaku kejahatan secara bersama-sama itu tergantung dari peran masing-masing pelaku dalam melakukan pencurian tersebut, maka hukumannya pun akan berbeda sesuai dengan apa yang dilakukannya, apakah pelaku tersebut sebagai pelaku utama, pelaku ikut serta secara langsuang atau pun tidak langsung, namun secara umum hukuman bagi pelaku pencurian diancam hukuman penjara selama-lamanya 7 tahun berdasarkan pasal 363 ayat 1.19

Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm.158.

Dwika, Keadilan dari Dimensi Sistem Hukum, HYPERLINK "http://hukum.kompasiana.com/" http://hukum.kompasiana.com. diakses pada 24 Agustus 2015.

Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, (Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2010), hlm. 59.

Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 23.

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta: Penerbit Toko Gunung Agung, 2002), hlm. 82-83

Peter Mahmud Marzuki. Pengantar Ilmu Hukum. (Jakarta : Kencana. 2008). hlm. 157

Ibid., hlm. 157-158

Ibid., hlm. 159-160

Ibid., hlm. 161

Ibid., hlm. 161-162

C.S.T Kansil. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka. 2009). hlm. 39

HYPERLINK "http://yancearizona.wordpress.com/2008/04/13/apa-itu-kepastian-hukum/" http://yancearizona.wordpress.com/2008/04/13/apa-itu-kepastian-hukum/,diakses tanggal 15 Agustus 2015.

Pasal 28D ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945.

HYPERLINK "http://musri-nauli.blogspot.com/2012/04/bismar-siregar-sang-pengadil-yang.html?m =1" http://musri-nauli.blogspot.com/2012/04/bismar-siregar-sang-pengadil-yang.html?m =1, diakses tanggal 15 Agustus 2015.

HYPERLINK "http://boyyendratamin.blogspot.com/2011/08/positivisme-hukum-di-indonesia-dan. html?m=1" http://boyyendratamin.blogspot.com/2011/08/positivisme-hukum-di-indonesia-dan. html?m=1, diakses tanggal 15 Agustus 2015.

HYPERLINK "http://www.surabayapagi.com/index.php?3bca0a43b79bdfd9f9305b812982962e5ebad017dee37f007e56da92eb74d56" http://www.surabayapagi.com/index.php?3bca0a43b79bdfd9f9305b812982962e5ebad017dee37f007e56da92eb74d56, diakses tanggal 15 Agustus 2015.

Moh. Mahfud MD. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003). hlm. 27.

Mochtar Kusumaatmadja,Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Perrtama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum,(Bandung: Alumni, 2000). hlm. 3.

Sajipto Rahardjo. Ilmu Hukum. (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2006). hlm. 17

Ibid., hlm. 4.

Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam lintasan sejarah, cet VIII, (Yogyakarta: kanisius, 2005). hlm. 196.

Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004). hlm. 24.

L..J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta, Pradnya Paramita, cetakan kedua puluh enam, 1996). hlm. 11-12.

Carl Joachim Friedrich, Op. Cit., hlm. 25.

Pan Mohamad Faiz, Teori Keadilan John Rawls. dalam Jurnal Konstitusi, Volue 6 Nomor 1 (April 2009), hlm. 135

Ibid., hlm. 139.

Ibid., hlm. 140.

John Rawls, A Theory of Justice, diterjemahkan oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006). hlm. 203

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien, (Bandung, Nusa Media, 2011). hlm. 7.

Ibid., hlm. 7

Ibid., hlm. 14

Ibid., hlm. 16.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan

Kahar Masyhur, Membina Moral dan Akhlak. (Jakarta: Kalam Mulia, 2005). hlm. 71.

Suhrawardi K. Lunis, Etika Profesi Hukum, Cetakan Kedua, (Jakarta, Sinar Grafika, 2000). hlm. 50.

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Renungan Tentang Filsafat Hukum, (Jakarta: Rajawali, 2002). hlm. 83.

Kahar Masyhur, Op. Cit., hlm. 71

Dellyana Shant. Konsep Penegakan Hukum. (Yogyakarta: Liberty, 2008). h. 32

Ibid., hlm. 33

Ibid., hlm. 34

Ibid., hlm. 37

Ibid., hlm. 39

Soerjono Soekanto. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegeakan Hukum Cetakan Kelima. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004). hlm. 42

Warih Anjari, Analisis Yuridis Hubungan Tindak Pidana Ekonomi dan Tindak Pidana Korupsi Dalam Praktek. (Semarang : FH UNDIP 1994), hlm. 45

P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. (Bandung: Sinar Baru, 2991), hlm. 1

Ibid. hlm 3

Warih Anjari, Op.Cit, hlm 14

Sudarto, Hukum Pidana I, (emarang : Yayasan Sudarto, 1990), hlm. 9.

Ibid, hlm 9.

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta : Bina Aksara, 1985), hlm. 1

P.A.F. Lamintang, Op.cit, hlm. 3.

Ibid. hlm 4

Moeljatno, Op.cit, hlm 8

Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, pasal 6 ayat (2)

Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terjemahan Moeljatno, pasal 1 ayat (1).

Somitro, Roni Hanitijo, Perspektif Sosial Dalam Pemahaman Masalah-Masalah Hukum, (Semarang : Agung, 2001), hlm. 31

Warih Anjari. Op Cit. hlm. 19.

Ibid. hlm. 19.

Sutarto, Suryono. Hukum Acara Pidana, (Semarang. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 1991). hlm 9.

Sudarto, Op. Cit hlm. 11-12

Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta. Ghalia Indonesia. 1983). Hlm. 37.

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 69

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Jakarta ; PT. Eresco, 1981), hlm. 12

Simons, D, Kitab Pelajaran Hukum Pidana (judul asli : Leerboek van Het Nederlandse Strafrecht) ditrjemahkan oleh P.A.F. Lamintang, (Bandung : Pioner jaya, 1992), hlm. 72.

Sudarto, Hukum Pidana, (Semarang : Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1997), hlm. 12.

Muljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Yogyakarta : Rineka Cipta, 2000), cet. VI, hlm. 54.

Ibid, hlm. 55

Ibid. hlm. 57

R. Tresna, Azas-azas Hukum Pidana, (Jakarta : PT. Tiara, 1990), cet. ke-3, hlm. 20.

Adami Chazawi, Op.Cit, hlm. 154.

Wonosutanto, et.al., Catatan Kuliah Hukum Pidana II, (Suarakarta : Fakultas Hukum Universitas Muhammadiah Surakarta, 1987), hlm. 60.

Muladi, et.al., Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung : Alumni, 1998), hlm. 11.

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 156

Ibid. hlm. 162

Ibid, hlm. 163.

Roeslan SAleh, Perbauatan Pidana dan pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta : Aksara baru, 1981), hlm. 19.

Adami Chazawi, Op.Cit, hlm. 24

Andi Hamzah, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta : Rineka Cipta, cet. ke-11, 2004), hlm. 6.

Bambang Walu